Pencarian

Naga Pamungkas 1

Pendekar Mabuk 025 Naga Pamungkas Bagian 1


Serial : Pendekar Mabuk
Judul : Naga Pamungkas
Pengarang : "
Penerbit : "
E-book : paulustjing
1 SEKELEBAT bayangan melintasi hutan di
kaki bukit. Orang mengenal bukit itu dengan nama Bukit Mata Langit. Tak ada
orang yang berani melintasi hutan di Bukit Mata Langit itu, karena mereka takut
terperosok ke sebuah lubang yang amat dalam. Lubang itu
tertutup oleh tanaman rambat sehingga tidak mudah diketahui oleh siapa pun.
Tanaman rambat yang menutup rapat lubang tersebut
seolah-olah berguna sebagai tanaman
penjebak. Kelihatannya tempat itu datar dan bertanaman rambat biasa, tapi
sebenarnya di bawah tanaman rambat itu terdapat lubang
besar yang mengerikan. Lubang itu dikenal
orang dengan nama Sumur Tembus Jagat.
Hanya orang-orang yang tersesat saja yang
berani masuk dan melintasi hutan Bukit Mata Langit itu. Salah satu orang yang
tersesat adalah pemuda berpakaian coklat dengan
celana putih. Pemuda itu berambut panjang
dan mempunyai ketampanan menghebohkan
kaum wanita. Di punggung pemuda itu
tersandang sebatang bambu tempat tuak.
Melihat ciri-ciri tersebut, para tokoh dunia persilatan sudah tak asing lagi dan
sangat mengenalnya. Pemuda itu tak lain adalah
Pendekar Mabuk si Gila Tuak yang dikenal
dengan nama Suto Sinting.
"Kurang ajar! Lari ke mana dia tadi"
Sepertinya masuk ke semak-semak sebelah
sana. Sebaiknya kuhadang lewat sini saja,"
pikir Suto dengan mulai melangkah
mengendap-ngendap. Rimbunan semak
dikelilinginya. Mata tajam si tampan itu tidak berkedip menatap bagian bawah
semak-semak itu. Napasnya tertahan beberapa saat agar tak menimbulkan bunyi yang
mencurigakan. Slap, slap...! Bayangan putih melompat dari bawah
semak belukar itu, menerobos masuk ke
rimbunan semak tak berduri. Pendekar Mabuk cepat sentakkan kaki dan ikut
menerabas semak tak berduri. Bruus...! Buh...!
"Auh...!"
Pendekar Mabuk terpekik karena sakit.
Rupanya di dalam semak tak berduri itu
terdapat bongkahan batu besar yang tertutup hijaunya dedaunan. Wajah Pendekar
Mabuk menabrak batu itu hingga terpaksa pejamkan mata sesaat karena menahan rasa sakit
di tulang hidungnya.
"Sial! Untung tulang hidungku tak sampai patah!" gerutunya sambil mengusap-usap
wajah. Dagunya pun terasa sakit karena diadu dengan batu.
Slap, slap...! Bayangan putih melesat lagi meninggalkan
semak duri itu. Suto Sinting cepat lompatkan diri ke arah yang sama, lalu
menerkam bagai seekor singa. Bruuus...!
"Kena kau sekarang!" Seekor kelinci hutan tergenggam di kedua tangan Pendekar
Mabuk. Kelinci hutan itu berusaha meronta dengan
matanya yang memancarkan ketakutan, tapi
kedua tangan Suto semakin erat
menggenggamnya. Wajah pemuda itu pun
menampakkan kelegaan hatinya. Kelinci
buruannya berhasil ditangkap, dan siap untuk dijadikan santapan dengan
membakarnya. Tetapi mata bening sang kelinci membuat
Pendekar Mabuk menjadi tak tega untuk
membunuh binatang tersebut. Mata bening
binatang itu bagai memandangi Suto dan
mohon belas kasihan.
"Ah, kau...!" gumam Suto dengan hati mulai kecewa. "Kau manis sekali, sehingga
membuat hatiku iba. Ah, benar-benar tak tega kalau aku harus menyantap mu.
Tapi.... perutku lapar, suaranya sampai seperti lesung bertalu. Aku harus menyantapmu,
Kelinci yang baik hati. Maafkan aku."
Mata kelinci itu berkedip-kedip seakan
pasrah pada sang nasib. Hati Pendekar Mabuk itu kian bimbang diguncang rasa iba
hati. "Ah, kasihan sekali kau. Kenapa wajahmu tidak buruk saja, supaya aku tega
menyantapmu" Kau terlalu manis dan lembut.
Hmmm... kalau begitu, biarlah aku menahan
lapar untuk sementara. Pergilah sana. Aku tak jadi menyantapmu." kata Suto
Sinting sambil melepaskan binatang tersebut. Tambahnya
lagi, "Tolong panggilkan serigala. Biar aku menyantap dagingnya sebagai
penggantimu, Kelinci!" Slap, slap...! Kelinci itu melompat dua kali, kemudian
berhenti. Ia berpaling memandangi Suto, dan pemuda itu tersenyum sambil geleng-
geleng kepala. Kelinci itu pun melompat lagi
beberapa kali dan masuk ke semak-
semak tanaman berdaun lebar. Bruush...!
Pendekar Mabuk segera meraih bumbung
tuaknya. Ia menenggak tuak dari bumbung itu beberapa teguk. Napasnya terhempas
lepas menandakan kelegaan. Walau perut lapar,
asal sudah kemasukan tuak, rasa lapar itu
bagaikan mereda untuk beberapa saat. Suto
Sinting memang merasa lebih baik menahan
rasa lapar ketimbang menahan rasa haus tuak.
Ia paling tak bisa menahan haus tuak.
Baginya, seteguk tuak mempunyai kekuatan
melebihi sepiring nasi, bahkan menyamai
kenyangnya makan seekor kelinci hutan yang dibakar. Walau kadang Suto merasa
bosan dengan tuak dan ingin sesekali menelan nasi atau daging dan makanan lainnya,
tapi jika memang tak ada makanan lainnya, tuak pun
masih bisa menjadi pengganjal rasa laparnya.
Suto Sinting baru saja ingin melangkahkan
kakinya, tiba-tiba dari semak-semak berdaun lebar tempat menghilangnya kelinci
itu muncul seraut wajah cantik berkulit kuning.
Tentu saja Suto Sinting terkejut kaget dan jadi terbengong beberapa saat.
"Lho..." Kelinci itu kusuruh memanggil serigala tapi kenapa yang muncul seraut
wajah cantik" Jangan-jangan kelinci itu tak bisa membedakan antara serigala dan
gadis cantik" Oh, dasar kelinci bodoh!" gumam Suto dalam hati.
Wajah cantik itu tampak menyimpan
ketegangan. Wajah cantik itu pun
menyembunyikan kecemasan di balik sikap
tertegunnya dalam memandangi Suto Sinting.
Pakaiannya yang berwarna merah muda
sangat memancing perhatian, karena pada
bagian dadanya terbuka sedikit lebar,
sehingga belahan dada itu pun tersumbul lebih jelas dan sepertinya tantangan
lain bagi Suto.
Bukan tantangan adu ilmu kanuragan, namun
tantangan adu kekuatan batin. Dan ternyata batin Suto masih kuat untuk tidak
mudah tergiur dan terpancing bayangan mesra
kepada gadis berambut panjang itu.
"Apakah kau jelmaan seekor kelinci yang tadi kutangkap dan kulepaskan lagi,
Nona?" tegur Suto Sinting dengan senyum dan
keramahan yang membuat gadis itu justru
merasa kian cemas. Ia mundurkan langkah
satu tindak dengan mati tak berkedip.
Suto merasa heran melihat sikap sang
gadis. Ia mencoba mendekatinya. Tapi gadis itu justru melompat mundur dan
mencabut pedangnya yang terbuat dari logam kuningan.
Sraaang...! Mau tak mau Pendekar Mabuk hentikan
langkah. Gadis itu pasang kuda kuda, seakan siap serang dengan jurus pedangnya.
Bibirnya yang mungil dan tampak selalu basah itu
masih terkatup tanpa berucap sedikitpun.
Matanya yang bening bak kelinci tadi sekarang menatap tajam bersikap bermusuhan.
"Sekali lagi aku hanya ingin bertanya, apakah kau jelmaan dari kelinci yang
kulepaskan tadi?"
Gadis itu diam saja. Matanya sedikit
menyipit. Suto langkahkan kaki satu tindak.
Tapi tiba-tiba gadis itu sentakkan kakinya ke tanah dan melompat menyerang
Pendekar Mabuk. Dengan cepat bambu tuak diraih Suto dan berkelebat menangkis tebasan
pedang gadis berpakaian merah jambu itu. Traang...!
Pedang itu bagaikan membentur sebongkah
besi baja. Benturan pedang dengan bambu
tuak memercikkan bunga api warna merah.
