Pencarian

Manusia Seribu Wajah 1

Pendekar Mabuk 010 Manusia Seribu Wajah Bagian 1


1 Serial : Pendekar Mabuk
Judul : 10. Manusia Seribu Wajah
Pengarang : "
Penerbit : "
E-book : paulustjing
1 BADAI Kelabu segera menghentikan langkah
karena ia mendengar suara napas orang di
belakangnya dalam jarak antara dua belas langkah.
Badai Kelabu cepat palingkan wajah ke belakang.
Ternyata di sana tak ada satu orang pun. Hatinya pun mulai curiga. Tapi Badai
Kelabu kembali melangkahkan kaki dengan tenang.
"Aku merasakan gerakannya bukan gerakan Suto
atau Dewa Racun!" ucap Badai Kelabu dalam hati.
"Pasti orang lain yang punya maksud tak beres padaku. Hmmm... sebaiknya
kudiamkan saja.
Kupancing dia supaya keluar dari
persembunyiannya!"
Badai Kelabu kembali langkahkan kaki dengan
tenang, dan ia mendengar suara napas di
belakangnya mulai mendekat kembali. Kejap berikut
ia buru-buru palingkan wajah ke belakang. Suara
napas orang itu lenyap bersama terhentinya langkah Badai Kelabu. Mata perempuan
berusia tiga puluh
tahunan itu memandang sekeliling dengan jeli. Tapi tak terlihat wujud orang yang
mengikutinya. Sekali ini Badai Kelabu langkahkan kaki tanpa
berpaling sedikit pun. la biarkan suara napas yang mengikutinya dari belakang.
Kejap lain, Badai Kelabu tersentak dan terhenti. Tubuhnya melengkung ke
depan sambil pegang perutnya, ia perdengarkan
suara erang lirih sebagai tanda kesakitan. Tubuhpun oleng dan jatuh terkapar di
tanah tak berumput.
Badai Kelabu tergolek di sana. Pakaiannya yang
hijau bertepian merah satin dibiarkan kotor, toh
memang sudah rusak akibat banyak luka yang
diderita waktu bertarung dengan Tapak Baja dan
Hantu Laut di Pulau Kidung (Baca serial Pendekar
Mabuk di dalam episode: "Pusaka Tombak Maut").
Tubuh Badai Kelabu mengejang sebentar, lalu
tersentak dan melemas tak berkutik lagi.
Kejadian itu membuat sepasang mata terkesiap
dari suatu tempat yang tersembunyi. Cukup lama
sepasang mata itu menunggu gerakan Badai Kelabu,
namun yang ditunggu tak juga bergerak. Sepasang
mata itu memendam kuat-kuat rasa cemasnya.
Namun akhirnya tak mampu lagi sabar menunggu.
Sepasang mata itu cepat sentakkan kakinya dan
melesat keluar dari persembunyiannya.
Orang tersebut mengenakan pakaian kuning
sebatas dadanya yang sekal. Badannya terlihat elok dalam busana ketat seperti
itu. Pinggangnya tampak ramping karena mengenakan celana ketat warna
kuning pula. Celana itu hanya sebatas betis. Bentuk betisnya indah dan berkulit
semulus kulit bayi.
Pakaiannya itu dirangkap pakaian jubah warna merah jambu yang tak terkancingkan
bagian depannya.
Pakaian jubah merah jambu itu dari bahan sutera
tipis hingga menampakkan bentuk pantatnya yang
sekal menggiurkan setiap lelaki.
Orang bersenjata trisula kembar di pinggang
kanan-kirinya itu punya wajah cantik jelita. Bertahi lalat kecil di atas bibir
kirinya, bangir hidungnya, memiliki bola mata indah, lentik pula bulu matanya.
Rambutnya yang panjang, hitam bersih, dan lembut
tergerai selewat punggung, dikat dengan kain warna biru muda. Di atas telinga
kirinya tersemat sekuntum bunga kamboja warna putih kekuning-kuningan.
Menambah manis paras wajahnya.
Jalannya melenggok saat ia mendekati Badai
Kelabu yang terkapar di jalanan. Tapi kejap berikut orang itu tersentak kaget
dan terlonjak ke belakang ketika Badai Kelabu tiba-tiba membentak.
"Hiaaat...!" sambil kakinya menyambar ke samping, dan tubuh pun berputar, tangan
menyentak di tanah, badan terangkat dan kini ia berdiri tegap di depan orang
berjubah merah jambu itu.
"Babi, monyet, kodok, kuda, kambing...!" orang berjubah merah jambu itu memaki
dengan menyebutkan banyak binatang karena rasa kagetnya
tadi. Tangannya melambai-lambai gemulai setiap ia
bicara, bibirnya mencong sana-sini dengan genitnya.
la menyambung kata dengan suaranya yang besar
bernada perempuan manja.
"Dasar kura-kura kamu, ah! Kupikir kamu modar, tak tahunya hanya pura-pura saja!
Sial!" ia melengos dengan mulut cemberut manja.
"Apa maksudmu mengikutiku, Tanjung Bagus"!"
sentak Badai Kelabu dengan satu tangan bertolak
pinggang. "Pasti ada tujuannya!"
"Sebutkan tujuanmu!"
"Biasalah... mau paksa kamu serahkan peta itu!"
"Dari dulu kau merayuku untuk mendapatkan peta itu, padahal sudah kubilang bahwa
aku tak memiliki peta tersebut!"
"Mana mungkin... mana mungkin...!" bibirnya maju dan dicibir-cibirkan dengan
genitnya. "Kamu sudah pernah ke sana, pasti kamu simpan peta itu! Mana
mungkin kamu akan buang itu peta!"
Sambil berbicara begitu, Tanjung Bagus
melenggok-lenggok dan tangannya memainkan tepian
jubah merah jambunya. Badai Kelabu mendesis muak
dan berkata. "Kau memang ingin cari perkara! Sekarang apa
maumu kalau kubilang aku tidak mempunyai peta
Itu"!"
"Kita bertarung! Mungkin kalau nyawamu sudah di ubun-ubun baru kau mau mengaku
dan menyerahkan
peta itu!"
"Tanjung Bagus, kalau itu maumu, kulayani
tantanganmu!"
Di balik semak, Dewa Racun dan Pendekar Mabuk
saling berbisik dengan suara sangat pelan.
"Cantik sekali orang berjubah merah jambu itu,"
bisik Suto. "Dia mirip seorang bidadari."
"Tap... tapi... sepertinya dia punya persoalan dengan Badai Kelabu. Kita lihat
saja urusan mereka sampai di man... man... mana!"
"Baik. Kita lihat saja dari sini sambil menjagai Badai Kelabu!"
Percakapan yang kasak-kusuk tak membuat kedua
orang yang saling berhadapan itu terganggu. Badai
Kelabu telah siap menerima serangan dari Tanjung
Bagus. Kedua kakinya merenggang kokoh, yang
kanan ditarik sedikit ke belakang dan merendah
keduanya. Tapi Tanjung Bagus masih melenggak-
lenggokkan badan sambil memegangi tepian
jubahnya. "Tak sayangkah kamu dengan nyawamu itu, Badai Kelabu" Daripada kamu korbankan
nyawa buat sembunyikan peta itu, lebih baik kau serahkan
padaku dan nyawamu tetap utuh, Badai Kelabu!"
"Peta itu ada di nyawaku!" jawab Badai Kelabu.
"Kalau kau mau ambil peta itu, ambil pula nyawaku!"
"Aduuuh, sayang sekali aku harus bertindak kasar padamu, Badai Kelabu!
Bersiaplah untuk mati,
Sayang...!" sambil Tanjung Bagus melenggokkan badan dengan gemulai, mirip orang
mau menari. Tangannya diangkat merentang ke kiri-kanan, lalu
tangan itu meliuk pula ke arah depan dengan satu
kaki diangkat sebatas lutut, tangan yang kanan
ditarik ke belakang, yang kiri maju ke depan,
tubuhnya sedikit meliuk ke belakang, wajahnya agak mendongak, tapi mata tetap
tertuju ke depan.
Di balik semak, Dewa Racun berbisik kepada Suto,
"Men... men... menurutmu, dia mau bertarung atau mau menari?"
"Memang begitulah jurus yang dimilikinya,
barangkali. Mirip orang menari. Lemah gemulai, tapi seberapa besar tinggi
ilmunya, kita masih belum bisa pastikan!"
"Dia desak Bad... Bad... Badai Kelabu untuk minta peta. Menurutmu pet... pet...
pet...!" "Pete?"
"Peta! Menurutmu peta apa yang diminta" Apakah peta harta karun atau peta
penyimpanan harta pus...
pus... pus...."
