Pencarian

Manusia Seribu Wajah 3

Pendekar Mabuk 010 Manusia Seribu Wajah Bagian 3


ayunannya. Dewa Racun
yang berada di haluan segera berseru,
"Akan tur... tur... turun hujan, Suto!"
"Ya! Cepatlah masuk ke barak, biar aku yang
kemudikan perahu ini!" balas Suto Sinting dengan suara keras.
Angin menderu kencang. Hujan mulai turun rintik-
rintik. Sebentar lagi tak akan ada sisa cahaya
matahari karena senja semakin menua. Sekarang
pun alam sudah menjadi gelap, langit bagai diselimuti kain hitam raksasa. CIap...
claaap...! Glegaaar...!
Guntur bersahutan di langit, seakan mengancam
sebuah perahu berlayar tunggal yang sedang
terombang-ambing dipermainkan ombak samudera.
Kadang perahu meninggi, kadang jatuh terhempas
menjadi rendah. Kadang meliuk ke kiri, kadang
meliuk ke kanan. Hujan mengguyurnya semakin kuat
dan deras. Tapi Suto tatap berada di haluan dan
Dewa Racun tak mau tinggal diam di dalam barak
beratap rendah Itu.
"Suto? tul.. tu... tul.. tutup layar supaya badai tidak melemparkan perahu ini!"
"Ya! Tutuplah!"
Hanya berdua mereka di atas perahu dalam
perjalanan menuju Pulau Badung. Rencananya,
mereka hanya ingin mengambil Singo Bodong sambil
memeriksa apakah Hantu Laut sudah sampai di sana
atau belum. Tetapi, keduanya kini berada di tengah amukan badai laut. Dewa Racun
menduga perahu akan pecah seperti saat mereka tinggalkan tanah
Jawa beberapa waktu yang lalu.
Tatapi rupanya perahu yang mereka gunakan kali
ini lebih kokoh dan lebih tegar. Tamparan ombak dan hembusan badai bisa
ditahannya. Sayang sekali tak
ada cukup minyak di dalam perahu itu, sehingga
perjalanan malam menjadi gelap gulita. Hanya ada
sedikit minyak untuk menyalakan pelita kecil sebagai penerang barak dan sering
dibawa ke sana-sini bila hujan mereda.
Tapi hujan datang silih berganti. Kadang terang
kadang deras. Akibatnya, Suto dan Dewa Racun
membiarkan perahunya terapung-apung di atas
lautan bergelombang. Mereka cukup lelah menguras
air yang masuk ke perahu yang tadi hampir
menenggelamkan mereka. Keduanya tertidur di
dalam barak, dan bangun di pagi hari dalam cuaca
tak seburuk tadi malam.
Cuaca pagi itu sangat cerah. Matahari bersinar
dengan terang sekali. Langit putih bersih tanpa setitik mendung pun di sana.
Tetapi Dewa Racun segera
kerutkan dahi melihat sebuah pulau kecil berbentuk
seperti garpu dua mata. Perahu itu terseret ombak
sampai ke relung perairan di tengah pulau kecil itu.
"Sssuu... suuu... Suto!" panggil Dewa Racun yang ada di luar barak. "Per... perahu
kita kandasl"
Suto bergegas bangun dan keluar dari barak. la
memeriksa bagian lambung kapal, ternyata keadaan
perahu sedang terjepit di kedua tonjolan batu karang.
Lambung kapal robek sedikit, namun tak sampai
membuatnya bocor.
"Perahu kita hanya robek Sedikit bagian
lambungnya!" kata Suto. "Aku akan turun melihat batu karang itu!"
"Tap... tap... tapi mengapa perahu kita miring dan...
dan... banyak air di buritan!"
Suto terkesiap, cepat memeriksa bagian buritan. la terbengong, ternyata perahu
bocor besar di bagian
buritan. Suto menarik napas beberapa saat, lalu
berkata, "Kita harus menambal perahu ini, Dewa Racun!"
"Kit... kita... kita tidak punya per... per... per...."
"Perawan"!"
"Peralatan!" sentak Dewa Racun. "Kita tidak punya peralatan untuk menambal
perahu, sedangkan Pulau
Beliung masih cukup jauh. Kita bel... bel... bel...,"
"Beling"!"
"Belum! Kita belum melewati gunung karang yang runcing seperti waktu kita
berangkat tempo hari.
Ber... ber... ber...."
"Beranak"!"
"Berarti! Berarti kita masih jauh dari Pulau
Beliung!" "Kalau begitu, kita temui penduduk pulau ini dan minta bantuannya. Kita pinjam
peralatan untuk
menambal perahu ini!"
Pulau kecil itu memang penuh dikelilingi oleh
karang. Pantainya sangat dangkal. Semestinya
perahu tak bisa masuk ke celah di tengah pulau
berbentuk garpu mata dua atau berbentuk huruf U
itu. Hanya saja, semalam agaknya air laut pasang,
sehingga perahu bisa masuk ke relung itu, ketika air laut surut, perahu dalam
keadaan terjepit dua
gugusan karang yang tersumbul sedikit di permukaan air laut. Mau tak mau
Pendekar Mabuk dan Dewa
Racun menghubungi penduduk di pulau yang tak
diketahui namanya oleh mereka itu.
Tetapi Suto menjadi sangsi setelah menyadari
pulau kecil itu sunyi dari suara. Sesekali ada kicau burung, tapi tak ada suara
kehidupan manusia di
dalam kerimbunan hutan di bagian tengahnya. Bekas
sisa makanan atau perahu yang pernah ditambatkan
pun tak ada. "Pulau ini kosong," kata Suto. "Tak berpenghuni kecuali burung dan binatang
lainnya." "Jad... jad... jadi kita terdampar di pulau kosong?"
"Mestinya begitu!"
"Wah, lila... laa... lalu kita mau minta bantuan kepada siapa" Kita mau pinjam
peralatan buat tambal perahu kepada siapa"''
"Kepada burung," jawab Pendekar Mabuk sambil tertawa pendek. "Tapi coba kita
periksa bagian pantai sebelah sana!"
Keduanya melangkahkan kaki melalui semak
belukar. Tapi tiba-tiba tubuh Suto bagaikan tersedot bumi. Bruuussss...!
"Sut... Sut... Sutoooo...!" teriak Dewa Racun dengan suara gagapnya. Wajah
kerdil itu menjadi tegang. la sangka ada seseorang yang menarik kaki Suto dari
dalam sebuah lubang. Capat-cepat Dewa Racun
memandang sekeliling sambil pegang busur dan anak
panahnya. Gerakannya cepat dan penuh selidik. Anak panah siap dilepaskan kapan
saja terlihat ada yang mencurigakan.
"Dewa Racuuun...!"
Terdengar suara Suto Sinting dari kedalaman
lubang. Dewa Racun segera memeriksa lubang
tempat terperosoknya Suto Sinting. Ternyata lubang itu adalah sumur tua yang
sudah tidak terpakai lagi.
Sumur itu tertutup oleh tanaman liar hingga tak
terlihat lubangnya. Sumur itu sudah tidak berair lagi.
Tapi masih tampak lembab dindingnya, mungkin
karena hujan semalaman.
"Sutooo...! Baag... baaag... bagaimana
keadaanmu"!"
"Cepatlah turun! Di sini ada ruangan lebar!"
Dewa Racun tak tanggung-tanggung lagi, ia segera
ceburkan diri ke dalam sumur tua itu. Wuuus...! Prass, bruuk...! la Jatuh di
gundukan tanah berpasir.
Anehnya tanah itu kering bagai tak pernah terkena curahan air hujan dari atas
lubang sumur tersebut.
"Dewa Racun kita..."
"Ssst...!" Dewa Racun kasih isyarat agar Pendekar Mabuk diam sebentar. la cepat
pejamkan mata dan
letakkan telunjuknya di pelipis kanan-kiri. la sedang sadap suara percakapan.
