Pencarian

Keris Setan Kobra 2

Pendekar Mabuk 027 Keris Setan Kobra Bagian 2


yangberbahaya jika melukai kulit tubuh manusia.
Belum sempat Suto mengembalikan senjata tersebut,
dari dua arah yang berlawanan muncul pisau terbang lagi yang kecepatan geraknya
sama. Slaab... slaab...!
Seketika itu pula Suto Sinting lompatkan badan dan
bentangkan kedua tangan dalam keadaan melempar dua
senjata rahasia yang terselip di kedua tangannya itu.
Wuuut...! Ziing, ziing...!
Rupanya Suto membubuhkan tenaga dalam tinggi
pada dua bintang segi enam itu, sehingga ketika kedua benda tersebut membentur
pisau-pisau terbang,
terjadilah ledakan yang cukup lumayan besarnya.
Duaar...! Daaar...! Nyala api memercik lebar dan
kepulan asap membubung tinggi dari benturan benda
tersebut. Gelombang ledakannya sempat mematahkan
ranting-ranting pada pohon di sekitar terjadinya benturan tersebut. Sementara
itu, Suto Sinting kembali berdiri tegap dengan bumbung tuak masih ada di
belakang, tergantung di pundak.
"Sedikitnya ada empat orang yang berada di sini.
Mereka menyebar di empat tempat. Aku harus lebih hatihati lagi," pikir Suto
Sinting. "Agaknya mereka tak mau kuabaikan. Mereka ingin kulayani. Baiklah, akan
kuturuti keinginan mereka."
Tentunya secara diam-diam lawan menjadi jengkel
karena serangan gelapnya mampu dipatahkan Suto
Sinting. Terutama orang yang kejatuhan dahan tadi, pasti hatinya sangat
penasaran untuk membalas tingkah
Pendekar Mabuk. Tak heran jika orang itu keluar dari
persembunyian lebih dulu, setelah itu disusul oleh
teman-temannya yang lain.
Orang itu keluar dengan kepala berdarah karena
kejatuhan dahan. Wajahnya tampak bengis, matanya
memandang tajam, penuh nafsu membunuh. Bajunya
yang berwarna kuning itu basah oleh darah, terutama
bagian kiri, karena rupanya bagian kepala yang bocor itu cenderung di sebelah
kiri, atas telinga.
Suto Sinting hanya tersenyum tipis melihat empat
orang dalam kedudukan mengepung dirinya dari empat
arah. Mereka bertubuh kekar dan berwajah angker.
Pandangan mata mereka dingin dan sikap mereka sangat
jelas bermusuhan. Tetapi Pendekar Mabuk justru
menyempatkan diri untuk meneguk tuaknya dengan
santai. Pada saat ia meneguk tuak dengan mengangkat
bumbung memakai satu tangan, seseorang yang ada di
belakangnya mencoba memanfaatkan keadaan itu untuk
melemparkan pisau dengan cepat. Wuuut...!
Orang itu menduga keadaan tersebut adalah
kesempatan yang baik untuk menyerang karena
dianggapnya Suto sedang lengah. Orang itu tak menduga jika Suto Sinting punya
gerakan cepat dalam
menurunkan bumbung tuak dan berbalik dengan cepat
pula. Pisau itu ditangkis dengan bumbung tuak,
Trangg...! Dan pisau itu kembali arah dengan kecepatan tinggi dari dilemparkan
tadi. Orang tersebut kaget dan
mendelik, ia kebingungan menghindari pisaunya sendiri.
Akhirnya, jeebb...! Pisau menancap di bawah pundak
kanan. "Aahg...!" orang itu memekik sambil menyeringai.
Tubuhnya jadi gemetar. Kulitnya mulai memerah.
Rupanya pisau itu beracun ganas. Suto tak menyangka
sama sekali. Orang tersebut akhirnya jatuh terkapar dengan mengerang-erang.
"Bangsat!" teriak orang berkepala gundul dengan kumis lebat sekali itu. "Kau
telah celakai teman kami, Iblis Busuk!" Orang itu bergegas makin dekat.
"Maaf, bukan aku yang melemparkan pisau, tapi dia!"
"Tapi kenapa kau tangkis pakai bumbung tuakmu itu, hah"!"
"Karena aku tak mau kena pisaunya. Kalau kau mau silakan saja!" jawab Suto
Sinting seenaknya. Orang itu menjadi menggeram penuh luapan kemarahan. Golok
panjangnya segera dicabut dari sarungnya. Sreeet..! Tapi temannya yang
mengenakan rompi merah berhias
benang kuning membentuk gambar kalajengking itu
segera berseru sambil memberi isyarat dengan tangan,
"Tahan dulu, Jolegi!"
Suto membatin, "Ooo... si gundul sangar itu bernama Jolegi" Aneh juga nama itu,
seperti nama makanan jajan pasar?" Suto tertawa dalam hati.
Jolegi berkata kepada si rompi merah, "Aku tak sabar ingin membelah kepalanya,
Lawa Abang!"
Lawa Abang yang berompi merah itu berkata, "Tahan dulu! Kalau kau belah
kepalanya, kita tak akan dapat
hasilnya, Bodoh!"
Orang yang terkena pisau itu masih terkapar
mengerang-erang kecil. Kulit tubuhnya kian merah bagai terpanggang api.
Sedangkan seorang teman yang
menolongnya dengan memberikan obat berbentuk
butiran hitam itu segera kembali menemui Suto Sinting.
Orang itu bertubuh kurus, tapi wajah lonjongnya
menampakkan kesan bengis terhadap lawan. Kumisnya
tipis, turun ke bawah sampai dagu. Suto segera
mengambil tempat, sehingga semua lawannya ada di
depannya. "Suto Sinting!" sapa orang berwajah runcing itu.
"Kami pasti tak salah duga, kau bernama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu,
bukan?" "Ya. Kalian siapa?"
Semua diam, seakan saling berserah diri untuk
menjelaskan. Lawa Abang segera berseru kepada si
muka runcing, "Jelaskan sekalian, Musang Hitam!"
Maka orang berwajah runcing dan berkulit hitam itu
pun berkata tegas.
"Kami adalah orang-orang yang tergabung dalam
Partai Bayaran. Kami dibayar untuk dapatkan pusaka
Keris Setan Kobra yang kau rampas dari Ki Empu Sakya
itu, Suto Sinting."
"Kalian salah duga," kata Suto Sinting dengan masih kalem. "Bukan aku yang
membunuh Ki Empu Sakya,
dan aku tidak mempunyai keris pusaka itu!"
"He, he, he, he...!" Musang Hitam terkekeh sinis.
"Kepada orang lain kau boleh mengaku begitu, Anak
Muda. Tapi kepada kami kau tak bisa berkata begitu.
Karena kami tak pernah punya rasa segan untuk
mencacah dan merajang-rajang tubuh orang yang
bermaksud menipu kami, Suto Sinting!"
Dengan mata menatap Musang Hitam yang berusia
sekitar empat puluh tahun itu, Suto Sinting berkata tegas pula.
"Kalian salah sasaran! Carilah pembunuhnya. Jangan termakan hasutan dan fitnah
dari orang tak bertanggung jawab. Aku tidak punya keris pusaka!"
"Terlalu lambat. Musang Hitam!" geram Jolegi.
"Begini caranya memaksa anak angkuh ini. Heaaat...!"
Jolegi melompat menyerang Suto Sinting dengan
jurus goloknya yang berkelebat cepat menebas sana-sini membingungkan lawan.
Tetapi ketika tubuh itu
mendekati Suto Sinting, tahu-tahu sebuah pukulan
bertenaga dalam tinggi tanpa sinar menghantamnya
tanpa tanggung-tanggung lagi. Suara tubuh yang
terhantam itu sampai terdengar oleh teman-teman Jolegi.
Bueeegh...! Wuuus...!
Jolegi terlempar kuat dan cepat. Gusraaak...!
"Auuuhh...!" rintihan itu terdengar kecil, karena Jolegi jatuh jauh dari
tempatnya berdiri semula. Jaraknya lebih dari sepuluh langkah. Wajahnya terbenam
di semak-semak tempatnya bersembunyi tadi. Tentu saja
kedua temannya yang masih dalam keadaan siaga
menjadi terperanjat bengong melihat kekuatan tenaga
dalam yang begitu besar itu. Mereka sangka datang dari Suto, padahal Suto
sendiri membatin, "Siapa yang
menyerangnya" Siapa orang yang membantuku ini?"
Wuuut...! Jleeg...!
Sekelebet bayangan putih melintas di udara, lalu
mendarat dengan sigap. Semua mata terbuka lebar.
Seorang gadis berusia sekitar dua puluh empat tahun
sudah berdiri tegak dengan pakaian putih berhias benang emas. Gadis itu
mempunyai potongan rambut pendek,
seperti potongan lelaki. Justru potongan rambutnya itu yang menampakkan jelas
bentuk kecantikannya yang
menggemaskan. Gadis itu bukan hanya cantik, tapi
manis dan enak dipandang mata. Hidungnya kecil tapi
bangir, bibirnya mungil tapi selalu menimbulkan
bayangan yang enak untuk dikecup. Matanya tak terlalu besar, tapi indah dan
tajam. Dadanya tak terlalu besar, tapi sekal dan menantang gairah.
Suto bukan saja merasa kagum, tapi juga heran,
karena baru sekarang ia melihat sosok gadis cantik
bersenjatakan pedang di punggungnya. Ujung gagang
pedang yang dibalut kain beludru merah itu berbentuk
hiasan bunga mawar yang indah. Dan agaknya hanya
pedang itulah satu-satunya senjata andalan gadis asing berkulit kuning itu.
"Lawa Abang, rupanya sobat muda kita ini punya
simpanan yang bisa kita buat hiburan sejenak, he, he, he...!" ujar Musang Hitam,
tak peduli lagi dengan keadaan Jolegi. Sementara itu, orang yang terkena pisau
dan sedang berusaha melawan racun dengan obat
pemberian Musang Hitam tadi, kini bergegas bangkit
walaupun hanya duduk saja. Matanya memandang lebar
tak berkedip kepada gadis cantik yang baru saja datang itu.
