Pencarian

Ratu Tanpa Tapak 3

Pendekar Mabuk 026 Ratu Tanpa Tapak Bagian 3


merawat kelestariannya. Mengapa kau merasa berhak
berkeinginan apa saja" Kau pikir para anak buahmu itu tidak punya keinginan apa-
apa" Kurasa mereka juga
punya keinginan dalam hidupnya. Tapi mereka tidak
semata-mata bertindak jahat demi keinginannya
tercapai"! Betul begitu, Saudara-saudara"!"
"Betuulll...!" jawab mereka serempak tanpa sadar.
"Diam semua!" bentak sang Ratu, membuat mereka jadi takut dan sadar bahwa
jawaban serempak mereka itu tidak benar. Seharusnya mereka tidak menjawab
begitu. Ratu bisa marah dan menyangka mereka mendukung Ki
Gendeng Sekarat.
Setelah hening tercipta beberapa saat dan wajah ratu cemberut kusam,
terdengarlah suara sang Ratu berkata dengan tegas.
"Kau layak mendapat hukuman pancungl"
"Aku tidak mau," jawab Ki Gendeng Sekarat seenaknya. "Kau pikir dipancung itu
enak" Tidak! Tidak
enak. Aku tidak mau kehilangan kepala."
"Kau tak bisa menolak keputusanku! Akulah yang berkuasa di sini!" suara Nila
Cendani semakin kuat dan keras. Tapi Ki Gendeng Sekarat hanya tersenyum kalem
tanpa gentar sedikit pun.
"Aku tidak bersalah di mata dunia. Aku tidak mau dipancung."
"Bersalah atau tidak, keputusannya ada di
pengadilanku. Dan kau kunyatakan bersalah karena
membunuh Gaok Lodra dan Nenggolo, serta
membuntungi tangan Sabit Guntur. Maka kau kujatuhi
hukuman mati dengan dipancung! Sebelum hukuman itu
kau jalankan, kebijaksaanku mengatakan bahwa kau
boleh mengajukan satu permintaan yang akan kupenuhi sebagai permintaan akhir
hidupmu. Sebutkan
permintaanmu, Gendeng Sekarat."
"Aku minta dibebaskan."
"Bukan itu maksudku!" sentak Ratu Tanpa Tapak.
"Permintaan yang lain!"
"Baik. Aku minta kau bunuh diri di depanku."
"Kurang ajar!" geram Ratu Tanpa Tapak. Matanya mendelik sangar.
"Kau menyuruhku mengajukan permintaan terakhir, giliran kuajukan permintaan kau
selalu marah. Kau ini ratu apa kusir delman?"
Nila Cendani tarik napas kuat-kuat, menggeram
gemas menahan murka.
"Kebijaksaanku kucabut kembali. Kau tidak
kuizinkan mengajukan permintaan apa-apa!" katanya,
dan membuat Ki Gendeng Sekarat terkekeh-kekeh.
Seorang pengawal mendekat dan memukul wajah Ki
Gendeng Sekarat dengan hantaman tangan kanan. Tetapi Ki Gendeng Sekarat tahu-
tahu sudah berpindah tempat, sehingga orang itu bagaikan memukul tempat kosong,
ia bahkan kebingungan mencari di mana sasarannya
berada. Ketika ia berpaling ke belakang, ploook...! Kaki Ki Gendeng Sekarat
menendang pipinya. Bruuuk...!
Orang itu jatuh tanpa sungkan-sungkan lagi.
Mulutnya menyemburkan darah, ia terkapar di lantai.
Kejang-kejang sesaat, lalu diam tak bergerak. Setelah diperiksa, ternyata mati
tanpa sungkan-sungkan pula.
"Tendangannya punya jalur tenaga ke arah jantung,"
pikir Nila Cendani. "Pasti ia gunakan ilmu 'Kendali Indera'. Ada baiknya kalau
kupakai sebagai tontonan rakyatku, biar mereka terhibur. Dia akan kuadu dengan
Sokobumi."
Lalu, Ratu Tanpa Tapak segera berseru, "Gendeng Sekarat, aku punya gagasan baru.
Kau akan kubebaskan jika memenangkan pertarungan sebanyak lima kali
dengan orang-orang pilihanku. Kau bebas jika bisa
membunuh mereka di arena!"
"Aku bukan kuda lumping yang enak dijadikan
tontonan."
"Kalau kau tak mau, sekarang juga akan
kulaksanakan hukumanmu itu!"
KI Gendeng Sekarat diam beberapa saat. Caranya
berpikir sambil memandang ke sana-sini, seenaknya saja dalam bersikap. Hal itu
membuat geram dan kebencian
bagi beberapa pengawal pilihan Niia Cendani. Salah
seorang pengawal pilihan yang bernama Jagalopa segera berkata setelah memberi
hormat kepada Ratu Tanpa
Tapak lebih dulu.
"Gusti Ratu, izinkan saya menjadi orang pertama yang diadu dengan orang itu!
Saya sanggup membuatnya mati dalam dua jurus saja!"
Nila Cendani sunggingkan senyum, sebuah seringai
kebanggaan seorang ratu yang mendengar keberanian
pengawalnya. "Baik. Gendeng Sekarat, pertama-tama kau akan
kuadu dengan Jagalopa. Apakah kau mampu
mengalahkan pengawal pilihanku itu?"
Ki Gendeng Sekarat memandang orang bertubuh
tinggi, tegap, berkumis, dan berambut panjang, usianya sekitar tiga puluh dua
tahun. Badan kekarnya
mempunyai otot yang bertonjolan. Ki Gendeng Sekarat hanya tersenyum.
"Ini kesempatan meruntuhkan Nila Cendani dari
dalam. Kalau tantangan ini kutolak, maka aku akan
kehilangan kesempatan menghancurkan kekuasaannya,"
pikir Ki Gendeng Sekarat. Maka ia pun segera
menyanggupi tantangan itu.
"Siapkan arena!" seru Nila Cendani kepada anak buahnya.
Arena yang digunakan adalah tempat berlatih para
anak buah Nila Cendani. Tempat itu berbentuk tapal
kuda mempunyai barisan tangga-tangga sebagai tempat duduk penonton. Orang-orang
pengikut Ratu Tanpa
Tapak berkumpul mengelilingi arena. Sedangkan di
bagian lain, terdapat panggung kehormatan yang dipakai duduk sang Ratu bersama
beberapa pengawalnya.
Sebelum maju ke arena, Ratu Tanpa Tapak turun dari
takhtanya untuk mendekati Ki Gendeng Sekarat.
Langkahnya tegap, tapi bekas langkahnya tidak
meninggalkan bayangan telapak kaki. Bahkan suara
langkahnya tak terdengar sama sekali. Rupanya
perempuan cantik itu berjalan tidak menyentuh tanah karena ketinggian ilmu
peringan tubuhnya. Karena
telapak kakinya jarang menyentuh tanah, maka
permukaan telapak kaki itu selalu tampak bersih dan sering dirawat seperti
merawat wajahnya. Bersih, putih, dan halus lembut. Itulah sebabnya ia berani
bergelar Ratu Tanpa Tapak. Seandainya ia berjalan di tempat
yang kotor, maka kakinya tidak akan kotor dan tempat itu tidak akan membekas
telapak kakinya.
"Ingat, lima kali pertarungan kau menang, kau bebas dari hukuman!"
"Seratus kali pertarungan pun kusanggupi," kata Ki Gendeng Sekarat. Karena
menurutnya, semakin banyak
orang yang diadu dengannya semakin banyak
kesempatan melumpuhkan kekuatan orang-orang
Gunung Sesat. Nila Cendani hanya tersenyum sinis, lalu kembali ke tempat duduknya sambil
berseru kepada seorang
pengawal, "Lepaskan rantainya, tapi biarkan kedua tangannya terbelenggu ke depan!"
"Curang!" sahut Ki Gendeng Sekarat.
Ratu Tanpa Tapak berpaling, "Itulah syarat untuk bebas dari hukuman!"
Lasogani yang masih menderita luka dalam terpaksa
melepaskan rantai yang melilit di tubuh Ki Gendeng
Sekarat. Rantai yang membelenggu pergelangan
tangannya masih tetap saling terkait kuat. Tetapi
Lasogani mengerahkan tenaga dalamnya untuk
mengendorkan rantai pembelenggu tangan. Dengan
keadaan rantai sedikit kendor, Ki Gendeng Sekarat
disuruh memutar tangannya dengan cara melewati pantat dan kedua kakinya,
sehingga tangan menjadi ada di
depan. Secepatnya Lasogani mempererat kembali rantai belenggu tangan dengan ilmu
'Rantai Neraka'-nya itu. Ki Gendeng Sekarat geleng-geleng kepala sambil tertawa
kecil memperhatikan kedua tangannya tetap terantai.
"Kalau kusentakkan, rantai ini tak mungkin lepas tapi justru semakin kuat
menjerat. Sebaiknya kubiarkan saja.
Aku harus bisa bertarung dengan kedua tangan
terbelenggu ke depan. Ini masih untung daripada kedua tangan terbelenggu ke
belakang," pikirnya waktu di tengah arena. "Bagaimana dengan kipasku yang ada di balik bajuku ini" Ah, merepotkan kalau harus kuambil.
Biar saja. Tak perlu pakai senjata. Kakiku lebih tajam dari pedang. Kekuatan
batinku lebih runcing dari
tombak. Tak ada yang kusangsikan lagi."
