Pencarian

Kapak Setan Kubur 2

Pendekar Mabuk 046 Kapak Setan Kubur Bagian 2


dengan tampang polosnya itu berkata lagi sedikit pelan,
"Adhiyasa mencarimu terus. Hampir setiap bertemu denganku menanyakan dirimu,
Tembang Selayang."
Gadis itu hanya sunggingkan senyum kaku. Rupanya ia tak enak hati kata-kata
tersebut ikut didengar oleh Suto Sinting, ia segera mengajak Suto untuk duduk di
salah satu bangku kosong. Sementara itu, para pengunjung kedai lainnya sibuk dengan percakapan masing-masing.
Wiraga yang berpakaian serba biru dirangkap rompi merah tua itu segera mendekati
tempat duduk T embang Selayang, ia duduk di
depan T embang Selayang,
sedangkan Pendekar Mabuk duduk di samping T embang Selayang.
"Adhiyasa ingin sekali jumpa denganmu, T embang Selayang. Temuilah dia,
tapi...." "Sampaikan salamku saja kepada Adhiyasa jika kau bertemu dengannya."
"Kurasa kami akan lama tidak saling jumpa."
"Kenapa begitu?"
"Adhiyasa sedang pergi. Sudah dua purnama ini tak menampakkan batang hidungnya!"
"Pergi ke mana?" tanya T embang Selayang pelan, seakan tak mau didengar Pendekar
Mabuk. "Kabarnya ia sedang memburu pusaka Kapak Setan Kubur."
"Hahh..."!" T embang Selayang kaget. "Mengapa Adhiyasa memburu pusaka itu?"
"Ia diupah seseorang, ia ingin dapatkan upah tinggi,
hasilnya akan dipakai untuk kawin."
"Edan-edanan dia itu!" gerutu T embang Selayang dengan bersungut-sungut. "Apakah
dia tahu di mana pusaka itu berada?"
"Kudengar ia sudah mendapat keterangan dari orang yang menyuruhnya, hanya saja
ia tidak mau bilang padaku siapa orang yang memegang pusaka Kapak Setan Kubur
itu. Mulanya ia mencarimu karena
ingin mengajakmu mencari pusaka itu."
T embang Selayang tarik napas dalam-dalam. Ia diam dengan wajah cemberut. Entah
apa artinya; mungkin kurang setuju dengan langkah Adhiyasa, mungkin juga jengkel
karena tak bisa bertemu Adhiyasa.
"Wiraga, pergilah sana dan biarkan aku bicara berdua dengan sahabatku ini."
"O, ya! Aku memang akan pergi. Mau nonton
wayang." "Siapa yang punya hajat?"
"Ki Lurah mengawinkan putrinya; Murda Rukmi."
Setelah itu Wiraga pergi. Ki Punjul, pemilik kedai dan
penginapan yang sudah mengenal T embang
Selayang itu, segera datang melayani mereka berdua.
Suto Sinting memesan tuak sebumbung penuh, dan tuak dalam poci kecil.
"Ki Punjul, aku butuh kamar untuk bermalam.
Apakah masih ada kamar kosong?"
"Masih ada, T embang. Kau bisa gunakan kamar di lantai atas. Nanti kusuruh
pelayanku menyiapkan kamar untukmu. Agaknya kalian ingin berbulan madu, ya" He,
he, he, he...!"
"Bulan madu...!" gerutu T embang Selayang bersungut-sungut. Lelaki kurus berusia sekitar lima puluh tahun itu dibiarkan
pergi ke dapur sambil menghabiskan tawanya.
"Apa yang kuduga benar-benar terjadi; mereka akan sangka aku datang membawa
kekasihku," ujar T embang Selayang tanpa memandang Suto Sinting, namun sang
pendekar tahu ucapan itu ditujukan padanya, ia hanya tertawa
kecil dan memandangi orang-orang yang
berkunjung ke kedai tersebut.
Sesaat kemudian Pendekar Mabuk ajukan tanya
dengan suara yang pelan dan berkesan hati-hati sekali agar tidak menyinggung
perasaan gadis itu. "Siapa Adhiyasa itu, T embang?"
"Sahabatku," jawab Tembang Selayang pelan tanpa ada
kemarahan. Sepertinya ia masih memendam kedongkolan. "Sahabat dekat atau sahabat jauh?" pancing Suto dengan mengulum senyum.
"Jangan cemburu."
"Lho, aku tidak cemburu. Jangan salah sangka. Aku hanya ingin tahu, sebab
kudengar ia juga sedang memburu pusaka itu demi mengejar upah besar dari
seseorang. Mungkin kau bisa memberitahukan padaku, siapa orang yang mengupahnya
itu?" "Aku tak tahu. Kami sudah dua purnama tidak saling jumpa. Dia adalah sahabatku,
tapi... tapi dia sepertinya punya hati padaku, hanya saja aku tidak mau melayani
maksudnya yang ingin mencintaiku."
"Aha...! Seharusnya kau melayaninya semasa kau menyimpan hati pula padanya."
"Cukup!" hardik gadis itu. "Aku tak ingin bicara soal itu," Ia semakin cemberut,
tapi Pendekar Mabuk semakin cengar-cengir geli.
Setelah saling meneguk minuman dan menelan
makanan, Pendekar Mabuk mulai membuka percakapan lagi dengan suara pelan
bagaikan berbisik. Untuk itu duduknya lebih merapat lagi. "Murid siapa Adhiyasa
itu?" "Lima tingkat di bawahku."
"O, jadi kalian saudara seperguruan?"
"Ya. T api ketika aku meninggalkan perguruan, dia baru masuk, sehingga aku
semula tidak tahu kalau ia juga murid dari Nyai Guru Guntur Ayu."
Pendekar Mabuk terkesiap pandangi T embang Selayang. "Kalau begitu kau kenal dengan Dinada"!"
"O, ya. Aku kenal dengannya. Dinada atau Milasi adalah seangkatan denganku. Kami
sama-sama keluar dari perguruan terutama setelah perguruan dipegang oleh Merak
Cabul. Kami tidak sepaham dengan tujuan si Merak Cabul."
Pendekar Mabuk menggumam panjang dan manggut-
manggut, terbayang wajah ga dis cantik peniup seruling yang bernama Dinada. Ia
jadi rindu ingin bertemu gadis itu. T erbayang pula kelincahan Dinada kala gadis
itu mempermainkan Suto dengan serulingnya, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Gelang Naga Dewa").
"Apakah dia kekasihmu?"
"Bukan. Kenapa nada pertanyaanmu penuh curiga?"
"Pemuda tampan sepertimu biasanya di mana-mana punya banyak 'demenan' alias
gundik." "Ha, ha, ha...!" Suto Sinting tertawa agak keras karena geli sekali mendengar
kata-kata itu. Ia buru-buru menutup mulut setelah sadar bahwa saat itu ia berada
di kedai, ia juga menjadi malu ketika orang-orang memperhatikan ke arahnya.
Akibat tawa yang terlepas itu, seorang lelaki gemuk berkumis lebat dengan
pakaian serba hitam dan ikat kepala biru itu mendekati Suto Sinting. Lelaki
bergelang bahar hitam itu menepuk pundak T embang Selayang sambil berkata nakal.
"T embang Selayang... rupanya kau sekarang punya pemuas dahaga semuda itu,
hmm..."! Pantas aku tak pernah melihatmu. Wajahmu pucat
sekali. Apakah dikurung terus oleh anak muda itu?"
T eebb...! T embang Selayang mencekal tangan orang tersebut tanpa memandangnya.
Wajahnya dingin dan ketus.
"Jangan macam-macam padaku, Guci Kopong!"
Krraakk...! Terdengar seperti suara tulang patah. Guci Kopong meringis dengan
mata terpejam. Mulutnya
ternganga karena menahan rasa sakit.
"Ada yang ingin kau katakan
lagi padaku"!"
pertanyaan itu bernada datar dan dingin, tanpa diikuti pandangan mata ke arah
orang yang ditanya.
Guci Kopong tak bisa menjawab karena genggaman
tangan T embang Selayang bagaikan kian meremukkan pergelangan
tangannya. Pendekar Mabuk hanya memandanginya tanpa berbuat apa-apa. Senyumnya
mekar di bibir, seakan menertawakan orang gemuk yang berlagak jagoan itu.
"Hei, lepaskan dia, T embang!" seru orang berbadan agak kurus dari Guci Kopong.
Orang berbaju kuning dan berkumis melengkung ke bawah itu segera melompat dari
tempat duduknya ingin menyerang T embang
Selayang Suto Sinting segera sentilkan jarinya. Deess...!
T enaga dalam berkekuatan tendangan kuda jantan dilepaskan melalui sentilan yang
dinamakan jurus 'Jari Guntur' itu. Orang berbaju kuning langsung terbang kembali
arah dan jatuh di atas meja. Brakkk...!
"Uuhg...!" ia mendelik dan memegangi ulu hatinya bagaikan sukar bernapas.
T embang Selayang bangkit
dan menghentakkan
sikunya ke belakang sambil
lepaskan genggaman tangannya. Buuhg...!
"Heegh...!" Guci Kopong terpelanting ke belakang dan menabrak seorang pembeli
lainnya yang sedang memunggunginya. Brakkk...!
T embang Selayang berbalik arah menghadapi lawannya, sedangkan Suto Sinting masih tetap duduk dengan santai. Satu kakinya
ditumpangkan di bangku dalam keadaan setengah bersila, ia tersenyum-senyum
memandangi kedua orang yang bermaksud cari gara-
gara itu. Guci Kopong tersiram kuah santan pada wajahnya, sedangkan orang berbaju kuning
itu terkena sambal di bagian rambutnya.
Mereka sama-sama berdiri dengan wajah masih
menyeringai menahan rasa sakit. T embang Selayang tahu, bahwa Suto Sinting tadi
ikut membantunya
menyerang orang berbaju kuning, sehingga ia berkata kepada orang itu dengan mata
galaknya. "Bawa kakakmu pergi dari sini dan jangan boleh menggangguku lagi, Pawang Kera!"
"Kau mematahkan tangan kakakku, T embang Selayang! Aku harus membalas dengan mematahkan
batang lehermu, Keparat! Hiaaah...!"
Baru saja si Pawang Kera menggerakkan tangannya membuka jurus keranya, tiba-tiba
Suto Sinting sentilkan kembali 'Jari Guntur'-nya secara diam-diam. Deess...!
"Uhaaghh...!" Pawang Kera terbungkuk dan muntah di tempat membuat orang-orang
menggerutu benci.
Yang makan segera meninggalkan makanannya karena jijik.