Tapi beberapa saat
kemudian la lepaskan telunjuk itu.
"Sep... sepertinya ada orang di atas sana!"
"Kau dengar percakapan di atas sana?"
"Tid... tid... tid...."
"Tidur?"
"Tidak! Tidak ada percakapan. Hmmm... mungkin hanya perasaanku saja! Sepertinya
tadi kita tidak
menemukan gerakan manusia sedikit pun. Lupakan
soal perasaanku ini! Sek... sek... sekarang kita ada di mana ini, Suto?"
"Di dasar sumur!" jawab Pendekar Mabuk. "Tapi lihatlah, ada lorong seperti kamar
di sebelah sana.
Atapnya cukup tinggi!"
"Ad... ada cahaya hijau juga. Mung... mungkinkah ada orang yang menyalakan lampu
warna hijau di dalam kamar itu?"
"Mari kita periksa ke sana!"
Suto Sinting melangkahkan kaki lebih dulu. Ruang
yang diibaratkan seperti kamar itu ternyata sebuah lorong panjang. Cahaya hijau
semakin terang di ujung sana. Lorong itu makin lama makin lebar. Dindingnya
berlumut, dan lumut itu mengeluarkan sinar hijau
bagai mengandung fosfor. Cahaya hijau itu semakin ke dalam semakin luas dan
membuat ruangan lebar
tersebut dipenuhi oleh cahaya hijau.
"Tem... tem... tempat apa ini, Pendekar Mabuk?"
"Kalau kutahu sudah kukatakan padamu sejak
tadi," jawab Suto Sinting. "Justru aku sedang berpikir, tempat apa ini"
Kelihatannya tempat ini belum
pernah dijamah manusia. Lumut-lumut yang
memancarkan cahaya hijau itu belum ada yang
menyentuhnya, keadaannya masih tumbuh secara
alami. Tonjolan-tonjolan batu di dinding itu
menampakkan bahwa ruangan ini terjadi secara
alam, bukan buatan manusia! Hmmm... tapi lorong ini cukup panjang rupanya!"
"Kit... kit... kita ikuti saja sampai di mana ujung lorong ini!"
Mereka melangkahkan kaki tidak dengan terburu-
buru. Selain merasa kagum melihat tanaman lumut
bercahaya, mereka juga menikmati keindahan lekuk-
lekuk langit lorong yang mirip lukisan alam. Ada yang
bergelembung bagai bisul besar mau pecah, ada yang lonjong mirip hidung raksasa,
ada yang pipih dan
berbuku-buku. Semakin mereka melangkah jauh di
kedalaman semakin mereka menemukan banyak
keindahan. Di sela tanaman lumut yang menyala itu, terdapat
bebatuan yang berwarna-warni. Ada yang
menggerombol berbentuk bulat-bulat berwarna
kuning terang, ada yang dalam bentuk satu
bongkahan besar berwarna merah bening, bahkan
ada yang berbintik-bintik kecil mirip butiran biji salak berwarna coklat tua
yang bening, dapat memantulkan sinar hijau dari tanaman lumut itu.
"Ap... ap... apakah ini surga, Pendekar Mabuk?"
"Entahlah! Aku tak bisa bicara apa pun rasanya.
Begitu indah pemandangan di dalam gua panjang ini.
Aku merasa berada di dalam sebuah istana yang tak
pernah ada di permukaan bumi mana pun juga.
Lihat...!" Suto menunjuk ke satu arah. "Batuan itu berdiri seperti pilar
penyanggah langit-langit gua, tapi jelas bukan buatan tangan manusia! Pasti
terjadi secara alami!"
Dewa Racun terkagum-kagum melihat batuan
bening yang besarnya satu pelukan anak kecil, berdiri bagai menopang langit-
langit goa. Bentuknya tak
beraturan, tapi warna merah lembayung begitu cerah dan indah. Sangat
menakjubkan. Dewa Racun
mendekatinya pelan-pelan dengan mulut
terperangah. Tapi ketika ia mau memegang, tiba-tiba tangannya
buru-buru ditarik mundur. la terkejut dengan mata terbelalak lebar. Suto heran
melihat Dewa Racun
terkejut, lalu ajukan tanya,
"Ada apa" Kenapa kau tak jadi memegangnya?"
"Batu ini mempunyai racun yang berbahaya. Jang...
jang.. jangan coba-coba menyentuhnya!"
"Dari mana kau tahu?"
"Getarannya kurasakan. Te...te...te... telapak tanganku baru mau menyentuh sudah
terasa gatal!"
"Hmmm...," Suto menggumam sambil manggut-manggut. "Jelas sudah!"
"Ap... apanya yang jelas..."!"
Suto belum menjawab. Matanya tertarik pada
batuan merah yang mirip buah anggur menggerombol
di lorong depan. la segera dekati batuan itu, Dewa Racun mengikutinya. Dewa
Racun cepat bicara,
"lt... itu... itu batu mirah delima! Woow, bann...
ban... banyak sekali"!" Dewa Racun mendului
mendekat. Memandang lebih jelas. Ketika tangannya
mau menyentuh, tiba-tiba tangannya ditarik kembali seperti tadi. Wuuut...!
"Bat... bat... bat...."
"Batuk?"
"Batu ini! Batu ini juga beracun. Jangan
menyentuhnya!"
"Semakin jelas," gumam Pendekar Mabuk.
"Apanya yaaang... yaaang.. jelas"!" tanya Dewa Racun makin penasaran dengan
maksud Suto. "Semua keindahan ini hanya boleh dinikmati
dengan mata. Boleh dilihat, tapi tak boleh dipegang.
Boleh dinikmati tapi tak boleh dimiliki!"
Mengapa beg... beg... begitu?"
"Ajaran dari alam kehidupan," jawab Suto. "Di sekeliling kita banyak hal yang
menarik dan memikat hati, tapi tidak semuanya bisa kita miliki. Terutama jika
bukan milik sendiri, kita tidak bisa mengambil barang itu! Agaknya gua ini punya
ajaran kehidupan sendiri yang punya makna besar bagi manusia,
bahwa apa yang sering kita anggap indah menawan
hati, belum tentu menguntungkan bagi kehidupan
kita. Barangkali gua ini mengajarkan kita agar jangan mudah tergiur oleh
keindahan dan kemegahan. Gua
ini juga mengajarkan pada manusia agar selalu
waspada, bahwa di balik keindahan dan kemegahan
terdapat maut yang tersimpan!"
Dewa Racun angguk-anggukkan kepala dan
tambahkan kata, "Mung... mung... mungkin kita juga bisa belajar dari gua ini,
yaitu belajar mengendalikan nafsu pribadi agar tidak gegabah dalam bertindak.
Buktinya, kalau... kalau... kalau kita gegabah dan mengambil salah satu batu


Pendekar Mabuk 010 Manusia Seribu Wajah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang indah di sini, maka kita akan mati direnggut racunnya yang berbahaya
itu!" "Ya. Benar pendapatmu, Dewa Racun!"
Mereka melangkah semakin ke dalam. Mereka
tidak merasakan letih sedikit pun. Mereka tidak
sadarkan diri, bahwa mereka telah cukup lama
berada di dalam gua keindahan itu dan melangkah
sudah cukup jauh pula. Yang ada dalam hati mereka
adalah ketenangan batin, kegembiraan dan
kedamaian. Ruangan yang lebarnya lebih dari sepuluh tombak
itu mempunyai pilar-pilar alam yang berwarna-warni dan memancarkan kebeningan
yang indah. Pilar-pilar itu seperti sesuatu yang kental menetes dari atas dan
mengeras. Letak dan bentuknya tidak beraturan. Ada yang berongga, ada yang
seperti dua tangan terjuntai, ada yang mirip buah labu, ada yang seperti mata
tombak raksasa, semuanya mengandung seni
keindahan yang mahal dan sukar didapatkan di
permukaan bumi.
