Pencarian

Mustika Serat Iblis 3

Pendekar Mabuk 016 Mustika Serat Iblis Bagian 3


kedua murid Nyai Komprang tidak semburkan darah sedikit pun. Penggalan itu sama
persis dengan penggalan kepala tiga saudara
seperguruanku dan bahkan Eyang Guru sendiri juga
dipenggal oleh Garong Codet! Itulah sebabnya Nyai
Komprang mau menuntut balas kepada Garong Codet.
Tapi Ki Madang Wengi cemaskan jiwa Nyai
Komprang!"
"Mengapa Madang Wengi cemaskan jiwa Nyai
Komprang" Bukankah dia tahu Nyai Komprang berilmu
tinggi"!"
"Karena Garong Codet bersenjatakan Mustika Serat Iblis!"
"Hah..."!" Tabib Awan Putih tersentak kaget hingga mulutnya terbengong melongo.
Sedangkan Pendekar
Mabuk diam saja, karena dia tidak tahu kehebatan
Mustika Serat Iblis. Tapi dia jadi sangat tertarik begitu melihat Tabib Awan
Putih tersentak kaget. Pendekar
Mabuk pun mendekatkan diri tapi tetap tidak ikut bicara.
"Mana mungkin batu Mustika Serat Iblis bisa dimiliki Garong Codet..."!" Tabib
Awan Putih bicara seperti pada
dirinya sendiri.
"Aku melihatnya sendiri, Tabib! Bahkan aku hampir saja menjadi korban keganasan
Mustika Serat Iblis!"
kata Roro Manis. "Aku melarikan diri kepada Ki Madang Wengi. Lalu, Ki Madang
Wengi menyuruh aku
kemari untuk meminjam Perisai Naga Bening darimu,
Tabib!" Tabib Awan Putih diam tertegun beberapa saat
lamanya. Karena suasana menjadi sunyi, maka Pendekar Mabuk yang mulai penasaran
dengan berita tentang
mustika tersebut, segera ajukan tanya kepada Tabib
Awan Putih, "Apa kehebatan Mustika Serat Iblis itu, Tabib"'
"Bisa memotong baja setebal apa pun! Pantulan
cahayanya sangat berbahaya. Mustika itu hanya dimiliki pada seekor harimau
berbulu merah api. Harimau itu
sudah berusia ribuan tahun, dan empedunya menjadi
batu warna merah. Jika terkena pantulan cahaya apa saja, bisa memotong benda apa
pun, termasuk tubuh manusia.
Di dunia ini hanya ada tiga harimau berbulu merah api, dan ia tidak berkembang
biak seperti hewan lainnya. Tak ada yang bisa menahan pantulan sinar yang
membias lewat batu Mustika Serat Iblis selain Perisai Naga
Bening...."
"Menurut Ki Madang Wangi, perisai itu adalah
milikmu, Tabib!"
"Ya. Benar. Tapi...," suara itu melemah, "Tapi perisai itu telah hilang. Jatuh
di tengah lautan saat aku bertarung melawan Durmala Sanca...."
"Siluman Tujuh Nyawa"!" sahut Suto tegang.
"Ya. Benar. Kau mengenalnya, Suto?"
"Aku bukan mengenalnya, tapi memburunya!
Rupannya kita punya musuh yang sama, Tabib!"
"Ya. Tapi itu dulu. Sekarang aku tak punya minat untuk membunuh Durmala Sanca!
Karena memang aku
sudah tidak mau membunuh lagi!"
Roro Manis agak kesal karena percakapannya
dialihkan ke masalah Siluman Tujuh Nyawa. Maka
segera ia ajukan tanya,
"Jadi mengenai Perisai Naga Bening itu bagaimana, Tabib?"
Tabib segera pandangi Roro Manis dan berkata,
"Perisai itu terkubur di dasar lautan. Aku kehilangan perisai itu sekitar
sepuluh tahun yang lalu."
"Ah, sayang sekali! Padahal Garong Codet sedang mencari tumbal untuk mustika
itu," kata Roro Manis, "Ia butuh tumbal sejumlah...."
"Tiga puluh tiga kepala," sahut Tabib Awan Putih dengan cepat. Roro Manis
berdecak kagum dan tak
bicara sesaat. Karena ternyata Tabib Awan Putih lebih banyak tahu tentang
Mustika Serat Iblis daripada yang lainnya. Tabib Awan Putih pun melanjutkan
ucapan katanya, "Garong Codet tak akan berhenti mencari tumbal sebelum purnama muncul! Jika
sebelum purnama
muncul ia sudah mendapatkan tiga puluh tiga kepala
orang sakti, maka Mustika Serat Iblis itu akan menjadi miliknya. Selamanya ia
akan memiliki pusaka itu. Walau
dibuang ke kutub utara tetap saja batu mustika itu akan kembali sendiri
kepadanya! Tapi jika sebelum purnama tiba ia tidak bisa mendapatkan tiga puluh
tiga kepala tumbal, maka kepalanya sendiri yang akan meledak
hancur sebagai korban penghabisan!"
"Padahal dia sekarang sedang mengejarku, Tabib!"
ucap Roro Manis dengan nada cemas.
"Kalau begitu kau harus bersembunyi! Kau tidak bisa melawan kekuatan Mustika
Serat Iblis itu. Aku pun tak akan bisa melawannya! Satu-satunya cara untuk
melawannya adalah bersembunyi serapi mungkin,
sambil tunggu purnama lewat. Jika purnama telah lewat, seandainya mustika itu
tetap ada di tangan Garong
Codet, itu tidak terlalu membahayakan jiwamu! Karena Garong Codet tidak akan
memburu tumbal dengan
membabi buta. Hanya jika ada orang yang terlibat
bentrok dengannya saja ia akan menggunakan mustika
itu. Jika tidak ada masalah dengannya, ia tak perlu memenggal kepala orang itu
karena tidak diburu jumlah tumbal yang harus diperolehnya!"
Tabib Awan Putih memandang Pendekar Mabuk dan
berkata, "Kau pun bisa dibunuhnya jika ia tahu kau orang berilmu tinggi, Suto!
Kusarankan, kalian berdua bersembunyilah di suatu tempat yang aman. Jangan di
sini! Karena kalau dia mengamuk di sini, aku akan jadi korban yang sia-sia!"
"Jadi ke mana tempat yang baik menurutmu untuk bersembunyi?"
"Bawa perempuan ini ke Gua Mulut Dewa! Di sana
kalian akan lebih aman," kata Tabib Awan Putih setelah berpikir sejenak. Lalu
Suto berkata, "Aku setuju saja. Tapi bagaimana dengan Roro
Manis" Apakah dia mau kubawa bersembunyi ke
sana"!"
Roro Manis memandang Pendekar Mabuk dengan
mata tak berkedip. Lalu terdengar kata-katanya yang sengaja dibuat ketus,
"Aku masih bisa bersembunyi sendiri!"
Tabib Awan Putih menyahut kata, "Jangan sendirian!
Kau perlu pelindung yang mampu melarikan dirimu
secepat setan! Dia, si Pendekar Mabuk ini, punya
kesanggupan bergerak seperti setan!"
"Barangkali memang dia setan asli, Tabib!"
Tabib Awan Putih hanya sunggingkan senyum kecil.
Katanya, "Pergilah kalian ke Gua Mulut Dewa! Jangan tunggu lama-lama! Karena sifat orang
yang memegang Mustika Serat Iblis dan sedang mencari tumbal adalah mengejar
orang berilmu tinggi yang sudah telanjur dipergokinya!
Lekaslah kalian pergi, dan jangan sekali-kali
melawannya!"
Kepada Pendekar Mabuk, orang tua itu berkata,
"Bumbungmu tak akan mampu menahan sinar merah
dari Mustika Serat Iblis. Jadi lebih baik menghindar jika berjumpa si Garong
Codet!" "Baiklah, aku mengerti maksudmu, Tabib! Rasanya memang lebih baik aku berangkat
sekarang juga! Terserah perempuan ini mau ikut aku atau mau
sumbangkan kepalanya kepada Garong Codet!"