"Pus meong"!"
"Pusaka!" sentak Dewa Racun dalam suara bisik yang jengkel.
Suto tersenyum menahan tawa dan ucapkan kata
pelan, "Kita belum jelas peta apa yang di nginkan orang itu. Lihat saja, nanti
kita juga akan tahu sendiri, Dewa Racun!"
Orang kerdil itu diam, tak lagi ajukan tanya. Mata orang kerdil terlempar
pandang ke arah Badai Kelabu
yang sedang bergerak menunggu kesempatan
menyerang lawannya.
"Majulah, Setan! Tak segan-segan kuremukkan
batok kepalamu dengan kedua tanganku ini!"
"Hmm...!" Tanjung Bagus melenggokkan kepala sambil mencibir genit dengan tangan
masih bergerak-gerak seperti orang menari. Katanya lagi.
"Jangan hanya bisa berkoar besar saja kau, Setan sawah! Tunjukkan kebolehanmu!
Kulawan jurusmu
dengan pukulan 'Daun Melambai'!"
Tanjung Bagus meliukkan badan dengan sangat
lentur, hingga dadanya membungkuk hampir
menyentuh tanah, kedua kakinya merentang lebar-
lebar, kedua tangan dan jemarinya meliuk ke sana-
sini sebagai upaya mengumpulkan tenaga dalamnya.
Tiba-tiba Badai Kelabu setengah membungkuk
lepaskan pukulan 'Cakar Kucing' dengan kaki rapat
dan berjalan cepat mendekati lawan. Kedua
tangannya membentuk cakar kucing yang mencakar
bagian di depannya secaramberganti-ganti. Wut wut
wut wut...! Plak plak plak plak...!
Blakkk...! Pukulan Badai Kelabu yang menyerupai cakaran
kucing beruntun itu selalu bisa ditangkis oleh gerakan cepat tangan Tanjung
Bagus. Kemudian, keduanya
sama-sama memperoleh kesempatan untuk
menghantamkan telapak tangannya. Tanjung Bagus
berhasil menghentakkan telapak tangannya di bawah
pundak kanan lawan, dan Badai Kelabu berhasil
menghantam rahang Tanjung Bagus dengan telak
sekali. Keduanya sama-sama terpental jatuh di tanah.
Tapi keduanya sama-sama cepat bangkitkan diri, dan
saling berdiri tegak siap menyerang kembali.
"Hmm...! Aku tahu dada kananmu memar!" kata Tanjung Bagus. "Aku bisa lihat warna
biru di dada kananmu, walau tertutup kain bajumu!"
"Hmm...!" Badai Kelabu pun sunggingkan senyum sinis. "Aku juga tahu gigi
rahangmu yang belakang patah! Keluarkanlah dari mulutmu, tak perlu kau
simpan, nanti tertelan!"
"Puih...!" Tanjung Bagus menggeram jengkel setelah meludah, karena memang gigi
gerahamnya patah, dan bagian yang patah itu baru saja
diludahkan keluar. Sementara itu, Badai Kelabu
menggerakkan pundak kanannya, karena memang
pukulan Tanjung Bagus membekas biru di dada
kanannya dan terasa sakit bagai disengat
kalajengking. Gerakan pundak itu sebagai gerakan
penahan rasa sakit di dada kanan.
Tiba-tiba keduanya sama-sama sentakkan kaki
dan melayang di udara. Tanjung Bagus melebarkan
kedua tangannya dengan telapak terbuka ke depan,
Badai Kelabu meletakkan telapak tangannya yang
kanan ke bawah ketiak dengan jari mengarah ke
bawah, sedangkan tangan kirinya maju ke depan siap menangkis pukulan lawan.
Tubuh mereka saling berbenturan di udara.
Tangan kiri Badai Kelabu mengibaskan pukulan
tangan kanan Tanjung Bagus, tapi tangan kiri Tanjung Bagus berhasil menghantam
dada kanan Badai
Kelabu, dan tangan kanan Badai Kelabu masuk ke
tengah dada Tanjung Bagus.
Buhgg...! Behgg...!
Tubuh mereka saling dorong, sama-sama terpental
ke belakang. Lalu keduanya sama-sama
mendaratkan kaki di tanah dengan kaki merendah,
dan badan sama-sama sedikit melengkung ke depan.
Badai Kelabu tampak memucat, demikian pula
Tanjung Bagus. Keduanya sama-sama tak bicara
dalam tiga helaan napas. Tapi mata mereka saling
beradu pandang tanpa berkedip. Kejap berikut
terlihat ada darah keluar dari bibir Tanjung Bagus.
Meleleh melalui sudut bibir. Sesaat kemudian keluar juga darah dari mulut Badai
Kelabu, mengalir lewat pertengahan mulutnya.
"Cuih...!" Badai Kelabu meludahkan darah ke samping.
"Cuih...!" Tanjung Bagus pun meludahkan darah ke depan.
Badai Kelabu menyapu bibirnya dengan lengan
baju, Tanjung Bagus menyapu bibirnya dengan kain
jubah. Beberapa saat setelah mereka sama-sama
diam mematung dan saling mengumpulkan tenaga
baru, Tanjung Bagus cepat serukan kata,
"Menyerahlah, Badai Kelabu! Serahkan peta itu padaku sebelum kuputuskan untuk
mengakhiri riwayat hidupmu!"
"Jangan lagi bicara soal peta! Sudah kukatakan, aku tak menyimpan peta itu! Tapi
kalau kau berkeras hati untuk mencabut nyawaku, mari kita tentukan
siapa yang lebih dulu tercabut nyawanya!"
"Manusia keras kepala!" geram Tanjung Bagus, kemudian kedua tangannya cepat
bergerak dari samping kanan-kiri ke depan dan menyentak kuat.
Wuuttt...! Pukulan tenaga dalam terlepas dari kedua tangan
yang saling berhimpit pergelangannya itu. Pukulan
tenaga dalam itu berwarna kuning dan berasap tipis.
Sasarannya tubuh Badai Kelabu.
Maka dengan cepat Badai Kelabu sentakkan kaki,
tubuhnya melayang ke atas melewati batas gerakan


Pendekar Mabuk 010 Manusia Seribu Wajah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sinar kuning tingginya. Dari atas Badai Kelabu
sentakkan dua jarinya dan meluncurlah sinar merah
ke arah Tanjung Bagus. Wuusss...!
Tanjung Bagus hanya miringkan badan ke samping
dalam sikap kedua kaki merapat, dan sinar merah
lewat di depannya, menghantam gugusan batu di
kejauhan sana. Blarr...! Gugusan batu itu pecah.
Sementara sinar kuning dari Tanjung Bagus
menghantam sebatang pohon berukuran satu
pelukan manusia dewasa. Pohon itu tumbang dalam
keadaan patah tak beraturan. Brukkk...!
Tetapi di luar dugaan, telapak kiri Badai Kelabu
bergerak cepat pada saat Tanjung Bagus berkelit ke samping dengan merapatkan
kaki tadi. Sebuah
pukulan tenaga dalam tanpa sinar melesat dan
menghantam pinggang Tanjung Bagus. Buhggg...!
Tubuh Tanjung Bagus tersentak naik dan oleng ke
samping, lalu jatuh berguling-guling bagai mendapat dorongan angin besar. Sampai
di bawah sebuah
pohon, Tanjung Bagus berdiri dengan satu lutut dan ia memuntahkan darah segar
dari mulutnya. "Carilah peta itu ke neraka, Banci kurap! Hiaaat...!"
Badai Kelabu kembali melepaskan tenaga
dalamnya melalui dua jari yang disentakkan ke depan dalam posisi tangan tengadah
ke atas. Dari jari itu kembali keluar sinar merah bagaikan lidi panjang.
Zraaaat...! Tanjung Bagus dalam keadaan lemah dan tak bisa
bergerak cepat. Bahkan ketika ia mau bergerak
menghindar, lututnya terpeleset dan ia jatuh
bertumpu tangan di tanah. Saat itu, sinar merah telah mendekat dan sangat dekat.
Tapi tiba-tiba, wesss...! Sesosok bayangan
berjubah hitam melesat dan mengangkat tubuh
Tanjung Bagus. Sinar merah itu akhirnya mengenai
batang pohon, dan pohon itu pun pecah. Blarrr...!
Sedangkan Tanjung Bagus tahu-tahu sudah berada di
gugusan tanah yang lebih tinggi letaknya dari tempat Badai Kelabu berdiri.
