Manusia Penyebar Kutuk 1
Pendekar Mabuk 018 Manusia Penyebar Kutuk Bagian 1
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 ANGIN berhembus dari utara ke selatan. Udara
kering terasa membakar kulit manusia, seakan sang
matahari ingin mengelupas setiap kulit penghuni bumi.
Tanah retak menjadi pertanda bahwa bumi pun
sebenarnya mengeluh menerima teriknya sang mentari
yang merajai langit raya.
Udara panas itu terasa semakin panas ketika angin
berhembus dan taburkan pukulan jarak jauh bertenaga inti api. Pukulan jarak jauh
dilepaskan dari telapak tangan orang yang berdiri di atas sebuah pohon tak
terlalu rindang. Pukulan itulah yang membuat seorang perempuan berjingkat loncat
sebelum hawa panas terasa ingin menerkam tubuhnya. Wuttt...! Blabb...!
Rumput tempat berdirinya orang itu terbakar. Jelas ini perbuatan orang yang
kurang perhitungan. Perempuan
itu cepat melarikan diri ke balik pohon. Matanya
memandang ke arah jalan yang habis dilewatinya. Mata itu mencari sesosok manusia
di sana. Tapi tak
ditemukannya. Jalan sepi, alam juga sunyi. Tapi
perempuan itu yakin, di balik kesepian dan kesunyian itu pasti ada sepasang mata
yang menunggu kesempatan
melepas maut untuknya. Karena itu perempuan tersebut tak mau segera keluar dari
pohon, ia justru
menggunakan ilmu 'Getar Bayu', yaitu mengirimkan
suara aneh yang bisa menyakitkan gendang telinga bagi manusia yang berada dalam
jarak dua puluh tombak dari tempatnya.
Perempuan itu pun mencakarkan kukunya pada
batang pohon yang digunakan untuk bersembunyi.
Batang pohon itu dicakar pelan-pelan sekali gerakannya, hingga timbulkan suara
berderit kecil, namun dapat
diterima jelas di pendengaran orang lain. Derit kecil itu menyerupai suara pintu
yang engselnya berkarat.
Kriiit... kkkriiit... kkkkrrriiiieett...!
Burung-burung beterbangan sambil mencicit
ketakutan. Ular-ular mendesis sambil cepat tinggalkan tempat sekitar situ. Dan
seorang lelaki yang berada di salah satu pohon, pada bagian dahan yang atas,
segera menutup telinganya dengan kedua tangan. Wajahnya
menyeringai menahan rasa sakit pada gendang
telinganya. Seolah-olah gendang telinganya bagai
ditusuk-tusuk dengan jarum yang terpanggang api.
Semakin panjang deritannya semakin kuat rasa sakit
yang dirasakannya.
Kriiiieeeet...!
Laki-laki di atas pohon itu hampir saja menjerit untuk mengimbangi rasa sakit
itu. Namun karena kedua
tangannya dipakai untuk menutup telinga rapat-rapat, akhirnya tubuh pun oleng
saat berdiri di atas dahan sebesar pahanya sendiri itu. Tubuh itu kehilangan
keseimbangan dan jatuhlah lelaki itu dalam keadaan terjungkal. Brasss...! Bukk!
Beruntung sekali ia bisa berjungkir balik satu kali pada saat jatuh dan melayang
dari atas, sehingga posisi jatuhnya tepat di tanah tak berbatu, serta kedua
kakinya yang menyentuh tanah lebih dulu dalam posisi jongkok.
Mendengar suara bergedebuk, perempuan yang
mengenakan pakaian hitam berhias benang emas, rambut disanggul, cantik,
judes,dan berkesan kejam itu segera palingkan wajahnya ke arah tersebut, ia
hentikan mencakar pohon, kini ia hampiri orang yang jatuh itu dengan satu lompatan
bertenaga peringan tubuh cukup tinggi. Wussst! Dalam sekejap, perempuan yang
mengenakan kalung berlian, gelang ketat, dan berhias mahkota kecil itu sudah
berada di depan orang yang
jatuh dari atas pohon.
"Siapa kau"!" hardik Ratu Teluh Bumi.
"Namaku Prahasto!" jawab pemuda berambut pendek dan rapi. Ia bersenjatakan keris
yang terselip di depan perutnya. Melihat dandanan yang rapi, wajah yang
rupawan, dan senjata keris di depan itu, Ratu Teluh Bumi dapat memperkirakan
bahwa Prahasto bukan
masyarakat desa biasa, bukan tokoh dunia persilatan,
melainkan anak muda yang berdarah bangsawan.
Jika Prahasto tokoh di rimba persilatan, setidaknya ia muncul manakala para
tokoh memperebutkan pedang
pusaka di Kuil Swanalingga, yang membuat Ratu Teluh Bumi terpaksa menyepi untuk
beberapa waktu, karena
menderita luka-luka dari serangan Pendekar Mabuk.
(Baca serial Pendekar Mabuk daiam episode: "Pedang Guntur Biru"). Dari sekian
banyak tokoh yang
memperebutkan Pedang Guntur Biru itu, hanya Ratu
Teluh Bumi yang mampu selamatkan diri walau harus
menerima kekalahan. Dan sekarang ia tampil kembali
untuk bikin perhitungan dengan seseorang, namun baru saja ia turun dari lereng
tempat peristirahatannya, tahu-tahu ia sudah mendapat serangan dari anak muda
yang bernama Prahasto itu.
"Aku tidak kenal siapa kau. Aku baru tahu namamu Prahasto. Bukankah kita tidak
punya persoalan apa-apa?"
"Memang! Tapi aku diperintahkan oleh seseorang untuk membunuhmu. Dan aku
dapatkan upah cukup
besar untuk pekerjaan ini!"
Perempuan yang berusia sekitar lima puluh tahun,
tapi masih awet cantik, berkulit kencang, berdada
montok, dan berpinggul menggiurkan itu hanya
sunggingkan senyum sinis kepada Prahasto. Kejap
berikut terdengar ia berkata,
"Jadi, kau seorang pembunuh bayaran?"
"Anggap saja begitu!"
"Kau yakin bisa membunuhku?"
"Aku yakin ilmuku lebih tinggi dari ilmumu!"
Prahasto tampak sengaja menjatuhkan keberanian
Ratu Teluh Bumi. Tapi perempuan itu hanya
sunggingkan senyum sinisnya yang berkesan keji, lalu berkata pelan,
"Apakah kau juga mampu mengalahkanku dalam
bercinta?"
Mata Prahasto sejak tadi dipandangnya, kali ini
berkedip bingung tanpa mengeluarkan jawaban. Mata itu masih terus dipandang oleh
Ratu Teluh Bumi dengan
sorot pandangan mulai sayu menantang gairah. Prahasto menjadi semakin
kelimpungan. Hatinya berdebar-debar, darahnya mendidih dan mengalir deras. Bukan
amarah yang mencekam jiwanya, tapi tuntutan gairah yang
memaksa jantungnya berdetak-detak. Prahasto sendiri merasa heran, mengapa tiba-
tiba ia mempunyai tuntutan gairah dalam keadaan harus membunuh lawannya.
"Apakah kau bisa mengalahkan cumbuanku?"
Prahasto gemetar kedua kakinya. Anak muda itu
mulai sulit bernapas karena diburu tuntutan batin yang ingin menggapai kemesraan
hangat. Matanya tak bisa
dibuang ke arah lain, karena dengan menatap mata
lawannya, Prahasto merasa diraba sekujur tubuhnya.
"Lepaskan pakaianmu jika kau mampu
mengalahkanku," kata Ratu Teluh Bumi yang membuat Prahasto makin terengah-engah.
Tanpa sadar tangannya telah melepasi pakaiannya sendiri. Prahasto benar-benar
tak sadar bahwa ia telah masuk dalam pengaruh
kekuatan teluh perempuan itu yang dipancarkan melalui
matanya. Jiwanya terbuai. Jiwa yang terbuai itu menjadi mudah dimasuki kekuatan
batin. Tiba-tiba tubuh Prahasto tersentak ke depan, dari
dalam tenggorokan seperti ada yang menyentak. Tak
bisa ditahan lagi, dan ia pun muntah di depan Ratu Teluh Bumi.
"Hoekkk...! Huek!" ia membungkuk-bungkuk, dan matanya sendiri melihat apa yang
dimuntahkan saat itu.
Cairan putih kental, mirip darah, tapi bukan darah. Tak terlalu banyak, namun
cukup bikin sekujur badan lemas, bagai orang habis mencapai puncak cumbuan. Ada
rasa nikmat pada diri Prahasto saat memuntahkan cairan
tersebut. Ada rasa kelegaan dari suatu tuntutan batinnya tadi. Bahkan sekarang
ia muntah lagi dengan bahan
muntahan yang sama, dalam jumlah yang cukup banyak, delapan kali lipat dari yang
pertama. Dan apa yang
dimuntahkan itu sepertinya suatu kekuatan seorang
lelaki yang makin banyak dibuang makin berkurang
tenaganya. Ratu Teluh Bumi sunggingkan senyum kemenangan,
ia geli sendiri melihat anak muda itu terkulai jatuh tak lagi mampu berdiri.
Napasnya terengah-engah seperti orang habis berlari mengelilingi tanah Jawa.
Wajahnya pucat pasi. Kedua kakinya gemetaran. Rasa nikmat
memang ada di dalam hati Prahasto, tapi rasa letih
menghujam di sekujur tubuh, membuat persendiannya
menjadi ngilu. "Siapa yang menyuruhmu membunuhku, Prahasto...!"
"Aku... aku lupa..." jawab Prahasto sambil ngos-
ngosan. Sepertinya menggerakkan bibir saja tak bisa, apalagi menggerakkan tangan
untuk melepaskan
pukulan. "Hooekk...!"
Prahasto kembali muntah. Lebih banyak lagi jumlah
cairan yang dimuntahkan. Napasnya bagai tinggal
sekuku hitam. Tubuhnya makin lemas bagai tanpa urat dan tulang lagi. Rasa nikmat
tetap hadir, seperti halnya jika ia melakukan percumbuan dengan mesra. Ia tak
tahu, bahwa dengan cara begitulah Ratu Teluh Bumi
melumpuhkan dirinya dan menyerang habis
kekuatannya. "Siapa yang menyuruhmu membunuhku,
Prahasto....!"
Pernyataan ulang itu membuat Prahasto mulai sadar,
bahwa ia sedang dipaksa mengatakan hal yang
sebenarnya. Jika ia tidak mau katakan yang sebenarnya, maka ia akan dipaksa
memuntahkan sesuatu yang
membuatnya semakin tak berdaya lagi itu.
Prahasto berpikir sejenak, setelah itu baru menjawab dengan suara yang sangat
pelan, hampir tak mudah
ditangkap oleh pendengaran,
"Dayang... Kesumat...!"
Ratu Teluh Bumi terkesiap. "Dayang Kesumat"!
Benarkah Dayang Kesumat yang menyuruhmu
membunuhku"!"
"Be... benar...!"
"Apa alasannya ingin membunuhku" Dayang
Kesumat tak pernah berselisih denganku, dan aku sendiri
tak pernah berbuat salah kepada Dayang Kesumat!"
"Entah... yang jelas aku harus temui dia pada malam purnama nanti...!"
"Di mana kau mau temui dia" Biar aku sendiri yang hadapi dia! Katakan di mana,
atau kau muntah
kenikmatan lagi?"
"Di... di.... Di Bukit Gelagah!"
"Bukit Gelagah"! Pada malam purnama..."! Hmm..!
Kurasa tak perlu aku membunuhmu, Cah Bagus! Yang
perlu kubunuh adalah Dayang Kesumat sebagai manusia lancang yang mau bikin
persoalan denganku! Dia tak
tahu, Ratu Teluh Bumi yang sekarang bukan lagi Ratu Teluh Bumi yang dulu!"
"Tapi... tapi...."
Wesss...! Ratu Teluh Bumi melesat pergi dengan
sangat cepat, ia tak pedulikan lagi keadaan Prahasto yang terkulai lemas,
gemetar seluruh tubuhnya bagai ingin menemukan ajalnya.
Akibatnya Prahasto hanya bisa telentang di tempat itu tanpa bergerak-gerak, ia
tak mampu lagi mengangkat
kepalanya. Sumsum dan darahnya bagaikan terkuras
habis. Seolah-olah tak tersisa sedikit pun di dalam tubuhnya. Matanya pun tak
bisa dipakai memandang
dengan jelas. Buram dan berkunang-kunang.
Sampai matahari bergerak memburu sore, Prahasto
masih tetap tak bisa melakukan apa-apa. Dan seseorang yang menunggu serta
memperhatikan dari kejauhan
sejak pertarungannya dengan Ratu Teluh Bumi, akhirnya tampakkan diri kepada
Prahasto. Mestinya orang itu tak
boleh menampakkan diri, tapi karena cemas akan
keselamatan jiwa Prahasto, maka ia pun segera
menghampiri tubuh yang terkapar tanpa daya itu.
Prahasto samar-samar melihat bayangan orang
mendekat, ia merasa sedikit lega. Tapi ketika ia
mempertegas pandangan matanya untuk melihat orang
itu dengan lebih jelas lagi, ia menjadi kaget setengah mati. Hanya saja ia tak
bisa tersentak seperti layaknya orang kaget. Hanya hatinya yang memekik begitu
melihat orang yang menghampirinya. Orang itu berusia sekitar tiga puluh tahun.
Orang itu cukup dikenal oleh Prahasto. Dia adalah
Rakawuni, seorang anggota prajurit sandi dari kerajaan.
Orang itu tingkatannya lebih tinggi dari Prahasto.
Dalam jajaran keprajuritan di Istana Jenggala, Prahasto masih tamtama sedangkan
Rakawuni sudah termasuk
perwira unggul, dan masuk dalam jajaran prajurit sandi praja, artinya prajurit
khusus untuk menangani masalah-masalah berbahaya dalam keistanaan. Tidak setiap
prajurit bisa menjadi prajurit sandi praja. Mereka adalah orang-orang pilihan
yang punya ilmu tinggi, punya
kepandaian menyamar, punya kepandaian mencuri, dan
punya kepandaian menggunakan semua jenis senjata.
"Rakawuni...," ucap Prahasto, pelan sekali sehingga Rakawuni sempatkan diri
untuk merendahkan badan.
"Aku dengar ucapanmu, Prahasto!"
"Aku... tak sadar telah diserangnya."
"Ya. Aku tak bisa membantumu tadi, karena aku tak boleh kelihatan. Ratu Teluh
Bumi kenal betul
denganku!"
"Dia... sungguh tinggi ilmunya. Bukan tandinganku!"
"Kau harus gunakan otakmu, bukan kekuatanmu,
Prahasto."
"Ya. Aku... aku sudah gunakan otakku. Karenanya aku katakan hal yang tidak
sebenarnya."
"Bagus. Apa yang kau katakan kepadanya?"
"Aku disuruh membunuh dia. Orang yang
menyuruhku adalah Dayang Kesumat! Akan kuadu dia
dengan Dayang Kesumat, karena Dayang Kesumat lebih
tinggi ilmunya dari Ratu Teluh Bumi."
"Mengapa kau mengadunya dengan Dayang
Kesumat?" "Karena Dayang Kesumat pernah menolak cintaku!"
* * * Lelaki bertubuh agak gemuk dan berwajah bundar itu
Pendekar Mabuk 018 Manusia Penyebar Kutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mempercepat larinya. Gerakan kaki nyaris tak bisa
dilihat lagi mana yang kanan dan mana yang kiri. Lelaki sedikit pendek
berpakaian abu-abu dengan potongan
rambut pendek bundar seperti topi tapi cukup tebal itu dikenal dengan nama
Wilduto. Melarikan diri merupakan pekerjaannya setiap hari.
Dia adalah satu-satunya anggota Pencuri Terhormat dari Gua Maksiat yang punya
kecepatan lari paling jago. Tapi agaknya kali ini Wilduto yang berwajah bulat
dengan mata bundar jelek itu mengalami keanehan dalam
larinya. Kaki sudah diayun dengan cepat dan sangat cepat.
Arah yang dituju adalah gugusan tanah tinggi yang
mempunyai tiga pohon kelapa berjajar itu. Di sana, ia bisa menghilang dari
kejaran lawan, karena di sana ada lorong kecil, mirip lorong ular yang bisa
dipakai untuk masuk tubuhnya. Lorong itu yang akan membawanya ke
Gua Maksiat, tempat teman-temannya yang
pekerjaannya sebagai pencuri membagi hasil, berjudi, atau membawa perempuan
impiannya. Tetapi secepat baling-baling kaki itu bergerak,
gugusan tanah tinggi bertanda tiga batang pohon kelapa berjajar itu terasa masih
jauh. Wilduto mempercepat lagi larinya, kerahkan semua tenaga, bahkan
keringatnya sampai bercucuran. Tapi anehnya pohon kelapa berjajar tiga itu belum juga
dicapainya. Wilduto menoleh ke belakang, ia terkejut.
Memandang ke samping. Juga terkejut. Memandang ke
bawah, semakin terkejut. Karena tanah yang dipijaknya berongga, melesak ke
dalam, rumput yang dipijak
menjadi rusak. Pohon di sampingnya tidak bergerak.
Padahal dia sudah lari sekuat tenaga sejak tadi maka Wilduto segera sadar bahwa
ada kekuatan gaib yang
menahannya dari belakang.
Dan ketika ia memandang ke arah belakang lagi, tiba-tiba matanya menangkap
seraut wajah cantik yang amat mengejutkan hati. Tersentak Wilduto seketika itu
dan mundur tiga tindak dari tempatnya.
