Keris Setan Kobra 1
Pendekar Mabuk 027 Keris Setan Kobra Bagian 1
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 GEMERCIK air sungai jatuh di bebatuan. Iramanya
melenakan, membuat rasa kantuk tiba. Angin semilir
berhembus di keteduhan pohon rindang yang tumbuh
dekat air terjun itu. Siang yang panas menjadi siang yang sejuk. Tak heran jika
Suto Sinting terlena tidur di bawah pohon munggur yang menaunginya.
Mimpi pun hadir di sela kenyenyakan tidur siang
Pendekar Mabuk murid si Gila Tuak itu. Mimpi itu
indah baginya. Ya, memang indah, sebab mimpi yang
hadir adalah mimpi tentang seorang wanita cantik
berpakaian sutera biru muda. Rambutnya bak mayang
terurai, lembut, dan halus. Mahkota kecil menghiasi
rambut indah yang mungkin cukup dikeramas memakai
merang. Wajah cantiknya tak bisa dilukiskan lagi.
Bibirnya menggairahkan, selalu tampak basah,
menggemaskan sekali. Ingin Suto menggigitnya dengan
lembut. Wanita yang hadir dalam mimpinya itu mengenakan
perhiasan lengkap, gelang berhias batuan intan, kalung susun dua berhias
berlian, cincin, giwang, pokoknya
elok sekali, ia tampak seperti seorang ratu. Atau anak raja. Atau memang dia
seorang ratu. Entahlah. Mimpi
Suto belum saling bercakap-cakap. Hanya saling
pandang saja. Bayangan mimpi itu semakin jelas. Wanita berjubah
biru muda tipis membayang bagian dalamnya yang
dibungkus kain ketat itu, mulai melangkah mendekati
Pendekar Mabuk, ia menyerahkan setangkai bunga aneh,
yaitu mawar pelangi. Artinya, mawar itu punya aneka
warna seperti pelangi dan baunya harum lembut. Wanita itu tersenyum saat
menyerahkan bunga tanpa duri.
Lesung pipit di pipinya membuat Suto terperangah
kagum. "Ini untukmu," wanita dalam mimpi itu berucap lirih, suaranya merdu.
"Aku... belum kenal siapa dirimu, mengapa harus
terima bunga darimu?"
"Kuberikan bunga ini untukmu. Cuma-cuma. Tidak
dipungut biaya."
"Apakah kau tukang kembang?"
"Bukan," jawab wanita yang diperkirakan baru berusia dua puluh lima tahun. "Aku
seorang ratu. Bukan tukang kembang."
"Ooo... ratu apa?"
"Ratu Ringgit Kencana."
"Punya negeri?"
"Punya. Negeriku bernama Negeri Ringgit Kencana."
"Bagus sekali," kata Suto lembut dan menawan.
"Apanya yang bagus" Nama negeriku?"
"Bunganya," jawab Suto. "Ada yang lainnya?"
"Di negeriku banyak bunga Mawar Pelangi. Apakah kau suka?"
"Sangat suka. Bolehkah aku datang ke negerimu?"
"Aku akan menjemputmu sebentar lagi."
"Namamu siapa?"
"Asmaradani."
"Oh, eloknya...?"
"Namaku yang elok?"
"Mawarmu ini," jawab Suto sambil tersenyum lembut.
"Aku butuh bantuanmu."
"Indah sekali. Belum-belum sudah butuh bantuan."
"Aku terpaksa menghubungimu, karena tak punya
senopati."
"Begitukah..."!"
Asmaradani, Ratu Ringgit Kencana, anggukkan
kepala dengan gemulai. Bau wewangiannya menyerap
ke dalam hati sanubari Pendekar Mabuk. Lama-lama
mata indah itu mulai berkaca-kaca. Wajah cantik ceria menjadi tersaput duka.
Ratu Ringgit Kencana
melelehkan air mata. Suto Sinting trenyuh, lalu
menghapus air mata yang meleleh sampai di pertengahan pipi. Ia menghapus dengan
jari telunjuk yang ditekuk
dan digunakan sebagai menadah butiran air mata itu.
"Jangan menangis, Asmaradani. Aku akan datang
menolongmu," bisik Suto Sinting dengan nada mesra sekali. "Sebutkan kesulitanmu
dan aku akan lakukan apa yang seharusnya kulakukan."
Asmaradani menatap dengan penuh perasaan. Jari-
jemarinya yang lentik indah itu meraba pipi Suto
Sinting. Pendekar tampan berbaju coklat tanpa lengan
dengan celana putih berikat pinggang merah dan
menyandang bambu tempat tuak itu membiarkan pipinya
disentuh tangan berkulit halus, seperti tangan kulit bayi.
Lembut sekali rasanya. Enak sekali dinikmati. Bahkan Suto pun membiarkan
rambutnya diusap pelan-pelan
oleh Asmaradani. Rambut panjang lewat pundak itu
dipermainkan oleh wanita itu. Pelan... pelan... pelan...
seakan setiap gerak dan sentuhan diresapi sampai ke
dasar hati. Sayang sekali mimpi itu terputus karena sentakan
halus di bagian rambut, seperti tertarik seseorang tanpa sengaja. Suto Sinting
buka mata dan terkejut dengan
ucapan tak sadar.
"Jabang bayi...!"
Yang ada di depan wajahnya adalah wajah hitam,
bermata besar, berhidung besar, kepala gundul tapi
berkuncir rambut merah jagung di bagian tengahnya.
Orang yang sedang berjongkok di depannya itu berkulit hitam, tinggi, besar,
tanpa baju kecuali hanya
mengenakan cawat saja. Dialah anak jin yang bernama
Logo. Tentu saja hal itu sangat mengejutkan Suto
Sinting, karena ternyata anak jin itulah yang memegang-megang rambut Suto.
Wajahnya sangat berbeda jauh
dengan wajah dalam mimpi Suto tadi.
"Logo..."! Kau mengejutkan tidurku!"
"Maaf," kata Logo bersuara besar. Maklum, anak jin kalau suaranya kecil bisa
disangka anak kucing. Maka
wajar kalau Logo bersuara besar.
"Ibu menyuruhku memanggilmu," kata Logo. "Kau ditunggu di gua pantai Bukit
Semberani. Ibu ingin
membicarakan sesuatu kepadamu, Kang Suto."
"Katakan kepada ibumu, aku sedang tidur. Nanti saja kalau sudah bangun, aku akan
ke sana." "Baik. Akan kusampaikan pesanmu. Permisi, Kang
Suto." "Ya," jawab Suto sedikit dongkol. Gara-gara sentuhan kasarnya mimpi pun jadi
hancur berantakan.
Padahal sedang asyik-asyiknya. Suto kembali tidur,
memejamkan mata, tapi tak bisa nyenyak seperti tadi.
Pikirannya digelayuti bayangan wajah ibunya Logo,
wanita cantik bernama Sumbaruni yang menggunakan
julukan Pelangi Sutera, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Ratu Tanpa Tapak").
"Ah, mau apa Pelangi Sutera memanggilku?" pikir Pendekar Mabuk. "Apakah dia
sudah menemukan
tempat persembunyian Ratu Tanpa Tapak yang bernama
Nila Cendani itu" Kalau belum, kenapa harus bertemu
denganku" Mau bikin persoalan apa lagi" Soal cintanya"
Ah, malas! Aku bosan bicara soal cinta. Terlalu cengeng.
Tapi... tapi wanita dalam mimpiku itu tadi terasa aneh
sekali bagiku. Toh aku menyukai kecengengannya" Toh
aku tidak benci melihatnya menangis. Hmmm, siapa tadi namanya" Oh, ya...
Asmaradani. Bagus sekali. Dia
memberikan mawar warna pelangi. Apa artinya" Apakah
ada hubungannya dengan Pelangi Sutera" Ah, wajahnya
beda jauh. Kurasa tak ada hubungannya. Lalu, apa
artinya mimpiku tadi" Apakah mimpi bertemu wanita
cantik punya arti akan bertemu dengan anak jin"!" Suto Sinting tertawa sendiri
membayangkan wajah Logo.
Ia menarik napas, masih merebah, masih
memejamkan mata. Sadar sepenuhnya. Namun tiba-tiba
Suto terkejut karena ia mencium bau bunga mawar.
Dahinya berkerut dengan mata masih terpejam.
Penciumannya dipertajam. Bau bunga mawar seperti
dalam mimpinya itu semakin jelas. Ketika kepalanya
bergerak miring ke kiri pelan-pelan, aroma harum
lembut bunga mawar itu kian bertambah nyata. Suto
Sinting terpaksa buka matanya.
"Hahhh..."!"
Pendekar Mabuk kian terperangah kaget. Cepat-cepat
bangkit terduduk. Karena saat itu matanya memandang
setangkai bunga mawar tanpa duri dan berwarna pelangi tergeletak di samping
kirinya, seakan ikut tidur
mendampinginya.
"Bunga ini ada di sampingku"! Apakah sejak tadi"!
Siapa yang membawanya" Apakah si anak jin tadi" Ah,
aneh sekali. Padahal bunga mawar warna pelangi ini
hanya kutemukan dalam mimpiku. Kenapa bisa benar-
benar ada di sampingku?"
Pandangan mata Pendekar Mabuk segera menyelidik
ke sekelilingnya. Tak ada siapa-siapa di sekitar tempat itu. Sungguh pemandangan
yang lengang. Semak di
kejauhan sana pun dipandang dengan sedikit menyipit,
tapi tak terlihat ada sesuatu yang mencurigakan. Pohon-pohon dipandangi juga,
tapi tak ada orang bersembunyi di sana.
"Apakah bunga ini ada sejak tadi sebelum aku
terbaring tidur di sini" Ah, tak mungkin. Tadi aku tidak mencium bau bunga ini.
Jangan-jangan pohon ini
angker" Atau..., ada seseorang yang meletakkan bunga
ini kemudian lari dan tak mau kembali lagi" Orang gila itu namanya. Tak mungkin,
ah!" Tiba-tiba pendengaran pendekar tampan itu
menangkap suara orang berlari. Cepat-cepat kakinya
menyentak ke tanah, wuuut...! Tubuhnya terlempar ke
atas dengan ringan sekali. Jleeg...! Ia bagaikan seekor jatayu yang hinggap di
atas dahan dengan kokohnya. Di balik semak dedaunan pohon itu Suto Sinting
bersembunyi, ingin melihat siapa orang yang berlari ke arahnya itu.
Ternyata seorang pemuda berusia sekitar dua puluh
enam tahun. Kurus dan berpakaian coklat muda baik
baju maupun celananya. Rambutnya sedikit
bergelombang, panjang lewat pundak, tidak diikat.
Pemuda itu juga membawa bumbung bambu warna
coklat muda, tali penggantungnya diberi lapisan kain
hitam. Melihat wajahnya yang pucat tegang dengan bibir
berdarah, pemuda itu pasti habis dihajar oleh seseorang, ia malahan bersembunyi
di balik pohon besar yang
dipakai bersembunyi oleh Suto di atasnya. Pemuda itu
tak tahu kalau di atasnya ada orang bersembunyi pula.
Mungkin karena panik, takut, ngos-ngosan, sehingga
pemuda kurus itu tak sadar bicara sendiri dengan
gemetar. "Ya ampuuun... dosa apa aku ini kok sampai dikejar-kejar orang" Mimpi apa aku
semalam kok sampai
dihajar orang" Kalau tadi aku tak segera lari, pasti aku dibunuh oleh orang itu.
Ihh... mengerikan. Goloknya
tajam sekali. Kalau aku dibacok pakai golok itu, oooh...
ngeri! Ngeri sekali membayangkannya."
Di atas pohon Pendekar Mabuk mendengarkan
dengan seksama.
"Wah... itu dia orangnya"!" ucap pemuda itu dengan tenang. "Dia pasti mencariku.
Mudah-mudahan dia tidak tahu kalau aku bersembunyi di balik pohon ini!"
Suto Sinting segera memandang ke arah yang
dipandang pemuda tersebut. Memang ada orang datang
dalam keadaan wajah tegang, sepertinya sedang mencari seseorang yang akan
dibunuhnya. Orang tersebut sedikit gemuk, mengenakan pakaian serba hitam.
Kumisnya tebal, matanya lebar. Tak terlalu tinggi, tapi cukup
menyeramkan bagi orang awam. Dilihat dari keangkeran
wajahnya, jelas orang itu pasti bukan orang baik-baik.
Suto Sinting ingin mengetahui apa yang akan diperbuat oleh orang berkumis tebal
itu. Ketika orang itu celingak-celinguk mencari
buruannya, tiba-tiba muncul seorang lagi dari arah lain, juga celingak-celinguk
mencari sesuatu. Orang yang
baru saja muncul itu berpakaian merah luruh, kurus, dan berambut kucai. Matanya
cekung, dingin, tampang
bengisnya terlihat nyata. Kumisnya tipis, tapi panjang.
Golok bergagang hitam terselip di depan perutnya,
belum dicabut dari sarungnya. Tapi orang berpakaian
hitam tadi sudah menggenggam golok putih berkilauan,
seakan siap bacok kapan saja bertemu buronannya.
"Dia menghilang!" seru si gemuk berkumis tebal.
"Tak mungkin. Cari sampai ketemu. Pasti ada di
sekitar sini!" balas si baju merah dalam seruannya.
Suto Sinting tahu, mereka berteman. Tentunya
mereka sama-sama mencari pemuda yang bersembunyi
di bawahnya itu. Si pemuda tampak kian menggigil,
merapatkan tubuh ke batang pohon dengan napas
tersendat-sendat.
"Kasihan...," gumam hati Pendekar Mabuk. Sendatan napas pemuda di bawahnya
ternyata membuatnya tak
sadar menjadi terbatuk-batuk.
"Uhuk, uhuk, uhuk, uhuk...!" Walaupun sudah ditutup tangan, tapi suara batuknya
masih saja terdengar jelas.
"Aku mendengar suara orang batuk Brojo! Apakah
kau yang batuk?" seru si baju merah.
"Enak saja. Mungkin kaulah yang kumat bengeknya!"
seru orang yang bernama Brojo. Maka si baju merah
berseru lagi, "Mana mungkin! Biar aku kurus, yang namanya Mat
Paung tak akan terkena penyakit bengek, karena tiap hari
makananku empedu ular dan minum darah ular!"
Rupanya si baju merah itu bernama Mat Paung. Ia orang yang tak mau direndahkan
walau oleh teman sendiri, ia menepuk dadanya saat membanggakan dirinya sebagai
Pendekar Mabuk 027 Keris Setan Kobra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang yang tidak pernah terserang batuk dan bengek.
Tapi karena terlalu keras menepuk dada, akhirnya ia
justru menjadi batuk sendiri. Brojo memandangi Mat
Paung yang berjarak lebih dari sepuluh langkah itu.
Brojo merasakan ada keanehan kala mendengar suara
batuk Mat Paung.
"Suara batukmu berbeda dengan yang tadi. Berarti...
berarti bocah itu ada di balik pohon besar di sana, Mat Paung! Coba cari ke
sana!" Rasa gentar, gugup, membuat napas pemuda itu kian
tersendat-sendat dan batuk pun tak bisa ditahan.
Pemuda itu akhirnya tertangkap karena batuk
berulang kali. Sia-sia saja ia bersembunyi jika suara batuknya tak bisa ikut
disembunyikan. Brojo dan Mat
Paung segera menemukannya.
"Am... ampun... ampun, Kang...!" pemuda itu ketakutan, bahkan sempat menyembah-
nyembah kepada kedua lelaki yang usianya sekitar empat puluh tahun
kurang sedikit.
Buuhg...! Mat Paung menendang pinggang pemuda
itu saat si pemuda bersujud menyembah supaya
diampuni. Tentu saja pemuda itu terpekik dengan suara tertahan, ia terpental ke
samping, berguling, dan
mengerang. Napasnya kian sesak, tubuhnya kian lemas,
akhirnya ia hanya terbaring dengan mulut cengap-
cengap mencari napas.
Tetapi Brojo segera menginjak perutnya, menekan
kuat sehingga pemuda itu pun mendelik kesakitan. Brojo berseru dengan garangnya.
"Serahkan benda itu atau kau kubuat modar sekarang juga, hah!"
"Sud... sum... uuh... aahg...," pemuda itu tak bisa bicara.
Dari atas pohon peristiwa itu dapat dilihat Suto
dengan jelas sekali, ia merasa kasihan kepada pemuda
tersebut, sebab menurut penglihatannya si pemuda
agaknya tidak berilmu sedikit pun. Maka diam-diam
Suto Sinting mengirimkan pertolongannya dengan
melepaskan pukulan yang bernama jurus 'Jari Guntur', yaitu sebuah sentilan jari
dengan ringan namun
mempunyai kekuatan seperti seekor kuda yang sedang
menendang dengan berangnya.
Tees...! Jari disentilkan ke arah tengkuk Brojo. Tubuh gemuk itu tiba-tiba
terlempar ke samping dan tersungkur dengan parah. Gabruusss...! Mulutnya mencium
tanah, menyodok batu keras. Tentunya berdarah dan robek di
bagian tepi bibir serta pipi. Tulang pipinya menjadi
memar merah. "Eh, diam-diam kau memang berilmu tinggi" Kau
hanya pura-pura ketakutan, ya" Kampret busuk!
Hiaaah...!"
Mat Paung mencabut goloknya dan ingin menebaskan
ke bagian kaki. Ia bermaksud memotong kaki pemuda
itu sebagai pelajaran. Tetapi ketika golok terangkat, Suto
Sinting melepaskan jurus 'Jari Guntur'-nya lagi ke
pergelangan tangan Mat Paung.
Teess...! Tangan yang memegang golok itu tersentak ke
samping dan goloknya lepas bagaikan dibuang begitu
saja. Tapi Mat Paung sempat memekik kesakitan dengan
wajah menyeringai dan melangkah mundur dua tindak,
ia memegangi lengan kanannya memakai tangan kiri dan
menggamitnya ke dekat paha.
"Uuuh...! Bangsat kau! Kau punya ilmu tapi tidak bilang-bilang. Uuhh...!
Ternyata apa yang dikatakan
orang-orang itu memang benar, kau berilmu tinggi.
Tapi... tapi aku yakin ilmumu tak setinggi ilmuku, Setan Alas!"
"Buk... bukan aku, Kang...! Sumpah... summ...
sumpah...! Aku tidak menyakitimu, Kang," bocah muda itu ketakutan walau ia sudah
bangkit dan hendak
melarikan diri. Langkahnya terhenti karena di sisi lain ia dihadang Brojo yang
mulutnya mulai banyak dibungkus
darah. Brojo benar-benar memandang penuh kebencian
dan kemarahan. "Aku tak bisa memaafkanmu lagi, Setan!" geram Brojo. "Tinggal pilih, serahkan
benda itu atau kau kupenggal sekarang juga. Jawab!"
"Ak... aku tidak punya. Sungguh...! Aku tidak
menyimpannya, Kang!"
"Bohong! Kini semua orang tahu bahwa Keris Setan Kobra sudah jatuh ke tanganmu!
Semua orang tahu!"
"Ya, ampun, Kaaang... untuk apa aku
membohongimu"! Aku benar-benar tidak tahu menahu
tentang Keris Setan Kobra itu. Sumpah mati sekarang
juga, Kang!"
Suto Sinting sangat terkejut mendengar masalah
sebenarnya. Pemuda itu dituduh sebagai pencuri Keris
Setan Kobra. Aneh sekali. Bukankah Keris Setan Kobra
disembunyikan rapat-rapat oleh Ki Empu Sakya,
pemiliknya" Kenapa bocah muda yang polos itu dituduh
sebagai pemilik keris pusaka tersebut" Atau jangan-
jangan pemuda dungu itu benar-benar memiliki keris
pusaka tersebut" Suto Sinting mulai bimbang dan ragu
untuk membantu pemuda tersebut. Karena jika benar
pemuda itu memiliki keris pusaka Setan Kobra, berarti pemuda itu telah berhasil
merampasnya dari tangan Ki Empu Sakya"
"Aku tak sabar lagi! Modar kau sekarang juga!