Seorang nenek keriput sudah berdiri di samping
Tanjung Bagus. Orang berusia sekitar enam puluh
tahun itu mengenakan jubah hitam dengan pakaian
dalam dan celana berwarna putih kusam. Rambut
putihnya digulung kecil di tengah kepala, sisanya
dibiarkan terurai sebatas punggung. la menggenggam tongkat berujung lengkung
mirip tanda tanya. Tongkat itu berwarna hitam yang ukurannya kurang dari satu
genggaman tangan. Mungkin hanya separo
genggaman. Badai Kelabu mengenali nenek kurus itu,
karenanya dia segera menyapa dengan suara
lantang. "Kau ingin membela muridmu juga, Nini Pasung
Jagat"!"
"Seorang Guru sudah selayaknya menyelamatkan
muridnya!" kata Nini Pasung Jagat dengan suara tuanya yang kecil melengking itu.
"Jika kau ingin selamatkan muridmu, cepatlah
bawa pulang si Banci rapuh itu!"
"Hi hi hi hi...! Membawa pulang adalah hal yang mudah, Badai Kelabu. Tapi
kulihat dia belum
dapatkan peta itu darimu!"
"O, jadi kau yang suruh dia merebut peta dariku?"
"Aku membutuhkan peta sebagai penunjuk jalan
menuju gua itu, di mana terdapat Kolam Sabda Dewa!
Hi hihi...! Kurasa bukan hanya aku yang
membutuhkan Kolam Sabda Dewa, tapi murid
banciku ini juga membutuhkannya, untuk mengubah
nasibnya yang enggan menjadi laki-laki. Dia ingin
menjadi wanita sejati! Hi hi hi...!"
Kasak-kusuk di balik semak kembali terdengar,
yaitu bisikan Pendekar Mabuk dengan Dewa Racun.
"Rupanya perempuan cantik itu banci"! Dia
seorang lelaki"!"
"Kkaau... kau... tertipu, Suto! Kita berdua tertipu.
He he...!"
"Ssst...!" Pendekar Mabuk mengingatkan supaya tawa Dewa Racun diredam agar suara
mereka tidak terdengar. "Apakah kau pernah dengar Kolam Sabda Dewa,
Dewa Racun?"
"Belum pernah! Ak... ak... aku tak tahu apa
kehebatan Kolam Sabda Dewa itu!"
"Pasti kolam yang sangat penting dan punya nilai tinggi. Jika tidak, tak mungkin
Tanjung Bagus dan
gurunya mempertaruhkan nyawa untuk merebut peta
dari tangan Badai Kelabu!"
"Dan pas... pas... pas...!
"Pasar"!"
"Pasti! Dan pasti Badai Kelabu mengetahui apa kehebatan kolam tersebut, Suto!
Jadi, nanti kamu
tanyakan sendiri saja kepadanya!"
"Ya. Tapi aku tak sabar menunggu pertarungan
mereka yang tiada habisnya. Aku harus cepat
menemui gurunya Badai Kelabu untuk melakukan
pengobatan, lalu kita kembali ke Pulau Beliung
sebelum Hantu Laut mengamuk di sana dengan
Pusaka Tombak Maut di tangannya! Aku harus
membantu Badai Kelabu agar cepat selesai
urusannya...."
"Ssst...! Jang... jang... jang...."
"Jangkrik"!"
"Jangan! Maksudku... jang... jangan dulu bertindak.
Kita nanti jadi punya urusan dengan Nini Pasung
Jagat itu! Biarkan Badai Kelabu menyelesaikan
urusannya sendiri. Kalau memang dia terdesak,
bolehlah kita kasih ban... ban... ban...."
"Bantai?"
"Bantuan!" sentak Dewan Racun dengan gemas dan bersuara lirih.
"Menurutku Nini Pasung Jagat itu tidak seimbang jika melawan Badai Kelabu.
Perempuan tua itu
berilmu tinggi. Dari gerakannya menyambut Tanjung
Bagus saja sudah terlihat dia berilmu tinggi. Badai Kelabu bisa mati di
tangannya. Aku harus segera
menolongnya!"
"Ya. Tapi lakukanlah secara sem... sem...
"Semut?"
"Sembunyi-sembunyi!" geram Dewa Racun dengan kegagapannya sendiri. "Tap...
tapi... lihatlah, di atas pohon sana ada seseorang yang mengintai mereka!"
"O, ya! Aku melihatnya! Tapi... perempuan
berpakaian merah di atas pohon itu memihak siapa"
Badai Kelabu atau Tanjung Bagus?"
* * * 2 NlNI Pasung Jagat segera turun dari tempat yang
tinggi itu. Gerakan turunnya bersalto satu kali.
Jubahnya berkelebat bagaikan hembusan angin
gelap. Ketika ia mendaratkan kakinya di tanah,
jubahnya masih bergerak melambai turun bagaikan
sayap seekor garuda. la berdiri dengan tegak, sambil tetap berpegang pada
tongkat melengkung setinggi
telinganya. Badai Kelabu pasang kuda-kuda dengan penuh
waspada. Tangan kanannya sudah terangkat di atas
kepala, telapak tangannya terbuka menghadap ke
depan, tangan kirinya sedikit terlipat di depan dada, sebagai persiapan
menangkis serangan mendadak
dari depan. "Hi hi hi hi...," Nini Pasung Jagat tertawakan gaya siaga dari lawannya. "Untuk
apa kamu bersiap
menggunakan kuda-kuda seperti itu, Badai Kelabu"
Apakah kamu pikir kamu bisa mengalahkan diriku"
Apakah kamu pikir kamu bisa mematahkan
seranganku?"
"Majulah kalau kau ingin mencoba ilmuku, Nini Pasung Jagat!"
"Hi hi hi hi...! Gurumu saja tunduk di depanku, apalagi kamu yang masih kemarin
sore, Badai Kelabu!" "Omong kosong! Guruku tak pernah berhadapan
denganmu! Kau selalu lari terbirit-birit jika melihat guruku!" ketus Badai
Kelabu. "Kalau perlu, panggillah gurumu! Suruh dia
menghadapiku sekarang juga! Kutunggu dia di sini!"
"Cukup aku yang menghadapimu, Nenek peot!"
Nini Pasung Jagat menggeram, menahan amarah
dikatakan sebagai nenek peot. Tangannya
menggenggam tongkat dengan kuat-kuat. Giginya
yang sebagian ompong bagian depan itu
menggeletak. Tiba-tiba rumput di bawah telapak kakinya itu
bergerak-gerak. Warnanya berubah jadi kuning
kecoklatan, lalu coklat tua dan akhirnya kering dalam keadaan hitam. Asap
mengepul dari telapak kaki Nini Pasung Jagat, itu menandakan kemarahannya
terpendam kuat-kuat hingga tenaga dalamnya
tersalur lewat kaki dan membakar rumput yang
diinjaknya. Jika tenaga dalam itu disentakkan ke
depan untuk memukul Badai Kelabu, belum tentu
Badai Kelabu bisa mengatasinya. Kelihatannya
tenaga dalam itu muncul dari ilmu yang cukup tinggi.
Badai Kelabu sendiri sempat merasa gentar sedikit, tapi cepat-cepat ia buang
kegentaran hatinya.
"Badai Kelabu!" geram Nini Pasung Jagat. "Aku merasa sayang jika harus melukai
tubuhmu. Kau perempuan yang cantik. Jadi, alangkah sayangnya
jika kecantikan itu harus kulukai. Ada baiknya kita berdamai saja. Kutukar peta
Kolam Sabda Dewa itu
dengan sekotak perhiasan masa mudaku dulu!"
"Aku tidak butuh perhiasan lagi! Aku sudah cukup banyak mempunyai perhiasan,
Nini!" "Bagaimana jika kutukar peta itu dengan jurus
'Rembulan Berdarah'"! Jurus ini belum pernah
kuturunkan kepada murid siapa pun juga, karena
merupakan jurus andalan yang paling berbahaya! Kau tak akan rugi menukar peta
Kolam Sabda Dewa
dengan jurus 'Rembulan Berdarah'!"
"Aku tidak butuh jurus murahanmu itu, Nenek
Peot!" "Laknat kau!" sentak Nini Pasung Jagat, hilang sudah kesabarannya. Maka, dengan
cepat ia sentakkan kakinya, dan tubuhnya melayang terbang
ke arah Badai Kelabu. Tongkatnya dikibaskan bagai
ingin menggaet leher lawannya. Tapi Badai Kelabu
sudah siap menghindar atau menangkis. Karena ia
tahu tongkat itu bukan sembarang tongkat, maka
Badai Kelabu pun segera sentakkan kaki dan
melompat ke arah samping.
Wuusss...! Tongkat itu menebas tempat kosong.
Tapi angin tebasannya cukup besar, hingga tubuh
Badai Kelabu tersentak mundur tiga langkah dari
tempatnya berdiri.