"Celaka...!" gumamnya sangat lirih sekali.
Perempuan cantik yang masih tampak muda itu
bertubuh ramping. Pakaian penutup dadanya berwarna
hijau dengan hiasan benang emas. Celananya yang ketat itu juga berwarna hijau,
ia mengenakan baju jubah tak dikancingkan, berwarna biru muda samar-samar,
sehingga masih tetap membayang wujud bentuk
tubuhnya yang menggiurkan itu. Rambutnya diurai,
pakai mahkota emas kecil, ia juga mengenakan kalung lempengan emas bermata intan
susun dua. Ia mengenakan gelang kroncong, kiri lima, dan kanan lima.
Gemerincing suara gelang terdengar jika tangannya
digerakkan. Di pundaknya tersumbul gagang pedang berbenang
koncer merah. Pedang yang disematkan di punggungnya itu adalah pedang bersarung
merah tembaga berukir.
Wilduto merasa takut berhadapan dengan perempuan
cantik berhidung mancung dan berbibir bagus itu. Bukan karena Wilduto tidak
pernah bertemu dengan perempuan secantik itu, tapi memang Wilduto berusaha untuk
jangan sampai bertemu dengan perempuan tersebut.
Sebab ia tahu, perempuan itu adalah Dayang Kesumat, penguasa dari Pulau Hantu
yang terkenal cukup sakti.
(Baca serial Pendekar Mabuk, dalam episode: "Cermin Pemburu Nyawa").
"Mau lali ke mana kau, Tikus Busuk!" seru Dayang Kesumat dengan suara cadelnya
yang tidak bisa
sebutkan huruf 'R', ia berdiri dalam jarak tujuh langkah dari tempat Wilduto.
"Mengapa kau masih mengejarku terus, Dayang
Kesumat"! Bukankah sudah kukatakan bahwa aku tidak
punya salah apa-apa padamu"!"
"Kalau tak punya salah, kau tak akan lali, Wilduto!"
Dayang Kesumat maju tiga tindak. Wilduto mundur
dua langkah, ia berusaha menghindari pandangan mata Dayang Kesumat yang tajam
itu. "Kembalikan gelangku, atau kau kubunuh sekalang juga, Wilduto!"
"Sungguh aku tidak mengerti apa maksudmu, Dayang Kesumat!"
Dayang Kesumat segera menggenggam jari
kelingkingnya. Wilduto segera tersentak dengan leher memanjang, ia mendelik dan
tak bisa bernapas.
Lehernya bagaikan ada yang mencekik dengan keras.
Wajah Wilduto menjadi merah dan badannya bergerak-
gerak, seakan kedua tangannya ingin menarik sesuatu yang mencekik leher, tapi
tak ada tangan yang harus disingkirkan atau ditarik.
Ketika kelingking yang digenggam Dayang Kesumat
dilepaskan, maka Wilduto kembali bisa bernapas walau diawali dengan terbatuk-
batuk. Napasnya terengah-engah dan lehernya terasa panas.
"Kau benal-benal maling bodoh, Wilduto! Kalau kau mau menculi, jangan menculi
balang-balangku! Itu sama saja kau jual nyawamu dan kau tukal dengan balang-
balangku!"
"Ak... aku tidak mencuri! Uhuk uhuk uhukk...! Aku tidak ambil apa-apa darimu,
Dayang Kesumat!"
"Lantas untuk apa kau menyusup masuk ke
pesangglahanku?"
"Aku tersesat!"
"Jika kau telsesat, mengapa kau lali begitu
melihatku?"
"Aku... hmm... aku takut kalau...! Heggh...!"
Wilduto mengejang. Matanya mendelik dengan badan
setengah bungkuk ke depan. Kedua tangannya mendekap
'jimat lelaki' yang dirasakan telah diremas oleh sebuah tangan. Pada saat itu,
Dayang Kesumat menggenggam
jari telunjuknya sendiri. Yang digenggam jari
telunjuknya, tapi yang merasakan sakit adalah bagian bawah Wilduto.
Itulah jurus yang sering ditakuti lawan. Jurus 'Jemari Mayat' merupakan jurus
yang langka dimiliki orang.
Jurus itu bisa membunuh orang dengan mudah, dengan hanya menggenggam salah satu
bagian jari. Jika bagian jari kelingking yang digenggam, maka lawan akan
merasakan tercekik. Jika bagian telunjuk yang diremas, maka lawan akan merasa
diremas kuat bagian 'jimat'-nya itu. Begitu pula dengan jari-jari yang lainnya,
punya sasaran tersendiri untuk setiap jarinya.
"Lekas selahkan Gelang Mata Setan-ku!" sentak Dayang Kesumat.
"Gelang itu... gelang itu... jatuh ke laut, waktu kau menyerangku di perahu!"
"Apaaa..."!" seru Dayang Kesumat sambil melangkah maju siap melepaskan murkanya.
"Coba sebutkan sekali lagi!" sentaknya.
Makin takut Wilduto hadapi wajah garang perempuan
cantik itu. Tapi ia tetap sebutkan dengan suara bergetar,
"Gelang itu... jatuh ketika kau menyerangku di kapal.
Jatuh ke laut dan...."
"Jahanam kau!"
Behggg...! Dayang Kesumat lepaskan tendangan kuat
ke arah dada Wilduto. Seketika itu Wilduto terlempar jauh, bagaikan daun kering
terlempar begitu saja.
Wilduto tak sempat mengaduh atau memekik, karena
napasnya bagai terhenti sekian kejap.
Dayang Kesumat masih belum puas, maka dengan
satu sentakan tangan kirinya, melesatlah sinar merah berbentuk bintang.
Zlapp...! Sinar merah itu seharusnya menghantam pinggang Wilduto, dan Wilduto
akan pecah berkeping-keping.
Tetapi sebelum sinar merah itu menghantam sasaran,
terlebih dulu sekelebat sinar hijau melesat dan tepat membentur sinar merah.
Blarrr...! Meledaklah benturan dua sinar itu. Gelombang
ledakannya membuat Wilduto terlonjak terbang ke atas dan jatuh bagaikan nangka
busuk. Blukkk...! Sedangkan Dayang Kesumat tidak bergeming sedikit pun diterpa
gelombang ledakan yang membawa angin besar
menyebar itu. Dayang Kesumat tak menghiraukan lagi keadaan
Wilduto yang kini bisa mengerang kesakitan. Mata
Dayang Kesumat memandang nanar ke sekelilingnya, ia mencari si pemilik sinar
hijau tadi. Kemarahan semakin tampak nyata di permukaan wajah cantiknya yang
bermata jeli indah itu.
Tiba-tiba ia rasakan ada hembusan hawa panas yang
akan menyerangnya dari belakang. Dengan cepat
Dayang Kesumat berbalik arah dan lepaskan pukulan
tenaga dalam tanpa sinar itu. Wussst...!
Blamm...! Terjadi letupan kecil yang memercikkan sinar putih keperakan. Itu pertanda
pukulan hawa panas yang akan menyerangnya berhasil dipatahkan di pertengahan
jalan. Kemudian, dengan geramnya Dayang Kesumat
menghantam bagian atas sebuah pohon yang berdaun
rindang. Zlappp...! Sinar merah melesat dan menuju ke pohon
berdaun rindang itu. Dengan cepat, melompatlah sesosok bayangan berwarna kuning.
Wuttt..! Dan dalam kejap
berikutnya, sosok yang melompat itu telah berada di bawah pohon, lalu kembali
melesat ke samping.
Pada saat itu, sinar merah menghantam dahan pohon
dengan timbulkan suara ledakan yang cukup kencang.
Duerrr...! Prasss...!
Semua daun di pohon itu menyebar entah ke mana,
menjadi serpihan-serpihan kecil. Batang dan dahannya pun pecah menyebar ke mana-
mana. Orang yang baru
turun dari pohon itu terpaksa lompat kembali untuk menghindari hujan serpihan
kayu dari atasnya.
Wuttt...! Wilduto menggunakan kesempatan itu untuk
melarikan diri. Dayang Kesumat melihatnya, lalu segera berlari mengejar. Tapi
tiba-tiba ia tersentak dan hampir saja tersungkur kalau tidak segera berjungkir
balik dengan lincah ke arah depan. Sebuah pukulan jarak jauh
dilepaskan dari lawan barunya dan mengenai
punggungnya. "Bangsat!" geram Dayang Kesumat dengan mata mulai memandang garang kepada lawan
barunya yang tak lain adalah Prahasto. Segera Dayang Kesumat
mengirimkan pukulan jarak jauh lagi, wusss...! Prahasto menghindarinya dengan
melompat tinggi dan bersalto
satu kali di udara. Kemudian kakinya berhasil mendarat dengan tegap dan sigap.
Matanya memandang penuh
waspada dalam keadaan badan setengah miring ke
kanan. "Plahasto! Mengapa kau menyelangku" Bukankah
selama ini hubungan kita baik-baik saja"!"
"Ada sesuatu hal yang membuatku terpaksa bersikap begini padamu, Dayang
Kesumat!" Hati Dayang Kesumat menjadi benci melihat sikap
Prahasto yang menyerang dengan sungguh-sungguh tadi.
Karena itu, Dayang Kesumat pun merencanakan untuk
tidak segan-segan membunuh Prahasto, walau
sebenarnya ia sangat sayang, karena sewaktu-waktu ia bisa menggunakan tenaga
Prahasto untuk keperluan
batiniahnya. Selagi Dayang Kesumat merenungkan diri, tiba-tiba
Prahasto melepaskan pukulan tenaga dalamnya melalui genggaman tangannya yang
menghantam ke depan.
Kepalan tangan itu keluarkan cahaya kuning yang nyaris tak terlihat jika dalam
keadaan siang hari.
Wussst...! Cepat-cepat telapak tangan Dayang Kesumat
dihadangkan ke dada. Dan sinar kuning itu menghantam telapak tangan tersebut.
Debb...! Wuttt...! Dayang
Kesumat terlempar ke belakang, ia tak sangka kekuatan pukulan bercahaya kuning
itu sangat besar. Tubuhnya sempat terbanting ke belakang dan membentur sebatang
pohon. Bruss...!
"Dia benal-benal ingin membunuhku!" pikir Dayang Kesumat. "Apa penyebab
sebenarnya?"
Dayang Kesumat segera bangkit, telapak tangannya
terasa ngilu, tapi tidak ia perhatikan. Dengan cepat tangan kanan itu meremas
jari kelingkingnya. Sett...!
"Keehkkr...!"
Prahasto mendelik seketika dengan tubuh kejang, ia
memegangi lehernya sendiri, mencari tangan yang
mencekik keras-keras itu. Tapi ia tak mendapatkan
tangan orang lain kecuali tangannya sendiri. Prahasto kelabakan, sukar bernapas
hingga mulutnya ternganga, menjulurkan lidah dan kepalanya tersentak-sentak.
"Mengapa kau mau membunuh aku, hah"! Sebutkan, mengapa kau mau membunuh aku"!
Apa alasanmu, hah"!"
Dayang Kesumat melepaskan jurus 'Jemari Mayat'-
nya. Prahasto terbatuk-batuk dalam keadaan seperti
Wilduto tadi. Dayang Kesumat berkata,
"Kalau kau tak mau jawab, aku akan lakukan lagi!"
Prahasto berusaha menjawab dengan napas masih
terengah-engah,
"Karena... karena... aku disuruh oleh seseorang! Ada yang mengupahku untuk
membunuhmu!"
"Siapa...?"
"Aku... aku tak tahu!"
"Siapa"!" bentak Dayang Kesumat sambil ia meremas jari tengah. Sekarang yang
dirasakan Prahasto adalah perut. Perut itu terasa diremas isinya dan dipulir
kuat-kuat. Prahasto kembali tidak bisa bernapas. Megap-
megap dan mendelik sambil tubuhnya gemetaran.
Bahkan tubuh itu terangkat sedikit, kakinya
menggantung, tidak menyentuh tanah. Kejap berikut, ia dilepaskan dalam satu
sentakan yang membuatnya jatuh.
"Jawab kataku, siapa yang suluh kamu bunuh aku"!
Kalau tidak, kucekik kau dali sini sampai mati!"
"Ak... aku mau kasih tahu orangnya, tapi... tapi kau harus berjanji untuk tidak
bunuh aku!"
"Baik. Kau bisa kuampuni jika kau kasih jawaban yang benal!"
Prahasto benar-benar merasakan sakit. Bukan
berpura-pura. Padahal kalau dia maju untuk serang
Dayang Kesumat, bisa saja ia lakukan. Tapi jelas dia akan dibunuhnya. Kalau toh
dia lari, dia juga akan
dikejar dan dibunuhnya. Maka, segeralah Prahasto
memainkan rencananya,
"Aku disuruh oleh seorang perempuan yang bernama Ratu Teluh Bumi! Dia yang
menghendaki kematianmu!"
"Latu Teluh Bumi..."!"'geram Dayang Kesumat dengan bahasa cadelnya. "Diam-diam
olang itu jahanam juga! Dia pelalian dali Jenggala! Dia satu-satunya olang
Jenggala pada masa pemelintahan laja sebelumnya yang masih hidup! Dulu dia lali
dali Jenggala, dan kutampung
di Pulau Hantu. Tapi sekalang dia belbalik mau
membunuhku! Pasti dia mau kuasai Pulau Hantu untuk
menyusun kekuatan balu, buat menyelang Jenggala!"
"Soal itu, aku benar-benar tidak tahu! Dia tidak pernah sebutkan alasannya
memberi perintah begitu
padaku. Dia hanya menyebutkan sejumlah uang yang
Pendekar Mabuk 018 Manusia Penyebar Kutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cukup menggiurkan bagiku! Sebagai pengelana, aku
selalu butuh uang dan segala pekerjaan pun kuhalalkan!
Yang penting aku bisa mendapatkan uang untuk
menyambung hidupku!"
"Sehalusnya kau kubunuh, Plahasto... kalena
kuanggap kau telah menodai pelsahabatan kita!"
"Tapi kau janji tidak akan membunuhku tadi!"
"Ya, aku memang janji! Tapi janjiku kucabut, kecuali kau mau kasih tahu padaku,
di mana aku bisa temui Latu Teluh Bumi itu"!"
"Aku tidak bisa sebutkan sekarang. Entah dia ada di mana. Tapi aku bisa bertemu
dengannya pada malam
purnama nanti. Aku harus temui dia di Bukit Gelagah untuk melaporkan hasil
kerjaku ini!"
"Bukit Gelagah"!" gumam Dayang Kesumat. "Dua hali lagi adalah malam pulnama.
Belalti aku halus bikin pelhitungan dengannya dua hali lagi di Bukit Gelagah."
"Tapi aku tak berani ikut mendampingimu! Aku takut dia mengetahui bahwa aku
memihakmu!"
"Aku akan datang sendili! Tapi kalau di sana tak ada dia, kau kucali untuk
kubunuh!" Dayang Kesumat bicara dengan mata memancarkan
dendam untuk membunuh. Agaknya dia benar-benar
merasa benci pada Prahasto jika pada malam purnama
nanti tak ada Ratu Teluh Bumi di Bukit Gelagah.
Prahasto pun cemas, takut kalau-kalau Ratu Teluh Bumi tidak hadir di bukit itu
pada malam purnama nanti,
pastilah dirinya akan jadi bahan buruan bagi Dayang Kesumat. Dan Prahasto tidak
sanggup menghadapi ilmu Dayang Kesumat, termasuk ilmu yang baru saja dipakai
menyerangnya, jurus 'Jemari Mayat'. Prahasto tak pernah tahu bahwa Dayang
Kesumat punya jurus seperti itu.
Sama halnya Dayang Kesumat tak pernah tahu kalau
Prahasto adalah prajurit sandi dari Jenggala. Ia mengenal Prahasto sebagai
pengelana yang hidupnya dari upah
demi upah. * * * 2 SEMILIR angin membawa keteduhan di bawah
pohon rindang itu. Pendekar Mabuk yang sedang
melepaskan lelah di bawah pohon tersebut mulai
mengeluh dalam hati. Perutnya terasa lapar sekali, tapi tak tahu ke mana ia
harus mencari tempat untuk makan.
Dari ketinggian lereng itu, Pendekar Mabuk
memandang ke arah utara, dan samar-samar ia melihat persawahan membentang dengan
tanaman padinya yang
masih menghijau. Dalam hatinya Suto Sinting pun
berkata membatin,
"Kurasa tak jauh dari persawahan di sana pasti ada sebuah desa. Dan kurasa di
desa itu ada kedai untuk
makan. Sebaiknya aku segera ke sana saja. Perutku
terasa perih jika diisi tuak terus-menerus. Kebetulan tuakku tinggal sedikit,
ada baiknya kalau aku bukan hanya mengisi perut, tapi juga mengisi bumbung
tuakku ini!"
Maka bergegaslah Suto Sinting, si Pendekar Mabuk
itu melangkah menuruni lereng perbukitan. Namun
beberapa saat sebelum ia mencapai pematang sawah di seberang sana, langkahnya
menjadi terhenti akibat
kehadiran seseorang yang muncul dari balik sebatang pohon besar berdaun rimbun.
Orang tersebut adalah pemuda sebaya dengannya,
berambut panjang yang diikat ke belakang, tubuhnya
tinggi, tegap, dan mempunyai wajah lumayan ganteng.
Pemuda itu mengenakan baju hijau tua dan
menyandang empat pisau terbang di pinggangnya.
