Pencarian

Naga Pamungkas 2

Pendekar Mabuk 025 Naga Pamungkas Bagian 2


bocah terbengong-bengong, karena Ki
Gendeng Sekarat bicara dalam keadaan
tertidur. Suaranya pun parau bagaikan orang sedang mengigau.
"Cepat sembunyi, Bodoh! Macan itu
berbalik ke arah kita!" kata Ki Gendeng Sekarat sambil mendorong bocah itu agar
segera lari ke balik pohon.
Bocah itu memang lari untuk sembunyi,
tapi wajahnya masih berpaling memandang ke arah harimau hitam yang kini sedang
mengaum mengerikan dengan melompat
cukup tinggi hendak menerkam Ki Gendeng
Sekarat. Dalam keadaan masih tidur, Ki
Gendeng Sekarat segera sentakkan telapak
tangan kirinya ke depan. Sepercik sinar kuning terlepas terbang dan menghantam
tubuh harimau hitam itu. Buuhg...!
"Grraaaoow...!" Binatang tersebut terjungkal ke belakang sambil keluarkan raung
yang mendirikan bulu kuduk si bocah.
Harimau itu jatuh berguling-guling
bagaikan diterjang badai amat besar.
Tubuhnya sempat membentur bongkahan batu
cadas yang tadi dipakai bersembunyi si bocah penggembala. Binatang itu meraung-
raung di sana. Dan tiba-tiba tubuhnya menyala terang, amat menyilaukan, membuat
si bocah mengecilkan mata. Ketika sinar putih
menyilaukan itu hilang, bocah penggembala
terkejut bukan kepalang, karena wujud
harimau hitam itu berubah sama sekali,
berganti rupa perempuan cantik berpakaian
kuning terang. Terdengar pula suara Ki Gendeng Sekarat
yang masih berdiri sambil tertidur, kepalanya terkulai lemas ke samping.
"Kalau tak salah kenal... kau adalah
Tandak Ayu, murid Nyai Demang Ronggeng!
Aku masih ingat wajahmu, Cah Ayu!"
"Ternyata kau belum pikun, Raja Molor!"
ucap Tandak Ayu sambil bergegas berdiri,
merapikan pakaian sebentar, memandang
dengan sengit karena penyamarannya mampu
dipudarkan oleh pukulan Ki Gendeng Sekarat.
"Mengapa kau menyerangku, Tandak Ayu!"
"Seseorang telah berpesan padaku, agar jika bertemu denganmu aku harus
membunuhmu, Ki Gendeng Sekarat."
"Lupakan pesan itu dan jangan lakukan, nanti kau menyesal akibatnya!" kata Ki
Gendeng Sekarat masih dengan tertidur
nyenyak. Agaknya Tandak Ayu tidak pedulikan
anjuran itu. Ia segera cabut pedang di
punggungnya. Serrt...! Kemudian segera
melompat ke arah Ki Gendeng Sekarat. Ia
lakukan tanpa suara supaya Ki Gendeng
Sekarat tak sadar jika sedang diserang dengan pedang. Tandak Ayu tidak
mengetahui bahwa
Ki Gendeng Sekarat lebih berbahaya dalam
keadaaan tidur daripada dalam keadaan
melek. Pedang perempuan itu menebas dari
atas ke bawah, sasarannya pundak Ki Gendeng Sekarat. Tetapi dengan sigap dan
cepat Ki Gendeng Sekarat sentakkan tangannya yang
tahu-tahu sudah menyambar kipas putih.
Traak...! Kipas putih itu menahan gerakan pedang di
atas punggung, lalu tangan Ki Gendeng
Sekarat yang satunya lagi menghantam siku
pemegang pedang. Kraak...!
"Aauh...!" Tandak Ayu memekik. Tulang lengannya terasa patah karena sentakan
telapak tangan Ki Gendeng Sekarat.
Sedangkan bocah penggembala itu semakin
terkagum-kagum melihat kehebatan jurus Ki
Gendeng Sekarat, karena ia tahu bahwa Ki
Gendeng Sekarat melakukan perlawanan
masih dalam keadaan tidur.
"Tinggalkan diriku dan jangan lakukan pesan seseorang itu. Tandak Ayu! Semua
tulangmu bisa patah kalau kau nekat
menyerangku, Cah Ayu!"
"Persetan! Aku masih punya tangan kiri yang lebih berbahaya dalam memainkan
pedangku. Hiaaah...!" Wuuut...! Wuuuurt..!
Ki Gendeng Sekarat kibaskan kipasnya
dalam jarak dua langkah dari tempat Tandak Ayu. Angin besar melanda dan
menumbangkan tubuh Tandak Ayu hingga perempuan itu
terjungkir balik terhempas tak tentu arah.
Praaak..! Kepalanya membentur gugusan batu cadas. Darah mengucur, namun ia masih
sempat larikan diri.
"Bagus! Pergilah dengan cepat sebelum murkaku datang, Tandak Ayu!"
"Kita akan bertemu lagi, Ki Gendeng
Sekarat!" "Terserah kalau memang kau tak jera
dengan bocornya kepalamu itu!"
Tandak Ayu telah sampai di kejauhan
dalam waktu yang hanya beberapa kejap.
Bocah penggembala keluar dari
persembunyiannya, memandangi arah pelarian Tandak Ayu. Ia terbengong beberapa
saat di tempatnya, merasa heran dengan perempuan
yang bisa merubah diri menjadi seekor
harimau hitam. Menurut bocah itu, Tandak
Ayu pun punya ilmu tinggi dan cukup sakti, tapi kenapa hanya sekali gebrak
dengan kipas Ki Gendang Sekarat saja bisa lari tunggang-langgang. Jika bukan
karena Ki Gendeng
Sekarat punya ilmu lebih tinggi, tak mungkin Tandak Ayu melarikan diri walau
kepalanya sempat bocor dan berdarah.
"Aku harus bicara dengan Pak Tua itu,"
kata hati bocah penggembala. Tapi ketika ia berpaling memandang Ki Gendeng
Sekarat, ternyata orang tersebut telah kembali ke
tempat duduknya semula, tertidur dengan
bersandar pohon dan sedikit merebah dari
semula. Suara dengkurannya terdengar
samar-samar. "Yaah... tidur lagi"!" bocah itu mengeluh kecewa. Tapi ia nekat membangunkan Ki
Gendeng Sekarat yang dikaguminya itu.
"Kek... Kakek... Kek, bangunlah sebentar, Kek." Bocah itu hanya berani berkata-
kata namun tak berani menyentuh tubuh Ki
Gendeng Sekarat.
"Kakek yang sakti, bangunlah sebentar...."
Ki Gendeng Sekarat tetap tertidur, matanya bagaikan lengket dan tak bisa dibuka.
Tapi ia menjawab suara si bocah dengan suara parau.
"Ada apa" Mau melemparkan batu lagi?"
"Buk... bukan... bukan itu, Kek. Hmmm...
anu... saya... saya ingin menjadi muridmu, Kek."
"Murid apa?" jawab Ki Gendeng Sekarat dengan sangat lemah dan malas.
"Saya... saya ingin menjadi sakti seperti Kakek."
"Sakti" Sakti itu apa" Tak tahu aku.
Tidurlah sini di sampingku kalau kau ingin menjadi muridku. Murid tidur, apa
susahnya" Tidur tak perlu dipelajari dan tak perlu dicari gurunya. Sini, tidur di
sampingku!"
Sang bocah bingung dan terbengong-
bengong. Ia ragu menuruti saran tersebut.
"Apakah dengan tidur di sampingnya aku bisa menjadi sakti seperti dia?" pikir
sang bocah dengan lugu.
4 BOCAH berkulit hitam tertidur di samping Ki Gendeng Sekarat. Dalam tidurnya ia
bermimpi sedang dilatih ilmu kanuragan oleh Ki Gendeng Sekarat.
"Namamu siapa, Nak?"
"Angon Luwak, Kek."
"Angon Luwak" Lho, apakah tidak keliru"
Setahuku kau angon kambing, alias
menggembala kambing."
"Itu pekerjaanku, Kek. Tapi namaku sejak kecil adalah Angon Luwak, Kek"
"Ya sudahlah. Itu urusan orangtuamu.
Kalau aku jadi orangtuamu tak mau berikan nama seperti itu. Sekarang yang
penting kau ingin belajar ilmu silat padaku. Aku akan
berikan beberapa jurus untuk membela dirimu jika dalam bahaya. Tapi tak boleh
kau gunakan untuk sombongkan diri. Setuju"!"
"Ya, Kek. Setuju."
"Bagus. Sekarang remaslah batu hitam ini sampai pecah."
Dalam mimpi sang bocah, ia diberi batu
hitam oleh Ki Gendeng Sekarat. Batu itu
disuruh meremasnya sampai pecah. Angon
Luwak tak sanggup lakukan walau sudah
berulang kali mencobanya.
"Sulit, Kek."
"Memang sulit. Kalau cari yang mudah, ya bakar jagung lalu dimakan,itu mudah,"
kata Ki Gende Sekarat. "Kerahkan semua tenagamu ke tangan kanan. Kencangkan
semua otot, tahan napasmu dalam meremas batu itu. Lakukan!"