Hiaaah...!'" Brojo melayangkan goloknya untuk
membacok kepala pemuda tersebut. Tapi naluri Suto
segera mengatakan bahwa ia harus melindungi pemuda
itu untuk mengetahui perkara sebenarnya. Naluri Suto
mengatakan ada sesuatu yang tak beres dalam perkara
itu. Jurus 'Jari Guntur' dilepaskan lagi oleh Suto. Kali ini sengaja diarahkan ke
dada Brojo. Taas...! Duuhg...!
"Uhhg...!" Suara pekik tertahan terdengar dari mulut Brojo. Matanya mendelik,
mulutnya ternganga, ia
tersentak mundur walau tak sampai jatuh. Tapi ia
terhuyung-huyung empat tindak ke belakang. Lalu,
mulutnya mengeluarkan darah segar tak begitu banyak.
"Brojo..."!" Mat Paung kaget, ia tetap menyangka pemuda kurus itu yang menyerang
Brojo secara diam-diam.
"Kau memang membuatku penasaran ingin
meremukkan kepalamu, Bocah Dungu! Terimalah jurus
'Kuda Gila' ini, heaaat...!"
Mat Paung melompat-lompat di tempat dengan golok
berkelebat dimainkan, lalu tiba-tiba, wuuuss...! Ia
melompat menerjang pemuda kurus itu. Tapi Suto
Sinting menyentilnya dari jauh. Teess...! Duuhg...!
Mat Paung melayang balik, terjungkal di udara dan
jatuh dengan kepala terlipat membentur tanah keras.
Duuhg...! Krek...!
"Aaooww...!" ia menjerit kesakitan karena tulang lehernya nyaris patah, ia tak
bisa mendongak lagi. Jika kepalanya dipakai memandang tegak, tulang lehernya
terasa sakit sekali. Akibatnya ia hanya menunduk terus sambil meraung-raung
kesakitan. Sementara itu, pemuda kurus itu justru semakin bertambah kebingungan
melihat para pengejarnya dalam keadaan seperti itu. Brojo
sendiri menjadi pucat pasi dan napasnya sulit dihela.
"Mat Paung...!" suara Brojo berat dan sukar diucapkan. "Kita... kita tinggalkan
saja orang ini. Kita lapor pada ketua, biar ketua yang tangani.... Ayo, kita
selamatkan diri. Dia... dia memang berilmu tinggi,
seperti kata orang-orang itu...''
Mat Paung merintih tanpa bisa menjawab. Ketika
Brojo membawanya pergi, Mat Paung menurut saja.
Tapi Brojo sempat berseru di kejauhan kepada pemuda
kurus yang memandangi kepergiannya dengan
terbengong heran itu.
"Ingat, kami akan kembali lagi! Kau akan berurusan dengan ketua kami, Suto!"
Seruan terakhir membuat Pendekar Mabuk terkejut
sekali, ia mendengar suara yang menyebutkan namanya,
ia jadi terbengong beberapa saat.
"Dia menyebut namaku"! Apakah pemuda itu
bernama Suto"!" pikirnya.
Tak ada jalan lain untuk mengetahui persoalan
sebenarnya kecuali dengan cara turun dari pohon dan
menemui pemuda kurus itu. Maka, ketika pemuda kurus
itu bergegas pergi, Suto Sinting segera melompat dari atas pohon dan tubuhnya
melayang turun ke bawah
dengan gerakan tak terlalu cepat. Jleeg...!
Tapi suara kakinya itu sempat terdengar pemuda
tersebut, sehingga si pemuda cepat palingkan wajah. Ia terkejut
memandangi Suto Sinting, mulutnya
terperangah dengan wajah cemas dan napas memburu
menandakan rasa takutnya.
"Jangan takut padaku," kata Suto.
"Ak... aku tidak tahu menahu tentang pusaka Keris Setan Kobra itu Kang!" pemuda
tersebut mendahului alasannya.
"Aku tidak bermaksud mencari keris itu. Aku hanya ingin menanyakan apa persoalan
sebenarnya yang kau
hadapi dengan Brojo dan Mat Paung itu?"
"Ap... apakah... apakah kau orang yang menolongku menyerang mereka?"
"Benar," jawab Suto dengan tenang. Ketenangan Suto membuat pemuda itu ikut-
ikutan lega dan rasa takutnya berkurang.
"Akkk.... aku tidak tahu kenapa dia menyerangku.
Mereka... menurut pengakuan si baju hitam, adalah
orang-orang Perguruan Lumbung Darah. Mereka
menuduhku sebagai orang pencuri pusaka Keris Setan
Kobra milik Ki Empu Sakya. Padahal aku tidak
mempunyai keris itu. Aku bukan orang sakti, mana
mungkin aku membunuh Ki Empu Sakya dan merebut
keris pusakanya?"
"Tunggu, tunggu...!" Suto menemukan kejanggalan.
"Apa kau bilang tadi" Membunuh Ki Empu Sakya"!"
"Iya. Mereka sangka begitu."
"Apakah... apakah Ki Empu Sakya memang ada yang
membunuhnya?"
"Benar. Delapan hari yang lalu, Ki Empu Sakya
dibunuh orang di belakang rumahnya. Aku sendiri
melihat jenazahnya."
"Astaga..."!" Suto Sinting terbengong tegang.
"Delapan hari yang lalu aku sedang berada di Pulau Serindu menengok calon
istriku," pikir Suto.
Hening tercipta sejenak. Suto terbayang wajah Ki
Empu Sakya yang pernah ditolongnya saat terancam
keserakahan Wiratmoko dalam persoalan keris itu juga.
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Naga Pamungkas"), ia sama sekali
tak menduga kalau Ki Empu Sakya ternyata sudah tiada. Berita itu baru saja
diterimanya, karena ia pergi ke Pulau Serindu menengok
Dyah Sariningrum selama enam hari. Baru sekarang ia
tiba di tanah Jawa, dan tahu-tahu mendengar kabar
tersebut. "Aku sudah bilang kepada orang-orang Perguruan
Lumbung Darah itu bahwa aku tidak memiliki keris
pusaka tersebut, tapi mereka tetap tidak percaya."
"Mengapa mereka menduga keras kaulah pemilik
keris itu"' tanya Suto.
"Karena mereka sangka aku bernama Suto Sinting!"
"Hahh..."!" Suto Sinting terkesiap memandang pemuda kurus.
"Padahal namaku Sabani, bukan Suto Sinting. Enak saja, aku disamakan dengan Suto
Sinting. Gantengnya
saja sudah tentu ganteng aku, ya Kang?"
"Hmmm... iya...," jawab Suto dengan terpaksa.
"Aku jadi benci dengan orang yang bernama Suto
Sinting. Gara-gara dia aku jadi dihajar mereka. Kalau ketemu orangnya yang
bernama Suto Sinting, ingin
rasanya aku meludahi wajah si Suto Sinting itu!" Sabani bersungut-sungut, Suto
Sinting tarik napas dalam-dalam menahan kesabaran mendengar kata-kata Sabani
ini. Ia terpaksa harus memaklumi kebodohan pemuda kurus
tersebut. "Mengapa kau sampai disangka Suto Sinting?"
"Entah. Kata mereka, ciri-ciriku sama dengan Suto Sinting. Kata dua orang tadi,
Suto Sinting membawa-bawa bumbung tuaknya ke mana pun pergi. Padahal aku
membawa bumbung ini bukan bumbung tuak. Aku
pedagang legen. Aku jualan legen di pasar. Kamu tahu
legen kan" Itu lho... air sadapan bunga kelapa. Ah,
kurasa kau juga pedagang legen. Buktinya kau
membawa-bawa bambu juga. Kau pasti tahulah, apa itu legen."
"Ya...ya." jawab Suto dengan menahan kedongkolan karena dirinya disangka pedagan
legen. "Lalu, kenapa mereka menuduh kau mempunyai keris itu?"
"Soalnya, yang membunuh Ki Empu Sakya itu adalah pemuda bernama Suto Sinting.
Jadi, karena aku
dianggap Suto Sinting, maka aku dianggap punya keris pusaka Keris Setan Kobra!"
Jantung Suto berdetak-detak cepat. Sekarang ia tahu
persoalannya. Dirinya dianggap sebagai pembunuh Ki
Empu Sakya. Jelas ini perbuatan orang jahat yang
menyebar fitnah begitu. Atau barangkali ada orang yang meniru penampilannya lalu
membunuh Ki Empu Sakya.
"Apes amat nasibmu hari ini," pikir Suto dengan sedih. Tapi ia segera berkata
kepada Sabani, "Apakah kau juga yakin kalau yang membunuh Ki Empu Sakya
adalah orang bernama Suto Sinting?"
"Yakin!"
"Kau melihat sendiri Suto membunuhnya?"
"Tidak," jawab Sabani polos.
"Tapi kenapa kau yakin kalau Suto Sinting yang
membunuhnya?"
"Karena menurut kabar orang-orang begitu. Suto
Sinting pembunuhnya! Orang-orang pun tahu, bahwa
keris pusaka itu sekarang ada di tangan Suto Sinting.
Wah, itu orang memang benar-benar sinting kok. Sudah
membunuh, tapi masih juga mencuri keris pusaka
korbannya! Benar-benar pantasnya dipancung saja
kepala orang yang bernama Suto Sinting itu. Iya, kan"
Kau setuju kan?"
Suto Sinting hanya tarik napas lagi, menahan
kemarahannya yang menggumpal di dada, menyakitkan
ulu hati. "Kau tinggal di mana, Sabani?"
"Aku di desa Kukusan, satu desa dengan Ki Empu
Sakya. Makanya aku kenal sama tokoh tua yang sakti
itu." "Kau kenal dengan bocah bernama Angon Luwak?"
"Lho... itu nama adikku!" Sabani kaget "Apakah kau kenal dengan adikku itu" Dia
sudah berminggu-minggu
Pendekar Mabuk 027 Keris Setan Kobra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak pulang ke rumah, Kang!"
Pendekar Mabuk diam saja. Termenung beberapa saat
lamanya. Sabani segera berkata,
"Sudah, begitu saja. Kang. Aku ucapkan terima kasih atas pertolonganmu tadi.
Kalau kau mau mampir ke
rumahku, mari bersamaku menuju ke rumah. Kalau
tidak, kita pisah di sini dan sampai ketemu di lain
waktu." Suto Sinting hanya mengangguk-anggukkan kepala
sambil masih menerawang tak tentu arah. Sabani berkata lagi,
"Oya, Kang... kalau ketemu orang yang bernama
Suto, ludahi saja mukanya! Jangan takut. Biar dia sadar bahwa wajahnya tak
pantas dipajang di mana-mana,
karena sudah membunuh, eeh... mencuri pusaka lagi! Itu
kan jahat namanya."
"Sabani, kalau kau ketemu Angon Luwak adikmu itu, katakan bahwa aku membutuhkan
dia!" "O, ya! Mudah-mudahan dia sudah pulang pada hari ini. Lalu... namamu siapa?"
"Tanyakan saja pada Angon Luwak. Dia tahu
namaku!" "Lho, tapi dari mana dia bisa menyebutkan namamu kalau aku tidak menunjukkan
wajahmu. Dia tidak akan
mengenalinya, Kang. Siapa namamu sebenarnya?"
Dengan suara pelan dan hati sedih menahan
kedongkolan, Pendekar Mabuk pun akhirnya berkata,
"Akulah yang bernama Suto Sinting."
"Hahhh..."!" Sabani berseru kaget, matanya
mendelik, Suto memandang dengan tenang dan
menganggukkan kepala. Sabani tiba-tiba tertawa.
"Ah, kau bercanda saja, Kang! Jangan mengaku-aku begitu nanti kalau didengar
orang kau malah dikejar-kejar seperti aku tadi. Aku saja tak sudi dituduh
bernama Suto Sinting, kau malah mengaku-aku sebagai Suto
Sinting"!"
"Sabani adikmu tahu persis siapa aku. Katakan, Suto Sinting membutuhkan dia
secepatnya. Aku tak jauh dari sekitar desamu."
Sabani memandang dengan dahi berkerut. "Kau
benar-benar cari penyakit, Kang. Jangan begitu. Kau
pedagang legen, ya sudah dagang legen saja. Jangan cari nama biar terkenal.
Nanti kau repot sendiri. Suto Sinting itu orang berilmu tinggi, menurut kata
orang-orang. Suto
Sinting tidak jualan legen seperti kita ini. Kang," Sabani geli sendiri,
menganggap jawaban Suto sebuah kelakar
sesama pedagang legen, karena sama-sama membawa
bumbung bambu. Sebenarnya Suto jengkel dengan sikap Sabani. Tapi
ia tetap menyimpan kejengkelan itu karena Sabani
memang tidak tahu menahu tentang Suto Sinting itu
siapa dan yang mana.
"Kau mau percaya atau tidak, itu urusanmu. Yang
jelas, akulah Suto Sinting, dan aku butuh adikmu Angon Luwak untuk menyelidiki
siapa pembunuh Ki Empu
Sakya sebenarnya!"
Claaap...! Suto cepat-cepat pergi dengan gerak lari
bertenaga ringan tinggi. Dalam satu kedipan mata saja Suto sudah berada dalam
jarak jauh. Hal itu membuat
Sabani terbengong melompong dan menjadi percaya,
karena ia tahu hanya orang berilmu tinggi yang bisa
bergerak secepat itu. Ia menjadi gemetar dan menggigil, takut pada ucapannya
tadi tentang meludahi wajah Suto.
"Maafkan aku. Kang... aku tak tahu kalau yang
bernama Suto itu juga pedagang legen. Moga-moga kau
tidak mendendam padaku. Kang...," kata Sabani dengan wajah pucat pasi.
* * * 2 PENGEJARAN terhadap diri Ratu Tanpa Tapak
kehilangan jejak. Berhari-hari Suto Sinting tidak
temukan perempuan yang ingin menjadi penguasa di
seluruh jagat raya itu. Akhirnya Suto putuskan untuk menghentikan pengejaran, ia
berangkat ke Pulau Serindu untuk menengok Dyah Sariningrum. Kepergiannya itu
didampingi oleh Ki Gendeng Sekarat, si tukang tidur,
karena memang dialah yang diutus mencari Suto oleh
sang Ratu negeri Puri Gerbang Surgawi itu. Sedangkan Pelangi Sutera tetap
tinggal di tempat dan tidak
mengetahui kepergian Suto, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Ratu Tanpa Tapak").
Berawal dari situlah, ternyata sebuah peristiwa yang
tak diduga-duga itu terjadi dengan sangat menyedihkan.
Ki Empu Sakya dibunuh seseorang dan tersebarlah
berita bahwa Suto Sinting adalah pembunuh Ki Empu
Sakya. Tersebar pula kabar, bahwa keris pusaka milik Ki Empu Sakya yang bernama
Keris Setan Kobra itu telah
dicuri oleh Suto Sinting dengan cara membunuh Ki
Empu Sakya lebih dulu. Siapa yang menyebarkan berita
itu pertama kalinya, tak diketahui secara pasti. Yang jelas, kini Suto Sinting
si Pendekar Mabuk menjadi
buronan orang banyak, bahkan menjadi bahan ejekan
mereka. "Tak kusangka pemuda setampan dia, sesakti dia,
ternyata tega membunuh orang tak bersalah dan mencuri pusakanya. Sangat
memalukan sekali."
"Aku juga tidak menyangka akan begitu. Padahal
gurunya; si Gila Tuak, tidak mempunyai perilaku
seburuk itu!"
"Dia tidak pantas mendapat gelar pendekar dan
menjadi sanjungan para tokoh golongan putih.
Tindakannya sudah membuatnya masuk dalam golongan
hitam!" Begitulah celoteh mereka, hampir rata-rata
mengecam Suto Sinting dan menjelekkan gurunya; si
Gila Tuak. Berita itu sampai di telinga para sahabat Suto Sinting. Mereka
menjadi bimbang, walau sebagian ada
yang percaya dengan berita tersebut. Tetapi bagi Pelangi Sutera, berita itu
tidak mudah dipercayai begitu saja.
Karenanya ia menyuruh Logo anaknya yang lahir dari
ayah jin itu, untuk mencari Pendekar Mabuk dan
mengajaknya bicara tentang hal itu. Tetapi niatnya itu tak pernah terlaksana,
karena Suto Sinting sedang sibuk menyelidiki siapa penyebar fitnah tersebut.
Dalam perjalanannya menuju desa Kukusan,
Pendekar Mabuk melihat suatu pertarungan yang tidak
seimbang, ia melihatnya dari atas bukit. Seorang gadis berpakaian hijau terang,
rambut kepang dua, sedang
dikeroyok lima orang lelaki berperawakan kekar dan
ganas-ganas. Gadis itu tak lain adalah Mega Dewi, anak Lurah Pramadi yang akrab
dengan Ki Empu Sakya dan
banyak yang tahu bahwa Mega Dewi pernah dekat
dengan Suto Sinting.
Suto Sinting tidak berpikir apa persoalannya sehingga lima orang kekar menyerang
Mega Dewi secara
bersamaan. Suto hanya memikirkan, Mega Dewi perlu
bantuan karena kekuatannya tak seimbang menghadapi
lima orang ganas itu. Maka Suto Sinting pun segera
melesat turun dari bukit untuk membantu Mega Dewi.
Pada saat itu, Mega Dewi terkena pukulan orang
berompi hitam dengan tato di dada bergambar
tengkorak. Orang tersebut sepertinya paling ganas dari ke empat temannya.
Pukulan berupa sinar hijau melesat dari tangannya dan mengenai lambung Mega
Dewi. Pada waktu itu Mega Dewi sedang menghadapi dua
penyerang bersenjata tombak berujung pedang lengkung.
Akibat pukulan sinar hijau itu, Mega Dewi jatuh
tersungkur dan memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Orang bertato gambar tengkorak itu segera mencabut pedang dari pinggangnya dan
melompat untuk menebas
leher Mega Dewi.
"Lebih baik modar daripada tak mau membantu kami.
Mega Dewi! Heaaat...!"
Wuuut...! Weees...! Trang...! Tahu-tahu bambu bumbung tuak sudah
menahan gerakan pedang yang nyaris menempel di leher
Mega Dewi. Bambu itu bagaikan besi dan membuat
pedang lawan rompal separo bagian. Sisi tajamnya
tinggal bagian ujung dan dekat gagang.
Begitu pedang rompal, pemiliknya terperanjat kaget.
Suto segera sentakkan kakinya ke kiri. Wuuut...!
Duuuhg...! Tendangan sampingnya mengenai rusuk
lawan yang ganas itu. Kraak...! Dua tulang rusuk patah seketika, lawan jatuh
terpental dan meraung-raung
kesakitan di sana.
Keempat orang lainnya segera mengurung Suto
Sinting. Sang pendekar tampan diam memandang
dengan mata tajam. Salah seorang dari mereka berseru
garang, "Monyet kencur! Siapa kau dan apa perlumu
mencampuri urusan kami dengan gadis itu, hah"!"
"Justru aku yang ingin bertanya siapa kalian,
sehingga kalian berani menyerang sahabatku"!"
Yang berkumis pendek berseru, "Kami orang-orang
Tambak Wesi! Kami harus paksa gadis itu agar
menunjukkan di mana Suto Sinting itu berada! Sebab
kami pernah dengar bahwa anak gadis mendiang Ki
Lurah Pramadi itu pernah dekat dengan Suto Sinting.
Malahan ada yang bilang dia bekas kekasihnya Suto
Sinting. Kami membutuhkan orang itu!"
"Untuk apa?"
"Merebut Keris Pusaka Setan Kobra!"
Yang bersenjata sabit itu berseru pula, "Suto telah membunuh Ki Empu Sakya,
pasti dia telah merebut keris pusakanya juga."
"Dan perlu kau ketahui, Anak Muda..., kami adalah bekas murid-murid Ki Empu
Sakya. Beliau pernah
menjadi sesepuh di Perguruan Tambak Wesi. Maka
layaklah jika kami menuntut kembali keris pusaka
tersebut!"
