Pencarian

Kapak Setan Kubur 1

Pendekar Mabuk 046 Kapak Setan Kubur Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Ke isel
Conve rt & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: De wi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
1 LEBIH dari dua puluh orang mengarak seorang
kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun. Kakek berbadan kurus dan mengenakan
pakaian abu-abu itu dalam
keadaan tubuhnya dililit tali, hingga kedua tangannya tak bisa bergerak.
Lehernya dikalungi tambang lalu dituntun seperti menuntun kambing bandot.
"Gantung dia! Gantung saja! Ayo, gantung! Sekali gantung tetap gantung!" seru
mereka bersahutan dengan hentak-hentakkan kepalan tangannya ke atas.
Para pengarak itu bukan saja terdiri dari orang dewasa, malah ada yang masih
remaja ikut-ikutan mengarak dan berteriak. Tapi yang menuntun kakek
berambut putih pendek itu adalah seseorang yang
berseragam keprajuritan, membawa pedang di pinggang.
Se dangkan beberapa prajurit bertombak mengamankan daerah sekeliling. Dari ciri
pakaiannya dapat diketahui bahwa
mereka adalah prajurit-prajurit
Kadipaten Balungan, adipatinya masih berusia sekitar lima puluh tahun kurang, bernama
Adipati Janarsuma.
Wajah tua yang digiring ke bukit tak seberapa tinggi itu
tampak bersungut-sungut
bagai memendam kedongkolan. Bahkan ada yang mengatakan,
"Mau digantung bukannya sedih malah cemberut!
Hoi, sedihlah kau! Kau ini mau digantung! Jangan cemberut!"
"Sesukaku!
Mau cemberut, mau sedih, mau tersenyum, yang mau digantung aku, bukan kau! Kenapa kau yang ribut sendiri"!"
ujar sang kakek sambil tetap melangkah dalam tuntunan tambang yang dipegangi
seorang prajurit berpedang itu.
Pendekar Mabuk memperhatikan dari jarak tak
seberapa jauh. Ia geli sendiri mendengar perdebatan tadi.
Ia masih tetap kalem dengan pikiran mencoba mencari apa kesalahan si kakek
bergigi depan tinggal dua itu.
Sampai akhirnya rombongan pengarak itu lewat di depannya. Suto Sinting
menyempatkan diri menegur salah seorang dari mereka.
"Mau diapakan itu kakek, Kang?"
"Mau digantung. Masa' mau dicuci"!" jawab orang yang lebih tua usianya dari
Pendekar Mabuk.
"Apa kesalahannya sampai orang setua itu mau
digantung?"
"Memperkosa istri Kanjeng Adipati."
"Ah, yang benar saja, Kang"! Masa' orang setua dia masih bisa memperkosa?"
"Kalau tak percaya cobalah sendiri!"
"Maksudmu kau menyuruhku mencoba memperkosa istri Adipati?"
"Goblok! Maksudku, cobalah tanya sendiri pada si T ua Bangka."
"Yang mana yang namanya T ua Bangka itu, Kang?"
"Ya itu, yang mau digantung itu!" sentak orang tersebut
agak kesal melayani pertanyaan Pendekar
Mabuk. Ia belum tahu, atau memang tidak tahu bahwa
pemuda tampan berbaju coklat tak berlengan dan celana putih sambil menyandang
bumbung tuak di punggung itu adalah sang Pendekar Mabuk, murid si Gila T uak
yang dikenal dengan nama Suto Sinting itu. Karena tidak tahu maka ia berani
bentak-bentak Suto
Sinting. Seandainya ia tahu, mungkin ia akan bicara sopan dan lemah lembut. Sebab nama
Suto Sinting si Pendekar Mabuk itu sudah kesohor sebagai pendekar sakti yang
ilmunya gila-gilaan.
T ernyata di atas bukit kecil itu sudah disediakan tiang gantungan, berbentuk
tiang gawang dengan tali jerat terjulur di tengahnya. Di bawah tali jerat itu
terdapat sebuah bangku bundar untuk tempat berdiri orang yang akan digantung.
Bangku bundar itu akan ditendang atau ditarik oleh seorang petugas
penggantungan, sehingga
orang yang lehernya telah dijerat tali gantungan akan tergantung-gantung seperti
kentongan di kelurahan.
T ua Bangka dipaksa naik ke atas bangku bundar itu.
Dengan wajah masih bersungut-sungut
dan mata memancarkan dendam, ia menuruti gertakan petugas penggantungan.
"Masukkan kepalamu ke lingkaran tali itu!" bentak petugas penggantungan.
"Mana bisa"! T anganku terikat begini kok disuruh memasukkan kepala ke tali.
Mengambil talinya saja susah!" T ua Bangka ganti membentak.
"Kau saja yang mengalungkan tali itu," perintah petugas penggantungan kepada
seorang prajurit.
"Pakai apa naiknya" Gantungannya tinggi begitu"!"
"Sini, naik di pundakku!"
Prajurit itu berdiri di pundak orang bertubuh kekar yang bertugas sebagai
penggantung nanti. Dengan pelan-pelan orang yang diinjak pundaknya berdiri. Si
prajurit terayun-ayun mau jatuh dan segera berpegangan kepala si T ua Bangka.
"Dasar prajurit tak tahu sopan, kepala orang tua dibuat pegangan!" gerutu si T
ua Bangka. "Waaah... tidak bisa, Kang!" seru prajurit itu kepada orang yang di bawahnya.
"Kenapa tidak bisa"!"
"T alinya ketinggian! T idak akan bisa masuk sampai lehernya. Paling bisa hanya
sampai batas hidung saja."
"Mana ada orang digantung sebatas hidung, T olol!"
"Habis bagaimana kalau memang gantungannya
ketinggian" T urun dulu, turun dulu...."
Setelah prajurit itu turun dari pundak orang bertubuh kekar tanpa baju itu,
segera terdengar seruan si orang kekar tersebut.
"Siapa yang bikin gantungan ini"! Kenapa bisa ketinggian"! Goblok!"
"T enang saja, jangan marah dulu. T oh talinya masih bisa diturunkan sedikit,"
ujar kepala prajurit yang berpedang di pinggang. Lalu, ia menyuruh anak buahnya
untuk menurunkan tali gantungan.
"Barjo... Bar, turunkan talinya biar bisa masuk ke leher si T ua Bangka!"
Sementara mereka sibuk membetulkan tali gantungan, orang-orang yang tadi mengarak T ua Bangka saling berkasak-kusuk,
bahkan ada yang berteriak seenaknya.
"Huuhh.... T erlalu lama! Penonton kecewa!"
"Gantung saja rambutnya, kalau jebol kan mati juga!"
seru yang lain.
Pendekar Mabuk masih diam saja memperhatikan
kesibukan para prajurit yang baginya cukup menggelikan itu. Ia menenggak tuaknya beberapa teguk, kemudian bergeser agak ke
depan, karena saat itu tali gantungan sudah dibetulkan dan sudah dimasukkan
sampai ke leher si T ua Bangka.
Ketika prajurit memberi sambutan alakadarnya sebelum acara penggantungan dimulai. Ia berseru di depan mereka dengan berdiri
di atas sebuah batu yang ada di samping tiang gantungan.
"Saudara-saudara sekalian, hari ini saudara-saudara akan menjadi saksi keadilan
Kanjeng Adipati kita dengan menyaksikan acara penggantungan atas diri si T ua
Bangka ini. Sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa T ua Bangka dijatuhi hukuman
gantung karena mencoba
memperkosa Gusti Ayu T rahsumuning, yaitu istri Kanjeng Adipati Janarsuma."
"Setuju! Setuju! Gantung saja penjahat tak tahu kesusilaan itu!"
"Sebelum acara penggantungan dimulai, mari kita mengheningkan cipta sebentar
untuk mendoakan semoga arwah T ua Bangka diterima di sisi Yang Maha Kuasa.
Berdoaaa... mulai!"
"T unggu, tunggu...!" seru salah seorang. "T idak usah didoakan. Arwah orang
jahat biarkan saja masuk
neraka!" "Benar. Iya, benar tak usah didoakan!" sahut yang lain.
"Baiklah. Kalau begitu, hukuman gantung akan segera dimulai. T api sebelumnya,
mari kita dengar kesan dan pesan dari orang yang akan kita gantung ini...."
"Aah... tak usah, tak usah...!" seru mereka. "Langsung gantung saja! Biar cepat
selesai!" "Baiklah, Saudara-saudara... kita mulai saja tanpa mendengarkan pesan dan kesan
si T ua Bangka ini."
Kemudian petugas penggantungan yang berbadan
kekar dan bertubuh tinggi tanpa baju itu segera membungkuk memegangi kaki bangku
yang dipijak T ua Bangka, ia bersiap menarik bangku tersebut setelah
mendapat aba-aba dari ketua prajurit.
Ketua prajurit berseru lebih keras lagi. "Hari ini, hukuman gantung terhadap si
T ua Bangka dilaksanakan sebagai
tindakan menjunjung tinggi
martabat dan kehormatan Kanjeng Adipati sekeluarga. Setelah hitungan ketiga, hukuman segera dilaksanakan."
Lalu ia mengambil napas panjang dan berseru,
"Satuuu...."
Orang-orang diam tak bersuara. T ua Bangka menggerutu tak jelas sambil mulutnya cemberut.
"Duaaa...!"
"Hentikan...!" tiba-tiba ada seruan yang membuat suasana sepi itu menjadi
bergemuruh seperti lebah menggerutu. Semua mata tertuju kepada si pemilik suara
yang dianggap berani menahan aba-aba sang ketua prajurit.
Pendekar Mabuk segera tampil ke depan mendekati tiang gantungan. Empat prajurit
bersenjata tombak
segera menghadang di depan Suto Sinting, membentuk pagar pengaman dengan tombak
diacungkan ke arah depan.
Sang ketua prajurit memandang heran ke arah Suto, demikian pula sang petugas
penggantungan yang sudah siap-siap menarik bangku. T ua Bangka sendiri ikut
terperanjat melihat anak muda tampan yang berani menghentikan acara tersebut.
"Apa maksudmu menghentikan hitunganku, Anak Muda"!" tegur ketua prajurit dengan
sentakan galaknya.
Murid si Gila T uak itu tidak langsung menjawab
melainkan menenggak tuaknya beberapa teguk. Sementara itu beberapa mulut terdengar berkasak-kusuk dengan nada tegang.
"Apakah dia si Pendekar Mabuk, kok pakai minum tuak segala?"
"Sepertinya memang Pendekar Mabuk, ciri bumbung tuak dan pakaiannya memang
seperti itu."
"Wah, gawat kalau memang dia si Pendekar Mabuk; Suto Sinting. Pasti bakal jadi
geger kalau si ketua membentak-bentaknya."
"Ah, masa' Pendekar Mabuk sampai di daerah kita ini" Mungkin dia hanya orang
yang mirip Suto Sinting atau yang sengaja meniru penampilan Pendekar Mabuk, biar
ditakuti orang."
Di antara para prajurit pun terjadi kasak-kusuk yang sama. Mereka ragu dan
bahkan tidak percaya bahwa pemuda berbaju coklat itu adalah Pendekar Mabuk.
Mereka juga menduga ada se seorang yang meniru
penampilan Suto biar dianggap Pendekar Mabuk.
