Pencarian

Minyak Darah Malaikat 3

Pendekar Mabuk 017 Minyak Darah Malaikat Bagian 3


Tapi untuk kali ini, demi minyak yang sudah hampir
seratus tahun itu, aku terpaksa buka perkara denganmu, Candak Sedo!"
Karang Wesi bergegas maju, tapi dicegah oleh Ki
Candak Sedo. Karang Wesi menggeram. Setahu dia,
Warok Kober memang tidak pernah berselisih dengan
gurunya. Tapi sekarang Warok Kober merusak
hubungan baik hanya gara-gara ingin memperebutkan
pusaka Minyak Darah Malaikat itu. Karang Wesi jadi
berpikir, alangkah amat berharganya minyak tersebut,
sehingga seseorang sampai berani mengorbankan
persahabatan demi mendapatkan minyak keramat itu.
Jelas ini sebuah pengorbanan yang amat luar biasa.
"Candak Sedo! Kalau kau masih ingin menjaga
persahabatan denganku, sebaiknya, serahkan saja
minyak itu padaku. Jujur saja, aku ingin memiliki
minyak itu! Aku ingin mandi minyak itu, Candak Sedo!
Kuharap kau tidak keberatan menyerahkannya padaku,
daripada persahabatan kita menjadi hancur karena
berebut minyak!"
"Tak semudah itu, Warok Kober!" Ki Candak Sedo menggeleng-gelengkan kepala
sambil sunggingkan
senyum tipis, ia masih kelihatan tenang, tapi muridnya sudah gusar sejak tadi.
Sambung Ki Candak Sedo lagi,
"Ingat-ingatlah, Warok... perkara minyak ini tetap akan menjadi perkara panjang
selama manusia masih
dikuasai oleh nafsu angkara murka. Perkara minyak
tetap akan menjadi bahan pertarungan antara kedua
belah pihak atau lebih. Tentunya minyak seperti yang
kubawa ini jauh lebih berharga dari segala minyak, dan aku pun siap mati untuk
minyak ini, Warok Kober!"
"Ggrrr...!" Warok Kober menggeram bagaikan seekor singa. Matanya melotot lebar
menyeramkan. Kemudian
ia berkata, "Jadi kau siap bertarung denganku untuk beradu
nyawa, Candak Sedo"! Kau siap bela pati demi
minyak"!"
"Aku yang siap!" sahut Karang Wesi.
"Ha ha ha ha...!" Warok Kober tertawa terbahak-bahak. Ini membuat Karang Wesi
semakin panas hati,
karena merasa diremehkan. Apalagi Warok Kober segera
ucapkan kata, "Kamu bocah yang masih hijau, Karang Wesi!
Perkara ini bukan perkara bocah ingusan seperti kamu!
Pergilah main sana, tak perlu ikut campur urusan orang tua!"
"Kalau kau menghadapiku sama saja dengan
menghadapi guruku, Ki Warok! Kalau kau bisa
menggulingkan aku, sama saja bisa menggulingkan
Eyang Guru Candak Sedo ini! Tapi kalau melawanku
saja kau lari terbirit-birit, bagaimana mungkin kau bisa kalahkan eyang
guruku"!"
"Grrr...! Kurobek mulutmu jika sekali lagi omong besar, Karang Wesi!" mata Warok
Kober semakin angker memandang.
"Sebelum merobek mulutku, tentunya aku lebih dulu merobek dadamu, Ki Warok!"
"Bangsat! Aku jadi bernafsu untuk memecahkan
kepala sombongmu itu, Bocah Gendeng!" Warok Kober mulai mengangkat kedua
tangannya untuk melakukan
satu pukulan. '"Guru, sebaiknya Guru agak menjauh, biar saya
hadapi orang ini!"
"Baiklah. Hati-hati, dia punya jurus maut pada
kerisnya!"
"Terima kasih, Guru! Keris itu akan saya patahkan dengan kapak saya ini!" kata
Karang Wesi dengan
angkuhnya. Kemudian ia segera mencabut kapaknya dan
berseru kepada Warok Kober,
"Majulah kalau kau memang bisa merobek mulutku!"
"Setan! Hiaaah...!"
Warok Kober tiba-tiba melesat tanpa terlihat sentakan kakinya ke tanah. Tubuhnya
yang besar itu siap
melepaskan pukulan dalam keadaan terbang, sedangkan
Karang Wesi melakukan hal yang sama. Tapi ia
melompat tinggi menyerang maju sambil siap-siap
menghantamkan kapak bermata tiga itu.
"Hiaaat...!' pekik Karang Wesi.
Dess...! Tiba-tiba belum sempat mereka saling
berbenturan, tangan Warok Kober telah menyentak ke
depan dan sebuah pukulan bertenaga dalam cukup tinggi dilepaskan. Wuttt...!
Nyala sinarnya biru kekuning-kuningan. Berpendar-pendar dalam bentuk seperti
bunga atau bintang yang pecah. Sinar itu menghantam dada
Karang Wesi, tapi dengan cepat kapak yang ingin
dihantamkan itu menutup bagian dadanya, menangkis
sinar biru kekuning-kuningan itu.
Zrang...! Sinar itu padam seketika membentur mata
kapak. Tapi pada saat itu kaki Warok Kober menendang
dengan sentakan kuat.
Dugg...! "Uuah...!" Karang Wesi bagai diseruduk kerbau tujuh. Tubuhnya terlempar
seketika, bahkan kapaknya
pun jatuh sebelum kakinya berpijak pada bumi.
Brukk...! Karang Wesi jatuh tersungkur setelah
bersalto dua kali dan kehilangan keseimbangan badan.
Buru-buru Warok Kober pijakkan kakinya ke tanah, dan
mencabut kerisnya dengan ganas. Sratt!
Keris itu bagai dikelilingi oleh kilatan petir. Cahaya biru memercik-mercik ke
sekeliling keris. Segera Warok Kober menghujamkan keris ke dada Karang Wesi yang
baru saja berdiri. Tapi oleh Karang Wesi, pergelangan tangan Warok Kober lebih
dulu mendapat tendangan
kuat dari bawah ke atas. Plokk...! Wuttt...!
Tangan itu tersentak kuat sekali, dan keris tersebut
terlempar ke belakang dan masuk ke jurang. Dan tiba-
tiba terdengar suatu ledakan dahsyat dari dalam jurang.
Jlegarrr...! Rupanya keris itu telah timbulkan ledakan pada saat
menyentuh bangkai manusia yang dikalahkan Karang
Wesi sebelum peristiwa itu. Mayat orang tersebut
tersangkut pada sebuah dahan pohon, lalu keris itu jatuh menancap di mayat
tersebut dan timbulkan ledakan
maut. "Hiaaah...!"
Wuttt...! Plakkk...!
Zerrbb...! Kedua telapak tangan itu beradu. Karang
Wesi telah menggunakan pukulan 'Angin Lahar'-nya.
Maka ketika beradu dengan telapak tangan Warok
Kober, terjadilah percikan api sekejap berwarna merah.
Beberapa saat kemudian, tubuh Warok Kober berdiri
mematung tak bergeming lagi. Ia telah berubah menjadi seonggok arang keras.
Semua yang ada padanya jadi
terbakar dan membentuk onggokan karang. Tentu saja
Warok Kober tak lagi bisa ucapkan sepatah kata pun
karena sudah tak bernyawa lagi.
"Hiih...!"
Prasss...! Tubuh yang berubah menjadi arang itu
ditendang oleh Karang Wesi, lalu tubuh itu terlempar ke jurang dalam keadaan
sudah pecah tak karuan. Cepat-cepat Karang Wesi menghadap gurunya dan berucap
kata, "Maaf, Guru! Terpaksa jurus itu kugunakan, karena ia sangat tangguh menurut
ukuranku!"'
"Seharusnya kau bisa menggunakan jurus 'Salju
Hitam' saja! Tak perlu menggunakan jurus itu! Dengan kamu lepaskan jurus 'Salju
Hitam', Warok Kober tidak
akan mampu menahan seranganmu!"
Karang Wesi berkata, "Maaf, saya tak sempat
menggunakan jurus 'Salju Hitam', karena dia mendesak
terus, Guru!"
"Seharusnya tak perlu membunuh, biar dia cedera dan lari sendiri, Karang Wesi!"