Slaap...! Gadis itu melemparkan sesuatu ke samping kanan
dengan kaki sedikit merendah. Rupanya sebuah senjata
rahasia berbentuk segi tiga dari logam putih mengkilap berukuran kecil. Senjata
rahasianya itu langsung
menancap di leher orang yang sedang melawan racun
dan terbengong memandangnya. Juub...! Begitu senjata
rahasia itu menancap di leher, orang itu langsung
terkapar lagi dan meraung-raung kecil.
"Ahhggrr...! Uugrr....!"
"Sial amat kau. Kadal Gunung. Baru mau melihat
kecantikan sebentar sudah harus berbaring lagi," ujar Lawa Abang sambil menahan
kejengkelan. Suto Sinting hanya melirik memperhatikan gadis
yang berdiri sejajar dengannya, tapi berjarak empat
langkah lebih itu. Sang gadis pun juga melirik sebentar, lalu segera memandang
Lawa Abang dan Musang
Hitam. "Kalian pergi dan jangan ganggu pemuda ini, atau terlibat urusan berat
denganku"!" tantang gadis itu dengan beraninya. Tak ada wajah sangar pada
dirinya. Tak pantas ia menggertak begitu. Sebab itu mereka
mentertawakan. "Sayangilah kecantikanmu, Nona. Jangan berkoar
begitu di depan orang-orang Partai Bayaran!" ujar Lawa Abang.
"Tak perlu kusayangi wajahku, karena ada orang lain
yang akan sayang dengan wajahku ini, Lawa Abang!"
"Hei..."! Kau tahu namaku" Rupanya aku orang
terkenal dan dikagumi wanita cantik sepertimu, ya?"
Lawa Abang bangga diri.
"Aku mendengar percakapan kalian sejak tadi.
Sebelum kalian persiapkan diri untuk mencegah Suto
Sinting, aku sudah lebih dulu bersembunyi di sini!"
"Bagus!" sahut Musang Hitam, ia manggut-manggut seakan merasa senang menghadapi
tantangan gadis
cantik itu. "Apakah kau kekasihnya Suto?"
"Bukan!" jawabnya tegas. "Aku pengagum Pendekar Mabuk!"
"Pengagum?" Lawa Abang memandang Musang
Hitam dengan menahan tawa. "Dia seorang pengagum Pendekar Mabuk" Hua, ha, ha,
ha, ha...! Baru sekarang ada orang mengagumi pembunuh keji dan perampok
benda pusaka! Ha, ha, ha, ha...!"
Slaaap...! Sebutir bola besi putih berukuran sebesar biji salak
dilemparkan oleh gadis itu. Tangannya bergerak sangat cepat ketika mengambil
bola besi putih dari balik
bajunya dan melemparkannya ke depan nyaris tak
terlihat gerakannya. Bola itu tak sempat dihindari dan ditangkis, tahu-tahu
sudah masuk ke mulut Lawa Abang.
Bluuss...! Kontan tawa orang itu diam. Matanya
mendelik. Lehernya dijulurkan. Rupanya bola besi itu
menyumbat tenggorokan dan tidak bergerak turun. Dari
luar terlihat bentuknya yang menonjol sedikit lebih besar dari jakunnya. Lawa
Abang mendelik, mau menelan
susah, mau dimuntahkan susah.
Dan anehnya golok yang ada di tangannya sejak mau
menyerang Suto itu tiba-tiba berkelebat menempel
lehernya. Plaaak...! Golok itu menempel dan sulit
dilepaskan. Lawa Abang tak bisa berseru meminta
tolong pada Musang Hitam, karena tenggorokannya
tersumbat dan tak mampu keluarkan suara. Namun
Musang Hitam yang terheran-heran itu segera membantu
melepaskan golok yang menempel di leher Lawa Abang.
Tanpa diduga-duga trisula yang terselip di pinggang
Musang Hitam itu bergerak keluar dari pinggang dengan sendirinya. Zlaaap...!
Trang! Trisula itu bagaikan
tersedot dan menempel di leher Lawa Abang.
"Apa-apaan ini"!" Musang Hitam mulai berang.
Trisulanya disentakkan. Kini trisula itu tercabut. Hanya saja, untuk dibawa
pergi menjauhi leher Lawa Abang
terasa berat sekali. Musang Hitam bingung
mengendalikan daya tarik yang timbul dari leher Lawa
Abang. Trisulanya berulang kali bergerak kuat ke arah leher Lawa Abang. Hampir
saja menancap di leher itu.
Jolegi datang dengan terhuyung-huyung. Musang
Hitam tambah kaget melihat wajah Jolegi terkelupas
kulitnya. Rupanya pukulan tenaga dalam gadis itu tadi telah menyebarkan hawa
panas tinggi yang mengelupas
kulit wajah Jolegi. Orang itu menggeram penuh dendam
dan kesakitan. Goloknya yang masih tergenggam di
tangan itu tiba-tiba bergerak sendiri ke arah leher Lawa Abang.
Wuuut...! Traaang...! Beradu dengan golok yang
menempel di leher Lawa Abang. Jolegi berusaha
mencabutnya. Tapi begitu berhasil, golok itu kembali tersedot ke leher Lawa
Abang. Bahkan dua pisau yang
masih terselip di pinggangnya itu lompat sendiri ke arah Lawa Abang. Traaang...!
Jruub...! Satu pisau akhirnya menancap walau tak terlalu dalam.
Gelang besi yang dikenakan Jolegi pun tahu-tahu


Pendekar Mabuk 027 Keris Setan Kobra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menempel di leher Lawa Abang. Tangan Jolegi terbawa
pula ke sana. Traak...!
"Edan! Tinggalkan saja dia!" kata Jolegi sambil menyeringai antara kesakitan dan
kebingungan menarik
gelang besinya dari leher Lawa Abang.
"Tidak perlu," bisik Musang Hitam. "Kita bisa serang dari belakang saja!"
Dengan leher penuh senjata dan logam besi, Lawa
Abang dituntun pulang oleh Musang Hitam. Sementara
itu, Jolegi yang sudah berhasil melepaskan gelang dari tangannya dan membiarkan
gelang itu menempel di
leher Lawa Abang, segera membantu Kadal Gunung
untuk meninggalkan tempat itu.
Ia sempat berkata kepada Suto Sinting, "Sekarang kami kalah, tapi ingat... kami
akan datang lagi untuk menyelesaikan urusan ini, Suto!"
Gadis itu yang menyahut, "Jangan lupa kalau datang lagi sekalian membawa peti
mati untuk kalian masing-masing."
"Persetan kau!" geram Jolegi.
"Hei, sebutkan dulu siapa orang yang mengupah
kalian untuk menemuiku"!" sentak Suto Sinting sambil
melompat dan berdiri menghadang langkah Jolegi.
Semula Jolegi tidak mau bicara. Tetapi gadis cantik
itu mengancamnya,
"Aku bisa mengirimmu ke alam lain jika kau tak
menjawab pertanyaannya!"
Jolegi melirik ke belakang, ia merasa ngeri juga
melihat gadis itu sudah ada dalam jarak tiga langkah di belakangnya. Akhirnya
Jolegi pun menjawab,
"Ratu Tanpa Tapak!"
"Hahh..."!" Suto terkejut "Di mana dia sekarang"
Katakan!" Jruub...! Sebilah pisau melayang cepat dan menancap
di perut Jolegi ketika ia akan menjawab. Akibatnya
Jolegi mengejang dan mendelik. Mulutnya ternganga.
Pegangan tangannya terlepas, Kadal Gunung jatuh
tersungkur dengan menyedihkan. Jolegi pun menyusul
jatuh, lalu terkapar tak bernyawa lagi.
Slaaap...! Daaar...!
Sinar merah pun mengakhiri riwayat Kadal Gunung.
Semuanya datang dari Musang Hitam, ia tak mau rahasia itu bocor, ia membungkam
teman sendiri dengan cara
sekeji itu. Lalu ia melesat pergi sambil memanggul
tubuh Lawa Abang. Sementara itu, Suto Sinting dan
gadis cantik itu masih tertegun bengong, karena tak
menyangka Musang Hitam akan membunuh teman
sendiri demi terjaganya rahasia.
"Apakah aku harus mengejarnya"!" tanya gadis itu kepada Suto.
"Tak perlu. Biarkan semua ini menjadi pelajaran bagi
mereka, dan mereka tak akan berani menggangguku
lagi," jawab Pendekar Mabuk dengan pandangan mata mulai tertuju kepada gadis
itu. "Siapa kau sebenarnya dan mengapa memihakku?"
"Aku pengagummu," jawab gadis itu.
Suto tersenyum dengan dahi sedikit berkerut. "Hanya pengagum saja?"
Senyum gadis itu mengembang saat menganggukkan
kepala. Amboi... cantiknya! Senyum itu mampu
merontokkan jantung tiap lelaki yang punya penyakit
jantungan. Begitu indah dan menawan, menggemaskan
dan membuat penasaran. Untung Suto Sinting mampu
menahan gejolak jiwa, sehingga ia tetap tenang dan
pandangan beralih tempat. Namun hanya sekejap, karena mata itu kembali mengagumi
kecantikan yang sepertinya diturunkan oleh dewa dari langit itu.
"Siapa namamu?"
"Rindu Malam," jawabnya.
"Hah..." Rindu Malam" Oh, bagus sekali nama itu!
Sumpah tujuh turunan, bagus sekali nama itu. Aku
sangat menyukainya!" puji Suto bagaikan tak mampu terbendung lagi. Wajah Suto
tampak ceria berseri-seri.
Itu tandanya ia benar-benar menyukai nama Rindu
Malam, sebuah nama yang bukan saja indah, namun
mempunyai arti hangat tersendiri bagi Suto.
Gadis itu hanya tersenyum-senyum sedikit berkesan
malu. "Kau dari perguruan mana" Jurusmu aneh-aneh
menurutku."
