Pencarian

Rencong Pemburu Tabib 1

Pendekar Mabuk 047 Rencong Pemburu Tabib Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit.
1 LANGKAH pemuda tampan berbaju coklat tak berlengan itu terhenti seketika.
Kakinya yang dibungkus celana putih lusuh itu segera mengarah ke balik pohon, ia
bersembunyi di sana. Wajahnya memang tak terlihat, tapi bumbung tuaknya yang
menyilang di punggung itu nongol sebagian membuat cara sembunyinya menjadi sia-
sia. Untung saja orang yang sedang diincar belum memperhatikan ke arahnya.
Pemuda berambut panjang lurus sebatas pundak tanpa ikat kepala itu tak lain
adalah, murid sinting si Gila Tuak. Siapa lagi murid yang sinting kecuali bocah
tanpa pusar yang bernama Suto dan bergelar Pendekar Mabuk itu.
Apa yang membuat Suto Sinting hentikan langkah dan ambil tempat sembunyi" O,
rupanya ada seorang gadis sedang menuju ke arahnya. Dari kejauhan saja gadis itu
sudah tampak cantik, apalagi dari dekat. Tentu lebih cantik lagi.
"Aku ingin kenal dengannya. Wajahnya mirip dengan calon istriku yang menjadi
penguasa di Puri Gerbang Surgawi," pikir Suto Sinting.
Ia bergeser sedikit untuk merapatkan bumbung
tuaknya agar tidak nongol dari persembunyian. Dalam hati sang Pendekar Mabuk
masih membatin,
"Dia benar-benar mirip Dyah Sariningrum, calon istriku itu. Bibirnya ranum,
hidungnya mancung, potongan rambutnya yang disanggul naik itu juga mirip
sanggulan rambut kekasihku. Bentuk badannya yang elok, bentuk dadanya yang
tampak sekal dan membusung padat itu, pas seperti Dyah-ku. Ya, ampun...
kenapa dia mirip sekali dengan Dyah-ku" Tapi aku yakin gadis itu bukan Dyah
Sariningrum. Bukan pula saudara kembarnya. Sebab Dyah tidak punya saudara
kembar. Dyah Sariningrum hanya punya satu kakak yang bernama Betari Ayu dan sekarang
menjadi pertapa di Gunung Kundalini, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Telur Mata Setan"). Jadi kurasa ini hanya suatu kebetulan saja. Oh, tapi...
tapi... lho, kok begitu dia?"
Pendekar Mabuk menjadi terheran-heran melihat gadis berjubah putih itu menabrak
pohon kecil. Lalu mundur sedikit dan melangkah lagi dengan berpegangan pada
tongkatnya. Rupanya tongkat yang sepanjang pundak dari kayu biasa itu bukan
tongkat pengusir hewan, melainkan tongkat penuntun. Brruss...!
"Aduh, kok jadi begitu dia, ya" Pohon singkong ditabrak saja" Apakah...
apakah.... Lho, lho... malah mau terjun ke jurang"! Gawat!"
Zlaaap...! Suto Sinting gunakan jurus 'Gerak Siluman'
yang kecepatannya melebihi anak panah, sehingga gerakan cepatnya membuat ia
tampak lenyap begitu saja.
Padahal ia bergerak cepat dan menyambar gadis yang hampir melangkah menuju ke
jurang. Wuuutt...!
"Lepaskan aku! Lepaskan! Jangan perkosa aku!"
"Siapa yang mau perkosa kamu!" sentak Suto Sinting setelah meletakkan gadis itu
di bawah pohon.
"Mengapa kau peluk aku dan kau bawa lari?"
"Karena kau hampir saja masuk ke jurang!"
"Ooh..."! Jurang..." Mana jurang"! Mana..."!" gadis itu clingak-clinguk sambil
gerak-gerakkan tongkatnya ke depan. Plook...! Tongkat itu justru kenai wajah
Suto. "Iih...! Apa-apaan kau ini, muka orang disodok-sodok pakai kayu. Kau pikir
mulutku ini liang belut"!"
"Hi, hi, hi... maaf, Tuan. Aku tidak tahu kalau tongkatku kenai mulutmu," gadis
itu justru tertawa geli, membuat Suto Sinting jadi bersungut-sungut.
Namun kejap berikutnya Suto Sinting berkerut dahi pandangi gadis itu.
"Ooo... dia buta"!" gumam Suto Sinting dalam hati, lalu hati pun terharu dan
merasa menyesal mengecam si gadis.
Untuk memperjelas lagi, Pendekar Mabuk
memandangnya dengan membungkuk hingga sejajar.
Wajahnya tepat ada di depan wajah si gadis. Mata si gadis melek, indah, dan
bening, tapi ketika wajah Suto bergerak ke kiri dan ke kanan, bola mata gadis
itu tidak ikut bergerak-gerak. Tangan Suto didekatkan ke mata si gadis, lalu
digerak-gerakkan, bola mata itu tidak ikut bergerak. Kemudian Suto pindah tempat
ke samping kanannya secara diam-diam. Gadis itu bicara dengan
seolah-olah merasa Suto ada di depannya.
"Apa yang kau lakukan di depanku, Tuan"
Memandangiku, ya?"
"Aku ada di sampingmu, Nona."
"Ooh...?" gadis itu malu dan segera berpaling ke samping dengan sorot pandangan
mata datar. "Kau nakal, Tuan. Kenapa tidak bilang padaku kalau pindah ke
samping?" "Maaf, aku tidak tahu kalau kau... kalau kau buta."
"Apa..."!" gadis itu menyentak dan berdiri. "Enak saja mengatakan aku buta! Aku
bukan gadis buta!"
"Oh, dia tersinggung?" pikir Suto Sinting.
Pendekar Mabuk pindah ke belakang gadis itu, tapi sang gadis masih ngomel sambil
menuding-nuding bagian depannya.
"Jangan bicara seenaknya begitu! Boleh kita buktikan dengan adu ketangkasan,
siapa yang kalah nanti, aku atau kau...!" dia menuding ke depan.
"Aku ada di belakangmu, Nona."
Nona yang menjadi galak itu cepat berbalik, "Aku tahu kau di belakangku. Tadi
aku sedang malas berputar, tahu"!" ia membentak lagi. Suto Sinting menahan geli
dan sedikit tundukkan kepala.
"Maafkan kata-kataku kalau menyinggung perasaanmu, Nona."
"Aku tidak tersinggung, aku hanya mengingatkan padamu bahwa aku bukan gadis
buta!" "Iya, iya... kau bukan gadis buta."
"Sebenarnya aku tadi juga melihat ada jurang di
sana," Ia menuding ke arah timur. "Tapi aku sengaja ingin melongok seberapa
dalam jurang itu. Bukan tersesat mau terjun ke jurang itu!" ia menuding ke timur
lagi. "Jurang ada di sebelah barat, Nona. Bukan di sebelah timur. Kau salah tunjuk."
"Memang sengaja," bantah gadis itu masih ngotot juga. "Aku hanya ingin menguji
kau, apakah kau masih ingat arah mata angin atau tidak. Ternyata kau masih bisa
membedakan mana timur dan mana barat!"
Sebenarnya Suto Sinting ingin tertawa terpingkal-pingkal. Tapi takut menyinggung
perasaan si gadis dan membuat gadis buta itu semakin marah lagi. Akibatnya ia
hanya bisa menutup mulutnya dan badannya bergerak-gerak karena tertawa tanpa
suara. "Sudah buta, masih saja ngotot, ngaku tidak buta"!"
gumam hati Suto. "Barangkali dia merasa malu kalau dikatakan gadis buta. Hmmm...
sebaiknya tidak kusinggung-singgung lagi tentang kebutaannya itu."
Kemudian dengan suaranya yang lembut, murid si Gila Tuak itu berkata kepada
gadis berjubah putih,
"Boleh kutahu namamu, Nona" Dan dari mana asalmu, ke mana arah tujuanmu?"
"Kalau bertanya jangan borongan, aku bingung menjawabnya, Tuan," jawab si gadis
dengan nada suara sudah tidak marah lagi.
"Jangan panggil aku Tuan. Panggil saja namaku: Suto Sinting."
"Ooh..."! Benarkah kau yang bernama Suto Sinting,
si Pendekar Mabuk itu"!" si gadis tampak terperangah girang.
"Betul, aku Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting."
"Ah, bohong! Coba kulihat wajahmu...," gadis itu maju selangkah, tangannya
meraba-raba wajah Suto dengan tersenyum-senyum, dadanya juga diraba, lengannya
sampai tangan diraba pula. Suto Sinting diam saja dan sangat memakluminya.
"Kalau dia tidak buta, tak mungkin mengenaliku dengan meraba-raba begini," pikir
Suto. "Oh, benar. Benar sekali."
"Aku benar-benar Pendekar Mabuk, bukan?"
"Kau benar-benar tampan. Tapi belum tentu kau Pendekar Mabuk. Kabar yang
kudengar dari orang-orang, Pendekar Mabuk ke mana-mana selalu membawa bumbung
tuak dari bambu. Tapi mengapa bumbung tuakmu kecil dan lembek begini?"
"Yang kau pegang itu jari telunjukku, Nona," kata Suto agak jengkel jarinya
diremas-remas. "Inilah bumbung tuakku. Peganglah!"
Gadis itu bukan hanya memegang melainkan meraba bumbung tuak dari atas ke bawah,
merasakan bentuknya.
Kemudian senyumnya kian mekar berseri.
"Ooh... ternyata impianku terkabul. Kau benar-benar pendekar kondang itu; Suto
Sinting! Oooh... tenangnya hatiku bisa bertemu denganmu, Suto!" gadis itu
cekikikan, seakan ingin melonjak kegirangan sambil masih pegangi tangan Suto
Sinting. "Rupanya kau sudah lama ingin bertemu denganku."
"Ya, memang begitu. Aku ingin sekali bertemu denganmu. Aku selalu mengidam-
idamkan untuk bisa jumpa denganmu. Tapi sekian lama hanya berupa khayalan
belaka. Baru sekarang menjadi kenyataan yang amat menggembirakan hatiku."
"Bagaimana mungkin kau punya keinginan selama ini sedangkan kau belum pernah
melihatku" Mana mungkin seseorang merindukan orang lain jika ia belum pernah
bertemu dengan orang itu?" kata Pendekar Mabuk bernada curiga.