Karang Wesi diam menunduk, ia takut kena murka
sang Guru. Tapi dalam hati Karang Wesi menggerutu
berkepanjangan,
"Dia memang enak, tinggal ngomong saja bisa! Aku ini yang merasakan tendangannya
dan hampir mati, bisa lebih tahu bagaimana seharusnya mengalahkan dia!
Sudah capek-capek melawan dan mengalahkan lawan,
eh... masih saja dikecam salah! Uuh, sepertinya Guru
tidak suka aku menggunakan ilmu andalan untuk
mempercepat kerjaku!"
Kemudian, Ki Candak Sedo segera perintahkan
Karang Wesi untuk cepat tinggalkan tempat tersebut.
Karang Wesi pun melompat dengan gerakan jurus
peringan tubuh, ia menyusul gurunya yang sudah
melesat lebih dulu.
Tak seberapa jauh dari gua itu, mereka sudah harus
menghentikan langkah karena kemunculan seorang
lelaki botak berpakaian longgar. Lelaki botak ini
berpakaian hitam dan menggenggam pedang besar. Ki
Candak Sedo mengenal lelaki itu berjuluk Setan
Gunung. Badannya juga besar, bahkan lebih besar lagi
dari Warok Kober. Ki Candak Sedo dan muridnya sudah
bisa menduga apa yang diinginkan oleh Setan Gunung.
Maka dengan cepat Karang Wesi berdiri di depan
gurunya dan segera hadapi Setan Gunung.
"Sebelum kau sebutkan niatmu, aku dan Guru sudah mengetahui maksudmu menghadang
kami, Setan Gunung!" kata Karang Wesi.
"Ha ha ha ha...! Bagus, bagus! Itu berarti kalian akan serahkan minyak itu
padaku, bukan"!"
"Ya, tapi dengan satu syarat, Setan Gunung!"
"Apa syaratnya?"
"Cabut dulu nyawaku, jika kau bisa, kau berhak
mendapatkan minyak dalam guci yang dibawa Eyang
Guruku!" "Setan kurap kau! Hiaaah...!"
Wuuut...! Pedang besar itu menebas leher Karang Wesi. Tapi
kepala Karang Wesi seketika itu menunduk, dan ia
berguling di rerumputan. Lalu betis Setan Gunung
ditepak dengan tangannya. Plakk...!
Sekali lagi jurus 'Angin Lahar' digunakan oleh
Karang Wesi. Maka tak dapat disangkal lagi, Setan
Gunung segera terbakar tanpa api dan tahu-tahu berubah menjadi arang hitam
bersama-sama pedang besarnya itu.
Zerrb...! Seluruh tubuhnya tak tertolong lagi. Hitam dan kaku. Namun jika
ditendang pelan, tubuh itu akan rubuh sebagai onggokan arang yang hitam keling.
"Karang Wesi!" sentak Ki Candak Sedo, "Mengapa kau gunakan lagi jurus itu,
sedangkan kulihat kau belum terdesak sekali!"
"Untuk mempercepat pekerjaan harus begitu, Guru!"
"Tidak! Aku tidak suka dengan caramu seperti itu!
Kau terlalu mengumbar ilmu andalan! Nantinya kau
akan celaka sendiri karena ulah seperti itu! Lain kali, jika belum terdesak
jangan menggunakan jurus pukulan
itu, tahu"!" .
"Baik. Saya tahu, Guru!" Karang Wesi anggukkan kepala.
"Teruskan perjalanan pulang kita!" Ki Candak Sedo bersungut-sungut.
Karang Wesi membatin, "Orang tua ini memang
banyak mulut tanpa bisa meresapi beratnya menjadi
seorang penjaga keselamatan jiwa! Sudah dibela, tapi
masih mengecam! Uuh...!"
Selain rasa jengkel yang bermukim di hati Karang
Wesi, ada pula nafsu serakahnya yang sejak hari-hari
kemarin disembunyikan rapat-rapat di dasar hatinya.
Maka, dengan serta-merta Karang Wesi mencabut
kapaknya dan menghantam kuat-kuat tubuh gurunya
sendiri dari belakang. Crasss...!
Ki Candak Sedo tak sempat terpekik. Bahkan untuk
terkejut pun tak punya kesempatan. Tahu-tahu kepalanya tergelinding jatuh dari
leher yang ditebas memakai
kapak tiga mata oleh muridnya sendiri.
"Kalau tak begini, tak kudapatkan minyak itu! Aku hanya akan mendapatkan amarah
dan hukuman darinya!" Sekejap Karang Wesi terkesiap, mulutnya ternganga.
Sekalipun hatinya pada saat itu juga timbul rasa sesal yang amat besar, karena
ia telah membunuh gurunya
sendiri dengan keji, tapi rasa sesal itu berusaha
dilenyapkan dari lubuk hatinya. Namun hal yang
membuat Karang Wesi terkesiap dan mematung di
tempat setelah berhasil mengambil alih guci Minyak
Darah Malaikat itu, adalah sesuatu yang sangat tidak
disangka-sangka sebelumnya.
Tubuh Ki Candak Sedo tiba-tiba lenyap. Mengepul
asap putih di bagian kepalanya yang terpenggal dan
raganya yang rubuh tengkurap itu. Asap tersebut bagai membakar habis jasad sang
Guru, tapi darahnya masih
membekas dan membanjir di tanah itu. Darah tersebut
bergerak-gerak bagaikan mendidih, kemudian Karang
Wesi mendengar suara dari darah itu yang berkata,
"Muridku, sayang sekali kau dikuasai oleh nafsu
setanmu. Tapi ketahuilah, tak sampai satu minggu,
walau kau mandi minyak itu, kau tetap akan mati dan
menyusulku ke alam kelanggengan! Kau tetap akan
mati, Karang Wesi, muridku tersayang...!"
Tertegun Karang Wesi, gemetar sekujur tubuhnya
mendengar kutuk yang keluar dari darah gurunya sendiri itu.
* * * 8 KARANG Wesi kembali masuk ke gua tersebut. Kali
ini ia masuk ke dalam gua bukan untuk mencari siapa-
siapa, melainkan untuk melepas seluruh pakaiannya dan bermandi Minyak Darah
Malaikat yang diidam-idamkan
itu. Untuk melepas seluruh pakaiannya, Karang Wesi
terpaksa memilih tempat yang lebih dalam sedikit,
supaya jika ada yang datang sewaktu-waktu tidak
melihat keberadaannya di situ. Seperti yang pernah
dikatakan Ki Candak Sedo, sebuah lorong yang menuju
ke ruang sekat sembilan punya cahaya penerang dari
sinar kesembilan sekat itu. Memang tak terlalu terang, tapi cukup untuk menjadi
penuntun langkah manusia.
Dan lorong itu kini ditemukan oleh Karang Wesi. Di


Pendekar Mabuk 017 Minyak Darah Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lorong itulah Karang Wesi melepaskan seluruh
pakaiannya, sampai pada cincin, perak penghias jari pun dilepaskan.
Setelah Karang Wesi berhasil polos seperti bayi baru
lahir, ia segera membuka penutup guci. Guci hitam itu disumpal lubangnya memakai
sepotong kayu randu.
Karang Wesi pun mencabut kayu penyumbat mulut guci.
Tetapi ternyata tidak semudah mencabut penyumbat
tutup guci seperti biasanya. Penyumbat itu sangat kuat, seakan menjadi satu
dengan mulut gucinya. Dengan
kerahkan tenaga Karang Wesi mencabut penyumbat itu,
namun tetap tidak bisa terlepas. Bahkan kali ini dengan kerahkan tenaga dalamnya
Karang Wesi mencabut kayu
penutup itu, namun sampai tubuhnya gemetar dan
menjadi merah, masih saja tutup itu tak bisa dilepaskan.
Sementara itu, di luar gua terdengar suara percakapan dua-tiga orang yang
agaknya mau masuk ke dalam gua
namun merasa sangsi. Karang Wesi sedikit gugup karena keadaannya masih
telanjang, sedangkan tutup guci
masih belum bisa dibuka.
Terdengar suara gemuruh dari kedalaman lorong.
Bias cahaya yang sampai di tempat Karang Wesi mulai
surut. Terkesiap Karang Wesi memandang ke dalam.
Mengapa bias cahaya menjadi surut, dan terdengar suara gemuruh" Apakah ada
sesuatu yang terjadi di lorong
bersekat sembilan itu"
Suara gemuruh kini disusul dengan guncangan kecil.
