Pencarian

Manusia Penyebar Kutuk 2

Pendekar Mabuk 018 Manusia Penyebar Kutuk Bagian 2


benar dalam bersikap selama
ini. "Lalu, satu lagi pertanyaanku belum kaujawab, siapa kamu?"
"Kau pernah dengar namaku, tapi mungkin baru kali ini kau bertemu denganku. Kau
pasti pernah mendengar Siluman Tujuh Nyawa!"
"Ya. Betul. Aku pernah dengar nama orang sakti itu!"
"Akulah Siluman Tujuh Nyawal"
"Kau..."!" Ratu Teluh Bumi terpekik. Lalu cepat-cepat ia bergeser ke depan dan
pandangi wajah orang itu baik-baik. Ia pandangi tombak El Maut yang
ditancapkan di tanah samping kanan batu datar yang
dipakainya duduk itu. Tetapi yang dipandangi tetap diam tak bergerak, matanya
tetap lurus ke arah tanaman aneh tersebut.
"Oh, benar! Kau memang Siluman Tujuh Nyawa! Oh, senang sekali hatiku bisa
bertemu denganmu!"
"Jangan sentuh aku lagi!" katanya dengan cepat dan tetap dingin. "Selimut
racunku telah kupasang. Kalau kau sentuh aku, kau akan mati dalam tiga
hitungan!"
Ratu Teluh Bumi yang ingin menggenggam tangan
Siluman Tujuh Nyawa sebagai ungkapan rasa
gembiranya, terpaksa terhenti seketika, ia justru menjadi kagum mendengar
selimut racun dikenakan oleh orang
itu dan akan mematikan jika disentuh. Padahal sejak tadi Ratu Teluh Bumi tahu,
tak ada gerakan atau jurus yang dilakukan Siluman Tujuh Nyawa kecuali diam
memandangi tanaman.
"Kalau boleh aku tahu, tanaman apa yang kau
pandangi itu!"
"Namanya bunga Sukma Weling."
"Nama yang aneh, pasti punya arti besar! Boleh aku tahu?"
"Bunga itu mempunyai kekuatan gaib yang sangat ampuh. Di dalam bunga itu,
tersimpan satu kekuatan
yang bernama ilmu 'Sabda iblis'!"
"Ilmu 'Sabda Iblis'..."! ilmu macam apa itu?" tanya Ratu Teluh Bumi semakin
tertarik untuk mendengarkan penjelasan Siluman Tujuh Nyawa.
"Ilmu 'Sabda Iblis' adalah ucapan yang bisa menjadi kenyataan. Orang yang makan
bunga itu, akan langsung mempunyai ilmu 'Sabda Iblis'. Orang yang mempunyai
ilmu 'Sabda Iblis', maka apa yang dikatakannya pasti menjadi kenyataan!"
"Hebat sekali kekuatan ilmu itu" Lalu, mengapa kau pandangi terus bunga itu?"
"Dia baru bisa mekar setelah seratus tahun usianya!
Tetapi jika selalu disiram dengan hawa murni maka
pertumbuhannya menjadi cepat sekali. Jika
penyiramannya dilakukan secara terus-menerus tanpa
henti, maka bunga itu akan cepat tumbuh dan
berkembang dalam waktu satu bulan lamanya!"
"Satu bulan"! Hmmm... Lantas kau sendiri telah melakukan penyiraman dengan hawa
murni selama berapa hari?"
"Dua puluh tujuh hari!"
"Selama itukah kau duduk di sini dan memandangi bunga itu"!"
"Ya," jawab Siluman Tujuh Nyawa tak beralih pandang sedikit pun. Hal itu membuat
Ratu Teluh Bumi menjadi terheran-heran dan kagum. Jika bukan orang
berilmu tinggi, tak mungkin sanggup melakukan semadi seperti yang dilakukan
Siluman Tujuh Nyawa itu.
Selama dua puluh tujuh hari, diam tak bergerak dan tak berkedip. Sungguh itu
suatu perbuatan semadi yang
cukup berat. "Aku sangat kagum padamu," bisik Ratu Teluh Bumi dengan nada mendesah lirih,
sepertinya punya arti
sendiri bagi jiwa perempuan itu.
* * * 4 RATU Teluh Bumi merasa sangat beruntung dapat
bertarung dengan Dayang Kesumat. Bahkan kalah dalam pertarungan ternyata bukan
berarti harus mati
selamanya. Kalah dalam pertarungan mempunyai sisi
baik tersendiri yang kadang tak disadari oleh si penderita
kekalahan. Andai dia menang melawan Dayang Kesumat, ia
tidak akan temukan sesuatu yang sangat berharga dalam sejarah hidupnya, pertama
bisa bertatap muka dengan tokoh sakti yang namanya cukup kondang dan ditakuti
setiap orang itu, kedua bisa mendengar cerita tentang bunga ajaib yang bernama
bunga Sukma Weling.
Bahkan dari kekalahannya itu, Ratu Teluh Bumi punya keberuntungan, yaitu dapat
melihat bentuk tanaman
bunga yang tumbuhnya seratus tahun sekali itu. Konon tanaman seperti itu hanya
ada di tanah Jawa.
Memperhatikan pertumbuhan bunga aneh itu,
merupakan pengalaman yang amat mahal harganya.
Apabila siang, tanaman bunga itu berubah warnanya
menjadi kuning berkilauan, seperti tanaman dari logam emas mulia. Tapi jika
malam tiba, tanaman itu berubah menjadi hijau kehitam-hitaman. Sebelum itu, pada
senja hari menjelang matahari tenggelam, tanaman itu
bentuknya tetap tapi wujudnya berubah, yaitu menjadi transparan, bagai tanaman
dari kaca yang bisa tembus pandang. Kuncup bunganya pun menjadi seperti batu
giok berwarna hijau kecoklat-coklatan.
"Mendengar kedahsyatan ilmu 'Sabda Iblis' saja aku sudah terkagum-kagum, apalagi
melihat keampuhannya
secara langsung!" pikir Ratu Teluh Bumi dalam
kesendiriannya.
Selama dia berada di Jurang Petaka itu, dia memang
seperti seorang diri. Siluman Tujuh Nyawa hampir-
hampir tak pernah mengajak bicara pada hari berikutnya.
Hanya pada malam perjumpaan mereka saja Siluman
Tujuh Nyawa mau diajak bicara. Tapi esok harinya, ia bungkam seribu bahasa.
Hanya satu kali ia berkata,
"Jangan bicara denganku sebelum aku mengajakmu bicara!"
Manusia berdarah dingin itu benar-benar punya
kharisma tinggi. Hanya satu kali dia berucap kata
demikian, Ratu Teluh Bumi tidak pernah berani
mengajaknya bicara lagi. Sekalipun demikian, diam-
diam Ratu Teluh Bumi punya rasa kagum yang cukup
tinggi terhadap Siluman Tujuh Nyawa, ia melihat
dengan mata kepala sendiri, sikap duduk orang itu tak pernah berubah. Helaan
napasnya pun tetap, pandangan matanya juga tak sedikit pun berubah.
Melalui cara penyembuhannya yang sungguh ajaib
itu, Ratu Teluh Bumi bisa membayangkan sebegitu
tinggi ilmu yang dimiliki Siluman Tujuh Nyawa,
sehingga andai saja Batu Teluh Bumi menjadi muridnya, jelas dia bisa melalap
habis Dayang Kesumat. Diam-diam pula Ratu Teluh Bumi menaruh harapan, selama ia
menjadi pelayannya Siluman Tujuh Nyawa, semoga ia
bisa mendapat ilmu orang sakti itu walau hanya sebagian kecil saja. Barangkali
secara mencuri-curi pun bisa ia lakukan, dan jelas ilmu kesaktiannya akan
bertambah hebat lagi. Jika ia menjadi sakti seperti Siluman Tujuh Nyawa, maka
orang-orang Jenggala itu dengan mudah
dapat digulung habis.
Ratu Teluh Bumi benar-benar ingin menjadi murid
Siluman Tujuh Nyawa. Sebab, hidupnya tidak akan
tenang jika Jenggala belum berhasil direbut kembali ke tangannya. Ratu Teluh
Bumi dulu adalah putri seorang Raja Jenggala. Tapi dengan adanya penggulingan
kekuasaan, keluarganya menjadi hancur. Ayah, ibu, dan dua adiknya mati karena
pembunuhan yang tak dapat
dibuktikan. Tapi menurutnya, raja baru di Jenggala
itulah yang menjadi dalang serangkaian pembunuhan
terhadap sanak saudaranya, termasuk bibi dan pamannya sekeluarga. Tinggal dia
yang masih hidup, dan segera melarikan diri untuk pertahankan hidupnya. Jika ia
tidak bisa bertahan hidup, maka ia tak akan punya kesempatan untuk merebut
Keraton Jenggala lagi.
Musuh utama Ratu Teluh Bumi mempunyai nama
asli Ajeng Prawesti. Adapun musuh keduanya adalah
Suto Sinting, si Pendekar Mabuk. Karena pemuda
peminum tuak itulah yang pernah membuatnya hampir
mati akibat satu pertarungan di Kuil Swanalingga.