"Aku minta hukuman gantung ini dihentikan untuk sementara!" kata Suto Sinting
kepada si ketua. "Jangan sampai
kalian menggantung orang tak bersalah. Menggantung orang yang tak bersalah merupakan
tindakan yang kejam dan patut ditentang."
"Yang kutanyakan, siapa dirimu! Bukan soal gantungan!" bentak sang ketua prajurit.
Dengan senyum kalem, Suto Sinting, menjawab,
"Namaku Suto...!"
Prajurit di depan menyebut, "Pakai sinting apa
tidak"!"
"Ya, pakai!" jawab Pendekar Mabuk. "Namaku Suto Sinting!"
"Ah, bukan. Suto Manyun, barangkali!" celetuk seseorang.
"Suto Sinting kok! Sumpah!" kata Pendekar Mabuk.
Ketua prajurit mendekati dengan langkah penuh
kegeraman. "Jangan mengaku-aku sebagai Pendekar Mabuk; Suto Sinting, ya"! Bisa dibacok para


Pendekar Mabuk 046 Kapak Setan Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengagumnya kau!" ia menuding-nuding Suto tanpa ada sopannya sedikit pun.
"Aku bukan mengaku-aku sebagai Pendekar Mabuk.
Aku memang Pendekar Mabuk, Paman."
Ada yang nyeletuk, "Kok dari tadi tidak mabuk-mabuk"!"
Seruan itu tidak dihiraukan. Sang ketua segera
berkata kepada Suto,
"Kami tidak percaya kalau kau Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting.
Kuingatkan padamu, Anak
muda... pergilah yang jauh dari sini dan jangan mengganggu jalannya hukuman
gantung ini!"
Pendekar Mabuk malahan cengar-cengir membuat
orang semakin tidak yakin kalau dia adalah murid si Gila T uak.
Petugas penggantungan tak sabar menahan kejengkelannya, ia segera melompat dan tiba-tiba sudah berdiri di depan Suto.
Jleeg...! "Mau pergi atau mau kugantung sekalian kau, hah!"
bentaknya dengan mata mendelik.
"Sabar dulu, Kang. Sabarlah dulu... aku hanya ingin mengingatkan kau dan yang
lainnya agar jangan
menggantung orang yang tidak bersalah. Kasihan dia.
Sudah kurus, ompong, eeh... digantung lagi! Padahal orang setua dia tidak usah
digantung pun akan mati sendiri."
"Dia memang terbukti bersalah, mau memperkosa Gusti Ayu, istri Adipati kami!
Mengapa kau masih mau membelanya, hah"!" bentak si petugas penggantungan dengan
kasar. "Orang setua dia mana mungkin mampu memperkosa"! Bayangkan saja, usianya sudah setua itu, badannya sudah sekurus
itu, mana mungkin masih punya tenaga kejantanan untuk lakukan perkosaan"
Jangankan memperkosa, dikasih secara cuma-cuma saja belum tentu dia mampu
mengerjakan!"
Geerr...! Beberapa orang tertawa mendengar kata-kata Pendekar Mabuk.
Bahkan T ua Bangka ikut terkekeh-kekeh tanpa suara yang jelas. T awa mereka membuat petugas
penggantungan dan prajurit lainnya menjadi semakin dongkol dan geregetan.
Si ketua prajurit keluarkan perintah kepada petugas penggantungan,
"Singa Parna, hancurkan mulutnya!"
Orang berbadan kekar tanpa baju yang ternyata
bernama Singa Parna itu segera melayangkan pukulannya lurus ke mulut Suto Sinting.
Wuuuttt...! Suto Sinting menghindar dengan meliukkan badan
seperti orang mabuk yang ingin tumbang. Weesss...!
Pukulan itu tidak mengenai sasaran. Suto tetap di tempat. Ketika tegak
kembali, kaki Singa Parna menyambutnya dengan tendangan lurus ke depan.
Wuuttt...! Badan si tampan itu meliuk kembali bagaikan orang mabuk sempoyongan. Weesss...!
T endangan itu meleset kembali. Singa Parna menjadi tambah jengkel. Maka
diserangnya Pendekar Mabuk dengan pukulan dan
tendangan secara bertubi-tubi.
Wuuutt, wuutt, wesss...! Wuuk, wukk, wuuss...!
T ak ada satu pun serangan yang bisa kenai tubuh Pendekar Mabuk. Padahal kaki
Suto tidak bergeser sedikit pun, hanya badannya yang meliuk-liuk dengan cepat
hindari serangan beruntun itu. Singa Parna sendiri menjadi ngos-ngosan dan
merasa semakin dongkol
karena serangannya yang bertubi-tubi itu tidak ada yang dapat mengenai sasaran.
"Monyet kurap kau!" bentaknya. Lalu ia menyerobot tombak seorang prajurit tak
jauh darinya. Weett...!
Dalam jarak satu tombak kurang, ia menghujamkan tombak itu ke perut Suto. Kaki
kiri Suto bergeser ke samping. Weesss...! T ombak meleset dari sasaran. Singa
Parna penasaran dan menghujamkan tombak itu secara bertubi-tubi.
Suuut, suut, suutt, wettt, weett, wuuss... weesss...!
T eb! Tombak berhasil dikempit pakai ketiak Suto Sinting,
lalu disentakkan menyamping. Seet...! Kraakkk...! Tombak pun patah. Mata mereka terbelalak. Suara mereka mengaum kagum.
"Woooww..."!"
Senyum Suto Sinting masih mengembang menampakkan ketenangannya. Ketua prajurit mundur beberapa tindak, prajurit
lainnya ikut mundur dengan wajah tegang. Singa Parna mau tak mau ikut mundur
juga karena merasa mau ditinggal teman-temannya.
Wajah mereka memandang dalam rona ketakutan. Tapi si ketua prajurit
masih coba-coba tunjukkan sisa
wibawanya dengan membentak tak sekeras tadi.
"Apa maumu sebenarnya, Orang Gila"!"
"Batalkan hukuman gantung ini!"
"T idak bisa! T ua Bangka bersalah dan Kanjeng Adipati telah jatuhi hukuman
gantung kepadanya, kami harus melaksanakan!"
"Baiklah, kalau begitu... bebaskan dia dan gantilah aku yang digantung."
"Hahh..."!" semua orang terperangah kaget.
"Bocah gendeng! Yang bersalah saja membela diri supaya tidak dihukum gantung,
dia malah minta
digantung. Kalau bukan bocah gendeng tidak ada yang berani senekat itu!" gerutu
seseorang di belakang Suto Sinting.
Ketua prajurit berunding dengan Singa Parna dan beberapa anak buah lainnya.
"T erlepas dia benar-benar Pendekar Mabuk atau hanya bocah ingusan yang mabuk,
tapi dia sangat berbahaya bagi kita. Bisa-bisa menimbulkan korban di antara
kita. Sebaiknya kita turuti saja kemauannya.
Biarlah kita lepaskan si T ua Bangka dan kita ganti dia sebagai orang yang kita
gantung!" "T erserah keputusanmu. Yang penting jangan sampai kami disalahkan oieh Kanjeng
Adipati," kata Singa Parna.
Para penonton menunggu keputusan dengan tegang.
Satu dan yang lainnya saling berbisik-bisik membicarakan tuntutan pemuda tampan itu. Ada juga yang berkasak-kusuk
membicarakan tentang hilangnya jemuran di belakang rumah. Tapi mereka akhirnya
menghadap ke arah tiang gantung lagi setelah ketua prajurit berdiri di batu
tinggi, tempat ia berdiri semula.
"Saudara-saudara,
mohon perhatian! Mohon perhatian sebentar!"
Suasana hening sejenak.
"Saudara-saudara mendengar sendiri tuntutan bocah sinting itu. Dia bersedia
menggantikan hukuman si T ua Bangka. Jadi, daripada ribut-ribut, tak baik
didengar tetangga, maka kami setuju untuk menggantikan si T ua Bangka dengan
bocah sinting itu!"
Lalu dengan suara keras penuh wibawa, ketua prajurit keluarkan perintah kepada
Singa Parna yang masih berwajah geram itu.
"Singa Parna, lepaskan si T ua Bangka dan ganti bocah itu yang kita gantung!"
"T idak!" seru T ua Bangka. "Bocah itu tidak tahu menahu masalah ini. Jangan dia
yang dijadikan korban.
Aku saja yang digantung, biar Adipati kalian puas melihat keputusan lalimnya
itu!" "Goblok!"
seru salah seorang penonton. "Mau
dibeba skan biar bisa hidup kok malah ngotot! Huuh...
dasar T ua Bangka tidak tahu diri!"
"Kenapa jadi kau yang se wot, Kang"!" tegur anak muda di sampingnya.
"Habis aku jengkel sekali dengan si T ua Bangka itu!
Gobloknya melebihi ayam makan pedang!" jawabnya sambil bersungut-sungut.
Seruan itu tidak membuat keputusan berubah. Bahkan usul T ua Bangka tak
dihiraukan oieh ketua prajurit, ia segera dibebaskan, Suto Sinting yang
menggantikan. Se belumnya Suto sempat temui T ua Bangka untuk menitipkan bumbung tuaknya.
"T olong bawa bumbung tuak ini! Jaga baik-baik, T ua Bangka."
"T idak mau!" sentak T ua Bangka. "Lebih baik aku yang digantung daripada
disuruh membawa bum bung tuakmu."
"T ua Bangka, aku tahu kau tidak bersalah. Aku melihat kebenaran di pihakmu
melalui sorot matamu dan air mukamu itu. Bawalah bumbung tuak ini..., aku punya
rencana sendiri," kalimat terakhir itu bernada bisik.
Akhirnya orang tua berkulit keriput itu menurut apa kata Suto.
Ia membawakan bumbung tuaknya dan membiarkan Suto Sinting diikat
sekujur tubuhnya,
hingga tangannya tidak bisa bergerak lagi. Kemudian ia diba wa naik ke bangku
bundar itu. "Waah... talinya kependekan. Naikkan lagi tali gantungan itu!" seru Singa Parna.
Akhirnya mereka
membongkar ikatan tali gantungan dan meninggikan sesuai ukuran tinggi tubuh
Pendekar Mabuk "Bikin susah saja bocah sinting itu! Tali sudah pas buat menggantung, gara-gara
digantikan dia jadi harus dibongkar lagi. Huuh...! Rasa-rasanya aku kepingin
mencolok matanya pakai tombak!" gerutu orang yang membongkar tali.
Kini tali penjerat leher sudah dikalungkan. Suto Sinting tetap tenang tanpa
lakukan pemberontakan apa pun,
tanpa perasaan sedih sedikit pun. Mereka memandang dengan penuh rasa kagum, namun ada juga yang punya rasa tak suka
menganggap Suto bocah bodoh yang menjengkelkan hati.
"Hukuman gantung sebagai wakil si T ua Bangka segera dilaksanakan!" teriak ketua
prajurit. "Sattuuu...
duaaa... tigaaa...!"
Singa Parna tidak menarik bangku yang diinjak Suto Sinting,
melainkan menendangnya sebagai luapan kejengkelan hatinya tadi. Braakk...!
Kaki bangku patah seketika setelah ditendang Singa Parna. Maka tubuh Suto
Sinting pun tergantung,
lehernya terjerat tali gantungan. Seettt...!