"Seee... semua pilar itu ber... ber... beracun!
Jangan sampai tubuh kita tersentuh sedikit pun!"
Dewa Racun mengingatkan.
Pilar-pilar itu semakin banyak, jaraknya semakin
sempit. Langkah mereka semakin hati-hati. Dan pada satu sisi tertentu, Pendekar
Mabuk hentikan langkah sambil berkata,
"Dewa Racun...! Aku mendengar suara gemercik air di depan sana!"
"Aaa... air... air"!" Dewa Racun pejamkan mata dan tempelkan telunjuk di
pelipis, lalu berkata lagi, "Ya, ad... ad... ada air di depan sana. Air yang
tertampung dalam satu tempat!"
"Jangan-jangan... Kolam Sabda Dewa"!" Pendekar Mabuk berkata dengan tegang.
* * * 8 LANGKAH demi langkah mereka susuri gua aneh
yang penuh dengan keindahan itu, sampai pada satu
langkah yang memaksa mereka harus berhenti. Dewa
Racun yang berjalan paling depan yang pertama kali menghentikan langkahnya,
sehingga Suto Sinting pun turut berhenti dan tertegun sebentar di situ.
Pilar-pilar indah sudah tak ada. Tapi lumut yang
memancarkan cahaya hijau masih ada, hanya
letaknya tidak lagi di dinding kanan kiri gua,
melainkan di langit-langit gua tersebut. Lumut-lumut berdaun panjang itu
menggantung bagai lampu-lampu hias yang memancarkan sinar hijau indah.
"Sut... Sut... Suto, haruskah kita tetap terus melangkah?"
"Pertimbangkan dulu sebelum melangkah," jawab Pendekar Mabuk.
Jelas Dewa Racun bimbang melanjutkan
langkahnya, karena lantai gua bagian depan mereka
bukan lagi dari tanah atau bebatuan biasa, melainkan dari kaca yang jernih dan
bening sekali. Karena
bening dan jernihnya, lumut-lumut di atas pun
terpantul jelas, hingga lantai gua itu bagaikan
memancarkan cahaya hijau bening yang sangat
terang. Sedangkan pada dinding kanan kiri gua,
masih terdapat aneka bebatuan yang punya warna-
warna cerah dan berkilap.
"Meng... meng... mengapa lantainya jernih sekali, Suto" Begitu jernihnya hingga
sep... sep... seperti air yang bening. Ak... aku takut menginjaknya!" kata Dewa
Racun. "Gua ini benar-benar penuh arti kehidupan," kata Pendekar Mabuk sambil matanya
memandangi bebatuan yang ada di dinding lorong berikut. "Lantai ini jernih, merupakan
peringatan bagi kita untuk
memperhitungkan setiap langkah yang akan kita lalui, memperhitungkan setiap
tindakan yang akan kita
lakukan. Jika kita berhati bersih, bening, dan
berpikiran jernih, maka setiap langkah kita pasti
membawa kemenangan tersendiri."
"La... lalu... lalu mengapa lumut-lumut itu sekarang tumbuh di atas kita?" tanya
Dewa Racun. "Hmmm...," Suto diam sejenak, kemudian berkata,
"Lumut itu menerangi kita, Dewa Racun. Dalam
falsafah hidup, kiranya kita tak boleh selalu merasa rendah diri dan minder.
Sekalipun kita nilainya hanya seperti lumut, tapi jika bisa menjadi penerang
bagi sesama, hendaknya terang kita tetap menjadi
penuntun kaki mereka agar tidak terperosok ke
dalam lubang. Sekecil apa pun pengetahuan dan ilmu kita, hendaknya kita bagikan
kepada mereka yang
membutuhkannya."
"See... se... sesuatu yang rendah belum pasti harus di bawah. Ada sisi lain yang
kita bisa ambil dari yang paling rendah itu, se... se... sehingga bisa kita
angkat menjadi sejajar atau lebih tinggi dari diri kita.
Barangkali begitulah makna lain dari lumut-lumut
yang memberi penerangan langkah kita di langit-
langit gua ini!"
"Benar pendapat mu, Dewa Racun. Dan
menurutku, kita tetap saja melangkah selama kita
mempunyai hati bersih dan pikiran sebening lantai
kaca ini!"
Maka, Dewa Racun pun mengawali langkahnya.
Mereka mulai menapak di lantai jernih itu. Satu hal yang membuat mereka heran,
tak ada bekas telapak
kaki mereka sedikit pun. Lantai kaca tetap menjadi lantai yang bersih, jernih,
dan bening. Tapi hal yang membuat mereka lebih heran lagi adalah adanya
bayangan diri mereka di dalam lantai kaca itu.
Bayangan tersebut bukan berbentuk wujud asli
mereka, seperti jika mereka berdiri di depan cermin biasanya, melainkan
membentuk bayangan hitam,
seperti bayangan mereka jika terkena sinar matahari.
Bayangan itu juga tidak berada dalam satu garis lurus dengan telapak kaki
mereka, namun sedikit tertinggal di belakang mereka, sepertinya mereka mendapat
sinar dari arah depan.
"Pendekar Mabuk, ken... ken... kenapa bayangan kita di cermin berbentuk hitam
dan mengikuti kita?"
Setelah diam berpikir beberapa kejap, Suto pun
menjawab dengan suaranya yang tenang.
"Bayangan hitam..." Sesuatu yang hitam biasanya simbol dari kejelekan atau
keburukan. Ini pun
merupakan ajaran dari sisi kehidupan, bahwa
kemana pun kita pergi selalu diikuti oleh sifat-sifat buruk yang ada pada diri
kita. Sifat buruk itu
membayangi kita senantiasa. Tergantung dari diri kita sendiri, apakah kita mau
memakai sisi buruk itu atau meninggalkannya" Tetapi pada awalnya, kebaikan
pasti datang paling depan, setelah itu baru di kuti keburukan yang merupakan
hal-hal yang bersifat
rencana untuk berbuat licik, rencana untuk berbuat tamak, rencana untuk
mementingkan diri sendiri dan sebagainya. Lantai cermin berbayangan hitam ini
merupakan peringatan bagi manusia, agar selalu
ingat dan waspada, bahwa keburukan atau kejelekan
selalu membayang-bayangi hidup kita. Jangan sampai kita lengah dan terkuasai
oleh bayangan hitam diri kita sendiri!"
Dewa Racun melepaskan tawa pelan. "Luuu...
luar... luar biasa cerdasnya otakmu, Suto! Tak rugi berteman denganmu walau
sampai berusia seribu
tahun lagi!"
Pendekar Mabuk pun membalas tawa dengan hati
terasa sangat bahagia. Kemudian ia melanjutkan
langkah yang membuat Dewa Racun segera
mengikuti dari belakang. Pandangan mata Suto
Sinting berseri-seri memperhatikan bebatuan indah
yang beraneka ragam bentuk dan warnanya.
Suara gemercik air semakin jelas. Pendekar
Mabuk ingin cepat sampai ke sumber suara gemercik
air itu. Tapi lagi-lagi langkahnya terhenti karena suatu hal. Dua orang
perempuan berwajah cantik sekali
datang dari arah depan Suto dan Dewa Racun. Dua
orang perempuan yang masih muda itu sama-sama
mengenakan pakaian semacam jubah putih dari
bahan kain sutera lembut Rambut mereka lurus
panjang, yang satu sebatas pinggang, satu lagi
sebatas punggung. Rambut itu begitu lembut dan
hitam sehingga ketika dipakai berjalan gerakan
rambut tampak gemulai sekali.
"Sssi... si... Siapa mereka itu?" bisik Dewa Racun sambil menyentak lembut
tangan Pendekar Mabuk.