Nini Pasung Jagat bergerak memutar seperti orang
mabuk. Cepat sekali gerakan tubuhnya memutar,
hingga jubahnya mengembang mekar mirip bunga
matahari. Tongkatnya direntangkan siap menyabet
apa saja yang didekatinya.
Badai Kelabu cemas akan dirinya yang terdesak di
antara dua pohon. Maka dengan cepat, Badai Kelabu
pijakkan kakinya di dua pohon yang bersebelahan itu.
Dengan berpijak pada pohon, ia bergerak naik
dengan cepat bersama kedua kaki tetap masing-
masing berpijak pada pohon yang berbeda. Sedikit
tinggi dari letak semula, Badai Kelabu cepat
sentakkan kedua kaki dan tubuhnya melayang
terbang di udara dengan berjungkir balik dua kali, Wutt wuttt...!
Pada saat itu tongkat Nini Pasung Jagat
menyambar dua batang pohon pinus yang tadi
digunakan panjatan kaki Badai Kelabu. Begitu
tongkat itu mengenai batang pohon, terdengarlah
suara ledakan yang cukup keras dua kali.
Blarrr... blarrr...!
Bukan hanya Badai Kelabu yang tersentak kaget,
tapi Tanjung Bagus yang masih duduk dengan
bersimpuh itu pun terkejut sehingga latah bancinya keluar.
"Eh, Ala... kuda, kucing, babi, kambing, marmut...!
Aduh, kaget aku! Jantungku mau copot rasanya!"
suaranya melenggok manja. la pun terbatuk-batuk
dan mengeluarkan darah lagi dari mulutnya. Darah itu adalah darah akibat luka
pukulan Badai Kelabu tadi.
Badai Kelabu benar-benar tak diberi kesempatan
menyerang oleh Nini Pasung Jagat. Setelah Badai
Kelabu melompat dan berguling untuk menghindari
rubuhnya dua pohon itu, Nini Pasung Jagat cepat
melancarkan pukulan jarak jauhnya dengan
menggunakan telapak tangan kirinya yang berwarna
hitam separo itu. Wusss...!
"Modar kau, Bocah laknat!" teriak Nini Pasung Jagat dengan murka.
Pukulan itu berubah-ubah wujudnya. Kadang
seperti gulungan asap hitam, kadang menyala merah
seperti bara. Sasarannya adalah kepala Badai
Kelabu. Gerakannya begitu cepat, bahkan mengikuti
ke mana pun perginya Badai Kelabu.
Perempuan muda itu kewalahan, berjumpalitan ke
sana-sini, tapi ia masih tetap dikejar oleh gumpalan asap yang berubah-ubah
bentuk itu. Kadang Badai
Kelabu menghindari dengan sentakan kaki yang
membuat tubuhnya melenting di udara. Tapi
gumpalan asap itu ikut melesat naik memburu tubuh
Badai Kelabu. "Hi hi hi...! Tak akan bisa kau menghindari jurus
'Rembulan Berdarah', Bocah laknat! Itulah jurus yang akan kuturunkan padamu,
tapi kamu menyepelekannya! Dan, ini satu lagi...! Hiaaat...!"
Wuussss....! Kini dua gulungan asap hitam yang sering berubah


Pendekar Mabuk 010 Manusia Seribu Wajah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi bara api mengejar Badai Kelabu. Gerakannya begitu cepat, sehingga Badai
Kelabu merunduk,
menggeliat ke samping, melompat dan bergerak apa
saja untuk menghindari serangan dua gulungan asap
tersebut. Bahkan sampai Badai Kelabu berguling-
guling di tanah, kedua gulungan asap itu masih terus mengejarnya dari dua arah.
Kejap berikutnya Badai kelabu sentakkan kaki dan
melesat tinggi. Tapi dari arah bawah ia dikejar
gulungan asap pertama, dari arah belakang ia
dihampiri gulungan bara kedua. Badai Kelabu benar-
benar dalam bahaya. la sentakkan tangannya,
mengirimkan pukulan bertenaga dalam yang
memancarkan warna biru. Namun warna sinar biru itu padam seketika begitu
membentur gulungan asap.
Dan ia masih diburu oleh dua gulungan asap sebesar kepala manusia dewasa.
Blarrr...! Blarrr...!
Tiba-tiba dua gulungan asap itu pecah dan
menimbulkan ledakan yang mengguncang bumi.
Pohon-pohon bergetar, daunnya berguguran. Tubuh
Badai Kelabu pun terhempas bagai dilemparkan oleh
tangan raksasa. Hampir saja ia membentur gugusan
batu jika tidak segera berkelit lalu berguling di
rerumputan. Di atas tanah tinggi, Tanjung Bagus tersentak.
Duduknya sampai terlonjak ke atas dan ia memekik
latah. "Kambing, kucing, kodok, jangkrik, babi ngepet...!
Suara apa itu tadi, ya..."!" ia menjadi tegang dan ketakutan. Buru-buru ia
menelungkupkan diri dengan kepala sedikit tersumbul mencari tahu penyebab
suara ledakan yang menggelegar itu.
Sedangkan Nini Pasung Jagat terkesiap beberapa
saat lamanya, ia terbungkam mulutnya dan berhenti
bergerak bagaikan patung. Tapi matanya memandang
kepulan asap yang membubung tinggi akibat dua
ledakan jurus 'Rembulan Berdarah'nya itu Dalam
hatinya ia membatin,
"Keparat mana yang bisa meledakkan juru
'Rembulan Berdarah'-ku"! Baru sekarang kulihat ada orang mematahkan jurus
andalanku itu! Monyet
kering!' rutuknya tiada berkesudahan.
Badai Kelabu terengah-engah. Terlalu letih
tubuhnya bergerak menguras tenaga saat
menghindari maut tadi. la masih terkulai di bawah
pohon. Ia tak tahu, Nini Pasung Jagat telah bersiap menghujamkan ujung tongkat
yang tumpul itu, namun
tentunya mempunyai kekuatan tenaga dalam yang
cukup tinggi. Sebelum nenek keriput dan kurus itu
menghujamkan tongkatnya, tiba-tiba sebuah sinar
hijau bening melesat ke arahnya. Wuttt..! Cepat-cepat Nini Pasung Jagat
hadangkan telapak tangan kirinya, dan sinar hijau bening itu menghantam telapak
tangan kiri yang belang separo itu. Blabbb...! Letupan teredam mempunyai
sentakan tenaga cukup kuat.
Tubuh Nini Pasung Jagat terhempas ke belakang,
namun hanya terhuyung-huyung dan tak sempat
jatuh. la kembali bisa berdiri tegak, memandang ke arah kiriman sinar hijau
tadi. "Babi kurap! Kau ikut campur juga rupanya"!" geram Nini Pasung Jagat
kepada perempuan yang baru saja turun dari pohon.
Perempuan muda berusia sebaya dengan Badai
Kelabu itu mengenakan rompi ketat tertutup
depannya berwarna merah tua, celananya hitam
bersabuk kuning kehitam-hitaman. la punya wajah
lonjong, berambut panjang dikepang satu, melilit di lehernya. Ia mengenakan ikat
kepala dari tali putih halus, sepertinya terbuat dari benang-benang sutera, ia
menyandang pedang yang panjangnya setengah
depa, disematkan di punggung. Tali pedang yang
coklat itu melintang di dadanya yang sekal.
Perempuan itu adalah orang yang dilihat Pendekar
Mabuk dan Dewa Racun tadi.
Melihat kemunculan perempuan berambut
kepang, Nini Pasung Jagat yang sudah mengenal
siapa perempuan itu menjadi membatin sendiri
dalam hatinya. "Pukulan sinar hijaunya tidak seberapa. Tapi
sehebat itukah dia" Begitu tinggi ilmu yang dimiliki jika benar dia yang telah
menghancurkan jurus
'Rembulan Berdarah'-ku tadi"! Mungkinkah dia
mempunyai kekuatan yang begitu hebat hingga bisa
mematahkan jurusku" Tak disangka kalau dia
ternyata mampu menandingi jurus 'Rembulan
Berdarah', padahal belum lama ini Tanjung Bagus
pernah menghajarnya sampai hampir mati, walaupun
Tanjung Bagus sendiri juga hampir mati. Tapi, jika ia punya ilmu tinggi yang
bisa menghancurkan jurus
'Rembulan Berdarah'-ku tadi, mestinya ia dengan
mudah bisa membunuh Tanjung Bagus!"
Melihat kemunculan temannya, Badai Kelabu
merasa sedikit tenang. la cepat ucapkan kata,
"Terima kasih atas pertolonganmu, Melati Sewu!