Gempa kecil itu membuat batuan dan pasir di atap gua
mulai berhamburan. Sementara itu, Karang Wesi masih
belum berhasil mencabut penutup guci walau sudah
mengerahkan tenaga dalamnya sebesar mungkin. Dari
luar gua makin jelas percakapan yang dilakukan oleh
dua-tiga orang yang bertekad mau masuk ke dalam gua
itu. "Celaka! Sulit sekali membuka penutup guci ini!
Bagaimana kalau mereka masuk bersama dalam keadaan
aku masih telanjang begini" Setidaknya aku harus
melarikan diri untuk menghindarkan guci ini dari tangan mereka! Haruskah aku
lari dalam keadaan telanjang
begini! Hmm... barangkali cara membuka guci ini tidak melalui kayu penutupnya.
Mungkin dari bagian pantat
guci...?" Karang Wesi memeriksa bagian guci itu dengan mata
menyipit karena kurang mendapat cahaya, ia meraba-
raba guci tersebut dan tidak menemukan lubang apa pun yang memungkinkan untuk
keluarnya minyak tersebut
"O, ya...! Kenapa tidak kulubangi saja bagian bawah guci ini, biar bisa mengucur
minyak di dalamnya, dan
kurasa memang harus dengan cara begitu"!"
Karang Wesi segera mencari alat untuk melubangi
guci. Disodok dengan gagang kapak, terlalu besar. Guci bisa pecah berantakan.
Tak ada kayu, juga tak ada besi yang pas untuk melobangi guci tersebut.
"Ah, mengapa tidak kugunakan jurus 'Jari Baja'-
ku"!"pikirnya. Kemudian Karang Wesi mengeraskan jari tangannya yang tengah. Jari
itu menjadi tegak keras dan membara merah bagian kukunya. Lalu dengan satu
sentakan pelan, jari itu menyodok guci tersebut pada
bagian bawahnya. Tres...! Crubb...!
Gemuruh dari dalam gua semakin kuat, tanah
berguncang bagai dilanda gempa. Guci itu bolong dan
memancarkan cahaya terang, lalu mengalirlah cairan
bening dari dalam guci. Cairan bening itu membuat
suasana lorong menjadi semakin terang. Baunya harum
menyertakan ke seluruh lorong.
Dengan tawa kegembiraan, Karang Wesi
mengucurkan minyak bening itu ke sekujur tubuhnya.
Dari atas kepala sampai kaki dimandikan dengan
Minyak Darah Malaikat. Semua tempat, semua tekuk
tubuhnya mendapat guyuran minyak tersebut. Tak
ketinggalan bagian telapak kakinya juga diusapi dengan minyak tersebut.
Suara percakapan orang semakin terdengar jelas.
Makin lama makin mendekati lorong tempat Karang
Wesi bermandi Minyak Darah Malaikat. Sedangkan
cahaya di ruangan itu semakin menjadi terang. Seolah-
olah keharuman minyak tersebut pancarkan cahaya
terang ke mana-mana. Hal ini membuat mata Karang
Wesi semakin bisa melihat dengan jelas, bagian tubuh
yang mana yang belum dimandikan dengan minyak
tersebut. Pada saat Karang Wesi sudah yakin semua tubuhnya
sudah basah oleh Minyak Darah Malaikat itu, maka
muncullah seseorang berpakaian serba putih dari arah
mulut gua. Orang tersebut memandangi Karang Wesi
dengan wajah dingin mata memandang datar. Karang
Wesi tersentak kaget dan bingung dengan keadaannya
yang masih telanjang, ia hanya menyapa dengan mulut
gemetar, "Hmm... oh... eh... Guru..."!" Karang Wesi menyapa orang itu dengan sebutan
Guru, karena memang yang
dilihatnya adalah Ki Candak Sedo. Pakaiannya, putih
dalam bentuk jubah dari atas kepala sampai kaki. Bersih tanpa luka dan darah
sedikit pun. Kemudian muncul pula orang lain yang berpakaian
seperti itu, kerudung jubah dari atas kepala sampai kaki, warnanya putih bersih
tanpa kotoran sedikit pun. Wajah itu juga membuat Karang Wesi terperanjat kaget.
Ia kenal betul wajah angker itu, yang tak lain adalah wajah Warok Kober.
"Ki Warok..."!" gumam Karang Wesi masih tertegun di tempat.
Setelah itu muncul dua sosok berpakaian kerudung
putih dari kepala sampai kaki hingga kelihatan wajahnya saja. Di wajah mereka
juga terbentang kebekuan dan
sorot pandangan mata yang datar. Dan Karang Wesi pun
mengenali wajah mereka itu, hingga tak sadar ia
sebutkan kata, "Setan Gunung..."! Cambuk Guntur..."! Oh, ada pula di belakangnya si Macan
Bangkai..."! Oh, apa yang
terjadi sebenarnya?"
Ternyata bukan hanya mereka yang muncul,
melainkan semua korban yang mati dibunuh oleh
Karang Wesi bermunculan dengan mengenakan kain
kerudung dari kepala sampai kaki warna putih bersih.
Mereka memenuhi lorong itu hingga Karang Wesi tak
punya jalan untuk lari keluar dari gua tersebut.
Ia segera berpaling ke belakang untuk mencari jalan
menuju Sekat Sembilan. Tetapi dari arah sana pun
muncul sosok berpakaian putih dari kepala sampai kaki.
Jumlah mereka pun cukup banyak. Satu di antara wajah
yang .sempat dikenali oleh Karang Wesi adalah wajah
Nyai Sirih Wangsit, Kidung Sentanu, dan Eyang
Danujaya, Talang Sukma, serta Permeswari Bayangan,
yang semua itu adalah teman baik dari Ki Candak Sedo.
Juga tokoh-tokoh lain yang tidak dikenali oleh Karang Wesi.
Tetapi anehnya, Ki Candak Sedo juga ada di
rombongan orang-orang golongan putih yang telah tiada, jadi bukan hanya ada pada
rombongan orang-orang yang
menjadi korban pembunuhan Karang Wesi saja. Wajah
Ki Candak Sedo yang ada dalam rombongan para tokoh
putih itu dalam keadaan tersenyum berseri, bagai
mencerminkan suatu keramahan dan keceriaan. Sama
dengan wajah mereka yang berada di golongan tersebut.
Mereka mendekati Karang Wesi dengan langkah
pelan. Karang Wesi jadi terkurung antara dua
rombongan aneh berpakaian sama semua. Sedangkan
suasana menegangkan itu membuat Karang Wesi tak
sempat mengenakan pakaiannya. Belum lagi getaran
tanah gua yang masih terus berguncang bagai mau
runtuh atapnya itu, makin membuat Karang Wesi tak
sempat berpikir lain kecuali meloloskan diri dari
kepungan mereka, yang menurut hati Karang Wesi
mereka bermaksud tak baik kepadanya, terutama
rombongan si Macan Bangkai, Warok Kober dan yang
lainnya itu. Anehnya mereka tak ada yang bersuara satu pun. Mereka melangkah
pelan juga tanpa timbulkan
suara gaduh di lantai gua. Hanya pancaran mata dari
rombongan Warok Kober saja yang seolah-olah
berkesan menuntut balas atas kematiannya, sedangkan
pandangan mata yang ada dalam rombongan Nyai Sirih
Wangsit tidak berkesan menuntut apa-apa selain
berkesan keramahan yang damai.
"Kalau aku tidak segera keluar dari gua ini, aku bisa mati terkubur di sini!"
pikir Karang Wesi. "Aku harus cepat-cepat keluar dengan menerobos jalan yang
ditutup oleh rombongan Warok Kober itu! Tapi mungkinkah
akan bisa kuterobos"!"
Gemuruh dari dalam gua bertambah jelas suaranya,
jelas pula guncangannya. Reruntuhan pasir dan kerikil makin berjatuhan dari
langit-langit gua tersebut. Karang Wesi bertambah tegang. Maka, dengan segera ia
sentakkan kedua tangannya ke depan. Wussst...!
Sebuah pukulan tenaga dalam yang bernama 'Sapu
Jagat' itu dilepaskan oleh Karang Wesi. Gulungan angin bagai topan menghempas
lepas, membuat rombongan
Warok Kober terhempas tanpa suara, masing-masing
bagai terbawa arus angin kencang ke luar gua. Tak ada suara sakit, mengeluh,
mencaci atau bahkan suara
bergedebuk dari kaki dan tubuh mereka yang saling
bersentuhan juga tak terdengar.