Bocah yang mengaku bernama Angon
Luwak itu melakukan sebisa-bisanya. Tentu saja ia tetap tak bisa meremas batu
hitam itu. Ia meringis dan berkata,
"Malah sakit, Kek."
"Ya memang sakit. Kalau yang tidak sakit adalah makan nasi pakai ayam bakar. Itu
tidak akan sakit."
"Kalau bisa pelajaran yang lainnya saja, Kek."
"Pelajaran yang lainnya aku sudah tak ingat bagaimana mengajarkannya. Yang
kuingat pelajaran meremas benda keras
menjadi hancur. Kalau kau tak mau pelajaran itu, ya sudah cari guru lain saja,"
kata Ki Gendeng Sekarat dengan seenaknya.
Angon Luwak melakukan pelajaran
meremas batu berkali-kali, tapi yang ia
peroleh hanya telapak tangan yang lecet dan perih. Ki Gendeng Sekarat menyuruh
Angon Luwek membuka telapak tangannya yang
perih itu. "Coba buka telapak tanganmu!"
Angon Luwak membuka telapak tangannya.
Tiba-tiba Ki Gendeng Sekarat memukulkan
telapak tangannya sendiri ke telapak tangan bocah itu. Plaak...! Sekilas cahaya
putih perak memancar dari perpaduan telapak tangan
tersebut. Bocah itu heran, namun rasa
herannya harus segera disingkirkan karena Ki Gendeng Sekarat segera berkata,
"Telapak tangan yang kiri juga dibuka sekalian!"
Angon Luwak membuka telapak tangan
yang kiri. Ki Gendeng Sekarat memukulkan
telapak tangannya sendiri ke telapak tangan kiri Angon Luwak. Plaak...! Sinar
putih perak berkilat kembali. Hanya sekejap dan sangat cepat, tahu-tahu sudah
hilang tanpa asap
sedikitpun. Tapi Angon Luwak merasakan
getaran panas yang masuk dalam tubuhnya
melalui lengan tersebut.
"Sekarang, coba remas lagi batu hitam itu!"
perintah Ki Gendeng Sekarat.
Bocah kecil berambut lurus agak panjang
itu menggenggam batu hitam dan meremasnya
dengan mengencangkan seluruh urat lengan.
Praak...! "Wah, bisa! Bisa hancur, Kek"!" bocah itu kegirangan.
"Belum," kata Ki Gendeng Sekarat. "Kau belum berhasil. Batu itu harus menjadi
lembut. Tidak boleh menjadi bongkahan-
bongkahan kecil begini."
"Harus lembut seperti pasir, Kek?"
"Terserah. Mau seperti pasir atau seperti debu pokoknya lembut!" kata Ki Gendeng
Sekarat. "Ayo, ulangi lagi!"
Batu yang lainnya diambil. Diremas dalam
genggaman. Praak...! hancur lagi, tapi masih belum selembut pasir. Angon Luwak
mencobanya berkali-kali hingga menghabiskan beberapa bongkah batu hitam. Sampai
akhirnya, kejap berikut ia meremas batu
hitam yang ukurannya sedikit lebih besar dari genggaman tangannya.
Pruuss...! Batu hitam itu menjadi lembut seperti
pasir. Angon Luwak tertawa kegirangan sambil berseru kepada Ki Gendeng Sekarat,
"Berhasil, Kek! Aku berhasil meremas
sampai lembut. Lihat, Kek...!"
Ki Gendeng Sekarat memeriksa sebentar,
lalu menggumam sambil manggut-manggut,
"Ya, ya... baik. Kau sudah berhasil. Sekarang kau sudah jadi muridku dan sudah
tamat belajar." "Lho, kok cuma sebentar, Kek"
Pelajarannya kok cuma satu saja?"
"Iya. Karena kalau semua ilmuku kau
pelajari, kau tak punya waktu cukup untuk
mewarisi semua ilmuku. Lihat, kambingmu
sudah berlari-lari tak tentu arah. Kejar supaya tak hilang."
Angon Luwak berlari, kakinya tersandung
akar pohon lalu jatuh. Bruuk...! Angon Luwak menggeragap ketika terbangun dari
tidurnya. Ia memandang sekeliling, ternyata kelima
kambingnya masih memakan rumput di
tempatnya. Tetapi Ki Gendeng Sekarat sudah tak ada disampingnya.
"Ah, sayang semuanya cuma mimpi. Tapi ke mana perginya kakek itu?"
Angon Luwak menganggap semua itu hanya
mimpi. Merasa ditinggalkan oleh Ki Gendeng Sekarat, ia segera bangkit dan
menghampiri kambingnya. Salah satu kambing ada yang
memisahkan diri dan ingin makan tanaman
beracun. Angon Luwak segera menghalau
kambingnya supaya jangan makan tanaman
beracun. Ia mengambil batu dan
melemparkannya sambil berseru,
"Husy...Husyah...!"
Batu pun dilemparkan. Wuuur...!
"Lho..."!" Angon Luwak terperanjat dan sangat heran. Batu yang dilemparkan
ternyata telah menjadi serpihan-serpihan lembut walau tidak selembut pasir. Mata
bocah itu memandangi serpihan tersebut, juga
memandangi kedua telapak tangannya. Ia
memungut batu lagi. Ia mencoba meremasnya
seperti yang dilakukan dalam mimpinya.
Pruuus...! Ternyata batu yang diremasnya


Pendekar Mabuk 025 Naga Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi pasir hitam.
"Hahh..."!" Angon Luwak kian terperanjat.
"Aku benar-benar bisa meremas batu sekeras itu" Ah, sepertinya apa yang
kulakukan tadi hanya dalam mimpi, mana mungkin bisa
menjadi nyata" Tapi..., sebaiknya kucoba lagi dengan batu yang agak besar dan
lebih keras lagi."
Angon Luwak memungut batu yang
ukurannya sedikit lebih besar dari genggaman tangannya. Ia meremasnya dengan
satu sentakan tangan menggenggam.
Pruus...! Ternyata batu itu berhasil diremukkan
hingga menjadi pasir hitam. Angon Luwak
tersenyum, matanya berbinar-binar. Ia segera memungut sebatang dahan kayu yang
masih belum keropos tapi sudah kering. Pruuus...!
Batang kayu itu pun hancur lebur dalam
genggaman tangannya.
"Oh, aku telah bisa...! Aku berhasil
mempunyai jurus 'Peremuk Benda'. Oh,
ternyata mimpiku itu bisa menjadi kenyataan"
Alangkah girangnya aku hari ini! Tapi..., tapi apakah ini pun bukan sekadar
mimpi seperti tadi?" pikir bocah itu dengan bingung sendiri.
Kemudian ia segera lari menemui orangtuanya untuk mengabarkan berita
kehebatannya itu.
Tetapi dalam perjalanan menuju desanya,
ia dihadang oleh dua orang berwajah bengis.
Yang satu mengenakan pakaian hitam-hitam,
yang satunya lagi mengenakan pakaian biru tua. Keduanya sama-sama menyandang
senjata kapak di pinggang. Kapak mereka
sama panjang dan sama bentuknya. Kedua
lelaki berwajah bengis itu berusia sekitar tiga puluh tahun lebih sedikit. Angon
Luwak sama sekali tidak mengenal siapa kedua orang
berwajah bengis itu. Tapi hati kecilnya yakin bahwa kedua orang tersebut adalah
orang jahat. "Hei, Bocah...!" sapa yang baju hitam. "Di mana rumah Empu Sakya?"
"Empu Sakya?" bocah itu termenung memikirkannya. Ia tahu rumah Empu Sakya. Ia
kenal nama Empu Sakya, yaitu seorang
pembuat senjata keris pusaka bernama Keris Setan Kobra. Angon Luwak juga pernah
mendengar beberapa orang memburu Keris
Setan Kobra, tapi keris itu selalu
dipertahankan oleh Ki Empu Sakya. Bahkan
kabarnya pernah ada orang yang berminat
menukar Keris Setan Kobra dengan sekantong permata, tapi ditolak oleh Ki Empu
Sakya. Melihat tampang bengis kedua orang itu,
Angon Luwak menjadi curiga. Ia beranggapan kedua orang bengis itu pasti akan
memaksa Ki Empu Sakya agar menyerahkan pusakanya
tersebut dengan cara kasar dan kejam.
"Anu... saya tidak tahu kok, Paman."
jawab Angon Luwak setelah dibentak dengan
pertanyaan serupa.
"Kau bocah desa Kukusan, bukan?" tanya si baju biru.
"Betul, Paman."
"Kau pasti tahu rumah Empu Sakya! Karena dia tinggal di desa Kukusan."
"Tidak. Saya tidak tahu, Paman."
Yang berbaju hitam segera meremas
rambut Angon Luwak. "Antarkan kami kesana, kalau tak mau kepalamu kupancung biar
pisah dengan ragamu!"
Angon Luwak meringis kesakitan. "Ampun, Paman... saya... saya memang tidak tahu,
Paman. Saya tidak tahu!"