Kedua orang kakak-beradik itu akhirnya meninggalkan kedai setelah diperingatkan oleh orangorang sekelilingnya.
"Sudah, pergi saja kalian! Bikin kacau di sini saja!
Kami mau makan, bukan mau melihat orang berlagak jago!"
Di pintu menuju keluar, Guci Kopong berseru
tinggalkan ancaman sambil menyangga tangan kanan
yang remuk tulangnya itu.
"T unggu kalian di sini! Kami akan datang bersama ketua kami!"
"Panggil ketua perguruanmu!" tantang T embang Selayang. "Kami tak takut. Kami
menunggu di sini sampai esok pagi!"
"Awas kau, T embang! Kau akan mati hangus dan menjadi arang atau terpotong
menjadi tiga puluh tiga bagian!" geram Guci Kopong, setelah itu ia ditarik oleh
Pawang Kera agar segera pergi tinggalkan kedai.
Suasana tenang kembali. T embang Selayang menyatakan bersedia mengganti kerugian atas kerusakan yang terjadi di situ. Tapi
pemilik kedai berkata,
"T ak perlu. Kau sudah mengusir mereka, aku sudah cukup berterima kasih. Sebab
mereka kalau terlalu lama di sini, da ganganku bisa habis tanpa ada uangnya.
Mereka tak pernah mau bayar apa saja yang mereka makan di sini."
"Kita lanjutkan percakapan kita di kamar saja." ajak T embang Selayang. Suto
Sinting tidak menolak, karena ia memang ingin melonjorkan badan agak santai
sebentar. Pelayan yang mengurus persewaan kamar segera mengantarkan Tembang
Selayang dan Suto
Sinting ke kamar lantai atas. Penginapan itu mempunyai dua
lantai dengan sepuluh kamar sewaan. Pada umumnya yang menyewa kamar di situ membawa
perempuan malam atau gundik mereka, sehingga Suto agak kikuk dan tak enak hati
karena ia tahu orang-orang itu menyangka T embang Selayang adalah gundiknya.


Pendekar Mabuk 046 Kapak Setan Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

T api gadis itu lebih bersikap masa bodoh, sehingga Suto Sinting pun akhirnya
ikut-ikutan bersikap demikian untuk menenangkan jiwanya.
"Siapa mereka berdua tadi, T embang Selayang"!"
"Pawang Kera dan Guci Kopong. Mereka orangorang Perguruan Monyet Sakti, ketuanya
bernama: Dewa Beruk."
"Baru sekarang kudengar nama-nama mereka. Hmm... Dewa Beruk?" Suto menggumamkan nama itu seakan punya makna tersendiri.
"T ak perlu kau risaukan mereka. Aku masih sanggup hadapi sepuluh orang Monyet
Sakti! Ketua mereka sendiri ilmunya masih sejajar denganku."
"Bukan itu yang kupikirkan, tapi ancaman mereka."
T embang Selayang sunggingkan senyum sinis berkesan meremehkan kekhawatiran Suto Sinting, ia segera merebahkan badan di
atas dipan sebelum Suto menggunakan dipan itu.
"Jangan pikirkan ancaman itu. Biasanya mereka hanya
besar mulut, jarang terbukti.
Orang-orang Perguruan Monyet Sakti hanya banyak berkoar, di mana-mana meninggalkan sesumbar
dan ancaman, tapi ilmu mereka sebenarnya sangat kecil."
Suto Sinting tersenyum dekati Tembang Selayang, ia berdiri di samping dipan
menatap gadis yang berbaring dengan pedang didekap di dadanya.
"Sial. Hatiku deg-degan memandang ia berbaring begini"!" gerutu Suto dalam hati,
tapi di mulutnya ia berkata lain.
"Aku tak takut pada ancaman mereka. Tapi aku menemukan kejanggalan yang perlu
kita pikirkan."
"Kejanggalan apa?"
"Guci Kopong tadi bilang, akan datang memanggil ketuanya dan seakan ketuanya
sanggup membuat kita mati hangus menjadi arang atau terpotong tiga puluh tiga
bagian." "Itu sesumbarnya saja."
"Mungkin memang benar. Tapi dari mana ia bisa sesumbar begitu kalau bukan karena
ia pernah melihat bukti" Dan siapa orang yang bisa bertindak begitu jika bukan
orang yang memiliki Kapak Setan Kubur"!"
T embang Selayang diam sebentar merenungkan, tiba-tiba ia tersentak bangkit dan
menatap tegang kepada Suto Sinting.
"Benar juga! Berarti pusaka Kapak Setan Kubur ada di tangan Dewa Beruk"!"
Suto Sinting hanya angkat bahu dengan senyum
tipisnya. * * * 5 PERGURUAN Monyet
Sakti terletak di lereng
Gunung Bunting sebelah barat. Jika ingin ke sana harus melewati kaki Gunung
Bunting, yang berarti harus melewati pondok tempat tinggal Empu T apak Rengat.
Se belum membuktikan apakah pusaka Kapak Setan
Kubur memang ada di tangan Dewa Beruk, Suto Sinting
sangat setuju untuk tetap singgah dan temui ayah T embang Selayang seperti
rencana semula.
Perjalanan ke kaki Gunung Bunting memakan waktu kurang dari seperempat hari.
Suto Sinting menggerutu dan berkata,
"Kalau tahu tidak sejauh ini, mendingan tadi malam kita
lanjutkan perjalanan, tak perlu bermalam di
penginapan Ki Punjul."
"Naluriku menghendaki begitu, dan ternyata kita akan memperoleh tanda-tanda
siapa pemegang pusaka Kapak Setan Kubur itu. Coba kalau kita tidak bermalam di
desa itu, kita tidak bertemu Guci Kopong dan Pawang Kera, sehingga tidak
mempunyai bayangan siapa pemegang pusaka tersebut?"
"Benar juga," jawab Suto akhirnya menyerah dalam perdebatan itu. "T api ada satu
hal yang membuatku merasa janggal tentang dirimu."
"T entang hubunganku dengan Adhiyasa"! Oh, kau masih tak percaya kalau aku tidak
mencintai Adhiyasa?"
"Bukan soal itu, Manis," kata Suto dengan tersenyum geli.
Lalu ia tampak bersungguh-sungguh
dalam ucapannya. "Kau mengatakan bahwa gurumu a dalah Nyai Guntur Ayu, kau satu perguruan dengan
Dinada." "Benar. Apakah kau tak percaya?"
"Bukan soal tak percaya. Tapi kau bilang akan bertanya pada gurumu tentang ilmu
'Mahkota Neraka'."
"Memang, karena guruku banyak tahu tentang ilmu-ilmu kelas tinggi itu."
"T api bukankah Nyai Guntur Ayu sudah meninggal?"
"Ya, memang sudah meninggal."
"Lalu, bagaimana kau mau bertanya kepada orang yang
sudah meninggal"
Aku merasa janggal membayangkannya."
T embang Selayang sunggingkan senyum tipis berkesan meremehkan pertanyaan itu. T etapi ia segera bicara
dengan sungguh-sungguh
tanpa ada kesan membohongi Pendekar Mabuk.
"Hanya aku murid dari Nyai Guru Guntur Ayu yang bisa bicara dengan makam Guru,
karena akulah satu-satunya murid yang berhasil pelajari ilmu 'Rohwicara'.
Murid lainnya tidak berhasil pelajari ilmu itu. Bahkan anak Nyai Guru sendiri;
Aswarani, tidak bisa kuasai ilmu 'Rohwicara' itu."
"Aswarani..."! Maksudmu si Anak Petir itu"!"
"Ya. Dia adalah putri tunggal Nyai Guru Guntur Ayu.
Kau pernah kenal dia?"
"Pernah,"
jawab Suto Sinting, tak lanjutkan penjelasannya. Suto tak ingin ceritakan bahwa Anak Petir yang menjadi perempuan
sesat itu telah mati di tangannya
dalam satu pertempuran, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Gelang Naga Dewa").
Percakapan mereka terhenti karena mata mereka
memandang kepulan asap di balik kerimbunan hutan.
Kepulan asap itu membubung tinggi berwarna hitam.
T embang Selayang menjadi tegang dan berkata dengan suara gemetar,
"Ada kebakaran di sana. Padahal di sana adalah
pondok kediaman ayahku"! Adakah sesuatu yang terjadi terhadap ayahku"!"
"Cepat kita ke sana!" seru Suto Sinting, kemudian ia melesat lebih dulu. Separo
kecepatan dari jurus 'Gerak Siluman' dipergunakan, sehingga kecepatannya bisa
sejajar dengan kecepatan gerak T embang Selayang. Tapi ternyata gadis itu
bergerak lebih cepat lagi, sehingga Suto perlu menambah kecepatan geraknya
supaya tetap sejajar.
Mereka terperangah ketika tiba di suatu ketinggian lereng dan memandang ke
bawah. Sebuah rumah gubuk terbakar dengan kobaran api membubung tinggi.
"Ayaaaah...!" teriak Tembang Selayang memandang tiga orang yang sedang menghajar
lelaki tua berbadan kurus dengan kain selempang sebagai ganti pakaiannya yang
berwarna putih lusuh itu. Orang tua berambut abu-abu dengan usia sekitar enam
puluh tahun itu tak lain adalah Empu T apak Rengat.
Kemudian terdengar suara gadis itu mengalunkan
tembang yang lembut mendayu-dayu dengan suaranya yang jernih dan berkesan teduh.
"Awan putih ditelan m endung
Matahari diam m embisu seribu kata
Dewa-dewa palingkan muka tak mau bicara
Awan putih hancur di ujung gerhana
Adakah damai di atas sana yang m ampu mengusir petaka
Bidadari sucim enitikkan kebeningan dari celah duka Karena
tiada tangan yang menggapai m enolongnya.... "
Suara lembut Itu bagaikan menyebar ke seluruh
penjuru dunia. Matahari yang memancarkan sinarnya dengan terang menjadi redup.
Kobaran api pun kian menyusut. Pertarungan di bawah sana menjadi terhenti,
mereka saling bungkam dan membisu, diam tertunduk seakan meresapi syair tembang
yang mengalun lembut menggores hati.