Karang Wesi tertegun di tempat. Orang-orang yang
terkena sapuan jurus 'Sapu Jagat" itu bagai menembus dinding gua dan menghilang
di sana, sebagian juga
tampak ada yang terlempar membelok lorong menuju
mulut gua. Sedangkan rombongan Nyai Sirih Wangsit
itu diam tak bergerak maju lagi, namun juga tak segera lenyap. Wajah-wajah
mereka tetap ramah berseri tanpa
suara apa pun. Glurrr...!
Terdengar suara menggelegar kecil di bagian dalam
lorong ruang Sekat Sembilan itu. Tampak mulai ada
debu di sana, seperti atap gua mulai runtuh. Suara itu semakin bertambah keras
dan mengguncangkan tanah
dengan kuat. Tubuh Karang Wesi pun terlempar di
dinding kanan-kiri. Sementara orang-orang rombongan
Nyai Sirih Wangsit segera terlihat melambaikan tangan kepada Karang Wesi. Mereka
tokoh-tokoh sakti dari
golongan putih yang darahnya dipakai mandi oleh
Karang Wesi. Sedangkan Karang Wesi sendiri tak
mengerti apa maksud lambaian tangan mereka yang
berkesan mengucapkan selamat tinggal itu. Karang Wesi hanya tahu, atap sebelah
sana mulai runtuh, ia tak boleh terpaku di tempat, ia cepat melarikan diri ke
arah luar dengan suara gemuruh tambah keras, guncangan tambah
hebat, seakan suara gemuruh runtuhnya langit-langit gua itu semakin mengejar ke
arahnya. Karang Wesi pun tak
perlu memandang ke belakang lagi, ia percepat
langkahnya hingga dalam waktu singkat sudah sampai di luar gua.
Gemuruh suara runtuhnya atap gua semakin jelas.
Guncangan tanahnya kian memburu ke luar juga. Dan
ketika Karang Wesi mulai melarikan diri menjauhi gua
tersebut, keadaan pintu gua pun tertutup oleh runtuhnya
atap gua. Debu asap, dan bebatuan kecil tersembur
keluar bagai mulut seekor naga semburkan racun dari
dalam badannya. Semburan itu cukup kuat dan keras
sentakannya, hingga timbulkan suara yang merindingkan bulu kuduk manusia.
Wooosss...! Wooourrsss..!
Glegarrr...! Suara itu menggema bagai terbawa angin
ke seluruh penjuru dunia. Karang Wesi sudah cukup
jauh dalam pelariannya. Ketika ia berpaling sebentar ke belakang, ternyata ada
batu putih sebesar seekor banteng yang menggelinding mengejarnya. Semakin lama
batu itu menggelinding semakin bertambah besar wujudnya.
Agaknya batu itu menggelinding mengikuti arah pelarian Karang Wesi. \
"Batu setan! Pohon-pun diterjang habis! Aku harus lebih cepat melarikan diri
agar tak bernasib seperti pohon itu!" pikir Karang Wesi. Ia menjadi ngeri karena
melihat pepohonan besar diterjang habis oleh batu yang makin lama makin menjadi
sebesar rumah itu. Tak ada tanaman yang selamat dan bisa menahan gulungan batu
besar tersebut.
Karena panik, Karang Wesi tak pikirkan arah larinya,
tak pikirkan keadaan dirinya, hingga akhirnya ia terjebak di mulut jurang, ia
terhenti di sana tak bisa lari lagi, sementara batu itu menggelinding cepat ke
arahnya dalam ukuran lebih besar dari sebuah rumah. Sedangkan untuk melompat ke jurang
sudah tak mungkin bisa
selamat, karena jurang itu bertebing licin tanpa tanaman apa pun selain rumput
lumut. "Mati aku kalau begini"! Kutukan darah Eyang Guru agaknya menjadi kenyataan!"
pikir Karang Wesi.
Batu semakin dekat. Karang Wesi tak punya
kesempatan lolos, akhirnya ia menggunakan pukulan
tenaga dalam yang bersifat sebagai pukulan penghancur.
Sinar merah, hijau, kuning melesat berulang kali silih berganti, menghantam batu
yang masih menggelinding
dalam jarak sepuluh langkah itu. Tapi batu tidak bisa hancur.
Akhirnya, ketika batu itu hampir menggilas tubuhnya,
Karang Wesi segera kerahkan pukulan 'Angin Lahar'.
Tepat pada saat batu besar mendekatinya, kedua
tangannya yang telah mengandung pukulan 'Angin
Lahar' itu digunakan untuk menahan gerakan batu.
Gluduk gluduk gluduk...! Plakk...! Gluduk gluduk..!
Ternyata batu tetap menggelinding dan menggilas
tubuh Karang Wesi yang tak mampu menghindar lagi
itu. "Aaaa...!" suara jerit ketakutannya hilang seketika sewaktu batu menggilasnya
tanpa ampun lagi. Kemu
dian alam pun menjadi sepi, bumi bagaikan mati. Hening tercipta panjang tanpa
suara hembusan angin sekalipun.
Matikah murid keji Ki Candak Sedo itu"
Tidak, ia tidak mati. Ia masih hidup dan membuka
matanya pelan-pelan. Mengerjap-ngerjap sebentar
sambil pulihkan kesadaran dan keyakinan dalam hatinya bahwa ia belum mati. Ia
memang terkapar, namun masih
bisa bernapas dan bergerak.
"Oh, di mana aku" Sepertinya aku tidak mati! Aku
masih bisa bernapas dan... tulangku tidak remuk! Oh, tak ada luka sedikit pun
pada tubuhku, padahal batu besar itu menggilas aku tanpa ampun lagi! Aneh...!
Apakah ini semua akibat aku sudah mandi Minyak Darah
Malaikat"!" Karang Wesi memeriksa tubuhnya, ia sudah berdiri, dan ia mulai


Pendekar Mabuk 017 Minyak Darah Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersenyum gembira setelah yakin betul tak ada luka di tubuhnya. Goresan sekecil
jarum pun tak ada. Tubuhnya masih berkilauan minyak,
rambutnya pun masih basah, dan Karang Wesi tersentak
sangat kaget setelah ia sadar, bahwa dirinya masih belum kenakan pakaian apa
pun. Buru-buru ia menangkap
seekor burung untuk melindungi rasa malu jika ada yang melihatnya.
Kekhawatirannya itu ternyata menjadi
kenyataan, ada yang melihatnya telanjang.
Seorang gadis berpakaian hijau muda sebatas dada,
berdiri di balik pohon. Gadis itu menyandang pedang di punggung, matanya yang
cantik berkesan nakal. Sesekali sengaja melirik Karang Wesi sambil menahan
senyum dikulum. Gadis itu tak lain adalah Andini, yang lebih dulu tiba di pelataran gua
sebelum Gayatri menyusulnya.
"Jangan memandangku! Pandang arah lain!" kata Karang Wesi membentak karena
panik, tak ada pakaian
siapa pun yang bisa dipinjamnya, tak ada kain apa pun yang bisa dipakai sebagai
penutup tubuh. Mata Karang
Wesi memandang jelalatan ke sana-sini, mencari sesuatu yang bisa dimanfaatkan
untuk menutupi tubuhnya. Lalu
ia melangkah pada semak berdaun kecil sambil tetap
menangkap seekor burung hingga jalannya mirip seekor
bebek yang pantatnya melenggak-lenggok demi
selamatkan rasa malunya. Daun-daun semak diambilnya
beberapa helai dan dijadikan alat penutup sementara
untuk bagian tertentu saja. Sedangkan dari balik pohon itu terdengar suara
Andini berseru di sela tawa yang
mengikik geli, "Sayang sekali aku tidak mengenakan jubah. Kalau aku kenakan jubah akan
kusembunyikan kau di dalam
jubahku!" "Diam!" bentak Karang Wesi marah sendiri karena kepergok bugil begitu dan tak
mampu menghadapi rasa
malu. "Kalau kau mau, akan kucarikan selembar daun
pisang untuk menutupi tongkat wasiatmu itu!" goda Andini.