Suto memandang dengan menyipitkan mata. Satu
persatu wajah diperhatikan, ia tak yakin dengan
pengakuan tersebut. Ki Empu Sakya orang bijaksana,
kalem, dan sabar. Tak mungkin pernah bergabung
dengan manusia-manusia berwajah bengis seperti
mereka. Tetapi hal itu disimpannya saja dalam hati. Suto
hanya berkata kepada mereka berempat,
"Kalau kalian mencari Suto Sinting, akulah
orangnya!"
"Hahh..."!" mereka saling terkejut dan sama-sama saling pandang dengan tegang.
Dua di antaranya tampak cemas. Dua lagi tampak memberanikan diri. Salah satu
dari yang memberanikan diri itu berkata keras.
"Kalau begitu kami harus memaksamu agar mau
serahkan keris itu!"
"Aku tidak mempunyai Keris Setan Kobra, dan aku
tidak membunuh Ki Empu Sakya, karena beliau
termasuk orang yang kuhormati!"
"Omong kosong! Kau harus dipaksa rupanya.
Hiiaat...!"
Orang itu melompat dengan mengibas-ngibaskan
sabit kembarnya di kanan kiri. Kibasan sabit kembar itu menimbulkan bunyi yang
membuat merinding orang
awam. Tetapi Suto Sinting tetap diam dan tenang.
Rupanya ia cepat-cepat pergunakan ilmu 'Layang Raga'
sejak mendengar penjelasan mereka. Maka, ketika si
Sabit Kembar membabatkan sabitnya ke lengan Suto,
temannya yang menggenggam tombak bergagang
pedang lengkung itu memekik kesakitan.
"Aoooww...!"
Sabit Kembar berpaling memandangi teman yang
menjerit, ternyata tangan orang itu putus dan buntung seketika. Yang lainnya
menjadi sangat heran melihat
adegan itu. Si Sabit Kembar masih penasaran. Dengan
kakinya ia menendang ulu hati Suto Sinting sekuat
tenaga. Tentunya tenaga dalam pun dikerahkan.
Wuutt..! Duuugh..!
"Uuhgg...!" temannya yang berbaju hitam mendelik, langsung memuntahkan darah
segar dari mulutnya.
Sedangkan Suto Sinting tetap diam tak bergeming. Si
Sabit Kembar menjadi panik.
"Edan! Apa iya yang kuserang dia yang celaka
temanku sendiri?" pikirnya. Si Sabit Kembar kurang percaya. Maka sekali lagi ia
menyerang Pendekar
Mabuk dengan kedua sabitnya. Wut, wut, wut, craass...!
Kedua sabit itu merobek menyilang di perut Suto
Sinting. Lalu terdengar pekik tertahan dari temannya
yang belum terluka apa pun itu.
"Aahg...!" pekikan pendek itu membuat si pemilik perut limbung ke belakang.
Sabit Kembar semakin
terperangah heran melihat perut temannya berodol,
ususnya keluar semua. Padahal ia merasa merobek perut Suto Sinting dengan jurus
'Elang Ganas', tapi mengapa justru temannya yang menderita luka separah itu, dan
akhirnya membuat orang tersebut tidak bernyawa lagi.
"Celaka! Ilmu apa yang digunakan orang ini"!" pikir si Sabit Kembar dengan
mundur beberapa tindak. "Kalau kuteruskan bisa mati semua temanku"!"
"Kalau aku bersalah, aku tak akan bisa gunakan ilmu
'Layang Raga'," kata Suto. "Sebagai bukti bahwa aku tidak bersalah, maka aku
masih bisa gunakan ilmuku
itu." Mereka akhirnya lari meninggalkan Suto dengan
membawa mayat temannya. Tak satu pun ada yang
berani coba-coba lagi dengan Pendekar Mabuk.
Ketenangan Suto yang tidak mau mengejar mereka itu
justru membuat mereka semakin dicekam rasa takut dan
larinya kian kencang. Yang buntung tangannya juga
terpaksa harus lari sekencang mungkin sambil membawa
potongan tangannya sendiri, sebab ia berharap sang
Guru bisa menyambungkan kembali potongan tangan
tersebut, ia tidak tahu bahwa sang Guru tak mampu
melakukan hal yang begitu ajaib.
Pendekar Mabuk segera melirik ke arah Mega Dewi.
Gadis itu duduk di bawah pohon, diam dan cemberut.
Jelas ia masih menderita luka dalam, karena wajahnya
masih pucat dan sesekali tersentak memuntahkan darah.
Setelah dipaksa meminum tuaknya Suto, maka luka
dalam itu pun mulai reda dan ia tak lagi tersentak
Pendekar Mabuk 027 Keris Setan Kobra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muntah darah. Makin lama kesehatannya berangsur-
angsur membaik, tetapi ia masih bersikap dingin kepada Suto Sinting.
"Mengapa sikapmu tidak seramah dulu. Mega Dewi?"
Gadis berkepang dua itu menjawab dengan ketus,
"Pikirlah sendiri!"
Pendekar Mabuk tidak melayani keketusan Mega
Dewi. Ia hanya tersenyum dan berdiri di depan Mega
Dewi sambil bermainkan sehelai ilalang. Wajah murung
itu dipandanginya dalam senyum yang tiada habisnya.
"Kau cemburu karena kutinggalkan terlalu lama?"
"Untuk apa menaruh cemburu kepada seorang
pengkhianat!' Kaget juga Suto mendengar ucapan itu. Senyumnya
segera hilang, ia mulai bisa meraba masalah yang
dipendam dalam hati Mega Dewi. Ia pun segera jongkok
di hadapan Mega Dewi sambil memegangi bumbung
tuak yang tadi diteguk isinya tiga kali. Ia bertanya
dengan nada lebih pelan dan bersungguh-sungguh.
"Apa maksudmu mengatakan aku seorang
pengkhianat"!"
"Karena kau tega membunuh sahabat sendiri. Ki
Empu Sakya bukan musuhmu, tapi kau serakah, ingin
memiliki kerisnya
sehingga membunuh beliau!
Akibatnya, orang banyak yang mengejarku karena
disangkanya aku menyembunyikan kau!"
Suto menarik napas sambil berdiri. "Mega Dewi,
semua itu fitnah belaka! Jangan mau percaya dengan
kata-kata siapa pun tentang hal itu.''
"Itu bukan fitnah, itu kenyataan!"
"Apa alasanmu menuduhku begitu dan yakin bahwa
aku yang membunuhnya?"
"Ada saksi mata yang melihatmu melakukan serangan mematikan bagi diri mendiang
Ki Empu Sakya!"
"Siapa saksi matanya?"
"Seorang penduduk desa, tetangga tak jauh dari
rumah Ki Empu Sakya!" jawab Mega Dewi dengan tetap ketus.
"Apa kata orang itu"!"
"Pembunuhnya orang yang membawa-bawa bambu
bumbung tuak. Siapa lagi kalau bukan kau"!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut. Ia mulai tahu,
mengapa ia dituduh sebagai pembunuh Ki Empu Sakya.
Tak heran jika Sabani juga disangka bernama Suto
Sinting, karena ia pedagang legen yang ke mana-mana
membawa bambu bumbung tuak.
Mega Dewi berdiri, menatap sinis kepada Suto
Sinting. "Mulai sekarang kau tak perlu bersahabat denganku lagi, Suto!"
"Mega Dewi, kau salah sangka!"
"Tidak mungkin!" bantah Mega Dewi dengan
menggeram menahan kemarahan. "Aku tahu kau berilmu tinggi, Ki Empu Sakya juga
berilmu tinggi. Ki Empu
Sakya tak akan mudah diserang atau bahkan dibunuh
jika penyerangnya bukan orang yang berilmu tinggi!"
"Tapi itu bukan aku, Mega Dewi. Tidak semua orang yang membawa bambu bumbung
adalah Pendekar
Mabuk Suto Sinting"! Di pasar banyak orang membawa
bambu bumbung sebagai penjual legen kelapa!"
"Seorang penjual legen lebih mustahil lagi jika bisa membunuh Ki Empu Sakya. Aku
tahu seberapa tinggi
ilmu Ki Empu Sakya. Aku bukan anak kecil yang bisa
kau bohongi dengan dalih-dalihmu, Suto!"
Sedih sekali hati Pendekar Mabuk mendengar kata-
kata Mega Dewi. Menurutnya, itu baru satu orang teman yang tidak percaya,
bagaimana jika sampai semua
temannya tidak mau percaya lagi kepadanya" Padahal
memperoleh kepercayaan itu lebih sulit daripada
memperoleh kemenangan dalam suatu pertarungan.
Pada dasarnya, Suto Sinting mengakui kebenaran
kata-kata Mega Dewi. Orang yang bisa membunuh Ki
Empu Sakya pasti orang berilmu tinggi, itu memang
benar. Suto juga mengakui bahwa Ki Empu Sakya orang
berilmu tinggi. Jika tidak berilmu tinggi beliau tidak akan mungkin bisa melihat
noda merah di kening Suto, yaitu lambang penghargaan yang diberikan oleh Gusti
Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya yang menjadi
penguasa di sebuah negeri alam gaib.
Memang mustahil jika pedagang legen seperti Sabani
itu mampu membunuh Ki Empu Sakya. Jika benar
pembunuhnya membawa bumbung bambu, maka Suto
dapat menduga orang sakti lainnya yang juga punya
kegemaran minum tuak dan ke mana-mana membawa
bumbung bambu. Tapi sejauh ingatannya, sepanjang
pengelanaannya di rimba persilatan selama ini, Suto
belum pernah temui orang yang ke mana-mana
membawa bumbung bambu.
Bumbung bambu merupakan ciri khas Pendekar
Mabuk. Tak heran jika Mega Dewi sangat percaya
dengan berita tersebut, dan menduga keras bahwa
memang Suto lah pembunuh Ki Empu Sakya. Lalu,
pembunuhan itu dikaitkan dengan keris pusaka milik Ki Empu Sakya. Wajar jika
semua orang menduga kalau
keris itu sekarang ada di tangan Suto Sinting.
Sebelum Mega Dewi pergi meninggalkannya karena
tak mau bersahabat lagi, Suto Sinting sempat
mengajukan satu pertanyaan kepada gadis kepang dua
itu. "Siapa nama saksi yang melihat Ki Empu Sakya
dibunuh"!"
"Mbok Wiji, seorang pengrajin perabot dapur dari bambu!"
"Aku akan temui dia, dan kubuktikan bahwa bukan
aku orang yang dilihatnya kala itu! Tak lama lagi kau akan tahu apakah aku
bersalah atau tidak."
"Aku sudah tak mau peduli lagi dengan dirimu. Aku tak mau terlibat persoalan
apa-apa bersamamu! Dan kau tak perlu mencariku atau berusaha menemuiku lagi,
Suto. Aku sudah tidak suka berteman denganmu!"
Kata-kata itu menyakitkan bagi Suto Sinting, tapi
agaknya kali ini Suto harus menelan kepahitan tersebut.
Sebelum ia bisa membuktikan kepada masyarakat dan
para tokoh bahwa dirinya tidak bersalah, ia masih harus menelan kenyataan pahit
dan mendengar kata-kata yang
menyakitkan seperti itu. Tak ada cara lain untuk
membersihkan diri kecuali dengan menggunakan
pengakuan perempuan desa yang bernama Mbok Wiji.
Suto akan tampakkan diri di desa Kukusan itu, dan
memohon kepada Mbok Wiji untuk mengenali wajah
pembunuh Ki Empu Sakya. Suto yakin Mbok Wiji akan
mengatakan bahwa wajah pembunuh Ki Empu Sakya
bukan wajah yang dimiliki Suto.
Bergegaslah Suto Sinting menuju desa Kukusan.
Perjalanannya sengaja melalui tempat-tempat yang
tersembunyi, supaya jangan temui halangan dari siapa
pun sebelum ia berhasil temui Mbok Wiji. Dengan
menggunakan ilmu peringan tubuh yang digabungkan
dengan ilmu 'Layang Raga' kecepatan lari Suto lebih
tinggi dari kecepatan anak panah melesat dari busurnya.
Ketika sampai di batas desa, hari sudah sore.
Matahari hampir tenggelam. Tapi Suto tidak pedulikan
suasana tersebut, ia mulai kurangi kecepatan larinya dan menjadi berjalan cepat
biasa saja. Langkahnya terhenti sejenak ketika melihat
kerumunan orang di lereng bukit. Di sana ada tanah
pemakaman, dan di tanah pemakaman itu agaknya
sedang dilakukan upacara penguburan. Suto menjadi
penasaran nalurinya mengatakan ada sesuatu yang perlu ditengok di kuburan itu.
Ketika ia tiba di sana, ternyata ia bertemu dengan
Sabani, si pedagang legen dalam bumbung bambu itu.
Tapi Sabani kala itu tidak membawa bumbungnya.
"Kang...?" Sabani gemetar, ingat dosanya ketika bertemu Suto yang pertama
kalinya itu. "Siapa yang meninggal, Sabani?"
"Mbok Wiji."
"Hah..."!" Suto Sinting terperangah kaget.
"Jenazahnya ditemukan cucunya tadi pagi, di dekat sungai. Sepertinya ia dibunuh
oleh seseorang menggunakan senjata tajam. Kang. Lehernya robek."
Suto Sinting menjadi tertegun penuh kekecewaan.
Satu-satunya saksi mata atas peristiwa kematian Ki
Empu Sakya kini telah tiada. Semakin sulit bagi Suto
untuk membuktikan bahwa orang yang membawa
bumbung bambu dan membunuh Ki Empu Sakya itu
bukan dirinya. Mbok Wiji tentunya mengenali
pembunuh tersebut. Tapi sekarang Mbok Wiji sudah
tiada. Bagaimana Suto harus membuktikan bahwa
dirinya tak bersalah"
* * * 3 SIAPA pun jika menghadapi masalah seperti itu tidak
akan mudah tidur, kecuali Ki Gendeng Sekarat. Suto
Sinting pun menjadi susah tidur. Malam hari ia temukan pohon yang bisa digunakan
untuk tidur, tetapi yang
terbayang di benaknya hanyalah wajah Ki Empu Sakya
dan persoalan dirinya. Di atas pohon itu, Suto hanya
berkedip-kedip memikirkan nasib dirinya yang benar-
benar sial itu.
Suto Sinting pun segera ingat pesan calon istrinya;
Dyah Sariningrum. Pesan itu diucapkan ketika Dyah
Sariningrum mengantar Suto sampai ke pantai.
"Jangan singgah ke pulau mana pun, kecuali ke
tujuanmu. Kalau kau singgah di pulau mana pun, maka kau akan menemui persoalan
yang rumit."
"Kau tak perlu cemburu, Sayangku," bisik Suto Sinting dengan mesra.
"Tidak. Aku tidak akan cemburu. Aku percaya
kepadamu. Tapi langkah seseorang kadang tidak
mengetahui lubang di depannya. Aku percaya kau tidak
akan jatuh cinta pada wanita lain. Hanya saja, menurut perhitungan hari,
tanggal, waktu, dan bulan,
kepergianmu ini harus langsung ke tempat tujuan. Sekali lagi, jika kau mampir-
mampir maka kau akan menemui
nasib sial."
"Apakah kau suka jika aku bernasib sial?"
Dyah Sariningrum yang punya lesung pipit itu
tersenyum manis. Cantik sekali. Ia tersenyum sambil
gelengkan kepala dan memandang lembut kepada calon
suaminya. "Aku tidak ingin kau bernasib sial. Karena itu aku beritahukan apa yang harus
kau lakukan supaya tidak
bernasib sial."
"Aku harus menurut padamu, karena aku sayang
kepadamu, Dyah tersayang," kata Suto makin membisik dan menyiram kesejukan hati
sang Ratu yang bergelar
Ratu Mahkota Sejati itu.
Tetapi dalam perjalanan pulang dengan tugas
memburu Siluman Tujuh Nyawa, Suto Sinting sempat
lupa akan pesan calon istrinya itu. Sekalipun Suto orang yang cerdas dan berilmu
tinggi, tapi kealpaan tetap saja bisa singgah pada dirinya. Manusia tak akan
luput dari kelupaan, karena kelupaan merupakan bagian dari
penyakit kodrati bagi manusia itu sendiri.
Di atas perahunya yang berlayar tunggal, dengan
ditemani oleh seorang prajurit negeri Puri Gerbang
Surgawi, Suto Sinting melihat suatu pertarungan di atas permukaan air laut.
Salah satu orang yang mengadakan pertarungan di atas sepotong papan itu adalah
Raja Maut, sahabat gurunya Suto, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Ratu Tanpa Tapak").
Melihat Raja Maut bertarung dengan seorang wanita
cantik namun berkesan galak itu, Suto Sinting tak bisa
tinggal diam. Apalagi pelayaran perahunya harus
melintasi tempat itu. Pada mulanya Suto Sinting tidak mengenal perempuan yang
bertarung dengan Raja Maut.
Tetapi prajurit yang menyertainya dalam perahu itu
berkata, "Perempuan itulah yang bernama Nyai Demang
Ronggeng, penguasa Pulau Blacan yang tampak dari sini itu."
"Ooo... ya, ya, ya... aku mengerti sekarang," kata Suto sambil manggut-manggut.
"Aku pernah dengar cerita permusuhan Raja Maut dengan Nyai Demang
Ronggeng. Pasti persoalan Kitab Sukma Sukmi yang
dicuri oleh Nyai Demang Ronggeng dari tangan gurunya
si Raja Maut."
"Saya malah tidak dengar cerita itu, Gusti Manggala Yudha," kata prajurit
tersebut kepada Suto. Gusti Manggala Yudha memang pangkat dan sebutan Suto di
kalangan orang-orang Puri Gerbang Surgawi.
Kedudukannya lebih tinggi dari sang Ratu Mahkota
Sejati, karena kehormatan Suto itu diberikan oleh
penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib,
yaitu Ratu Kartika Wangi, Ibu dari Dyah Sariningrum
atau si Ratu Mahkota Sejati itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Manusia Seribu Wajah").
"Raja Maut agaknya terdesak oleh kekuatan Nyai
Demang Ronggeng. Sekujur tubuhnya telah basah
kuyup, sedangkan Nyai Demang Ronggeng masih
kering," gumam Suto bagaikan bicara sendiri.
Ketika melihat Raja Maut terpental jauh karena satu
pukulan sinar merah dari kibasan kipas berbulu merah
itu, Suto Sinting cemaskan jiwa Raja Maut.
"Arahkan perahu kita untuk menolong Raja Maut!"
kata Suto kepada sang prajurit yang mengendalikan laju perahu itu. Maka sang
prajurit pun menuruti perintah tersebut.
Raja Maut benar-benar terluka parah. Tubuhnya
mengambang di air dalam keadaan pingsan. Suto Sinting segera menolong,
mengangkat tubuh Raja Maut untuk
diselamatkan jiwanya. Raja Maut dibaringkan di perahu itu. Mulutnya dipaksa
terbuka, lalu tuak dari bumbung dituangkan oleh Suto sedikit demi sedikit.
Akhirnya beberapa teguk tuak tertelan oleh Raja Maut, sampai
orang tua itu tersedak dan terbatuk-batuk, sadar dari pingsannya. Namun karena
tubuhnya masih memar
membiru dan lemas. Raja Maut tak bisa bilang apa-apa
Jleeg...!
Pendekar Mabuk 027 Keris Setan Kobra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rupanya pertolongan Suto kepada Raja Maut tidak
disukai oleh Nyai Demang Ronggeng. Perempuan itu
berusaha mencapai perahu dan tiba-tiba ia sudah berhasil menginjakkan kakinya di
buritan perahu. Suto Sinting
sempat terperanjat, namun kembali tenang dengan
berkata sopan kepada Nyai Demang Ronggeng,
"Maaf. aku tidak bermaksud campuri urusanmu,
melainkan sekadar menolong orang yang kukenal ini!"