"Apa yang aneh?" Rindu Malam ganti bertanya.
"Bola apa yang kau lemparkan masuk ke mulut Lawa Abang tadi?"
"Itu yang dinamakan biji semberani. Punya kekuatan menarik logam apa pun.
Semakin terkena cairan semakin tinggi kekuatan daya tariknya."
"Lucu sekali senjatamu itu," ujar Suto sambil tertawa kecil. Rupanya bola itu
mempunyai kekuatan magnit
yang mampu menyedot logam bukan saja besi, namun
juga emas dan yang lainnya. Bola itu jelas akan
membuat lawan kebingungan, salah-salah mati dihunjam
senjata yang terbang dengan sendirinya.
"Biji semberani"!" gumam Suto sambil berkerut dahi, merasakan ada sesuatu yang
aneh. "Apakah kau murid Raja Maut yang tinggal di Bukit Semberani"!"
"Bukan!" jawab Rindu Malam. "Tapi aku memang tinggal di dasar Bukit Semberani.
Jauh di kedalamannya sana."
Percakapan terhenti karena gangguan sinar kuning
yang melesat menghantam Suto Sinting dari belakang.
Claaap...! Tapi Rindu Malam segera berkelebat ke
samping dan sentakkan tangannya. Telapak tangan
keluarkan sinar merah yang segera menghantam sinar
kuning itu. Claap...! Blaaarrr...!
Ledakan begitu kuat, gelombang ledaknya membuat
Suto dan Rindu Malam sama-sama terpental. Tapi
keduanya bisa kuasai keseimbangan, sehingga dalam
sekejap mereka mampu berdiri tegak lagi. Hanya saja,
pengirim pukulan bersinar kuning itu tahu-tahu
terlempar dari atas pohon karena gelombang ledakan
tadi. Ia jatuh menerabas ranting dan dahan hingga patah.
Bruuuk ...! O, ternyata seorang gadis berpakaian hijau bergaris-
garis kuning. Siapa gadis itu" Suto tidak mengenalnya, Rindu Malam pun tidak
mengenalnya. * * * 5 TIGA teguk tuak ditanggak. Suto Sinting sengaja
biarkan gadis berwajah mungil manis berkulit hitam
bersih itu memandanginya dengan tajam, Pendekar
Mabuk memang tidak terpancing kemarahannya, tapi
Rindu Malam sebagai pengagum Pendekar Mabuk
merasa tidak suka dengan sikap sinis gadis itu. Rindu Malam mengambil tempat di
depan Suto Sinting, seakan
siap menjadi pelindung jika gadis berambut panjang itu menyerang sewaktu-waktu.
"Apa mau mu menyerang kami, hah"!" gertak Rindu Malam.
"Aku benci
dengan seorang pendekar yang
mengkhianati sahabat sendiri!"
"Apa maksudmu"!"
"Pemuda sinting itu membunuh sahabatnya sendiri
yang tidak pernah menyakiti hati siapa pun. Ia mencuri keris pusaka sahabatnya
dengan licik!"
Sekalipun Rindu Malam merasa kurang enak
mendengar ucapan itu, tapi ia tak berani cepat-cepat
lanjutkan kata. Ia diam sebentar, dan Suto Sinting segera perdengarkan suara,
"Siapa kau sebenarnya. Nona Manis?"
"Aku Srimurti, murid Raja Maut!" jawabnya dengan ketus sekali.
"Ooo...," Suto Sinting manggut-manggut. "Baru sekarang kita jumpa. Tapi aku
sudah pernah dengar
nama mu sebelumnya."
"Aku pun dengar namamu sudah lama, tapi tak
sangka kalau ternyata kau pendekar yang licik, keji, dan rakus!"
"Hati-hati bicaramu!" sentak Rindu Malam, ia tampak mulai semakin berang.
"Aku tak kenal siapa kau," kata Srimurti kepada Rindu Malam. "Kuharap kau
menyingkir dari depanku, karena aku punya urusan sendiri dengan pendekar licik
itu!" "Aku tak punya urusan denganmu, Srimurti," kata Suto Sinting.
"Kau punya urusan denganku, Suto!" sergah Srimurti.
"Ki Empu Sakya sudah kuanggap orangtuaku sendiri, karena beliau sangat dekat dan
akrab denganku dan
dengan guruku. Kematian Ki Empu Sakya membuatku
punya perhitungan sendiri denganmu, karena aku tak
ingin pusaka Keris Setan Kobra itu jatuh ke tangan
orang sesat sepertimu! Sebaiknya serahkan saja padaku secara baik-baik biar
dirawat dan disimpan oleh guruku; Raja Maut!"
"Kau keliru!" jawab Suto tenang sambil maju
melewati Rindu Malam. Jaraknya tinggal tiga langkah dari Srimurti. Suaranya
tenang dan jelas.
"Kau terhasut oleh fitnah seseorang, atau hanyut dalam arus salah paham. Aku
tidak lakukan apa pun
terhadap Ki Empu Sakya!'
"Omong kosong!" sahut Srimurti. "Kurasa kau perlu dipaksa supaya tahu bagaimana
menjadi orang jujur dan benar! Hiaaah...!"
Wuuut...! Srimurti sentakkan kakinya dan dari telapak kaki
melesat sinar hijau kecil ke arah wajah Suto Sinting.
Tapi tubuh Suto Sinting cepat melengkung ke belakang
dan sinar hijau itu lewat di depan wajahnya. Hampir saja mengenai dada Rindu
Malam yang ada di belakangnya.
Untung dengan cepat Rindu Malam sentakkan tangan
kirinya dan sinar merah kecil pun beradu dengan sinar hijaunya Srimurti.
Blaaar...! Ledakan itu tak berbahaya. Srimurti segera
mengerahkan tenaga dalamnya melalui gerakan tangan
yang direntangkan ke depan-belakang bagaikan bangau
hendak terbang. Tapi gerakan Rindu Malam lebih cepat, melayang bagaikan singa
menerkam melewati batas
kepala Suto Sinting. Wuuus...! Arahnya ke tubuh
Srimurti, tapi dengan cepat Srimurti justru putar
tubuhnya dan layangkan tendangan dengan satu kaki.
Weees...! Plak..! Tangan Rindu Malam sempat
berkelebat menangkis, tapi tangan yang kiri sempat
menghantam dada Srimurti yang baru saja kembali pada
keadaan semula. Duuhhk..! Srimurti terkejut, tak
menyangka datangnya serangan kuat itu. Matanya
mendelik sebentar dan dadanya segera kepulkan asap
lewat pori-pori kulit tubuhnya, pakaiannya hangus
membekas gambar telapak tangan hitam.
Srimurti terhempas ke belakang. Punggungnya
membentur pohon dalam keadaan tetap berdiri.
Duuhg...! Ia menyeringai sebentar. Merunduk menahan
sakit. Tetapi Rindu Malam menerjang terus sambil
berseru, "Kulumpuhkan kau sekarang juga jika ingin
mengganggunya! Heaaah...!"
Wuuut...! Srimurti sentakkan kaki, bergerak cepat dan larikan
diri menerabas semak. Rindu Malam berseru, "Hai, jangan lari!" sambil ia nekat
mengejarnya penuh hasrat bermusuhan. Suto Sinting hanya geleng-geleng kepala
dan tetap diam di tempatnya. Hatinya merasa heran,
namun juga prihatin terhadap anggapan Srimurti,
sebagai murid sahabatnya sendiri itu.
"Mengapa murid Raja Maut sampai seyakin itu
menganggapku sebagai pembunuh Ki Empu Sakya"
Apakah Raja Maut pun beranggapan begitu"! Hmm...,
sebaiknya aku harus segera temui Raja Maut untuk
membicarakan kesalahpahaman ini!"
Pendekar Mabuk pun heran dengan sikap Rindu
Malam yang tampak sangat melindungi dirinya.
Benarkah sikap itu hanya sebatas sikap seorang
pengagum, atau punya maksud-maksud lain yang tak
berani dikatakan secara terus terang" Suto Sinting
sempat memikirkan kemunculan Rindu Malam yang tak
pernah diduga-duga itu. Namun pikiran tersebut segera buyar karena sebelum
mencapai pondok Raja Maut di
puncak Bukit Semberani, ternyata tokoh tua itu sudah
berada di bawah sebuah pohon, seakan sengaja berdiri di situ menunggu kedatangan
Suto. Dilihat dari sikap dan wajahnya. Raja Maut
sepertinya tidak terpengaruh oleh adanya berita tentang siapa pembunuh Ki Empu
Sakya. Ia kalem dan berkesan
bersahabat. Senyumnya tipis sekali, sepertinya sinis, tapi sebenarnya tidak.
Memang begitulah senyum kalem si
Raja Maut itu. "Muridmu baru saja menyerangku, Raja Maut!" ujar Suto setelah menenggak tuaknya
sebentar. "Dia
menyangka akulah pembunuh Ki Empu Sakya dan
merebut pusaka Keris Setan Kobra."
Senyum Raja Maut kian melebar. "Kita duduk di
depan gubukku sana saja!" ajak Raja Maut. Suto Sinting tak menolak. Mereka
bergegas menuju pelataran pondok
beratap sirap. Di sana ada pohon rindang tapi rendah, seperti payung peneduh di
waktu siang, di bawahnya ada tiga batu berpermukaan datar. Di atas batu itu
mereka duduk dan bicara.
"Aku ikut prihatin dengan kabar yang mencemarkan nama baikmu, Suto." Raja Maut
bicara dengan mata memandang sekeliling, seperti memasang kewaspadaan
tinggi, seakan begitulah sikapnya jika berada di tempat yang ingin digunakan
untuk bicara hal-hal bersifat
rahasia. "Aku sendiri tak menduga kalau kau akan dikecam
olah para tokoh dunia persilatan dengan tuduhan
membunuh sahabatku, yang juga sahabat gurumu itu."