T ak berbeda halnya dengan Pendekar Mabuk yang
juga menunduk. Hatinya menjadi sedih, terbayang masa anak-anaknya yang
menyedihkan. T erbayang wajah ayahnya yang tersiksa oleh kekejaman orang-
orangnya Kombang Hitam, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa
Pusar"). "Celaka! Aku hampir menangis dicekam masa lalu yang
amat menyedihkan. Mengapa aku jadi membayangkan peristiwa itu" Oh, syair tembang dan suara merdunya ternyata
mempunyai kekuatan yang melumpuhkan hati orang yang mendengarnya. Tinggi juga
ilmu ga dis ini. Aku harus mengimbangi dengan menjaga pernapasanku agar teratur
dan memusatkan perhatianku pada musuh bebuyutan: Siluman T ujuh Nyawa...," pikir
Suto Sinting. T ernyata tiga orang yang menyerang Empu T apak Rengat itu juga mengalami hal
yang sama dengan
Pendekar Mabuk. T eringat
masa-masa yang amat
menyedihkan, kenangan masa anak-anak atau pun
peristiwa duka apa saja kembali bermunculan dalam ingatan mereka. Suara dan
syair tembang itu ternyata
mampu menggugah ingatan duka masa lalu bagi siapa pun yang mendengarnya.
T iga orang berambut pendek dengan usia rata-rata empat puluh tahun itu akhirnya
terisak-isak. Mereka menangis dan tak mampu menahan air matanya. Ada yang
langsung terduduk di tanah dan tersengguk-sengguk, ada yang sambil berdiri, ada
pula yang hanya sekadar jongkok dan meraung-raung ingat kematian ibunya.
"Huaaa.... Huaaa.... Ibuuu... kenapa kau tinggalkan aku sendirian, Ibuuu...!"
orang berbaju merah itu meraung-raung bagaikan baru saja Ibunya meninggal di
depan mata. Nyala api yang semula berkobar semakin lama
semakin surut dan akhirnya padam. Angin berhembus agak kencang, dan matahari
tertutup mega hitam hingga suasana mendung tercipta saat itu juga. Alunan suara
T embang Selayang ternyata mampu mempengaruhi
alam, sehingga deda unan pun menjadi layu dan udara membawa embun dingin yang
terasa membasah di kulit tubuh manusia.
Empu T apak Rengat juga tertunduk dalam sikap
duduknya yang bersila. Agaknya ia pun dicekam duka karena terkenang kematian
istrinya yang menjadi tumbal sebuah pusaka miliknya itu. Namun agaknya Empu
T apak Rengat mengetahui kehadiran duka itu tidak sewajarnya, sehingga ia
mencoba melawannya dengan lakukan semadi seadanya.
"Hentikanlah tembangmu, mereka telah berhenti
menyerang ayahmu!" bisik Suto Sinting yang menjadi tegar karena menenggak tuak
agak banyak. Wuusss...! T embang Selayang melompat menuruni
lereng dengan lincah, kakinya menapak dari atas batu yang satu ke batu lainnya
dalam jarak lebar. Pendekar Mabuk hanya gunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya.
Zlapp...! T ahu-tahu sudah ada di depan tiga orang berambut pendek yang sedang
menangis itu. Kejap berikutnya barulah Tembang Selayang tiba di tempat tersebut,
ia langsung menghajar ketiga orang itu dengan gerakan cepatnya.
Plak, plok, duhg, prakkk, bruss...!
T iga orang yang sedang menangis menjadi semakin mengerang karena kesakitan.
Dukanya hilang tapi rasa sakitnya datang mengejutkan sekali. Mereka segera
bangkit satu persatu dengan murkanya. Mata mereka saling memandang Tembang
Selayang yang berdiri
tegar, seakan tak mudah ditumbangkan.
"Keparat perempuan itu! Habisi dia!" teriak yang berpakaian hitam. Maka kedua
orang yang berpakaian merah dan abu-abu itu segera menerjang T embang Selayang.
"Heeaaahh...!" Blarrr...!
Rupanya gadis itu tak mau membuang waktu
menunda dendam. Kedua telapak tangannya disentakkan ke depan secara bersamaan,
dan melesatlah sinar biru menghantam tubuh mereka masing-masing.
Brrruuss...! Gusrakk...!
Kedua orang itu terkapar
dengan kulit tubuh mengelupas merah. Mata mereka terbelalak tak bisa berkedip dengan mulut
ternganga bagaikan mencari udara untuk ditelannya. Kejap berikutnya tubuh-tubuh
yang mengejang itu akhirnya terkulai lemas dan napas mereka pun lenyap saat itu
juga. "Bangsat kau!" teriak orang yang berpakaian hitam.
"Kau harus menebus nyawa dua rekanku dengan nyawamu dan nyawa si tua peot itu!"
ia menuding Empu T apak Rengat. Orang berpakaian hitam itu mencabut goloknya dan
memutar-mutarkan dengan cepat. Kilatan cahaya putih perak sesekali tampak
melesat dari putaran golok di atas kepala tersebut. Kilatan cahaya putih perak
itu menyambar tubuh T embang Selayang. Namun gadis itu menghindarinya dengan
melompat ke sana kemari dengan licah, sampai akhirnya berada di belakang orang
berbaju hitam. Sebuah tendangan samping diarahkan ke punggung orang berbaju
hitam. Wuuttt...! Duhhgg...!
"Heeegh...!" orang itu terpekik keras dan tersentak sampai terjungkal ke tanah.
Suto Sinting tersenyum kagum, karena ia tahu tendangan itu punya kekuatan tenaga
dalam cukup tinggi. T erbukti lawan yang terkena tendangan T embang Selayang itu
langsung mengerang dengan mata mendelik dan wajahnya menjadi biru
legam. Memang aneh, yang ditendang punggungnya
yang biru legam wajahnya. Itulah pemusatan tenaga dalam yang disalurkan melalui
telapak kaki T embang Selayang.


Pendekar Mabuk 046 Kapak Setan Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

T endangan itu cukup berat, sang lawan tak bisa menahannya, sampai akhirnya
semburkan darah dari
mulutnya. Brruusss...! Sekitar empat helaan napas, orang itu pun tak berkutik
lagi. Diam tanpa napas tanpa nyawa.
"Ayah...!" seru T embang Selayang, ia bergegas hampiri Empu T apak Rengat yang
masih duduk bersila di tanah dengan kepala tertunduk.
"Ayah, aku datang...! Aku yang datang, Ayah...!"
gadis itu berlutut di hadapan ayahnya.
Suto Sinting memperhatikan penuh curiga kepada
Empu T apak Rengat yang membiarkan kedatangan
anaknya. Beberapa saat kemudian, Suto Sinting segera berseru kepada T embang
Selayang. "Dia terluka berat bagian dalamnya!"
T embang Selayang terperanjat, ia segera mengangkat wajah sang Ayah. Ternyata
wajah itu bukan saja pucat pasi melainkan biru bagaikan mayat yang hampir
membusuk. "Ayaaaah...!"
seru T embang Selayang sambil mendekap tubuh sang Ayah. Pendekar Mabuk bergegas memeriksanya sesaat, tanpa
pedulikan tangis T embang Selayang.
"Baringkan di tempat teduh!" kata Suto. "Kurasakan denyut nadinya masih ada."
Pukulan tenaga dalam yang mengandung racun telah kenai bagian dada Empu T apak
Rengat. Terlambat sedikit saja, nyawa sang Empu akan melayang. Untung Suto
Sinting bergerak cepat dan berhasil meminumkan tuak ke mulut Empu T apak Rengat
dengan dibantu T embang Selayang. Beberapa saat kemudian, Empu T apak Rengat
tersedak dan terbatuk-batuk. Itulah tanda
kesadarannya pulih kembali, tapi kekuatannya belum seberapa pulih.
"Biarkan ia berbaring dulu, biar tenaganya terkumpul kembali," ujar Suto
Sinting. T embang Selayang masih menangis dalam kecemasan. Suto Sinting menghiburnya. Karena jaraknya cukup dekat, maka Tembang Selayang pun jatuhkan kepala ke dada Pendekar
Mabuk, kemudian ia dipeluk dan diusap-usap rambutnya oleh sang pendekar tampan
itu. "T enangkan hatimu. Ayahmu selamat. Sebentar lagi akan bisa
kita ajak bicara. Tenanglah, T embang
Selayang...."
Pondok sang Empu terbakar habis. Sisanya berupa bangunan hitam yang tak bisa
digunakan lagi. T embang Selayang menatap dengan hati duka. Iba terhadap nasib
sang Ayah yang hidup menyendiri tanpa istri dan anak, karena T embang Selayang
jarang pulang menjenguk orangtuanya.
"Kalau saja kedua kakakku masih hidup, tentu Ayah tidak akan sendirian dalam
menjalani masa tuanya.
Sayang kedua kakakku meninggal dalam usia masih bocah, sehingga Ayah hidup
sendiri dan aku tak bisa menungguinya."
"Mulai sekarang menetaplah bersama ayahmu, agar beliau ada yang merawatnya di
masa tua ini."
"Ya, baru saja hatiku mengatakan begitu. Aku ingin menetap
dengan Ayah. Tapi agaknya aku harus mendengar dulu keterangan dari Ayah tentang pusaka
Kapak Setan Kubur itu. Aku penasaran sekali, dan tak ingin pusaka itu jatuh di
tangan Dewa Beruk."
Empu T apak Rengat ternyata mempunyai garis
tangan seperti tanah yang retak. Barangkali karena garis tangan yang lebar dan
sangat jelas dilihat itulah maka ia berjuluk Empu T apak Rengat. Orang
berjenggot pendek abu-abu tanpa kumis itu sudah dalam keadaan sehat berkat tuak
saktinya Pendekar Mabuk. Mereka berbicara di ba wah pohon rindang yang mempunyai
batu setinggi lutut
orang dewasa. Sang Empu duduk di
sana, sementara T embang Selayang bersila di rerumputan.
Pendekar Mabuk berdiri dua langkah ke samping kanan T embang Selayang.
"Rupanya dunia persilatan sekarang sedang dilanda geger pusaka Kapak Setan
Kubur," kata kakek yang kepalanya mengenakan sorban putih itu."
"Memang benar, Ayah. Justru aku dan Pendekar Mabuk datang kemari untuk menemui
Ayah dan menanyakan tentang kebenaran pusaka tersebut," kata T embang Selayang. "T api
terlebih dulu aku ingin mengetahui, siapa tiga orang yang menyerang Ayah dan
membakar pondok itu?"
"Mereka orang-orang bayaran. Mereka disuruh mencari pusaka Kapak Setan Kubur dengan upah yang tinggi.
Entah siapa yang memberitahukan kepada
mereka, yang jelas mereka tahu bahwa aku pernah menyimpan pusaka
itu. Lalu mereka
mendesakku dengan kasar, dan aku mencobanya melawan karena merasa tidak bersalah."
"Siapa yang mengupah mereka bertiga itu, Ayah?"
"Adipati Janarsuma."