"Entahlah, kita tanyakan saja siapa mereka!" Baru saja Suto ingin mendekati
langkah mereka, tapi
ternyata mereka sengaja berjalan mendekati
Pendekar Mabuk. Senyum mereka mengembang
dengan sangat indahnya. Begitu menawan hati
sehingga Pendekar Mabuk dan Dewa Racun sama-
sama merasakan kebahagiaan yang tak dimengerti
apa artinya. Satu dari perempuan cantik berhidung mancung
itu membawa gulungan kain merah, seperti angkin
atau kemben. Yang tidak membawa gulungan kain
segera menyapa Pendekar Mabuk dengan suaranya
yang lembut dan enak didengar,
"Selamat datang di Puri Gerbang Surgawi...."
Tentu saja hal itu sangat mengejutkan Pendekar
Mabuk dan Dewa Racun. Dewa Racun adalah orang
Puri Gerbang Surgawi, dan ia merasa bukan di dalam gua itu letak Puri Gerbang
Surgawi, melainkan di
Pulau Serindu. Justru kedatangannya menemui Suto
karena Dewa Racun diutus penguasa Puri Gerbang
Surgawi, yaitu Gusti Mahkota Sejati yang mempunyai nama asli Dyah Sariningrum,
untuk membawa Pendekar Mabuk ke Puri Gerbang Surgawi. Tapi
mengapa sekarang perempuan bergaun putih itu
mengatakan: "Selamat datang di Puri Gerbang
Surgawi?" Sementara Suto dan Dewa Racun saling
terbengong kebingungan, perempuan pembawa kain
gulungan itu menebarkan kainnya. Warna merah
beludru dibentang ke arah jalan selanjutnya.
Gulungan itu kecil, tapi ketika tangan berjari lentik itu menyentakkan gulungan
tersebut, kain merah
beludru menebar panjang dan berjalan sendiri
mengikuti arah jalan berlantai kaca itu.
"Silakan berjalan di atas kain merah ini, jangan keluar dari atas kain merah,"
kata perempuan yang tadi membawa gulungan kain.
Perempuan yang satunya berkata, "Silakan
melangkah Tuan-tuan Pendekar, Gusti Ratu sudah
menanti kedatangan Tuan-tuan Pendekar."
Pendekar Mabuk mengawali langkahnya di atas
bentangan kain merah, Dewa Racun ada di
belakangnya. Dua perempuan itu mengawal di kanan-
kiri mereka, tidak menginjak kain merah bludru. Rasa penasaran membuat Pendekar
Mabuk memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan
kepada perempuan di sebelah kanannya,
"Siapa kalian sebenarnya?"
"Namaku Sang Wengi, dan yang di sebelah kirimu itu bernama Sang Ramu."
"Namaku..."
"Suto Sinting, Pendekar Mabuk, murid si Gila
Tuak," sahut Sang Ramu dengan cepat. "Dan temanmu adalah Dewa Racun, yang punya
nama asli Gatra Laksana"!"
"Dari mana kalian tahu namaku dan nama
temanku itu?"
"Gusti Ratu yang memberitahukannya."
"Gusti Ratu siapa?"
"Gusti Ratu Kartika Wangi," jawab Sang Ramu.
Pendekar Mabuk dan Dewa Racun sama-sama
hentikan langkah karena kaget dan merasa bingung.
Dewa Racun segera berkata,
"Apa... apa... apakah sekarang penguasa Puri
Gerbang Surgawi sudah diganti?"
Sang Wengi yang menjawab, "Belum. Sebaiknya,
mari kita melangkah lagi. Gusti Ratu jangan sampai menunggu terlalu lama."
Mereka kembali melangkah dengan diliputi
keheranan yang tiada kunjung reda. Ingin sekali Suto menanyakan mengapa nama
Ratu Puri Gerbang
Surgawi bukan bernama Dyah Sariningrum" Tapi
lidahnya terasa kelu, pikirannya bercampur aduk,
sehingga yang terlontar pelan dari mulutnya hanyalah sebuah kalimat,
"Tak kusangka di gua indah ini ada penghuninya."
Sang Wengi segera berkata, "Hanya orang-orang yang bisa mengartikan makna
keindahan di dalam
gua ini yang bisa melihat kami."
Suto memperlambat langkah dan menatap wajah
Sang Wengi. Perempuan yang dipandangnya itu
mengatakan, "Selama ini baru kalian berdua yang bisa
mengartikan apa makna keindahan di dalam gua ini.
Baru kalian berdua yang bisa menjabarkan falsafah
kehidupan yang terpajang sepanjang lorong goa ini.
Dan baru kalian berdua orang yang berhasil
berperang melawan musuh yang paling berat."
"Musuh..." Siapa maksudmu?"
"Nafsu diri sendiri!" jawab Sang Wengi dengan senyum bijak yang menawan hati.
"Kalian berdua yang telah memenangkan pertarungan dendam di
dalam batin dan jiwa kalian masing-masing."
"Pertarungan dendam"!" Suto menggumam sambil tetap melangkah. "O, ya. Aku
mengerti maksudmu.
Aku dan Dewa Racun sama-sama telah berhasil
menahan diri agar tidak melampiaskan dendam
kepada musuh-musuh kami itu. Tapi..., aku telah
membunuh musuhku, yaitu Kombang Hitam. Dia
telah mati di tanganku."
"Dia telah mati oleh dendamnya sendiri, bukan oleh tanganmu. Jika dia bisa
berperang melawan
dendamnya seperti kamu, maka ia tidak akan
menyerang kamu, dan kekuatannya tidak membalik
mengenai dirinya sendiri, hingga dia mati hangus
begitu." "Dari mana kau tahu kalau Kombang Hitam mati
hangus?" "Kami melihat semua kehidupan yang kami
perlukan dari sini!" jawab Sang Ramu dengan wajah ceria.
Sang Wengi menyambung kata, "Bagi orang-orang yang tidak memiliki hati bersih,
gua ini tidak

Pendekar Mabuk 010 Manusia Seribu Wajah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempunyai keindahan sama sekali. Mereka tidak
akan menemukan istana Puri Gerbang Surgawi."
Dewa Racun ingin bertanya tentang Puri Gerbang
Surgawi, tetapi mulutnya sudah telanjur terperangah melihat lorong itu berakhir
di sebuah ruangan besar yang sangat indah dan megah. Pilar-pilarnya terbuat dari
susunan batu mirah delima, safir, zamrut dan
sebagainya. Lantainya bagai bentangan kaca lebar
dan luas yang sangat bening dan jernih. Dindingnya terbuat dari lempengan-
lempengan batu putih yang
memancarkan cahaya terang, serupa betul dengan
lempengan intan berukuran lebar dua tombak dan
panjangnya mencapai lima tombak tiap lempengnya.
Itulah sebabnya istana tersebut berpendar-pendar
cahaya menyilaukan, tapi setelah beberapa saat ada dalam cahaya itu, mata sudah
terbiasa memandang
tanpa rasa silau.
Kain merah yang tadi digulirkan itu ternyata sangat panjang. Kain tersebut
sampai ke tengah balairung
istana yang berlangit-langit tinggi dan mempunyai
delapan pilar besar itu. Kain tersebut pecah menjadi dua bagian, ke kiri dan ke
kanan, seolah-olah terpisah begitu sampai di depan singgasana berlapiskan
batuan putih intan itu.
Orang-orang berwajah cantik seperti Sang Ramu
dan Sang Wengi berdiri menyambut kedatangan Suto
Sinting dan Dewa Racun. Senyum mereka ramah
sekali, sehingga Suto Sinting dan Dewa Racun
merasa damai dan bahagia yang tak bisa dilukiskan.
