Pencarian

Peri Bunga Iblis 1

Pendekar Hina Kelana 22 Peri Bunga Iblis Bagian 1


PERI BUNGA IBLIS Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi baru Plaza Lt. II, B52/69
Samanhudi No. 14-16, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Gambar Sampul oleh David
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau selu-
ruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit
D. Affandy Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Peri Bunga Iblis
1 Setelah sekian lama ditinggal oleh ke dua orang
tuanya, kedua pemuda itu kemudian memutuskan
untuk meninggalkan kampung halamannya yang
hampir sepanjang tahun dilanda kekeringan. Tiada tu-
juan lain dalam pengembaraan mereka itu terkecuali
mencari ibu mereka dan sekedar pengalaman untuk
bekal hidup mereka di masa-masa yang akan datang.
Enam belas tahun bukanlah waktu yang singkat, dan
selama itu pula mereka hidup dalam asuhan nenek
Kreot, yaitu salah seorang tokoh persilatan golongan
putih yang telah berumur kurang lebih enam puluh
sembilan tahun. Karena usia mereka baru berkisar li-
ma tahun ketika ditinggal oleh ibu kandungnya, maka
wajah sang ibu, bagi mereka sudah agak kabur dalam
ingatannya. Hanya dua buah kalung yang terbuat dari
tanduk menjangan merah itulah sebagai bekal untuk
mencari ibu kandung mereka.
Sungguhpun begitu, kedua pemuda ini merupa-
kan dua anak manusia yang berpribadi lugu, bahkan
selama ini orang-orang di sekeliling mereka mengenal-
nya dengan julukan Dwi Tolol. Sebuah julukan yang
tak sedap didengar, namun mereka menyukai-nya.
Demikianlah setelah mereka ini melewati beberapa de-
sa dan merambah dua buah hutan belantara. Tiga ha-
ri kemudian bekal yang mereka bawa pun sudah se-
makin me-nipis. Langkah dua pemuda pengembara itu
tampak mulai terseok-seok. Terlebih-lebih yang berja-
lan di bagian paling belakang.
"Kakang Ginuk...! Berhenti dulu ah,... badanku
sudah letih sekali...!" Pinta yang lebih muda, serta merta langsung ngedeprok di
atas semak-semak yang
mereka lalui. Pemuda yang berada di bagian paling
depan hentikan langkahnya, dengan sikap enggan pa-
lingkan kepala ke belakang.
"Kau ini selalu membuat aku kesal, adik Gin-
drung...! Kalau nggak kuat jalan, baiknya kau tak
usah ikut. Tinggal saja di gubuk reot desa kita...!" umpat kakaknya yang paling
tua. "Kakang keterlaluan! Tinggal di rumah sama sia-
pa" Nungguin kuburan nenek Kreot" Huh, aku paling
takut....!"
"Mengapa harus takut...!" kata Ginuk masih tetap berdiri. "Bukankah nenek Kreot
selama ini sangat baik pada kita....?" Yang ditanya nampak terdiam seketika
lamanya. Gindrung seperti merenungi kata-kata
yang baru saja diucapkan oleh kakaknya. Memang ka-
lau diingat-ingat, selama hidupnya, nenek Kreot selalu bersikap baik pada
mereka. Bahkan ketika umur lima
tahun mereka terlunta-lunta karena ditinggal oleh
ayah dan ibunya yang tergila-gila dalam petualangan.
Nenek Kreotlah yang mengurus mereka, membesar-
kannya, walau setiap hari mereka cuma ketemu sing-
kong. Itupun sudah sukur. Bahkan mereka malah ber-
terima kasih, karena beberapa tahun kemudian nenek
Kreot bersedia menurunkan ilmu silat 'Kurung Setra'
pada mereka berdua. Tolol-tolol begitu, mereka masih
mampu menyelesaikan jurus-jurus silat pemberian
nenek Kreot dengan sangat baik.
Tapi sebaik-baiknya nenek kreot, bukankah kini
sudah meninggal dunia. Bahkan sudah dikubur lebih
dari enam purnama yang lalu. Gindrung selamanya
paling takut pada orang yang sudah mati. Apalagi bila
melihat kuburan. Bagaimana kalau sewaktu-waktu
orang yang sudah mati itu bangkit kembali dengan so-
sok yang lain" Hhh, Gindrung benar-benar tak berani
membayangkan akibatnya.
"Apakah kau mau mungkir, kalau nenek Kreot
memang sangat baik pada kita?" ulang Ginuk, mem-
buat adiknya tersentak dari lamunannya. Lalu, den-
gan cengengesan, Gindrung membantah: "Siapa bilang nenek Kreot tidak baik! Tapi
aku takut tinggal di rumah! Apalagi kuburan nenek Kreot ada di situ...!"
"Ya, sudah kalau begitu kita jalan lagi...!" bentak kakaknya, mulai melangkah
kembali. Namun baru beberapa langkah, Gindrung sudah memanggilnya kem-
bali. "Kakaaaaang....!"
"Ah, masa bodoh! Kalau kau tetap duduk di situ,
biarkan saja sebentar lagi pasti ada macan yang akan
memakan dagingmu...!" kata Ginuk, sambil terus
memperlebar langkahnya.
"Ah... kampret juga kakangku itu, nggak mau
ngerti padahal perutku sudah sangat lapar sekali....!"
batin Gindrung. Sebentar kemudian dengan langkah
terseok-seok, pemuda berumur dua puluhan itu kem-
bali mengejar kakaknya yang sudah berada jauh di
depan sana. "Nyusul juga kau heh....! Kukira mau tetap nge-
joprok di sana...!" dengus saudaranya. Tanpa menyahuti sindiran kakaknya,
Gindrung mengeluh.
"Lapar, kang.....! Dua hari lagi berjalan terus,
dua hari lagi nggak makan, aku bisa mati kakang...!"
"Bekal sudah habis, tukang loak tak mungkin
ada di pinggiran hutan ini! Kau makan apa....?" kata Ginuk bersungut-sungut.
"Ah, celaka! Ini perut nggak bisa diajak kompro-
mi kang...!" sambil memegangi perutnya yang terasa perih dan melilit, Gandrung
menyahuti. "Bilang saja sama perutmu, masih belum ada
makanan!" kata Ginuk sekenanya. Namun beberapa
saat kemudian wajahnya berubah cerah ketika dia me-
lihat tak begitu jauh di depan mereka terdapat sebuah
ladang penduduk yang sangat luas. "Hei... lihat, di depan kita...!" Ginuk
berseru sambil menunjuk pada sebuah tempat tak begitu jauh di depan mereka.
"Mana kang....! Huh itu cuma sebuah ladang
yang nggak ada makanannya...!" sahut Gindrung se-
makin tak bersemangat.
"Goblok! Tidak kau lihatkah pohon aren yang ada
bambunya itu...?" gerutu pemuda berpakaian belang-belang itu setengah marah.
"Eee... ya... yaa aku melihatnya....!"
"Pasti ada orang yang menyadap air Nira (aren) di situ....!" ujar Ginuk dengan
mata berbinar-binar.
"Air nira untuk apa, Kang...!" tanya adiknya, tiada mengerti. Sang kakak jadi
garuk-garuk kepalanya
tanda merasa kesal dengan cara berpikir adiknya yang
dia anggap terlalu tolol, (padahal dia sendiri tidak lebih pintar dari adiknya).
"Air Nira itu untuk diminum...!" kata Ginuk, meskipun dongkol tapi dikatakannya
juga. "Rasanya bagaimana, Kakang...?"
"Rasanya....?" Ditanya rasanya, Ginuk pun geleng-gelengkan kepalanya. Karena
sebenarnya seumur
hiduppun dia memang belum pernah meminum air Ni-
ra itu rasanya bagaimana. Tapi untuk tidak membuat
kecewa adiknya, pemuda itu pun berkata: "Rasanya
Nira, mungkin bisa manis, asin... ah entahlah... kalau perlu nanti kita
curi...!" "Mencuri... mencuri itu dilarang, Kakang...!" sergah Gindrung merasa tidak
setuju. "Siapa bilang....?" tanya Ginuk dengan mata
membelalak. "Nenek Kreot pernah bilang begitu...!"
"Nenek Kreot sudah mati, dan kita sekarang la-
par...!" bantah Ginuk sambil terus melangkahkan kakinya mendekati ladang.
Tak sampai sepemakan sirih, sampailah mereka
di ladang yang sangat luas itu. Lalu Ginuk dan Gin-
drung menyapu pandang pada daerah sekitarnya.
"Aman, kang....! Nggak ada siapa-siapa....!"
"Kalau begitu, kita panjat sekarang!" kata kakaknya sambil mendekati sebatang
pohon Aren yang
paling dekat dengan mereka.
"Kau yang duluan manjat, Kang...!"
"Kau saja. Adik Gindrung,..!"
"Baiklah...!" kata Gindrung. Kemudian tiada me-nyia-nyiakan waktu lagi, pemuda
bertampang tolol itu
mulai memanjat tangga yang terbuat dari sebatang
pohon bambu yang diberi lubang di sisi kanan kirinya.
Setelah menapak tujuh anak tangga, sampailah Gin-
drung pada bumbung yang di pasang melekat pohon
aren itu dengan maksud untuk menampung air yang
menetas dari bekas goresan tangkai bunga Nira. Ter-
cium bau harum, saat mana Gindrung mulai mene-
guk, air Nira yang terdapat dalam bumbung yang telah
penuh. "Cgluuk... Cgluuuk... Cgluuuuk...!"
"Muanis... muaniiis... maniiis, Kakang....!" teriak Gindrung sambil terus
meneguknya. "Sisakan untukku, jangan kau habisi....!"
"Ya...ya... kusisakan banyak untukmu....!" Dari atas pohon Gindrung menyahuti.
"Cepat-cepatlah kau turun, Adik...!" perintah Ginuk tak sabaran. Sebenarnya saat
itu Ginuk masih
belum merasa kenyang dengan air Nira yang telah di-
minumnya. Tapi dia pun menyadari kalau saat itu,
kakak kandungnya juga sedang kelaparan. Itu sebab-
nya begitu dia mendapat aba-aba dari kakaknya, pe-
muda tolol itu pun langsung turun. Begitu Gindrung
telah berada di bawah, maka Ginuk pun ganti meman-
jat pohon aren itu. Lebih cepat lagi pemuda yang me-
rasa penasaran itu sampai ke atas. Cepat-cepat dia
melakukan hal yang sama.
"Gluuuk... Gluuuuk.... Gluuuuk!"