Dilihat dari caranya memandang, Suto sudah dapat
menduga, pemuda tersebut punya maksud tak baik
padanya. Setidaknya ada sesuatu yang membuatnya
curiga terhadap Suto. Tetapi saat itu Suto Sinting tetap tenang dan
menyunggingkan senyum keramahan, ia
berhenti antara tujuh langkah di depan pemuda berbaju hijau itu.
Karena pemuda itu sejak tadi hanya memandang
dengan tajam dan tidak membalas senyum keramahan
Pendekar Mabuk, maka si Pendekar Mabuk itu menyapa
pemuda tersebut lebih dulu.
"Agaknya kau punya masalah yang ingin kau
sampaikan padaku, Sobat! Katakanlah apa masalahmu.
Tapi tolong sebutkan dulu namamu!"
"Namaku Jarum Lanang," jawab pemuda itu bernada ketus.
"Itu nama yang bagus!" kata Suto sambil tetap tersenyum kalem. "Setelah itu, apa
masalahmu?"
"Tak usah berpura-pura ramah padaku! Serahkan
Sumping Rengganis sekarang juga, atau aku terpaksa
membunuhmu"!"
"Apa..."!" Pendekar Mabuk berkerut dahi dengan heran.
"Serahkan Sumping Rengganis padaku!"
Pendekar Mabuk diam sebentar, berpikir beberapa
saat lalu bertanya dengan wajah lugu.
"Sumping Rengganis itu apa" Nama pusaka atau
nama makanan"!"
Wajah Jarum Lanang semakin tampak marah, ia maju
dua tindak dari tempatnya menggeram, kemudian
berkata dengan mata makin tajam memandang Pendekar
Mabuk, "Kau benar-benar memuakkan! Jangan berlagak
bodoh di depanku, Jahanam!"
"O, namaku Suto! Suto Sinting! Ya, itu namaku dan bukan Jahanam!" kata Suto
sambil menyunggingkan senyum yang berkesan tidak merasa gentar sedikit pun
dengan gertakan pemuda berambut panjang itu. Sikap
tersebut membuat Jarum Lanang menjadi semakin
dongkol, maka dengan cepat tangannya berkelebat ke
depan untuk melepaskan pukulan jarak jauhnya. Dan
pukulan itu oleh Suto hanya dibalas dengan gerakan
telapak tangan kiri yang terbuka menghadap ke depan.
Wubbb...! Pukulan jarak jauh tanpa sinar itu bagaikan diredam oleh tangan kiri
Pendekar Mabuk, lalu
dibelokkan arahnya ke samping. Wursss...! Berubah
menjadi hembusan angin yang menerjang semak.
"Apa kau ingin unjuk permainan padaku, Jarum
Lanang"!"
Jarum Lanang membentak, "Aku hanya ingin
meminta kembali kekasihku yang bernama Sumping
Rengganis!"
"Ooo... Sumping Rengganis itu nama kekasihmu"!"
Suto membuka mata lebar-lebar sambil tertawa kecil dan akhirnya manggut-manggut.
Tetapi Jarum Lanang sudah tak sabar lagi, maka dengan cepat ia mencabut salah
satu pisaunya dan dilemparkan ke arah Pendekar Mabuk
dengan kelebatan cepat, hampir tak terlihat. Zingngng...!
Tebb...! Pendekar Mabuk kembali kelebatkan
tangannya di depan, dan ternyata saat itulah ia bergerak menangkap pisau yang
dilemparkan oleh Jarum Lanang.
Pisau itu tahu-tahu menancap di sela-sela dua jemari tangannya, tanpa luka dan
tanpa darah sedikit pun.
Pendekar Mabuk tersenyum lagi, tapi Jarum Lanang
terkesiap matanya melihat kecepatan lawan dalam
menangkap pisau terbangnya. Dalam hatinya Jarum
Lanang membatin,
"Agaknya dia bukan pemuda sembarangan, bukan
sekadar pemuda tampan tanpa isi! Aku yakin dia punya ilmu yang lumayan. Buktinya
dia bisa menangkap
lemparan pisauku dengan jemarinya! Hmm...! Aku tak
boleh sembarangan menghadapi pemuda ini!"
Lalu Jarum Lanang segera terperanjat dan terpaksa
sentakkan kaki ke tanah, tubuhnya melompat ke atas
karena Suto Sinting mengembalikan pisaunya dengan
satu gerakan yang hampir-hampir tak terlihat kelebatan geraknya. Wussst...!
Kalau bukan karena ada pantulan sinar matahari yang membuat mata pisau
berkerilap sekejap tadi, Jarum Lanang tak bisa melihat bahwa
benda itu meluncur ke arahnya.
Pisau tersebut bisa lolos dari dirinya. Jarum Lanang merasa lega. Ia memandang
ke belakang sebentar,
melihat di mana menancapnya pisau tersebut untuk nanti dicabutnya kembali.
Rupanya pisau itu menancap di
batang pohon tak terlalu besar tak begitu jauh darinya.
Jarum Lanang kembali lega. Tapi tiba-tiba terperanjat kaget karena pisau itu
ternyata tidak menancap,
melainkan juga menembus batang pohon itu. Ploss...!
Keluar dan menembus pohon depannya lagi. Ploss! Pada batang pohon ketiga pisau
itu berhenti menancap.
Jrabb...! Melihat kehebatan lemparan pisaunya Pendekar
Mabuk, Jarum Lanang hampir saja tak bisa menelan
ludahnya sendiri, ia tak bisa bicara apa pun, selain hanya membatin,
"Luar biasa! Pisau itu bukan hanya menancap tapi menembus, dan bukan saja
menembus pada batang
pohon pertama, namun juga menembus pohon kedua dan
berhenti di pohon ketiga! Tanpa tenaga dalam yang
tinggi, tak mungkin hal itu bisa dilakukan! Ternyata
pemuda itu punya kehebatan melempar pisau lebih
tinggi dariku. Gawat kalau begini! Agaknya aku tak boleh gegabah dalam
menghadapinya! Benar-benar
harus pakai perhitungan!"
Kemudian terdengar suara Pendekar Mabuk berkata,
"Jarum Lanang, sebaiknya kita tak perlu berselisih! Jujur saja kukatakan padamu,
kau akan kalah jika melawanku!
Dan aku tidak suka menyerang orang yang tidak punya kesalahan apa pun kepadaku.
Jika itu hanya kesalahpahaman, kita harus luruskan bukan dengan
perselisihan atau pertarungan! Perlu kau percayai, bahwa aku tidak tahu menahu
tentang kekasihmu itu.
Mendengar namanya saja baru kali ini!"
"Omong kosong! Sewaktu aku di lereng sana, aku melihat Sumping Rengganis masih
menungguku di sini!
Dan ketika kau tiba di sini, dia sudah tak ada! Kejap berikutnya kau muncul
dengan langkah terburu-buru!
Dugaanku mengatakan, kau telah sembunyikan
kekasihku itu dan entah kau bunuh atau kau apakan dia di tempat
persembunyiannya, lalu kau ingin buru-buru pergi dari sini!"
"Oh, salah besar itu, Jarum Lanang! Salah besar! Aku melangkah terburu-buru
karena ingin segera mencapai desa seberang sana untuk mencari kedai! Aku lapar
sekali dan ingin segera mengisi perut!"
"Bohong! Wajahmu lebih tampan dariku, pasti
Sumping Rengganis lebih terpikat dengan
senyumanmu!"
"Terima kasih atas pengakuanmu itu! Tapi sungguh
mati aku tidak menculik atau menyembunyikan
kekasihmu, Jarum Lanang! Sebaiknya, kau percaya saja padaku, supaya di antara
kita tidak terjadi pertarungan!"
"Kau kira aku takut melawanmu"!" sentak Jarum Lanang sambil melangkah dua tindak
ke depan. "Tentu saja kau tidak takut padaku! Kau punya ilmu tinggi mestinya, terbukti kau
berani menyerangku
dengan lemparan pisau. Tapi aku pun juga tidak akan gentar melawanmu, hanya saja
aku tidak suka berselisih karena kesalahpahaman!"
"Rupanya kau perlu dipaksa, Suto! Heaaah...!"
Jarum Lanang segera melompat dan melepaskan
pukulan tenaga dalamnya bercahaya kuning. Suto
Sinting hanya menghindar ke samping tanpa berpindah dari tempatnya berpijak.
Wuttt...! Sinar kuning itu melesat tak mengenai Pendekar Mabuk, melainkan
mengenai pohon di belakangnya. Blarr...! Pohon itu pun rubuh dan hancur di
pertengahannya.
Pada saat itu, kaki Jarum Lanang sudah menapak di
tanah depan Suto dalam jarak satu langkah persis.
Tangannya segera menghantam lurus ke wajah Suto.
Dengan cepat tangan Pendekar Mabuk berkelebat
menangkisnya. Plakk...! Kemudian dua jarinya menusuk kuat ke arah ulu hati Jarum
Lanang. Tubb...!
"Heggh...!" Jarum Lanang terpekik tertahan sambil tubuhnya tersentak terbang ke
belakang dan jatuh dalam jarak empat langkah.
Pendekar Mabuk mengambil bumbung tuaknya dan
meneguk tuak beberapa kali. Ia tetap bersikap santai dan
tenang tanpa nafsu menyerang. Sementara itu, Jarum
Lanang yang jatuh terduduk di tanah itu berusaha
bangkit dengan wajah menyeringai menahan sakit pada ulu hatinya, ia pun
membatin, "Gila betul sodokan jari pemuda itu! Ulu hatiku terasa bengkak! Uhh... sakitnya
bukan main! Hanya dua jari yang menyodok, tapi rasanya seperti sebatang kayu
kelapa yang menghantam dadaku!"
Suto mendekati Jarum Lanang dan menyodorkan
bumbung tuaknya dengan berkata,
"Minumlah tuakku ini, supaya kau tak terlalu merasa sakit!"
Plakk...! Jarum Lanang mengibaskan tangannya,
menghantam bumbung tuak yang disodorkan kepadanya.
Biasanya benda seperti itu jika dihantam dengan kibasan tangan akan terpental.
Tapi kali ini ternyata tidak. Benda itu tetap di tempatnya tanpa gerak sedikit
pun. Padahal tangan Jarum Lanang cukup keras mengibaskan dan
menghantam bumbung itu. Tapi justru terasa kesemutan sekujur tubuh Jarum Lanang
ketika memukul bumbung
tersebut. "Kalau kau tak biasa minum tuak, ya sudah! Aku tidak memaksanya!" kata Suto
dengan kalem. Kemudian ia gantungkan bumbung tuak itu di pundaknya.
"Maaf, aku harus segera meninggalkanmu! Aku tak kuat menahan lapar terlalu lama!
Kalau ingin menyusulku, aku ada di sebuah kedai di desa seberang itu!"
Tanpa menunggu jawaban dari Jarum Lanang,
Pendekar Mabuk itu pun segera melangkah
meninggalkan tempat tersebut. Tapi agaknya Jarum
Lanang masih penasaran dan merasa yakin bahwa
Sumping Rengganis, kekasihnya itu, disembunyikan
oleh Pendekar Mabuk. Maka, diam-diam Jarum Lanang
mencabut pisaunya lagi dan melemparkannya ke arah
Suto. Wusss...! Suto tidak berpaling. Tapi ketika pisau itu mendekat ingin menancap di
punggungnya, bumbung tuak
didorong ke belakang hingga melintang di punggung.
Pisau itu mengenai bumbung tuak tersebut trangng...!
Seperti membentur besi baja suaranya, dan anehnya lagi pisau itu memantul balik
ke arah Jarum Lanang.
"Haahh..."!" Jarum Lanang membelalakkan matanya lebar-lebar. Jarum Lanang juga
melompat dan bersalto di udara karena pisau itu bergerak ke arahnya lebih cepat
dari gerakan lemparannya tadi. Wutt..!
Pendekar Mabuk 018 Manusia Penyebar Kutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Duarrr...! Makin terbelalak mata Jarum Lanang melihat
pisaunya menancap di salah satu pohon, bukan tembus seperti tadi namun membuat
pohon itu meledak dan
hancur pada bagian tengahnya, kemudian rubuh
menimpa pohon yang lainnya.
Dalam hatinya Jarum Lanang berkata, "Luar biasa orang itu. Dia punya ilmu tidak
tanggung-tanggung.
Sinting juga ilmunya itu! Pantas ia diberi nama Suto Sinting! Dia bisa
mengembalikan pisauku dan pisau itu mempunyai tenaga dalam sangat tinggi, hingga
mampu meledakkan sebatang pohon. Padahal aku tak pernah
menyalurkan tenaga dalam sebesar itu ke dalam batang pisau terbangku! Bumbung
itu sungguh merupakan
bumbung yang ampuh dan punya kesaktian tersendiri!"
Pendekar Mabuk membalikkan badan, memandang
Jarum Lanang dengan tersenyum, lalu segera berkata,
"Masih belum puas menjajalku?"
Jarum Lanang tak bisa bicara. Untuk meminta maaf
pun ia tak mampu mengucapkan lewat mulutnya.
Lidahnya terasa kaku dan kelu. Pendekar Mabuk itu
bahkan berkata,
"Cobalah cari dulu kekasihmu itu di tempat lain!
Jangan menuduh orang sembarangan, nanti kau akan
diadili oleh tuduhanmu sendiri!"
"Hmmm... eh... iya! Aku... aku bersalah. Tapi... tapi bolehkah aku tahu siapa
gurumu, Suto?"
"Guruku"! Oh, ya... rupanya kau belum kenal pada guruku! Aku murid sinting si
Gila Tuak, gelarku
Pendekar Mabuk!"
"Hahh..."! Si... si Gila Tuak..."!" Jarum Lanang terperanjat sekali hingga
matanya melebar.
"Kau pernah dengar nama itu, Jarum Lanang"!"
"Gila Tuak adalah sahabat guruku dan... dan nama Pendekar Mabuk sudah lama
kudengar, tapi... tapi aku tak sangka kalau kaulah orangnya, Suto! Oh, maaa...
maafkan aku! Maafkan aku...!" Jarum Lanang
membungkuk dengan kaki rapat ketika meminta maaf
begitu. Pendekar Mabuk tak terdengar suaranya. Ketika Jarum Lanang mengangkat
badan dan mendongakkan
kepalanya dari sikap membungkuk, ia menjadi terkejut lagi melihat Suto Sinting,
si Pendekar Mabuk itu, sudah tidak ada di depannya. Pandangan mata Jarum Lanang
terarah di tempat jauh, dan ia melihat Pendekar Mabuk sudah ada di pematang
sawah yang jauh di seberang
sana. Jarum Lanang geleng-gelengkan kepala sambil
menggumam, "Luar biasa hebatnya dia...!"
* * * 3 BUKIT Gelagah mempunyai jurang yang cukup
curam. Tak ada orang yang selamat jika tergelincir ke dalam jurang itu. Itulah
sebabnya jurang itu dinamakan Jurang Petaka.
Pada waktu terang bulan, permukaan bukit itu cukup
terang, karena tidak memiliki pepohonan tinggi, selain jenis rumput dan bebatuan
yang menjulang. Ada batu
besar yang melebihi tinggi tubuh manusia dewasa, ada juga yang melebihi atap
sebuah gubuk. Tapi kebanyakan permukaan bukit itu dihiasi oleh bebatuan setinggi
perut atau setinggi lutut.
Seseorang yang menjerit dari atas Bukit Gelagah,
suaranya akan memantul cukup lama, karena Jurang
Petaka mempunyai dinding tebing yang mengurung
jurang itu, hingga pantulan suara bisa berbalik ke sana-sini sampai beberapa
kali. Di seberang Bukit Gelagah ada bukit lagi yang
bernama Bukit Menara Tunda. Bukit itu hanya terdiri atas cadas dan lumut tanpa
ada pepohonan tinggi. Sulit mencapai Bukit Menara Tunda karena tempatnya licin,
dan selalu berair. Tebing Bukit Menara Tunda itulah yang menjadi tempat utama
memantulkan suara jerit
seseorang dari atas Bukit Gelagah.
Rembulan yang kini tampak penuh sebagai mata
langit di waktu malam, tak tanggung-tanggung
pancarkan sinarnya ke atas Bukit Gelagah, sehingga sosok bayangan seseorang yang
berdiri di sana terlihat jelas, dari warna pakaiannya sampai lekuk tubuhnya.
Orang yang berdiri di sana berjubah biru muda dari
bahan kain tipis semacam sutera. Siapa lagi orang
berjubah biru muda dengan rambut diurai lepas sebatas punggung jika bukan Dayang
Kesumat" Agaknya murka
di dalam hati mendengar tantangan secara tak langsung dari Ratu Teluh Bumi telah
membuat Dayang Kesumat
tak sabar menunggu saat pelampiasan murkanya. Karena itu Dayang Kesumat datang
lebih dulu, ketika Bukit
Gelagah masih kosong tanpa penghuni ataupun
pengunjung lainnya.
Sejak tadi Dayang Kesumat berdiri bagai mematung
memandang ke arah jurang. Remang-remang cahaya
rembulan tampakkan lekak-lekuk jurang dengan
beberapa tanaman di tebingnya yang merimbun. Dasar
jurang terlalu jauh untuk dilihat dan terlalu gelap, karena tak sepenuhnya
mendapatkan sinar rembulan bila malam hari.