"Kecil-kecil sudah mau berbohong kamu, hah"!" si baju hitam semakin memperkuat
jambakannya sampai kaki Angon Luwak
berjingkat-jingkat mengimbangi tarikan
rambutnya ke atas.
"Sakit, Paman...," rengeknya sambil tangannya berusaha menggenggam
pergelangan tangan si baju hitam. Sementara itu, si baju biru hanya tertawa-tawa
sambil berkata,
"Tarik terus ke atas sampai copot kulit kepalanya, Wongso! Masa kau kalah sama
anak kecil, ha, ha, ha...!"
Jambakan itu terasa semakin sakit. Tangan
Angon Luwak kian meremas pergelangan
tangan Wongso. Kraak...!
"Aaaouh...! " Wongso terpekik kesakitan dengan mata mendelik. Tulang di
pergelangan tangannya menjadi remuk karena genggaman
Angon Luwak. Pekikan itu disertai raungan
rasa sakit yang membuat Wongso terbungkuk-
bungkuk sambil mendekap pergelangan tangan kanannya.
"Kenapa kau ini, hah"! Digenggam bocah ingusan saja menjerit-jerit seperti
itu"!"
"Matamu picek, Mayong! Tukang lenganku remuk!" geram Wongso sambil menyeringai
kesakitan. Mendengar ucapan itu, Mayong segera
memandang tajam kepada Angon Luwak yang
telah mundur sejauh tujuh langkah. Bocah
bercelana kumal warna hitam dengan baju
kusut warna hitam tanpa lengan itu semakin ketakutan mendapat pandangan sangar
dari Mayong. "Hei, kemari kau!" gertak Mayong memanggil Angon Luwak.
"Tidak. Saya tidak mau!"
"Ke sini kau!" bentak Mayong makin keras sambil menghampiri Angon Luwak. Dengan
cepat bocah itu pun segera melarikan diri
kembali ke arah semula.
"Berhenti kau!" seru Mayong, lalu mengejar bocah itu dengan nafsu ingin
menangkapnya. Tapi Angon Luwak berlari ketakutan secepat mungkin. Mayong berseru mengancamnya,
"Kalau kau tak mau berhenti kulempar
kapak kepalamu, Bocah Tolol!"
Angon Luwak tak pedulikan ancaman itu.
Ia tetap berlari dan tetap dikejar oleh
Mayong, sementara Wongso mengikuti dari
belakang sambil masih mendekap pergelangan tangan kanannya yang segera berwarna
biru legam itu. "Bangsat betul bocah itu!" geram Wongso.
Lalu berseru kepada Mayong, "Lepaskan kapakmu! Bunuh bocah itu! Dia benar-benar
telah meremukkan tukang tanganku, Mayong!"
Langkah Mayong berhenti sebentar. Kapak
dicabut dari pinggang, lalu dilemparkan ke punggung Angon Luwak. Wuuung ..!
Jraab...! "Haihhh..."!" Angon Luwak terbelalak kaget. Kapak itu menyambar di atas
kepalanya kalau saja ia tidak jatuh tersandung batu. Kapak itu menancap di
batang pohon tepat di depan Angon Luwak. Serta merta
Angon Luwak bangkit dan mencabut kapak
tersebut. Tapi karena daya tancapnya cukup dalam, maka kapak itu tak mudah
dicabut. "Hoi...! Berani kau mencabut kapakku, hah"!" bentak Mayong sambil bergegas
menyusul bocah kecil itu.
Karena kapak sukar dicabut maka
genggaman tangan Angon Luwak menjadi
sangat kuat. Dan gagang kapak pun menjadi
hancur seketika itu pula. Proos...!
Mayong terhenti dari langkahnya karena
kaget melihat gagang kapaknya menjadi debu sebagian. Wongso pun mendelik melihat
hal itu. Bahkan bocah itu sendiri sempat kaget karena tak sengaja meremukkan gagang
kapak dari kayu jati yang amat keras itu.
Melihat kapak berhasil diremukkan, maka
Angon Luwak coba coba meremas bagian mata
kapak yang tidak sempat terbenam di batang pohon.
Pruuuss...! Kapak besi itu hancur jadi serbuk lembut
diremas dengan kedua tangan. Hal itu
menambah kedua manusia bertampang bengis
sama-sama kian terperanjat begong. Angon
Luwak membuang rasa bangganya, karena
sadar sebentar lagi ancaman bahaya akan
datang. Maka ia segera larikan diri kembali tak mempedulikan remukan kapak besi
tersebut. "Bocah setan" maki Mayang. "Kapakku bisa diremukkan dengan tangan sekecil itu.
Kurang ajar!"
"Kejar dia sampai dapat dan bunuh tanpa ragu lagi!" teriak Wongso sambil menahan
rasa sakit pada pergelangan tangan yang remuk
itu. Angon Luwak semakin mempercepat
larinya mendengar seruan Wongso. Kini ia
dikejar-kejar dua orang dewasa. Dikepung dua arah. Sampai akhirnya Angon Luwak
terpojok ketika membawa pelariannya ke atas bukit. Ia tak dapat bergerak lagi
karena di depannya ada jurang cukup dalam, sementara dua
pengejarnya sudah merapat di belakangnya.
"Mau lari ke mana kau, Bocah Setan"!"
bentak Mayong. Lalu ia mencabut kapak dari pinggang Wongso, karena ia tahu
Wongaso tak bisa menggunakan kapak itu dalam keadaan
tangan kanannya remuk, sedangkan tangan
kiri Wongso tidak begitu piawai untuk
memainkan senjata apa pun.
Mata bocah itu membelalak tegang.
Napasnya terengah-engah. Ia tak punya jalan keluar lagi kecuali nekat menerobos
kepungan dua orang tersebut. Tapi kapak yang diayun-ayunkan oleh Mayong itu
membuat hati bocah itu menjadi ciut nyali dan menggigil
tubuhnya. "Kalau kau bisa remukkan kapakku, maka kepalamu pun akan kuremukkan!" geram
Mayong sambil kian mendekat. Angon Luwak
kian tegang, wajahnya pucat pasi, tak bisa keluarkan suara apa pun.
Tetapi tiba-tiba terdengar suara dari
belakang Mayong dan Wongso,
"Memalukan sekali. Bocah kecil dikeroyok dua orang. Bersenjata lagi! Benar-benar
memalukan!"
Kedua lelaki bertampang bengis itu segera
balikkan badan menatap orang yang dianggap bicara sembarangan itu. Ternyata
seorang gadis berkepang dua. Di belakang gadis itu ada seorang pemuda menyandang bumbung
tempat tuak. Mereka tak lain adalah Pendekar Mabuk dan Mega Dewi.
"Jangan lancang mulutmu, Gadis Dungu!
Kapak ini bisa beralih sasaran ke lehermu, tahu"!" geram Mayong kepada Mega
Dewi. Gadis itu hanya tersenyum sinis. Suto
Sinting diam saja, seakan tidak mau ikut
campur. Karena ia merasa yakin bahwa Mega
Dewi pasti mampu menumbangkan dua orang
bengis itu. Mega Dewi maju sendirian tanpa rasa takut sedikit pun, sebab ia
percaya kalaupun ia terdesak dan hampir kalah, pasti Suto Sinting tak akan tinggal diam.
"Apa salah bocah itu sampai kalian berdua mengeroyoknya" Apakah tak malu pada
diri sendiri"!"
"Persetan dengan kata-katamu! Kami
punya urusan sendiri, kau tak perlu ikut
campur!" geram Wongso dengan menahan rasa sakit dan berpura-pura tidak mengalami
remuk tulang. "Biarkan bocah itu pergi. Jangan kalian takut-takuti dengan kapak itu!"
"Berani-beraninya kau memerintah si
Kapak Kembar, hah"! Apakah kau belum
mendengar keganasan kami, si Kapak Kembar
ini"!"
"Tak perlu kudengar, karena keganasanmu hanya kepada anak kecil. Kau tak akan
berani ganas kepada orang seusiaku!"
Wongso menggeram dengan gigi
menggeletuk, wajahnya merah menahan
marah. Sama halnya dengan Mayong. Matanya
mulai semburat merah menandakan
kemarahannya mulai naik ke ubun-ubun.
"Apa maumu sebenarnya, Gadis Dungu"!"
"Bebaskan bocah itu. Kalau kalian ingin murka, jangan kepada bocah itu. Dia
bukan tandingan kalian. Akulah tandingan kalian!"
"Keparat! Rasakan jurus 'Kapak Malaikat'
ini, Gadis Dungu! Heaaah...!"
Mayong maju menyerang dengan tubuh
berputar bagaikan gangsing dan kapaknya siap membabat apa saja yang dikenainya.
Tetapi Mega Dewi segera sentakkan kakinya ke
tanah, tubuhnya melenting di udara. Kakinya menjejak bagai orang berlari cepat,
tepat mengenai kepala Mayong beberapa kali dan
secara beruntun.
Dug, dug, dug, dug...!
Mayong menggeloyor hendak jatuh. Namun
ia berhasil menjaga keseimbangan tubuhnya.
Saat itu juga dipijakkan kakinya ke tanah.