"Wei iya, manis adik....!" katanya sambil meneng-gak isi bumbung itu hingga
tuntas. "Aku mau manjat pohon yang satunya lagi, Ka-
kang...!" Tanpa menunggu. jawaban Ginuk, pemuda
ini langsung memanjat pohon Aren yang terletak di
sebelahnya. Hal yang sama pun dia lakukan. Demi-
kianlah hal itu terulang dan terulang lagi, hingga ak-
hirnya Dwi Tolol itu merasakan kenyang luar biasa.
"Kang... sekarang hari telah menjelang senja, ada baiknya kalau kita nginap saja
di gubuk itu."
"Iya. Aku pun jadi mengantuk sekali... baiknya
kita tidur di gubuk itu saja!", jawab Ginuk, langsung menyetujui.
Demikianlah setelah berada dalam gubuk itu dan
merebahkan tubuhnya. Tak sampai setengah jam ke-
mudian, Dwi Tolol pun telah terlelap. Bahkan mereka
tak menyadari, beberapa jam kemudian pemilik ladang
itu terpaksa harus mencak-mencak begitu mengeta-
hui bumbung yang di pasangnya sejak pagi kosong
tanpa air nira.
"Kurang ajar! Tidak biasa-biasanya, bumbung
bambu pada kosong begini. Mungkin sebangsanya
memedi kelaparan dan berkeliaran di sini...! Baiknya
tak usah kusadap hari ini. Biar keberaki saja....!" batin laki-laki pemilik
kebun itu. Selanjutnya tanpa menghiraukan keadaan sekelilingnya, laki-laki itu
membuka celananya dan langsung buang hajat. Setelah selesai,
kotoran itu dia bagi men-jadi sepuluh bagian, kemu-
dian dimasukkan-nya ke dalam sepuluh bumbung, la-
lu diisinya bumbung itu dengan air sumur yang terda-
pat di tengah-tengah ladang. Setelah itu bumbung
yang telah terisi air dan kotoran dia aduk-aduk hingga
rata. Selesai dengan pekerjaannya, pemilik ladang se-
gera pula memasang bumbung demi bumbung pada
tempatnya. Ketika hari merembang malam, pulanglah
laki-laki berbadan gemuk pendek itu dengan sesungg-
ing senyum kemenangan di bibirnya.
Keesokan paginya Gindrung yang masih merasa
penasaran dengan kelezatan air nira, begitu terjaga
langsung memanjat pohon aren yang kemarin telah
dipanjatnya. Tak ketinggalan kakaknya yang memiliki
pikiran tak lebih dari adiknya itu mengekor di bela-
kangnya. Setelah menoleh kanan kiri, maka tanpa
membuang-buang waktu lagi, Gindrung menoleh pada
Ginuk. Salah seorang Dwi Tolol itu pun nyeletuk:
"Semalam aku yang telah memanjat duluan, se-
karang giliranmu pula yang duluan!" kata Gindrung bersemangat.
"Tak jadi soal! Hari ini merupakan hari terakhir
kita menikmati nira di sini!" kata pemuda itu.
"Heuuup...!" Dengan sekali lompat, maka pekerjaan memanjat itu pun dimulai.
Sebentar kemudian
Ginuk telah sampai pada bumbung itu. Lalu tanpa ra-
gu-ragu lagi langsung meneguk isi bumbung tersebut.
"Gleeegk... gleegk... gleeek...!"
"Ha... air ini rasanya kok tidak seperti nira, ada bau pesing dan bau kotoran!"
membatin pemuda itu.
"Kakang, sisain untukku...!" sela Gindrung yang saat itu telah bersiap-siap
untuk memanjat.
"Jangan takut. Bahkan bumbung ini akan kuba-
wa turun. Tapi yang belakangan kebagian ampas...!"
kata Ginuk, sambil terus meluncur ke bawah dengan
menggendong bumbung itu. Sesampainya di bawah
Gindrung segera merampas bumbung itu, dan lang-
sung: "Gluuk... gluuuk... gluuuk...!"
"Wuaaaah... kurang ajar! Ini bukan air nira ka-
kang... tapi kotoran manusia yang bercampur air
kencing...!" teriak Gindrung marah-marah. Kemudian tanpa menghiraukan kakaknya,
pemuda itu terus berlari-lari meninggalkan kakak kandungnya.
"Adik. Tunggu, semuanya harus serba adilkan...!"


Pendekar Hina Kelana 22 Peri Bunga Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ucapnya sambil memburu adiknya.
*** 2 Dunia persilatan menjadi gempar dengan ke-
munculan seorang tokoh wanita beraliran sesat yang
memiliki julukan 'Peri Bunga Iblis'. Sudah banyak to-
koh-tokoh persilatan tingkat tinggi, tewas di tangan-
nya. Di antaranya orang-orang segolongan sendiri.
Dengan mengandalkan senjatanya yang berupa Jarum
Bunga Iblis. Tokoh sesat yang namanya cepat kesohor di ka-
langan persilatan itu mampu membunuh lawan-
lawannya, tanpa melalui pertarungan sengit.
Konon 'Peri Bunga Iblis' yang tokoh misterius itu,
memiliki kaki tangan yang sangat setia. Mereka-
mereka ini merupakan tokoh-tokoh golongan sesat
yang berhasil dibujuk dengan tipu muslihat kelicikan,
atau pun dengan melalui pertarungan yang mene-
gangkan. Kian tahun anggota 'Peri Bunga Iblis', kian
bertambah kuat bahkan telah memiliki markas besar
yang berpusat di hutan Jajaran yang selama ini di
kenal oleh kalangan persilatan sebagai daerah laran-
gan yang angker. Tak seorang pun pernah kembali da-
ri tempat itu, bahkan akhir-akhir ini banyak orang-
orang persilatan terperangkap di Hutan Jajaran. Apa
sesungguhnya yang sedang terjadi pada diri mereka,
tak seorang pun yang tahu.
Siang itu dua orang penunggang kuda nampak
memasuki Teratak, yang selama ini banyak di kenal
orang sebagai tempat yang terdekat letaknya dengan
hutan Jajaran. Suasana desa sebagaimana biasanya
kelihatan ramai, karena secara kebetulan desa Teratak
merupakan sebuah pasar tempat jual beli barang-
barang keperluan sehari. Tanpa menghiraukan orang
yang lalu lalang, kedua penunggang kuda berpakaian
cokelat dengan sebilah pedang yang menggelantung di
pinggangnya itu, terus saja menggebrak kuda-kuda
tunggangannya. Debu beterbangan ke udara, orang-
orang yang berada di sekitar tempat itu nampak gusar
dan keluarkan kata-kata bernada tak enak. Itu pun
tak mereka perduli. Nampaknya mereka saat itu se-
dang dalam keadaan terburu-buru. Beberapa saat se-
telah berlalunya dua orang itu, menyusul pula pe-
nunggang kuda lainnya yang berjumlah tak lebih dari
empat orang. Sama seperti dengan penunggang kuda
terdahulu, kali ini keempat orang penunggang kuda
itu pun nampak memacu kuda-kuda mereka dengan
kecepatan penuh.
"Kurang ajar! Penunggang kuda tak tahu adat.
Ketahuan di sini banyak orang begini rupa, masih juga
mereka memacu kuda secepat itu...!" umpat salah seorang pedagang yang barang-
barang jualannya sempat
terinjak-injak kaki kuda.
"Kau seperti tak tahu saja San! Kita ini orang kecil, jangan banyak tingkah.
Kalau dengar orang-orang
itu, bisa-bisa kepalamu menggelinding nggak ketemu
anak bini"!" kata yang lainnya, sesama pedagang.
"Ah paling-paling mereka para persilatan yang
sengaja cari mampus, begitu berani memasuki hutan
Jajaran!" sela orang pertama menunjukkan rasa ketidak senangan.
"Sudahlah itu bukan urusan kita...! Peri Bunga
Iblis tidak mengganggu penduduk daerah sini saja su-
dah seharusnya kita bersukur...!" kata kawannya,
tampak mulai sibuk melayani para pelanggannya.
Kenyataannya benar seperti apa yang dikatakan
oleh pedagang-pedagang tadi, para penunggang kuda
itu menuju hutan Jajaran tempat bermukimnya 'Peri
Bunga Iblis' dan begundal-begundalnya. Sementara
itu penunggang kuda yang berada di belakangnya, kini
sudah semakin dekat dengan dua orang penunggang
kuda yang berada di bagian paling depan. Kejar-
kejaran itu pun terus berlangsung, hingga sampai di
tikungan jalan setapak dua penunggang kuda yang
pertama pun sudah hampir tersusul. Dalam keadaan
seperti itulah tiba-tiba salah seorang dari empat pe-
nunggang di belakangnya membentak: "Kembar Kirik
Cokelat! Lebih baik batalkan niatmu untuk memasuki
hutan Jajaran! Serahkanlah Kitab Dewa Murka milik
perguruan, kami menjamin guru kita akan mengam-
puni jiwa kalian dengan hukuman yang paling rin-
gan...!" Kata yang berada di belakang. Tak terdengar suara jawaban apa pun,
terkecuali suara mendengus
yang menandakan bahwa penunggang kuda yang be-
rada di bagian paling depan meremehkan perintah
orang yang berada di belakang mereka.
"Tak ada gunanya kita memperingati mereka...!"
Gumam kawannya, kemudian tanpa membuang waktu
lagi, orang yang berada di belakang penunggang kuda
pertama tampak mencabut empat buah pisau yang
terselip di bagian pinggangnya. Dalam keadaan kuda
berlari sangat cepat, orang bertampang keren itu sam-
bitkan empat buah pisaunya mengarah pada bagian
kaki kuda yang berada di depannya. Dengan sekali
sambit: "Ziiiiing.....!" Laksana kilat keempat pisau yang di
sambitkan oleh laki-laki bertampang keren itu meng-
hantam kaki kuda.
"Jeb....! Jeeeeb....!" Dua ekor kuda tunggangan meringkik keras, ketika pisau
itu mengenai bagian ka-ki kuda bernasib sial ini. Tanpa ampun kuda-kuda itu
ambruk dan melemparkan kedua orang penunggang-
nya ke udara. Karena mereka berdua memiliki ilmu
meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf lu-
mayan. Maka dengan berjumpalitan beberapa kali,
mereka ini mampu menjejakkan kakinya dengan baik
di atas permukaan tanah berbatu. Serentak dengan
kejadian itu, maka keempat penunggang kuda yang
terdiri dari tiga laki-laki dan seorang gadis yang masih muda remaja itu
melompat dari punggung kuda masing-masing. Begitu lincah gerakan tubuh mereka
ini, hingga dalam waktu sekedipan mata saja mereka telah
mengurung rapat dua penunggang kuda berpakaian
cokelat. "Bangsat! Kalian benar-benar sangat keterlaluan
sekali. Membuat malu perguruan bahkan tak pernah
memandang nama besar guru, Darah Swanda...!" maki si wajah keren sambil meludah
ke tanah beberapa
kali. Dua laki-laki berpakaian cokelat yang selama ini di kenal sebagai 'Kembar
Kirik Cokelat' nampaknya
merasa menang dengan pelarian itu. Bahkan sorot
mata mereka nampak memandang remeh pada empat
orang penyusulnya. Salah seorang dari dua Kirik Co-
kelat ini maju dua tindak. Kemudian dengan penuh
kesombongan laki-laki muka anjing ini mencemooh.