"Tinggalkan aku! Pergi sana! Tak ada yang perlu kau tunggu dariku, Perempuan
Nakal!" "Ada yang kuharap darimu, Pendekar Cabul!" ejek Andini dengan menyebut Karang
Wesi sebagai Pendekar
Cabul. "Aku akan berdiri memandangmu terus di sini jika kau tidak serahkan
Minyak Darah Malaikat
padaku!" Terkesiap mata Karang Wesi memandangi
perempuan bandel itu keluar dari balik pohon. Matanya terang-terangan memandang
ke arah Karang Wesi,
membuat Karang Wesi bertambah gusar.
"Pergilah! Aku tak memiliki Minyak Darah
Malaikat!"
"Tak mungkin!" Andini sunggingkan senyum
menggoda. "Kulihat kau keluar dari gua itu dalam
keadaan bugil begitu! Kau berlari-lari seperti
menggenggam sesuatu di bagian depanmu. Mungkin
Minyak Darah Malaikat yang kau genggam sejak tadi!"
"Bukan! Aku menggenggam burung rajawali, dan
bukan guci Minyak Darah Malaikat!"
"Ha ha ha ha...!" Andini tertawa lepas. "Jadi kau bukan menggenggam guci Minyak
Rajawali, eh... guci
Minyak Darah Malaikat?"
"Sudah kukatakan aku tidak tahu soal itu! Pergilah sana!"
"Aku tak akan pergi sebelum kau memberikan
minyak itu. Aku yakin kau telah mendapatkan minyak
itu. Jika kau belum mendapatkannya, tak mungkin kau
lari sampai secepat itu tanpa ada yang mengejarmu!"
"Apakah kau tak melihat sebongkah batu
menggelinding mengejarku sampai di sini"!"
"Tak ada batu, tak ada daun yang mengejarmu,
Pendekar Cabul!" Andini memandang sambil geleng-
geleng kepala, tetap sunggingkan senyum menggoda.
Karang Wesi kerutkan dahi. "Benarkah tak ada yang mengejarku?"
"Kau lari seperti pencuri yang kepergok, Pendekar Cabul!"
"Aneh..."!" lalu mata Karang Wesi memandang keadaan sekeliling, ternyata tak ada
pohon tumbang sepanjang jalur pelariannya tadi, rumput rusak tergilas batu besar pun tak ada.
Karang Wesi benar-benar
bingung dan segera bertanya kepada Andini.
"Apakah... apakah kau melihat gua itu semburkan
reruntuhannya?"
"Reruntuhan apa"! Gua itu masih utuh tapi aku yakin minyaknya ada pada dirimu,
Pendekar Cabul!"
"Masih utuh"! Lantas... apa yang kualami tadi"!"
Karang Wesi terbengong-bengong semakin bingung.
"Aneh semuanya! Dan... aduh, daun ini rupanya punya getah yang bikin gatal!
Uuh... tak tahan aku dengan rasa gatalnya! Mau digaruk, malu. Tidak digaruk,
gatal sekali"! Aduh, bagaimana ini!" Karang Wesi semakin salah tingkah, Andini
bertambah nakal memandang.
* * * 9 KARANG Wesi penasaran, ia ingin membuktikan
kata-kata gadis yang belum dikenalnya itu. Menurut
pengakuan Andini, ia hanya melihat Karang Wesi keluar dari gua dengan berlari
terbirit-birit dengan sangat
ketakutan. Andini mengikuti larinya Karang Wesi dari
tempat tersembunyi. Dan ia melihat Karang Wesi sering berpaling ke belakang
dengan wajah makin cemas.
Andini hanya melihat keadaan Karang Wesi yang lari
sendirian tanpa melihat batu besar mengejar pria itu.
Bahkan Andini sempat merasa heran melihat Karang
Wesi tiba di bibir jurang, lalu sentakkan tangannya
melepas pukulan tenaga dalam, dan akhirnya
menjatuhkan diri sampai beberapa saat baru bangkit,
Andini menyangka orang yang telanjang itu adalah
orang gila. Pengakuan Andini itu didukung dengan keadaan
pohon yang pernah dilewati Karang Wesi dalam keadaan
utuh. Padahal tadi Karang Wesi melihat pohon itu
tumbang lebih dari tiga puluh pohon jumlahnya yang
terhantam batu besar. Ternyata pohon-pohon itu tetap utuh, dan yang lebih
mengherankan, ternyata mulut gua itu pun tetap utuh, terbuka tanpa ada bekas
reruntuhan sedikit pun. Maka timbullah pertanyaan-pertanyaan di
dalam hati Karang Wesi tentang apa yang dialaminya
sebenarnya. "Suatu khayalan atau gangguan penglihatan karena aku mandi Minyak Darah
Malaikat" Barangkali Minyak
Darah Malaikat ingin membuktikan padaku, bahwa
tubuhku telah menjadi kebal dan tak mampu digilas batu sebesar itu! Atau mungkin
semua yang kualami ini
hanya impian mata melek saja" Tapi bagaimana dengan
wajah-wajah berkerudung kain putih dari kepala sampai kaki itu" Apakah itu juga
mimpi?" Karang Wesi termangu-mangu di depan gua,
memikirkan keanehan itu sambil tak sadar menggaruk-
garuk bagian yang ditutup daun itu. Ia juga tak sadar kalau daun itu rontok satu
persatu akibat garukan
tangannya. Sementara itu, Andini menunggu di belakang Karang Wesi di balik
sebatang pohon jati merah.
Perempuan yang kenakan pakaian pinjung hijau sebatas
dada itu bukan menunggu untuk melihat kepolosan
tubuh Karang Wesi, tapi menunggu untuk mendapatkan
janjinya. Janji dari Karang Wesi, yang ingin membagi
dua minyak tersebut, jika Andini mau palingkan wajah
dan tidak sering memandangnya selama Karang Wesi
berjalan kembali ke gua tersebut. Andini setuju untuk syarat ringan itu. Bahkan
sekarang Karang Wesi berkata,
"Tunggulah di sini, aku akan masuk ke dalam gua!"
"Kau mau main licik"!"
"Bukan! Bukan itu maksudku! Pakaianku tertinggal di dalam gua! Minyak itu memang
sudah kudapatkan,
dan ingin kupakai untuk mandi, tapi kejadian-kejadian aneh itu terjadi
menakutkan sekali, sehingga minyak dan pakaian tertinggal di dalam sana! Aku
harus mengambilnya, lalu kita bagi dua!" "
"Harus kuantar kau masuk untuk mengambil
minyaknya!"
"Baiklah. Tapi jangan terlalu dekat, aku tak enak dengan pandangan matamu! Aku
belum pernah dalam
keadaan seperti ini di depan seorang perempuan!"
"Masuklah! Aku mengawalmu dari kejauhan. Kalau
kau licik dan curang, aku menyerangmu untuk satu jurus saja, dan kau tak akan
bisa bernapas lagi!"
Andini sengaja tidak mau masuk gua sendiri, ia bisa
menduga di dalam gua banyak jebakan. Menurutnya
lebih baik membiarkan Karang Wesi masuk dan
mengambil minyak itu, sambil Andini memberi umpan
kepada jebakan melalui diri pemuda itu. Jika terjadi
sesuatu yang berbahaya, maka Karang Wesi-lah yang
mati. Andini bisa mempelajari kelemahan jebakan
tersebut, ia belum tahu bahwa minyak itu sebenarnya
sudah dipakai mandi oleh Karang Wesi.
Karena itu di dalam hati Karang Wesi tertawa
kegelian sendiri. Andini mudah ditipu, ia segera kenakan pakaian secepatnya dan
ia mengambil guci kosong itu
dengan menutup lubangnya agar tidak dilihat Andini.
Semua yang dilakukan Karang Wesi itu dalam
pengawasan Andini dari jarak jauh. Ketika Karang Wesi mengangkat tangan yang
memegang guci dengan
tersenyum, Andini pun sunggingkan
senyum kegembiraan. Setidaknya ia bisa mendapatkan separo
bagian dari minyak itu. Tetapi dalam hatinya ia berkata,
"Kalau perlu kutebas batang lehernya biar minyak itu menjadi milikku semua! Tapi
kalau kelihatannya tidak
memungkinkan, jangan kulakukan, karena itu akan
membuat aku tak memiliki minyak sedikit pun
nantinya!?"
Tetapi tiba-tiba hati Andini kembali bertanya-tanya
tentang beberapa kejanggalan yang ditemuinya, dan hal itu membuatnya semakin
curiga kepada Karang Wesi.