Jleeg .! Tahu-tahu Wongso menyerang dengan tendangan putar yang amat kuat.
Wuuut...! Plook...! Wajah Mega Dewi terkena tendangan putar
itu. Ia terpelanting hampir jatuh ke jurang.
Untung ia bisa menahan gerakannya, sehingga urung masuk ke jurang. Ia sentakkan
kakinya dan bersalto mundur dua kali. Tab, tab...!
Tahu-tahu tiba di samping Wongso. Kaki
Wongso segera menyambar kembali dengan
jurus tendangan yang sama. Mega Dewi
rendahkan badan, lalu dengan tangan
bertumpu di tanah ia menendang rusuk
Wongso dengan kaki kanannya yang miring.
Duuus...! "Ahg...!" Wongso tersentak hingga terhuyung huyung beberapa langkah. Pada
waktu itu Mayong datang menghantamkan
kapaknya untuk membelah punggung Mega
Dewi. Namun dengan cepat Mega Dewi
bangkit, berbalik arah dan tahu-tahu pisaunya sudah terhunus.
Pisau itu ditikamkan ke arah bagian bawah
ketiak tangan pemegang kapak yang berhasil ditangkis dengan kaki merentang
tinggi. Jruub...! "Aaahg...!"
Mayong terpekik. Kapaknya jatuh ke
tanah. Bocah berkulit hitam itu segera
menyambar kapak itu pada saat Mayong
dibabat ujung pisau dari samping kanan ke


Pendekar Mabuk 025 Naga Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kiri. Breeet...!
Dada Mayong koyak seketika. Darah
mengalir deras. Robekan itu sampai mengenai rahang Mayong. Serta-merta Mega Dewi
lompat ke kiri untuk cari tempat lebih leluasa lagi.
Wajah Mayong menyeringai menahan sakit
pada lukanya. Ia berusaha mengambil kapak
yang jatuh. Namun terkejut melihat kapak itu sudah di tangan Angon Luwak. Bocah
itu meremas mata kapak dengan kuat. Praaas...!
Hancur menjadi serbuk besi yang amat
mengagumkan. Kapak itu tinggal bagian
gagangnya saja, lalu gagang kapak itu
diserahkan kepada Mayong. Ketika Mayong
ingin meraih dengan terbungkuk-bungkuk karena sakit. Angon Luwak
menghantamkan gagang kapak ke kepala
Mayong dengan telaknya.
Pletok...! "Adaaaoow...!" kedua tangan Mayong jadi berpegangan pada kepalanya. Gagang kapak
dibuang. Angon Luwak berlari mendekati Mega Dewi, seakan berlindung di sana dari
pembalasan Mayong.
"Tinggalkan mereka! Cepat!" seru Wongso sambil menahan sakit di rusuknya. Mereka
pun segera lari. Tak sedikit pun berpaling ke
belakang. Tapi Suto dan Mega Dewi tertegun bengong memandangi Angon Luwak,
merasa kagum melihat bocah kecil mampu
meremukkan besi mata kapak itu. Suto segera bertanya,
"Siapa yang memberimu ilmu untuk
meremukkan benda keras itu, Nak?"
"Kakek... eh, anu... guru saya. Kang."
"Siapa gurumu?" tanya Suto lagi.
"Hmmm... namanya...," Angon Luwak mengingat-ingat. "Entah. Saya lupa namanya,
Kang." "Lho, kok sampai lupa" Kau belajar di mana?"
"Di... di alam mimpi, Kang."
Pendekar Mabuk dan Mega Dewi saling
pandang. Mereka sama sama heran. Kemudian
mereka kembali memandang Angon Luwak.
Mega Dewi bertanya setelah memasukkan
pisaunya. "Jawab yang benar, di mana kau belajar ilmu itu?"
"Di mimpi, Kang. Sumpah!"
"Di mimpi..."!" gumam Suto Sinting.
Angon Luwak berkata, "Soalnya, guruku tukang tidur, Kang."
"Maksudmu tukang tidur bagaimana?" tanya Mega Dewi.
"Dia bertarung sambil tidur."
Suto menyahut dalam gumam, "Jangan-
jangan Ki Gendeng Sekarat!"
"Nah, betul!" teriak Angon Luwak. "Itu nama guruku dalam mimpi, Kang. Ki Gendeng
Sekarat!" Suto dan Dewi semakin terperangah dan
sama-sama beradu pandang.
"Sejak kapan Ki Gendeng Sekarat
mengangkat murid?" gumam Suto seperti bicara pada diri sendiri.
"Pokoknya ya sejak aku disuruh tidur di sampingnya," kata Angon Luwak menyangka
diajak bicara Suto.
"Sekarang ke mana gurumu itu" Ke mana Ki Gendeng Sekarat"!"
"Pergi."
"Pergi ke mana?"
"Ndak tahu, Kang! Waktu aku bangun dari tidur dia sudah pergi!"
"Coba tunjukkan di mana tempat kalian tidur! Siapa tahu aku bisa melacaknya dari
sana!" kata Suto. Kemudian Angon Luwak membawa mereka ke tempat pertemuannya
dengan Ki Gendeng Sekarat.
E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
5 PENDEKAR Mabuk lemparkan pandangan ke
sekeliling tempat pertemuan Angon Luwak
dengan Ki Gendeng Sekarat. Tak ada jejak
yang bisa digunakan untuk melacak perginya Ki Gendeng Sekarat. Angon Luwak
menceritakan pertarungan Ki Gendeng Sekarat dengan seekor harimau hitam jelmaan
seorang perempuan yang diingatnya bernama Tandak
Ayu. Mendengar nama Tandak Ayu, Mega Dewi
terperanjat dan wajahnya berubah tegang.
Hal itu diketahui oleh Suto Sinting.
"Apakah kau kenal dengan Tandak Ayu?"
"Dia muridnya Nyai Demang Ronggeng,
satu-satunya tokoh tua yang punya jurus
'Tarian Mayat'," jawab Mega Dewi menyimpan kecemasan.
"Tarian Mayat?" gumam Suto. "Seingatku Ki Gendeng Sekarat juga mempunyai jurus
'Pembangkit Mayat', dan ia bisa membekali
ilmu tinggi kepada mayat-mayat yang
dibangkitkan. Ketika dia tinggal di Pulau Mayat, dia punya pasukan mayat
sendiri." Wajah gadis itu kian menegang, "Apakah Ki Gendeng Sekarat pernah tinggal di
Pulau Mayat?" "Justru pertemuanku dengannya justru di Pulau Mayat."
"Kalau begitu dia murid dari Eyang
Pramban Jati"!"
"Benar. Dia pernah menceritakan hal itu kepadaku. Dari mana kau tahu?"
"Ayahku pernah bercerita tentang murid Eyang Pramban Jati. Menurut Ayah, murid
Eyang Pramban Jati ada dua, yaitu Ki Gendeng Sekarat dan Nyai Demang Ronggeng.
Tapi murid perempuan Eyang Pramban Jati lari ke aliran sesat. Hanya Ki Gendeng
Sekarat yang berhasil menyerap semua ilmu Eyang Pramban Jati. Dulu, ayahku
pernah ditolong oleh Ki Gendeng Sekarat dan menjadi bersahabat."
Setelah merenung sejenak, Suto pun
berkata seperti bicara pada diri sendiri,
"Lalu, apa alasannya murid Nyai Demang Ronggeng menyerang Ki Gendeng Sekarat"
Apakah itu perintah dari gurunya?"
"Mungkin saja. Dan tidak menutup
kemungkinan kalau sekarang Ki Gendeng
Sekarat pergi menemui Nyai Demang
Ronggeng untuk menuntut balas atas
penyerangan muridnya itu."
"Apakah kau tahu di mana Nyai Demang
Ronggeng bertempat tinggal?"
"Sayang sekali tidak," jawab gadis berkepang dua dengan tegas. "Tapi aku kenal
seseorang yang mengetahui tempat tinggal
Nyai Demang Ronggeng. Orang itu tinggal di desa Kukusan, dia seorang pandai besi
yang berjuluk Ki Empu Sakya!"
Mendengar nama Ki Empu Sakya, bocah
penggembala itu menyahut. "Aku tahu rumah Ki Empu Sakya, Kang!"
"O, kau tahu?"
"Ya. Kedua orang bengis yang mengejarku itu tadi memaksaku untuk mengantarkan ke
rumah Ki Empu Sakya. Tapi aku tak mau.
Kang." "Kenapa kau tak mau?"
"Karena orang bengis itu pasti akan
memaksa Ki Empu Sakya untuk meminta
pusaka secara kasar. Aku kasihan kepada Ki Empu Sakya."
"Pusaka apa?"
"Setahuku, banyak orang yang membujuk Ki Empu Sakya untuk mendapatkan keris
pusaka yang bernama Keris Setan Kobra,
Kang." "Keris Setan Kobra"!" Mega Dewi terkejut secara terang-terangan. Suto semakin
ingin tahu melihat kekagetan Mega Dewi. Tapi
sebelum Suto Sinting bertanya, gadis
berkepang dua itu sudah lebih dulu jelaskan maksudnya.