"Heh.... Kitab Cakar Buana telah berhasil kami
dapatkan! Tak ada salahnya kalau kami meninggalkan
Perguruan Sangga Buana. Lalu apa-apaan kalian me-
nyusul kami....?"
"Mungkin mereka sengaja mencari mati, Ka-
kang...!" kata salah seorang yang berbadan semampai.
"Keparaat! Kalian benar-benar murid murtad! Pa-
ra Dewa pasti akan mengutuki segala tindakan kalian
yang sangat tidak terpuji itu...!" kata si Wajah Keren berusaha meredakan
emosinya yang terasa mulai me-muncak.
"Hiee... he... he....! Pulanglah, Nak! Tak ada gunanya kalian melawan kami.
Sebentar lagi pemimpin
besar seluruh kaum persilatan akan menemui kami.
Beliau paling tidak senang melihat ada orang yang ti-
dak dikenalnya bebas bergerak di daerah kekuasaan-
nya. Demi mengingat hubungan baik di antara kita se-
lama ini. Kurasa peringatan kami ini sudah cukup se-
bagai imbalan buat Kitab Cakar Buana yang kami ba-
wa ini!" kata Kembar Kirik Cokelat dengan penuh kemenangan.
"Keparaaaaat, murid iblis! Kiranya kalian telah
bersekutu dengan betina sesat yang menjadi penguasa
di Jajaran ini...?" maki gadis berpakaian putih yang turut menyertai ketiga
rombongan itu. "He... he... he....! Untuk sesuatu yang mendapat
imbalan sangat besar.. Rasa-rasanya tak ada salahnya
andai kami melakukannya. Pula guru Darah Swanda
yang rada pikun itu sejak dulu-dulu sudah tidak se-
nang dengan kami."
"Sekali lagi, kuperingatkan pada kalian, cepat-
cepatlah tinggalkan tempat ini sebelum Penguasa Ja-
jaran membunuh kalian semua....!" sentak Kembar Kirik Cokelat dengan nada
mengancam. "Kurang ajar! Kalian benar-benar menjadi seo-
rang penghianat yang sangat keji! Heh... jangan sekali-kali bermimpi dapat lolos
dari tangan kami....!" bentak si wajah keren sambil mengedipkan mata pada kawan-
kawannya untuk menjaga segala kemungkinan.
"Sedari tadi kerjamu hanya ngebacot saja, Abi
Lawa....! Kalau kalian merasa mampu merebut kitab
Cakar Buana mengapa tidak kalian lakukan....?"
"Sial dangkal! Kembar Kirik Cokelat murid kepa-
raat! Lihat serangan....!" teriak Abi Lawa. Serta merta laki-laki berwajah keren
ini melompat ke depan, lalu
hantamkan tinju kanannya di sertai dengan sapuan
kaki mengarah bagian perut kembar Kirik Cokelat.
Dua manusia kembar berkepala anjing itu tentu me-
nyadari bahwa pukulan yang dilakukan oleh Abi Lawa
bukanlah sembarangan pukulan. Mereka mengenal
pukulan itu sebagai pukulan 'Si Langlang Buana"
tingkatan kesepuluh. Gebrakan pertama yang dilaku-
kan oleh Abi Lawa ini saja menandakan bahwa murid
dari perguruan Sangga Buana ini benar-benar meng-
hendaki nyawa mereka. Sambaran angin yang sangat
keras menderu dan membuat sesak dada si kembar
ini. Menyadari jiwanya dalam keadaan terancam, ma-
ka dengan mempergunakan jurus yang sama, kedua
orang ini langsung membanting tubuhnya ke samping
kiri. Selanjutnya berguling-guling menghindar. Namun
dari arah lain, menyambut pula serangan yang sama.
Maka tak ayal lagi dalam waktu sekejapan saja dua
orang ini langsung menjadi keteter. Apalagi mengingat
dalam tingkatan murid-murid Sangga Buana, kedua
orang ini masih memiliki kepandaian di bawah Abi
Lawa. "Hiaaaat.....!"
"Wuuuuus.....!" Gadis berwajah cantik yang bernama Andini hantamkan pukulan
tangannya ke ba-
gian punggung Kembar Kirik Cokelat. Pada saat itu
Kembar Kirik Cokelat yang sedang menghadapi seran-
gan Abi Lawa, Basra dan Jatra, tampaknya sudah tak
sempat menghindari dua sodokan beruntun yang dila-
kukan oleh Andini. Maka: "Buuuuuk.....!"
"Wuuuuah......! Gusraaak....!" Salah seorang dari kembar Kirik Cokelat
terjerembab ke depan, wajahnya
mencium tanah tanpa ampun. Namun tanpa menghi-
raukan rasa sakit yang mendera punggungnya, manu-
sia berkepala anjing ini cepat bangkit kembali. Kemu-
dian tanpa merasa sungkan-sungkan lagi, mereka
langsung cabut senjatanya yang berupa palu yang ter-
buat dari batu hitam. Dengan adanya senjata aneh di
tangan mereka ini, sudah tentu keempat murid Pergu-
ruan Sangga Buana yang ditugaskan untuk mengam-
bil Kitab Cakar Buana yang tengah dilarikan oleh ke-
dua murid murtad itu merasa terkejut sekali. Sebab
selama ini mereka ketahui bahwa Kembar Kirik Coke-
lat tidak memiliki senjata jenis apa pun terkecuali sebilah pedang pendek yang
sewaktu-waktu dapat di
pergunakan sebagai senjata rahasia.
"Keparat....! Benar-benar manusia iblis yang te-
lah merencanakan maksud-maksud terkutuk dengan
menyamar sebagai murid Sangga Buana." maki Jatra
nampak sangat marah sekali. Kembar Kirik Rogo
hanya diam saja, sebaliknya sebagai jawabannya, sen-
jata palu yang berada dalam genggaman mereka men-
deru. "Nguuuuung....!" Empat orang murid Sangga Buana jadi terkesiap manakala
merasakan adanya sam-
baran angin dingin menerpa wajah mereka. Tapi me-
reka juga bukanlah murid-murid kemarin sore, kalau
hanya menghadapi senjata yang berbau aneh ini men-
jadi keder. Walaupun mereka belum mengetahui se-
jauh mana kehebatan senjata di tangan lawannya,
namun Kembar Kirik Cokelat masih merupakan mu-
rid-murid yang berada di bawah tingkatannya.
"Wuuuuus!"
"Arggkh.......!" Salah seorang dari keempat orang itu menjerit tertahan saat
mana tangan kanannya
yang bermaksud menyarangkan satu pukulan ke ba-
gian perut lawan terhantam palu yang memiliki sisi
pipih dan tajam itu. Dengan cepat sekali luka yang
mengalirkan darah itu berubah menghitam. Sadarlah
Basra kalau senjata di tangan lawannya mengandung
racun yang sangat keji. Semua apa yang dialami oleh
Basra rupanya tak luput dari perhatian Abi Lawa, ke-
tika Basra menyeringai menahan rasa sakit, keadaan
itu sudah cukup bagi murid kedua Perguruan Sangga
Buana untuk mengerti bahwa senjata Kembar Kirik
Cokelat benar-benar sangat berbahaya. Serta merta
kemarahannya pun sudah tak mampu dia bendung
lagi. Mulai saat itu dia mulai berpikir-pikir untuk
mempergunakan pisau terbangnya. Namun dalam
keadaan melakukan keroyokan seperti itu, tampaknya
sangat tidak memungkinkan bagi dia untuk melaku-
kannya. Salah, salah bisa nyasar menghantam ka-
wannya sendiri.
"Kawan-kawan! Minggir kalian semuanya....!" teriak Abi Lawa memberi perintah
pada adik-adik seper-
guruannya. "Bet! Bet....!" Tiga orang lainnya serentak ber-lompatan menjauh. Tak banyak
yang bisa mereka la-


Pendekar Hina Kelana 22 Peri Bunga Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kukan terkecuali menjaga setiap kemungkinan. Dalam
pada itu, Abi Lawa berseru lantang:
"Sungguh pun kalian mempergunakan senjata
milik para iblis! Ingin kulihat sampai di mana keheba-
tan kalian...! Maka bersiap-siaplah, heaaaaa.......!"
Tanpa ampun lagi pertarungan antara hidup dan mati
berlangsung sengit. Kini Abi Lawa tanpa merasa sung-
kan-sungkan lagi segera cabut beberapa buah pisau
yang terselip di pinggangnya. Dengan mempergunakan
jurus 'Kilat Buana Membelah Gunung', tubuh Abi La-
wa sekejap kemudian telah pula berkelebat lenyap.
Hanya sambaran angin bersiuran saja yang menanda-
kan Abi Lawa saat itu telah bersiap-siap melepaskan
senjata rahasianya.
3 Kembar Kirik Cokelat tentu menyadari adanya
bahaya ini, sejurus kemudian mereka putar senjata
palunya membentuk sebuah perisai diri. Selanjutnya
tubuh Kembar Kirik Cokelat telah pula terbungkus gu-
lungan sinar berwarna hitam. Perobahan yang sangat
mendadak ini membuat Abi Lawa kehilangan kesem-
patan untuk menyambitkan pisaunya. Kenyataannya
memang pertahanan yang di bentuk oleh Kembar Kirik
Cokelat selain sangat rapi, juga terlalu sulit untuk di-tembus. Tapi bukan Abi
Lawa orangnya kalau hanya
dalam menghadapi keadaan seperti itu saja dia lantas
menyerah. Detik selanjutnya Abi Lawa mulai bersiap-
siap kirimkan satu pukulan yang dinamakan 'Dewa
Menyabit Rum-put'. Tubuh laki-laki berpenampilan
rapi ini nampak menggeletar beberapa saat lamanya
ketika dia berusaha menghimpun tenaga sakti ke arah
bagian tangannya.
"Hiaaa.....!" Dengan disertai jeritan tinggi melengking, tubuh Abi Lawa bersalto
ke udara, begitu tu-
buhnya menukik ke bawah, dua pukulan beruntun dia
lepaskan. Diikuti sambitan senjata rahasianya yang
berupa beberapa buah pisau.
