Pencarian

Mustika Serat Iblis 2

Pendekar Mabuk 016 Mustika Serat Iblis Bagian 2


gemetar, "Kejar gadis itu! Kejaaar...!"
* * * 4 SEKELEBAT bayangan coklat berlari cepat. Namun
mendadak ia terhenti dan tampaklah wajah tampan
seorang pemuda yang menyandang bumbung tuak di
punggungnya. Siapa lagi penggendong bumbung tuak
selain Pendekar Mabuk, murid sintingnya si Gila Tuak yang akrab dipanggil
sebagai Suto Sinting itu. Kali ini Suto terpaksa hentikan langkahnya melihat dua
mayat tergeletak tanpa kepala di jalanan.
Dua mayat itu adalah mayat perempuan cantik. Yang
satu berpakaian kuning dan yang satu mengenakan
pakaian merah. Kepala mereka terpisah dari raganya, yang satu menggelinding di
dekat gugusan batu, yang satunya lagi ada di bawah pohon.
"Aneh, penjagalan kepala manusia ini tidak
mengeluarkan darah sedikit pun"! Senjata apa yang
digunakannya"!" pikir Pendekar Mabuk sambil
memperhatikan kepala korban. "Keji sekali orang yang melakukannya. Gadis-gadis
ini cukup cantik! Mengapa tidak diambil istri atau gundik saja daripada
dipenggal begini! Hmm...! Pasti ini pekerjaan orang gila!"
Pendekar Mabuk; Suto Sinting itu segera memandang
ke arah sekelilingnya, ia mencari seseorang yang
barangkali saja bersembunyi di balik semak belukar.
Tapi ternyata tak ada siapa pun di hutan itu. Suasananya sangat sepi dan hening,
ia kembali dekati kepala yang ada di bawah pohon dan memperhatikan baik-baik.
Tiba-tiba sekilas sinar hijau melesat dari arah
samping kirinya. Suto segera bersalto ke belakang dari keadaan jongkok menjadi
berdiri. Wuttt.... Dan sinar kuning itu menghantam pohon di samping Pendekar
Mabuk. Zlapp...! Duarrr...!
Wutt, wutt...! Pendekar Mabuk terpaksa melompat lagi ke arah lain, karena pohon yang terkena
sinar kuning itu hancur di bagian bawahnya dan segera rubuh ke tempat di mana
Suto tadi berdiri. Weer... Brukk...!
"Edan!" maki Pendekar Mabuk. "Siapa yang menyerangku secara sembunyi-sembunyi
ini"!"
Mata Suto memandang ke arah sekeliling dengan
lebih jeli lagi. Kemudian ia temukan bayangan pakaian berwarna gelap. Orang itu
ada di atas pohon seberang, agak jauh dari tempat Suto berdiri. Tetapi dengan
cepat Pendekar Mabuk sentakkan tangan kirinya dan
terlepaslah sinar merah melesat bagai mata tombak.
Wutt! Blarrr...! Roboh dan hancur pohon yang dipakai bersembunyi
orang tersebut. Sedangkan dari pohon itu tampak
sekelebat bayangan berlari-lari melompati dahan demi dahan, dan akhirnya
bersalto turun dalam keadaan sudah berada di depan Pendekar Mabuk, jarak mereka
sekitar tujuh tombak.
"Oh, ternyata seorang nenek"!" gumam Suto memandangi seorang perempuan tua
bertubuh kurus,
berambut abu-abu, memakai kalung manik-manik
dengan giwang hitam yang besar. Nenek itu
menggenggam tongkat merah berkepala burung garuda.
Pendekar Mabuk memandangi nenek itu dengan berkerut dahi karena ia tidak
mengenal nenek itu. Sang nenek melangkah dengan tegak walaupun sebenarnya
sedikit bungkuk, tapi tampak digagah-gagahkan. Wajahnya
tanpa senyum dan keramahan sedikit pun. Kira-kira
jarak mereka tinggal tiga tombak, nenek itu berhenti dengan mata cekungnya
memandang tajam pada Suto.
"Mengapa kau menyerangku dari kejauhan sana
Nek?" sapa Suto mencoba untuk terkesan ramah. Tapi nenek itu menyahut dengan
ketus, "Biar kau mati!"
"Mengapa kau menghendaki aku mati, Nek" Aku tak punya salah!"
"Jangan berlagak bodoh!" sentaknya.
"Aku sungguh tidak mengerti apa salahku"! Kau
sendiri siapa sebenarnya, Nek?"
"Aku Nyai Komprang, Guru dari kedua korbanmu
itu!" sambil Nenek Komprang menuding dengan tongkat ke arah dua gadis yang
terpenggal kepalanya itu.
"O, jadi kedua gadis itu muridmu?"
"Ya. Benar! Dan sekarang aku menuntut balas atas kematian kedua muridku itu!"
"Mengapa menuntutnya kepadaku"!" Suto Sinting kerutkan dahi sambil sedikit
tertawa geli. "Kau yang memenggal kepalanya, bukan"!"
"Bukan!" jawab Pendekar Mabuk dengan tegas.
"Kalau aku melawan kedua muridmu tidak akan
kupenggal kepalanya! Mungkin akan kucubit dagunya!
Sebab mereka sebenarnya cantik-cantik!"
"Tutup otak ngeresmu, Setan!" bentak Nyai Komprang. "Kau tak perlu bersilat
lidah lagi di depanku!
Hanya ada kau di sini! Dan kulihat dari kejauhan kau sedang kegirangan melihat
kepala muridku terpisah dari raganya!"
"Justru aku sendiri baru datang. Baru saja!"
"Omong kosong! Hiaaat...!"
Nyai Komprang bagaikan terbang. Tak diketahui
langkahnya tahu-tahu tubuhnya telah melesat dan
tongkatnya sudah disodokkan. Wutt!
Debb...! Tangan Suto dengan cekatan menahan
kepala tongkat yang disodokkan ke dadanya itu. Kepala tongkat itu disentakkan ke
depan. Wutt...! Dan tiba-tiba tubuh Nyai Komprang ikut terpental membalik arah
dengan cepatnya. Wesss...! Brukk...! Nenek tua itu jatuh terkapar, lalu segera
bangkit dan berdiri lagi. Napasnya ngos-ngosan. Dalam hatinya Nyai Komprang
membatin, "Siapa anak muda ini"! Hebat sekali ilmunya! Dia bisa menahan sodokan tongkatku
dan mendorongku
sebegini rupa! Kalau tidak berilmu tinggi, tidak mungkin dia bisa melakukannya!
Berarti benar dugaanku, kedua muridku itu terpotong lehernya oleh kelakuannya!"
Pendekar Mabuk berkata kepada Nyai Komprang,
"Nyai... kusarankan agar jangan menuduhku! Nanti di antara kita ada pertikaian.
Itu tak baik, sebab antara kita sebenarnya memang tidak ada persoalan apa-apa!
Percayalah, bukan aku yang memenggal kepala kedua
muridmu ini! Bukan aku, Nyai! Kau lihat sendiri, aku tidak membawa pedang atau
senjata apa pun! Sedangkan potongan pada kepala dan leher korban itu sangat
rapi, bagai dipotong dengan senjata yang amat tajam!"
"Aku tahu kau berilmu tinggi! Tanpa pedang pun kau bisa memotong pohon besar
atau memenggal kepala
orang!" "Ya, memang bisa! Tapi ada perkara apa, aku dengan kedua muridmu itu jika aku
harus memotong kepalanya"! Sebesar apa pun kesalahannya, tak mungkin secepat ini aku ambil
keputusan untuk memenggal
kepala mereka!"
"Jangan banyak omong kau! Hihh...!" tongkatnya disentakkan dan keluar kilatan
cahaya seperti jarum berwarna merah tembaga. Jarum-jarum yang jumlahnya
lebih dari sepuluh itu melesat ke arah dada Suto Sinting.
Namun dengan cepat Pendekar Mabuk itu meraih
bumbung tuaknya dan menghadangkan di depan
dadanya. Zrubbb...! Jarum-jarum itu hanya membentur bumbung tuak dan membatik
dengan jumlah lebih dari
lima puluh jarum dan bergerak sangat cepat.
Nyai Komprang terkejut melihat jarum-jarumnya
berubah banyak dan membalik ke arahnya dengan cepat.
Buru-buru Nyai Komprang melompat dan berjumpalitan
di udara menghindari jarum-jarumnya itu. Akibatnya, jarum-jarum itu pun menancap
di sebatang pohon yang ada di belakang Nyai Komprang berdiri tadi. Zrobbb...!