Sampai sekarang kekalahan itu masih timbulkan dendam di hati Ratu Teluh Bumi.
Dan musuh ketiganya adalah Dayang Kesumat. Jika musuh yang lain lolos, tak jadi
masalah. Tapi ketiga musuh itu tak boleh lolos secara hidup-hidup.
Ratu Teluh Bumi bahkan punya rencana untuk minta
bantuan Siluman Tujuh Nyawa untuk menumpas habis
musuh-musuhnya itu. Tetapi permohonan itu tak bisa
dilakukan sekarang, karena Siluman Tujuh Nyawa masih punya tugas mempercepat
berkembangnya bunga Sukma
Weling itu. Tetapi, agaknya bunga Sukma Weling sudah mulai
mau berkembang. Pada hari kedua Ratu Teluh Bumi
tinggal di Jurang Petaka di sebuah rumah gubuk tak jauh dari tempat Siluman
Tujuh Nyawa bersemadi, tiba-tiba ia telah dikejutkan dengan ukuran bunga yang
sudah menjadi sebesar kacang tanah yang masih berkulit.
Padahal malam harinya baru separo dari ukuran yang
ada pagi itu. Dan pada malam berikutnya, bunga itu
mulai membuka kelopaknya, ada sinar biru indah
muncul dari tepian kelopak bunga.
Begitu indahnya bunga itu, sehingga Ratu Teluh
Bumi tiada hentinya memandangi bunga tersebut. Tanpa sadar, ia telah salurkan
hawa murni melalui pandangan matanya, dan disiramkan ke tanaman aneh itu.
Akibatnya, pertumbuhan bunga tersebut menjadi lebih pesat. Ratu Teluh Bumi ikut
menyiram bunga dengan
hawa murninya sampai pagi menyingsing. Semestinya,
bunga itu mekar pada menjelang sore nanti. Tapi pagi itu kelopaknya telah mekar.
Warna bunga itu merah bening, seperti kaca. Seolah-
olah dari dalam benang sarinya tersembur sinar kecil warna merah, dan biru,
sehingga bunga itu berwarna
aneh. Merah bukan, biru bukan, ungu pun bukan. Tiga perpaduan warna itulah yang
membuat indah bunga
berkelopak bening itu.
Semakin siang, semakin menarik warnanya. Semakin
menyenangkan untuk dipandangi tanpa kedip. Ratu
Teluh Bumi berdiri di samping Siluman Tujuh Nyawa
sejak kemarin malam dan ia tak merasakan jenuh atau capek sedikit pun. Rasa
kantuk juga tak ada pada
dirinya. Suatu hal yang aneh, sebab biasanya Ratu Teluh Bumi tak bisa tahan
berdiri begitu lamanya tanpa kedip.
Tiba-tiba di dalam hati Ratu Teluh Bumi tercetus
gagasan sederhana. Hati itu mengatakan,
"Jika orang memakan bunga itu, apa yang dilontarkan dalam ucapan, pasti terjadi.
Sabda Pendita Ratu! Apa yang dikatakan, itulah yang terjadi. Berarti bunga itu
bisa dipakai untuk mengutuk seseorang. Dan dengan
menyebar kutukan, tentunya aku pasti akan bisa
melampiaskan dendamku kepada musuh-musuhku hanya
melalui ucapanku! Oh, kenapa bunga itu tidak kumakan saja..."!"
Begitu terpetik gagasan demikian, maka dengan
berkelebat cepat Ratu Teluh Bumi menyambar bunga
itu. Tess...! Kemudian ia segera membawanya lari
menjauhi Siluman Tujuh Nyawa. Tentu saja perbuatan
itu sangat mengejutkan Durmala Sanca. Begitu kagetnya Siluman Tujuh Nyawa hingga
ia terlonjak kaget,
tubuhnya naik ke atas bagaikan terbang. Dalam keadaan melesat naik, ia sempat
menyambar tongkat El Mautnya.
Wuussst..! Ratu Teluh Bumi terus melarikan diri dengan
menggunakan ilmu peringan tubuhnya, ia melompat ke
sana kemari, dan tahu-tahu tercegat Siluman Tujuh
Nyawa di depannya.
"Perempuan gila! Serahkan bunga itu!"
"Maaf, aku membutuhkannya, Durmala Sanca! Jadi kumohon...."
Wutt...! Tombak El Maut itu dikibaskan ke leher Ratu Teluh Bumi. Untung
datangnya sempat diketahui dengan ekor mata Ratu Teluh Bumi, sehingga kibasan
senjata yang ingin memenggal kepalanya itu bisa dihindari
dengan cara merundukkan badan, berguling ke samping dan sentakkan kaki, lalu
melesat pergi lagi.
"Perempuan tak tahu diuntung! Kembalikan atau kuhabisi nyawamu dari sini!" Orang
berjubah hitam dari kepala sampai kaki itu tetap berdiri di tempatnya. Tetapi
Ratu Teluh Bumi berlari terus dan mencari jalan ke
mana saja yang bisa dilewati.
Melihat pencuri bunga itu terus berlarian tanpa mau berhenti, Siluman Tujuh Nyawa menjadi murka. Cukup
lama ia tekuni menyiram bunga itu, begitu tumbuh dan berkembang disambar oleh
perempuan yang telah
diselamatkan dari maut itu. Sakit sekali hati Siluman Tujuh Nyawa kepada Ratu
Teluh Bumi. Karena itu ia tak segan-segan lepaskan pukulan mautnya ke arah Ratu
Teluh Bumi. Senjata El Maut itu dilemparkan dari jarak jauh.
Wuungng...! Senjata itu bergerak memutar-mutar bagai ingin membabat apa saja
yang ditemuinya. Arah
lemparan tertuju kepada Ratu Teluh Bumi. Sementara
itu, Siluman Tujuh Nyawa sendiri berkelebat mengejar Ratu Teluh Bumi dengan
jurus silumannya. Zlappp...!
Tahu-tahu ia sudah menghadang di depan Ratu Teluh
Bumi. Senjata El Maut itu menebas leher atau apa saja yang ada pada diri Ratu
Teluh Bumi. Tapi perempuan itu sempat berlindung di balik bebatuan besar,
sehingga senjata itu luput dari kepalanya, dan tahu-tahu senjata itu sudah kembali
hinggap di tangan Siluman Tujuh Nyawa.
Ratu Teluh Bumi segera teruskan langkah, tapi tak jadi karena ia dihadang oleh
orang berkerudung hitam
berwajah putih itu.
"Jangan bodoh kalau mau berumur panjang, Ratu
Teluh Bumi! Kau telah mencuri bungaku itu, dan kau
harus berikan padaku jika tak ingin melihat murkaku padamu!"
Tiba-tiba Ratu Teluh Bumi melihat gugusan batu
menonjol di tebing itu. Tanpa mau layani kata-kata
Siluman Tujuh Nyawa, Ratu Teluh Bumi pun segera
sentakkan jempol kakinya ke tanah dan tubuhnya telah melayang cepat ke atas,
lalu hinggap pada gugusan batu yang menempel di dinding tebing itu. Jlegg...!
"Keparat! Kau benar-benar memancing murkaku,
Ratu Teluh!" seru Siluman Tujuh Nyawa. Kemudian ia lepaskan pukulan yang
memancarkan selarik sinar merah yang keluar dari ujung sabit tongkat itu.
Zlapp...! Sinar merah itu seperti tali yang memanjang dan terarah ke tubuh Ratu
Teluh Bumi. Jlarrr...! Batu tempat berpijak Ratu Teluh Bumi pecah seketika terkena sinar
merah itu. Sementara Ratu Teluh Bumi sendiri telah melesat naik ke salah satu
pohon jenis ilalang tebing, ia hinggap di ujung ilalang.
Sementara itu juga, Siluman Tujuh Nyawa
menggunakan jurus silumannya untuk berkelebat cepat mendului gerakan naik Ratu
Teluh Bumi. Wuttt...!
Blarrr...! Tangan Siluman Tujuh Nyawa disentakkan
dan cahaya ungu berkelebat keluar dari jari telunjuknya.
Cahaya itu menghantam dinding tebing dan meledak,
timbulkan gelombang hawa panas dari ledakannya itu
yang menghempaskan tubuh Ratu Teluh Bumi.
Perempuan itu terlempar tak terkendalikan lagi.


Pendekar Mabuk 018 Manusia Penyebar Kutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuhnya melayang turun kembali dan tahu-tahu
tersangkut pada semak pepohonan tebing. Bruss!
"Uuh...!" Ratu Teluh Bumi terpekik sebentar. Lalu cepat-cepat hatinya berkata,
"Kenapa bunga ini tidak segera kumakan saja" Kalau bunga ini bisa untuk
mengutuk orang, berarti bisa juga untuk menghentikan pengejaran Siluman Tujuh
Nyawa!" Maka dengan cepat Ratu Teluh Bumi melahap bunga
itu. Zubb...! Bunga dimasukkan ke mulut. Tapi serangan Siluman Tujuh Nyawa
muncul lagi. Ratu Teluh Bumi
tepaksa menghindari dengan satu lompatan. Namun
tubuhnya bagai tersedot ke belakang, ia pun akhirnya terpelanting dan menerabas
semak tebing hingga sampai ke depan gubuk Siluman Tujuh Nyawa itu.