"Memang aku belum pernah bertemu denganmu, tapi aku sering mendengar kesaktian
tuakmu. Karenanya aku ingin bisa bertemu denganmu, Suto."
"Apa hubungannya dengan kesaktian tuakku ini?"
"Bukankah kau juga disebut Tabib Darah Tuak"
Tuakmu bisa sembuhkan segala penyakit dan bisa menangkal racun apa pun. Aku
sangat ingin mendapat kesembuhan darimu dengan cara meminum tuakmu, Suto."
"Kesembuhan apa maksudmu?"
"Aku... aku terkena racun yang membuat...."
"Membuat matamu jadi buta?"
"Aku tidak buta!" sentak gadis itu mulai terpancing kemarahannya. "Racun itu
tidak membuatku buta, hanya membuat penglihatanku terganggu. Apa yang kupandang
menjadi hitam semua. Mungkin racun yang mengenaiku bernama Racun Hitam."
Suto tersenyum-senyum. Ia tak berani mendesak agar
si gadis mengakui kebutaannya. Ia justru mendukung pendapat si gadis dengan
berkata, "O, jadi kau terkena Racun Hitam" Pantas penglihatanmu serba hitam."
"Iya. Menyedihkan sekali selama racun itu belum bisa tersingkirkan dari darahku.
Sebab itulah aku mencari Pendekar Mabuk dan ingin mendapat kesembuhan. Jika kau
bisa sembuhkan aku dari Racun Hitam, aku akan turuti apa permintaanmu. Apa saja
yang kau minta, aku akan berikan."
"Kalau aku minta kau terjun ke jurang?"
"Aku akan terjun ke jurang juga, asal kau memberiku contoh bagaimana caranya
terjung ke jurang," jawab si gadis dengan sedikit dongkol. Pendekar Mabuk geli
dan merasa suka menggoda gadis itu, sehingga ia menanggapi dengan berbagai
canda. "Apakah kau keberatan untuk mengobatiku, Suto?"
"Tidak, asal kau sebutkan siapa namamu."
Gadis itu diam. Tersenyum malu hingga lesung pipitnya terlihat jelas di mata
Suto Sinting. Kontan hati Suto Sinting berdebar-debar karena ingat Dyah
Sariningrum yang punya lesung pipit jika tersenyum.
"Semakin mirip Dyah-ku jika ia tersenyum. Celaka!
Bisa-bisa aku terpikat dan luluh dalam pelukannya kalau begini caranya. Wah,
kacau juga jantungku. Detaknya terlalu cepat!" gumam Suto Sinting dalam hatinya.
Kemudian gadis yang sudah tampak cukup dewasa dengan usia sekitar dua puluh lima
tahun itu segera perdengarkan suaranya dalam senyuman malu.
"Namaku tak seberapa bagus. Orang-orang memanggilku: Salju Kelana."
"Salju Kelana..."! Hmmm... cantik sekali namamu.
Hampir mirip dengan sahabatku dari Negeri Ringgit Kencana yang bernama Kelana
Cinta." "Oohh..."! Jadi kau kenal dengan adikku"!" gadis itu terperanjat kaget.
Suto Sinting juga ikut kaget. "Jadi... jadi kau kakak dari Kelana Cinta, mata-
matanya Ratu Asmaradani itu"!"
"Benar. Aku kakaknya Kelana Cinta. Tapi aku tidak satu perguruan dengannya."
Suto Sinting manggut-manggut, kemudian terbayang jelas wajah ayu berpakaian
merah jambu dengan rambut cepak seperti potongan rambut lelaki; Kelana Cinta.
Pendekar Mabuk pernah bekerjasama menumbangkan keangkaramurkaan bersama Kelana
Cinta, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Seruling Malaikat").
Ia tak menyangka kalau si gadis yang mirip Dyah Sariningrum itu adalah kakak
dari Kelana Cinta, sebab kecantikannya hanya punya kemiripan pada hidung dan
bibirnya saja. "Tapi kenapa kau tampak lebih muda dari Kelana Cinta" Mestinya kau yang menjadi
adik Kelana Cinta."
"Aku punya ilmu awet muda," kata Salju Kelana.
"Usiaku sebenarnya sudah tiga puluh tahun. Tiga tahun lebih tua dari Kelana
Cinta." "Pantas daya pikatmu sangat kuat," sambil Suto tersenyum-senyum. Ia pandangi
wajah itu sepuas-
puasnya, "Mumpung dia belum bisa melihat," pikirnya.
"Apakah... apakah aku punya daya pikat untukmu, Pendekar Mabuk?" Salju Kelana
menampakkan wajah berseri-seri.
"Aku tak sanggup menjawabnya, karena itu rahasia hatiku. Sebaiknya minumlah
tuakku ini, supaya Racun Hitam segera sirna dan kau bisa melihat dengan terang
kembali." Pendekar Mabuk segera membantu menenggakkan tuak ke mulut Salju Kelana. Gadis
itu meneguknya lebih dari lima tegukan.
"Hei, hei... jangan banyak-banyak nanti aku tak kebagian lagi!" cegah Suto
Sinting. Hatinya membatin,
"Doyan minum juga gadis ini"!"
Mata sang gadis mengerjap-ngerjap dengan senyum penuh harapan. Beberapa saat
setelah itu ia berkata dengan wajah mulai diliputi keraguan.
"Kenapa masih hitam semua" Apakah sekarang malam lagi?"
"Tidak. Sekarang siang hari, Salju Kelana."
Mata indah itu mengerjap-ngerjap kembali, ia mencoba mempertegas pandangan
matanya dengan dahi berkerut-kerut.
"Aku belum bisa melihat apa-apa kecuali bentangan warna hitam saja."
Suto Sinting menjadi bimbang dan sedikit cemas.
"Tunggu beberapa waktu lagi. Racun itu masih dihancurkan oleh tuak saktiku."
"Begitukah?" Salju Kelana dalam kebimbangan.
Namun mendadak tubuhnya melenting di udara dengan amat mengejutkan Suto Sinting.
Wuuuk...! Ia bersalto satu kali dan tangannya berkelebat ke bawah saat
berjungkir balik. Wuuut...! Teeb...!
Salju Kelana turun bagaikan ratu salju mendarat ke bumi karena jubah putihnya
yang terbuat dari kain sutera lembut itu melambai-lambai terbawa angin. Pinjung
penutup dada montoknya yang berwarna ungu itu mirip seperti batuan permata yang
indah dibungkus salju putih.
Jleeg...! Kakinya menapak di tanah, tangan kirinya yang tidak memegangi tongkat
itu terangkat ke depan.
Tangan yang menggenggam itu bagaikan disodorkan kepada Suto Sinting. Pemuda
tampan itu hanya bengong dalam ketidaktahuan.
Genggaman tersebut pelan-pelan terbuka, dan mata Suto terkesiap melihat dua
jarum warna hitam ada di telapak tangan Salju Kelana.
"Jarum apa itu" Kau dapatkan dari mana"!"
"Seseorang menyerang kita dengan jarum beracun ini.
Entah aku atau kau yang ditujunya. Yang jelas aku sudah berhasil menyambar jarum
ini sebelum mengenai tubuh kita."
Suto Sinting tertegun bengong memandangi dua batang jarum hitam di tangan gadis
itu. Dalam hati sang pendekar membatin, "Tinggi juga ilmu gadis ini. Aku sendiri
yang bisa menggunakan mata dengan sehat tidak melihat gerakan jarum itu, tapi ia
yang masih buta ternyata bisa melihat gerakan jarum dan mampu menangkapnya.
Cukup kagum aku pada ilmunya. Berarti
dia melihat dengan mata batin. Hmmm... berarti mata batinnya sangat tajam,
melebihi mata kepala manusia biasa."
Salju Kelana menelengkan kepala, seperti sedang mendengarkan suatu bunyi yang
jauh. Kemudian tanpa memandang Suto ia berkata pelan,
"Ada orang di balik pohon sebelah belakangku itu."
Pendekar Mabuk segera menggunakan jurus 'Lacak Jantung' untuk mendengarkan degup
jantung orang di sekitarnya. Ternyata apa yang dikatakan Salju Kelana memang
benar, ada degup jantung lain yang detakannya lebih cepat dari jantung milik
gadis itu maupun jantungnya sendiri. Detakan jantung lebih keras menandakan
pemiliknya sedang menahan getaran.
Tongkat kayu segera dihantamkan si gadis pada sebutir batu tak seberapa besar.
Trak...! Wuuut...! Batu melayang cepat dan menghantam pohon jati. Duaarrr...!


Pendekar Mabuk 047 Rencong Pemburu Tabib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Mabuk terkejut. Ternyata batu itu dialiri tenaga dalam yang meluncur
melalui kayu tersebut.
Akibatnya ketika batu itu menghantam batang pohon, terjadilah suatu ledakan yang
cukup keras dan membuat batang pohon jati itu somplak separo bagian.
"Edan! Kalau yang terkena batu itu kepala manusia bagaimana"!" pikir Suto
Sinting dengan mata tak berkedip. Hal yang membuatnya kagum dan terheran-heran
adalah keadaan sang gadis yang kelihatan lemah dan cacat namun ternyata
mempunyai ilmu cukup tinggi.
Ledakan tersebut membuat sesosok bayangan berkelebat keluar dari balik pohon
itu. Wuuuk...! Jleeg...! Lalu, bayangan itu menampakkan wujudnya sebagai seorang lelaki berusia
sekitar empat puluh tahun dengan rambut panjang diikat memakai kain merah dan
baju serta celananya berwarna hitam. Orang itu bertubuh tegap, tak seberapa
tinggi, tapi mempunyai lengan yang kekar. Bajunya juga tanpa lengan sehingga
tampak sepasang tato kepala singa dan kepala naga di kedua lengannya.
"Keparat kau, Salju Kelana! Hampir saja kau hancurkan kepalaku dengan batu itu!"
geram orang berwajah angker yang menyandang golok di pinggang kirinya. Ia
melangkah mendekati Salju Kelana, tapi dalam jarak enam langkah sudah berhenti.
Salju Kelana maju dua tindak sambil ketuk-ketukkan tongkat kayu di depan
langkahnya sebagai alat pencari jalan. Pendekar Mabuk tidak ikut mendekat,
karena ia tidak kenal dengan orang bertampang angker itu. Ia justru tetap diam
di tempat menyimak pembicaraan mereka, namun matanya tetap awas, menjaga bahaya
yang bisa menyerang Salju Kelana sewaktu-waktu.