Jarum-jarum itu masuk ke dalam batang pohon. Kejap
berikutnya, batang pohon itu menjadi layu, kering,
daunnya juga bergerak menjadi bergulung-gulung
keriting dan tangkai serta dahannya pun mengerut, kulit batang pohon terkelupas.
Akhirnya pohon itu mati dalam keadaan kering.
Nyai Komprang kembali membatin, "Hebat sekali
anak muda itu! Biasanya jarum-jarumku hanya bisa
bikin hangus batang pohon atau tubuh manusia! Tapi kali ini bisa bikin mati
pohon dalam waktu kurang dari sepuluh hitungan! Luar biasa ilmu anak muda itu!"
Kemudian, dengan suara menyentak keras, Nyai
Komprang berseru,
"Anak muda, siapa kau sebenarnya, hah"!"
"Yang jelas aku bukan tukang bantai seperti
tuduhanmu tadi, Nyai!"
"Iya, tapi siapa namamu"! Muridnya siapa kau,
hah"!"
Dengan tenang, Pendekar Mabuk membuka tutup
bumbungnya, ia tidak segera menjawab pertanyaan itu, melainkan menenggak tuaknya
dari bumbung dan
meneguknya beberapa kali. Glek glek glek...!
"Bocah Sinting! Ditanya siapa namanya, siapa
gurunya malah minum tuak! Apa kau sudah sinting,
hah"!"
"Ya," jawab Suto sambil tersenyum. "Memang itulah namaku Suto Sinting!"
"Omong kosong!" bentak Nyai Komprang. "Setahuku yang bernama Suto Sinting itu
adalah Pendekar Mabuk!"
"Ya. Memang akulah yang bergelar Pendekar
Mabuk!" "Dusta mulutmu!" sentak orang tua cerewet itu. "Jika kau benar-benar Pendekar
Mabuk, coba sebutkan siapa gurumu?"
"Si Gila Tuak!"
Nyai Komprang terbungkam sebentar. "Benar juga?"
gumamnya dalam hati. Tapi agaknya dia belum puas dan berkata menguji,
"Siapa nama asli si Gila Tuak?"
"Ki Sabawana!"
"Benar lagi"!" Pikir Nyai Komprang. Masih penasaran lagi ia bertanya menguji
Suto, "Sabawana punya saudara seperguruan, siapa
namanya?" "Bidadari Jalang! Itu juga bibi guruku!"
"Edan! Jadi kau benar-benar murid si Gila Tuak itu"!"
"Sudah kujawab tadi, ya!"
Kemudian terdengar suara Nyai Komprang bernada
rendah, "Kalau begitu, aku salah duga! Aku tahu Sabawana tidak akan mendidik
muridnya jahat seperti dugaanku tadi!" Nyai Komprang berjalan mendekati Pendekar
Mabuk dan menepuk-nepuk pundaknya,
"Maafkan tuduhanku tadi, Suto!"
"Tak apalah! Apakah kau mengenal guruku, Nyai?"
"Ya. Sangat kenal. Dulu aku naksir dia, tapi dia sudah ditaksir orang lain, jadi
aku tidak mau naksir dia! Cuma aku menaruh hormat padanya sebagai tokoh golongan
putih yang disegani di rimba persilatan ini!"
"Kalau nanti aku bertemu dengan Guru, akan
kuceritakan pertemuan kita ini, Nyai Komprang!"
"Katakan, dapat salam dari Widyawati!"
"Apakah itu nama aslimu, Nyai?"
"Benar! Tapi setelah setua ini, nama itu tidak cocok bagiku. Maka aku cari nama
seenaknya sendiri! Nyai
Komprang lebih cocok bagi orang berwujud tua seperti ini. Tapi... ngomong-
ngomong siapa yang memenggal
kedua muridku ini..."!" nada sedih mulai terdengar dari mulut Nyai Komprang.
Satu persatu wajah muridnya
didekati, lalu diangkat pelan-pelan dan dirapatkan
kembali pada raga masing-masing. Nenek tua itu tampak sedih, mengusap-usap
rambut muridnya yang sudah tak
bernyawa itu. "Nyai, aku tak bisa membantu mencarikan siapa
pembunuhnya. Tapi aku yakin, kau sendiri pasti bisa melacaknya! Izinkan aku
meninggalkan tempat ini,
Nyai!" "Mau ke mana kau?"
"Mencari tempat tinggal seorang tabib sakti yang bernama Tabib Awan Putih. Tapi
aku belum tahu di
mana dia tinggalnya"!"
"O, kalau begitu, berjalanlah ke arah utara terus. Dia tinggal di tebing bergua
lebar, namanya Pantai Tanjung Keramat!"
"O, ya... terima kasih, Nyai!" Pendekar Mabuk pun segera bergegas meninggalkan
tempat itu, menuju Pantai Tanjung Keramat.
* * * Pagi baru menghilang dan matahari sedang merayap
untuk menyusuri siang, di lereng sebuah bukit
bertanaman pohon jati itu telah ramai oleh perang mulut dan perang tenaga dalam.
Sesekali terdengar suara
letupan, atau bahkan ledakan menggema akibat benturan dua tenaga dalam dari dua
orang berilmu tinggi.
Kehidupan alam di lereng Bukit Tangkal itu bagai tak ramah terhadap
lingkungannya. Pohon-pohon yang
menjulang tinggi, tak pernah mau peduli terhadap dua orang yang berselisih dalam
suasana pincang. Yang satu, seorang nenek berjubah kuning, bermata cekung,
bertubuh kurus, berambut abu-abu disanggul, berkalung
manik-manik dengan giwang hitam, bertongkat kayu
merah dengan kepala tongkat berbentuk kepala burung garuda, tampak sangat sengit
menyerang lawannya.
Nenek yang berjuluk Nyai Komprang ini tampak sangat penasaran, karena sejak tadi
jurusnya bisa ditangkis dan dihindari oleh lawannya.
Sang lawan adalah seorang lelaki berusia sekitar
tujuh puluh tahun, sama dan sebaya dengan usia Nyai Komprang sendiri. Orang ini
mengenakan jubah abu-abu, rambut putih, botak tengahnya, badan agak gemuk dan
sedikit pendek, celananya biru bersabuk hitam besar.
Di pinggangnya tergantung kantong dari kulit kambing berisi makanan. Sebentar-
sebentar orang gemuk ini
melahap singkong bakar yang sudah dikuliti dan
dimasukkan dalam kantong kulit yang menyerupai atas itu. Nyai Komprang memanggil
lawannya dengan
sebutan Madang Wengi.
Nyai Komprang tersentak kaget, ia membatin,
"Konyol betul orang itul Mestinya sinar hijau itu akan meleburkan tubuhnya,
menjadi berkeping-keping! Tapi kini ia tetap utuh dan tetap makan! Edan!
Sekarang malah sinar hijauku itu padam"!"
Sinar hijau memang padam. Tubuh Madang Wengi
tidak lagi terbungkus sinar hijau. Dan hal itu sangat membuat heran Nyai
Komprang. Karena biasanya jurus
'Pijar Selaksa' itu akan meleburkan benda apa pun yang dikenainya.
Semakin penasaran hati nenek galak itu. Maka,
dengan geram terdengar memanjang, ia sentakkan kaki
dan melesat terbang ke arah Madang Wengi, lalu
tongkatnya siap ditusukkan ke arah kepala lawannya, ia bergerak dari samping kanan.
Tetapi dalam keadaan tak diduga-duga, sebuah
pukulan jarak jauh dilepaskan oleh seseorang, sehingga pinggang Nyai Komprang
menjadi sasaran empuk, dan


Pendekar Mabuk 016 Mustika Serat Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuh itu terpelanting terbang ke samping dan terguling-guling. Brukk...! la
jatuh tanpa bisa menjaga
keseimbangan tubuhnya.
Jatuhnya Nyai Komprang membuat Madang Wengi
terkejut dan ia pun segera bangkit berdiri, ia pandangi tubuh Nyai Komprang
dengan dahi berkerut. Kemudian
hatinya membatin,
"Siapa yang menyerangnya"! Ilmu orang itu memang tidak terlalu tinggi, tapi
sudah cukup hebat bisa bikin Nyai Komprang terguling-guling dan jatuh tak
berdaya begitu! Yang jelas, pasti ada orang lain di sekitar sini yang memihakku!
Hmm... siapa orangnya"!"
Nyai Komprang bergegas bangkit dan menggerutu
tak jelas. Lalu, ia serukan kata,
"Kau benar-benar membuatku murka, Madang
Wengi! Terimalah jurus 'Catur Sukma' ini...! Heaaah...!"
Wuttt, brrukkk...!
Tiba-tiba ada sekelebat bayangan yang melesat dan
menerjang tubuh Nyai Komprang. Terjangan itu
membuat Nyai Komprang jatuh kembali. Tapi kali ini
tubuh penyerangnya terlihat jelas, karena ikut jatuh bersama Nyai Komprang.