Brukk...! Ratu Teluh Bumi ingin memekik, tapi mulutnya sibuk
mengunyah bunga Sukma Weling dan segera
menelannya. Pada waktu itu, Siluman Tujuh Nyawa
sudah menyerang lagi dengan tubuhnya yang melayang
bagaikan terbang. Senjatanya siap diayunkan ke depan untuk melukai tubuh Ratu
Teluh Bumi. Mau tak mau Ratu Teluh Bumi kerahkan tenaganya
untuk bangkit dengan cepat, kemudian melompat ke arah yang aman dengan bersalto
satu kali di udara. Wukkk...!
Crass...! Senjata El Maut menancap pada sebuah batu tempat Ratu Teluh Bumi tadi
terkapar jatuh. Batu itu langsung menjadi merah seperti tersiram lahar,
kemudian retak perlahan-lahan dan kepuikan asap putih kehitam-hitaman.
Melihat Ratu Teluh Bumi sudah bersiap larikan diri, Siluman Tujuh Nyawa segera
sentakkan tangan
kanannya, dan dari kuku-kuku runcing itu keluar lidah sinar merah berkelok-kelok
yang tiada putusnya. Sinar itu segera menyergap tubuh Ratu Teluh Bumi.
Zrruppp...! Tiba-tiba tubuh tersebut tak bisa bergerak lagi, bagai terikat
benang merah yang panas rasanya.
"Hentikan!" bentak Ratu Teluh Bumi sambil menahan sakit.
Seketika itu Siluman Tujuh Nyawa menghentikan
serangannya, ia menjadi seperti orang bingung yang tak tahu harus berbuat apa
dalam waktu begitu cepat.
Ratu Telah Bumi terkejut melihat tubuhnya telah
berubah menjadi hitam seluruhnya. Tapi sebelum rasa kagetnya itu habis, warna
hitam itu kembali hilang, dan menjadi biasa. Mungkin itulah pengaruh menelan
bunga Sukma Weling, yang membuat bentakannya itu dituruti oleh Siluman Tujuh
Nyawa. "Diam di situ dan jangan kejar aku lagi! Mengerti"!"
"Mengerti!" jawab Siluman Tujuh Nyawa. Ratu Teluh Bumi justru kaget melihat
tokoh sesat yang
teramat sakti itu menjadi diam dan menurut dengan
perintahnya. Maka timbullah pertanyaan di dalam hati Ratu Teluh Bumi.
"Apakah ini berarti aku telah menguasai ilmu "Sabda Iblis'"!"
* * * 5 BISA dibayangkan betapa kecewanya hati Siluman
Tujuh Nyawa. Hampir seluruh kekuatannya dicurahkan
untuk menyirami bunga itu siang malam, tanpa makan, tanpa minum, tanpa bergerak,
dan tanpa berkedip, juga tanpa buang air segala, semua dilakukan demi tumbuh dan
berkembangnya bunga Sukma Weling. Ia juga
menguras perhatian, menguras hawa murni, demi
mencapai satu ilmu yang akan menjadi kebanggaannya.
Namun ketika bunga itu berkembang dan ilmu itu
datang, ternyata orang lain yang menunai dan memakan hasilnya.
Cukup lama Siluman Tujuh Nyawa terpaku di tempat
karena perintah gaib dari Ratu Teluh Bumi. Ia tak
bergerak mengejar sedikit pun kecuali memandangi
kepergian si pencuri bunga dengan mulut tetap terkatup dan wajah tetap dingin.
Setelah ia sadari keadaannya yang di luar kemauan pribadi, meledaklah murka sang
tokoh sesat itu. Dihancurkannya batu sebesar rumah di depannya dengan satu
pukulan dahsyat. Dibakarnya
gubuk persinggahannya sendiri dengan satu ilmu api
yang sangat hebat. Dihantamnya pohon besar dengan
tenaga dalam penuh kebencian, hingga pohon itu lenyap dan tinggal serbuk-
serbuknya saja. Lalu wajah putihnya
itu berubah menjadi merah dan mata dinginnya berubah menjadi bara. Ia berteriak
sekeras-kerasnya di dalam jurang maut itu,
"Ratu Teluuuh...! Kubunuh seluruh keturunanmu
untuk menebus kekecewaanku saat ini! Kucari kau ke mana pun kau berada,
Bangsaaat...!" Lalu napasnya terengah-engah, giginya menggeletuk. Tanah yang
dipijaknya keluarkan asap dan menjadi cekung, tongkat yang dipegangnya membekas
hitam hangus membentuk
kelima jari yang menggenggam.
Zlappp... Siluman Tujuh Nyawa masuk ke alam gaib.
Tubuhnya menghilang dan gerakannya tak bisa dilihat lagi oleh mata telanjang, ia
mengejar Ratu Teluh Bumi dari sisi lapisan kehidupan lain. Hal ini dilakukan
supaya ruang geraknya lebih leluasa, lebih cepat dan membuat Ratu Teluh Bumi
tidak merasa dikejar, ia sudah siapkan satu rencana untuk menguliti Ratu Teluh
Bumi dalam keadaan hidup-hidup, kemudian menyayat-nyayat
dagingnya selama satu bulan penuh tanpa henti.
Tetapi agaknya keberuntungan tetap berada di tangan Ratu Teluh Bumi. Siluman
Tujuh Nyawa mengejar
berlawanan arah dengan pelarian Ratu Teluh Bumi.
Tentu saja hal itu membuat Ratu Teluh Bumi bagaikan menemukan kemenangan yang
kedua kalinya. Arah utama yang dituju Ratu Teluh Bumi adalah
negeri Jenggala. Ia ingin hancurkan negeri itu dengan ilmu 'Sabda Iblis'-nya,
untuk kemudian membangunnya lagi dan duduk sebagai pewaris penguasa kerajaan itu
melanjutkan kejayaan leluhurnya.
Tetapi langkah itu terhenti karena kemunculan
seorang gadis berpakaian merah bata. Gadis itu bermata bundar dan berhidung
mancung, kulitnya kuning langsat, ia mempunyai rambut lurus lemas sepanjang
batas pundak, diikat dengan kain warna hijau. Sebilah pedang disandang di punggungnya.
Dan ia bergerak cepat
menghadang langkah Ratu Teluh Bumi dengan satu
pukulan jarak jauh lebih dulu yang dilepaskan ke sebuah pohon. Pohon itu rubuh
tepat di depan Ratu Teluh Bumi.
Ini membuat Ratu Teluh Bumi lompat mundur kira-kira tiga tindak. Setelah itu
baru gadis itu tampakkan diri dengan wajah tanpa senyum, dengan sorot pandangan
mata yang bermusuhan.
"Sumping Rengganis..."!" gumam Ratu Teluh Bumi ketika mengenali siapa penghadang
langkahnya itu.
Gadis yang bernama Sumping Rengganis segera
menghampiri Ratu Teluh Bumi dengan sikap siap
tempur, ia pun membalas sapaan dengan sinis dan
bersuara lantang.
"Mau lari ke mana kau, Pencuri"! Sepandai-pandai kau sembunyi suatu saat pasti
akan kutemukan juga,
Ratu Teluh! Sekarang tiba saatnya kita bikin
perhitungan!"
"Baiklah. Apa maumu sekarang, Sumping
Rengganis"!"
"Pulangkan Kitab Pusaka Triwindu milik kakekku itu! Kau telah mencurinya dan
karena itu kau harus mau kuserahkan kepada kakekku untuk diadili sesuai dengan
ketentuan perguruannya!"
"Kau masih muda, Sumping Rengganis! Kau masih
bau kencur, sehingga belum bisa memahami mengapa
aku harus mencuri kitab pusaka itu. Jadi sebaiknya kau tak perlu ikut campur,
Sumping Rengganis. Lebih baik kau urus dirimu yang sudah menjadi perawan tua dan
butuh pendamping hidup yang setia!"
"Bicaramu mulai melantur, Ratu Teluh! Aku tahu kau terkejut saat melihat
kemunculanku! Karena pasti kau menyangka aku tidak akan bisa mengejarmu! Wajahmu
mulai pucat karena ketakutan, dan itu adalah wajah polos seorang pencuri yang
tertangkap tak berkutik!"
Ratu Teluh Bumi sengaja sunggingkan senyum tipis
sebagai kesan meremehkan kata-kata Sumping
Rengganis. Ia juga melangkah dua tindak sehingga
jaraknya menjadi empat langkah dari Sumping
Rengganis. Mata Ratu Teluh Bumi memandang lekat-
lekat wajah gadis ayu yang menurutnya sudah layak
menyandang gelar perawan tua, karena usianya sudah
mencapai tiga puluh tahun lebih.