Hati Dayang Kesumat pun membatin, "Rasa-rasanya
jurang ini sangat cocok untuk membuang bangkai si
Ratu Teluh Bumi nanti! Jerit suaranya yang menggema panjang akan menjadi
kepuasan hatiku, ketimbang ia
mati tanpa pekik tanpa jerit!"
Baru berpikir begitu, Dayang Kesumat merasakan
ada getaran tanah yang terjadi akibat pijakan kaki orang berjalan. Cepat-cepat
Dayang Kesumat palingkan
wajahnya ke belakang. Beberapa kejap kemudian
sesosok bayangan telah melesat, kemudian mendarat di tanah depannya. Sesosok
bayangan itu adalah
perempuan berpedang pendek di pinggangnya. Dia tak
lain dari Ratu Teluh Bumi.
Mereka saling pandang sejenak. Sama-sama tajam
dalam memandang, sama-sama membisu mulut mereka,
sama-sama membara murka hati mereka. Keduanya
sama-sama membatin,
"Rupanya apa yang dikatakan Prahasto memang
benar! Buktinya dia ada di sini. Bukan siap untuk
bertarung denganku, melainkan menunggu kedatangan
Prahasto!"
Karena keduanya sama-sama membatin seperti itu,
maka mereka tidak perlu saling mencari tahu penyebab kehadiran mereka di situ.
Mereka hanya perlu
mengetahui berapa jurus yang harus mereka mainkan
dalam pertarungan itu. Dayang Kesumat yang
mendahului bicara,
"Kau minta aku memainkan betapa julus untuk
kematianmu?"
Ratu Teluh Bumi justru ganti bertanya,
"Kau siap berapa jurus untuk malam ini" Tak perlu kita suruh orang lain
melakukannya, kita sendiri yang menjadi pelaku sang pencabut nyawa!"
Ratu Teluh Bumi bermaksud menyindir Dayang
Kesumat yang dianggap hanya berani menyerang dengan meminjam tangan orang lain.
Tapi Dayang Kesumat
merasa Ratu Teluh Bumi mengakui kelicikannya dan
merasa dirinya tidak perlu meminjam tangan orang lain untuk membunuh. Karenanya
Dayang Kesumat pun
menjawab, "Bagus! Kalau memang kau sudah siap, memang tak ada pellunya kita meminjam
tangan olang lain! Tentukan saja siapa yang halus mati di sini, kau atau aku!"
"Bersiaplah, Dayang! Jemputlah ajalmu dengan
baik!" Ratu Teluh Bumi membuka jurus pertama dengan menarik kakinya ke belakang,
sedangkan yang kanan
masih di tempat, lutut kanannya sedikit terlipat. Kedua tangannya mulai
mengembang bagaikan seekor elang
ingin terbang menangkap lawannya.
Dayang Kesumat hanya diam saja. Tapi kedua
tangannya sudah tidak lagi terlipat di dada. Kedua
tangannya itu telah turun ke samping kanan-kiri dan siap melakukan gerakan
menyerang. Matanya tak lepas
memandang permainan jurus yang dibawakan Ratu
Teluh Bumi di mana semua gerakan dilakukan dalam
keadaan tubuh merendah.
Tangan kanan Dayang Kesumat mulai menggenggam
kelingkingnya. Srett...! Dan Ratu Teluh Bumi cepat-
cepat sentakkan dua jarinya dari depan dada ke atas.
Suttt...! Tebb...! Jari itu seperti memotong segumpal daging yang tak terlihat.
Totokan itu bertenaga dalam cukup besar, sehingga tiba-tiba tangan kanan Dayang
Kesumat tersentak ke belakang, lalu lepaskan
genggaman kelingkingnya.
"Edan! Dia tahu kelemahanku," pikir Dayang Kesumat. "Dia gunakan indela
keenamnya untuk
menyodok tanganku! Sial! Pelgelangan tanganku telasa ngilu sekali!"
Ratu Teluh Bumi bergerak terus dengan permainan
rendah badan. Kakinya melangkah panjang-panjang
namun pelan dan pasti. Bahkan kini ia putarkan badan dengan cepat dan sentakkan
tangannya ke tanah. Cepat-cepat Dayang Kesumat melompat pindah tempat. Lalu
dari tempatnya berdiri tadi muncul serbuk hitam
menyembur dari dalam tanah. Wrusss...!
"Hmm... 'Lacun Hitam' digunakan!" pikir Dayang Kesumat sambil sunggingkan senyum
dingin yang amat
tipis, ia merasa telah selamat dari racun yang amat membahayakan itu.
Sementara di dalam hatinya, Ratu Teluh Bumi
berkata sendiri,
"Sial! Dia tahu jurusku! Tak bisa ditipu dengan gerakan!"
Dayang Kesumat memandang terus mata Ratu Teluh
Bumi. Dan tiba-tiba Ratu Teluh Bumi tersentak.
Tubuhnya cepat tegak. Matanya tak bisa berkedip. Tapi kedua tangannya
menggenggam kuat-kuat. Kedua
tangan Dayang Kesumat juga menggenggam kuat-kuat.
Dan masing-masing tangan itu mengepulkan asap putih yang samar-samar.
Tubuh Ratu Teluh Bumi bergetar seluruhnya. Tapi
Dayang Kesumat hanya pada bagian tangannya saja
yang bergetar. Tangan itu pelan-pelan bergerak naik sampai di dada dalam keadaan
tetap mengepal dan
berasap. Mereka adu tenaga dalam melalui pandangan
mata. Tapi sayang, Dayang Kesumat buru-buru
sentakkan kedua tangannya itu ke depan. Wussst...!
Tangan itu terbuka, dan sebuah tenaga berasap merah keluar dari telapak
tangannya. Wuhkkk...!
Beggh...! Sentakan tenaga dalam itu mengenai dada
Ratu Teluh Bumi. Sentakan itu sangat kuat. Kuat sekali.
Sehingga, tubuh Ratu Teluh Bumi pun terlempar dengan cepatnya bagaikan segumpal
kapas tertiup badai.
Wuuusssh...! "Aaaa....!"
Ratu Teluh Bumi terlempar ke jurang. Tubuhnya
melayang-layang. Jeritannya menggema
berkepanjangan. Makin lama makin kecil suara gemanya itu, sampai pada akhirnya
tak terdengar lagi sedikit pun bunyi jeritan itu. Seakan jeritan histeris hilang
ditelan mulut jurang yang rakus dan lahap terhadap mangsanya itu.
Dayang Kesumat tetap diam, cantik tapi angker, ia
menghembuskan napas kelegaan melihat lawannya
terlempar ke jurang, ia pandangi jurang gelap itu sesaat, kemudian sunggingkan
senyum tipis sebagai senyum
kemenangan. Setelah itu, ia tinggalkan tepian jurang dengan langkah yang
terlihat tegas, tegap dan
meyakinkan. "Selamat tinggal, Latu Teluh! Mudah-mudahan
nyawamu tidak telsesat mencali jalan menuju nelaka!"
kata Dayang Kesumat di dalam hatinya, ia pun segera melesat tinggalkan Bukit
Gelagah itu Tanpa diketahui oleh Dayang Kesumat, suara jeritan
Ratu Teluh Bumi itu telah memudarkan semadi
seseorang yang tinggal di dasar Jurang Petaka itu.
Terpaksa orang tersebut lepaskan masa semadinya walau tetap duduk di tempatnya
yang berbatu datar. Tanpa
memandang ke atas, orang tersebut menadahkan kedua
tangannya di atas kepala. Lebih dari dua helaan napas tangan itu menadah dengan
pandangan mata tetap lurus.
Kira-kira empat helaan napasnya setelah itu, kedua
tangan yang menadah itu dijatuhi tubuh Ratu Teluh
Bumi. Anehnya, gerakan jatuhnya tubuh itu menjadi
pelan ketika mendekati tubuh orang yang sedang duduk bersila itu. Bahkan ketika
menempel di tangan yang
tengadah, tubuh Ratu Teluh Bumi tak sempat
mengguncangkan sehelai pun rambut orang itu. Tak ada suara, tak ada gerakan.
Semuanya terjadi dengan sangat pelan. Tetapi kejap berikutnya, terdengar suara
kasar, brukk...! Itu suara tubuh Ratu Teluh Bumi yang
dilemparkan ke arah belakang oleh orang yang sedang semadi itu.
"Uhhg...! Monyet...!" maki Ratu Teluh Bumi dalam hati.
Perempuan itu tidak mati. Perempuan itu hanya
mengalami luka dalam akibat pukulan berasap dari
Dayang Kesumat itu. Tapi seandainya tubuhnya tidak
disangga dan gerakannya tidak diatur oleh orang yang sedang duduk bersila itu,
maka tubuh Ratu Teluh Bumi sudah pasti hancur tak berbentuk lagi. Ketinggian
jurang itu sangat mengerikan jika dipandang dari bawah.
Orang yang menyelamatkan Ratu Teluh Bumi itu
duduk bersila tanpa peduli dengan keluh dan raungan kecil di belakangnya. Orang
itu berkerudung kain hitam dari kepala sampai kaki. Matanya memandang ke satu
arah tak berkedip. Di depannya itu, ada sungai kecil dengan lebar antara dua
tombak. Celah-celah
bebatuannya mempunyai tanaman setinggi mata kaki. Di sela-sela tanaman jenis
rumput merah itu, tersumbul sebatang tanaman bunga yang tingginya satu betis.
Tanaman yang paling tinggi dari semua tanaman di
depan orang itu mempunyai daun berbentuk segi tiga
sama sisi. Daunnya tak lebat, lebarnya sama dengan
daun beringin. Warnanya hijau kehitam-hitaman.
Tanaman itu hanya mempunyai satu batang yang
meluncur ke atas sebatas betis. Sedangkan orang yang memandangi tanaman itu
duduk di atas batu datar yang tingginya sebatas betis orang dewasa, sehingga
tanaman itu seolah-olah ada di bawahnya. Jarak tempat bersila dengan tanaman itu
hanya satu langkah.
Di ujung tanaman ada kuncup bunga yang masih
kecil. Kecil sekali, kira-kira sekecil biji kapas. Ujung tanaman itulah yang
menjadi pusat pandangan mata tak berkedip itu. Entah sudah berapa lama orang itu
pandangi tanaman bunga aneh tersebut Entah dengan
maksud apa hal itu dilakukan. Yang jelas, ia tak pernah berpaling sedikit pun
dari pandangannya. Jika ada
sesuatu yang mendekat ia dapat menghalaunya dengan
Pendekar Mabuk 018 Manusia Penyebar Kutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gerakan tangan tanpa melihat sasaran. Seperti halnya saat ia menopang tubuh Ratu
Teluh Bumi, tanpa
memandang ke arah atas ia sudah bisa membuat tubuh
itu tepat jatuh di kedua tangannya.
Di samping orang itu mengenakan kerudung dari
kepala sampai kaki, ia juga mempunyai senjata berupa tongkat berujung sabit
panjang. Mata sabit yang
menyerupai paruh burung itu sangat tajam dan
berkilauan. Senjata itu dinamakan pusaka El Maut. Dan orang yang bersenjata El
Maut dengan pakaian kerudung kair hitam, dengan wajah putih bagai berbedak
tebal, dengan bibir biru bagai bergincu mayat, dengan hidung bangir mencipta
ketampanan tersendiri, dengan
pandangan mata dingin bersama raut mukanya yang
dingin bak manusia berwajah salju, tak lain dan tak bukan adalah Siluman Tujuh
Nyawa, ia mempunyai
nama asli Durmala Sanca.
Orang ini adalah tokoh sesat yang amat sakti. Selain terkenal sakti, juga
terkenal keji dan ganas. Usianya sudah sangat tua, lebih dari dua ratus tahun,
tapi raut mukanya masih seperti pemuda berusia dua puluh tujuh tahun. Itulah
Siluman Tujuh Nyawa, yang menjadi
musuh utama bagi Pendekar Mabuk.
Ratu Teluh Bumi pernah mendengar nama itu, tapi
belum pernah jumpa dengan orangnya. Karena itu, ia
tidak tahu siapa orang yang telah menolongnya, namun
juga bagai tak peduli akan dirinya itu. Ratu Teluh Bumi mencoba membangunkan
semadi orang itu dengan
merayap mendekati orang tersebut dari arah belakang.
Badan Ratu Teluh Bumi sangat lemah. Dadanya terasa
panas sekali. Pernapasannya menjadi sangat sesak, berat untuk dihela. Darah yang
keluar dari mulutnya saat
mendapat pukulan Dayang Kesumat tadi sekarang sudah hampir mengering dihembus
angin jurang. Dengan suara berat Ratu Teluh Bumi berkata dari belakang Siluman
Tujuh Nyawa. "Aku terluka di dalam. Tolonglah aku...l"
Siluman Tujuh Nyawa diam saja. Matanya tetap tak
berkedip pandangi ujung tanaman hijau kehitaman itu. Ia seperti orang tuli, tak
mendengar ucapan lirih itu.
"Tolonglah aku... Aku tak kuat..!"
"Kau sudah kutolong," kata Siluman Tujuh Nyawa dengan suara datarnya yang
terkenal dingin itu.
"Aku... masih sakit..."
"Kau berhutang nyawa padaku."
"Biarlah... biarlah aku berhutang dua nyawa
denganmu. Pertama kau selamatkan aku dari ketinggian jurang ini, kedua... tolong
selamatkan aku dari luka di dalam dadaku ini.... Aku percaya, kau bisa mengobati
lukaku!" "Apa upahnya untuk pertolongan dua nyawa?"
"Ter... terserah... apa maumu, aku akan lakukan!"
"Kumau kau mati saja!"
Suara datar dan dingin itu menyakitkan hati Ratu
Teluh Bumi. Kalau tidak dalam keadaan sedang sakit
begitu berat, Ratu Teluh Bumi sudah menyerang orang itu karena ucapan yang
seenaknya saja itu. Tapi demi mendapatkan pertolongan, Ratu Teluh Bumi akhirnya
berkata, "Aku... aku masih ingin hidup...."
"Untuk apa kau hidup?"
"Untuk... membalas dendamku kepada lawan yang
mengirimku ke jurang ini...!"
Sepi kembali tercipta dan mencekam. Durmala Sanca
atau Siluman Tujuh Nyawa diam saja. Tak ada gerak, tak ada kedipan mata.
Sementara itu, Ratu Teluh Bumi
semakin memperdengarkan engahan tarik napasnya yang memberat dan tampak tersiksa
sekali. Kejap berikut, barulah Siluman Tujuh Nyawa berkata,
"Aku tidak punya pelayan."
"Biarlah... aku saja yang menjadi pelayanmu. Aku bersedia...."
"Kau berjanji?"
"Ya. Aku berjanji, jika kau tolong aku, aku bersedia menjadi pelayanmu. Ooh...
semakin panas sekujur
tubuhku rasanya...."
"Peganglah jubahku!" kata Durmala Sanca.
Ratu Teluh Bumi tak paham maksud kata-kata itu.
Tapi kemudian ia melakukan apa yang diperintahkan
orang berjubah hitam sekujur tubuhnya itu. Ratu Teluh Bumi memegang jubah
tersebut dengan kedua
tangannya. Kemudian, ia melihat sendiri kulit tubuhnya menjadi menyala. Seperti
ada sinar biru yang berpendar-pendar mengelilingi seluruh tubuhnya.
Pada saat sinar biru itu menyala di tubuhnya, Ratu
Teluh Bumi merasakan ada kesejukan yang meresap ke
dalam tubuhnya. Kesejukan itu seakan begitu damai dan menyenangkan hati. Ratu
Teluh Bumi meresapi
kesejukan itu dengan mata terpejam pelan-pelan.
Sedangkan Siluman Tujuh Nyawa tidak bergerak sedikit pun. Bahkan berpaling pun
tidak. Napasnya pun
terdengar biasa-biasa saja, tidak ditahan, tidak
dihembuskan kencang. Matanya masih tetap tertuju pada bunga yang belum tumbuh
itu. Setelah beberapa saat, Ratu Teluh Bumi merasakan
hawa panas di dalam dadanya hilang sama sekali.
Otaknya pun terasa menjadi terang, urat-uratnya menjadi segar kembali, dan
peredaran darahnya terasa sangat lancar.
"Lepaskan jubahku..!" perintah Durmala Sanca dengan tetap bernada dingin, bagai
manusia tanpa perasaan. Ratu Teluh Bumi lepaskan jubah hitam itu, dan
ternyata tubuhnya kembali segar. Tak ada rasa sakit, tak ada rasa letih, tak ada
rasa lemas, yang ada hanya
sebentuk kehidupan yang penuh semangat. Ratu Teluh
Bumi hembuskan napas dengan lega sambil ia berdiri
dan menggerak-gerakkan badannya untuk mencari
sesuatu yang masih terasa mengganggu, ternyata tak ada yang terasa mengganggu
tubuhnya. "Sekarang kau adalah pelayanku! Kau harus turut dengan perintahku, Ratu Teluh
Bumi...!" Terkesiap mata Ratu Teluh Bumi mendengar
namanya disebutkan, ia sangat heran mengetahui orang itu bisa sebutkan namanya.
Lalu, ia bertanya, "Siapa dirimu sebenarnya" Mengapa kau bisa tahu namaku?"
"Karena aku menyukai tindakanmu yang tegas dan tidak pandang bulu! Kau berani
membunuh siapa saja
yang menentangmu tanpa ragu-ragu lagai"
Ratu Teluh Bumi berdebar-debar, merasa disanjung
seseorang atas segala yang dilakukannya selama ini. Ia semakin yakin bahwa ia
Persekutuan Pedang Sakti 12 Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu Tengkorak Maut 14
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 ANGIN berhembus dari utara ke selatan. Udara
kering terasa membakar kulit manusia, seakan sang
matahari ingin mengelupas setiap kulit penghuni bumi.
