Naga Pamungkas 3
Pendekar Mabuk 025 Naga Pamungkas Bagian 3
tendangan kipasnya. Wuuutt...! Tendangan itu dihindari oleh Tandak Ayu.
Kejab berikutnya Tandak Ayu berhasil
pukul punggung Citradani dengan sentakan
telapak tangannya. Duuuhg...!
"Uhhg...!" Citradani tersentak ke depan, darah muncrat dari mulutnya. Hal itu
membuat Suto Sinting sempat cemas. Kirana
sudah gatal, tak sabar ingin ikut terjun ke pertarungan itu. Tetapi ia menahan
diri mengingat pertarungan itu adalah urusan
pribadi meraka masing-masing.
Rupanya Citradani masih kuat walau telah
menyemburkan darah segar dari mulutnya.
Terbukti ia segera berbalik menghadap ke
arah lawannya dengan pedang dicabut dari
sarungnya. Sraaang...! Rupanya Tandak Ayu
tak mau kalah serang, ia pun mencabut
pedang dari punggungnya. Pedang itu lebih
panjang dari pedang milik Citradani. Tapi
Citradani tidak gentar sedikit pun.
"Hiaaaat...!"
"Heaaah...!"
Wuuut, wuuut...! Trang, trang, trang,
trang...! Mereka sama-sama lompat ke udara dan
beradu pedang di sana dengan gerakan sama
cepatnya. Satu pun tak ada yang terluka.
Tetapi Citradani sempat menggunakan kakinya untuk menendang dan tepat mengenai
bawah pundak kiri lawannya.
Duuhg...! Wuuuus...! Brruk...!
Tandak Ayu jatuh di rerumputan. Citradani
yang telah pijakan kakinya ke tanah tak mau beri kesempatan sedikit pun kepada
lawan. Ia gulingkan tubuhnya ke tanah, lalu pedangnya disabetkan ke arah perut
Tandak Ayu. Trang...! Pedang Tandak Ayu masih bisa
menangkisnya sambil ia berguling dan cepat bangkitkan diri. Asap dan bau hangus
tercium hidung Suto dan Kirana akibat perpaduan dua pedang berkekuatan tenaga
dalam itu. Kini keduanya sama-sama berdiri tegak
lagi. Masing-masing mata tertuju dengan
tajam. Napas Tandak Ayu tampak lebih
memburu karena tendangan kaki Citradani
tadi bagaikan menyumbat saluran pernapasan sehingga napasnya menjadi berat
dihela. Bagian dalam tubuh Tandak Ayu terasa nyeri semua, namun ditahannya kuat-kuat.
Bahkan Tandak Ayu sempat berkoar di hadapan
Citradani. "Kau tak akan berhasil menumbangkan
diriku, Citradani! Mengapa gadis buruk itu tidak kau suruh membantumu sekalian?"
Kirana merasa sebagai orang yang
dimaksud dan dikatakan gadis buruk. Hatinya semakin dibakar api kemarahan. Ia
menggeram dan mengepalkan kedua
tangannya. Ia bergerak maju, namun tertahan tangan Suto.
"Kita menjadi penonton yang baik saja!"
kata Suto Sinting yang membuat Kirana lepas desah kejengkelannya.
Tiba-tiba Citradani sentakkan tangan
kirinya walaupun tangan kanan sudah
memainkan jurus pedangnya. Sentakan tangan kiri keluarkan cahaya merah bagaikan
selarik sinar yang tertuju ke dada Tandak Ayu.
Slaaap...! Tandak Ayu sempat terkejut, tapi dengan cepat ia silangkan pedangnya
di depan dada. Sinar merah itu menghantam pedang
tersebut. Blaaar...! Traang...!
Pedang Tandak Ayu patah menjadi delapan
keping. Mata Tandak Ayu terperangah melihat pedangnya patah. Kini tinggal bagian
gagangnya saja yang digenggamnya. Maka
gagang pedang itu segera dibuang. Kedua
tangan segera dirapatkan. Melihat gelagat
begitu, Citradani tahu kalau Tandak Ayu mau merubah wujudnya. Maka serta-merta
Citradani melompat maju sambil tebaskan
pedang ke arah leher Tandak Ayu,
"Heaaah...!"