Jagalopa melengkapi dirinya dengan dua pisau di
pinggang dan satu tombak bermata kapak dua sisi. Ia juga mengenakan baju besi
untuk penutup dada sampai
atas perutnya. Ulu hatinya terlindung baju besi yang beratnya lebih dari dua
puluh lima kilogram itu. Bagian pergelangan tangannya memakai gelang besi yang
lebarnya setengah jengkal dan dilengkapi dengan duri-duri besi runcing. Duri-
duri besi runcing itu mempunyai racun yang berbahaya jika mengenai kulit tubuh
lawan. Sedangkan dua jari tengah kanan-kiri mengenakan
cincin berduri cula yana konon keganasan racunnya
sangat tinggi. "Pertarungan dimulai!" seru seorang pengawal setelah diberi isyarat oleh Nila
Cendani. Gong pun segera
ditabuh. Doooeeeng...! Jagalopa maju ke tengah arena dalam riuh sorak para penonton yang tak lain
adalah kawan-kawannya sendiri.
Ki Gendeng Sekarat memandangi kedatangan Jagalopa
dengan tertawa geli.
"Kau mau bertarung atau mau main wayang?"
katanya mengejek, sengaja memancing kemarahan
lawan biar tenaga terkuras oleh kemarahannya sendiri.
"Tutup mulutmu, Bangkai Busuk!"
"He, he, he, he...! Kalau kau jalan di pasar pakai pakaian itu, tidak membuat
orang sepasar bubar, tapi malah akan diikuti anak-anak kecil disangka orang gila
takut masuk angin!" ledek Ki Gendeng Sekarat membuat darah Jagalopa makin
mendidih, napasnya memburu
cepat karena kemarahannya yang meluap.
"Hiaaat...!" Jagalopa segera menebaskan tombak berujung kapak besar dua sisi itu
sambil melompat ke
depan. Wuuuusss...! Tombak kapak itu melesat di atas kepala Ki Gendeng Sekarat.
Kalau tak merundukkan
kepala secepatnya, pasti leher akan terpenggal habis.
Jagalopa mengulangi beberapa kali, tapi Ki Gendeng
Sekarat hanya menghindar terus-menerus.
Para penonton geregetan sendiri, saling berteriak
kepada Ki Gendeng Sekarat, "Serang! Ayo, serang!"
"Balas! Jangan menghindar saja! Balas...!"
"Lima puluh sikal untuk kemenangan Jagalopa! Ayo, kau berani berapa sikal"
Cepat, mumpung tak ada
penjaga melihat pertaruhan kita!" bisik seseorang.
"Baik. Lima puluh sikal. Tapi kalau tawanan kita yang menang kau bayar aku dua
puluh lima sikal saja tak apa!" kata temannya. Suasana itu dipergunakan untuk
berjudi bagi sekelompok orang yang memang gemar
judi. Agaknya Ki Gendeng Sekarat berhasil memancing
murka Jagalopa sehingga lelaki bertubuh kekar dan
berotot itu mulai kehabisan tenaga. Gerakannya tidak segesit serangan pertama.
Ki Gendeng Sekarat bersalto mundur untuk melihat seberapa cepat Jagalopa mampu
mengejarnya. Ternyata tak seberapa cepat.
"Tiba saatnya melumpuhkannya," kata Ki Gendeng Sekarat dalam hati.
Ki Gendeng Sekarat berjalan ke kiri, Jagalopa
berjalan ke kanan. Mereka sama-sama mencari
kesempatan untuk menyerang. Tapi agaknya Jagalopa
lebih dulu merasa punya celah untuk serangan
berikutnya. Tombak kapaknya dikibaskan dari bawah
samping kiri ke atas samping kanan. Itu gerak tipuan.
Wuuut...! Ki Gendeng Sekarat melompat mundur. Pada saat itu
Jagalopa maju dua tindak dan membalikkan gerakan
kapak dari atas ke bawah, tepat membelah kepala Ki
Gendeng Sekarat. Tapi lawannya itu justru menyambut gerakan kapak dengan kedua
tangannya yang dirantai.
Craaak...! Mata kapak masuk ke pertengahan jarak pergelangan
tangan. Rantai itu terhantam mata kapak yang dialiri tenaga tinggi. Akibatnya
rantai tersebut putus dengan menimbulkan percikan api dan kepulan asap.
"Edan!" geram Lasogani melihat rantainya putus.
"Jagalopa bodoh sekali! Mengapa ia adu kekuatannya dengan kekuatan yang
kutinggalkan di rantai. Tentu saja aku kalah, sebab dia memang punya tingkatan
lebih tinggi dariku"!"
Ucapan itu terdengar di telinga Nila Cendani.
"Tenanglah. Jagalopa tak akan kalah walau tawanan kita telah bebas dari
belenggu. Dia masih punya banyak
kesempatan untuk menumbangkannya.'
Ki Gendeng Sekarat nyengir kegirangan. Kini
tangannya bebas bergerak walau masih bergelang rantai di masing-masing lengan.
Begitu Jagalopa menyerang
lagi dengan tebasan tombak kapaknya, Ki Gendeng
Sekarat menangkis gagang kapak ditepatkan pada sisi rantai. Traaak...! Tombak
terhenti, tangan kiri Ki
Gendeng Sekarat segera mencekal dan meremasnya.
Kruuus...! "Hahh...! Besi gagang tombak itu remuk
diremasnya"!" ujar seorang penonton dengan terbengong melompong. Tentu saja mata
kapak pun terlepas dari
gagangnya. Ki Gendeng Sekarat segera
menggunakannya untuk menyerang Jagalopa dengan
melemparkan kapak itu seperti melemparkan sebuah
pisang. Ziiing...!
Jagalopa merunduk menghindari kapak terbangnya.
Tetapi tak disangka-sangka kapak itu berbelok arah
dalam putaran cepat. Tahu-tahu datang dari arah kiri Jagalopa. Ki Gendeng
Sekarat memancing perhatian
Jagalopa dengan serangan kaki yang menendang
beruntun di depan wajah. Tentu saja Jagalopa sibuk
menghindari tendangan kaki itu, sampai ia ta sadar
kapak itu datang.
Wuuut...! Craaas...!
Mata kapak yang terbang tepat menebas leher
Jagalopa. Rupanya ia dikendalikan oleh kekuatan Indera Ki Gendeng Sekarat,
sehingga ketika kepala Jagalopa sudah menggelinding jatuh, kapak itu masih
terbang di antara para penonton. Membabat siapa saja yang ada di depannya.
"Aaaaah...!"
Crassss...!

Pendekar Mabuk 026 Ratu Tanpa Tapak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Auhhh...!"
"Aaaaaahg...!"
Keadaan menjadi kacau. Mata kapak yang terbang itu
mengamuk membawa korban cukup banyak. Kapak
terbang memutar cepat bagaikan baling-baling sampai ke
tempat sang Ratu. Para pengawal di panggung
kehormatan itu lari pontang-panting menghindari
kekuatan kapak terbang tersebut.
Craas...! "Aaahg...!" Lasogani mendelik, tengkuknya dihajar kapak dan terkoyak lebar.
Akhirnya ia tumbang tanpa nyawa.
Blaaar...! Glegaaar...!
Ledakan menggelegar terjadi setelah Ratu Tanpa
Tapak melepaskan pukulan selarik sinar merah dari
telapak tangan kirinya. Sinar merah menghantam kapak terbang dan hancurlah kapak
itu. Suasana gaduh yang tunggang-langgang mulai reda kembali. Tetapi mereka
kebingungan melihat arena kosong. Ki Gendeng Sekarat hilang dari arena.
"Setan buntung!" maki Ratu Tanpa Tapak. "Dia melarikan diri saat suasana menjadi
kacau. Pasti tak jauh dari sini."
"Gusti Ratu, tawanan kita melarikan diri! Hilang dari arena!"
Seruan itu membuat tangan Ratu Tanpa Tapak
berkelebat bagaikan memercikkan air. Tapi yang keluar dari jemarinya adalah
sinar-sinar api yang memercik mengenal dada pengawal itu. Craaasss...!
"Aaahg...!" Pengawal itu memekik dengan mata mendelik. Dadanya menjadi berasap.
Banyak lubang hitam di dada itu. Ternyata bagian dalam dadanya telah terbakar. Tak heran jika
pengawal itu pun tumbang dan enggan bernapas karena kehilangan nyawa.
"Tutup pintu gerbang! Jaga sekeliling benteng dengan ketat!" teriak Ratu Tanpa
Tapak. "Cari dia! Cari semuanya. Dia pasti masih ada di sini!"
Orang-orang yang tergabung dalam benteng segera
berlarian sambil mencabut senjata masing-masing.
Mereka menyebar mencari Ki Gendeng Sekarat ke
berbagai arah. Jumlah mereka lebih dari lima puluh orang. Ratu Tanpa Tapak
sendiri bergegas masuk ke
istana didampingi oleh seorang pengawal muda yang tak pernah pakai baju dan
berkulit coklat. Linggana. Itulah pengawal pribadi Ratu Tanpa Tapak yang berilmu
tinggi, dan belum pernah tidur dengan perempuan,
sehingga masih bisa disentuh atau menyentuh Ratu
Tanpa Tapak. "Beri kabar padaku kalau tawanan itu sudah
tertangkap!" kata Ratu Tanpa Tapak sambil masuk ke kamar pribadinya, sedangkan
Linggana menjaga di
depan pintu kamar tersebut.