Tanah retak menjadi pertanda bahwa bumi pun
sebenarnya mengeluh menerima teriknya sang mentari
yang merajai langit raya.
Udara panas itu terasa semakin panas ketika angin
berhembus dan taburkan pukulan jarak jauh bertenaga inti api. Pukulan jarak jauh
dilepaskan dari telapak tangan orang yang berdiri di atas sebuah pohon tak
terlalu rindang. Pukulan itulah yang membuat seorang perempuan berjingkat loncat
sebelum hawa panas terasa ingin menerkam tubuhnya. Wuttt...! Blabb...!
Rumput tempat berdirinya orang itu terbakar. Jelas ini perbuatan orang yang
kurang perhitungan. Perempuan
itu cepat melarikan diri ke balik pohon. Matanya
memandang ke arah jalan yang habis dilewatinya. Mata itu mencari sesosok manusia
di sana. Tapi tak
ditemukannya. Jalan sepi, alam juga sunyi. Tapi
perempuan itu yakin, di balik kesepian dan kesunyian itu pasti ada sepasang mata
yang menunggu kesempatan
melepas maut untuknya. Karena itu perempuan tersebut tak mau segera keluar dari
pohon, ia justru
menggunakan ilmu 'Getar Bayu', yaitu mengirimkan
suara aneh yang bisa menyakitkan gendang telinga bagi manusia yang berada dalam
jarak dua puluh tombak dari tempatnya.
Perempuan itu pun mencakarkan kukunya pada
batang pohon yang digunakan untuk bersembunyi.
Batang pohon itu dicakar pelan-pelan sekali gerakannya, hingga timbulkan suara
berderit kecil, namun dapat
diterima jelas di pendengaran orang lain. Derit kecil itu menyerupai suara pintu
yang engselnya berkarat.
Kriiit... kkkriiit... kkkkrrriiiieett...!
Burung-burung beterbangan sambil mencicit
ketakutan. Ular-ular mendesis sambil cepat tinggalkan tempat sekitar situ. Dan
seorang lelaki yang berada di salah satu pohon, pada bagian dahan yang atas,
segera menutup telinganya dengan kedua tangan. Wajahnya
menyeringai menahan rasa sakit pada gendang
telinganya. Seolah-olah gendang telinganya bagai
ditusuk-tusuk dengan jarum yang terpanggang api.
Semakin panjang deritannya semakin kuat rasa sakit
yang dirasakannya.
Kriiiieeeet...!
Laki-laki di atas pohon itu hampir saja menjerit untuk mengimbangi rasa sakit
itu. Namun karena kedua
tangannya dipakai untuk menutup telinga rapat-rapat, akhirnya tubuh pun oleng
saat berdiri di atas dahan sebesar pahanya sendiri itu. Tubuh itu kehilangan
keseimbangan dan jatuhlah lelaki itu dalam keadaan terjungkal. Brasss...! Bukk!
Beruntung sekali ia bisa berjungkir balik satu kali pada saat jatuh dan melayang
dari atas, sehingga posisi jatuhnya tepat di tanah tak berbatu, serta kedua
kakinya yang menyentuh tanah lebih dulu dalam posisi jongkok.
Mendengar suara bergedebuk, perempuan yang
mengenakan pakaian hitam berhias benang emas, rambut disanggul, cantik,
judes,dan berkesan kejam itu segera palingkan wajahnya ke arah tersebut, ia
hentikan mencakar pohon, kini ia hampiri orang yang jatuh itu dengan satu lompatan
bertenaga peringan tubuh cukup tinggi. Wussst! Dalam sekejap, perempuan yang
mengenakan kalung berlian, gelang ketat, dan berhias mahkota kecil itu sudah
berada di depan orang yang
jatuh dari atas pohon.
"Siapa kau"!" hardik Ratu Teluh Bumi.
"Namaku Prahasto!" jawab pemuda berambut pendek dan rapi. Ia bersenjatakan keris
yang terselip di depan perutnya. Melihat dandanan yang rapi, wajah yang
rupawan, dan senjata keris di depan itu, Ratu Teluh Bumi dapat memperkirakan
bahwa Prahasto bukan
masyarakat desa biasa, bukan tokoh dunia persilatan,
melainkan anak muda yang berdarah bangsawan.
Jika Prahasto tokoh di rimba persilatan, setidaknya ia muncul manakala para
tokoh memperebutkan pedang
pusaka di Kuil Swanalingga, yang membuat Ratu Teluh Bumi terpaksa menyepi untuk
beberapa waktu, karena
menderita luka-luka dari serangan Pendekar Mabuk.
(Baca serial Pendekar Mabuk daiam episode: "Pedang Guntur Biru"). Dari sekian
banyak tokoh yang
memperebutkan Pedang Guntur Biru itu, hanya Ratu
Teluh Bumi yang mampu selamatkan diri walau harus
menerima kekalahan. Dan sekarang ia tampil kembali
untuk bikin perhitungan dengan seseorang, namun baru saja ia turun dari lereng
tempat peristirahatannya, tahu-tahu ia sudah mendapat serangan dari anak muda
yang bernama Prahasto itu.
"Aku tidak kenal siapa kau. Aku baru tahu namamu Prahasto. Bukankah kita tidak
punya persoalan apa-apa?"
"Memang! Tapi aku diperintahkan oleh seseorang untuk membunuhmu. Dan aku
dapatkan upah cukup
besar untuk pekerjaan ini!"
Perempuan yang berusia sekitar lima puluh tahun,
tapi masih awet cantik, berkulit kencang, berdada
montok, dan berpinggul menggiurkan itu hanya
sunggingkan senyum sinis kepada Prahasto. Kejap
berikut terdengar ia berkata,
"Jadi, kau seorang pembunuh bayaran?"
"Anggap saja begitu!"
"Kau yakin bisa membunuhku?"
"Aku yakin ilmuku lebih tinggi dari ilmumu!"
Prahasto tampak sengaja menjatuhkan keberanian
Ratu Teluh Bumi. Tapi perempuan itu hanya
sunggingkan senyum sinisnya yang berkesan keji, lalu berkata pelan,
"Apakah kau juga mampu mengalahkanku dalam
bercinta?"
Mata Prahasto sejak tadi dipandangnya, kali ini
berkedip bingung tanpa mengeluarkan jawaban. Mata itu masih terus dipandang oleh
Ratu Teluh Bumi dengan
sorot pandangan mulai sayu menantang gairah. Prahasto menjadi semakin
kelimpungan. Hatinya berdebar-debar, darahnya mendidih dan mengalir deras. Bukan
amarah yang mencekam jiwanya, tapi tuntutan gairah yang
memaksa jantungnya berdetak-detak. Prahasto sendiri merasa heran, mengapa tiba-
tiba ia mempunyai tuntutan gairah dalam keadaan harus membunuh lawannya.
"Apakah kau bisa mengalahkan cumbuanku?"
Prahasto gemetar kedua kakinya. Anak muda itu
mulai sulit bernapas karena diburu tuntutan batin yang ingin menggapai kemesraan
hangat. Matanya tak bisa
dibuang ke arah lain, karena dengan menatap mata
lawannya, Prahasto merasa diraba sekujur tubuhnya.
"Lepaskan pakaianmu jika kau mampu
mengalahkanku," kata Ratu Teluh Bumi yang membuat Prahasto makin terengah-engah.
Tanpa sadar tangannya telah melepasi pakaiannya sendiri. Prahasto benar-benar
tak sadar bahwa ia telah masuk dalam pengaruh
kekuatan teluh perempuan itu yang dipancarkan melalui
matanya. Jiwanya terbuai. Jiwa yang terbuai itu menjadi mudah dimasuki kekuatan
batin. Tiba-tiba tubuh Prahasto tersentak ke depan, dari
dalam tenggorokan seperti ada yang menyentak. Tak
bisa ditahan lagi, dan ia pun muntah di depan Ratu Teluh Bumi.
"Hoekkk...! Huek!" ia membungkuk-bungkuk, dan matanya sendiri melihat apa yang
dimuntahkan saat itu.
Cairan putih kental, mirip darah, tapi bukan darah. Tak terlalu banyak, namun
cukup bikin sekujur badan lemas, bagai orang habis mencapai puncak cumbuan. Ada
rasa nikmat pada diri Prahasto saat memuntahkan cairan
tersebut. Ada rasa kelegaan dari suatu tuntutan batinnya tadi. Bahkan sekarang
ia muntah lagi dengan bahan
muntahan yang sama, dalam jumlah yang cukup banyak, delapan kali lipat dari yang
pertama. Dan apa yang
dimuntahkan itu sepertinya suatu kekuatan seorang
lelaki yang makin banyak dibuang makin berkurang
tenaganya. Ratu Teluh Bumi sunggingkan senyum kemenangan,
ia geli sendiri melihat anak muda itu terkulai jatuh tak lagi mampu berdiri.
Napasnya terengah-engah seperti orang habis berlari mengelilingi tanah Jawa.
Wajahnya pucat pasi. Kedua kakinya gemetaran. Rasa nikmat
memang ada di dalam hati Prahasto, tapi rasa letih
menghujam di sekujur tubuh, membuat persendiannya
menjadi ngilu. "Siapa yang menyuruhmu membunuhku, Prahasto...!"
"Aku... aku lupa..." jawab Prahasto sambil ngos-
ngosan. Sepertinya menggerakkan bibir saja tak bisa, apalagi menggerakkan tangan
untuk melepaskan
pukulan. "Hooekk...!"
Prahasto kembali muntah. Lebih banyak lagi jumlah
cairan yang dimuntahkan. Napasnya bagai tinggal
sekuku hitam. Tubuhnya makin lemas bagai tanpa urat dan tulang lagi. Rasa nikmat
tetap hadir, seperti halnya jika ia melakukan percumbuan dengan mesra. Ia tak
tahu, bahwa dengan cara begitulah Ratu Teluh Bumi
melumpuhkan dirinya dan menyerang habis
kekuatannya. "Siapa yang menyuruhmu membunuhku,
Prahasto....!"
Pernyataan ulang itu membuat Prahasto mulai sadar,
bahwa ia sedang dipaksa mengatakan hal yang
sebenarnya. Jika ia tidak mau katakan yang sebenarnya, maka ia akan dipaksa
memuntahkan sesuatu yang
membuatnya semakin tak berdaya lagi itu.
Prahasto berpikir sejenak, setelah itu baru menjawab dengan suara yang sangat
pelan, hampir tak mudah
ditangkap oleh pendengaran,
"Dayang... Kesumat...!"
Ratu Teluh Bumi terkesiap. "Dayang Kesumat"!
Benarkah Dayang Kesumat yang menyuruhmu
membunuhku"!"
"Be... benar...!"
"Apa alasannya ingin membunuhku" Dayang
Kesumat tak pernah berselisih denganku, dan aku sendiri
tak pernah berbuat salah kepada Dayang Kesumat!"
"Entah... yang jelas aku harus temui dia pada malam purnama nanti...!"
"Di mana kau mau temui dia" Biar aku sendiri yang hadapi dia! Katakan di mana,
atau kau muntah
kenikmatan lagi?"
"Di... di.... Di Bukit Gelagah!"
"Bukit Gelagah"! Pada malam purnama..."! Hmm..!
Kurasa tak perlu aku membunuhmu, Cah Bagus! Yang
perlu kubunuh adalah Dayang Kesumat sebagai manusia lancang yang mau bikin
persoalan denganku! Dia tak
tahu, Ratu Teluh Bumi yang sekarang bukan lagi Ratu Teluh Bumi yang dulu!"
"Tapi... tapi...."
Wesss...! Ratu Teluh Bumi melesat pergi dengan
sangat cepat, ia tak pedulikan lagi keadaan Prahasto yang terkulai lemas,
gemetar seluruh tubuhnya bagai ingin menemukan ajalnya.
Akibatnya Prahasto hanya bisa telentang di tempat itu tanpa bergerak-gerak, ia
tak mampu lagi mengangkat
kepalanya. Sumsum dan darahnya bagaikan terkuras
habis. Seolah-olah tak tersisa sedikit pun di dalam tubuhnya. Matanya pun tak
bisa dipakai memandang
dengan jelas. Buram dan berkunang-kunang.
Sampai matahari bergerak memburu sore, Prahasto
masih tetap tak bisa melakukan apa-apa. Dan seseorang yang menunggu serta
memperhatikan dari kejauhan
sejak pertarungannya dengan Ratu Teluh Bumi, akhirnya tampakkan diri kepada
Prahasto. Mestinya orang itu tak
boleh menampakkan diri, tapi karena cemas akan
keselamatan jiwa Prahasto, maka ia pun segera
menghampiri tubuh yang terkapar tanpa daya itu.
Prahasto samar-samar melihat bayangan orang
mendekat, ia merasa sedikit lega. Tapi ketika ia
mempertegas pandangan matanya untuk melihat orang
itu dengan lebih jelas lagi, ia menjadi kaget setengah mati. Hanya saja ia tak
bisa tersentak seperti layaknya orang kaget. Hanya hatinya yang memekik begitu
melihat orang yang menghampirinya. Orang itu berusia sekitar tiga puluh tahun.
Orang itu cukup dikenal oleh Prahasto. Dia adalah
Rakawuni, seorang anggota prajurit sandi dari kerajaan.
Orang itu tingkatannya lebih tinggi dari Prahasto.
Dalam jajaran keprajuritan di Istana Jenggala, Prahasto masih tamtama sedangkan
Rakawuni sudah termasuk
perwira unggul, dan masuk dalam jajaran prajurit sandi praja, artinya prajurit
khusus untuk menangani masalah-masalah berbahaya dalam keistanaan. Tidak setiap
prajurit bisa menjadi prajurit sandi praja. Mereka adalah orang-orang pilihan
yang punya ilmu tinggi, punya
kepandaian menyamar, punya kepandaian mencuri, dan
punya kepandaian menggunakan semua jenis senjata.
"Rakawuni...," ucap Prahasto, pelan sekali sehingga Rakawuni sempatkan diri
untuk merendahkan badan.
"Aku dengar ucapanmu, Prahasto!"
"Aku... tak sadar telah diserangnya."
"Ya. Aku tak bisa membantumu tadi, karena aku tak boleh kelihatan. Ratu Teluh
Bumi kenal betul
denganku!"
"Dia... sungguh tinggi ilmunya. Bukan tandinganku!"
"Kau harus gunakan otakmu, bukan kekuatanmu,
Prahasto."
"Ya. Aku... aku sudah gunakan otakku. Karenanya aku katakan hal yang tidak
sebenarnya."
"Bagus. Apa yang kau katakan kepadanya?"
"Aku disuruh membunuh dia. Orang yang
menyuruhku adalah Dayang Kesumat! Akan kuadu dia
dengan Dayang Kesumat, karena Dayang Kesumat lebih
tinggi ilmunya dari Ratu Teluh Bumi."
"Mengapa kau mengadunya dengan Dayang
Kesumat?" "Karena Dayang Kesumat pernah menolak cintaku!"
* * * Lelaki bertubuh agak gemuk dan berwajah bundar itu
Pendekar Mabuk 018 Manusia Penyebar Kutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mempercepat larinya. Gerakan kaki nyaris tak bisa
dilihat lagi mana yang kanan dan mana yang kiri. Lelaki sedikit pendek
berpakaian abu-abu dengan potongan
rambut pendek bundar seperti topi tapi cukup tebal itu dikenal dengan nama
Wilduto. Melarikan diri merupakan pekerjaannya setiap hari.
Dia adalah satu-satunya anggota Pencuri Terhormat dari Gua Maksiat yang punya
kecepatan lari paling jago. Tapi agaknya kali ini Wilduto yang berwajah bulat
dengan mata bundar jelek itu mengalami keanehan dalam
larinya. Kaki sudah diayun dengan cepat dan sangat cepat.
Arah yang dituju adalah gugusan tanah tinggi yang
mempunyai tiga pohon kelapa berjajar itu. Di sana, ia bisa menghilang dari
kejaran lawan, karena di sana ada lorong kecil, mirip lorong ular yang bisa
dipakai untuk masuk tubuhnya. Lorong itu yang akan membawanya ke
Gua Maksiat, tempat teman-temannya yang
pekerjaannya sebagai pencuri membagi hasil, berjudi, atau membawa perempuan
impiannya. Tetapi secepat baling-baling kaki itu bergerak,
gugusan tanah tinggi bertanda tiga batang pohon kelapa berjajar itu terasa masih
jauh. Wilduto mempercepat lagi larinya, kerahkan semua tenaga, bahkan
keringatnya sampai bercucuran. Tapi anehnya pohon kelapa berjajar tiga itu belum juga
dicapainya. Wilduto menoleh ke belakang, ia terkejut.
Memandang ke samping. Juga terkejut. Memandang ke
bawah, semakin terkejut. Karena tanah yang dipijaknya berongga, melesak ke
dalam, rumput yang dipijak
menjadi rusak. Pohon di sampingnya tidak bergerak.
Padahal dia sudah lari sekuat tenaga sejak tadi maka Wilduto segera sadar bahwa
ada kekuatan gaib yang
menahannya dari belakang.
Dan ketika ia memandang ke arah belakang lagi, tiba-tiba matanya menangkap
seraut wajah cantik yang amat mengejutkan hati. Tersentak Wilduto seketika itu
dan mundur tiga tindak dari tempatnya.