Roro Manis segera bangkit dan berkata, "Kalau aku ke Gua Mulut Dewa bukan
berarti aku mengikuti
langkahmu, tapi aku ikuti saran Tabib Awan Putih!"
Pendekar Mabuk hanya angkat bahu. "Kalau di
perjalanan kau kepergok Garong Codet, jangan minta
bantuan padaku!"
"Aku tidak akan minta bantuan sedikit pun padamu!
Tapi apakah kau tega melihat kepalaku terpenggal?"
"Kenapa tidak?" jawab Pendekar Mabuk seenaknya.
Roro Manis pun tertegun menahan dongkol, ia sengaja ketuskah diri di depan Suto,
untuk menutupi perasaannya yang menjadi tertarik dan berdebar-debar indah, ia perlukan sikap
ketus supaya dirinya tidak dianggap wanita murahan. Tapi sebenarnya ia berharap
Pendekar Mabuk tetap melindungi dirinya dari serangan Garong Codet yang amat
membahayakan itu.
* * * 7 SALAH satu sebab mengapa Pendekar Mabuk
memikirkan Mustika Serat Iblis karena timbulnya
perasaan cemas di dalam hatinya. Mustika itu adalah senjata berbahaya yang sukar
dicari tandingnya. Satu-satunya tandingan Mustika Serat Iblis adalah Perisai
Naga Bening. Tapi perisai itu sudah hilang dan terkubur di dasar lautan. Hal itu
secara tak langsung telah
membuat Mustika Serat Iblis merupakan senjata
terampuh dan tak bisa dikalahkan.
Senjata seperti itu jelas tak akan luput dari incaran Siluman Tujuh Nyawa. Tokoh
tua yang sesat dan masih berwajah muda itu jelas akan berusaha mendapatkan
Mustika Serat Iblis untuk melawan Pendekar Mabuk,
yang dianggap sebagai musuh terberatnya.
Karenanya, di dalam otak Suto terjadi suatu
pergolakan tentang mencari cara untuk meleburkan
Mustika Serat Iblis agar tidak jatuh ke tangan Siluman Tujuh Nyawa. Setidaknya
Suto harus bisa merebut
mustika itu sebelum orang lain mendahuluinya. Tetapi, mengingat nasihat Tabib
Awan Putih, Suto menjadi ragu untuk menghadapi Garong Codet. Apalagi Tabib Awan
Putih sudah kasih peringatan, bahwa bumbung tuak
Pendekar Mabuk yang dikenal ampuh bisa
mengembalikan serangan lawan dengan lebih besar dan lebih cepat bergeraknya itu,
tidak bisa untuk menangkis sinar dari Mustika Serat Iblis, ini membuat Suto
berpikir, harus dengan apa ia melawan kekuatan mustika tersebut.
Satu-satunya cara yang ditemukan Suto adalah
menantang pertarungan dengan Garong Codet di tempat gelap. Sebab di tempat gelap
mustika itu tidak akan memperoleh sinar dan tidak bisa pantulkan cahaya
mautnya kepada lawan. Tetapi, tempat gelap yang mana yang bisa dijadikan
pertarungan" Malam hari pun masih bisa hadirkan cahaya walau dari bintang atau
rembulan, atau mungkin nyala api dari pelita. Tempat yang paling bagus adalah
ruangan tertutup tanpa cahaya apa pun.
Dan ruangan tertutup itu agaknya adalah sebuah gua
lebar yang jauh dari mulutnya. Mungkin tempat yang
cocok untuk mengadakan pertarungan itu ialah Gua
Mulut Dewa"
Ki Madang Wengi tak tahu kalau Roro Manis pergi
ke Gua Mulut Dewa bersama murid si Gila Tuak itu. Ki Madang Wengi menyangka
Tabib Awan Putih masih
memiliki Perisai Naga Bening. Karenanya, pelarian Ki Madang Wengi menuju ke arah
Pantai Tanjung Keramat.
Sementara itu, Garong Codet tetap mengejarnya, karena ia punya dendam tersendiri
atas matinya Tikus Ningrat di tangan Ki Madang Wengi.
Tabib Awan Putih merasa tak enak hati sejak hari
kepergian Roro Manis dengan Pendekar Mabuk.
Karenanya, pagi itu Tabib Awan Putih sengaja berdiri di pesisir pantai, pandangi
lautan lepas yang membiru
dengan gelombangnya yang tak seberapa besar. Jubah
putihnya dibiarkan tertiup angin hingga berkelebat-
kelebat ke belakang.
Menjelang siang, apa yang dicemaskan hatinya
benar-benar terjadi. Ki Madang Wengi tampak berlarian menuju ke arahnya. Tabib
Awan Putih sudah siap
menyambut kehadiran sahabat lamanya itu. Ketika Ki
Madang Wengi tiba di depannya, Tabib Awan Putih
segera berkata,
"Roro Manis telah menceritakan segalanya!"
"O, ya..! Syukurlah...!" Madang Wengi terengah-engah, ia merogoh tempat kantung
kulit dan mengeluarkan sisa singkong bakar, lalu mengunyahnya.
"Sekarang Roro Manis pergi bersama murid si Gila
Tuak ke Gua Mulut Dewa! Kusuruh mereka
bersembunyi, di sana!"
"Mengapa?"
"Karena Perisai Naga Bening sudah tak ada padaku!"
"O, sial!" Ki Madang Wengi menggeram sendiri dengan jengkelnya. "Ke mana
perisaimu itu, Awan Putih?"
"Jatuh di tengah lautan sepuluh tahun yang lalu!
Mungkin sekarang sudah terkubur di dasar lautan!"
"Di lautan yang mana" Akan kucari perisai itu!"
Tabib Awan Putih menggeleng-gelengkan kepala, ia
masih pegangi pipa tembakau yang panjang itu.
Sekalipun bara apinya telah padam, namun sisa
tembakau masih dihisap-hisapnya lewat ujung pipa.
"Pekerjaan mencari Perisai Naga Bening adalah
pekerjaan yang sia-sia, Madang Wengi! Saranku,
cepatlah susul Roro Manis dan Suto Sinting ke Gua
Mulut Dewa! Bersembunyilah di sana sampai purnama
lewat. Karena jika Garong Codet mengejar kalian ke dalam gua itu, maka kekuatan
Mustika Serat Iblis akan pudar. Tak akan bisa memantulkan sinar, asal kalian
jangan menyalakan obor di dalam gua sana!"
Ki Madang Wengi kembali melahap singkong
bakarnya, ia diam sesaat, pandangi lautan lepas. Kejap berikut terdengar
suaranya berkata dengan lemah,
"Nyai Komprang mati terpenggal, dia bekas
kekasihku! Aku masih suka padanya! Cuma karena dia
cerewet dan tidak mau mengalah dalam semua hal, aku jadi sebal dengannya! Satria
Tangkas, muridku sendiri,
juga tewas terpenggal oleh mustika itu! Haruskah aku lari sembunyi dan takut
mati?" "Sembunyi bukan berarti takut mati, Madang Wengi!
Sembunyi adalah mencari kemenangan di hari nanti!
Sekarang kau tak akan bisa mengalahkan Garong Codet, karena inderanya menjadi
peka terhadap orang berilmu tinggi yang diburu-burunya. Pada saat itulah kau
punya kesempatan untuk melawannya!"
"Maksudmu, memanfaatkan kelemahannya?""
"Tepat! Jadi, ada baiknya jika kau susul Roro Manis ke Gua Mulut Dewa! Pergilah
ke sana sebelum Garong
Codet temukan dirimu."
"Kenapa kau sendiri tidak bersembunyi ke sana?"
"Aku tak punya urusan dengan Garong Codet! Kalau toh ia datang temui aku, aku
harus bisa menjadi orang bodoh tanpa ilmu apa pun! Kurasa dia tak akan
memenggal kepalaku jika ia tahu aku tak berilmu apa pun. Kadang-kadang orang
bodoh pun bisa selamat dari maut, mengapa orang pandai tidak bisa"!"