Jawaban itu mengejutkan T embang Selayang dan
Pendekar Mabuk. Mereka berdua saling pandang dengan dahi berkerut.
"Aku sendiri tidak tahu persis, yang mana yang bernama Adipati Janarsuma itu,"
kata Empu T apak Rengat. "Yang jelas orang itu sangat membutuhkan pusaka
tersebut. Kalau tidak, ia tidak akan mengirimkan orang bayaran untuk mencari
pusaka Kapak Setan
Kubur." "Apakah pusaka itu memang ada,
Ki?" tanya
Pendekar Mabuk.
"Memang ada, dan aku pernah menyimpannya!"
jawab Empu T apak Rengat dengan tegas dan jelas.
"Pusaka itu berupa kapak dengan tiga mata, kanan-kiri dan ujung depan.
Panjangnya hanya sekitar dua jengkal, mata kapaknya pun tak seberapa lebar,
terbuat dari logam emas. Tangkainya terbuat dari perak ukir. Ujung bawah
tangkainya itu berlubang."
"Seperti pipa, begitu?"
"Benar. Dan jika lubang itu ditiup dengan kekuatan tenaga dalam, maka mata kapak
itu akan terbang sendiri-sendiri memburu mangsanya, lalu hinggap kembali ke
tempat semula jika sudah kenai lawan."
Pendekar Mabuk manggut-manggut
dan tampak senang sekali mendengar keterangan tersebut. T embang Selayang diam memandangi
ayahnya dengan rasa kagum terhadap kapak pusaka itu.
"Karena ukurannya tak seberapa besar, dan tangkainya dari logam kosong, maka kapak pusaka itu sangat ringan dan mudah
dibawa ke mana-mana. T etapi jika ditebaskan dari atas ke bawah, maka dalam
jarak sejauh dua puluh tombak pun masih bisa keluarkan sinar merah menyerang
lawan. Orang yang terkena sinar merah itu akan terpotong menjadi tiga puluh tiga
bagian." "Hebat sekali"!" gumam Suto Sinting semakin yakin lagi dengan keterangan T
embang Selayang saat di perjalanan kemarin.
"Jika kapak ditebaskan dari kiri ke kanan, akan keluarkan sinar biru yang dapat
membuat lawan mati hangus menjadi arang dalam sekejap. Jika ditebaskan dari
kanan ke kiri, akan keluarkan sinar hijau yang membuat lawan mati dalam keadaan
tercabik-cabik mengerikan. Jika lawan hanya tergores oleh salah satu mata kapak,
maka lukanya tidak akan sembuh dengan obat apa pun dan tubuhnya akan cepat
membusuk karena racun pada mata kapak itu."
"Sebenarnya siapa pemilik pusaka itu, Ayah?" tanya sang gadis bertahi lalat di
bibir atas yang membuat ia kelihatan semakin cantik dan manis.
"Pemilik aslinya adalah Ratu Rias Pundi, belia u penguasa Pulau Singkang, yang
sekarang menjadi
seorang pertapa di Gunung Parang. Pusaka itu adalah warisan Eyang sang Ratu. T
etapi karena sekarang Ratu Rias Pundi sudah menjadi pertapa, maka pusaka itu
dipercayakan kepada adiknya. Adiknya itu adalah
sahabatku, bernama Sanupati, tinggal di...."
T iba-tiba sekelebat
sinar putih hampir menyatu
dengan sinar matahari berkelebat menghantam pinggang Suto Sinting. Dess...!
"Uhhg..."!" Suto tersentak dengan mata mendelik, kemudian jatuh terkulai tak
sadarkan diri. Brrukk...!
"Suto..."!" pekik Tembang Selayang dengan wajah tegang.
T embang Selayang baru mau bergerak, tiba-tiba sinar putih melesat lagi, nyaris
tak terlihat bentuknya karena menyatu dengan cahaya matahari. Slapp...! Dess...!
"Aaahg...!" T embang Selayang mengejang karena terhantam sinar yang mirip cermin
terkena pantulan sinar matahari itu. Akibat punggungnya terkena sinar putih, T
embang Selayang terkulai tak sadarkan diri.
T entu saja Suto Sinting tidak dapat lakukan apa-apa, karena ia dilumpuhkan
lebih dulu oleh si penyerang gelap itu. Untuk beberapa saat lamanya Pendekar
Mabuk bagaikan cucian basah yang tanpa tulang sedikit pun.
Ia menjadi siuman ketika hari menjelang senja.
Hembusan angin senja yang merontokkan dedaunan
membuatnya tergugah dari masa pingsannya, ia segera bangkit dengan badan terasa
lemas sekali. "Empu...! Empu T apak Rengat..."!"
Wajah tegang Suto Sinting lebih mirip orang yang baru saja bangun tidur, ia
bingung mencari Empu T apak Rengat telah menghilang dari tempat duduknya di atas
batu setinggi lutut itu. T etapi tak jauh darinya masih tampak utuh T embang
Selayang terkulai belum sadarkan
diri. Pendekar Mabuk buru-buru menenggak tuaknya.
Glek, glek, glek, glek...! Badannya terasa segar kembali.
Kekuatan dan tenaga bagaikan pulih secara berangsur-angsur. Kemudian ia se gera
menyadarkan T embang Selayang dengan tuaknya
juga. Gadis itu segera
menegang ketika mengetahui bahwa sang Ayah sudah tidak ada di tempat, ia
bergegas mencari ke berbagai tempat sekitarnya, tapi sang Ayah tetap tidak ada.
Pendekar Mabuk pun gagal mencari sang Empu walau sempat mengacak-acak reruntuhan
pondok yang hangus itu.
"Ayahku pasti diculik oleh si penyerang kita tadi!"
geram T embang Selayang.
"Kurasa memang begitu. Kita dilumpuhkan, tapi ayahmu dibawanya lari entah dengan
cara bagaimana."
"Kurang ajar! Kuhabisi nyawa orang itu kalau sampai beradu muka denganku!" geram
sang gadis semakin kuat. Kedua tangannya mengepal kencang, giginya menggeletuk
penuh dendam. Setelah sama-sama diam sesaat, tiba-tiba Suto Sinting punya gagasan baru dan
segera berkata kepada T embang Selayang.
"Kau mau ikut aku ke Kadipaten Balungan?"
T embang Selayang kerutkan
dahi. "Maksudmu,
Adipati Janarsuma yang menculik ayahku?"
"Utusannya yang melakukan penculikan itu!" tegas Suto. "Tentunya sang Adipati
yakin betul bahwa pusaka itu ada di tangan ayahmu dan disembunyikan di suatu
tempat, sehingga karena ayahmu tidak bisa dibujuk dengan cara apa pun, maka ia
menculiknya. T entunya sang Adipati dapat bertindak semaunya sendiri terhadap
ayahmu selama ayahmu ada dalam tawanannya. Yang penting ia harus membuat ayahmu
mengaku di mana pusaka itu disembunyikan!"
"Keparat! Kalau begitu ayahku akan disiksa oleh sang Adipati"!"
"Besar kemungkinan begitulah kira-kiranya. Kalau kita tak bergerak cepat, ayahmu
bisa jadi korban salah sasaran. Sang Adipati pasti belum tahu bahwa Kapak Setan
Kubur sudah di tangan Dewa Beruk."
T embang Selayang menenangkan diri, mengatur
pernapasannya yang dibakar api kemarahan. Setelah diam beberapa saat, suaranya
pun diperdengarkan kembali.
"Apakah kau yakin pusaka itu ada di tangan Dewa Beruk yang ilmunya tak seberapa
tinggi itu?"
"Firasatku mengatakan demikian."
"Kalau begitu aku akan ke Perguruan Monyet Sakti untuk mengambil Kapak Setan
Kubur dan kuserahkan kepada Adipati Janarsuma sebagai tebusan mengambil ayahku!"
"Hmmm... kalau begitu aku ikut kau dulu ke sana.
Kita hadapi bersama si Dewa Beruk kalau benar ia menggunakan kapak pusaka itu
untuk melawan kita."
Pendekar Mabuk berpikiran begitu karena ia khawatir akan keselamatan Tembang
Selayang; si cantik berdada sekal itu. Dalam bayangan Suto, jika memang kapak
pusaka itu ada di tangan Dewa Beruk, maka Dewa Beruk akan menggunakannya untuk
melawan siapa saja yang ingin merampas kapak pusaka tersebut. Dan keyakinan Suto
mengatakan, bahwa T embang Selayang akan celaka jika berhadapan dengan lawan
yang bersenjata kapak pusaka itu.
T anpa banyak berunding lagi mereka segera berkelebat menuju lereng gunung tersebut yang menghadap ke arah barat.
"Cari jalan terdekat agar sebelum petang tiba kita sudah sampai di perguruan
itu!" kata Suto Sinting kepada Tembang Selayang.
Namun mendadak langkah mereka terhenti karena
Suto terpekik melihat ke arah lembah sebelah kanannya.
"T unggu...! Siapa itu yang terkapar di sana!"
T embang Selayang kerutkan dahi menatap ke arah lembah.
* * * 6 ORANG yang terkapar itu kenakan pakaian abu-abu, rambutnya putih, badannya kurus
dan gigi depannya tinggal


Pendekar Mabuk 046 Kapak Setan Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua. Pendekar Mabuk segera terperanjat pandangi tubuh yang terkapar itu.
"T ua Bangka..."!" serunya sambil lebih mendekat lagi, T embang Selayang
mengikuti dari belakang.
T ua Bangka terengah-engah bagaikan baru sadar dari pingsannya. Mulutnya ingin
ucapkan sesuatu tapi tak
mampu. Badannya lemas, mengangkat salah satu tangan pun bagaikan tak mampu lagi.
Wajah tua itu menghiba hati Suto dan Tembang Selayang.
"Beri dia minuman tuakmu biar tenaganya pulih!"
ujar Tembang Selayang, sepertinya mengingatkan Pendekar Mabuk yang tertegun mematung pandangi si T ua Bangka itu.
Setelah terbatuk-batuk karena terlalu banyak menenggak tuak, T ua Bangka mulai kelihatan sehat.
Matanya dikerjap-kerjapkan
seakan membuang kerabunan pandangannya.
"T ua Bangka, apa yang terjadi pada dirimu?"
T ua Bangka pandangi Suto Sinting dengan mata
sedikit menyipit dan mulut melongo bagaikan linglung.
"Aku Suto...! Suto Sinting! Masih ingat?" seraya Suto Sinting menepuk-nepuk
dadanya. "Ooh... oh, kau..." Kau Pendekar Mabuk" Oooh...
syukurlah aku bisa bertemu denganmu lagi, Suto! Jangan jauh-jauh lagi dariku,
Suto. Aku takut...! T akut sekali,"
wajah T ua Bangka berubah tegang.