"Keris Setan Kobra mempunyai kekuatan ampuh. Siapa yang terkena keris itu akan
hilang lenyap tak berbekas sedikit pun. Hanya orang-orang tertentu yang
mengetahui kehebatan keris tersebut dan mengetahui
siapa pemiliknya. Ayahku pernah membujuk Ki Empu Sakya untuk memiliki keris itu,
setidaknya meminjamnya untuk jaga-jaga
diserang oleh Iblis Naga Pamungkas. Tapi Ki Empu Sakya mempertahankan keris
tersebut."
"Kalau begitu sebaiknya kita temui saja Ki Empu Sakya. Kurasa Ki Gendeng Sekarat
pergi ke sana menanyakan di mana tempat tinggal
Nyai Demang Ronggeng."
"Mari kutunjukkan rumah Ki Empu Sakya, Kang!" Angon Luwak menawarkan jasa.
Padahal tanpa Angon Luwak, Mega Dewi
sendiri sudah tahu rumah Ki Empu Sakya,
karena dulu ia pernah diajak almarhum
ayahnya pergi ke tempat Empu sakti itu.
Ternyata orang yang berjuluk Ki Empu
Sakya itu adalah seorang lelaki kurus bertubuh pendek, seperti anak kecil.
Tinggi badannya sedikit melebihi tinggi tubuh Angon Luwak.
Tetapi dari raut wajahnya, dari uban rata di rambut dan jenggot tipisnya, orang
dapat menduga bahwa Ki Empu Sakya adakah lelaki
yang berusia di atas enam puluh tahun. Ia
gemar mengenakan pakaian putih dengan ikat kepala kain hitam. Pakaiannya
menyerupai pakaian biksu, hanya dililitkan ke tubuh dan sisanya diselempangkan ke pundak
kanan. Ikat kepalanya menutup sebagian rambut putih,
bersimpul di bagian belakang.
Sekalipun demikian keadaan Ki Empu
Sakya, namun Mega Dewi dan Suto Sinting
sangat menghormat kepada Ki Empu Sakya.
Sebaliknya Ki Empu Sakya pun bersikap
hormat dan sungkan kepada Suto. Sampai-
sampai ketika ia menerima kedatangan Suto, ia lebih dulu membungkukkan badan
memberi hormat setelah menatap Suto beberapa saat.
"Jangan menghormat kepadaku, Ki Empu
Sakya." kata Suto. "Aku merasa malu menerima hormatmu."
"Anak muda, bagi orang lain bisa saja tidak menghormatmu, tapi bagiku harus
menghormatmu, karena aku melihat tanda di
keningmu. Kau pasti orang pilihan yang punya gelar tinggi dari Gusti Ratu
Kartika Wangi, penguasa Puri Gerbang Surgawi di alam gaib."
Mega Dewi kerutkan dahinya mendengar
kata-kata itu. Ia pandangi Suto Sinting pada saat Ki Empu Sakya berkata,
"Hanya seorang Manggala Yudha yang
mendapatkan tanda seperti itu di keningmu, Anak Muda."
Suto Sinting menjadi tak enak hati
dipandangi oleh Mega Dewi. Tapi apa boleh
buat, tanda merah di keningnya itu tak bisa ditutupi. Hanya orang-orang berilmu
tinggi yang bisa melihat tanda merah kecil sebesar biji jagung itu. Jika Ki Empu
Sakya bisa melihatnya, berarti dia orang berilmu tinggi.
"Apa maksud kata-kata Ki Empu Sakya itu?"
bisik Mega Dewi kepada Suto.
"Lupakan saja kata-kata tersebut. Biarkan beliau beranggapan apa saja," Suto
menyembunyikan penghormatan itu, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode:
'Manusia Seribu Wajah').
Angon Luwak menceritakan pengejaran
kedua orang bertampang bengis itu kepada Ki Empu Sakya. Lelaki kurus dan kecil
yang sudah banyak umur itu mengusap-usap kepala Angon Luwak sambil mengucap
terima kasih atas
tekad sang bocah yang tidak mau
menunjukkan tempat tinggalnya.
"Si Kapak Kembar adalah orang sesat yang ingin menguasai aliran hitam sejak
dulu. Sekalipun ia tak bakal mampu memaksaku,
tapi aku menghargai niat baikmu, Angon
Luwak. Sekarang pulanglah dulu dan urus
kambingmu, aku akan melayani kedua tamuku
ini. Nanti malam datanglah kemari bersama
teman-temanmu, aku akan mendongeng
tentang tokoh-tokoh yang masuk dalam
aliran hitam. Kau dan teman-temanmu pasti
akan tertarik mendengarkannya."
"Terima kasih, Ki, Aku akan
memberitahukan mereka untuk datang
mendengarkan ceritamu!" Angon Luwak
berseri-seri kegirangan. Rupanya bocah itu akrab dengan Ki Empu Sakya, karena Ki
Empu Sakya sering kumpulkan bocah-bocah desa
Kukusan untuk menceritakan dongeng tentang jago-jago silat dan para tokoh tua di
rimba persilatan.
"Bagaimana kabar ayahmu, Mega Dewi?"
Pertanyaan itu dijawab dengan linangan
air mata. Gadis berkepang dua menceritakan pertarungan ayahnya dengan Iblis Naga
Pamungkas. Cerita itu membuat Ki Empu
Sakya tarik napas dalam-dalam,
menyembunyikan perasaan duka, menahan
geram kemarahan. Ternyata ia termasuk
orang yang pandai mengendalikan nafsu
amarah, sehingga dalam sekejap ia sudah
kelihatan tenang kembali.
Lalu, Suto Sinting pun menanyakan tentang
Ki Gendeng Sekarat, karena Ki Empu Sakya
tidak mau membicarakan tentang Iblis Naga
Pamungkas. Mungkin ia tak ingin membuat
hati Mega Dewi semakin pedih jika hal itu
dibicarakan panjang-lebar. Mungkin juga Ki Empu Sakya menghindari percakapan
tentang keris pusakanya itu, sehingga ia lebih tertarik untuk menjawab pertanyaan Suto
Sinting. "Gendeng Sekarat memang baru saja pergi dari sini, tapi bukan untuk menanyakan
tempat tinggal Nyai Demang Ronggeng. Ia
hanya menengokku dan mencarimu, Suto
Sinting. Ia sekarang pergi ke arah barat."
"Jika begitu saya harus segera
menyusulnya, Ki Empu Sakya."
"Silahkan. Tapi kuharap Mega Dewi mau tinggal di sini untuk beberapa saat. Ada
yang ingin kubicarakan denganmu, Mega Dewi.
Tentunya berkaitan dengan kematian ayahmu
itu. Apakah kau bersedia?"
"Saya bersedia," jawab Mega Dewi setelah memandang Suto sesaat, karena hatinya
ingin ikut Suto, tapi si sisi lain ia merasa perlu berbicara tentang kematian
ayahnya dengan tokoh tua yang berpenampilan kalem itu.
Kini Pendekar Mabuk mengejar Ki Gendeng
Sekarat hanya sendirian. Sesuai dengan
keterangan Ki Empu Sakya, Suto berlari ke
arah barat. Harapannya dapat menyusul Ki
Gendeng Sekarat. Sebab ia tahu, jika Ki
Gendeng Sekarat mencarinya, berarti ada


Pendekar Mabuk 025 Naga Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pesan yang harus disampaikan kepada Suto
dari Dyah Sariningrum, calon istrinya yang dicintai itu. Ingat tentang wanita
cantik yang dicintainya itu, pikiran Pendekar Mabuk ingat pula pada seraut wajah
beku milik Siluman
Tujuh Nyawa. Tokoh sesat yang selalu tampil dengan jubah hitam bagaikan El Maut
itu sampai sekarang belum berhasil dipenggal
kepalanya oleh Suto Sinting, padahal kepala itu merupakan syarat untuk mengawini
Dyah Sariningrum. Sayang sekali Siluman Tujuh
Nyawa itu terlalu licin, sehingga sudah
beberapa saat lamanya Suto tidak berhasil
menjumpai tokoh sesat yang amat ditakuti
oleh beberapa tokoh sakti di kalangan aliran hitam itu.
Perjalanan Suto Sinting terpaksa terhenti
karena merasa dihadang oleh seorang pemuda berpakaian merah dengan hiasan benang
emas. Pemuda itu tampak seperti keturunan
bangsawan dilihat dari jenis pakaian dan
penampilannya. Ia menyelipkan sebilah
pedang bertarungkan logam emas. Pedang
kecil itu mempunyai hiasan bebatuan indah
pada bagian gagangnya. Pemuda itu berusia
sedikit lebih muda dari Suto Sinting. Wajahnya tampan dengan kumis tipis yang
menampakkan kesan keningratannya.