Ki Madang Wengi diam terpekur di atas sebuah batu.
Mulutnya masih mengunyah makanan, matanya
memandang lurus ke arah lautan. Lalu, Tabib Awan


Pendekar Mabuk 016 Mustika Serat Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Putih yang berjarak enam langkah darinya itu segera mendekati dan berkata pelan,
"Cepatlah pergi dan bersembunyi! Kurasa orang yang mengejarmu sebentar lagi
datang!" Ki Madang Wengi dongakkan kepala memandang
wajah Tabib Awan Putih. Sebelum Madang Wengi
ucapkan kata, Tabib Awan Putih sudah bicara,
"Kurasakan getaran nadinya semakin mendekat.
Lekaslah bersembunyi supaya kau selamat!"
"Aku masih ragu untuk bersembunyi atau membela kematian muridku!"
"Jangan menjadi bodoh karena otak ceroboh! Jangan menjadi dungu karena dendam
yang membelenggu!
Pembalasan akan tiba saatnya sendiri, tidak harus kapan hati berkehendak untuk
membalas diri."
Kembali merenung Madang Wengi, tapi Tabib Awan
Putih semakin cemas, ia merasakan getar nadi seseorang semakin mendekat. Karena
dilihatnya Madang Wengi
masih saja diam tak bergerak, maka Tabib Awan Putih pun segera menyodokkan pipa
panjangnya ke pinggang
Madang Wengi. Duhgg!
Ki Madang Wengi seketika itu mengejang dengan
mata mendelik Tubuhnya membujur kaku. Mulutnya
ternganga, ia telah bertotok jalan darah utama melalui sodokan pelan pipa
panjang itu. Ia tak bisa bergerak apa-apa lagi, walaupun ia mendengar suara apa
pun yang ada di sekitarnya.
Tubuh yang kaku itu segera diangkat oleh Tabib
Awan Putih. Lalu, kaki kirinya menghentak pelan ke
tanah, dan tiba-tiba tubuh Tabib Awan Putih melesat naik dalam satu ketinggian
yang hampir mencapai pucuk pohon kelapa. Sebelum itu, kaki kanan Tabib Awan
Putih cepat sentakkan lagi ke salah satu batang pohon kelapa yang terdekat.
Wuttt...! Kembali tubuh itu melesat lebih tinggi ke arah
samping. Dan kejap berikutnya ia sudah hinggap di atas
pohon kelapa. Di sana tubuh Ki Madang Wengi
disembunyikan. Tubuh itu dibaringkan pada jajaran
pelepah daun kelapa. Setelah itu, Tabib Awan Putih
melesat turun lagi dengan gerakan ringan bagai seekor bangau hendak hinggap ke
kubangan. Wusttt...!
Kejap selanjutnya kaki Tabib Awan Putih telah
memijak tanah tempatnya berdiri tadi. Ia mendongak ke atas sebentar, ternyata
tubuh Ki Madang Wengi tidak terlihat dari bawah. Selain pohon kelapa itu berbuah
banyak, juga berdaun rimbun. Tubuh Madang Wengi
tertutup rapat oleh pelepah daun dan buah kelapa yang menggerumbul.
Tak berapa lama kemudian, muncul dua sosok
manusia berwajah angker. Walaupun wajah itu sudah
tercukur gundul dan berambut trondol, tapi kesan angker masih terlihat dari
tonjolan tulang pipi dan rahang yang besar. Mereka tak lain ialah Garong Codet
dan Setan Culik.
Rupanya keadaan Setan Culik sudah lumayan dari
luka dalam akibat pukulan maut Ki Madang Wengi itu.
Garong Codet telah menyalurkan hawa dingin ke tubuh Setan Culik, sehingga luka
pukulan itu bisa ditawarkan.
Garong Codet memang bisa selamatkan Setan Culik, tapi ia tak bisa selamatkan
Tikus Ningrat. Kematian Tikus Ningrat itulah yang membuat Garong Codet semakin
penasaran mengejar Ki Madang Wengi untuk
dibunuhnya. Melihat kehadiran dua orang yang sudah diperkirakan itu, Tabib Awan Putih tetap
berdiri tegak di tepi pantai
memandang ke arah laut. Sikap berdirinya tak tampak kekar. Kedua kakinya
merapat, satu tangan dilipat di dada, tangan yang satunya menopang dagu.
Kepalanya sedikit miring dengan wajah dibuat lesu, mata dibuat sayu.
"Setan Culik! Menurutmu apakah kita salah arah mengejar orang berbaju biru dan
berjubah abu-abu
tadi"!" tanya Garong Codet.
"Kurasa tidak! Arahnya pasti ke pantai ini!"
"Tapi mengapa dia menghilang" Ke mana lagi
larinya?" sambil berkata demikian mata Garong Codet mengarah ke Tabib Awan
Putih. Kemudian Garong
Codet berbisik,
"Menurutmu, siapa orang berbaju putih di sana itu?"
"Aku tidak kenal dengannya. Mungkin dia tokoh
sakti!" jawab Setan Culik. "Coba kita dekati dan kita uji kemampuannya!"
Keduanya bergegas menemui Tabib Awan Putih.
Sekalipun Tabib Awan Putih tahu kedua orang itu
mendekat satu dari kiri dan satu dari kanan, tapi ia tetap dalam posisinya
berdiri bagai orang sedang merenung sedih. Wajah murungnya semakin terlihat
jelas. "Pak Tua," kata Garong Codet dengan suara pelan, karena memang tenggorokannya
tak bisa dipakai
mengeluarkan suara bentakan.
Mendengar teguran itu, Tabib Awan Putih
memandang Garong Codet. Matanya tetap sayu mirip
seorang peminum yang sedang mabuk. Pipa
tembakaunya diselipkan di pinggang.
"Apa yang kau lakukan di sini, Pak Tua?" tanya Garong Codet.
"Menunggu kekasihku," jawab Tabib Awan Putih dengan suara pelan bagaikan lemas
karena menahan lapar. "Ke mana kekasihmu?"
"Jauh...!" jawabnya.
"Jauh ke mana"!" sentak Setan Culik.
"Pergi!"
"Ke lautan?"
"Seberang," jawab Tabib Awan Putih dengan lemah.
Setan Culik segera menjelaskan pada Garong Codet.
"O, dia menunggu kekasihnya yang pergi jauh ke seberang lautan!"
"Sejak kapan perginya?" tanya Garong Codet.
"Jauh."
"Iya. Pergi jauhnya sejak kapan!" sentak Setan Culik agak jengkel.
"Lama."
"Dua hari?"
"Lewatlah hari," jawab Tabib Awan Putih.
"Dua bulan?"
"Lewatlah bulan."
"Dua tahun?"
"Lewatlah dua!"
"Sepuluh tahun?"
Tabib Awan Putih diam, memandang bengong. Lalu
menghitung jarinya sendiri dengan mulut umik-umik.
Setelah itu menjawab,
"Dua puluh...."
"Dua puluh tahun"!" Setan Culik mendelik.
"Lama," jawab Tabib Awan Putih.
"Lama sekali itu! Dan kau tetap tunggu kekasihmu di sini?"
"Janji," jawab Tabib Awan Putih lagi.
"Oo..., maksudnya kekasihmu sudah berjanji mau kembali, tapi sampai dua puluh
tahun kau menunggu di sini dia belum kembali?"
"Kasihan."
"Siapa yang kasihan?"
"Aku," jawab Tabib Awan Putih.
Kemudian setelah bicara begitu, ia kembali bertopang dagu seperti sikap semula,
seakan menunggu kedatangan kapal yang membawa kekasihnya pulang padanya.
Setan Culik miringkan jari tangan di kening sambil
pandangi Garong Codet. "Gila...!" ucapnya pelan.
Garong Codet mengangguk. Tapi segera ajukan tanya
kepada Tabib Awan Putih,
"Kau lihat orang berjubah abu-abu lewat ke sini"!"