"Tapi aku tidak melakukannya, Raja Maut. Kau tahu sendiri, belakangan ini aku
sedang bepergian dan bahkan pulangnya sempat bertemu denganmu di Pulau Blacan!"
"Kutinggalkan pulau ini selama sembilan hari," kata Raja Maut. "Aku menemui
seorang sahabat di Pulau Lengkur selama empat hari, sisanya kugunakan untuk
menuju ke Pulau Blacan dengan singgah di selat Merah.
Ketika aku kembali kemari dengan membawa Kitab
Sukma Sukmi, tahu-tahu kudengar kabar kematian Ki
Empu Sakya. Aku sangat terkejut. Lebih terkejut lagi
mendengar kabar, pelakunya adalah Suto Sinting.
Hampir hampir aku tak percaya dengan pendengaranku
sendiri." "Dalam hatimu, apakah kau percaya bahwa aku
pelakunya?"
"Hati kecilku mengatakan, bukan kau! Aku tahu sifat gurumu, dan aku tahu sifat
itu menurun pula pada
dirimu. Tak ada sifat sejahat itu pada gurumu dan


Pendekar Mabuk 027 Keris Setan Kobra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirimu. Tapi mengapa berita semakin hari semakin
santer mengatakan kaulah pembunuhnya" Repotnya lagi,
banyak tokoh yang beranggapan pusaka Keris Setan
Kobra ada di tanganmu!" Raja Maut bicara dengan
wajah menampakkan keprihatinan cukup dalam,
sehingga Suto Sinting merasa tidak semata-mata
dituduh, melainkan juga diperhatikan kesulitannya.
"Aku terpojok, Raja Maut...," lalu Suto pun
menceritakan perihal kematian Mbok Wiji, sikap
Srimurti, Mega Dewi, dan yang lainnya. "Bisakah kau membantuku dalam persoalan
ini?" "Aku tak menjanjikan hasilnya, tapi setidaknya aku punya saran untukmu."
"Apa saranmu?"
"Menghilang untuk sementara waktu. Jangan muncul dulu di rimba persilatan sampai
persoalan ini menjadi gamblang, siapa pelaku sebenarnya dan siapa pemegang
keris pusaka itu."
"Menghilang..."!" gumam Suto Sinting sambil termenung.
"Kemunculanmu hanya akan menimbulkan
pertumpahan darah dari pihak yang tidak bersalah. Aku percaya, ada pihak lain
yang sengaja ingin
mencelakakan dirimu, dan mencemarkan namamu serta
nama gurumu. Terbukti setiap mulut yang bicara
kudengar selalu menyebut-nyebut nama Gila Tuak."
Suto tarik napas panjang-panjang. Pandangan
matanya terlempar jauh. Raja Maut memperhatikan
sesaat, lalu ikut memandang jauh sambil berkata pelan.
"Pusat perhatian mereka bukan kepada Empu Sakya, tapi yang terpenting adalah
keris pusaka itu."
"Sebenarnya aku sendiri tidak banyak tahu tentang kehebatan keris itu."
"Keris pusaka Setan Kobra adalah keris pelenyap raga dan jiwa. Keris itu juga
mampu membunuh lawan
dengan cara membayangkan wajah lawan dan
menusukkan keris itu ke batang pohon. Lawan di tempat
sejauh mana pun tidak akan bisa menghindari maut
tersebut, ia akan mati bersama terhunjamnya keris ke
batang pohon. Keris itu juga bisa digunakan membunuh
lawan melalui bekas tapak kaki lawan tersebut. Tergores sedikit saja, lawan mati
seketika. Tapi jika keris iu dihunjamkan langsung ke tubuh lawan, maka tubuh itu
akan lenyap tak berbekas dan tak akan muncul lagi di permukaan bumi."
"Hebat sekali!" gumam Suto Sinting. "Mengapa Ki Empu Sakya saat berhadapan
dengan Wiratmoko, si Iblis Naga Pamungkas itu, tak mau gunakan kerisnya itu"!"
"Empu Sakya tidak mau lakukan pertempuran lagi.
Sudah dua puluh tahun ia tak mau terlibat dalam kancah persilatan. Membunuh dan
melukai siapa pun tak mau
dia lakukan, ia punya keinginan untuk menjadi seorang petapa yang mampu mencapai
kesempurnaan jiwa,
sehingga kelak matinya akan moksa, hilang tak berbekas dan langsung ke alam
kelanggengan yang penuh
keindahan, tapi harapan itu ternyata gagal karena ia masih simpan keris pusaka
itu." Suto Sinting manggut-manggut. Hatinya mengakui
kewajaran setiap hasrat manusia sesat yang ingin
memiliki keris tersebut, seperti Ratu Tanpa Tapak.
Rupanya ratu yang bernama asli Nila Cendani itu ingin memiliki keris tersebut
untuk kalahkan Suto dengan cara membunuh Suto dari jarak jauh. Pantas jika Nila
Cendani mengupah beberapa orang untuk rebut keris itu yang menurut sangkaannya
ada di tangan Suto Sinting.
Setelah diam sesaat lamanya, Suto Sinting segera
ajukan tanya, "Menurutmu siapa sebenarnya orang yang membunuh Ki Empu Sakya?"
"Teropong batinku lemah sejak aku terkena pukulan Nyai Demang Ronggeng tempo
hari. Akibatnya aku tak
bisa mengetahui siapa pelakunya. Tetapi menurutku, kau memang harus bersembunyi
untuk beberapa waktu.
Sebab jika kau masih berkeliaran di rimba persilatan, banyak tokoh yang
mengincar kematianmu untuk rebut
keris itu. Mereka anggap ilmumu tidak setinggi ilmu Ki Empu Sakya dalam kekuatan
teropong batinnya.
Mungkin para tokoh dari berbagai penjuru yang punya
ilmu tinggi-tinggi itu juga akan ikut dalam perebutan keris tersebut. Apalagi
cucunya Empu Sakya yang
bernama Kalatandu...."
"Aku baru mendengar nama itu," potong Suto dengan terpaksa karena merasa heran
dan asing sekali dengan nama Kalatandu. Maka Raja Maut pun jelaskan maksud
kata-katanya. "Kalatandu adalah cucu Empu Sakya. Termasuk
muridnya juga. Tapi karena Kalatandu sebenarnya anak
dari mendiang Nini Tandu, kakak perempuan Empu
Sakya yang baru separo bagian turunkan kesaktiannya
kepada Kalatandu, maka Kalatandu sendiri bertekad
mengembara mencari pembunuh ibunya setelah
mendapatkan hampir seluruh ilmu dari Empu Sakya.
Entah sekarang Kalatandu sudah berhasil menemukan
pembunuh ibunya atau belum, entah ada di mana, yang
jelas kalau dia, si Kalatandu itu mendengar kematian Empu Sakya di tanganmu dan
mendengar bahwa keris
pusaka itu juga ada di tanganmu, dia akan mengamuk
dan mencarimu. Menurutku, maaf..., kau kalah tinggi
ilmunya dengan Kalatandu."
Mata pendekar tampan berambut sedikit panjang itu
tidak berkedip memandangi wajah Raja Maut yang
bicara dengan sungguh-sungguh. Bahkan di wajah Raja
Maut sepertinya tersimpan kecemasan di balik sikap
tenang dan wibawanya. Suto Sinting sendiri sempat
kaget mendengar Kalatandu diperhitungkan sebagai
orang yang berilmu tinggi darinya. Namun hati kecil
Suto sangsi dan bertanya-tanya, "Apa benar Kalatandu lebih tinggi ilmunya
dariku?" Akibatnya, hati Suto penasaran, ingin bisa bertemu dengan Kalatandu.
Setidaknya untuk jelaskan perkara sebenarnya supaya
tidak terjadi permusuhan.
Renungan mereka menghadirkan kebungkaman yang
sunyi. Kesunyian itu terpecahkan oleh langkah orang berlari dengan tergopoh-
gopoh dari arah samping
pondok, seakan muncul dari kemiringan lereng.
Raja Maut dan Suto Sinting sama-sama terkejut
melihat orang yang datang berlari ke arah mereka. Orang itu tak lain adalah
Srimurti, yang berlumur darah dan banyak luka di tubuhnya. Tentu saja Raja Maut
menjadi tegang melihat muridnya dalam keadaan terluka parah.
Sang murid jatuh tersungkur tepat di depan kaki
gurunya. "Muridku..." Siapa yang melakukan semua ini
padamu"!" Raja Maut mulai tampakkan kemarahannya.
Wajahnya mulai memerah menahan amarah.
Srimurti masih bisa bicara dalam sanggahan tangan
sang Guru, "Perem... perempuan itu... benar-benar ingin membunuhku. Guru."
"Perempuan yang mana"! Siapa namanya"!"
"Ta... tanyakan... tanyakan kepada... dia...!" Srimurti menuding Suto, tentu
saja wajah Suto terperanjat tegang dan Raja Maut cepat memandangnya.
"Mak... maksudmu... gadis berpakaian putih tadi?"
"Bbbe... benar...! Dia membelamu dan... dan ingin membunuhku."
"Apa maksud semua ini, Suto Sinting"!" Raja Maut tampak menuntut pada Suto walau
ia masih berusaha
menahan murka, ia merasa sakit hati dan tak rela jika murid tunggalnya dilukai
separah itu. Suto menjadi serba salah, ingin menyalahkan Srimurti karena
tuduhannya yang membuat Rindu Malam mengamuk, tapi takut
salah sangka dan menimbulkan Raja Maut kian marah.
Maka sebagai penengah ketegangan dan pereda
kemarahan, Suto Sinting berkata,
"Kuobati dulu muridmu itu, biar tidak terlambat.
Setelah itu kita bicarakan tentang Rindu Malam."
"Siapa itu Rindu Malam?"
"Yang melukai muridmu; Srimurti! Nanti kujelaskan.
Bawalah masuk Srimurti dan berikan minuman tuak dari
bumbung ini...," Suto berusaha tetap tenang.