"Setan Alas! Siapa kau, hah"! Berani-beraninya
mencampuri urusanku dengan si tua pikun jelek itu!
Siapa kau, jawab!"
"Roro Manis namaku, Nyai!"
Madang Wengi segera menyambut gadis cantik
bertahi lalat kecil di bawah mata kirinya itu.
"Roro Manis..."! Seingatku... kau murid Danujaya!
Benarkah"!"
"Benar, Ki Madang Wengi. Saya murid Eyang
Danujaya!"
Nyai Komprang segera berseru memotong, "Ooo...
jadi sekarang kamu kembali menjadi lelaki buaya dan mata keranjang, Madang
Wengi"! Kamu sekarang sudah
mulai doyan daun muda, ya"!"
"Tutup mulut tuamu, Nyai Komprang! Roro Manis
ini murid sahabatku dan tak ada hubungan apa-apa
dengan pribadiku!"
"Ah, kurasa kau memang janjian mau ketemu dia di sini!"
"Terserah apa katamu, Nenek Cerewet!"
"Memang aku tak peduli hubunganmu dengan gadis cantik itu! Aku hanya ingin
mencabut nyawamu sebagai balasan atas kematian dua muridku itu, Madang Wengi!"
"Nyai Komprang, kuingatkan sekali lagi! Bukan aku yang memenggal kepala kedua
muridmu! Bukan aku!
Titik!" "Titiknya kuhapus!" bantah Nyai Komprang. "Bukan kamu yang membunuh kedua
muridku, tapi senjatamu
itu yang memenggal kepala mereka dengan rapi dan
tanpa darah! Hah, itu sama saja!"
"Tunggu sebentar, Nyai," sela Roro Manis. "Agaknya di antara Nyai Komprang dan
Ki Madang Wengi ada
kesalahpahaman!"
"Ah, kau bocah ingusan tak perlu ikut campur urusan orang tua!" bentak Nyai
Komprang. Roro Manis jadi diam, tak berani lanjutkan kata. Untunglah Ki Madang
Wengi cepat ajukan tanya,
"Roro Manis, bagaimana kabar gurumu Danujaya
itu"!"
Roro Manis tundukkan kepala, wajahnya berubah
duka. Nyai Komprang sempat mengikuti perubahan
wajah itu secara tak sadar. Bahkan ia pun secara tak sadar ikut kerutkan dahi,
seperti apa yang dilakukan oleh Madang Wengi.
"Roro Manis, kutanyakan bagaimana kabar gurumu, mengapa kau jadi murung begitu"!
Apa yang sebenarnya terjadi, Roro Manis"!"
Dengan suara lirih, Roro Manis ucapkan kata, "Guru telah tewas, Ki Madang!"
"Danujaya tewas"! Maksudmu, dia terkena penyakit dan meninggal, begitu"!"
"Guru tewas dipenggal kepalanya, Ki Madang!"
jawab Roro Manis. Air mata duka mulai mengembang di sudut matanya.
Ki Madang Wengi tertegun sejenak, terkenang
kebaikan Danujaya semasa mereka masih sering bertemu di waktu muda. Nyai
Komprang sendiri merasa kenal
dengan nama Danujaya, tapi ia lupa kapan ia pernah
bertemu. Yang ia ingat, Danujaya adalah orang yang
bijak dan tak pernah mau membunuh lawannya.
"Siapa yang membunuh gurumu, Roro Manis"!"
"Garong Codet, Ki Madang!"
Terkesiap mata Ki Madang Wengi, demikian juga
Nyai Komprang. Mereka sama-sama kaget mendengar
nama Garong Codet sebagai nama orang yang
membunuh Danujaya. Hati kecil mereka mengatakan, itu tak mungkin terjadi. Sebab
mereka tahu, Danujaya orang sakti dan berilmu tinggi, mustahil bisa dikalahkan
oleh Garong Codet, yang hanya berilmu pas-pasan dan modal tampang angker untuk
menjadi perampok tanah
seberang. Terucap gumam dari mulut Nyai Komprang bagai
bicara pada dirinya sendiri, "Rasa-rasanya tak mungkin Danujaya bisa dipenggal
kepalanya oleh Garong
Codet"!"
"Dia menggunakan sejata khusus untuk memenggal kepala Eyang Danujaya, juga
memenggal kepala Soka
Loka, Jayengrono, dan Randu Galak!"
"Senjata apa"!" tukas Ki Madang Wengi.
"Mustika Serat iblis, Ki Madang!"
"Apa..."!" Ki Madang Wengi dan Nyai Komprang sama-sama terkejut dan terpekik.
Mata mereka sama-sama mendelik.
"Mustika Serat Iblis ada di tangan Garong Codet"!
Apa kau tak salah lihat atau salah dengar, Cah Ayu"!"
kata Nyai Komprang yang agaknya mulai surut
murkanya, ia jadi tertarik membicarakan tentang
Mustika Serat Iblis.
Roro Manis lontarkan jawab, "Kurasa aku tak salah dengar dan tak salah lihat,
Nyai. Karena setiap kepala yang dipenggal melalui pantulan sinar dari mustika
tersebut, membuat korban putus kepalanya tanpa
mengeluarkan darah. Potongan kepala itu sangat rapi tanpa ada serat daging yang
rusak." "Bagaimana bentuk mustika itu, Roro Manis?" tanya Ki Madang Wengi sambil diam-
diam melahap singkong
bakarnya. "Setahuku, bentuknya seperti cincin, dipakai di telapak tangan. Warnanya merah.
Dan jika kena pantulan sinar matahari, keluar sinar merah yang memotong
benda apa pun dengan rapi."
"Benar kalau begitu," kata Nyai Komprang.
"Memang begitulah ciri-ciri Mustika Serat Iblis! Jika begitu... jika begitu
kedua muridku yang terpenggal kepalanya itu adalah korban dari keganasan Mustika
Serat Iblis! Karena kepala kedua muridku terpenggal dengan rapi dan tanpa ada
darah sedikit pun yang
muncrat keluar!"
"Kurasa begitu, Nyai. Sebab, semua korban
mengalami hal yang sama dalam kematiannya!"
"Madang Wengi!" kata Nyai Komprang. "Beruntung gadis ini lekas datang, jadi aku
tidak salah tuntut padamu!"
"Masa bodoh!" Ki Madang Wengi cemberut jengkel.
"Aku harus cepat tinggalkan kau, Madang Wengi!
Akan kutemui Garong Codet itu untuk bikin perhitungan dengannya! Hmmm... Roro
Manis, di mana Garong
Codet terakhir kalinya kau lihat?"
"Di desa Sambiroto! Tapi agaknya ia mengejarku, Nyai!"
"Akan kuhadang dia sekarang juga!"
Wesss...! Nyai Komprang cepat pergi bagaikan angin.
Ki Madang Wengi hanya pandangi kepergian itu dengan senyum sinis karena
kedongkolannya belum tercurah.
Namun kedongkolan itu bisa segera dilebur habis,
karena ia menjadi lebih tertarik membicarakan nasib Danujaya dan kehebatan
Mustika Serat Iblis itu.
"Untung kau segera lari, jika tidak, kau akan jadi tumbal bagi Mustika Serat
Iblis," katanya kepada Roro Manis. "Mustika Serat Iblis itu pusaka yang
berbahaya. Tidak setiap orang bisa punya kesempatan memiliki
mustika tersebut!"
"Milik siapakah mustika itu sebenarnya, Ki?"
"Bukan milik siapa-siapa. Mustika itu sebenarnya adalah empedu seekor macan
merah yang usianya sudah ribuan tahun!"
"Harimau merah" Apakah ada harimau berwarna
merah?" "Ada! Dan di dunia ini mungkin hanya satu. Harimau merah api adalah titisan
seorang tokoh sakti di zaman dulu. Empedunya sampai membentuk batu warna merah.
Dan sulit ditangkis atau dilawan karena sinar mustika itu bisa memotong apa
saja. Satu-satunya senjata yang bisa untuk melawan sinar Mustika Serat Iblis
adalah sebuah perisai, namanya Perisai Naga Bening. Perisai itu dari kaca yang
sulit dipecahkan oleh benda atau sinar apa
pun. Perisai itu milik seorang pendekar yang bergelar Pendekar Awan Putih, dari
negeri Cina. Tapi sekarang ia sudah menjadi tabib, yaitu Tabib Awan Putih. Dia
tinggal di Pantai Tanjung Keramat! Jika kita ingin
melawan Garong Codet, kita harus pergunakan Perisai Naga Bening itu!"
"Kalau begitu, sebaiknya aku segera pergi menemui Tabib Awan Putih, untuk
meminjam perisainya!"