"Lancang betul kau!" sentak Nyai Demang
Ronggeng. "Aku ingin membunuhnya, tapi kau ingin menyelamatkannya. Itu sama saja
kau telah menantangku untuk lanjutkan pertarungan ini!"
"Tidak. Aku tidak menantangmu. Ini sekadar tugasku sebagai manusia, menolong
yang lemah, membantu yang
susah!" "Hmmm...!" Nyai Demang Ronggeng mencibir
melihat Suto merendahkan hati di depannya. Matanya
menatap terus tak berkedip, lama-lama hatinya berkata,
"Ganteng juga dia!" Tapi sikapnya tetap dipaksakan angkuh dan sinis.
"Kalau kau tak menantangku," kata Nyai Demang Ronggeng, "Bunuh si setan tua itu!
Jangan obati dia!
Ceburkan ke laut sekarang juga!"
Dengan senyum kalem Pendekar Mabuk berkata,
"Maaf, aku tidak bisa berbuat sekejam itu, Nyai. Guruku tidak pernah ajarkan
agar aku berbuat sejahat itu kepada orang tak berdaya."
"Siapa gurumu"!"
"Gila Tuak"
Mata Nyai Demang Ronggeng terkesiap, ia terkejut,
namun disembunyikan dalam hati. Hanya wajahnya
yang tampak semakin sinis dengan kata-katanya yang
ketus, kadang bernada dingin.
"Kebetulan sekali! Si Gila Tuak punya hutang
padaku! Hutang jurus!"
"Oh, aku tidak tahu hal itu, Nyai. Aku tidak
bermaksud apa-apa padamu."
"Gila Tuak pernah menyerangku saat aku bertarung melawan setan busuk itu!" Ia
menuding Raja Maut "Aku dibuatnya lari terbirit-birit. Sekarang giliranku
membalas sakit hati itu melalui muridnya!"
"Nyai Demang Ronggeng, terlalu buruk jika kita
turuti nafsu membunuh dan membalas dendam.
Sebaiknya, lupakan saja niatmu itu agar di antara kita tidak ada yang celaka,
Nyai!" "Akan kulupakan setelah aku berhasil mengirim
penggalan kepala murid si Gila Tuak. Hiaaatt...!"
Nyai Demang Ronggeng nekat menyerang Suto
Sinting dengan lompatan cepat bagaikan hembusan
angin. Wuuutt...! Tetapi Suto Sinting enggan melayani, sehingga ia hanya
menghindar pada saat jaraknya
dengan lawan sudah sangat dekat, ia menjatuhkan diri dalam posisi duduk, lalu
meraih bumbung tuak yang
tergeletak di samping raga si Raja Maut.
Serangan yang dihindari dengan seenaknya itu
membuat tubuh Nyai Demang Ronggeng tak mampu
berhenti seketika. Ia melaju dengan lompatan cepatnya dan akhirnya melewati
batas perahu dan, byuuurrr...! Ia jatuh ke lautan.
Untuk sesaat ia menyelam diri, tapi kejap berikut ia
muncul dengan satu sentakan kuat. Bruuus...! Ia
melayang tinggi bagaikan seekor lumba-lumba muncul
dari kedalaman air. Gerakan saltonya membuat ia
mampu hinggap di atas barak perahu yang beratap papan itu. Draak...! Tubuhnya
yang basah kuyup meneteskan
air ke atap barak. Tapi kipas bulu merahnya itu bagaikan anti basah. Tak sedikit
pun air menempel di kipas
tersebut. "Nyai Demang Ronggeng," kata Suto, "Jangan memaksaku bertindak kasar kepadamu.
Aku tahu siapa kau, dan aku kenal dengan dengan Ki Gendeng Sekarat,
saudara seperguruanmu, karena itu aku masih
menghormatimu, Nyai."
"Aku tidak butuh hormatmu! Aku benci pada
Gendeng Sekarat! Hiaaat...!"
Kali ini Nyai Demang Ronggeng melompat sambil
kibaskan kipasnya. Dari kipas itu keluar tenaga dalam yang besar dan menyerang
Suto Sinting yang masih
enggan melayaninya. Suto bermaksud menghindar,
namun terlambat, sehingga tubuhnya yang baru saja
hendak melompat itu terhempas pukulan tenaga dalam
dari kipas merah. Wuuut...! Braaak...!
Suto Sinting jatuh di haluan kapal. Prajurit ingin
membantu tapi Suto segera melarangnya. Pendekar
Mabuk cepat berdiri karena Nyai Demang Ronggeng
telah lepaskan lagi serangan berikutnya, berupa cahaya merah dari kipas
tersebut. Slaaap...! Dengan cepat Suto meraih bumbung tuaknya dan
disilangkan di depan dada. Akibatnya sinar merah itu
mengenai bumbung tuak tersebut namun tidak membuat
bumbung itu hancur, melainkan membuat sinar merah
memantul kembali arah. Pantulan sinar merah itu
ternyata lebih cepat dan lebih besar lagi, tenaga yang ada di dalam sinar merah
menjadi berlipat ganda.
Wuuusss...! Nyai Demang Ronggeng terkejut. Hampir saja ia
terpaku melihat sinar merahnya membalik dalam
keadaan lebih besar. Dengan gerakan cepat, kipas di
bentangkan dan digunakan menangkis sinar merah itu.
Praak...! Blaaar...!
Sinar merah jebol seketika. Tubuh Nyai Demang
Ronggeng terpental jatuh ke laut kembali. Byuuur...!
Tetapi sebelum ia jatuh masuk ke dalam air, prajurit
sempat melihat mulut Nyai Demang Ronggeng
semburkan darah segar, pakaiannya terbakar pada bagian dada. Setelah itu lenyap,
tak bisa diketahui keadaannya.
Raja Maut mulai sehat walau tidak sepenuhnya, ia
mulai sadar bahwa dirinya berada di atas perahu, ia juga kaget melihat Suto ada
di perahu itu juga.
"Apa yang terjadi, Suto?"
"Nyai Demang Ronggeng terkena pukulannya sendiri dan masuk ke perairan. Sampai
sekarang belum muncul-muncul," Suto menjawab dengan mata memandangi
perairan di sekelilingnya.
"Apa warna pukulannya tadi?"
"Merah! Keluar dari kipasnya."
"Habislah riwayatnya. Setidaknya bagian dalamnya rusak berat!" gumam Raja Maut
sambil memandangi perairan juga.
"Apakah ini persoalan Kitab Sukma Sukmi?"
"Benar. Hari ini kutentukan sikapku; kalau tak dapat merebut kitab itu, lebih
baik aku mati di tangannya, toh aku sudah turunkan ilmuku kepada muridku. Bagiku
mati bukan masalah lagi."
"Sebenarnya aku hanya ingin menolongmu, Raja
Maut. Tidak bermaksud mencampuri urusan kalian
berdua. Tetapi...," ucapan itu terhenti. Sesosok tubuh
keluar dari kedalaman air laut. Mirip ikan lumba-lumba sedang terbang.
Bruuusss...! Jleeg...! Nyai Demang Ronggeng masih hidup, keadaannya
memang menyedihkan. Dada sampai leher berwarna
hitam hangus. Sebagian pakaiannya rusak termakan api.
Namun keadaan api sudah padam karena air laut.
Matanya menjadi mengerikan. Bagian tepi kelopak mata
itu memerah. Hidungnya masih melelehkan darah. Tapi
ia masih mampu berdiri di buritan dengan tegak dan
kokoh. "Nyai, sudahlah, jangan teruskan pertarungan ini,"
kata Suto memohon.
Tapi agaknya perempuan berhati sadis itu tetap ingin
lanjutkan pertarungan sampai titik darah penghabisan.
Dengan geram kemarahannya ia berkata,
"Sekarang sudah tak ada waktu untuk berdamai
denganmu, murid Gila Tuak! Kau atau si setan tua itu
yang mati di tanganku! Atau kalian berdua sama-sama
kukirim ke alam baka"!"
"Kau pikir mudah mengirimku ke alam baka?" sahut si Raja Maut, lalu mencoba
berdiri, tapi ia jatuh lagi karena keadaannya masih lemah. Pada saat Raja Maut
jatuh, Nyai Demang Ronggeng segera melepaskan
pukulan dengan kedua tangan disentakkan ke depan.
Wuuus...! Sinar merah besar melesat menghantam tubuh Raja
Maut. Suto Sinting cepat lompatkan diri ke depan Raja
Maut, lalu dengan kedua tangan disentakkan ke depan, melesatlah sinar biru besar
dari tangan Suto. Sinar bru itu menghadang laju sinar merah, dan bertemu di
pertengahan tanpa ledakan.
Kedua orang itu akhirnya adu kekuatan tenaga dalam.
Nyai Demang Ronggeng kerahkan tenaga dalamnya
supaya sinar merah bisa menembus tubuh Suto,
sedangkan Suto sendiri kerahkan tenaga dalamnya
supaya sinar biru bisa mendesak sinar merah lawan.
Kedua tangan Suto Sinting bergetar, tapi sekujur tubuh Nyai Demang Ronggeng
gemetaran. Wajahnya yang
pucat menjadi memerah, pertanda seluruh kekuatan
dikerahkannya. Pertemuan kedua sinar itu memercikkan bunga api.
Garis pertemuan bergerak maju-mundur menandakan
kekuatan mereka saling dipertahankan. Sampai akhirnya, kaki Suto Sinting
menghentak ke lantai perahu.
Duuuhg...! Seakan hentakan itu mendatangkan kekuatan
besar dan membuat sinar birunya mampu mendesak ke
depan dan akhirnya menghantam tubuh Nyai Demang
Ronggeng. Blaaar...!
Cahaya biru pijar memecah menyilaukan. Pandangan
mata mereka tak mampu menembus nyala biru terang
yang melebar melebihi lebar layar itu. Namun cahaya itu hanya sekejap, lalu
lenyap. Blaab...!
Sosok Nyai Demang Ronggeng tidak kelihatan lagi.
Asap tipis masih menyelimuti tempat berdirinya Nyai
Demang Ronggeng. Semakin tipis asap itu semakin
terlihat oleh mereka tubuh Nyai Demang Ronggeng
mengambang di permukaan air dalam keadaan hangus
seluruhnya. Perempuan itu telah menjadi arang karena
terkena pukulan jurus 'Tangan Guntur' yang jarang
digunakan Suto itu.
Raja Maut dan prajurit memandang dengan mulut
ternganga bengong. Wajah mereka diliputi perasaan
kagum dan takjub terhadap hasil pukulan jurus Pendekar Mabuk itu. Sedangkan Suto
Sinting sendiri memandang
mayat yang ditinggalkan perahu itu dengan wajah sesal.
Bahkan ia menggumam di samping Raja Maut,
"Seharusnya hal itu tidak terjadi kalau hatinya tidak sekeras baja!"
"Memang itulah akibat yang harus diterima bagi
orang yang tak pernah mau mengenal perdamaian," ujar Raja Maut. "Aku tak
salahkan dirimu. Kau hanya sebatas melindungiku. Karena kau tahu keadaanku
sedang lemah, tak mungkin mampu melawan jurusnya tadi. Aku
berterima kasih padamu, Suto! Biar kujelaskan sendiri pada si Gila Tuak, gurumu
itu, mengapa kau membunuh
Kiswanti."
Suto memandang jauh dalam lamunan sesalnya.
Pantai Pulau Blacan terlihat jelas dan akan dilewatinya.
Suto Sinting diam tanpa bicara apa pun. Raja Maut
segera mendekati dan bicara dengan hati-hati.
"Suto, aku harus mengambil Kitab Sukma Sukmi di
pulau itu. Maukah kau menungguku mengambilnya, agar
aku bisa pulang menumpang perahumu?"
Napas Suto Sinting ditarik dalam-dalam. "Ambillah, setelah itu jagalah agar
Kitab Sukma Sukmi yang berisi
jurus-jurus maut dan ilmu 'Tarian Mayat' itu jangan
sampai jatuh ke tangan orang sesat lagi."
Raja Maut yang berjubah abu-abu itu tersenyum
ceria. Pendekar Mabuk senang melihat orang yang
ditolongnya menjadi ceria. Maka perahu pun menepi ke
pantai Pulau Blacan. Raja Maut turun sendiri, menuju persinggahan Nyai Demang
Ronggeng. Suto dan prajurit
menunggu di perahu sampai beberapa saat lamanya.
Suto sempat bercerita tentang hubungan Nyai Demang
Ronggeng dengan Ki Gendeng Sekarat yang
ditinggalkannya di Pulau Serindu. Bahkan Suto banyak bercerita pengalaman yang
dilalui bersama si tukang
tidur itu. "Jadi, Ki Gendeng Sekarat itu sebenarnya sudah
hampir mati di tangan Ratu Tanpa Tapak, Gusti
Manggala?"
"Ya. Tapi seorang teman bernama Sumbaruni
menolongnya, aku pun akhirnya datang membantu
mereka." "Sumbaruni...?" gumam prajurit itu bernada heran.
Dulunya pun berkerut. "Sepertinya saya pernah dengar nama Sumbaruni dari cerita
ke cerita."
"Mungkin kau ingin katakan bahwa Sumbaruni itu
bersuamikan jin Kazmat?"
"Bukan itu saja," jawab prajurit yang usianya sekitar tiga puluh tahun. "Menurut
cerita yang saya dengar, Sumbaruni itu pelayan seorang petapa di Gunung
Winukir. Pertapa itu adalah Eyang Bayudana, yang
mempunyai murid bernama Pramban Jati dan Resi
Wisbo." "Pramban Jati itu gurunya Ki Gendeng Sekarat!"
sahut Suto. "Ooo...," prajurit itu manggut-manggut.
"Resi Wisbo adalah gurunya Raja Maut tadi!"
"O, begitu"! Jadi antara Sumbaruni dan Nyai Demang Ronggeng, Ki Gendeng Sekarat,
Raja Maut bisa jadi
mempunyai kesamaan ilmu, Gusti?"
"Mungkin saja. Cuma yang mana yang lebih tinggi, kurasa Sumbaruni-lah yang
paling tinggi ilmunya.
Karena dia mendapat warisan ilmu secara langsung dari Eyang Bayudana sang petapa
itu." Percakapan itu terhenti karena Raja Maut telah
kembali dengan membawa Kitab Sukma Sukmi. Mereka
meluncur ke Tanah Jawa memakan waktu perjalanan
selama satu hari satu malam. Dan saat itulah sebenarnya Suto Sinting telah lupa
akan pesan Dyah Sariningrum. Ia telah mampir ke sebuah pulau, walau hanya di
pantainya saja, dan walaupun untuk menolong seseorang.
Pendekar Mabuk 027 Keris Setan Kobra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kini dalam lamunan malam Suto di atas pohon,
kesalahan itu teringat kembali. Hatinya pun berkata,
"Pantas nasibku sial, karena aku telah mampir ke Pulau Blacan! Kurasa Dyah pun
tahu kesalahan yang telah
kuperbuat itu, karena ia punya kekuatan batin untuk
meneropong kehidupanku dari jauh."
Hati Suto Sinting ingin menyesali langkahnya itu,
tapi ia merasa penyesalan tersebut tidak berarti apa-apa.
Tak perlu dipikirkan lagi. Sebab yang perlu dipikirkan adalah bagaimana
membuktikan bahwa dirinya tidak
bersalah. "Kurasa aku memang harus temui Sumbaruni atau
Pelangi Sutera itu! Paling tidak, Sumbaruni punya saran untukku."
Kecamuk batin dan pikirannya itu akhirnya
melelahkan jiwa. Suto Sinting tertidur ketika pagi
tinggal sedikit waktu lagi. Namun dalam tidurnya itu, ia kembali bermimpi
tentang wanita cantik berjubah sutera warna biru muda.
"Asmaradani..."!" sapa Pendekar Mabuk dalam mimpinya. Seolah-olah mereka saling
melepas rindu karena lama tak jumpa. Asmaradani memeluk Suto
penuh ungkapan rasa kangen. Lalu, wanita cantik itu
kembali menyerahkan setangkai bunga mawar warna
pelangi dengan tangkai tanpa duri.
"Lama aku menunggumu, ingin serahkan bunga ini
untukmu, Suto."
"Kau baik padaku. Asmaradani," ucap Suto bernada mesra.
Sayang mimpi itu tak panjang. Suto terbangun ketika
mendengar suara kokok ayam dan lesung penumbuk
padi di kejauhan sana. Tetapi ia jadi terkejut setelah menyadari tangannya
menggenggam setangkai mawar
pelangi tak berduri.
"Bunga ini benar-benar kumiliki"! Mimpiku itu... oh, mimpi apa sebenarnya" Apa
arti mimpi seaneh ini"!"
pikir Suto dengan bingungnya.
* * * 4 LANGKAH Pendekar Mabuk semakin diperlambat
karena suara aneh di sekelilingnya. Matanya melirik
curiga walaupun sikapnya masih tenang-tenang saja.
Telinganya menangkap suara detak jantung yang jumlah
lebih dari dua irama. Itu tandanya ada beberapa orang yang bersembunyi di
sekitar semak dan kerapatan
pohon. Mereka sepertinya menunggu saat yang baik
untuk lakukan penyerangan.
"Siapa mereka?" tanya Suto dalam hatinya. Hanya itu yang ada di hatinya, karena
kejap berikutnya sebilah
pisau melesat dari arah belakang, sasarannya pada
punggungnya. Slaaap...! Kecepatan pisau itu cukup tinggi. Pasti
dilemparkan dari tangan orang berilmu lumayan tinggi.
Tetapi Pendekar Mabuk tidak kalah cepat berputar
badan. Wuuut...! Ceeb...!
Pisau seukuran satu jengkal itu tahu-tahu sudah
terselip di sela jari-jari Suto Sinting. Padahal tangan Suto hanya berkelebat
dan berhenti sampai di depan
dadanya, namun pisau itu telah mampu ditangkapnya
sehingga tak sampai merobek kulit tubuhnya.
Dengan pisau masih terselip di tangan, Suto Sinting
diam tak bergerak dan mata memandang jeli ke
sekitarnya. Suto tidak menemukan bayangan manusia di
sana-sini, tapi hati nuraninya mengatakan ada yang
bersembunyi di balik pohon di depannya itu. Maka
dengan gerakan tangan berkelebat cepat dan kaki sedikit merendah, pisau itu
dilemparkan ke dahan pohon
tersebut. Slaaab...! Craab, craaab, craab...!
Gerakan pisau begitu cepat dan memotong tiga dahan
seukuran satu lengan orang dewasa. Ketiga dahan itu
langsung jatuh secara bersamaan. Grussaak...!
Duuhg...! "Aow..!" seseorang terpekik kesakitan karena kejatuhan salah satu dahan. Pasti
kepalanya bocor,
setidaknya benjol. Suto Sinting tersenyum geli dan
matanya menatap tajam ke arah pohon tersebut.
Dugaannya benar, ada orang bersembunyi di balik pohon itu. Orang tersebut tak
sengaja terpekik karena tak
menyangka akan kejatuhan dahan sebesar lengan.
Anehnya orang itu masih saja tidak mau keluar dari
persembunyiannya, rupanya ia bertahan untuk tidak
menampakkan diri dan segera menutup mulutnya dengan
tangan. Suto Sinting mau meninggalkan orang itu dan tidak
peduli dengan serangan tadi. Tetapi baru saja ia balikkan tubuh, tiba-tiba dari
arah kirinya melesat dua benda kecil warna putih terpantul sinar matahari. Benda
itu adalah dua senjata rahasia yang dilemparkan dari balik dua
pohon berjajar rapat.
Ziing, ziing...!
Dua tangan Suto segera berkelebat menangkap dua
senjata rahasia tersebut dalam gerakan melebihi
kecepatan layang senjata itu sendiri. Sleb, sleb...! Sekali lagi dua senjata itu
mampu ditangkap dengan jepitan
jari-jemarinya. Ternyata senjata itu berbentuk bintang
segi enam yang runcing dan berbau amis. Itu tandanya
senjata tersebut mempunyai kadar racun tinggi
Duri Bunga Ju 7 Joko Sableng 25 Kutuk Sang Angkara Neraka Hitam 3
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 GEMERCIK air sungai jatuh di bebatuan. Iramanya
melenakan, membuat rasa kantuk tiba. Angin semilir
berhembus di keteduhan pohon rindang yang tumbuh
dekat air terjun itu. Siang yang panas menjadi siang yang sejuk. Tak heran jika
Suto Sinting terlena tidur di bawah pohon munggur yang menaunginya.