Sang Wengi dan Sang Ramu membawa Pendekar
Mabuk dan Dewa Racun berdiri terpisah. Suto ke
kanan, Dewa Racun ke kiri. Mereka naik di atas lantai bundar yang ada di depan
singgasana. Tinggi lantai itu kurang dari setengah jengkal, tapi merupakan
tempat khusus untuk menghadap Ratu. Lantai yang
menyerupai piringan tebal itu tanpa tempat duduk,
lebarnya seukuran perisai lima jengkal. Ketika
Pendekar Mabuk dan Dewa Racun naik ke atas lantai
itu, kain merah sebagai alas berjalan mereka tadi
hilang lenyap begitu saja. Wuuut...!
Muncul pula perempuan-perempuan cantik yang
punya tinggi sama rata dengan pakaian serba kuning gading. Mereka muncul dari
satu pintu yang ada di
lantai atas, yang mengelilingi bentuk istana yang
bundar itu. Mata Suto dan Dewa Racun memandangi
bagian atas. Rupanya istana itu mempunyai tiga
lantai. Lantai bawah tempat Suto Sinting dan
perempuan berpakaian putih berada, lantai kedua
tempat perempuan-perempuan berpakaian kuning
gading berjajar mengelilingi dengan rapi. Lantai
atasnya lagi, muncul serombongan perempuan
berambut cepak berikat kepala seperti makhota
emas kecil dan menyandang pedang merah di
punggung. Jumlahnya lebih dari dua puluh lima orang.
Mereka mengenakan celana ketat sebatas betis
warna merah, mengenakan tutup dada merah juga,
dan dilapisi rompi panjang sebatas perut berwarna
merah pula. Sepertinya mereka adalah prajurit-
prajurit istana pilihan. Mereka berjajar dengan rapi seperti yang lainnya.
Terdengar suara bergaung menggema seperti
genta bertalu, Wuung...! Gema itu panjang, tapi tidak membuat berisik di
telinga. Bersamaan dengan suara itu, muncul seorang berpakaian serba ungu,
termasuk jubahnya yang berwarna ungu muda. Rambutnya
disanggul, mengenakan mahkota besar, kalung susun
tiga berhias batuan putih semacam mutiara dan
intan, giwangnya tak terlalu besar tapi jelas terbuat dari berlian. Perempuan
itu cantik, masih muda,
wajahnya oval, atau lonjong, bibirnya ranum indah, hidungnya mancung, kulitnya
putih. Semua orang dari lantai bawah sampai lantai atas
menundukkan kepala dengan satu kaki berlutut.
Melihat semuanya begitu, Pendekar Mabuk dan Dewa
Racun pun ikut-ikutan menunduk dengan satu kaki
berlutut, yaitu kaki kanan, tangan kanan
menggenggam ditempelkan lantai.
"Damai dan sejahtera buat kalian!" terdengar perempuan yang berdiri di depan
singgasana itu berkata memberi salam. Lalu, mereka kembali
bersikap biasa. Suto dan Dewa Racun pun berdiri lagi.
Rupanya perempuan berpakaian ungu itulah yang
disebut Gusti Ratu Kartika Wangi. Buktinya ia duduk di dampar kencana berhias
batuan intan berlian, lalu dengan senyum anggunnya ia menyapa Suto Sinting.
"Selamat datang di Puri Gerbang Surgawi, Suto Sinting!"
Suto diam saja, tak tahu harus membalas dengan
kata apa. la hanya menundukkan kepala sekejap
tanda menghormat.
"Selamat datang pula Dewa Racun, abdi pilihan, Duta Terpuji!"
Dewa Racun bingung dikatakan Duta Terpuji. Lebih
bingung lagi ketika ia melihat semua orang yang
mengelilinginya bertepuk tangan menyambut kata:
Duta Terpuji. "Apa maksudnya, Gusti Ratu" I" tanya Dewa Racun dengan bahasa yang lancar, tanpa
tergagap-gagap.
"Gelar itu untukmu, Dewa Racun! Kau adalah
utusan yang setia menemani Pendekar Mabuk,
membantu tiap ada kesulitan, mengarahkan pandang
pikirannya, dan menenteramkan hatinya jika sedang
gundah. Maka kuanugerahkan kepadamu sebuah
gelar kehormatan: Duta Terpuji!"
"Mohon ampun sebelumnya, Gusti Ratu," kata Dewa Racun. "Siapa yang mengutus saya
sebagai utusan menjemput Suto Sinting ini sebenarnya, Gusti Ratu?"
"Aku," jawab Ratu Kartika Wangi. "Aku yang mengutus kamu melalui mulut putriku,
yaitu Dyah Sariningrum, yang bergelar Gusti Mahkota Sejati,
berkuasa di Pulau Serindu, di Puri Gerbang Surgawi Nyata!"
Pendekar Mabuk menggumam dalam hati, "Oooo...
jadi Gusti Ratu Kartika Wangi ini adalah ibu dari Dyah Sariningrum dan Betari
Ayu. Jadi ternyata ada dua
Puri Gerbang Surgawi, yang nyata dan yang tidak
nyata!" Tiba-tiba Ratu Kartika Wangi berkata kepada Suto,
"Benar apa kata batinmu, Suto Sinting! Ada Puri Gerbang Surgawi yang nyata dan
yang tidak nyata!"
Terkejut sekali Pendekar Mabuk mendengar
ucapan Ratu. Ternyata kata batinnya bisa didengar
oleh sang Ratu. Tak berani Pendekar Mabuk
membatin hal yang bukan-bukan.
Ratu berkata lagi, "Aku adalah calon ibu
mertuamu, Suto Sinting. Karenanya aku ingin
bertemu denganmu dan memberimu tanda sebagai
orang kehormatanku dan yang harus dilindungi kapan saja, di mana saja kau
berada. Aku mengenal jiwamu yang polos, tegas, berani, dan bijaksana. Aku tahu,
kau sudah siapkan Kitab Wedar Kesuma di
punggungmu untuk mas kawin melamar putriku; Dyah
Sariningrum. Tapi ketahuilah, Suto... karena ke mana-mana kau selalu membawa
kitab itu, maka semua
ilmu dan jurus yang pernah kau pakai telah tertulis dengan sendirinya di dalam
kitab itu!"
Pendekar Mabuk terkejut, tapi tak bisa berbuat
apa-apa. Sang Ratu pun berkata lagi,
"Aku juga tahu kau menyimpan kasih sayang
kepada putri sulungku, yaitu Betari Ayu. Dia sangat sayang kepadamu. Tapi dia
lebih rela jika kau
mencurahkan segala cinta dan kesetiaanmu kepada
adiknya; yaitu Dyah Sariningrum. Aku melihat
ketulusan hatimu dalam mencintai anakku, Suto. Aku terkesan dengan keperwiraanmu
dan kependekaranmu. Sebab itu, pejamkan matamu
sebentar, Suto. Juga kau, Dewa Racun, pejamkan
matamu sebentar. Aku ingin memberimu tanda
merah di tengah kening!"
Pendekar Mabuk dan Dewa Racun pejamkan
mata. Lalu, telunjuk Ratu Kartika Wangi diacungkan.
Claap...! Keluar sinar merah jambu dari ujung telunjuk
itu, masuk ke kening Pendekar Mabuk. Demikian juga dilakukan kepada Dewa Racun.
Kini kedua kening itu telah bertanda merah bulat sebesar biji jagung. Rasa
dingin ketika sinar itu menerpa dahi.
"Buka mata kalian," perintah sang Ratu. "Suto, angkat telapak tanganmu yang
kanan dan hadapkan
kemari!" Pendekar Mabuk membuka telapak tangannya dan
dihadapkan kepada Ratu Kartika Wangi. Lalu, jari
tengah Ratu Kartika Wangi menunjuk, dan claap...!
Sinar biru melesat dan menancap di telapak tangan
kanan Suto. Sinar biru itu membentuk tato kecil di tengah telapak tangan
Pendekar Mabuk. Tato itu
bergambar pedang kecil yang ujung gagangnya
terdapat bintang segi lima.