"Celaka...!" gumamnya sangat lirih sekali.
Perempuan cantik yang masih tampak muda itu
bertubuh ramping. Pakaian penutup dadanya berwarna
hijau dengan hiasan benang emas. Celananya yang ketat itu juga berwarna hijau,
ia mengenakan baju jubah tak dikancingkan, berwarna biru muda samar-samar,
sehingga masih tetap membayang wujud bentuk
tubuhnya yang menggiurkan itu. Rambutnya diurai,
pakai mahkota emas kecil, ia juga mengenakan kalung lempengan emas bermata intan
susun dua. Ia mengenakan gelang kroncong, kiri lima, dan kanan lima.
Gemerincing suara gelang terdengar jika tangannya
digerakkan. Di pundaknya tersumbul gagang pedang berbenang
koncer merah. Pedang yang disematkan di punggungnya itu adalah pedang bersarung
merah tembaga berukir.
Wilduto merasa takut berhadapan dengan perempuan
cantik berhidung mancung dan berbibir bagus itu. Bukan karena Wilduto tidak
pernah bertemu dengan perempuan secantik itu, tapi memang Wilduto berusaha untuk
jangan sampai bertemu dengan perempuan tersebut.
Sebab ia tahu, perempuan itu adalah Dayang Kesumat, penguasa dari Pulau Hantu
yang terkenal cukup sakti.
(Baca serial Pendekar Mabuk, dalam episode: "Cermin Pemburu Nyawa").
"Mau lali ke mana kau, Tikus Busuk!" seru Dayang Kesumat dengan suara cadelnya
yang tidak bisa
sebutkan huruf 'R', ia berdiri dalam jarak tujuh langkah dari tempat Wilduto.
"Mengapa kau masih mengejarku terus, Dayang
Kesumat"! Bukankah sudah kukatakan bahwa aku tidak
punya salah apa-apa padamu"!"
"Kalau tak punya salah, kau tak akan lali, Wilduto!"
Dayang Kesumat maju tiga tindak. Wilduto mundur
dua langkah, ia berusaha menghindari pandangan mata Dayang Kesumat yang tajam
itu. "Kembalikan gelangku, atau kau kubunuh sekalang juga, Wilduto!"
"Sungguh aku tidak mengerti apa maksudmu, Dayang Kesumat!"
Dayang Kesumat segera menggenggam jari
kelingkingnya. Wilduto segera tersentak dengan leher memanjang, ia mendelik dan
tak bisa bernapas.
Lehernya bagaikan ada yang mencekik dengan keras.
Wajah Wilduto menjadi merah dan badannya bergerak-
gerak, seakan kedua tangannya ingin menarik sesuatu yang mencekik leher, tapi
tak ada tangan yang harus disingkirkan atau ditarik.
Ketika kelingking yang digenggam Dayang Kesumat
dilepaskan, maka Wilduto kembali bisa bernapas walau diawali dengan terbatuk-
batuk. Napasnya terengah-engah dan lehernya terasa panas.
"Kau benal-benal maling bodoh, Wilduto! Kalau kau mau menculi, jangan menculi
balang-balangku! Itu sama saja kau jual nyawamu dan kau tukal dengan balang-
balangku!"
"Ak... aku tidak mencuri! Uhuk uhuk uhukk...! Aku tidak ambil apa-apa darimu,
Dayang Kesumat!"
"Lantas untuk apa kau menyusup masuk ke
pesangglahanku?"
"Aku tersesat!"
"Jika kau telsesat, mengapa kau lali begitu
melihatku?"
"Aku... hmm... aku takut kalau...! Heggh...!"
Wilduto mengejang. Matanya mendelik dengan badan
setengah bungkuk ke depan. Kedua tangannya mendekap
'jimat lelaki' yang dirasakan telah diremas oleh sebuah tangan. Pada saat itu,
Dayang Kesumat menggenggam
jari telunjuknya sendiri. Yang digenggam jari
telunjuknya, tapi yang merasakan sakit adalah bagian bawah Wilduto.
Itulah jurus yang sering ditakuti lawan. Jurus 'Jemari Mayat' merupakan jurus
yang langka dimiliki orang.
Jurus itu bisa membunuh orang dengan mudah, dengan hanya menggenggam salah satu
bagian jari. Jika bagian jari kelingking yang digenggam, maka lawan akan
merasakan tercekik. Jika bagian telunjuk yang diremas, maka lawan akan merasa
diremas kuat bagian 'jimat'-nya itu. Begitu pula dengan jari-jari yang lainnya,
punya sasaran tersendiri untuk setiap jarinya.
"Lekas selahkan Gelang Mata Setan-ku!" sentak Dayang Kesumat.
"Gelang itu... gelang itu... jatuh ke laut, waktu kau menyerangku di perahu!"
"Apaaa..."!" seru Dayang Kesumat sambil melangkah maju siap melepaskan murkanya.
"Coba sebutkan sekali lagi!" sentaknya.
Makin takut Wilduto hadapi wajah garang perempuan
cantik itu. Tapi ia tetap sebutkan dengan suara bergetar,
"Gelang itu... jatuh ketika kau menyerangku di kapal.
Jatuh ke laut dan...."
"Jahanam kau!"
Behggg...! Dayang Kesumat lepaskan tendangan kuat
ke arah dada Wilduto. Seketika itu Wilduto terlempar jauh, bagaikan daun kering
terlempar begitu saja.
Wilduto tak sempat mengaduh atau memekik, karena
napasnya bagai terhenti sekian kejap.
Dayang Kesumat masih belum puas, maka dengan
satu sentakan tangan kirinya, melesatlah sinar merah berbentuk bintang.
Zlapp...! Sinar merah itu seharusnya menghantam pinggang Wilduto, dan Wilduto
akan pecah berkeping-keping.
Tetapi sebelum sinar merah itu menghantam sasaran,
terlebih dulu sekelebat sinar hijau melesat dan tepat membentur sinar merah.
Blarrr...! Meledaklah benturan dua sinar itu. Gelombang
ledakannya membuat Wilduto terlonjak terbang ke atas dan jatuh bagaikan nangka
busuk. Blukkk...! Sedangkan Dayang Kesumat tidak bergeming sedikit pun diterpa
gelombang ledakan yang membawa angin besar
menyebar itu. Dayang Kesumat tak menghiraukan lagi keadaan
Wilduto yang kini bisa mengerang kesakitan. Mata
Dayang Kesumat memandang nanar ke sekelilingnya, ia mencari si pemilik sinar
hijau tadi. Kemarahan semakin tampak nyata di permukaan wajah cantiknya yang
bermata jeli indah itu.
Tiba-tiba ia rasakan ada hembusan hawa panas yang
akan menyerangnya dari belakang. Dengan cepat
Dayang Kesumat berbalik arah dan lepaskan pukulan
tenaga dalam tanpa sinar itu. Wussst...!
Blamm...! Terjadi letupan kecil yang memercikkan sinar putih keperakan. Itu pertanda
pukulan hawa panas yang akan menyerangnya berhasil dipatahkan di pertengahan
jalan. Kemudian, dengan geramnya Dayang Kesumat
menghantam bagian atas sebuah pohon yang berdaun
rindang. Zlappp...! Sinar merah melesat dan menuju ke pohon
berdaun rindang itu. Dengan cepat, melompatlah sesosok bayangan berwarna kuning.
Wuttt..! Dan dalam kejap
berikutnya, sosok yang melompat itu telah berada di bawah pohon, lalu kembali
melesat ke samping.
Pada saat itu, sinar merah menghantam dahan pohon
dengan timbulkan suara ledakan yang cukup kencang.
Duerrr...! Prasss...!
Semua daun di pohon itu menyebar entah ke mana,
menjadi serpihan-serpihan kecil. Batang dan dahannya pun pecah menyebar ke mana-
mana. Orang yang baru
turun dari pohon itu terpaksa lompat kembali untuk menghindari hujan serpihan
kayu dari atasnya.
Wuttt...! Wilduto menggunakan kesempatan itu untuk
melarikan diri. Dayang Kesumat melihatnya, lalu segera berlari mengejar. Tapi
tiba-tiba ia tersentak dan hampir saja tersungkur kalau tidak segera berjungkir
balik dengan lincah ke arah depan. Sebuah pukulan jarak jauh
dilepaskan dari lawan barunya dan mengenai
punggungnya. "Bangsat!" geram Dayang Kesumat dengan mata mulai memandang garang kepada lawan
barunya yang tak lain adalah Prahasto. Segera Dayang Kesumat
mengirimkan pukulan jarak jauh lagi, wusss...! Prahasto menghindarinya dengan
melompat tinggi dan bersalto
satu kali di udara. Kemudian kakinya berhasil mendarat dengan tegap dan sigap.
Matanya memandang penuh
waspada dalam keadaan badan setengah miring ke
kanan. "Plahasto! Mengapa kau menyelangku" Bukankah
selama ini hubungan kita baik-baik saja"!"
"Ada sesuatu hal yang membuatku terpaksa bersikap begini padamu, Dayang
Kesumat!" Hati Dayang Kesumat menjadi benci melihat sikap
Prahasto yang menyerang dengan sungguh-sungguh tadi.
Karena itu, Dayang Kesumat pun merencanakan untuk
tidak segan-segan membunuh Prahasto, walau
sebenarnya ia sangat sayang, karena sewaktu-waktu ia bisa menggunakan tenaga
Prahasto untuk keperluan
batiniahnya. Selagi Dayang Kesumat merenungkan diri, tiba-tiba
Prahasto melepaskan pukulan tenaga dalamnya melalui genggaman tangannya yang
menghantam ke depan.
Kepalan tangan itu keluarkan cahaya kuning yang nyaris tak terlihat jika dalam
keadaan siang hari.
Wussst...! Cepat-cepat telapak tangan Dayang Kesumat
dihadangkan ke dada. Dan sinar kuning itu menghantam telapak tangan tersebut.
Debb...! Wuttt...! Dayang
Kesumat terlempar ke belakang, ia tak sangka kekuatan pukulan bercahaya kuning
itu sangat besar. Tubuhnya sempat terbanting ke belakang dan membentur sebatang
pohon. Bruss...!
"Dia benal-benal ingin membunuhku!" pikir Dayang Kesumat. "Apa penyebab
sebenarnya?"
Dayang Kesumat segera bangkit, telapak tangannya
terasa ngilu, tapi tidak ia perhatikan. Dengan cepat tangan kanan itu meremas
jari kelingkingnya. Sett...!
"Keehkkr...!"
Prahasto mendelik seketika dengan tubuh kejang, ia
memegangi lehernya sendiri, mencari tangan yang
mencekik keras-keras itu. Tapi ia tak mendapatkan
tangan orang lain kecuali tangannya sendiri. Prahasto kelabakan, sukar bernapas
hingga mulutnya ternganga, menjulurkan lidah dan kepalanya tersentak-sentak.
"Mengapa kau mau membunuh aku, hah"! Sebutkan, mengapa kau mau membunuh aku"!
Apa alasanmu, hah"!"
Dayang Kesumat melepaskan jurus 'Jemari Mayat'-
nya. Prahasto terbatuk-batuk dalam keadaan seperti
Wilduto tadi. Dayang Kesumat berkata,
"Kalau kau tak mau jawab, aku akan lakukan lagi!"
Prahasto berusaha menjawab dengan napas masih
terengah-engah,
"Karena... karena... aku disuruh oleh seseorang! Ada yang mengupahku untuk
membunuhmu!"
"Siapa...?"
"Aku... aku tak tahu!"
"Siapa"!" bentak Dayang Kesumat sambil ia meremas jari tengah. Sekarang yang
dirasakan Prahasto adalah perut. Perut itu terasa diremas isinya dan dipulir
kuat-kuat. Prahasto kembali tidak bisa bernapas. Megap-
megap dan mendelik sambil tubuhnya gemetaran.
Bahkan tubuh itu terangkat sedikit, kakinya
menggantung, tidak menyentuh tanah. Kejap berikut, ia dilepaskan dalam satu
sentakan yang membuatnya jatuh.
"Jawab kataku, siapa yang suluh kamu bunuh aku"!
Kalau tidak, kucekik kau dali sini sampai mati!"
"Ak... aku mau kasih tahu orangnya, tapi... tapi kau harus berjanji untuk tidak
bunuh aku!"
"Baik. Kau bisa kuampuni jika kau kasih jawaban yang benal!"
Prahasto benar-benar merasakan sakit. Bukan
berpura-pura. Padahal kalau dia maju untuk serang
Dayang Kesumat, bisa saja ia lakukan. Tapi jelas dia akan dibunuhnya. Kalau toh
dia lari, dia juga akan
dikejar dan dibunuhnya. Maka, segeralah Prahasto
memainkan rencananya,
"Aku disuruh oleh seorang perempuan yang bernama Ratu Teluh Bumi! Dia yang
menghendaki kematianmu!"
"Latu Teluh Bumi..."!"'geram Dayang Kesumat dengan bahasa cadelnya. "Diam-diam
olang itu jahanam juga! Dia pelalian dali Jenggala! Dia satu-satunya olang
Jenggala pada masa pemelintahan laja sebelumnya yang masih hidup! Dulu dia lali
dali Jenggala, dan kutampung
di Pulau Hantu. Tapi sekalang dia belbalik mau
membunuhku! Pasti dia mau kuasai Pulau Hantu untuk
menyusun kekuatan balu, buat menyelang Jenggala!"
"Soal itu, aku benar-benar tidak tahu! Dia tidak pernah sebutkan alasannya
memberi perintah begitu
padaku. Dia hanya menyebutkan sejumlah uang yang
Pendekar Mabuk 018 Manusia Penyebar Kutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cukup menggiurkan bagiku! Sebagai pengelana, aku
selalu butuh uang dan segala pekerjaan pun kuhalalkan!
Yang penting aku bisa mendapatkan uang untuk
menyambung hidupku!"
"Sehalusnya kau kubunuh, Plahasto... kalena
kuanggap kau telah menodai pelsahabatan kita!"
"Tapi kau janji tidak akan membunuhku tadi!"
"Ya, aku memang janji! Tapi janjiku kucabut, kecuali kau mau kasih tahu padaku,
di mana aku bisa temui Latu Teluh Bumi itu"!"
"Aku tidak bisa sebutkan sekarang. Entah dia ada di mana. Tapi aku bisa bertemu
dengannya pada malam
purnama nanti. Aku harus temui dia di Bukit Gelagah untuk melaporkan hasil
kerjaku ini!"
"Bukit Gelagah"!" gumam Dayang Kesumat. "Dua hali lagi adalah malam pulnama.
Belalti aku halus bikin pelhitungan dengannya dua hali lagi di Bukit Gelagah."
"Tapi aku tak berani ikut mendampingimu! Aku takut dia mengetahui bahwa aku
memihakmu!"
"Aku akan datang sendili! Tapi kalau di sana tak ada dia, kau kucali untuk
kubunuh!" Dayang Kesumat bicara dengan mata memancarkan
dendam untuk membunuh. Agaknya dia benar-benar
merasa benci pada Prahasto jika pada malam purnama
nanti tak ada Ratu Teluh Bumi di Bukit Gelagah.
Prahasto pun cemas, takut kalau-kalau Ratu Teluh Bumi tidak hadir di bukit itu
pada malam purnama nanti,
pastilah dirinya akan jadi bahan buruan bagi Dayang Kesumat. Dan Prahasto tidak
sanggup menghadapi ilmu Dayang Kesumat, termasuk ilmu yang baru saja dipakai
menyerangnya, jurus 'Jemari Mayat'. Prahasto tak pernah tahu bahwa Dayang
Kesumat punya jurus seperti itu.
Sama halnya Dayang Kesumat tak pernah tahu kalau
Prahasto adalah prajurit sandi dari Jenggala. Ia mengenal Prahasto sebagai
pengelana yang hidupnya dari upah
demi upah. * * * 2 SEMILIR angin membawa keteduhan di bawah
pohon rindang itu. Pendekar Mabuk yang sedang
melepaskan lelah di bawah pohon tersebut mulai
mengeluh dalam hati. Perutnya terasa lapar sekali, tapi tak tahu ke mana ia
harus mencari tempat untuk makan.
Dari ketinggian lereng itu, Pendekar Mabuk
memandang ke arah utara, dan samar-samar ia melihat persawahan membentang dengan
tanaman padinya yang
masih menghijau. Dalam hatinya Suto Sinting pun
berkata membatin,
"Kurasa tak jauh dari persawahan di sana pasti ada sebuah desa. Dan kurasa di
desa itu ada kedai untuk
makan. Sebaiknya aku segera ke sana saja. Perutku
terasa perih jika diisi tuak terus-menerus. Kebetulan tuakku tinggal sedikit,
ada baiknya kalau aku bukan hanya mengisi perut, tapi juga mengisi bumbung
tuakku ini!"
Maka bergegaslah Suto Sinting, si Pendekar Mabuk
itu melangkah menuruni lereng perbukitan. Namun
beberapa saat sebelum ia mencapai pematang sawah di seberang sana, langkahnya
menjadi terhenti akibat
kehadiran seseorang yang muncul dari balik sebatang pohon besar berdaun rimbun.
Orang tersebut adalah pemuda sebaya dengannya,
berambut panjang yang diikat ke belakang, tubuhnya
tinggi, tegap, dan mempunyai wajah lumayan ganteng.
Pemuda itu mengenakan baju hijau tua dan
menyandang empat pisau terbang di pinggangnya.