Tabib Awan Puti berkerut dahi. Garong Codet
menjelaskan ciri-ciri Madang Wengi, "Badannya agak gemuk, rambutnya putih, botak
tengahnya, agak pendek, membawa senjata bambu kuning yang runcing!"
"Bukan," jawab Tabib Awan Putih.
"Bukan bagaimana?" tanya Setan Culik.
"Bukan kekasihku!"
Setan Culik agak membentak, "Yang kami tanyakan memang bukan kekasihmu, tapi
seseorang berjubah abu-
abu!" "Lari," jawab Tabib Awan Putih datar dan pelan.
"Lari ke mana..."!" geram Setan Culik. "Ke mana?"
"Jauh!"
"Arahnya ke mana..."!" geram Setan Culik.
"Ke sana!" Tabib menuding arah sembarangan.
"Sudah lama?"
Tabib menghitung tangannya lalu menjawab, "Dua puluh...."
"Dua puluh tahun"!" Setan Culik kembali mendelik.
"Dua puluh napas," jawabnya.
Setan Culik bicara kepada Garong Codet, "Dua puluh helaan napas kira-kira.
Berarti baru saja dan belum jauh!
Masih ada waktu untuk mengejarnya, Garong!"
"Baik! Kita segera kejar dia!"
Garong Codet menepuk punggung Tabib Awan Putih
sambil berkata, "Terima kasih, Tua Gila!"
Plok...! Brukk...! Tubuh Tabib Awan Putih jatuh
tersungkur. Tepukan itu dirasakan bukan tepukan
kosong, tapi bertenaga dalam. Tabib Awan Putih tak mau melawan tepukan tenaga
dalam itu. Ia sengaja
kosongkan diri sehingga jatuh tersungkur dengan
kerasnya. "Dia memang bukan orang berilmu! Buktinya
kutepuk pelan saja sudah jatuh tersungkur begitu
kerasnya!" kata Garong Codet kepada Setan Culik. Dan Setan Culik menjawab,
"Sudah kubilang dia hanya orang gila karena putus asa menunggu kepergian
kekasihnya! Jadi tuanya bukan
karena tua berilmu, tapi tua dimabuk rindu!"
Samar-samar percakapan itu terdengar oleh telinga
Tabib Awan Putih. Dan Tabib Awan Putih tetap tak mau bangun lekas-lekas. Namun
begitu Garong Codet dan
Setan Culik menjauh, ia cepat bangkit dan berucap kata,
"Benar apa kata Roro Manis. Orang itu membawa
Mustika Serat Iblis! Untung aku berpura-pura gila dan kosong ilmu! Jika tidak,
habislah kepalaku
dipenggalnya!"
* * * 8 TANPA disengaja arah yang dituju Garong Codet
adalah lembah yang mengarah ke Gua Mulut Dewa.
Sekalipun jaraknya masih jauh dari gua tersebut, tetapi hal itu cukup
membahayakan bagi Roro Manis dan
Pendekar Mabuk. Bukan hal yang mustahil jika dalam
upayanya mengejar Ki Madang Wengi akhirnya Garong
Codet akan sampai pula ke gua tersebut.
Namun agaknya Garong Codet tak menyadari bahwa
pengejarannya terhadap Ki Madang Wengi sekarang
sudah menjadi lain. Ada sosok hitam yang mengikutinya sejak dari pantai. Sosok
hitam itu sudah ada di pantai sebelum Garong Codet dan Setan Culik datang. Sosok
hitam itu juga menyadap pembicaraan Tabib Awan Putih dengan Ki Madang Wengi.
Setan Culik hanya merasa
tak enak dalam hatinya ketika Garong Codet
menghentikan langkah dan ucapkan kata,
"Di sini udaranya sangat panas. Kita cari tempat meneduh sementara. Rasa-rasanya
napasku makin lama
semakin tipis. Sesak sekali dihelanya. Aku tak kuat mengejar orang berjubah abu-
abu itu!" "Napasmu semakin sesak" Rasanya udara makin
panas" Ah, menurutku tidak!" kata Setan Culik. "Udara justru semakin sejuk. Dan
kulihat tak biasanya kau
mengeluh sesak napas! Kau termasuk orang yang
bernapas panjang, Garong!"
"Mungkin karena pengaruh luka di tenggorokanku ini!" ucapnya pelan sambil
mengusap tenggorokan yang bernoda biru kehitaman.
"Kalau kita istirahat, kita bisa kehilangan orang itu, Garong! Orang itu pasti
lari terus tanpa berhenti!"
"Biarlah! Biar dia lepas. Masih banyak orang sakti lainnya yang bisa kita
jadikan tumbal!"
Setan Culik hanya membatin, "Biasanya ia tak
semudah ini untuk menyerah. Tapi mengapa dia
sepertinya mulai lemah" Apakah benar karena pengaruh luka akibat pukulan toya di
tenggorokannya itu?"
Dalam masa bungkamnya itu, Garong Codet mulai
melepas Cincin Mustika Serat Iblis dari tangannya.
Cincin itu diamat-amati beberapa saat, kemudian ia
ucapkan kata kepada Setan Culik.
"Rasa-rasanya aku capek memakai cincin ini.
Mengganggu kebebasan bergerakku!"
"Kau ini aneh-aneh saja! Itu cincin maut. Jangan kau lepas sembarangan. Nanti
ada orang melihatnya bisa
direbut begitu aja!"
"Entah mengapa tiba-tiba aku ingin sekali membuang cincin ini!"
"Edan kamu ini!" sentak Setan Culik. "Ada apa dengan hatimu" Mengapa kamu tiba-
tiba mempunyai niat seperti itu" Pasti ada yang tak beres dalam jiwamu, Garong! Ayo lekas pakai
cincin itu!"
"Tapi...."
"Pakailah! Pakai dulu nanti kita bicarakan sesuatu yang ganjil!"
"Tentang apa itu, Setan Culik!"
"Pakailah dulu cincinmu!" desak Setan Culik. Dan dengan perasaan malas cincin
itu pun dikenakan kembali oleh Garong Codet. Setan Culik pun segera berkata
dengan suara pelan.
"Dengar, ada sesuatu yang kurasakan tak beres dalam pikiranmu! Sesuatu itu telah
mempengaruhi jalan
pikiranmu untuk melepas cincin itu! Kau harus melawan perasaan seperti itu! Kau
harus bertahan kenakan cincin itu! Tumbal sudah banyak kau peroleh, tinggal satu
lagi! Menurut perhitunganku, tinggal satu kepala lagi yang harus kamu dapatkan.
Padahal esok malam sudah malam bulan purnama!"
"Seingatku memang sudah mencapai tiga puluh dua tumbal sejak terpenggalnya nenek
tua itu!" kata Garong Codet.
"Benar. Tapi mengapa susah-payahmu itu akan kau sia-siakan dengan tidak ingin
menggunakan cincin
mustika itu lagi" Padahal kau mencarinya sangat susah
payah! Kau telah bertarung dengan harimau merah api itu. Nyaris nyawamu jadi
korban! Karena itu,
pertahankan terus batu Mustika Serat Iblis itu! Jangan merasa malas memakainya!"
Garong Codet merenungkan kata-kata Setan Culik.
Kejap berikutnya dia berkata, "Aku mempunyai
perasaan benci terhadap cincin ini, Setan Culik! Benci dengan warna merahnya!"
"Lawan perasaan bencimu itu, Garong! Lawan terus!
Sadarlah bahwa perasaan benci itu datang karena hatimu dipengaruhi oleh kekuatan
gaib yang tidak kau sadari!
Sekarang sadarilah bahwa kekuatan gaib itu


Pendekar Mabuk 016 Mustika Serat Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghendaki kau benci kepada warna merah di batu itu!
Padahal warna merah itu sangat bagus dan menjadi
kebanggaanmu! Kau harus pakai terus mustika itu
supaya kau merajai seluruh rimba persilatan!"
Dengan suara pelan lagi Garong Codet berucap kata,
"Rasa-rasanya aku tak mau penggal orang lagi!
Tanganku sudah berlumur darah dan harus segera
berhenti dari tindakan seperti itu, dan...."