Tetapi Sumping Rengganis tidak mau buang-buang
waktu, ia segera mencabut pedangnya, srett...! Dan bersiap menyerang Ratu Teluh
Bumi. Sementara
lawannya terlihat tenang-tenang saja, seolah-olah tidak merasa gentar sedikit
pun dengan pedang yang terhunus itu.
"Ratu Teluh Bumi, putuskan pilihanmu sekarang
juga! Serahkan kitab yang kau curi itu, atau serahkan nyawa pencurimu"!" '
"Silakan pilih sendiri sebatas kemauanmu, Sumping!"
"Kau memang manusia terkutuk, Ratu Teluh!
Heaah...!"
Sumping Rengganis melompat ke arah Ratu Teluh
Bumi dan menebaskan pedangnya dengan cepat bagai
hembusan angin badai. Wuuttt...! Pedang itu melintas miring dari depan wajah
Ratu Teluh Bumi ke samping
kanan. Tapi tak sampai menggores bagian tubuh Ratu
Teluh Bumi karena dengan satu sentakan ringan, tubuh Ratu Teluh Bumi telah
melompat mundur untuk
menghindari tebasan pedang lawannya.
"Heeaat...!" Sumping Rengganis menusukkan pedang ke arah dada Ratu Teluh Bumi
dengan gerakan cepat dan tak disangka-sangka. Brett! Baju hitam Ratu Teluh Bumi
terkena tusukan itu dan menjadi robek.
Tetapi tangan yang memegang pedang dalam keadaan
menusuk lurus itu segera dapat dibuang oleh Ratu Teluh Bumi dengan tendangan
berputar cepat satu kali.
Plakkk...! Tendangan itu tepat mengenai bagian siku dari Sumping Rengganis.
Karena kuatnya, tubuh Sumping
Rengganis pun terbuang ke kiri dalam keadaan memutar.
Dan kakinya cepat berkelebat sewaktu tubuhnya
terputar. Wuttt...!
Hampir saja kaki itu menampar kuat wajah Ratu
Teluh Bumi jika kepala Ratu Teluh Bumi tidak segera ditariknya ke belakang.
Wess...! Tapi tanpa diduga-duga kaki Sumping Rengganis
yang satu pun bergerak cepat menyusul tendangan
pertamanya yang meleset sasaran itu. Tendangan kedua ini lebih tidak disangka-
sangka lagi oleh Ratu Teluh
Bumi, sehingga kejap berikutnya wajahnya terdongak
karena tendangan itu menyentak telak di bawah
dagunya. Dess...!
Ratu Teluh Bumi hampir terkapar saat itu. Untung ia masih bisa menjaga
keseimbangan tubuhnya dengan
terhuyung-huyung ke belakang. Tetapi dalam hatinya ia cepat membatin,
"Jurus tendangan dan pedangnya memang cukup
tinggi! Kalau aku tidak siap melapisi tubuhku dengan tenaga dalam yang tersalur
menyeluruh, bisa remuk
daguku oleh tendangannya tadi!"
Wukk! Wukkk...! Ratu Teluh Bumi bersalto ke
belakang dua kali untuk menjaga jarak dengan
lawannya. Tapi sang lawan cepat mengejar dengan satu lompatan, lalu pedangnya
menebas lagi dari kiri ke
kanan, menyilang dari pinggang ke arah dada. Wuttt...!
Ratu Teluh Bumi hanya melompat mundur satu kali,
lalu begitu melihat dada Sumping Rengganis membuka, satu pukulan tenaga dalam
dilepaskan melalui telapak tangannya. Suttt..! Cahaya merah melesat dari tapak
tangan itu. Tapi Sumping Rengganis agaknya juga sudah siap, sehinga dengan cepat
tangan kirinya menyentak maju dan seberkas sinar hijau menghantam kecepatan
gerak sinar merah itu.
Duesr...! Gelombang ledakan berhawa panas menyentak sebar,
membuat Sumping Rengganis terjajar mundur tiga
tindak dalam keadaan limbung, sedangkan Ratu Teluh
Bumi hanya tersentak satu tindak ke belakang.
Napas segera ditahan oleh Ratu Teluh Bumi,
kemudian ia berucap kata,
"Lumpuh kau, Sumping...!"
Brekk...! Secara tiba-tiba Sumping Rengganis jatuh terkulai di tanah bagai cucian basah.
Tak ada tenaga untuk bangkit sedikit pun. Kedua kakinya seolah-olah tidak lagi
memiliki tulang dan urat sedikit pun. Sumping
Rengganis menjadi kebingungan, ia masih bisa
menggerakkan tangannya untuk menopang badan, tapi
kedua kakinya tidak berdaya untuk berdiri. Sama sekali lemas dan tak mampu
digerakkan. Bahkan kedua kaki
itu seperti mati rasa. Andai dipotong pun tak akan
merasakan sakit sedikit pun.
Sumping Rengganis belum tahu kekuatan ilmu 'Sabda
Iblis' yang dimiliki Ratu Teluh Bumi. Ia sama sekali tak menyadari bahwa jika
Ratu Teluh Bumi menahan napas
lalu ucapkan satu atau dua kata, maka apa yang
diucapkannya itu menjadi kenyataan. Sumping
Rengganis telah dikutuk oleh Ratu Teluh Bumi untuk menjadi lumpuh. Tetapi gadis
cantik bermata indah itu tak mudah menyerah, ia segera lepaskan jurus 'Pedang
Penjilat Nyawa' itu dalam keadaan terduduk di tanah.
Pedangnya itu disentakkan ke depan dalam gerakan
menusuk dengan dua tangan, kemudian selarik sinar biru melesat dari ujung
pedang. Sinar biru itu meluncur cepat secara bertubi-tubi.
Jrab jrab jrab jrab...!
Ratu Teluh Bumi sentakkan kaki dan melenting di
udara dalam gerak berjungkir balik satu kali. Sinar biru yang melesat secara
berturut-turut itu mengenai sebuah pohon dan pohon itu segera berlubang antara
lima atau enam tempat. Sedangkan tubuh Ratu Teluh Bumi segera dapat mendarat
dengan aman setelah sebuah pukulan
bercahaya sinar biru juga dilepaskan dari tangan
kanannya dan menghantam pedang Sumping Rengganis.
Trangng...! Pedang itu terbuang jatuh karena
hantaman sinar biru. Dan tiba-tiba pedang itu berasap lalu melelehkan logamnya.
Pedang tersebut telah
meleleh dan tak berwujud pedang lagi. Tinggal bagian gagangnya yang telah
menjadi hangus bagaikan habis
disambar petir tanpa ampun lagi.
Sumping Rengganis terkesiap melihat pedangnya
bernasib malang. Matanya tak berkedip, mulutnya
ternganga bengong, sementara itu kakinya masih belum bisa dipakai untuk berdiri,
ia segera alihkan pandang kepada Ratu Teluh Bumi. Orang itu sunggingkan
senyum sinis yang membakar amarah di dalam hati
Sumping Rengganis, membuatnya semakin terengah-
engah bagai orang habis melakukan pelarian jauh.
"Kau memang nakal, Bocah Kencur! Sudah lumpuh masih saja bandel dan berani
menyerang!"
"Aku tak akan berhenti menyerangmu sebelum kau kembalikan kitab kakekku yang kau
curi itu, Jahanam!"
"O, jadi kau ingin yang lebih parah lagi...?" Ratu Teluh Bumi melebarkan senyum


Pendekar Mabuk 018 Manusia Penyebar Kutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan tenangnya.
Lalu, ia segera tarik napas dan menahan napasnya sambil mengucapkan kata
kutukan, "Kalau begitu, jadilah kau seekor serigala!"
Blarrr...! Petir di langit menyambar bumi. Tak ada
hujan tak ada mendung, petir itu seakan terkejut
mendengar kutukan yang dilontarkan Ratu Teluh Bumi, karena dalam sekejap saja,
tubuh Sumping Rengganis
telah berubah menjadi seekor serigala berbulu hitam.
"Aaauuu...!" Serigala itu meraung panjang, sebagai tanda raung kesedihan Sumping
Rengganis setelah
melihat tubuhnya berbulu, mulutnya maju dan
mempunyai ekor di belakang. Serigala itu mempunyai
mata merah, taring yang runcing, dan tajam, serta kuku yang tajam-tajam juga.
Ratu Teluh Bumi tertawa terkekeh-kekeh kegirangan.
Ternyata ia mampu mengubah manusia menjadi seekor
serigala. Hatinya sangat bangga terhadap ilmu baru yang dimilikinya. Ilmu 'Sabda
Iblis' itu digunakan untuk yang kedua kalinya, sebagai sasaran korban adalah
Sumping Rengganis. Maka segeralah ia berkata,
"Kalau sudah begini mau apa kau, Sumping
Rengganis"! Kau sudah bukan manusia lagi! Kau seekor serigala! Kau tak mungkin
bisa menuntut kitab itu lagi!
Sebaiknya segeralah kau pergi ke lereng bukit dan
bergabunglah dengan kawanan serigala lainnya!"