"Aku di sini, Nila Cendani!"
"Hahh..."!" Ratu Tanpa Tapak kaget setengah mati.
Ternyata Ki Gendeng Sekarat sedang berbaring di atas ranjangnya. Murka sang Ratu
bukan kepalang besarnya.
Tapi senyum sang tawanan kian berkesan kurang ajar.
* * * 8 SEMENTARA itu dalam perjalanannya menuju
Jurang Lindu, Raja Maut juga mengalami hambatan
yang menyebalkan. Nyai Demang Ronggeng muncul
pada saat Raja Maut mendekati kawasan Jurang Lindu, tempat si Gila Tuak berada.
Rupanya ikut campurnya Ki Gendeng Sekarat dalam pertarungan di tengah laut
tempo hari membuat Nyai Demang Ronggeng sangat
penasaran. Dalam pikirannya, selama Raja Maut masih hidup maka ketenangannya
akan terganggu sewaktu-waktu demi menyelamatkan Kitab Sukma Sukmi. Tak
ada jalan lain untuk memperoleh ketenangan hidup
kecuali dengan cara membunuh Raja Maut. Karenanya, Nyai Demang Ronggeng memburu
Raja Maut untuk
dilenyapkan. Pertemuannya dengan Raja Maut kali ini adalah
sesuatu yang tak diduga. Nyai Demang Ronggeng
bermaksud mencari muridnya; Tandak Ayu, untuk
memberi tugas melenyapkan Raja Maui. Ia belum tahu
kalau Tandak Ayu sudah mati di tangan Citradani, murid Embun Salju dari
Perguruan Kuil Elang Putih, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Naga
Pamungkas"). Tetapi kali ini yang ditemui justru Raja Maut sendir. Tak heran
jika Nyai Demang Ronggeng
langsung mengatakan,
"Pucuk dicinta ulam tiba!" sambil senyum sinisnya mengembang.
Raja Maut pun mengambil sikap tenang walau
berkesan menyimpan dendam.
"Kalau kau ingin lanjutkan pertarungan kita, kuharap jangan sekarang, Nyai
Demang Ronggeng. Aku masih
punya urusan yang lebih penting dari melenyapkan
dirimu," kata Raja Maut sambil menggenggam erat tongkatnya yang terbuat dari
jenis akar hitam meliuk-liuk seperti ular itu.
"Kau takut menghadapiku lagi, Prasonco"!"
"Apakah kau dewa pencabut nyawa, sehingga aku
harus takut padamu" Hmm...! Kau tidak ubahnya seperti lalat bagiku, Kiswanti!
Sekali tepuk habislah riwayatmu.
Tapi aku merasa sekarang belum saatnya untuk
menepuknya."
"Sesumbarmu dari dulu selalu melebihi geledek, Prasonco. Tapi tak pernah ada
bukti sedikit pun yang bisa kau tunjukkan di depanku."
"Sekarang apa maumu sebenarnya"!" Raja Maut tak sabar lagi.
"Tentunya melenyapkan sepupu seperguruanku!"
jawab Nyai Demang Ronggeng, ketus sekali. "Kalau perlu, Gendeng Sekarat pun akan
kulenyapkan biar tak mengganggu Kitab Sukma Sukmi lagi!"
"Jangan sesali tindakanku ini, Kiswanti! Heaah...!"
Wuuut...! Raja Maut lemparkan tongkatnya. Dalam keadaan
terbang tongkat itu berubah menjadi seekor ular hitam bermata merah. Claap...!
Ular itu langsung menyerang Nyai Demang
Ronggeng dengan gerakan amat cepat. Mulutnya
ternganga menampakkan kedua gigi depannya yang
runcing dan sangat berbisa. Dari mulut itu pun tersembur keluar asap beracun
warna biru keabu-abuan. Wooos...!
Nyai Demang Ronggeng segera mengambil kipas
merah berbulu yang terselip di pinggangnya sambil
lakukan lompatan ke atas. Kipas itu pun cepat-cepat dibuka terbentang dan
dikibaskan dengan seluruh tenaga dalamnya. Wuuusst...!
Asap beracun dari mulut ular membalik mengenai
badan ular itu sendiri. Sang ular menjadi kelojotan. Tapi ia berusaha lompat
menyerang lawannya dengan
semakin ganas. Nyai Demang Ronggeng tak mau buang-
buang waktu, ia lepaskan pukulan tenaga dalam melalui kipas yang dikatupkan.
Dari ujung kipas keluar sinar merah bagaikan selarik tali kaku. Slaaap...!
Dueer...! Kepala ular hancur seketika. Asap mengepul
membungkus tubuh ular. Dan ketika asap itu lenyap,
ternyata bangkai ular berubah menjadi sebatang tongkat seperti semula dengan
ujungnya yang hancur sebagian.
Tongkat itu segera dipungut Raja Maut dengan
menggulingkan diri, lalu berdiri satu lutut dan
melepaskan pukulan tenaga dalamnya melalui telapak
tangan kirinya. Slaap...! Sinar hijau berbentuk piringan melesat menghantam dada
Nyai Demang Ronggeng.
Blaar...! Ledakan cukup dahsyat terjadi ketika sinar hijau itu ditangkis dengan kipas
merah yang dibentangkan di
depan dada. Ledakan itu membuat tubuh Nyai Demang
Ronggeng terpental ke belakang, bahkan sempat
berjungkir balik di tanah.
"Sekali lagi kuingatkan padamu, Kiswanti... jangan sesali tindakanku ini. Kau
memaksaku menyelesaikan
urusan sekarang juga. Maka akan kurampungkan
setuntas mungkin!"
Kiswanti atau Nyai Demang Ronggeng tidak
membalas ucapan apa pun. Tapi tubuhnya segera bangkit berdiri pelan-pelan. Kedua
tangannya membentang lalu meliuk ke kiri bersama tubuhnya, sedangkan kedua
kakinya merapat dan berdiri di atas jari-jarinya. Nyai Demang Ronggeng pun
memutar tubuh pelan-pelan
dengan gerakan orang menari.
"Celaka! Dia mulai pergunakan jurus 'Tarian Mayat',"
pikir Raja Maut. "Jurus ini tak boleh diremehkan. Aku juga harus gunakan jurus
'Tarian Ular' untuk
mengimbanginya!"
Maka tubuh Raja Maut pun segera merendah
serendah mungkin. Kedua kakinya saling berjajar ke
depan, tongkatnya meliuk ke belakang bersama tangan kanannya, sedangkan tangan
kirinya menguncup
merayap di tanah. Kini tubuhnya pun mulai meliuk-liuk bagai seekor ular menari.
Nyai Demang Ronggeng bergerak gemulai dengan
kedua tangan lama-lama saling melilit tubuh sendiri, kaki melompat-lompat dalam
keadaan merapat. Dan
tiba-tiba kedua tangan yang melilit itu membentang
dengan cepat dalam satu sentakan kuat bersama seruan lengkingnya.
"Hiaaaah...!"
Dari sekujur tubuh keluar sinar biru yang menyebar
ke berbagai arah. Tiga pohon yang ada di belakangnya hangus seketika dan menjadi
keropos meninggalkan
kepulan asap. Demikian pula batu di sebelah kirinya
menjadi onggokan arang tanpa kekerasan sedikit pun.
Sinar biru itu pun menghantam ke arah Raja Maut
sebagai akibat terlepasnya jurus 'Tarian Mayat'
andalannya. Namun Raja Maut telah bersiap diri
melawannya. Tubuh Raja Maut pun melompat bagai seekor ular
melayang menyerang mangsa. Tongkatnya ditancapkan
ke tanah. Jrub...! Lalu dari tanah sekitar tongkat itu melesat sinar merah
berbentuk bayangan puluhan ekor ular yang menyerang Nyai Demang Ronggeng. Sinar
merah dalam bentuk bayangan ular itu menghantam
sinar biru. Jurus 'Tarian Mayat' beradu dengan jurus
'Tarian Ular'. Akibatnya, bumi bagaikan kiamat.
Ledakan dahsyat terjadi menggemparkan keadaan
sekeliling. Blegaaar...!
Kedua tubuh itu saling terlempar berbeda arah.
Gelombang ledakan dahsyat membuat beberapa pohon
hangus dan tumbang tak beraturan. Rumput ilalang tiba-tiba menjadi kering, rata
dengan tanah. Semak lainnya ada yang terbakar walau tidak keluarkan lidah api,
namun bara dan asapnya masih ada. Batu-batu hancur
menjadi serbuk sesuai warna aslinya.
Gemuruh itu guncangkan bumi, seakan langit akan
runtuh, tanah akan merekah. Perpaduan jurus maut itu telah mengundang perhatian
tersendiri bagi manusia
maupun hewan yang ada di sekitar tempat itu sekalipun jauhnya lebih dari lima
puluh langkah. Tak ada hewan yang tetap tinggal di situ. Semua berlarian
meninggalkan tempat tersebut dengan rasa takut.
Raja Maut terkapar dengan wajah biru legam. Darah
keluar dari lubang hidung dan mulutnya. Darah itu
berwarna hitam. Tepian mata menjadi merah bagaikan
terkelupas. Kulitnya melepuh di sana-sini. Namun ia masih berusaha bangkit walau
dengan susah payah dan napas sukar dihela.