"Wuuuus.....Wuuuuuss......!"
"Ziiiiing.....!" Tanpa ampun lagi pukulan 'Dewa Menyabit Rumput' membobolkan
pertahanan si Kembar Kirik Cokelat.
"Blaaak.....!"
"Wuaaaaeee......!" Kedua orang itu langsung terjengkang tubuhnya, sebelum mereka
sempat berbuat sesuatu. Senjata rahasia yang disambitkan oleh Abi
Lawa nyaris menghantam tubuh mereka. Namun si
Kembar Kirik Cokelat kiranya dua ekor manusia ber-
kepala anjing yang memiliki penglihatan yang sangat
jeli. Begitu mereka melihat beberapa benda berwarna
putih meluruk ke arah mereka. Maka tanpa ampun la-
gi keduanya hantamkan senjatanya ke arah benda-
benda itu. "Ting....! Tanggg........! Traaaang....!"
"Arggghk.....!" Walaupun beberapa senjata rahasia itu dapat diruntuhkan dengan
putaran senjata di
tangan mereka, tak urung dua di antaranya sempat
menghantam bagian bahu kiri dua orang kembar ber-
kepala anjing tadi.
Begitu pun tampaknya daya tahan tubuh si
Kembar hebat luar biasa. Walaupun darah sudah ter-
lalu banyak yang mengalir ke luar dan bahkan pisau
yang disambitkan oleh Abi Lawa menghunjam bagian
bahu kirinya sampai begitu dalam, namun tetap saja
mereka melakukan perlawanan sengit. Melihat kene-
katan yang dilakukan oleh Kembar Kirik Cokelat, se-
bagaimana pesan guru mereka Darah Swanda. Abi
Lawa telah bersiap-siap pula untuk menghabisi ri-
wayat dua manusia kembar bersaudara ini.
"Shaaaaa.....!" Luka-luka di bahu mereka membuat kembar itu marah, lalu lebih
nekad lagi mereka
bergerak mendahului melakukan serangan. Dengan
Palu terayun mengancam bagian kepala Abi Lawa,
manusia kembar berkepala anjing ini juga melakukan
satu tendangan dengan mempergunakan kaki kirinya.
Sementara dari bagian belakang, kembar yang satunya
juga sedang melakukan hal yang sama seperti apa
yang dilakukan oleh saudaranya. Menyadari saudara
seperguruannya terancam bahaya, sudah barang ten-
tu, Andini, Basra dan Jatra tidak tinggal diam. Di luar dugaan Abi Lawa
hantamkan beberapa buah pisau
menyongsong ke tangan tubuh mereka.
"Siiiiing......!" Kembar kepala anjing terpaksa me-
narik balik serangan mereka, dan cepat-cepat mem-
banting tubuhnya ke samping saat senjata yang dis-
ambitkan oleh Abi Lawa secara cepat hampir mengha-
jar tubuhnya. "Kurang ajar....!" maki Kembar Kirik Cokelat.
"Zaaaass.....!" Tiga senjata rahasia dari tujuh yang disambitkan oleh Abi Lawa,
kembali menghantam mereka berdua. Kali ini nampaknya Kembar Kirik
Cokelat tak memiliki daya apa-apa setelah bagian kaki
kanannya terhunjam senjata rahasia yang mengan-
dung hawa panas luar biasa itu. Setelah terhantam
senjata-senjata itu Kembar Kirik Cokelat hanya mam-
pu mengerang dan beringsut-ingsut menjauh. Abi La-
wa dan tiga orang lainnya tersenyum penuh kemenan-
gan. Setindak demi setindak mereka mendekati si
Kembar Kirik Cokelat. Pucat wajah dalam bentuk so-
sok anjing itu. Bagaimana pun dalam keadaan seperti
itu mereka merasa tidak memiliki kekuatan apa-apa
untuk melakukan perlawanan.
"Badan manusia, kepala anjing....!" bentak Abi Lawa. "Kau serahkan kitab 'Cakar
Buana', atau kalian lebih memilih untuk mati...?" ancamnya pula. Bukannya
menjadi takut, si kembar malah mendengus den-
gan suara hampir tak jelas. Kemudian salah seorang
di antara mereka menjawab: "Cakar Buana jauh-jauh kami bawa dari perguruan
kalian semata-mata hanya
akan kami persembahkan pada junjungan ketua persi-
latan di seluruh jagat ini." kata Kembar Kirik Cokelat menyeringai. "Ya... hanya
ketua 'Peri Bunga Iblis' sajalah yang pantas memiliki kitab Cakar Buana yang he-
bat ini. Sungguh pun kalian mampu mencincang tu-
buh kami, tidak nanti kami serahkan kitab yang telah
kami curi itu pada kalian....!"
Bukan main marahnya keempat orang murid se-
tia perguruan Sangga Buana ini. Nampaknya mereka
tak memiliki pilihan lain lagi, terkecuali membunuh-
nya. Maka setelah saling berpandangan sesama bebe-
rapa saat lamanya, kini tanpa membuang-buang wak-
tu lagi. Andini yang sudah sejak tadi merasa muak
melihat tampang si Kembar Kirik Cokelat langsung
membentak. "Kepada manusia yang tidak tahu membalas gu-
na seperti kalian ini. Maka jalan yang paling baik bagi kalian adalah
mampus....!"
"Sriiiiiing....!"
"Ciaaaaaat......!" Setelah mencabut senjatanya yang berupa sebilah pedang tipis,
gadis berwajah ayu
ini langsung menerjang si Kembar Kirik Cokelat den-
gan satu tujuan, yaitu ingin memenggal kepalanya.
Namun pada saat tubuhnya melayang di udara seperti
itu, dari berbagai arah tampak melesat berbagai jenis
senjata rahasia. Jatra yang memang sejak awal-awal
selalu memperhatikan keadaan sekelilingnya, segera
mengetahui adanya bahaya yang mengancam adik se-
perguruannya. "Adik Andini... awaaas......!" teriak Jatra memberi peringatan. Andini menyadari
arti peringatan itu, bahkan gadis itu merasakan adanya sambaran angin yang
sangat keras dari berbagai penjuru. Pedang yang mu-
lanya dia pergunakan untuk menebas batang leher si
Kembar Kirik Cokelat, kini dia putar untuk melindungi
tubuh dari serangan senjata rahasia. Saat yang sama
Jatra yang selama ini terlalu memberi perhatian berle-
bih pada Andini, sudah datang membantu dengan gu-
lungan sinar pedang di tangannya.
"Weeeees! Weees.....!"
"Traaaaaang....! Traaaang....!" tanpa diduga-duga satu jeritan keras terdengar.
Kemudian disertai berde-bumnya sosok tubuh Jatra.
"Jatra.....?"
"Kakang Jatra....!" pekik Andini berusaha memburu tubuh Jatra yang terkulai
tewas dengan paku
bunga iblis menancap di beberapa bagian punggung-
nya. "Pengecut.....!" teriak Abi Lawa sambil mengitar-kan pandangan matanya ke
arah sekelilingnya. Saat
itu si Kembar Kirik Cokelat nampaknya mulai menya-
dari datangnya pertolongan buat dirinya. Sedikit ba-
nyaknya mereka menjadi lega, karena merasa terbebas
dari kematian. Begitu pun tak banyak yang dapat me-
reka lakukan terkecuali memandangi pihak Abi Lawa
yang terus-menerus mengelakkan senjata-senjata ra-
hasia yang datangnya tiada mengenal henti itu.
"Andini, Basra... cepat-cepat kalian tinggalkan
tempat ini! Iblis-iblis itu telah keluar dari sarang-
nya....!" Teriak Abi Lawa sambil berusaha menyam-
bitkan senjata pisaunya untuk menyerang mereka
yang bersembunyi di atas pohon-pohon yang berada di
sekitar tempat itu.
"Arrggkh....!" Beberapa orang yang berada di atas pohon keluarkan teriakan
kesakitan diiringi berjatu-hannya beberapa sosok tubuh. Namun dari pihak pe-
nyerang gelap juga tampaknya semakin bertambah
gencar saja dalam melakukan serangannya yang beru-
pa senjata Paku Bunga Iblis. Menghadapi serangan
yang datangnya bertubi-tubi itu, semakin bertambah
kerepotan sajalah, Abi Lawa, Basra dan Andini.
"Andini, Basra.....! Cepat tinggalkan tempat
ini......!" ulang Abi Lawa di sela-sela kesibukannya memutar pedang melindungi
diri dan adik seperguruannya.
"Bagaimana dengan Kitab Cakar Buana, ka-
kang.....!?" tanya Basra merasa cemas.
"Baiknya kalian beri laporan pada guru Darah
Swanda bahwa dua kembar berkepala anjing ini ter-
nyata murid kesasar yang telah bersekutu dengan
penguasa sesat di Jajaran ini....!"
"Tap... tapi.... engkau sendiri bagaimana, Ka-
kang....?" tanya Andini merasa tak sampai hati untuk meninggalkan kakak
seperguruannya yang paling tua.
"Jangan hiraukan aku, cepat tinggalkan aku!
Cepat... ku lindungi kalian....!" teriak Abi Lawa.
"Kakang, lebih baik kita hadapi mereka bersama-
sama....!" kata Basra, tahu-tahu telah berada di samping Abi Lawa sambil memutar
pedangnya, dengan se-
bat sekali. "Tolol, siapa yang akan memberi laporan pada
guru andai kita semua tewas di sini...?" kata Abi Lawa nampak gusar. Tampaknya
kali ini tiada pilihan lain
lagi bagi Basra dan Andini terkecuali menuruti apa
yang dikatakan oleh saudara seperguruannya.
"Cepat, aku melindungi kalian...!"
"Hiaaaat.... Trang... Traaaang.... Traaaang.....!"
Beberapa senjata rahasia yang disambitkan oleh
pihak penyerang gelap berpentalan ke berbagai arah
saat membentur pedang di tangan Abi Lawa. Dari ben-
turan senjata gelap dengan pedang di tangannya. Abi
Lawa sudah dapat merasakan bahwa dia kalah bebe-
rapa tingkat dalam hal tenaga dalam.
Sementara itu Andini dan Basra dengan pera-
saan tak tega sudah mulai bergerak meninggalkan
tempat itu. Namun semuanya tak dapat berjalan mu-
lus, barulah setelah melalui beberapa gebrakan, Basra
dan Andini dapat membebaskan diri dari ancaman
maut itu. Belum sampai dua puluh tombak mereka
meninggalkan Abi lawa seorang diri. Mendadak ter-
dengar suara teriakan yang begitu keras.
"Arrggkhhhh.......!" Basra merasa tak tega, lalu menoleh ke belakang. Dia jadi
terpana begitu melihat
apa yang terjadi atas Abi Lawa.