"Huuu...!" orang-orang menggumam puas.
"Mampuslah kau!" teriak yang jengkel.
"Selamat jalan, Bocah sinting!" seru yang lain.
T ua Bangka tertegun bengong melihat tubuh Suto Sinting tergantung dengan kepala
terkulai mata terpejam, tapi mulutnya tidak menganga. Suto bahkan seperti sedang
menyunggingkan senyum tipis. Dan mereka pun
menjadi terheran-heran melihat senyum itu kian melebar.
Bahkan mereka menjadi tersentak kaget ketika Suto Sinting membuka matanya.
Blaakk...! "Haahh..."!" seru mereka serentak.
Pendekar Mabuk memandangi mereka dengan senyum jelas-jelas mekar di bibirnya. Wajahnya tidak menjadi pucat walau sudah
tergantung sepuluh helaan napas lamanya. Bahkan ia berkata kepada si T ua
Bangka, "Awas, jangan miring bumbung itu nanti tuaknya tumpah."
Semakin tegang wajah mereka, semakin diliputi
perasaan takut hati mereka. T ubuh yang jelas-jelas tergantung dengan kaki tanpa
menapak apa pun masih bisa bicara sesantai itu. T entu saja ketua prajurit pun
menjadi sangat ketakutan.
"Celaka! Dia pasti siluman iseng! Cepat kabur!
Lariii...!"
Mereka tidak tahu kalau Suto menggunakan jurus
'Layang Raga' yang membuat tubuhnya bisa mengambang di udara. Mereka menganggap Suto
Sinting hantu yang gentayangan di siang hari. Maka satu seruan 'lari' membuat
mereka bubar serentak, saling tabrak, saling injak, gaduh sekali suasananya. Ada
yang menabrak pohon, ada yang jatuh tersungkur lalu dilewati delapan pasang
kaki. Bahkan ada yang tertusuk tombak secara tidak sengaja, Lalu menjerit
memegangi pahanya yang tertusuk
tombak. Ia segera digotong oleh temannya. Salah seorang yang sudah berlari jauh
terpaksa kembali lagi ke dekat tiang gantung.
"Sandalku ketinggalan!" ia memungut sandalnya dan kabur dengan secepat-cepatnya.
Yang tinggal di situ hanya T ua Bangka. Bengong-bengong, memandang ke sana-sini


Pendekar Mabuk 046 Kapak Setan Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti orang pikun.
Akhirnya ia memandang Suto Sinting dan terkejut melihat Suto masih hidup.
"Hahh..."!" lalu ia jatuh terkulai di tanah dengan lemas. Rasa kaget yang
terlambat justru membuat Pendekar Mabuk tertawa geli.
"Hei, T ua Bangka... lepaskan tali pengikat tanganku ini, jangan duduk santai
begitu!" kata Suto Sinting.
T ua Bangka geleng-geleng kepala dengan wajah
begonya. "Minum tuakku sedikit biar kau tidak linglung!" kata Suto.
Dengan gemetar T ua Bangka menenggak tuak Pendekar Mabuk.
"Sedikit saja! Jangan dihabiskan, T olol!"
T ua Bangka sadar sudah terlalu banyak menenggak tuak. Akhirnya ia hentikan
perbuatan itu, napasnya terengah-engah. Hatinya menjadi tenang. Kemudian ia
melepaskan tali pengikat tubuh Suto. T angan Suto pun melemparkan tali penjerat
leher, dan ia bergerak turun pelan-pelan tanpa satu lompatan sedikit pun. T ua
Bangka memandang tak berkedip gerakan tubuh yang turun secara pelan-pelan itu.
"Ck, ck, ck...." ia geleng-geleng kepala di depan Suto Sinting.
"Jurus apa yang kau pakai itu, Anak Muda" Maukah kau mengajariku?"
* * * 2 KAKEK bergigi depan tinggal dua itu akhirnya
mengikuti Suto Sinting. Padahal Suto Sinting sudah berkata kepadanya, "Kalau mau
pergi ke suatu tempat, pergilah sana. T ak perlu mengikuti aku, T ua Bangka.
Aku mau ke Pulau Jelaga, menolong seorang teman yang dalam kesulitan."
"Sebagai tanda terima kasihku atas tindakanmu menyelamatkan nyawaku, aku ingin
ikut kau ke mana pun kau pergi, Suto."
Itulah sebabnya Suto Sinting melangkah bersama T ua Bangka, karena ia tak bisa
menolak keinginan kakek berpakaian abu-abu itu. Dalam perjalanannya, Suto
Sinting sempat bertanya kepada T ua Bangka tentang tuduhan memperkosa itu.
"Sebenarnya, seperti apa yang kau katakan kepada mereka, aku tidak mungkin bisa
memperkosa Gusti Ayu Trahsumuning, sebab aku sudah... sudah tidak segesit dulu."
"Apa maksudmu tidak segesit dulu?"
"Artinya, kemampuanku memberi kemesraan kepada seorang perempuan sudah tidak
ada. Sudah mati."
"Ooo...," Suto Sinting tertawa geli setelah memahami
maksud kata-kata si T ua Bangka.
"Jangankan disuruh memperkosa, diberi secara cuma-cuma saja aku hanya bisa
geleng-geleng kepala,"
sambung T ua Bangka.
"Lalu apa yang membuat Adipati Janarsuma menjatuhi hukuman gantung padamu?"
"Rasa sirik hati!"
"Sirik hati bagaimana?" desak Suto Sinting.
T ua Bangka sengaja berhenti di bawah pohon
rindang, sekalian meluruskan napasnya yang bengkok karena
perjalanan melelahkan itu. Mau tak
mau Pendekar Mabuk ikut berhenti dan menenggak tuaknya.
T ua Bangka terang-terangan meminta tuak itu karena haus, Suto Sinting
memberikannya beberapa teguk.
"Aku ditangkap oleh prajurit kadipaten yang dipimpin Branjang Kawat pada saat
aku merapatkan perahuku ke pantai," ujar T ua Bangka.
"Branjang Kawat
itu ketua prajurit yang tadi mempimpin hukuman gantung?"
"Bukan. Branjang Kawat itu prajurit laga andalan sang Adipati."
"O, tunggu dulu... jadi kau punya perahu, T ua Bangka?"
"Ya. Aku menyimpannya di T eluk Karang. Karenanya kusarankan kau menuju ke arah barat daya, karena T eluk Karang ada di
sana. Kau bisa gunakan perahuku untuk menyeberang ke Pulau Jelaga."
"Ooo... paham aku kalau begitu. Lalu, atas tuduhan apa kau ditangkap oleh
Branjang Kawat?" tanya Suto
yang masih penasaran, ingin tahu siapa sebenarnya T ua Bangka itu.
"Dulu aku pernah mengabdi kepada sang Adipati sebagai juru taman. T api baru
tiga purnama sudah dipecat, karena aku dianggap malas kerjaku hanya nonton
Branjang Kawat melatih ilmu kanuragan kepada para prajurit kadipaten. Setelah
beberapa waktu berlalu, tiba-tiba aku dicari mereka kembali dan ditangkap atas
tuduhan mencuri sebuah pusaka. Padahal waktu aku pergi dari istana kadipaten,
aku tidak mencuri apa-apa kecuali sebungkus nasi untuk bekal di perjalanan."
"Pusaka apa maksudnya?"
Suto Sinting makin
tertarik. "Nama pusaka itu adalah Kapak Setan Kubur."
Suto terkejut mendengar nama pusaka tersebut.
"Kapak Setan Kubur pernah kudengar dari mulut Ayunda?" pikirnya, "Kalau tak
salah ingat, seseorang yang mempunyai ilmu 'Mahkota Neraka' hanya bisa dibunuh
oleh Kapak Setan Kubur. Dan ilmu 'Mahkota Neraka' dimiliki oleh Gandapura,
manusia titisan raksasa yang doyan makan daging manusia dan sekarang
kabarnya sedang mengamuk di Pulau Jelaga, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Pertarungan T anpa Ajal"). Tapi, apa benar Kapak Setan Kubur pernah
dimiliki oleh Adipati Janarsuma"!"
T ua Bangka menjelaskan, "Aku tidak tahu apakah sang Adipati benar-benar punya
pusaka seperti itu atau tidak, yang jelas aku dipaksa menyerahkan Kapak Setan
Kubur. T entu saja aku kebingungan dan tak bisa
menuruti permintaan sang Adipati. Lalu, untuk menutup kabar tentang Kapak Setan
Kubur agar tidak diketahui orang banyak, aku difitnah dengan tuduhan memperkosa
istrinya. Aku mengelak, tapi tak mampu berbuat banyak karena Adipati kerahkan
prajuritnya. Akhirnya aku dijatuhi hukuman gantung atas tuduhan itu. T uduhan
tersebut hanya sebagai alasan supaya aku bisa digantung, rakyat pun akan
membenarkan keputusan sang Adipati.
Padahal semua itu hanya gara-gara sang Adipati kecewa sekali terhadapku."
Gumam memanjang terdengar dari mulut Pendekar
Mabuk yang manggut-manggut. Setelah diam dalam
renungannya selama empat helaan napas, murid si Gila T uak itu kembali ajukan
tanya kepada si T ua Bangka.
"Apakah sebelum kau dipecat dari kadipaten, kau pernah tahu bahwa sang Adipati
mempunyai pusaka Kapak Setan Kubur?"
T ua Bangka menggeleng. "Aku tidak pernah dengar ia menyebut-nyebutkan nama
pusaka itu. Soal punya dan tidak aku tidak mengerti, Suto."
"Kau tahu kekuatan sakti dalam pusaka Kapak Setan Kubur itu?"
Wajah tua bermata cekung itu gelengkan kepala.
"Setahuku itu hanya isapan jempol."
"Lho, jempol siapa yang dihisap?"
"Artinya, hanya kabar bohong. Kapak Setan Kubur tidak ada. Sang Adipati
mengarang-ngarang cerita saja.
Maksud sebenarnya sudah kuketahui, ia menangkapku karena ia takut rahasia di
dalam istana kubongkar kepada
pihak lain."
"Rahasia apa itu?"
"Yaah... termasuk
jalan rahasia yang langsung
menuju pantai, termasuk kamar rahasia yang bisa tembus ke lorong menuju pantai
untuk melarikan diri, dan...
sebagainya. Adipati tak mau rahasia itu bocor dari mulutku. Lalu dia mengarang
nama sebuah pusaka dan memfitnahku demikian."
Pendekar Mabuk kembali termenung, ia sempat
menggumam lirih dalam renungannya itu, "Kapak Setan Kubur hanya isapan
jempol..." T api mengapa Ayunda pernah menyebutkannya" Bahkan katanya pusaka itu
dimiliki oleh mendiang Nini Pucanggeni"!"
T iba-tiba terdengar suara gelegar ledakan yang mengagetkan mereka berdua.
Blegaarrr...! "Apa itu!" T ua Bangka tersentak dan menjadi tegang.
"Gledek!" jawab Suto Sinting menenangkan diri, tapi hatinya penuh curiga.
"Gledek apa orang batuk?"
"Suaranya dari arah selatan sana. Kita lihat ada apa di balik lembah itu!"