"Mengapa ia lari dalam keadaan telanjang" Tubuhnya basah oleh cairan, dan cairan
keringatkah itu" Mengapa sampai pada rambutnya juga basah" Mengapa dia berbau
harum mempesona" Bukankah menurut cerita mendiang
Guru, siapa pun yang memakai atau mandi Minyak
Darah Malaikat, tubuhnya akan selalu berbau harum"
Dan mengapa ia dengan mudah sepakati perjanjian untuk menyerahkan separo minyak
padaku" Jangan-jangan dia
sudah pakai itu minyak untuk mandi" Oh, celaka kalau
begitu! Bisa kutebas tanpa ampun dia kalau benar telah menggunakan minyak itu
dan mengelabuiku?"
Karang Wesi melangkah keluar dari gua tersebut
sambil menggenggam guci tempat minyak yang tak
seberapa besar itu. Sampai di depan gua, tiba-tiba
suaranya dibuat menyentak kaget,
"Wah, guci ini bocor berlubang...! Lihatlah..."!"
Andini diam memandang dengan dada semakin
cemas. "Celaka! Minyaknya habis dan tak ada setetes pun di sini! Periksalah sendiri...!
Periksalah...!" sambil Karang Wesi menunggingkan guci, menunjukkan bahwa tak ada
setetes minyak yang keluar dari lubang dibawah guci itu.
"Bagaimana ini" Tak ada minyak dalam guci ini.
Andini?" "Tentu saja, karena minyak itu telah kau pakai untuk mandi, Karang Wesi!"
Tak sadar tangan Karang Wesi menggaruk-garuk lagi
tempat yang tadi dibungkus daun bagai lontong tanpa isi.
Getah daun atau bulu daun itu timbulkan rasa gatal
melebihi daun talas. Sambil menggaruk-garuk tempat
yang gatal, Karang Wesi sunggingkan senyum dan
berkata, "Syukurlah kalau kau sudah tahu semua itu! Tapi kau masih beruntung, karena kau
bisa menikmati keadaanku
tanpa selembar benang pun, dan kau bisa mendapatkan
guci bekas tempat Minyak Darah Malaikat ini.
Kuberikan padamu, siapa tahu suatu saat berguna untuk satu keperluan! Mungkin
bisa kau gunakan sebagai
celengan"!"
"Setan kau, Karang Wesi...!" geram Andini tak sabar
lagi. Kemudian ia tebaskan pedangnya ke leher Karang
Wesi dengan satu sentakan kebencian, "Heahh...!"
Bettt...! Wuttt...!
Pedang itu meleset dari sasaran. Kepala Karang Wesi
lebih cepat bergerak merendah dan segera tegak lagi. Ia belum berani mengambil
sikap untung-untungan dan
mencoba-coba terhadap keampuhan minyak yang
dipakainya mandi. Sebab jika ternyata keampuhan
minyak itu cuma bohong, tidak memberikan kekebalan,
maka lehernya pun pastikan putus jika ditebas oleh
pedang Andini. Maka, Karang Wesi masih berusaha
menghindar, namun belum lepaskan satu serangan pun.
"Hiaaat...!" Andini makin penasaran, dua kali serangannya meleset. Kali ini ia
kibaskan pedangnya
untuk memenggal lengan Karang Wesi. Kibasan itu
sangat cepat dan kencang.
Bettt...! Trangngng...!
Mata Karang Wesi terkesiap melihat tangannya tetap
utuh tanpa luka dan lecet sedikit pun. Ketika pedang tadi memenggal tangan,
terjadi percikan api sekejap, seolah-olah pedang itu membentur besi baja yang
amat keras. Berdebar bangga dan girang hati Karang Wesi
melihatnya. Untuk selanjutnya, Karang Wesi sengaja
tidak menghindari serangan jurus pedang Andini yang
makin membabi buta itu;
Trang trang trang... sreng...! Trangngng...!
Andini semakin jengkel dan penasaran. Jurus
pedangnya bukan sekadar jurus biasa, tapi mempunyai
saluran tenaga dalam yang cukup tinggi. Bukan hanya
percikan api saja yang keluar dari penggalan dan tebasan pedangnya, tapi sinar
bertenaga dalam itu pun ikut
keluar bersama tebasan pedangnya. Hanya saja, sinar-
sinar itu pun tak bisa melukai kulit tubuh Karang Wesi.


Pendekar Mabuk 017 Minyak Darah Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagian tangan, kaki, kepala, perut, punggung, semuanya sudah dicoba oleh Andini
untuk dilukai, tapi tak
berhasil. Bahkan untuk memotong daun telinga pun
pedang itu tak mampu melakukannya.
"Ha ha ha ha...!" Karang Wesi tertawa kegirangan terbahak-bahak. Sementara itu,
Andini melesat mundur
empat tindak. "Jangan merasa bangga dulu, Karang Wesi!
Terimalah jurus 'Pedang Langit Pitu' ini! Hiaaah...!"
Pedang itu dibabatkan ke samping kanan-kiri dengan
cepat, lalu tiba-tiba disentakkan ke depan dengan tangan kiri Andini ke atas
lurus dan satu kakinya ke belakang lurus, kaki satunya sedikit merendah. Maka,
zlappp...! Seberkas sinar biru tanpa putus melesat cepat menembus dada Karang Wesi. Sinar
itu jelas-jelas menghantam
pertengahan dada, namun dada itu tak bisa bolong. Sinar itu hanya melesat
mengitari tubuh Karang Wesi,
berlarian ke sana-sini, tanpa bisa melukai. Padahal cukup lama sinar biru tanpa
putus itu menerpa dada lawannya, bahkan berpindah ke pusar segala, tapi tetap
tak bisa menembus atau membakar tubuh Karang Wesi. Bahkan
pakaiannya pun tak bisa robek atau terbakar.
"'Pedang Sukma Matahari'! Hiaaah...!"
Zllubb...! Sinar merah melesat dari ujung pedang yang
dipegang dua tangan itu. Sinar merah tersebut sedikit lebih besar ukurannya dari
sinar biru tadi. Gerakannya juga lurus tanpa putus membentur tengah kening
Karang Wesi. Tapi kepala itu tak merasakan panas sedikit pun, karena memang
sinar merah hanya bisa berloncatan ke
sana-sini tanpa bisa melukai sedikit saja.
"Ha ha ha ha ha...!' makin terbahak-bahak Karang Wesi melihat kenyataan yang
dialaminya. Semakin
bangga dia akan dirinya sendiri yang tak mempan di
tembus sinar bertenaga dalam ataupun senjata setajam
pedangnya Andini.
"Aahg...!" Andini terpental jatuh terguling-guling.
Pedangnya sendiri sampai lepas dari tangan dan terpisah jauh dari dirinya. Mata
Andini terbeliak-beliak ketika dihampiri Karang Wesi. Mulutnya keluarkan darah
kental, juga dari lubang hidungnya. Wajah Andini
menjadi pucat pasi dalam waktu singkat.
"Ini hukuman bagi perempuan yang suka pandangi
tubuhku dalam keadaan polos! Kau harusnya tahu,
Andini, aku paling benci dipandangi perempuan dalam
keadaan polos, sebab itu sama saja perempuan tersebut telah tahu seluruh rahasia
hidupku! Kau layak untuk
mati, Andini! Dan barangkali aku harus mempercepat
kematianmu, sebelum aku meninggalkan kau untuk
memburu Siluman Tujuh Nyawa! Heaaah...!"
Karang Wesi mengangkat kakinya untuk dihentakkan
ke dada Andini. Hentakan kaki itu diperhitungkan akan mempercepat kematian
Andini, karena Karang Wesi
menyalurkan tenaga dalamnya ke telapak kaki. Tapi
sebelum hal itu-terjadi, tiba-tiba tubuhnya tersentak ke depan dan jatuh
melompati tubuh Andini. Karang Wesi
merasa mendapat dorongan tenaga yang cukup kuat dari
belakang, sehingga kekokohan kakinya yang saat itu
hanya satu yang dipakai berdiri itu menjadi berkurang.
Maka ia pun terlempar ke depan.
Tenaga besar yang menyentaknya dari belakang itu
tak lain adalah pukulan jarak jauh Gayatri yang datang tepat pada waktunya.
Gayatri segera menghampiri
kakaknya sambil berseru cemas,
"Andini..."!"
