Pencarian

Manusia Seribu Wajah 2

Pendekar Mabuk 010 Manusia Seribu Wajah Bagian 2


"Pasti dia! Karena dia dan Gayanti dulu adalah teman seperguruan. Aku sering
melihat Gayanti
berjalan bersama dengan dia, tapi Gayanti selalu
melarangku menemui dia jika ada orang lain. Jadi,
Melati Merah sampai sekarang tak pernah tahu
bahwa aku adalah kekasih Gayanti. Tapi aku tahu
bahwa dia adalah pembunuh kekasihku!"
"Hmmm...!" Suto manggut-manggut, seakan ikut merasakan keguncangan hati Dewa
Racun saat itu.
Lalu, Pendekar Mabuk ajukan tanya,
"Lalu, apa kelebihan Melati Sewu setelah
meminum Air Tuk Sewu itu, Dewa Racun?"
"Men... men... menurut kabar yang kudengar,
orang yang meminum Air Tuk Sewu akan mencapai
usia sampai seribu tahun, semasa ia tidak melakukan suatu tindakan yang amat
ter... ter... terlarang, yaitu zinah! Tapi kalau dia pernah melakukan zinah, dia
kehilangan kekuatan khasiat dari Air Tuk Sewu. Kec...
kecuali ia lakukan dengan suami sendiri, itu tak
mengurangi khasiat Air Tuk Sewu!"
Pendekar Mabuk menarik napas setelah bungkam
beberapa saat, lalu ia ucapkan kata pelan,
"Mudah-mudahan Air Tuk Sewu sudah tidak
berguna lagi bagi hidup Melati Sewu!"
"Berr... berr... berguna atau tidak, aku tak mau peduli. Tapi yang kutuntut
adalah kematian Gayanti!"
"Maksudmu bagaimana, Dewa Racun?"
"Aku harus menuntut balas atas kematian itu
kepada Melati Sewu. Dan aku tidak mau ikut campur
membantu menyembuhkan gurunya!"
"Jangan begitu, Dewa Racun...."
"Tidak! Dendamku belum padam jika belum
berhasil membunuh orang yang membuatku merana
sampai sekarang ini!"
"Peristiwa itu sudah berlalu. Semuanya sudah
telanjur terjadi. Itu namanya suratan takdir, Dewa Racun! Kita tak bisa tentukan
takdir kematian di
tangan siapa atau sebab apa. Tak bisa! Satu contoh, kalau ternyata kelak
takdirku adalah harus mati di tangan mu, aku tak bisa mengelak dari takdir itu!"
"Jik... jik... jika kematian Gayanti di tangan Melati Sewu itu kau anggap
takdir, maka kematian Melati
Sewu di tanganku juga sebaiknya kau anggap takdir!
Mengapa kau mau menghalangiku"!"
"Aku bukan menghalangimu, tapi aku hanya
mengingatkan kamu, bahwa dendam itu tidak
membawa perdamaian! Dendam itu lingkaran setan
yang akan terus-menerus menyita ketenangan hidup
kita. Jika orang masih berpatokan pada dendam dan
mau diperbudak oleh dendam, maka persoalan orang
itu tidak akan ada habisnya. Dendam yang sudah
terbalas akan menimbulkan dendam baru lagi bagi
pihak yang terbalas. Begitu seterusnya, hingga tak ada lagi perdamaian dalam
hidup kita, Dewa Racun!"
"Terserah apa kat... kat... katamu! Tapi aku tidak mau ikut membantumu dalam
menyembuhkan gurunya Melati Sewu itu! Aku akan menyerangnya.
Kau ada di pihakku atau di pihaknya, Pendekar
Mabuk?" * * * 4 SAMPAI mereka tiba di pesanggrahan tempat
gurunya Badai Kelabu bersemayam, baik Melati Sewu
maupun Badai Kelabu tidak mengetahui bahwa
penyerang gelap yang telah memukul Melati Sewu itu adalah Dewa Racun. Mereka
sudah tidak mempermasalahkan penyerang gelap dengan
pukulan maut yang hampir menewaskan Melati Sewu,
karena keadaan Melati Sewu telah sehat dan segar
kembali. Luka bakar yang membekas di dadanya itu
pun telah lenyap karena pengaruh tuak yang
diminumkan oleh Pendekar Mabuk.
Tetapi Dewa Racun masih mempermasalahkan
kematian Gayanti dan ia tetap mengincar Melati
Sewu. Andai Suto tidak membujuknya, Dewa Racun
tidak akan ikut sampai ke pesanggrahan itu.
Kerasnya dendam yang bagai membeku di darah
Dewa Racun bisa menjadi sedikit lunak setelah
Pendekar Mabuk berkata,
"Boleh kau lampiaskan dendammu pada Melati
Sewu setelah kita selesaikan tugas menyembuhkan
gurunya Badai Kelabu itu! Aku sudah terikat janji dan tak mau ingkar. Apa pun
yang terjadi aku harus tetap sembuhkan gurunya Badai Kelabu. Setelah itu, kau
mau lampiaskan dendammu atau tidak, itu
urusanmu! Kau mau pakai saranku atau tidak, itu
hakmu! Tapi sebagai teman aku sudah ingatkan
kamu, jangan turuti kata hati yang menabur dendam
ke mana-mana! Jangan mau diperbudak oleh
dendam. Karena dendam tidak akan membawa kita
damai sampai pada anak-cucu kita kelak!"
Dendam yang telah membeku di darah Dewa
Racun lama-lama menjadi cair oleh kata-kata Suto.
Tetapi, Dewa Racun tetap berkata,
"Kuubb... kuubb... kubantu... kubantu kau
menyembuhkan gurunya Badai Kelabu itu. Tapi
jangan pak... pak... paksa aku untuk bersikap baik kepada Melati Sewu! Bila
perlu, jangan suruh aku
bic... bic... bicara dengannya!"
"Ya, itu terserah kamu! Kalau dia ajak kamu bicara, soal kamu mau jawab atau
tidak, itu terserah kamu!
Aku tak akan paksa kamu!"
Sepanjang perjalanan menuju pesanggrahan
memang terjadi sedikit ketegangan dan kekakuan.
Badai Kelabu mengajak Dewa Racun untuk bercanda,
tapi tak pernah ditanggapi seperti biasanya. Dewa
Racun lebih banyak diam ketimbang ikut bicara
bernada kelakar. Bahkan sesekali ia pandangi Melati Sewu dengan hasrat besar
ingin cepat menyerangnya
dengan jurus-jurus mautnya. Tapi ia selalu ingat
pesan dari Suto, sehingga hasrat itulah yang
membuatnya kaku dalam menanggapi sapaan Badai
Kelabu. "Temanmu yang kecil itu agaknya mudah
tersinggung. Aku tak berani mengajaknya bicara,"
kata Melati Sewu kepada Pendekar Mabuk.
"Kalau begitu, tak perlu kau ajak bicara jika tak penting. Dia memang sedang ada
masalah dalam hatinyal Dia punya kecemasan tersendiri yang kita tak tahu kecemasan macam apa
yang dimilikinya," kata Pendekar Mabuk mengambil jalan tengah supaya
tidak terjadi keributan antara Melati Sewu dan Dewa Racun.
Ketika mereka tiba di pesanggrahan, beberapa
rekan seperguruan Badai Kelabu menyambutnya
dengan wajah-wajah cerah penuh harap. Dewa Racun
sengaja duduk di bawah pohon, di luar gerbang
pesanggrahan. la tak mau ikut masuk, dengan alasan ingin menikmati keindahan
alam sekeliling tempat itu.
Sebab tempat itu ada di atas sebuah bukit yang tak terlalu tinggi. Dari sana
bisa memandang ke arah laut yang membiru indah.
"Kau di luar dulu, aku mau masuk ke ruang
istirahat Guru dan melaporkan kedatanganmu," kata Badai Kelabu. "Melati Sewu,
tolong temani dulu Pendekar Mabuk di pendapa!"
"Di mana pun aku sanggup," jawab Melati Sewu yang sudah berbalik sikap, menjadi
ramah dan baik kepada Pendekar Mabuk sejak ia tertolong dari luka parahnya.
Di pendapa, Pendekar Mabuk sempat ajukan tanya
kepada Melati Sewu,
"Siapa sebenarnya Nini Pasung Jagat itu?"
"Dia orang sesat!" jawab Melati Sewu. "Dulu dia punya banyak murid, tapi semua
muridnya lari kepada kami, karena dia tak segan-segan
menjatuhkan hukuman mati kepada muridnya untuk
satu kesalahan kecil. Kini dia hanya punya satu
murid, yaitu Tanjung Bagus itu. Apakah kau punya
minat naksir Tanjung Bagus?"