"Gggrrr...!" serigala itu menggeram sambil menyeringai pamerkan gigi dan
taringnya yang tajam-tajam itu. Ratu Teluh Bumi hanya tersenyum-senyum
penuh kemenangan yang memuaskan hatinya.
Tetapi, tiba-tiba tubuhnya terpental dan jatuh
terguling-guling ke samping. Sebuah pukulan jarak jauh
bertenaga besar dilepaskan. Ratu Teluh Bumi sibuk
mengagumi hasil kutukannya, sehingga tak tahu kalau ada serangan dari arah
samping. Jatuhnya Ratu Teluh Bumi membuat serigala itu
segera melompat dan menerkamnya dengan raung geram
kebuasannya. Ratu Teluh Bumi berusaha menghindari
setiap cabikan kaki serigala dan gigitan binatang itu. Ia berguling-guling,
sampai tubuhnya membentur pohon
dan tak bisa bergerak lagi karena serigala itu sudah berada di depannya. Maka ia
sentakkan pukulan tenaga dalam bercahaya kuning dari tangan kiri. Wuttt...!
Behgg...! "Aiiik...!" binatang itu memekik, kemudian tubuhnya tersentak melayang ke
belakang, ia terkena pukulan kuat.
Dan ketika bangkit lagi, binatang itu segera larikan diri tanpa berpaling ke
belakang. Ratu Teluh Bumi bangkit, ia segera ingat ada musuh
yang menyerangnya dari samping. Ketika ia memandang ke arah barat, ternyata
seorang pemuda sedang berdiri terlolong bengong pandangi kepergian Sumping
Rengganis yang sudah berubah menjadi seekor serigala.
Pemuda itu seakan ragu dengan apa yang dilihatnya.
Melihat ciri-ciri pemuda berambut panjang yang
diikat ke belakang dengan tubuh yang tinggi, tegap, berpakaian hijau tua, dan
menyandang empat pisau
terbang di pinggangnya, Ratu Teluh Bumi segera kenali siapa pemuda itu.
"Jarum Lanang...!" ucap Ratu Teluh Bumi sebagai sebuah sapaan. Pemuda yang
berjuluk Jarum Lanang itu
cepat palingkan wajah dan pandangi Ratu Teluh Bumi.
Sang Ratu Teluh Bumi sunggingkan senyum ketusnya
dengan mata menatap tajam, menyembunyikan
kemarahan akibat diserang secara tiba-tiba.
"Bb... benarkah... benarkah serigala itu adalah Sumping Rengganis yang bertarung
denganmu tadi"!"
tanya Jarum Lanang dengan wajah memerah semu. Itu
tandanya ia pun menahan kemarahan yang menegangkan
jiwa, membakar darahnya.
"Ya. Itu adalah Sumping Rengganis, kekasihmu!"
"Biadab kau, Ratu Teluh!" geram Jarum Lanang.
"Terpaksa aku lakukan hal
itu, karena ia menyerangku tiada hentinya, seperti seekor serigala yang buas!"
"Tentu saja dia menyerangmu, karena kamu mencuri kitab pusaka milik kakeknya!"
"Kalau kau sudah tahu begitu, lantas mau apa?"
tantang Ratu Teluh Bumi.
"Harus membunuhmu dan menjadikan kamu daging
cincang makanan para serigala!" sentak Jarum Lanang tak lagi bisa menahan diri.
Kemudian dengan serta-merta ia melepaskan dua pisau terbangnya ke arah Ratu
Teluh Bumi. Wuttt wuttt...!
Ratu Teluh Bumi sentakkan kaki dan melenting naik
ke atas. Ketika bergerak turun, ia lepaskan satu pukulan tenaga dalam dari
telapak tangannya, yaitu pukulan yang memercikkan sinar biru. Sinar itu melayang
cepat ke arah Jarum Lanang, membuat si Jarum Lanang
melompat ke kiri dan berguling satu kali di tanah, kejap berikutnya ia sudah
berdiri lagi dengan tegap.
"Ratu Teluh! Aku harus melawanmu sampai mati
untuk menuntut ucapanmu yang membuat Sumping
Rengganis menjadi seekor serigala!" teriak Jarum Lanang dengan garangnya.
Ratu Teluh Bumi tenang-tenang saja. Tapi segera ia tarik napas dan menahan
napasnya itu sambil berucap kata,
"Kalau begitu, kau pun layak menjadi seekor tikus sebagai calon santapan
serigala itu, Jarum Lanang!"
Blarrr...! Petir kembali terkejut. Kilatan cahaya peraknya
membakar langit. Dan seketika itu tubuh tegap Jarum Lanang pun lenyap. Yang ada
hanyalah seekor tikus
wirok berwarna abu-abu. Mencicit hendak menggigit
kaki Ratu Teluh Bumi. Tapi dengan cepat kaki itu
menendang dan tikus wirok itu pun terpental sambil
serukan cicit yang menjerit. Kemudian tikus itu pun pergi dengan berlari bagai
keberatan ekornya yang
panjang. Gerakan tikus berlari ketakutan itu membuat Ratu Teluh Bumi menjadi
tertawa kegelian untuk yang kedua kalinya.
Hati Ratu Teluh Bumi semakin besar, ia telah
memiliki ilmu ampuh yang sangat jarang dimiliki oleh para tokoh di dunia
persilatan baik dari kalangan tokoh tua maupun tokoh muda. Bahkan dalam hatinya
Ratu Teluh Bumi berucap kata,
"Mana Dayang Kesumat" Mana Suto Sinting itu"
Biar kukutuk mereka dengan ilmu 'Sabda Iblis'-ku untuk menjadi seekor cacing!
Biar mudah bagi siapa saja yang ingin membunuhnyal Ha ha ha ha...I"
Sambil tertawa Ratu Teluh Bumi pun melanjutkan
langkahnya. Arah tujuan tetap ke Kerajaan Jenggala yang sudah cukup lama
ditinggalkan. Ketika ia melintasi sebuh desa, dan menemukan
kedai, Ratu Teluh Bumi sempatkan diri untuk mengisi perutnya dan membasahi
tenggorokannya. Namun baru
saja ia ingin masuk ke kedai itu, tiba-tiba ia melihat sosok Prahasto dan
seorang lagi yang cukup dikenalnya, yaitu Rakawuni.
Tanpa setahu mereka, Ratu Teluh Bumi berada di
balik tenda penutup panas dari bahan kain kumal. Dari balik tenda penutup itu
Ratu Teluh Bumi mendengar
percakapan Prahasto dengan Rakawuni,
"Jadi, Dayang Kesumat sudah bertemu denganmu dan mengatakan bahwa Ratu Teluh
Bumi telah dibunuhnya?"
"Ya. Dayang Kesumat bilang, Ratu Teluh Bumi jatuh ke jurang dan bilamana perlu
kita disuruh mencarinya sendiri! Maksudku, mencari bangkai si Ratu Teluh
kampret itu! Ha ha ha ha...!"
"Bagus-bagus...! Rupanya kau layak menjadi prajurit sandi praja! Nanti akan
kuusulkan kepada senopati untuk mengangkatmu menjadi prajurit sandi praja, dan
akan kuceritakan kepada beliau, bagaimana kau punya akal untuk membunuh Ratu
Teluh Bumi!"
"Aku tak keberatan, Rakawuni! Dan ceritakan pula kepada sang Senopati, bahwa
Ratu Teluh Bumi yang
berilmu tinggi itu akhirnya mati dalam tugasku. Kalau aku tidak melakukan adu
domba begitu, aku tak akan
sanggup membunuh Ratu Teluh Bumi. Ha ha ha...!"
Dari tempatnya berdiri, Ratu Teluh Bumi segera
sadar bahwa ternyata selama ini ia telah diadu domba untuk bertarung melawan
Dayang Kesumat. Dan
ternyata pula Prahasto itu adalah orang Jenggala yang ditugaskan untuk
membunuhnya. Maka, Ratu Teluh
Bumi pun mengencangkan kedua tangannya,
menggenggam kuat-kuat sambil menggeram lirih,
"Jahanam! Licik dia!"
* * * 6 SENGAJA Ratu Teluh Bumi menghadang di
tikungan jalan sepi. Dadanya sudah megap-megap mau
jebol menahan amarah kepada Prahasto. Yang
membuatnya menyesal adalah kebodohannya sendiri.
Ratu Teluh Bumi menjadi merasa sangat bodoh, karena sudah berusia lima puluh
tahun tapi masih bisa diadu domba oleh anak berusia sekitar dua puluh lima
tahun. Sungguh sangat memalukan dan menjengkelkan. Dan
yang membuatnya lebih berang lagi adalah, bahwa
ternyata Prahasto adalah orang Jenggala yang ditugaskan membunuhnya. Ini sungguh
suatu tantangan yang
mendidihkan darah Ratu Teluh Bumi.