Kalau gumpalan asap tadi tidak kau hancurkan,
matilah aku. Sudah habis tenagaku untuk
menghindarinya!"
"Bukan aku pelakunya," jawab Melati Sewu dengan berbisik, lalu ia menolong Badai
Kelabu untuk bangkit. la kembali berbisik,
"Justru aku sedang mencari siapa orang yang bisa menghancurkan jurus maut Nini
Pasung Jagat itu?"
"Kalau begitu...," Badai Kelabu tidak melanjutkan kata-katanya. la segera
membatin, "Pasti Pendekar Mabuk yang melakukannya! Hampir aku lupa kalau
aku membawa Suto dan Dewa Racun. Tapi, sebaiknya
biarlah mereka berada di tempatnya dulu.
Kubereskan dulu si tua peot ini dengan dibantu
kekuatan Melati Sewu!"
Segera terdengar kata-kata lepas dari Nini Pasung
Jagat, "Melati Sewu! Kau datang ke pertarungan ini untuk serahkan peta Kolam Sabda Dewa
atau untuk serahkan nyawa"!"
Tapi Melati Sewu berbisik kepada Badai Kelabu,
"Guru semakin parah! Apakah kau mendapatkan Batu Galih Bumi dari tangan Ratu
Pekat" Aku hampir saja menyusulmu ke pulau Beliung, tapi terhenti di sini dan
melihatmu bertarung dengan si tua edan itu!"
"Batu Galih Bumi tidak kudapatkan, Melati Sewu!
Tapi aku membawa seorang tabib muda yang ilmunya
cukup tinggi."
"Kalau begitu, cepat kita bawa dia ke
pesanggrahan biar Guru segera dapat tertolong!"
"Ya. Tapi bereskan dulu urusan ini, baru kita bawa dia ke sana!"
Nini Pasung Jagat membentak dengan suara
keras, "Melati Sewu! Jawab pertanyaanku!"
Tapi Melati Sewu sengaja berbisik kepada Badai
Kelabu supaya kemarahan Nini Pasung Jagat
menyerang diri sendiri.
"Kau istirahatlah, biar aku yang maju! Tapi tetap waspada!"
"Baik! Aku akan membantumu dari belakang!"
Merasa disepelekan, Nini Pasung Jagat cepat
sentakkan tangan kirinya dengan jari berbentuk
cakar. Wuttt...! Sebuah pukulan tanpa wujud
dilepaskan untuk menegur sikap kedua perempuan
itu yang dianggap meremehkan dirinya. Tetapi Melati Sewu sudah siaga, Dengan
cepat ia pun sentakkan
tangan kanan dan pukulan tanpa wujud itu saling
berbenturan di pertengahan jarak mereka.
Duhbb...! Wusss...!
Asap mengepul naik, lalu hilang terbawa angin.
"Keparat kau, Melati Sewu!" geram Nini Pasung Jagat. "Jika kau memiliki peta
itu, serahkan padaku!
Jika tidak, menyingkirlah biar tidak menjadi korban sia-sia dalam pertarunganku
ini!" "Aku tak punya peta dan tak punya niat untuk
menyingkir!" kata Melati Sewu dengan lantang dan berani.
"Kalau begitu, terpaksa aku menghancurkan
tubuhmu yang ramping keropos itu! Hiaaat...!"
Melati Sewu sentakkah tongkatnya. Nyala api biru
melesat bagai bola kecil yang menerjang cepat. Tapi Melati Sewu tak kalah sigap.
la kibaskan kepalanya dan kepang rambut pun lepas berkelebat menyabet
bola biru itu. Tarr...!
Kepang itu melecut kuat, bola biru dihantamnya
dan hancur dalam kepulan asap biru. Kepang rambut
itu segera ditarik kembali dan bergerak melilit ke leher lagi dalam satu
sentakan kepala kecil. Wuttt...
slleb! "Hiaaaat...!" tiba-tiba terdengar pekikan keras melayang melewati kepala Nini
Pasung Jagat. Rupanya Tanjung Bagus tak sabar melihat lagak
Melati Sewu yang beberapa waktu lalu hampir
merenggut nyawanya dalam satu pertarungan di tepi
pantai. Tanjung Bagus telah mencabut dua trisulanya.
Satu dimainkan dalam keadaan berputar, satu lagi
cepat ditusukkan ke dada Melati Sewu. Tapi dengan
cekatan Melati Sewu miringkan badan sehingga
tusukan itu mengenai tempat kosong. Seketika itu
juga tangan Melati Sewu menghantam dalam gerakan
menyamping. Buhggg...!
Cukup kuat pukulan menyamping dari Melati
Sewu. Kena telak di bawah pundak kiri Tanjung
Bagus. Pukulan itu membuat Tanjung Bagus memekik
tertahan dengan langkah tersentak mundur dua
tindak. Tapi ia cepat tegakkan kepala dan kedua
trisulanya diadukan di atas kepala. Trangng...!
Perpaduan dua trisula itu menimbulkan loncatan api biru yang segera menyambar
Melati Sewu. "Hiaaat...!"
Melati Sewu mencabut pedang sambil bersalto ke
belakang menghindari kilatan cahaya biru itu. Cahaya tersebut mengenai tempat
kosong. Hanya membakar
ilalang di belakang Melati Sewu. Sedangkan Melati Sewu sendiri cepat sentakkan
kakinya dan tubuhnya
melayang dengan pedang bergerigi di kedua sisinya
itu ditebaskan ke arah Tanjung Bagus. Cepat-cepat
Tanjung Bagus berlutut satu kaki sambil
menyilangkan trisulanya di atas kepala untuk
menahan tebasan pedang bergerigi. Trangng...!
Cahaya api memercik akibat perpaduan pedang
bergerigi dan trisula tersebut. Mereka sama-sama
tidak peduli. Mereka sama-sama jauhkan diri untuk
cari peluang menyerang yang lebih baik lagi.
Tapi pada saat Melati Sewu pijakkan kakinya ke
bumi, Nini Pasung Jagat kirimkan pukulan jurus
'Rembulan Berdarah' lagi ke arah Melati Sewu
Wusss...! Gumpalan asap hitam melesat berganti-ganti
wujud. Badai Kelabu berseru dengan cemas.
"Awas! Dia gunakan pukulan itu lagi...!"
Melati Sewu cepat sentakkan kaki dan berjungkir
balik di udara. Gumpalan itu mengejarnya. Tapi tiba-tiba meledak di pertengahan
jarak. Blarrr...!
"E, ala... kadal, babi, kambing, kucing, singa, semut...!" terlepas serapah
latah dari mulut banci
Tanjung Bagus. Ledakan itu sangat mengagetkan dan
mengguncangkan bumi.
Melati Sewu terpental akibat hentakan daya ledak
tadi. la jatuh dengan kepala membentur tepian batu.
Kepala itu terluka dan lecet menimbulkan darah yang mengalir perlahan di
keningnya. Tapi ia cepat sigap berdiri dan siap menghadapi serangan lawan.
Saat itulah muncul Pendekar Mabuk dengan
bumbung tuak yang ada di punggungnya. Hanya Dewa
Racun yang tahu, bahwa ledakan yang mematahkan
jurus 'Rembulan Berdarah' tadi adalah karena ulah Pendekar Mabuk yang
menggunakan jurus 'Jari
Guntur'. Satu sentilan mempunyai tenaga dahsyat
yang mampu memecahkan pukulan 'Rembulan
Berdarah' itu. Melihat kemunculan Pendekar Mabuk berwajah
tampan itu, Tanjung Bagus jadi tertegun dengan mata berbinar-binar. Nini Pasung
Jagat terperangah heran, demikian pula Melati Sewu. Mereka sama-sama
belum pernah bertemu pendekar setampan itu
dengan daya tarik yang luar biasa menggetarkan hati.
Melati Sewu mundur sampai mendekati Badai
Kelabu dan berbisik,
"Siapa dia?"
"Tabib muda yang kusebutkan tadi," bisik Badai Kelabu.
"Luar biasa tampannya!"
"Lupakan hasratmu jika kau ingin memilikinya. Dia pemuda yang dingin terhadap
perempuan! Tak punya
minat bercinta sedikit pun!"
"Akan kucoba untuk melupakannya!" bisik Melati Sewu dengan masih memegang pedang
bergeriginya. Mata Tanjung Bagus semakin berbinar-binar
kegirangan. Tak mau ia kedipkan mata barang
sekejap saja. Bahkan kini ia masukkan trisulanya dan mendekati pendekar tampan
itu sambil jalannya
melenggok-lenggok memancing daya tarik lawan
jenisnya. "Tanjung Bagus!" sentak Nini Pasung Jagat.
"Jangan dekati dia!"