Dilihat dari caranya memandang, Suto sudah dapat
menduga, pemuda tersebut punya maksud tak baik
padanya. Setidaknya ada sesuatu yang membuatnya
curiga terhadap Suto. Tetapi saat itu Suto Sinting tetap tenang dan
menyunggingkan senyum keramahan, ia
berhenti antara tujuh langkah di depan pemuda berbaju hijau itu.
Karena pemuda itu sejak tadi hanya memandang
dengan tajam dan tidak membalas senyum keramahan
Pendekar Mabuk, maka si Pendekar Mabuk itu menyapa
pemuda tersebut lebih dulu.
"Agaknya kau punya masalah yang ingin kau
sampaikan padaku, Sobat! Katakanlah apa masalahmu.
Tapi tolong sebutkan dulu namamu!"
"Namaku Jarum Lanang," jawab pemuda itu bernada ketus.
"Itu nama yang bagus!" kata Suto sambil tetap tersenyum kalem. "Setelah itu, apa
masalahmu?"
"Tak usah berpura-pura ramah padaku! Serahkan
Sumping Rengganis sekarang juga, atau aku terpaksa
membunuhmu"!"
"Apa..."!" Pendekar Mabuk berkerut dahi dengan heran.
"Serahkan Sumping Rengganis padaku!"
Pendekar Mabuk diam sebentar, berpikir beberapa
saat lalu bertanya dengan wajah lugu.
"Sumping Rengganis itu apa" Nama pusaka atau
nama makanan"!"
Wajah Jarum Lanang semakin tampak marah, ia maju
dua tindak dari tempatnya menggeram, kemudian
berkata dengan mata makin tajam memandang Pendekar
Mabuk, "Kau benar-benar memuakkan! Jangan berlagak
bodoh di depanku, Jahanam!"
"O, namaku Suto! Suto Sinting! Ya, itu namaku dan bukan Jahanam!" kata Suto
sambil menyunggingkan senyum yang berkesan tidak merasa gentar sedikit pun
dengan gertakan pemuda berambut panjang itu. Sikap
tersebut membuat Jarum Lanang menjadi semakin
dongkol, maka dengan cepat tangannya berkelebat ke
depan untuk melepaskan pukulan jarak jauhnya. Dan
pukulan itu oleh Suto hanya dibalas dengan gerakan
telapak tangan kiri yang terbuka menghadap ke depan.
Wubbb...! Pukulan jarak jauh tanpa sinar itu bagaikan diredam oleh tangan kiri
Pendekar Mabuk, lalu
dibelokkan arahnya ke samping. Wursss...! Berubah
menjadi hembusan angin yang menerjang semak.
"Apa kau ingin unjuk permainan padaku, Jarum
Lanang"!"
Jarum Lanang membentak, "Aku hanya ingin
meminta kembali kekasihku yang bernama Sumping
Rengganis!"
"Ooo... Sumping Rengganis itu nama kekasihmu"!"
Suto membuka mata lebar-lebar sambil tertawa kecil dan akhirnya manggut-manggut.
Tetapi Jarum Lanang sudah tak sabar lagi, maka dengan cepat ia mencabut salah
satu pisaunya dan dilemparkan ke arah Pendekar Mabuk
dengan kelebatan cepat, hampir tak terlihat. Zingngng...!
Tebb...! Pendekar Mabuk kembali kelebatkan
tangannya di depan, dan ternyata saat itulah ia bergerak menangkap pisau yang
dilemparkan oleh Jarum Lanang.
Pisau itu tahu-tahu menancap di sela-sela dua jemari tangannya, tanpa luka dan
tanpa darah sedikit pun.
Pendekar Mabuk tersenyum lagi, tapi Jarum Lanang
terkesiap matanya melihat kecepatan lawan dalam
menangkap pisau terbangnya. Dalam hatinya Jarum
Lanang membatin,
"Agaknya dia bukan pemuda sembarangan, bukan
sekadar pemuda tampan tanpa isi! Aku yakin dia punya ilmu yang lumayan. Buktinya
dia bisa menangkap
lemparan pisauku dengan jemarinya! Hmm...! Aku tak
boleh sembarangan menghadapi pemuda ini!"
Lalu Jarum Lanang segera terperanjat dan terpaksa
sentakkan kaki ke tanah, tubuhnya melompat ke atas
karena Suto Sinting mengembalikan pisaunya dengan
satu gerakan yang hampir-hampir tak terlihat kelebatan geraknya. Wussst...!
Kalau bukan karena ada pantulan sinar matahari yang membuat mata pisau
berkerilap sekejap tadi, Jarum Lanang tak bisa melihat bahwa
benda itu meluncur ke arahnya.
Pisau tersebut bisa lolos dari dirinya. Jarum Lanang merasa lega. Ia memandang
ke belakang sebentar,
melihat di mana menancapnya pisau tersebut untuk nanti dicabutnya kembali.
Rupanya pisau itu menancap di
batang pohon tak terlalu besar tak begitu jauh darinya.
Jarum Lanang kembali lega. Tapi tiba-tiba terperanjat kaget karena pisau itu
ternyata tidak menancap,
melainkan juga menembus batang pohon itu. Ploss...!
Keluar dan menembus pohon depannya lagi. Ploss! Pada batang pohon ketiga pisau
itu berhenti menancap.
Jrabb...! Melihat kehebatan lemparan pisaunya Pendekar
Mabuk, Jarum Lanang hampir saja tak bisa menelan
ludahnya sendiri, ia tak bisa bicara apa pun, selain hanya membatin,
"Luar biasa! Pisau itu bukan hanya menancap tapi menembus, dan bukan saja
menembus pada batang
pohon pertama, namun juga menembus pohon kedua dan
berhenti di pohon ketiga! Tanpa tenaga dalam yang
tinggi, tak mungkin hal itu bisa dilakukan! Ternyata
pemuda itu punya kehebatan melempar pisau lebih
tinggi dariku. Gawat kalau begini! Agaknya aku tak boleh gegabah dalam
menghadapinya! Benar-benar
harus pakai perhitungan!"
Kemudian terdengar suara Pendekar Mabuk berkata,
"Jarum Lanang, sebaiknya kita tak perlu berselisih! Jujur saja kukatakan padamu,
kau akan kalah jika melawanku!
Dan aku tidak suka menyerang orang yang tidak punya kesalahan apa pun kepadaku.
Jika itu hanya kesalahpahaman, kita harus luruskan bukan dengan
perselisihan atau pertarungan! Perlu kau percayai, bahwa aku tidak tahu menahu
tentang kekasihmu itu.
Mendengar namanya saja baru kali ini!"
"Omong kosong! Sewaktu aku di lereng sana, aku melihat Sumping Rengganis masih
menungguku di sini!
Dan ketika kau tiba di sini, dia sudah tak ada! Kejap berikutnya kau muncul
dengan langkah terburu-buru!
Dugaanku mengatakan, kau telah sembunyikan
kekasihku itu dan entah kau bunuh atau kau apakan dia di tempat
persembunyiannya, lalu kau ingin buru-buru pergi dari sini!"
"Oh, salah besar itu, Jarum Lanang! Salah besar! Aku melangkah terburu-buru
karena ingin segera mencapai desa seberang sana untuk mencari kedai! Aku lapar
sekali dan ingin segera mengisi perut!"
"Bohong! Wajahmu lebih tampan dariku, pasti
Sumping Rengganis lebih terpikat dengan
senyumanmu!"
"Terima kasih atas pengakuanmu itu! Tapi sungguh
mati aku tidak menculik atau menyembunyikan
kekasihmu, Jarum Lanang! Sebaiknya, kau percaya saja padaku, supaya di antara
kita tidak terjadi pertarungan!"
"Kau kira aku takut melawanmu"!" sentak Jarum Lanang sambil melangkah dua tindak
ke depan. "Tentu saja kau tidak takut padaku! Kau punya ilmu tinggi mestinya, terbukti kau
berani menyerangku
dengan lemparan pisau. Tapi aku pun juga tidak akan gentar melawanmu, hanya saja
aku tidak suka berselisih karena kesalahpahaman!"
"Rupanya kau perlu dipaksa, Suto! Heaaah...!"
Jarum Lanang segera melompat dan melepaskan
pukulan tenaga dalamnya bercahaya kuning. Suto
Sinting hanya menghindar ke samping tanpa berpindah dari tempatnya berpijak.
Wuttt...! Sinar kuning itu melesat tak mengenai Pendekar Mabuk, melainkan
mengenai pohon di belakangnya. Blarr...! Pohon itu pun rubuh dan hancur di
pertengahannya.
Pada saat itu, kaki Jarum Lanang sudah menapak di
tanah depan Suto dalam jarak satu langkah persis.
Tangannya segera menghantam lurus ke wajah Suto.
Dengan cepat tangan Pendekar Mabuk berkelebat
menangkisnya. Plakk...! Kemudian dua jarinya menusuk kuat ke arah ulu hati Jarum
Lanang. Tubb...!
"Heggh...!" Jarum Lanang terpekik tertahan sambil tubuhnya tersentak terbang ke
belakang dan jatuh dalam jarak empat langkah.
Pendekar Mabuk mengambil bumbung tuaknya dan
meneguk tuak beberapa kali. Ia tetap bersikap santai dan
tenang tanpa nafsu menyerang. Sementara itu, Jarum
Lanang yang jatuh terduduk di tanah itu berusaha
bangkit dengan wajah menyeringai menahan sakit pada ulu hatinya, ia pun
membatin, "Gila betul sodokan jari pemuda itu! Ulu hatiku terasa bengkak! Uhh... sakitnya
bukan main! Hanya dua jari yang menyodok, tapi rasanya seperti sebatang kayu
kelapa yang menghantam dadaku!"
Suto mendekati Jarum Lanang dan menyodorkan
bumbung tuaknya dengan berkata,
"Minumlah tuakku ini, supaya kau tak terlalu merasa sakit!"
Plakk...! Jarum Lanang mengibaskan tangannya,
menghantam bumbung tuak yang disodorkan kepadanya.
Biasanya benda seperti itu jika dihantam dengan kibasan tangan akan terpental.
Tapi kali ini ternyata tidak. Benda itu tetap di tempatnya tanpa gerak sedikit
pun. Padahal tangan Jarum Lanang cukup keras mengibaskan dan
menghantam bumbung itu. Tapi justru terasa kesemutan sekujur tubuh Jarum Lanang
ketika memukul bumbung
tersebut. "Kalau kau tak biasa minum tuak, ya sudah! Aku tidak memaksanya!" kata Suto
dengan kalem. Kemudian ia gantungkan bumbung tuak itu di pundaknya.
"Maaf, aku harus segera meninggalkanmu! Aku tak kuat menahan lapar terlalu lama!
Kalau ingin menyusulku, aku ada di sebuah kedai di desa seberang itu!"
Tanpa menunggu jawaban dari Jarum Lanang,
Pendekar Mabuk itu pun segera melangkah
meninggalkan tempat tersebut. Tapi agaknya Jarum
Lanang masih penasaran dan merasa yakin bahwa
Sumping Rengganis, kekasihnya itu, disembunyikan
oleh Pendekar Mabuk. Maka, diam-diam Jarum Lanang
mencabut pisaunya lagi dan melemparkannya ke arah
Suto. Wusss...! Suto tidak berpaling. Tapi ketika pisau itu mendekat ingin menancap di
punggungnya, bumbung tuak
didorong ke belakang hingga melintang di punggung.
Pisau itu mengenai bumbung tuak tersebut trangng...!
Seperti membentur besi baja suaranya, dan anehnya lagi pisau itu memantul balik
ke arah Jarum Lanang.
"Haahh..."!" Jarum Lanang membelalakkan matanya lebar-lebar. Jarum Lanang juga
melompat dan bersalto di udara karena pisau itu bergerak ke arahnya lebih cepat
dari gerakan lemparannya tadi. Wutt..!
Pendekar Mabuk 018 Manusia Penyebar Kutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Duarrr...! Makin terbelalak mata Jarum Lanang melihat
pisaunya menancap di salah satu pohon, bukan tembus seperti tadi namun membuat
pohon itu meledak dan
hancur pada bagian tengahnya, kemudian rubuh
menimpa pohon yang lainnya.
Dalam hatinya Jarum Lanang berkata, "Luar biasa orang itu. Dia punya ilmu tidak
tanggung-tanggung.
Sinting juga ilmunya itu! Pantas ia diberi nama Suto Sinting! Dia bisa
mengembalikan pisauku dan pisau itu mempunyai tenaga dalam sangat tinggi, hingga
mampu meledakkan sebatang pohon. Padahal aku tak pernah
menyalurkan tenaga dalam sebesar itu ke dalam batang pisau terbangku! Bumbung
itu sungguh merupakan
bumbung yang ampuh dan punya kesaktian tersendiri!"
Pendekar Mabuk membalikkan badan, memandang
Jarum Lanang dengan tersenyum, lalu segera berkata,
"Masih belum puas menjajalku?"
Jarum Lanang tak bisa bicara. Untuk meminta maaf
pun ia tak mampu mengucapkan lewat mulutnya.
Lidahnya terasa kaku dan kelu. Pendekar Mabuk itu
bahkan berkata,
"Cobalah cari dulu kekasihmu itu di tempat lain!
Jangan menuduh orang sembarangan, nanti kau akan
diadili oleh tuduhanmu sendiri!"
"Hmmm... eh... iya! Aku... aku bersalah. Tapi... tapi bolehkah aku tahu siapa
gurumu, Suto?"
"Guruku"! Oh, ya... rupanya kau belum kenal pada guruku! Aku murid sinting si
Gila Tuak, gelarku
Pendekar Mabuk!"
"Hahh..."! Si... si Gila Tuak..."!" Jarum Lanang terperanjat sekali hingga
matanya melebar.
"Kau pernah dengar nama itu, Jarum Lanang"!"
"Gila Tuak adalah sahabat guruku dan... dan nama Pendekar Mabuk sudah lama
kudengar, tapi... tapi aku tak sangka kalau kaulah orangnya, Suto! Oh, maaa...
maafkan aku! Maafkan aku...!" Jarum Lanang
membungkuk dengan kaki rapat ketika meminta maaf
begitu. Pendekar Mabuk tak terdengar suaranya. Ketika Jarum Lanang mengangkat
badan dan mendongakkan
kepalanya dari sikap membungkuk, ia menjadi terkejut lagi melihat Suto Sinting,
si Pendekar Mabuk itu, sudah tidak ada di depannya. Pandangan mata Jarum Lanang
terarah di tempat jauh, dan ia melihat Pendekar Mabuk sudah ada di pematang
sawah yang jauh di seberang
sana. Jarum Lanang geleng-gelengkan kepala sambil
menggumam, "Luar biasa hebatnya dia...!"
* * * 3 BUKIT Gelagah mempunyai jurang yang cukup
curam. Tak ada orang yang selamat jika tergelincir ke dalam jurang itu. Itulah
sebabnya jurang itu dinamakan Jurang Petaka.
Pada waktu terang bulan, permukaan bukit itu cukup
terang, karena tidak memiliki pepohonan tinggi, selain jenis rumput dan bebatuan
yang menjulang. Ada batu
besar yang melebihi tinggi tubuh manusia dewasa, ada juga yang melebihi atap
sebuah gubuk. Tapi kebanyakan permukaan bukit itu dihiasi oleh bebatuan setinggi
perut atau setinggi lutut.
Seseorang yang menjerit dari atas Bukit Gelagah,
suaranya akan memantul cukup lama, karena Jurang
Petaka mempunyai dinding tebing yang mengurung
jurang itu, hingga pantulan suara bisa berbalik ke sana-sini sampai beberapa
kali. Di seberang Bukit Gelagah ada bukit lagi yang
bernama Bukit Menara Tunda. Bukit itu hanya terdiri atas cadas dan lumut tanpa
ada pepohonan tinggi. Sulit mencapai Bukit Menara Tunda karena tempatnya licin,
dan selalu berair. Tebing Bukit Menara Tunda itulah yang menjadi tempat utama
memantulkan suara jerit
seseorang dari atas Bukit Gelagah.
Rembulan yang kini tampak penuh sebagai mata
langit di waktu malam, tak tanggung-tanggung
pancarkan sinarnya ke atas Bukit Gelagah, sehingga sosok bayangan seseorang yang
berdiri di sana terlihat jelas, dari warna pakaiannya sampai lekuk tubuhnya.
Orang yang berdiri di sana berjubah biru muda dari
bahan kain tipis semacam sutera. Siapa lagi orang
berjubah biru muda dengan rambut diurai lepas sebatas punggung jika bukan Dayang
Kesumat" Agaknya murka
di dalam hati mendengar tantangan secara tak langsung dari Ratu Teluh Bumi telah
membuat Dayang Kesumat
tak sabar menunggu saat pelampiasan murkanya. Karena itu Dayang Kesumat datang
lebih dulu, ketika Bukit
Gelagah masih kosong tanpa penghuni ataupun
pengunjung lainnya.
Sejak tadi Dayang Kesumat berdiri bagai mematung
memandang ke arah jurang. Remang-remang cahaya
rembulan tampakkan lekak-lekuk jurang dengan
beberapa tanaman di tebingnya yang merimbun. Dasar
jurang terlalu jauh untuk dilihat dan terlalu gelap, karena tak sepenuhnya
mendapatkan sinar rembulan bila malam hari.
Hati Dayang Kesumat pun membatin, "Rasa-rasanya
jurang ini sangat cocok untuk membuang bangkai si
Ratu Teluh Bumi nanti! Jerit suaranya yang menggema panjang akan menjadi
kepuasan hatiku, ketimbang ia
mati tanpa pekik tanpa jerit!"