Nyai Demang Ronggeng sendiri sudah berdiri sejak
tadi. Keadaannya masih tergolong segar walaupun
mulutnya melelehkan darah tapi tak banyak. Wajahnya hanya pucat pias, kain
jubahnya tercabik-cabik bagian tepinya. Kipas merah masih utuh tanpa kerusakan
apa pun. Nyai Demang Ronggeng masih bisa sunggingkan
senyum kemenangan melihat Raja Maut dalam keadaan
luka parah. Ini menandakan bahwa jurus 'Tarian Mayat'
ternyata lebih unggul dibanding jurus 'Tarian Ular'. Nyai Demang Ronggeng tampak
bangga, namun masih
menyimpan rasa penasaran, sehingga ia pun berseru,
"Saatnya untuk menyelesaikan hidupmu, Prasonco!"
dan kipas merah yang dibentangkan itu segera
dikibaskan dari kiri ke kanan. Wuuut...! Memancarlah cahaya merah bagai
lempengan pedang panjang bergerak menyamping seakan ingin memotong-motong tubuh
Raja Maut. Slaaap...! Wuuuusss...!
Tetapi tiba-tiba sinar merah panjang itu terhantam
sinar ungu kecil di bagian tengahnya. Jlegaaaar...!
Tubuh Nyai Demang Ronggeng bukan saja terpental
melainkan terjungkal di udara dan terhempas tanpa
keseimbangan tubuh lagi. Ia terbang bagaikan
segenggam kapas yang disapu badai besar. Jika tidak ada
sisa pohon di belakangnya, ia akan terhempas sampi!
jauh. Tapi karena ada sisa pohon yang menjadi arang, maka tubuhnya terhenti di
sana. Braaasss...!
Praaak...! Pohon itu roboh dan hancur, tubuh Nyai Demang
Ronggeng terpuruk di bawah bekas pohon itu. Mulut,
hidung, dan telinganya keluarkan darah. Kulit tubuhnya menjadi legam membiru
seperti keadaan Raja Maut.
Pakaiannya rusak, tataan rambutnya pun berantakan.
Sebagian ujung rambut menjadi keriting karena terbakar oleh gelombang panas dari
ledakan tadi. Siapa orang yang melepaskan pukulan dahsyatnya
berupa sinar ungu kecil itu" Nyai Demang Ronggeng yakin, pukulan itu jelas bukan
pukulan milik Raja Maut.
Ia kenal betul jenis jurus-jurus yang dimiliki Raja Maut.
Wajahnya terangkat pelan-pelan, dan matanya pun
memandang samar-samar wujud sesosok lelaki
berpakaian serba hijau tapi mengenakan baju jubah
kuning. Rambutnya putih rata, kumis, jenggot, alis
tebalnya juga putih rata. Rambut itu mengenakan ikat kepala kain hitam, tapi
jelas bukan Ki Gendeng Sekarat yang juga rambut putihnya diikat kain hitam.
Keremangan pandang akibat luka dalam itu lama-
lama membuat Nyai Demang Ronggeng mengenali
lelaki yang berusia sekitar sembilan puluh tahun lebih itu.
"Gila Tuak...!" gumam Nyai Demang Ronggeng dengan suara gemetar.
"Apakah kau tetap ingin membunuh sepupu
seperguruanmu ini, Kiswanti"!"
Daya tahan perempuan itu terasa semakin melemah,
ia merasa tak mungkin bisa melawan tokoh sakti yang selama ini sembunyikan diri
dari keramaian. Nyai
Demang Ronggeng gemetar di hadapan guru Pendekar
Mabuk itu. Ia merasa tak akan sanggup melawan si Gila Tuak, apalagi dalam
keadaan terluka parah. Maka tak ada cara lain untuk selamatkan diri kecuali
cepat-cepat lari meninggalkan Raja Maut dan tanah yang ternyata telah masuk
kawasan Jurang Lindu itu.
"Sial! Gila Tuak ikut campur. Modar aku!" gerutunya sambil melarikan diri tanpa
pamit. Sabawana yang
bergelar si Gila Tuak itu membiarkan Nyai Demang
Ronggeng melarikan diri. Tokoh sakti yang sebenarnya enggan campur tangan di
rimba persilatan lagi itu, kali ini terpaksa pergunakan jurus kecil-kecilan saja
untuk selamatkan Raja Maut yang menjadi sahabatnya itu.


Pendekar Mabuk 026 Ratu Tanpa Tapak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pasti perkara Kitab Sukma Sukmi!" kata Gila Tuak dengan tegas.
"Ya, memang," jawab Raja Maut dengan keadaan napas sesak tubuh lemas. "Tapi aku
ke sini sengaja untuk temui kau, Gila Tuak."
"Kalau begitu, mari kubantu pergi ke pondokku. Kau butuh pertolongan secepatnya,
Prasonco!"
"Bb... ba... baik," jawab Prasonco dengan susah payah. "Aku hanya ingin
sampaikan kabar... muridmu melabrak Nila Cendani."
"Nila Cendani"!" Gila Tuak menjadi heran. "Apa urusannya Suto sampai melabrak
Ratu Tanpa Tapak itu"'
"Gendeng Sekarat ditawan mereka!" "Oh, dasar gendeng orang itu. Mau-maunya
ditawan" Apakah dia
tak bisa bereskan Nila Cendani sendiri, sehingga
muridku jadi ikut campur?"
"Kau pikir Gendeng Sekarat mampu kalahkan
ilmunya Nila Cendani?"
Gila Tuak diam, tapi ia masih membantu Raja Maut
untuk melangkah pelan-pelan. Kejap berikutnya Raja
Maut berkata, "Datanglah ke Gunung Sesat. Bantu muridmu, Gila Tuak! Bocah itu bisa celaka dan
mati konyol kalau
melawan Nila Cendani!"
"Tidak," jawab Gila Tuak dengan tegas. "Aku tidak ingin memanjakan bocah tanpa
pusar itu. Kalau dia
berani melabrak ke sana, berarti dia sudah punya
perhitungan matang. Kalau dia ada apa-apa, itu salahnya sendiri. Aku mendidiknya
bukan dari segi otot dan
tenaga saja, tapi otaknya pun kusuruh menggunakan
sebaik mungkin. Biarlah dia membebaskan Gendeng
Sekarat dengan caranya sendiri."
Raja Maut terbengong mendengar pernyataan dan
sikap Gila Tuak. Ia tak menyangka sebagai guru Gila Tuak tega membiarkan
muridnya melawan orang sesakti Nila Cendani itu. Tapi Raja Maut tak tahu bahwa
Gila Tuak merasa tenang, tidak merasa khawatir dan cemas akan keselamatan Suto
Sinting. Gila Tuak yakin, Suto mampu kalahkan Nila Cendani, si Ratu Tanpa Tapak
itu. Ia tak sangsi lagi dengan kemampuan muridnya, karena di dalam diri Suto bukan
hanya ada warisan ilmunya
saja, tapi juga warisan ilmu dari Bidadari Jalang pun ada pada Pendekar Mabuk,
dan anak itu telah menelan Tuak Setan, sehingga jika napas Tuak Setan
dipergunakan maka Nila Cendani bukan apa-apa bagi Pendekar
Mabuk. "Kau tak takut kalau muridmu mati di tangan Ratu Tanpa Tapak"!"
"Jika Siluman Tujuh Nyawa saja dibuatnya lari
pontang-panting, tentunya Nila Cendani akan dibuat tak berdaya oleh Suto, sebab
Siluman Tujuh Nyawa punya
ilmu lebih tinggi dari ilmu yang dimiliki Nila Cendani!"
Raja Maut bengong lagi. Ia kenal betul nama Siluman Tujuh Nyawa yang punya nama
asli Durmala Sanca itu.
Ia tak sangka kalau Siluman Tujuh Nyawa yang terkenal sakti dan ganas itu lari
pontang-panting dalam
pengejaran Pendekar Mabuk. Kalau saja Raja Maut
mendengar kabar itu sejak lama, maka ia tidak akan
datang temui si Gila Tuak dan menyampaikan
kecemasannya itu.
Alam pikiran Suto Sinting ternyata sama dengan
pikiran gurunya. Ketika dalam perjalanan menuju kaki Gunung Sesat, hatinya pun
berkata, "Kenapa aku harus takut dengan Ratu Tanpa Tapak" Siluman Tujuh Nyawa
saja kuhadapi dan kukejar-kejar, apalagi hanya Nila Cendani"! Apakah kesaktian
Nila Cendani lebih tinggi dari Durmala Sanca, si Siluman Tujuh Nyawa itu"! Ah,
sekalipun lebih tinggi, aku tak takut. Cepat atau lambat aku harus bisa
membebaskan Ki Gendeng Sekarat
sebelum orang yang sudah kuanggap seperti ayahku
sendiri itu mendapat celaka di tangan Ratu Tanpa
Tapaki" Langkah Pendekar Mabuk sengaja dihentikan
sejenak. Matanya mulai menangkap bayangan sebuah
benteng di kejauhan sana. Warna hitam memanjang
sudah pasti benteng istana Ratu Tanpa Tapak. Suto
Sinting meneguk tuaknya yang tadi ketika melewati
sebuah desa sempat diisi dengan tuak baru di sebuah kedai.
Glek, glek, glek...! Tiga teguk cukup untuk
menyegarkan tubuh. Tuak itu, ibarat zaman sekarang
merupakan dopping bagi seluruh ilmu dan kekuatan
Suto. Kesegaran dan keberaniannya semakin bertambah jika habis meneguk tuak.