"T akut kepada siapa"! Katakan yang sebenarnya, T ua Bangka!" desak Pendekar
Mabuk masih jongkok di depan T ua Bangka yang duduk di tanah.
"Orang itu... orang yang tadi itu...."
"Yang mana" Apakah tadi ada orang lewat sini?"
T ua Bangka mengangguk seperti anak kecil. "T adi dia memergokiku dan
membantingku di sini, lalu... lalu habis dibanting ditinggal pergi begitu saja,
tidak ditolong, tidak diapa-apakan. Ooh... orang itu jahat
sekali, Suto!"
"Bagaimana ciri-ciri orangnya"!" tanya T embang Selayang.
"Orangnya...
kurus, tua, rambutnya abu-abu memakai... memakai kain sorban putih. Pakaiannya...
hanya kain putih dililitkan lalu diselempangkan ke pundak kiri."
"Berjenggot pendek warna abu-abu pula?" tanya gadis itu ikut penasaran.
"Iya, iya... betul. Berjenggot pendek dan tidak punya kumis."
"T ak mungkin!" tiba-tiba Tembang Selayang menyentak dan menarik diri. Ia memalingkan wajah dengan rona kebingungan.
"Mengapa kau bilang tak mungkin" Apakah kau tahu ciri-ciri orang tersebut?"
"T entu saja tahu. Itu ciri-ciri ayahku."
Suto Sinting tertegun sesaat membayangkan Empu
T apak Rengat, kemudian angguk-anggukkan kepala sambil menggumam lirih.
"Hmmm... ya, ya... itu memang ciri-ciri ayahmu."
"T api tak mungkin Ayah lakukan tindakan sekasar itu kepada orang setua ini"!"
sangkal T embang Selayang.
Suto Sinting jadi bingung sendiri, sebab menurutnya Empu Tapak Rengat memang tak
mungkin bersikap
kasar terhadap orang seusia T ua Bangka itu.
"Pinang Sari dan Darah Prabu bagaimana"!" tanya Pendekar Mabuk kepada T ua
Bangka. "Mereka... mereka... entahlah. Sejak aku dihantam
dari belakang oleh seseorang, aku tak ingat apa-apa lagi.
Aku sadar sudah berada di dalam sebuah gubuk.
Kemudian mataku ditutup dengan kain hitam, mulutku disumbat, dan aku segera
ditotok. Setelah ditotok dibawa pergi entah ke mana," tutur T ua Bangka seperti
anak kecil mengadu kepada kakaknya.
"Apakah yang menotok dan yang membawamu pergi orang berciri-ciri seperti tadi?"
"Iiy... Iya! Orang berjenggot pendek abu-abu itu!
Kurasa dia pula yang memukulku saat kau mengejar orang yang membunuh pemuda
berompi hitam itu,
Suto." "Aku tak percaya," gumam T embang Selayang dengan pelan menandakan ia sendiri
merasa ragu terhadap rasa tidak percayanya itu.
"Apa maksud orang yang membawamu kemari itu?"
tanya Suto Sinting.
"Dia sangka aku orang Kadipaten Balungan. Dia menduga aku abdinya sang Adipati
Janarsuma. Dia ingin membunuhku. T api setelah kujelaskan bahwa aku
sendiri hampir mati digantung oleh sang Adipati, ia tak jadi membunuhku. T api
ia membantingku dengan
jengkel di sini sampai aku tak bisa bernapas beberapa saat, lalu aku pingsan.
Orang itu sendiri pergi, entah ke mana perginya aku tak tahu, sebab aku
pingsan." Suto Sinting semakin bingung. Pertama-tama dilihatnya Empu T apak Rengat bertarung melawan tiga orang bayaran yang diutus
oleh Adipati Janarsuma.
Kemudian sang Empu akhirnya hilang setelah Suto dan
T embang Selayang terkena pukulan dari tempat tersembunyi. Ketika Suto siuman, sang Empu sudah lenyap. Padahal menurut Suto
yang menghantamnya dari tempat persembunyian bukan sang Empu sendiri. Lalu,
sekarang ditemukan T ua Bangka mengaku mau diserahkan kepada sang Adipati, dan akhirnya dibanting dengan jengkel setelah T
ua Bangka mengaku sebagai buronan sang Adipati Janarsuma.
"Lalu, apa maksud Empu T apak Rengat sebenarnya?"
pikir Pendekar Mabuk dalam renungannya. "Ada di pihak mana sebenarnya Empu T
apak Rengat itu?"
T embang Selayang tak enak hati melihat Suto
termenung, ia yakin yang direnungkan adalah ayahnya, ia yakin Suto Sinting
bercuriga buruk kepada ayahnya.
Se dangkan ia sendiri juga punya pertanyaan yang membingungkan
tentang ayahnya itu. Akhirnya T embang Selayang berkata kepada Suto Sinting.
"Sebaiknya kau urus dulu orang tua ini. Biarkan aku datang sendiri ke Perguruan
Monyet Sakti untuk merebut Kapak Setan Kubur itu."
"Jangan gegabah dulu. Persoalannya agak meleset dari perkiraan kita. T ernyata
ayahmu tidak diculik oleh sang Adipati."
T embang Selayang diam, seakan mengakui bahwa
ayahnya memang tidak diculik oleh orang utusan sang Adipati. T api ia tidak
mempunyai keputusan apa pun karena dicekam oleh kebimbangan bertindak.
Pendekar Mabuk berkata lagi, sementara T ua Bangka hanya menjadi pendengar yang
sesekali memandang
jauh karena takut diserang seseorang lagi.
"Kau dengar sendiri kata-kata ayahmu, bahwa pusaka itu sebenarnya milik Ratu
Rias Pundi. Kemudian sang Ratu menjadi pertapa, dan pusaka itu di-serahkan
kepada adik sang Ratu yang bernama Sanupati. Sang Ratu adalah penguasa Pulau
Singkang. Jadi, sekarang langkah kita adalah pergi ke Pulau Singkang mencari
Sanupati, si pemilik pusaka tersebut."
"T api tadi kau yakin kalau pusaka itu ada di tangan Dewa Beruk, ketua Perguruan
Monyet Sakti"! Kenapa sekarang berubah pikiran?"
"Bukan berubah," tegas Suto Sinting. "Kita perlu tanyakan di mana letak
kelemahan pusaka itu. Jika kita sudah mengetahui kelemahan pusaka itu, kita
dapat melawan Dewa Beruk yang bersenjata kapak pusaka itu!"
"T erlalu membuang waktu!" sahut T embang Selayang. "Ingat, pihak Kadipaten Balungan
juga menghendaki pusaka itu. Jangan sampai kita didului oleh mereka. Jika kita harus
ke Pulau Singkang dulu, begitu kembali ke lereng gunung ini, bisa-bisa pusaka
sudah berpindah tangan."
Pendekar Mabuk tarik napas mempertimbangkan
langkahnya. T ua Bangka masih terbengong melongo memamerkan dua gigi depannya
tanpa bisa memberi pendapat dan pandangan apa-apa. Barangkali ia malu karena
pusaka itu ternyata memang ada.
T ak ada pilihan yang lebih baik saat itu kecuali menyetujui rencana T embang
Selayang. Perhitungan
gadis itu dinggap lebih benar oleh Pendekar Mabuk.
Kecuali Dewa Beruk sukar ditumbangkan dengan
pusaka itu, maka rencana kedua akan dipakai, yaitu pergi ke Pulau Singkang dan
menemui orang yang bernama Sanupati untuk menanyakan kelemahan pusaka Kapak
Setan Kubur. "Kalian mau ke mana?" tanya T ua Bangka.
"Ke Perguruan Monyet Sakti. Kami akan temui Dewa Beruk untuk mengambil Kapak
Setan Kubur," jawab Suto. "Kau ikut kami, T ua Bangka."
"T idak," T ua Bangka mundur. "Aku tidak mau ikut kalian. Nanti aku celaka
diserang lawan kalian."
"Atau kau mau tinggal di sini dulu" Siapa tahu orang yang membantingmu itu
muncul lagi?"
"Oh, tidak! Aku tidak mau dibanting lagi. Kalau begitu... baiklah, aku ikut
kalian. Tapi kalian harus lindungi keselamatanku!" kata T ua Bangka seperti anak
kecil minta jaminan.
Mereka bergegas menuju lereng sebelah
barat. Namun lagi-lagi langkah mereka terhenti karena menemukan sesosok mayat yang tergeletak di jalanan dalam keadaan menyedihkan.
Sosok mayat itu terkapar tanpa nyawa dalam keadaan tercabik-cabik, sekujur
tubuhnya bagaikan dirajang-rajang dengan puluhan mata pisau yang tajam. Tak ada
bagian tubuh yang tampak utuh. Sampai pada daun telinga pun tercabik-cabik
berlumuran darah.
"Ooh..."!" T ua Bangka bergidik merinding sambil jauhi mayat itu. "Pasti di sini
ada binatang buas yang
telah berhasil menumbangkan orang Ini."
"Bukan binatang buas," gumam T embang Selayang.
Suto membenarkan pendapat T embang Selayang.
"Ya, memang bukan binatang buas. T api seseorang yang bersenjata Kapak Setan
Kubur. Pasti ia gunakan sinar hijaunya kapak tersebut, sehingga tubuh mayat itu
tercabik-cabik mengerikan begini."
T embang Selayang memperhatikan mayat itu beberapa saat, karena khawatir kalau-kalau mayat itu adalah mayat ayahnya
sendiri. T api setelah dilihat dari jenis pakaiannya yang bukan putih tapi
coklat muda, maka T embang Selayang pun hembuskan napas lega, karena yakin bahwa
mayat itu bukan ayahnya.
Mereka lanjutkan perjalanan dengan kesimpulan
semakin kuat, bahwa mereka sudah semakin dekat
dengan pusaka Kapak Setan Kubur.
"Waspada dan hati-hati, kita sudah semakin dekat dengan pusaka itu," kata Suto
Sinting mengingatkan T embang Selayang, tapi yang menjadi ketakutan T ua Bangka.
Orang bergigi depan tinggal dua itu lebih merapat kepada Suto, melangkah sambil
memegangi tali bumbung tuak Suto karena merasa takut mendapat
serangan dadakan.
"Kalau kau gelayuti begini langkahku tak bisa be bas, T ua Bangka. T enang
sajalah, aku tak akan biarkan pusaka itu menyantap tubuh tuamu!"