Baru berpikir begitu, Dayang Kesumat merasakan
ada getaran tanah yang terjadi akibat pijakan kaki orang berjalan. Cepat-cepat
Dayang Kesumat palingkan
wajahnya ke belakang. Beberapa kejap kemudian
sesosok bayangan telah melesat, kemudian mendarat di tanah depannya. Sesosok
bayangan itu adalah
perempuan berpedang pendek di pinggangnya. Dia tak
lain dari Ratu Teluh Bumi.
Mereka saling pandang sejenak. Sama-sama tajam
dalam memandang, sama-sama membisu mulut mereka,
sama-sama membara murka hati mereka. Keduanya
sama-sama membatin,
"Rupanya apa yang dikatakan Prahasto memang
benar! Buktinya dia ada di sini. Bukan siap untuk
bertarung denganku, melainkan menunggu kedatangan
Prahasto!"
Karena keduanya sama-sama membatin seperti itu,
maka mereka tidak perlu saling mencari tahu penyebab kehadiran mereka di situ.
Mereka hanya perlu
mengetahui berapa jurus yang harus mereka mainkan
dalam pertarungan itu. Dayang Kesumat yang
mendahului bicara,
"Kau minta aku memainkan betapa julus untuk
kematianmu?"
Ratu Teluh Bumi justru ganti bertanya,
"Kau siap berapa jurus untuk malam ini" Tak perlu kita suruh orang lain
melakukannya, kita sendiri yang menjadi pelaku sang pencabut nyawa!"
Ratu Teluh Bumi bermaksud menyindir Dayang
Kesumat yang dianggap hanya berani menyerang dengan meminjam tangan orang lain.
Tapi Dayang Kesumat
merasa Ratu Teluh Bumi mengakui kelicikannya dan
merasa dirinya tidak perlu meminjam tangan orang lain untuk membunuh. Karenanya
Dayang Kesumat pun
menjawab, "Bagus! Kalau memang kau sudah siap, memang tak ada pellunya kita meminjam
tangan olang lain! Tentukan saja siapa yang halus mati di sini, kau atau aku!"
"Bersiaplah, Dayang! Jemputlah ajalmu dengan
baik!" Ratu Teluh Bumi membuka jurus pertama dengan menarik kakinya ke belakang,
sedangkan yang kanan
masih di tempat, lutut kanannya sedikit terlipat. Kedua tangannya mulai
mengembang bagaikan seekor elang
ingin terbang menangkap lawannya.
Dayang Kesumat hanya diam saja. Tapi kedua
tangannya sudah tidak lagi terlipat di dada. Kedua
tangannya itu telah turun ke samping kanan-kiri dan siap melakukan gerakan
menyerang. Matanya tak lepas
memandang permainan jurus yang dibawakan Ratu
Teluh Bumi di mana semua gerakan dilakukan dalam
keadaan tubuh merendah.
Tangan kanan Dayang Kesumat mulai menggenggam
kelingkingnya. Srett...! Dan Ratu Teluh Bumi cepat-
cepat sentakkan dua jarinya dari depan dada ke atas.
Suttt...! Tebb...! Jari itu seperti memotong segumpal daging yang tak terlihat.
Totokan itu bertenaga dalam cukup besar, sehingga tiba-tiba tangan kanan Dayang
Kesumat tersentak ke belakang, lalu lepaskan
genggaman kelingkingnya.
"Edan! Dia tahu kelemahanku," pikir Dayang Kesumat. "Dia gunakan indela
keenamnya untuk
menyodok tanganku! Sial! Pelgelangan tanganku telasa ngilu sekali!"
Ratu Teluh Bumi bergerak terus dengan permainan
rendah badan. Kakinya melangkah panjang-panjang
namun pelan dan pasti. Bahkan kini ia putarkan badan dengan cepat dan sentakkan
tangannya ke tanah. Cepat-cepat Dayang Kesumat melompat pindah tempat. Lalu
dari tempatnya berdiri tadi muncul serbuk hitam
menyembur dari dalam tanah. Wrusss...!
"Hmm... 'Lacun Hitam' digunakan!" pikir Dayang Kesumat sambil sunggingkan senyum
dingin yang amat
tipis, ia merasa telah selamat dari racun yang amat membahayakan itu.
Sementara di dalam hatinya, Ratu Teluh Bumi
berkata sendiri,
"Sial! Dia tahu jurusku! Tak bisa ditipu dengan gerakan!"
Dayang Kesumat memandang terus mata Ratu Teluh
Bumi. Dan tiba-tiba Ratu Teluh Bumi tersentak.
Tubuhnya cepat tegak. Matanya tak bisa berkedip. Tapi kedua tangannya
menggenggam kuat-kuat. Kedua
tangan Dayang Kesumat juga menggenggam kuat-kuat.
Dan masing-masing tangan itu mengepulkan asap putih yang samar-samar.
Tubuh Ratu Teluh Bumi bergetar seluruhnya. Tapi
Dayang Kesumat hanya pada bagian tangannya saja
yang bergetar. Tangan itu pelan-pelan bergerak naik sampai di dada dalam keadaan
tetap mengepal dan
berasap. Mereka adu tenaga dalam melalui pandangan
mata. Tapi sayang, Dayang Kesumat buru-buru
sentakkan kedua tangannya itu ke depan. Wussst...!
Tangan itu terbuka, dan sebuah tenaga berasap merah keluar dari telapak
tangannya. Wuhkkk...!
Beggh...! Sentakan tenaga dalam itu mengenai dada
Ratu Teluh Bumi. Sentakan itu sangat kuat. Kuat sekali.
Sehingga, tubuh Ratu Teluh Bumi pun terlempar dengan cepatnya bagaikan segumpal
kapas tertiup badai.
Wuuusssh...! "Aaaa....!"
Ratu Teluh Bumi terlempar ke jurang. Tubuhnya
melayang-layang. Jeritannya menggema
berkepanjangan. Makin lama makin kecil suara gemanya itu, sampai pada akhirnya
tak terdengar lagi sedikit pun bunyi jeritan itu. Seakan jeritan histeris hilang
ditelan mulut jurang yang rakus dan lahap terhadap mangsanya itu.
Dayang Kesumat tetap diam, cantik tapi angker, ia
menghembuskan napas kelegaan melihat lawannya
terlempar ke jurang, ia pandangi jurang gelap itu sesaat, kemudian sunggingkan
senyum tipis sebagai senyum
kemenangan. Setelah itu, ia tinggalkan tepian jurang dengan langkah yang
terlihat tegas, tegap dan
meyakinkan. "Selamat tinggal, Latu Teluh! Mudah-mudahan
nyawamu tidak telsesat mencali jalan menuju nelaka!"
kata Dayang Kesumat di dalam hatinya, ia pun segera melesat tinggalkan Bukit
Gelagah itu Tanpa diketahui oleh Dayang Kesumat, suara jeritan
Ratu Teluh Bumi itu telah memudarkan semadi
seseorang yang tinggal di dasar Jurang Petaka itu.
Terpaksa orang tersebut lepaskan masa semadinya walau tetap duduk di tempatnya
yang berbatu datar. Tanpa
memandang ke atas, orang tersebut menadahkan kedua
tangannya di atas kepala. Lebih dari dua helaan napas tangan itu menadah dengan
pandangan mata tetap lurus.
Kira-kira empat helaan napasnya setelah itu, kedua
tangan yang menadah itu dijatuhi tubuh Ratu Teluh
Bumi. Anehnya, gerakan jatuhnya tubuh itu menjadi
pelan ketika mendekati tubuh orang yang sedang duduk bersila itu. Bahkan ketika
menempel di tangan yang
tengadah, tubuh Ratu Teluh Bumi tak sempat
mengguncangkan sehelai pun rambut orang itu. Tak ada suara, tak ada gerakan.
Semuanya terjadi dengan sangat pelan. Tetapi kejap berikutnya, terdengar suara
kasar, brukk...! Itu suara tubuh Ratu Teluh Bumi yang
dilemparkan ke arah belakang oleh orang yang sedang semadi itu.
"Uhhg...! Monyet...!" maki Ratu Teluh Bumi dalam hati.
Perempuan itu tidak mati. Perempuan itu hanya
mengalami luka dalam akibat pukulan berasap dari
Dayang Kesumat itu. Tapi seandainya tubuhnya tidak
disangga dan gerakannya tidak diatur oleh orang yang sedang duduk bersila itu,
maka tubuh Ratu Teluh Bumi sudah pasti hancur tak berbentuk lagi. Ketinggian
jurang itu sangat mengerikan jika dipandang dari bawah.
Orang yang menyelamatkan Ratu Teluh Bumi itu
duduk bersila tanpa peduli dengan keluh dan raungan kecil di belakangnya. Orang
itu berkerudung kain hitam dari kepala sampai kaki. Matanya memandang ke satu
arah tak berkedip. Di depannya itu, ada sungai kecil dengan lebar antara dua
tombak. Celah-celah
bebatuannya mempunyai tanaman setinggi mata kaki. Di sela-sela tanaman jenis
rumput merah itu, tersumbul sebatang tanaman bunga yang tingginya satu betis.
Tanaman yang paling tinggi dari semua tanaman di
depan orang itu mempunyai daun berbentuk segi tiga
sama sisi. Daunnya tak lebat, lebarnya sama dengan
daun beringin. Warnanya hijau kehitam-hitaman.
Tanaman itu hanya mempunyai satu batang yang
meluncur ke atas sebatas betis. Sedangkan orang yang memandangi tanaman itu
duduk di atas batu datar yang tingginya sebatas betis orang dewasa, sehingga
tanaman itu seolah-olah ada di bawahnya. Jarak tempat bersila dengan tanaman itu
hanya satu langkah.
Di ujung tanaman ada kuncup bunga yang masih
kecil. Kecil sekali, kira-kira sekecil biji kapas. Ujung tanaman itulah yang
menjadi pusat pandangan mata tak berkedip itu. Entah sudah berapa lama orang itu
pandangi tanaman bunga aneh tersebut Entah dengan
maksud apa hal itu dilakukan. Yang jelas, ia tak pernah berpaling sedikit pun
dari pandangannya. Jika ada
sesuatu yang mendekat ia dapat menghalaunya dengan
Pendekar Mabuk 018 Manusia Penyebar Kutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gerakan tangan tanpa melihat sasaran. Seperti halnya saat ia menopang tubuh Ratu
Teluh Bumi, tanpa
memandang ke arah atas ia sudah bisa membuat tubuh
itu tepat jatuh di kedua tangannya.
Di samping orang itu mengenakan kerudung dari
kepala sampai kaki, ia juga mempunyai senjata berupa tongkat berujung sabit
panjang. Mata sabit yang
menyerupai paruh burung itu sangat tajam dan
berkilauan. Senjata itu dinamakan pusaka El Maut. Dan orang yang bersenjata El
Maut dengan pakaian kerudung kair hitam, dengan wajah putih bagai berbedak
tebal, dengan bibir biru bagai bergincu mayat, dengan hidung bangir mencipta
ketampanan tersendiri, dengan
pandangan mata dingin bersama raut mukanya yang
dingin bak manusia berwajah salju, tak lain dan tak bukan adalah Siluman Tujuh
Nyawa, ia mempunyai
nama asli Durmala Sanca.
Orang ini adalah tokoh sesat yang amat sakti. Selain terkenal sakti, juga
terkenal keji dan ganas. Usianya sudah sangat tua, lebih dari dua ratus tahun,
tapi raut mukanya masih seperti pemuda berusia dua puluh tujuh tahun. Itulah
Siluman Tujuh Nyawa, yang menjadi
musuh utama bagi Pendekar Mabuk.
Ratu Teluh Bumi pernah mendengar nama itu, tapi
belum pernah jumpa dengan orangnya. Karena itu, ia
tidak tahu siapa orang yang telah menolongnya, namun
juga bagai tak peduli akan dirinya itu. Ratu Teluh Bumi mencoba membangunkan
semadi orang itu dengan
merayap mendekati orang tersebut dari arah belakang.
Badan Ratu Teluh Bumi sangat lemah. Dadanya terasa
panas sekali. Pernapasannya menjadi sangat sesak, berat untuk dihela. Darah yang
keluar dari mulutnya saat
mendapat pukulan Dayang Kesumat tadi sekarang sudah hampir mengering dihembus
angin jurang. Dengan suara berat Ratu Teluh Bumi berkata dari belakang Siluman
Tujuh Nyawa. "Aku terluka di dalam. Tolonglah aku...l"
Siluman Tujuh Nyawa diam saja. Matanya tetap tak
berkedip pandangi ujung tanaman hijau kehitaman itu. Ia seperti orang tuli, tak
mendengar ucapan lirih itu.
"Tolonglah aku... Aku tak kuat..!"
"Kau sudah kutolong," kata Siluman Tujuh Nyawa dengan suara datarnya yang
terkenal dingin itu.
"Aku... masih sakit..."
"Kau berhutang nyawa padaku."
"Biarlah... biarlah aku berhutang dua nyawa
denganmu. Pertama kau selamatkan aku dari ketinggian jurang ini, kedua... tolong
selamatkan aku dari luka di dalam dadaku ini.... Aku percaya, kau bisa mengobati
lukaku!" "Apa upahnya untuk pertolongan dua nyawa?"
"Ter... terserah... apa maumu, aku akan lakukan!"
"Kumau kau mati saja!"
Suara datar dan dingin itu menyakitkan hati Ratu
Teluh Bumi. Kalau tidak dalam keadaan sedang sakit
begitu berat, Ratu Teluh Bumi sudah menyerang orang itu karena ucapan yang
seenaknya saja itu. Tapi demi mendapatkan pertolongan, Ratu Teluh Bumi akhirnya
berkata, "Aku... aku masih ingin hidup...."
"Untuk apa kau hidup?"
"Untuk... membalas dendamku kepada lawan yang
mengirimku ke jurang ini...!"
Sepi kembali tercipta dan mencekam. Durmala Sanca
atau Siluman Tujuh Nyawa diam saja. Tak ada gerak, tak ada kedipan mata.
Sementara itu, Ratu Teluh Bumi
semakin memperdengarkan engahan tarik napasnya yang memberat dan tampak tersiksa
sekali. Kejap berikut, barulah Siluman Tujuh Nyawa berkata,
"Aku tidak punya pelayan."
"Biarlah... aku saja yang menjadi pelayanmu. Aku bersedia...."
"Kau berjanji?"
"Ya. Aku berjanji, jika kau tolong aku, aku bersedia menjadi pelayanmu. Ooh...
semakin panas sekujur
tubuhku rasanya...."
"Peganglah jubahku!" kata Durmala Sanca.
Ratu Teluh Bumi tak paham maksud kata-kata itu.
Tapi kemudian ia melakukan apa yang diperintahkan
orang berjubah hitam sekujur tubuhnya itu. Ratu Teluh Bumi memegang jubah
tersebut dengan kedua
tangannya. Kemudian, ia melihat sendiri kulit tubuhnya menjadi menyala. Seperti
ada sinar biru yang berpendar-pendar mengelilingi seluruh tubuhnya.
Pada saat sinar biru itu menyala di tubuhnya, Ratu
Teluh Bumi merasakan ada kesejukan yang meresap ke
dalam tubuhnya. Kesejukan itu seakan begitu damai dan menyenangkan hati. Ratu
Teluh Bumi meresapi
kesejukan itu dengan mata terpejam pelan-pelan.
Sedangkan Siluman Tujuh Nyawa tidak bergerak sedikit pun. Bahkan berpaling pun
tidak. Napasnya pun
terdengar biasa-biasa saja, tidak ditahan, tidak
dihembuskan kencang. Matanya masih tetap tertuju pada bunga yang belum tumbuh
itu. Setelah beberapa saat, Ratu Teluh Bumi merasakan
hawa panas di dalam dadanya hilang sama sekali.
Otaknya pun terasa menjadi terang, urat-uratnya menjadi segar kembali, dan
peredaran darahnya terasa sangat lancar.
"Lepaskan jubahku..!" perintah Durmala Sanca dengan tetap bernada dingin, bagai
manusia tanpa perasaan. Ratu Teluh Bumi lepaskan jubah hitam itu, dan
ternyata tubuhnya kembali segar. Tak ada rasa sakit, tak ada rasa letih, tak ada
rasa lemas, yang ada hanya
sebentuk kehidupan yang penuh semangat. Ratu Teluh
Bumi hembuskan napas dengan lega sambil ia berdiri
dan menggerak-gerakkan badannya untuk mencari
sesuatu yang masih terasa mengganggu, ternyata tak ada yang terasa mengganggu
tubuhnya. "Sekarang kau adalah pelayanku! Kau harus turut dengan perintahku, Ratu Teluh
Bumi...!" Terkesiap mata Ratu Teluh Bumi mendengar
namanya disebutkan, ia sangat heran mengetahui orang itu bisa sebutkan namanya.
Lalu, ia bertanya, "Siapa dirimu sebenarnya" Mengapa kau bisa tahu namaku?"
"Karena aku menyukai tindakanmu yang tegas dan tidak pandang bulu! Kau berani
membunuh siapa saja
yang menentangmu tanpa ragu-ragu lagai"
Ratu Teluh Bumi berdebar-debar, merasa disanjung
seseorang atas segala yang dilakukannya selama ini. Ia semakin yakin bahwa ia
Persekutuan Pedang Sakti 12 Kitab Mudjidjad Lanjutan Bocah Sakti Karya Wang Yu Tengkorak Maut 14