Pendekar Mabuk tertawa dan memancingnya
dengan pertanyaan, "Kalau aku punya minat naksir dia, apakah tak layak?"
"Sangat tak layak! Karena dia itu sebenarnya lelaki. Dia seorang yang punya
kelainan dalam jiwanya. Dia merasa dirinya sebagai wanita, bukan
sebagai lelaki. Padahal dia punya nama asli Legowo!
Bukan Tanjung Bagus. Kalau kau naksir dia, kau akan kecele."
Pendekar Mabuk kembali tertawa, walau
sebenarnya dia sudah tahu bahwa Tanjung Bagus itu
banci, dan dia tak punya minat apa-apa kepada
Tanjung Bagus. Dia hanya ingin menggiring
pembicaraan itu sampai pada masalah peta yang
diinginkan Nini Pasung Jagat itu.
"Kudengar Nini Pasung Jagat sangat
mengharapkan untuk mendapatkan peta dari Badai
Kelabu. Kalau tak salah dengar, peta itu adalah peta Kolam Sabda Dewa."
"Ya. Mereka menyangka Badai Kelabu mempunyai
peta Kolam Sabda Dewa, karena memang hanya
Badai Kelabu yang pernah ke sana!"
"Apa yang dimaksud dengan Kolam Sabda Dewa
itu, Melati Sewu?"
"Kolam yang bisa mengubah nasib sesuai dengan keinginan kita. Pada saat kita
menyelam di dalam
kolam keramat itu, apa yang kita inginkan dalam hati kita bisa terlaksana secara
cepat dan gaib. Salah satu contohnya adalah Badai Kelabu...."
"Badai Kelabu" Ada apa dengan dirinya?"
Pendekar Mabuk semakin penasaran.
"Badai Kelabu...," Melati Sewu melirik sekeliling sebentar, setelah merasa aman,
segera berbisik
kepada Pendekar Mabuk,
"Dulu, Badai Kelabu adalah gadis yang cacat
kakinya. Salah satu kakinya kecil dan pendek, hingga jalannya pun terpincang-
pincang dengan susah.
Wajah Badai Kelabu tidak secantik sekarang. Dulu
wajahnya sangat buruk. Bahkan gigi taringnya yang
kanan panjang, sampai melebihi bibir bawahnya.
Hidungnya pesek sekali, matanya besar, kulitnya
bersisik dan banyak borok gatal-gatal di sekujur
tubuhnya. Dulu dia lahir sebagai anak yang dikutuk oleh neneknya sendiri.
Rambutnya pun trondol
sebelah kiri. Lalu, ia dirawat oleh Guru. Dan suatu saat, ia menemukan Kolam
Sabda Dewa. la mandi
dan menyelam di dalam kolam itu. Ketika muncul dari dalam air kolam, ia sudah
berubah menjadi cantik
seperti sekarang, banyak pemuda yang naksir
kepadanya, banyak sesama wanita yang mau
berteman dengannya. Dulu, tak ada yang mau dekat
dengannya!"
"Ooo...," Pendekar Mabuk manggut-manggut. "Lalu, dia menyimpan peta menuju Kolam
Sabda Dewa?"
"Menurut pengakuannya padaku, dia tak pernah membuat peta. Tapi dia masih ingat
jalan menuju ke
sana. Aku tak pernah diberitahu tentang jalan itu
olehnya! la sangat merahasiakan tempat Kolam
Sabda Dewa itu!"
"Apakah menurutmu, Nini Pasung Jagat ingin
mengubah dirinya menjadi muda dan cantik dengan
mandi di kolam itu?"
"Jika bukan dengan maksud-maksud seperti itu, maksud apa lagi yang ia punyai"
Tentunya dia ingin dirinya cantik, muda dan beberapa keinginan lainnya.
Tanjung Bagus pun pasti berkeinginan untuk menjadi wanita sejati setelah ia bisa
mandi di dalam Kolam Sabda Dewa itu! Karenanya ia sangat bernafsu sekali
mendapatkan peta dari Badai Kelabu!" tutur Melati Sewu dengan bersemangatnya,
seakan ia merasa
bangga sekali jika bisa menjelaskan apa saja yang
belum diketahui oleh Pendekar Mabuk.
"Apakah Kolam Sabda Dewa juga bisa memberi
kita umur panjang, jika di dalam hati kita meminta umur panjang saat menyelam di
kedalamannya?"
"Bisa! Bisa saja! Kita minta ingin jadi raja pun mungkin pulang dari sana ada
rakyat yang mengangkat kita menjadi raja!"
"Apakah kita bisa minta usia sampai seribu tahun lamanya?"
"Bisa! Itu sangat bisa!"
"Apakah menurutmu, Air Tuk Sewu berasal dari
sana?" Terperanjat Melati Sewu mendengar Air Tuk Sewu
disebutkan Pendekar Mabuk. Jantungnya menjadi
berdebar-debar. Menurutnya, hanya dirinya dan bekas gurunya yang sudah almarhum
itulah yang mengetahui adanya Air Tuk Sewu. Tapi sekarang
Pendekar Mabuk yang sejak tadi meneguk tuak
berulang kali itu mengetahui adanya air keramat
tersebut. Melati Sewu sempat bingung memberikan
jawabannya. Pendekar Mabuk buru-buru berkata, "Apakah kau tahu, bagaimana caranya supaya
bisa mendapatkan
Air Tuk Sewu?"
Melati Sewu belum bisa menjawab, tapi ia ganti
bertanya, "Dari mana kau tahu ada air keramat yang bernama Air Tuk Sewu?"
"Dari seorang teman perempuanku yang bernama
Gayanti, atau si Giwang Kencana!"
"Oh..."!" wajah Melati Sewu jelas-jelas terkejut tegang.
"Satu purnama yang lalu dia bicara padaku ingin meminum Air Tuk Sewu."
"Satu purnama yang lalu"! Oh, tak mungkin!"
sanggah Melati Sewu dengan hati gusar. "Tak
mungkin kau bicara dengannya satu purnama yang
lalu!" "Mengapa kau bilang tak mungkin?"
"Ka... ka... karena..., ah! Tak mungkin itu!" Melati Sewu bingung menjelaskan.
Pandangan matanya pun
kelihatan nanar dan paras wajahnya pucat. Pendekar Mabuk tersenyum tipis, tapi
dalam hatinya sudah
merasa lega, berarti memang Melati Sewu itulah yang membunuh Gayanti. Dewa Racun
tak salah duga.
Sebenarnya Pendekar Mabuk ingin bicara lebih


Pendekar Mabuk 010 Manusia Seribu Wajah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panjang tentang kematian Gayanti dan tindakan keji Melati Sewu. Tapi Badai
Kelabu telah lebih dulu
menghampirinya dan berkata,
"Guru ingin bertemu denganmu! Ikutlah aku ke
kamarnya!"
Badai Kelabu menyerahkan kain putih yang sudah
terlipat rapi. Pendekar Mabuk heran memandangi
kain itu. Namun Badai Kelabu cepat-cepat
menjelaskan, "Sebagai tutup hidung! Karena di dalam kamar bau busuk amat menyengat hidung!
Datangnya dari luka
di sekujur tubuh Guru!"
Pendekar Mabuk hanya menggenggam kain putih
menyerupai sapu tangan itu. Sebelum sampai di
kamar yang dimaksud, Suto menenggak tuaknya
beberapa teguk. Lalu, ia ikuti langkah Badai Kelabu yang masuk di sebuah ruangan
lebar. Di situ bau
busuk sudah tercium tajam. Tapi Suto tetap tenang.
Badai Kelabu sudah mulai tutupkan kain ke
hidungnya. la memberi isyarat pada Suto agar segera menutup hidung, tapi
Pendekar Mabuk hanya
tersenyum, sepertinya tak pernah merasakan bau
busuk yang memualkan perut itu.
Sebuah pintu kamar dibuka, Pendekar Mabuk dan
Badai Kelabu masuk. Tetap saja Pendekar Mabuk
tidak menutup hidungnya. la bisa bernapas dengan
lancar, tanpa merasa terganggu bau busuk yang lebih tajam itu.
"Guru," kata Badai Kelabu. "Inilah tabib muda yang saya katakan tadi! Dia
bersedia menyembuhkan
Guru!" "Hmmm... ya, suruh dia segera melakukan
pengobatan untukku!" ucap orang yang berbaring dengan sekujur tubuh membusuk
hitam. Hanya bagian wajahnya yang masih kelihatan kecoklat-
coklatan. Pendekar Mabuk tertegun bengong memandang
orang yang berbaring dalam keadaan amat menderita
itu. Orang itu bertubuh agak gemuk, usianya sekitar enam puluh lima tahun.