Dengan memiringkan kepala menyimak suara orang bertato itu, Salju Kelana dapat
mengenali orang tersebut, sehingga ia pun segera sunggingkan senyum sinis dan
berkata ketus, "Masih belum jera menemuiku, Calo Mayat"!"
"Sebelum kau mati dan mayatmu berhasil kujual, aku tidak akan jera menemuimu,
Salju Kelana!"
Pendekar Mabuk hanya membatin, "Orang wajah angker itu bernama Calo Mayat.
Hmmm... lucu juga
namanya. Pantas sekali kalau dia menjadi makelar mayat, karena wajahnya tak jauh
berbeda dengan kuburan keramat!"
Calo Mayat berkata dengan nada tak bersahabat.
"Sekalipun kau sudah punya pengawal ingusan macam pemuda itu, aku tetap bernafsu
untuk menjual mayatmu!
Karena mayat perempuan cantik semacam kau akan laku mahal dan sangat
menguntungkan. Ha, ha, ha, ha...!"
"Barangkali saat ini kau yang akan menjual mayatmu sendiri, Orang Sesat!"
Gertakan itu ditertawakan oleh si Calo Mayat.
"Percuma kau menggertakku, Salju Kelana. Nyaliku tak akan berkurang sedikit pun.
Aku tetap akan menangkapmu; menjadi mayat saja harganya mahal, apalagi aku bisa
menangkapmu hidup-hidup, pasti harganya jauh lebih mahal!"
"Cobalah kau lakukan kalau memang kau sudah cukup ampuh, Calo Mayat!" tantang
Salju Kelana tanpa rasa takut sedikit pun.
Calo Mayat panas hati, menggeram dengan penuh hasrat untuk membunuh. Ia pun
segera melompat secara tiba-tiba, menerjang Salju Kelana yang masih diam berdiri
dengan tenang. "Heeeeaaat...!"
Wuuut...!"
Slaaap...! Salju Kelana lemparkan dua batang jarum yang tadi ditangkapnya.
Setelah lemparkan jarum ke arah lawan, ia bersalto mundur dua kali. Plak,
plak...! Ia berdiri tak seberapa jauh dari Pendekar Mabuk.
"Keparat...!" sentak Calo Mayat melihat jarum berkelebat mengarah kepadanya. Ia
segera bentangkan telapak tangan kirinya untuk menangkis jarum tersebut.
Jrub, jrub...! Jarum menancap di telapak tangan kiri Calo Mayat.
Orang itu tak merasakan sakit sedikit pun. Padahal jarum itu jelas beracun
ganas, tapi agaknya Calo Mayat orang yang tidak mempan oleh racun.
Tangan kirinya segera gemetaran, mengepulkan asap tipis, kemudian tangan itu
disentakkan ke depan dengan satu teriakan keras. "Heaaah...!" Kaki pun
menghentak ke bumi.
Dua jarum di tangan bagaikan terpental membalik arah dan menyerang Salju Kelana.
Weet... weet...!
Melihat hal itu Pendekar Mabuk menjadi cemas, khawatir Salju Kelana tidak
mengetahui datangnya dua jarum tersebut. Maka dengan gerak cepatnya yang sukar
dilihat mata orang biasa itu, Pendekar Mabuk berkelebat menangkis jarum tersebut
dengan bumbung tuaknya.
Zlaaap...! Trang, trang...! Jarum itu bagaikan menghantam besi baja berongga. Bumbung tuak
tak mampu ditembus dengan dua jarum, akhirnya jarum itu berbalik arah lagi
dengan gerakan lebih cepat. Zraaab...!
Calo Mayat kaget melihat jarumnya kembali menyerangnya dengan cepat sekali. Ia
melompat menghindari jarum-jarum itu sambil memaki.
"Bangsat kurap...!"
Jrrabb...! "Aaaaaa...!" Calo Mayat terpekik keras karena mata kakinya tertusuk salah satu
dari kedua jarum tadi. Ia segera jatuh kehilangan keseimbangan. Mata kakinya
berasap biru. Ia mengerang panjang menahan sakit.
"Jahanam kau...! Awas, akan kubalas kejahanamanmu ini suatu saat. Uuhh...!"
Wuuut...! Calo Mayat melesat cepat dengan sentakkan kaki yang tidak terkena
jarum, ia melarikan diri menabrak apa saja yang ada di depannya. Suto Sinting
membiarkan orang wajah angker itu pergi.
Sementara itu jarum yang lainnya menancap pada sebatang pohon. Pohon tersebut
berasap dan akhirnya menjadi kering, batangnya mengeriput, daunnya berguguran
warna coklat kering.
"Dahsyat sekali sebenarnya racun dalam jarum itu,"
gumam Suto Sinting dengan nada kagum.
Salju Kelana berkata pelan sambil memandang tanpa arah, "Kau kembalikan jarum
itu tepat pada sasaran.
Calo Mayat memang orang kebal racun. Tapi ia punya kelemahan di mata kaki. Jarum
yang menancap di mata kakinya jelas akan membuatnya menderita jika tak segera
temukan obat penangkai racun tersebut."
"Dari mana kau tahu kalau jarum itu menancap di mata kaki si Calo Mayat?" tanya
Suto dengan heran dan agak curiga.
"Suara menancapnya jarum dan hembusan tubuhnya yang melompat ke atas bisa
kubayangkan dalam pandangan mata hatiku," jawab Salju Kelana yang membuat
Pendekar Mabuk menggumam kagum lagi.
"Siapa orang itu, Salju Kelana?"
"Makelar mayat. Kerjanya mencari mayat perampuan cantik, dan akan mendapat upah
tinggi jika bisa menyerahkan perempuan muda dalam keadaan hidup-hidup."
"Diserahkan kepada siapa nantinya?"
"Gandapura, penguasa Pantai Ajai yang doyan makan daging manusia itu. Apakah kau
belum pernah mendengar nama Gandapura"!" Saiju Kelana ganti bertanya, ia tidak
tahu bahwa saat itu Pendekar Mabuk terperanjat begitu mendengar nama Gandapura.
Sebab ia tahu persis bahwa Gandapura adalah titisan raksasa yang gemar memakan
daging manusia, ia banyak mendengar cerita tentang Gandapura, di antaranya dari
Ayunda, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Pertarungan Tanpa Ajal").
"Sudah waktunya aku bertindak sebelum korban semakin banyak," gumam Suto
Sinting. Rupanya gumaman itu didengar oleh telinga Salju Kelana yang sangat
tajam itu, sehingga gadis cantik itu bertanya kepada Suto,
"Apakah kau ingin menghadapi Gandapura"!"
"Ya. Aku harus mengakhiri kekejiannya!"
"Mana mungkin, sedangkan menangkal racun yang membuat mataku begini saja kau
tidak bisa. Apalagi menumbangkannya?"
* * * 2 PENDEKAR MABUK merasa dilecehkan oleh kata-kata Salju Kelana, namun ia
menerimanya dengan lapang dada. Ia sendiri heran, mengapa kebutaan Salju Kelana
belum sembuh juga walau sudah meminum tuaknya beberapa kali. Mungkinkah racun
yang membutakan mata Salju Kelana itu tidak bisa ditangkal dengan tuak sakti
tersebut" Lalu dengan apa cara memulihkan penglihatan Salju Kelana itu"
Keadaan seperti itu sangat diperhatikan oleh Pendekar Mabuk, membuat hati Suto
sangat prihatin dan sedih. Karena saat ia memandang Salju Kelana dalam kebutaan,
ia seperti memandang kekasihnya; Dyah Sariningrum dalam kebutaan juga. Secara
tidak sadar Suto Sinting merasa ikut bertanggung jawab memulihkan keadaan Salju
Kelana. Padahal jika Salju Kelana tidak mirip dengan Dyah Sariningrum mungkin
Suto Sinting tak begitu merasa menderita melihat sang gadis berjalan meraba-raba
dengan tongkatnya.
"Sebenarnya kau ingin pergi ke mana, Salju Kelana?"
tanya Suto Sinting sambil memandangi gadis itu tiada habis. Kemiripannya yang
seperti Dyah Sariningrum digunakan oleh Pendekar Mabuk untuk melepas rindu walau
hanya dengan memandang.
"Aku ingin menghadiri pertemuan Kadipaten Balungan."
Suto Sinting kerutkan dahi. "Maksudmu mau bertemu dengan Adipati Janarsuma"!"
"Benar. Kau mengenal sang Adipati Janarsuma"!"
"Aku hanya tahu namanya, tapi belum pernah bertatap muka dengan orangnya," jawab
Pendekar Mabuk sambil membayangkan peristiwa yang membawa-bawa nama Adipati
Janarsuma, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kapak Setan Kubur").
"Apakah kau tak diundangnya untuk datang juga?"
"Tidak," jawab Suto. "Apakah ada suatu keperluan yang amat penting?"
"Jika tidak penting, tak mungkin sang Adipati memanggil beberapa tokoh sakti
dari berbagai pelosok penjuru, terutama yang muda-muda."
"Aneh. Aku tidak diundangnya" Apakah aku tokoh yang tidak disukai karena telah
menggagalkan rencananya dalam memperoleh pusaka Kapak Setan Kubur?" pikir Suto
Sinting. "Atau mungkin aku tidak dianggap tokoh sakti?"
"Kusarankan sebaiknya kau ikut saja dalam pertemuan itu, siapa tahu kau yang
terpilih untuk menggantikan kedudukannya sebagai adipati, penguasa Tanah
Kadipaten Balungan."
Makin berkerut dahi Pendekar Mabuk mendengarnya.
Terasa janggal kabar itu diterimanya, sehingga ia pun segera berkata kepada
Salju Kelana, "Menggantikan kedudukannya sebagai adipati bukan dengan cara pemilihan seperti
memilih kepala kampung.
Biasanya kedudukan adipati diwariskan kepada keturunannya. Atau direbut secara
paksa." "Sang Adipati tidak mempunyai keturunan, sehingga ia ingin mewariskannya kepada
seseorang yang dipandang layak."
Pendekar Mabuk tertawa seperti orang menggumam,
"Ini akal-akalan saja! Pasti ada sangkut pautnya dengan Kapak Setan Kubur. Mana
ada kedudukan seorang adipati diwariskan kepada orang yang tidak punya hubungan
kerabat bangsawan"! Jelas ini suatu pancingan saja, Salju Kelana. Kalian akan
masuk dalam jebakan yang mungkin sukar keluarnya."