Dalam hatinya sendiri Pendekar Mabuk merasa heran
dan tidak menyangka kalau Rindu Malam menghajar
Srimurti separah itu. Kepala Srimurti hampir pecah,
entah terkena pukulan jurus seperti apa. Tubuh hitam
Srimurti pun memar merah kebiru-biruan dari telapak
kaki sampai ubun-ubun. Ujung-ujung rambut Srimurti
keriting bagai bekas terbakar.
Srimurti hampir saja tak tertolong kalau ia tak segera pulang dan tidak bertemu
Suto. Sebab luka yang diderita Srimurti bercampur dengan pukulan beracun ganas
yang sulit dicari penangkalnya. Jika tidak meneguk tuak dari bumbung keramat milik
Suto Sinting itu, nyawa Srimurti sudah sampai ke tepi neraka. Karena keadaan
gawatnya terselamatkan oleh tuaknya Suto, maka Srimurti sendiri mengurangi sikap
permusuhannya dengan Suto Sinting.
Keadaan yang cepat membaik membuat Srimurti
jelaskan perasaan hatinya yang benci kepada pembunuh
Ki Empu Sakya. Seperti para tokoh lainnya, Srimurti
juga yakin bahwa pembunuhnya adalah Suto, karena
kemana-mana membawa bumbung tempat tuak.
Raja Maut berkata, "Itu tidak bisa dipakai alasan.
Bambu seperti bumbung tuak itu mudah didapat, dan
bisa ditenteng oleh setiap orang. Mungkin saja seorang penjual legen, seperti
yang diceritakan Suto tadi, adalah orang yang membunuh Empu Sakya."
"Kabar menyebutkan orang pembawa bembu tuak itu
pemuda yang ganteng. Dan Suto sendiri juga pemuda
yang...," Srimurti tidak berani teruskan ucapannya, karena ia menyembunyikan
perasaan kagumnya terhadap
ketampanan Suto. Ia tak mau Suto mengetahui hatinya
memuji ketampanan pendekar itu. Sebab itu, Srimurti
segera lanjutkan dengan kata-kata lain.
"Tak tahulah, Guru. Yang jelas para tokoh sudah
memastikan Suto-lah perampas keris milik Ki Empu
Sakya itu."
"Kau jangan mudah terpengaruh oleh berita yang
belum terbukti nyata, Muridku," kata Raja Maut. "Kau masih terlalu dini untuk
mengenal Suto Sinting. Aku
cukup dalam mengenalnya, karena aku sahabat gurunya.
Tak mungkin Suto lakukan hal seperti itu, karena dialah yang menolong Ki Empu
Sakya ketika hampir saja
berhadapan dengan Iblis Naga Pamungkas."
"Tapi..., gadisnya itu sangat ganas menyerangku, Guru. Aku jadi curiga, jangan-
jangan ia bekerja sama dengan kekasihnya."
Raja Maut memandang Suto seakan menuntut
penjelasan dan pengakuan. Suto segera gelengkan kepala sambil berkata,
"Dia bukan kekasihku. Dia mengaku pengagumku
bernama Rindu Malam."
"Aku tidak mengenal nama itu," kata Raja Maut.
Agaknya Raja Maut memang tidak mengenal nama
Rindu Malam. Suto sempat merasa heran, mengapa
gadis secantik Rindu Malam yang punya jurus aneh dan
ilmu tinggi tidak dikenal oleh tokoh tua seperti Raja Maut. Jangan-jangan nama
itu adalah nama samaran di depan Suto saja. Mungkin jika Rindu Malam berhadapan
dengan Raja Maut, maka sang tokoh tua itu akan
mengenalinya dengan nama lain.
Bagi Suto, yang penting Raja Maut percaya bahwa
Rindu Malam bukan kekasihnya, dan sekadar sebagai
pengagumnya. Pembelaan Rindu Malam dinilai wajar
karena tak rela jika orang yang dikagumi cedera atau
luka oleh siapa pun. Suto Sinting pun segera melupakan Rindu Malam dengan
kemisteriusannya, karena ia segera punya gagasan untuk temui Pelangi Sutera di
gua pantai Semberani. Suto harus bertemu wanita bekas istri jin itu, karena
agaknya tempo hari ketika Logo sang anak jin itu mengatakan bahwa Suto dipanggil
ibunya, permasalahan
matinya Empu Sakya itulah yang akan dibicarakan oleh
Pelangi Sutera.
Sama-sama dalam wilayah Bukit Semberani, tapi
jarak antara pondok Raja Maut dengan gua yang
sekarang dipakai tempat tinggal Pelangi Sutera itu cukup jauh. Puncak dengan
dasar. Namun Suto dapat
menempuhnya dalam waktu cepat karena mampu
bergerak melebihi anak panah. Sayangnya ia harus
berhenti ketika mau injakkan kakinya di dataran pasir pantai.
Suto cepat rapatkan badannya pada sebuah pohon.
Matanya mengintai dari sana. Bocah berusia sepuluh
tahun sedang berlari-lari dengan wajah tegang.
"Angon Luwak..."!" gumam Suto dengan heran.
"Mengapa ia berlari ketakutan begitu" Oh, ternyata ia dikejar dua ekor kuda"!"
Angon Luwak memang dikejar dua ekor kuda.
Penunggangnya dua lelaki yang sama sekali tak imbang
jika harus bertarung melawan bocah sekecil Angon
Luwak. Satu dari penunggang kuda itu telah dikenal oleh Suto Sinting. Lelaki
muda berpakaian mewah itu tak lain adalah Raden Udaya, putra adipati yang pernah
menghadang perjalanan Suto Sinting karena
menganggap Mega Dewi kekasihnya direbut oleh Suto
Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Naga Pamungkas"). Tetapi lelaki yang satunya, yang berusia sekitar tiga puluh
lima tahun itu, sama sekali masih asing bagi Suto Sinting.
Sekalipun begitu, Suto Sinting segera lompat ke arah
pantai dan mendarat di depan Angon Luwak. Bocah itu
terperangah girang.
"Kang Suto..."!" napasnya terengah-engah dan segera berlindung di belakang
Pendekar Mabuk. Kemunculan
Suto membuat dua kuda pengejarnya segera berhenti
dalam jarak lima langkah di depan Suto.
Mereka beradu pandang. Raden Udaya merasa muak
melihat tampang Suto. Sikapnya sinis dan jelas sekali bermusuhan. Sedangkan
lelaki yang berpakaian hitam
celana merah berwajah dingin dan berambut lurus itu
hanya diam di tempat, mata nya menatap bagaikan ingin membekukan darah Pendekar
Mabuk. "Selamat bertemu lagi, Raden Udaya," sapa Suto sengaja tersenyum mengejek.
"Persetan dengan dirimu, Suto!" geram Raden Udaya dengan suara pelan.
"Tak kusangka ternyata kau tega bermusuhan dengan anak sekecil Angon Luwak."
"Dia membuat kudaku ketakutan. Anak itu harus
dihajar, biar lain kali tidak membuat kudaku ketakutan."
Suto Sinting sunggingkan senyum. Sinis dan masih
mengejek sifatnya.
"Tak kuizinkan kau menghajar bocah yang bukan
tandinganmu, Raden Udaya!"
"Keparat!" geram si baju hitam berwajah dingin itu.
Ia segera bergegas untuk lakukan satu lompatan
penyerangan dari atas punggung kuda. Tapi tiba-tiba
Raden Udaya rentangkan satu tangannya, menahan
gerakan orang itu dengan isyarat, sedangkan mata tetap memandang ke arah Suto
penuh benci.

Pendekar Mabuk 027 Keris Setan Kobra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan kotori tanganmu untuk menghadapi tikus
lumbung itu, Malaikat Beku," kata Raden Udaya kepada si baju hitam celana merah
yang berjuluk Malaikat Beku itu. Lanjutnya lagi, "Ada urusan lain yang perlu
kita selesaikan. Yang ini nanti-nanti saja, karena terlalu mudah untuk
diselesaikan bagi kita!"
Setelah berkata begitu, Raden Udaya dan Malaikat
Beku segera pergi tinggalkan Suto dan Angon Luwak.
Agaknya Raden Udaya sungkan berhadapan dengan
Suto Sinting karena ingat kecemburuannya dulu. Suto
merasa kebetulan karena ia tidak buang-buang waktu
terlalu banyak.
"Mereka benar-benar ingin membunuhku, Kang!"
"Makanya lain kali kau jangan dekati mereka. Orang kaya seperti Raden Udaya itu
akan lebih menghargai
nyawa kuda daripada nyawa bocah desa sepertimu!"
"Tapi..." ucapan Angon Luwak terhenti karena ia sempat kaget melihat kemunculan
Logo, si anak jin.
Manusia hitam bercawat dan bertubuh tinggi besar itu
melangkah dari arah gua yang dituju Suto Sinting.
Wajah sangarnya tersenyum, maksudnya ingin bersikap
ramah, tapi justru senyum itu menakutkan bagi Angon Luwak, sehingga Angon Luwak
semakin bersembunyi di
belakang Suto Sinting.
"Angon Luwak, dia tidak jahat seperti dugaanmu.
Bermainlah dengan Logo, aku akan temui ibunya. Tak
usah takut."
"Aku bukan takut. Kang. Aku cuma merasa jijik
melihat kulitnya yang hitam mengkilap dan bau
keringatnya seperti timbunan sampah," kata Angon Luwak.
Suto tertawa pendek. "Tahan bau tak sedap itu, lama-lama kau akan terbiasa.
Nanti akan kukatakan kepada
ibunya agar Logo perlu dimandikan dengan air kembang
seribu rupa seribu aroma."
Kemudian Suto bicara kepada Logo, "Ibumu ada,
Logo?" "Ibu pergi," jawab Logo yang bersuara besar.
Suto mendesah kecewa. "Pergi ke mana?"
"Ke Jurang Lindu temui gurumu; Gila Tuak."
"Hah..."! Untuk apa dia temui guruku"!"
Logo geleng-geleng kepala. "Aku tidak tahu, Suto.