Pendekar Mabuk dan T ua Bangka segera berlari ke arah lembah sebelah selatan
mereka. T ua Bangka tertinggal karena gerakannya lamban. T ernyata di balik
lembah ada pertarungan seperti yang dibayangkan Pendekar Mabuk. T etapi siapa
yang bertarung, pada mulanya Suto tidak bisa menduga. Namun ketika ia melihat
siapa yang bertarung, matanya menjadi terbelalak, karena ia merasa kenal dengan gadis cantik
berbaju hitam dan celananya abu-abu. Gadis itu mempunyai rambut
lurus sepundak dengan bagian
depannya diponi. Wajah cantiknya berhidung mancung dan bermata bundar.
"Pinang Sari..."!" gumam Suto pada saat T ua Bangka sudah ada di sampingnya.
"Pinang Sari itu kekasihmu?" tanya T ua Bangka dalam bisik.
"Bukan. Kekasihku adalah Dyah Sariningrum, penguasa negeri Puri Gerbang Surga wi," jawab Suto, masih sempat
membanggakan calon istrinya yang
bergelar Gusti Mahkota Sejati itu. Lalu, ia menjelaskan siapa Pinang Sari yang
dulu dikenalnya saat bertarung melawan Ayunda.
"Pinang Sari itu muridnya Nini Pucanggeni yang...."
"Pucanggeni?" gumam lirih T ua Bangka.
"Ya. Nini Pucanggeni. Kenapa termenung" Kau kenal dengan mendiang Nini
Pucanggeni?"
T ua Bangka gelengkan kepala. "Namanya bagus, pasti orangnya cantik. T api...
kau sebut dia 'mendiang'"
Apakah dia sudah mati?"
"Sudah. Dibunuh oleh Ayunda, muridnya Nyai Gerhani Semi. Murid dan gur u ini pun
sudah mati dalam peristiwa Pertarungan T anpa Ajal."
T ua Bangka menggumam dengan wajah datar. Lalu
memandang ke arah pertarungan.
"Lalu, lelaki yang bertarung melawan Pinang Sari itu siapa?" tanyanya.
"Aku tidak tahu. Baru sekarang kulihat wajah angker
lelaki kerempeng itu."
Orang kerempeng yang menjadi lawan Pinang Sari
itu memakai jubah coklat tua yang lusuh dengan celana merah tanpa baju dalam. T
ulang iganya kelihatan bertonjolan. Wajahnya tampak angker, karena matanya biar
kecil tapi memancarkan kebengisan. Rambutnya kucal, tipis, panjang sebatas
punggung. Lelaki itu menyelipkan senjata di pinggangnya berupa pedang lengkung
panjangnya satu lengan, tapi ukurannya cukup kecil.
Pedang itu belum dicabutnya, ia masih menggunakan tangan kosong dalam melawan
Pinang Sari. T angannya itu bagaikan besi yang mampu membuat pohon yang
terhantam menjadi somplak besar. Pinang Sari masih tampakkan kelincahannya
dengan melenting ke atas dan bersalto hindari serangan orang kurus itu.
Wuukkk...! Pinang Sari mendarat ke belakang orang kurus itu dalam jarak lima
langkah. Orang kurus itu segera balikkan badan dan sentakkan satu tangannya ke
depan. Wuuttt...!
Slaapp...! Sinar merah lurus tanpa putus keluar dari tangan telapak tangannya. Sinar
sebesar jempol kaki itu menghantam ke dada Pinang Sari. T api dengan cepat
Pinang Sari mencabut trisula putihnya dan dihadangkan ke arah datangnya sinar
merah tersebut.
T aarrr...! Terdengar suara letupan kecil saat sinar merah itu menabrak trisula.
Kemudian trisula itu sendiri menyebarkan sinar hijau patah-patah, seperti jarum
yang berjumlah puluhan batang. Praatak...!
Bleegarrr...! Dentuman hebat terjadi cukup menakjubkan. Gelombang ledakan itu menyentak kuat dan membuat tubuh Pinang Sari terlempar ke
sembarang arah sejauh delapan langkah. T ubuh orang kerempeng itu terpental naik
ke atas dan melayang-layang
kehilangan keseimbangan, lalu jatuh berdebam di tempatnya berdiri tadi. Bluukkk...!
"Dahsyat sekali..."! Ck, ck, ck...!" T ua Bangka geleng-gelengkan kepala penuh
rasa kagum. "Kau tunggu di
sini, T ua Bangka. Aku akan
membantu Pinang Sari."
T ua Bangka mencekal lengan Suto Sinting. "Jangan!
Orang kurus itu punya kesaktian sangat dahsyat. Nanti kau mati kalau melawan
dia." "Akan kau lihat sendiri siapa yang tumbang nanti!"
"Jangan ke sana!" sentak T ua Bangka dengan roman wajah tegang. "Nanti aku
berteriak lho kalau kau nekat ke sana."
Suto Sinting tertawa tanpa suara mendengar ancaman seperti anak kecil itu.
Matanya kembali menatap ke pertarungan. T ernyata Pinang Sari sudah siap berdiri
menghadapi lawannya, walau dari mulutnya tampak ada darah yang mengalir
membasahi dagu samping.
Orang kerempeng itu pun sudah berdiri dan maju
dengan wajah berang. Sebelum mencapai jarak lima langkah di depan Pinang Sari,
ia hentikan langkah dengan napas terengah-engah.
"Pinang Sari, kalau kau tetap berkeras kepala, aku tak akan
mengampunimu lagi. Kupecahkan kepalamu sekarang juga!"
Pinang Sari menjawab dengan berani, "Aku tak akan mundur melawanmu, Papan
Rayap!" T ua Bangka cekikikan, mulutnya buru-buru dibekap oleh Suto Sinting.
"Sssttt...!"


Pendekar Mabuk 046 Kapak Setan Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

T angan itu disingkirkan oleh T ua Bangka. "Aku geli.
Nama kok Papan Rayap. Apa tidak ada yang lebih bagus lagi?"
"Itu sebuah julukan saja, T ua Bangka. Mungkin karena tubuhnya kurus dan tipis
seperti papan sehingga ia berjuluk Papan Rayap."
"Mungkin juga karena wajahnya mirip rayap jadi julukannya Papan Rayap, begitu
ya?" Pendekar Mabuk tak sempat menyimak ucapan T ua
Bangka karena telinganya
segera dipasang untuk mendengarkan perdebatan antara Pinang Sari dengan si Papan Rayap.
"Kau benar-benar masih meremehkan aku, Pinang Sari! Se benarnya aku ragu untuk
menghancurkanmu saat ini. Sebaiknya jangan paksa aku untuk berbuat lebih keji
dari yang sudah kulakukan tadi. Serahkan saja pusaka Kapak Setan Kubur itu
padaku, dan kau akan selamat sepanjang masa."
Suto Sinting kaget mendengar Kapak Setan Kubur
diucapkan oleh si Papan Rayap. T ua Bangka pun tampak berkerut dahi dengan
heran, tapi tak bicara apa-apa.
Yang terdengar saat itu adalah suara Pinang Sari yang
melengking tinggi.
"Koreklah telingamu dengan
pedangmu, Papan Rayap. Sejak tadi sudah kukatakan, aku tidak tahu menahu tentang pusaka Kapak
Setan Kubur!"
"Mendiang gurumu memiliki kapak itu!"
"Omong kosong!" bantah Pinang Sari. "Guru tidak pernah ceritakan soal pusaka
itu. Beliau tak pernah menyinggung-nyinggung sedikit pun tentang pusaka
tersebut. Kuharap kau jangan mengada-ada, Papan Rayap!"
"O, kau masih berlagak bodoh rupanya. Baiklah, aku terpaksa memberimu pelajaran
yang ketiga. Hiaaatt...!"
Sraang...! Pedang lengkung ujungnya itu dicabut oleh Papan Rayap sambil lakukan serangan
melompat ke depan.
Wuuttt...! Kemudian ia tebaskan pedang itu ke pundak Pinang Sari. Sayangnya trisula putih
masih dalam genggaman Pinang Sari, sehingga mampu untuk menangkis pedang
tersebut. Trang, trang, trang, blaarr...!
Ledakan terjadi lagi karena kedua senjata itu beradu dengan dialiri tenaga
dalam. Sinar biru bening memercik sekejap, lalu sirna tanpa timbulkan asap apa
pun. Papan Rayap semakin cepat membabatkan pedangnya ke arah lawan.
Bed, bed, bed, be d...!
Pinang Sari melompat-lompat
hindari serangan pedang, namun pihak Papan Rayap mendesak terus
dengan tebasan pedangnya ke berbagai arah. Sesekali Pinang Sari menangkis dengan
trisulanya. Trang, trang, trang, trang...!
Sampai pada satu ketika, pedang itu bergerak dengan gerakan meliuk dari bawah ke
atas dan sukar ditangkis Pinang Sari karena ia sudah tertipu gerakan pedang
sebelumnya. Wuuttt...! Brreett...!
"Aaauh...!" Pinang
Sari terpekik. Ulu hatinya bagaikan sedang dibedah oleh pedang lengkung itu. Ia segera tersentak mundur dan
tergagap-gagap. Darah menyembur dari luka panjang tersebut.
Brrukk...! Pinang Sari jatuh terjengkang, kini ia terkapar dengan tubuh
menggigil. Rupanya pedang si Papan Rayap beracun ganas. Dalam waktu cukup
singkat tubuh Pinang Sari mulai dikerumuni rayap yang muncul dari dalam tanah
akibat mencium bau racun pedang yang bercampur dengan darah. Binatang putih
kecil-kecil itu semakin banyak jumlahnya dan membuat Pinang Sari menjerit karena
jijik. "Katakan di mana kau simpan kapak itu! Lekas!
Kalau tidak kau katakan, akan kubiarkan rayap-rayap itu menggerogoti
tubuhnya hingga menjadi tulang belulang!"
Namun sekelebat bayangan segera bergerak menerjang Papan Rayap. Bruuss...!
Papan Rayap terpelanting dan jatuh dengan menyedihkan karena kepalanya bagaikan disambar kaki petir. Hampir saja ujung
pedangnya menancap di
lambung kiri. Seorang pemuda berwajah ganteng tapi masih tampak remaja berdiri dengan badan
tegap. Pemuda itu memakai rompi hijau berhias benang emas pada tepiannya.
Celananya juga hijau menyala berhias benang emas tepiannya. Sabuknya hitam,
menyelipkan sebilah pedang dari sarung perak. Rambutnya panjang digulung tengah,
sisanya meriap sampai sepundak, ia berdiri tegak dengan kaki sedikit terentang.
Suto Sinting kerutkan dahi, karena masih merasa asing dengan pemuda yang
diperkirakan berusia sekitar sembilan belas tahun itu. T ua Bangka juga merasa
asing dengan pemuda itu, sehingga berbisik kepada Suto Sinting.
"Siapa bocah ganteng itu?"
"Aku tak tahu, dan baru sekarang melihatnya. Kurasa dia kekasihnya Pinang Sari."
"Ooo... pantas dia berani menerjang Papan Rayap, mungkin untuk menunjukkan
cintanya, sehingga ia lakukan bela pati buat si gadis cantik itu, ya?"
Pendekar Mabuk hanya menggumam pendek dan
anggukkan kepala. Karena saat itu Papan Rayap telah bangkit dan menatap pemuda
berpakaian hijau itu dengan mata lebih tajam lagi.
"Siapa kau, Monyet sawah"!" gertak Papan Rayap.