Craaas...! "Aaauuh..." Tandak Ayu memekik
kesakitan. Telapak tangan kirinya putus
ditebas pedang lawan dan jatuh ke tanah.
Pluk...! Dan darah pun mengucur deras dari pergelangan tangan. Hal itu membuat
mata Tandak Ayu berkunang-kunang. Citradani
mengetahui lawannya mulai lemah. Ia tak
mau buang buang waktu. Ia berbalik
memunggungi lawannya, namun pedangnya
segera ditekuk ke belakang dan dihujamkan dengan kuat. Jruuub...!
"Uuhg..."!" Tandak Ayu terpekik tertahan.
Mulutnya ternganga. Ulu hatinya ditembus
pedang Citradani tanpa ampun lagi. Ia
mengejang sesaat, lalu Citradani menarik
pedangnya hingga lepas dari tubuh lawan.
Brruk...! Tandak Ayu roboh dengan mulut
terbuka berusaha mencari napasnya. Matanya mulai terbeliak-beliak mendekati
ajal. Citradani dengan cepat melepaskan kalung
pusaka Lintang Suci dari leher Tandak Ayu.
Mulut perempuan yang menjelang ajal itu
bergerak-gerak, bersuara lirih tapi terdengar sampai di telinga Suto dan Kirana.
"Sam... paikan... salamku... pada....
Wiratmoko..." Suto berkerut dahi mendengar nama Wiratmoko, ia makin mendekati
Tandak Ayu bersama-sama Kirana. Saat itu Citradani perdengarkan suaranya,
"Apakah kalung ini pemberian Wiratmoko?"
"Bet...tul. Seb... sebagai...tanda cintanya padaku..."
"Memang keparat betul Wiratmoko itu!"
"Kkkau... akan... mati di tangan ... Iblis Naga... Pamungkas itu..."
"Siapa Iblis Naga Pamungkas itu"!"
"Wii...rat... mo... ko..."
"Wiratmoko"!" sentak Suto dengan amat terkejut, lalu wajah itu menjadi tegang
sekali, sedangkan wajah Tandak Ayu menjadi kendur, napasnya terhempas. Saat
itulah Tandak Ayu hembuskan napasnya yang
terakhir. Suto Sinting mundur dengan dahi
berkerut tajam.
"Wiratmoko..."!" gumamnya lagi dalam kebimbangan. "Benarkah dia yang berjuluk
Iblis Naga Pamungkas" Bukankah orang yang
berjuluk itu adalah si Raja Maut" Tapi... tapi menurut keterangan Mega Dewi,
ayahnya mati di tangan Iblis Naga Pamungkas ketika
lawannya itu mencabut pedang dan
menebaskannya di punggung Ki Lurah
Pramadi. Sedangkan Raja Maut tidak
mempunyai senjata pedang, tapi... tapi
Wiratmoko mempunyai pedang, dan gagang
pedangnya berbentuk kepala naga. Oh,
celaka! Aku telah tertipu olehnya! Benar kata Tandak Ayu, Wiratmoko itulah si
Iblis Naga Pamungkas. Kalau begitu Mega Dewi dan Ki
Empu Sakya dalam bahaya!"
Citradani tersenyum lega. Kalung pusaka
milik gurunya telah kembali diperolehnya. Itu berarti dia dapat diterima kembali
sebagai murid Embun Salju dan berhak tinggal di Kuil Elang Putih.
Kepada Kirana, Citradani berkata, "Kalung inilah pusaka yang kumaksud. Wiratmoko
adalah pemuda yang berhasil merayuku dan
mencuri kalung ini."
"Kalau begitu...," Kirana tak jadi berkata-kata karena ia melihat Suto segera
berlari meninggalkan tempat itu. Ia bahkan berteriak keras,
"Suto, tungguuu...!" Kirana pun segera menggunakan ilmu peringan tubuhnya,
berlari mengejar Suto Sinting yang mampu bergerak
seperti anak panah lepas dari busurnya.
Melihat Kirana berlari mengejar Suto Sinting, Citradani pun ikut-ikutan berlari
menyusul Kirana.