"Hmmm...!" Ki Madang Wengi berpikir sebentar, lali lanjutkan kata, "Ya, kurasa
itu lebih baik. Pergilah kepada Tabib Awan Putih, dan sementara itu aku akan
menyusul Nyai Komprang, bekas pacarku masa muda
dulu. He he he...!"
* * * 5 SEBATANG tongkat kecil yang tingginya seukuran
tinggi pundak orang dewasa disebut toya. Jurus-jurus yang dimainkan dengan toya
tak jauh beda dengan jurus yang dimainkan dengan tombak. Kedua senjata itu sama-
sama bisa digunakan untuk menebas, menusuk, dan
menggaet kaki lawan. Sekalipun hanya sebatang kayu
kecil, jika dimainkannya dengan menggunakan tenaga
dalam, kayu kecil itu pun bisa digunakan untuk
menembus batang pohon besar. Sebatang toya bisa
dipakai untuk menangkis senjata lawan dan memagari
diri pemiliknya dengan berputar bagai baling-baling melalui sela-sela jemari
pemegangnya. Senjata itulah yang dipegang oleh seorang pemuda
cakap yang gemar mengenakan pakaian kuning gading.
Rambutnya yang panjang diikat kain warna biru muda.
Pemuda ini dikenal dengan nama Satria Tangkas. Nama julukan itu diberikan oleh
Ki Madang Wengi, sebab
Satria Tangkas memang murid Ki Madang Wengi.
Dalam perjalanan pulang dari ziarah ke makam
orangtuanya, Satria Tangkas sempatkan diri beristirahat di tempat yang teduh.
Rasa haus membuat ia punya
gagasan untuk memetik buah kelapa muda. Sebatang
pohon kelapa muda ada di depannya. Tapi cukup tinggi dan melelahkan jika
dipanjat. Karena itu, Satria Tangkas hanya mendekati pohon tersebut, lalu ia
menotokkan ujung toyanya ke batang pohon kelapa. Debb...! Satu kali totokan toya, sebuah
kelapa jatuh. Walau di atas sana ada lebih dari delapan buah, tapi hanya satu
yang jatuh dan itu pun yang benar-benar muda serta banyak airnya.
Wuuttt...! Sebutir batu dilemparkan seseorang. Satria Tangkas yang dilempar dari
arah belakang itu cepat
balikkan badan sambil kelebatkan toyanya. Trakk...!
Clapp...! Toya itu berhasil menghantam batu sebesar biji salak, langsung pecah
dengan menimbulkan nyala
percikan api merah karena batu itu bertenaga dalam dan toya itu pun punya aliran
tenaga dalam. Tapi gerakan cepat Satria Tangkas yang bisa
menghantam batu kecil dengan toyanya itu sungguh
suatu jurus yang cukup pantas mendapat acungan
jempol. Bahkan ketika Setan Culik
mendapat kesempatan melemparkan batu yang lebih kecil lagi dari arah belakang Satria
Tangkas, pemuda itu tidak
membalikkan badannya, namun menyodokkan toya ke
belakang. Wutt...! Trakk...!
Pruss...! Batu itu hancur, tepat tersodok ujung toya.
Padahal Satria Tangkas tidak memandang ke arah
belakang, namun ujung toya itu bagaikan punya mata
sendiri dan bisa menghantam batu kecil yang bergerak dengan cepat itu. Jika
bukan berilmu tinggi tak mungkin orang bisa melakukan gerakan setangkas itu.
Satria Tangkas merasa ada yang jahil padanya.
Kemudian ia berseru dengan suaranya yang berkesan
tenang dan kalem.
"Jika ingin berkenalan denganku, silakan keluar dari persembunyian kalian!
Mungkin aku pun akan senang
bisa berkenalan dengan kalian bertiga!"
Dalam bisikannya Setan Culik berkata kepada
Garong Codet, "Gila! Dia bisa tahu kalau kita bertiga!"
"Jelas ia punya ilmu tinggi. Cocok untuk tumbal berikutnya!" kata Garong Codet.
"Kalian tak perlu menjajal ilmunya, nanti malah kalian tewas lebih dulu!
Biar langsung kuhadapi saja!"
"Terserah kamu saja," kata Tikus Ningrat. "Kebetulan kakiku yang terkena pisau
masih terasa sakit, jadi aku libur dululah...!"
Tikus Ningrat memang berjalan pincang akibat pisau
Randu Galak. Betisnya yang kurus itu kini dibalut
dengan kain robekan ikat kepala Garong Codet yang
lepas karena kibasan cepat sabit Jayengrono. Luka itu diberi borehan daun
pengering luka. Sekalipun begitu, masih sedikit terasa sakit jika digunakan
berjalan. Namun toh tidak mengurangi semangat Tikus Ningrat
untuk mengikuti jejak Garong Codet dalam memburu
tumbal berikutnya.
Bahkan ketika Garong Codet tampakkan diri dari
persembunyiannya, Tikus Ningrat pun ikut keluar dari persembunyian, ia berdiri
bersebelahan dengan Setan Culik. Mereka bersikap sebagai penonton yang baik,
yang tak mau ikut-ikutan menyerang lawan yang sedang dihadapi oleh Garong Codet.
"Maaf, Kisanak... aku tidak kenal siapa kamu dan bagaimana harus menyebutmu!"
kata Satria Tangkas kepada Garong Codet.
"Kau tak perlu namaku, dan aku tak perlu namamu!
Yang kuperlukan adalah kepalamu!"
Terkesiap mata Satria Tangkas mendengar ucapan
Garong Codet. Ia kini memandang dengan mata sedikit menyipit, ia menangkap
gelagat tak beres pada sorot pandangan mata lawannya. Lalu, ia pun berkata,
"Apa yang kamu cari dalam kepalaku?"
"Apalagi kalau bukan satu penggalan tanpa rasa sakit sebagai tumbal yang
kubutuhkan! Ha ha ha ha...!"
Sambil tetap memegang tongkat toyanya, Satria
Tangkas langkahkan kaki ke kanan dua tindak,
kemudian berdiri tegak lagi menghadapi Garong Codet.
Matanya masih memandang dengan menyipit, mencoba


Pendekar Mabuk 016 Mustika Serat Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempelajari wajah aneh tanpa bulu dan berambut
trondol itu. Satria Tangkar temukan sifat angkara murka dan keji di balik wajah
aneh itu. "Jadi kau menginginkan kepalaku sebagai tumbal?"
"Ya! Tak salah lagi dugaanmu!"
Satria Tangkas manggut-manggut dan berkata,
"Mengapa harus kepalaku" Mengapa bukan kepala
kedua temanmu yang mirip tikus dan mirip kelinci hutan itu"!"
"Mereka bukan orang berilmu tinggi seperti kau!
Cincin Mustika Serat Iblis menolak tumbal kepala orang yang tidak berilmu
tinggi!" Satria Tangkas sunggingkan senyum tipis. "Aku
berterima kasih kepadamu, karena secara tak langsung kau telah memujiku dan
mengakuiku sebagai orang
berilmu tinggi! Tapi ketahuilah, Sobat..., Orang berilmu tinggi mana pun tak ada
yang mau sumbangkan
kepalanya secara sia-sia untuk keperluan pribadi
seseorang. Jadi jangan harap kau bisa ambil kepalaku sebagai tumbalmu!"
"O, keliru! Kau keliru, Anak Dungu! Bukan jangan harap aku bisa ambil kepalamu,
tapi jangan harap kamu bisa pertahankan kepalamu!"
"Kulayani tantanganmu! Tapi aku tidak mau
bertanggung jawab jika nyawamu melayang dari
ragamu! Heah...!"
Satria Tangkas segera membuka jurus kuda-kudanya.
Toya digenggam dengan satu tangan. Rapat dengan
lengan kanannya dan mengarah ke belakang, sementara kakinya pun ditarik rendah
ke belakang dengan tangan
kiri terbuka di atas kepala.
"Ha ha ha ha ha...! Jurusmu seperti jurus monyet kesurupan begitu"! Aha, mana
bisa kau pertahankan
kepalamu jika menggunakan jurus itu, Anak Dungu!
Wuttt...! Dugg...!
Gerakan Satria Tangkas begitu cepat. Ucapan Garong
Codet belum selesai tapi sudah terkena sodok toya
bagian bawah lehernya. Gerakan toya menyodok itu
tidak tertangkap oleh mata Garong Codet, sehingga
tubuh besar itu bukan saja terpental ke belakang tapi juga terbatuk-batuk dan
merasa sakit jika dipakai
menelan ludah. Sedangkan Satria Tangkas sudah
kembali berdiri dengan sikap tenang dan santai, ia
sunggingkan senyum sambil pandangi lawannya yang
berusaha berdiri sambil batuk-batuk. Wajah Garong
Codet menjadi merah karena batuknya itu.