"Lancang sekali kakimu, berani menendang kepala orang setua aku. Mau cari modar
kau, nah"!"
"Aku yang bernama Darah Prabu!" jawabnya tegas dengan
suara mudanya. "Mungkin kau belum mengenalku, Papan
Rayap. Karena memang baru
sekarang aku diizinkan oleh guruku untuk turun
gunung." "Keparat! Siapa gurumu, Bocah kurap"!"
"Resi Badranaya!"
"Persetan dengan nama
itu. Aku tidak kenal! Menyingkirlah dari sini dan jangan ikut campur urusanku lagi kalau kau mau selamat!"
"Kau langkahi dulu bangkaiku baru kau bisa teruskan urusanmu dengan kakakku;
Pinang Sari!"
"Ooo... dia adiknya Pinang Sari"!" gumam Suto Sinting yang membuat T ua Bangka
juga manggut-manggut.
"Darah Prabu!" sentak Papan Rayap. "Kalau memang itu yang menjadi tekadmu,
terimalah jurus 'Pedang Jalang-ku ini! Heaaah...!"
Papan Rayap melompat dengan cepat bagaikan angin berhembus. Darah Prabu tidak
menghindar, melainkan justru menyongsong terjangan Papan Rayap. Wuusss...!
Brruusss...! Praaang...!
Lalu keduanya saling melintas tukar tempat. Wuutt...!
Jleegg...! T ernyata si Darah Prabu sudah
menggenggam pedangnya dengan kokoh. Ia mendarat ke tanah dalam keadaan memunggungi Papan
Rayap. Ujung pedangnya tampak basah oleh darah. Berarti Papan Rayap terluka oleh
pedang itu. Papan Rayap yang juga memunggungi Darah Prabu
diam sesaat dalam keadaan kedua kaki sedikit merendah.
Kemudian ia balikkan badan secara pelan-pelan, demikian juga Darah Prabu. Lalu, tampaklah luka menganga di ba wah pundak Papan
Rayap. Luka itu mengucurkan darah segar hingga basahi bagian tubuh bawahnya.
"Bagus sekali gerakan pedang anak muda itu?" pikir Pendekar Mabuk. "T api ia tak
perhatikan kalau Pinang Sari sudah mulai kelojotan diserang ratusan rayap
begitu. Bahaya sekali kalau tak segera kutolong. Aku harus bertindak cepat."
"Hei, Suto... mau ke mana! Jangan ke sana nanti kamu kesabet pedang mereka!"
cegah T ua Bangka sambil pegangi kain celana Pendekar Mabuk, membuat langkah
Pendekar Mabuk tertahan.
"Aku mau selamatkan Pinang Sari! Lepaskan celanaku!"
"Jangan! Nanti kau celaka!"
"T idak. Lepaskanlah... lepaskan...!"
Wreekk...! "Aduh, kau ini.... Lihat, celanaku malah robek begini?"
"Wah, maaf. Maaf sekali, Suto. Aku tak sengaja membuat pantatmu jadi mengintip
begitu. Maaf...!" T ua Bangka jadi ketakutan. Untung robeknya celana tak terlalu
lebar. Suto Sinting menutupnya dengan menurunkan kain ikat pinggang hingga tak kentara kalau celananya robek. Dengan
cepat ia melesat menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya melebihi
kecepatan anak panah itu. Zlaappp...!
Sementara itu, Papan Rayap semakin garang, ia
menjadi sangat murka karena tubuhnya sudah dilukai oleh anak muda itu. Dengan
satu lompatan cepat lagi ia menyerang Darah Prabu.
"Heeeaaattt...!"
Darah Prabu lakukan sentakan kaki ke tanah, dan tubuhnya melambung tinggi dalam
gerakan jungkir balik. Wuuutt...! Pedang lawan yang mengibas ke atas ditangkis
dengan pedangnya.
Trang, trang, trang...!
Mereka sibuk lanjutkan pertarungan. Suto Sinting sibuk singkirkan rayap-rayap
dari tubuh Pinang Sari yang telah lemas tak berdaya itu. Mulut gadis itu
dingangakan dengan satu tangan, kemudian dituangi tuak ke dalamnya. Beberapa
tuak tertelan oleh Pinang Sari, hingga gadis itu terbatuk-batuk. Namun tuak
itulah yang menyelamatkannya dari luka racun. T uak itulah yang membuat rayap-
rayap merasa mabuk, sehingga pulang ke dalam tanah menurut tempatnya masing-
masing. Trang, trang, trang...!
Duuaarrr...! Ledakan itu mengagetkan Pendekar Mabuk. Suaranya bagai
di depan telinga kanan, ia segera bangkit
memandang ke arah pertarungan. Rupanya si kerempeng Papan Rayap lepaskan
kekuatan tenaga dalamnya
melalui pedang lengkungnya. Pertarungan pedang itu membuat
ledakan cukup dahsyat karena keduanya
menggunakan tenaga dalam. T api agaknya Darah Prabu
masih kalah kuat. Ia terpental melambung dan jatuh ke semak-semak. Brruusss...!
Namun keadaan Papan Rayap pun cukup berbahaya.
Selain terluka pada bagian bawah pundak, separo wajahnya menjadi biru le gam
akibat gelombang ledakan tadi. Ia tampak limbung, tenaganya bagai berkurang
sangat banyak. Namun ia masih berusaha memandang ke arah Pinang Sari.
Ia sangat terkejut melihat kehadiran Pendekar Mabuk di samping Pinang Sari.
Matanya masih berusaha
memandang bengis kepada pemuda berambut panjang sepundak tanpa ikat kepala itu.
"Siapa kau, Setan tengil..."!" gertaknya dengan tubuh agak terbungkuk-bungkuk
karena menahan sakit di pundak. "Kaukah yang menyimpan Kapak Setan Kubur itu,
hah"! Mengaku saja, atau kutebas sekalian lehermu!"
"Jangan galak-galak, nanti kau mati terpenggal pedangmu sendiri!" kata Suto
Sinting dengan kalem.
"Keparat! Aku tak butuh pelajaranmu. Kau yang butuh pelajaranku. Heeaaah...!"
"Wah, nekat orang ini!" gumam Suto Sinting yang segera
mengibaskan bumbung tuaknya untuk menyambut datangnya pedang si Papan Rayap.
Weesss...! Praakk...! Buuhhg...! Pedang patah menjadi empat potong karena menghantam bumbung tuak Pendekar Mabuk. Kaki
kanan Pendekar Mabuk pun berkelebat menendang tepat
di ulu hati Papan Rayap. Orang itu terpental jauh hingga menabrak sebatang pohon
tak terlalu besar.
Brruusk...! "Aaahgg...!" darah segar menyembur dari mulut Papan


Pendekar Mabuk 046 Kapak Setan Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rayap. Matanya terbeliak dalam keadaan terbungkuk dan berlutut.
Darah Prabu mulai melangkah lagi dalam keadaan
hidung ber darah. Matanya terkesiap melihat Papan Rayap berada kurang lebih
delapan tombak darinya, ia juga tadi melihat Papan Rayap menyerang Pendekar
Mabuk yang membuat pedang orang kerempeng itu
patah dengan ringkihnya. Rasa kagum itu segera
dipendam dan ia mendekati Papan Rayap. Pedang
peraknya masih di tangan. Pedang itu hendak ditebaskan ke arah Papan Rayap.
"T ahan!" seru Suto Sinting.
* * * 3 ORANG kerempeng bertampang angker itu segera
larikan diri ketika gerakan pedang Darah Prabu terhenti oleh seruan Pendekar
Mabuk. Bahkan ketika pemuda berompi hijau itu hendak mengejarnya, Suto Sinting
mencegahnya dengan seruan pula. Akhirnya mereka berkumpul berempat.
Pinang Sari mulai sehat, lukanya bagaikan mengatup dengan sendirinya setelah
menenggak tuak saktinya Suto
Sinting. Badannya terasa lebih segar dari sebelumnya.
Begitu ia bangkit dan memandang ke arah Darah Prabu, ia langsung menghambur dan
memeluk Darah Prabu.
Pemuda ganteng berwajah
remaja itu diciuminya beberapa kali dalam tawa kebahagiaan.
"Kau sudah diizinkan turun gunung oleh gurumu"
Atau melarikan diri dengan kenakalanmu"!"
"Aku memang diizinkan turun gunung oleh Guru, Y u Pinang."
Pinang Sari mencubit pipi adiknya dengan gemas.
Kemudian memperkenalkan adiknya kepada Pendekar Mabuk setelah terlebih dulu
berkata. "Syukurlah kau segera muncul, Suto. Racun pada pedang si Papan Rayap itu cukup
berbahaya dan nyaris membuatku kehilangan nyawa."
"Dia memang tokoh alot tapi memualkan perut kalau dipandang terlalu lama."
"Yu Pinang, siapa orang ini" Apakah dia kekasihmu, Yu?"
Pinang Sari tersenyum malu. "Dia adalah Pendekar Mabuk; Suto Sinting, murid si
Gila T uak."
"Ooh..."!" Darah Prabu tercengang kaget. "Murid Eyang Gila T uak"!"
sambil matanya membelalak memandangi Suto Sinting.
Suto tersenyum dan berkata, "Mengapa kau memanggil guruku dengan sebutan 'Eyang'?"
"Guruku sering bercerita tentang kehebatan Eyang Gila T uak dan Eyang Bidadari
Jalang. Aku jadi kagum kepada beliau. Guruku adalah sahabat beliau. Dan aku
juga sering mendengar cerita tentang kehebatan murid Eyang Gila T uak. T ernyata
kaulah muridnya, Kang.
Sungguh tak kusangka aku bisa bertemu dengan murid Eyang Gila T uak secepat ini!
Padahal aku baru turun gurun delapan hari dan mencari kakakku; Pinang Sari ini.
Aku senang sekali bisa jumpa pendekar sakti, Yu Pinang."
Suto Sinting menyahut, "Kau pun cukup sakti, Darah Prabu. Gerakan pedangmu
sangat mengagumkan."
"Oh, aku belum ada sekuku hitamnya dibandingkan dirimu, Kang Suto!"
T ua Bangka menimpali, "Anak yang baik. Semakin tinggi ilmunya semakin menunduk.
Seperti setangkai padi, semakin berisi semakin tunduk. Kalau ingin punya ilmu
lebih dahsyat lagi, bergurulah kepada Pendekar Mabuk ini, Nak!"
"Begitukah
menurutmu, Kek?" Darah Prabu tersenyum, segera memandang Suto Sinting dan bertanya, "Apakah kau datang bersama kakekmu ini, Kang?"
"Aku bukan kakeknya Suto!" potong T ua Bangka.
"Aku... aku adalah penasihatnya Pendekar Mabuk. Ya, penasihat pribadi!"
Suto Sinting melirik dengan sedikit bersungut-sungut.
T ua Bangka tak enak hati, sehingga berkata kepada Darah Prabu,
"Maksudnya, penasihat yang jarang sehat. He, he, he...!"
T iba-tiba gadis cantik itu berkerut dahi dan berkata
pelan, "T ua Bangka, aku sepertinya pernah melihatmu sebelum ini."
"O, ya"! Di mana kau melihatku, Anak manis?"
"Entah. Aku lupa. T api aku merasa pernah melihatmu. Mungkin... mungkin dalam mimpi."