Percakapan mereka terhenti karena kemunculan sesosok bayangan yang tahu-tahu
menerjang Salju Kelana. Terjangan itu bagaikan angin berhembus, begitu cepat dan
begitu tiba-tiba.
Wuuuuttt...! Beehg...! Salju Kelana terkena tendangan pada punggungnya. Suara tendangan
begitu keras, sehingga mengejutkan hati Pendekar Mabuk. Agaknya Salju Kelana
dijejak dengan satu telapak kaki cukup telak, sehingga tubuh perempuan cantik
yang mirip Dyah Sariningrum itu tersentak ke depan dan terjungkal.
Wuuut...! Untung ia mampu kendalikan
keseimbangan tubuh, sehingga ia cepat bersalto sebelum mencapai tanah. Tangannya
digunakan sebagai tumpuan.
Bahkan tubuh itu terayun naik sedikit, sehingga begitu berbalik kedua kakinya
langsung menapak di tanah dan cepat berdiri kembali. Jleeg...!
Matanya langsung memandang ke timur, padahal orang yang baru saja menendangnya
ada di utara. Sepertinya gadis itu memandang dengan telinganya yang bergiwang ungu kecil itu.
Pendekar Mabuk hanya terbengong melongo, karena ia sangat kenal dengan penyerang
yang punya kecepatan serang melebihi melesatnya jarum hitam tadi. Orang itu
adalah seorang gadis yang berwajah cantik, berdada montok dan bentuk pinggulnya
menggairahkan. Gadis itu berambut cepak sepeti potongan lelaki, bibirnya mungil,
bulu matanya lentik, mengenakan rompi panjang sampai paha diikat di bagian
perutnya memakai kain kuning. Senjatanya pisau panjang sehasta. Salah satu
cirinya adalah mengenakan giwang merah kecil.
"Siapa kau, Setan"! Mengapa tahu-tahu menyerangku dengan tendangan yang mestinya
mematikan itu"!"
hardik Salju Kelana dengan mencari-cari di mana arah lawannya berada.
Gadis berompi merah panjang itu menampakkan wajah marahnya. Matanya memandang
tajam kepada Salju Kelana, dan sesekali melirik sengit kepada Pendekar Mabuk.
Tentu saja Suto terheran-heran melihat kemunculan gadis itu yang bersikap
memusuhinya, ia pun akhirnya menyapa dengan nada ragu.
"Anggani..."!"
Suara pelan itu ditangkap oleh telinga Salju Kelana, sehingga ia pun ikut
berkata, "Oh, rupanya kau yang menyerangku, Putri Malu"!"
"Memang aku yang ingin membunuhmu, Salju Kelana!'' ucap Anggani yang berjuluk
Putri Malu itu. Ia adalah anak Tabib Getar Hati yang dulu diselamatkan oleh Suto
dari tangan Ratu Sukma Semimpi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Pusaka Bernyawa").
"Anggani, mengapa kau menyerang Salju Kelana"!
Kami tidak lakukan apa-apa. Kami hanya berteman!"
kata Suto yang menduga Anggani menaruh rasa cemburu kepada Salju Kelana.
"Aku tak peduli kalian berteman atau berkasih-kasihan, yang jelas aku punya
urusan sendiri dengan perempuan iblis itu!"
"Jaga bicaramu, Putri Malu!" sentak Salju Kelana.
Kedua perempuan itu sama-sama galaknya, sama-sama beraninya, membuat Pendekar
Mabuk kebingungan mengambil langkah. Anggani baik kepadanya, Salju Kelana pun baik dan
mirip Dyah Sariningrum. Siapa yang akan dibela jika begitu"
Pendekar Mabuk merasa serba salah dalam bersikap.
"Salju Kelana, sudah berapa hari ini aku mencarimu, dan ternyata kutemukan kau
di sini!" "Untuk apa kau mencariku"! Nada bicaramu menandakan kemarahan yang besar.
Jelaskan persoalannya supaya kita tidak sailng bunuh secara sia-sia."
"Tidak ada pembunuh yang sia-sia bagiku, karena aku mencarimu untuk menuntut
balas atas kematian ibuku."
"Hahh..."!" Pendekar Mabuk terperangah kaget. Salju Kelana hanya kerutkan dahi
dan diam beberapa saat.
Perempuan bertongkat itu merasa heran mendengar kabar tersebut, terlihat dari
raut mukanya yang langsung berkerut dahi dan membungkam mulutnya.
"Siapa yang membunuh ibumu?" Suto Sinting ingin mengulang jawaban tersebut.
Karena dalam hatinya
merasa ragu jika Anggani menuduh Salju Kelana sebagai pembunuh ibu Anggani;
Tabib Getar Hati.
"Siapa lagi yang membunuhnya kalau bukan tamu terakhir yang datang kepada ibu
dan meminta tolong untuk disembuhkan dari kebutaannya! Dialah orangnya yang
membunuh ibuku, Suto Sinting! Kalau kau ingin membelanya, belalah dia, aku tak
akan takut melawan kalian berdua!"
"Sabar dulu, Anggani...," Suto Sinting mencoba menenangkan gadis yang sudah
diburu dendam, karena napasnya sudah tidak teratur lagi, wajahnya mulai semburat
merah. "Aku tidak membunuh ibumu, Bodoh!"
"Jangan mungkir, ibils! Kau orang terakhir yang datang kepada ibuku. Sejurus
setelah kau pergi, ibuku sudah tak bernyawa dan tergeletak di atas meja
ramuannya."
"Putri Malu!" sentak Salju Kelana. "Kutinggalkan ibumu dalam keadaan masih
sehat. Kuucapkan terima kasih walau ia mengaku tidak bisa menangkal racun yang
membuat mataku rusak begini! Aku tidak mempunyai dendam atau kebencian apa pun.
Aku tidak kecewa jika memang ternyata Ibumu sudah berusaha mengobatiku, namun
tidak bisa sembuh."
"Omong kosong! Kau pandai memutarbalikkan cerita untuk menutupi kebusukan hatimu
di depan Pendekar tampan itu!" ia menuding Suto dan yang dituding menjadi tak
enak hati. Sebelum Suto Sinting bicara, Salju Kelana sudah
lebih dulu menyentak kepada Putri Malu walau arah wajahnya kurang tepat
menghadap ke arah lawan.


Pendekar Mabuk 047 Rencong Pemburu Tabib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baik kalau kau masih menuduhku begitu! Apa pun yang terjadi, aku tetap tidak
merasa bersalah. Tetapi jika kau ingin mengkambinghitamkan aku, majulah dan
lampiaskan dendammu kepadaku! Jangan salahkan diriku jika nyawamu terbang dalam
dua jurus saja!"
"Persetan dengan jurusmu, kau pikir aku takut dengan gertakan semacam itu!
Hiaaat...!"
Putri Malu segera sentakkan kaki dan melesat menerjang Salju Kelana. Gerakan itu
disambut dengan tongkat kayunya Salju Kelana yang membabat ke arah depan.
Wuuut...! Krraak...!
Lengan Putri Malu terkena pukulan, tapi memang sengaja dikenakan untuk menangkis
sabetan tongkat tersebut. Suara tulang patah dengan kayu patah hampir sama.
Namun nyatanya Anggani masih mampu menghentakkan kakinya ke depan dan wajah
Salju Kelana menjadi sasaran.
Plaaak...! Telapak tangan Salju Kelana menghadang di depan wajah, sehingga
telapak kaki Anggani hanya sampai pada telapak tangan itu. Namun agaknya
sentakan telapak tangan Salju Kelana diiringi dengan hentakan tenaga dalam cukup
besar, sehingga tubuh Putri Malu pun terlempar beberapa langkah jauhnya.
Wuuut...! Brruus...! Anggani jatuh tersungkur di semak-semak, ia segera bangkit dengan menggeram dan
mata memandang kian
buas. Suto Sinting melihat gelagat Anggani ingin lepaskan pukulan jarak jauhnya
yang berbahaya itu.
Maka cepat-cepat Suto melesat di pertengahan jarak kedua perempuan itu sambil
berseru keras, "Hentikan! Hentikan semua ini!"
Anggani sedikit mengendurkan kedua tangannya yang sudah siap melepaskan pukulan
jarak jauh itu. Tapi matanya yang tajam memandang Suto penuh nafsu membunuh. Ia
pun berkata dengan suara menggeram,
"Kalau kau tak mau menyingkir, aku akan melepaskan pukulan ini untukmu juga,
Sutol" "Anggani, pandanglah aku! Jangan lakukan kebodohan!"
Anggani seperti gadis kesurupan, tak bisa diajak berunding lagi. Pukulan sinar
merah dari telapak tangannya dilepaskan ke arah Pendekar Mabuk. Slap...!
Sinar merah panjang tanpa putus itu menghantam Suto Sinting. Keadaan Suto saat
itu serba salah. Jika ditangkis dengan bumbung tuaknya, maka sinar akan membalik
kenai pemiliknya dalam keadaan dua kali lipat lebih besar lagi, berarti Anggani
akan celaka. Jika dihindari sinar itu akan melesat lurus ke belakang Suto,
sedangkan di belakang Suto ada Salju Kelana, tak urung gadis berjubah putih itu
akan celaka juga.
Terlalu lama mempertimbangkan, akhirnya Suto Sinting mencoba menghadang sinar
merah lurus itu dengan pergunakan jurus 'Tangan Guntur' yang mengeluarkan sinar
biru dari telapak tangan. Tapi gerakan itu terlambat. Sinar biru baru memercik
sudah dihantam dengan sinar merah itu. Zraaab...!
Jgaaar...! Pijar api merah menyebar dalam satu hentakan bersama gelegar ledakan yang cukup
keras. Pendekar Mabuk terpental melayang di udara, melewati atas kepala Salju
Kelana, lalu jatuh terkapar dalam jarak delapan tombak dari tempatnya.
"Ooh..."!" Anggani kaget bagaikan baru menyadari apa yang dilakukannya.
"Sutooo...!" serunya sambil berlari menghampiri Pendekar Mabuk. Tetapi Salju
Kelana bergerak lebih dulu. Wuuut...!
Gerakan cepatnya itu menghadang langkah Anggani yang hampir tiba di tempat Suto
terkapar. Keadaan Suto Sinting cukup menyedihkan. Kulit tubuhnya menjadi merah
matang, bagian dada hingga leher tampak hangus.