Mimpi pun hadir di sela kenyenyakan tidur siang
Pendekar Mabuk murid si Gila Tuak itu. Mimpi itu
indah baginya. Ya, memang indah, sebab mimpi yang
hadir adalah mimpi tentang seorang wanita cantik
berpakaian sutera biru muda. Rambutnya bak mayang
terurai, lembut, dan halus. Mahkota kecil menghiasi
rambut indah yang mungkin cukup dikeramas memakai
merang. Wajah cantiknya tak bisa dilukiskan lagi.
Bibirnya menggairahkan, selalu tampak basah,
menggemaskan sekali. Ingin Suto menggigitnya dengan
lembut. Wanita yang hadir dalam mimpinya itu mengenakan
perhiasan lengkap, gelang berhias batuan intan, kalung susun dua berhias
berlian, cincin, giwang, pokoknya
elok sekali, ia tampak seperti seorang ratu. Atau anak raja. Atau memang dia
seorang ratu. Entahlah. Mimpi
Suto belum saling bercakap-cakap. Hanya saling
pandang saja. Bayangan mimpi itu semakin jelas. Wanita berjubah
biru muda tipis membayang bagian dalamnya yang
dibungkus kain ketat itu, mulai melangkah mendekati
Pendekar Mabuk, ia menyerahkan setangkai bunga aneh,
yaitu mawar pelangi. Artinya, mawar itu punya aneka
warna seperti pelangi dan baunya harum lembut. Wanita itu tersenyum saat
menyerahkan bunga tanpa duri.
Lesung pipit di pipinya membuat Suto terperangah
kagum. "Ini untukmu," wanita dalam mimpi itu berucap lirih, suaranya merdu.
"Aku... belum kenal siapa dirimu, mengapa harus
terima bunga darimu?"
"Kuberikan bunga ini untukmu. Cuma-cuma. Tidak
dipungut biaya."
"Apakah kau tukang kembang?"
"Bukan," jawab wanita yang diperkirakan baru berusia dua puluh lima tahun. "Aku
seorang ratu. Bukan tukang kembang."
"Ooo... ratu apa?"
"Ratu Ringgit Kencana."
"Punya negeri?"
"Punya. Negeriku bernama Negeri Ringgit Kencana."
"Bagus sekali," kata Suto lembut dan menawan.
"Apanya yang bagus" Nama negeriku?"
"Bunganya," jawab Suto. "Ada yang lainnya?"
"Di negeriku banyak bunga Mawar Pelangi. Apakah kau suka?"
"Sangat suka. Bolehkah aku datang ke negerimu?"
"Aku akan menjemputmu sebentar lagi."
"Namamu siapa?"
"Asmaradani."
"Oh, eloknya...?"
"Namaku yang elok?"
"Mawarmu ini," jawab Suto sambil tersenyum lembut.
"Aku butuh bantuanmu."
"Indah sekali. Belum-belum sudah butuh bantuan."
"Aku terpaksa menghubungimu, karena tak punya
senopati."
"Begitukah..."!"
Asmaradani, Ratu Ringgit Kencana, anggukkan
kepala dengan gemulai. Bau wewangiannya menyerap
ke dalam hati sanubari Pendekar Mabuk. Lama-lama
mata indah itu mulai berkaca-kaca. Wajah cantik ceria menjadi tersaput duka.
Ratu Ringgit Kencana
melelehkan air mata. Suto Sinting trenyuh, lalu
menghapus air mata yang meleleh sampai di pertengahan pipi. Ia menghapus dengan
jari telunjuk yang ditekuk
dan digunakan sebagai menadah butiran air mata itu.
"Jangan menangis, Asmaradani. Aku akan datang
menolongmu," bisik Suto Sinting dengan nada mesra sekali. "Sebutkan kesulitanmu
dan aku akan lakukan apa yang seharusnya kulakukan."
Asmaradani menatap dengan penuh perasaan. Jari-
jemarinya yang lentik indah itu meraba pipi Suto
Sinting. Pendekar tampan berbaju coklat tanpa lengan
dengan celana putih berikat pinggang merah dan
menyandang bambu tempat tuak itu membiarkan pipinya
disentuh tangan berkulit halus, seperti tangan kulit bayi.
Lembut sekali rasanya. Enak sekali dinikmati. Bahkan Suto pun membiarkan
rambutnya diusap pelan-pelan
oleh Asmaradani. Rambut panjang lewat pundak itu
dipermainkan oleh wanita itu. Pelan... pelan... pelan...
seakan setiap gerak dan sentuhan diresapi sampai ke
dasar hati. Sayang sekali mimpi itu terputus karena sentakan
halus di bagian rambut, seperti tertarik seseorang tanpa sengaja. Suto Sinting
buka mata dan terkejut dengan
ucapan tak sadar.
"Jabang bayi...!"
Yang ada di depan wajahnya adalah wajah hitam,
bermata besar, berhidung besar, kepala gundul tapi
berkuncir rambut merah jagung di bagian tengahnya.
Orang yang sedang berjongkok di depannya itu berkulit hitam, tinggi, besar,
tanpa baju kecuali hanya
mengenakan cawat saja. Dialah anak jin yang bernama
Logo. Tentu saja hal itu sangat mengejutkan Suto
Sinting, karena ternyata anak jin itulah yang memegang-megang rambut Suto.
Wajahnya sangat berbeda jauh
dengan wajah dalam mimpi Suto tadi.
"Logo..."! Kau mengejutkan tidurku!"
"Maaf," kata Logo bersuara besar. Maklum, anak jin kalau suaranya kecil bisa
disangka anak kucing. Maka
wajar kalau Logo bersuara besar.
"Ibu menyuruhku memanggilmu," kata Logo. "Kau ditunggu di gua pantai Bukit
Semberani. Ibu ingin
membicarakan sesuatu kepadamu, Kang Suto."
"Katakan kepada ibumu, aku sedang tidur. Nanti saja kalau sudah bangun, aku akan
ke sana." "Baik. Akan kusampaikan pesanmu. Permisi, Kang
Suto." "Ya," jawab Suto sedikit dongkol. Gara-gara sentuhan kasarnya mimpi pun jadi
hancur berantakan.
Padahal sedang asyik-asyiknya. Suto kembali tidur,
memejamkan mata, tapi tak bisa nyenyak seperti tadi.
Pikirannya digelayuti bayangan wajah ibunya Logo,
wanita cantik bernama Sumbaruni yang menggunakan
julukan Pelangi Sutera, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Ratu Tanpa Tapak").
"Ah, mau apa Pelangi Sutera memanggilku?" pikir Pendekar Mabuk. "Apakah dia
sudah menemukan
tempat persembunyian Ratu Tanpa Tapak yang bernama
Nila Cendani itu" Kalau belum, kenapa harus bertemu
denganku" Mau bikin persoalan apa lagi" Soal cintanya"
Ah, malas! Aku bosan bicara soal cinta. Terlalu cengeng.
Tapi... tapi wanita dalam mimpiku itu tadi terasa aneh
sekali bagiku. Toh aku menyukai kecengengannya" Toh
aku tidak benci melihatnya menangis. Hmmm, siapa tadi namanya" Oh, ya...
Asmaradani. Bagus sekali. Dia
memberikan mawar warna pelangi. Apa artinya" Apakah
ada hubungannya dengan Pelangi Sutera" Ah, wajahnya
beda jauh. Kurasa tak ada hubungannya. Lalu, apa
artinya mimpiku tadi" Apakah mimpi bertemu wanita
cantik punya arti akan bertemu dengan anak jin"!" Suto Sinting tertawa sendiri
membayangkan wajah Logo.
Ia menarik napas, masih merebah, masih
memejamkan mata. Sadar sepenuhnya. Namun tiba-tiba
Suto terkejut karena ia mencium bau bunga mawar.
Dahinya berkerut dengan mata masih terpejam.
Penciumannya dipertajam. Bau bunga mawar seperti
dalam mimpinya itu semakin jelas. Ketika kepalanya
bergerak miring ke kiri pelan-pelan, aroma harum
lembut bunga mawar itu kian bertambah nyata. Suto
Sinting terpaksa buka matanya.
"Hahhh..."!"
Pendekar Mabuk kian terperangah kaget. Cepat-cepat
bangkit terduduk. Karena saat itu matanya memandang
setangkai bunga mawar tanpa duri dan berwarna pelangi tergeletak di samping
kirinya, seakan ikut tidur
mendampinginya.
"Bunga ini ada di sampingku"! Apakah sejak tadi"!
Siapa yang membawanya" Apakah si anak jin tadi" Ah,
aneh sekali. Padahal bunga mawar warna pelangi ini
hanya kutemukan dalam mimpiku. Kenapa bisa benar-
benar ada di sampingku?"
Pandangan mata Pendekar Mabuk segera menyelidik
ke sekelilingnya. Tak ada siapa-siapa di sekitar tempat itu. Sungguh pemandangan
yang lengang. Semak di
kejauhan sana pun dipandang dengan sedikit menyipit,
tapi tak terlihat ada sesuatu yang mencurigakan. Pohon-pohon dipandangi juga,
tapi tak ada orang bersembunyi di sana.
"Apakah bunga ini ada sejak tadi sebelum aku
terbaring tidur di sini" Ah, tak mungkin. Tadi aku tidak mencium bau bunga ini.
Jangan-jangan pohon ini
angker" Atau..., ada seseorang yang meletakkan bunga
ini kemudian lari dan tak mau kembali lagi" Orang gila itu namanya. Tak mungkin,
ah!" Tiba-tiba pendengaran pendekar tampan itu
menangkap suara orang berlari. Cepat-cepat kakinya
menyentak ke tanah, wuuut...! Tubuhnya terlempar ke
atas dengan ringan sekali. Jleeg...! Ia bagaikan seekor jatayu yang hinggap di
atas dahan dengan kokohnya. Di balik semak dedaunan pohon itu Suto Sinting
bersembunyi, ingin melihat siapa orang yang berlari ke arahnya itu.
Ternyata seorang pemuda berusia sekitar dua puluh
enam tahun. Kurus dan berpakaian coklat muda baik
baju maupun celananya. Rambutnya sedikit
bergelombang, panjang lewat pundak, tidak diikat.
Pemuda itu juga membawa bumbung bambu warna
coklat muda, tali penggantungnya diberi lapisan kain
hitam. Melihat wajahnya yang pucat tegang dengan bibir
berdarah, pemuda itu pasti habis dihajar oleh seseorang, ia malahan bersembunyi
di balik pohon besar yang
dipakai bersembunyi oleh Suto di atasnya. Pemuda itu
tak tahu kalau di atasnya ada orang bersembunyi pula.
Mungkin karena panik, takut, ngos-ngosan, sehingga
pemuda kurus itu tak sadar bicara sendiri dengan
gemetar. "Ya ampuuun... dosa apa aku ini kok sampai dikejar-kejar orang" Mimpi apa aku
semalam kok sampai
dihajar orang" Kalau tadi aku tak segera lari, pasti aku dibunuh oleh orang itu.
Ihh... mengerikan. Goloknya
tajam sekali. Kalau aku dibacok pakai golok itu, oooh...
ngeri! Ngeri sekali membayangkannya."
Di atas pohon Pendekar Mabuk mendengarkan
dengan seksama.
"Wah... itu dia orangnya"!" ucap pemuda itu dengan tenang. "Dia pasti mencariku.
Mudah-mudahan dia tidak tahu kalau aku bersembunyi di balik pohon ini!"
Suto Sinting segera memandang ke arah yang
dipandang pemuda tersebut. Memang ada orang datang
dalam keadaan wajah tegang, sepertinya sedang mencari seseorang yang akan
dibunuhnya. Orang tersebut sedikit gemuk, mengenakan pakaian serba hitam.
Kumisnya tebal, matanya lebar. Tak terlalu tinggi, tapi cukup
menyeramkan bagi orang awam. Dilihat dari keangkeran
wajahnya, jelas orang itu pasti bukan orang baik-baik.
Suto Sinting ingin mengetahui apa yang akan diperbuat oleh orang berkumis tebal
itu. Ketika orang itu celingak-celinguk mencari
buruannya, tiba-tiba muncul seorang lagi dari arah lain, juga celingak-celinguk
mencari sesuatu. Orang yang
baru saja muncul itu berpakaian merah luruh, kurus, dan berambut kucai. Matanya
cekung, dingin, tampang
bengisnya terlihat nyata. Kumisnya tipis, tapi panjang.
Golok bergagang hitam terselip di depan perutnya,
belum dicabut dari sarungnya. Tapi orang berpakaian
hitam tadi sudah menggenggam golok putih berkilauan,
seakan siap bacok kapan saja bertemu buronannya.
"Dia menghilang!" seru si gemuk berkumis tebal.
"Tak mungkin. Cari sampai ketemu. Pasti ada di
sekitar sini!" balas si baju merah dalam seruannya.
Suto Sinting tahu, mereka berteman. Tentunya
mereka sama-sama mencari pemuda yang bersembunyi
di bawahnya itu. Si pemuda tampak kian menggigil,
merapatkan tubuh ke batang pohon dengan napas
tersendat-sendat.
"Kasihan...," gumam hati Pendekar Mabuk. Sendatan napas pemuda di bawahnya
ternyata membuatnya tak
sadar menjadi terbatuk-batuk.
"Uhuk, uhuk, uhuk, uhuk...!" Walaupun sudah ditutup tangan, tapi suara batuknya
masih saja terdengar jelas.
"Aku mendengar suara orang batuk Brojo! Apakah
kau yang batuk?" seru si baju merah.
"Enak saja. Mungkin kaulah yang kumat bengeknya!"
seru orang yang bernama Brojo. Maka si baju merah
berseru lagi, "Mana mungkin! Biar aku kurus, yang namanya Mat
Paung tak akan terkena penyakit bengek, karena tiap hari
makananku empedu ular dan minum darah ular!"
Rupanya si baju merah itu bernama Mat Paung. Ia orang yang tak mau direndahkan
walau oleh teman sendiri, ia menepuk dadanya saat membanggakan dirinya sebagai
Pendekar Mabuk 027 Keris Setan Kobra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang yang tidak pernah terserang batuk dan bengek.
Tapi karena terlalu keras menepuk dada, akhirnya ia
justru menjadi batuk sendiri. Brojo memandangi Mat
Paung yang berjarak lebih dari sepuluh langkah itu.
Brojo merasakan ada keanehan kala mendengar suara
batuk Mat Paung.
"Suara batukmu berbeda dengan yang tadi. Berarti...
berarti bocah itu ada di balik pohon besar di sana, Mat Paung! Coba cari ke
sana!" Rasa gentar, gugup, membuat napas pemuda itu kian
tersendat-sendat dan batuk pun tak bisa ditahan.
Pemuda itu akhirnya tertangkap karena batuk
berulang kali. Sia-sia saja ia bersembunyi jika suara batuknya tak bisa ikut
disembunyikan. Brojo dan Mat
Paung segera menemukannya.
"Am... ampun... ampun, Kang...!" pemuda itu ketakutan, bahkan sempat menyembah-
nyembah kepada kedua lelaki yang usianya sekitar empat puluh tahun
kurang sedikit.
Buuhg...! Mat Paung menendang pinggang pemuda
itu saat si pemuda bersujud menyembah supaya
diampuni. Tentu saja pemuda itu terpekik dengan suara tertahan, ia terpental ke
samping, berguling, dan
mengerang. Napasnya kian sesak, tubuhnya kian lemas,
akhirnya ia hanya terbaring dengan mulut cengap-
cengap mencari napas.
Tetapi Brojo segera menginjak perutnya, menekan
kuat sehingga pemuda itu pun mendelik kesakitan. Brojo berseru dengan garangnya.
"Serahkan benda itu atau kau kubuat modar sekarang juga, hah!"
"Sud... sum... uuh... aahg...," pemuda itu tak bisa bicara.
Dari atas pohon peristiwa itu dapat dilihat Suto
dengan jelas sekali, ia merasa kasihan kepada pemuda
tersebut, sebab menurut penglihatannya si pemuda
agaknya tidak berilmu sedikit pun. Maka diam-diam
Suto Sinting mengirimkan pertolongannya dengan
melepaskan pukulan yang bernama jurus 'Jari Guntur', yaitu sebuah sentilan jari
dengan ringan namun
mempunyai kekuatan seperti seekor kuda yang sedang
menendang dengan berangnya.
Tees...! Jari disentilkan ke arah tengkuk Brojo. Tubuh gemuk itu tiba-tiba
terlempar ke samping dan tersungkur dengan parah. Gabruusss...! Mulutnya mencium
tanah, menyodok batu keras. Tentunya berdarah dan robek di
bagian tepi bibir serta pipi. Tulang pipinya menjadi
memar merah. "Eh, diam-diam kau memang berilmu tinggi" Kau
hanya pura-pura ketakutan, ya" Kampret busuk!
Hiaaah...!"
Mat Paung mencabut goloknya dan ingin menebaskan
ke bagian kaki. Ia bermaksud memotong kaki pemuda
itu sebagai pelajaran. Tetapi ketika golok terangkat, Suto
Sinting melepaskan jurus 'Jari Guntur'-nya lagi ke
pergelangan tangan Mat Paung.
Teess...! Tangan yang memegang golok itu tersentak ke
samping dan goloknya lepas bagaikan dibuang begitu
saja. Tapi Mat Paung sempat memekik kesakitan dengan
wajah menyeringai dan melangkah mundur dua tindak,
ia memegangi lengan kanannya memakai tangan kiri dan
menggamitnya ke dekat paha.
"Uuuh...! Bangsat kau! Kau punya ilmu tapi tidak bilang-bilang. Uuhh...!
Ternyata apa yang dikatakan
orang-orang itu memang benar, kau berilmu tinggi.
Tapi... tapi aku yakin ilmumu tak setinggi ilmuku, Setan Alas!"
"Buk... bukan aku, Kang...! Sumpah... summ...
sumpah...! Aku tidak menyakitimu, Kang," bocah muda itu ketakutan walau ia sudah
bangkit dan hendak
melarikan diri. Langkahnya terhenti karena di sisi lain ia dihadang Brojo yang
mulutnya mulai banyak dibungkus
darah. Brojo benar-benar memandang penuh kebencian
dan kemarahan. "Aku tak bisa memaafkanmu lagi, Setan!" geram Brojo. "Tinggal pilih, serahkan
benda itu atau kau kupenggal sekarang juga. Jawab!"
"Ak... aku tidak punya. Sungguh...! Aku tidak
menyimpannya, Kang!"
"Bohong! Kini semua orang tahu bahwa Keris Setan Kobra sudah jatuh ke tanganmu!
Semua orang tahu!"
"Ya, ampun, Kaaang... untuk apa aku
membohongimu"! Aku benar-benar tidak tahu menahu
tentang Keris Setan Kobra itu. Sumpah mati sekarang
juga, Kang!"
Suto Sinting sangat terkejut mendengar masalah
sebenarnya. Pemuda itu dituduh sebagai pencuri Keris
Setan Kobra. Aneh sekali. Bukankah Keris Setan Kobra
disembunyikan rapat-rapat oleh Ki Empu Sakya,
pemiliknya" Kenapa bocah muda yang polos itu dituduh
sebagai pemilik keris pusaka tersebut" Atau jangan-
jangan pemuda dungu itu benar-benar memiliki keris
pusaka tersebut" Suto Sinting mulai bimbang dan ragu
untuk membantu pemuda tersebut. Karena jika benar
pemuda itu memiliki keris pusaka Setan Kobra, berarti pemuda itu telah berhasil
merampasnya dari tangan Ki Empu Sakya"
"Aku tak sabar lagi! Modar kau sekarang juga!