"Memang dari muda aku sering menjadi impian para gadis," kata T ua Bangka dengan
nada sombong, membuat Suto Sinting mencibir geli.
"Apakah kau kenal dengan Papan Rayap tadi, Darah Prabu"!" tanya Suto Sinting
mengalihkan pembicaraan.
"T idak. Aku tidak kenal dengan si Papan Rayap."
"T api kudengar kau tadi menyebutkan namanya."
"Ya, karena saat Yu Pinang berdebat dengan Papan Rayap, aku mendengar namanya
disebutkan oleh Yu Pinang. Aku sengaja ingin melihat kehebatan kakakku,
karenanya aku tak mau muncul dari persembunyianku di balik pohon sana tadi."
"Papan Rayap adalah orang Pantai Ajal," sahut Pinang Sari
"Pantai Ajal..."! Bukankah tempat itu adalah wilayah kekuasaan si pemakan daging
manusia; Gandapura"!"
"Memang dia salah satu dari kaki-tangan si Gandapura!" kata Pinang Sari. "Seba b itu dia ditugaskan mencari pusaka Kapak
Setan Kubur. Karena Gandapura mulai mendengar desas-desus munculnya pusaka Kapak
Setan Kubur di rimba persilatan, ia menjadi cemas, sebab Kapak Setan Kubur dapat
membuatnya tumbang, walau ia punya kesaktian yang bernama ilmu 'Mahkota
Neraka'." "Ilmu apa itu sebenarnya?" tanya T ua Bangka.
"Ilmu 'Mahkota Neraka' itu sebuah ilmu yang membuat seseorang tidak bisa mati.
Orang itu bisa mati kalau ilmu tersebut sudah dititiskan ke orang lain, atau ia
terkena pusaka Kapak Setan Kubur. Se bab itulah Gandapura menyuruh anak buahnya
melenyapkan Kapak Setan Kubur, supaya tak akan ada orang yang bisa melawannya."
T ua Bangka manggut-manggut, tapi sepertinya tidak terlalu menggapai penjelasan
tersebut, karena matanya melirik kanan-kiri dengan cemas. Sepertinya ia merasa
takut kalau-kalau Papan Rayap muncul dari belakangnya dan menyerang mereka
dengan ganas. Hanya Suto
Sinting dan Darah Prabu saja yang memperhatikan penjelasan Pinang Sari, sehingga
Suto Sinting segera ajukan tanya kepada gadis berponi indah itu.
"Bukankah dulu kau bilang padaku tidak tahu-menahu tentang Kapak Setan Kubur"
Dan kau juga bilang bahwa mendiang gurumu tak pernah menyebut-nyebutkan
pusaka itu" T api sekarang kau bisa menjelaskannya dengan lancar. Apakah sebenarnya kapak itu ada di tanganmu" Atau
masih berada dalam pondok mendiang gurumu?"
"T idak. Mendiang guruku memang tidak pernah menyinggung-nyinggung soal Kapak
Setan Kubur. Tapi ketika aku bertarung dengan Ayunda dan berhasil
melumpuhkannya, sebelum akhirnya ia kubawa ke bukit pertarungan antara Eyang
Poci Dewa dengan Ki Buyut Gerang itu, aku sempat tanyakan apa alasan Ayunda
membunuh guruku dengan racunnya. Lalu ia jelaskan tentang dua tugas dari
gurunya: Nyai Gerhani Semi, yaitu
mengacaukan tiga perguruan, termasuk perguruanku sendiri, supaya perguruannya menjadi menonjol. T ugas kedua adalah
merampas pusaka Kapak Setan Kubur dari tangan guruku. Padahal Guru tidak tahu
menahu tentang Kapak Setan Kubur, sehingga Ayunda
jengkel dan membunuh guruku. Dengan kematian guruku maka Ayunda bebas dari tugas mencari Kapak Setan Kubur."
T ua Bangka ikut-ikutan manggut-manggut setelah melihat Pendekar Mabuk menggumam
sambil manggut-manggut pula. Tapi tiba-tiba Darah Prabu berkata dengan sikapnya
yang tenang. "Sepertinya aku pernah mendengar cerita dari guruku tentang seseorang yang
tinggal di... di mana, ya" Ah, aku lupa nama tempatnya. Tapi aku masih ingat
nama orangnya."
"Siapa nama orangnya?" sergah Suto Sinting dengan rasa ingin tahu menggebu-ge
bu. Darah Prabu menjawab, "Namanya adalah Empu T apak Rengat."
Pinang Sari tampak terperanjat.
"T idak mungkin, Darah Prabu. Empu T apak Rengat tidak mungkin memiliki pusaka
Kapak Setan Kubur."
"Apa alasanmu bilang begitu?" tanya Suto Sinting.
"Karena aku kenal baik dengan Empu T apak Rengat yang tinggal di kaki Gunung
Bunting." "Nah, benar! Gunung Bunting nama tempat itu!"
sahut Darah Prabu dengan bersemangat.
"T api itu tak mungkin, Darah Prabu. Guruku sahabat dekatnya Empu T apak Rengat.
Kata Guru, sudah selama dua puluh lima tahun Empu T apak Rengat tidak mau
berurusan dengan senjata atau pusaka apa-apa lagi, yaitu sejak istrinya
meninggal akibat pusakanya sendiri yang haus darah itu: Keris Serap Getih. Jadi,
menurutku Empu T apak Rengat tidak menyimpan pusaka itu, sebab ia tidak mau
punya pusaka dan senjata apa pun. Bahkan hidupnya
cenderung menyepi dan tidak ingin mencampuri urusan duniawi lagi."
"Siapa tahu semua pusaka dan senjata diwariskan kepada muridnya?"
"Empu T apak Rengat tidak mempunyai murid," kata Pinang Sari. "Satu-satunya yang
ia miliki adalah seorang anak perempuan yang bernama: T embang Selayang."
"Mungkin dialah yang memegang pusaka Kapak Setan Kubur" sela Suto Sinting.
"Ah, kalian terlalu bodoh, dibohongi oleh cerita edan mau saja," kata T ua
Bangka sambil bersungut-sungut.
Mereka memandang T ua Bangka dengan dahi berkerut dan senyum tipis.
T ua Bangka menambahkan kata, "Dari muda sampai setua ini aku belum pernah
mendengar nama pusaka aneh seperti itu. Itu tandanya kabar tentang pusaka Kapak
Setan Kubur hanya isapan jempol; entah jempol tangan atau jempol kaki, yang
jelas itu bohong semata!"
"Matanya siapa?" sela Suto Sinting menanggapi dengan santai juga.
"Mungkin mata kalian itulah yang dibohongi!" gerutu T ua Bangka.
Darah Prabu dan Pinang Sari menjadi heran dan
menampakkan wajah keraguannya. Akhirnya Darah
Prabu berkata, "Aku perlu tanyakan kepada Guru tentang kebenaran pusaka itu. Ada atau tidak,
dan benarkah Empu T apak Rengat tidak mau memegang senjata pusaka lagi. Aku
perlu jawaban dari Guru secepatnya."
"Aku akan mendampingimu," kata Pinang Sari. "Aku juga perlu menceritakan
kematian guruku kepada Resi Badranaya, sebab kudengar kabar dari seorang tokoh
tua yang telah tiada; Resi Badranaya adalah kakak sepupu mendiang guruku."
Suto menyahut, "Kalau begitu aku akan ke Gunung Bunting untuk temui Empu T apak
Rengat. Akan kutanyakan kebenaran tentang pusaka itu juga."
"Baiklah, kita berpisah untuk sementara waktu Suto,"
kata Pinang Sari. "Sepertinya kita akan jumpa lagi dalam peristiwa Kapak Setan
Kubur ini. Kita sama-sama mencari keterangan sejelas-jelasnya."
"Kau mau ikut siapa, T ua Bangka?" tanya Suto Sinting. "Ikut Pinang Sari atau
ikut aku, atau mau pergi sendiri?"
Setelah berpikir dengan suara gumam tak jelas, T ua Bangka berkata, "Aku lebih
baik ikut kau saja, Suto.
Karena sepertinya aku butuh bantuanmu lagi."
"Soal apa itu?"
"Mencari cucuku yang hilang beberapa waktu yang
lalu." "Siapa cucumu itu, T ua Bangka?"
"Cawan Pamujan. Dia satu-satunya cucu kesayanganku yang masih hidup."
"Semuanya ada berapa cucu?"
"Ya, cuma satu. itu saja," sambil ia melangkah mendekati semak, memungut
sebatang kayu kering yang enak dipakai untuk tongkat berjalan.
Pada saat ia membungkuk, tiba-tiba seberkas kilatan cahaya pantulan matahari
berkelebat menuju ke arah punggung si T ua Bangka. Gerakan datangnya kilatan
cahaya menyilaukan itu terlihat oleh ekor mata Darah Prabu. Dengan cepat anak
remaja itu mengibaskan tangan kanannya ke samping.
Wuutt...! Slaapp...!
Tring....! T ernyata senjata rahasia seseorang yang diarahkan ke punggung T ua Bangka
dihantam telak oleh senjata rahasianya Darah Prabu. Kedua benda kecil itu jatuh
di samping T ua Bangka.
Keadaan itu membuat wajah Suto Sinting dan Pinang Sari terperanjat seketika.
Lalu kedua orang itu sama-sama memandang ke arah datangnya senjata rahasia yang
ingin menyerang T ua Bangka itu.
Sekelebat bayangan melesat di balik kerimbunan


Pendekar Mabuk 046 Kapak Setan Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pohon. Suto Sinting segera mengejarnya. Zlaapp...!
Langkahnya begitu cepat hingga mirip orang menghilang. "Siapa yang mau membunuhku?"
gumam T ua Bangka sambil memungut dua senjata rahasia yang saling menempel rekat itu. Yang
satu berbentuk seperti bunga matahari, bergerigi runcing mengkilap, yang satu
berbentuk seperti mata garpu tiga runcing, terbuat dari logam baja hitam.
"Yang ini senjataku," kata Darah Prabu sambil mengambil sekeping logam mirip
mata garpu itu.
"Yang satunya ini milik siapa?"
"Ya, milik orang yang mau membunuhmu!" kata Pinang Sari kepada T ua Bangka.
"Senjata ini mempunyai racun ganas, terlihat ujung runcingnya berwarna kebiru-
biruan," kata Darah Prabu.
"Kenapa bisa menempel menjadi satu dengan senjatamu?" tanya Pinang Sari kepada adiknya.
"Senjata rahasiaku ini terbuat dari baja sembrani.
Mampu menyedot logam lain atau menempel di logam lain."
T ua Bangka segera mengambil posisi di belakang Pinang Sari dengan rasa takut
ketika Suto Sinting menerabas ilalang dan muncul dengan memanggul
seseorang di pundaknya.
Brrukkk...! Orang itu diletakkan ke tanah seperti membanting karung. Mata mereka
memandang kepada orang yang baru saja ditangkap Pendekar Mabuk.
Suto bertanya kepada T ua Bangka. "Kau kenal dengan orang ini?"
T ua Bangka pandangi sosok lelaki muda berbadan kurus. Usianya sekitar dua puluh
lima tahun. Rambutnya pendek, mengenakan rompi hitam dan celana hitam.