Pemuda itu turun dari atas kuda putihnya,
sementara kedua pengawalnya berbadan
besar juga segera melompat turun dari
masing-masing kudanya. Salah seorang
pengawal yang mengenakan ikat kepala dari
logam perak itu maju mendampingi pemuda
tampan tersebut, sedangkan yang satunya lagi mengurus kuda, membawanya ke bawah
pohon. "Paman Gandra, tak salah lagi
penglihatanku, pemuda liar inilah yang tadi kulihat berjalan bersama Mega Dewi!"
kata pemuda berpakaian bangsawan itu kepada
pengawalnya. "Kalau begitu biar saya yang
menanganinya, Raden Udaya!" kata sang pengawal yang bernama Gandra dengan
suaranya yang besar. Ia segera memanggil
temannya, "Rangku, kepung orang ini!"
Wuut...! Jleeg...!
Orang bermata lebar yang dipanggil
dengan nama Rangku itu cepat melompat dan
bersalto di udara satu kali. Dalam sekejap ia sudah berada di sebelah kiri Suto
Sinting. Gandra yang berkumis tebal itu ada di sebelah kanan, sedangkan pemuda tampan
yang bernama Raden Udayo itu berhadapan di
depan Suto. Pendekar Mabuk hanya kerutkan dahi
sebentar, lalu kembali bersikap tenang.
Matanya memandang ke arah Raden Udaya
tanpa kesan takut sedikit pun.
"Apa maksudmu menghentikan langkahku, Raden Udaya?" tanya Suto dengan mengutip
nama yang disebutkan Gandra tadi.
"Kita punya perhitungan sendiri atas
kelancanganmu berani pergi dengan Mega
Dewi!" kata Raden Udayana dengan ketus dan bernada sombong.
"Apa salahku pergi dengan gadis itu?"
"Dia kekasihku! Dia calon istriku?" sentak Raden Udaya mulai menampakkan
kemarahannya. Tetapi Suto Sinting justru
tersenyum geli. Ia meneguk tuaknya bagai tak peduli kemarahan lawannya. Ia
kelihatan tak khawatir sedikit pun walau telah dikepung
oleh Gandra dan Rangku yang masing-masing
telah mencabut senjatanya berupa trisula dan kapak dua mata.
"Paman Gandra, hajar dia! Beri pelajaran supaya tahu adat!"
Gandra ingin maju menyerang, tapi tiba-
tiba punggungnya bagaikan ada yang
menendang dengan sangat kuat. Pukulan jarak jauh dilepaskan seseorang dari
tempat persembunyian. Pukulan itu membuat Gandra
terhentak dengan napas tertahan dan badan
melengkung ke depan. Ketika badan itu
kembali tegak, tahu-tahu darah mengalir dari mulut lelaki berkumis lebat itu.
"Paman Gandra! Kenapa kau"!" Raden Udaya kaget dan menjadi tegang.
"Keparat! Mau coba-coba melawan orang kadipaten kamu, hah"! bentak Rangku kepada
Suto Sinting. "Hei...! Bukan aku yang menyerangnya!"
kata Suto membela diri.
Sementara Gandra segera terkulai lemas
dan ditolong oleh Raden Udaya, Rangku
menyerang Suto Sinting dengan menebaskan
kapak bermata dua dalam satu lompatan
liarnya. "Heaaah ..!"
Clap...! Deess...!
Kilatan cahaya hijau terlihat melintas di
depan Suto dari arah kanan ke kiri. Cahaya hijau kecil itu tepat kena di dada
Rangku. Orang itu robek seketika. Mengerang dan
berkelojotan di tanah.
"Aaahhgg...! Uuhgg...!"
Wajah Rangku menjadi biru, matanya
mendelik, mulutnya keluarkan cairan berbusa warna merah darah. Hal itu membuat
Raden Udaya semakin panik. Putra adipati itu mulai ciut nyali melihat dua pengawalnya
roboh dalam waktu yang sangat singkat. Hanya satu jurus saja. Raden Udaya memandang
ngeri kepada Rangku yang masih kelojotan bagai
ingin temui ajalnya.
Suto Sinting sendiri merasa heran melihat
kejadian itu. Dalam hatinya ia bertanya.
"Siapa orang yang telah membantuku secara diam-diam?"
Pertanyaan itu segera terjawab dengan
munculnya seorang pemuda berpakaian biru
cerah. Pemuda itu muncul dari balik pohon
dengan senyum kemenangan.
"Wiratmoko"!" gumam Suto dengan
terperangah. Lalu ia pun sunggingkan senyum geli melihat kemunculan Wiratmoko.
Raden Udaya lebih terkejut lagi melihat
kemunculan pria berambut ikal agak panjang itu. Wajah berkumis tipis itu makin
tegang dan menjadi pucat pasi. Ia melangkah mundur beberapa tindak begitu
Wiratmoko memandang ke arahnya. Ia tampak sekali
ketakutan. "Bawa pergi kedua pengawalmu kalau kau tak ingin lebih parah dari mereka!" kata
Wiratmoko dengan tegas. Perintah itu
membuat Raden Udaya gemetar. Dengan
susah payah ia membawa kedua pengawalnya
yang masih bernyawa, menaikkan ke punggung kuda masing-masing, lalu segera
membawanya pergi dengan terburu-buru. Tawa keras dari Wiratmoko terdengar di
sela derap kaki kuda.
"Kenapa kau menolongku, Wiratmoko?"
"Karena kau pernah selamatkan nyawaku dari pukulan maut seseorang. Ini sebagai
ucapan terima kasihku padamu, Suto Sinting!"
jawab Wiratmoko dengan wajah berseri-seri
tampak ceria sekali. Ia menepuk-nepuk
pundak Suto Sinting bagai melepas rasa rindu karena lama tak jumpa.
"Tapi kenapa waktu itu kau menghilang?"
"Karena aku kebingungan mencarimu,"
jawab Wiratmoko. "Kau kucari ke mana-mana untuk mengucapkan terima kasihku
padamu, tapi baru sekarang kujumpa dirimu, Suto
Sinting. Benar-benar hebat. Kau pandai
menghilang rupanya."
"Justru kau yang pandai menghilang,
karena aku tak berhasil temukan dirimu
setelah itu," kata Suto dengan sikap
bersahabat sekali. "O, ya... kau kenal dengan Raden Udaya itu tadi?"
"Dia kenal diriku, karena aku pernah bantu ayahnya mengusir dua pengacau dari
pelataran kadipaten. Aku tak tahu nama
pemuda itu, tapi aku tahu dia putra seorang adipati. Ah, sudahlah! Lupakan
pemuda yang memang sombong dan sering berlagak jago
itu. Sekarang kau mau ke mana, Suto?"
"Mencari seseorang. Tokoh tua yang sangat akrab denganku. Namanya Ki Gendeng
Sekarat. Dia mencariku, pasti ada keperluan penting untuk urusan pribadi.
Kabarnya dia pergi ke arah barat dan aku mengejarnya, tapi terhalang oleh orang
kadipaten itu."
Wiratmoko manggut-manggut. "Mari
kudampingi. Sekalian aku ingin menanyakan
sesuatu kepadamu, Suto."
Sambil melangkah seiring, Suto bertanya,
"Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Tentang orang yang menyerangku dari
belakang itu. Apakah kau tahu siapa
orangnya?"
"Apakah kau tak kenali jenis pukulan
mautnya?" "Tidak," jawab Wiratmoko dengan sungguh-sungguh. "Sebab itulah aku ingin tahu,
siapa orangnya yang bisa menyerangku sedahsyat
itu. Kalau tak ada kau, aku pasti akan mati dalam beberapa kejap saja."
"Ya. Aku memang mengenalnya, karena
aku sempat jumpa dengannya dua kali setelah ia berhasil memukulmu itu. Orang
tersebut adalah tokoh tua, berjenggot abu-abu,
rambutnya panjang tak diikat, juga berwarna abu abu, mengenakan jubah putih
kusam, tongkat hitam meliuk-liuk seperti seekor ular."
"Hmmm...," Wiratmoko menggumam
sambil manggut-manggut.
"Kau pasti mengenali ciri-ciri itu!"
"Ya. Dia adakah si Raja Maut, tokoh tua dari Bukit Sembereni. Dia adalah musuh
bebuyutan guruku..."
"Dampu Sabang?" potong Suto.
Wiratmoko terkejut. "Dari mana kau tahu nama guruku?"
"Raja Maut yang mengatakannya."
"Oh...?" wajah Wiratmoko tampak
menyembunyikan kecemasan. "Apa saja yang ia katakan padamu, Suto?"
"Tidak banyak. Dia hanya bilang, bahwa kau murid tunggal Dampu Sabang. Dia
mengingatkan padaku agar jangan turut
campur dengan urusannya. Rupanya kau punya urusan pribadi dengan Raja Maut itu,
Wiratmoko."
"Memang. Urusan itu sangat pribadi
sehingga tak bisa kuceritakan padamu. Yang jelas, Raja Maut adalah tokoh tua
yang serakah dan ingin menguasai dunia persilatan.
Dia ingin menumbangkan beberapa tokoh tua
dengan ilmu yang baru diperolehnya."
"Ilmu apa?"
"Naga Pamungkas!"
Suto Sinting terkejut sampai hentikan
langkah, "Jadi, dia itulah orangnya yang bergelar Iblis Naga Pamungkas?"
"Betul!" jawab Wiratmoko dengan tegas.