7 KALAU saja Pendekar Mabuk kala itu tidak
berbalik arah dan meneruskan langkahnya,
maka ia akan bertemu dengan Ki Gendeng
Sekarat di kaki bukit Cadas Putih. Itupun
kalau mata Suto Sinting cukup awas, sebab
siang itu Ki Gendeng Sekarat ternyata tertidur di atas sebuah pohon berdaun
lebat. Pohon itu mempunyai dahan yang berjajar rapat dan
enak dipakai untuk tidur. Orang yang doyan tidur itu tidak mau menyia-nyiakan
tempat seperti itu, tak heran jika dalam waktu cepat ia sudah tidur dengan dengkuran
yang amat lirih. Dengkuran itu tak terdengar dari jalanan
di bawah pohon tersebut. Ketika jalanan itu dipakai lewat tiga kuda, tak satu
pun dari ketiga penunggang kuda tersebut mendengar
dengkuran Ki Gendeng Sekarat. Bahkan tiga
orang itu sempat beristirahat di bawah pohon tersebut karena tak jauh dari sana
ada sendang kecil berair jernih. Mereka
menyempatkan cuci muka dan minum air
sendang itu. Tiga orang tersebut adalah para utusan
dari Gunung Sesat yang dikuasai oleh tokoh golongan hitam berjuluk Ratu Tanpa
Tapak. Tiga utusan tersebut berbadan kekar semua, tingginya sama, ilmunya pun sama
setingkat, keganasannya juga sama liarnya. Wajah
mereka tak ada yang menunjukkan wajah
damai. Bengis dan angker semuanya.
Nenggolo, walaupun tanpa kumis tebal
seperti Gaok Lodra, tapi punya wajah runcing, mata cekung berkesan dingin, gigi
tonggos bertaring runcing. Sedangkan si Sabit Guntur mempunyai kumis setebal Gaok Lodra,
matanya juga lebar ganas, tapi mempunyai
codet di pipi kanan yang menambah angker
wajahnya. Senjata mereka pun termasuk jenis senjata besar. Pedang, sabit, dan
rantai bola berduri, semua berukuran besar. Mereka
mempunyai usia yang hampir sama, sekitar
tiga puluh lima tahun, tapi tingkat
kecerdasannya berbeda. Gaok Lodra terhitung paling rendah kecerdasannya
dibanding kedua temannya itu.
Tak heran jika Gaok Lodra bicara dengan
suara keras ketika mengatakan,
"Yang penting kita sudah tahu letak rumah Empu Sakya. Tak perlu terburu-buru
sampai di sana. Keris Pusaka Setan Kobra pasti berhasil kita rebut dan kita
serahkan kepada sang
Ketua!" "Ssst...! Jaga mulutmu, jangan seperti ember sumur yang bisa bocor sewaktu-
waktu. Tugas ini tak boleh diketahui siapa pun!" kata Nenggolo sambil mendekati
kudanya. "Di sini tak ada manusia, kenapa takut bicara?"
"Apa 'dapurmu' itu bukan manusia"!" hardik Sabit Guntur. "Sekalipun tak ada
orang lain kecuali kita bertiga, tapi kita harus menjaga mulut supaya tidak
bicara sembarangan.
Apalagi membicarakan soal keris pusaka itu, lebih baik dengan berbisik saja!"
Nenggolo menyentakkan kepala Sabit
Guntur. "Kau sendiri bicaranya cukup keras!
Goblok! Memberi peringatan kepada teman
kok diri sendiri bicaranya keras-keras,"
Nenggolo bersungut-sungut. Kemudian ia
duduk di batu tepat bawah pohon.
"Menurutmu apakah ada orang lain yang mendahului kita merebut keris Pusaka Setan
Kobra itu?" tanya Gaok Lodra kepada Sabit Guntur.
"Sekalipun ada tak mungkin berhasil. Empu Sakya bukan orang berilmu rendah.
Hanya kita-kita orang saja yang bisa mengungguli ilmunya Empu Sakya!"
Mereka terus bicara, mengatur siasat dan
mencari kemungkinan-kemungkinan yang
perlu disiapkan. Tanpa mereka sadari,
seseorang yang tidur di atas pohon itu
mendengar semua percakapan tersebut.