Akibat benturan pedang dengan bambu telah
membuat tubuh gadis itu terpental. Kekuatan tenaga dalam yang menghantam bambu
lewat pedangnya telah berbalik mengenai dirinya
sendiri. Tak heran jika gadis itu akhirnya terjungkal ke belakang dalam keadaan
hilang keseimbangan. Brrug...!
Jaraknya hanya empat langkah dari tempat
Pendekar Mabuk berdiri. Kalau saja Suto mau menyerangnya, itu bukan pekerjaan
yang sulit. Tapi ternyata Suto tidak mau
memberikan serangan balasan. Ia hanya
melangkah satu tindak lagi dan si gadis
buru-buru bangkit dari kejatuhannya. Kuda-
kuda terpasang lagi, mata semakin tajam,
napas kian menderu.
"Tulangku terasa ngilu semua," pikir gadis itu. "Kekuatan apa yang ada pada
bambu itu, sehingga tenaga dalamku menjadi berbalik
menyerangku" Rupanya pemuda ini bukan
manusia hutan sembarangan. Aku tak boleh
menganggap remeh kepadanya. Hmmm... tapi
ketampanannya membuat keberanianku
sempat susut beberapa kali. Kurang ajar!
Persetan dengan ketampanan itu. Aku harus
bisa melupakannya kalau tak ingin mati di
ujung bambunya itu!"
"Tahan seranganmu, Nona," kata Suto Sinting dengan kalem. "Aku bukan musuhmu.
Toh aku telah melepaskanmu dan tak jadi
menyantapmu," tambah Suto karena ia yakin gadis itu jelmaan dari kelinci tadi.
Sang gadis masih belum mau bicara kecuali
hanya memandang tajam. Tak ada kesan
bersahabat atau ramah sedikit pun. Yang ada hanya kesan sinis. Bahkan cenderung
menampakkan sikap angkuhnya.
"Bukankah tadi sudah kukatakan bahwa aku tak tega menyantapmu" Kenapa kau masih
memusuhiku" Apakah kau pikir aku masih ingin menyantapmu?"
"Tutup mulutmu, Pemuda Binal!" geram gadis itu. Suto hanya tertawa kecil
mendengar dirinya dipanggil pemuda binal oleh gadis itu.
"Aku bukan pemuda binal. Aku pemuda
sinting, sebab namaku Suto Sinting!"
Tiba-tiba gadis itu mengendurkan
ketegangannya. Matanya yang tajam dalam
memandang kini sudah mulai surut dan
berangsur-angsur lembut. Sikap kuda-
kudanya pun mulai tegak. Tapi pedangnya
masih tergenggam erat di tangan.
"Ben... benarkah kau... kau bernama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu?"
"Benar," jawab Suto dalam ulasan senyum tipis yang menambah pesona
ketampanannya. Gadis itu menjadi gelisah menerima
tatapan mata yang begitu lembut dari Suto
Sinting. Kegelisahan tersebut segera ditutupi dengan sikap curiga yang dibuat-
buat. Gadis itu memaksakan diri untuk tersenyum sinis.
"Tak mungkin kau si Pendekar Mabuk yang kesohor itu! Pendekar Mabuk tak akan
keluyuran ke hutan ini. Karena di sini tak ada pusaka dan orang sakti."
"Kau pikir aku mencari pusaka" Oh, tidak.
Sama sekali tidak, Nona Cantik. Aku ke sini karena tersesat gara-gara mengejarmu
tadi." Dahi si cantik berkerut. "Mengejarku?"
"Maksudku, waktu kau menjadi kelinci
tadi, aku mengejar-ngejarmu untuk kujadikan santapanku. Tapi begitu kau berubah
menjadi gadis yang cantik, aku malu untuk
menyantapmu dan..."
"Aku bukan siluman kelinci!" sergah gadis itu. "Aku manusia biasa dan seumur
hidupku belum pernah berubah menjadi kelinci."
"O, maaf. Jadi...," Suto tertawa, tak jadi melanjutkan kata-katanya karena
merasa malu dengan salah duganya itu.
"Namaku Citradani, bekas murid Perguruan Kuil Elang Putih."
"Ooo...." Suto manggut-manggut. "Kalau begitu kau muridnya Ratu Embun Salju?"
Citradani terkejut. "Kau mengenal bekas guruku itu?"
"Cukup kenal. Juga kepada Anjarwati,
Mahasi, Dewi Anjani, dan yang lainnya, aku pun mengenal mereka. Bukankah mereka
teman-temanmu?"
"Benar. Tapi sekarang sudah tidak lagi."
jawab Citradani sambil memasukkan pedang
ke dalam sarungnya.
"Kenapa kau sampai keluar dari Kuil Elang Putih?"
"Karena melanggar kesalahan." Citradani kelihatan sedih mengenang masa lalunya.
Ia bersandar di sebuah pohon dalam keadaan
masih berdiri. Suto kian mendekat, matanya memandang sekeliling sebagai tanda
bahwa ia selalu waspada di mana pun berada.
"Kalau boleh kutahu, apa kesalahanmu
terhadap Kuil Elang Putih?"
"Aku menghilangkan sebuah pusaka yang bernama Lintang Suci."
"Lintang Suci" Sebuah pedang atau..."
"Sebuah kalung," jawab Citradani dengan memotong kata-kata Suto Sinting. "Kalung
itu bisa untuk mengubah-ubah diri menjadi
bentuk apa pun. Rantai kalung itu pernah


Pendekar Mabuk 025 Naga Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

patah. Tak ada yang bisa menyambung rantai emas kalung itu, sebab rantai
tersebut terbuat dari emas keramat. Hanya ada satu
orang yang bisa menyambung rantai emas
keramat itu. Orang tersebut adalah Ki
Padmanaba..."
Suto terperanjat. "Ki Padmanaba"! Dia sekarang sudah meninggal!"
"Mungkin saja begitu. Karena peristiwa yang kualami itu sudah cukup lama. Aku
ditugaskan membawa pusaka Lintang Suci
kepada Ki Padmanaba. Ketika kalung tersebut sudah tersambung rantainya, tugasku
adalah membawa pulang kepada Guru Ratu Embun
Salju. Tetapi di perjalanan aku tergoda oleh seorang pemuda, dan kami pun saling
berkasih-kasihan. Aku tak tahu kalau pemuda itu sudah lama mengincar kalung
Lintang Suci. Aku tertipu. Saat aku tak sadar, kalung itu berhasil dicurinya dan dia pergi
entah ke mana. Aku ditolak pulang ke Kuil Elang Putih, tak diizinkan kembali ke sana jika
tidak bersama pusaka tersebut. Mau tak mau aku
harus mencari pusaka kalung Lintang Suci itu supaya aku bisa diterima kembali di
Kuil Elang Putih."
Suto Sinting angguk-anggukkan kepalanya.
"Sampai sekarang kau belum temukan di mana pemuda itu berada?"
"Belum. Sesekali aku melihat kelebatan bayangannya. Tapi tiap kali kukejar ia
bisa menghilang dalam persembunyiannya. Aku
selalu kehilangan jejak. Seperti saat ini aku melihatnya melintas kemari.
Kukejar dia dan akhirnya aku kehilangan jejak kembali. Tahu-tahu aku bertemu
denganmu. Aku sangsi,
kusangka kau adalah pemuda itu yang
merubah diri dengan kekuatan kalung Lintang Suci itu."
"Lalu, kau percaya kalau aku bukan
pemuda itu?"
"Percaya."
"Apa yang membuatmu percaya padaku?"
"Tebasan pedangku walaupun ditangkis
akan memudarkan samarannya dan
membuatnya kembali ke wujud aslinya."
"Ooo...," Suto manggut-manggut. Ia ingin bicara lagi, tapi tiba-tiba tangannya
berkelebat cepat menempel di dada
Citradani. Citradani terpekik kaget dan malu,
dadanya terpegang oleh tangan Suto.
Plaaak...! Sebuah tamparan pedas diterima oleh pipi
Suto. Pemuda itu meringis kesakitan. Pipinya sempat merah sedikit.
"Kurang ajar kau!" gertak Citradani.
"Maaf..." kata Suto, lalu tangan yang tadi menempel di dada Citradani
hingga menyentuh ujung bukitnya itu kini
diperlihatkan kepada gadis itu.
Sebuah senjata rahasia telah terselip di
antara jemari Suto. Citradani terperanjat dan segera menyadari apa sebenarnya
yang dilakukan oleh Suto. Ternyata Pendekar
Mabuk baru saja menyelamatkan jiwa
Citradani dari ancaman senjata rahasia yang dilemparkan oleh seseorang dari
tempat yang tersembunyi. Senjata rahasia itu berupa
sepotong bulu landak yang tajam dan beracun ganas. Jika tangan Suto tidak
menutup ujung bukit dada Citradani maka senjata rahasia itu yang akan menancap
di sana. Tapi dengan
gerakan tangan Suto menutup ujung bukit
dada Citradani, maka senjata rahasia itu
hanya terselip di sela jari Suto dan dijepit kuat agar tak menyentuh kulit dada
gadis itu. "Kau mengenal siapa pemilik senjata ini?"
tanya Suto Sinting.