"Dia ingin membunuh para tokoh tua dari golongan hitam ataupun putih. Salah satu
orang yang akan dibunuhnya adalah gurumu
sendiri; si Gila Tuak!"
Bagaikan petir menyambar di ujung hidung
Suto. Rasa kagetnya membuat napas tertarik kuat dan jantung bagaikan berhenti.
Darah Suto mendidih mendengar gurunya akan
dibunuh. Terbayang nasib Ki Lurah Pramadi
yang mati di tangan Iblis Naga Pamungkas.
Suto tak ingin gurunya mengalami nasib yang sekejam itu.
6 SEKALIPUN Suto Sinting mengetahui bahwa
Raja Maut pergi ke Pulau Blacan, tapi
Wiratmoko sarankan tak perlu mengejarnya ke sana. Menurut Wiratmoko lebih baik
cari dulu Ki Gendeng Sekarat, siapa tahu membawa
pesan lebih penting dari mengejar Raja Maut ke Pulau Blacan.
"Biarkan dia berhadapan dengan Nyai
Demang Ronggeng di Pulau Blacan. Dia pasti akan dikubur hidup-hidup oleh Nyai
Demang Ronggeng!" kata Wiratmoko yang membuat Suto Sinting sempat terperanjat.
"Jadi, Nyai Demang Ronggeng bersemayam di Pulau Blacan?"
"Ya. Dan aku tahu bahwa Nyai Demang
Ronggeng punya kesaktian yang mampu
membuat Raja Maut tumbang atau melarikan
diri terbirit-birit."
"Seberapa dekat kau mengenal Nyai
Demang Ronggeng?"
"Tidak terlalu dekat. Hanya mendengar ceritanya dari mulut ke mulut!"
"Pantas jika Iblis Naga Pamungkas ingin membunuh Ki Gendeng Sekarat, rupanya
Raja Maut yang bergelar Iblis Naga Pamungkas itu juga mengkincar kematian Nyai Demang
Ronggeng. Padahal Nyai Demang Ronggeng
dan Ki Gendeng Sekarat adalah saudara
seperguruan, sama-sama murid Eyang
Pramban Jati."
"O, jadi Ki Gendeng Sekarat juga akan dibunuh oleh Iblis Naga Pamungkas" Kau
tahu dari siapa, Suto?"
"Namanya Mega Dewi, anak gadis Ki Lurah Pramadi yang mati dibunuh oleh Iblis
Naga Pamungkas. Dialah yang memberitahukan
rencana Iblis Naga Pamungkas yang akan
membunuh Ki Gendeng Sekarat. Karenanya
aku harus segera menemukan Ki Gendeng
Sekarat dan memberitahukan ancaman itu,
sekaligus melindunginya dari keganasan Iblis Naga Pamungkas itu!"
Setelah melangkah sambil termenung
sesaat, tiba-tiba langkah Wiratmoko
terhenti. Tangannya menahan tangan Suto
dengan dahi berkerut. Suto memandang
dengan rasa ingin tahu.
"Jangan-jangan Raja Maut memburu
Mega Dewi" Sebab Mega Dewi adalah anak Ki
Lurah Pramadi, tentunya Raja Maut tak ingin ada bibit dendam yang kelak dapat
menjadi duri dalam hidupnya. Aku yakin Raja Maut
tidak pergi ke Pulau Blacan, tapi mencari
Mega Dewi untuk dibunuh, biar kelak tak ada yang menyimpan dendam kepadanya."


Pendekar Mabuk 025 Naga Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suto kian tajam mengerutkan dahinya.
"Perkiraanmu mendekati kebenaran," katanya dalam gumam. "Tapi selama aku bersama
Mega Dewi, aku tak pernah jumpa dengan
Raja Maut. Kupikir dia benar-benar pergi ke pulau Blacan."
"Dia pun mencari Mega Dewi, tapi tak
ditemuinya. Andai dia bertemu maka kau akan tahu permusuhannya yang ganas itu
kepada Mega Dewi. Hmmm... sekarang Mega Dewi ada
dimana?" "Di rumah Ki Empu Sakya. Kurasa dia aman bersama Ki Empu Sakya, sebab kabarnya
Ki Empu Sakya mempunyai keris pusaka yang
amat ampuh, yaitu Keris Setan Kobra."
"Celaka! Raja Maut pasti menuju ke sana!"
kata Wiratmoko dengan tegang.
"Dari mana kau yakin begitu?"
"Sebab Keris Setan Kobra adalah pusaka yang diincarnya. Dia takut dikalahkan
dengan keris pusaka itu. Aku pernah dengar
keampuhan keris pusaka tersebut. Wajar jika Raja Maut sebagai Iblis Naga
Pamungkas ingin menguasai keris pusaka itu supaya tak ada
saingannya."
"Tapi Ki Empu Sakya pasti mampu
mengatasi Raja Maut!"
"Belum tentu!" bantah Wiratmoko tegas-tegas. "Jika Ki Empu Sakya terlambat
menggunakan keris itu, ia akan mati di tangan Raja Maut. Tak urung gadis itu pun
akan dibunuhnya dan keris itu akan diperolehnya."
"Benar juga perhitunganmu," gumam Suto mulai bingung. "Apa yang harus kulakukan
jika begini" Mencari Ki Gendeng Sekarat atau
kembali ke rumah Ki Empu Sakya untuk
menyelamatkan Mega Dewi?"
"Begini saja," kata Wiratmoko. "Kau teruskan mencari Ki Gendeng Sekarat, aku
akan pergi ke rumah Ki Empu Sakya untuk
menyelamatkan Mega Dewi. Berikan arah
rumah Ki Empu Sakya, karena aku belum
pernah ke sana. Nanti setelah kau berhasil bertemu dengan Ki Gendeng Sekarat,
susullah kami. Aku dan Mega Dewi menunggu
kedatangan kalian di rumah Ki Empu Sakya."
"Apakah kau sanggup mengalahkan Raja
Maut?" "Tentunya jika dengan dibantu Ki Empu Sakya kami bisa kalahkan dia!"
"Baiklah. Jika begitu kita berpencar mulai sekarang!" Suto memutuskan langkah.
Ia meneruskan mencari Ki Gendeng Sekarat
sedangkan Wiratmoko segera pergi ke rumah
Ki Empu Sakya setelah mendapat keterangan
arah rumah empu sakti itu.
Pengejaran menyusul Ki Gendeng Sekarat
bukanlah sesuatu yang mulus. Suto kembali mengalami hambatan dengan munculnya
kelinci yang berlari-lari di tepian semak.
"Hei, itu seperti kelinci yang kuburu tempo hari"!" pikirnya. Suto sempat
tersenyum geli kemudian segera mengejar-
ngejar kelinci itu. Ciri yang tak dapat
dilupakan Pendekar Mabuk pada kelinci itu
adalah terletak di bagian ujung telinga kiri.
Kelinci itu mempunyai bulu hitam di telinga kirinya, berbentuk seperti gambar
hati. Bulu hitam kecil itu mempercantik kelinci tersebut, sehingga waktu itu
Suto Sinting tak tega untuk menyantap kelinci itu. Kali ini ia
menangkapnya karena gemas dan ingin
bercanda dengan kelinci cantik tersebut.
Anehnya, kelinci itu kini tidak terlalu liar dan mudah ditangkap. Dua kali
gagal, ketiga kalinya kelinci itu sudah jatuh dalam
genggaman kedua tangan Pendekar Mabuk.
"Nah, nah, nah... kau tertangkap sekarang!
Mau ke mana kau, Manis" Mau menggodaku
lagi" Oh, kau memang nakal! Hhmmm...!"
Suto Sinting menempelkan mulut kelinci ke
pipinya dengan gemas-gemas senang. Sambil
melangkah ia berbicara dan bercanda dengan kelinci itu. Perut kelinci
digelitiknya sehingga binatang itu menggerinjal beberapa kali
karena kegelian. Suto tertawa senang melihat kelinci itu kegelian.
Namun ketika Suto Sinting melewati bawah
pohon rindang dengan ilalang rimbun di sana-sini, tiba-tiba tubuhnya terpental
ke belakang bagai ditendang kelinci. Slaaap...! Cahaya terang menyala kuat
timbulkan tenaga
pendorong yang membuat Suto hampir jatuh
terjengkang ke belakang. Matanya pun segera terbelalak lebar melihat kelinci itu
berubah wujud menjadi wanita cantik berwajah bulat telur, hidung mancung, mata
sedikit lebar berkesan nakal menggoda. Rambutnya
disanggul sebagian, dadanya sekal dibungkus pakaian kuning cerah. Di rambutnya
yang disanggul terlilit pita kuning. Sebilah pedang tersandang di punggungnya.
Pendekar Mabuk terperangah kagum
melihat kecantikan wanita jelmaan kelinci
itu. Perempuan tersebut tertawa kecil
dengan sikap malu-malu. Rupanya ia masih
merasakan sisa geli karena gelitikan Suto tadi.
Suto sendiri menjadi tersipu karena ketika kelinci tadi diciumkan ke pipinya,
berarti gadis cantik itulah yang tadi mencium pipinya.