Tapi sepertinya untuk urusan yang amat penting. Karena Ibu pergi dengan terburu-
buru." Hati Suto Sinting jadi tak enak. "Kalau begitu aku harus bergegas menyusul ke
Jurang Lindu. Jangan-jangan dia bicara tentang cintanya dan ingin bertanding
kesaktian dengan Dyah Sariningrum; calon istriku itu"!
Gawat!" pikir Suto mulai tampak tegang.
* * * 6 BOCAH yang sudah tidak mau menjadi penggembala
kambing lagi itu, sekarang seakan menjadi pengamat
dunia persilatan. Sebab ia selalu mengikuti para tokoh sakti beraliran putih,
terutama Suto Sinting. Tempo hari ia ingin ikut Ki Gendeng Sekarat ke Pulau
Serindu, tetapi Ki Gendeng Sekarat keberatan. Ki Gendeng
Sekarat hanya berjanji suatu saat akan datang lagi
menemui Angon Luwak dan memberikan Ilmu
mainannya. Maka bocah itu pun menggelandang menyusuri jejak
kepergian Suto Sinting. Terutama setelah ia sekian hari lamanya kebingungan
mencari Suto tidak ada, kini ia
sudah temukan pendekar kebanggaannya itu, maka
diikutinya terus ke mana pun perginya Pendekar Mabuk
tersebut. Walaupun pada awal keberangkatan Suto ke
Jurang Lindu sudah berpesan agar Angon Luwak
bermain dengan Logo dan tetap tinggal bersama Logo
untuk suatu saat akan dihubungi lagi, tapi bocah itu
nekat mengikuti arah kepergian Suto secara diam-diam.
Sebenarnya Pendekar Mabuk mengetahui gerak-gerik
bocah yang mengikutinya itu, tapi Suto sengaja berpura-pura tidak mengetahui dan
membiarkannya. Karena ia
mengakui bahwa di dalam jiwa Angon Luwak telah
bangkit semangat kependekaran yang sebenarnya perlu
dibina sejak sekarang. Sayangnya Suto tidak punya
waktu, sehingga ia hanya bisa membiarkan jiwa
kependekaran itu berkembang dalam diri Angon Luwak
dengan cara mengikuti segala gerak dan langkahnya.
Tentu saja Angon Luwak ikut berhenti ketika langkah
Suto Sinting pun tak dilanjutkan. Langkah Suto terhenti karena dari empat pohon
muncul empat sosok yang
saling berloncatan dengan gerak-gerak liar dan
beringasnya. Angon Luwak cepat sembunyikan diri dan
mengintai kejadian yang akan terjadi antara Pendekar
Mabuk dengan keempat sosok berwajah angker itu.
Rupanya dari keempat sosok berwajah angker itu
masih punya satu orang lagi yang bersembunyi dari balik pohon, kira-kira dua
puluh langkah di depan Suto
Sinting. Orang tersebut kini muncul dengan kalem,
membawa tongkat berkepala bola besi berduri. Orang itu berusia sekitar lima
puluh tahun, berambut panjang
warna abu abu dengan jubahnya yang berwarna biru tua.
Suto picingkan mata untuk melihat jelas raut wajah
orang berjenggot abu-abu itu. Agaknya ia tokoh yang
dihormati oleh keempat orang yang tadi melompat dari pohon mirip bajing loncat
itu. Wajahnya kurus, tapi jika ia melangkah tanah di sekitarnya terasa bergetar
halus. Rumput-rumput yang tidak terpijak bergetaran, rumput
yang terpijak menjadi layu seketika. Warna hijaunya
berubah menjadi kekuning-kuningan, sedikit coklat. Jika bukan berilmu tinggi tak
mungkin bekas tapak kakinya membuat rumput menjadi kuning layu.
Bocah kecil itu terbengong heran dan kagum melihat
bekas tapak kaki orang berjubah biru itu. Tapi Suto
Sinting tetap tenang dan tidak merasa heran dengan hal itu. Ia bahkan sedikit
tersenyum berkesan menganggap
wajar hal hal seperti itu.
Ke empat orang yang masing-masing bersenjata
golok lebar itu mengurung Suto lebih rapat lagi, tapi mereka memberi tempat bagi
hadirnya si jubah biru.
Dan kehadiran si jubah biru hanya dipandangi Suto
dengan kalem, tak ada rasa gentar atau takut sedikit pun.
Bahkan ia sempat menenggak tuak dan meneguknya
beberapa kali. Pada waktu ia menenggak tuak, seseorang ingin menyerangnya,
memanfaatkan kesempatan itu
sebagai peluang emas untuk merobohkan Pendekar
Mabuk. Tetapi si jubah biru memberi isyarat dengan
tangan, melarang anak buahnya menyerang Suto dalam
keadaan sedang menenggak tuak.
"Gayamu mirip seperti apa yang diceritakan oleh
mereka di kedai-kedai, Suto Sinting!" kata si jubah biru dengan suara serak.
"Maaf, boleh kutahu siapa kalian" Mengapa
mengurungku begini?"
Tanpa senyum sedikit pun, si jubah biru menjawab,
"Buka matamu dan ingat baik-baik. Orang yang sedang bicara denganmu inilah yang
berjuluk si Jejak Iblis,
ketua Perguruan Pasir Tawu."
"Senang sekali aku mengenal nama julukan dan nama perguruan yang baru sekarang
kudengar."
Jejak Iblis sipitkan mata dalam memandang. "Kupikir yang bernama Pendekar Mabuk,
murid si Gila Tuak itu
adalah orang pandai dan punya wawasan luas. Ternyata
pendapatku keliru. Pendekar Mabuk adalah orang yang pandangannya sempit dan
pengetahuannya cekak.
Sampai sampai Perguruan Pasir Tawu dan nama Jejak
Iblis saja baru didengarnya sekarang. Kasihan sekali kau, Nak!"
Ejekan yang disertai geleng-geleng kepala itu
sebenarnya membuat Suto Sinting tersinggung. Tetapi
Suto mampu atasi dirinya agar tidak terpancing oleh
kemarahannya sendiri. Sebab jika ia terpancing oleh
kemarahannya, maka ia tidak akan dapat memusatkan
kekuatannya pada seluruh indera yang ada. Sedangkan
dalam keadaan terkepung begitu, seluruh indera harus
bekerja dengan baik, sampai pada indera keenam pun
harus digerakkan dengan baik-baik. Jika tidak, maka
bahaya yang datang sewaktu-waktu bisa jadi merenggut
nyawanya dalam waktu satu gebrakan saja.
"Apa maksudmu menemuiku dengan cara seperti ini.
Jejak Iblis?"
"Tentu saja aku tak ingin kau lolos dari tanganku,"
jawabnya kalem.
Suto kerutkan dahi, terkesiap sesaat, lalu bertanya,
"Mengapa kau tak ingin aku lolos dari tanganmu"
Apakah aku punya salah pada perguruanmu?"
"Tidak," jawab Jejak Iblis pelan tapi berkesan tegas.
"Hanya saja, kami telah disewa seseorang untuk
menangkapmu atau membunuhmu dan merebut keris
pusaka milik mendiang Empu Sakya."
Mendengar penjelasan itu Pendekar Mabuk segera
tahu apa maksud pembicaraan tersebut dan siapa orang
yang dimaksud. "Nila Cendani yang menyewamu, bukan?"
"Syukur jika kau telah mengetahuinya. Tapi ada yang perlu kau ketahui lagi,
bahwa Nila Cendani itu masih
punya darah keturunan denganku, walaupun dalam
urutan silsilah jauh. Ia sering membantu perguruanku, dan sekarang malahan
menyewa perguruanku untuk
tugas ini. Tentunya jika tidak disertai imbalan cukup besar aku tidak akan
bersedia turun tangan sendiri, Suto Sinting."
"Berapa besar imbalanmu, sehingga kau mau
memihak ratu yang sesat itu?"
"Separo harta karun yang dipendamnya di Teluk
Sumbing akan menjadi milikku."
"Harta karun"!" gumam Suto heran. "Apakah Nila Cendani punya harta karun"!"
"Tak perlu banyak tanya," kata Jejak Iblis. "Serahkan saja keris itu sebelum aku
bertindak kasar yang akan
membuatmu menyesal, Suto Sinting."
"Aku tidak mempunyai keris apa-apa. Yang kupunya hanya bumbung tempat tuak ini,"
sambil Suto mengangkat bumbung tuaknya, sebagai siasat menjaga
diri sewaktu-waktu.
Firasat Suto itu ternyata benar. Begitu dia
menyatakan tidak mempunyai Keris Setan Kobra,
tongkat si Jejak Iblis diacungkan ke depan sebagai
isyarat. Maka dua anak buahnya yang ada di kanan kiri Suto segera lakukan
lompatan kilat sambil menebaskan golok lebar mereka.
Wuuut, wuuut...!
Trak, trak...! Suto Sinting bergerak memutar. Gerakan memutar itu
ternyata merupakan jurus penangkis bagi serangan lawan dari kanan kiri. Gerakan
dengan tubuh limbung bagaikan orang mabuk itu mampu membuat kedua golok lebar
tertahan oleh bambu bumbung tuaknya secara hampir
bersamaan. Hantaman golok ke bumbung tuak mempunyai
kekuatan balik yang cukup besar, membuat kedua tangan si penyerang tersentak ke
belakang dan mereka terbawa sentakan itu hingga terjungkal ke belakang tak tentu
arah. Hub...! Suto Sinting kembali berdiri dengan satu kaki berjingkat, kaki yang
satunya menempel di atas telakan kaki yang berjingkat. Tubuhnya melengkung ke
depan dan oleng sedikit bagaikan orang dilanda hawa mabuk.
Tapi sebenarnya Suto masih dalam keadaan sadar, tak
mengalami mabuk sedikit pun. Gerakan itu membuat
mata Jejak Iblis menyipit, bagai mencari kelemahan dan mempelajari kelengahan
Pendekar Mabuk.