"Tidak. Tapi aku melihat sekelebat
bayangan lari ke sana. Aku akan
mengejarnya!"
"Tunggu dulu, aku akan...."
Wuuusss...! Citradani sudah melesat lebih dulu
sebelum Suto selesai bicara. Kecepatan
gerakannya yang menyerupai hembusan angin
itu menandakan bahwa gadis itu sebenarnya
berilmu tinggi. Setidaknya ia mempunyai ilmu tenaga peringan tubuh yang cukup
tinggi. Suto memang bisa mengungguli kecepatan gerak
Citradani, tapi ia tak mau. Suto lebih tertarik dengan suara teriakan seseorang
yang terdengar samar-samar dari tempatnya.
"Toloong...!"
Suara itu kecil sekali, kentara kalau
letaknya sangat jauh. Maka, Pendekar Mabuk pun segera melesat ke arah yang
berlawanan dengan Citradani.
"Biarlah Citradani mengejar penyerang gelapnya. Aku percaya dia mampu menjaga
diri dengan ketinggian ilmunya itu. Aku akan menolong seseorang yang agaknya
dalam bahaya besar," kata Suto membatin. Suara orang minta tolong itu hanya sesekali
terdengar. Sepertinya orang tersebut
berusaha untuk melepaskan diri dan
kesulitannya, tapi merasa cemas dan takut
gagal, sehingga sesekali ia berteriak minta tolong. Pendekar Mabuk sempat
kehilangan arah ketika suara teriakan itu menghilang. Ia kebingungan mengambil arah langkah
kakinya. "Di mana orang itu" Kenapa suaranya tak terdengar lagi" Apakah kepalanya sudah
telanjur ditelan harimau" Mengapa ia tak
coba-coba berteriak lagi dari dalam perut
harimau, siapa tahu mulut harimau itu
kebetulan ternganga dan suaranya bisa sampai ke luar perut harimau?" gumam Suto
Sinting bagai orang gila yang bicara sendiri.
Langkahnya masih tergesa-gesa sambil
memastikan arah dan mencari orang yang
dalam bahaya itu. Telinganya dipasang baik-baik, sampai akhirnya angin
pegunungan membawa suara teriakan tersebut dari arah
timur. "Tolooong...!"
"Nah, suaranya di sana! Ya, di timur sana!
Aku harus segera menolongnya!" tekad Suto.
Sikap berbuat baik kepada seseorang dan
saling tolong-menolong memang selalu
dimiliki dalam jiwa Suto Sinting.
Genangan air yang dipijak Suto
membuatnya sedikit curiga. Kelembaban
tanah di sekitarnya membuat Pendekar Mabuk semakin hati-hati dalam melangkah.
Matanya memandangi padang ilalang yang mengelilingi tanaman rambat seperti
kangkung yang merimbun seluas sepuluh langkah lebih.
"Sepertinya di depanku itu adalah paya-paya yang berbahaya. Tapi kenapa
ditumbuhi tanaman rambat cukup lebat dan luas" Oh,
ada sesuatu yang bergerak di ujung sana?"
Mata Suto Sinting memperhatikan tanaman
rambat yang bergerak-gerak. Letaknya di
seberang sana, sehingga jika Suto ingin
mendekati gerakan tersebut ia harus melewati bentangan tanaman rambat itu.
Karena curiga ladang yang akan dilintasi adalah paya-paya atau rawa yang
tertutup tanaman, maka
Pendekar Masuk terpaksa menggunakan ilmu
peringan tubuhnya untuk melintasi tempat
tersebut. Tab, tab, tab, tab...!
Pendekar Mabuk melompati daun demi
daun. Ilmu peringan tubuhnya yang tinggi
membuat telapak kakinya yang menyentuh
ujung daun tidak terbenam. Daun itu pun
bagaikan tidak tersentuh apa pun kecuali
angin kecil. Pada saat melintasi daun-daun tersebut, Suto baru menyadari bahwa
ia sedang berjalan di atas lubang besar, yaitu lubang yang tertutup tanaman rambat
dengan rata dan tak kentara. Suto menyadari hal itu setelah ia merasakan tekanan
daun yang dipijaknya terasa sangat ringan. Berarti di bagian bawah daun tak ada alas
penyangga, tak ada air, tak ada tanah. Daun itu bagaikan tumbuh mengambang di udara.
"Lubang besar! Gawat! Salah perhitungan sedikit tubuhku bisa tenggelam ke dalam
lubang besar ini"!" pikir Suto Sinting sambil semakin mendekati benda yang
bergerak-gerak di bawah kerimbunan tanaman rambat
itu. "Tolooong...!"
Suara itu sangat jelas, datangnya dari
gerakan-gerakan di bawah tanaman itu. Suto segera menyimpulkan, "Ternyata ada
orang yang terperosok di sana! Ia tak bisa naik. Oh, kasihan sekali."
Suto menyangka orang yang terperosok itu
mengalami kesulitan untuk naik ke permukaan karena dililit tanaman rambat. Maka
dengan gerakan cepat Pendekar Mabuk menyambar
telapak tangan seseorang yang tampak
tersumbul dari bawah kerimbunan tanaman
rambat. Sayang sekali sebelum Suto berhasil menyambar tangan orang tersebut,
tiba-tiba si pemilik tangan telah melesat keluar dari kedalaman lubang.
Bruuussh...! Jleeg...!
Dengan bersalto dua kali di udara, orang
tersebut berhasil menempatkan diri di tanah datar. Berdiri dengan tegak.
Memandang Suto dengan senyum berkesan jumawa.
Orang itu adalah seorang lelaki berusia
sekitar dua puluh delapan tahun, seusia
dengan Suto. Rambutnya ikal sedikit panjang diikat dengan ikat kepala dari kain
berbenang emas. Pakaiannya biru muda cerah. Di
pinggangnya menyandang pedang pendek
seukuran satu depa. Gagang pedang berwarna putih perak. Gagang pedang itu
berbentuk kepala naga, bagian mata kepala naga
terdapat batuan warna merah cerah.
Suto Sinting hampir saja terkecoh masuk
ke lubang besar itu. Untung ia segera
meliukkan badan dengan menggunakan
selembar daun untuk tumpuan jarinya,
sehingga dalam sekejap Suto pun sudah
berdiri tegak di depan lelaki sebayanya itu.
Mata memandang penuh curiga, sedangkan
lelaki itu menatap dalam senyum sinisnya.
"Sayang sekali kau yang datang. Padahal aku hanya ingin memancing seseorang yang
bukan dirimu. Sobat!" kata si baju biru itu.
"Siapa kau"! Mengapa berpura-pura minta tolong?"
"Aku Wiratmoko. Aku orang yang gemar
bercanda. Hmmm... aku sengaja ingin
menjebak temanku sendiri. Aku ingin
menertawakannya jika ia terkecoh olehku."
"Siapa temanmu itu, Wiratmoko?"
"Kau tak perlu tahu. Sobat," jawabnya dalam senyum. "Yang jelas, jika maksudmu
baik padaku, sebutkan namamu supaya kita
saling kenal."
"Namaku Suto."
"Nama yang sederhana, tapi mudah
diingat, mudah pula dihilangkan dari ingatan,"
kata Wiratmoko bernada angkuh. "Apakah kau tersesat di hutan ini?"
"Tidak semata-mata tersesat."
"Ha, ha, ha, ha...," Wiratmoko tertawa melecehkan. "Jangan menutupi kebodohanmu.
Suto. Aku tahu kau benar-benar tersesat.
Buktinya kau tidak mengetahui bahwa tanah
yang kau lalui tadi adalah permukaan sebuah lubang maut yang bernama Sumur
Tembus Jagat." Suto Sinting berkerut dahi, matanya
memandang ke arah tanaman rambat yang
tadi dilaluinya. Ia baru tahu bahwa lubang itu adalah Sumur Tembus Jagat.
Tapi ia tak paham apa artinya.
"Sumur Tembus Jagat ini termasuk sumur tanpa dasar. Jika seseorang masuk ke
dalamnya ia tak akan bisa ditemukan lagi.
Mungkin mati di pertengahan lorong sumur
atau terbuang ke sisi belahan bumi lainnya.
Yang jelas tak akan ada orang bisa selamat dari maut yang ada di Sumur Tembus
Jagat itu. Beruntung sekali kau mempunyai ilmu
peringan tubuh cukup tinggi, sehingga kau
tidak terperosok ke dalam sumur itu waktu
mau menolongku."
Napas Pendekar Mabuk terhempas
bagaikan melepas kelegaan. Ia meneguk
tuaknya sebentar, dan pada saat itu
Wiratmoko memperhatikan dengan dahi
berkerut. Sepertinya ia menemukan sesuatu
pada diri Suto, namun ia tidak mau
menyebutkannya.