Ratu Kartika Wangit berkata kepada Suto, "Nah, Suto Sinting... tato di tangan
kananmu itu adalah
lambang bahwa mulai hari ini, sebagai calon
menantuku yang berhasil memadamkan dendamnya
sendiri dengan kebajikan, maka aku mengangkatmu
sebagai Manggala Yudha Kinasih yang akan menjadi
panglima terdepan dari seluruh jajaran prajurit dan rakyat Puri Gerbang
Surgawi...!"
Prok prok prok...! Mereka bertepuk tangan. Tepuk
tangan itu hilang dan mereka segera memberi hormat seperti hormat yang dilakukan
kepada sang Ratu
Kartika Wangi. Pendekar Mabuk sendiri masih
bingung dan tak tahu harus berbuat apa. la hanya
memandangi orang-orang yang memberi hormat
kepadanya, termasuk Dewa Racun sendiri, dan lama
sekali mereka tidak kembali dalam posisi semula.
Maka, Suto pun segera ucapkan kata menirukan
ucapan Ratu Kartika Wangi tadi,
"Damai dan sejahtera buat kalian...!"
Mereka baru berhenti menghormat, kembali ke
posisi semula. Ratu Kartika Wangi tertawa pelan dari tempat duduknya.
"Itu ucapan khusus dariku, Pendekar Mabuk. Kau harus bikin ucapan salam kepada
mereka dengan bahasamu sendiri."
"Maaf, Ibu Ratu, saya belum tahu!"
"Pikirkanlah nanti saja. Yang jelas, kau dan Dewa Racun sudah menjadi warga Puri
Gerbang Surgawi di
bawah kekuasaanku. Jika kau ingin pergi dari sini, hapuslah keningmu dengan
tangan kanan, maka kau
akan berada di alam kasatmata. Demikian juga dari
alam kasatmata ingin masuk kemari, hapuslah
keningmu dengan tangan kanan. Tapi jika ingin
melihat alam kasatmata di tempat lain, untuk
menembus alam siluman atau alam gaib lainnya,
untuk melihat sesuatu yang tak bisa dilihat mata
telanjang, hapuslah keningmu dengan tangan kiri.
Untuk menghilangkannya juga dengan menghapus
kening memakai tangan kiri. Hal yang sama bisa
dilakukan pula oleh Dewa Racun!"
Dewa Racun membungkuk penuh rasa hormat dan
berterima kasih, Suto mengikutinya. Karena
dianggapnya, Dewa Racun lebih banyak tahu tentang
adat bersikap di lingkungan Puri Gerbang Surgawi.
"Tanda warna merah di kening kalian tidak akan bisa dilihat oleh siapa pun,
kecuali oleh orang-orang berilmu sangat tinggi, seperti gurumu; si Gila Tuak
itu, Pendekar Mabuk. Dan juga orang-orang kita sendiri
yang bisa melihat tanda merah di kening kalian
berdua." Dewa Racun membungkuk lagi. Hanya sedikit
gerakannya, dan Pendekar Mabuk mengikuti pula.
Agaknya Ratu Kartika Wangi semakin senang hatinya
melihat sikap hormat Pendekar Mabuk dan Dewa
Racun. "Untukmu, Suto..., tanda tato di telapak tangan kananmu itu memang bergambar
pedang kecil dengan bintang, karena itu simbol dari jabatan dan kehormatan sebagai Manggala
Yudha Kinasih; artinya Panglima Perang yang siap mati demi membela
kebenaran di mana pun juga adanya! Tapi dengan
menyentakkan tenaga dalam yang kau salurkan lewat
telapak tanganmu dalam keadaan terbuka miring,
kau akan bisa melepaskan pisau-pisau gaib yang
jumlahnya bisa ratusan, dan juga bintang-bintang
sebagai senjata rahasia yang jumlahnya juga bisa kau atur dari napasmu yang
tertahan. Jika kau lepas
napasmu maka pisau atau bintang yang keluar dari
telapak tanganmu itu akan berhenti dengan
sendirinya. Adapun untuk jenisnya yang keluar dari tanganmu itu; apakah pisau
atau bintang, tergantung sentakan napasmu yang pertama. Jika pelan, akan
keluar bintang, jika sentakan napasmu berat akan
keluar pisau. Gerakan kedua benda tersebut tidak
bisa dilihat dan dihindari, kecuali oleh orang-orang berilmu tinggi. Jurus Itu
kunamakan jurus 'Tapak
Manggala', untuk pisaunya, dan untuk bintangnya
adalah jurus 'Tapak Yudha'! Pergunakan dalam
keadaan terpaksa dan sangat berbahaya!"
Pendekar Mabuk membungkukkan badan lalu
berkata, "Terima kasih atas semuanya ini, Ibu Ratu.
Saya tidak keberatan mengemban tugas sebagai
Manggala Yudha Kinasih, yang bertugas membela
kebenaran."
"Aku senang dan terkesan pada kesucian budimu, juga ketulusan jiwa Dewa Racun
dalam menjalankan
tugas sebagai utusan! Untukmu, Dewa Racun, aku
mempunyai hadiah khusus yang mudah-mudahan
kau mau menerimanya!"
Trak trak...! Ratu menjentikkan jari tengah dan
telunjuknya. Lalu dari salah satu barisan perempuan berpakaian putih itu muncul
satu orang yang sudah
tidak asing lagi bagi Pendekar Mabuk dan Dewa
Racun. Sang Ramu mendekati Ratu Kartika Wangi,
memberi hormat sebentar lalu berdiri dengan wajah menunduk. Sang Ratu berkata,
"Dewa Racun, perjalananmu dari Pulau Serindu
dan sampai ke Pulau Hitam selalu diikuti oleh Sang Ramu ini. Dia tahu kau
menyimpan dendam kepada


Pendekar Mabuk 010 Manusia Seribu Wajah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melati Sewu akibat kematian Gayanti. Tapi kau bisa kalahkan dendammu dengan hati
yang tulus dan ikhlas. Sang Ramu sangat berkesan kepadamu dan ia
tertarik untuk menjadi istrimu. Maukah kau menerima cintanya, Dewa Racun"!"
"Haah..."!" Dewa Racun terbengong kebingungan.
Matanya memandang Pendekar Mabuk bagai minta
pertimbangan. Suatu kerlingan mata dengan senyum
menggoda. Lalu, Dewa Racun berkata kepada Ratu
Kartika Wangi, "Terlalu cantik buat saya, Gusti Ratu.
Kalau ada yang agak jelek sedikit tak apalah...!"
Ratu Kartika Wangi tertawa, demikian pula semua
orang dalam ruang istana yang megah itu tertawa
geli. Sang Ramu pun tertawa tapi tertahan dan
tundukkan kepala. Dewa Racun berkata pelan ke
pada Pendekar Mabuk, "Bodoh amat aku ini kalau menolaknya...!"
Pendekar Mabuk semakin geli mendengar ucapan
itu. * * * 9 SEPERTI Ratu Kartika Wangi, jika ingin keluar dari alam kehidupannya, cukup
dengan mengusap dahi
dengan tangan kanan. Maka Pendekar Mabuk dan
Dewa Racun pun melakukannya. Begitu mereka
mengusap dahi memakai telapak tangan kanan,
kemewahan istana itu lenyap dalam sekejap. Yang
ada hanya dinding gua berbatu lumut biasa, cadas,
dan air. Tak ada lagi lantai kaca bening atau tanaman hijau menyala.
Tapi suara air semakin jelas didengar oleh mereka.
Bias cahaya ada di lorong sebelah kanan. Mereka pun melangkah menyusuri lorong
tersebut. Semakin
mendekati tempat terang, semakin jelas suara
gemericik air. Langkah Suto dan Dewa Racun
bertambah cepat.
Tiba di sebuah tikungan lorong, langkah Dewa
Racun terhenti. Pendekar Mabuk ikut-ikut berhenti.