Dari tempatnya Setan Cilik berseru, "Perlu
bantuan..."!"
"Tidak, Goblok!"
Garong Codet jadi tambah terkejut. Suaranya menjadi serak dan pecah. Perih
rasanya jika dipakai untuk bicara.
Kegeramannya bertambah, nafsu untuk membunuh
lawan menjadi kian berkobar.
Lalu, Garong Codet sentakkan tangan kirinya,
melepaskah pukulan jarah jauhnya yang bersinar merah bagai piringan kecil
melayang itu. Cepat dan sulit
dihindari. Wuussstt...!
Tetapi Satria Tangkas pun dengan cepat
menghantamkan toya ke arah samping depan. Hantaman
itu tepat mengenai sinar merah hingga timbulkan suara ledakan yang cukup keras.
Dueerr...! Pada saat itulah Garong Codet mengangkat tangan
kanannya dan membuka genggaman tangan itu. Lalu,
Mustika Serat Iblis mendapat cahaya dari matahari dan pantulkan sinar merah yang
diarahkan ke leher Satria Tangkas.
Clapp...! Crasss..!
"Auh...!" Satria Tangkas terpekik, ia sangat terkejut melihat kelebatan sinar
itu dan menghindar dengan
secepatnya. Tapi tangan yang memegangi toya itu
menjadi sasaran sinar merah, sehingga pergelangan
tangannya menjadi putus total. Pluk....! Jatuhlah telapak tangan kanan Satria
Tangkas ke tanah dalam keadaan
masih menggenggam toya.
Satria Tangkas terkesima memandang tangannya
jatuh di tanah. Saat terkesima itu digunakan oleh Garong Codet untuk mengarahkan
pantulan sinar mustika ke
leher Satria Tangkas.
Clapp...! Sinar itu bagaikan lidi yang berjulur merah dari telapak tangan Garong
Codet. Lidi merah itu
bergerak dari arah kanan Satria Tangkas memenggal ke arah kiri melewati
lehernya. Crasss...!
Satria Tangkas mendelik seketika. Terpatung sejenak.
Lalu kepalanya pun jatuh menggelinding dari raganya.
Plokkk...! Maka habislah riwayat si jago toya itu di tangan Garong Codet.
Prok prok prok...! Tikus Ningrat dan Setan Culik
memberi sambutan dengan tertepuk tangan. Semakin
bengkak dada Garong Codet mendapat pujian seperti itu.
Semakin besar kepala trondolnya, merasa menjadi orang hebat yang dapat dengan
mudah menumbangkan para
pendekar berilmu tinggi. Mustika Serat Iblis semakin digenggamnya, ia pun
melangkah dengan senyum
bangga, mendekati dua konconya itu.
"Gerakanmu tadi cukup indah! Aku suka sekali
melihatnya!" kata Setan Culik memuji Garong Codet.
"Itu belum seberapa," jawab Garong Codet. Tapi ia buru-buru pegangi lehernya dan
mendehem beberapa
kali. "Suaramu menjadi rusak, Garong Codet! Seperti
kaleng jatuh di atas tumpukan kaleng rombeng."
"Bangsat itu yang merusak suaraku! Aduh, perih...!
Hm hm hm...!" Garong Codet mendehem-dehem lagi. Ia sempat menyeringai ketika
menelan ludah sendiri.
Mata Setan Culik tak berkedip pandangi bagian tepat di bawah leher Garong Codet.
Bagian itu membekas
memar membiru berbentuk penampang ujung toya.
Bundar bentuknya. Lebih besar dari uang logam. Jika toya itu tidak dialiri
tenaga dalam yang tinggi, tak mungkin bisa timbulkan bekas yang biru kehitam-
hitaman seperti itu.
"Sebaiknya kita cepat cari buah jeruk buat mengobati tenggorokanmu yang rusak
itu, Garong Codet!" usul Tikus Ningrat.
Namun tiba-tiba seseorang menyahut dari tempat
jatuhnya mayat Satria Tangkas itu.
"Tak perlu repot-repot mencari jeruk! Aku bisa mengobatimu, Garong Codet!"
Suara tua itu cepat dipandang oleh mereka bertiga.
Terkesiap mata mereka melihat seorang nenek berjubah kuning sudah berdiri di
sana dengan tongkat kayu
merahnya yang berkepala burung garuda.
"Mau apa nenek peot itu kemari?" geram Garong Codet pelan.
Tikus Ningrat menyahut, "Mungkin mau
mendaftarkan diri sebagai tumbal berikutnya!"
Pada saat itu, Nyai Komprang segera sentakkan
tongkatnya ke tanah. Jleeg...! Sentakan itu sangat pelan, tapi menghadirkan
kekuatan yang cukup dahsyat. Tubuh Setan Culik terpental ke atas hingga
kepalanya membentur dahan pohon dengan keras.
Wuttt...! Prokkk...!
Krakkk...! Dahan pohon sebesar betis itu patah
seketika karena terkena sodokan kepala Setan Culik
dengan sangat kuat dari arah bawah. Patahan dahan itu menjatuhi tubuh Tikus
Ningrat yang tak sempat
menghindar. Prukk...! Beengg...!
Kepala Tikus Ningrat terhantam dahan sebesar betis.
Sementara itu, Garong Codet sudah lebih dulu menjauh dari tempat itu untuk
menghindari dahan yang jatuh.
Akibat kepalanya terkena dahan, Tikus Ningrat pun
jatuh terduduk dengan lemas. Kepalanya pusing tujuh keliling, seperti banyak
bintang yang mengelilingi
kepalanya. Sedangkan Setan Culik terkulai lemas, jatuh
di sebuah dahan. Tubuhnya tersampir di dahan itu
seperti sarung sedang dijemur.
"Hebat sekali, kau, Nek"!" kata Garong Codet dengan suara sember. "Rupanya kau
datang untuk sumbangkan kepala sebagai tumbal Mustika Serat Iblis juga"!"
"Aku datang untuk menuntut kematian kedua
muridku! Nyawa kalian bertiga belum impas untuk
menebus kematian kedua muridku itu!"
"Kalau begitu, nyawamu ditambahkan juga sebagai pelengkapnya biar impas!" Garong
Codet tak bisa membentak, karena tenggorokannya terasa sakit jika
digunakan bicara terlalu keras, sehingga sejak tadi bicaranya cukup pelan dan
berkesan lembut bagai orang sedang memadu kasih. Garong Codet benci dengan
keadaan suaranya, tapi demi menahan supaya tidak
menjadi lebih parah lagi, ia terpaksa bertutur kata dengan suara lemah lembut.
"Garong Codet! Bersiaplah untuk mati di tanganku, Keparat!"
Nyai Komprang menyodokkan kepala tongkatnya ke
depan. Dari kepala tongkat itu melesat cahaya putih perak. Cahaya itu mengarah
ke tubuh Garong Codet.
Dengan satu sentakan kaki Garong Codet melenting di udara dan bersalto satu
kali. Saat itu pula Nyai
Komprang ikut melayang di udara dan menyerang
Garong Codet dengan kepala tongkat.
Duarr...! Sinar putih perak tadi menghantam batang
pohon kelapa. Buah pohon berjatuhan. Tapi sudah
berubah menjadi busuk. Sedangkan batangnya pun
menjadi keropos seketika, dan rubuh tanpa timbulkan suara bunyi berdebam.
Saat itu pula, dua tubuh yang melayang di udara itu saling melepaskan pukulan
tenaga dalamnya. Garong
Codet melepaskan pukulan tenaga dalam dari siku
kanannya. Sebuah sinar kuning seperti bola kecil
melesat. Wutt...! Dari kepala tongkat Nyai Komprang keluar lagi sinar putih
perak. Wuttt...!
Blaarrr...! Kedua sinar itu saling menghantam dan
pecah dengan timbulkan ledakan dahsyat. Gelombang
ledakan itu melemparkan tubuh Nyai Komprang ke
belakang hingga berguling-guling tak terkendalikan
keseimbangannya. Sedangkan tubuh Garong Codet
melengkung ke depan lalu membentur pohon besar
dalam jarak lebih dari tujuh kaki di belakangnya.
Buuhhg....! Garong Codet sebenarnya merasakan sakit di sekujur
tubuhnya. Tapi ia paksakan untuk berdiri secepatnya, karena ia melihat keadaan
lawannya sangat lemah.
Maka, dibukalah tangan kanan yang menggenggam
Mustika Serat Iblis itu. Lalu, pantulan cahaya matahari keluarkan sinar merah
tanpa putus ke arah tubuh Nyai Komprang. Wusttt...! Clappp...!