"Aduh, Nini... jahat amat! Aku cuma mau dekat ke situ kok!" sambil Tanjung Bagus
bergaya manja. "Kurasa dia yang mematahkan jurus 'Rembulan
Berdarah'-ku! Berarti dia musuh kita, Tanjung Bagus!"
"Musuh ya tinggal musuh. Kalau cuma ingin dekat tak apalah!"
"Mundur kau!" bentak Nini Pasung Jagat. Kali ini diiringi mata membelalak galak.
Tanjung Bagus terpaksa mundur dengan wajah
kecewa, menggerutu dengan bibir mencong sana-sini.
"Uuh...! Payah! Dasar orang tua pikun! Tak bisa bedakan mana musuh mana kekasih!
Uuh...! Benci aku, benci aku...!"
Nini Pasung Jagat melirik muridnya, sang murid tak berani menggerutu lagi, tapi
wajahnya tetap

Pendekar Mabuk 010 Manusia Seribu Wajah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cemberut. Kemudian Nini Pasung Jagat tatapkan
mata kepada Pendekar Mabuk dan ia mulai angkat
bicara dengan nada ketus tak bersahabat.
"Apa maksudmu mematahkan jurus Rembulan
Berdarah'-ku"!"
"Sekadar mengingatkan kau, bahwa jurus
berbahaya itu tak pantas kau pakai untuk menyerang kedua perempuan itu!" jawab
Suto Sinting, lalu ia ambil bumbung tuak, dan menenggak seenaknya di
depan Nini Pasung Jagat. Beberapa teguk tuak cukup sudah sebagai pembasah
tenggorokannya.
"Kau telah campur tangan dalam urusanku!" Nini Pasung Jagat mendekat dengan
langkahnya yang
masih tegas. Lalu, ia sipitkan mata dan berkata
dalam geram, "Sekali lagi kau ikut campur dalam urusanku, tak segan aku merobek-robek wajah
tampanmu! Mengerti"!"
"Aku kurang mengerti," jawab Pendekar Mabuk sambil tersenyum-senyum.
"Manusia bodoh!"
"Bagaimana kau bisa merobek wajahku kalau
menamparku saja tak bisa kena"!"
"Siapa bilang! Nih, rasakan...! Hiih...!"
Plakkk...! Keras sekali tamparan itu mendarat di
pipi Pendekar Mabuk. Hampir saja Badai Kelabu
sentakkan kaki untuk menyerang balas kepada Nini
Pasung Jagat. Tapi melihat Pendekar Mabuk hanya
tersenyum tenang, niat itu dibatalkan.
"Tamparanmu terlalu ringan, Nini! Mana bisa
menghancurkan wajahku?" kata Suto bagai
memancing kemarahan nenek tua itu.
"Kurang ajar! Kalau kau ingin yang lebih keras, terimalah pukulan 'Elang Rakus'
ini! Hihh...!"
Nini Pasung Jagat sodokkan tongkatnya dari
bawah ke atas. Dagu Suto terkena telak. Keras sekali sodokannya. Wajah Pendekar
Mabuk sempat tersentak ke belakang. Desss...!
"Aauh...!"
Bukan Pendekar Mabuk yang memekik kesakitan,
tapi Tanjung Bagus yang ada di belakang Nini Pasung Jagat. Badai Kelabu dan
Melati Sewu memandang
heran melihat kepala Tanjung Bagus ikut tersentak ke belakang. Mereka segera
lupakan hal itu, karena
Tanjung Bagus punya kebiasaan latah. Tapi
seringainya menandakan seringai kesakitan yang
sungguh-sungguh. Aneh juga, jika gerakan itu hanya
karena latah, tak perlu Tanjung Bagus menyeringai
kesakitan, juga tak perlu mulutnya mengeluarkan
darah kental. Pendekar Mabuk tetap tersenyum kalem
memandangi Nini Pasung Jagat. Yang dipandangi
heran juga dalam hatinya. Pendekar Mabuk segera
berkata, "Mengapa tak kau gunakan pukulan 'Rembulan
Berdarah'"! Mungkin pukulan 'Rembulan Berdarah'
bisa membuatku bergeser dua tindak!"
"Manusia sombong! Untuk membuatmu bergeser
dua tindak, tak perlu menggunakan jurus 'Rembulan
Berdarah'. Cukup dengan menggunakan pukulan 'Iblis Menjilat Karang', kau akan
terlempar mundur lima
tombak lebih jauhnya!"
Pendekar Mabuk tertawa pendek. "Pukulan
macam apa itu" 'Iblis Menjilat Karang', jelas itu
pukulan iblis kurang kerjaan!"
Merasa diremehkan, Nini Pasung Jagat segera
sentakkan tangan kirinya dengan gerakan cepat.
Pukulan yang menggunakan punggung pergelangan
tangan itu menghantam telak dada Pendekar Mabuk.
Buhkkk...! "Heggh...!"
Tanjung Bagus tersentak dengan pekik tertahan
dan mata mendelik. Tubuhnya terlempar ke belakang
bagaikan terbang dan jatuh dalam jarak lima tombak lebih, punggungnya membentur
pohon besar. Blugg...!
Nini Pasung Jagat terkejut. Suto yang dipukul tapi muridnya sendiri yang
terlempar jauh dan mulutnya
mengeluarkan asap. Berarti pukulan 'Iblis Menjilat Karang' diderita oleh Tanjung
Bagus. Nini Pasung
Jagat tak tahu bahwa Pendekar Mabuk telah
menggunakan ilmu 'Alih Raga' dia yang dipukul, orang
lain yang merasakannya. Rasa sakit itu dialihkan
Pendekar Mabuk ke raga Tanjung Bagus, pada saat
Tanjung Bagus beradu pandang dengannya. Jika
bukan murid si Gila Tuak, tak mungkin Suto memiliki ilmu sehebat itu.
Nini Pasung Jagat segera mundur dua tindak
sambil tetap pandangi Pendekar Mabuk dengan dahi
berkerut tajam.
"Jahanam kau! Ternyata kau memiliki ilmu 'Alih Raga'! Setahuku hanya satu orang
yang memiliki ilmu
'Alih Raga', yaitu si Gila Tuak dari tanah Jawa!"
"Aku muridnya! Pendekar Mabuk julukanku!"
"Muridnya..."! Muridnya si Gila Tuak..."! Oh, tidak!
Aku tidak percaya! Tidak percaya...!" sambil Nini Pasung Jagat menjauh dengan
wajah tegang. la
hampiri Tanjung Bagus yang tak berdaya karena
pukulan 'Iblis Menjilat Karang' tadi, lalu ia panggul banci genit itu, dan ia
pun segera lari sambi!
meninggalkan seruan,
"Aku tak percaya! Aku tak percayaaaa...!"
Satu hal yang ada di dalam otak Suto Sinting
adalah sebuah pertanyaan, mengapa Nini Pasung
Jagat tidak percaya bahwa dia adalah murid si Gila Tuak.
* * * 3 MELATI Sewu pasang lagak judes di depan
Pendekar Mabuk. Hal itu ia lakukan supaya tak ada yang tahu bahwa hatinya
mengagumi ketampanan
Pendekar Mabuk. Juga ia tak ingin Badai Kelabu
mengetahui bahwa ia tertarik dengan Pendekar
Mabuk yang sering bersikap acuh tak acuh
kepadanya itu. "Aku sangsi, apakah anak muda ini bisa
menyembuhkan penyakit Guru atau hanya
mempercepat kematian Guru!" katanya kepada Badai Kelabu. Sengaja suaranya
diperkeras supaya Suto
mendengarnya. Tapi Suto Sinting berlagak tidak
mendengar ucapan itu. Dengan seenaknya ia
menenggak tuak dari dalam bumbung bambunya,
setelah itu hembuskan napas lega dengan ringan.
"Apakah kau belum melihat kehebatannya yang
bisa mematahkan jurus maut Nini Pasung Jagat tadi"
Apakah kau masih belum menyadari bahwa dia
berilmu tinggi, hingga bisa mengalihkan rasa sakit ke tubuh orang lain, seperti
yang dialami Tanjung Bagus tadi?"
"Hanya itu yang kulihat. Mungkin memang hanya itu kehebatan yang ada padanya!
Selebihnya ia tak
memiliki ilmu apa-apa!"
"Jangan bicara begitu! Kubawa dia kemari dengan bertaruh nyawa, Melati Sewu! Kau
sama saja meremehkan usahaku dalam mencari kesembuhan
bagi Guru! Sepanjang perjalanan aku selalu terancam bahaya. Jika tidak
bersamanya, mungkin aku tak
akan sampai di pulau ini lagi, Melati Sewu!"