Ia ingin merunduk untuk menolong kakaknya, tapi
tiba-tiba Karang Wesi menghampirinya dengan langkah
cepat, lalu menendang wajah perempuan yang
rambutnya meriap ke depan itu. Plokk...! Wutt!
Tubuh Gayatri terlempar ke belakang dan jatuh
berguling. Tapi ia segera bangkit walaupun merasa sakit pada bagian dagunya, ia
segera mencabut senjata
trisulanya sambil menggeram,
"Kau telah melukai kakakku, kau harus tebus dengan nyawamu!"
"Ha ha ha ha...! Kakakmu pakai pedang tadi! Dia
tebas seluruh tubuhku, tapi tak ada yang bisa melukai tubuhku! Apalagi kau,
hanya bersenjata trisula seperti itu, aah... pulang sajalah! Ambil pusaka milik
bapakmu biar kau bisa melukai tubuhku, atau pusaka itu sendiri yang nantinya
akan hancur"!"
"Setan jahanam kau! Hiaaah...!"
Gayatri sentakkan trisulanya ke perut Karang Wesi
dengan kuat. Wuttt...! Trakk...! Trisula itu patah
seketika, kulit dan baju Karang Wesi tidak luka atau
robek sedikit pun. Gayatri makin panas hatinya.
Kemudian ia menggunakah pukulan dari jurus 'Tapak
Gledek'. Tangan kanannya menggenggam kuat-kuat dan
disentakkan ke depan, begitu hampir tiba di dada lawan genggaman itu terbuka dan
cahaya biru pendar-pendar
melesat bersama hantaman telapak tangan di dada,
lawan. Blarrr...!
belakang, jatuh berguling-guling membentur pohon di
belakangnya, ia sendiri yang segera muntahkan darah
dari mulutnya walau tak banyak. Sedangkan Karang
Wesi hanya tertawa terbahak-bahak, lalu menghampiri
Gayatri. Rambut Gayatri dijambaknya, diangkat ke atas
sehingga tubuh itu terpaksa ikut berdiri. Terdengar suara Andini berseru dengan
tertahan, "Lepaskan dia! Jangan lukai dia dan jangan sentuh dia lagi! Lawanlah
aku...!" Plakkk...! Karang Wesi menampar keras wajah
Gayatri hingga gadis itu terlempar dengan sebagian
rambut berodol di tangan Karang Wesi. Kemudian
Karang Wesi membalikkan badan dan melihat Andini
sedang berusaha untuk bangkit namun tak bisa.
"Kalau dia adikmu, maka sepantasnya dia menerima pelajaran itu, supaya dia tahu
bahwa aku orang yang
tidak boleh diremehkan! Dia dan kamu harus tunduk
padaku!" "Hiaaat...!" Gayatri bangkit dan menyerang dengan satu lompatan ke arah Karang
Wesi. Dengan cepat pula
Karang Wesi melepaskan pukulan dalam sinar kuning.
Sinar kuning itu melesat cepat sebelum Gayatri
mendekatinya, tapi tiba-tiba sinar kuning itu pecah di udara karena berbenturan
dengan sinar hijau yang datang dari arah samping.
Blarrr...! Gayatri terpental lagi akibat gelombang
ledakan dan angin kencang yang ditimbulkannya dari
benturan dua sinar itu. Gayatri jatuh terpuruk dengan napas terengah-engah,
sedangkan Karang Wesi hanya
mundur satu tindak, sedikit guncang. Tapi ia segera
palingkan pandang ke arah datangnya sinar hijau tadi.
Dan ia terkesiap memandang seorang pemuda sebayanya
sedang meneguk tuak dengan santainya tanpa hiraukan
pandangan mata orang lain.
Pendekar Mabuk terlambat muncul. Ini karena ia
sempat mengejar Siluman Tujuh Nyawa yang dilihatnya
melesat dalam satu jarak pandang saat bersama Gayatri di perjalanan. Suto
mencoba mengejar Siluman Tujuh
Nyawa, sementara Gayatri tak mau menunggu, ia
langsung menuju ke Gua Sekat Sembilan. Andai ia mau
menunggu Suto Sinting, maka kehadirannya akan
membuat Andini terlambat mendapat pertolongan
darinya, tapi ia sendiri tak akan lama terluka dalam
akibat pukulannya sendiri tadi.
"Siapa kau"! Mengapa turut campur urusan kami,
hah"!" gertak Karang Wesi dengan mata tajam
memandang. "Namaku Suto Sinting! Aku tidak ikut campur
urusanmu yang sedang memperebutkan Minyak Darah
Malaikat itu! Aku hanya ingin mengambil dua gadis itu untuk kubawa pulang!
Mereka terluka!"
"Suto!" seru Gayatri. "Pergilah, tinggalkan kami!
Minyak itu telah dibuat mandi oleh bangsat itu! Pergilah, jangan hadapi dia,
Suto!" Karang Wesi tertawa pelan kepada Suto, dengan
angkuhnya ia berkata, "Kau dengar apa katanya" Kurasa ada baiknya kau pergi
secepatnya dari sini, sebelum murkaku jatuh untukmu, Suto! Jangan coba-coba
melawanku! Siluman Tujuh Nyawa saja akan lari kalau
kuburu apa lagi kau! Kau kenal Siluman Tujuh Nyawa?"
"Sangat kenal," jawab Pendekar Mabuk kalem. "Dia tokoh sesat yang sakti dan
berilmu sangat tinggi!"
"Itu pun akan kuhancurkan! Dia tak akan bisa
melukaiku dengan senjata El Maut-nya atau tenaga
dalamnya setinggi apa pun! Tak akan bisa! Tapi aku
akan dengan mudah menghancurkan kepalanya!"
"Bagus!" ucap Suto sambil sunggingkan senyum tipis. "Tapi apa sebab kau ingin
membunuh dia" Kau punya dendam?"
"Dendam pribadi, tidak! Tapi aku harus bisa
membunuh dia, supaya lamaranku diterima oleh Dyah
Sariningrum!"
Srappp...! Darah Pendekar Mabuk naik ke kepala
dengan cepat dan dalam keadaan panas mendidih, karena ia mendengar nama
kekasihnya disebut-sebut. Suto
masih berusaha untuk tenang walaupun wajahnya
menjadi merah. "Apakah kau ingin mempersunting Dyah
Sariningrum?"
"Ya! Siapa pun yang menghalangi niatku akan
kubunuh dan mereka tak akan bisa mengalahkan aku,
karena aku sudah mandi Minyak Darah Malaikat!
Siluman Tujuh Nyawa itu musuh utamaku, karena dia
yang ber-ulang kali ingin memperistri Dyah Sariningrum dengan berbagai cara
kelicikannya! Jadi dialah musuh
utamaku!" "Bukan dia musuh utamamu, tapi aku!" kata
Pendekar Mabuk dengan jelas dan tegas, membuat
Karang Wesi terkesiap dengan mulut terbengong.
"Apakah kau murid Siluman Tujuh Nyawa?"
"Bukan. Tapi akulah calon suami Dyah Sariningrum, Gusti Mahkota Sejati yang
berkuasa di negeri Puri
Gerbang Surgawi, di Pulau Serindu! Jelas"! Nah,
sekarang bersiaplah menghadapi musuh utamamu!"
"Edan!" geram Karang Wesi sambil melangkah pelan mengikuti gerakan kaki Suto
Sinting. "Kau akan mati, dan harus mati kalau begitu. Hiaah...!"
Sinar kuning melesat, Suto menangkisnya dengan
kibasan tabung bumbung tuaknya. Wuttt...! Tubuhnya
menggeloyor bagai orang mabuk, tapi sebenarnya dia
sedang memainkan jurus tipuan gerak.
Trass...! Wosss...!
Sinar kuning membalik, lebih besar dan lebih cepat.
Dada Karang Wesi terhantam sinar kuning, ia hanya
tersentak ke belakang tiga tindak, tapi tidak merasakan sakit sedikit pun. Ia
hanya tersenyum dari membuat Suto mengakui bahwa kali ini ia berhadapan dengan
lawan yang kebal senjata.