Hiaaah...!'" Brojo melayangkan goloknya untuk
membacok kepala pemuda tersebut. Tapi naluri Suto
segera mengatakan bahwa ia harus melindungi pemuda
itu untuk mengetahui perkara sebenarnya. Naluri Suto
mengatakan ada sesuatu yang tak beres dalam perkara
itu. Jurus 'Jari Guntur' dilepaskan lagi oleh Suto. Kali ini sengaja diarahkan ke
dada Brojo. Taas...! Duuhg...!
"Uhhg...!" Suara pekik tertahan terdengar dari mulut Brojo. Matanya mendelik,
mulutnya ternganga, ia
tersentak mundur walau tak sampai jatuh. Tapi ia
terhuyung-huyung empat tindak ke belakang. Lalu,
mulutnya mengeluarkan darah segar tak begitu banyak.
"Brojo..."!" Mat Paung kaget, ia tetap menyangka pemuda kurus itu yang menyerang
Brojo secara diam-diam.
"Kau memang membuatku penasaran ingin
meremukkan kepalamu, Bocah Dungu! Terimalah jurus
'Kuda Gila' ini, heaaat...!"
Mat Paung melompat-lompat di tempat dengan golok
berkelebat dimainkan, lalu tiba-tiba, wuuuss...! Ia
melompat menerjang pemuda kurus itu. Tapi Suto
Sinting menyentilnya dari jauh. Teess...! Duuhg...!
Mat Paung melayang balik, terjungkal di udara dan
jatuh dengan kepala terlipat membentur tanah keras.
Duuhg...! Krek...!
"Aaooww...!" ia menjerit kesakitan karena tulang lehernya nyaris patah, ia tak
bisa mendongak lagi. Jika kepalanya dipakai memandang tegak, tulang lehernya
terasa sakit sekali. Akibatnya ia hanya menunduk terus sambil meraung-raung
kesakitan. Sementara itu, pemuda kurus itu justru semakin bertambah kebingungan
melihat para pengejarnya dalam keadaan seperti itu. Brojo
sendiri menjadi pucat pasi dan napasnya sulit dihela.
"Mat Paung...!" suara Brojo berat dan sukar diucapkan. "Kita... kita tinggalkan
saja orang ini. Kita lapor pada ketua, biar ketua yang tangani.... Ayo, kita
selamatkan diri. Dia... dia memang berilmu tinggi,
seperti kata orang-orang itu...''
Mat Paung merintih tanpa bisa menjawab. Ketika
Brojo membawanya pergi, Mat Paung menurut saja.
Tapi Brojo sempat berseru di kejauhan kepada pemuda
kurus yang memandangi kepergiannya dengan
terbengong heran itu.
"Ingat, kami akan kembali lagi! Kau akan berurusan dengan ketua kami, Suto!"
Seruan terakhir membuat Pendekar Mabuk terkejut
sekali, ia mendengar suara yang menyebutkan namanya,
ia jadi terbengong beberapa saat.
"Dia menyebut namaku"! Apakah pemuda itu
bernama Suto"!" pikirnya.
Tak ada jalan lain untuk mengetahui persoalan
sebenarnya kecuali dengan cara turun dari pohon dan
menemui pemuda kurus itu. Maka, ketika pemuda kurus
itu bergegas pergi, Suto Sinting segera melompat dari atas pohon dan tubuhnya
melayang turun ke bawah
dengan gerakan tak terlalu cepat. Jleeg...!
Tapi suara kakinya itu sempat terdengar pemuda
tersebut, sehingga si pemuda cepat palingkan wajah. Ia terkejut
memandangi Suto Sinting, mulutnya
terperangah dengan wajah cemas dan napas memburu
menandakan rasa takutnya.
"Jangan takut padaku," kata Suto.
"Ak... aku tidak tahu menahu tentang pusaka Keris Setan Kobra itu Kang!" pemuda
tersebut mendahului alasannya.
"Aku tidak bermaksud mencari keris itu. Aku hanya ingin menanyakan apa persoalan
sebenarnya yang kau
hadapi dengan Brojo dan Mat Paung itu?"
"Ap... apakah... apakah kau orang yang menolongku menyerang mereka?"
"Benar," jawab Suto dengan tenang. Ketenangan Suto membuat pemuda itu ikut-
ikutan lega dan rasa takutnya berkurang.
"Akkk.... aku tidak tahu kenapa dia menyerangku.
Mereka... menurut pengakuan si baju hitam, adalah
orang-orang Perguruan Lumbung Darah. Mereka
menuduhku sebagai orang pencuri pusaka Keris Setan
Kobra milik Ki Empu Sakya. Padahal aku tidak
mempunyai keris itu. Aku bukan orang sakti, mana
mungkin aku membunuh Ki Empu Sakya dan merebut
keris pusakanya?"
"Tunggu, tunggu...!" Suto menemukan kejanggalan.
"Apa kau bilang tadi" Membunuh Ki Empu Sakya"!"
"Iya. Mereka sangka begitu."
"Apakah... apakah Ki Empu Sakya memang ada yang
membunuhnya?"
"Benar. Delapan hari yang lalu, Ki Empu Sakya
dibunuh orang di belakang rumahnya. Aku sendiri
melihat jenazahnya."
"Astaga..."!" Suto Sinting terbengong tegang.
"Delapan hari yang lalu aku sedang berada di Pulau Serindu menengok calon
istriku," pikir Suto.
Hening tercipta sejenak. Suto terbayang wajah Ki
Empu Sakya yang pernah ditolongnya saat terancam
keserakahan Wiratmoko dalam persoalan keris itu juga.
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Naga Pamungkas"), ia sama sekali
tak menduga kalau Ki Empu Sakya ternyata sudah tiada. Berita itu baru saja
diterimanya, karena ia pergi ke Pulau Serindu menengok
Dyah Sariningrum selama enam hari. Baru sekarang ia
tiba di tanah Jawa, dan tahu-tahu mendengar kabar
tersebut. "Aku sudah bilang kepada orang-orang Perguruan
Lumbung Darah itu bahwa aku tidak memiliki keris
pusaka tersebut, tapi mereka tetap tidak percaya."
"Mengapa mereka menduga keras kaulah pemilik
keris itu"' tanya Suto.
"Karena mereka sangka aku bernama Suto Sinting!"
"Hahh..."!" Suto Sinting terkesiap memandang pemuda kurus.
"Padahal namaku Sabani, bukan Suto Sinting. Enak saja, aku disamakan dengan Suto
Sinting. Gantengnya
saja sudah tentu ganteng aku, ya Kang?"
"Hmmm... iya...," jawab Suto dengan terpaksa.
"Aku jadi benci dengan orang yang bernama Suto
Sinting. Gara-gara dia aku jadi dihajar mereka. Kalau ketemu orangnya yang
bernama Suto Sinting, ingin
rasanya aku meludahi wajah si Suto Sinting itu!" Sabani bersungut-sungut, Suto
Sinting tarik napas dalam-dalam menahan kesabaran mendengar kata-kata Sabani
ini. Ia terpaksa harus memaklumi kebodohan pemuda kurus
tersebut. "Mengapa kau sampai disangka Suto Sinting?"
"Entah. Kata mereka, ciri-ciriku sama dengan Suto Sinting. Kata dua orang tadi,
Suto Sinting membawa-bawa bumbung tuaknya ke mana pun pergi. Padahal aku
membawa bumbung ini bukan bumbung tuak. Aku
pedagang legen. Aku jualan legen di pasar. Kamu tahu
legen kan" Itu lho... air sadapan bunga kelapa. Ah,
kurasa kau juga pedagang legen. Buktinya kau
membawa-bawa bambu juga. Kau pasti tahulah, apa itu legen."
"Ya...ya." jawab Suto dengan menahan kedongkolan karena dirinya disangka pedagan
legen. "Lalu, kenapa mereka menuduh kau mempunyai keris itu?"
"Soalnya, yang membunuh Ki Empu Sakya itu adalah pemuda bernama Suto Sinting.
Jadi, karena aku
dianggap Suto Sinting, maka aku dianggap punya keris pusaka Keris Setan Kobra!"
Jantung Suto berdetak-detak cepat. Sekarang ia tahu
persoalannya. Dirinya dianggap sebagai pembunuh Ki
Empu Sakya. Jelas ini perbuatan orang jahat yang
menyebar fitnah begitu. Atau barangkali ada orang yang meniru penampilannya lalu
membunuh Ki Empu Sakya.
"Apes amat nasibmu hari ini," pikir Suto dengan sedih. Tapi ia segera berkata
kepada Sabani, "Apakah kau juga yakin kalau yang membunuh Ki Empu Sakya
adalah orang bernama Suto Sinting?"
"Yakin!"
"Kau melihat sendiri Suto membunuhnya?"
"Tidak," jawab Sabani polos.
"Tapi kenapa kau yakin kalau Suto Sinting yang
membunuhnya?"
"Karena menurut kabar orang-orang begitu. Suto
Sinting pembunuhnya! Orang-orang pun tahu, bahwa
keris pusaka itu sekarang ada di tangan Suto Sinting.
Wah, itu orang memang benar-benar sinting kok. Sudah
membunuh, tapi masih juga mencuri keris pusaka
korbannya! Benar-benar pantasnya dipancung saja
kepala orang yang bernama Suto Sinting itu. Iya, kan"
Kau setuju kan?"
Suto Sinting hanya tarik napas lagi, menahan
kemarahannya yang menggumpal di dada, menyakitkan
ulu hati. "Kau tinggal di mana, Sabani?"
"Aku di desa Kukusan, satu desa dengan Ki Empu
Sakya. Makanya aku kenal sama tokoh tua yang sakti
itu." "Kau kenal dengan bocah bernama Angon Luwak?"
"Lho... itu nama adikku!" Sabani kaget "Apakah kau kenal dengan adikku itu" Dia
sudah berminggu-minggu
Pendekar Mabuk 027 Keris Setan Kobra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak pulang ke rumah, Kang!"
Pendekar Mabuk diam saja. Termenung beberapa saat
lamanya. Sabani segera berkata,
"Sudah, begitu saja. Kang. Aku ucapkan terima kasih atas pertolonganmu tadi.
Kalau kau mau mampir ke
rumahku, mari bersamaku menuju ke rumah. Kalau
tidak, kita pisah di sini dan sampai ketemu di lain
waktu." Suto Sinting hanya mengangguk-anggukkan kepala
sambil masih menerawang tak tentu arah. Sabani berkata lagi,
"Oya, Kang... kalau ketemu orang yang bernama
Suto, ludahi saja mukanya! Jangan takut. Biar dia sadar bahwa wajahnya tak
pantas dipajang di mana-mana,
karena sudah membunuh, eeh... mencuri pusaka lagi! Itu
kan jahat namanya."
"Sabani, kalau kau ketemu Angon Luwak adikmu itu, katakan bahwa aku membutuhkan
dia!" "O, ya! Mudah-mudahan dia sudah pulang pada hari ini. Lalu... namamu siapa?"
"Tanyakan saja pada Angon Luwak. Dia tahu
namaku!" "Lho, tapi dari mana dia bisa menyebutkan namamu kalau aku tidak menunjukkan
wajahmu. Dia tidak akan
mengenalinya, Kang. Siapa namamu sebenarnya?"
Dengan suara pelan dan hati sedih menahan
kedongkolan, Pendekar Mabuk pun akhirnya berkata,
"Akulah yang bernama Suto Sinting."
"Hahhh..."!" Sabani berseru kaget, matanya
mendelik, Suto memandang dengan tenang dan
menganggukkan kepala. Sabani tiba-tiba tertawa.
"Ah, kau bercanda saja, Kang! Jangan mengaku-aku begitu nanti kalau didengar
orang kau malah dikejar-kejar seperti aku tadi. Aku saja tak sudi dituduh
bernama Suto Sinting, kau malah mengaku-aku sebagai Suto
Sinting"!"
"Sabani adikmu tahu persis siapa aku. Katakan, Suto Sinting membutuhkan dia
secepatnya. Aku tak jauh dari sekitar desamu."
Sabani memandang dengan dahi berkerut. "Kau
benar-benar cari penyakit, Kang. Jangan begitu. Kau
pedagang legen, ya sudah dagang legen saja. Jangan cari nama biar terkenal.
Nanti kau repot sendiri. Suto Sinting itu orang berilmu tinggi, menurut kata
orang-orang. Suto
Sinting tidak jualan legen seperti kita ini. Kang," Sabani geli sendiri,
menganggap jawaban Suto sebuah kelakar
sesama pedagang legen, karena sama-sama membawa
bumbung bambu. Sebenarnya Suto jengkel dengan sikap Sabani. Tapi
ia tetap menyimpan kejengkelan itu karena Sabani
memang tidak tahu menahu tentang Suto Sinting itu
siapa dan yang mana.
"Kau mau percaya atau tidak, itu urusanmu. Yang
jelas, akulah Suto Sinting, dan aku butuh adikmu Angon Luwak untuk menyelidiki
siapa pembunuh Ki Empu
Sakya sebenarnya!"
Claaap...! Suto cepat-cepat pergi dengan gerak lari
bertenaga ringan tinggi. Dalam satu kedipan mata saja Suto sudah berada dalam
jarak jauh. Hal itu membuat
Sabani terbengong melompong dan menjadi percaya,
karena ia tahu hanya orang berilmu tinggi yang bisa
bergerak secepat itu. Ia menjadi gemetar dan menggigil, takut pada ucapannya
tadi tentang meludahi wajah Suto.
"Maafkan aku. Kang... aku tak tahu kalau yang
bernama Suto itu juga pedagang legen. Moga-moga kau
tidak mendendam padaku. Kang...," kata Sabani dengan wajah pucat pasi.
* * * 2 PENGEJARAN terhadap diri Ratu Tanpa Tapak
kehilangan jejak. Berhari-hari Suto Sinting tidak
temukan perempuan yang ingin menjadi penguasa di
seluruh jagat raya itu. Akhirnya Suto putuskan untuk menghentikan pengejaran, ia
berangkat ke Pulau Serindu untuk menengok Dyah Sariningrum. Kepergiannya itu
didampingi oleh Ki Gendeng Sekarat, si tukang tidur,
karena memang dialah yang diutus mencari Suto oleh
sang Ratu negeri Puri Gerbang Surgawi itu. Sedangkan Pelangi Sutera tetap
tinggal di tempat dan tidak
mengetahui kepergian Suto, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Ratu Tanpa Tapak").
Berawal dari situlah, ternyata sebuah peristiwa yang
tak diduga-duga itu terjadi dengan sangat menyedihkan.
Ki Empu Sakya dibunuh seseorang dan tersebarlah
berita bahwa Suto Sinting adalah pembunuh Ki Empu
Sakya. Tersebar pula kabar, bahwa keris pusaka milik Ki Empu Sakya yang bernama
Keris Setan Kobra itu telah
dicuri oleh Suto Sinting dengan cara membunuh Ki
Empu Sakya lebih dulu. Siapa yang menyebarkan berita
itu pertama kalinya, tak diketahui secara pasti. Yang jelas, kini Suto Sinting
si Pendekar Mabuk menjadi
buronan orang banyak, bahkan menjadi bahan ejekan
mereka. "Tak kusangka pemuda setampan dia, sesakti dia,
ternyata tega membunuh orang tak bersalah dan mencuri pusakanya. Sangat
memalukan sekali."
"Aku juga tidak menyangka akan begitu. Padahal
gurunya; si Gila Tuak, tidak mempunyai perilaku
seburuk itu!"
"Dia tidak pantas mendapat gelar pendekar dan
menjadi sanjungan para tokoh golongan putih.
Tindakannya sudah membuatnya masuk dalam golongan
hitam!" Begitulah celoteh mereka, hampir rata-rata
mengecam Suto Sinting dan menjelekkan gurunya; si
Gila Tuak. Berita itu sampai di telinga para sahabat Suto Sinting. Mereka
menjadi bimbang, walau sebagian ada
yang percaya dengan berita tersebut. Tetapi bagi Pelangi Sutera, berita itu
tidak mudah dipercayai begitu saja.
Karenanya ia menyuruh Logo anaknya yang lahir dari
ayah jin itu, untuk mencari Pendekar Mabuk dan
mengajaknya bicara tentang hal itu. Tetapi niatnya itu tak pernah terlaksana,
karena Suto Sinting sedang sibuk menyelidiki siapa penyebar fitnah tersebut.
Dalam perjalanannya menuju desa Kukusan,
Pendekar Mabuk melihat suatu pertarungan yang tidak
seimbang, ia melihatnya dari atas bukit. Seorang gadis berpakaian hijau terang,
rambut kepang dua, sedang
dikeroyok lima orang lelaki berperawakan kekar dan
ganas-ganas. Gadis itu tak lain adalah Mega Dewi, anak Lurah Pramadi yang akrab
dengan Ki Empu Sakya dan
banyak yang tahu bahwa Mega Dewi pernah dekat
dengan Suto Sinting.
Suto Sinting tidak berpikir apa persoalannya sehingga lima orang kekar menyerang
Mega Dewi secara
bersamaan. Suto hanya memikirkan, Mega Dewi perlu
bantuan karena kekuatannya tak seimbang menghadapi
lima orang ganas itu. Maka Suto Sinting pun segera
melesat turun dari bukit untuk membantu Mega Dewi.
Pada saat itu, Mega Dewi terkena pukulan orang
berompi hitam dengan tato di dada bergambar
tengkorak. Orang tersebut sepertinya paling ganas dari ke empat temannya.
Pukulan berupa sinar hijau melesat dari tangannya dan mengenai lambung Mega
Dewi. Pada waktu itu Mega Dewi sedang menghadapi dua
penyerang bersenjata tombak berujung pedang lengkung.
Akibat pukulan sinar hijau itu, Mega Dewi jatuh
tersungkur dan memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Orang bertato gambar tengkorak itu segera mencabut pedang dari pinggangnya dan
melompat untuk menebas
leher Mega Dewi.
"Lebih baik modar daripada tak mau membantu kami.
Mega Dewi! Heaaat...!"
Wuuut...! Weees...! Trang...! Tahu-tahu bambu bumbung tuak sudah
menahan gerakan pedang yang nyaris menempel di leher
Mega Dewi. Bambu itu bagaikan besi dan membuat
pedang lawan rompal separo bagian. Sisi tajamnya
tinggal bagian ujung dan dekat gagang.
Begitu pedang rompal, pemiliknya terperanjat kaget.
Suto segera sentakkan kakinya ke kiri. Wuuut...!
Duuuhg...! Tendangan sampingnya mengenai rusuk
lawan yang ganas itu. Kraak...! Dua tulang rusuk patah seketika, lawan jatuh
terpental dan meraung-raung
kesakitan di sana.
Keempat orang lainnya segera mengurung Suto
Sinting. Sang pendekar tampan diam memandang
dengan mata tajam. Salah seorang dari mereka berseru
garang, "Monyet kencur! Siapa kau dan apa perlumu
mencampuri urusan kami dengan gadis itu, hah"!"
"Justru aku yang ingin bertanya siapa kalian,
sehingga kalian berani menyerang sahabatku"!"
Yang berkumis pendek berseru, "Kami orang-orang
Tambak Wesi! Kami harus paksa gadis itu agar
menunjukkan di mana Suto Sinting itu berada! Sebab
kami pernah dengar bahwa anak gadis mendiang Ki
Lurah Pramadi itu pernah dekat dengan Suto Sinting.
Malahan ada yang bilang dia bekas kekasihnya Suto
Sinting. Kami membutuhkan orang itu!"
"Untuk apa?"
"Merebut Keris Pusaka Setan Kobra!"
Yang bersenjata sabit itu berseru pula, "Suto telah membunuh Ki Empu Sakya,
pasti dia telah merebut keris pusakanya juga."
"Dan perlu kau ketahui, Anak Muda..., kami adalah bekas murid-murid Ki Empu
Sakya. Beliau pernah
menjadi sesepuh di Perguruan Tambak Wesi. Maka
layaklah jika kami menuntut kembali keris pusaka
tersebut!"