T ua Bangka bersungut-sungut dengan gerutuan tidak jelas, ia melepaskan
pegangannya dan memberanikan diri untuk berjalan agak jauh dari Pendekar Mabuk.
Hal itu membuat Pendekar Mabuk sempat tersenyum geli memperhatikan lagak T ua Bangka
yang tak mau dibilang pengecut itu.
Senja kian menipis ketika mereka tiba di lereng sebelah
barat Gunung Bunting. Langkah mereka diperlamban dengan mata mulai menegang karena
mereka mulai mencium bau asap bakaran. Mata mereka menatap
penuh waspada. Angin senja bertiup menggeraikan rambut mereka.
"Ooh... Suto, lihat itu!" seru T ua Bangka sambil merapatkan diri pada Suto


Pendekar Mabuk 046 Kapak Setan Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sinting. Apa yang dituding T ua Bangka menjadi pusat perhatian mereka.
T iga sosok mayat terkapar dalam keadaan mengerikan, yang satu tercabik-cabik, satunya lagi terbakar hangus menjadi
arang, dan yang satunya lagi terpotong-potong
menjadi beberapa bagian. Diperkirakan potongan itu berjumlah tiga puluh tiga bagian.
"Semakin jelas, seseorang telah menggunakan pusaka Kapak Setan Kubur dalam waktu
belum terlalu lama dari kedatangan kita ini, T embang Selayang."
"Ya, aku pun berpendapat demikian. T api siapa mereka ini?"
T ua Bangka tiba-tiba berkata, "Tombak mereka ada di ba wah batu itu."
"Oh benar. Mereka bersenjata tombak dan... dilihat dari jenis hiasan benang
bawah mata tombak itu, sepertinya mereka para prajurit sebuah negeri," gumam T
embang Selayang.
"Benar. Aku ingat tombak ini merupakan ciri tombak prajurit Kadipaten Balungan!"
ujar T embang Selayang dengan wajah tegang. "Aku masih hafal ciri-ciri tombak
mereka. Suto Sinting dan T embang Selayang saling beradu pandang.
"Kadipaten
Balungan..."!
Mungkinkah orang kadipaten sudah mendului kita merebut Kapak Setan Kubur, Suto?"
"T ak menutup kemungkinan, hal itu bisa saja terjadi.
Mungkin mereka mendapat kabar dari seseorang bahwa kapak pusaka itu ada di
tangan Dewa Beruk. Hanya saja, apakah mereka berhasil merebut kapak pusaka itu
atau masih tetap bertahan di tangan Dewa Beruk"!"
Langkah mereka semakin cepat menuju pusat perguruan. Sepanjang jalan ditemukan mayat bergelimpangan.
Ada yang mati dengan ciri-ciri kedahsyatan Kapak Setan Kubur, ada pula yang mati karena tebasan senjata tajam
lainnya. Mayat-mayat itu bukan hanya menandakan sebagai ciri prajurit Kadipaten
Balungan, namun terdapat pula mayat orang Perguruan Monyet Sakti.
"T ak dapat dipungkiri lagi, Suto... belum lama ini pasti terjadi pertarungan
antara orang kadipaten dengan orangnya Dewa Beruk," ujar Tembang Selayang.
"Ya, benar. Kita lihat saja bagaimana keadaan di pusat perguruan itu!"
T ernyata keadaan di pusat Perguruan Monyet Sakti semakin
menyedihkan. Perguruan hancur, porak- poranda, terbakar di sana-sini. Nyaris tak ada bangunan yang
tersisa. Mayat pun semakin banyak bergelimpangan, jumlahnya lebih dari tiga puluh mayat.
Bahkan ada beberapa ekor kuda yang mati menjadi hangus atau terpotong menjadi
tiga puluh tiga bagian.
T ua Bangka memandang dengan
wajah sangat tegang. Langkahnya tak jauh dari Pendekar Mabuk.
Matanya mendelik memandangi sekelilingnya.
"Gila! Di mana si Cawan Pamujan kalau begini?"
gumamnya mencari sang cucu.
"Mengapa kau mencari cucumu di sini, T ua Bangka?"
"Aku takut kalau cucuku mengalami nasib seperti ini!" ujar T ua Bangka dengan
wajah menyeringai antara sedih dan ketakutan.
Mereka melangkah semakin ke dalam bekas benteng perguruan. T ernyata hampir
seluruh murid perguruan binasa. Beberapa prajurit kadipaten pun tampak mati
mengenaskan. T embang Selayang berseru, "Dewa Beruk...! Keluarlah, aku yang datang; T embang Selayang!
Keluarlah Dewa Beruuuk...!"
T ak ada jawaban apa pun yang mereka peroleh. Suara tak ada, gerakan pun tak
ada. Yang ada hanya sisa asap kebakaran
yang merambah bagai mempercepat datangnya sang petang.
"T ak ada tanda-tanda kehidupan lagi," kata Suto Sinting kepada T embang
Selayang."
"Mengerikan sekali!" gumam T ua Bangka dengan wajah tetap tegang.
Mereka memeriksa seluruh tempat, dan ternyata
memang tak ada satu pun korban pertarungan yang bisa diselamatkan.
"Aku tak temukan
mayat Dewa Beruk," kata T embang Selayang. "Berarti dia melarikan diri atau lakukan
pengejaran bagi prajurit kadipaten yang selamat!" "Jika dia memegang Kapak
Setan Kubur, tak mungkin ia mundur dan melarikan diri. Pasti maju menyerang atau mengejar," kata
Suto Sinting dengan penuh keyakinan.
Mereka bergegas menuju ke Kadipaten Balungan.
T etapi langkah mereka terhambat malam, T ua Bangka tak berani lakukan
perjalanan malam. Mau tak mau mereka
bermalam kembali ke Desa Panganbumi.
Sasaran mereka adalah penginapan Ki Punjul, tempat Suto dan T embang Selayang
bertemu dengan Guci
Kopong serta Pawang Kera. Dalam hati mereka merasa heran karena mereka tidak
menemukan mayat Guci
Kopong dan Pawang Kera. Dugaan yang ada pada
mereka adalah pengejaran yang dilakukan oleh Dewa Beruk terhadap orang-orang
kadipaten diikuti pula oleh beberapa murid perguruan, di antaranya Guci Kopong
dan Pawang Kera.
"Atau barangkali mereka mati hangus menjadi arang yang sukar kita kenali ciri-
cirinya itu?"
"Mungkin saja begitu," jawab Suto Sinting saat mereka mengadakan percakapan di
penginapan tersebut.
Desa itu menjadi desa yang sepi dan sunyi. T idak
seramai malam yang lalu. T entu saja hal itu menimbulkan pertanyaan di batin Suto Sinting, sehingga ia pun ajukan pertanyaan
kepada Ki Punjul, si pemilik kedai dan penginapan itu.
"Mengapa sepi sekali, Ki" Malam kemarin begitu ramai. Banyak pembeli yang
berkunjung ke kedai ini."
"Yah, maklum saja habis terjadi peristiwa mengerikan sebelum sore tiba tadi," jawab Ki Punjul dengan waswas.
"Peristiwa apa yang terjadi itu, Ki Punjul?"
"Dewa Beruk mengamuk karena perguruannya dibumihanguskan oleh orang kadipaten."
Jawaban Ki Punjul membuat mata Tembang Selayang menatapnya tak berkedip. T ua
Bangka ikut-ikutan memandang Ki Punjul dengan hasrat mendengarkan
cerita seru. Ki Punjul menjelaskan kembali apa yang dilihat dengan mata
kepalanya sendiri.
"Ada dua prajurit yang lari kemari, masuk ke dalam kedai ini. T api mereka
segera dilempar keluar oleh Guci Kopong, lalu di sana mereka disambut oleh Dewa
Beruk yang bersenjata kapak dari emas. Kedua prajurit itu akhirnya hangus dan
menjadi arang tak berbentuk lagi.
Mengerikan sekali untuk dikenang. Senjatanya sangat ganas, kurasa orang
kadipaten akan dibantai habis oleh Dewa Beruk yang murka itu."
Semakin jelas sekarang, bahwa pusaka Kapak Setan Kubur memang ada di tangan Dewa
Beruk. Cerita tersebut membuat Suto dan Tembang Selayang tertegun beberapa saat. T ua Bangka
ikut-ikutan termenung,
bagaikan sedang membayangkan kengerian dari pertarungan tersebut.
"Sekarang ke mana perginya Dewa Beruk, Ki?" tanya T embang Selayang.
"Mereka menuju ke kadipaten Balungan. T entunya yang menjadi sasaran mereka
adalah sang Adipati Janarsuma,
karena beliaulah yang memerintahkan menyerang Perguruan Monyet Sakti untuk dapatkan kapak emas itu."
"Berapa orang yang mengikuti Dewa Beruk, Ki?"
tanya Suto Sinting.
"Hanya dua orang; si Guci Kopong dan Pawang Kera, serta seorang gadis yang
agaknya menjadi tawanan Dewa Beruk."
"Seorang gadis"!" T embang Selayang bergumam heran sambil menatap Ki Punjul.
Suto Sinting dan T ua Bangka pun memandang Ki Punjul dengan penuh rasa ingin
tahu. "Ya, seorang gadis berpakaian kuning kunyit,
berwajah cantik dan masih muda."
"Dari mana kau tahu kalau gadis itu menjadi tawanan Dewa Beruk?"
"Kedua tangannya selalu dalam ikatan, dan Pawang Kera yang menjaganya."
Pendekar Mabuk manggut-manggut. T ua Bangka
tampak gelisah, ia ditepuk oleh Suto dan berkata,
"Jangan takut, ia tidak akan bisa memperlakukan dirimu seperti gadis itu karena
kau bersamaku dan bersama T embang Selayang."
T ua Bangka ambil napas dalam-dalam, lalu terbatuk-batuk sesaat. Suara tuanya
terdengar kembali bernada mirip orang menggerutu.
"Kalau kalian lakukan pertarungan mana sempat menjagaku"! Aku bisa dihantam oleh
anak buahnya yang satu lagi."
Pendekar Mabuk menertawakan kecemasan T ua
Bangka. Beberapa saat kemudian T ua Bangka berkata lagi,
"Aku tak perlu ikut ke kadipaten. Aku tinggal di penginapan
sini saja. Orang kadipaten akan mengeroyokku karena peristiwa tempo hari itu."