Maka, Pendekar Mabuk pun mencoba dengan
melepaskan 'Guntur Perkasa' yang membuat lawan
menjadi memar dan cepat membusuk. Class...! Sinar
hijau melesat dari tangan kiri Pendekar Mabuk. Tapi
ketika sinar membentur tubuh Karang Wesi, tubuh itu
tetap utuh tanpa luka. Karang Wesi tersenyum
menantang. Pendekar Mabuk cepat menenggak tuaknya, lalu
melompat ke arah Karang Wesi dan semburkan tuak itu
ke badan Karang Wesi. Brusss..."! Semburan tuak
menjadi percikan bunga api keluar dari mulut Pendekar Mabuk. Percikan itu
biasanya langsung membakar benda
atau orang yang terkena percikan walau setetes. Tapi nyatanya tubuh Karang Wesi
tetap berdiri tegak tanpa
terbakar sedikit pun. Bahkan ia melepaskan pukulan dari kedua telapak tangannya
yang berwarna hijau pula dan
menghantam bumbung tuak yang dikibaskan Pendekar
Mabuk ke depan. Bagggh...! Pendekar Mabuk terpental
jatuh sedangkan sinar hijau itu memantul balik dan
mengenai tubuh Karang Wesi. Tapi tubuh itu tidak
hancur sedikit pun.
"Ha ha ha ha...! Keluarkan semua ilmumu, Suto
Sinting! Aku siap menerimanya dengan dada terbuka!"
ledek Karang Wesi.
Suto justru diam. Hatinya berucap kata, "Tidak!
Tidak semua ilmuku harus kulepaskan untuk
membunuhnya! Akan sia-sia saja rupanya, karena dia
dilapisi kemukjizatan tersendiri! Agaknya aku harus
menggunakan otot dan otak. Jika ia mandi Minyak
Darah Malaikat, tentunya sampai ke bagian telapak kaki segala, Lalu, bagian mana
yang tidak terkena
minyak..."!"
Pendekar Mabuk melintangkan tali bumbung tuak ke
dada, kini ia bertangan kosong. Masih bergerak memutar pelan-pelan membentuk
lingkaran, untuk mencari
kelengahan lawan yang juga ikut memutar itu.
Tiba-tiba kaki Suto menyambar pedang milik Andini.
Pedang itu segera diambilnya dengan satu gerakan kaki cepat, dan tiba-tiba
pedang melayang lalu ditangkap
tangan. "Ha ha ha ha...! Pedang itu lagi"! Percuma, Suto! Itu bukan pedang pusaka! Buang
saja!" ledek Karang Wesi, ia sempatkan diri untuk menggaruk-garuk bagian yang
gatal itu. Mata Suto memandang ke sana ke bagian yang digaruk itu, lalu timbul
gagasan untuk menyerang bagian yang gatal itu. Suto tak tahu bahwa bagian yang
gatal itu pun terkena minyak juga.
"Sebaiknya kita adu senjata!" kata Karang Wesi, lalu cepat ia mencabut kapaknya.
Dan serta-merta ia
melompat bagaikan terbang dengan kapak siap
dihantamkan ke depan. Pendekar Mabuk pun berkelebat
secepat kilat, tahu-tahu sudah melesat menyerang
dengan pedang dikibaskan. Wusss...! Trangng...!
Jlegg...! Pendekar Mabuk sudah berdiri di tanah
dengan memunggungi lawannya. Gerakan secepat setan
itu membuat Gayatri dan Andini yang hanya jadi
penonton menjadi kian bengong. Tak menyangka Suto
mampu bergerak secepat setan. Kalau saja Karang Wesi
tidak kebal, pasti sudah terpenggal oleh jurus pedang Suto. Karang Wesi pun
mengakui hal itu.
Pendekar Mabuk menggenggam pedang itu dengan


Pendekar Mabuk 017 Minyak Darah Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua tangan, tubuhnya sedikit merunduk, matanya tajam
memandang dengan lincah. Dan tiba-tiba Karang Wesi
melepaskan jurus maut dari kapaknya, Kapak itu
ditebaskan dari kanan ke kiri, tapi mendadak berhenti di depan. Lalu kapak itu
keluarkan cahaya merah seperti mata kapak itu sendiri. Wussst...!
Zlappp...! Suto pun melepaskan cahaya ungu
berbintik-bintik putih dari ujung pedangnya. Cahaya
ungu itu membentur cahaya merah dan terjadi ledakan yang amat dahsyat.
Jlegarrr...! Pendekar Mabuk terpental jatuh karena
gelombang hawa ledakan tadi. Karang Wesi hanya
tersentak mundur tiga tindak. Sedangkan Andini yang
tak begitu jauh dari Pendekar Mabuk terguling-guling
hampir masuk ke jurang.
"Hieaat...!" Karang Wesi melompat untuk
menghantamkan kapaknya, karena ia melihat Pendekar
Mabuk masih terkapar. Karang Wesi punya kesempatan
emas untuk menebaskan kapaknya di kepala Suto. Tetapi ketika tubuhnya sampai di
atas Suto, si Pendekar Mabuk itu cepat berguling ke samping. Wuttt...!
Jrabb...! Kapak menghantam tanah dengan kuat.
Secepatnya Suto sentakkan pinggulnya dan bangkit
setengah berdiri, lalu ia sentakkan pedang di tangannya ke arah depan.
Jrusss...! "Aahhk...!" Karang Wesi memekik keras dengan mata mendelik.
Pendekar Mabuk telah menemukan titik rawan
Karang Wesi sejak ia melihat tangan Karang Wesi sering menggaruk-garuk tempat di
mana ia pelihara seekor
burung perkutut itu. Di sekitar itulah pasti terdapat titik kerawanan Karang
Wesi. Di sekitar itulah pasti tak
terkena Minyak Darah Malaikat. Dan ternyata dugaan
Suto memang benar, ia sengaja memancing agar
diserang dalam keadaan terbaring begitu. Karena tanpa pancingan tersebut,
Pendekar Mabuk sulit menusukkan
pedang ke bagian dubur lawannya.
Pedang itu kini melesak masuk separo bagian di
lubang dubur. Karang Wesi menggeliat ingin berbalik
menghantamkan kapaknya. Tapi telapak tangan Suto.
menyentak ke depan, menghantam ujung gagang pedang
itu dengan makin kuat. Jrubbb...!
"Uhg...!" Karang Wesi terkulai, pedang itu masuk seluruhnya, hingga bagian
gagangnya yang terlihat dari luar. Tak ayal lagi Karang Wesi pun rubuh dan tak
bernyawa sedikit pun. Maka terbuktilah bahwa apa yang diserukan oleh darah Ki
Candak Sedo adalah benar.
Kutukan itu mengatakan, sebelum purnama, Karang
Wesi akan mati walau sudah mandi Minyak Darah
Malaikat. Pendekar Mabuk segera menolong Andani dan
Gayatri dengan meminumkan tuak kepada mereka. Tuak
itulah obat mujarab yang sering digunakan Pendekar
Mabuk untuk menolong mereka yang terluka. Bahkan
juga sebagai penolong racun yang cukup hebat.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Suto," ucap Andini yang mulai terasa segar
setelah minum tuaknya
Suto. "Kalau kau tak datang, aku pasti mati lebih dulu, setelah itu Gayatri,
adikku, juga akan mati di tangan Karang Wesi!"
"Aku juga berterima kasih padamu," kata Suto.
"Karena kau biarkan aku menggunakan pedangmu untuk membunuhnya. Apakah kau mau
mengambil pedangmu
itu untuk digunakan lagi?"
"Biar saja mendekam hangat di tempatnya sana!"
jawab Andini sambil tertawa cekikikan. Gayatri hanya tersenyum-senyum.
"Jurus pedangmu sungguh hebat dan semuanya di
luar dugaan!" kata Gayatri memuji Suto. Pendekar Mabuk hanya tersenyum. Lalu
Andani menyahut,
"Memang benar. Tapi..., apakah benar kau calon
suami Dyah Sariningrum, orang yang diincar Karang
Wesi itu?"
"Ya. Benar. Kenapa?" jawab Suto sambil
sunggingkan senyum.
"Tak apa-apa. Kalau saja kau bukan calon suaminya, mungkin...!"
"Kau pikir hanya kau yang bisa bilang mungkin"!"
sahut Gayatri. Pendekar Mabuk jadi tertawa melihat
keduanya saling bersungut cemberut. Kemudian ia
meninggalkan keduanya untuk melanjutkan
petualangannya.
PENDEKAR MABUK SELESAI Segera terbit!!! serial Pendekar Mabuk
Suto Sinting dalam episode:
MANUSIA PENYEBAR KUTUK
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Balada Di Karang Sewu 3 Suling Mas Seri Bukeksiansu 02 Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Bangau Putih 16
^