Matanya lebar, berkumis
lebat. Dari raut mukanya, Pendekar Mabuk bisa
menilai kebengisan dan keganasan orang itu semasa
mudanya. Bibirnya tebal, hidungnya agak besar.
Walau rambutnya sudah memutih, tapi Pendekar
Mabuk dapat membayangkan kalau rambut itu hitam
dan lebat. Sebilah pedang bergagang hitam ada di dinding
dekat pembaringan itu. Pendekar Mabuk berdebar-
debar memandang pedang itu. Darahnya bagaikan
mendidih dan bergejolak tak tentu arah. Pendekar
Mabuk berusaha memendam kegusaran hatinya
dengan menelan napas beberapa kali. Tapi ia tak
mampu menghentikan tangannya yang gemetaran,
tak mampu menutup wajahnya yang menjadi pucat
pasi melihat guru Badai Kelabu yang terkapar tak
berdaya itu. Wajah Guru tersebut diperhatikan terus oleh mata
Pendekar Mabuk, membuat dada Pendekar Mabuk
terasa mau pecah saat itu juga. Maka, segera ia
bergegas keluar dari kamar itu dengan terengah-
engah. Badai Kelabu merasa heran dan segera
menyusul Pendekar Mabuk ke luar kamar.
"Suto, ada apa" Apa yang kau tahu tentang
penyakit Guru?"
"Tidak apa-apa!" jawab Pendekar Mabuk sambil menggeletukkan gigi. la melangkah
pelan dengan sorot pandangan mata menerawang tajam.
"Apa yang terjadi, Pendekar Mabuk" Katakanlah!
Wajahmu begitu pucat! Tanganmu gemetaran! Ada
apa sebenarnya, Pendekar Mabuk"!"
* * * 5 DEWA Racun masih termenung sendirian atas batu
besar. Pandangan matanya terlempar jauh di batas
cakrawala antara langit dengan permukaan air laut.
Dari tempatnya masih bisa dilihat samar-samar
gerakan air laut. Tetapi bukan air laut itu yang dilihat oleh mata hati si
kerdil berpakaian bulu putih itu.
Bukan air laut yang dibicarakan oleh batinnya,
melainkan dendam yang nyaris membakar habis
darahnya. "Memang kadang kala dendam bisa merusak jiwa
sendiri, menyiksa perasaan dan merusak pikiran.
Dendam selalu menentang takdir, dan menentang
takdir adalah pekerjaan yang amat bodoh. Jika aku
masih memburu dendam, seakan aku tidak mau
menerima Keputusan dari Yang Maha Kuasa.
Padahal aku ini hanyalah manusia biasa yang semua
garis hidupnya sudah ditentukan dari atas."
Si kerdil berkepala botak bagian tengahnya itu
menarik napasnya dalam-dalam, kemudian hatinya
kembali berkecamuk sendiri,
"Kematian Gayanti sesungguhnya merupakan
pernyataan dari Yang Maha Kuasa, bahwa bukan dia
jodohku dalam hidup selanjutnya. Toh tanpa melalui pembunuhan yang dilakukan
Melati Merah, jika
memang Gayanti bukan jodohku, tetap saja aku dan
dia akan berpisah. Bodoh amat aku ini jika masih
memburu dendam untuk menentang kodrat. Benar
pula apa kata Suto, tak ada damai dan ketenangan di hati orang yang masih
memburu dendam. Tanpa
sadar dendam itu telah merugikan hidup orang yang
mau diperbudaknya. Sebaiknya kulupakan saja
persoalan masa lalu itu. Biarlah pembalasan datang sendiri dari Yang Maha Kuasa.
Pembalasan itu milik Dia, bukan milikku sendiri...."
Gemuruh di dalam hati Dewa Racun mulai mereda
setelah ia berpikir begitu. Napasnya kembali lapang,
tidak sesak seperti tadi. la bahkan bermaksud ingin menyusul Suto ke dalam
pesanggrahan. Tetapi, sebelum Dewa Racun bergerak, ternyata
Pendekar Mabuk sudah muncul dari arah
belakangnya. Suto diam tanpa bicara, berdiri di
sampingnya, memandang ke arah lautan lepas
dengan wajah pucat berubah menjadi kemerah-
merahan. Napas Pendekar Mabuk terhela dengan
berat, sepertinya ada beban besar yang harus ditarik dalam tiap helaan napasnya.
"Bagaimana" Sudah kau obati gurunya Badai
Kelabu itu?" Dewa Racun bertanya dengan suara lancar, karena sudah terlalu lama
membisu. Nada bicaranya itu pun terdengar lebih ringan, lebih lepas tanpa ada ganjalan apa
pun. Tidak seperti dalam
perjalanan tadi.
Suto menarik napas panjang-panjang dan
menahannya di dada beberapa saat. la masih belum
mau memandang Dewa Racun yang berdiri di atas
batu itu, hingga tingginya mencapai sebatas pundak Suto. Dewa Racun menatap
wajah Pendekar Mabuk
itu baik-baik, lalu mata hatinya menemukan adanya
keganjilan yang dirasakan Suto. Dewa Racun tahu,
ada ganjalan yang tak bisa ditutupi oleh Suto. Wajah merah itu jelas
mencerminkan nafsu amarah yang
mati-matian ditahan oleh Pendekar Mabuk.
"Ad... ad... ada apa sebenarnya, Suto?" tanya Dewa Racun dengan hati-hati.
Pendekar Mabuk masih diam
dengan dahi sedikit berkerut tajam. la ajukan tanya lagi,
"Apakah racun itu mengganas dan tak bisa kau
atasi" Atau... barangkali kau gagal menyembuhkan
guru Badai Kelabu itu" Hmm... apakah dia mati
karena pengobatanmu?"
Kini Pendekar Mabuk melemparkan pandang pada
Dewa Racun. Lama ia masih terbungkam. Sesuatu
yang ingin ia katakan tampak ragu dilepaskannya.
Dewa Racun mendesak,
"Bi... biiic... bicaralah, Suto!"
"Orang itu... orang itu parah," Pendekar Mabuk mulai mau bicara.
"Par... par... parah sekali?"
"Ya. Sekujur tubuhnya telah membusuk. Tak
ubahnya seperti mayat yang sudah dikubur berhari-
hari tapi masih bernapas. Dalam waktu dua atau tiga hari lagi, dia akan mati!"
Pendekar Mabuk menenggak tuaknya saat Dewa
Racun berkata, "Pantas Badai Kelabu ingin sekali merebut Batu Galih Bumi dari
tangan Ratu Pekat.
Tapi... tapi., tapi apakah kau sudah mencoba
menawarkan racun itu memakai tuakmu?"
"Belum," jawab Pendekar Mabuk pelan dengan satu kaki diangkat dan ditaruh di
atas sebuah batu setinggi lututnya. Suto sedikit membungkuk karena
lengan kirinya bertumpu di atas kaki yang ada di batu.
Tangan kanannya masih bertolak pinggang, dahinya
masih berkerut memikirkan sesuatu yang
membuatnya gundah gulana.
"Mengapa kau tidak mau menn... menn... mencoba menggunakan tuak saktimu itu?"
tanya Dewa Racun sambil pandang wajah Suto.
"Aku tak bisa gunakan tuak saktiku."
"Cobalah dulu, Suto. Sebab aku sendiri merasa tidak sanggup menawarkan racun
macam itu. Hanya
Batu Galih Bumi yang bisa tawarkan racun itu, dan...
dan mungkin tuak saktimu!"
Pendekar Mabuk menarik napas, tangannya
menggenggam kuat. Makin galau pikirannya, makin
gundah hatinya, dan hal itu sangat diketahui oleh Dewa Racun. Belum pernah Dewa
Racun melihat Pendekar Mabuk segundah itu selama ia ikut
bersama Suto. Kejap berikut, setelah mereka sama-sama saling
bisu, Dewa Racun berkata penuh hati-hati,
"Suto, cobalah kau gunakan tuak saktimu untuk sembuhkan orang itu! Cob... cob...
cobalah, Suto!"
"Aku... tidak bisa!"
"Mengapa tidak bisa?"
"Dia musuhku!" jawab Pendekar Mabuk datar dan dingin.
"Benarkah begitu, Suto?"
"Ya. Masih kuingat wajahnya dalam tiap tidurku!