Suto memandang dengan menyipitkan mata. Satu
persatu wajah diperhatikan, ia tak yakin dengan
pengakuan tersebut. Ki Empu Sakya orang bijaksana,
kalem, dan sabar. Tak mungkin pernah bergabung
dengan manusia-manusia berwajah bengis seperti
mereka. Tetapi hal itu disimpannya saja dalam hati. Suto
hanya berkata kepada mereka berempat,
"Kalau kalian mencari Suto Sinting, akulah
orangnya!"
"Hahh..."!" mereka saling terkejut dan sama-sama saling pandang dengan tegang.
Dua di antaranya tampak cemas. Dua lagi tampak memberanikan diri. Salah satu
dari yang memberanikan diri itu berkata keras.
"Kalau begitu kami harus memaksamu agar mau
serahkan keris itu!"
"Aku tidak mempunyai Keris Setan Kobra, dan aku
tidak membunuh Ki Empu Sakya, karena beliau
termasuk orang yang kuhormati!"
"Omong kosong! Kau harus dipaksa rupanya.
Hiiaat...!"
Orang itu melompat dengan mengibas-ngibaskan
sabit kembarnya di kanan kiri. Kibasan sabit kembar itu menimbulkan bunyi yang
membuat merinding orang
awam. Tetapi Suto Sinting tetap diam dan tenang.
Rupanya ia cepat-cepat pergunakan ilmu 'Layang Raga'
sejak mendengar penjelasan mereka. Maka, ketika si
Sabit Kembar membabatkan sabitnya ke lengan Suto,
temannya yang menggenggam tombak bergagang
pedang lengkung itu memekik kesakitan.
"Aoooww...!"
Sabit Kembar berpaling memandangi teman yang
menjerit, ternyata tangan orang itu putus dan buntung seketika. Yang lainnya
menjadi sangat heran melihat
adegan itu. Si Sabit Kembar masih penasaran. Dengan
kakinya ia menendang ulu hati Suto Sinting sekuat
tenaga. Tentunya tenaga dalam pun dikerahkan.
Wuutt..! Duuugh..!
"Uuhgg...!" temannya yang berbaju hitam mendelik, langsung memuntahkan darah
segar dari mulutnya.
Sedangkan Suto Sinting tetap diam tak bergeming. Si
Sabit Kembar menjadi panik.
"Edan! Apa iya yang kuserang dia yang celaka
temanku sendiri?" pikirnya. Si Sabit Kembar kurang percaya. Maka sekali lagi ia
menyerang Pendekar
Mabuk dengan kedua sabitnya. Wut, wut, wut, craass...!
Kedua sabit itu merobek menyilang di perut Suto
Sinting. Lalu terdengar pekik tertahan dari temannya
yang belum terluka apa pun itu.
"Aahg...!" pekikan pendek itu membuat si pemilik perut limbung ke belakang.
Sabit Kembar semakin
terperangah heran melihat perut temannya berodol,
ususnya keluar semua. Padahal ia merasa merobek perut Suto Sinting dengan jurus
'Elang Ganas', tapi mengapa justru temannya yang menderita luka separah itu, dan
akhirnya membuat orang tersebut tidak bernyawa lagi.
"Celaka! Ilmu apa yang digunakan orang ini"!" pikir si Sabit Kembar dengan
mundur beberapa tindak. "Kalau kuteruskan bisa mati semua temanku"!"
"Kalau aku bersalah, aku tak akan bisa gunakan ilmu
'Layang Raga'," kata Suto. "Sebagai bukti bahwa aku tidak bersalah, maka aku
masih bisa gunakan ilmuku
itu." Mereka akhirnya lari meninggalkan Suto dengan
membawa mayat temannya. Tak satu pun ada yang
berani coba-coba lagi dengan Pendekar Mabuk.
Ketenangan Suto yang tidak mau mengejar mereka itu
justru membuat mereka semakin dicekam rasa takut dan
larinya kian kencang. Yang buntung tangannya juga
terpaksa harus lari sekencang mungkin sambil membawa
potongan tangannya sendiri, sebab ia berharap sang
Guru bisa menyambungkan kembali potongan tangan
tersebut, ia tidak tahu bahwa sang Guru tak mampu
melakukan hal yang begitu ajaib.
Pendekar Mabuk segera melirik ke arah Mega Dewi.
Gadis itu duduk di bawah pohon, diam dan cemberut.
Jelas ia masih menderita luka dalam, karena wajahnya
masih pucat dan sesekali tersentak memuntahkan darah.
Setelah dipaksa meminum tuaknya Suto, maka luka
dalam itu pun mulai reda dan ia tak lagi tersentak
Pendekar Mabuk 027 Keris Setan Kobra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muntah darah. Makin lama kesehatannya berangsur-
angsur membaik, tetapi ia masih bersikap dingin kepada Suto Sinting.
"Mengapa sikapmu tidak seramah dulu. Mega Dewi?"
Gadis berkepang dua itu menjawab dengan ketus,
"Pikirlah sendiri!"
Pendekar Mabuk tidak melayani keketusan Mega
Dewi. Ia hanya tersenyum dan berdiri di depan Mega
Dewi sambil bermainkan sehelai ilalang. Wajah murung
itu dipandanginya dalam senyum yang tiada habisnya.
"Kau cemburu karena kutinggalkan terlalu lama?"
"Untuk apa menaruh cemburu kepada seorang
pengkhianat!' Kaget juga Suto mendengar ucapan itu. Senyumnya
segera hilang, ia mulai bisa meraba masalah yang
dipendam dalam hati Mega Dewi. Ia pun segera jongkok
di hadapan Mega Dewi sambil memegangi bumbung
tuak yang tadi diteguk isinya tiga kali. Ia bertanya
dengan nada lebih pelan dan bersungguh-sungguh.
"Apa maksudmu mengatakan aku seorang
pengkhianat"!"
"Karena kau tega membunuh sahabat sendiri. Ki
Empu Sakya bukan musuhmu, tapi kau serakah, ingin
memiliki kerisnya
sehingga membunuh beliau!
Akibatnya, orang banyak yang mengejarku karena
disangkanya aku menyembunyikan kau!"
Suto menarik napas sambil berdiri. "Mega Dewi,
semua itu fitnah belaka! Jangan mau percaya dengan
kata-kata siapa pun tentang hal itu.''
"Itu bukan fitnah, itu kenyataan!"
"Apa alasanmu menuduhku begitu dan yakin bahwa
aku yang membunuhnya?"
"Ada saksi mata yang melihatmu melakukan serangan mematikan bagi diri mendiang
Ki Empu Sakya!"
"Siapa saksi matanya?"
"Seorang penduduk desa, tetangga tak jauh dari
rumah Ki Empu Sakya!" jawab Mega Dewi dengan tetap ketus.
"Apa kata orang itu"!"
"Pembunuhnya orang yang membawa-bawa bambu
bumbung tuak. Siapa lagi kalau bukan kau"!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut. Ia mulai tahu,
mengapa ia dituduh sebagai pembunuh Ki Empu Sakya.
Tak heran jika Sabani juga disangka bernama Suto
Sinting, karena ia pedagang legen yang ke mana-mana
membawa bambu bumbung tuak.
Mega Dewi berdiri, menatap sinis kepada Suto
Sinting. "Mulai sekarang kau tak perlu bersahabat denganku lagi, Suto!"
"Mega Dewi, kau salah sangka!"
"Tidak mungkin!" bantah Mega Dewi dengan
menggeram menahan kemarahan. "Aku tahu kau berilmu tinggi, Ki Empu Sakya juga
berilmu tinggi. Ki Empu
Sakya tak akan mudah diserang atau bahkan dibunuh
jika penyerangnya bukan orang yang berilmu tinggi!"
"Tapi itu bukan aku, Mega Dewi. Tidak semua orang yang membawa bambu bumbung
adalah Pendekar
Mabuk Suto Sinting"! Di pasar banyak orang membawa
bambu bumbung sebagai penjual legen kelapa!"
"Seorang penjual legen lebih mustahil lagi jika bisa membunuh Ki Empu Sakya. Aku
tahu seberapa tinggi
ilmu Ki Empu Sakya. Aku bukan anak kecil yang bisa
kau bohongi dengan dalih-dalihmu, Suto!"
Sedih sekali hati Pendekar Mabuk mendengar kata-
kata Mega Dewi. Menurutnya, itu baru satu orang teman yang tidak percaya,
bagaimana jika sampai semua
temannya tidak mau percaya lagi kepadanya" Padahal
memperoleh kepercayaan itu lebih sulit daripada
memperoleh kemenangan dalam suatu pertarungan.
Pada dasarnya, Suto Sinting mengakui kebenaran
kata-kata Mega Dewi. Orang yang bisa membunuh Ki
Empu Sakya pasti orang berilmu tinggi, itu memang
benar. Suto juga mengakui bahwa Ki Empu Sakya orang
berilmu tinggi. Jika tidak berilmu tinggi beliau tidak akan mungkin bisa melihat
noda merah di kening Suto, yaitu lambang penghargaan yang diberikan oleh Gusti
Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya yang menjadi
penguasa di sebuah negeri alam gaib.
Memang mustahil jika pedagang legen seperti Sabani
itu mampu membunuh Ki Empu Sakya. Jika benar
pembunuhnya membawa bumbung bambu, maka Suto
dapat menduga orang sakti lainnya yang juga punya
kegemaran minum tuak dan ke mana-mana membawa
bumbung bambu. Tapi sejauh ingatannya, sepanjang
pengelanaannya di rimba persilatan selama ini, Suto
belum pernah temui orang yang ke mana-mana
membawa bumbung bambu.
Bumbung bambu merupakan ciri khas Pendekar
Mabuk. Tak heran jika Mega Dewi sangat percaya
dengan berita tersebut, dan menduga keras bahwa
memang Suto lah pembunuh Ki Empu Sakya. Lalu,
pembunuhan itu dikaitkan dengan keris pusaka milik Ki Empu Sakya. Wajar jika
semua orang menduga kalau
keris itu sekarang ada di tangan Suto Sinting.
Sebelum Mega Dewi pergi meninggalkannya karena
tak mau bersahabat lagi, Suto Sinting sempat
mengajukan satu pertanyaan kepada gadis kepang dua
itu. "Siapa nama saksi yang melihat Ki Empu Sakya
dibunuh"!"
"Mbok Wiji, seorang pengrajin perabot dapur dari bambu!"
"Aku akan temui dia, dan kubuktikan bahwa bukan
aku orang yang dilihatnya kala itu! Tak lama lagi kau akan tahu apakah aku
bersalah atau tidak."
"Aku sudah tak mau peduli lagi dengan dirimu. Aku tak mau terlibat persoalan
apa-apa bersamamu! Dan kau tak perlu mencariku atau berusaha menemuiku lagi,
Suto. Aku sudah tidak suka berteman denganmu!"
Kata-kata itu menyakitkan bagi Suto Sinting, tapi
agaknya kali ini Suto harus menelan kepahitan tersebut.
Sebelum ia bisa membuktikan kepada masyarakat dan
para tokoh bahwa dirinya tidak bersalah, ia masih harus menelan kenyataan pahit
dan mendengar kata-kata yang
menyakitkan seperti itu. Tak ada cara lain untuk
membersihkan diri kecuali dengan menggunakan
pengakuan perempuan desa yang bernama Mbok Wiji.
Suto akan tampakkan diri di desa Kukusan itu, dan
memohon kepada Mbok Wiji untuk mengenali wajah
pembunuh Ki Empu Sakya. Suto yakin Mbok Wiji akan
mengatakan bahwa wajah pembunuh Ki Empu Sakya
bukan wajah yang dimiliki Suto.
Bergegaslah Suto Sinting menuju desa Kukusan.
Perjalanannya sengaja melalui tempat-tempat yang
tersembunyi, supaya jangan temui halangan dari siapa
pun sebelum ia berhasil temui Mbok Wiji. Dengan
menggunakan ilmu peringan tubuh yang digabungkan
dengan ilmu 'Layang Raga' kecepatan lari Suto lebih
tinggi dari kecepatan anak panah melesat dari busurnya.
Ketika sampai di batas desa, hari sudah sore.
Matahari hampir tenggelam. Tapi Suto tidak pedulikan
suasana tersebut, ia mulai kurangi kecepatan larinya dan menjadi berjalan cepat
biasa saja. Langkahnya terhenti sejenak ketika melihat
kerumunan orang di lereng bukit. Di sana ada tanah
pemakaman, dan di tanah pemakaman itu agaknya
sedang dilakukan upacara penguburan. Suto menjadi
penasaran nalurinya mengatakan ada sesuatu yang perlu ditengok di kuburan itu.
Ketika ia tiba di sana, ternyata ia bertemu dengan
Sabani, si pedagang legen dalam bumbung bambu itu.
Tapi Sabani kala itu tidak membawa bumbungnya.
"Kang...?" Sabani gemetar, ingat dosanya ketika bertemu Suto yang pertama
kalinya itu. "Siapa yang meninggal, Sabani?"
"Mbok Wiji."
"Hah..."!" Suto Sinting terperangah kaget.
"Jenazahnya ditemukan cucunya tadi pagi, di dekat sungai. Sepertinya ia dibunuh
oleh seseorang menggunakan senjata tajam. Kang. Lehernya robek."
Suto Sinting menjadi tertegun penuh kekecewaan.
Satu-satunya saksi mata atas peristiwa kematian Ki
Empu Sakya kini telah tiada. Semakin sulit bagi Suto
untuk membuktikan bahwa orang yang membawa
bumbung bambu dan membunuh Ki Empu Sakya itu
bukan dirinya. Mbok Wiji tentunya mengenali
pembunuh tersebut. Tapi sekarang Mbok Wiji sudah
tiada. Bagaimana Suto harus membuktikan bahwa
dirinya tak bersalah"
* * * 3 SIAPA pun jika menghadapi masalah seperti itu tidak
akan mudah tidur, kecuali Ki Gendeng Sekarat. Suto
Sinting pun menjadi susah tidur. Malam hari ia temukan pohon yang bisa digunakan
untuk tidur, tetapi yang
terbayang di benaknya hanyalah wajah Ki Empu Sakya
dan persoalan dirinya. Di atas pohon itu, Suto hanya
berkedip-kedip memikirkan nasib dirinya yang benar-
benar sial itu.
Suto Sinting pun segera ingat pesan calon istrinya;
Dyah Sariningrum. Pesan itu diucapkan ketika Dyah
Sariningrum mengantar Suto sampai ke pantai.
"Jangan singgah ke pulau mana pun, kecuali ke
tujuanmu. Kalau kau singgah di pulau mana pun, maka kau akan menemui persoalan
yang rumit."
"Kau tak perlu cemburu, Sayangku," bisik Suto Sinting dengan mesra.
"Tidak. Aku tidak akan cemburu. Aku percaya
kepadamu. Tapi langkah seseorang kadang tidak
mengetahui lubang di depannya. Aku percaya kau tidak
akan jatuh cinta pada wanita lain. Hanya saja, menurut perhitungan hari,
tanggal, waktu, dan bulan,
kepergianmu ini harus langsung ke tempat tujuan. Sekali lagi, jika kau mampir-
mampir maka kau akan menemui
nasib sial."
"Apakah kau suka jika aku bernasib sial?"
Dyah Sariningrum yang punya lesung pipit itu
tersenyum manis. Cantik sekali. Ia tersenyum sambil
gelengkan kepala dan memandang lembut kepada calon
suaminya. "Aku tidak ingin kau bernasib sial. Karena itu aku beritahukan apa yang harus
kau lakukan supaya tidak
bernasib sial."
"Aku harus menurut padamu, karena aku sayang
kepadamu, Dyah tersayang," kata Suto makin membisik dan menyiram kesejukan hati
sang Ratu yang bergelar
Ratu Mahkota Sejati itu.
Tetapi dalam perjalanan pulang dengan tugas
memburu Siluman Tujuh Nyawa, Suto Sinting sempat
lupa akan pesan calon istrinya itu. Sekalipun Suto orang yang cerdas dan berilmu
tinggi, tapi kealpaan tetap saja bisa singgah pada dirinya. Manusia tak akan
luput dari kelupaan, karena kelupaan merupakan bagian dari
penyakit kodrati bagi manusia itu sendiri.
Di atas perahunya yang berlayar tunggal, dengan
ditemani oleh seorang prajurit negeri Puri Gerbang
Surgawi, Suto Sinting melihat suatu pertarungan di atas permukaan air laut.
Salah satu orang yang mengadakan pertarungan di atas sepotong papan itu adalah
Raja Maut, sahabat gurunya Suto, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Ratu Tanpa Tapak").
Melihat Raja Maut bertarung dengan seorang wanita
cantik namun berkesan galak itu, Suto Sinting tak bisa
tinggal diam. Apalagi pelayaran perahunya harus
melintasi tempat itu. Pada mulanya Suto Sinting tidak mengenal perempuan yang
bertarung dengan Raja Maut.
Tetapi prajurit yang menyertainya dalam perahu itu
berkata, "Perempuan itulah yang bernama Nyai Demang
Ronggeng, penguasa Pulau Blacan yang tampak dari sini itu."
"Ooo... ya, ya, ya... aku mengerti sekarang," kata Suto sambil manggut-manggut.
"Aku pernah dengar cerita permusuhan Raja Maut dengan Nyai Demang
Ronggeng. Pasti persoalan Kitab Sukma Sukmi yang
dicuri oleh Nyai Demang Ronggeng dari tangan gurunya
si Raja Maut."
"Saya malah tidak dengar cerita itu, Gusti Manggala Yudha," kata prajurit
tersebut kepada Suto. Gusti Manggala Yudha memang pangkat dan sebutan Suto di
kalangan orang-orang Puri Gerbang Surgawi.
Kedudukannya lebih tinggi dari sang Ratu Mahkota
Sejati, karena kehormatan Suto itu diberikan oleh
penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib,
yaitu Ratu Kartika Wangi, Ibu dari Dyah Sariningrum
atau si Ratu Mahkota Sejati itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Manusia Seribu Wajah").
"Raja Maut agaknya terdesak oleh kekuatan Nyai
Demang Ronggeng. Sekujur tubuhnya telah basah
kuyup, sedangkan Nyai Demang Ronggeng masih
kering," gumam Suto bagaikan bicara sendiri.
Ketika melihat Raja Maut terpental jauh karena satu
pukulan sinar merah dari kibasan kipas berbulu merah
itu, Suto Sinting cemaskan jiwa Raja Maut.
"Arahkan perahu kita untuk menolong Raja Maut!"
kata Suto kepada sang prajurit yang mengendalikan laju perahu itu. Maka sang
prajurit pun menuruti perintah tersebut.
Raja Maut benar-benar terluka parah. Tubuhnya
mengambang di air dalam keadaan pingsan. Suto Sinting segera menolong,
mengangkat tubuh Raja Maut untuk
diselamatkan jiwanya. Raja Maut dibaringkan di perahu itu. Mulutnya dipaksa
terbuka, lalu tuak dari bumbung dituangkan oleh Suto sedikit demi sedikit.
Akhirnya beberapa teguk tuak tertelan oleh Raja Maut, sampai
orang tua itu tersedak dan terbatuk-batuk, sadar dari pingsannya. Namun karena
tubuhnya masih memar
membiru dan lemas. Raja Maut tak bisa bilang apa-apa
Jleeg...!
Pendekar Mabuk 027 Keris Setan Kobra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rupanya pertolongan Suto kepada Raja Maut tidak
disukai oleh Nyai Demang Ronggeng. Perempuan itu
berusaha mencapai perahu dan tiba-tiba ia sudah berhasil menginjakkan kakinya di
buritan perahu. Suto Sinting
sempat terperanjat, namun kembali tenang dengan
berkata sopan kepada Nyai Demang Ronggeng,
"Maaf. aku tidak bermaksud campuri urusanmu,
melainkan sekadar menolong orang yang kukenal ini!"
"Lancang betul kau!" sentak Nyai Demang
Ronggeng. "Aku ingin membunuhnya, tapi kau ingin menyelamatkannya. Itu sama saja
kau telah menantangku untuk lanjutkan pertarungan ini!"