Tak lama kemudian terlihatlah dua orang melangkah
seiring sambil sesekali tertawa. Mereka itu adalah
Rakawuni dan Prahasto. Melihat tawa Prahasto, jantung Ratu Teluh Bumi bagaikan
dirogoh dengan paksa dan
ingin meledak dalam remasan dendam. Sebetulnya sejak di kedai itu Ratu Teluh
Bumi sudah ingin melampiaskan marahnya. Tapi ia tak ingin banyak orang tahu
tentang kebodohannya yang telah berhasil diadu domba oleh
Prahasto. Karenanya ia memilih menghadang mereka
berdua di tikungan jalan sepi itu.
Sengaja Ratu Teluh Bumi tidak menegur mereka dan
tetap berdiri di bawah pohon rindang dengan punggung bersandar pada batang
pohon. Kedua tangannya
bersidekap di dada, tapi matanya tetap mengawasi
langkah kedua orang itu.
Tiba-tiba langkah Rakawuni terhenti setelah ia
memandang ke arah samping. Maksudnya ingin bicara
kepada Prahasto sambil memandang yang diajak bicara, tapi matanya menembus
pemandangan seberang
sehingga tertangkaplah sosok Ratu Teluh Bumi oleh
pandangan mata Rakawuni.
Prahasto heran melihat Rakawuni berhenti dengan
mata terbelalak. Kemudian ia bertanya, "Ada apa, Rakawuni" Kau seperti melihat
setan saja"!"
Rakawuni memang tidak menjawab, tapi Prahasto
segera palingkan wajah ke arah seberang dan ia pun
menjadi terkejut melihat Ratu Teluh Bumi berdiri tenang di bawah pohon. Prahasto
segera bergumam dengan
nada penuh keheranan,
"Dayang Kesumat bilang dia sudah mati"!"
"Lalu, siapa yang di sana itu" Apakah arwahnya Ratu
Teluh Bumi?"
"Hm...! Rakawuni, jagailah aku! Aku akan
mendekatinya!"
"Baik! Aku pun sudah telanjur dipergoki olehnya sedang bersama kamu. Pasti dia
tahu bahwa kamu
adalah orang utusan dari Jenggala! Kita hadapi bersama saja apa yang ingin ia
lakukan terhadap diri kita,
Prahasto!"
Kemudian mereka berdua segera menghampiri Ratu
Teluh Bumi. Perempuan itu tetap tenang saja. Sebab ia tahu, dalam sekejap ia
bisa mengutuk mereka berdua
sekehendak hatinya.
"Ratu Teluh..."!" Benarkah kau Ratu Teluh Bumi?"
Prahasto berlagak heran dan cemas.
"Aku Ratu Teluh Bumi!" jawab perempuan itu.
"Oh, syukurlah kalau kau masih selamat! Bagaimana dengan Dayang Kesumat" Sudah
berhasil kau bunuh?"
"Dayang Kesumat juga selamat. Sebentar lagi dia menemuimu, dia ingin kasih upah
padamu, yaitu siksaan yang membuatmu menderita seumur hidup. Tapi
sebelum itu, aku yang berhak menyiksamu lebih dulu!"
Ratu Teluh Bumi bicara dengan tenang walau dadanya
bergemuruh hebat. Sementara itu, Rakawuni
memandang dengan penuh waspada. Bahkan kali ini dia ikut angkat bicara menegur
Ratu Teluh Bumi,
"Lama kita tidak jumpa, Ajeng Prawesti!"
"Ya, dan sekali jumpa kita akan saling bunuh,
Rakawuni!"
"Kenapa begitu" Kita dulu sahabat baik, Ajeng!"
"Dulu memang sahabat, tapi sejak kau ikut
memberontak menggulingkan kekuasaan ayahku, kau
sudah bukan lagi sahabat, melainkan musuh bagi diriku, Rakawuni!"
"Ah, itu urusan negara! Jangan campur adukkan urusan negara dengan persahabatan,
Ratu Teluh Bumi!"
kata Rakawuni berusaha untuk tidak tampakkan
permusuhan. Tapi agaknya Ajeng Prawesti tak bisa
menahan sikap permusuhan itu, bahkan dengan ketusnya ia berkata,
"Kalian mau maju bersama atau satu persatu"!"
Prahasto menyahut, "Hei, apa-apaan ini" Maksudmu bagaimana, Ratu Teluh Bumi?"
"Jangan berpura-pura bodoh, Prahasto!" geram Ratu Teluh, kini ia berdiri tegak,
tanpa bersandar di pohon itu.
Lanjutnya lagi,
"Aku sudah tahu semua kedok yang kau pakai! Kau orang Jenggala, prajurit sandi
yang bertugas membunuhku! Tapi kau tak mampu tandingi ilmuku,
sehingga kau mengadu domba antara aku dengan
Dayang Kesumat!"
Prahasto ingin ajukan sanggahan tapi ia tak bisa
melakukan, karena ia tak punya alasan lain untuk
menutupi kenyataan dirinya. Akhirnya Prahasto pun
berkata, "Ya, memang aku orang Jenggala! Tapi aku cukup puas bisa mengadu domba kamu
dengan Dayang Kesumat! Hanya saja aku tidak tahu, mengapa Dayang
Kesumat mengatakan bahwa kau telah dibunuhnya dan
dilemparkan ke jurang!"
"Dayang Kesumat tidak tahu kalau aku orang sakti yang melebihi dirinya! Bahkan
dalam waktu sekejap
akan kuhabisi orang-orang Jenggala, dan akan kurebut kembali takhta kerajaan


Pendekar Mabuk 018 Manusia Penyebar Kutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang menjadi warisan leluhurku itu!"
"Jaga bicaramu, Ratu Teluh!" geram Prahasto dengan nada mengancam, ia pun mundur
dua tindak untuk
bersiap melakukan serangan. Tapi pada saat itu, Ratu Teluh Bumi menarik napas
dan menahannya, lalu ia
berkata kepada Prahasto,
"Jangan berlagak pahlawan di depanku, Prahasto!
Kau bukan seorang pahlawan, melainkan seekor ular
berkepala dua!"
Zlappp...! Blarrr...!
Bukan Rakawuni saja yang terkejut, tapi sang petir
juga ikut kaget. Tubuh Prahasto seketika itu berubah wujud menjadi seekor ular
hitam berkepala dua.
Rakawuni sempat melompat karena kagetnya, dan ular
berkepala dua itu menggelosor-gelosor dengan lemas, bagai menangisi perubahan
wujud dirinya. Ular itu
sebesar jempol kaki orang dewasa. Panjangnya kira-kira satu tombak.
"Gila kau, Ajeng!" gumam Rakawuni bernada gemas.
Setelah lama pandangi ular itu, ia segera menatap mata Ratu Teluh Bumi yang
sering dipanggilnya Ajeng
Prawesti. Rakawuni berkata,
"Kejam sekali kau, Ajeng! Ilmumu cukup tinggi, itu kuakui! Tapi kau menjadi
manusia berhati binatang jika
begini caranya!"
"Ya, daripada kamu binatang yang berpura-pura
menjadi manusia! Bagaimanapun juga ia tetap binatang!
Kau sama juga dengan Prahasto! Rupanya kau pun lebih bagus jika kukutuk
menjad...."
Wuttt...! Prokk...!
Sebelum Ratu Teluh Bumi ucapkan kutuknya, kaki
Rakawuni sudah lebih dulu menyerang dengan satu
tendangan kuat. Tendangan itu berkelebat cepat dan tak disangka-sangka
datangnya. Tepat mengenai mulut Ratu Teluh Bumi, membuat perempuan itu tersentak
mundur dan menggeloyor hampir jatuh. Untung tangannya
segera memegang batang pohon sehinggga tubuhnya tak sempat jatuh.
Sementara itu, ular berkepala dua jelmaan dari
Prahasto itu seperti mengalami ketakutan. Ular itu
bergerak cepat melarikan diri masuk ke semak-semak
dan menghilang di sana.
"Ucapan Ajeng sangat berbahaya!" kata Rakawuni dalam hatinya. "Jadi sebaiknya
yang kucecar adalah mulutnya, dan jangan kasih kesempatan dia untuk
bicara!" Wutt...! Tubuh Rakawuni cepat melompat dan dalam
sekejap sudah berada di depan Ratu Teluh Bumi. Ia
sedikit melompat dan menendang dalam satu putaran
tubuh cepat. Wuesss...! Plokk...!
Ratu Teluh Bumi kembali terkena tendangan putar
dari kaki Rakawuni. Wajah yang terkena tendangan itu tersentak ke samping kiri
dan tubuhnya pun terlempar ke
kiri. Ia jatuh tersungkur dalam keadaan berdarah
mulutnya. Rakawuni masih mencecarnya lagi dengan
sebuah pukulan bertenaga dalam dari jarak jauh.
Wussttt..! Segera tangan Ratu Teluh Bumi berkelebat melihat
sinar putih terlepas dari telapak tangan Rakawuni.
Kelebatan sebuah tangan Ratu Teluh Bumi itu
memancarkan cahaya hijau terang, dan membentur
cahaya putih tersebut. Blarrr...!
Gelombang ledakan terjadi dalam jarak dua
jangkauan tangan dari depan Ratu Teluh Bumi.