Masih terbayang kekejiannya, saat dia membantai
keluargaku! Dia adalah Kombang Hitam, ketua Begal
Utara yang menghabisi nyawa keluargaku, dan yang
membuatku sebatang kara seperti saat ini! Dia yang mengejar-ngejarku bersama
Paman Dubang, sampai
akhirnya Paman Dubang, pengasuhku itu jatuh ke
jurang, dan aku lari terus dalam pengejarannya! Aku masih ingat, dia adalah
Kombang Hitam!"
Nada bicara Suto makin lama semakin meninggi.
Wajahnya pun kian lama kian memerah. Tangannya
menggenggam kuat-kuat, hingga dari genggaman
tangan itu mengepul ah asap putih sebagai tanda
panasnya darah dendam yang sudah lama membeku.
Dewa Racun menjadi takut melihat Pendekar
Mabuk pancarkan mata menyala-nyala. Dewa Racun
bisa rasakan darah Suto yang kini mendidih karena
bertemu dengan orang yang membantai habis
keluarganya. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Bocah Tanpa Pusar"). Dewa Racun tahu, betapa sulitnya menolong dan
menyembuhkan seseorang agar tetap hidup, sementara yang
disembuhkan itu adalah orang yang membantai habis
keluarganya. Sungguh hal itu adalah pekerjaan yang teramat sulit menurut Dewa
Racun. Menyembuhkan
orang yang seharusnya dibunuh, lebih sulit daripada menghancurkan gunung dengan
tangan kosong. Sekarang bukan saja tangan yang berasap, tapi
kaki Suto pun mengeluarkan asap, kulit tubuhnya
semburat merah bercampur keringat dingin. Cahaya
matanya menjadi bening, tapi berwarna merah samar-
samar. Pendekar Mabuk meneguk tuaknya lagi agak
banyak, lalu hempaskan napas sebagai pelega
kesesakan di dadanya.
Wuusss...! Dewa Racun tersentak kaget. Hembusan napas
yang tak seberapa keras itu telah mendatangkan
badai kecil. Sekecil badai dari napas Suto, namun
mampu membuat beberapa batuan besar tumbang
dan berguling-guling tersapu terbang. Beberapa
pohon yang posisinya ada di depan Suto menjadi
meliuk-liuk hingga ujung-ujung pucuknya menyentuh
tanah. Bahkan banyak yang menjadi patah pada
bagian pertengahan batangnya. Krakkk...! Wuurrrr...!
Brakkk...! Suara-suara seperti itu berbunyi saling bersahutan, seakan bumi mau kiamat,
langit akan runtuh dan
tanah menjadi retak. Keadaan alam yang mengerikan
itu membuat heboh beberapa penduduk di sekitar
tempat itu. Banyak yang memandang kagum dan
terheran-heran, tapi juga tak sedikit yang menjadi panik karena ketakutan.
"Suto... tahan amarahmu...," bisik Dewa Racun, sangat pelan sekali, karena ia
sendiri takut kepada amarah Suto.
Menyadari apa yang terjadi di depannya, Suto
terperanjat. la buru-buru menutup mulut dan
hidungnya, ia sendiri jadi ketakutan dan tegang.
Wajahnya terlihat penyesalan yang tak tertutupi lagi.
"Aku telah mengeluarkan napas Tuak Setan...,"
gumam Suto seperti bicara pada diri sendiri.
"Redakan murkamu it... it... itu, Suto!
Redakanlah...!" bujuk Dewa Racun masih tak berani menggunakan kata-kata tegas
dan keras. Pendekar Mabuk masih menutup mulut dan
hidungnya dengan sikap menyesal. la memandang ke
langit, ternyata mega-mega berkumpul menjadi satu
dan bergulung-gulung mengikuti arah angin badai.!
Suara gemuruh terdengar jelas. Suara gemuruh itu
adalah amukan ombak laut yang tampak dari
ketinggian tempat Pendekar Mabuk dan Dewa Racun


Pendekar Mabuk 010 Manusia Seribu Wajah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berada. Dewa Racun berulang kali merinding dan bergidik.
Baru sekarang ia melihat hembusan napas Tuan
Setan yang ada dalam diri Suto. Padahal napas yang keluar hanyalah napas
kelegaan yang pelan seperti
layaknya orang menghembuskan napas setelah habis
minum. Tapi karena di dalam hati Pendekar Mabuk
memendam amarah yang begitu besar; maka satu
hembusan kecil pun sudah mendatangkan badai yang
cukup dahsyat, walau tidak sedahsyat kala ia
hembuskan kepada Nagadipa dan Putri Alam Baka
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Pertarungan di Bukit Jagal").
Pusaka Tuak Setan telah tertelan oleh Pendekar
Mabuk. Padahal seharusnya pusaka itu dilenyapkan.
Si Gila Tuak, guru Suto, mengkhawatirkan hal-hal
seperti ini. Karena siapa pun orangnya yang menelan Tuak Setan, maka napasnya
akan menghadirkan
badai yang sangat besar dan berbahaya sekali bagi
orang lain. Jika orang yang menelan Pusaka Tuak
Setan dalam keadaan marah, walau marah yang
tertahan, satu hembusan napas bisa menyalurkan
seluruh tenaga dalamnya dalam wujud hembusan
badai dahsyat, itulah sebabnya si Gila Tuak sendiri tidak berani menelan Pusaka
Tuak Setan, karena
merasa dirinya masih sering dihinggapi nafsu amarah, dan takut amarahnya itu
membawa korban tak
bersalah. Tetapi, Pusaka Tuak Setan itu tertelan oleh Suto tanpa sengaja,
sehingga mau tidak mau Suto
harus selalu mengendalikan nafsu amarahnya agar
napasnya tidak berubah menjadi badai yang
membawa korban tak bersalah. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah
Asmara Gila").
Badai Kelabu menyusul Pendekar Mabuk sambil
memanggil-manggil dalam nada cemas. Itu
disebabkan karena Badai Kelabu melihat sendiri
datangnya angin badai yang tidak sewajarnya.
Perempuan itu takut Suto dan Dewa Racun
mengalami cedera akibat hembusan badai aneh
tersebut. "Pendekar Mabuk, kenapa kalian ada di sini" Tidak tahukah kalian bahwa baru saja
ada badai besar yang bisa menerbangkan rumah atau kapal?"
Suto berbisik kepada Dewa Racun, "Hadapilah dia, aku tak bisa bicara padanya!
Dendam lamaku membakar seluruh darahku, Dewa Racun!"
"Jangan begitu! Bukankah... bukankah... bukankah kau sendiri yang bilang agar
diriku jangan mau
diperbudak oleh dendam?"
"Hadapilah dia dulu. Aku ingin tenangkan diri!"
desak Pendekar Mabuk dalam bisik. Mau tak mau
Dewa Racun menyongsong kedatangan Badai Kelabu.
Suto duduk di batu setinggi lututnya itu. Kedua
lengannya bertumpu pada paha. Matanya
memandang ke tanah dalam sikap merenung. Tiba-
tiba ia sadari, tanah di bawahnya menjadi cekung.
Setiap ia bernapas, pasir-pasir di tanah itu menyibak ke sekitar kakinya,
semakin lama semakin dalam
cekungan tanah tersebut. Suto buru-buru menutup
hidung dan mulutnya. Terasa panas telapak tangan
yang dipakai menutup hidung itu karena terkena
hembusan napas, tapi Suto menahan rasa panas itu
ketimbang! Badai Kelabu mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi di tempat itu.
"Jang... jang... jangan ganggu Suto dulu," kata Dewa Racun. "Di... dia... dia
sedang memikirkan cara pengobatan untuk gurumu!"
"Tapi dia tidak apa-apa?"
"Tidak. Bbi... bii... biarkan dia bersamaku. Kami perlu berembuk untuk melawan
rraaa... raa... racun yang menyerang gurumu."
Badai Kelabu tampakkan kecemasannya.
Sebentar-sebentar ia pandang Pendekar Mabuk
dalam kebimbangan. Dewa Racun segera bertanya
sambil menggandeng Badai Kelabu menjauhi
Pendekar Mabuk.
"Bbee... berapa usia gurumu itu?"
"Lebih dari enam puluh lima tahun. Mungkin tujuh puluh, mungkin juga lebih.
Apakah hal itu perlu kalian ketahui?"
"Ya. Unn... unnn... untuk menakar obat yang harus diberikan kepada gurumu, kami
harus tahu usia
gurumu." Padahal di dalam hati Dewa Racun bergumam,
"Lebih dari enam puluh lima tahun"! Berarti sesuai dengan usianya pada saat ia
mengejar-ngejar Suto
yang masih kecil."
Kemudian, Dewa Racun kembali ajukan tanya,
"Sssi... siapa... siapa nama gurumu sebenarnya?"
"Manusia Seribu Wajah," jawab Badai Kelabu.