Akhirnya wanita berkepang panjang itu angkat
bahu. "Terserah apa katamu! Kalau memang kau
yakin dia bisa sembuhkan Guru, kita lihat saja nanti seperti apa kehebatannya."
"Badai Kelabu!" panggil Suto dengan mata memandang sekeliling. "Apa nama buah
yang warnanya merah itu?"
"O, itu buah Malagasi! Kalau kau lapar, jangan kau makan buah itu, Suto. Sebab
buah itu beracun
ganas!" Pendekar Mabuk memandangi pohon mirip pohon
palem yang mempunyai buah warna merah segar
sebesar satu genggaman tangan. Ada banyak buah di
pohon itu, tapi menurut keterangan Badai Kelabu,
semua buah Malagasi mempunyai racun yang
mematikan. "Seorang perampok yang tertangkap oleh guruku dipaksa makan buah Malagasi. Baru
tiga gigitan perampok itu tubuhnya jadi membiru semua, dan
akhirnya ia mati tak lebih dari dua puluh hitungan sejak ia makan buah
Malagasi."
Suto mendekati pohon buah Malagasi itu, lalu
pangkal pergelangan tangannya menghentak pohon
tersebut. Dugg...! Cukup pelan sentakan itu, tapi membuat satu buah jatuh ke
bumi dan cepat ditangkap oleh tangan Pendekar Mabuk. Tapp...!
"Pendekar Mabuk, apa yang ingin kau lakukan
dengan buah itu"!"
"Aku ingin mencoba memakannya. Tergiur hati ku untuk mencicipi kesegaran buah
ini!" "Jangan! Sudah kubilang buah itu beracun ganas yang mematikan! Kami sering
menggunakannya untuk merendam senjata tajam kami!"
Tapi Pendekar Mabuk nekat. Buah itu dicuci
dengan tuaknya. Sedikit tuak sudah cukup untuk
mencuci buah tersebut. Badai Kelabu kebingungan
mencegahnya. la hanya memandangi Suto, sama
halnya dengan Melati Sewu, juga hanya memandangi
Pendekar Mabuk, tapi Melati Sewu berbisik,
"Tabib bodoh begitu kau bawa kemari! Dia belum bisa membedakan mana makanan yang
beracun dan yang tidak beracun! Mampuslah dia sebentar lagi...!"
"Suto...!" Badai Kelabu ingin mencegahnya, tapi
ragu-ragu. Dan Suto dengan santainya menggigit
buah Malagasi, lalu mengunyahnya dengan suara
krus, krus...! Tampak nikmat sekali.
"Hmm...! Enak sekali. Buah ini rasanya seperti jambu sukun! Manis dan segar!"
kata Pendekar Mabuk sambil mengunyah buah Malagasi.
Dalam kecemasan yang mendebarkan jantung,
Badai Kelabu mendapat bisikan dari Melati Sewu,
"Hitunglah sampai dua puluh kali. Belum mencapai hitungan kelima belas, dia akan
jatuh ke tanah dan mati terkapar seperti perampok yang dulu itu!"
Karena Badai Kelabu dicekam kecemasan yang
membingungkan, maka Melati Sewu sendiri yang
menghitung dengan suara pelan,
"Satu, dua, tiga, empat...."
Badai Kelabu bergegas mendekati Pendekar
Mabuk dan berkata, "Pendekar Mabuk, kumohon
buang buah itu! Jangan teruskan makan buah itu,
Pendekar Mabuk! Aku sudah cukup lama tinggal di
pulau ini, aku tahu mana buah yang bisa dimakan
dan yang tidak! Percayalah padaku, Pendekar Mabuk!
Badanmu akan menjadi biru dan kamu akan mati!"
"Nyatanya sudah lebih dari lima gigitan, badanku tidak biru!"
Mata perempuan itu memandang dengan dahi
tetap berkerut menandakan kecemasannya yang
tinggi. Tubuh Suto diperhatikan. Tak satu pun bagian tubuh Suto yang tampak
membiru karena racun.
Sementara itu, Melati Sewu masih menghitung
dengan jantung berdebar-debar,
"Tiga belas, empat belas, lima belas, enam
belas...."
Pendekar Mabuk berkata kepada Badai Kelabu,
"Kalau temanmu itu kurang percaya dan
meremehkan kesanggupanku, sebaiknya kita
batalkan saja rencana kita untuk menyembuhkan
gurumu!" "Tidak! Jangan begitu, Pendekar Mabuk! Jangan hiraukan ucapan Melati Sewu tadi!
Dia tidak tahu siapa dirimu!"
"Mungkin sebentar lagi dia akan tahu!"
"Ya. Tapi, kumohon buanglah buah itu dan...
dan...!" ucapan Badai Kelabu terhenti setelah menyadari Pendekar Mabuk hampir
habis memakan buah itu. Tapi tak kelihatan diserang racun berbahaya yang mematikan. Bahkan
samar-samar terdengar
suara Melati Sewu menghitung.
"Empat puluh empat, empat puluh lima, empat
puluh enam...!" Melati Sewu pun berhenti
menghitung. Lalu, ia membatin,
"Mestinya ia sudah mati seperti perampok tempo hari. Tapi sampai hitungan
keempat puluh enam dia
belum mati! Aneh"! Manusia apa dia itu sebenarnya"
Malagasi dimakannya begitu saja! Bahkan... oh,
bahkan sekarang ia sudah menghabiskan buah itu"!
Edan! Tak pernah ada orang bisa tetap hidup setelah makan buah Malagasi! Hmmm...
ya, ya. Aku tahu
sekarang. Dia sedang pamer ilmu kesaktiannya
karena mendengar ucapanku tadi meremehkan
dirinya! Ya, ya... aku akui dia memang berilmu tinggi!
Kalau bukan orang berilmu tinggi tak mungkin bisa
tetap hidup setelah makan buah Malagasi!"
Sementara itu, Suto segera berdiri dengan
santainya, Badai Kelabu berbisik,
"Bagaimana kau bisa tetap hidup setelah
memakan habis buah beracun ganas itu"!"
"Sebelumnya kucuci dulu dengan tuakku!"
"O, pantaaas...!"
Pendekar Mabuk tersenyum menang, Badai
Kelabu tertawa geli sendiri.
Namun mendadak mereka dikejutkan dengan
suara pekik yang tertahan. Suara itu datangnya dari Melati Sewu. Pendekar Mabuk
dan Badai Kelabu
cepat menghampiri ke balik gugusan batu tempat
Melati Sewu berada.
"Melati Sewu..."!" pekik Badai Kelabu dengan suara kaget, karena pada saat itu
ia melihat Melati Sewu terbungkuk dengan satu kaki berlutut di tanah.


Pendekar Mabuk 010 Manusia Seribu Wajah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mulutnya mengeluarkan darah kental. Di bagian
dadanya, tampak kulit dada yang hangus membekas
tangan dengan lima jari. Jelas ia terkena pukulan
tenaga dalam yang cukup tinggi.
"Siapa yang menyerangmu, Melati Sewu"!
Siapa..."!" Badai Kelabu menjadi gusar. Serta-merta ia mencabut pedangnya.
Srett...! Ia melompat dengan lincahnya, hinggap di gugusan batu bertanah itu.
Matanya memandang liar sekeliling tempat itu.
Pendekar Mabuk segera menolong tubuh Melati
Sewu yang lemas dan tersengal-sengal napasnya itu.
Tubuh tersebut dibaringkan. Tapi Melati Sewu masih ingin berontak, tak mau
dibaringkan. Matanya masih bisa memandang dengan sayu. Ia berusaha bangkit
dan tak mau dibantu oleh tangan Pendekar Mabuk.
Cemas hati Suto saat itu, karena ia bisa menduga
apa yang terjadi setelah itu. Ia langkahkan kaki ke belakang dua tindak. la
biarkan Melati Sewu berdiri dengan berpegangan pada gugusan batu yang
menjulang tinggi itu.
"Aku... tak butuh pertolonganmu!" katanya kepada Suto, tapi Pendekar Mabuk tidak
merasa tersinggung.
la hanya biarkan saja apa yang dilakukan Melati
Sewu. Darah kembali tersontak dari mulutnya.
Pendekar Mabuk hanya membatin, bahwa pukulan
itu pasti pukulan berilmu tinggi dan mempunyai kadar racun yang cukup berbahaya.
"Diam di situ, Melati! Biar kucari penyerang gelapmu!" seru Badai Kelabu, lalu
cepat ia memeriksa keadaan sekeliling dengan gerakan cepat dan lincah.