Ketika Suto selesai meneguk tuaknya, tiba-
tiba ia melihat kilatan cahaya putih yang
menyerang ke arah Wiratmoko dari belakang.
Suto Sinting segera berseru, "Awas...!"
Suto terlambat berbuat sesuatu.
Wiratmoko sendiri juga terlambat mengetahui datangnya bahaya. Kilatan cahaya
putih yang melesat itu menghantam punggung
Wiratmoko. Duub...! Tubuh Wiratmoko kejang seketika, matanya mendelik dan semua
gerakannya terhenti. Ia bagaikan menjadi
patung bernyawa. Kulit wajahnya yang coklat cerah itu menjadi kemerah-merahan.
Hidungnya mulai melelehkan cairan merah
kehitaman. Kejap berikut muncul seorang kakek
berjenggot panjang warna abu-abu. Ia datang begitu saja, tak diketahui dari mana
asalnya. Suto Sinting sempat terperangah dengan
kemunculan kakek itu.
"Jangan berkawan dengan dia kalau kau ingin selamat!" kata kakek berjubah putih
kumal itu. Setelah berkata demikian,
tubuhnya melesat bagaikan terbang ke atas, hinggap di dahan pohon yang
dipunggunginya.
Suto ingin mengatakan sesuatu, tapi sang
kakek pergi dengan cepat seperti lenyap
ditelan angin. 2 PENGEJARAN Citradani sampai ke pesisir
selatan. Musuh yang melemparkan senjata


Pendekar Mabuk 025 Naga Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rahasia dan berhasil ditangkap oleh Suto itu ternyata seorang perempuan berusia
lima tahun lebih tua dari usia Citradani yang
mencapai dua puluh empat tahun itu.
Perempuan yang dikejar Citradani itu
mengenakan pakaian kuning menyala,
rambutnya disanggul sebagian. Perempuan itu hentikan langkah ketika telah
mencapai pesisir selatan. Ia tampak dengan terpaksa melayani maksud pengejaran Citradani.
Keduanya kini saling berhadapan dalam jarak lima langkah.
"Ternyata kaulah orangnya, Tandak Ayu!"
geram Citradani.
Tandak Ayu yang berhidung mancung
dengan bentuk wajah bulat telur itu
tersenyum sinis. Pedang yang ada di
punggungnya masih belum diraih. Tapi sikap berdirinya yang tegak dengan kaki
sedikit merenggang menandakan ia siap mencabut
pedang sewaktu-waktu.
"Ternyata kau seorang wanita yang
pengecut, Tandak Ayu!"
"Jaga mulutmu agar tak robek dari
mulutku, Citradani," ucap Tandak Ayu dengan kalem namun menandakan kegeraman
hatinya. "Mengapa kau ingin membunuhku dengan
senjata rahasiamu itu, hah?"
"Karena aku tak ingin kau memiliki barang yang kau cari-cari selama ini!"
Jawaban itu membuat Citradani berkerut
dahi. Matanya segera tertuju ke leher Tandak Ayu. Hatinya pun terkejut melihat
Tandak Ayu ternyata mengenakan kalung Lintang Suci.
"Jahanam kau, Tandak Ayu! Rupanya
kaulah pemakai kalung itu!" Citradani semakin menggeram, bagaikan menahan amarah
mati-matian. Tandak Ayu hanya sunggingkan
senyum sinis. "Serahkan benda itu padaku sebelum
terjadi pertumpahan darah, Tandak Ayu!"
"Rebutlah dengan nyawamu kalau kau
mampu!" tantang Tandak Ayu.
"Jangan menyesal kau, Pencuri Busuk!
Hiaaat...!" Citradani menerjang bagaikan kilatan cahaya yang melesat dari sebuah
pukulan. Begitu cepatnya gerakan itu, hingga Tandak Ayu tak sempat berkedip dan
menghindar. Tahu-tahu ia merasakan
tubuhnya dilanda gumpalan badai yang
membuatnya terpental sejauh lima tombak.
Brruhg...! Tandak Ayu jatuh terpuruk. Mulutnya
keluarkan darah segar. Tapi ia segera bangkit sebelum Citradani lancarkan
pukulan tenaga dalamnya tanpa wujud itu.
Wuuut...! Tandak Ayu melenting ke udara dalam satu
sentakan kakinya. Pukulan tenaga dalam
Citradani yang dilepaskan melalui telapak
tangan kirinya itu mengenai tempat kosong.
Akibatnya pasir yang terkena pukulan itu
menyembur ke atas. Pasir yang berwarna
putih itu menjadi hitam legam saat
menyembur ke atas, menandakan pukulan
tenaga dalam tersebut cukup berbahaya jika mengenai tubuh lawannya. Beruntung
Tandak Ayu mampu menghindarinya. Jika tidak ia
akan menjadi hangus seperti pasir-pasir
tersebut. Tangan perempuan berpakaian kuning
dengan ikat rambut pita kuning itu segera
merapatkan kedua telapak tangannya di dada.
Dalam sekejap ternyata ia telah berubah
menjadi seekor kelinci putih. Claaap...!
Citradani hanya tersenyum sinis. Ia tahu
Tandak Ayu bisa berubah begitu karena
kekuatan kalung Lantang Suci yang dikenakan.
Bahkan menjadi binatang yang lebih
menyeramkan pun sangat mudah. Citradani
segera memahami, bahwa yang dimaksud
kelinci buruan Suto tadi rupanya adalah
perubahan dari wujud asli Tandak Ayu. Tapi si pemuda tampan itu tentunya tidak
mengetahui bahwa kelinci tersebut adalah
Tandak Ayu. Kelinci putih itu melompat di balik karang.
Citradani segera menghantamkan pukulan
jarak jauhnya bercahaya merah. Wuuut...!
Blaaar...! Karang hancur seketika menjadi serbuk
warna merah membara dan panas. Kelinci itu hilang. Entah kemana perginya.
Citradani mencari kebingungan. Hatinya kian panas,
dadanya ingin meledak karena kehilangan
lawannya. Ia hanya bisa menggerutu, "Kurang ajar! Dia pasti berubah menjadi
undur-undur!"
Sambil mengorek-ngorek tanah berpasir
mencari undur-undur jelmaan Tandak Ayu,
Citradani bertanya-tanya dalam hatinya,
"Bagaimana mungkin kalung itu bisa ada di tangannya" Apakah ia berhasil merebut
kalung itu dari si tampan berhati iblis itu" Semudah itu kah Tandak Ayu mampu
merebutnya"
Padahal aku tahu persis ilmu si Tandak Ayu tidak seberapa tinggi. Sekalipun ia
murid Nyai Demang Ronggeng yang kesohor dengan ilmu
'Tarian Mayat'-nya, tapi aku yakin ia belum mewarisi ilmu itu. Nyai Demang
Ronggeng tak akan semudah itu menurunkan ilmu
andalannya kepada sang murid!"
Mencari undur-undur adalah pekerjaan
yang memuakkan bagi Citradani. Harus sabar dan tekun. Setiap tanah dikoreknya
pelan-pelan. Sementara itu gemuruh dalam
dada Citradani sudah semakin menyerupai
lahar gunung berapi yang ingin mendobrak
kepundannya. "Kugites dan kutumbuk selembut mungkin kalau undur-undur itu berhasil
kutemukan!"
geram Citradani sambil menyiapkan
segenggam batu.
Ketekunan mengorek-ngorek tanah
membuat Citradani terkejut ketika mendengar sapaan dari belakangnya.
"Rupanya ada anak kecil yang gemar
memburu undur-undur!"
Seet...! Citradani cepat palingkan wajah.
Cepat pula ia berdiri ketika diketahui telah berdiri seorang gadis berpakaian
kuning gading dan berambut lurus dengan poni di
dahinya. Gadis itu tersenyum geli. Tapi
Citradani justru makin cemberut. Lalu ia
sentakkan tangannya yang mengeluarkan
cahaya merah berkelebat. Wuuut...!
Gadis berambut lurus itu pun
menyentakkan tangannya hingga dari telapak tangan melesat sinar hijau yang
langsung membentur sinar merah itu. Wuuut...!
Blaar...! Ledakan dahsyat menggelegar, menggema
bagai memenuhi alam lautan. Ledakan itu
timbulkan gelombang hebat, hingga keduanya sama-sama terpental menjauh dan
saling berjatuhan tanpa bisa menjaga keseimbangan badan. Dua gugusan batu karang itu
retak, padahal jaraknya ke kanan-kiri mereka cukup jauh. Ombak lautan yang sedang
menuju ke pantai pun menyibak tinggi berbalik arah.
Gemuruh ombak bagai suara bumi mau
kiamat. Rupanya keduanya sama-sama
melepaskan pukulan berbahaya yang
berkekuatan cukup tinggi.