"Jangan menyentuhnya, Putri Malu!" sentak Salju Kelana.
"Ak... aku... aku tidak sengaja melukainya. Aku... oh, semua ini gara-gara kau,
Setan!" pekik Anggani dengan gusar sekali, ia merasa menyesal melepaskan pukulan
berbahaya itu ke arah Suto Sinting. Pukulan itu mestinya ditujukan untuk Salju
Kelana, karena dapat menghancurkan tubuh lawan menjadi serpihan kecil-kecil.
Jika ternyata keadaan Suto Sinting masih utuh walau mengalami luka bakar yang
amat berbahaya, itu lantaran tenaga dalam yang melapisi tubuh Pendekar Mabuk
cukup besar dan mampu menahan sinar merahnya
Anggani. Sekalipun demikian, Anggani merasa sangat menyesal, karena bagaimanapun
juga Suto pernah berjasa padanya; membebaskan Tabib Getar Hati dari tawanan Ratu
Sukma Semimpi. Tak patut rasanya jika ia harus melukai Suto Sinting separah itu.
"Tinggalkan kami dan jangan kau bertemu denganku lagi kalau ingin umurmu
panjang!" kata Salju Kelana dengan nada berat, pertanda ia menahan kemarahannya.
"Aku harus membalas kematian ibuku kepadamu!'
"Bukan aku pembunuhnya!" sentak Salju Kelana tampak mulai tak sabar.
"Kau... kau...," Anggani serba salah dan diguncang oleh kegusaran. Dalam hatinya
timbul keraguan atas tuduhannya sendiri. Tapi hatinya pun mencemaskan keadaan
Pendekar Mabuk yang tak berdaya lagi itu.
"Tinggalkan kami sekarang juga!" gertak Salju Kelana kembali dengan tangan
meremas-remas tongkatnya bertanda semakin tak sabar ingin melepaskan
kemarahannya. Anggani tampak menangis tanpa suara mengisak. Ia melangkah mundur, dan kepala
Salju Kelana bergerak-gerak pelan memperhatikan bunyi langkah kaki.
Akhirnya Anggani melarikan diri dengan tangis kian menjadi-jadi. Rasa sesalnya
begitu menghantui jiwa sehingga ia berlari sejadi-jadinya tanpa arah dan tujuan.
Salju Kelana dekati Suto Sinting, tangannya meraba-raba wajah, dada, dan seluruh
tubuh pendekar tampan itu. Suto Sinting masih sadar dengan keadaannya. Ia
menahan rasa sakitnya. Napasnya tersendat-sendat,
terasa berat dihela.
"Suto...," ucap Salju Kelana. "Suto Sinting... jawablah aku."
"Uuhg...!" Suto Sinting hanya menjawab dengan keluhan bersuara berat.
"Kau terluka parah. Parah sekali, Suto."
"Tu... tuangkan... minumanku. Tu... tuak!"
"Iyy... iya, ya. Sebentar... di mana bumbung tuakmu tadi?" Salju Kelana meraba-
raba sekitar tempat itu, sampai merangkak melangkahi tubuh Suto Sinting.
Akhirnya bumbung tuak itu ditemukan dan segera diambilnya. Dengan cara meraba
pula Salju Kelana menemukan bagian tutupnya. Tutup itu dibuka, dan ia berusaha
menuangkan tuak tersebut. Namun terlebih dulu ia harus meraba mencari mulut Suto
Sinting. Padahal waktu itu mulut Suto Sinting sudah ternganga, siap menerima tuak. Ketika
jari tangan Salju Kelana menemukan mulut itu, ia terkejut sesaat, karena
menyangka menemukan lubang aneh yang kemudian disadari sebagai mulut Pendekar
Mabuk. "Minum... minumlah tuakmu ini," nada suara Salju Kelana tampak menahan keharuan
yang tak ingin diperlihatkan.
Krucuk, krucuk, krucuk...!
Tuak tertuang pelan di mulut Suto. Pendekar Mabuk berusaha menelannya dengan
susah payah, karena tenggorokannya terasa keras dan perih akibat terbakar
pukulan Anggani tadi.
Tuak itu sempat mengguyur permukaan wajah Suto
Sinting karena Salju Kelana tak tahu kalau mulut Suto telah mengatup. Jika Suto
tidak berusaha mengatakan,
"Cukup...!" sambil gelagapan, tuak tetap akan dituangkan.
Merasa telah membasahi wajah Suto dengan tuak, Salju Kelana selesai menuangkan
tuak itu segera mengeringkan wajah tersebut dengan jubah putihnya.
Sadar ataupun tidak, Salju Kelana sudah menunjukkan sikap kesetiaannya dalam
merawat Pendekar Mabuk.
Namun pemuda tampan itu belum bisa merenungi sikap tersebut, karena yang
terpikir olehnya adalah luka parah yang dideritanya itu.
"Bagaimana keadaanmu, Suto?" sambil Salju Kelana meraba-raba tubuh Suto Sinting,
ingin memastikan hasil pengobatan melalui tuak tadi.
"Tuangkan lagi," ucap Suto agak lancar. Dan Salju Kelana melayani dengan sabar,
seakan penuh ketulusan.
Setelah minum tuak yang kedua, keadaan Suto Sinting mulai membaik. Hawa panas
yang terasa membakar bagian dalam tubuhnya mulai hilang. Sedikit demi sedikit
tenaganya terasa pulih hingga ia dapat menggeliat bangun.
Salju Kelana memegangi lengan Suto Sinting dengan pandangan mata datar, bagaikan
tidak memperhatikan keadaan pemuda tampan itu. Namun ketegangan di wajahnya yang
sudah mengendur itu menampakkan kelegaan hatinya.
"Perlukah kubalas tindakan Putri Malu tadi"!"
ucapnya pelan sambil masih pegangi lengan Suto
Sinting, sesekali meraba punggung dan dadanya.
"Tidak. Anggani tidak sadar dengan apa yang dilakukan. Kau tidak boleh membalas
perbuatannya ini."
"Tapi kau hampir saja tak bernyawa karena ulahnya, Suto."
"Memang. Tapi itu karena ia tak mampu kendalikan jiwanya yang menjadi guncang
karena kematian sang ibu. Kita semua akan mengalami hal demikian jika ibu kita
meninggal, hanya saja mungkin beda cara pengendaliannya."
"Aku masih sanggup mengejarnya jika kau mau!"
"Jangan, Salju Kelana," Pendekar Mabuk pegangi tangan Salju Kelana. Tangan gadis
itu ikut menggenggam pula.
"Keadaanku sudah membaik. Untung ada kau, jika tidak aku tak mampu meraih
bumbung tuakku, akhirnya aku akan mati di sini. Terima kasih, Salju Kelana.
Kuanggap kau telah selamatkan jiwaku."
"Aku hanya melakukan apa yang bisa kulakukan."
Sebaris kalimat bijak itu membuat Pendekar Mabuk menyimpan pujian di dalam hati.
Salju Kelana dianggap gadis bijaksana yang sedikit bengal namun punya nilai
kesetiaan. Pendekar Mabuk semakin tak percaya dengan tuduhan Anggani. Dalam hati kecilnya
berkata, "Tak mungkin Salju Kelana membunuh Tabib Getar Hati. Ia bukan dari
aliran sesat. Apalagi ia kakaknya Kelana Cinta. Jika demikian, lalu siapa yang
membunuh Tabib Getar Hati yang mempunyai jiwa sabar dan bijaksana
itu" Rasa-rasanya aku harus membantu memecahkan persoalan ini dulu sebelum pergi
menemui Gandapura!"
* * * 3 ATAS saran dan bujukan Suto Sinting, Salju Kelana tak jadi menghadiri undangan
pertemuan di Kadipaten Balungan. Ia diminta ikut membantu menyelesaikan perkara
kematian Tabib Getar Hati. Ternyata Salju Kelana bersedia membantu menyingkapkan
tabir misteri pembunuhan sang tabib itu.
"Tapi benar bukan kau pelakunya"!"
"Aku berani sumpah, biar cacat seumur hidup jika aku membunuh Tabib Getar Hati,"
ujar Salju Kelana.
"Aku datang untuk minta disembuhkan dari pengaruh Racun Hitam ini. Tapi setelah
dilakukan penyembuhan, Tabib Getar Hati menyatakan tidak sanggup menangkal racun
dalam tubuhku ini. Aku disarankan untuk mencari tabib lain. Salah satu nama yang
disebutkan adalah namamu: Tabib Darah Tuak. Setelah itu aku pamit pergi mencari
Tabib Darah Tuak."
"Kapan hal itu terjadi?" potong Suto Sinting.
"Lima hari yang lalu," jawab Salju Kelana tak ada kesan berbohong sedikit pun.
Pendekar Mabuk manggut-manggut. Ia mengenang saat-saat lima hari yang lalu, di
mana kala itu ia sedang menyelesaikan persoalan Kapak Setan Kubur.
"Baiklah," kata Suto Sinting yang sudah segera bugar
seperti sediakala. "Sekarang kita cari Anggani, kita bantu ia memecahkan rahasia
kematian ibunya.
Setidaknya ia butuh orang yang dapat menenangkan jiwanya."
"Aku tak keberatan. Hanya saja aku ingin kejujuranmu tentang hubunganmu dengan
Anggani, si Putri Malu itu."
Pendekar Mabuk tersenyum. Salju Kelana diam saja, karena tidak melihat senyuman
yang begitu menawan dan menggetarkan hati itu.
"Hubunganku hanya sebatas seorang sahabat saja."
"Sahabat istimewa?" pancing Salju Kelana.
"Apa maksudnya sahabat istimewa?"
Gadis itu tersenyum. Lesung pipitnya mendebarkan hati Pendekar Mabuk. Sang
pendekar menikmati keindahan lesung pipit yang mekar di atas bentangan wajah
cantik mengagumkan itu.
"Barangkali dia calon kekasihmu?"
"Bukan. Kami tidak punya hubungan sedalam itu."
"Bagaimana aku bisa mempercayai kata-katamu."
"Percayailah dirimu dulu, baru kau bisa mempercanyai orang lain," kata Suto
Sinting, menirukan wejangan gurunya; si Gila Tuak dan Bidadari Jalang.
Langkah mereka terhenti ketika mendengar suara ledakan di sebelah barat.