Nenek berjubah kuning itu terkejut dan tak sempat
menghindar. Akibatnya sinar tak terputuskan itu
bergerak menebas leher sang nenek dengan cepat.
Crass...! Dan kepala sang nenek pun jatuh
menggelinding di tanah, menyusul bagian badannya
rubuh bagaikan batang pohon pisang. Bruukkk...!
Tikus Ningrat mendekati pohon tempat tersangkutnya
Setan Culik. Tapi pohon itu tiba-tiba berguncang pada saat Setan Culik sedang
kebingungan mencari jalan
untuk turun. Wurrr...!
Bukkk...! Setan Culik jatuh tepat di depan Tikus
Ningrat, ia tidak segera ditolong, tapi justru ditertawakan oleh manusia
berwajah runcing seperti tikus itu.
Setan Culik cepat bangkit dan lompatkan diri dalam
satu tendangan ke arah Tikus Ningrat. Plaak...! Tikus Ningrat cepat menangkis
kaki Setan Culik yang tak
pedulikan rasa sakit membiru di lengan kanannya itu.
"Kenapa kau menyerangku"!"
"Kau mengguncangkan pohon itu hingga aku jatuh!"
sentak Setan Culik dengan berang.
"Bukan aku yang guncangkan pohon! Angin yang
bikin pohon berguncang!"
"Tak ada angin sekencang itu!"
"Kalau begitu, seseorang telah mengguncangkan
pohon itu dengan kekuatan jarak jauhnya!"
Setan Culik diam, Tikus Ningrat pun diam. Karena
tiba-tiba dari arah belakang mereka terdengar suara menyahut,
"Aku yang mengguncangkan pohon!"
Garong Codet juga terkesiap melihat kemunculan
tokoh tua yang tampil sambil mengunyah makanan.
Tokoh tua itu jadi lebih terkejut dan berhenti mengunyah setelah ia perhatikan
ke arah mayat Satria Tangkas yang kepalanya berjarak tiga langkah dari raganya.
"Satria..."!" Tokoh tua itu cepat mendekati kepala
Satria Tangkas. Serta-merta makanan yang dikunyahnya disemburkan keluar.
Bruss...! Kemudian ia palingkan pandangan ke arah Garong Codet. Matanya mulai
pancarkan api dendam kemarahan.
"Kau telah membunuh muridku, Garong Codet!"
geram orang itu yang tak lain adalah Ki Madang Wengi.
Napasnya terengah-engah tangannya mulai gemetar.
Gigi pun menggeletuk tanda menahan kemarahan besar.
"Apakah anak muda itu muridmu, Pak Tua?"
"Semua orang tahu, Satria Tangkas adalah murid Madang Wengi!" Ki Madang Wengi
menepuk dadanya sendiri untuk melampiaskan kemarahannya yang sudah
tak tertahankan lagi itu.
Tikus Ningrat segera maju mendekati Ki Madang
Wengi dengan berkata,
"Jangan marah-marah, Pak Tua. Muridmu Cuma
mati, cuma terpenggal saja! Dia tidak merasa...."
Dengani cepat Ki Madang Wengi mencabut bambu
runcingnya di pinggangnya. Wuttt...! Crapp...! Bambu runcing tiga jengkal
menancap di dada Tikus Ningrat, tepat di bagian jantungnya. Darah pun menyembur
keluar sambil Tikus Ningrat tenganga mulutnya,
terdongak kepalanya, dan mendelik matanya.
Slapp...! Bambu dicabut dari dada Tikus Ningrat.
Kemudian tubuh Tikus Ningrat dijejak kuat oleh Ki
Madang Wengi. Bukkk...!
Wusttt...! Tubuh itu terlempar begitu jauhnya. Lebih dari lima belas langkah.
Bagai boneka dari kain tubuh itu menghantam ke sebuah pohon tepat di bagian
kepalanya. Prokk....! Kepala itu pecah karena kecepatan melayang tubuh Tikus Ningrat.
Tentu saja Garong Codet dan Setan Culik terperangah kaget melihat Tikus Ningrat
bermandi darah dan tak
bernyawa lagi. Garong Codet segera berbalik pandang dan menggeram dengan mata
melotot. Cuping
hidungnya kembang kempis. Wajah tanpa kumis dan alis itu menjadi merah padam.
"Jahanam kau, Madang Wengi! Kau bunuh sahabatku yang setia itu! Kubalas kau
tanpa ampun lagi!
Heeaah...!"
Clapp, clappp...! Mustika Serat Iblis segera


Pendekar Mabuk 016 Mustika Serat Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melepaskan pantulan sinarnya ke arah Ki Madang
Wengi. Orang tua berjubah abu-abu itu melompat ke
sana kemari dengan gerakan cepat tak terlihat mata.
Tahu-tahu ia sudah berada di belakang Setan Culik.
Wuttt...! Bukkk!
Tangan kiri Ki Madang Wengi menyentak cepat
bagai gerakan tak direncana. Tangan itu menghantam
punggung Setan Culik. Yang dihantam terpental jauh
dan terguling-guling. Lalu di sana ia muntahkan darah kental dari mulutnya.
"Jahanam busuk kau, Madang Wengi! Hiih...!"
Clap, clap, clap, dap...!
Ki Madang Wengi dihujani kilatan cahaya merah dari
Mustika Serat Iblis, ia menghindar dengan lincah, dan beberapa pohon pun tumbang
terpotong oleh kilatan
cahaya merah Mustika Serat Iblis.
Rupanya Garong Codet benar-benar marah melihat
dua sahabatnya dilukai oleh Ki Madang Wengi. Tak ada hentinya Garong Codet
melepaskan sinar pemotong
yang amat berbahaya itu. Mau tak mau Ki Madang
Wengi hanya bisa menghindar, karena ia tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan
celah menyerang.
"Modar kau, jahanaaam...!" Garong Codet berseru garang dengan suara serak, tanpa
pikirkan rasa sakitnya di tenggorokan. Mustika Serat Iblis tetap menghujani Ki
Madang Wengi secara bertubi-tubi, tapi manusia
selincah petir itu sulit dikenai anggota tubuhnya. Lebih dari sepuluh pohon
menjadi sasaran sinar merah yang mematikan itu. Lebih dari dua puluh batang
menjadi terpotong-potong oleh pantulan sinar Mustika Serat
Iblis. Ki Madang Wengi merasa terdesak, ia tak punya
harapan dapat menyerang, karena ketika ia mencoba
melepaskan pukulan tenaga dalam bersinar kuning untuk melawan sinar merah dan
terputus itu, ternyata sinar kuningnya kalah. Tak bisa menahan sinar merah
tersebut. Merasa dirinya terdesak bahaya yang tak bisa ditawar lagi itu, Ki Madang Wengi
cepat melarikan diri tanpa keluarkan sepatah kata pun. Hanya suara Garong Codet
yang terdengar keras dan serak.
"Ke mana pun kau lari akan kukejar, Madang Wengi!
Bangsaaat...!"
Ki Madang Wengi tak peduli dikatakan bangsat,
karena ia sedang cari selamat. Gerakannya yang cepat itu pun tak bisa diikuti
lawan. * * * 6 PANTAI Tanjung Keramat suatu tempat yang sunyi.
Jauh dari kehidupan masyarakat pedesaan. Pantai itu banyak dikelilingi oleh
gugusan karang yang
menggunung. Dua gugusan karang yang paling besar
tingginya antara tiga puluh tombak lebih. Dua gugusan karang itu membentuk celah
tebing yang berhadapan. Di tebing karang itu terdapat sebuah tempat datar.
Tempat datar itu terletak di depan sebuah gua bermulut lebar. Di dalam gua
itulah Tabib Awan Putih tinggal di sana
sendirian. Bekas seorang pendekar dari dataran Cina itu kini
telah mengasingkan diri dari keramaian duniawi, ia lebih menekuni pengobatan dan
meramu berbagai macam obat
dari ramuan alam berupa dedaunan pohon, akar pohon, kulit, daun, kayu, bunga,
getah dan yang lainnya, ia memasak obat-obatan itu di dalam gua, sehingga ciri
khas Pantai Tanjung Keramat adalah udara berbau
rempah-rempah. Tabib Awan Putih sudah berusia sekitar delapan
puluh tahun. Tapi tubuhnya masih segar dan gesit.
Memang sedikit bungkuk, tapi tidak membuat
langkahnya tertatih-tatih. Rambutnya putih tipis, agak gundul, matanya kecil
tapi masih tajam memandang
jarum jatuh di tanah. Jenggotnya putih panjang, dan
kumisnya yang putih itu melengkung ke bawah melewati dagu. Ia mengenakan pakaian
jubah putih. Semuanya
serba putih kecuali dua biji matanya yang punya warna hitam.