"Kakang Abi Lawa roboh" Mudah-mudah-an aku
dapat menolongnya!" batin Basra.
"Adik Andini, kau teruskan dan tinggalkan tem-
pat ini! Biarkan aku menolong kakang Abi Lawa....!"
teriak Basra, lalu berbalik langkah.
"Berbahaya, Kakang.....!" kata Andini
memberi peringatan. Namun dia tetap berlari cepat
meninggalkan tempat itu. Tiada terdengar jawaban
Basra, karena saat itu dia sudah harus bertahan mati-
matian untuk menyelamatkan diri Abi Lawa maupun
dirinya sendiri.
"Ziiiiing! Ziiiiing!" Serangkum senjata rahasia yang berwarna kekuning-kuningan
yang selama ini dikenal oleh kalangan persilatan sebagai Paku Bunga Ib-
lis menderu ke arah Basra.
"Jeb... Jeb.....!" Dengan telak senjata-senjata rahasia itu menghajar tubuh
Basra, sungguh pun sebe-
lumnya dia telah memutar pedang dengan segenap
kemampuan yang dimilikinya. Tetap saja tubuhnya
terjungkal menyusul Abi Lawa yang telah tewas bebe-
rapa saat setelah terhantam senjata yang sama. Sesaat
setelah kematian Abi Lawa dan Basra, beberapa orang
penyerang gelap itu nampak berloncatan turun dari
tempat persembunyiannya, tanpa basa basi lagi orang-
orang itu langsung menyambar tubuh si Kembar Kirik
Cokelat. Lalu membawanya pergi dengan sangat terge-
sa-gesa. *** 4 Begitu banyak warung yang masih buka di se-
panjang pinggiran kota yang dilalui oleh pemuda ber-
kuncir ini. Padahal saat itu malam telah menunjukkan
pukul tiga dini hari. Di warung-warung pinggiran jalan itu, sering terlihat para
penduduk bergerombol di sa-na. Bahkan di jalan yang dilalui oleh pemuda tampan
berpakaian merah dan kumuh itu. Dalam hati dia me-
rasa heran juga begitu melihat orang-orang yang pada
bergerombol ini, sedemikian banyaknya. Tetapi pemu-
da berperiuk yang sudah tak asing lagi bagi kita ini


Pendekar Hina Kelana 22 Peri Bunga Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi lebih terperanjat lagi saat mendengar suara
tangis dari setiap rumah yang terbuka bagian pin-
tunya. Akhirnya rasa keingintahuan membuat Buang
Sengketa menghampiri orang-orang yang sedang ber-
gerombol di pinggiran jalan yang dia lalui.
"Bapak.... apakah yang terjadi di tempat ini.....?"
tanya Pendekar Hina Kelana dengan sikap menghor-
mat. Tak ada jawaban apa-apa, orang yang ditanya
bergeming pun tidak! Mengapa orang-orang di sini pa-
da acuh semuanya" Sudah dua kali aku berusaha
menanyai orang-orang itu, tapi tetap saja mereka tak
mau bicara..." batin Buang Sengketa. Tapi ketika pe-
muda itu benar-benar meneliti, maka tahulah pemuda
keturunan Raja Ular Piton Utara itu, bahwa sebenar-
nya orang-orang yang berada di pinggiran jalan atau
pun yang berada di dalam warung itu dalam keadaan
tertotok urat bicaranya. "Apa yang telah terjadi di sini, ada baiknya kalau aku
bertanya pada salah seorang
dari mereka ini." batinnya lagi. Dengan agak tergesa-gesa Pendekar Hina Kelana
mendekati salah seorang
di antara mereka. Kemudian setelah memijit-mijit ja-
lan darah di bagian-bagian tertentu, maka orang itu
pun langsung bicara dengan suara terbata-bata.
"Cel... celaka... orang-orang itu selain merampok juga memperkosa anak istri
orang sini! Tu... tuan, to-longlah kami! Orang-orang itu memiliki kepandaian
yang sangat tinggi. Tolonglah selamatkan mereka,
Tuan....!" kata orang itu menghiba.
"Berapa banyakkah mereka semuanya....?" tanya Buang Sengketa mencoba mencari
kepastian. "Banyak! Bahkan sangat banyak sekali....!"
"Kenalkah bapak siapa mereka itu....?" tanya Buang Sengketa sambil memandang ke
arah rumah-rumah penduduk yang terbuka pintunya.
"Mereka menamakan dirinya dengan sebutan
'Peri Bunga Iblis', Tuan....!" jawab laki-laki itu dengan wajah ketakutan.
Setelah mendengar keterangan dari laki-laki tadi,
Buang Sengketa terus melesat pergi. Dalam kegelapan
malam seperti itu siapa pun tak dapat melihat kalau
kecepatan bergerak pemuda itu hebat sekali. Dalam
waktu sekejap saja pemuda itu telah sampai di sebuah
rumah, tanpa basa basi langsung saja mendobrak.
Pemuda berkuncir itu menjadi marah bercampur
malu ketika melihat pemilik rumah dalam keadaan te-
lanjang dan dipaksa melayani nafsu binatang para pe-
rampok-perampok yang mengaku sebagai anggota 'Peri
Bunga Iblis'. Melihat kehadiran Buang Sengketa, tentu
para perampok sekaligus pemerkosa itu menjadi terpe-
ranjat kaget. Namun sebelum mereka sempat bertin-
dak apa-apa, laksana kilat tubuh Buang Sengketa te-
lah berkelebat. Dan tahu-tahu telah mencengkeram
kaki maupun tangan mereka dengan sangat kasar se-
kali. Sekali saja Pendekar Hina Kelana mengerahkan
tenaga dalamnya, maka tubuh kedua orang itu lang-
sung melayang menghantam dinding yang terbuat dari
papan, dinding itu langsung bobol. Tubuh kedua
orang perampok dan pemerkosa itu terus melayang
dan terkapar setelah menabrak pohon kelapa yang ter-
letak di samping rumah.
"Tolooooooong....!" Terdengar suara teriakan yang sama dari dalam rumah yang
terletak di sebelahnya.
"Keparaaat... terbukti mereka tidak hanya bebe-
rapa orang saja....!" Maki si pemuda sambil berkelebat mengejar ke arah rumah
yang terletak di sebelahnya
itu. Hanya beberapa saat kemudian Buang Sengketa
pun telah sampai di dalam rumah yang terletak di se-
belah rumah pertama. Namun kali ini bukan perko-
saan yang sedang terjadi. Namun pertarungan sengit
antara seorang gadis melawan tiga orang laki-laki ber-
tampang kasar. Dilihatnya gadis berpakaian hijau lumut dengan
senjatanya yang berupa, sebilah pedang tipis tampak
sedang berusaha mati-matian mempertahankan diri
dari gempuran pihak lawan yang bersenjatakan Arit
yang berbentuk melengkung seperti bulan Sabit. Nam-
paknya pertarungan itu baru saja terjadi, tetap bagi
pemuda itu sudah cukup mengerti bahwa sebenarnya
gadis berpakaian hijau lumut itu sudah sejak-sejak
tadi telah jatuh di bawah angin. Walaupun Buang
Sengketa masih belum mengetahui siapakah gadis
yang sedang menghadapi keroyokan itu, namun ak-
hirnya dia memutuskan untuk membantu gadis ber-
pakaian hijau lumut itu.
Sekali saja tubuhnya berkelebat, maka detik se-
lanjutnya terdengar suara memekik tertahan. Tiga la-
ki-laki bertampang kasar yang sedang melakukan
pengeroyokan nampak terjengkang tubuhnya meng-
hantam dinding rumah yang terbuat dari belahan
bambu. Namun secepatnya mereka bangkit kembali.
Sesaat setelah meneliti pemuda yang telah menggagal-
kan usaha mereka dalam meringkus gadis berpakaian
hijau lumut itu. Maka secara serentak dengan senjata
terhunus mereka menerjang Buang Sengketa. Dengan
ketenangan yang sangat luar biasa, pemuda itu me-
layaninya dengan jurus 'Membendung Gelombang Me-
nimba Samudra'. Dalam pada itu, di luar sepengeta-
huan Buang Sengketa maupun gadis berpakaian hijau
lumut itu. Di luar rumah itu beberapa orang konco-
konco dari tiga orang yang sedang melakukan perta-
rungan tampak sedang melakukan pembakaran atas
rumah-rumah penduduk yang berada di sekitar tem-
pat tersebut. Tak terkecuali rumah yang sedang dija-
dikan ajang pertarungan oleh Buang Sengketa dan la-
wannya. "Tuan... rumah ini telah terbakar...!" teriak gadis berpakaian hijau lumut itu
ketika melihat api mulai
berkobar di sana sini. Sekejap Pendekar Hina Kelana
menoleh dan memperhatikan segala sesuatunya yang
sedang terjadi. Ternyata memang benar apa yang dika-
takan oleh gadis itu, kepengecutan pihak lawan dan
perlakuan sewenang-wenang membuat pendekar itu
menjadi marah sekali.
"Jahanam....! Hiaaaat....!" Sambil menyambar tubuh gadis berpakaian hijau lumut,
pemuda itu lepaskan pukulan 'Empat Anasir Kehidupan'. Detik itu
juga serangkum gelombang sinar berwarna Ultra Violet
menderu dahsyat menghantam ke arah lawan-lawan-
nya. Sebagai orang yang sudah sangat terlatih dalam
berbagai pertempuran, sudah barang tentu mereka
bertiga menyadari adanya bahaya yang mengancam
diri mereka. Itulah sebabnya dengan sangat cepat me-
reka memutar arit yang berada dalam genggaman me-
reka. Sementara itu api telah menjadi semakin mem-
besar. Tanpa ampun tubuh tiga orang bertampang ka-
sar itu pun terhantam pukulan yang telah dilepas oleh
Pendekar Hina Kelana.
"Blaaar.....!"
"Buuuuumm....!" Satu ledakan yang sangat keras menyertai runtuhnya rumah yang
terbakar itu. Api
dengan sangat cepat telah pula membesar. Tanpa
sempat keluar lagi dari kobaran api itu, ketiga lawan-
nya yang sempat terkena pukulan 'Empat Anasir Ke-
hidupan', mendapat luka yang cukup parah. Sudah
tak sempat lagi untuk menyelamatkan diri dari koba-
ran api yang semakin bertambah besar. Tanpa ampun
lagi mereka terbakar dalam keadaan hidup-hidup.