Dewa Racun kerutkan dahi bernada heran. la
membatin, "Manusia Seribu Wajah" Kalau begitu, Pendekar Mabuk salah duga!"
"Ben... benar namanya itu?" tanya Dewa Racun menampakkan keraguan.
"Ya. Benar. Nama aslinya aku tak tahu. Tapi dia dikenal dengan julukan Manusia
Seribu Wajah. Hmmm... dulu, dia memakai julukan Kombang Hitam,
tapi setelah ia mampu mengubah diri, ia memakai
julukan Manusia Seribu Wajah."
"Kombang Hitam...," gumam Dewa Racun di dalam hatinya. "Kalau begitu, benarlah
dugaan Suto, orang itu adalah pembantai seluruh anggota keluarganya.
Hmmm... benar-benar Pendekar Mabuk dihadapkan
pada satu persoalan yang sangat rumit dan berat!"
"Apakah nama itu perlu?"
"lyy... iyy... iya," jawab Dewa Racun. "Un... untuk membacakan mantera
pengobatan, nama itu perlu
diketahui oleh aku dan Suto," Dewa Racun coba untuk senyumkan bibirnya walau
terasa kaku. Lalu, ia ucapkan kata lagi,
"Ting... ting... tinggalkanlah kami. Nanti kami akan datang sendiri ke sana.
Jagailah gurumu!"
Bujukan itu berhasil. Badai Kelabu segera
tinggalkan Suto dan Dewa Racun. Cepat-cepat orang
kerdil itu mendekati Suto dan berkata dengan penuh hati-hati,
"Dugaanmu benar. Tap... tap... tapi sikapmu sa.
lah." Suto Sinting palingkan wajah, menatap orang
kerdil yang ada di depannya itu. Sebelum Suto ajukan sanggahan ataupun bantahan,
Dewa Racun sudah
lebih dulu ucapkan kata,
"Tak boleh kau berrr... berrr... bersikap begini! Dia memang pembantai
keluargamu, tapi tugasmu
adalah menolong sesama manusia, tanpa pandang
bulu! Bukankah kau mengajarku untuk mengakui
adanya takdir dalam kehidupan kiiit... kiit... kita"
Kematian Gayanti adalah takdir yang tak dapat
dihindari, tapi tidak perlu diburu dendamnya.
Barangkali, kemmm... kemmmnu.. Kematian
keluargamu juga takdir yang tak dapat dihindari dan tidak perlu diburu
dendamnya."
"Aku tahu. Tapi betapa sulitnya menghindari
dendam yang telah membeku di darah ini!"
"Sesulit itulah diriku saat harus menerima
saranmu. Tapi akk... akkk... aku ternyata bisa
mengikuti saranmu! Aku bisa meredakan dendamku
untuk tidak membunuh Melati Sewu. Ap... ap...
apakah kau sendiri tak bisa melakukan seperti apa
yang kulakukan?"
Pendekar Mabuk tak bisa bicara lagi. la mengakui
kebenaran kata-kata Dewa Racun. Tadi ia banyak
bicara tentang dendam dan takdir, sekarang ia sendiri yang harus menjalankan
semua kata-katanya itu.
Suto bertekad untuk menjadi orang yang tidak hanya bisa bicara namun juga bisa
berbuat. Maka, ia pun
berusaha mati-matian menekan dendamnya agar
tidak mendidihkan darah lagi.
la membatin di dalam hatinya, "Hidup, jodoh, dan kematian, adalah bagian dari
kepastian yang sudah
digariskan oleh Dia. Aku tak ingin menjadi penentang kekuasaanNya. Sesulit apa
pun, aku harus bisa
belajar menerima garis kehidupanku ini! Kalau toh
aku berhasil membunuh Kombang Hitam lantaran
dendamku, mungkin Badai Kelabu atau orang di
pihaknya akan menyimpan dendam pula padaku.
Kalau aku berhasil dibunuh oleh mereka, mungkin
orang yang ada di pihakku juga menyimpan dendam
pembalasan kepada mereka. Begitu seterusnya, dan
tak tahu kapan harus berakhir. Bukankah manusia
hidup tidak hanya untuk memburu dendam dan
pembalasan" Tidak! Aku malu pada Dewa Racun.
Kalau Dewa Racun bisa meredam dendamnya,
mengapa aku tidak"! Aku juga harus bisa meredam
dendamku!"
Akhirnya Suto memutuskan diri untuk mengobati
Manusia Seribu Wajah, yang dulu dikenal dengan
julukan Kombang Hitam. Dewa Racun tampak senang
melihat Suto berhasil meredakan dendam dan
amarahnya, walau memakan waktu agak lama.
Bahkan Pendekar Mabuk sempat melakukan semadi
sebentar ketika hari menjelang petang. Semadi itu
dilakukan untuk meredakan hawa nafsunya dan
mengendalikan jiwanya.
Dua guci tuak disediakan untuk pengobatan
tersebut. Setiap tuak yang akan dipakai untuk
pengobatan selalu dimasukkan lebih dulu ke dalam
bumbung bambu yang selalu ada di punggung
Pendekar Mabuk itu. Cara pengobatannya pun tidak
hanya sekadar meminumkan tuak kepada Manusia
Seribu Wajah, tapi juga mengguyurkan ke sekujur
badannya. Tentang mengguyurkan tuak ke badan si
sakiti itu adalah saran dari Dewa Racun, yang diam-diam, telah mempelajari cara
kerja tuak Pendekar
Mabuk dalam setiap pengobatan.
Suto juga melakukan pengobatan dengan ilmu
'Sembur Husada'. Sekujur tubuh Manusia Seribu
Wajah itu disembur dengan tuak dari mulut Suto,
seperti yang dilakukan kepada Peramal Pikun. Hal ini dimaksudkan Pendekar Mabuk
selain supaya penyembuhan cepat terjadi, juga supaya Manusia
Seribu Wajah yang dulu berjuluk Kombang Hitam itu
akan lupa pada diri Pendekar Mabuk. Karena
Pendekar Mabuk itu merasa dirinya tak perlu diingat-ingat lagi oleh Kombang
Hitam. Malam dibiarkan lewat oleh mereka. Dan ketika
pagi menjelang, ternyata sekujur tubuh Manusia
Seribu Wajah sudah tidak lagi membusuk. Bahkan
secara mengagumkan sekali tubuh itu menjadi bersih oleh luka, tanpa bekas dan
menjadi seperti semula.
Kesehatan Manusia Seribu Wajah juga pulih, bahkan
terasa badannya lebih segar dari biasanya. Tentu saja hal itu menggembirakan
murid-muridnya, termasuk
Badai Kelabu dan Melati Sewu.
Manusia Seribu Wajah pun tampak gembira, ia
menepuk-nepuk pundak Badai Kelabu sambil
ucapkan kata, "Tak sia-sia kau membawa tabib muda itu kemarii Dia lebih ampuh
dari Batu Galih Bumi!"
"Tak ada tabib yang seampuh Suto, si murid sinting Gila Tuak itu, Guru.
Karenanya...."
"Tunggu!" potong Manusia Seribu Wajah. "Dia bernama Suto" Muridnya si Gila
Tuak..."! Oh, aku
ingat! Aku ingat siapa dia kalau begitu! Aku ingat...!
Mana dia sekarang"!" sentaknya mulai geram.
* * * 6 SUTO Sinting baru saja selesai memenuhi
bumbung tuaknya dengan tuak sisa penyembuhan
semalam. Dewa Racun juga sudah siapkan diri untuk
keberangkatan pulang ke Pulau Beliung untuk
mengambil Singo Bodong.
Tetapi ketika mereka berada di pelataran untuk
menemui Manusia Seribu Wajah, ia sudah dihadang
oleh Melati Sewu. Wajah perempuan Itu tampak
tegang ketika ia ucapkan kata,
"Cepatlah pergi ke pantai. Di sana sudah ada
perahu yang disiapkan untuk kalianl Pergilah
secepatnya!"
"Kami baru akan pamit kepada gurumu, Melati
Sewu," kata Pendekar Mabuk.
"Tidak perlu! Tidak perlu temui Guru lagi!"
Dewa Racun dan Pendekar Mabuk saling adu
pandang, lalu Pendekar Mabuk lontarkan tanya
kepada Melati Sewu,
"Mengapa kami tak diizinkan pamit kepada
gurumu?" "Beliau sedang marah! Beliau tahu bahwa
namamu Suto dan murid dari si Gila Tuak, beliau jadi berang! Pergilah cepat
sebelum beliau membunuhmu, Pendekar Mabuk!"