Beberapa saat kemudian, gadis berambut
lurus yang menyandang pedang berhias batu
ungu di ujung gagangnya itu berdiri dengan sedikit limbung. Kejap berikutnya ia
mampu tegak kembali dan memperhatikan Citradani
yang bangkit dengan terhuyung-huyung pula.
"Gila dia melepaskan pukulan yang tidak tanggung-tanggung," pikir gadis berambut
lurus itu. "Kalau tidak kuhadapi dengan pukulan mautku, mungkin aku akan mati
dalam beberapa kejap saja."
Sementara itu, Citradani pun membatin,
"Hebat sekali dia, bisa menandingi jurus
'Merah Delima' yang hanya bisa ditangkis oleh orang-orang berilmu tinggi. Jika
begitu, dia mempunyai ilmu cukup tinggi pula. Mungkin
memang Nyai Demang Ronggeng telah
mewariskan segala ilmunya kepada Tandak
Ayu. Oh, aku harus hati-hati menghadapinya."
Kini keduanya sama sama mendekat dalam
langkah yang penuh waspada. Masing-masing
siap lepaskan serangan penangkis dengan
mata tak berkedip sedikit pun. Dalam jarak enam langkah, mereka saling berhenti.
"Apa maksudmu menyerangku, Gadis
Kecil?" Citradani menggeletukkan gigi dipanggil
'gadis kecil' karena ia merasa sudah dewasa dan mampu merobek mulut lawannya
itu. Pandangan mata Citradani menjadi semakin
benci dan mempertajam permusuhannya. Tapi
ia menjadi sedikit heran melihat kalung
Lintang Suci yang berbentuk bintang segi lima dari batuan kristal putih itu
tidak kelihatan di leher lawannya. "Tak perlu berpura-pura, Tandak Ayu! Sekali
ini kalau kau tak mau
serahkan benda itu, akan kubuat musnah
tanpa bekas dirimu!"
Dahi gadis yang tangannya bertato mawar
merah tepat di pergelangannya menjadi
berkerut tajam menandakan keheranannya.
"Siapa Tandak Ayu itu" Benda apa yang kau inginkan dariku?"
"Hmm...! Kau pikir aku mudah tertipu oleh penyamaranmu"!" Citradani melangkah ke
kiri membentuk lingkaran, sedangkan gadis itu
melangkah ke kanan penuh waspada.
"Mungkin kau salah duga. Aku bukan
Tandak Ayu!"
"Akan kupaksa mulutmu agar mengaku.
Hiaaat...!" Citradani melompat maju, menghantamkan pukulannya ke wajah gadis
berambut lurus. Gadis itu menangkis dengan telapak tangannya. Plaak...! Pukulan
Citradani mengenai telapak tangan itu.
Percikan bunga api menyembur dari
perpaduan tangan mereka. Citradani merasa
tertahan pukulannya, sehingga ia terpaksa
melepaskan pukulan tangan kirinya dengan
cepat ke arah dada gadis itu. Tapi lagi-lagi pukulan itu mampu ditangkis dengan
mengadu pergelangan tangan yang menimbulkan bunyi: kraak...!
Wuuut...! Bag, bag...!
Duaaar...! Kedua telapak tangan mereka saling
beradu, ledakan kecil kembali terdengar
menandakan kedua pukulan mereka cukup
bertenaga tinggi. Keduanya pun sama-sama
terpental mundur, namun mereka tak sampai
jatuh seperti tadi. Keduanya sama-sama
berdiri dengan kaki merenggang dan
memasang kuda-kuda siap serang.
"Edan! Bagian dalam tubuhku seperti
sedang dibakar api setelah mengadu telapak tangan tadi." kata gadis itu dalam
hati, "Apa maunya dia sebenarnya?"
"Serat-serat dagingku bagai disayat-sayat!"
pikir Citradani. "Perih semua sekujur tubuhku karena beradu telapak tangan
dengannya. Ilmunya memang tak boleh disepelekan. Tapi kurasa ilmu itu bukan dari Nyai
Demang Ronggeng. Lalu dari mana Tandak Ayu
memperoleh ilmu seperti itu?"
Setelah keduanya menyalurkan hawa murni
dalam tubuh masing-masing, rasa sakit yang mereka alami pun mulai reda. Napas
mereka yang terengah-engah menjadi tenang kembali.
Tapi kedua mata mereka masih saling beradu pandang dengan sama-sama tajamnya.
"Aku tak akan membiarkan kau lolos,
Tandak Ayu. Sebelum ku peroleh benda itu
darimu, akan kusiksa dirimu dengan jurus
'Pembakar Jantung'-ku nanti!"
"Persetan dengan anggapanmu! Aku bukan Tandak Ayu!"
"Omong kosong! kau pasti Tandak Ayu yang merubah diri menjadi wujud lain!"
"O, kurasa kau benar-benar salah
anggapan. Perlu kuluruskan. Aku bukan
Tandak Ayu. Namaku adalah Kirana, murid
Nyai Punding Sunyi dari Perguruan Mawar
Seruni!" Citradani diam sebentar, mulai merenungi
kemungkinan salah pahamnya. Wajah Kirana
diperhatikan baik-baik dengan hati dililit kebimbangan. Sementara itu, Kirana
sendiri segera ajukan tanya kepada Citradani.
"Sebutkan siapa dirimu, supaya
kesalahpahaman ini tidak merenggut nyawa
kita salah satu."
"Aku Citradani, bekas murid dari Kuil Elang Putih."
Kirana terkejut, "Jadi, kau muridnya Ratu Embun Salju?"
Citradani ganti terkejut. "Kau mengenal guruku" Apakah kau punya hubungan dengan
guruku?" "Aku pernah saling membantu dengan
orang-orang Kuil Elang Putih..." Kirana pun menjelaskan peristiwa yang dialami
bersama Embun Salju dan Pendekar Mabuk, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Rahasia Pedang Emas"). Kirana menambahkan
penjelasannya pula,
"Dan aku sekarang dalam perjalanan
mencari Pendekar Mabuk; Suto Sinting!"
Citradani mengendurkan ketegangannya,
meredakan kemarahan dan permusuhannya.
Bahkan ia berjalan mendekati Kirana. Berdiri di depan gadis itu dengan jarak dua
langkah. Matanya tidak lagi tajam, bahkan berkesan
penuh penyesalan.


Pendekar Mabuk 025 Naga Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maaf, aku memang salah duga kalau
begitu. Kusangka kau adalah Tandak Ayu,
karena Tandak Ayu tadi mengenakan pakaian
kuning juga dan ia mempunyai pusaka milik
guruku itu yang bisa membuat dirinya mampu berubah-ubah wujud."
Citradani segera menceritakan riwayatnya
menjadi murid yang tersingkir dari Kuil Elang Putih. Pertemuannya dengan Suto
pun diceritakan pula oleh Citradani. Bahkan
Citradani sempat bertanya dalam nada curiga.
"Apakah kau kekasihnya Suto Sinting?" Kirana tersenyum kecil. "Aku hanya
sahabatnya, karena memang begitulah anggapan Suto
kepadaku selama ini."
"Mengapa kau tak mau menjadi
kekasihnya?"
"Hanya gadis bodoh yang tak mau menjadi kekasihnya. Kalau Suto mau, aku tak akan
pernah bisa menolak. Tapi agaknya Suto sudah mempunyai gadis pilihan."
"Siapa gadisnya itu?"
"Tanyakan sendiri kepada Suto Sinting.
Yang jelas, sekarang aku ingin mencarinya, karena aku sudah lama tidak jumpa
dengannya. Aku suka berpetualang
bersamanya."
Kini Citradani mulai tersenyum penuh
persahabatan. "Kurasa kau menunggu hati Suto mencair dan mau menjadi kekasihmu."
"Itu harapan terakhir yang berusaha
kulupakan," kata Kirana.
"Kalau begitu, mari kutunjukkan di mana aku bertemu Suto tadi."
"Lalu bagaimana dengan lawanmu, si
Tandak Ayu?"
"Sudah terlalu sulit untuk kukejar jika ia sudah berubah menjadi undur-undur.
Tapi aku yakin suatu saat aku akan bertemu dengannya lagi dan mampu merebut
kembali kalung Lintang Suci itu."
"Akan kubantu kau, karena hubunganku
dengan gurumu pun baik!"
Citradani segera membawa Kirana ke kaki
Bukit Mata Langit. Kirana tak tahu tempat itu.
Tapi Citradani tak tahu kalau Suto sudah pergi dari kaki Bukit Mata Langit.
Pendekar Mabuk telah membawa pergi Wiratmoko yang
terkena pukulan kakek berjenggot panjang
yang amat berbahaya. Suto membawa
Wiratmoko menjauhi tempat itu. Ia tiba di
kaki bukit lain yang jarang ditumbuhi
tanaman. Bongkahan-bongkahan batu cadas lebih banyak tumbuh di sana,
membentuk dinding-dinding alami, seperti
lorong-lorong pendek.