Sementara itu Buang Sengketa dan Gadis berpa-
kaian hijau lumut telah menjauh dari rumah yang ter-
bakar itu. Namun saat Buang Sengketa menurunkan
tubuh si Gadis dari atas pundaknya, tiba-tiba nampak
berkelebat beberapa sosok bayangan tubuh dari pintu
rumah-rumah yang terbakar. Dalam waktu sekejap sa-
ja mereka telah mengepung si Pemuda dan si Gadis
dengan senjata siap di tangan
"Pemuda berperiuk! Berani mati kau mencampu-
ri urusan orang-orang Peri Bunga Iblis....!" sambut sebuah suara begitu dingin
dan berwibawa. Pendekar
Hina Kelana memperhatikan orang yang baru saja bu-
ka suara tadi, maka terlihatlah oleh pemuda ini, seso-
sok tubuh jangkung dengan pakaian sangat rapi. Sa-
ma seperti orang yang tewas dalam kobaran api tadi,
orang-orang yang kini mengepungnya juga bersenjata-
kan arit yang bentuknya hampir serupa dengan bulan
sabit. Tiada di duga-duga, mendadak Buang Sengketa
tertawa bergelak-gelak.
"Ha... ha... ha...! Kalau kutanya apa saja yang
kalian kerjakan di tempat ini....!" kata si Pemuda dengan sesungging senyum
mengejek. "Manusia hina! Kau tak perlu tahu apa yang ka-
mi kerjakan di sini....!" hardik orang itu.
"Memperkosa dan merampoki harta benda pen-
duduk! Itukah yang tidak boleh aku tahu?" ejeknya dengan pandangan mata berapi-
api. "Keparaaaat! Bocah, kuperingatkan padamu, ce-
pat-cepatlah kau menyingkir dari sini. Kalau tidak kau
akan menyesal selama-lamanya...!"
"Jangan coba-coba menggertakku, Orang Tua...!"
Dengus Buang Sengketa. Melihat mereka saling ber-
bantahan itu, nampaknya beberapa orang yang men-
jadi bawahan laki-laki berjenggot panjang itu menjadi
tak sabaran lagi, satu dua tindak mereka melangkah.
Lalu dengan suara lantang salah seorang dari mereka
membentak: "Kakang Wisesa.....! Percuma saja kita berdebat
dengan kunyuk gembel ini. Hantam saja....!"
"Akur, hantam biar mampus! Kakang Wisesa....!"
Teriak yang lainnya. Laki-laki berjenggot panjang yang dipanggil Wisesa itu
memperhitungkan dengan sege-brakan saja, binasalah pemuda berkuncir sekaligus
gadis yang menyertainya. Itu sebabnya tanpa me-
nunggu lebih lama lagi orang ini pun segera memberi
aba-aba: "Serbuuuu......!" Serentak dengan suara teria-kannya itu, lebih dari sepuluh
orang pengeroyok lang-
sung menerjang sambil sambitkan senjata rahasia
mengarah pada Buang Sengketa dan gadis berjubah
hijau lumut. "Singgg.....! Weeeerr....!" Puluhan bahkan ratusan senjata rahasia datang dari
berbagai penjuru. Menghadapi kenyataan seperti itu, gadis yang berada di se-
belah Buang keluarkan jeritan tertahan. Sebaliknya
Pendekar Hina Kelana sendiri sambil memaki lang-
sung hantamkan tangannya ke segenap penjuru.
"Weeer! Weeer!" Dalam kegelapan yang hanya di-terangi dengan nyala api rumah
yang terbakar itu se-
larik gelombang sinar Ultra Violet melesat sedemikian
cepat, menyongsong datangnya senjata rahasia berupa
Paku Bunga Iblis yang telah disambitkan oleh pihak
lawannya. "Blaaarr....!" Senjata-senjata yang mengandung
racun sangat keji itu berpentalan ke segala penjuru.
Bahkan beberapa di antaranya membalik dan hampir
saja memakan tuannya sendiri. Sukur mereka cepat-
cepat membanting tubuhnya ke samping, selanjutnya
berguling-guling menghindari sengatan hawa panas
yang bersumber dari pukulan yang dilepaskan oleh
Pendekar Hina Kelana.
"Buummm....!"
Sebagian pukulan yang dilepas si Pemuda men-
genai sasaran kosong. Debu dan pasir muncrat di
udara. Tanah di sekitar tempat itu tergetar hebat. Ke-
nyataan ini sudah barang tentu membuat Wisesa men-
jadi terbelalak tak percaya. Setelah bangkit berdiri, la-ki-laki berjenggot
panjang itu bertanya: "Bocah! Siapakah engkau ini...! Pukulanmu seperti pernah
kukenal, bahkan mungkin aku pernah melihatnya....!" ujar Wisesa, tampak berusaha
mengingat-ingat sesuatu.
"Yaa... ya... kalau tak salah itulah pukulan Empat Anasir Kehidupan....ja....di,
kau muridnya Kakek
Bangkotan Koreng Seribu....!?" katanya dengan tubuh menggeletar.
"Hemm! Melihat caramu bicara, aku merasa kau
bukanlah orang kasar Uwa Wisesa! Aku juga yakin du-
lunya kau pasti berasal dari golongan baik-baik. Tapi
mengapa justru tindakanmu cenderung ke arah se-
sat...?" Tanya si pemuda tanpa ada maksud menjawab apa yang ditanyakan oleh
laki-laki berjenggot panjang
ini. "Kampret! Jawab dulu pertanyaanku...!" bentak Wisesa merasa tersinggung
dengan ucapan-ucapan si
pemuda. Pendekar Hina Kelana geleng-gelengkan ke-
pala, sejurus memandang sinis pada si Jenggot Pan-
jang dan orang-orangnya.
"Kau mengenal pukulan Empat Anasir Kehidu-
pan dan kenal pula dengan guruku! Kalau memang
benar, sekarang kuperintahkan kalian bersujud di ba-
wah telapak kakiku...!" ujar pemuda itu sambil tergelak-gelak. Sementara itu,
Wisesa tampaknya sangat
marah sekali mendengar pengakuan Buang Sengketa.
Tiba-tiba wajahnya berubah tegang.
*** 5 Tanpa dimengerti maksudnya oleh Buang Seng-
keta, mendadak Wisesa malah balik tergelak-gelak.
"Keparat si Bangkotan Koreng Seribu! Gara-gara
dia hidupku semakin jauh tersesat dan terlunta-lunta!
Dia pembunuh orang tuaku, mestinya kucincang dia
sejak dulu-dulu! Tapi.... he... he... he...! Kala itu ilmu kepandaianku masih
terlalu cetek. Kini setelah kepandaianku cukup tinggi, si keparaat Bangkotan
Koreng Seribu telah mampus pula...!" Kata Wisesa dengan
pandangan sinis. Memerah wajah pemuda itu bagai
kepiting direbus, begitu mendengar Wisesa dengan
seenaknya saja mencaci maki nama gurunya. Seumur
hidup baru manusia jenggot panjang ini saja yang te-
lah begitu berani menghina gurunya secara serampan-
gan. Itu benar-benar sangat keterlaluan sekali.


Pendekar Hina Kelana 22 Peri Bunga Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wah... manusia sinting jenggot kambing...! Ku-
nyuk betul kau ini, begitu berani kau menghina nama
almarhum guruku sedemikian rupa" Benar-benar cari
penyakit!" Teriak Buang Sengketa gusar bukan alang kepalang.
"Bacot sebakul! Mewakili ketua Peri Bunga Iblis,
hari ini ku basmi muridnya si Cambuk Gelap Sayuto
yang bikin sengsara kedua orang tuaku itu...!"
"Tak mungkin orang tuamu bentrok dengan gu-
ruku jika orang tuamu itu bukanlah sebangsanya ma-
nusia sesat....!" kata Buang Sengketa lugas. Namun nampaknya tiada reaksi,
sebagai jawabannya, baik
Wisesa maupun kawan-kawannya segera melompat ke
depan dan langsung menyerang Buang Sengketa dan
gadis berpakaian hijau lumut. Kali ini masing-masing
lawan sudah tak ingin bersikap sungkan-sungkan lagi,
dalam gebrakan kedua itu mereka segera keluarkan
jurus silat tangan kosong, 'Badai Iblis Menawan Bian-
glala'. Kiranya walaupun jurus-jurus silat itu terdiri dari satu sumber. Namun
pada kenyataannya, setiap
dari mereka mempergunakan jurus itu ternyata tetap
saja memiliki variasi yang berbeda-beda.
Baik gadis berpakaian hijau lumut maupun
Buang Sengketa sendiri nampak mulai mengeluarkan
jurus silat andalannya. Buang Sengketa dengan mem-
pergunakan jurus Si Gila Mengamuk, tampak mema-
paki setiap serangan-serangan lawannya yang datang
bertubi-tubi. Dengan hanya bersikap seperti orang
pemabukan, terhuyung-huyung ke depan dan bela-
kang. Sekali dua baik pukulan tangan maupun ten-
dangan kaki dia lakukan. Tak jarang lawan-lawannya
jadi kelabakan dan terjengkang tiada berketentuan.
Sementara itu Andini dengan pedang tipis di tangan-
nya tampak mulai merangsak keroyokan yang berjum-
lah sangat banyak itu. Sekali dua pedang di tangannya
menyambar ke bagian pertahanan lawan yang nampak
kosong. Namun kiranya orang-orang Peri Bunga Iblis
ternyata juga bukanlah lawan yang begitu mudah di-
rubuhkan. Bahkan berulangkali senjata rahasia yang
mereka pergunakan untuk menyerang lawan-
lawannya nyaris mendarat ke arah sasarannya dengan
sangat baik. Hanya karena ilmu meringankan tubuh
dan kelincahan memainkan pedang saja gadis berpa-
kaian hijau lumut yang tak lain merupakan Andini
adanya dapat terhindar dari kematian.
Di lain pihak, nampaknya Buang Sengketa su-
dah merasa tidak sabar lagi melihat gelagat pertarun-
gan yang tidak menguntungkan di pihaknya itu. Bah-
kan andai secara terus menerus pemuda ini tetap
mengelak dan melompat. Lama kelamaan bisa celaka.
Tak ayal lagi, kini pemuda itu telah pula memutuskan
untuk mempergunakan Lengkingan Suara Ilmu Pe-
menggal Roh yang sangat dahsyat itu.
"Nona baju hijau! Tutuplah indera pendenga-
ranmu.... aku akan berbuat sesuatu sebagai hadiah
untuk mereka....!" Kata Buang Sengketa melalui ilmu menyusupkan suara. Sambil
terus mengkelit setiap serangan yang datang, sedetik kemudian satu teriakan
menggelegar pun keluar dari mulutnya:
"Heeeiiggkh.......!"