Akibatnya Ratu Teluh Bumi tersentak lagi dan terguling-guling di tanah,
sementara Rakawuni hanya mundur dua tindak akibat hempasan angin gelombang panas
itu. "Aku harus kabur!" tiba-tiba hati Rakawuni berkata demikian. "Kalau aku tidak
melarikan diri untuk pulang ke Jenggala, maka tak ada orang yang tahu bahwa Ratu
Teluh Bumi atau Ajeng Prawesti akan menyerang istana dan merebut kekuasan sang
Prabu! Aku yakin, Ajeng
Prawesti akan berhasil memporak-porandakan Jenggala dengan ilmu kutuknya yang
cukup tinggi dan berbahaya itu! Maka, selagi ia kesakitan, aku harus cepat-cepat
melarikan diri pulang ke Jenggala...!"
Rakawuni bertindak penuh perhitungan, ia cepat
melesat pergi tinggalkan Ratu Teluh Bumi. Sebenarnya bisa saja ia menyerang
perempuan itu lagi. Tapi
perhitungan dia, jika serangan itu meleset dan Ratu Teluh Bumi melepaskan
kutuknya, maka tak akan ada
orang yang melaporkan keadaan Ajeng Prawesti dan
bahaya yang mengancam Jenggala.
Melihat Rakawuni kabur, Ratu Teluh Bumi segera
tahan napas dan berseru keras-keras,
"Rakawuni...! Ingat, Jenggala akan hancur dalam waktu singkat!"
Rakawuni tidak melayani seruan itu. Ia terus saja
melarikan diri. Tapi Ratu Teluh Bumi masih penasaran walau ia telah lepaskan
kutukannya itu. Ia pun bergegas dan berkelebat mengejar Rakawuni. Ia pun punya
perhitungan bahwa Rakawuni akan menyebar kabar
tentang rencana penyerangannya. Jika rencana
kedatangannya ke Jenggala sudah diketahui penguasa
setempat, maka setidaknya Ratu Teluh Bumi akan
menghadapi banyak perintang. Untuk memperlancar
rencananya, Rakawuni harus dibunuh lebih dulu. Itulah sebabnya ia harus bisa
mengejar dan menangkap
Rakawuni. Hanya beda beberapa saat saja, Siluman Tujuh
Nyawa tiba di tempat itu setelah Ratu Teluh Bumi
mengejar Rakawuni. Siluman Tujuh Nyawa datang dari
semak belukar dan tidak tahu bahwa di bawah pohon itu beberapa saat yang lalu
berdiri orang yang dikejarnya.
Mata dingin itu memandang sekeliling sambil
menggeram dalam hati. Lalu, batinnya pun mengucap
kata, "Ke mana aku harus mencarinya" Ingin rasanya aku segera menemukan dia dan
membeset-beset kulit
tubuhnya! Tapi perempuan itu termasuk licin seperti belut! Hmm...! Sebaiknya
kucari dia ke utara sana, siapa
tahu dia tinggal di perkampungan itu!"
Siluman Tujuh Nyawa mencari berlawanan arah lagi,
ia justru menuju ke perkampungan, tempat di mana ada sebuah kedai besar yang
tadi dipakai makan oleh
Rakawuni dan Prahasto. Namun ketika ia tiba di
perbatasan desa, mendadak langkahnya terhenti dan ia harus melesat ke suatu
gugusan tanah untuk
sembunyikan diri.
Ia melihat seorang pemuda berjalan tinggalkan desa
itu. Pemuda tersebut berpakaian baju coklat tanpa lengan dan celana putih.
Pemuda itu menyandang bumbung
tuak di punggungnya dan rambutnya panjang meriap
tanpa diikat. Siluman Tujuh Nyawa mengenali betul
wajah tampan pemuda itu, yang tak lain adalah si
Pendekar Mabuk, Suto Sinting. Pemuda itulah yang
memburunya selama ini dan membuat Siluman Tujuh
Nyawa bersembunyi di Jurang Petaka.
Agaknya Pendekar Mabuk baru saja mengisi perutnya
di kedai tersebut, ia juga mengisi penuh bumbung
tuaknya yang tak pernah ketinggalan selalu ada di
sebelah kirinya itu. Tetapi ketika Suto melewati gugusan tanah yang membentuk
gundukan bukit kecil itu, tiba-tiba langkahnya terhenti. Ada sesuatu yang tak
beres dirasakan oleh firasatnya, ia mencium darah amis. Bau amis darah itu
sangat samar-samar, dan ia tandai sebagai keadaan yang tak seberapa jauh dari
tokoh sesat yang tangannya berlumur darah orang tak berdosa itu.
"Sepertinya dia ada di sekitar sini?" pikir Suto.
Kemudian ia mengusap keningnya dengan tangan kiri.
Slapp...! Keningnya itu mempunyai tanda merah kecil, pemberian Gusti Ratu
Kartika Wangi dari alam gaib.
Jika diusap memakai tangan kiri, maka Suto bisa melihat kehidupan di alam gaib.
Apa yang tak tampak di mata orang awam akan tampak di mata Suto Sinting.
Tetapi Suto tetap tidak menemukan sosok manusia
sesat yang diburunya. Hanya saja, sebuah cahaya terlihat membias dari balik
gundukan tanah sebesar gajah
bergandeng dua itu. Cahaya itu berwarna merah ber-
pendar-pendar. Suto pandangi cukup lama gundukan
tanah yang bagai menyembunyikan cahaya merah itu.
"Cahaya merah, jelas cahaya kemaksiatan dan
kekuatan ilmu hitam," pikirnya. "Jika tidak dilihat dengan mata gaib, maka
cahaya merah itu tidak akan
kelihatan oleh mata biasa. Jika di balik gundukan tanah itu ada cahaya merah,
berarti di sana ada kekuatan ilmu hitam yang cukup besar. Hmmm...! Apa yang ada
di balik gundukan tanah itu sebaiknya kupaksa keluar saja dia...!" Maka serta-merta
Pendekar Mabuk sentakkan tangannya ke depan dan melesatlah sinar hijau mirip
piringan bergerigi. Sinar hijau itulah yang dinamakan sinar 'Pecah Raga' yang
biasnya jika mengenai lawan, maka tubuh lawan bisa pecah menjadi serpihan-
serpihan kecil. Kali ini sinar hijau itu dihantamkan pada
gundukan tanah tersebut. Tanah cadas itu pun pecah
dalam satu dentuman menggelegar. Blarrr...! Brrasss...!
Gundukan tanah cadas yang begitu besarnya pecah
seketika, serpihan tanahnya menyembur ke segala arah.
Bahkan sampai setinggi pohon kelapa tanah itu
menyembur naik. Dan dari pecahan cadas itu muncul
sekelebat bayangan hitam yang melompat tinggalkan
tempat. Bayangan hitam itu berlari cepat bagaikan angin setan. Tapi Suto pun
segera mengejarnya dengan
kecepatan lebih tinggi lagi, sehingga dalam waktu
singkat, Suto sudah menghadang di depan Siluman
Tujuh Nyawa. Wujud Suto sudah bisa tampak di mata
telanjang, karena ia sudah mengusap kembali keningnya dengan tangan kanan, itu
artinya ia menampakkan diri.
Tujuh langkah sebelum mencapai Suto, orang
berkerudung hitam yang menggenggam pusaka El Maut
itu menghentikan langkahnya. Pendekar Mabuk
memandang tajam wajah dingin itu, dan wajah dingin itu juga menatap lebih dingin
lagi. "Kau tak akan bisa lari lagi, Durmata Sanca!" kata Suto Sinting dengan suara
tenang. Durmala Sanca membalas, "Kau menyerahkan
nyawa, Pendekar Mabuk! Jangan menyesal kalau saat ini adalah saat terakhirmu
menghirup udara di permukaan bumi!"
"Aku tak akan menyesal! Tapi pastikanlah dirimu untuk tidak lari lagi dari
hadapanku, Durmala Sanca!"
"Aku tak akan lari darimu! Ini pertemuan kita yang terakhir! Aku sudah cukup
kuat dan bisa kalahkan luka yang kudapat darimu!"
"Bagus! Aku pun sudah lama menunggu saat-saat
seperti ini, Durmala Sanca!"
Tangan Siluman Tujuh Nyawa mulai meremas
tongkatnya sendiri. Pendekar Mabuk merasa ada yang
meremas jantungnya. Mulai terasa sesak pernapasannya.
Tetapi Suto tahu, gerakan tangan meremas tongkat itu adalah kekuatan tenaga
dalam yang disalurkan lewat
mata dan menembus ke mata Suto, lalu meremas kuat
jantungnya agar pecah.
Suto pun kerahkan tenaga dalamnya, membuat jari
tangannya berkuku terang. Kuku itu menyala merah
membara, lalu Suto sentilkan jari tengah itu dengan satu sentakan pelan. Tess...
Sentakan pelan itu melepaskan kekuatan tenaga dalam yang bernama jurus 'Lintang
Kesumat'. Kekuatan dahsyat dari sentilan itu mengenai punggung tangan Durmala
Sanca. Crasss...!
Punggung tangan yang memegangi tongkat itu pun
robek dan berdarah, seperti habis terbacok ujung clurit.