"Ak... aku... aku tidak kenal dengan anak ini.
Mengapa kau tanyakan padaku, Suto" Kau pikir dia cucuku yang bernama Cawan
Pamujan"!"
"Bukan begitu, T ua Bangka. Kuhantam dia dengan jurus ' Jari Guntur'-ku, dan ia
pingsan seketika karena seranganku mengenai ulu hatinya. Orang ini yang
berkelebat lari setelah kau diserang dengan senjata rahasia."
"Mengapa kau bawa kemari"! Nanti dia malah mudah membunuhku, Bodoh!" sentak T ua
Bangka dengan kegugupannya
karena masih merasa ngeri membayangkan senjata rahasia yang nyaris merenggut nyawanya itu.
"Kupikir kau kenal dengan anak ini, sehingga perlu didesak apa alasannya
melemparkan senjata berbahaya ke punggungmu. T ernyata kau tidak mengenalnya.
Hmmm... kau kenal dia, Darah Prabu?"
Anak muda belia itu gelengkan kepala. "Aku tidak mengenalnya, Kang. Aku juga
tidak punya musuh
seperti dia."
"Bagaimana dengan kau, Pinang Sari?"
Gadis itu menggeleng samar-samar. "Aku juga tidak mengenalnya. T api bisa kita
tanyakan kalau dia sudah siuman nanti."
"Kalau begitu kubikin dia siuman sekarang juga!"
Claapp...! T iba-tiba sinar merah berkelebat menerobos pertengahan jarak berdiri antara Pinang Sari dan Darah Prabu. Sinar
sebesar lidi itu menghantam leher orang berompi hitam.
Jraab...! Taaarr...!
Letupan kecil terdengar bersamaan dengan pecahnya leher
orang tersebut. T entu saja
hal itu sangat mengejutkan mereka. Orang muda berompi hitam itu pun tak akan bangun selamanya
karena lehernya hampir putus dihantam sinar merah tadi.
"Kurang ajar!" geram Suto Sinting, ia segera melesat ke arah datangnya sinar
merah tadi. Zlaapp...!
"Pinang... jangan ikut mengejar! Nanti aku sendirian di sini!" T ua Bangka
gemetar takut. Gerakan si pemilik sinar merah itu cukup cepat, atau memang
Pendekar Mabuk salah arah dalam mengejarnya. Orang tersebut tak berhasil ditangkap oleh Pendekar Mabuk. Beberapa
saat lamanya Suto mencari orang itu ke beberapa arah, namun tetap tidak berhasil
ditemukan. "Agaknya aku sudah telanjur salah arah dalam mengejarnya. Sebaiknya aku segera
kembali menemui T ua Bangka. Barangkali kakek ompong itu punya
bayangan siapa kira-kira orang yang ingin membunuhnya itu."
Namun alangkah terkejutnya Suto begitu kembali ke tempat semula, ternyata T ua
Bangka sudah tidak ada di tempat. Pinang Sari dan Darah Prabu juga tidak ada di
tempat. Yang tinggal hanya mayat orang berompi hitam.
"Ke mana mereka perginya"!" pikir Suto Sinting sambil memandang ke sana-sini.
"Apakah orang yang kukejar tadi yang membawa pergi mereka" Oh, kalau begitu aku
tertipu oleh pancingannya"! Sial! Aku pasti
tertipu olehnya, ia sengaja memancingku agar mengejarnya dengan cara membunuh orang berompi
hitam itu. Pada saat aku tidak ada ia datang dan melumpuhkan mereka bertiga.
Lalu mereka bertiga diba wanya pergi dan...," Suto Sinting diam sebentar.
Ada kejanggalan yang ditemukan di tempat itu.
"T ak ada tanda-tanda
pertarungan"!
Setidaknya Darah Prabu atau Pinang Sari akan melakukan perlawanan jika orang itu menyerang mereka. Paling tidak bunyi ledakan tenaga
dalam beradu pasti akan kudengar. T api dari tadi aku tidak mendengar suara
ledakan apa pun. Dan tempat ini tidak menampakkan bekas terjadi pertarungan.
Mungkinkah T ua Bangka, Darah Prabu, dan Pinang Sari dilumpuhkan dalam
sekejap lalu mereka dibawa pergi" Dengan apa membawanya" Apakah orang itu tidak sendirian?"
Pendekar Mabuk meneguk tuaknya sesaat. Setelah itu diam berpikir sambil duduk di
ba wah pohon rindang.
Matanya pandangi keadaan sekeliling dengan jeli. Lalu tiba-tiba ia melihat
sekelebat bayangan jauh di seberang sana. Suto Sinting tidak mau kehilangan
jejak lagi "Pasti dialah orangnya yang tadi gagal kukejar!"
Zlaaap...! Ia bergerak dengan cepat bagaikan menghilang. Bayangan ungu itu dikejarnya dengan memotong
arah gerak bayangan. Suto Sinting bermaksud menghadang orang tersebut.
Kali ini usaha Pendekar Mabuk tidak sia-sia. Ia berhasil mencegat orang
berpakaian ungu di kaki bukit.
Orang itu pun hentikan langkah begitu melihat pemuda
tampan berdiri menghadangnya dengan sikap tenang.
"Oh, ternyata dia seorang gadis"!" gumam Suto dalam hatinya.
Gadis itu mengenakan jubah ungu, tapi pinjung
dalamnya berwarna merah tua. Celana ketatnya sebatas pertengahan betis itu juga
berwarna merah tua dari kain beludr u dihiasi manik-manik warna perak. Gadis
yang diperkirakan berusia dua puluh tiga tahun itu bertahi lalat
di sudut bibir atasnya. Kecantikannya menggetarkan hati. Hidungnya mancung dan matanya sedikit lebar namun tak bundar.
Bulu matanya lentik dan alisnya tebal namun berbentuk indah.
Ia berambut panjang dengan potongan rambut disanggul seluruhnya. Beberapa helai rambut berjuntai di kanan-kiri telinganya
yang bergiwang ungu sebesar kacang tanah.
Gadis berkulit langsat itu pandangi Suto tiada
berkedip. Bibirnya yang tak begitu mungil namun berbentuk indah menggemaskan itu
masih tetap terkatup tanpa gerak sedikit pun.
"Mau apa kau berdiri di depanku"!" hardik gadis itu dengan sikap berani.
"Kau yang membunuh orang berompi hitam itu! Aku perlu bicara padamu," kata
Pendekar Mabuk bersikap langsung menuduh.
Agaknya gadis yang menyandang pedang di punggungnya itu terdesak dengan tuduhan Pendekar Mabuk. Akhirnya ia berkata
dengan wajah kian ketus.
"Memang aku yang membunuhnya, karena urusan
pribadi yang tak bisa dicampuri orang lain."
"Boleh tahu urusan pribadimu itu?"
"Untuk apa kau tahu?"
"Karena kau telah membawa lari ketiga sahabatku itu."
"Jangan bicara seenak mulutmu! Bisa
kurobek mulutmu kalau kau menuduhku yang bukan-bukan. Aku hanya membunuh Praguli! T idak
membawa lari tiga sahabatmu itu."
Suto sedikit berkerut dahi, hatinya diliputi kebimbangan dengan pengakuan tersebut. Melihat nada bicaranya, agaknya gadis itu
bukan gadis yang takut bertanggung ja wa b terhadap segala tindakannya. Namun
Suto Sinting mencoba untuk mempelajari gadis itu melalui beberapa pertanyaan
yang diajukan. "Apa alasanmu membunuh orang yang kau sebut sebagai Praguli itu"!"
"Dia anak buahnya Branjang Kawat! Dia yang membunuh adik seperguruanku,"
jawabnya bernada tegas dan menampakkan sikap kurang bersahabat.
"Branjang Kawat..."!" Pendekar Mabuk menggumam karena merasa pernah mendengar
nama itu dari mulut T ua Bangka.
"Ya, Branjang Kawat, orang Kadipaten balungan yang suka berlagak jagoan itu!
Apakah kau sahabatnya juga"!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum kalem namun
senyuman itu memancarkan daya tarik yang sempat membuat gadis itu berdesir
hatinya. "Mengapa bukan Branjang Kawat yang kau bunuh untuk membalas dendammu itu?"
"Karena kulihat sendiri; Praguli yang menewaskan adik perguruanku sementara aku
sedang bertarung dengan Branjang Kawat."
"Apakah kau unggul melawan Branjang Kawat?"
Gadis itu tidak langsung bicara, ia diam beberapa saat dengan
mata masih tertuju tajam kepada Suto. Sementara itu pandangan mata Suto Sinting singgah sebentar di dada gadis itu,
mengagumi kemontokan dada si gadis dan membayangkan sesuatu yang menggelitik
dalam hatinya. Namun bayangan itu segera dibuang jauh-jauh oleh Suto Sinting,
karena ia tak ingin hatinya tergoda dan hanyut oleh tantangan dada gadis itu.
"Ada kalanya manusia mengalami kelengahan, ada kalanya manusia menemukan masa
kejayaannya. Sayang waktu aku melawan Branjang Kawat kelengahanku
tercuri olehnya, sehingga ia hampir saja merenggut nyawaku kalau aku tak segera
larikan diri."
"O, begitu" Jelasnya kau tak bisa unggul melawan Branjang Kawat. Begitu saja
singkatnya." Suto Sinting sengaja
bicara dengan senyum seakan mengejek kekalahan gadis itu. Yang dilakukan oleh si gadis hanya tarik napas dan segera
mengalihkan pembicaraan.
"Jelaskan apa maksudmu menghadang langkahku"!"


Pendekar Mabuk 046 Kapak Setan Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku ingin tahu namamu, Nona Cantik," jawab Suto Sinting makin berkesan
menggoda. Hati gadis itu agak jengkel dan berusaha ditahannya kuat-kuat.
"Untuk apa kau mengetahui namaku?"
"Karena aku mencurigaimu membawa lari ketiga sahabatku."
"Kecurigaanmu tidak benar!"
"Itulah sebabnya aku ingin tahu namamu karena aku ingin meminta maaf padamu,"
bujuk Suto Sinting dengan suaranya yang lembut dan punya daya pesona tersendiri.
"Namaku... Tembang Selayang."
"Ooh..."!" Suto Sinting terperanjat kaget bukan main.
Ia segera ingat kata-kata Pinang Sari tentang nama anak perempuan dari Empu T
apak Rengat. "Bukankah Pinang Sari mengatakan bahwa Empu T apak Rengat hanya punya satu anak
yang bernama T embang Selayang?" pikir Suto Sinting. "Jadi, apa hubungan gadis
ini dengan hilangnya ketiga sahabatku itu?"
* * * 4 ANGIN senja mulai berhembus ketika Pendekar
Mabuk melangkah bersama Tembang Selayang. Arah
tujuan mereka ke kaki Gunung Bunting. Mereka ingin temui Empu Tapak Rengat
karena Pendekar Mabuk
berbicara tentang pusaka Kapak Setan Kubur.
"Aku memang pernah dengar nama pusaka itu dari ayahku, tapi aku tidak pernah
diserahi pusaka tersebut,"
kata T embang Selayang. "Kata Ayah, Kapak Setan
Kubur bukan miliknya. Suatu saat seorang sahabat menitipkan kepadanya, tapi
sejak Ayah tidak mau membuat senjata lagi, tidak mau mempunyai senjata dan
pusaka apa pun lagi, pusaka itu dikembalikan kepada pemiliknya."