Dewa Racun memberi isyarat dengan tangan agar
Pendekar Mabuk merundukkan kepala. Pendekar
Mabuk mengikuti isyarat itu. Rupanya ada sesuatu
yang diintai Dewa Racun dari balik tikungan lorong.
Pendekar Mabuk ikut mengintainya.
"Oh, rupanya gemercik air itu berasal dari kolam itu!" bisik Suto. Dan Dewa
Racun menjawab dengan suara yang kembali gagap,
"Koo... ko... ko... Kolam Sabda Dewa!"
"Hah..."l Kelihatannya... ya, kelihatannya memang Kolam Sabda Dewa. Rupanya
letak istana Puri
Gerbang Surgawi tak jauh dari Kolam Sabda
Dewa..."!'
Dugaan mereka memang benar. Kolam itu
berbentuk lingkaran yang berair jernih. Ada pancuran di tengahnya. Pancuran itu
berupa curah air dari atas,
tapi tak diketahui sumbernya. Sebab di bagian atas air yang mengucur ke bawah,
terdapat langit-langit gua yang kering. Sepertinya air itu tidak tercurah dari
atap gua melainkan dari udara bebas tanpa
hambatan benda apa pun.
Sorot matahari masuk dari dua celah yang menjadi
dinding gua retak, dan pintu masuk gua. Keadaan itu menjadi terang karena sorot
matahari. Mulut gua
atau pintu masuk gua terletak sedikit miring ke atas, dan jalannya becek. Tapi
sekeliling kolam yang
bertepian batu-batu bongkahan tanpa tersusun rapi
itu, keadaannya kering tanpa percikan air sedikit pun.
Bahkan tanah itu berkesan tandus dan berdebu.
Di tengah kolam bergaris tengah tiga tombak itu
ada bunga teratai. Hanya satu bunga teratai yang ada di situ, berwarna ungu.
Warna ungu mengingatkan
pakaian Ratu Kartika Wangi, sehingga Pendekar
Mabuk berpendapat,
"Jangan-jangan kolam ini adalah pemandian Gusti Ratu Kartika Wangi"! Sebab,
kalau dihubungkan
dengan langkah kita yang belum mencapai lima puluh langkah tadi, sepertinya
kolam ini berada di belakang istana, sebagai tempat pemandian Gusti Ratu!"
"Dugaanku pun mengatakan begitu. Tap... tap...
tapi kalau se...."
"Ssst...!" Pendekar Mabuk cepat menepis ucapan Dewa Racun dan ia berkelebat
pergi dari situ,
bersembunyi di balik bongkah batu besar.
"Ad... ad... ada apa?" bisik Dewa Racun. Suto tidak menjawab hanya menuding ke
arah pintu masuk gua.
Dewa Racun pun memandang ke arah sana, dan
matanya segera terkesiap.
Badai Kelabu datang bersama Melati Sewu.
Kedatangan mereka bukan hanya berdua, melainkan
bersama mayat guru mereka, yaitu Kombang Hitam,
alias Manusia Seribu Wajah. Mereka bergotongan
membawa mayat Kombang Hitam yang telah hangus
itu. Sampai di tepi kolam, di tanah yang kering, mayat yang dibawa memakai
usungan bambu itu diletakkan.
Badai Kelabu dan Melati Sewu sama-sama
hempaskan napas dan menghapus keringat di dahi
mereka. "Kuharap Kolam Sabda Dewa bisa juga dipakai
menghidupkan Guru!" kata Badai Kelabu.
"Aku sangat berharap begitu! Aku lebih baik ikut mati jika Guru tidak bisa hidup
kembali!" kata Melati Sewu.
"Buatku, Guru adalah bapakku sendiri! Dia yang menolong aku dari hinaan banyak
orang. Cuma dia
yang mau mendekatiku dan memberi makan ketika
aku masih menjadi gadis yang cacat dan jelek rupa!"
"Ya, aku ingat itu!" jawab Melati Sewu.
Dewa Racun berbisik, "Mer... mer... mereka sama-sama inginkan Guru mereka hidup.
Badai Kelabu punya alasan yang masuk akal, tapi Melati Sewu tidak memberikan alasan mengapa
dia mau ik... ik.. ikut
mati jika gurunya tidak hidup kembali?"
"Entahlah. Yang jelas mereka mau coba-coba
menentang kodrat dengan membawa mayat gurunya
ke kolam itu!"
Dalam hati Suto Sinting pun membatin, "Jika kolam itu adalah tempat pemandian
Gusti Ratu Kartika
Wangi, maka masuknya mayat Kombang Hitam ke
dalam kolam berarti suatu pencemaran air kolam.
Gusti Ratu Kartika Wangi sama saja mandi dengan air yang dipakai untuk
memandikan sesosok mayat. Ini
harus kucegah!"
Maka, tanpa bicara apa-apa kepada Dewa Racun,
Pendekar Mabuk pun segera muncul dari
persembunyian. Waktu itu, Badai Kelabu dan Melati
Sewu ingin menceburkan mayat Kombang Hitam.
Suto cepat berseru,
"Tahan...!"
Badai Kelabu dan Melati Sewu terkejut sekali.
Lebih terkejut lagi setelah ia tahu bahwa Pendekar Mabuk dan Dewa Racun ada di
situ. "Suto..."! Oh, bagaimana mungkin kau bisa sampai di Kolam Sabda Dewa ini"! Kau
tahu dari mana jalan menuju kemari, Suto"!"
"Secara kebetulan saja aku terperosok! Ternyata lorong sebelah sana itu
tembusnya ke sini!"
"Kkka... kalian mau menceburkan mayat ini?"
tanya Dewa Racun.
"Ya!" jawab Melati Sewu. "Sebab kau telah membunuh guru kami!" Sikap Melati Sewu
bermusuhan kepada Suto. Bahkan semakin jelas
permusuhannya karena ia segera mencabut pedang
dari punggung. Sreet...! Pedang bergerigi itu terlepas dari
sarungnya. "Melati Sewu, apa yang ingin kau lakukan"!" Badai Kelabu mencegah langkah Melati
Sewu. "Aku harus membalas kematian Guru!" katanya dengan ketus.
"Jangan! Jangan menyerang dia, Melati Sewu!"
Badai Kelabu mencoba menahan, tapi tangannya
dikibaskan oleh Melati Sewu. Tersentak Badai Kelabu dan jatuh dalam jarak dua
tindak dari tempatnya.
"Hutang nyawa balas nyawa, Pendekar Mabuk!"
geram Melati Sewu.
Suto cepat menahan dengan kata-kata, "Melati
Sewu, dia mati karena dendamnya sendiri. Aku tidak
menyerangnya. Kau tahu aku telah mengalah dan
melarikan diri, tapi dia masih memburuku!"
"Tapi karena kesaktianmu itu maka Guru menjadi tewas!"
Melati Sewu bergerak mendekati Pendekar Mabuk.
Dewa Racun mau bertindak, tapi Pendekar Mabuk
memberi isyarat dengan tangannya agar tak perlu
bertindak. Suto sendiri hanya diam saja, sekalipun jarak Melati Sewu dengan
dirinya sudah tinggal tiga langkah. Pedang sudah diangkat dan siap ditebaskan.
"Ingat, Melati Sewu...!" seru Badai Kelabu. "Aku hanya setuju jika Guru
dihidupkan kembali, tapi tidak setuju jika kau membalas kematian Guru.
Bagaimanapun juga, Guru yang salah dalam hal ini!"
"Kalau kau membela dia, kau pun akan kubunuh, Badai Kelabu!"
"Cobalah!" teriak Badai Kelabu. "Jangan kau menyerang Pendekar Mabuk, tapi
seranglah aku! Kalahkan aku dulu baru kau boleh menuntut
kematian Guru!"
"Jangan membuat permusuhan denganku, Badai
Kelabu!" "Aku tidak membuat permusuhan denganmu! Aku
cuma ingin ingatkan kamu, jangan menyerang Suto!"