Buhkkk...! Setan Culik memukulkan telapak
tangannya ke dada Garong Codet. Pukulan itu cukup
keras dan cepat, sehingga Garong Codet terjengkang ke belakang dan berguling
satu kali. Baru saja Garong Codet mengangkat kepalanya, tiba-
tiba tendangan kaki Setan Culik melesat cepat. Plakk...!
Wajah Garong Codet terlempar ke samping dan
tubuhnya pun terpelanting. Setelah itu Setan Culik
membiarkan Garong Codet berusaha bangkit dengan
mata melotot penuh kemarahan.
"Bangsat kau! Mengapa kau serang aku, hah"!"
suaranya pelan tapi bernada marah. Setan Culik
sunggingkan senyum.
"Aku sengaja menyerangmu, supaya pengaruh yang meracuni otak dan hatimu menjadi
buyar!" "Pengaruh apa"!"
"Kau ingin melepaskan mustika itu dan benci dengan warna merahnya! Kurasa itu
tak wajar ada padamu!"
"Siapa bilang aku benci dengan warna merahnya"!
Siapa bilang aku ingin melepaskan Cincin Mustika Serat Iblis ini"!"
"Kau ingin berhenti mencari tumbal terakhir!"
"Apa aku orang bodoh, kok mau berhenti cari
tumbal"!"
"Bagus. Berarti kau sudah kembali menjadi dirimu sendiri. Sekarang kalau kau mau
balas seranganku tadi, balaslah! Aku tak akan melawan! Balaslah...!"
Tapi Garong Codet menjadi ragu walau ia telah
kepalkan tinjunya. Setan Culik kelihatan pasrah dan hal itu sangat aneh buat
Garong Codet. Selama ini Setan Culik selalu menurut pada perintahnya dan tak
pernah menyerang. Jika sampai Setan Culik sengaja melepaskan serangan padanya,
pasti ada sesuatu yang tak beres pada dirinya.
Garong Codet segera tarik napas dalam-dalam dan
kendurkan urat-urat marahnya, ia segera berkata,
"Apakah benar aku tadi berkata seperti itu?"
"Ya. Benar. Kalau aku tidak menyerangmu, jati
dirimu terkuasai oleh pengaruh kekuatan gaib yang ada di sekitar sini!"
"Berarti ada orang yang ingin memiliki Mustika Serat Iblis dengan cara
mempengaruhi otak dan jiwaku?"
"Benar! Sebaiknya kita cari saja siapa yang...."
Zlapp zlappp zlappp...!
"Heghhh...!" Setan Culik tiba-tiba tersentak tubuhnya mengejang dalam keadaan
melengkung ke belakang.
Setan Culik membuka mulutnya dalam pekik yang
tertahan. Matanya mendelik bagai mau lepas dari
kelopaknya. "Hei, kenapa kau"! Jangan menakut-nakuti aku
begitu, Setan!"
Setan Culik tetap diam. Berlutut dengan tubuh
melengkung ke belakang. Wajahnya makin lama
semakin biru. Dari warna pucat pias, lalu membiru
samar-samar. Warna matanya pun mulai menguning.
Garong Codet segera mengerti, bahwa Setan Culik
bukan menakut-nakuti dirinya. Tapi pasti ada sesuatu yang telah terjadi pada
diri Setan Culik. Kemudian, Garong Codet memeriksa tubuh Setan Culik, dan ia
tersentak kaget dengan mata melebar. "Gila..."!"
ucapnya di luar kesadaran. Garong Codet menemukan
tiga bunga menancap di punggung Setan Culik. Tiga
bunga warna merah yang menyerupai mawar tapi tak
punya bau wangi itu mempunyai tangkai panjang sekitar seukuran jari tengah.
Ketiga tangkai bunga itu
menembus masuk di punggung Setan Culik.
Garong Codet cepat mencabut salah satu bunga.
Zlepp...! Ternyata tangkai bunga itu berwarna hitam.
Pasti mengandung racun yang amat ganas. Hanya saja, siapa orangnya yang bisa
menggunakan bunga tersebut sebagai senjata rahasia yang dapat menancap di tubuh
Setan Culik" Tangkai hitam itu sangat lemas, tapi
kenyataannya bisa berubah menjadi sekeras paku baja saat menancap di tubuh Setan
Culik. Hal yang membuat Garong Codet menjadi berang
adalah rubuhnya tubuh Setan Culik. Tubuh itu rubuh ke depan dengan kepala
berpaling ke kiri dan mata tetap mendelik. Tetapi kulit wajahnya berubah menjadi
biru dan Setan Culik enggan bernapas lagi. Ia mati diterkam racun ganas dari
bunga merah itu.
"Setan! Setan Culik...!" seru Garong Codet, tak jelas memanggil nama temannya
atau mencaci-maki keadaan
yang buruk itu. Yang pasti, Garong Codet segera berdiri dengan menggeram.
Wajahnya menjadi merah karena
darahnya bagai mendidih dan menyirat ke atas melihat Setan Culik mati dibunuh
orang bersembunyi.
Dengan suara serak menahan sakit, Garong Codet
berseru, "Bangsat mana yang berani menantangku dengan cara seperti ini, hah"! Siapa
orangnya"! Keluar!"
Sssuut...! Jlegg...!
Seperti anak panah datangnya. Tak bisa dilihat mata manusia. Tahu-tahu manusia
berkerudung hitam telah
berdiri di samping kanan Garong Codet. Orang itu
berwajah putih bagai mengenakan bedak. Sorot matanya dingin. Bibirnya biru.
Sekujur tubuhnya dibungkus kain
hitam dari kepala sampai kaki. Tangannya
menggenggam tongkat berujung sabit panjang
melengkung. Tongkat El Maut.
Siluman Tujuh Nyawa tampakkan diri. Garong Codet
tak tahu, dia adalah tokoh sesat yang merajai lautan utara. Ilmunya cukup
tinggi. Bahkan boleh dikata sangat tinggi. Siluman Tujuh Nyawa adalah manusia
yang tak kenal belas kasihan sedikit pun terhadap musuhnya.
Usianya sudah dua ratus tahun lebih tapi masih tampak muda dan berwajah tampan.
Hidungnya mancung,
matanya indah. Sayang berkesan dingin menampakkan
sikap kejinya selama ini. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Cermin
Pemburu Nyawa" dan "Prahara Pulau Mayat").
Hanya Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itulah yang
bisa menandingi ilmunya Siluman Tujuh Nyawa itu.
Tetapi sampai sekarang Suto masih belum bisa
memenggal kepala tokoh sesat itu, karena Siluman
Tujuh Nyawa cukup licin, ia segera melarikan diri jika bertemu dengan Suto, tapi
ia punya cita-cita ingin
membunuh Pendekar Mabuk juga dengan kelicikannya.
Kali ini apa yang diduga Suto Sinting memang benar, bahwa Siluman Tujuh Nyawa
pasti bermaksud ingin
merebut Mustika Serat Iblis dari tangan Garong Codet.
Tanpa Mustika Serat Iblis ia sulit menandingi Pendekar Mabuk itu. Sementara,
tanpa Mustika Serat Iblis, Garong Codet bukan tandingan Durmala Sanca yang
bergelar Siluman Tujuh Nyawa.
Tetapi karena Garong Codet tidak mengenal siapa
orang berciri kerudung hitam dan tongkat El Maut itu, maka Garong Codet pun tak
merasa gentar sedikit pun.
Bahkan dengan beraninya ia berucap kata,
"Iblis dari mana kau, berani-beraninya mengganggu ketenanganku"!"
"Aku iblis dari neraka!" jawab Siluman Tujuh Nyawa.
"Apa maumu memancing perkara denganku, hah"!
Kalau kau ingin serahkan nyawamu sebagai tumbal
Mustika Serat Iblis, tak perlu kau bunuh sahabat setiaku ini!"
"Membunuh itu kegemaranku! Jadi jangan salah
sangka bahwa aku hanya membunuh temanmu yang
telah membuyarkan pengaruh batinku terhadapmu tadi!