Sekalipun dalam keadaan tertidur nyenyak,
namun telinga terpasang tajam, sehingga
suara bisikan pun bisa sampai di telinga Ki Gendeng Sekarat.
Beberapa saat setelah beristirahat, ketiga utusan dari Gunung Sesat itu
lanjutkan perjalanannya menuju desa Kukusan. Agaknya salah seorang dari mereka pernah
menyelidiki rumah Ki Empu Sakya, sehingga ia tahu persis keadaan di mana dan
tempat-tempat yang
harus dijaga agar Ki Empu Sakya tak bisa
lolos. Orang yang mengetahui keadaan di sana itu adalah Nenggolo, sehingga
secara tak langsung kedua temannya menganggap
Nenggolo sebagai ketua perjalanan.
Dengan mata masih lengket dan sukar
dibuka, Ki Gendeng Sekarat mulai turun dari pohon. Kakinya sempat terpeleset, ia
hampir jatuh terpelanting. Untung tangannya segera berpegang pada batang pohon,
tapi kepalanya terbentur batang tersebut. Duug...!
"Aduh...!" Ki Gendeng Sekarat akhirnya buka mata sambil meringis mengusap-usap
keningnya. Kalau tidak terbentur, mungkin ia masih dalam keadaan tertidur sambil
berjalan. Dengan mata terbuka, Ki Gendeng Sekarat
segera mengikuti tiga utusan tersebut.
Mulutnya berucap kata sendirian.
"Mereka pasti orang-orang Ratu Tanpa
Tapak! Untung mereka bicara di bawahku,
sehingga aku tahu tujuan mereka. Empu Sakya akan terdesak jika melawan mereka
bertiga. Ilmu orang-orang Gunung Sesat tak boleh
direndahkan. Aku harus menolong Empu Sakya untuk selamatkan Keris Setan Kobra.
Kalau sampai Keris Setan Kobra jatuh ke tangan
Ratu Tanpa Tapak, hancurlah seluruh isi dunia ini. Ratu keji tak berperasaan itu
akan melenyapkan semua penduduk bumi yang
tidak mau tunduk kepadanya. Tapi kalau bisa, sebelum mereka tiba di desa Kukusan
sudah kulumpuhkan lebih dulu. Yah, terpaksa
kerahkan tenaga untuk mengejar mereka!
Pendekar Mabuk 025 Naga Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sialnya mereka berkuda semua. Mau tak mau
aku harus berpacu kalahkan tenaga kuda!"
Ilmu peringan tubuh yang dimiliki Ki
Gendeng Sekarat bukan ilmu tingkat rendah.
Tak heran jika ia mampu bergerak secepat
badai menerabas semak belukar memotong
arah untuk bisa menghadang tiga utusan
Gunung Sesat itu. Gerakan larinya yang cepat itu membuat tubuhnya bagaikan
ditiup angin semilir dan rasa kantuknya datang lagi.
Matanya pun mulai mengecil dan kepala mulai terangguk-angguk, namun langkah
larinya tetap cepat tak berkurang sedikit pun.
Bruus...! Serumpun pohon pisang
diterjangnya. Wajahnya tersabut daun pisang.
Perih. Tapi justru membuat kantuknya jadi
hilang. Matanya pun terbuka kembali dengan terang. Ketika tiba di perbatasan
desa, rasa kantuk itu sama sekali lenyap dan membuat
tubuh Ki Gendeng Sekarat tampak tegar. Ia
menunggu tiga utusan yang menurut
perkiraannya tidak lama lagi akan datang
melalui jalan tersebut.
Beberapa saat kemudian, suara deru kuda
mulai terdengar di kejauhan. Makin lama
semakin jelas, pertanda derap kaki kuda itu makin mendekati tempat Ki Gendeng
Sekarat menunggu mereka. Kejap berikutnya,
bayangan hitam tampak datang dari arah
barat. Ki Gendeng Sekarat saat itu berada di balik pepohonan. Salah satu pohon
randu dihantam dengan pangkal telapak tangannya, Duuugh...!
Wwrrr...! Pohon itu berguncang, makin
lama makin miring dan akhirnya tumbang
dalam keadaan akarnya tercabut, mencuat ke atas. Bruuuss....!