Maka genggaman tangan itu melemah, bahkan tongkat
tersebut hampir terlepas jika tidak segera berpindah ke tangan yang kiri.
Siluman Tujuh Nyawa segera kibaskan tangan yang
berdarah, ia merasakan sakit, tapi wajahnya tetap kaku dan dingin, tanpa
menampakkan perubahan wajah yang
kesakitan. Luka-luka itu segera dijilatnya. Slappp...!
Dalam waktu kurang dari satu helaan napas, luka di
punggung tangannya itu telah merapat kembali, menjadi kering dan menjadi seperti
semula. Keduanya masih sama-sama berdiri dengan kedua
kaki merenggang. Suto tampak lebih tegap karena
dadanya terbusung kekar. Mereka sama-sama saling
membungkam mulut, tapi sebenarnya saling melepaskan serangan dan saling tangkis.
Tiba-tiba dari mata Siluman Tujuh Nyawa pancarkan
selarik sinar merah seperti lidi yang melesat ke dada Pendekar Mabuk. Tetapi
sebelum sinar itu mengenai
dadanya, Pendekar Mabuk telah lebih dulu
menggerakkan bumbung tuaknya maju ke depan dada.
Akibatnya sinar merah itu menghantam bumbung tuak
dari bambu itu. Trass...! Clappp...!
Sinar itu membelok arah, membentuk sudut kecil dan
membalik ke dada Siluman Tujuh Nyawa. Dengan cepat
Siluman Tujuh Nyawa menghadang sinar yang
membalik itu dengan tongkatnya. Gagang tongkat itu
menjadi sasaran ujung sinar yang masih seperti lidi.
Clapp...! Sinar itu juga membelok membentuk sudut
kecil dan mengarah ke perut Pendekar Mabuk. Melihat gerakan sinar yang tidak
bisa ditangkis lagi dengan bumbung tuak, karena bumbung tuak sedang menahan
sinar pertama, maka Pendekar Mabuk cepat-cepat
sentakkan tangannya ke perut. Sinar itu ditangkis dengan jari kuku tengahnya
yang telah menyala hijau. Sinar sebesar lidi itu membentur kuku jari yang
menyala hijau lalu membalik membentuk sudut sedikit lebar. Clappp...!
Kini keadaan sinar itu seperti rentangan benang ke
sana-sini membentuk huruf 'M' dalam keadaan miring.
Dan pembalikan sinar dari jari tangan Suto itu tidak sempat ditangkis lagi oleh
Siluman Tujuh Nyawa. Sinar itu tepat mengenai pahanya. Crasss...!
"Ahg...!" Siluman Tujuh Nyawa terpekik. Sinar dari matanya padam seketika.
Dengan begitu, padam pula
semua sinar yang bersimpang siur tadi. Tapi keadaan
paha Siluman Tujuh Nyawa cukup parah. Luka pada
paha itu tembus ke belakang dihantam sinar merahnya sendiri. Paha itu berlubang
dan mengucurkan darah.
Lubang tembusan sinar merah itu sebesar tutup botol.
Siluman Tujuh Nyawa menjadi samar-samar biru
wajahnya. Matanya makin mendelik tak bisa berkedip.
Pendekar Mabuk segera lepaskan pukulan jurus
'Manggala'-nya. Tapi sebelum hal itu terjadi, zlappp...!
Tubuh Siluman Tujuh Nyawa menghilang, ia lari
melalui sisi alam gaib. Suto Sinting penasaran dan
segera menghilang pula dengan mengusapkan tangannya ke kening. Zlapp...! Di alam
gaib itu ia mengejar
Siluman Tujuh Nyawa yang jelas sudah terluka cukup
parah.

Pendekar Mabuk 018 Manusia Penyebar Kutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

* * * 7 SATU keunggulan yang dimiliki Siluman Tujuh
Nyawa adalah pandai melarikan diri dan bersembunyi.
Pendekar Mabuk mengakui keunggulan itu. Karena
setiap kali ia mengejar Siluman Tujuh Nyawa, ia selalu kehilangan jejak orang
sesat itu. Padahal Suto sudah mengejarnya sampai ke alam gaib, tapi masih saja
Siluman Tujuh Nyawa berhasil loloskan diri dari
pengejaran tersebut.
"Sial! Lolos lagi dial" geram Pendekar Mabuk, yang segera meneguk tuaknya untuk
mengobati kekecewaan
hatinya itu. Tiga teguk tuak ditelan Suto Sinting. Kepalanya yang mendongak untuk menerima
tuangan air tuak itu kini
kembali tegak. Dan ia sangat terkejut melihat tiba-tiba ada seorang perempuan
cantik berdiri di depannya dalam jarak delapan langkah. Suto kerutkan dahi
sebentar, mengingat-ingat seraut wajah cantik yang sepertinya pernah
dijumpainya. Kemudian ingatannya kembali
melayang pada peristiwa di Pulau Padang Peluh (Baca serial Pendekar Mabuk, dalam
episode: "Cermin
Pemburu Nyawa"). Dan Suto pun segera ingat, bahwa perempuan itu adalah Dayang
Kesumat, tokoh sesat dari Pulau Hantu yang juga menjadi lawan bagi bibi gurunya,
yaitu Bidadari Jalang.
Pendekar Mabuk tahu, bahwa Dayang Kesumat
seperti orang yang baru lahir kembali ke dunia. Dulu, perempuan cantik itu
adalah seorang nenek peot,
bungkuk, dan bersenjatakan tongkat berkepala tengkorak kambing. Suto pernah adu
kesaktian dengan Dayang
Kesumat ketika perempuan itu menjadi nenek kempot,
guru dari Peri Malam. (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Darah Asmara Gila").
Ketika itu, Dayang Kesumat memakai nama Mawar
Hitam. Dan ia selalu saja menyelamatkan orang berilmu tinggi yang nyaris mati.
Ia bawa ke Pulau Hantu, dan di sana rupanya ia melakukan sesuatu yang sangat
luar biasa. Mawar Hitam berhasil menyerap semua ilmu
orang-orang sakti itu dengan menggunakan Ilmu 'Serap Kawekas', sehingga seluruh
kesaktian orang-orang yang ditolongnya dari suatu pertarungan itu menjadi
miliknya. Dan Mawar Hitam pun berhasil mempelajari ilmu 'Rias Renggana', yang bisa
menyedot kecantikan beberapa
orang, sehingga dirinya menjadi muda dan cantik.
Dalam keadaan diri sudah berubah cantik dan muda
itulah, si Mawar Hitam pun mengubah namanya menjadi Dayang Kesumat.
Satu hal yang membuat Suto selalu ingat dan bisa
mengetahui bahwa perempuan cantik itu adalah Mawar
Hitam, yaitu melalui percakapannya. Dayang Kesumat
tidak bisa bilang 'R', dan hal itu terjadi sejak Dayang Kesumat masih menjadi
sosok si Mawar Hitam. Dialah
satu-satunya tokoh sakti yang cadel.
Kali ini Pendekar Mabuk merasa heran, mengapa
Dayang Kesumat menemui dirinya seperti suatu
pertemuan yang disengaja. Karena itu, setelah
menghampiri perempuan cantik itu, Suto pun segera
ajukan tanya, "Sepertinya kau sengaja menemuiku, Dayang
Kesumat" Ada apa?"
"Aku tidak sengaja menemuimu. Tapi begitu kulihat kau ada di sini, aku jadi
punya gagasan lain, sehingga aku pun menemuimu, Suto!"
"Untuk apa?"
"Aku kehilangan pusaka Gelang Mata Setan,
sehingga aku tidak bisa melihat di mana gulumu belada."
"O, kau ingin temui guruku si Gila Tuak?"
"Bukan si Gila Tuak! Aku ingin temui Bidadali Jalang!"
"O, kau ingin ketemu Bibi Guru Bidadari Jalang?"
"Ya! Tolong kasih tahu di mana dia belsinggah
asingkan dili?"
Suto tidak mau sembarangan memberikan tempat
tinggal Bidadari Jalang. Bagaimanapun juga, Bidadari Jalang adalah guru Suto
juga (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa Pusar"). Sekalipun dulu Bidadari Jalang bekas
tokoh sesat, tapi sejak dia angkat murid Suto Sinting bersama-sama si Gila Tuak
yang menjadi saudara seperguruan itu, Bidadari Jalang mulai insaf dan tak mau
leburkan diri dalam kesesatan lagi. Ia ingin menjadi seorang pertapa untuk
menebus dosa-dosanya yang selama ini dilakukan dengan sangat sengaja.
Si Gila Tuak, saudara seperguruan Bidadari Jalang
itu, selalu membimbing dan mengawasi sikap Bidadari Jalang. Si Gila Tuak sengaja
kasih kesibukan Bidadari Jalang untuk pelajari ilmu 'Kasampurnan Urip', sehingga
Bidadari Jalang benar-benar meninggalkan segala tindak kemaksiatannya. Tekadnya
Nurseta Satria Karang Tirta 7 Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo Mas Rara 2
^