Di sanalah tubuh Wiratmoko dibaringkan
dalam keadaan kaku, mata mendelik dan
mulut ternganga. Sementara itu, dari lubang hidungnya masih keluarkan cairan
darah merah busuk yang memang menyebarkan
aroma tak sedap. Suto Sinting segera
menuangkan tuaknya pelan-pelan ke mulut
Wiratmoko yang ternganga itu. Sedikit demi sedikit tuak tersebut masuk ke
tenggorokan Wiratmoko. Beberapa kejap berikutnya
Wiratmoko tampak mulai bisa menelan tuak
tersebut. Tangannya mulai melemas. Dadanya
bernapas dengan teratur. Matanya mulai bisa berkedip-kedip. Apa yang membuatnya
kaku menjadi lemas. Darah tak keluar lagi dari
hidungnya. Semakin lama semakin membaik
keadaan Wiratmoko. Bahkan pemuda itu
sempat tertidur beberapa saat, dan Suto
Sinting membiarkannya. Ia hanya berpikir
membayangkan wajah kakek berjenggot
panjang itu. "Siapa tokoh tua itu" Mengapa ia
menyerang Wiratmoko dengan jurus mautnya"
Mengapa pula ia melarangku bergaul dengan
Wiratmoko" Apakah ia tak mau melibatkan
diriku" Apakah dia tak mau bentrok denganku"
Mengapa tak mau" Ah, aneh sekali tokoh tua itu. Seharusnya aku mengejarnya dan
menanyakan penyebab kata-katanya itu.
Tapi.... ke mana aku harus mencarinya?"
Suto Sinting mencoba naik ke tempat yang
lebih tinggi. Dengan satu kali sentakkan kaki ke tanah, tubuhnya sudah bisa
melesat ke atas, bersalto satu kali dan hinggap di gugusan cadas yang tinggi. Dari sana
Suto memandang alam sekitarnya. Beberapa saat ia
memandang, tak ditemukan gerakan
mencurigakan di sekitar tempat itu. Bahkan bayangan berkelebat dari tokoh tua
tadi pun tidak dilihatnya. Suto Sinting akhirnya
menenggak tuaknya dengan tetap berdiri di
ketinggian tersebut.
Tapi pada waktu Pendekar Mabuk ingin
bergerak turun dari ketinggian, tiba-tiba
pandangan matanya menangkap suatu gerakan
lari yang amat cepat. Hampir-hampir tak bisa dipandang mata. Gerakan lari itu
seperti bayangan putih yang samar-samar berkelebat menyelinap melalui celah-celah pohon
di seberang sana. Suto segera melesat dengan cepat.
Gerakannya melebihi kecepatan bayang putih itu. Dalam waktu singkat Suto Sinting
sudah berhasil berdiri menghadang langkah
bayangan putih. Orang tersebut segara
hentikan langkahnya dan merasa kaget
melihat Suto sudah berdiri di depannya.
"Kau lagi!" gumam kakek berjenggot panjang itu.
Ternyata harapan Suto terkabul. Ia
berhasil bertemu dengan kakek penyerang
Wiratmoko. Mata Suto memperhatikan dengan
seksama. Kakek itu mengenakan jubah putih
lusuh dan menggenggam tongkat berkelok-
kelok seperti seekor ular warnanya hitam.
Rambutnya yang panjang sepunggung tidak
diikat apa pun, sehingga hembusan angin
memainkan rambut itu, menyingkap dan
menutup sebagian wajahnya. Kakek kurus itu mempunyai sapasang mata yang cekung
dan tubuh yang kurus. Namun sorot pandangan
matanya itu bagai mempunyai kekuatan yang
membuat lawan atau orang lain menjadi segan kepadanya. Suto pun merasa demikian,
namun ia memaksakan diri untuk tetap berdiri
menghadang kakek tersebut.
"Maaf, Pak Tua...." sapa Suto dengan sopan, "Aku terpaksa menghentikan
langkahmu. Ada sesuatu yang ingin kuketahui darimu dan membuatku sangat ingin
tahu." Kakek berambut panjang itu berkata,
"Menyingkirlah, Murid si Gila Tuak. Jangan campuri urusanku!"
Suto Sinting terkejut mendengar kakek itu
mengenal nama gurunya.
"Sekali lagi,maafkan aku, Pak Tua. Aku hanya ingin mengetahui siapa dirimu,
sehingga menyerang Wiratmoko dan melarangku
berteman dengannya?"
"Tanyakan saja pada gurumu siapa Raja Maut. Dia kenal namaku itu dan tentunya
dia mendengar persoalanku dengan Wiratmoko
yang menjadi murid tunggal nya Dampu
Sabang." "Siapakah Dampu Sabang itu, Pak Tua?"
"Tanyakan pada gurumu, Bodoh!" bentak Raja Maut dengan wajah semakin tampak
keras dan berwibawa.
"Aku harus selesaikan urusanku dengan seseorang di Pukau Blacan. Lain kali kita
bertemu lagi, Suto Sinting!"
Slaap...! I Raja Maut pergi dengan sangat cepat
sehingga berkesan seperti menghilang. Suto Sinting ingin mengejarnya, tapi
tertahan oleh keragu-raguan. Ia pun bergegas kembali ke
tempat Wiratmoko dibaringkan. Ia ingin
bertanya kepada Wiratmoko tentang gurunya
yang bernama Dampu Sabang itu.
Tetapi alangkah terkejutnya Pendekar
Mabuk ketika mengetahui Wiratmoko sudah
tak ada. Bekas telapak kakinya pun tak
terlihat, sehingga dalam hati Suto Sinting pun timbul kesangsian kembali.
"Apakah dia pergi dengan sendirinya, atau ada yang membawanya lari" Jika ia
pergi sendiri ke mana arahnya, jika ada yang
membawa lari siapa orangnya?"
3 MATAHARI pagi mulai meninggi. Sinarnya
memancar terang menyiram tubuh kekar
Pendekar Mabuk yang sedang berjalan
menyusuri lembah. Lembah itu berpohon
renggang dengan jenis tanaman terbanyak
adalah cemara. Cemara liar mempunyai dahan besar dan bercabang-cabang. Pada
salah satu dahan itulah terdengar suara tangis seorang gadis yang meratap
memilukan. Langkah Suto Sinting terhenti di bawah
pohon itu. Wajahnya mendongak
memperhatikan gadis berkepang dua dan
berwajah mungil cantik. Pakaiannya hijau
terang, menyelipkan pisau emas di
pinggangnya yang berukuran sekitar dua
jengkal. Gadis itu menangis dengan keadaan duduk di dahan besar, dagunya
diletakkan di atas kedua lutut yang ditekuk ke atas.
"Kasihan. Gadis itu menangis sendirian di atas pohon tak ada temannya," pikir
Pendekar Mabuk, "Kedengarannya tangis itu sangat memilukan hati. Apa gerangan
yang terjadi sehingga ia harus menangis di atas sana" Oo...
ya, ya... aku tahu, pasti dia menangis karena tak bisa turun dari atas pohon.
He, he, he... gadis itu cantik tapi bodoh. Sudah tahu tak bisa turun dari atas pohon mengapa
harus naik ke atas sana?" Pendekar Mabuk segera serukan suaranya, "Gadis manis,
maukah kau kutolong untuk turun dari pohon itu"
Tangis tersebut tiba-tiba hilang, tapi
isaknya masih terdengar sesekali. Gadis itu buru-buru menghapus air matanya. Ia
memalingkan wajah bagaikan ingin
bersembunyi dari tatapan mata Suto Sinting.
"Lain kali kalau tak bisa turun dari pohon jangan coba-coba naik ke atas pohon,
Nona!" Setelah berkata demikian, Suto segera
menendang pohon tersebut dengan tendangan
miring. Wuuut...! Duuhg...!
Wwwrrr...! Pohon itu terguncang hebat. Gadis
berkepang dua itu terpelanting jatuh tak
sempat berpegang dahan di atasnya. Ia
menjerit saat melayang dari atas pohon
tersebut. "Aaa...!"
Buhhg...! Suara jatuhnya bagai nangka jatuh dari
atas pohon. Beruntung ia jatuh di semak
ilalang, sehingga tubuhnya tak terluka sedikit pun. Hanya tulang pinggulnya
sedikit terasa ngilu karena membentur tanah keras.
"Kurang ajar!" bentak gadis itu ketika berdiri. Ia langsung melesat bagaikan
terbang menyerang Pendekar Mabuk dengan
tendangan kakinya. Wuuus...!
Plak, plak...! Dua tendangan beruntun itu berhasil
ditangkis dengan kibasan tangan Suto. Kibasan yang kedua membuat tubuh itu
terpelanting dan jatuh dalam keadaan bagai orang mau
merangkak. "Maaf, aku lupa menadah tubuhmu saat
jatuh dari atas tadi," kata Suto. "Tapi seharusnya kau berucap terima kasih
kepadaku, karena aku sudah membantumu
turun dari atas pohon."