Aku pun akan membunuhmu, Garong Codet!"
"Apakah kau mampu"! Kau yang kurus kerempeng
tertutup kain hitam begitu, mau membunuh orang sesakti aku"! Apa itu bukan mimpi
belaka"!"
Tak pernah Siluman Tujuh Nyawa menerima hinaan
seperti itu dari orang serendah Garong Codet. Tentu saja hatinya mulai bergolak
dan darah membunuhnya mulai
mendidih. Maka dengan gerakan yang amat cepat,
Siluman Tujuh Nyawa berkelebat cepat menyerang
Garong Codet. Wut wut wuttt...!
Zregg...! Siluman Tujuh Nyawa berhenti bergerak
dan sudah berada di depan Garong Codet. Mata orang
yang diserangnya itu tak sempat berkedip. Tapi menjadi sangat terkejut setelah
melihat ikat pinggangnya
terpotong, bajunya koyak-koyak, demikian pula
celananya bagai habis dicabik-cabik seekor beruang
ganas. Garong Codet menjadi seperti gelandangan yang berpakaian compang-camping.
Tapi kulit tubuhnya tak ada yang terluka sedikit pun.
"Edan...!" pikirnya. "Cepat sekali gerakannya! Lihai juga dia menggunakan
senjata itu, sampai tak terasa dalam sekejap tubuhku telah dibuat berpakaian
compang-camping begini"! Jelas dia orang berilmu
tinggi! Agaknya inilah tumbal terakhirku!"
Wajah dan pandangan mata Durmala Sanca masih
sedingin gunung es. Mulutnya terkatup rapat
menampakkan bentuk bibir yang indah sebenarnya, tapi sayang berwarna biru mayat.
Garong Codet sempat
berdebar setelah tahu kecepatan gerak dan keganasan senjata El Maut itu. Namun
sekarang tangan kanannya yang terus-terusan menggenggam itu kini mulai
dikendurkan supaya cepat pantulkan cahaya melalui batu Mustika Serat Iblis yang
dipakainya sebagai cincin itu.
"Kau benar-benar cari mati, Iblis Gila!" geram Garong Codet. "Kau belum tahu
kehebatan Cincin Mustika Serat Iblisku!'
"Aku sudah cukup tahu tentang kehebatan Mustika Serat Iblis," kata Siluman Tujuh
Nyawa dengan nada datar dan dingin. "Pusaka hebat seperti itu dulu pernah
kukejar-kejar, tapi aku tak berhasil mendapatkannya!
Aku juga tahu bagaimana keganasan pantulan sinarnya yang bisa memenggal orang
dengan mudah dan
memotong benda apa saja, termasuk pilar baja sebesar
gunung sekalipun!"
"Rupanya kau banyak tahu tentang Mustika Serat Iblis ketimbang aku!"
"Sudah kubilang, aku sangat tahu tentang mustika itu!
Juga aku tahu siapa orang yang kau kejar-kejar dari kemarin! Ki Madang Wengi,
itulah orang yang ingin kau jadikan tumbal terakhirmu! Tapi ketahuilah, kau
telah ditipu oleh Tabib Awan Putih yang tadi kau jumpai di pantai sebagai orang
gila! Dia sebenarnya orang sakti.
Dia telah sembunyikan Ki Madang Wengi di atas pohon kelapa! Dia juga telah
menyuruh perempuan yang kau
kejar, yaitu Roro Manis untuk sembunyi di Gua Mulut Dewa bersama seorang
pendekar sinting yang bernama
Suto Sinting, si Pendekar Mabuk!"
"Kau ada di pihaknya"! Kurang ajar betul orang tua di pantai itu! Kalau begitu,
kaulah yang harus menerima akibat penipuannya!"
"Tunggu...!" Siluman Tujuh Nyawa mencegah gerakan Garong Codet yang ingin
membuka telapak
tangan kanannya. Mendengar seruan itu, Garong Codet urungkan niat untuk
menyerang lawannya.
"Kalau kau butuh tumbal orang berilmu tinggi,
carilah di Gua Mulut Dewa, tak jauh dari sini! Arahnya ada di sebelah kananmu!
Di sana kau bisa bertemu
dengan seorang pemuda bernama Suto Sinting, yang ke mana-mana..selalu membawa
bumbung tempat tuak! Dia
orang yang ilmunya lebih tinggi dariku!"
"Mengapa susah-susah ke sana" Kau sendiri orang berilmu tinggi dan layak menjadi
tumbal Mustika Serat
Iblis!" Siluman Tujuh Nyawa terkesiap sejenak, ia seperti
baru menyadari bahwa dirinya pun memang layak
dijadikan tumbal dan diburu oleh Mustika Serat Iblis.
Sementara itu, ia pun mengakui bahwa mengalahkan
keganasan Mustika Serat iblis bukanlah hal yang mudah.
Memang bisa saja ia memotong tangan Garong Codet
lalu mengambil cincinnya. Tapi jika ia salah gerak dan terlambat bertindak, ia
bisa mati terpenggal oleh
pantulan sinar Mustika Serat Iblis. Menyesal juga ia tadi ketika bergerak,
mengapa hanya mencabik-cabik
pakaian Garong Codet" Mestinya tadi ia memotong
tangan Garong Codet.
"Garong Codet, kau tidak akan bisa membunuhku
dengan mudah. Tapi kau dapat membunuh Pendekar
Mabuk dengan satu kali gebrakan!"
"Justru semakin sulit dibunuh berarti kau punya ilmu sangat tinggi. Mustika
Serat Iblis akan merasa lebih senang mendapatkan tumbal yang sulit dibunuh"'
Dalam hati Siluman Tujuh Nyawa berucap kata,
"Celaka! Aku masuk dalam jebakanku sendiri!"
Garong Codet segera mengangkat tangan kanannya
ke atas kepala sambil berkata, "Sekarang tiba giliranmu untuk mati sebagai
penebus kematian sahabatku itu! Kau berhutang nyawa pada Setan Culik dan aku
akan mengirimkan nyawamu sebagai pembalasan dan
tumbal!" "Tunggu dulu...!"
Baru saja Siluman Tujuh Nyawa mau bergerak, tiba-
tiba kilatan cahaya merah tanpa putus telah
menyerangnya. Clapp...! Mau tak mau Siluman Tujuh
Nyawa cepat menghindarkan diri. Gerakan cepatnya
membuat Garong Codet terpaksa pantulkan cahaya
mustika secara membabi buta.
Clap clapp clappp clap clap clapp...! Siluman Tujuh Nyawa terdesak serangan maut
yang membabi buta itu.
Ia tahu, sinar tersebut tak boleh ditangkis oleh apa pun kecuali oleh Perisai
Naga Bening. Karena itu, Siluman Tujuh Nyawa tak berani menerjang atau menangkis
kilatan cahaya merah yang bergerak dengan membabi
buta itu. "Bisa mampus aku di sini! Sebaiknya kugiring saja dia ke arah Gua Mulut Dewa,
biar dia berhadapan
dengan Suto. Aku akan punya kesempatan menebas
tangannya dan membawa lari tangan itu untuk memiliki Mustika Serat Iblis...!"
Durmala Sanca membatin demikian.
Lalu, dengan gerakan cepat juga ia melesat pergi.
Namun sengaja tampakkan diri sebentar supaya dikejar Garong Codet. Ternyata
pancingannya mengena. Garong Codet mengejar terus ke mana pun larinya Siluman
Tujuh Nyawa. * * * 9

Pendekar Mabuk 016 Mustika Serat Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

RORO Manis berjalan lebih dulu. Gua Mulut Dewa
telah kelihatan. Tinggal beberapa saat lagi mereka akan sampai di sana dan
beristirahat. Tetapi suasana bungkam masih menyelimuti antara mereka berdua
sejak dalam perjalanan. Pendekar Mabuk sendiri bungkam karena
memikirkan cara mengalahkan Garong Codet.