Angkasa malam laksana terobek dengan gaung
yang ditimbulkannya akibat lengkingan Ilmu Pemeng-
gal Roh. Bumi tempat mereka berpijak pun seolah
mau runtuh. Tak kurang dari lima orang kawan-
kawan Wisesa terjengkang roboh, menggelepar sesaat,
kemudian diam untuk selama-lamanya. Dari telinga
mereka mengalir darah segar, sementara mata mereka
membelalak bagai melihat iblis pencabut nyawa. He-
ran bercampur kecut laki-laki berjenggot putih itu de-
mi melihat apa yang terjadi. Kini mereka hanya tinggal empat orang saja, lima
dengan Wisesa sendiri. Namun
empat orang kawan-kawan Wisesa tampaknya sudah
tak dapat diharapkan lagi. Ilmu Lengkingan Pemenggal
Roh membuat mereka bagai orang linglung. Mungkin
semua itu karena syaraf berpikirnya yang rusak. Em-
pat orang laki-laki itu nampak mondar mandir di seki-
tar tempat pertarungan bagai empat ekor monyet sint-
ing yang sudah kehabisan akal. Dalam keadaan yang
tiada menguntungkan itu, Wisesa bergumam seorang
diri, "Muridnya musuh bebuyutanku ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang
lebih gila lagi. Seorang di-ri sudah barang tentu aku tak mungkin mampu me-
menangkan pertarungan. Tapi aku yakin dia tak bakal
ungkulan menghadapi keroyokan orang-orang nomor
satu anggota Peri Bunga Iblis....! Heh, ada baiknya kalau aku melapor pada ketua
yang mulia...!" Batinnya.
Saat itu pendekar Hina Kelana yang sedang terben-
gong-bengong melihat Wisesa yang terdiam membisu,
cepat pula membentak:
"Mengapa kau diam saja, Jenggot Kambing..."
Katanya kau mau melayaniku sampai seribu jurus....!"
Gadis berpakaian hijau lumut atau Andini yang sudah
tak sabaran lagi langsung menyambut: "Tuan pende-
kar...! Mengapa harus berbasa-basi dengan tikus pe-
rampok berjenggot seperti dia...?" Si pemuda merasa geli sendiri mendengar
ucapan si gadis, tapi sebenarnya setuju dengan apa yang dikatakan oleh gadis
itu. Namun sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, tiba-
tiba Wisesa telah melemparkan satu bungkusan ke
arah mereka. "Buuuummm.....!" Terdengar satu ledakan kecil, yang akhirnya menimbulkan
gumpalan uap putih
menyerupai kabut. Baik Andini maupun Pendekar Hi-
na Kelana menjadi gelagapan dan berusaha membe-
baskan diri dari kungkungan kabut tebal itu. Dalam
keadaan seperti itu, tiba-tiba terdengar suara Wisesa
yang mulai bergerak menjauh.
"He... he... he...! Uap Asmara Iblis... hemmm...
kalian pasti telah menghirupnya. Sementara ini aku
memberi laporan pada ketua kami, inilah satu kesem-
patan bagi kalian untuk menikmati sorga dunia seba-
gaimana layaknya sepasang suami istri...!" kata Wisesa sayup-sayup.
"Keparat! Hiaaat....!" Sambil menyambar tubuh
Andini, pemuda keturunan raja dari negeri bunian itu
tampak melesat membebaskan diri dari kepungan
asap terkutuk itu.
Selanjutnya tanpa menghiraukan keadaan di se-
kelilingnya dan dalam keadaan sempoyongan kedua
muda mudi itu meninggalkan perkampungan yang pa-
dat penduduknya. Namun pada hakekatnya memang
benar seperti apa yang dikatakan oleh Wisesa, kedua
muda mudi itu telah menghirup asap Asmara Iblis
yang memiliki pengaruh rangsangan yang sangat he-
bat sekali. Bahkan pengaruh aneh itu, kini sedikit de-
mi sedikit mulai dirasakan akibatnya oleh Buang
Sengketa dan Andini. Dalam kegelapan malam dengan
langkah terhuyung-huyung seperti itu, Andini yang
hanya memiliki tenaga dalam mencapai tarap lu-
mayan, nampak mulai meracau.
"Tuan pendekar! Siapakah engkau ini...!" Ta-
nyanya dengan suara gemetaran.
"Jangan kau panggil aku tuan, aku bukan seo-
rang pangeran yang patut dihormati! Namaku Buang
Sengketa! Seorang pengelana yang tiada berketen-
tuan...!" kata pemuda itu berusaha menepiskan rangkulan tangan kiri Andini yang
terasa begitu mencekik
pangkal lehernya.
"Nama yang bagus, aku suka nama itu...!"
"Dan kau...!?" Andini tidak buru-buru menjawab, sebaliknya dia berusaha
merangkul kembali tubuh
pemuda yang berada di sebelahnya.
"Gila! Meskipun aku masih mampu menguasai
diri, tapi sampai di manakah daya tahanku. Sekarang
ini saja aku mulai merasakan ada hawa aneh yang se-
cara terus menerus menguasai jiwaku. Dan mungkin,
gadis ini mengalami kejadian yang lebih hebat lagi da-
riku. Sebaiknya ku kerahkan hawa murni untuk
membuyarkan pengaruh iblis yang telah merasuki ji-
waku ini...!" Batin pemuda itu. Kemudian secara perlahan pemuda itu mulai
mengerahkan tenaga dalam-
nya untuk membuyarkan pengaruh aneh yang sedang
menguasai jiwanya. Namun setelah berulangkali dia
mencoba, usahanya itu tidak juga mendatangkan ha-
sil. "Celaka! Apa yang telah terjadi dengan diriku?" Dalam keadaan kebingungan
akibat pengaruh aneh itu.
Tiba-tiba Andini dengan suaranya yang lirih dan ham-
pir-hampir tak terdengar berkata kembali.
"Namaku, Andini....! Ka... kakang... bukankah
aku lebih pantas memanggilmu begitu...!" Kata Andini dengan tubuh menggigil
karena dibakar gejolak nafsu.
Sementara Buang Sengketa sendiri terus berusaha
memerangi pengaruh aneh yang telah di timbulkan
oleh Asap Asmara Iblis. Namun tampaknya usaha itu
tidak juga mendatangkan hasil.
"Kakang....!"
"Hemm.....!"
"Malam ini terasa sangat dingin sekali yaa...?"
"Begitulah...!" jawab si pemuda sekenanya. Kemudian Andini menggumamkan sesuatu
yang tak je- las. Tetapi selang beberapa detik berikutnya kembali
terdengar suaranya. Pelan, namun cukup untuk di-
dengar oleh Pendekar Hina Kelana.
"Kita istirahat, Kakang...! Badanku terasa sangat letih sekali." Sambil berkata
begitu Andini yang sudah tak mampu mengendalikan diri itu, langsung menyentakkan
tubuh pemuda ini, hingga sama-sama terje-
rembab jatuh. Dalam peperangan batin itu, dalam
keadaan terlentang, Buang Sengketa diam tiada ber-
geming. Lain lagi halnya dengan Andini, gadis itu
nampak mulai menindih tubuh si pemuda. Sementara
jantungnya berdetak keras tiada teratur, desahan-
desahan nafasnya yang hangat pun menyapu wajah
Pendekar Hina Kelana.
"Sialan, dewata pasti akan mengutukku jika
sampai aku melakukan perbuatan yang sangat terku-
tuk itu." makinya sambil terus berusaha bertahan pa-da keadaannya.
"Kakang...! Aku tak tahan kakang" Apakah kau
tidak merasakannya, mengapa justru malah diam ba-
gai tugu...?" kata gadis itu sambil terus menciumi wajah pemuda tampan yang
berada di bawahnya.
Ketika Andini membuka pakaiannya sendiri satu
demi satu. Terbelalaklah mata pendekar itu.
"Andini! Jangan kau lakukan perbuatan terkutuk
itu. Kosongkan jiwamu dari hal-hal yang dapat mence-
lakakan diri kita...!" Cegah Buang Sengketa. Tapi gadis itu seperti tak
mendengar apa yang di katakan oleh
Buang Sengketa. Setelah melepas pakaiannya, Andini
kembali menghampiri si pemuda.
"Oh, Dewata yang Agung! Selamatkanlah kehor-
matanku dan dia...!" keluh si pemuda dan tanpa dis-angka-sangka oleh Andini,
Tangan Buang melakukan
satu totokan. "Tuuuk...!"
"Uuhhh....!" Andini mengeluh pendek, kemudian roboh tak sadarkan diri. Sedangkan
Buang Sengketa sendiri terus berusaha mengembalikan keseimban-
gannya. Dalam saat-saat menegangkan seperti itu, te-
ringatlah Buang Sengketa dengan Golok Buntung yang
terselip di bagian pinggangnya. "Kakek guru, dulu pernah mengatakan pusaka Golok
Buntung mampu mengusir pengaruh jahat dari tubuh seseorang, mu-
dah-mudahan usahaku ini mendatangkan hasil seperti
apa yang kuharapkan." Membatin pemuda ini sambil
mencabut golok yang terselip di pinggangnya ketika
golok itu tercabut dari sarungnya maka terlihatlah si-
nar merah menyala dan menerangi sebagian wajah si
pemuda. Secara perlahan pemuda itu menempelkan
ujung golok di bagian dadanya. Ketika itu juga ada
hawa hangat mengalir, ke sekujur tubuhnya, secara
aneh kekuatan iblis yang telah merasuki jiwanya itu
lama-kelamaan hilang sirna sama sekali.
"Hemm! Sungguh keterlaluan sekali orang-orang
dari hutan Jajaran itu. Suatu saat kelak akan kucin-
cang manusia yang bernama Wisesa itu...!" geram
pendekar ini dengan kemarahan yang tertahan-tahan.
Kini pemuda itu dengan pasti cepat pula me-
nempelkan ujung golok di bagian punggung Andini
yang tiada berpakaian sama sekali. Tubuh gadis itu
nampak tergetar beberapa saat lamanya. Kemudian
terdengar pula rintihannya, sebuah rintihan kesada-
ran. Cepat-cepat si pemuda melemparkan pakaian
Andini yang berserakan di atas rumputan. Secara
praktis pakaian itu menutupi tubuh Andini yang da-
lam keadaan menelungkup.
Begitu sadar dalam keadaannya yang normal,
gadis berwajah ayu itu keluarkan suara pekikan terta-
han. "Kenakan pakaianmu...!" kata pemuda itu sambil palingkan wajahnya ke arah
lain. Heran bercampur
malu gadis ini dengan tergesa-gesa mengenakan pa-
kaiannya kembali.
"Kakang apa yang telah kita lakukan...?" tanya si gadis tersendat dan wajah
memerah. "Sukur para dewa melindungi kita berdua! Andai
tidak sudah tentu kita terseret dalam gelimang do-
sa...!" kata si pemuda, ketus.