Pendekar Mabuk segera berkata, "Ada pertarungan di sebelah barat. Aku mau
melihat siapa yang bertarung di sana."
"Siapa tahu Anggani. Coba kita periksa sebentar!"
Mereka segera bergegas ke arah barat. Ternyata
pertarungan itu terjadi di sebuah lembah berpohon jarang. Seorang perempuan tua
berusia sekitar tujuh puluh tahun, mengenakan jubah merah dengan rambut abu-abu
dilepas meriap hingga beterbangan terhempas angin, sedang berhadapan dengan
lawannya yang tak seimbang.
Pendekar Mabuk terkesiap memandang pertarungan itu dari balik kerimbunan semak.
Salju Kelana mendengarkan setiap gerakan yang ditimbulkan dari pertarungan itu,
kemudian ia berbisik kepada Suto Sinting.
"Pertarungan ini tidak seimbang."
"Dari mana kau tahu kalau tidak seimbang?"
"Suara napas orang yang satu sangat berat, pertanda ia sudah tua, sedangkan
suara napas lawannya masih ringan, menandakan kalau ia masih muda dalam arti
jauh lebih muda dibandingkan orang yang bernapas berat itu."
"Benar juga," pikir Suto Sinting. "Rupanya telinga Salju Kelana lebih tajam dari
mata pedang. Hebat sekali dia, aku kagum dengan ketajaman inderanya."
Perhatian Pendekar Mabuk tertuju kembali ke arah pertarungan. Ia masih menyimpan
keheranan sebab ia kenal betul dengan lawan sang nenek berjubah merah itu. Orang
yang sedang terdesak oleh serangan si Jubah merah itu adalah seorang lelaki
berkulit hitam, berkepala gundul dan tidak memakai baju. Ia mengenakan celana
biru dan ikat pinggang merah.
Orang itu berbadan besar, perutnya gendut, matanya lebar, hidungnya bulat.
Berulang kali ia menghindari
serangan sang nenek yang menggunakan tongkat hitamnya berujung ukiran kepala
monyet. Orang tak pakai baju itu balas menyerang dengan senjatanya berupa yoyo
bergerigi. Yoyo itu jika dilemparkan akan mengeluarkan gerigi beracun yang cukup
tajam. Tapi jika ditarik balik gerigi itu masuk ke dalam yoyo hingga bisa
ditangkap dengan tangan.
Satu-satunya tokoh gundul yang bersenjata yoyo tak lain adalah si Hantu Laut,
bekas anak buah Siluman Tujuh Nyawa yang menjadi pelayannya Tapak Baja.
Tapi karena Tapak Baja mampu ditundukkan oleh Pendekar Mabuk dan Hantu Laut pun
dibuat tak berkutik, akhirnya Hantu Laut menjadi pengikut Suto Sinting dan
tinggal bersama sahabat-sahabat Suto di Pulau Beliung di bawah pimpinan Ratu
Pekat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode "Pusaka Tombak Maut").
"Agaknya kau mengenal salah satu dari kedua orang itu, Suto?"
"Dari mana kau tahu?"
"Jantungmu berdetak agak cepat, pasti kau merasa cemas dan tak ingin orang yang
kau kenal itu celaka dalam pertarungan itu."
"Benar juga. Rupanya otakmu pun tajam seperti mata pedang."
Salju Kelana hanya sunggingkan senyum. "Siapa orang yang kau kenal itu?"
"Hantu Laut, bekas anak buahnya tokoh tersesat, Siluman Tujuh Nyawa."
"Ooh..."! Jadi kau mengenal Siluman Tujuh Nyawa juga?"
"Dia musuh utamaku. Pengembaraanku ini dalam rangka memburu pelariannya. Tapi
sampai sekarang aku belum berhasil menangkapnya. Ia licin bagaikan belut dan
licik bagaikan ular."
"Kudengar dia bersembunyi di Jurang Petaka."
"Jurang Petaka..."!"
"Barangkali jika kau ke sana akan temukan si tokoh sesat yang juga kubenci itu."
Percakapan tersebut sebenarnya ingin dilanjutkan, namun Suto Sinting melihat
Hantu Laut terkena pukulan tenaga dalam sang nenek melalui tongkatnya. Tubuh
besar itu tumbang terjungkal dan tak mampu bangkit lagi. Hantu Laut mengerang
kesakitan sambil pegangi dadanya yang membiru legam itu. Sang nenek semakin
buas, ia segera menghantamkan kepala tongkatnya untuk memecahkan kepala gundul
si Hantu Laut. "Sekaranglah saatnya kubalas dendamku padamu, murid orang sesat! Heeeaaaah...!"
Pendekar Mabuk cepat sentakkan tangan, dan nyala sinar biru besar melesat dari
telapak tangan itu, Jurus
'Tangan Guntur' menghantam tongkat sang nenek dari kejauhan. Wuuus...!
Duaaarrr...! Sang nenek berjubah merah terpental berjungkir balik di udara. Tongkatnya


Pendekar Mabuk 047 Rencong Pemburu Tabib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlepas dari genggamannya. Ia jatuh setelah membentur pohon. Pendekar Mabuk
segera melesat ke pertengahan jarak antara sang nenek dan
Hantu Laut. Zlaaap...! Jleeg...!
"Kutu kucing! Siapa kau, sehingga berani mencampuri urusanku ini, hah"! Kau juga
anak buahnya si tengkorak sesat; Durmala Sanca itu, hah"! Kau juga mau cari
mampus di sini juga"!"
"Sabar, Nek. Aku bukan anak buahnya Durmala Sanca atau Siluman Tujuh Nyawa itu.
Justru aku adalah musuh utamanya yang membuat ia kabur dan sembunyi sampai
sekarang."
"Lalu apa maumu menghalangi niatku memecahkan kepala si gundul begundalnya
Durmala Sanca itu"!"
"Dia sudah menjadi sahabatku, dan dia bukan orang sesat lagi."
"Omong kosong! Sekali sesat tetap sesat! Hidup sesat!" Nenek berjubah merah itu
mengangkat tongkatnya ke atas.
Salju Kelana muncul dengan berjalan meraba memakai tongkat kecilnya. Mata sang
nenek berjubah merah melirik ke arah Salju Kelana. Ia terperanjat dengan mata
terkesiap. "Apa yang dikatakannya adalah benar, Nyai.
Pendekar Mabuk tidak pernah berbohong," ujar Salju Kelana yang agaknya sudah
mengenal si jubah merah itu.
"Rupanya kau sekarang telah bersekutu dengan manusia-manusia busuk ini, Salju
Kelana!" geram sang nenek. Sementara itu, Pendekar Mabuk punya kesempatan
mendekati Hantu Laut dan menolongnya
dengan meminumkan tuaknya sambil sesekali matanya memandang penuh waspada ke
arah sang nenek.
"Kami bukan persekutuan, Nyai. Kami adalah sahabat, dan kalau kau melukai salah
satu dari kami, kami akan merasa terluka semua."
"Perempuan bodoh!" sentak sang Nyai. "Lalu apa maksudmu ikut datang kemari,
hah?" "Meluruskan anggapanmu, membenarkan kata-kata Pendekar Mabuk. Kuharap kau mau
melupakan dendammu kepada lawanmu kali ini. Jika kau ingin lampiaskan dendammu,
pergilah ke Jurang Petaka dan temui Siluman Tujuh Nyawa di sana. Lawanlah dia
sepuas hatimu sampai retak seluruh tulangmu, kami tak akan menghalangimu, justru
mungkin akan membantumu!"
"Celotehmu makin membuat kemarahanku memuncak, Salju Kelana. Jika memang kau ada
di pihaknya, terimalah jurus 'Kalang Kabut'-ku ini, Heaaaah...!"
Sentakan tangan berjari renggang menyemburkan asap yang menggumpal menjadi kabut
putih kehitaman.
Kabut itu menyerang Salju Kelana dan ingin membungkusnya. Salju Kelana tahu
kabut itu adalah kabut beracun berbahaya. Karenanya ia segera sentakkan kaki ke
tanah dan tubuhnya melenting di udara. Pada saat ia menukik mulutnya semburkan
napas kuat-kuat.
Puiih...! Napas itu mengandung bintik-bintik salju yang anginnya sempat terasa dingin di
kulit tubuh Pendekar
Mabuk. Semburan itu membuat kabut kiriman si jubah merah menjadi menggumpal
sebesar bola dan akhirnya meledak setelah membubung tinggi. Blegaaarr...!
Ledakan itu cukup dahsyat. Tanah dan pepohonan berguncang karena gelombang
ledakan itu. Namun di antara mereka tak ada yang terpental atau tumbang di
tempat. Hanya saja, si jubah merah terhuyung-huyung mundur ke belakang dan
berpegangan pada pohon.
Matanya yang kecil kian memandang liar kepada Salju Kelana.
"Keong kudis, kau! Heeeaaah...!" si jubah merah lompat ke depan dengan tongkat
besarnya siap dihantamkan ke tubuh Salju Kelana.
Gadis cantik berlesung pipit itu diam saja. Ia tetap berdiri menyamping,
menghadap ke utara, sedangkan lawannya ada di timur. Namun ketika lawannya
menghantamkan tongkat ke arah kepalanya, Salju Kelana langsung rendahkan badan
dan sabetkan tongkat kecilnya ke udara. Tongkat kecil itu beradu dengan tongkat
besarnya si jubah merah, sehingga terjadilah ledakan yang kedua karena kedua
tongkat itu sama-sama dialiri tenaga dalam cukup tinggi.
Trak, jgaaar...!
Ledakan yang memercikkan bunga api itu membuat tubuh si jubah merah yang
melambung di udara itu menjadi terpental dan berputar cepat bagaikan gangsing
terbang. Sementara itu, Salju Kelana hanya jatuh terduduk dan mampu bangkit
kembali secepatnya.
Bhuook...! Tubuh si jubah merah jatuh terbanting dengan kerasnya ke tanah yang berlumpur.
Di sana sang nenek mengerang panjang tampak kesakitan. Tapi ia bisa bangkit
sendiri dalam keadaan berlumur tanah lumpur.
Dari kejauhan ia berseru kepada Salju Kelana.
"Tunggu saat pembalasanku, Gadis Borok! Aku bukan kalah melawanmu, tapi aku
punya urusan yang harus kuselesaikan sendiri!"