"Siapa pemiliknya itu?"
"Aku tidak jelas, karena Ayah tidak sebutkan nama pemilik Kapak Setan Kubur itu.
Karenanya ada baiknya kita temui ayahku saja dan kau bisa tanyakan sendiri
padanya. Aku akan bicara dengan guruku tentang
kebenaran adanya ilmu 'Mahkota Neraka' itu."
Gadis cantik itu bicara sambil sesekali pandangi wajah Suto Sinting, ia
menyimpan perasaan kagum dan menyembunyikan
getaran hati yang menggelitik keindahan dalam khayalnya. Pendekar Mabuk berlagak tidak tahu hal itu dan tetap
memusatkan perhatian ke hal pembicaraan pusaka Kapak Setan Kubur itu.
"Menurutku kau jangan pergi menemui gurumu dulu.
Bantulah aku mencari tempat tinggal ayahmu itu, kita dengar sendiri penjelasan
dari beliau. Setelah itu, barulah kau dan aku menemui gurumu."
T embang Selayang diam tak berucap kata apa pun.
Pandangan matanya dilayangkan ke arah jauh. Pendekar Mabuk pun kembali ajukan
tanya, "Apakah kau keberatan dengan usulku?"
T embang Selayang sunggingkan senyum tipis sambil gelengkan kepala.
"T idak. Aku tidak keberatan.
Hanya saja aku khawatir."
"Apa yang kau khawatirkan?"
"Aku khawatir kalau Ayah menduga aku pulang membawa calon suami."
Kini pemuda tampan murid si Gila T uak yang ganti tertawa. Tak keras tapi punya
daya tarik tersendiri.
"Menurutmu,"
Suto mengalihkan perhatian. "... pusaka Kapak Setan Kubur itu memang ada atau tidak?"
"Memang ada, karena ayahku pernah memegang dan menyimpannya."
"Hmm..., pendapatmu itu sama dengan pendapat Darah Prabu dan Pinang Sari."
"Siapa mereka itu"!"
T embang Selayang menampakkan sikap asing terhadap kedua nama tersebut. "Mereka adalah murid Nini Pucanggeni dan Resi Badranaya."
"Oh, ya! Nama Nini Pucanggeni pernah kudengar dan nama Resi Badranaya juga
pernah kudengar. Kalau tak salah mereka adalah sahabat ayahku."
"Menurut pengakuan mereka memang begitu. T api si T ua Bangka tidak percaya
kalau pusaka itu memang ada."
"Hmmm... siapa lagi si T ua Bangka itu"!"
"Bekas orang Kadipaten Balungan yang sudah dipecat dan ditangkap kembali dengan
tuduhan mau memperkosa Istri Adipati. Padahal kenyataannya tidak demikian, ia
dijatuhi hukuman mati karena dituduh mencuri pusakanya sang Adipati yang bernama
Kapak Setan Kubur!"
"Oh..."!" T embang Selayang agak bingung. "Apakah pusaka itu sudah pernah ada di
tangan sang Adipati"!"
"Menurut si T ua Bangka, sang Adipati tidak pernah punya pusaka seperti itu. T
ua Bangka yakin kalau sang Adipati hanya mengarang-ngarang cerita tentang
pusaka, pada dasarnya hanya ingin melenyapkan T ua Bangka, sebab T ua Bangka
tahu beberapa rahasia di dalam istana, termasuk jalan rahasia yang bisa tembus
sampai ke pantai."
T embang Selayang tarik napas dalam-dalam. "Agak memusingkan juga perkara pusaka
itu. Hanya ayahku yang bisa menjawabnya dengan benar. Sayang waktu itu Ayah
tidak bicara tentang ilmu 'Mahkota Neraka', sehingga aku perlu menanyakan kepada
Guru akan hal itu. Agaknya Ayah tidak tahu adanya ilmu 'Mahkota Neraka' yang
bisa bikin orang tak bisa mati itu."
"Yang kuherankan sekarang adalah, siapa orang yang menculik tiga sahabatku itu"! Apakah orang dari Kadipaten
Balungan juga, atau dari pihaknya Gandapura"
Se bab kekalahan Papan Rayap bisa membuat orang-orangnya Gandapura menjadi marah
besar dan menuntut balas atas kekalahan itu."
Langkah mereka menuju ke Gunung Bunting terhenti oleh pemandangan yang menarik
perhatian. Sesosok mayat mereka temukan tergeletak di rerumputan dalam keadaan
hangus menjadi arang. Suto Sinting berdebar-debar karena menyangka mayat yang
tak jelas bentuk dan rupanya itu adalah salah satu dari ketiga sahabatnya yang
hilang. "Jangan-jangan dia adalah Pinang Sari"!"
"Apakah kau yakin mayat ini adalah mayat seorang perempuan?"
"Hmm... sulit diyakini. Sama sekali tak bisa dikenali jenisnya; pria atau
wanita" T ak ada sisa pakaian dan rambut sedikit pun."
"Aku yakin mayat ini adalah mayat lelaki."
"Dari mana kau tahu?"
"T ak ada sisa perhiasan menempel di raga hangus ini."
Suto Sinting manggut-manggut membenarkan dugaan T embang Selayang. Mayat yang
sudah tidak berasap sedikit
pun itu benar-benar tak
ubahnya dengan seonggok arang menyerupai orang meringkuk. Sangat sukar untuk dikenali ciri-
cirinya. T ak ada senjata apa pun yang tertinggal di sekitar mayat hangus itu.
"Kalau mayat
ini Pinang Sari, pasti trisulanya
tertinggal, atau setidaknya ada bentuk arang yang menyerupai bentuk trisula.
Demikian pula jika mayat arang ini adalah Darah Prabu, pasti pedangnya akan
tertinggal membekas. Hmmm...."
"Bagaimana kalau sahabatmu yang satu itu" Siapa"
O, ya... si T ua Bangka Itu?"
"T ua Bangka..."!" Suto Sinting memegangi dagunya dengan memandangi mayat arang
Itu. "T ua Bangka tidak bersenjata apa-apa. Mungkin juga mayat ini adalah mayat
si T ua Bangka. T api... tapi apa iya T ua Bangka mati terbunuh sekejam ini"
Siapa pelakunya" Mengapa Pinang Sari dan Darah Prabu tidak membelanya"!"
"T unggu...!" tiba-tiba T embang Selayang teringat sesuatu hingga nada bicaranya
menyentak mengagetkan Pendekar Mabuk.
"Aku ingat sesuatu, tentang cerita dari ayahku yang ada hubungannya dengan
pusaka Kapak Setan Kubur itu."
"Penjelasan yang bagaimana?"
"Kapak Setan Kubur dapat untuk membakar hangus seorang lawan jika yang digunakan
adalah kesaktian sinar biru kapak tersebut. Kata Ayah, sinar biru dari kapak itu
akan membuat seorang lawan bagaikan
disergap puluhan petir sehingga dalam sekejap saja akan menjadi arang hangus
seperti mayat ini."
Suto Sinting agak menegang. "Maksudmu, kau akan mengatakan bahwa mayat ini
adalah korban dari Kapak Setan Kubur?"
"Aku tak yakin begitu, tapi aku jadi teringat cerita Ayah tentang kesaktian
kapak tersebut. Barangkali saja orang ini terkena sinar birunya Kapak Setan
Kubur. Jika ia terkena sinar merahnya kapak pusaka itu tidak akan menjadi
hangus, melainkan akan menjadi terpotong-potong sebanyak tiga puluh tiga
bagian." "Oh, jadi kapak itu bisa keluarkan dua sinar berbahaya?"
"T iga sinar," tukas T embang Selayang. "Satu lagi adalah sinar hijau dari kapak
pusaka itu, bisa membuat lawannya mati tercabik-cabik seperti dicakar puluhan
beruang ganas."
Pendekar Mabuk tertegun beberapa saat, dalam
keadaan berdiri melipat tangan di dada.
"Hati kecilku mengatakan, bahwa mayat ini bukan T ua Bangka," kata Suto Sinting
setelah merenung panjang. "Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini. Kita harus
cepat sampai ke kaki Gunung Bunting sebelum hari menjadi gelap."
"Kita akan bermalam di perjalanan," kata T embang Selayang. "T ak cukup waktu
untuk tiba di pondok ayahku hanya dalam satu malam. Kita akan melewati Desa
Panganbumi dan bermalam di sana. Aku tahu
tempat penginapan di desa itu."
Desa Panganbumi adalah sebuah desa yang sudah
cukup maju, karena letaknya hanya sehari semalam mencapai Kotaraja. Kehidupan
masyarakatnya lebih banyak yang menjadi pedagang hasil bumi ketimbang yang
menjadi petani tulen. Mereka menjual panenan hasil bumi kepada orang Kotaraja.
Bahkan belakangan ini lebih sering pedagang dari Kotaraja yang datang sendiri di
Desa Panganbumi untuk membeli hasil bumi secara
ijon; dibeli dengan harga murah sebelum waktunya panen.
Sele wat petang perjalanan mereka tiba di desa
tersebut. Sebenarnya Suto Sinting akan gunakan jurus
'Gerak Siluman' yang mempercepat langkahnya segera tiba di kaki Gunung Bunting
sebelum petang tiba.
Namun ia khawatir gadis cantik bermata tajam itu tertinggal,
atau tak mampu mengimbangi gerak cepatnya, sehingga yang akan dialami Suto bukan tiba di kaki Gunung Bunting
melainkan tersesat ke arah lain.
Memasuki desa itu, mereka disambut dengan peristiwa hiruk-pikuknya para penjudi dadu koprok.
Mereka membentuk kelompok sendiri-sendiri dengan penerangan obor. Suasananya
cukup ramai, bahkan ada suara gamelan berkumandang menghiasi irama malam.
"Ramai sekali desa ini?" gumam Suto Sinting sambil melangkah di samping T embang
Selayang. "Biasanya tak seramai ini. Berarti ada yang punya hajat sehingga suasana desa
menjadi seramai ini."
"Sepertinya dugaanmu memang benar. Ada yang punya hajat, karena kudengar ada
suara gamelan berbunyi. Pasti ada tontonan di suatu tempat."
"Kita langsung menuju penginapan saja. Di sana juga ada kedai makan. Kau bisa
mengisi bumbung tuakmu, Suto," kata T embang Selayang yang sudah mengetahui
siapa Suto Sinting sejak sebelum Suto menceritakan tentang Kapak Setan Kubur
tadi. Agaknya gadis itu sudah sering singgah di Desa
Panganbumi. Ia banyak mengetahui beberapa tempat penting, seperti penginapan,
rumah tabib, balai desa dan sebagainya.
Bahkan ia juga mempunyai beberapa
kenalan di desa tersebut. Ketika mereka masuk ke penginapan yang bagian bawahnya
digunakan untuk membuka kedai makan, seorang lelaki muda berwajah polos
menyapanya dengan ramah.
"T embang Selayang, ahai... kenapa baru muncul sekarang" Dari mana saja kau?"
"Ada yang harus kukerjakan di tempat jauh, Wiraga."
Anak muda yang berusia sekitar dua puluh tahun
Kisah Si Bangau Putih 6 Oeyse Karya Thio Tjin Boen Peri Bunga Iblis 1
^