Dua orang yang terjungkal cepat berdiri. Kini orang
yang ada di belakang Suto bergegas menyerang dengan
lompatan yang bersamaan. Mereka lakukan semua itu
tanpa suara pekik dan teriak apa pun. Jurus mereka
punya gerakan kembar. Arahnya sama-sama ke
punggung Suto. Tetapi jurus itu segera dipatahkan oleh kilatan cahaya putih yang
melesat ke dua arah. Kilatan cahaya putih itu adalah pantulan sinar matahari
pada sebuah benda yang melayang dan tahu-tahu menancap
ke punggung kedua penyerang itu.
Ziiing, ziing...! Jlub, jlub...!
Brrrruuuk...! Keduanya jatuh bersama. Mereka terkapar mengejang
di tanah berumput. Matanya terbeliak-beliak bagaikan mempertahankan nyawanya
agar jangan pergi dari raga.
Tentu saja hal itu mengejutkan dua anak buah Jejak Iblis yang tadi
dijungkirbalikkan Suto. Sedangkan Jejak Iblis sendiri hanya picingkan mata
menahan murka yang siap
dilepaskan sewaktu-waktu. Rumput yang diinjaknya
berasap tipis, pertanda terbakar oleh kekuatan tinggi yang tersalur ke kaki
berkata menahan murka.
Suto Sinting memandangi dua orang yang masih
berkelojotan itu. Ia tak melihat bentuk senjata rahasia yang menancap di tubuh
kedua korban itu. Matanya
segera menyapu sekeliling, mencari orang yang
merobohkan anak buah Jejak Iblis. Tapi ia tidak melihat gerakan dan tempat yang
mencurigakan. Jejak Iblis berseru kepada kedua anak buahnya yang
tadi dijungkirbalikkan Pendekar Mabuk, "Agaknya
suasana kurang tepat untuk kalian! Bawa kedua
temanmu itu, Pulang! Biar kuhadapi sendiri anak muda dan konco bancinya itu!"
Maka kedua anak buah Jejak Iblis segera menyambar
tubuh kedua orang yang membiru tubuhnya itu. Mereka
memanggulnya dan segera melesat berlari membawa
pergi orang yang terluka itu. Kini tinggal Jejak Iblis sendirian menghadapi Suto
Sinting, ia maju beberapa
langkah tanpa gentar dan tatap tenang. Suto Sinting pun juga tetap tenang dengan
bumbung tuak ada di tangan
kanan. "Rupanya kau punya pengawal yang berjiwa
pengecut, Suto!"
"Aku tidak punya pengawal siapa-siapa. Kalau toh ada orang yang menyerang
pihakmu, mungkin karena
kau punya urusan sendiri dengan orang itu!" kata Suto Sinting dengan tetap
berdiri tegak, gagah, dan tampak jantan.
"Kita bertarung secara jantan! Jika kau kalah kau harus serahkan keris pusaka
itu. Jika kau menang, aku akan serahkan nyawaku! Setuju''


Pendekar Mabuk 027 Keris Setan Kobra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak!" sahut Suto cepat. "Karena aku tidak mempunyai keris pusaka. Jadi aku
tidak punya sesuatu
yang harus dipertaruhkan. Kusarankan, jangan mau
kehilangan untuk hal yang sia-sia, Jejak Iblis!"
"Aku harus memaksamu! Bersiaplah untuk jurus
awalku ini, Suto!"
Zliing...! Senjata rahasia melesat lagi dengan cepat
sebelum Jejak Iblis bergerak. Dengan cepat Jejak Iblis sentakkan tangan pemegang
tongkat dan bola berduri di ujung tongkat itu berputar cepat menghadang senjata
rahasia tersebut!
Logam kecil itu mental karena putaran bola berduri.
Logam kecil itu melesat ke arah Suto Sinting. Agaknya memang diarahkan ke sana
oleh gerakan jurus memutar
tongkat oleh Jejak Iblis. Tapi dengan tangkas Pendekar Mabuk menahan gerakan
benda itu menggunakan
bumbung tuaknya. Jraaab...! Benda itu menancap di
bambu bumbung tuak. Ternyata benda itu berbentuk segi tiga kecil.
"Rindu Malam..."!" gumam hati Suto mengenali jenis senjata rahasia itu.
Dugaannya tepat sekali. Memang Rindu Malam ada
di sekitar tempat itu. Jejak Iblis memaksanya keluar dari persembunyiannya yang
sudah diketahui oleh Jejak Iblis lewat datangnya senjata rahasia tersebut.
Tangan kiri si Jejak Iblis menyentak ke arah kerimbunan di balik
pohon-pohon pendek. Sinar merah seperti meteor
melesat dan menghantam pohon-pohon pendek itu.
Duaaar...! Blegaaar...! Gemanya menggaung kemana-
mana. Rindu Malam lebih dulu melompat keluar dari
persembunyiannya sebelum sinar merah itu meledakkan
pohon-pohon pendek. Gerakan saltonya di udara sangat cepat, menyerupai baling-
baling yang tertiup angin
kencang. Tahu-tahu gadis berambut pendek seperti
potongan lelaki itu sudah berdiri di samping Suto Sinting dalam jarak tiga
langkah. Kakinya sedikit merenggang, badannya tegak, wajahnya tampak tegas
memandang Jejak Iblis. Matanya yang indah itu berkesan lembut dan kalem namun punya
kharisma tersendiri.
"Menyingkirlah, biar kutangani orang ini," bisik Rindu Malam dengan suara pelan
yang mampu didengar
oleh telinga Jejak Iblis. Maka tokoh tua itu segera
berkata kepada gadis cantik itu,
"Jangan paksakan dirimu berkorban untuk pria seperti
dia, Nona. Suto Sinting hanya bagus di wajah tapi buruk di hatinya. Terbukti dia
sudah tega membunuh orang
yang selama ini dikenal baik oleh para tokoh persilatan!"
"Kurasa Suto hanya punya wajah bagus, tapi hati
buruknya adalah milikmu, Pak Tua!" jawab Rindu
Malam sambil maju dua langkah. "Apa pedulimu jika aku berdiri di pihaknya"
Apakah kau akan takut
menghadapiku"!"
"Jejak Iblis orang yang tak pernah punya rasa takut kepada siapa pun!"
"Bagus kalau begitu! Jika kau memang ingin
bertarung melawan Suto, akulah wakilnya dan mari kita tentukan siapa yang unggul
di antara kita!"
Suto hanya membatin, "Konyol juga gadis ini. Apa dia tak bisa menilai kehebatan
ilmu Jejak Iblis melalui rumput yang layu dan menguning jika habis dipijaknya"
Apakah getaran tanah yang timbul karena langkah kaki
Jejak Iblis tak membuatnya memperhitungkan
tantangannya" Benar-benar gila gadis ini. Untuk apa
sebenarnya dia mau korbankan diri membelaku?"
Setelah saling pandang beberapa saat antara Rindu
Malam dengan Jejak Iblis, kini giliran wajah Suto
Sinting yang terperanjat kaget melihat mata Jejak Iblis mulai keluarkan darah,
seperti lelehan air mata.
Sedangkan bola mata Rindu Malam masih kelihatan
tajam dan hanya mengalami perubahan tipis, yaitu
sedikit merah di bagian tepiannya.
"Rupanya mereka adu kekuatan tenaga dalam lewat
pandangan mata"!" pikir Suto Sinting. "Dan, sepertinya
Rindu Malam punya kekuatan lebih tinggi dari Jejak
Iblis. Buktinya Jejak Iblis menjadi berdarah sedangkan Rindu Malam tidak
mengalami hal seperti itu. Oh, hebat sekali gadis ini sebenarnya"!"
Darah yang mengalir dari kedua rongga mata Jejak
Iblis semakin banyak. Tangan Rindu Malam
menggenggam tidak terlalu kuat, tetapi tangan Jejak iblis menggenggam kuat.
Bahkan sebagian kukunya ada yang
menembus masuk ke besi tongkatnya, pertanda ia
bertahan mati-matian agar tak tumbang melawan gadis
muda yang ternyata berilmu tinggi itu.
Tiba-tiba Jejak Iblis melesat begaikan kapas
terhempas angin. Tubuh Rindu Malam pun ikut
menyambut serangan lawan. Wuuut...! Sedangkan Suto
melompat mundur memberikan tempat lebih leluasa bagi
keduanya. Jejak Iblis menghantamkan bola berduri di ujung
tongkat itu. Wuuung...! Tapi tangan Rindu Malam
menyambar pedang di punggungnya dengan sangat
cepat. Tahu-tahu pedang itu sudah ditebaskan
menyambut gerakan bola berduri. Traang! Traak...!
Buk...! Tongkat itu patah seketika. Bola berduri jatuh di
tanah. Sedangkan pedang Rindu Malam masih tetap utuh
tanpa rusak sedikit pun. Tubuhnya segera berputar cepat di udara setelah
melakukan jurus tebas pedang jitunya itu, dan kakinya berhasil berkelebat
menendang wajah Jejak Iblis. Plook...!
Wajah orang berjenggot pendek abu-abu itu terlempar
ke samping, membuat keseimbangan tubuhnya limbung.
Akhirnya ia jatuh pada saat menapakkan kakinya ke
tanah. Saat wajahnya terlempar karena tendangan cepat Rindu Malam tadi, Suto
melihat ada percikan merah
yang keluar dari mulutnya, itulah darah yang
ditimbulkan dari tendangan bertenaga dalam tinggi.
"Edan! Cepat sekali gerakannya. Sulit kupatahkan"!"
pikir Jejak Iblis dengan napas mulai terengah-engah.
Sementara itu, Rindu Malam masih berdiri dengan tegak dan sigap, pedangnya
tergenggam di tangan kanan
dengan kokoh. Jejak Iblis berdiri lagi. Tongkatnya dibuang karena
merasa tak berfungsi. Getaran tanah yang ditimbulkan
akibat jatuhnya dirinya tadi mulai reda dan diam seperti sediakala.