Wuuut...! Nenek berjubah merah itu pergi tinggalkan tempat itu dengan kelebatan
yang membuatnya cepat menghilang di balik pepohonan. Salju Kelana masih berseru
menuding-nuding ke arah datangnya suara si jubah merah tadi.
"Kalau kau datang lagi, aku tidak akan memberi ampun padamu, Nyai Bantat Maki!
Kalau kau memang...,"
"Hei, hei... orangnya sudah pergi dari tadi kok masih tuding-tuding terus"!"
tegur Suto Sinting sambil mencolek pundak gadis buta itu.
"Aku tahu kalau dia sudah pergi. Aku memaki bekas tempatnya jatuh tadi!" Salju
Kelana tak mau disalahkan agar tak terlihat kebutaannya.
"Siapa nenek itu tadi?"
"Nyai Bantat Maki, bibinya Calo Mayat."
"Ia juga tokoh sesat, tukang teluh upahan!" kata Hantu Laut yang sudah mulai
segar kembali itu. "Dulu aku dan Tapak Baja pernah menghajarnya sampai mati.
Sekarang dia mau balas dendam padaku. Padahal yang banyak menghajarnya adalah
mendiang si Tapak Baja!"
"Sekarang dia sudah pergi, takut dengan sahabat cantikku ini, Hantu Laut," Suto
membanggakan kecantikan Salju Kelana dengan suara agak keras. Hantu Laut hanya
menyeringai dengan mata menatap gadis itu tanpa mau berkedip lagi.
"Kudengar kau sahabat Pendekar Mabuk, Hantu Laut.
Berarti kau sahabatku juga."
Hantu Laut menjawab, "Tidak. Aku tidak sehebat Suto. Ilmuku pas-pasan."
Suto Sinting tarik napas agak dongkol dan berseru kepada Hantu Laut,
"Hei, dia bilang sahabat. Kau sahabatku, bukan kau sehebat aku!"
"Ooo... sahabat"! Iya, memang aku sahabatnya Suto, Nona!" kata Hantu Laut dengan
nyengir malu atas salah dengarnya tadi. Ia memang tokoh besar dan bertampang
menyeramkan, tapi bertelinga budeg. Bicara dengannya harus keras, jika tidak
akan timbul salah dengar dan salah pengertian.
"Mengapa kau ada di sini, Hantu Laut"!"
"Aku diutus oleh Ratu Pekat untuk mencarimu, Suto."
"Mencariku" Apakah ada hal yang penting?"
"Oh, tidak. Ratu Pekat tidak bunting. Dia...."
"Penting!" jelas Suto dengan mulut dilebarkan di depan Hantu Laut.
"Ooo... iya, ada sesuatu yang penting. Anak buah Gandapura sudah mulai mendarat
di Pulau Beliung."
Pendekar Mabuk terperanjat. "Anak buah Gandapura..."!"
"Tokoh pemakan manusia itu lho!" Hantu Laut mempertegas.
"Iya, aku tahu! Tapi... tapi apakah Gandapura mau datang ke Pulau Beliung"!"
"Pulau Jelaga sudah dikuasai olehnya. Sahabatmu yang bernama Yayi, yang kini
menjadi penguasa Pulau Jelaga, sekarang melarikan diri dan bergabung dengan Ratu
Pekat. Ia minta perlindungan kepada kami, dan kami putuskan untuk meminta
bantuan kepadamu.
Karena Gandapura berilmu tinggi. Ratu Pekat merasa tidak mampu menandingi ilmu
si pemakan manusia itu."
Salju Kelana segera berkata, "Gandapura mempunyai ilmu 'Mahkota Neraka', dia
tidak bisa mati selama ilmu itu masih ada pada dirinya."
"Bisa!" sahut Suto Sinting. "Dia bisa mati, asal dengan pusaka Kapak Setan
Kubur." "Kudengar kabar dari orang-orang laut, Gandapura sekarang sedang mencari tumbal
untuk penolak kesaktian sebuah pusaka yang dapat membunuhnya!
Mungkin yang dimaksud pusaka Kapak Ketan Bubur itu tadi."
"Kapak Setan Kubur, Budeg!" sentak Suto Sinting.
"Ooo.... Kapak Setan Kubur?" Hantu Laut manggut-manggut, tidak merasa bersalah.
"Kudengar begitu, Gandapura mencari tumbal untuk penangkis pusaka Kapak Setan
Kubur itu tadi dengan menggunakan Rencong Iblis. Tetapi rencong itu tidak akan
berguna sebagai senjata penolak kesaktian Kapak Setan Kubur jika belum membunuh
tujuh belas tabib."
"Tujuh belas tabib"!" gumam Suto Sinting dengan nada heran dan penuh kecurigaan.
Salju Kelana segera menimpali,
"Apakah termasuk Tabib Getar Hati"!"
Sebelum Suto Sinting bicara, Hantu Laut sudah berkata lebih dulu, "Yang jelas,
karena kau dikenal pula sebagai Tabib Darah Tuak maka kau pun tak luput dari
incaran pencari tumbal itu, Suto. Ia akan datang menemuimu dengan membawa
senjata Rencong Iblis.
Jadi, aku pun disuruh mengingatkan kau untuk hati-hati jika bertemu dengan
seseorang yang membawa senjata rencong."
Pendekar Mabuk diam termenung meresapi kata-kata Hantu Laut.
* * * 4 SIAPA orang yang ditugaskan sebagai pencari tumbal untuk senjata Rencong Iblis
itu" Menurut Suto, jika tahu siapa orang yang bertugas mencari tumbal tersebut,
maka ia dapat mencegah agar kesaktian Gandapura tidak bertambah dengan cara
merampas rencong itu atau melumpuhkan si petugas pencari tumbal. Sayang sekali
Hantu Laut tidak dibekali keterangan tentang hal itu oleh Ratu Pekat, sehingga
ia tidak bisa menjawab pertanyaan Suto Sinting.
Namun bagaimanapun Suto Sinting merasa perlu
melakukan pencegahan agar Gandapura tidak menguasai Pulau Beliung. Terbayang
wajah sang Ratu Pekat yang dulu diselamatkan oleh Suto Sinting dari serbuan
Siluman Tujuh Nyawa, di mana di pulau tersebut kini tinggal para sahabat Suto
antara lain, Singo Bodong dan Badai Kelabu (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Istana Berdarah" dan "Tumbal Tanpa Kepala").
"Resi Wulung Gading kurasa mengetahui tentang Rencong Iblis. Aku akan pergi
temui sang Resi di Lembah Sunyi," kata Suto Sinting. "Tapi sebelumnya kita harus
temui Anggani dulu. Kita jelaskan tentang kematian ibunya itu. Aku yakin orang
yang membunuh Tabib Getar Hati adalah utusan Gandapura yang membawa Rencong
Iblis." Salju Kelana bergumam pendek, lalu berkata, "Aku setuju. Tapi bagaimana dengan
Hantu Laut" Apakah harus ikut kita juga?"
"Hantu Laut harus kembali ke Pulau Beliung, untuk memperkuat penjagaan di sana!"
"Aku ikut kau saja, Suto," sela Hantu Laut.
"Untuk menemui Resi Wulung Gading tidak perlu rombongan, cukup aku dan Salju
Kelana saja."
"Tapi aku takut pulang tanpa membawa kau, nanti Ratu Pekat bisa marah padaku."
"Katakan kalau kau sudah bertemu denganku dan sudah menceritakan segalanya.
Secepatnya aku datang ke Pulau Beliung jika sudah lumpuhkan utusan pembawa
Rencong Iblis itu."
"Bagaimana kalau ternyata di perjalanan aku bertemu dengan utusan itu?"
"Jangan ganggu dia, nanti kau mati di tangannya!"
"Sebaiknya aku tak perlu mengganggu dia saja, ya"
Biar aku tak mati di tangannya. Soalnya kalau mati di tangan orang seperti itu
tidak terhormat."
"Memang yang kukatakan tadi begitu! Kau jangan ganggu dia biar kau tak mati!"
tegas Suto Sinting agak menyentak-nyentak karena jengkel dengan ketulian Hantu
Laut. "Kita berpisah dulu, Hantu Laut."
"Suto, kusarankan kita berpisah saja sekarang."
"Baru saja aku bilang begitu, Budeg!" bentak Suto Sinting makin jengkel. Hantu
Laut hanya mengguman dan manggut-manggut tanpa raut muka orang bersalah.
Perjalanan menuju Lembah Sunyi memakan waktu hampir sehari semalam. Pendekar
Mabuk sengaja tidak gunakan jurus 'Gerak Siluman' yang mampu mempercepat
perjalanan, karena takut kalau Salju Kelana tertinggal dan tak mengerti arah.
Sebab itu mereka terpaksa bermalam di sebuah gua yang biasa untuk singgah para
pengembara yang kemalaman.
"Aah... rasa-rasanya aku seperti bermalam dengan Dyah Sariningrum," pikir Suto
Sinting sambil pandangi Salju Kelana yang sedang baringkan badan tak jauh dari
api unggun. Suto sendiri sebentar-bentar menambahkan ranting agar nyala api
unggun tidak padam. Sambil bermainkan ranting yang menyala ujungnya itu, mata
Pendekar Mabuk sesekali melirik ke wajah Salju Kelana.
"Gadis ini tidur dengan tidak sama saja. Matanya tak mau terpejam. Orang sangka
dia masih melek, sehingga tak akan ada yang berani mengganggunya Padahal ia
sudah tertidur dengan nyenyak walau biji matanya tetap terbuka. Oh, benar-benar
cantik gadis itu. Baru sekarang hatiku dibuat gemetar oleh gadis lain. Biasanya
hanya Dyah Sariningrum yang mampu membuat hatiku bergetar dan jantung berdetak-
detak. Sekarang ternyata Salju Kelana mampu membuatku begitu juga. Kalau dia
punya wajah tak semirip Dyah-ku, barangkali aku tak akan mengalami hal seperti
ini." Suto Sinting bergeser, duduknya pindah di batu yang tak jauh dari tubuh elok
yang terbaring itu. Dalam satu jangkau saja Suto Sinting bisa memegang hidung
gadis itu. Tapi ia tak mau lakukan, kecuali hanya memandanginya, seakan
menikmati sebentuk kecantikan yang dirindukan, yaitu kecantikan Dyah
Sariningrum. Senyum kebahagiaan pun mekar di bibir sang pendekar, sambil berkecamuk ngobrol
sendiri dengan hati kecilnya.