Suara tuanya masih terdengar jelas, Tidak bergetar
seperti suara orang awam seusia delapan puluhan, ia orang yang berpenampilan
tenang, walaupun kadang-kadang sering jengkel pada dirinya sendiri jika
melakukan kesalahan.
Rupanya hari itu sang tabib sedang kedatangan tamu, yaitu seorang pemuda tampan
berpakaian celana putih dengan baju tanpa lengan berwarna coklat. Rambut
pemuda itu tergerai panjang. Lemas dan halus. Sorot matanya lembut dan hidungnya
bangir. Ke mana pun
pemuda, itu berada ia selalu tak jauh dari bumbung
bambu tempat tuak yang panjangnya antara satu depa.
Melihat bumbung tempat tuak itu, orang akan cepat
mengenalinya sebagai murid edan si Gila Tuak yang
punya nama panggilan Suto Sinting, dengan julukan
Pendekar Mabuk.
Dia memang seorang peminum tuak. Tapi tak pernah
menjadi mabuk dan bikin onar. Julukan Pendekar Mabuk itu diberikan oleh gurunya,
karena dia punya gerakan jurus mirip orang mabuk. Tubuh meliuk ke kanan kiri,
sempoyongan ke sana-sini, tapi setiap gerak timbulkan jurus dan melepaskan
pukulan maut. Ia dikatakan sinting karena setiap gerakan jurusnya menghasilkan satu kejutan
yang gila-gilaan. Kadang ia terlihat diam saja, tapi sebenarnya sedang menyerang
lawannya dengan jurus yang membahayakan. Bahkan
dalam keadaan bahaya pun Suto masih sempat
menenggak tuaknya dengan tenang, dan tuak itu ternyata menghasilkan satu
kekuatan dahsyat yang membuat
orang terperangah terheran-heran. Belum lagi jika ia menghembuskan napas Tuak
Setan-nya, badai datang
mengamuk dan menumbangkan apa saja yang ada di
depannya. Sungguh sinting ilmu yang dimiliki Suto, tapi toh tidak membuatnya
menjadi takabur ataupun
sombong. Justru Suto banyak menahan diri dan mencari perdamaian dengan lawannya
siapa saja. Hanya satu lawan yang tak bisa diajak damai dan tak perlu ditawarkan perdamaian
lagi, yaitu Siluman Tujuh Nyawa. Tokoh sesat berilmu tinggi yang telah banyak
menelan korban itu sedang diburunya untuk dipenggal kepalanya. Bukan semata-mata
dendam yang ada di hati Pendekar Mabuk, bukan pula semata-mata kepala itu
menjadi mas kawin bagi pinangannya terhadap Dyah
Sariningrum, Ratu Puri Gerbang Surgawi yang punya
panggilan Gusti Mahkota Sejati itu, tapi karena tugas menyelamatkan banyak jiwa
dari kekejaman Siluman
Tujuh Nyawa, maka Suto memburu tokoh sesat berilmu
tinggi itu. Hanya saja, kali ini kedatangan Pendekar Mabuk ke
Tanjung Keramat bukan untuk membicarakan tentang
Siluman Tujuh Nyawa, melainkan untuk membicarakan
masalah Bunga Bernyawa (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Pawang Jenazah"). Perempuan cantik yang pernah menjadi sandera
dan sekaligus gundik
Laksamana Cho itu adalah putri seorang kaisar di negeri Cina.
Sudah cukup lama Pendekar Mabuk meninggalkan
Bunga Bernyawa di Pegunungan Mahagiri bersama
Mayang Suri, bayinya, dan Eyang Juru Taman. Tentunya perempuan putri kaisar itu
sudah ingin pulang ke tanah kelahirannya. Pendekar Mabuk pernah berjanji akan
mengatur perjalanan pulangnya Bunga Bernyawa. Tapi
sampai sekarang ia belum punya waktu dan belum punya kapal yang bisa membawa
pulang Bunga Bernyawa.
"Aku kenal ayah Bunga, yaitu Kaisar Shiauw-ong alias si Raja Kecil itu," kata
Tabib Awan Putih sambil menghisap-hisap sebatang huncwe (pipa tembakau
panjang), ia berjalan mondar-mandir di depan Pendekar Mabuk. Kemudian lanjutnya,
"Tapi kalau aku mengantarkan Bunga pulang ke sana, maka aku akan berhadapan
dengan musuh lamaku, Lim-ong, alias si Raja Hutan! Padahal aku sudah bersumpah
untuk tidak membunuh orang lagi, selain binatang. Aku pun tidak mau dibunuh
begitu saja. Sebab itu aku lebih tenang tinggal di pantai ini."
"Jadi, jelasnya kau keberatan untuk mengantarkan Bunga Bernyawa pulang ke
negerinya"!"
"Aku keberatan, Suto! Kusarankan kau sewa kapal saja dan bawa sendiri gadis itu
pulang ke negerinya! Di sana kau pasti akan sangat dihargai karena dianggap
sebagai pahlawan yang bisa selamatkan putri kaisar!"
"Aku tak punya uang untuk sewa kapal," kata Suto jujur apa adanya.
Tabib Awan Putih melepaskan tawa terkekeh. Setelah
menghisap satu kali pipanya itu, ia pun ucapkan kata,
"Aku punya kenalan seorang saudagar yang punya kapal empat. Aku bisa pinjamkan
kapal itu, karena aku pernah tolong dia dan dia merasa berhutang nyawa
padaku! Kalau kau mau, segera kuhubungi sahabatku
itu!" "Tapi aku masih buta pelayaran menuju Laut Cina, Tabib!"
"Hei hei hei...!" Tabib Awan Putih mendekati Suto.
"Kalau gurumu si Gila Tuak mendengar ucapanmu ini, kamu pasti ditamparnya! Aku
tahu watak sahabat
lamaku yang jadi gurumu itu, dia paling tidak suka
dengan kata menyerah. Harus berusaha dulu, setelah berulang kali gagal, baru
boleh menyerah. Tapi bukan untuk kalah, melainkan untuk cari kemenangan di jalur
lain!" Pendekar Mabuk tersenyum. Agaknya orang berjubah
putih ini tahu betul watak si Gila Tuak, gurunya.
Kemudian Suto berkata,
"Aku bukan menyerah, Tabib. Aku hanya mengakui kebodohanku tentang pelayaran ke
Laut Cina."
"Tapi nada bicaramu berkesan menyerah, Suto
Sinting! Itu tidak baik untuk jiwamu! Cobalah dulu bawa kapal ke Laut Cinta,
eh... ke Laut Cina! Cobalah dulu.
Dan lagi, setahuku Bunga Bernyawa pandai dalam ilmu jalur pelayaran, karena
semua anak kaisar harus
menguasai jalur pelayaran laut!"
Pendekar Mabuk menarik napas, ia teguk tuaknya
kembali, sedangkan Tabib Awan Putih menghisap
huncwe-nya dalam-dalam, ia duduk di sebuah bangku
kecil yang rendah, di depan sebuah pelita menyala.
"Baiklah, akan kucoba berlayar ke sana bersama Bunga Bernyawa!" ujar Suto
setelah sama-sama
bungkam beberapa saat. "Lantas, kapan aku bisa mendapatkan kapal itu, Tabib"!"
"Tiga hari lagi!"
"Mengapa tiga hari lagi?"
"Perjalanan menuju tempat sahabatku itu sudah
memakan waktu satu hari satu malam. Belum lagi
membawa kapalnya kemari dan...."
Tiba-tiba Tabib Awan Putih menghentikan
ucapannya. Matanya melirik ke arah luar gua, sepertinya ada sesuatu yang ia
curigai. Suto mencoba mencari
sesuatu yang dicurigai itu, tapi ia tak temukan apa-apa.
Hanya kesunyian yang ada di luar gua. Kemudian Suto pun ajukan tanya,
"Ada apa, Tabib?"
"Ada orang menuju kemari!"
"Dari mana kau tahu?"
"Getaran nadinya kurasakan mendekat kemari."
"Mungkin itu getaran nadi binatang."
"Tidak sekeras ini getaran nadinya. Hmmm...
langkahnya pun langkah telapak kaki manusia!" Tabib Awan Putih sipitkan matanya
lagi. Setelah itu kembali tarik napas dan bersikap biasa saja.
"Sampai mana percakapanku tadi?" tanyanya kepada Suto.
"Sampai... sampai telapak kaki manusia, Tabib!"
"Bukan. Soal kapal tadi!"
"O, hmmm... yah, kurasa aku memang harus segera hubungi Bunga Bernyawa. Aku siap
berangkat ke Laut
Cina kapan saja. Terserah harinya, kau yang tentukan, Tabib. Sebab kau yang
punya kesanggupan menolong
putri kaisar itu untuk mencarikan kapal!"