"Dasar bodoh!" geramnya dalam sentakan menampakkan kejengkelan hatinya. "Aku
menangis bukan karena tak bisa turun dari
atas pohon!"
"Lho..."!" Suto Sinting terbengong malu.
"Aku menangis karena sebab lain, tahu"!"
bentak gadis berkepang dua itu.
"Mmm...maaf. Maafkan aku kalau begitu.
Aku salah duga. Habis kau tak mau menjawab pertanyaanku yang pertama, jadi
kusimpulkan sendiri apa yang kulihat dalam tangismu,
Nona. Maafkan aku. Aku tak sengaja
mengganggu tangismu. Jika begitu, biarkan
aku pergi dan silakan melanjutkan tangismu lagi."
Suto berbalik arah dan melangkah. Dua
langkah kemudian ia merasa ada angin panas yang menuju ke arah punggungnya. Suto
Sinting cepat balikkan badan. Ternyata gadis berkepang dua itu melepaskan
pukulan jarak jauh tanpa sinar. Pukulan itu ditangkis Suto dengan menyilangkan
bumbung tuak ke depan
dada. Wuuut...! Duub...! Wuuuss...!
Bumbung tuak itu memantul balikkan
pukulan tersebut sehingga gadis itu
kebingungan menghadapi serangannya sendiri.
Serangan tersebut mempunyai tenaga lebih
besar dari yang dikeluarkan. Akibatnya gadis itu melompat ke kiri dan kakinya
terhempas kuat akibat terkena tenaga pantulan tersebut.
Tubuh yang melompat itu cepat berputar
terjungkir dan jatuh telentang dengan amat menyedihkan. Blaak...!
"Uuh...!" Ia mengerang, meringis kesakitan. Pinggangnya terasa patah.
"Jangan menyerangku, Nona. Kau bisa
celaka jika menyerangku. Kecuali jika aku
mau kau serang, kau tak akan celaka. Lain
kali jika ingin menyerangku, bilanglah dulu padaku supaya aku rela menerima
seranganmu."
"Setan!" geramnya sambil berdiri. "Kau pasti teman orang itu!"
Suto celingak-celinguk ke sekelilingnya.
"Orang yang mana maksudmu?"
"Iblis Naga Pamungkas!"
Suto Sinting kerutkan dahi, karena merasa
asing dengan nama tersebut. Gadis berkepang dua yang punya tahi lalat kecil di
sudut mata kirinya itu hanya mencibir sinis melihat
keheranan Suto.


Pendekar Mabuk 025 Naga Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak kenal dengan nama itu."
"Bohong!"
"Aku berani bersumpah. Justru kalau kau mau, tolong jelaskan siapa orang
berjuluk Iblis Naga Pamungkas itu?"
"Tentu saja orang yang mempunyai Pedang Naga Pamungkas!"
"Aku tidak tahu siapa pemilik pedang
tersebut, Nona."
Gadis itu diam. Tangannya membersihkan
tanah yang melekat di pakaian hijau cerahnya itu. Sambil menepiskan tanah-tanah
dari pakaiannya, matanya memandang tajam
penuh selidik. Dari ujung rambut Suto
diperhatikan sampai ke bagian kakinya. Suto Sinting tetap kalem. Bahkan ia
sempat meneguk tuaknya dari bumbung bambu satu
kali. Kesannya menganggap ringan kepada
gadis yang sedang cemberut itu.
"Baiklah, Nona," kata Suto, "Kalau kau tak mau jelaskan apa sebab kau menangis
dan apa hubungannya dengan Iblis Naga Pamungkas,
aku akan teruskan langkahku mencari seorang teman."
"Siapa dirimu sebenarnya" Sebutkan dulu, baru aku akan jelaskan masalahku."
"O, kau tanya namaku" Namaku Suto
Sinting," jawab Suto dengan kalem, tapi membuat mata gadis itu terbelalak dan
berbinar-binar.
"Jadi...jadi kau yang berjuluk Pendekar Mabuk itu?"
"Hei, kau mengenali julukanku?"
Ketegangan gadis itu pun mengendur. Ia
mempercayai pengakuan Suto, karena ia ingat ciri-ciri Pendekar Mabuk yang sering
didengarnya dari mulut para tokoh rimba
persilatan. Gadis itu kini duduk di sebongkah batu di bawah pohon yang tadi
digunakan untuk menangis. Ia merenung sesaat, dan
Pendekar Mabuk mendekatinya dengan
senyum masih tersungging di bibirnya.
"Kalau kau sudah tahu siapa diriku,
sekarang giliranku mengetahui dirimu."
Tanpa memandang Suto, gadis itu
menjawab dengan suara datar,
"Namaku Mega Dewi. Ayahku Ki Lurah
Pramadi. Semalam tewas dikalahkan oleh Iblis Naga Pamungkas dalam keadaan sangat
mengerikan. Kalau kau ingin melihat jenazah ayahku ada di bawah tiga pohon rapat
sebelah barat itu."
Gadis yang mengaku bernama Mega Dewi
itu memandang tiga pohon cemara liar yang
tumbuh berjajar merapat di sebelah barat
mereka. Suto Sinting hanya memperhatikan
pohon itu, belum mau bergerak sedikitpun.
Namun ketika Mega Dewi melangkah menuju
pohon yang dimaksud, Suto segera
mengikutinya. "Itulah jenazah ayahku," ucap Mega Dewi sambil menahan tangis, walau air matanya
kembali meleleh membasahi pipinya yang
merah jambu itu.
Suto Sinting terperangah kaget melihat
jenazah Ki Lurah Pramadi. Ia tak percaya
dengan apa yang dilihatnya.
"Semalam"! Pertarungan itu terjadi
semalam"!"
"Ya. Semalam. Aku lari bersembunyi di atas pohon sampai pagi menjelang dan kau
pun datang."
Suto kembali menatap jenazah Ki Lurah
Pramadi yang telah berwujud menjadi
tengkorak rapuh, seperti layaknya orang yang mati sudah bertahun-tahun. Tak ada
kulit atau daging yang tersisa sedikit pun. Bahkan bentuk kerangkanya sudah kusam.
Sebagian ada yang rapuh. Tengkorak kepalanya bagian kiri terlihat keropos. Sisa rambutnya
pun tak ada. Itulah sebabnya Suto merasa tak yakin jika Ki Lurah Pramadi dibunuh
tadi malam. "Aku tak percaya kalau ayahmu dibunuh tadi malam."
"Mulanya aku pun tak percaya dengan
penglihatanku. Tapi mau tak mau aku
terpaksa percaya karena aku melihat sendiri pertarungan itu. Sebelum Ayah tiada,
beliau sempat berseru agar aku bersembunyi dan
menjauhi pertarungannya. Maka aku pun
bersembunyi di pohon sana."
Mata Pendekar mabuk masih menatap
heran pada kerangka mayat Ki Lurah Pramadi itu. Ia bergumam dengan suara
terdengar di telinga Mega Dewi,
"Jurus apa yang digunakan iblis Naga
Pamungkas, sehingga lawannya bisa menjadi
seperti ini" Alangkah bahayanya jurus itu?"
"Ia menggunakan Pedang Naga
Pamungkas," kata Mega Dewi. "Kuperhatikan dari kejauhan, ia menggunakan pedang
itu pada saat ia telah terdesak oleh serangan
ayahku. Ia tebaskan pedang itu menyilang,
melukai punggung Ayah. Lalu asap tebal
membungkus tubuh Ayah, setelah itu Ayah
pun roboh tanpa suara lagi. Iblis Naga
Pamungkas pergi tinggalkan Ayah setelah tak berhasil mencariku. Ketika
kuhampiri, ternyata Ayah sudah dalam keadaan seperti
ini." "Apa masalahnya sehingga ayahmu bentrok dengan Iblis Naga Pamungkas?"
"Balas dendam!" jawab Mega Dewi.
"Balas dendam yang bagaimana" Coba
jelaskan!" desak Suto penasaran sekali.
"Ayahku termasuk musuh utama dari
gurunya Iblis Naga Pamungkas. Konon, ayahku pernah membunuh salah satu dari
ketiga istri gurunya Iblis Naga Pamungkas."
"Siapa gurunya Iblis Naga Pamungkas itu?"
"Aku tak mendengar ia sebutkan nama sang Guru, aku hanya mendengar persoalannya
saja, bahwa Iblis Naga Pamungkas ditugaskan oleh gurunya untuk membantai habis
para musuh utamanya.
"Apakah kau tahu siapa saja musuh
utamanya?"
"Tidak. Tapi kudengar ia menyebutkan
orang berikutnya yang akan disambangi
dengan Pedang Naga Pamungkasnya itu."
"Siapa nama orang tersebut?"
"Ki Gendeng Sekarat."
"Hahh..."!" Suto Sinting terkejut dengan melebarkan matanya.