Wajah Suto Sinting saat itu berseri-seri memandangi benteng sang Ratu.
"Kuhancurkan benteng itu, atau aku masuk
menyelinap secara diam-diam?" pikirnya penuh
perhitungan. Perhitungannya menjadi buyar karena tiba-tiba ia
merasakan ada suatu gelombang panas yang
menyerangnya dari samping kiri. Suto Sinting sentakkan kaki dan tubuhnya pun
melambung di udara dengan
cepat. Suuuut...!
Blaaar...! Gelombang panas itu mengenai sebuah pohon dan
pohon itu rompal bagian batangnya. Hampir saja
tumbang terpotong. Melihat keadaan pohon hanya
rompal, berarti penyerangnya menggunakan tenaga
dalam yang tidak begitu tinggi. Mungkin ia tidak
bermaksud membunuh Suto Sinting. Tapi siapa
penyerangnya itu"
"Oh, kau...!" Suto Sinting bernada keluh.
Gadis berpakaian ketat ungu muda dengan bentuk
belahan dada yang menantang itu tak lain adalah Pelangi Sutera. Ibu dari anak
jin; si Logo, ternyata telah menyusulnya dan bermaksud menghalangi niat Suto
datang ke benteng itu.
"Sudah kubilang, jangan temui Ratu Tanpa Tapak.
Mengapa kau nekat"' kata Pelangi Sutera yang bernama asli Sumbaruni itu.
"Apa hakmu melarangku, Sumbaruni"!"
"Ini bukan masalah hak. Ini masalah kecemasanku."
"Itu tak perlu," jawab Suto kalem sambil tersenyum geli. "Untuk apa kau
mencemaskan diriku, Sumbaruni"
Tak akan ada gunanya."
Perempuan yang tampak masih muda sekian kali lipat
dari usia sebenarnya, mendekati Suto dengan sorot
pandang matanya yang berwibawa dan punya kharisma
tersendiri. Suto Sinting membiarkannya dan juga
memandangi tanpa kesan bermusuhan. Dalam jarak dua
langkah, Sumbaruni berhenti dan saling adu pandang
beberapa saat. Lama-lama terdengar suaranya berucap bagai bisikan.
"Aku tak mau kau terjerat cinta di sana!"
Suto Sinting tertawa dengan suara pelan. "Jangan takut. Aku punya penangkalnya,
Sumbaruni."
"Omong kosong! Kau akan kalah jika Nila Cendani pergunakan ilmu 'Serap Sukma
Asmara' yang dimilikinya. Aku tahu kau masih perjaka, dan kau pasti bisa menyentuh serta
menyerangnya. Kalian bisa
bersentuhan, dan itu sangat berbahaya bagi keadaan jiwa mudamu, Pendekar Mabuk."
"Apa kehebatan ilmu 'Serap Sukma Asmara' itu, sehingga kau amat mengkhawatirkan
diriku, Pelangi
Sutera?" "Apabila dia menggigit bibirnya sendiri dalam
senyum, maka hatimulah yang digigitnya. Jika hatimu sudah digigit, maka kau akan
jatuh cinta padanya, kau akan tunduk dengan segala perintahnya, dan kau akan
menjadi pelayan cintanya sepanjang masa. Sampai
saatnya dia tidak lagi membutuhkan dirimu, kau akan sanggup memenuhi perintahnya
untuk lakukan bunuh
diri." "Bagaimana kalau sebelum dia menggigit bibirnya, aku lebih dulu menggigitnya?"
kata Suto menganggap canda kecemasan itu. Tapi Sumbaruni menjadi sangat jengkel,
maka ditamparnya pipi Suto tidak terlalu keras.
Plaak...! Suto sengaja tidak menangkis dan tidak
menghindar, ia justru semakin tertawa geli.
"Aku bersungguh-sungguh, Suto. Aku benar-benar takut."
Kata-kata itu diucapkan sangat pelan dan dengan
wajah sedih, penuh kecemasan. Akhirnya Suto Sinting mencoba memahami perasaan
Pelangi Sutera, ia tahu
wanita itu amat mencintainya dan berharap dapat hidup bersamanya. Sekalipun Suto
tetap ingat pada calon
istrinya: Dyah Sariningrum, tapi Suto menghargai
perasaan seorang wanita seperti Pelangi Sutera itu. Maka ia pun berkata dengan
nada bersungguh-sungguh.
"Percayalah, aku tidak akan terpikat oleh perempuan itu. Aku mampu
menghindarinya, Pelangi Sutera."
Tapi perempuan itu gelengkan kepala dan berkata,
"Aku sangsi...."
Suto Sinting menarik napas panjang. "Baiklah. Kau sangsi atau tidak aku tetap
harus ke sana dan
membebaskan Ki Gendeng Sekarat!"
"Suto...!"
"Aku tak bisa berlama-lama diam di sini sementara nyawa Ki Gendeng Sekarat
sedang di ujung lidah
perempuan itu!" kata Suto sambil segera melangkah menuju benteng tersebut.
Kecemasan Pelangi Sutera
semakin kuat, sehingga dengan gerakan cepat
perempuan itu tiba-tiba sudah berdiri menghadang
langkah Suto Sinting.
"Kalau kau nekat ke sana, aku terpaksa
melumpuhkanmu, Suto!" ancamnya dengan suara
dingin. "Aku tak mau. Aku pasti akan melawanmu, Pelangi Sutera!"
"Baik. Kalau begitu kita coba siapa yang unggul dalam pertarungan kita!"
Slaaap...! Tiba-tiba gerakan tangan Pelangi Sutera bagaikan melemparkan senjata
rahasia ke dada Suto
Sinting. Tapi yang keluar dari lemparan tangannya itu adalah sinar kuning
berbentuk bintang berputar.
Kecepatan lemparan sinar itu sangat tinggi. Suto Sinting
tak sempat menghindar dan menangkis. Akibatnya sinar kuning itu memang mengenai
dada Suto Sinting.
Duuub...! "Uuuffh...!" Suto Sinting mengejang dengan mata terpejam kuat. Tubuhnya
melengkung, kedua tangannya mendekap dada. Napasnya bagaikan tersumbat di dalam
dada. Kerongkongannya seakan kering dan lengket, tak bisa bersuara.
Baru sekarang Suto Sinting menerima serangan
secepat itu. Lebih cepat dari loncatan kilat. Lebih cepat dari tarikan napas.
Dan jurus itu sangat aneh. Tubuh Suto menjadi lemas. Lemas sekali. Matanya
berkunang-kunang. Untuk menggerakkan jemarinya saja tak
mampu. Akhirnya Suto Sinting jatuh terkulai.
Bruuuk...! Punggungnya tak bisa dipakai untuk
duduk. Tulang punggung sepertinya hilang sama sekali.
Urat-urat dalam tubuhnya bagaikan putus semua.
Bruuuk...! Suto terpuruk, mirip cucian basah jatuh dari jemurannya. Tapi otaknya
masih berjalan, kesadarannya masih ada. Matanya masih bisa berkedip-kedip, hanya
saja kekuatannya bagaikan dikebiri, lenyap tanpa bekas sedikit pun dari dirinya.
"Maafkan aku, Suto," Pelangi Sutera mendekat dan berwajah sedih. Tangannya
mengusap-usap rambut Suto setelah ia berlutut di depan pemuda tampan itu.
"Maafkan aku, karena kau bandel dan aku tak punya cara lain! Aku terpaksa
menggunakan jurus 'Anak
Rembulan' supaya kau tidak bisa menemui Ratu Tanpa
Tapak itu. Kau akan lumpuh selama belum mendapat
seranganku kembali. Aku akan menyerangmu
menggunakan jurus 'Lidah Mentari' untuk membakar
kekuatanmu agar pulih lagi. Tetapi itu nanti, setelah aku berhasil membebaskan
orang yang kau anggap seperti
ayahmu sendiri itu. Aku sendiri yang akan
menyelamatkan Ki Gendeng Sekarat, Suto. Aku terpaksa melawan cucuku sendiri demi
menyelamatkan hatimu
dari jeratan ilmu 'Serap Sukma Asmara' milik Nila
Cendani!" Sebenarnya ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh
Suto Sinting, tapi lidahnya bagaikan tak bisa digerakkan sama sekali. Lidah itu
lemas tak punya urat. Akhirnya Suto hanya diam saja, matanya berkedip-kedip
memperhatikan wajah Pelangi Sutera yang penuh sesal dan kegeraman.
Wanita cantik ibu anak jin itu pergi bagaikan anak panah yang melesat dari
busurnya. Arahnya menuju
benteng hitam itu. Tapi otak Suto masih sempat berpikir dalam kecemasan.
"Jika dia kalah melawan Ratu Tanpa Tapak, jika dia mati, lantas bagaimana nasib
Ki Gendeng Sekarat"
Bagaimana dengan nasibku ini"! Hanya dia yang bisa pulihkan kekuatanku dengan
jurus 'Lidah Mentari'. Tapi kalau dia mati, siapa yang akan lepaskan jurus
'Lidah Mentari' kepada diriku" Tak ada. Dan itu berarti aku akan lumpuh selama-
lamanya! Celaka! Apakah dia bisa unggul melawan Ratu Tanpa Tapak?"
* * * 9 PADA saat itu, Ki Gendeng Sekarat sudah berhasil
dilumpuhkan oleh Ratu Tanpa Tapak. Ketika di kamar
tidur sang Ratu, Ki Gendeng Sekarat berhasil diserang dengan dua jurus jebakan.