"Mungkin karena rinduku terlalu besar kepada Dyah Sariningrum, sehingga berjumpa
dengan Salju Kelana rasa-rasanya amat bahagia dan penuh kegembiraan. Tak bisa
kupungkiri lagi, ternyata cintaku teramat besar pada calon istriku yang berkuasa
di Pulau Serindu itu.
Agaknya selesai masalah ini aku harus pergi ke Pulau Serindu, berjumpa dengan
penguasa Puri Gerbang Surgawi yang menggemaskan itu. Akan kucubit pipinya,
kugigit bibirnya, ku...... ah, kuapakan sajalah yang
penting melepas rindu pada Dyah-ku. Tapi...," Suto Sinting kian bergeser lagi
lebih mendekati Salju Kelana.
Perempuan cantik itu masih tetap diam, kedua tangannya terkulai di samping,
bibirnya sedikit merekah, matanya terbuka tanpa berkedip sedikit pun.
Pendekar Mabuk semakin mendekatkan wajah.
Hatinya bertambah gemas, karena merasa sedang berada di dekat Dyah Sariningrum.
Getaran di hati dan detak jantung pun bertambah cepat.
"Tak tahan aku memandanginya terus," keluhnya dalam hati. Maka tangan Suto pun
mengusap pelan-pelan rambut Salju Kelana. Anak rambut yang meriap di kening
disingkirkan pelan-pelan dengan jemarinya.
Setiap gerak dan sentuhan dialiri rasa kasih sayang yang amat dalam. Ia
bayangkan saat itu sedang membelai Dyah Sariningrum.
Lalu timbul tuntutan dalam hati kecilnya untuk tidak sekadar merapikan rambut
sang gadis. Maka dengan memberanikan diri dan sangat hati-hati, Suto Sinting
mendekatkan wajahnya yang tampan dan bebas jerawat itu. Pelan-pelan sekali
kening gadis itu diciumnya.
Cupp...! Ciuman meresap sebentar, kemudian diangkat pelan-pelan. Begitu pelannya hampir
tak terlihat gerakan bibir yang sudah menjauhi kening itu.
"Ah sayang kau bukan dia," ucap Suto membatin,
"Seandainya kau adalah dia, habislah kau malam ini juga!"
Kemudian pendekar tampan itu tersenyum sendiri,
geli memikirkan ulahnya yang salah tingkah karena didera sejuta rindu.
Kegirangan hatinya mendesak tangan Suto untuk bergerak pelan-pelan. Disentuhnya
bibir Salju Kelana dengan punggung jarinya. Dirasakan kehangatan yang hadir dari
pernapasan yang keluar melalui indung mancung itu. Terasa hangat sekujur tubuh
Suto Sinting pada saat napas itu menyapu permukaan tangannya.
Tiba-tiba gelegar petir terdengar mengejutkan.
Malam itu mendung datang dan sebentar lagi hujan akan turun. Ledakan petir tadi
membuat Salju Kelana tersentak kaget. Suto Sinting buru-buru tiarap dan berlagak
tidur dengan dengkuran kecil. Gadis itu kebingungan, kedua tangannya meraba-raba
sampai akhirnya menemukan tubuh Suto Sinting di sampingnya.
Napasnya terhempas menandakan hatinya lega, bahwa Suto ada di sampingnya. Tangan
itu meraba wajah Suto yang miring ke arahnya. Jarinya merayap di hidung Suto
yang bangir. "O, syukurlah kalau kau sudah tidur," ucap Salju Kelana pelan sekali, namun


Pendekar Mabuk 047 Rencong Pemburu Tabib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdengar di telinga Suto.
Murid si Gila Tuak itu tetap diam, berlagak tidur dengan nyenyak.
Tanpa diduga-duga, Salju Kelana membelai rambut Suto Sinting sambil duduk.
Rambut panjang Suto dirapikan letaknya hingga mengumpul di atas tengkuk.
Mulut pun mengucap kata lirih,
"Semoga kau mimpi indah tentang aku. Walau kau tak berani lakukan apa yang
kuinginkan, tapi aku cukup
puas melihat kau beristirahat senyenyak ini. Esok kita teruskan perjalanan kita
memburu kebenaran, ya Sayang?"
Eh, ternyata gadis itu memberikan ciuman lembut di kening Suto Sinting.
Lembuuuut... sekali, sampai-sampai Suto Sinting merasa melayang di udara tanpa
menggunakan jurus 'Layang Raga'-nya.
Setelah mencium lembut, sebagai cium curian, gadis itu pun merebah kembali.
Kemudian tertidur dengan nyenyak. Matanya tetap terbuka tak berkedip, menatap
lurus dengan hampa. Pendekar Mabuk sengaja diam dulu, belum berani bergerak.
Maksudnya membiarkan si gadis lelap dulu baru ingin usil lagi. Tapi rupanya
terlalu lama diam membuat kelopak mata sulit dibuka kembali.
Akhirnya murid sinting si Gila Tuak itu pun benar-benar tertidur dengan nyenyak.
Esoknya, ketika Suto Sinting terbangun, ia menjadi sangat terkejut melihat Salju
Kelana sudah tidak ada disampingnya. Bahkan di sekitar dalam gua itu pun tidak
ada. Suto Sinting cemaskan diri gadis cantik itu. Ia bergegas keluar dari gua
sambil membawa-bawa bumbung tuaknya.
"Kemana dia..."! Sekadar buang air di tempat tersembunyi atau memang sengaja
meninggalkan diriku"!" pikir Suto Sinting sambil-matanya memandang ke sana-sini.
Wuuut, wuuuut...!
Suto Sinting melompat dari batu ke batu mencapai tempat yang lebih tinggi. Mata
pun menyapu seluruh
alam sekelilingnya.
"Itu dia...!" sentaknya dalam hati.
Pendekar Mabuk benar-benar tersentak kaget, karena saat ia menemukan Salju
Kelana, ternyata perempuan cantik itu sedang melakukan pertarungan dengan tiga
orang lelaki berwajah tak beres. Mereka bertarung di bawah kaki bukit yang
jaraknya cukup jauh dari gua.
"Siapa tiga orang lelaki itu"! Mengapa Salju Kelana terlibat bentrokan dengan
mereka" Apakah mereka menggoda Salju Kelana, atau Salju Kelana yang cari gara-
gara"! Sebaiknya aku segera ke sana untuk menjaga kalau-kalau gadis yang mirip
Dyah-ku itu terdesak bahaya!"
Zlaaapp...! Suto Sinting bergerak sangat cepat, sehingga dalam waktu sangat
singkat sudah tiba di balik pohon, tujuh tombak dari tempat pertarungan
tersebut. Ia mengintai dari balik pohon itu dengan pandangan mata penuh waspada.
Salju Kelana yang tak bisa bergerak dengan bebas karena kebutaannya itu berusaha
mendengarkan tiap gerakan yang ditimbulkan dari lawannya. Tiga lawannya adalah
lelaki berusia rata-rata sekitar empat puluh tahun.
Mereka sama-sama bersenjata golok. Rambutnya sama-sama panjang sebatas punggung,
tapi yang dua diikat dengan ikat kepala kuning dan putih, yang satu lagi tanpa
ikat kepala. Baju mereka sama-sama hitam, demikian pula celana mereka. Hanya
saja, keadaan tubuh mereka tidak sama kurusnya. Hanya ada satu orang yang
berbadan kurus, yaitu yang tidak memakai ikat kepala.
Sedangkan yang mengenakan ikat kepala berbadan besar, tapi bukan gemuk.
Pada waktu si kurus melepaskan tendangan beruntun ke arah wajah Salju Kelana,
gadis itu hanya menghindar dengan gerakan kepala dan pundak yang cukup gesit.
Seakan tendangan yang cukup cepat itu dapat dilihat arah gerakannya.
Wuk wuk, wuk, wuk...!
Dan pada satu kesempatan tangan Salju Kelana berkelebat dari bawah ke atas
dengan kaki merendah satu. Wuuut...! Plaak...!
Kaki yang menendangnya itu tersentak naik dan keseimbangan orang tersebut
menjadi limbung. Maka kaki gadis itu pun menyepak bersamaan gerakan tubuh yang
memutar. Ploook...!
Wajah si kurus jadi sasaran telak kaki Salju Kelana.
Wajah itu bagaikan terbuang begitu kerasnya hingga tubuhnya pun terpental ke
samping dan berguling-guling.
Dua orang berikat kepala menyerang dari arah kanan-kiri secara bersamaan. Salju
Kelana masih menggeragap dengan tongkatnya. Namun ketika dua tubuh yang melayang
itu hampir mendekati Salju Kelana, gadis itu sentakkan kaki dan melesat naik
tegak lurus, lalu kedua kakinya menyentak ke samping kanan-kiri secara
bersamaan. Wuuuurrt...! Druuuukk ..!
Dada dua orang itu terkena tendangan sekaligus.
Keduanya sama-sama terpental terpisah. Mereka bagaikan daun kering yang dibuang
seenaknya, melayang tanpa bisa kendalikan diri dan akhirnya membentur pohon yang semula
dipunggungi mereka.
Brruk...! "Aaahhg...!"
"Huuhhgg...!"
Mereka mengerang dengan wajah menyeringai kesakitan. Salah seorang tak bisa
bangkit dengan cepat karena tulang punggungnya patah. Ia terpaksa merayap
berpegangan pohon agar bisa berdiri. Tapi temannya yang berikat kepala kuning
itu mampu berdiri dengan cepat dan serukan kata-kata yang berkesan kasar.
"Monyet betina...! Kuremukkan wajah cantikmu itu kalau kau tetap tidak mau
serahkan Rencong Iblis itu kepada kami!"
Yang bertubuh kurus juga ikut berseru, "Kami tak akan main-main lagi, Nona
Tolol! Kami akan membantaimu tanpa ampun lagi jika kau tetap tak mau menyerahkan
Rencong Iblis itu sekarang jugal"
Pendekar Mabuk terperanjat sekali mendengar seruan dua orang tersebut. Hati sang
pendekar pun segera membatin,
"Jika mereka mempertaruhkan nyawa dalam pertarungan ini demi mendapatkan Rencong
Iblis, maka berarti orang yang diutus Gandapura untuk mencari tujuh belas nyawa
Badai Awan Angin 31 Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen Pendekar Pemabuk 10
^