"Maafkan atas ketololanku, Kakang...!" desah Andini tersipu malu.
"Sudahlah, kau tidak bersalah. Uap Asmara Iblis
itulah yang telah menjadi penyebabnya.....!"
"Orang-orang Peri Bunga Iblis! Heh mereka juga
telah membunuh tiga orang saudara sepergurua-
nku...!" Gerutu gadis berwajah ayu itu sambil menge-
palkan kedua tangannya. Kata-kata bernada geram
yang diucapkan oleh si gadis tentu membuat pendekar
ini merasa terperanjat. Selanjutnya dia pun bertanya:
"Mengapa mereka sampai membunuh saudara


Pendekar Hina Kelana 22 Peri Bunga Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperguruanmu...?" tanya si pemuda penuh dengan
keingintahuan. Tanpa merasa ragu lagi, Andini segera
menceritakan tentang Kembar Kirik Cokelat yang telah
melarikan kitab Cakar Buana milik perguruan. Hingga
sampai akhirnya mereka bentrok dengan orang-orang
Peri Bunga Iblis yang menyerang mereka dengan sen-
jata rahasia yang mengandung racun sangat jahat itu.
"Jangan takut! Aku pasti membantumu, sekali-
gus mengobrak abrik markas peri terkutuk yang telah
banyak menyeret kalangan golongan putih menjadi
sekutu-sekutunya...!" Janji si pemuda berkuncir itu.
"Tapi kita harus memberi laporan pada guru Da-
rah Swanda, Kakang...!" Pendekar Hina Kelana geleng-gelengkan kepalanya: "Itu
tidak perlu! Nanti saja kalau urusan kita beres...!" sergahnya.
"Baiklah, aku menuruti mana yang ter-baik me-
nurutmu...!" Demikianlah tanpa berkata-kata lagi, mereka bergerak melangkah
lagi. Saat itu di ufuk timur
semburat merah sudah mulai membayang ketika me-
reka meninggalkan desa Gunting Saga.
*** 6 Panas yang terik, sepanjang jalan pemuda ber-
tampang tolol yang bernama Gindrung itu terus mene-
rus mengeluh panjang pendek. Sepasang kaki Dwi To-
lol memang sudah melepuh di sana sini. Pada kenya-
taannya hidup selama dua puluh tahun mereka baru
sekali ini melakukan perjalanan yang sangat jauh, wa-
jar saja kalau keadaan sangat menyedihkan itu terjadi.
"Kakang... sampai kapankah kita harus berjalan
seperti ini...?" tanya Gindrung dengan langkah terpincang-pincang. Tetapi orang
yang diajaknya bicara
hanya diam saja, sebaliknya dengan keadaan yang
sama pula Ginuk terus saja berjalan menelusuri ping-
giran hutan lebat di samping kiri mereka.
"Kakang...!" teriak Gindrung merasa kesal. Sekejap Ginuk hentikan langkahnya,
lalu menoleh ke bela-
kang. Walaupun saat itu dia merasakan sakit di ba-
gian kakinya, namun melihat adiknya dia jadi ingin
tertawa sejadi-jadinya.
"Apakah kau sudah tidak kuat berjalan...?"
"Bukan tidak kuat lagi, malahan hampir mam-
pus...!" Selak Gindrung merajuk.
"Bagaimana kalau kugendong...?" tanyanya Gindrung menyeringai, walaupun tolol
begitu namun dia
masih mampu memperhitungkan sampai di mana ke-
kuatan saudara tuanya. Itu makanya dengan sikap
enggan dia menggeleng.
"Ayolah, aku tahu kau sudah terlalu letih....!"
"Kakang! Mana mungkin, aku gemuk sedangkan
kau agak kurus! Mungkinkah kau kuat menggendong-
ku...?" tanyanya, lalu tertawa bekakakan.
"Jangan menganggap remeh, aku pasti kuat
menggendongmu! Asal ingat saja, setelah kugendong,
nanti kau gantian pula menggendongku...!"
"Sama aja bohong! Tapi tak mengapa, ayolah!"
Serta merta Gindrung melompat ke punggung Ginuk,
kemudian sambil tertawa-tawa Gindrung menepuk-
nepuk bahu Ginuk:
"Husyaa... hiaaa... larilah hei kudaku, kuda ku-
rus nggak pernah mandi...!" Dengan sempoyongan dan tanpa memperdulikan rasa
sakit di bagian kakinya
yang telah banyak mengalirkan darah bercampur na-
nah, Ginuk mulai berlari-lari kecil. Karena pada da-
sarnya beban yang memberati pundaknya lebih besar
dari tubuhnya sendiri, maka sekejap kemudian dia
sudah merasa keletihan. Dengan nafas ngos-ngosan,
Ginuk berucap: "Ah kampret! Tubuhmu berat sekali!
Kau pasti terlalu banyak dosa...!"
"Bilang saja nggak kuat menggendong aku, men-
gapa harus basa basi....!"
"Gubraaak...!" Tanpa di duga-duga Ginuk mem-
bantingkan tubuh Gindrung, hingga pemuda tolol itu
menjerit-jerit kesakitan.
"Kurang ajar! Tega nian kau membantingku....
hu.... hu... hu! Emak, orang itu kurang ajar sekali, tolong emaaak...!" Rintih
Gindrung sesenggukan.
"Gobloook! Cengeng....! Mengapa emak kau
panggil-panggil, ketahuan kita sedang mencarinya...!"
"Keterlaluan kau kakang...! Bukannya aku pe-
muda cengeng, tapi gara-gara kau banting. Bisulku ja-
di pecah...!" rintih Gindrung sambil melap darah yang merembes dari bagian
pantatnya. "Oh.... mana aku tau... maaf aku tak sengaja!"
"Su... sudahlah... sekarang kita diam di sini du-
lu! Setelah itu kita melanjutkan perjalanan kembali."
"Karena aku merasa bersalah, biarlah kali ini
aku menuruti keinginanmu...!" kata Ginuk, lalu mendekati adiknya dan langsung
duduk di sisinya. Namun
belum sampai sepemakan sirih, mereka berada di
tempat itu tiba-tiba bermunculan beberapa sosok tu-
buh dari kanan kiri mereka. Selanjutnya terdengar
suara bentakan dari salah seorang pendatang yang
sama sekali tidak dikenali oleh Dwi Tolol.
"Dua ekor tikus bertampang tolol! Berani sekali
kalian memasuki daerah kekuasaan Peri Bunga Iblis!
Siapakah yang telah memberi izin pada kalian...?" Gi-
nuk dan Gindrung jadi salah tingkah dan saling pan-
dang sesamanya. Mereka memang tidak mengerti den-
gan apa yang dikatakan oleh laki-laki gemuk berpa-
kaian loreng-loreng mirip kulit macan itu.
"Kami...!" Diam sebentar. "Kami cuma numpang istirahat di sini, lihatlah kakiku
dan kaki kakangku
sudah pada lecet semuanya...!" kata Gindrung, lalu memperlihatkan bagian kakinya
yang sudah lecet-lecet
mengeluarkan nanah dan menimbulkan bau menyen-
gat hidung. Sesaat lamanya, orang-orang berpakaian
loreng-loreng kulit macan itu saling berbisik sesa-
manya. "Melihat tampang dan keadaan mereka, tak ada
alasan bagi kita untuk mencurigai mereka. Kalau pun
kita tangkap mereka, tak ada gunanya. Paling juga
hanya bisa menjadi kacung pengurus kuda...!" kata salah seorang dari mereka
melalui ilmu mengirimkan
suara. "Siapa pun yang mencoba-coba memasuki kawa-
san ini, dia patut di curigai." Ucap yang lainnya melalui ilmu yang sama. Dalam
keragu-raguan itu, tiba-
tiba laki-laki gemuk berpakaian loreng-loreng kembali
membentak dengan nada mengancam.
"Kau pasti punya maksud-maksud tertentu ber-
keliaran di tempat ini...! Cepat mengaku, atau kupo-
tong kakimu yang tiada berguna itu!"
"Bagaimana kakang...! Kita disuruh mengaku,
apa yang harus kita katakan pada mereka agar bisa
percaya...?" tanya Gindrung, raut wajahnya mem-
bayangkan kecemasan yang tiada alang kepalang.
"Apanya yang harus di akui. Lha wong kita nggak
nyolong apa-apa kok...!" Lain halnya dengan Ginuk, walaupun dibentak sedemikian
rupa namun di wajahnya tiada terlihat rasa takut.
"Akui apa yang kalian kerjakan di tempat ini!
Atau kalian mau ke mana, heh...?" Dwi Tolol langsung cengengesan begitu
mendengar pertanyaan yang dilon-tarkan oleh si gemuk berpakaian loreng-loreng.
"Kami mau mencari emak, Tuan....! Sudah ham-
pir lima belas tahun kami ditinggal emak...!" jawab Ginuk tanpa ragu-ragu. Laki-
laki pakaian loreng kulit
macan berbadan gemuk nampak terperangah. Heran,
namun juga geli. Bahkan setelah tidak mampu mena-
han rasa lucunya, sesaat kemudian dia pun tertawa
terbahak-bahak. Demi melihat si gemuk tertawa-tawa,
sudah tentu yang lain-lainnya pada bengong. Sebab
seperti yang mereka ketahui, selama ini tidak sekali
pun laki-laki yang dalam lingkungannya dikenal den-
gan julukan 'Macan Liar' tak pernah tertawa-tawa be-
gitu rupa. Sikapnya yang kejam dan telengas di kalan-
gan persilatan membuat dia menduduki urutan ketiga
dalam kekuasaan 'Peri Bunga Iblis'. Tak dapat di-
bayangkan dan sulit untuk mencari sebab-sebabnya
mengapa hari ini si Macan Liar bertingkah di luar ke-
biasaannya. Namun mereka yang menyertai Macan
Liar juga tak berani bertanya-tanya pada orang yang
sangat mereka segani itu. Takut kalau-kalau orang
yang mereka takuti itu menjadi marah dan turun tan-
gan. "Bocah-bocah tolol! Bagaimanakah rupa emak
mu itu, apakah masih perawan dan cantik?" tanya si Macan Liar, konyol. Pada
dasarnya mereka yang ditanya itu memang orang-orang tolol, maka dengan po-
los mereka menjawab
"Aku tak tahu apakah emakku masih perawan
atau tidak, itu bukan urusanku. Mengenai ciri-cirinya, nenek Kreot sebelum
Lima Utusan Akherat 1 Mas Rara Seri Arya Manggada 2 Karya S H Mintardja Pendekar Bloon 9
^