Empat jari tangan Nila
Cendani disentakkan, maka melesatlah empat larik sinar hijau dari masing-masing
ujung jari berkuku runcing itu.
Arahnya sengaja sedikit ke kanan, supaya Ki Gendeng Sekarat menghindar ke kiri.
Sraab...! Dugaan Nila Cendani benar. Ki Gendeng Sekarat
berguling di atas ranjang ke arah kanan. Tapi pada saat itu juga Nila Cendani
sentakkan keempat jari kanannya yang memancarkan empat larik sinar putih perak
berkilauan. Sraaab...! Arahnya lebih ke kiri dari tubuh Ki Gendeng Sekarat,
sehingga ketika Ki Gendeng Sekarat menghindari ke kiri, maka ia terperangkap
sinar putih perak itu.
Jraaab...! "Uuhg...!"
Tubuh Ki Gendeng Sekarat mengejang dengan kepala
terdongak menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
Tubuh itu menjadi kaku dan kejang sekali. Nila Cendani segera memanggil
pengawalnya. "Tangkap dan ikat dia dengan akar Serat Hantu!"
perintah sang Ratu.
Dalam beberapa waktu, keadaan kejang itu sudah
menjadi kendor. Ki Gendeng Sekarat memang hanya
mengalami kekakuan sesaat. Jurus sinar perak tadi
memang berguna hanya untuk melumpuhkan lawan,
bukan untuk membunuh. Tetapi sekalipun keadaan Ki
Gendeng Sekarat sudah menjadi seperti biasa, namun ia tak dapat berbuat apa-apa,
karena kedua tangannya
dikebelakangkan dan diikat dengan akar Serat Hantu.
Akar Serat Hantu adalah tali dari jenis tanaman yang mengandung racun. Semakin
lama menempel di kulit
tubuh, maka orang tersebut akan mengalami perasaan
takut kepada siapa pun. Terbukti semakin lama terikat dengan akar itu, Ki
Gendeng Sekarat semakin deg-degan dan memandang siapa saja dengan rasa takut.


Pendekar Mabuk 026 Ratu Tanpa Tapak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bahkan ia tak berani menatap ratu yang cantik itu, karena
kecantikan tersebut dianggapnya sesuatu yang amat
menakutkan. Tak heran jika napas Ki Gendeng Sekarat terengah-engah terus karena
diliputi perasaan takut.
"Pancung dia di pelataran depan!" perintah Ratu Tanpa Tapak kepada para
pengawalnya, lalu kedua
orang pengawal segera membawa Ki Gendeng Sekarat
ke pelataran depan istana. Ki Gendeng Sekarat ketakutan melihat dua pengawal
yang membawanya.
"Tidak! Tidak! Jangan dekati aku! Aku takut pada beruang! Takuuut...!"
Plook! Wajah itu ditampar seenaknya oleh seorang
pengawal. "Aku bukan beruang, Goblok!"
"Jangan! Jangan! Aku takuuut...!" teriak Ki Gendeng Sekarat sambil meronta-
ronta. Biasanya ia tak pernah punya rasa takut, apalagi sampai berteriak-teriak
begitu. Bahkan ketika menuruni tangga serambi istana, Ki
Gendeng Sekarat yang menundukkan wajahnya menjadi
menjerit dan melompat-lompat,
"Aaaa...! Takuuut...! Takuuut...! Ada semut dua ekor mau mengeroyokku!
Uwaaa...!" Ia semakin meronta-ronta menghindari dua ekor mata semut yang menurut
penglihatannya amat besar dan ingin mencaplok
kakinya. Tentu saja hal itu menjadi bahan tertawaan orang-orangnya Nila Cendani
yang siap menyaksikan
hukum pancung di pelataran istana.
Di sana sudah ada dua tiang pengikat tangan orang
yang akan dipancung. Tetapi karena keadaan Ki
Gendeng Sekarat harus tetap berlilitkan akar Serat
Hantu, maka Ki Gendeng Sekarat tidak jadi diikatkan pada dua tiang, melainkan
seluruh tubuhnya disuruh
merendah dan diikat pada satu tiang saja dalam keadaan berlutut. Lalu sebatang
kayu menekan punggungnya
supaya merunduk. Dengan begitu, leher Ki Gendeng
Sekarat mudah terpancung oleh algojo yang ditugaskan.
Algojo itu mengenakan kain selubung penutup kepala
warna hitam, bagian atasnya runcing, yang terlihat hanya bagian matanya saja. Ki
Gendeng Sekarat sempat
berteriak ketakutan.
"Jangaaan...! Huaaww...! Jangan dekatkan aku
dengan setan pocong! Aku takut! Takuuut...!"
Yang lain tertawa mendengar algojo dikatakan setan
pocong. Algojo sendiri sebenarnya tertawa geli, tapi karena mulutnya tertutup
selubung hitam maka tak
diketahui bahwa ia ikut menertawakan sang tawanan.
Sedangkan Ratu Tanpa Tapak hanya tersenyum sinis,
siap memperhatikan hukuman pancung dilaksanakan.
Sang Algojo menunggu perintah pancung dari ratunya.
Pedang besar sudah siap di tangan, ia berdiri dengan kaki sedikit merenggang.
Ki Gendeng Sekarat sempat melirik kepada pedang
yang putih besar berkilauan, ia sempat merintih
ketakutan dalam keadaan tertunduk.
"Oh, gigi siapa itu yang dibawa-bawanya. Besar sekali! Ooh... aku takut sekali
pada gigi itu. Singkirkan gigi itu, Ratuuu...!"
Gelak tawa mereka sengaja dibiarkan oleh sang Ratu, karena setiap orang yang
diikat dengan akar Serat Hantu memang tingkah ketakutannya menggelikan. Setelah
tawa itu mereda, Ratu Tanpa Tapak pun segera berkata dengan suara keras dan
tegas. "Demi membalas kematian dua utusan kita yang
hampir mendapatkan keris pusaka Setan Kobra itu, maka orang ini layak dihukum
mati dengan dipancung. Inilah satu bukti, bahwa aku; Ratu Tanpa Tapak, akan
selalu melindungi orang-orangku dari gangguan siapa pun."
Setelah itu, Ratu Tanpa Tapak memandang algojo
dan berseru, "Laksanakan!"
Algojo mengangguk, lalu mengangkat pedang
besarnya. Pada saat pedang terangkat tinggi-tinggi dan siap diayunkan, tiba-tiba
seberkas sinar merah
menyerupai ujung anak panah melesat cepat dan
menembus dada sang algojo.
Wuuut...! Sraab...!
Blaaarr...! Seluruh orang menjerit dan menjadi panik melihat
tubuh sang Algojo pecah. Ki Gendeng Sekarat sendiri berteriak-teriak sangat
ketakutan. Beberapa pasang mata tertuju ke atas benteng, ternyata di sana telah
berdiri seorang perempuan yang mengenakan jubah ungu tua
dengan pedang di punggung dibungkus kain beludru
warna ungu pula.
"Serang dia!" teriak Sabit Guntur yang berdiri di samping kanan Nila Cendani.
"Heeaaaahhhh...!" semua menyerang Pelangi Sutera dengan senjata dan tenaga dalam
masing-masing. Tetapi wanita muda itu cepat menghilang, tahu-tahu berada di
samping Ki Gendeng Sekarat. Pedangnya dicabut, dan
ditebaskan dengan cepat ke arah Ki Gendeng Sekarat.
Wes, wes, wes, wes, wuuut...! Tras...!
Dalam gerakan pedang yang begitu cepat, semua tali
yang mengikat Ki Gendeng Sekarat telah terputuskan. Ki Gendeng Sekarat bebas
dari pengaruh akar Serat Hantu.
Ia segera terbelalak melihat Pelangi Sutera yang
dikenalinya itu.
"Sumbaruni..."!"
"Habisi mereka, Gendeng Sekarat! Jangan bengong saja! Hiaaat...!"
Pertarungan pun terjadi dengan seru. Ki Gendeng
Sekarat mendampingi Samburani menyerang mereka.
Tak satu pun ada yang mampu melukai atau memukul
jatuh kedua tokoh tua tersebut. Tetapi mereka berdua tidak bisa menyerang Ratu
Tanpa Tapak, karena mereka berdua sudah bukan perawan dan perjaka lagi.
Akibatnya mereka hanya terdesak beberapa kali oleh
serangan Ratu Tanpa Tapak yang menggunakan jurus-
jurus berbahaya. Tiga tiang utama istananya sendiri sempat hancur menjadi debu
karena serangannya yang
dihindari oleh Pelangi Sutera.
"Monyet busuk! Bagaimana dia bisa masuk ke
bentengku"!" pikir Nila Cendani memandangi
Sumbaruni. Ratu Tanpa Tapak tidak tahu kalau semua
penjaga di pintu gerbang sudah dilumpuhkan oleh
Pelangi Sutera terlebih dulu, sehingga wanita itu dapat dengan mudah melompat
naik ke dinding benteng dan
menggagalkan acara hukuman pancung tersebut.
Kini lebih dari tiga puluh orang terkapar tanpa nyawa karena amukan Ki Gendeng
Sekarat dengan Pelangi
Sutera. Sabit Guntur sendiri yang tangannya buntung juga mati di tangan Ki
Gendeng Sekarat dengan tebasan kipas putihnya. Sementara itu Nila Cendani
semakin murka, menyerang mereka berdua dengan melayang
tanpa menginjak tanah sejak tadi. Ki Gendeng Sekarat sempat terjungkir baik ke
belakang ketika ia mencoba menahan pukulan sinar hijau dari mata Nila Cendani.