"Kkkau... kau jelmaan kelinci buruanku yang dulu pernah kutangkap itu?"
"Benar. Sekarang kau tahu wujudku,
karena... karena kau telah menyuruhku
mencium pipimu, Pemuda Tampan."
Suto semakin malu dan tersipu. Untuk
menutupi rasa malunya ia tertawa bagaikan
orang menggumam. Wajahnya dipalingkan ke
arah lain sesaat, lalu kembali lagi memandang Tandak Ayu ketika gadis itu
mendekatinya. "Apakah sekarang kau masih berani
menggelitik perutku?"
Suto Sinting semakin salah tingkah. Rasa
sesal dan malu bercampur menjadi satu,
menimbulkan rasa geli sendiri di dalam
hatinya. "Kalau kau masih ingin menggelitikku, silakan!" Tandak Ayu menantang dengan
semakin maju. Matanya memandang nakal,
penuh godaan yang mendebarkan hati setiap
lelaki. Senyumnya pun merupakan senyum
pemikat, yang hampir-hampir membuat Suto
Sinting nekat mendekati wajah itu.
"Maaf, aku tak tahu kalau kau kelinci jelmaan," kata Suto sambil melangkah ke
batang pohon. Pundak dan lengannya
disandarkan di batang pohon itu,tapi matanya masih tertuju kepada Tandak Ayu.
"Kalau tak salah dengar, namamu Suto
Sinting, bukan?"
"Ya. Tapi aku belum tahu namamu," kata Suto Sinting.
"Namaku...," Tandak Ayu berpikir sejenak.
"Namaku Suti Asmara. Panggil saja Suti."
Tandak Ayu memalsukan nama karena maksud
tertentu. "Suti" Oh, hampir sama dengan namaku?"
"Memang sepertinya kita memang
dijodohkan: Suto ketemu Suti, sungguh
pasangan yang serasi dan pasti akan abadi."
Agaknya Tandak Ayu tertarik kepada
ketampanan Suto Sinting. Tetapi Suto segara membatasi diri dan menjaga
perasaannya agar tidak mudah terpikat oleh rayuan Tandak Ayu.
Suto hanya tertawa kecil mendengar kata-
kata itu. Tandak Ayu melangkah sambil
memetik-metik daun ilalang, lama-lama
berada dalam jarak dekat dengan Pendekar
Mabuk. Jaraknya yang hanya dua langkah
membuat Suto sempat kian berdebar-debar
karena melihat jelas rona kecantikan Tandak Ayu dan belahan dadanya yang
menonjol bagaikan sengaja dipamerkan itu.
"Kelihatannya kau lelah dalam
perjalananmu, Suto. Apakah kau tak ingin
beristirahat di balik rimbunan semak sebelah sana" Tempatnya teduh dan sepi.
Rapat dari incaran mata manusia nakal." kata Tandak Ayu dengan suara merdu.
"Aku memang lelah, tapi bagiku cukup
beristirahat di bawah pohon ini saja."
"Di sini tak aman," bisik Tandak Ayu yang kian merapat. Kini ia berani menaruh
tangannya di pundak Suto Sinting. Senyum dan tatapan mata kian menggoda. Gemuruh
di dalam dada Suto berusaha ditekan habis-habisan, namun hal itu amat sulit
dilakukan oleh Suto.
"Aku bisa memijat bagian tubuhmu yang lelah, Suto."
"Aku tak sangka kalau kau ternyata tukang pijat."
"Iiih...! Menghina!" Tandak Ayu merajuk, manja, mencubit pipi Suto Sinting. Suto
semakin panas dingin. Tandak Ayu tak mau
berhenti membujuk, suaranya semakin
terdengar manja menggairahkan.
"Aku bukan seorang tukang pijat. Tapi aku bisa memijat. Dan hanya kepadamu hal
itu bisa kulakukan, Suto. Cukup lama aku
mengikutimu secara diam-diam, lalu aku ingin sekali memijat bagian tubuhmu yang
lelah. Tapi..., kalau kulakukan di sini bisa dilihat orang. Aku malu. Kita ke semak-
semak sana saja." "Apa bedanya memijat di sini dan di sana?"
pancing Suto ingin tahu.
"Di sana aku berani memijat bagian mana saja, sesuai dengan yang kau suka. Di
sini aku tak bisa menuruti permintaanmu," jawabnya dalam berbisik, mata
beningnya tak berkedip, bahkan sedikit sayu ketika memandangi wajah Suto Sinting
dari jarak dekat.
"Ayolah ke sana...," Tandak Ayu menarik-narik tangan Suto, tapi pemuda itu hanya
tersenyum-senyum tak mau beranjak dari
tempatnya. Tiba-tiba dari semak di belakang Tandak
Ayu melesat sekelebat bayangan yang
langsung menendang punggung wanita itu.
Wruuss...! Duuhg...!
"Aahg...! Tandak Ayu terpekik tertahan.
Tubuhnya terpental ke depan dan berguling-
guling di rerumputan.
Suto Sinting terkejut bukan kepalang
tanggung. Sampai-sampai ia segera pasang
kuda-kuda untuk menyerang. Tapi kuda-kuda
itu segera mengendur setelah Suto mengenal wajah penyerang tersebut.
"Kirana..."!"
"Maaf aku mengganggumu, karena aku tahu dia perempuan jalang!" kata Kirana
dengan wajah ketus, seakan menaruh cemburu
kepada peristiwa tadi.
Sebelum Suto Sinting bicara lagi, dari arah lain muncul Citradani yang melompat
dengan lincahnya, lalu mendaratkan kaki dengan
sigap. Kemunculan Citradani membuat Suto
makin terperangah heran.
"Citradani"! Kau ada di sini pula?"
"Ya, aku dan Kirana mencarimu. Ternyata kau justru berkasih-kasih dengan
perempuan jalang itu!"
"Aku tidak... tidak... hmmm.... Dia yang merayuku dan mengajakku ke semak-semak
sana. Katanya dia mau memijatku, sesuai
dengan bagian yang kuperintahkan untuk
dipijat." "Kenapa kau tak pergi ke semak-semak
sana?" ketus Kirana.
"Karena..., karena aku tak berani. Di sana banyak setan. Aku takut dikalahkan
oleh setan." "Perempuan itulah ratu setan!" geram Citradani sambil menuding Tandak Ayu yang
kini telah berdiri. Tulang punggungnya
bagaikan mau patah karena tendangan Kirana.
Mata Tandak Ayu memandang benci kepada
Kirana dan Citradani.
"Kalian memang cari penyakit!" geram Tandak Ayu.
"Memang benar. Mau apa kau"!" sentak Citradani sambil maju selangkah.
"Tunggu! Kalian salah paham. Jangan
bentrok karena kesalahpahaman!" cegah Pendekar Mabuk. Ketika mau maju, tangan
Kirana yang ada di sampingnya segera
menahan lengannya.
"Biarkan Citradani menanganinya. Dia
punya urusan pribadi dengan perempuan
jalang itu!" kata Kirana masih ketus seperti tadi.
"Tapi kalian salah paham. Aku belum
diapa-apakan oleh Suti!"
"Siapa yang bernama Suti" Dia..."!
Hmmm...!" Citradani mencibir sinis. "Namanya Tandak Ayu, bukan Suti!"
"Tandak Ayu..."!" Suto Sinting terkejut, ingat dengan cerita Angon Luwak tentang
pertarungan singkat Tandak Ayu dengan Ki
Gendeng Sekarat.
Suto segera berkata dengan sikap tak
bersahabat lagi, "Kalau begitu kau adalah murid Nyai Demang Ronggeng, yang
menyerang Ki Gendeng Sekarat dengan
berubah wujud menjadi harimau hitam"!"
Tandak Ayu melirik sinis pada Suto.
Hatinya menjadi dongkol karena rayuannya
tidak berhasil. Tapi perhatiannya kini tercurah kepada Citradani, karena
Citradani berseru dengan suara lantang.
"Kembalikan kalung pusaka Lintang Suci itu, atau kuhabisi riwayatmu sekarang
juga, Tandak Ayu!"
Mendengar kalung pusaka Lintang Suci
disebut-sebut, mata Suto segera
memperhatikan kalung berbandul kristal
bentuk bintang segi lima di leher Tandak Ayu.
Hatinya pun berkata, "O, benar. Kalau begitu dia memang Tandak Ayu. Dia punya
urusan pribadi dengan Citradani, terbukti kalung yang pernah diceritakan Citradani
kepadaku itu ada di leher Suti, eh.... Tandak Ayu!"
Terdengar pula Tandak Ayu perdengarkan
suaranya kepada Citradani, "Kalau kau bisa langkahi mayatku, ambillah kalung
ini!" "Mulut ember, sesumbar seenaknya saja.
Akan kubuktikan bahwa aku bisa melangkahi
mayatmu tujuh kali bolak-balik!"
"Lakukanlah! Aku sudah siap menerima
seranganmu. Citradani!"
"Heaaat...!" Citradani lompat ke depan, tubuhnya berputar cepat melayangkan


Pendekar Mabuk 025 Naga Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jago Kelana 6 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Banjir Darah Keraton Widung 2
^