"Membunuhku"!" Pendekar Mabuk berkerut dahi sangat tajam. Dewa Racun hanya
memandang dalam
kebingungan. Lalu, Pendekar Mabuk ucapkan kata
kepada Dewa Racun,
"'Sembur Husada' membuat seseorang lupa pada
diriku, tapi sembuh dari sakitnya."
"Ak... ak... aku tahu. Dulu aku lihat sendiri hal itu terjadi pada Peramal
Pikun. Tap... tapi mengapa
Kombang Hitam masih ingat tentang dirimu?"
"Berarti ilmunya cukup tinggi! Ingatannya sulit dihapus dengan ilmu pengobatan
'Sembur Husada'!"
"Lekaslah pergi!" desak Melati Sewu. "Jangan sampai Guru temukan dirimu,
Pendekar Mabuki Nanti
dia membunuhmu!"
"Jang... jang... jangan layani dia, Pendekar Mabuk.
Sebaiknya kita memang harus cepat pergi!"
"Baiklah!" Suto Sinting segera bicara pada Melati Sewu, "Sampaikan salam dan


Pendekar Mabuk 010 Manusia Seribu Wajah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pamitku kepada Badai Kelabu!"
"Ya. Akan kusampaikan!" jawab Melati Sewu bagai tak sabar lagi menunggu
kepergian Pendekar Mabuk.
Pesanggrahan itu tidak seberapa jauh dari pantai.
Banyak melewati jalanan menurun diselingi pohon-
pohon pinus yang bercampur dengan pohon jati dan
sebagainya. Pendekar Mabuk dan Dewa Racun
menyusuri jalan itu tanpa banyak bicara. Mereka
harus cepat tiba di pantai dan segera meninggalkan Pulau Hitam itu.
Tetapi, tiba-tiba terdengar suara memanggil dari
arah belakang. "Sutooo...! Tunggu sebentar, Sutoooo...!"
Dewa Racun cepat palingkan pandang ke belakang
lalu berkata, "Bad... bad... Badai Kelabu, Pendekar Mabuk!"
Mereka segera hentikan langkah. Badai Kelabu
berlari-lari menyusul Suto dengan wajah tegang.
Gerakannya lebih lincah dari biasanya. Ketika ia tiba di depan Suto dan Dewa
Racun, napasnya tidak
terengah-engah. Hanya wajahnya yang sedikit kaku,
mungkin karena diliputi ketegangan.
"Ada apa. Badai Kelabu?"
"Ada yang lupa, belum kusampaikan padamu,"
jawab Badai Kelabu.
"Tentang apa itu?" tanya Pendekar Mabuk berkerut dahi.
"Tentang ini...!"
Plokkk...! Tiba-tiba tangan Badai Kelabu
menghantam kuat ke wajah Pendekar Mabuk. Cepat
sekali gerakan tangannya itu, hingga Suto tak sempat menghindarinya. Pendekar
Mabuk tersentak ke
belakang dua tindak.
Tentu saja Dewa Racun ikut terperanjat melihat
Badai Kelabu tiba-tiba menyerang. Bahkan menurut
Suto Sinting, pukulan Badai Kelabu bukan pukulan
tangan kosong, tapi dengan pengerahan tenaga
dalam yang cukup besar. Kalau Pendekar Mabuk
bukan orang berilmu tinggi, pasti pecah bibirnya dan rontok giginya. Tapi karena
Pendekar Mabut punya
ilmu yang tidak seharusnya diremehkan, maka
pukulan keras bertenaga dalam itu hanya membuat
merah dagunya saja.
Badai Kelabu cepat ambil sikap menyerang
kembali. Tapi Dewa Racun segera menengahi dengan
menghadangkan diri di antara Pendekar Mabuk dan
Badai Kelabu. "Tahan...! Tah... tah... tahan dulu, Badai Kelabu...."
"Jangan ikut campur, Kerdil!" bentak Badai Kelabu, lalu kakinya berkelebat
menendang Dewa Racun.
Buhgg...! Wusss...!
Tubuh kecil Dewa Racun terlempar lima langkah
jauhnya. Badai Kelabu cepat putarkan badan dan
melayangkan tendangan kipas yang menyabet dada
Pendekar Mabuk. Dugg...! Pendekar Mabuk pun
mundur tersentak dua tindak.
Bukan karena Suto tak mau menangkis atau
mengelak, tapi ia ingin rasakan sebesar apa
tendangan Badai Kelabu. Ternyata cukup besar.
Pendekar Mabuk kerutkan dahi makin tajam.
Menurutnya, tendangan Badai Kelabu tak akan
sebesar itu. Kendati diiringi dengan pengerahan
tenaga dalamnya, tapi Pendekar Mabuk bisa
mengukur bahwa tendangan Badai Kelabu tak akan
sampai terasa di tulang belakang. Tapi kali ini,
Pendekar Mabuk merasakan tendangan itu bagai
ingin mematahkan tulang punggungnya walau yang
ditendang adalah dadanya.
Dewa Racun bangkit dan mau menyerang, tapi
dihalangi tangan Pendekar Mabuk. Pada saat itu,
Suto cepat berbisik,
"Ada yang tak beres pada dirinya!"
Dewa Racun cepat memandang Badai Kelabu
dengan dahi berkerut tajam. Dan tiba-tiba di kejauhan sana dua manusia perempuan
berlari mendekati
mereka. Suara kecil memanggil Suto. Dewa Racun
makin terkesiap matanya memandang Melati Sewu
sedang berlari bersama Badai Kelabu. Sedangkan
orang yang baru saja menendang Pendekar Mabuk itu
juga Badai Kelabu. Dewa Racun sempat dibuat
bingung beberapa kejap.
Cepat-cepat Pendekar Mabuk melayangkan
tendangan sampingnya ke arah Badai Kelabu yang
ada di depannya. Tapi tendangan itu tertangkis
tangan lawan. Gerakan menangkisnya begitu cepat
dan mempunyai kekuatan cukup tinggi, hingga tulang kaki Pendekar Mabuk merasa
linu beradu tulang
tangan lawan. Pendekar Mabuk cepat putarkan badan dengan
merendah dan badan membungkuk. Kakinya yang
kanan memanjang dalam putaran bawah dan
menyapu kaki lawan. Wusss...! Lawan melompat
menghindarinya dengan melancarkan tendangan
keras ke arah wajah Pendekar Mabuk. Tapi Suto
sudah siaga, gerak pancingannya termakan lawan.
Pada saat kaki lawan menjejak wajahnya itulah Suto segera menotokkan dua jari
tangannya ke mata kaki
lawannya. Ttebb...!
Satu kali totokan bertenaga tinggi telah membuat
lawan mengerang panjang sambil tubuhnya
mengejang. Dan tiba-tiba sosok tubuh sebagai Badai Kelabu itu berubah wujud
menjadi sosok tubuh lelaki berwajah angker, berambut putih dan berkumis putih,
badan sedikit gemuk dengan pakaian hitam berjubah
abu-abu, di punggungnya terselip sebuah pedang
bergagang hitam. Sosok itu tak lain adalah sosok si Kombang Hitam, alias Manusia
Seribu Wajah. "Bangsat kau!" geram Manusia Seribu Wajah.
"Rupanya kau menguasai jurus 'Sekat Nadi' yang bisa membuyarkan perubahan
wujudku, hah"!"
Pendekar Mabuk yang sudah menarik diri setelah
wujud Kombang Hitam terlihat jelas itu, hanya
tersenyum tipis dengan tetap berdiri agak
menyamping. Matanya tajam menatap lawan tak
berkedip. Terdengar suara Badai Kelabu yang asli berseru,
"Guru! Jangan teruskan, Guru! Saya mohon jangan teruskan perselisihan ini!"
Kombang Hitam memandang kedua muridnya
yang baru saja tiba dengan mata garang
menyeramkan. Melati Sewu tak berani lebih dekat
lagi, sebab dia tahu jika gurunya sedang murka
begitu, apa saja yang ada di dekatnya bisa dijadikan sasaran kemarahannya. Tapi
Badai Kelabu yang
merasa bertanggung jawab atas kedatangan
Pendekar Mabuk dan Dewa Racun ke pulau itu,
memaksakan diri untuk mendekati gurunya dan
membujuk amarahnya.
"Guru, saya mohon dengan hormat, jangan sakiti dia, Guru!"
Plokk...! Tangan Kombang Hitam berkelebat mengibas ke
samping dan wajah Badai Kelabu yang menjadi
sasarannya. Tubuh perempuan itu terpental empat
langkah jauhnya dengan tulang pipi menjadi biru
legam. la jatuh tak jauh dari Melati Sewu, dan segera ditolong untuk bangkit
berdiri. Melati Sewu bisikkan kata,
"Hati-hati, jangan terlalu dekat dengan Guru jika beliau sedang begitu! Bisa
mati kau!" '
Kombang Hitam yang sudah berusia cukup banyak
itu ternyata masih menyimpan semangat dendam
seperti dulu kala. Matanya memancarkan api
membunuh begitu jelas, sehingga napasnya pun
terlihat cukup deras hembusannya.