Pukulan itu amat kuat dan berbahaya, membuat Ki
Gendeng Sekarat hampir saja mati membeku jika tidak menahannya memakai bentangan
kipas putihnya. Tetapi sebagai akibat, ia terlempar dan terkapar dalam jarak
sepuluh langkah dari tempatnya. Telinga dan hidungnya mengucurkan darah segar.
Sedangkan Pelangi Sutera
masih menebaskan pedangnya ke sana-sini. Tebasan
pedangnya itu seperti kilasan angin yang tak diketahui datangnya, tak didengar
suaranya, tiba-tiba saja
korbannya merasakan hawa dingin pada tubuhnya. Tahu-tahu kepalanya jatuh dari
raga, atau dadanya robek, tembus dan sebagainya. Bahkan ada yang masih sempat
melakukan lompatan menyerang tanpa disadari bahwa
kedua kakinya telah ditebas buntung oleh pedang
ungunya Pelangi Sutera.
"Sumbaruni!" sentak Nila Cendani. "Hentikan tingkah keparatmu itu, Setan!"
Pelangi Sutera menghentikan serangannya, ia
memandang dengan senyum sinis. Anak buah Nila
Cendani tinggal beberapa gelintir manusia saja.
Mungkin hanya delapan atau sembilan orang yang masih hidup tanpa luka. Mereka
berada di belakang Ratu Tanpa Tapak. Siap menyerang kapan saja perintah datang.
"Apa maksudmu ikut campur urusanku ini, hah"!"
bentak Nila Cendani.
Sumbaruni hanya menjawab dengan sinis, "Aku
hanya ingin membebaskan si Gendeng Sekarat ini!"
"Apa urusanmu dengannya?"
"Tidak ada!"
"Kalau begitu kau memang cari penyakit dengan
mendatangi kekuasaanku ini!"
"Nila Cendani, pandanglah aku. Siapa diriku
sebenarnya" Mengapa kau masih bersikap keras di depan nenekmu ini"! Kembalilah
ke jalan yang benar, Nila
Cendani! Kau boleh tempati gunung ini tapi lakukanlah kebaikan!"
"Persetan dengan nasihatmu! Aku harus menjadi
penguasa dunia! Siapa pun tak boleh menentang
kehendakku. Tak peduli kau adalah nenekku, kalau kau menentang keinginanku, kau
harus kumusnahkan,
Sumbaruni!"
"Sayang sekali jiwamu benar-benar sesat!"
"Peduli apa denganmu! Kalau kau memang mau
menentangku, coba lukai aku! Coba sentuh diriku!"
"Sesumbarmu seperti kaleng rombeng! Jangan kau pikir tak ada orang yang mampu
melukaimu. Nila
Cendani!" "Hmmm...! Aku tahu kau sudah tak perawan lagi!
Kau sudah beranak dan ke mana anakmu itu" Si anak jin itu akhirnya berkhianat
padaku dan menjadi menuruti perintahmu, bukan" Hmmm...! Aku dapat
meneropongnya dari sini, Sumbaruni. Sekali aku
bertemu dengannya, maka ia tak akan selamat dari
tanganku!"
Sumbaruni merasa dibakar darahnya mendengar
anaknya diancam, ia segera melepaskan pukulan dari
tangan kirinya, berupa percikan sinar warna-warni
seperti pelangi. Tetapi sinar-sinar itu tak ada yang mengenai tubuh Nila
Cendani, bahkan menyimpang
pecah mengenai empat anak buah Nila Cendani yang
semuanya menjadi pecah tanpa serpihan daging dan
tulang lagi kecuali semburan darah kental ke sana-sini.
Ratu Tanpa Tapak kian murka, ia mencabut kipas
berbulu merak yang terselip di pinggang belakang. Kipas itu ditebaskan.
Wuuuut...! Maka ratusan jarum beracun memancar menyebar. Srrraabb...! Jruuub...!
"Auhg...!"
"Aaahg...!"
Jarum-jarum yang bergerak bagaikan angin itu
menancap di tubuh Pelangi Sutera dan Ki Gendeng
Sekarat. Seketika itu pula tubuh mereka menggigil dan membiru. Pori-pori kulit
mereka melebar dan
mengeluarkan cairan merah darah.
"Kita harus lekas pergi dari sini, Sumbaruni!" bisik Ki Gendeng Sekarat dengan
menahan sakit di sekujur
tubuhnya. "Kita tak akan bisa melukainya!"
Wuuut...! Wuuut...!
Pelangi Sutera segera melesat pergi mendengar usul
Ki Gendeng Sekarat, dan Ki Gendeng Sekarat sendiri
ikut melesat menyamai kecepatan gerak Pelangi Sutera.
Pintu gerbang ditabraknya. Duaaar...! Jebol menjadi kepingan-kepingan besi
bercampur kayu.
Tetapi kekuatan gerak mereka terbatas, tenaga
mereka telah direnggut racun ganas. Begitu mereka tiba di depan pintu gerbang
dalam jarak dua puluh langkah, mereka berdua saling berjatuhan. Tubuh mereka
semakin merah karena penuh cairan darah yang keluar dari pori-pori tubuhnya.
"Gendeng... aku tak kuat," ratap Pelangi Sutera ketika jatuh tersungkur dan
mencoba merangkak untuk bangun.
Ki Gendeng Sekarat pun terpelanting jatuh karena
tenaganya bagaikan hilang.
"Hi, hi, hi, hi...!" terdengar tawa Ratu Tanpa Tapak yang menyusul keluar
bersama sisa anak buahnya.
"Kalian tak akan bisa hidup lebih dari seratus hitungan!
Jarum 'Pengikis Jantung' mempunyai racun yang tak
mudah ditawarkan. Tapi ada baiknya daripada kalian
terlalu lama menunggu ajal. Akan kupercepat dengan
jurus pembantaiku ini! Hiaaaat...!
Wuuut...! Sinar merah meluncur dari mata Nila
Cendani. Sinar merah itu semula berbentuk lidi kecil, tapi makin jauh makin
menyebar lebar dan menghantam tubuh Ki Gendeng Sekarat dengan Pelangi Sutera.
Hanya saja, sebelum kedua sinar yang terlepas dari
kedua mata Nila Cendani itu sampai di tubuh mereka
berdua, seberkas sinar ungu melesat dan menghantam
kedua sinar merah tersebut secara melintas cepat dari samping kanan.
Blaaar...! Glegaaarrr...!
Bunyi ledakan itu luar biasa dahsyatnya. Tubuh Ki
Gendeng Sekarst dan Pelangi Sutera sama-sama
terpental dan terguling-guling di rerumputan. Tapi yang lebih aneh lagi, tubuh
Ratu Tanpa Tapak pun terlempar ke belakang dan sempat berjungkir balik sampai
jatuh tersungkur di tanah belakangnya, ia segera bangkit
dengan merasa heran mengalami peristiwa seperti itu.
Matanya segera memandang mencari penyerang yang
menggunakan sinar ungu itu. Ketika pandangan matanya menemukan sesosok pemuda
tampan berdiri tegak
dengan baju coklat tanpa lengan, Ratu Tanpa Tapak itu terperangah dan berdebar-
debar hatinya. Sedangkan saat itu, Pelangi Sutera yang masih bertahan untuk bisa
bangkit walau dengan setengah merangkak, segera
serukan gumam keheranannya. "Suto..."!"
Tentu saja Pelangi Sutera merasa terheran-heran,
sebab ia tak menyangka kalau Suto bisa pulih seperti sediakala, padahal mestinya
harus dihantam dengan
jurus 'Lidah Mentari' dulu supaya kekuatannya pulih kembali. Tapi ternyata tanpa
pukulan itu Pendekar
Mabuk sudah bisa berdiri tegak dan pulih seperti
sediakala. Pelangi Sutera menyangka saat itu Suto masih terpuruk lunglai tanpa
daya di bawah pohon.
Di samping Suto Sinting berdiri seorang bocah
berusia sepuluh tahun. Angon Luwak. Apakah bocah itu yang sembuhkan Suto dan
pulihkan kekuatan si
Pendekar Mabuk itu" Rasa-rasanya tak mungkin,
menurut Pelangi Sutera. Jurus 'Anak Rembulan' tak ada yang bisa menyembuhkan
kecuali orang yang punya
pukulan 'Lidah Mentari'. Sedangkan orang yang punya jurus 'Lidah Mentari' tak
ada lainnya kecuali dirinya sendiri.
Pelangi Sutera tidak tahu bahwa kehadiran Angon
Luwak telah menyelamatkan Suto Sinting dari pengaruh jurus 'Anak Rembulan'.
Bocah itu tahu keadaan Suto
yang lemas pasti karena sakit. Tapi ia tak tahu sakit apa yang diderita Suto
sebab Suto tidak bisa kasih penjelasan padanya. Namun bocah itu punya gagasan
untuk meminumkan tuak dari bumbung ke mulut Suto. Sebab
ia pernah melihat Suto mengobati Raja Maut dengan
cara seperti itu. Tuak tersebut mempunyai kekuatan


Pendekar Mabuk 026 Ratu Tanpa Tapak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dahsyat melebihi pukulan 'Lidah Mentari'. Dengan
meminum tuak itu, meka kekuatan Suto menjadi pulih
kembali dan badannya menjadi lebih segar.