Mega Dewi menatap heran, "Apakah kau
kenal dengan nama itu?"
"Sangat kenal. Ki Gendeng Sekarat adalah bekas pelayan guruku dan hubunganku
dengan beliau sangat baik. Beliau banyak
membantuku dalam beberapa urusan. Jelas
aku tak akan membiarkan Iblis Naga
Pamungkas menghabisi nyawa Ki Gendeng
Sekarat!" Pendekar Mabuk termenung
beberapa saat membayangkan wajah Ki
Gendeng Sekarat. (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Prahara Pulau
Mayat"). Bagi Suto, Ki Gendeng Sekarat bukan saja seorang sahabat, namun sudah
dianggap seperti orang tua sendiri, pengganti gurunya dalam meminta berbagai
pertimbangan. Tentu saja Suto tak ingin nasib Ki Gendeng Sekarat seperti nasib
Ki Lurah Pramadi.
"Tahukah kau ke mana perginya Iblis Naga Pamungkas itu?" tanya Suto bagai
kehilangan senyum.
"Yang kutahu ia menghilang setelah
bergerak ke utara," jawab Mega Dewi.
"Kalau begitu, akan kukejar dia ke sana.
Selamat tinggal, Mega Dewi."
"Tunggu!" cegah Mega Dewi membuat Suto urungkan langkah.
Mega Dewi mendekat saat Suto berpaling
memandangnya. "Aku harus ikut denganmu, Suto!"
"Tidak ada keharusan. Aku tak mau pergi denganmu, karena aku tak ingin kau
menjadi korban seperti ayahmu."
Mega Dewi menggelengkan kepala. "Aku
harus ikut demi membalas kematian ayahku.
Aku harus ikut sumbangkan tenaga buat
kalahkan Iblis Naga Pamungkas. Aku tahu, aku akan kalah jika melawannya sendiri.
Tapi dengan membantumu, aku sudah merasa
membalaskan kematian ayahku."
"Kalau kau sendiri yang akhirnya menjadi korban, bagaimana?"
"Aku sudah siap mati demi pembelaan
terhadap ayahku. Percuma aku hidup tanpa
bisa membalaskan dendam atas kematian
ayahku, karena aku sendiri hidup sudah tak memiliki orangtua lagi. Ayahku tiada,
ibuku pun sudah lama meninggal. Kini hidupku
sebatang kara, tak punya arti bagi saudara dan orangtua." Mega Dewi menangis
dengan tundukkan wajah. Suto Sinting hanya menarik napas. Menahan keharuan dan
rasa iba hati atas nasib Mega Dewi.
Ki Gendeng Sekarat yang menjadi sasaran
keganasan Iblis Naga Pamungkas tidak tahu
kalau dirinya sedang diincar bahaya. Ki
Gendeng Sekarat justru sedang mencari Suto Sinting untuk satu keperluan, yaitu
tugas dari Gusti Mahkota Sejati, penguasa Puri Gerbang Surgawi di Pulau Serindu
yang mempunyai nama asli Dyah Sariningrum. Wanita anggun
dan cantik itu adalah calon istri Suto. Ia menderita sakit karena rindu ingin
jumpa dengan Suto, karenanya Ki Gendeng Sekarat
ditugaskan mencari Suto agar membawanya
pulang ke Puri Gerbang Surgawi untuk
beberapa saat. Tetapi dalam perjalanannya itu, Ki
Gendeng Sekarat yang doyan tidur itu memang telah tertidur di bawah pohon tepi
jalan menuju sebuah desa. Lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun berambut ikal putih
mengenakan ikat kepala hitam itu dengan
enaknya duduk melonjor kaki, punggung
bersandar batang pohon, mulut ternganga
mengeluarkan dengkur tipis. Ia tampak
nyenyak sekali dalam tidurnya. Senjatanya
yang berupa kipas putih masih terselip di
pinggang. Seorang bocah penggembala kambing
melintas di jalanan depan Ki Gendeng
Sekarat. Bocah itu tersenyum geli melihat Ki Gendeng Sekarat tidur seenaknya.
Dengan usil bocah berusia sekitar sepuluh tahun itu
melemparkan batu ke arah Ki Gendeng
Sekarat. Wuuut..! Lalu ia bersembunyi di balik bongkahan batu cadas, membiarkan
kambingnya memakan rumput di seberang
sana. Tetapi sang bocah segera kaget, karena
batu yang dilemparkan itu tiba-tiba ditangkap oleh tangan kiri Ki Gendeng
Sekarat. Taaab...!
Bocah itu bertambah heran karena pada saat batu tertangkap tangan Ki Gendeng
Sekarat masih tertidur dengan nyenyak. Dengkurnya
terdengar samar-samar.
"Dia pasti bukan pengemis. Dia pasti orang sakti," pikir bocah itu. "Alangkah
senangnya jika aku diangkat murid oleh orang itu. Tanpa bangun dulu dia bisa
tangkap lemparan
batuku. Ah, kucoba sekali lagi untuk
melemparkan batu yang lebih kecil lagi ke
arahnya. Apakah ia masih bisa
menangkapnya?"
Wuuut...! Batu itu dilemparkan dari balik
persembunyian, tapi dengan cepat tangan Ki Gendeng Sekarat berkelebat menyambar
batu tersebut. Taab...! Dan posisi tidurnya hanya sedikit bergeser lebih merendah
lagi, namun dengkurannya tetap terdengar samar-samar.
"Gila dia masih tetap tidur"!" pikir bocah penggembala dengan herannya.
Tiba-tiba bocah itu terkejut saat ingin
keluar dari persembunyian. Hal yang
membuatnya terkejut adalah munculnya
seekor harimau hitam dari arah timur.
Harimau hitam itu melangkah dengan pelan,
lalu hidungnya mendengus-dengus bagaikan
mencium bau sedapnya makanan. Suara
geramannya pun mulai terdengar. Bocah
penggembala kambing menjadi gemetar
ketakutan. "Celaka! Harimau itu menuju kemari. Pasti ia akan menyantapku, bukan menyantap
kambing-kambingku"! Aduh, bagaimana ini"
Kalau aku lari pasti akan dikejarnya. Aku akan kalah cepat dengan larinya."
Bocah penggembala kambing masih bersembunyi di
balik bongkahan batu cadas, ia bermaksud
memanjat pohon, tapi ia segera sadar bahwa harimau kumbang itu mampu memanjat
pohon dengan cepat. Menggigil juga sekujur tubuh yang mengeluarkan keringat dingin
itu. Harimau tersebut semakin dekat.
"Oh, dia menuju ke orang tua itu" Celaka!
Orang itu masih tetap tidur, tak mengetahui kalau ada bahaya datang. Aku harus
segera bertindak untuk menyelamatkan orang tua
yang tertidur itu. Jika tidak, pasti dia akan mati diterkam harimau hitam."
Bocah penggembala segera mencari
sebongkah batu. Ia temukan batu sebesar dua kali genggaman tangannya. Pada saat
itu harimau hitam sudah semakin dekat dengan Ki Gendeng Sekarat. Binatang itu sudah
bersiap-siap untuk melompat dan menerkam Ki
Gendeng Sekarat. Bocah penggembala segera
keluar dari persembunyiannya. Ia berlari lebih mendekati lalu melemparkan batu
itu ke arah harimau hitam.
"Mati kau macan keling!"
Wuuut...! Buuhg...!
"Ggrrrrr...!" I
Batu itu mengenai perut sang harimau.
Untuk sesaat harimau itu terlonjak ke
samping. Lalu arahnya berbalik menghadap
kepada bocah tersebut. Matanya
memancarkan keganasan yang mengerikan.


Pendekar Mabuk 025 Naga Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bocah itu menggigil dan tak sempat berlari karena paniknya. Harimau hitam segera
melompat dengan mulut ternganga dan
taringnya yang runcing siap merobek tubuh
bocah tersebut.
"Grrraaaow...!"
Wuuuusst...! Bocah kecil itu menutup mata
kuat-kuat, mulutnya juga ternganga karena
ingin berteriak namun tak mampu keluarkan
suara. Tubuhnya terasa melayang, sehingga ia merasa sudah mati dan tinggal
rohnya saja yang melesat terbang di udara bebas.
Namun ketika ia buka mata, ternyata ia
dalam pelukan Pak Tua yang masih tetap
tertidur dengan mata terpejam walau sudah
berpindah tempat. Rupanya bocah itu
disambar oleh Ki Gendeng Sekarat sehingga
terkaman harimau hitam itu tidak menemukan sasarannya, melainkan menemukan
tempat kosong. "Bocah dungu! Untuk apa kau melawan
macan hitam itu, hah"! Bisa mati sia-sia kau, Nak! Cepat sembunyi di belakang
pohon itu!"
Kata-kata Ki Gendeng Sekarat membuat si
Pendekar Pemetik Harpa 4 Pendekar Misterius Karya Gan K L Pendekar Pemanah Rajawali 3
^