"Kalau kau di sini, aku tak bisa menjagamu," kata Suto Sinting. "T api kalau kau
memang merasa aman di sini, yakin bahwa Dewa Beruk atau yang lainnya tak akan
muncul di sini, ya silakan saja kalau kau mau tinggal di penginapan ini. Tapi
jika terjadi sesuatu yang mencelakan
dirimu, jangan salahkan diriku dan T embang Selayang"
T ua Bangka garuk-garuk kepala. Semalaman ia tak tidur karena memikirkan hal
itu. Paginya ketika Suto dan T embang Selayang berangkat ke kadipaten, T ua
Bangka memutuskan untuk ikut mereka. Karena ia ingat janjinya kepada
Suto Sinting yang telah menyelamatkan nyawanya dari tiang gantungan, bahwa ia akan ikut Pendekar Mabuk ke mana pun
anak muda itu pergi.
Rupanya perbatasan wilayah Kadipaten Balungan
telah terjadi pertarungan seru antara

Pendekar Mabuk 046 Kapak Setan Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orangorang kadipaten dengan Dewa Beruk. Jumlah yang melibatkan
diri dalam pertarungan itu sekitar sepuluh prajurit dari kelas teri sampai kelas
kakap. Branjang Kawat pun ada di antara mereka. Orang pilihan sang Adipati itu
tidak lakukan pertarungan secepatnya, namun mencoba mempelajari kelemahan Dewa Beruk yang bersenjatakan Kapak Setan Kubur itu.
Guci Kopong dan Pawang Kera ikut ambil bagian
juga se bagal pihak pembela Dewa Beruk. Melihat tingkah laku Dewa Beruk,
Branjang Kawat yang bertubuh tinggi dan berbadan kekar dengan celana serta rompinya yang berwarna
biru tua itu, segera melesat dari tempat berdirinya dan tahu-tahu menebaskan
pedangnya ke punggung Guci Kopong.
Wuutt...! Craass...!
"Aaaahhg...!" Guci Kopong memekik dalam keadaan punggung terbelah.
Dewa Beruk segera berpaling menatap kematian anak buahnya yang berbadan gemuk
itu. Orang berjubah hitam yang sebentar-sebentar garuk-garuk badan itu segera
bersalto ke belakang dan kakinya mendarat di tanah depan Branjang Kawat.
"Bangsat kau! T ebus kematian anak buahku ini dengan nyawamu! Hiaaat...!" Dewa
Beruk sentakkan kaki dan melenting di udara pada saat Branjang Kawat menebaskan
pedangnya. Pedang lewat di bawah kaki Dewa Beruk, lalu kapak emas bermata tiga yang
digenggamnya sejak tadi itu dikibaskan dari kiri ke kanan.
Wuuuttt...! Claapp...! Sinar biru keluar dari mata kapak berbentuk gerakan tak beraturan dan sukar diketahui ke mana arah gerakan sinar
itu, kemudian sinar biru tersebut menyambar tubuh Branjang Kawat. Jrraaab...!
Bleegaarrr...! T ak ada suara yang timbul dari Branjang Kawat.
T ubuh itu langsung berasap dan rubuh tak berkutik.
Keadaannya sudah hitam menjadi arang berasap dengan senjata pedangnya ikut-
ikutan menjadi cairan kental yang meleleh
lumer dan akhirnya membeku tak
berbentuk lagi.
Sementara itu, Singa Parna yang ikut dalam pertempuran itu berhasil membokong Pawang Kera
dengan tombaknya. Tombak bermata tiga itu dihujamkan ke punggung Pawang Kera, ketika orang itu sedang menangkis serangan
lawan dari depan. Jruubb...!
"Aaahgg...!" Pawang Kera memekik keras sekali dengan tubuh melengkung ke depan,
kemudian rubuh tak bernyawa. Dewa Beruk semakin buas, murkanya dilepaskan tiada
batas. Pada waktu itu, rombongan Pendekar Mabuk tiba di tempat tersebut. Namun mereka
tidak segera bertindak karena perlu mempelajari keadaan setempat.
T iba-tiba T ua Bangka berseru dengan mata melebar dan wajah menegang,
"Cucuku...! Cawan...! Cawan Pamujan! Oooh... itu dia cucuku! Ca wan
Pamujaaan...!"
Seorang gadis yang kedua tangannya diikat ke
belakang berseru memanggil T ua Bangka. "Kakeeek...!"
Gadis berpakaian hijau muda dengan rambut di konde dua
itu se gera berlari menerobos hiruk-pikuknya
pertarungan. Gadis cantik berwajah imut-imut itu membuat pandangan mata Pendekar Mabuk terpana
beberapa saat. T ua Bangka segera berlari tertatih-tatih menyambut kedatangan
cucunya. Suto Sinting dan
T embang Selayang menjadi cemas.
"T ua Bangka, jangan mendekati pertarungan! T ua Bangka, kembaliii...!" teriak
Pendekar Mabuk. Namun si T ua Bangka tidak pedulikan seruan itu. Ia tetap
berlari menyongsong cucunya; si Cawan Pamujan.
Zlaaap...! Pendekar Mabuk bergerak cepat
dan menyambar gadis itu. Pada saat sang gadis disambar Suto, kilatan cahaya merah
mengarah kepada mereka.
Pendekar Mabuk cepat sentakkan kaki dan, zlaaap...! Ia bergerak lebih cepat dari
cahaya merah yang datang dari kapak emas tersebut.
Gerakan Suto Sinting yang kedua itu disertai raihan tangan kirinya sehingga
menyambar tubuh kurus si T ua Bangka.
Gelegar le dakan berbunyi saling bersahutan. T enaga dalam orang-orang kadipaten
diadu dengan kekuatan dahsyat yang keluar dari Kapak Setan Kubur itu.
Pendekar Mabuk berhasil selamatkan Cawan Pamujan dan T ua Bangka dari hujan sinar yang
dikeluarkan dari kapak maut tersebut. Murka sang Dewa Beruk membuat ia
melepaskan sinar itu ke sembarang arah, sehingga korban pun berjatuhan.
"Cawan...! Ooh, cucuku... untung kau selamat, Nak.
Untung kau masih hidup!" T ua Bangka memeluk cucunya, si Cawan Pamujan.
Sementara itu, T embang Selayang buru-buru melepaskan tali pengikat yang
menjerat kedua tangan gadis berwajah mungil manis itu, sehingga sang gadis
berkulit kuning langsat itu pun bisa memeluk kakeknya dalam tangis.
"Kakek... aku takut, Kek...!"
"Kau nakal, akibatnya
begini! Kau tidak
bisa kendalikan nafsumu, dan hampir saja nyawamu melayang!" sang kakek ngomel dengan hati girang, sebentar-sebentar memeluk
cucunya. "Sebaiknya menyingkir di bawah pohon sana supaya kau dan cucumu aman, T ua
Bangka!" saran T embang Selayang, karena ia bersiap akan menghadapi Dewa Beruk
bersama Pendekar Mabuk.
"Dia membawa kapak itu, Kek. Dia merampasnya, dan membunuh orang banyak dengan
kapak itu!" celoteh Cawan Pamujan dengan cerewet dan bernada manja.
T iba-tiba hening tercipta bagai membungkam alam.
Rupanya sekian banyak orang kadipaten telah berhasil ditumbangkan oleh Dewa
Beruk. Keadaan itu membuat Suto Sinting, T embang Selayang, T ua Bangka, dan
Cawan Pamujan menjadi terbungkam sambil memandangi Dewa Beruk yang masih garuk-garuk
ketiaknya. Orang berjubah hitam yang punya wajah angker itu segera menatap ke arah
rombongan Suto Sinting. Pada saat itu Suto sempat berbisik pelan kepada T embang
Selayang, "Jagai aku. Biar aku yang maju sebagai umpan kapak itu. Akan kuhadapi dengan
bumbung tuakku!"
"Baik. Majulah, kujagai dari sini!"
Dewa Beruk garuk-garuk perut dengan tangan kirinya sambil berseru dengan
ganasnya. "Kalian juga kehendaki kapak ini" Majulah kalau kalian ingin kupotong-potong,
atau kubakar hangus seperti orang-orang kadipaten itu!"
Pendekar Mabuk cepat-cepat menenggak tuak, tapi tidak semuanya ditelan. Sisanya
dibendung dalam mulut untuk disemburkan. Dan pada waktu itu Dewa Beruk tak sabar
ingin menuntaskan murkanya. Maka kapak emas itu segera dikibaskan dari atas ke
bawah. Wuuutt...!
Claapp...! Wut, wut, wut, wut, wut...! Gerakan sinar merah yang keluar dari
kapak itu zigzag ke sana-sini sukar diikuti oleh pandangan mata. Sinar merah
adalah sinar yang akan memotong tubuh Pendekar Mabuk
menjadi tiga puluh tiga bagian. Namun karena di mulut Pendekar Mabuk sudah
tersimpan tuak yang sebenarnya ingin digunakan untuk menyembur kapak itu dengan
jurus ' Sembur Siluman', supaya kapak menjadi lenyap dari genggaman Dewa Beruk,
terpaksa kali ini yang digunakan Suto Sinting adalah jurus ' Sembur Wiwaha',
yang mampu memercikkan api dari semburan tuaknya dan membakar ke mana-mana.
Brruusss...! Pendekar Mabuk lakukan semburan tuak ketika sinar merah itu mendekat ke arahnya.
Percikan api keluar dari mulut Pendekar Mabuk dan menyergap sinar merahnya
Kapak Setan Kubur.
Zraabbb..! Blegaarr...!
Pendekar Mabuk terpental dengan tubuh melambung tinggi. Ledakan itu cukup ganas
dan dahsyat sekali, mengguncangkan
tanah, merubuhkan dua pohon, mendatangkan angin membadai dalam sekejap. T embang Selayang pun terpental jatuh karena gelombang ledak yang menyentak kuat itu. Dewa Ber uk terlempar ke belakang dan
berguling-guling. T ua Bangka rubuh sambil melindungi cucunya hingga tubuhnya
tertindih sang cucu. Ia terbatuk-batuk dan mengerang kesakitan. Namun sang cucu
segera membantunya untuk bangkit, sedangkan Pendekar Mabuk pun baru saja berdiri
kembali dari keadaan yang membantingnya tadi.
Zlaappp...! Suto Sinting maju lebih dekat. Kini jaraknya hanya tiga langkah dari
samping Dewa Ber uk yang sedang berusaha bangkit lagi itu. Kaki Suto Sinting
segera menendang leher Dewa Beruk dengan kuatnya.
Wuuuttt...! Deess...!
"Uuhg...!" Dewa Beruk terlempar dan jatuh tak berapa jauh dari T ua Bangka.
Ia segera meniup gagang kapak pusaka itu. Puih...!
Dan tiga mata kapak pun terbang berputar-putar
menerjang Suto Sinting. Seketika itu pula, T ua Bangka melompat maju dan kakinya
menendang tangan Dewa Beruk yang masih pegangi gagang kapak, menunggu kembalinya
tiga mata kapak. Deesss...! Wuuuttt...!