Kini kecemasan Pelangi Sutera bukan terletak kepada
mati-hidupnya Pendekar Mabuk, melainkan terletak
pada hati si pendekar tampan itu. Ketika Suto
meminumkan tuaknya ke mulut Pelangi Sutera dan Ki
Gendeng Sekarat, wanita cantik berhati jahat yang ingin menguasai dunia itu
sedang berusaha bangkit dengan
dibantu sisa anak buahnya yang masih perjaka. Hanya ada dua orang yang masih
perjaka, sehingga bisa
menyentuh Ratu Tanpa Tapak. Dan agaknya karena
sinar ungunya Suto tadi, sang Ratu Tanpa Tapak kali ini terpaksa menapakkan
kakinya ke tanah sebab ia
mengalami luka panas di bagian urat nadinya.
"Oh, pemuda itu..."! Ketampanannya sangat
menggiurkan hatiku, kegagahannya sangat menarik
perhatianku. Sebaiknya kuusahakan untuk berdamai saja dengannya dan aku bisa
menarik hatinya untuk menjadi pelayan cintaku...," pikir Ratu Tanpa Tapak yang
sudah kehilangan banyak anak buah itu.
"Sut... Suto... hati-hati, dia memandangimu dengan aneh," bisik Pelangi Sutera.
Tetapi Pendekar Mabuk hanya tersenyum dan berkata lirih,
"Sudah kupersiapkan perisai penolak ilmu cinta segala macam. Kau tak perlu
khawatir. Akan kutangani dia!"
"Hati-hati, Suto," ujar Ki Gendeng Sekarat yang sedang menunggu pulihnya
kekuatan karena ia sudah
meneguk tuak beberapa kali.
Suto Sinting tampil ke depan, sengaja berjalan
mendekati Ratu Tanpa Tapak. Sang Ratu tersenyum
nakal, ia mulai mengigit bibirnya. Tapi serta-merta Suto
segera lepaskan pukulan mautnya. Jurus 'Surya Dewata'
dari kedua tangan yang memancarkan sinar ungu
menghantam tubuh Nila Cendani dengan amat cepat.
Claaap...! Blaaarrr...!
"Aaahg...!" Ratu Tanpa Tapak terpekik tertahan.
Tubuhnya terpental sampai membentur sisi gerbang.
Duuurrr...! Benteng itu berguncang nyaris roboh karena benturan tubuh sang Ratu.
Bagian atas benteng ada yang rontok sebagian. Jika bukan ilmu yang dahsyat yang
melayangkan tubuh cantik itu, tak mungkin benteng
sekokoh itu bisa bergetar sedemikian rupa. Jika bukan orang berilmu tinggi, tak
mungkin pula Nila Cendani akan terlempar sejauh itu. Pasti dia akan pecah dan
mati seketika. Tak sampai bergeser sejengkal pun. Tapi
karena Nila Cendani orang berilmu tinggi, maka pukulan
'Surya Dewata' hanya membuatnya terpental terbang dan berdarah di bagian
kepalanya, hidung, telinga, mulut, dan lubang tubuh lainnya.
Ia masih hidup. Masih bisa berdiri dengan
sempoyongan. Masih bisa berteriak nyaring dan keras sekali,
"Sokobumiii...! Keluar dari tempatmu!"
Kejap berikutnya, tembok tebal yang menjadi dinding benteng itu jebol diterjang
sesosok tubuh dari dalam.
Tubuh yang mampu melesat menjebol tembok benteng
sekeras itu adalah tubuh kurus, berambut panjang
sepinggang, berkuku runcing, itulah jazad dari almarhum Sokobumi yang telah
dihidupkan lagi oleh Nila Cendani menggunakan sumber kekuatan inti orang lain.
"Suto! Biar kami yang hadapi!" teriak seseorang yang ternyata Ki Lumaksono. Ia
dan Ki Parandito sempat
tersesat jalan dan tiba di tempat ketika Nila Cendani terlempar tadi.
Kedua tokoh tua itu segera melesat mendekati Suto.
"Biar kami yang hadapi, supaya kami tak sakit hati jika beliau terluka!"
Tapi baru saja mereka bersepakat begitu, Sokobumi
melepaskan serangannya berupa puluhan bintang yang
menyerang kedua tokoh tua dan Suto Sinting. Puluhan bintang itu tentu saja
berkekuatan tenaga dalam sangat tinggi. Gerakannya sangat cepat dan nyaris tidak
terlihat lagi. "Awas...!" teriak Suto sambil menendang dengan kedua kaki ke kiri dan ke kanan
secara serempak.
Tendangan itu mengenai tubuh Ki Lumaksono yang ada
di kirinya dan Ki Parandito yang ada di kanannya.
Akibatnya mereka berdua terlempar jauh dan terhindar dari puluhan bintang
berbahaya itu. Sedangkan untuk menyelamatkan dirinya, Suto segera mengibaskan
bumbung tuaknya ke depan. Wuuut...! Srrraaabbb...!
Bumbung itu bagaikan mempunyai tenaga magnit.
Bintang-bintang itu menjadi mengarah ke bumbung
bambu tersebut. Semuanya menuju bambu tuak, tapi
tidak sampai menancap. Bintang-bintang itu membalik arah setelah saling memantul
di kulit bambu. Traaak...!
Praaaffs...! Bintang-bintang itu menjadi lebih besar dari ukuran semula dan kecepatan
geraknya melebihi kecepatan
semula. Sokobumi tampak kebingungan menangkis
bintang-bintang yang kembali ke arahnya dengan
menggunakan sehelai ilalang yang dicabutnya.
Trang, trang, triing...! Traang...! Jrab, jrab, trang...!
Jrruub...! Ilalang yang dijadikan pedang memang mampu
menangkis beberapa bintang, tetapi lebih dari tujuh bintang menancap di tubuh
Sokobumi. Bintang-bintang yang menancap itu akhirnya meledak secara bersamaan
dan membuat tubuh Sokobumi hancur berkeping-keping, tak mungkin bisa
dibangkitkan lagi dengan kekuatan apa pun.
Blaaarrr...! "Guruuu..,!" teriak Ki Lumaksono dan Ki Parandito secara bersamaan.
Sementara itu, Ratu Tanpa Tapak terperanjat kaget
bukan kepalang melihat kehebatan ilmu pemuda tampan itu. Tapi ia menjadi
ketakutan dan segera melarikan diri sambil berseru,
"Tunggu pembalasanku setelah kudapatkan Keris
Setan Kobra...!"
"Jangan lari kau, Cantik!" teriak Suto Sinting, lalu segera mengejarnya.
Pelangi Sutera pun berseru tegang, "Tidaaak...!
Jangan kejar dia, Sutooo!"
Tetapi Pendekar Mabuk murid si Gila Tuak itu tetap
mengejar dengan kecepatan melebihi melesatnya anak
panah, ia tak peduli seruan Sumbaruni, juga tak peduli dengan ratapan kedua
tokoh tua; Pawang Gempa dan
Juru Bungkam itu. Ki Gendeng Sekarat segera bangkit, keadaannya lebih baik. Ia
segera terkejut begitu melihat Angon Luwak bergegas mau mengikuti Suto.
"Angon Luwak! Jangan kejar dia!"
"Tapi..., bagaimana jika Kang Suto dilawan memakai Keris Setan Kobra, Guru?"
"Keris"! Oh, bahaya! Memang bahaya kalau Nila
Cendani berhasil dapatkan keris pusaka itu. Dia bisa mati tanpa jasad sedikit
pun!" gumam Ki Gendeng Sekarat. Lalu, Sumbaruni segera berkata,
"Kita harus susul dia! Jangan sampai dia terpikat oleh jeratan cinta Nila
Cendani!" "Cinta, cinta...! Keris itu sangat berbahaya!" bentak Ki Gendeng Sekarat.
"Keris tidak berbahaya! Cinta yang berbahaya! Cinta melebihi senjata apa pun,
baik kekuatannya maupun
bahayanya!"
Setelah berkata demikian, Sumbaruni segera melesat
pergi dengan kecepatan gerak mengimbangi Suto
Sinting. Ki Gendeng Sekarat mau tak mau segera berlari menyusulnya. Angon Luwak
hanya tertegun bengong,
memandang anak buah Ratu Tanpa Tapak yang lari
pontang-panting ke berbagai arah, memandang kedua
tokoh tua yang menangisi kehancuran jasad jenazah
gurunya, Sokobumi, juga memandang kepergian Ki
Gendeng Sekarat dan Pelangi Sutera.
Bocah itu hanya berkata lirih pada dirinya sendiri,
"Mereka mencari keris milik Ki Empu Sakya! Apakah mereka tahu di mana Ki Empuk
Sakya menyembunyikan
Keris Setan Kobra itu" Aku tak yakin mereka bisa
menemukannya. Tapi seandainya mereka mau
membawaku pergi, aku yakin mereka berhasil
mengetahui letak keris itu disembunyikan oleh Ki Empu Sakya!"
Angon Luwak berjalan pelan-pelan sambil
memandangi kedua tokoh tua yang masih menangisi
kehancuran jenazah gurunya itu.
SELESAI PENDEKAR MABUK Segera menyusul:
KERIS SETAN KOBRA
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Undangan Maut 3 Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Tongkat Rantai Kumala 1
^