"Sial!" maki Ki Gendeng Sekarat buru-buru mengucal matanya. Tanah akar memercik
dan membuat mata Ki Gendeng Sekarat kelilipan.
Ia sedikit kebingungan menghilangkan tanah yang masuk matanya, sedangkan tiga
utusan itu sudah semakin dekat. Mau tak mau sambil mengucal mata, Ki Gendeng Sekarat
lompatkan badan dan lepaskan tendangan
bertenaga dalam cukup tinggi ke arah batang pohon jati.
Wuuut...! Duuugh...!
Kraaaaakk...! Bruuuusg...! Pohon itu pun
tumbang melintang jalan seperti pohon yang tadi. Keadaan tersebut membuat tiga
penunggang kuda segera hentikan
perjalanannya. Jalanan tertutup, kuda tak
dapat lewat begitu saja karena dahan pohon mencuat ke sana-sini tak beraturan.
"Ada seseorang yang berniat menghadang perjalanan kita, Gaok Lodra!" kata
Nenggolo dengan mata memandang ke arah sekeliling.
Kedua rekannya itu pun memandang
sekeliling. Sabit Guntur perdengarkan
suaranya mirip orang menggerutu.
"Cari penyakit betul orang itu. Agaknya dia mengetahui rencana kedatangan kita!"
"Kalian kalau bicara memang mirip mulut kalkun!" gerutu Nenggolo ditujukan
kepada kedua rekannya. "Coba periksa di semak-semak sebelah kiri itu!"
Gaok Lodra memacu kudanya untuk
menerabas semak-semak sebelah kiri, sebab
pohon yang roboh adalah pohon pada jajaran sebetah kiri mereka. Gaok Lodra
menerabas masuk semakin dalam, memeriksa keadaan di
sekitar pohon yang roboh itu. Sementara itu, Nenggolo dan Sabit Guntur menunggu
dengan waspada. Ki Gendeng Sekarat bersembunyi di atas
salah satu pohon yang masih utuh. Ketika
Gaok Lodra melintasi bagian bawah pohon, Ki Gendeng Sekarat segera cabut kipas
putihnya lalu lompat ke bawah bagaikan kelelawar
terbang. Wuuut...! Craaass...!
Ki Gendeng Sekarat daratkan kakinya ke
tanah tanpa bunyi gaduh. Hal itu membuat
Gaok Lodra sedikit terkejut. Matanya segera memandang tajam kepada Ki Gendeng
Sekarat. Orang yang dipandang hanya
tersenyum tipis dengan kipas masih tertutup dan ada di tangan kanannya.
"Manusia atau jin kau ini?" geram Gaok Lodra tetap tenang di atas kuda.
"Apa saja anggapanmu tak jadi masalah bagiku," kata Ki Gendeng Sekarat, "Aku
hanya inginkan kau dan kedua rekanmu itu kembali ke Gunung Sesat dan jangan
coba-coba merampas Keris Setan Kobra dari tangan Empu Sakya!"
"Hmm...!" Gaok Lodra tersenyum sinis.
"Kau belum tahu kekuatan orang-orang
Gunung Sesat rupanya. Perlu kau catat dalam ingatanmu, orang-orang Gunung Sesat
tak akan mundur sebelum tugasnya berhasil. Tak satu pun ada yang mampu menahan niat
kami, tak satu pun ada yang mampu menyentuh
tubuh kami. Jadi kusarankan, pergilah dan
jangan halangi kami!"
"Betulkah tak satu pun ada yang mampu menyentuh tubuh kalian?"
"Coba saja kalau kau ingin bukti!" tantang Gaok Lodra.
"Sudah kucoba, dan ternyata aku mampu memotong telingamu."
Gaok Lodra terkesiap. Ia segera memegang
daun telinga kirinya yang mulai terasa dingin itu. Dan ternyata daun telinga itu
telah hilang dari tempatnya.
"Hahhh..."!" Gaok Lodra terkejut sekali, matanya terbelalak melihat tangannya
berlumur darah. Rasa sakit mulai terasa dan ia mulai meringis menahan rasa perih
itu. Darah pun ternyata sudah sejak tadi meleleh hingga membasahi pundak dan
lengan kirinya.