Tiba-tiba tangan Pendekar Mabuk berkelebat di
depan dada Melati Sewu. Perempuan yang matanya
makin sayu itu masih sempat mengibaskan tangan,
seakan ingin menepiskan tangan Pendekar Mabuk. la
pun masih sempat berkata,
"Tak perlu kau anggap lemah aku! Aku masih
mampu... membalas serangan lawanku...."
"Aku hanya menangkap anak panah yang tadi
hampir saja menembus dadamu!" kata Pendekar
Mabuk sambil menunjukkan anak panah yang sudah
tergenggam di tangannya itu. Rupanya lantaran ada
gerakan kilat dari anak panah yang mau menembus
dada Melati Sewu itulah, maka tadi Suto berkelebat tangannya di depan dada
perempuan itu, hanya
untuk menangkap gerakan anak panah tersebut.
Bahkan kali ini, ketika Suto Sinting memandang
sekeliling, datang lagi anak panah berbulu merah
bagian ekornya. Anak panah itu melesat dengan
cepat, hampir tak bisa terlihat. Tapi gerakan mata Suto menangkap kelebatan
benda kecil tersebut.
Cepat-cepat Suto melompat di depan Melati Sewu
yang sedang kerepotan mencabut pedangnya dari
punggung. Lompatan Pendekar Mabuk begitu cepat,
dan Melati Sewu tak mengerti apa yang dilakukan
Pendekar Mabuk dalam gerakan melompat begitu.
Tapi ia segera melihat ada anak panah lagi di tangan Pendekar Mabuk yang sama
pendek ukurannya
dengan anak panah pertama, kira-kira hanya
berukuran dua jengkal.
Brukk...! Tiba-tiba Melati Sewu jatuh bagaikan
cucian basah. Pucat sekali wajahnya. Lemas sekali
tubuhnya. Dan telapak tangannya pun terasa dingin
bagaikan es. Napasnya terhirup dengan tipis, hampir tak terlihat gerakan dadanya
dalam menghirup
napas. Pendekar Mabuk buru-buru memaksa mulut Melati
Sewu agar terbuka. Pada waktu itu, Badai Kelabu
datang sehabis memeriksa sekeliling dan
mengatakan, "Tak ada manusia di sekeliling sini!"
"Lupakan manusia itu! Bantu aku membuka mulut temanmu ini, biar kupaksakan dia
meneguk tuakku.
Lukanya sangat parah dan berbahaya!"
Badai Kelabu memaksa mulut Melati Sewu
terbuka. Pendekar Mabuk mengucurkan tuak dari
bumbungnya dengan perlahan-lahan. Beberapa teguk
tuak berhasil ditelan Melati Sewu. Setelah itu,
Pendekar Mabuk kembali menutup bumbung
tuaknya. "Biarkan ia berbaring dulu!" kata Pendekar Mabuk sambil melangkah dengan pelan,
seakan sedang memikirkan sesuatu. Badai Kelabu tak mengerti ada
anak panah yang terselip di tangan Pendekar Mabuk.
la tidak memperhatikan ke sana. la juga tidak tahu bahwa Suto saat itu sedang
gelisah dan sengaja
menjauhinya. Sampai di bawah sebuah pohon, Suto
berhenti. la berdiri dengan pundak dan lengan
bersandar di pohon itu. Tangannya mempermainkan
kedua anak panah tersebut.
Pendekar Mabuk berbicara pelan, "Dewa Racun
turunlah!"
Tak ada jawaban, tak ada gerakan. Pendekar
Mabuk agak jengkel. Kaki kirinya menendang pelan
batang pohon yang disandarinya. Dugg...! Tiba-tiba pohon itu berguncang, sesuatu
jatuh dari atas Suto.
Grusakkk...! Brukk...!
Dewa Racun menyeringai memegangi
pinggangnya. la jatuh dalam keadaan terduduk.
Tulangnya terasa sakit membentur tanah keras. la
jatuh tepat di depan Pendekar Mabuk. Dan Pendekar
Mabuk hanya diam saja, tetap tenang sambil
memandang was-was ke arah gugusan batu tempat
Badai Kelabui merawat Melati Sewu.
Kedua anak panah yang berhasil ditangkap Suto
itu dilemparkan tepat jatuh di pangkuan Dewa Racun.
Orang kerdil berkepala botak di bagian tengahnya itu segera mengambil anak panah
itu setelah Pendekar
Mabuk berkata, "Simpanlah anak panahmu itu! Jangan gunakan
lagi untuk menyerang teman sendiri!"
Dewa Racun berdiri di depan Pendekar Mabuk.
Karena ia kerdil, maka ia memandang Suto dengan
mendongak. Raut wajahnya menampakkan
kemarahan yang terpendam. Kemarahan itu agaknya
bukan kemarahan yang sekadar main-main. Karena,
Dewa Racun segera melangkah tinggalkan Suto
setelah Pendekar Mabuk bertanya,
"Mengapa kau lakukan hal itu kepada Melati
Sewu"!"
Pertanyaan itu tak dijawab oleh Dewa Racun.
Pendekar Mabuk terpaksa bergegas menyusul
langkah Dewa Racun. Agaknya orang kerdil itu
melangkah ke tempat yang sepi dan agak jauh dari
tempat semula. Pendekar Mabuk terpaksa berseru
kepada Badai Kelabu,
"Badai! Tetaplah di situ bersama Melati Sewu! Aku
dan Dewa Racun akan periksa tempat di sana,
mencari penyerang gelap itu!"
"Hati-hati, Pendekar Mabuk!" balas Badai Kelabu tanpa menaruh curiga kepada Dewa
Racun. Sebetulnya, sejak Suto melihat bekas hitam akibat
pukulan telapak tangan dari jarak jauh yang
tergambar di dada Melati Sewu, Pendekar Mabuk
sudah berani memastikan pastilah bekas hitam itu
adalah telapak tangan Dewa Racun. Ukuran telapak
tangan yang kecil membuat Suto yakin betul, bahwa
itu adalah telapak tangan Dewa Racun.
Tapi ia tak berani katakan kepada Badai Kelabu,
karena takut akan memancing kemarahan Badai
Kelabu, dan terjadi perselisihan antara Badai Kelabu dengan Dewa Racun. Tentunya
Dewa Racun mempunyai alasan sendiri, mengapa ia melepaskan
pukulan berbahayanya kepada Melati Sewu. Hal
itulah yang ingin diketahui oleh Pendekar Mabuk,
sebelum ia membela di salah satu pihak. Sebab
setahu Pendekar Mabuk, Dewa Racun bukan orang
yang suka usil, menjajal ilmu orang lain dengan
serangan membahayakan.
Dewa Racun sendiri masih membungkam ketika ia
duduk di salah satu batu yang tingginya sebatas
pinggang Pendekar Mabuk. Wajah orang kerdil itu
antara duka dan marah. Sekalipun Suto mempunyai
ilmu lebih tinggi dari Dewa Racun, tapi ia tetap
menaruh hormat karena usianya jauh lebih muda
dibanding Dewa Racun yang saat itu sedang
menyimpan kegundahan.
Dengan hati-hati, setelah terdiam cukup lama
Pendekar Mabuk ajukan tanya kepada Dewa Racun.
"Persoalan apa yang membuatmu menyerang dia
sebenarnya?"
"Pribadi," jawab Dewa Racun.
"Bisa kau jelaskan?"
Dewa Racun tetap tidak memandang Pendekar
Mabuk. Matanya bagai menatap jauh dalam terai
wang tak pasti. Lalu, terdengar suaranya yang gagap mengatakan,
"Dia... dia... ternyata orang yang kuu... kuyu...
kucari!" "Kau punya dendam dengannya?"
"Ya," jawabnya pendek. Diam sebentar, lalu bicara lagi,
"Ak... ak... aku pernah mempunyai seorang
kekasih. Nnnaam... naaam... namanya... namanya
Gayanti, dengan julukan Giwang Kencana! Tiga tahun yang lalu, Gayanti diutus
gur... gur... gurunya untuk menyampaikan Air Tuk Sewu kepada seorang
begawan yang sedang menderita sakit berat. Tapi di perjalanan dihadang oleh
Melati Merah, yang
kemudian berhasil membunuh Gayanti, meminum Air
Tuk Sewu, dan mengubah nama menjadi Melati
Sewu. Padahal waktu itu, aku berada di belakang
Gayanti, mengawasi dari kejauhan. Tapi aku
terlambat datang. Ak... ak... aku baru datang saat Gayanti mau menghembuskan
napasnya yang terakhir. Dan... dan... dan ia ceritakan siapa
pembunuhnya."
"Jangan-jangan bukan Melati Sewu yang itu yang membunuh kekasihmu, Dewa Racun!"
Pedang Kiri 19 Pangeran Anggadipati Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 1
^