"Sebuah gerakan yang amat terlatih," kata Suto dalam hati memperhatikan cara
Rindu Malam memasukkan
pedang dengan cepatnya itu.
Kini Rindu Malam mulai pasang kuda-kuda karena
lawannya telah membuka jurus baru tanpa senjata. Tiba-tiba tubuh Jejak Iblis
melayang bagaikan seekor garuda ingin mematuk jantung lawannya. Rindu Malam pun
sentakkan kaki dan ternyata mampu melesat naik lebih
tinggi dari kepala Jejak Iblis. Ia bersalto satu kali sambil kakinya menjejak ke
bawah. Duuuhg...! Kepala Jejak
Iblis dijadikan sasaran kakinya. Suaranya terdengar
jelas, menimbulkan kesan jejakan kaki Rindu Malam itu cukup telak mengenai
sasaran. Bruuuk...! Jejak Iblis jatuh dengan satu lutut
menyentuh tanah. Hidungnya mengeluarkan darah kental
akibat tendangan tersebut, ia segera bangkit dan berbalik badan menghadapi Rindu
Malam yang sudah berdiri
dengan tegak dalam jarak tujuh langkah darinya itu.
Rupanya tendangan kaki Rindu Malam berkekuatan
tenaga dalam sangat tinggi, sehingga saat ini tubuh Jejak Iblis mengepulkan asap
putih dari pori-pori. Warna kulit membiru tampak ada di bagian dahi, lalu warna
memar itu berjalan turun sampai ke dagu, leher, dada, dan
akhirnya sampai ke bagian bawah lainnya dalam
keadaan memar membiru semua.
Jejak Iblis mulai gemetaran. "Titik urat sarafku dilumpuhkan! Siapa perempuan
muda itu yang mampu
menyerang titik urat sarafku" Kalau tak segera kuobati, pasti jantungku akan
berhenti dalam waktu dekat ini!"
Setelah berpikir begitu. Jejak Iblis pun akhirnya berkata,
"Kau hebat, Nona! Tapi suatu saat aku akan datang untuk membalas kekalahan ini."
Selesai bicara begitu, tubuh Jejak Iblis melesat
kembali bagaikan sebatang panah dilepaskan dari
busurnya. Sebenarnya Suto ingin mengejar, tapi Rindu
Malam berseru, "Biar aku saja yang mengejarnya!" Claap...! Tubuh Rindu Malam pun berkelebat
pergi dengan sangat cepat.
Kejap berikutnya terdengar suara Angon Luwak
berseru, "Auuh...! Tolooong...! Kang Suto, tolooong...!"
"Angon Luwak!" seru Suto dengan cepat, lalu ia berkelebat pergi ke arah tempat
datangnya suara Angon
Luwak. Samar-samar terdengar suara derap kaki kuda
yang menjauh. Tapi suara Angon Luwak pun semakin
menjauh. "Kaaang...! Kang Sutooo...! Tolong, Kaaang...!"
Tanpa disengaja seorang penunggang kuda
berpakaian hitam-hitam menggamit kedua tangan Angon
Luwak, sehingga bocah itu tidak bisa menggenggam
apa-apa. Sementara itu, Suto yang mengejarnya melalui pohon ke pohon mengetahui
Raden Udaya dan Malaikat
Beku berlari menunggang kuda di depan orang
berpakaian hitam tersebut. Suto Sinting segera lompat turun dan menerjang
penunggang kuda berpakaian
hitam. Wuuusss...! Bruuuss...!
Tahu-tahu tubuh Angon Luwak sudah di atas pundak
Pendekar Mabuk. Sedangkan orang berpakaian hitam itu
tumbang, jatuh dari atas kuda dan memekik keras.
"Aaaa...hhgg...!"
Rupanya ia jatuh tepat di atas tonggak kayu runcing.
Pinggangnya terhunjam tonggak kayu runcing itu.
Jreeb...! Ia mengerang kesakitan, sementara Suto
membawa Angon Luwak lari lebih cepat dan lebih jauh
lagi. Raden Udaya dan Malaikat Beku memandang
peristiwa itu dari kejauhan dengan jengkel sekali.
"Biar kukejar dia!" kata Malaikat Beku tak sabar menahan kemarahannya.
* * * 7 ORANG berjubah kuning dengan pakaian hijau
bagian dalamnya itu berdiri dengan tegak dan gagah,
padahal usianya sudah mencapai sembilan puluh tahun
lebih. Rambutnya putih meriap-riap dipermainkan angin yang berhembus ke tanah
Jurang Lindu itu. Orang itu tak lain adalah Ki Sabawana, yang lebih dikenal
dengan nama si Gila Tuak, guru dari Pendekar Mabuk; Suto
Sinting. Sementara itu, perempuan cantik yang tampak masih
muda padahal sudah berusia tujuh puluh tahun lewat itu, berdiri di samping si
Gila Tuak dengan kaki sedikit
renggang dan kedua tangan ke belakang. Rambut
perempuan cantik itu terurai, warnanya hitam mengkilap halus. Pakaiannya merah,
jubahnya ungu muda. Ia
berdada montok, bentuk tubuhnya masih saja
menggiurkan setiap lelaki hidung belang. Perempuan
cantik itu tak lain adalah Bidadari Jalang, juga gurunya Suto Sinting yang oleh
Suto disebutnya Bibi Guru.
Mereka berdua berhadapan dengan beberapa orang,
antara lain seorang lelaki berjubah biru dengan pakaian dalam abu-abu, rambut
putihnya panjang lewat
punggung, tubuhnya kurus dan jangkung. Salah satu
matanya buta sebelah kiri. Ia adalah tokoh tua berusia delapan puluh tahun,
namanya Ki Darma Paksi, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Titisan Ilmu Setan").
Di samping Darma Paksi adalah lelaki berpakaian
abu-abu juga dengan jenggot panjangnya yang putih
berusia tujuh puluh tahun lebih, berkumis pendek dan badannya juga kurus, ia
adalah Ki Argapura yang
dikenal dengan julukan si Penggal Jagat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Ladang
Pertarungan").
Di belakang Ki Argapura berdiri tegak seorang lelaki
berpakaian serba putih, kurus, bungkuk, rambut putih tipis, mata sipit, jenggot
panjang, kumis putih
melengkung ke bawah, menggenggam pipa tembakau.
Dia dikenal di rimba persilatan dengan nama Tabib
Awan Putih, yang berusia delapan puluh tahun.
Sedangkan di sampingnya berdiri pula lelaki berusia
sekitar enam puluh lima tahun, bercelana biru dan jubah abu-abu, rambut botak
tengah warna putih, berbadan
gemuk, ia lelaki yang sejak tadi mengunyah makanan
dari kantung kulit di pinggangnya, ia adalah Ki Madang Wengi, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode :
"Mustika Serat Iblis")
Di samping kanan Ki Madang Wengi, di bawah
pohon berdaun lebat, berdiri pula seorang lelaki, tokoh tua berusia sekitar
tujuh puluh tahun. Bajunya juga serba putih model biksu, rambutnya putih
digelung tengah,
jenggotnya panjang, badannya kurus. Dia adalah Ki
Jangkar Langit, pemilik pusaka Tombak Maut, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pusaka Tombak Maut").
Sedangkan orang yang sejak tadi duduk di atas batu
dengan mata cekungnya menatap Bidadari Jalang,
bertubuh kurus dan berkulit hitam dengan rambutnya
berwarna putih itu tak lain adalah Ki Sonokeling, yang bisa merubah wujudnya
menjadi seekor macan, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Malaikat Jubah Angker").
Tak jauh dari Ki Sonokeling berdiri seorang wanita
cantik berpakaian ungu ketat dilapis jubah ungu yang warnanya lebih tua lagi.
Perempuan berusia tua sekali tapi masih kelihatan seperti gadis berusia dua
puluh lima tahun itu tak lain adalah Pelangi Sutera atau Sumbaruni, Ibu dari
anak jin: Logo. Wanita inilah yang sebenarnya sedang disusul oleh Suto Sinting.
Wanita inilah yang
dikhawatirkan hendak menantang adu kekuatan ilmu
dengan Dyah Sariningrum karena ia mencintai Suto
Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Ratu Tanpa Tapak"), ia juga bersebelahan dengan Ki Lumakaono yang berjuluk
Pawang Gempa dan Ki
Parandito yang berjuluk Juru Bungkam.
Jurang Lindu itu juga dihadiri oleh seorang tokoh
kawakan yang masih tampak cantik dan muda,


Pendekar Mabuk 027 Keris Setan Kobra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rambutnya disanggul, sesuai wajahnya yang bulat telur.
Wanita ini mempunyai nama asli yang tidak boleh
disebutkan, karena dapat mendatangkan badai besar jika nama aslinya itu
disebutkan siapa saja. Ia adalah maha guru di Kuil Elang Putih berjuluk Embun
Salju, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Rahasia Pedang Emas").
Masih banyak lagi tokoh tua beraliran putih yang
hadir di antara mereka, sehingga hari itu Jurang Lindu penuh dengan tokoh tua
aliran pulih yang masing-
masing punya pemikiran yang sama, yaitu menuntut Gila Tuak dan Bidadari Jalang.
Kedua tokoh itu dituntut atas tindakan murid mereka; Suto Sinting, yang
dikabarkan membunuh Ki Empu Sakya, seorang tokoh tua yang tak
pernah mau menyakiti siapa pun sejak ia menjadi
seorang empu. Perbuatan baik semasa hidup sang empu
membuat mereka merasa tidak rela atas perlakuan yang menyebabkan kematian sang
empu. "Aku berani bertaruh nyawa, bahwa Suto tidak
mungkin melakukan tindakan seperti itu!" tegas Bidadari Jalang, bekas tokoh
hitam yang sekarang sudah berubah aliran menjadi tokoh putih dan mengasingkan
diri di Lembah Badai. "Saksi mata mengatakan Suto-lah pelakunya," kata Ki Madang Wengi. "Aku menjadi
Naga Beracun 11 Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D Korban Kitab Leluhur 1
^