"Tidak. Aku tidak menantangmu. Ini sekadar tugasku sebagai manusia, menolong
yang lemah, membantu yang
susah!" "Hmmm...!" Nyai Demang Ronggeng mencibir
melihat Suto merendahkan hati di depannya. Matanya
menatap terus tak berkedip, lama-lama hatinya berkata,
"Ganteng juga dia!" Tapi sikapnya tetap dipaksakan angkuh dan sinis.
"Kalau kau tak menantangku," kata Nyai Demang Ronggeng, "Bunuh si setan tua itu!
Jangan obati dia!
Ceburkan ke laut sekarang juga!"
Dengan senyum kalem Pendekar Mabuk berkata,
"Maaf, aku tidak bisa berbuat sekejam itu, Nyai. Guruku tidak pernah ajarkan
agar aku berbuat sejahat itu kepada orang tak berdaya."
"Siapa gurumu"!"
"Gila Tuak"
Mata Nyai Demang Ronggeng terkesiap, ia terkejut,
namun disembunyikan dalam hati. Hanya wajahnya
yang tampak semakin sinis dengan kata-katanya yang
ketus, kadang bernada dingin.
"Kebetulan sekali! Si Gila Tuak punya hutang
padaku! Hutang jurus!"
"Oh, aku tidak tahu hal itu, Nyai. Aku tidak
bermaksud apa-apa padamu."
"Gila Tuak pernah menyerangku saat aku bertarung melawan setan busuk itu!" Ia
menuding Raja Maut "Aku dibuatnya lari terbirit-birit. Sekarang giliranku
membalas sakit hati itu melalui muridnya!"
"Nyai Demang Ronggeng, terlalu buruk jika kita
turuti nafsu membunuh dan membalas dendam.
Sebaiknya, lupakan saja niatmu itu agar di antara kita tidak ada yang celaka,
Nyai!" "Akan kulupakan setelah aku berhasil mengirim
penggalan kepala murid si Gila Tuak. Hiaaatt...!"
Nyai Demang Ronggeng nekat menyerang Suto
Sinting dengan lompatan cepat bagaikan hembusan
angin. Wuuutt...! Tetapi Suto Sinting enggan melayani, sehingga ia hanya
menghindar pada saat jaraknya
dengan lawan sudah sangat dekat, ia menjatuhkan diri dalam posisi duduk, lalu
meraih bumbung tuak yang
tergeletak di samping raga si Raja Maut.
Serangan yang dihindari dengan seenaknya itu
membuat tubuh Nyai Demang Ronggeng tak mampu
berhenti seketika. Ia melaju dengan lompatan cepatnya dan akhirnya melewati
batas perahu dan, byuuurrr...! Ia jatuh ke lautan.
Untuk sesaat ia menyelam diri, tapi kejap berikut ia
muncul dengan satu sentakan kuat. Bruuus...! Ia
melayang tinggi bagaikan seekor lumba-lumba muncul
dari kedalaman air. Gerakan saltonya membuat ia
mampu hinggap di atas barak perahu yang beratap papan itu. Draak...! Tubuhnya
yang basah kuyup meneteskan
air ke atap barak. Tapi kipas bulu merahnya itu bagaikan anti basah. Tak sedikit
pun air menempel di kipas
tersebut. "Nyai Demang Ronggeng," kata Suto, "Jangan memaksaku bertindak kasar kepadamu.
Aku tahu siapa kau, dan aku kenal dengan dengan Ki Gendeng Sekarat,
saudara seperguruanmu, karena itu aku masih
menghormatimu, Nyai."
"Aku tidak butuh hormatmu! Aku benci pada
Gendeng Sekarat! Hiaaat...!"
Kali ini Nyai Demang Ronggeng melompat sambil
kibaskan kipasnya. Dari kipas itu keluar tenaga dalam yang besar dan menyerang
Suto Sinting yang masih
enggan melayaninya. Suto bermaksud menghindar,
namun terlambat, sehingga tubuhnya yang baru saja
hendak melompat itu terhempas pukulan tenaga dalam
dari kipas merah. Wuuut...! Braaak...!
Suto Sinting jatuh di haluan kapal. Prajurit ingin
membantu tapi Suto segera melarangnya. Pendekar
Mabuk cepat berdiri karena Nyai Demang Ronggeng
telah lepaskan lagi serangan berikutnya, berupa cahaya merah dari kipas
tersebut. Slaaap...! Dengan cepat Suto meraih bumbung tuaknya dan
disilangkan di depan dada. Akibatnya sinar merah itu
mengenai bumbung tuak tersebut namun tidak membuat
bumbung itu hancur, melainkan membuat sinar merah
memantul kembali arah. Pantulan sinar merah itu
ternyata lebih cepat dan lebih besar lagi, tenaga yang ada di dalam sinar merah
menjadi berlipat ganda.
Wuuusss...! Nyai Demang Ronggeng terkejut. Hampir saja ia
terpaku melihat sinar merahnya membalik dalam
keadaan lebih besar. Dengan gerakan cepat, kipas di
bentangkan dan digunakan menangkis sinar merah itu.
Praak...! Blaaar...!
Sinar merah jebol seketika. Tubuh Nyai Demang
Ronggeng terpental jatuh ke laut kembali. Byuuur...!
Tetapi sebelum ia jatuh masuk ke dalam air, prajurit
sempat melihat mulut Nyai Demang Ronggeng
semburkan darah segar, pakaiannya terbakar pada bagian dada. Setelah itu lenyap,
tak bisa diketahui keadaannya.
Raja Maut mulai sehat walau tidak sepenuhnya, ia
mulai sadar bahwa dirinya berada di atas perahu, ia juga kaget melihat Suto ada
di perahu itu juga.
"Apa yang terjadi, Suto?"
"Nyai Demang Ronggeng terkena pukulannya sendiri dan masuk ke perairan. Sampai
sekarang belum muncul-muncul," Suto menjawab dengan mata memandangi
perairan di sekelilingnya.
"Apa warna pukulannya tadi?"
"Merah! Keluar dari kipasnya."
"Habislah riwayatnya. Setidaknya bagian dalamnya rusak berat!" gumam Raja Maut
sambil memandangi perairan juga.
"Apakah ini persoalan Kitab Sukma Sukmi?"
"Benar. Hari ini kutentukan sikapku; kalau tak dapat merebut kitab itu, lebih
baik aku mati di tangannya, toh aku sudah turunkan ilmuku kepada muridku. Bagiku
mati bukan masalah lagi."
"Sebenarnya aku hanya ingin menolongmu, Raja
Maut. Tidak bermaksud mencampuri urusan kalian
berdua. Tetapi...," ucapan itu terhenti. Sesosok tubuh
keluar dari kedalaman air laut. Mirip ikan lumba-lumba sedang terbang.
Bruuusss...! Jleeg...! Nyai Demang Ronggeng masih hidup, keadaannya
memang menyedihkan. Dada sampai leher berwarna
hitam hangus. Sebagian pakaiannya rusak termakan api.
Namun keadaan api sudah padam karena air laut.
Matanya menjadi mengerikan. Bagian tepi kelopak mata
itu memerah. Hidungnya masih melelehkan darah. Tapi
ia masih mampu berdiri di buritan dengan tegak dan
kokoh. "Nyai, sudahlah, jangan teruskan pertarungan ini,"
kata Suto memohon.
Tapi agaknya perempuan berhati sadis itu tetap ingin
lanjutkan pertarungan sampai titik darah penghabisan.
Dengan geram kemarahannya ia berkata,
"Sekarang sudah tak ada waktu untuk berdamai
denganmu, murid Gila Tuak! Kau atau si setan tua itu
yang mati di tanganku! Atau kalian berdua sama-sama
kukirim ke alam baka"!"
"Kau pikir mudah mengirimku ke alam baka?" sahut si Raja Maut, lalu mencoba
berdiri, tapi ia jatuh lagi karena keadaannya masih lemah. Pada saat Raja Maut
jatuh, Nyai Demang Ronggeng segera melepaskan
pukulan dengan kedua tangan disentakkan ke depan.
Wuuus...! Sinar merah besar melesat menghantam tubuh Raja
Maut. Suto Sinting cepat lompatkan diri ke depan Raja
Maut, lalu dengan kedua tangan disentakkan ke depan, melesatlah sinar biru besar
dari tangan Suto. Sinar bru itu menghadang laju sinar merah, dan bertemu di
pertengahan tanpa ledakan.
Kedua orang itu akhirnya adu kekuatan tenaga dalam.
Nyai Demang Ronggeng kerahkan tenaga dalamnya
supaya sinar merah bisa menembus tubuh Suto,
sedangkan Suto sendiri kerahkan tenaga dalamnya
supaya sinar biru bisa mendesak sinar merah lawan.
Kedua tangan Suto Sinting bergetar, tapi sekujur tubuh Nyai Demang Ronggeng
gemetaran. Wajahnya yang
pucat menjadi memerah, pertanda seluruh kekuatan
dikerahkannya. Pertemuan kedua sinar itu memercikkan bunga api.
Garis pertemuan bergerak maju-mundur menandakan
kekuatan mereka saling dipertahankan. Sampai akhirnya, kaki Suto Sinting
menghentak ke lantai perahu.
Duuuhg...! Seakan hentakan itu mendatangkan kekuatan
besar dan membuat sinar birunya mampu mendesak ke
depan dan akhirnya menghantam tubuh Nyai Demang
Ronggeng. Blaaar...!
Cahaya biru pijar memecah menyilaukan. Pandangan
mata mereka tak mampu menembus nyala biru terang
yang melebar melebihi lebar layar itu. Namun cahaya itu hanya sekejap, lalu
lenyap. Blaab...!
Sosok Nyai Demang Ronggeng tidak kelihatan lagi.
Asap tipis masih menyelimuti tempat berdirinya Nyai
Demang Ronggeng. Semakin tipis asap itu semakin
terlihat oleh mereka tubuh Nyai Demang Ronggeng
mengambang di permukaan air dalam keadaan hangus
seluruhnya. Perempuan itu telah menjadi arang karena
terkena pukulan jurus 'Tangan Guntur' yang jarang
digunakan Suto itu.
Raja Maut dan prajurit memandang dengan mulut
ternganga bengong. Wajah mereka diliputi perasaan
kagum dan takjub terhadap hasil pukulan jurus Pendekar Mabuk itu. Sedangkan Suto
Sinting sendiri memandang
mayat yang ditinggalkan perahu itu dengan wajah sesal.
Bahkan ia menggumam di samping Raja Maut,
"Seharusnya hal itu tidak terjadi kalau hatinya tidak sekeras baja!"
"Memang itulah akibat yang harus diterima bagi
orang yang tak pernah mau mengenal perdamaian," ujar Raja Maut. "Aku tak
salahkan dirimu. Kau hanya sebatas melindungiku. Karena kau tahu keadaanku
sedang lemah, tak mungkin mampu melawan jurusnya tadi. Aku
berterima kasih padamu, Suto! Biar kujelaskan sendiri pada si Gila Tuak, gurumu
itu, mengapa kau membunuh
Kiswanti."
Suto memandang jauh dalam lamunan sesalnya.
Pantai Pulau Blacan terlihat jelas dan akan dilewatinya.
Suto Sinting diam tanpa bicara apa pun. Raja Maut
segera mendekati dan bicara dengan hati-hati.
"Suto, aku harus mengambil Kitab Sukma Sukmi di
pulau itu. Maukah kau menungguku mengambilnya, agar
aku bisa pulang menumpang perahumu?"
Napas Suto Sinting ditarik dalam-dalam. "Ambillah, setelah itu jagalah agar
Kitab Sukma Sukmi yang berisi
jurus-jurus maut dan ilmu 'Tarian Mayat' itu jangan
sampai jatuh ke tangan orang sesat lagi."
Raja Maut yang berjubah abu-abu itu tersenyum
ceria. Pendekar Mabuk senang melihat orang yang
ditolongnya menjadi ceria. Maka perahu pun menepi ke
pantai Pulau Blacan. Raja Maut turun sendiri, menuju persinggahan Nyai Demang
Ronggeng. Suto dan prajurit
menunggu di perahu sampai beberapa saat lamanya.
Suto sempat bercerita tentang hubungan Nyai Demang
Ronggeng dengan Ki Gendeng Sekarat yang
ditinggalkannya di Pulau Serindu. Bahkan Suto banyak bercerita pengalaman yang
dilalui bersama si tukang
tidur itu. "Jadi, Ki Gendeng Sekarat itu sebenarnya sudah
hampir mati di tangan Ratu Tanpa Tapak, Gusti
Manggala?"
"Ya. Tapi seorang teman bernama Sumbaruni
menolongnya, aku pun akhirnya datang membantu
mereka." "Sumbaruni...?" gumam prajurit itu bernada heran.
Dulunya pun berkerut. "Sepertinya saya pernah dengar nama Sumbaruni dari cerita
ke cerita."
"Mungkin kau ingin katakan bahwa Sumbaruni itu
bersuamikan jin Kazmat?"
"Bukan itu saja," jawab prajurit yang usianya sekitar tiga puluh tahun. "Menurut
cerita yang saya dengar, Sumbaruni itu pelayan seorang petapa di Gunung
Winukir. Pertapa itu adalah Eyang Bayudana, yang
mempunyai murid bernama Pramban Jati dan Resi
Wisbo." "Pramban Jati itu gurunya Ki Gendeng Sekarat!"
sahut Suto. "Ooo...," prajurit itu manggut-manggut.
"Resi Wisbo adalah gurunya Raja Maut tadi!"
"O, begitu"! Jadi antara Sumbaruni dan Nyai Demang Ronggeng, Ki Gendeng Sekarat,
Raja Maut bisa jadi
mempunyai kesamaan ilmu, Gusti?"
"Mungkin saja. Cuma yang mana yang lebih tinggi, kurasa Sumbaruni-lah yang
paling tinggi ilmunya.
Karena dia mendapat warisan ilmu secara langsung dari Eyang Bayudana sang petapa
itu." Percakapan itu terhenti karena Raja Maut telah
kembali dengan membawa Kitab Sukma Sukmi. Mereka
meluncur ke Tanah Jawa memakan waktu perjalanan
selama satu hari satu malam. Dan saat itulah sebenarnya Suto Sinting telah lupa
akan pesan Dyah Sariningrum. Ia telah mampir ke sebuah pulau, walau hanya di
pantainya saja, dan walaupun untuk menolong seseorang.
Pendekar Mabuk 027 Keris Setan Kobra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kini dalam lamunan malam Suto di atas pohon,
kesalahan itu teringat kembali. Hatinya pun berkata,
"Pantas nasibku sial, karena aku telah mampir ke Pulau Blacan! Kurasa Dyah pun
tahu kesalahan yang telah
kuperbuat itu, karena ia punya kekuatan batin untuk
meneropong kehidupanku dari jauh."
Hati Suto Sinting ingin menyesali langkahnya itu,
tapi ia merasa penyesalan tersebut tidak berarti apa-apa.
Tak perlu dipikirkan lagi. Sebab yang perlu dipikirkan adalah bagaimana
membuktikan bahwa dirinya tidak
bersalah. "Kurasa aku memang harus temui Sumbaruni atau
Pelangi Sutera itu! Paling tidak, Sumbaruni punya saran untukku."
Kecamuk batin dan pikirannya itu akhirnya
melelahkan jiwa. Suto Sinting tertidur ketika pagi
tinggal sedikit waktu lagi. Namun dalam tidurnya itu, ia kembali bermimpi
tentang wanita cantik berjubah sutera warna biru muda.
"Asmaradani..."!" sapa Pendekar Mabuk dalam mimpinya. Seolah-olah mereka saling
melepas rindu karena lama tak jumpa. Asmaradani memeluk Suto
penuh ungkapan rasa kangen. Lalu, wanita cantik itu
kembali menyerahkan setangkai bunga mawar warna
pelangi dengan tangkai tanpa duri.
"Lama aku menunggumu, ingin serahkan bunga ini
untukmu, Suto."
"Kau baik padaku. Asmaradani," ucap Suto bernada mesra.
Sayang mimpi itu tak panjang. Suto terbangun ketika
mendengar suara kokok ayam dan lesung penumbuk
padi di kejauhan sana. Tetapi ia jadi terkejut setelah menyadari tangannya
menggenggam setangkai mawar
pelangi tak berduri.
"Bunga ini benar-benar kumiliki"! Mimpiku itu... oh, mimpi apa sebenarnya" Apa
arti mimpi seaneh ini"!"
pikir Suto dengan bingungnya.
* * * 4 LANGKAH Pendekar Mabuk semakin diperlambat
karena suara aneh di sekelilingnya. Matanya melirik
curiga walaupun sikapnya masih tenang-tenang saja.
Telinganya menangkap suara detak jantung yang jumlah
lebih dari dua irama. Itu tandanya ada beberapa orang yang bersembunyi di
sekitar semak dan kerapatan
pohon. Mereka sepertinya menunggu saat yang baik
untuk lakukan penyerangan.
"Siapa mereka?" tanya Suto dalam hatinya. Hanya itu yang ada di hatinya, karena
kejap berikutnya sebilah
pisau melesat dari arah belakang, sasarannya pada
punggungnya. Slaaap...! Kecepatan pisau itu cukup tinggi. Pasti
dilemparkan dari tangan orang berilmu lumayan tinggi.
Tetapi Pendekar Mabuk tidak kalah cepat berputar
badan. Wuuut...! Ceeb...!
Pisau seukuran satu jengkal itu tahu-tahu sudah
terselip di sela jari-jari Suto Sinting. Padahal tangan Suto hanya berkelebat
dan berhenti sampai di depan
dadanya, namun pisau itu telah mampu ditangkapnya
sehingga tak sampai merobek kulit tubuhnya.
Dengan pisau masih terselip di tangan, Suto Sinting
diam tak bergerak dan mata memandang jeli ke
sekitarnya. Suto tidak menemukan bayangan manusia di
sana-sini, tapi hati nuraninya mengatakan ada yang
bersembunyi di balik pohon di depannya itu. Maka
dengan gerakan tangan berkelebat cepat dan kaki sedikit merendah, pisau itu
dilemparkan ke dahan pohon
tersebut. Slaaab...! Craab, craaab, craab...!
Gerakan pisau begitu cepat dan memotong tiga dahan
seukuran satu lengan orang dewasa. Ketiga dahan itu
langsung jatuh secara bersamaan. Grussaak...!
Duuhg...! "Aow..!" seseorang terpekik kesakitan karena kejatuhan salah satu dahan. Pasti
kepalanya bocor,
setidaknya benjol. Suto Sinting tersenyum geli dan
matanya menatap tajam ke arah pohon tersebut.
Dugaannya benar, ada orang bersembunyi di balik pohon itu. Orang tersebut tak
sengaja terpekik karena tak
menyangka akan kejatuhan dahan sebesar lengan.
Anehnya orang itu masih saja tidak mau keluar dari
persembunyiannya, rupanya ia bertahan untuk tidak
menampakkan diri dan segera menutup mulutnya dengan
tangan. Suto Sinting mau meninggalkan orang itu dan tidak
peduli dengan serangan tadi. Tetapi baru saja ia balikkan tubuh, tiba-tiba dari
arah kirinya melesat dua benda kecil warna putih terpantul sinar matahari. Benda
itu adalah dua senjata rahasia yang dilemparkan dari balik dua
pohon berjajar rapat.
Ziing, ziing...!
Dua tangan Suto segera berkelebat menangkap dua
senjata rahasia tersebut dalam gerakan melebihi
kecepatan layang senjata itu sendiri. Sleb, sleb...! Sekali lagi dua senjata itu
mampu ditangkap dengan jepitan
jari-jemarinya. Ternyata senjata itu berbentuk bintang
segi enam yang runcing dan berbau amis. Itu tandanya
senjata tersebut mempunyai kadar racun tinggi
Duri Bunga Ju 7 Joko Sableng 25 Kutuk Sang Angkara Neraka Hitam 3