"Ya. Tapi menurutku, kalau kau mau kawini Bunga Bernyawa, maka Bunga akan betah
tinggal di sini,
Suto!" Pendekar Mabuk tertawa kecil. "Mengapa kau bilang begitu, Tabib?"
"Wanita-wanita ningrat seperti Bunga Bernyawa itu sangat menyukai pemuda yang
mempunyai ilmu tinggi
namun bijaksana, berjiwa ksatria dan berwajah tampan.
Sedangkan semua itu menurutku ada padamu, Suto!"
"Ah, tidak semudah itu, Tabib! Cinta tidak datang dari sikap saja! Cinta adalah
gerakan batin yang sangat naluriah sekali, Tabib. Tak bisa diatur
kedatangannya!"
"Atau... barangkali kau sudah punya kekasih sendiri di negeri yang tak bisa
dilihat mata orang biasa?"
"Apa maksudmu, Tabib?"
"Maksudku, kau punya calon istri di alam gaib?"
"Di alam gaib" Mengapa kau bicara soal alam gaib?"
Pendekar Mabuk kerutkan dahi dalam lagak bingungnya.
Tabib Awan Putih tersenyum.
"Aku melihat noda merah kecil di keningmu, Suto.
Aku tahu, noda itu sebagai tanda bahwa kau bisa masuk ke alam gaib. Dan satu-
satunya negeri alam gaib yang
pernah kudatangi sebagai kunjungan persahabatanku
ialah negeri Puri Gerbang Surgawi, yang dipimpin oleh seorang ratu cantik
bernama Ratu Kartika Wangi!"
Pendekar Mabuk sedikit terkesiap dan menjadi
tersipu. Ternyata Tabib Awan Putih itu memang tinggi ilmunya. Dia bisa mengenal
Gusti Ratu Kartika Wangi yang ada di alam gaib, yang mempunyai negeri Puri
Gerbang Surgawi. Sedangkan negeri Puri Gerbang
Surgawi di alam nyata ini dipegang oleh Dyah
Sariningrum, calon istri Suto. Karena itu, Suto Sinting hanya tersenyum-senyum
saja saat Tabib Awan Putih
membeberkan tentang negerinya Gusti Ratu Kartika
Wangi. "Hanya orang terhormat dan punya penghargaan
tinggi yang diberi tanda merah di kening oleh Ratu
Kartika Wangi. Dia mempunyai dua putri, yaitu Betari Ayu dan Dyah Sariningrum.
Barangkali salah satu dari kedua anaknya itulah yang menjadi kekasihmu!"
"Aku tak bisa bohong di depanmu, Tabib!" Pendekar Mabuk tersenyum kecil, menahan
malu. "Pantas kalau kau menolak Bunga Bernyawa, karena kau punya kekasih salah satu
dari anak Ratu Kartika Wangi. Tapi kalau boleh aku tahu, yang mana
kekasihmu itu, Suto?"
"Gusti Mahkota Sejati," jawab Pendekar Mabuk menyebut nama julukan kekasihnya.
"O, itu julukan dari Dyah Sariningrum!"
"Tak salah, Tabib!" sambil Suto sunggingkan senyum bangga dan berbunga hatinya.
Rupanya Tabib Awan
Putih banyak tahu tentang Puri Gerbang Surgawi,
sehingga hafal nama julukan Dyah Sariningrum.
Kemudian Tabib Awan Putih berkata,
"Sampaikan salamku kepada Ratu Kartika Wangi jika kau jumpa dia kapan saja.
Katakan bahwa...."
Ucapan Tabib Awan Putih kembali terputus dengan
sendirinya. Suto berkerut dahi dan berkata dalam hati,


Pendekar Mabuk 016 Mustika Serat Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkinkah ia takut banyak menceritakan dan sebut-sebut nama Gusti Ratu Kartika
Wangi...?" (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu
Wajah"). Rupanya berhentinya kata-kata itu segera disusul
dengan bangkitnya Tabib Awan Putih dari tempatnya
bersila. Kemudian ia melangkahkan kaki ke mulut gua.
Tepat kakinya ada di luar gua, seorang wanita melompat dari atas dan mendaratkan
kakinya di tempat datar, di depan Tabib Awan Putih. Suto jadi tertarik dan ikut
keluar. Kedua mata wanita cantik itu memandang mata
Pendekar Mabuk. Ada rasa debaran aneh di dalam
hatinya yang membuat ia pun jadi resah serta sedikit gugup. Tapi cepat-cepat ia
alihkan pandangan kepada Tabib Awan Putih, sehingga kegugupannya yang aneh
itu menjadi hilang.
Wanita cantik yang datang dengan melalui jalan
curam itu berpakaian merah tembaga terang, bertahi lalat kecil di bawah mata
kiri, menyandang pedang di
pinggangnya. Siapa lagi yang bertahi lalat kecil di bawah mata kirinya itu jika
bukan Roro Manis, murid
Eyang Danujaya" Tetapi agaknya Tabib Awan Putih
tidak mengenalinya, sehingga ia sedikit kerutkan dahi dalam memandang. Sedangkan
Suto Sinting diam
membatin dalam hati,
"Mungkin wanita ini yang denyut nadi dan langkah kakinya dirasakan oleh Tabib
Awan Putih. Benar-benar kagum aku pada Tabib Awan Putih. Bukan hanya indera
keenamnya yang tajam, tapi ia juga bisa menerka isi hatiku. Hm... sebaiknya
kusimak dulu apa perlunya
gadis cantik itu datang kemari. Sepertinya, Tabib Awan Putih merasa asing dengan
gadis itu!"
Benar dugaan Suto, buktinya tabib segera ajukan
tanya kepada gadis itu,
"Siapa dirimu, Nona?"
"Namaku Roro Manis. Aku dari padepokan desa
Sambiroto, murid Eyang Guru Danujaya."
"Danujaya..."!" tabib menggumam agak bingung.
"Silakan masuk!" Ia melangkahkan kaki lebih dulu masuk ke dalam gua yang penuh
dengan guci obat dan
kotak rempah-rempah.
Roro Manis sempat melirik Pendekar Mabuk lagi
ketika melangkah masuk. Suto sunggingkan senyum dan ucapkan kata,
"Namaku Suto Sinting!"
"Aku belum berminat menanyakannya!" Roro Manis berlagak ketus. Padahal hatinya
berdebar indah mendengar nama pemuda tampan itu. Ia melanjutkan
kata, "Aku masih butuh bicara dengan Tabib Awan Putih!"
Pendekar Mabuk tertawa dalam gumam. Kemudian ia
biarkan Roro Manis masuk mengikuti langkah Tabib
Awan Putih. Suto sendiri membuka bumbung tuak dan
menenggak tuaknya beberapa teguk. Setelah itu ia
kembali pusatkan perhatian kepada pembicaraan Roro
Manis dengan Tabib Awan Putih.
"Apa perlumu datang kemari, Roro Manis?"
"Untuk menemui Tabib Awan Putih."
"Akulah orang yang kau cari. Dari mana kau
mengenalku?"
"Ki Madang Wengi menyuruhku datang kemari."
"O, Madang Wengi"! Ya ya ya...!" tabib manggut-manggut sambil sunggingkan senyum
mengenang Madang Wengi. Ia segera lanjutkan kata,
"Sudah hampir sepuluh tahun aku tidak jumpa dengan Madang Wengi. Bagaimana
kabarnya?"
"Dia dalam keadaan baik, Tabib. Sekarang dia sedang mengawasi bekas kekasihnya
semasa muda...."
"Nyai Komprang, maksudmu?" potong tabib dengan cepat.
"Benar, Tabib!"
"He he he...! Kudengar belakangan ini mereka saling bermusuhan!"
"Memang, Tabib. Tapi agaknya bukan musuh
bebuyutan! Terbukti Ki Madang Wengi masih sempat
cemaskan Nyai Komprang saat Nyai Komprang mau
temui Garong Codet!"
"Garong Codet..."! Maksudmu, si perampok dari
tanah seberang itu, Roro Manis?"
"Betul, Tabib!" jawab Roro Manis dengan tegas tapi sopan.
"Ada persoalan apa Nyai Komprang sampai
berurusan dengan Garong Codet itu" Ilmu Nyai
Komprang jauh lebih tinggi, mau-maunya dia berurusan dengan anak kemarin sore"!"
"Nyai Komprang yakin kedua muridnya dipenggal
oleh Garong Codet! Dan saya pun berpendapat begitu, karena penggalan kepala di
Sepasang Pedang Iblis 22 Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana Perisai Maut 1
^