Sedangkan Roro Manis bungkam karena bertahan diri
untuk tidak menegur Suto lebih dulu. Walau dalam
hatinya sangat berharap untuk mendapat teguran dari Suto dan bisa bicara panjang
lebar, tapi Roro Manis tetap bertahan diri untuk bersikap acuh.
Tetapi ketika mulut gua tinggal beberapa langkah
lagi, Roro Manis punya alasan mendahului bicara
dengan ajukan sebuah pertanyaan,
"Itukah gua yang dimaksud Tabib Awan Putih?"
"Mungkin," jawab Pendekar Mabuk pendek sambil hanyut kembali dalam renungannya.
Roro Manis mendengus kesal hatinya, ia melangkahkan kaki untuk mendekati mulut gua yang
dari kejauhan mirip bentuk bintang berlubang hitam itu.
Roro Manis tidak langsung masuk, karena ia curiga
dan takut ada binatang buas di dalamnya, ia berharap Suto masuk lebih dulu untuk
memeriksanya. Tapi
pemuda tampan itu justru berhenti dari langkahnya dan meneguk tuak beberapa
kali. Setelah itu ia melemparkan pandangan ke arah bawah, ke arah kaki bukit dan
bentangan sawah di kejauhan sana. Laut pun tampak dari tempat mereka berdiri.
"Masuklah sana," kata Pendekar Mabuk kepada Roro Manis.
"Aku bukan orang bodoh, Suto! Aku tak mau menjadi umpan binatang buas! Kalau kau
mau, silakan kau
masuk lebih dulu untuk memeriksa apakah gua ini bukan sarang harimau atau sarang
ular naga"!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum kecil. "Kau
takut?" "Aku tidak takut! Tapi aku orang yang dididik oleh Guru untuk menjadi manusia
penuh waspada!"
Suto makin melebarkan senyum sindiran. Roro Manis
membuang muka. Pendekar Mabuk pun segera masuk, ia
memeriksa keadaan di dalam gua yang punya lorong
panjang dan gelap. Hidungnya mengendus-endus, ia
hanya, mencium bau kelembaban udara dan tanah. Tak
ada bau kotoran hewan atau bau keringat binatang. Itu tandanya gua dalam keadaan
aman. Bahkan kotoran
kelelawar pun tak ada. Gas beracun juga tak
dijumpainya. Tanah hanya sedikit lembek, tapi bagian lebih ke dalam terasa
keras. Banyak bebatuan di kanan kiri gua. Tapi sekali lagi telinga Suto tidak
menangkap adanya desis seekor ular.
Ia pun segera keluar dari gua untuk memberitahukan
bahwa keadaan di dalam gua cukup aman. Tetapi
alangkah terkejutnya Pendekar Mabuk ketika keluar dari gua ternyata matahari
sudah banyak condong ke barat.
Padahal baru saja ia masuk dan matahari belum
mencapai pertengahan jarak edarnya. Di atas kepala
manusia pun belum, mengapa sekarang matahari telah
bergeser dan condong ke barat. Dan satu hal lagi yang ia herankan, ke mana Roro
Manis" Gadis itu hilang! Entah
sekarang ada di mana.
Pendekar Mabuk segera mengejar ke tempat semula.
Jalan yang digunakan untuk datang ke situ disusurinya lagi. Dan ternyata, kira-
kira dalam jarak sepuluh langkah dari mulut gua, ia sudah bisa melihat Roro
Manis berkelebat terbang menghindari suatu serangan.
"Celaka! Pasti orang itulah yang bernama Garong Codet!" pikir Suto Sinting, ia
menjadi berdebar-debar melihat Roro Manis melenting ke sana-sini menghindari
pukulan tenaga dalam lawannya. Dan makin terkejut lagi ketika Suto melihat
kilatan sinar merah dari telapak tangan bercincin batuan merah. Sinar merah itu
bisa dihindari oleh Roro Manis, tapi sinar itu segera
memotong pohon sebesar dua pelukan manusia. Pohon
besar itu terpotong dengan cepat dan rapi, sehingga segera tumbang dalam
beberapa kejap saja.
"Benar-benar celaka! Apa yang harus kulakukan jika sudah begini"! Tabib Awan
Putih berpesan wanti-wanti agar jangan menghadapi Garong Codet. Langkah yang
terbaik adalah menghindari pertemuan dan bentrokan
dengan Garong Codet. Tapi keadaan sudah menjadi
begini" Kalau Roro Manis pintar, ia harusnya
memancing Garong Codet agar masuk gua! Di dalam
gua nanti biar aku yang membereskan! Ah, tapi agaknya Roro Manis sendiri
terdesak dan tak bisa melarikan diri kemari!"
Pendekar Mabuk merasa perlu mengulur waktu untuk
sesaat, ia segera melepaskan pukulan jarak jauhnya yang bernama 'Turangga Laga'.
Dua jarinya dikeraskan
menjadi kaku, menempel di kening sebentar, lalu
disentakkan ke depan. Zlappp...! Sinar ungu keluar dari jari itu melesat ke arah
Garong Codet. Sayang sekali Garong Codet bergerak menyerang
Roro Manis, sehingga sinar ungu itu hanya menyerempet di bagian punggung Garong
Codet. Srett...!
"Waaak...!" Garong Codet terpekik kaget.
Punggungnya bagai dirobek dengan senjata tajam, ia
jatuh terbungkuk. Padahal mestinya sinar ungu itu bisa membuat jantung Garong
Codet berhenti dalam
beberapa saat. Lalu, dengan begitu berarti ada
kesempatan untuk melepas cincin tersebut dari tangan Garong Codet.
Sekalipun hanya merobek punggung, tapi Suto punya
kesempatan untuk memanggil Roro Manis dengan
isyarat tangan melambai. Roro Manis melihat gerakan tangan Suto yang melambai
lalu menuding gua. Roro
Manis segera tanggap bahwa ia harus memancing
Garong Codet untuk masuk ke dalam gua. Setidaknya
isyarat itu mengatakan bahwa Roro Manis harus segera bersembunyi ke dalam gua.
Maka dengan gerakan cepat Roro Manis melarikan
diri. Pedang masih digenggam di tangan kanan.
Gerakannya lebih dipercepat lagi. Dalam kejap
berikutnya, Roro Manis sudah berada di samping Suto Sinting.
"Cepat masuk ke dalam gua!"
"Jangan hadapi dia! Dia punya cincin maut! Kau pun harus cepat masuk gua,
Suto...!" "Hei, aku juga punya cincin pusaka"! Aduh! Hampir saja aku lupa!"
Suto Sinting mempunyai cincin pusaka yang terkenal
dahsyat. Cincin itu milik bibi gurunya, yaitu Bidadari Jalang. Cincin itu pernah
diperebutkan oleh para tokoh tua di rimba persilatan. Cincin itu bernama Cincin
Manik Intan. Benda pusaka itu pernah membawa maut
yang begitu mengerikan dalam suatu pertempuran hebat di Istana Garinda (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Murka Sang Nyai"). Cincin itu disimpannya
dalam tabung tempat tuak dan tak pernah lepas dari
tempat penyimpanannya.
Sengaja Pendekar Mabuk tidak menggunakan cincin
itu di tangannya, karena sedikit sentakan tenaga saja sudah menghasilkan seratus
kali lipat tenaga yang
keluar. Cincin itu pun sangat ganas dan sukar
dikendalikan. Kadang ia keluarkan sinarnya sendiri di luar kesadaran pemakainya
manakala si pemakai
keluarkan tenaga dalam tanpa sengaja. Cahaya cincin bisa keluar menyerang ke
mana-mana. Garong Codet segera lompat mengejar Roro Manis.
Pada saat itu, Pendekar Mabuk segera menenggak habis tuak dalam bumbungnya.
Karena jika tanpa menenggak
habis tuak maka cincin itu sulit diambilnya. Bahkan cincin tersebut sempat masuk
ke mulut Pendekar Mabuk namun tak sempat tertelan. Pendekar Mabuk segera
mengambil dan memakainya. Cara memakai cincin itu
juga disamakan dengan cara memakai Cincin Mustika
Serat Iblis, yaitu letak batuannya ada di bagian telapak
tangan. Suto segera menggenggam cincin tersebut ketika dilihatnya Garong Codet
mulai mendekat. Suto
menghadang langkah orang itu.