"Suto! Kau masih ingat siapa aku, hah"!" suaranya pun tegas.
"Ya. Aku masih ingat! Kau yang membantai
keluargaku!" kata Suto tak kalah tegasnya.
"Bagus! Bagus kalau kau masih ingat, karena
hanya kau satu-satunya orang yang lolos dari
pembantaian itu! Matiku tak akan tenang jika
keluarga Wiseso yang tertinggal belum kubunuh!"
"Kombang Hitam! Sejak kulihat kau pertama dalam keadaan sekarat di dalam
kamarmu, aku sudah
mengenali siapa dirimu! Kalau aku mau lakukan,
mudah sekali membunuhmu dalam keadaan seperti
itu!" "Itu menandakan kau anak yang bodoh!" sentak Kombang Hitam.
"Terserah caramu menilai. Tapi yang jelas, aku tak mau diperbudak oleh dendam
masa lalu! Ku lupakan
masa lalu itu, dan kusembuhkan luka parahmu yang
hampir merenggut nyawamu! Tapi seperti inikah
pembalasanmu padaku, Kombang Hitam?"
"Ya!" jawab Kombang Hitam dengan menyentak keras. "Kau pun seharusnya mati pada
usia delapan tahun! Tapi niatku membunuhmu terpaksa kutunda!
Kuberi kau kesempatan untuk hidup, menikmati
masa remajamu, menikmati masa dewasamu, dan
sekarang sudah waktunya kau menikmati masa
kematianmu, Sutol"
"Aku tidak bersedia melayani dendammu,
Kombang Hitam! Aku bukan budak nafsuku sendiri!
Selamat tinggal!"
Slappp...! Pendekar Mabuk cepat sentakkan kaki
dan pergi dengan begitu cepat bagaikan angin lewat.
Dewa Racun pun mengikutinya walau sedikit
tertinggal oleh Pendekar Mabuk.
"Jangan lari kau, Sutooo...!" teriak Kombang Hitam.
Ketika ia hendak mengejar Pendekar Mabuk,
Badai Kelabu cepat menyergap kedua kaki Kombang
Hitam. "Guru! Jangan bunuh dia! Ingatlah, Guru...! Dia telah menolong menyembuhkan luka
parah yang Guru derita! Dia telah menyelamatkan nyawa Guru!
Kumohon, jangan bunuh dia, Guru!" Badai Kelabu menangis sambil memeluk kaki
gurunya. Manusia Seribu Wajah itu menggeram dengan
sangat marahnya. Maka, ia pun sentakkan kakinya ke depan dan tubuh Badai Kelabu
terlempar kembali
lebih jauh dari yang pertama. Tubuhnya membentur
batang pohon dan jatuh sambi! memekik tertahan.
Tanpa peduli tangis dan rintih muridnya, Manusia
Seribu Wajah cepat tinggalkan tempat dengan
gerakan seperti Suto. Tubuhnya lenyap begitu saja, tak terlihat lagi bentuk dan
wujudnya. Sedangkan
Badai Kelabu yang merasa sakit di bagian tulang
punggungnya segera dibantu oleh Melati Sewu untuk
berdiri. "Melati Sewu, tolong... cegah tindakan Guru!
Kasihan Pendekar Mabuk dan Dewa Racun! Kau tahu
sendiri, mereka telah menyelamatkan nyawa Guru!
Mereka bukan orang jahat! Mereka bersikap baik
kepada kita!"
"Iya, iya... aku tahu! Tapi bagaimana cara
mencegah tindakan Guru" Kita tak bisa menahan
amukan Guru! Melawan Guru sama saja melawan
liang kubur, Badai Kelabu!"
"Bagaimanapun caranya, lakukan saja! Jangan
sampai Pendekar Mabuk mati di tangan Guru! Oh,
aku jadi menyesal jika begini. Menyesal sekali
mengapa aku membawa Pendekar Mabuk untuk
menolong Guru kalau akhirnya nyawa penolong itu
terancam oleh murka Guru"!"
Melati Sewu mengerti perasaan Badai Kelabu.
Melati Sewu diam-diam juga mengecam tindakan
gurunya yang tidak tahu berterima kasih kepada
orang yang telah menolongnya. Seketika Melati Sewu menjadi kurang suka dengan
gurunya. Tapi semua itu hanya bisa dipendamnya di dalam hati, tak berani
dilampiaskan dalam bentuk apa pun, karena Melati
Sewu tak ingin mati akibat murka sang Guru.
"Begini saja," kata Melati Sewu, "Kita ikuti terus mereka, sambil kita menjaga
Suto. Jika Suto dalam
keadaan terdesak dan Guru mau merenggut
nyawanya, kita ganggu serangan Guru dengan
membuat ulah yang menghambat gerakan Guru!"
"Baik," jawab Badai Kelabu sambil mengakhiri isak tangisnya. "Kita susul mereka,
Melati Sewu!"
Maka, kedua perempuan yang sudah memihak
Pendekar Mabuk secara tak langsung itu segera
melesat pergi. Kecepatannya masih belum sebanding
dengan kecepatan Pendekar Mabuk dan Manusia
Seribu Wajah. Sampai di pantai, langkah Suto terhenti karena ia
melihat seseorang berdiri di depannya. Orang itu
mengenakan jubah kuning dengan pakaian dalamnya
berwarna hijau. Rambut dan jenggotnya putih,
menggenggam tongkat di tangan kanannya. Suto
Sinting sangat terkejut melihat orang itu berdiri
menghadangnya, karena orang itu adalah si Gila
Tuak, gurunya sendiri.
"Eyang Guru..."!" sapa Pendekar Mabuk sambil sedikit membungkuk memberi hormat
kepada gurunya. "Apa yang terjadi. Suto?" tanya si Gila Tuak dengan dingin.
"Kombang Hitam masih menaruh dendam pada
saya dan ingin membunuh saya, Guru!"
"Menyingkirlah ke belakangku! Biar kuhadapi dia!"
Tapi, Guru...."
"Pergilah ke belakangku! Lekas!" sentak si Gila Tuak.
Suto pun bergegas pergi ke belakang si Gila Tuak
yang tak disangka-sangka datang ke pulau itu. Ketika Pendekar Mabuk berada di
belakang si Gila Tuak,
hatinya merasa sedikit tak enak melihat si Gila Tuak mengenakan gelang akar
bahar warna hitam. Seingat
Suto Sinting, gurunya tak pernah memakai gelang
akar bahar. Kecurigaan itu terlambat. Tiba-tiba si Gila Tuak


Pendekar Mabuk 010 Manusia Seribu Wajah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sodokkan tongkatnya ke belakang dan tepat
mengenai ulu hati Pendekar Mabuk. Buhgg...!
"Huggh...?""
Pendekar Mabuk terbungkuk seketika. Sodokan
tongkat itu begitu kuat dan dialiri tenaga dalam yang
cukup besar. Mata Suto mendelik dan berkunang-
kunang. Napasnya bagai terhenti di pertengahan
dada. Si Gila Tuak segera balikkan badan sambil kakinya
berkelebat naik dan menendang wajah Pendekar
Mabuk dengan kerasnya. Plokkk...! Wajah Pendekar
Mabuk tersentak ke samping, bersamaan dengan itu
tubuhnya terlempar oleng hingga jatuh di pasir pantai.
Cepat-cepat Pendekar Mabuk kibaskan kepalanya
membuang pandangan yang berkunang-kunang itu.
Jari tangan bagian telunjuk kanan mulai mengeras,
lalu ia sentilkan telunjuk itu ke depan dalam keadaan masih rebah miring di
tanah. Sentilan jurus 'Jari
Guntur' itu tidak mempunyai wujud ataupun warna,
namun gelombang tenaga dalam yang dikeluarkan
cukup tinggi. Sentilan itu diarahkan di mata kaki si Gila Tuak.
Dubb...! Mata kaki itu tepat terkena sentilan 'Jari Guntur'.!
Si Gila Tuak meraung keras sambil mengangkat
kakinya yang tersentil itu. la berjingkat-jingkat dengan satu kaki, dan pada
saat itu wujud si Gila Tuak pun pudar, berganti ujud Manusia Seribu Wajah alias
Kombang Hitam. "Baru sekarang aku menghadapi lawan setangguh ini!" gumam Pendekar Mabuk di
dalam hati, dan demikian pula gumam Kombang Hitam di batinnya.