"Telingaku .."! Oh..."! Telingaku"!" suara Gaok Lodra gemetar.
Ia baru menyadari bahwa daun telinganya
telah terpotong dan jatuh di bawah kaki kuda.
Hal itu dilakukan Ki Gendeng Sekarat pada
saat ia meluncur turun dari atas pohon dan mengibaskan kipasnya dengan sangat
cepat, sehingga pemotongan itu tidak terasa bagi si korban.
Kemarahannya yang meluap membuat
Gaok Lodra tak mampu lagi serukan suara, ia hanya menggeram dengan wajah merah
dan gemetar. "Bangsat kau...!"
"Eh, jangan memakiku. Tak sopan itu!"
Gaok Lodra segera cabut rantai bola
berduri dari tempatnya di pelana kuda.
"Eh, jangan mau menyerangku, kau bisa kehilangan nyawa. Bukan telinga saja yang
hilang!" "Gggrrr...!" Gaok Lodra benar-benar merasa dipermainkan nafsu amarahnya.
Sementara itu, Nenggolo dan Sabit Guntur
mulai tak sabar menunggu hasil pemeriksaan Gaok Lodra. Nenggolo pun berseru
keras, "Apa yang kau temukan di sana, Gaok
Lodra"!!"
"Aahg...!" terdengar suara pekik pendek tertahan dari dalam kerimbunan semak
itu. Suara pekik tertahan yang pendek itu
membuat Sabit Guntur menggerutu sambil
bersungut-sungut.
"Kurang ajar! Disuruh memeriksa keadaan malah buang hajat dulu!"
"Memang menjengkelkan pergi bersama
Gaok Lodra. Sebentar-sebentar cari tempat
buat buang hajat." Nenggolo menimpali.
Tapi beberapa saat kemudian terdengar
langkah kuda dan ringkikan yang pelan. Kaki kuda menerabas semak ilalang.
Nenggolo dan Sabit Guntur sudah pasang wajah geram dan
cemberut. Nenggolo sempat berkata kepada
Sabit Guntur, "Jangan terlalu dekat dengannya kalau dia habis begitu! Pasti tak pernah bersih
dan menjengkelkan!"
Nenggolo palingkan wajah, buang muka
ketika moncong kuda mulai terlihat. Tapi
Sabit Guntur memperhatikan kemunculan
kuda dengan dahi berkerut. Matanya menjadi terbelalak ketika sosok kuda
tunggangan Gaok Lodra terlihat jelas, dan tubuh Gaok Lodra terkulai di atas
punggung kuda. Keadaannya masih seperti menunggang kuda, tapi
tubuhnya membungkuk ke depan sementara
wajah tertunduk.
"Gaok Lodra!" panggil Sabit Guntur. Tapi tak ada jawaban. Gaok Lodra tetap
terbungkuk dan tertunduk lemas. Seruan itu membuat Nenggolo segera palingkan
wajah dan pandangi Gaok Lodra. Sang kuda
mendekat dengan sendirinya. Nenggolo
menghampiri, lalu menegakkan tubuh Gaok
Lodra. "Bangsat!" geramnya penuh amarah. Leher Gaok Lodra telah robek dan orang itu
tidak bernyawa lagi. Kedua temannya menjadi
panik, tegang, senjata mulai dicabut karena sadar ada musuh di balik semak
belukar itu. "Serang dia!" perintah Nenggolo sambil memacu kudanya untuk menerabas masuk ke
semak ilalang yang rimbun itu.
Wuuut...! Wes, wes, jleeg...!
Ki Gendeng Sekarat justru bersalto di
udara dua kali dan tiba di tempat kuda Gaok Lodra berdiri. Sedangkan kedua
musuhnya masuk ke dalam mencarinya sambil
meluncurkan kata makian yang kasar dan
kotor, sulit ditirukan.
Ki Gendeng Sekarat segera sentakkan
kedua tangannya ke depan, dan mayat Gaok
Lodra pun terlempar dengan sendirinya ke
arah semak-semak tempat kedua temannya
mencari musuh itu. Wuuut...! Buuhg...!