"Dan tak perlu menentang kodrat dengan
menghidupkan Guru kalian!" sambung Suto menyahut kata.
"Guru harus hidup!" teriak Melati Sewu. "Guru harus hidup lagi! Dan kau harus
kubunuh, Sutooo...!"
sambil berteriak begitu, Melati Sewu sentakkan kaki, melompat dengan pedang
mengarah ke dada
Pendekar Mabuk. Tetapi mendadak gerakannya
berubah arah. Heeegh...! Badai Kelabu melepaskan pukulan jarak
jauhnya, tepat mengenai pinggang Melati Sewu.
Pukulan itu begitu berat dan keras, sehingga Melati Sewu tersentak dan oleng ke
samping, Suto sendiri
cepat melompat menghindari tebasan pedang
bergerigi. Wuut...! Bruuk...! Melati Sewu jatuh telentang. Badai
Kelabu segera lompatkan tubuh dan hendak
menjejakkan kakinya ke dada Melati Sewu. Tapi
tubuh itu segera tersentak dan mental. Rupanya Suto berkelebat cepat menyambut
tubuh Badai Kelabu;
membawanya ke tepi dinding,
"Kenapa kau larang aku menghajarnya"! Dia mau membunuhmu!" sentak Badai Kelabu
kepada Pendekar Mabuk dengan hati dongkol sekali.
"Kalian satu perguruan. Tak baik saling
bermusuhan!"
"Tapi dia menuntut kematian Guru, Suto! Dia
inginkan nyawamu juga!" Badai Kelabu semakin keras bicaranya.
Tanpa setahu Pendekar Mabuk dan Badai Kelabu,
Melati Sewu telah bangkit dan segera menerjang
dengan pedangnya.
"Mampuslah kalian berdua Hiaaat...!"
Dewa Racun segera melompat dengan sentakkan
kaki pelan tapi menghasilkan gerakan cepat. Wuut...!
Plaaak...! Kakinya menendang pergelangan tangan
Melati Sewu. Setelah itu, Dewa Racun segera
melompat menjauhinya. Pedang di tangan Melati
Sewu telah terpental ke seberang kolam. Gerakannya terlihat oleh Pendekar Mabuk
dan Badai Kelabu.
Pedang itu terbang melayang dan menembus
curahan air di tengah kolam. Tiba-tiba, claap...!
Pedang itu lenyap tak berbekas sedikit pun.
"Jahanam kau!" geram Melati Sewu kepada Dewa Racun begitu tahu pedangnya lenyap
secara gaib. la segera melompat menyerang Dewa Racun bagai
singa betina yang buas. Wuus...!
Dewa Racun tak mau menghadapi serangan itu. la
melompat menjauhi. Melati Sewu mendarat di tempat
yang kosong. la menggeram dengan mata
memandang tajam kepada Dewa Racun. Napasnya
terengah-engah dibakar amarah karena pedangnya
hilang. la segera bergegas mengangkat mayat Kombang
Hitam untuk diceburkan ke dalam kolam tersebut.
Tapi secara ajaib air kolam menjadi surut. Gemercik air yang tercurah dari atas
tanpa tahu di mana letak sumbernya itu menjadi padam. Kolam cepat menjadi
kering kerontang tanpa setetes air pun kecuali tanah berlubang besar yang
dalamnya antara satu ukuran
tombak. Tanpa air, tanpa kelembaban. Hanya ada
bebatuan dan kerak lumut kering di bagian dasarnya.
Hai itu membuat Melati Sewu menjadi semakin
marah. "Tidak! Tidaaaaak...! Guru harus hidup! Guru harus dimandikan ke dalam Kolam
Sabda Dewa ini! Oh,
mana airnya..." Mana airnya"!"
Dewa Racun diam saja di seberang sana,
memandangi Melati Sewu yang menangis terisak-
isak. Suasana menjadi sepi beberapa kejap, hanya
tangis Melati Sewu yang terdengar di dalam gua itu.
"Mengapa dia sampai begitu menderitanya
terhadap kematian Guru?" pikir Badai Kelabu.
"Apakah... apakah Guru itu adalah ayahnya?"
Heningnya suasana membuat Melati Sewu segera
sadar dari tangisnya. la telah kehilangan pedang, kehilangan gurunya dan
kehilangan sebentuk
harapan dari Kolam Sabda Dewa itu. Sepertinya ada
sesuatu yang selama ini dipendamnya di dalam hati
dan tak ada tempat untuk mencurahkannya.
Sekarang inilah saatnya mencurahkan isi hatinya itu, dengan membakar
kebenciannya kepada Suto, dan
membulatkan tekadnya untuk membunuh Suto.
"Biadab kau, Pendekar Mabuk! Hidupkan guruku
atau kubunuh kau dengan seluruh ilmuku!"
Badai Kelabu mencoba menenangkan amukan


Pendekar Mabuk 010 Manusia Seribu Wajah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melati Sewu dengan berkata,
"Melati Sewu..., kenapa kau masih belum mau
menyadari kesalahan Guru kita itu"! Akuilah bahwa
beliau memang terlalu mengumbar nafsu dan
dendamnya. Jangan salahkan Pendekar Mabuk!"
"Aku tidak bicara padamu murid murtad! Aku
bicara pada Pendekar Mabuk! Hidupkan guruku!
Cepaaat...!' Dengan tenang Pendekar Mabuk menanggapinya.
"Kenapa kau berkeras hati agar gurumu tetap hidup, Melati Sewu" Ada apa di balik
niatmu" Katakanlah
alasanmu, kalau jelas alasanmu, aku akan berusaha
sebisakul Katakan alasanmu, Melati Sewu!"
"Karena aku tak mau anakku nanti lahir sebagai anak tanpa Ayah!"
"Ooh..."I" Badai Kelabu tersentak kaget, bahkan sempat terpekik. Matanya
mendelik mulutnya
ternganga. "Ja... jadi... kau..."!"
"Iya! Aku hamil, gurulah yang menanam benih ini di dalam kandunganku! Aku tak
mau anakku lahir tanpa
Ayahl Guru harus hidup, supaya... supaya... anakku lahir dengan memiliki
Ayah...!" Melati Sewu menangis terisak-isak. Badai Kelabu ingin mendekat, tapi
ia justru terkena tendangan Melati Sewu. Untung hanya lengannya saja.
"Guruuu...!" Melati Sewu segera menangisi Kombang Hitam. Memeluk mayat yang
telah hangus itu. "Kita akan mandi di kolam keramat ini bersama-sama, Gurul Kita akan mandi
bersama supaya bisa
hidup bersama, Guru...!"
"Melati Sewu..."!" pekik Badai Kelabu ketika melihat Melati Sewu mengangkat
mayat gurunya, lalu menceburkan diri ke dalam kolam yang menurut
penglihatannya masih berair jernih itu. Bluuss...!
"Ooh..."!" pekik Badai Kelabu.
"Dia hilang! Dia... dia... dia dan mayat Guru hilang, Suto!"
Tertegun Pendekar Mabuk dan Dewa Racun
melihat kegaiban dari Kolam Sabda Dewa. Kolam itu
kering, tapi ketika tubuh Melati Sewu dan mayat
Kombang Hitam masuk ke dalamnya, mereka lenyap
tak berbekas. Pendekar Mabuk hanya bisa berkata,
"Mungkin mereka ditelan oleh suratan takdir yang tak bisa ditentang siapa pun!"
Badai Kelabu menangis dalam pelukan Pendekar
Mabuk, dan Pendekar Mabuk memberinya
ketenangan dalam pelukan seorang sahabat.
SELESAI Ikuti kelanjutan kisah ini!!!
Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting
dalam episode: TUMBAL TANPA KEPALA
E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
Eng Djiauw Ong 8 Joko Sableng 35 Wasiat Darah Di Bukit Toyongga Pedang 3 Dimensi 12
^