Gagang kapak terpental terbang dalam ketinggian melebihi
pucuk pohon. Dewa Beruk terperangah bengong. Sementara itu, T ua Bangka cepat sentakkan kakinya ke tanah, dan
tubuhnya pun melesat ke atas cukup tinggi, ia bersalto satu kali di udara dan
tangannya segera menyambar gagang kapak tersebut. Wuuuttt...!
T eeb...! Suto Sinting kebingungan hindari tiga mata kapak yang menyerangnya, ia terpaksa
gunakan bumbung
tuaknya untuk menangkis. Wuuusss...!
Dar, dar, dar...! T iap mata kapak yang menghantam bumbung tuak selalu timbulkan
ledakan dan nyala api merah yang memercik. Ketiga mata kapak itu tetap terbang
memutar dan kembali ke tempat semula. Pada saat itu T ua Bangka acungkan gagang
kapak ke atas, lalu tiga mata kapak itu hinggap ke ujung gagangnya dan menjadi
rekat seperti sedia kala.
T embang Selayang, Suto Sinting, dan Dewa Beruk sama-sama terperanjat melihat Kapak Setan Kubur kini ada di tangan T ua Bangka. Sesuatu yang
membuat T embang Selayang sulit kedipkan mata adalah gerakan salto T ua Bangka
yang melesat tinggi itu adalah gerakan yang tak pernah dibayangkan T embang
Selayang. T ernyata T ua Bangka mampu melakukannya.
"Keparat kau, orang peot!" geram Dewa Beruk sambil
garuk-garuk lengannya, ia belum sempat bergerak, tahu-tahu T ua Bangka lakukan gerakan yang sukar dilihat mata manusia
biasa. Wuuutt...!
Kakinya menendang Dewa Beruk dengan berputar
cepat. T endangan bertubi-tubi yang amat cepat itu mengenai kepala Dewa Beruk
secara beruntun, lebih dari
sepuluh kali tendangan.
Plak, plak, plak, plok, plok...!
Dan tendangan terakhir adalah gerakan memutar yang sangat cepat. Praaak...! T ua
Bangka diam dalam keadaan pasang kuda-kuda dan kapak terangkat ke atas. Dewa
Beruk terlempar dengan wajah berlumur darah, ia jatuh tepat di samping Suto
Sinting. Agaknya Dewa Beruk masih penasaran. Dengan
menggerang buas ia bangkit dan karena yang terdekat adalah Suto Sinting, maka ia
lepaskan pukulan tenaga dalam andalannya ke arah Suto Sinting.
Pendekar Mabuk melihat geiagat yang akan membahayakan nyawanya. Belum sempat tangan Dewa Beruk bergerak, Suto telah
memutar tubuhnya dengan cepat dan nyaris tak terlihat sedikit pun. Bumbung
tuaknya dilayangkan dan menghantam punggung Dewa Beruk.
Wuuutt...! Grraakkk...!
Ada suara tulang remuk bersamaan terlemparnya
tubuh Dewa Beruk ke arah T ua Bangka. Mulut orang itu semburkan
darah

Pendekar Mabuk 046 Kapak Setan Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke mana-mana. T ua Bangka menyambutnya dengan kibasan kapak emas yang
membelah dari dada ke perut. Breett...!
"Uuuhhg...!" Dewa Beruk akhirnya terkulai, jatuh berlutut dalam keadaan dadanya
terbelah hingga perut, kemudian ia jatuh tersungkur ke depan dan selanjutnya
tidak bernapas lagi.
Suto Sinting buru-buru menenggak tuaknya karena wajahnya memar membiru akibat
geiombang ledakan
yang membuat tubuhnya terbanting tadi. Pada saat itu, T ua Bangka bermaksud
memenggal kepala Dewa Beruk.
T api tiba-tiba sebuah seruan terdengar di sela kesunyian alam.
"Cukup, T ua Bangka!"
Semua mata memandang ke arah orang yang berseru itu. T ernyata Empu T apak
Rengat muncul bersama Pinang Sari, dan Darah Prabu. Mereka sangat terkejut,
terutama Suto dan T embang Selayang. Gadis itu se gera berseru dan berlari
memanggil ayahnya. "Ayaaah...!"
Empu T apak Rengat mengusap-usap punggung anak
gadisnya. "Ayah tak apa-apa! T enanglah."
Suto Sinting segera bertanya, "Dari mana saja kau, Ki Empu T apak Rengat"!"
"T anyakan
pada T ua Bangka itu. Dia yang menculikku dan memenjarakan diriku di dalam gua.
T ernyata di situ juga ada Pinang Sari dan adiknya; Darah Prabu."
"Benar!" seru Pinang Sari dengan wajah kesal. "Aku dan
Darah Prabu ditotok oleh T ua
Bangka dan disembunyikan dalam gua. Pintu gua ditutup dengan batu berlapis tenaga dalam
yang selalu membuatku terpental jika mendekatinya, Suto. Untung ada Empu T apak
Rengat ini, sehingga batu itu bisa dijinakkan dan kami bisa keluar dari gua!"
Suto Sinting pandangi T ua Bangka dengan dahi
berkerut dan mata memancarkan ketajaman. T ua Bangka hanya nyengir dan garuk-
garuk kepala. Empu T apak Rengat segera mendekat dan berkata,
"Lain kali aku tidak suka dengan permainan seperti ini, Sanupati!"
"Maafkan aku, semua demi menyelamatkan pusaka ini. Sekarang kalau kalian mau
menghukumku, silakan!
Aku memang bersalah terhadap kalian."
"Ayah... berarti orang yang bernama Sanupati itu adalah si T ua Bangka ini"!"
"Benar, Anakku. Dialah adik dari Ratu Rias Pundi yang masa
mudanya senang ugal-ugalan.
Setelah bertemu denganku menjadi pria pendiam. Dan Nyai Pucanggeni, adalah bekas
kekasihnya semasa muda."
"Ooo..., pantas aku seperti
pernah melihatnya.
Rupanya dulu aku pernah ikut Guru menemui seseorang di se buah bukit untuk
lakukan percakapan rahasia, dan orang itu adalah dia, Ki Empu!" Pinang Sari
cepat menyahut.
Suto Sinting agak dongkol karena selama ini merasa terkecoh oleh penampilan T ua
Bangka yang berlagak polos, lugu, dan bodoh itu. T ernyata orang yang mau
digantung itu adalah orang berilmu tinggi.
"Apa maksudmu bersandiwara
seperti itu, T ua
Bangka"!" tanya Suto agak menggertak. T ua Bangka nyengir dan garuk-garuk
kepala, seperti orang malu karena merasa bersalah.
"Semua terpaksa kulakukan untuk sembunyikan siapa diriku. Dengan begitu orang
tidak akan mengejar-ngejarku untuk dapatkan Kapak Setan Kubur ini. Orang akan
mengejar orang lain, dan aku hanya membayang-bayangi saja. Aku hanya akan
bergerak jika Kapak Setan
Kubur dan cucuku sudah ada di depan mataku. Saat itulah orang akan tahu bahwa
akulah pemiliknya."
"Kakek,"
kata Cawan Pamujan. "Maafkan kesalahanku. Semua ini gara-gara kelancanganku mencuri pusaka itu untuk membunuh Gandapura!"
Suto Sinting terkejut. "Kau ingin membunuh titisan raksasa itu"!"
"Ya, aku ingin membalas dendam padanya, karena kekasihku dimakan olehnya!" jawab
Ca wan Pamujan dengan ketus, seakan tak mau disalahkan oleh orang lain kecuali
oleh kakeknya sendiri.
"Mengapa bisa jatuh ke tangan Dewa Beruk?" tanya T embang Selayang.
"Dia menyergapku dari belakang. Aku dilumpuhkan, lalu kapak diambil olehnya, dan
aku dijadikan tawanan, mau dipakai pemuas gairahnya. T api belum sampai terjadi.
Sumpah, aku masih suci kok!"
Cawan Pemujan memandang Suto, "Sumpah, aku masih suci!"
"Masa bodoh!" jawab Suto dengan jengkel dan menyingkir dua langkah dari depan
gadis itu. Sikap tersebut membuat Empu T apak Rengat tersenyum geli, demikian
pula T ua Bangka alias Ki Sanupati itu.
Namun dalam hati Suto Sinting sempat membatin
dalam renungannya,
"Pantas sang Adipati menangkap T ua Bangka dan memaksa T ua Bangka serahkan
kapak itu karena ia tahu bahwa T ua Bangka memilikinya. Pantas T ua Bangka
menyebarkan kabar palsu bahwa Kapak Setan Kubur itu
hanya isapan jempoi belaka, maksudnya supaya tak banyak yang memburu pusaka
tersebut. T api, yang membuatku masih merasa heran adalah sikap sang
Adipati Janarsuma. Mengapa ia sangat berkeinginan untuk
memiiiki Kapak Setan Kubur, sampai mengorbankan sekian banyak prajuritnya" Apa yang ingin dilakukan oleh sang
Adipati jika Kapak Setan Kubur ada di tangannya?"
T ua Bangka mendekati Pinang Sari dan Darah Prabu.
"Maafkan aku, aku terpaksa menyembunyikan kalian dulu supaya kalian tak menyebar
kabar bahwa akulah pemilik pusaka ini. Sebab jika kalian bertanya kepada
Badranaya, ia akan sebutkan nama Sanupati alias T ua Bangka. Jadi, sebelum
kalian temui sahabatku; si Badranaya atau gurumu, Darah Prabu, aku terpaksa
mencegah dengan cara sembunyikan diri kalian. Kalau kalian merasa perlu
menghukumku, hukumlah sekarang juga. Aku tak akan mendendam pada kalian."
Pinang Sari menjawab ketus, "Hukumanku hanya suatu permintaan; jaga cucumu,
jangan sampai terlalu dekat
dengan Pendekar Mabuk. Karena ia pandai
menjerat hati wanita!"
Pendekar Mabuk tertawa tanpa suara sambil melengos. T ua Bangka, Empu T apak Rengat, dan Darah Prabu juga tertawa. Se
dangkan T embang Selayang hanya tersenyum-senyum dan Cawan Pamujan cemberut
malu, sembunyi di belakang kakeknya.
SELESAI Se gera menyusul!!!
RENCONG PEMBURU T ABIB
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Ke isel
Conve rt & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: De wi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
Naga Sakti Sungai Kuning 8 Pendekar Bayangan Sukma 26 Pertarungan Para Pendekar Si Tangan Sakti 11
^