"Apa maksudmu menghadang langkahku"!" gertak Garong Codet dengan suara serak
menahan sakit. "Apa maksudmu datang kemari?" Suto ganti
bertanya. "Persetan dengan pertanyaanmu! Minggir! Biarkan aku mengejar perempuan berilmu
tinggi itu!"
"O, kau sedang memburu tumbal?" kata Suto melecehkan.
"Siapa kau sebenarnya"!"
"Suto Sinting!"
"Ooo... jadi kaulah orang yang dikatakan berilmu tinggi itu?" Garong Codet
manggut-manggut, tak menghiraukan rasa sakit di punggungnya.
"Siapa yang mengatakan aku orang berilmu tinggi?"
"Seseorang yang bersenjata El Maut!"
Suto kerutkan dahi. "Maksudmu, orang bersenjata tongkat berujung sabit dan
mengenakan kain hitam dari kepala sampai kaki, serta berwajah putih dan...."
"Iya. Iya! Sudah jangan banyak bicara!" potong Garong Codet. "Siapa pun dirimu,
kulihat kau pancarkan sinar ungu dari tempat ini. Jadi kau pasti berilmu tinggi
dan layak jadi korban tumbalku!"
Pendekar Mabuk diam sesaat. "Rupanya dia sudah bertemu dengan Siluman Tujuh
Nyawa! Hemm... tapi
mengapa Siluman Tujuh Nyawa tidak merampas
Mustika Serat Iblis" Apakah Garong Codet sudah
berhasil membunuh Siluman Tujuh Nyawa"!" pikir Suto Sinting sambil matanya tak
lepas memperhatikan tangan kanan Garong Codet yang selalu mengenggam.
Sekelebat ia bisa tangkap pandangan ke arah mulut
gua. Tenyata gadis yang berlagak ketus itu belum mau masuk ke dalam gua. Dia
masih mengintip dari batuan di mulut gua. Dia ingin tahu seberapa hebat gerakan
yang dimiliki oleh Pendekar Mabuk.
"Suto Sinting! Aku telah gagal membunuh orang
berjubah hitam itu sebagai tumbal terakhirku. Tapi aku telah mendapatkan kamu di
sini, kekecewaanku telah terobati! Kuharap kau tidak lari terbirit-birit seperti
orang berkerudung yang bikin pakaianku compang-camping seperti ini!"
"Aku tak akan lari, karena aku ingin lihat saat nyawamu lari dari ragamu! Tapi
jika kau mau turuti
saranku untuk melepaskan cincin mustika itu, dan
membuang jauh-jauh, kau akan selamat dari ancaman
mautku! Percayalah, Garong Codet... cincin mustika itu hanya bikin kamu sesat
dan tidak punya kedamaian
dalam hidupmu!"
"Bocah kencur mau kasih nasihat orang seperti aku"!
Lebih baik kukirim ke neraka kau sekarang juga!
Hiaaat...!"
Garong Codet bergerak menghantamkan pukulannya
ke arah dada Suto. Tapi tanpa diduga-duga Suto
bergerak memutar sangat cepat dan kakinya berkelebat menendang. Duhggg...!
Roro Manis kejap-kejapkan mata. Ia tak bisa melihat
gerakan Pendekar Mabuk, tahu-tahu Garong Codet
terpental dan terguling-guling beberapa tindak di
belakangnya. Terlalu cepat gerakan Pendekar Mabuk
buat mata Roro Manis, sehingga Roro Manis semakin
mendekat untuk melihat lebih jelas lagi.
Tetapi pada saat itu, Garong Codet berada dalam
cahaya sinar matahari, ia cepat kembangkan tangan
kanannya, berdirinya agak merendah, lalu kilatan sinar merah terpantul dari
Mustika Serat Iblis itu. Clappp...!
Pendekar Mabuk cepat sentakkan kakinya dan
bersalto di udara untuk menghindari sinar merah itu.
Crass...! Batu yang ada di samping Roro Manis itu
terpotong menjadi dua bagian. Rapi sekali potongannya, tapi sempat membuat
jantung Roro Manis copot. Karena beberapa jengkal lagi sinar itu bisa mengenai
dirinya. Kini keadaan Pendekar Mabuk yang dipandang
kembali. Roro Manis melihat Suto berdiri di tempat
terbuka tanpa ada rasa gentar, seperti saat ia menghadapi Garong Codet tadi.
Justru Roro Manis yang berdebar-debar melihat Suto Sinting berada di tempat
terbuka dan enak dijadikan sasaran cahaya merah Mustika Serat Iblis itu.
"Suto!" teriak Garong Codet. "Kau tak akan lolos dari sinar merahku ini!
Hiaaah...!"
Tangan kanan Garong Codet kembali membuka.
Sinar merah pun melesat karena mendapat pantulan
matahari. Tetapi dengan cepat, Suto pun membuka
tangan kanannya yang menggenggam Cincin Manik
Intan berwarna putih. Sentakan tenaga dalam melalui
cincin itu timbulkan sinar putih yang melesat sangat cepat.
Clapp...! Arah sinar putih itu tepat mengenai batu
merah di tangan Garong Codet. Zzzrrruubb...!
Krakkk...! Sinar merah yang memantul seharusnya
melesat cepat ke arah Pendekar Mabuk. Tapi sinar putih dari Cincin Manik Intan
lebih dulu menghantam cincin merah itu. Akibatnya cincin mustika menjadi retak
dan remuk. Tak bisa lagi pantulkan sinar merah seperti
biasanya. Garong Codet tersentak amat kaget sampai matanya
terbuka lebar-lebar. Lebih kaget lagi setelah ia tahu, sinar putih dari cincin
di tangan Pendekar Mabuk keluar lagi dengan cepat dan menghantam dadanya.
Bross...! Dada itu berlubang besar, tembus sampai ke
belakang. Cepat-cepat Pendekar Mabuk menggenggam
kembali Cincin Manik Intan. Sikapnya tetap tenang
dalam berdiri tegak. Garong Codet ternganga mulutnya.
Ingin pekikkan suara namun tak mampu lagi. Ia pun
akhirnya menghembuskan napas terakhir. Mati tanpa
bersuara lagi. Sekelebat bayangan hitam muncul. Siluman Tujuh
Nyawa berdiri tak jauh dari mayat Garong Codet. Suto sempat terkejut lalu segera
melepaskan pukulan Cincin Manik Intannya lagi. Tapi sebelum sempat hal itu
dilakukan, Siluman Tujuh Nyawa telah melesat pergi
dengan lebih dulu menebaskan senjatanya, memotong
tangan kanan Garong Codet. Potongan tangan itu
dibawanya lari menghilang. Dan Suto jadi tertawa
kegelian sendiri pada akhirnya.
Siluman Tujuh Nyawa merasa Cincin Mustika Serat
Iblis masih utuh di tangan Garong Codet. Tak
terbayangkan alangkah kecewa dan murkanya siluman
berwajah dingin itu jika mengetahui bahwa Mustika
Serat Iblis telah hancur tak berguna lagi.
"Roro Manis, kau sekarang bebas berkeliaran ke mana saja maumu!" kata Suto
Sinting. Roro Manis hanya tertegun bengong. Tak mampu berucap kata, tak mampu
berkedip mata. Ketampanan Pendekar Mabuk
terasa seimbang dengan kehebatan ilmunya yang amat
mengagumkan itu. Dan untuk semua itu, Roro Manis
hanya bisa diam dalam kecamuk hatinya yang berdebardebar penuh keindahan.
"Akankah ia tetap bersamaku?" tanya Roro Manis.
SELESAI PENDEKAR MABUK Segera terbit!!! Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting dalam episode:
MINYAK DARAH MALAIKAT
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel


Pendekar Mabuk 016 Mustika Serat Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Tokoh Tokoh Kembar 1 Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo Lambang Naga Panji Naga Sakti 1
^