Keduanya saling berhadapan siap menyerang lagi.
Tapi dalam hati Suto selalu berusaha agar tidak
melakukan penyerangan. la tidak ingin membunuh
karena dendamnya yang telah membeku selama dua
puluh tahun itu. la hanya ingin menghindari dan
memberi pelajaran kepada orang berilmu tinggi yang tak tahu balas budi itu.
"Bocah sinting! Semakin lama kau membuatku
semakin bernafsu untuk melenyapkan nyawamu,
tahu"!"
"Kombang Hitam! Kuasailah amarahmu.
Kendalikan nafsumu! Untuk apa kita saling
membunuh jika persoalan itu sudah lama berlalu!"
"Tutup bacotmu, Bocah dungu!" sentak Kombang Hitam. "Sebelum kulenyapkan sisa
keturunan Ronggo Wiseso, tak akan tenang arwahku bersemayam di
alam baka nanti!"
"Kau benar-benar telah diperbudak oleh dendam, Kombang Hitam! Kau selalu
memaksaku untuk
membunuhmu! Padahal hal itu tak perlu terjadi.
Kurang puaskah kau telah membantai semua
keluargaku"!"
"Belum semuanya! Masih ada yang tersisa, yaitu kau!" sentak Kombang Hitam sambil
tangannya dihentakkan ke depan dengan jari telunjuk mengeras.
Dari ujung jari itu keluar sinar merah berkelok-kelok bagai lidah petir.
Wuttt...! Gerakan sinar yang cepat itu menghantam tubuh
Pendekar Mabuk. Namun pada saat itu Pendekar
Mabuk cepat ambil bumbung tuaknya dan dipakai
untuk menghadang kilatan sinar merah itu. Tubb...!
Sinar itu membentur bumbung tuak dan memantul
balik menjadi lebih besar serta lebih cepat. Wussss...!
Crasss...! "Aaahg...!" Kombang Hitam terpekik dengan mata mendelik. Karena ia tak menduga
sama sekali bahwa
sinar merah dari jarinya itu akan memantul balik
dalam keadaan lebih besar dan lebih cepat. Kombang Hitam tak punya kesempatan
mengelak karena
jaraknya dengan Pendekar Mabuk hanya antara lima
langkah. Akibatnya, sinar merah itu mengenai ujung
pundak kirinya. Pundak kirinya itu menjadi bolong dari bagian depan di atas dada
sampai ke belakang, di
sudut punggung.
"Jahanam kaaauu...!" geram Kombang Hitam segera mencabut pedangnya. Srett...!
Lalu, ia melompat bagaikan harimau terbang dengan pedang
siap ditebaskan dari atas ke bawah.
Pendekar Mabuk berdiri agak merendah. Tabung
tuaknya dipegang dengan dua tangan dan
dihadangkan melintang ke atas kepala. Pedang itu
pun ditebaskan sekuat tenaga dan berbenturan
dengan bumbung bambu tempat menyimpan tuak itu.
Trasss...! Nyala api merah memercik ke mana-
mana akibat benturan pedang baja dengan bumbung
bambu itu. Dan yang membuat Kombang Hitam
makin mengganas adalah setelah ia melihat bahwa
ternyata pedangnya itu patah menjadi beberapa
bagian, tinggal bagian kecil yang menancap di bagian gagangnya.
"Bangsat kau! Pedang pusakaku kau buat begini, hi aaaat...!"
Begggh...! Kombang Hitam berhasil menendang
lengan Suto. Tendangan keras dan bertenaga dalam
itu membuat Pendekar Mabuk terlempar ke samping
dalam jarak tiga langkah. la menjadi limbung dan
bergerak oleng bagaikan orang mabuk parah.
Tubuhnya meliuk ke kiri dan ke kanan dengan kepala ikut terayun lemas.
Melihat lawannya sempoyongan, Kombang Hitam
tak mau gunakan kesempatan secara sia-sia. Dengan
cepat ia sentakkan kedua tangannya yang beradu
rapat pada pangkal pergelangan tangan itu. Sentakan kedua tangan ke depan
membuat cahaya biru
melesat. Padahal jaraknya dengan Suto Sinting hanya
antara empat sampai lima langkah. Tentu saja cahaya biru itu dengan cepat tiba
di tempat Pendekar Mabuk.
Tetapi, Pendekar Mabuk yang disangkanya
sempoyongan karena lemah itu, sebenarnya
menyiapkan diri untuk menghadapi serangan
berikutnya. Jurus mabuknya memang sering menipu
lawan, sehingga pada saat cahaya biru itu
menghantamnya, Suto sudah siap menangkis dengan
bumbung tuaknya.
Behgg...! Woosss...!
Cahaya biru itu membalik arah dan menjadi lebih
besar serta lebih cepat. Kombang Hitam terkesiap
dan terpaku di tempat. Akibatnya sinar biru dari
pukulan mautnya itu menghantam telak dadanya.
Blarrr...! Tubuh Kombang Hitam tidak tersentak sedikit pun.
Tetap berdiri tegak. Tapi sekujur tubuhnya menjadi hitam bagai habis disambar
petir. Matanya merah,
mengucurkan darah, ia masih sempat menggeram
benci sambil mulutnya mengucurkan darah merah
kehitaman. Pada saat Badai Kelabu dan Melati Sewu tiba di
tempat, Kombang Hitam rubuh ke tanah tak
bernyawa lagi. "Guruuu...!" teriak Badai Kelabu sambil berlari-lari.
Dewa Racun hanya diam saja, berdiri di bawah
pohon sejak tadi. Tapi ia siap melancarkan serangan jika Badai Kelabu atau
Melati Sewu diam-diam
melepaskan pukulan kepada Pendekar Mabuk.
* * * 7 KALAU saja ada pilihan lain, Pendekar Mabuk akan
memilih jalan lain. la sudah berusaha menghindar, ia sudah berusaha tidak
menyerang, tapi toh akhirnya
Kombang Hitam itu mati pula di tangannya. Itulah
suratan takdir!
Sambil mendayung perahunya yang mati karena
tak ada angin, Suto masih merenungi kematian
Kombang Hitam. Peristiwa itu telah mengingatkan
dirinya bahwa dendam tak perlu diburu, bahwa
pembalasan akan tiba sendiri pada saatnya.
Sekalipun ia sudah mengelak dari dendam, sekalipun ia sudah berusaha agar tidak
membalas kematian
keluarganya yang dibantai habis oleh Kombang
Hitam, tapi di pihak lawan justru serahkan nyawa
sebagai penebus dan pembalasan atas pembantaian
itu. "Tak kusangka kematian Kombang Hitam akhirnya ada di tanganku juga, walau
secara tidak sengaja,"
pikir Suto. Lalu, terbayang wajah bapaknya yang
dihajar habis oleh anak buah Kombang Hitam,
terbayang pula wajah ibunya yang dengan penuh
kasih sayang sering menciumi kepalanya.
Terbayang pula wajah kakaknya, yang sering
mengatakan Suto sebagai anak bandel. Terbayang
pula wajah pembantunya, yang sering merasa jengkel karena ulah kenakalan Suto.
Pembantu itu pun mati
terpenggal kepalanya oleh anak buah Kombang
Hitam. Suto pun terbayang wajah Paman Dubang
yang dengan setia mengasuhnya, bahkan waktu
peristiwa itu terjadi, Suto sedang diajar naik kuda oleh Paman Dubang. Terngiang
di telinga Suto jerit kematian Paman Dubang yang terperosok jatuh ke
jurang dalam pengejaran Kombang Hitam,
Hati Suto tergores pedih, namun ditahannya
dengan cara menarik napas dalam-dalam,
"Aku sudah membalaskan kematian kalian, walau sebenarnya aku tidak menghendaki
adanya pembalasan," kata Pendekar Mabuk di dalam hatinya yang seolah-olah bicara kepada
roh para korban.
"Namun pembalasan itu akhirnya datang juga, dari Yang Maha Kuasa, melalui
perantara tanganku
sendiri! Semoga kalian tenang di alam kelanggengan sana. Semoga Bapak dan Ibu
bangga melihat anaknya menjadi seperti saat ini. Sehebat apa pun
aku sekarang ini, tak akan mungkin bisa menjadi
begini jika tanpa kalian; pengasuhku, perawatku,
pembimbingku, semasa aku masih bocah kecil!"
Glegar...! Kilat menyambar di langit. Mendung mulai
menutupi mentari. Air laut bergelombang, makin lama terasa semakin meninggi
Istana Kumala Putih 10 Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Tusuk Kondai Pusaka 4
^