"Aoow...!" pekik Sabit Guntur. Rupanya ia kejatuhan mayat Gaok Lodra. Ki Gendeng
Sekarat tertawa tanpa suara, tapi bersikap menunggu kemunculan lawannya dengan
terlebih dulu mengusir kuda bekas tunggangan Gaok Lodra.
"Maling busuk! Monyet kembung!" rutuk Sabit Guntur. "Nenggolo, orang itu ada di
jalanan!" Kedua kuda muncul bersama
penunggangnya yang sudah semakin merah
wajahnya. Melihat Ki Gendeng Sekarat berdiri dengan berkipas-kipas santai,
Nenggolo segera melompat dari punggung kuda bersama
pedang besarnya yang mampu untuk
memotong tubuh lawan dengan sekali tebas.
"Hiaaat...!"
Wuuung...! Suara pedang besar
mendengung ketika menebas tempat kosong,
karena Ki Gendeng Sekarat ternyata sudah ada di sisi lain yang berlawanan arah
dengan serangan Nenggolo. Keadaannya yang ada di
belakang kedua tunggangan Sabit Guntur
membuat Ki Gendeng Sekarat mencocokkan
ujung kipasnya ke pantat kuda. Tentu saja
ujung kapas itu dialiri tenaga dalam tinggi.
Cruk...! "Hieeeee...!" Kuda meringkik sambil terlonjak mengamuk. Sabit Guntur terlempar
ke depan, jatuh ke tanah dalam keadaan
telentang. Kaki kuda yang mengamuk tanpa
permisi menginjak-nginjak dada dan perut
Sabit Guntur, lalu lari tunggang langgang
karena merasa sakit yang amat berat akibat ditusuk pakai ujung kipas.
"Uuhhg...!" Sabit Guntur mendelik susah bernapas karena dadanya terasa remuk
diinjak-injak kuda yang mengamuk. Ia
berusaha bangkit pelan-pelan dan berusaha
mencari kesempatan untuk menghirup udara.
Mulutnya tercengap-cengap dengan mata
sesekali terbeliak.
"Biadab! Siapa kau sebenarnya, hah"!"
bentak Nenggolo kepada Ki Gendeng Sekarat.
Pedangnya siap terangkat di atas kepala
dengan kuda-kuda siap serang.
"Sampaikan salamku kepada Ratu Tanpa
Tapak. Katakan kepadanya, Gendeng Sekarat
tidak izinkan dia memiliki pusakanya Empu
Sakya!" "Persetan dengan ucapanmu! Heaaah...!"
Nenggolo menyerang maju dengan pedang
dikibaskan ke berbagai arah secara cepat.
Bunyi gaung dari logam besar itu sempat
membuat daun-daun ilalang terbabat putus
dengan sendirinya. Tentu saja gerakan tebas pedang itu disertai tenaga dalam
tinggi yang memancar ke sana-sini. Tetapi Ki Gendeng Sekarat tetap berdiri tegak
dan berkipas-kipas dengan santai. Rupanya angin kibasan kipas itu menolak
datangnya kekuatan tenaga
dalam dari kibasan pedang besar. Sekalipun kipas itu hanya bergerak pelan, namun
memancarkan angin penolak tenaga luar yang cukup kuat. Nenggolo beberapa kali
tersentak mundur ketika mau dekati Ki Gendeng
Sekarat. Manakala kibasan kipas itu berhenti, Nenggolo berhasil mendekat dan
tebaskan pedang memotong perut Ki Gendeng Sekarat.
Wuuut...! Slaap...!
Ki Gendeng Sekarat hentakkan kedua kaki
dan tubuhnya terangkat tinggi, sehingga
pedang besar itu tak berhasil kenai tubuhnya.
Tapi kaki Ki Gendeng Sekarat cepat bergerak maju menendang tepat di dahi
Nenggolo. Praak...! Ki Gendeng Sekarat bagaikan menendang
sebongkah keramik. Tendangan cukup kuat
dan keras membuat darah menyembur dari
mulut, hidung, dan telinga Nenggolo. Orang itu pun terpelanting memutar sambil
tetap memegangi pedangnya. Pada waktu itu, Sabit Guntur baru saja berdiri dan siap
menggunakan sabitnya.
Tapi gerakan putar Nenggolo mengenai
dirinya. Pedang besar menebas tangan kiri
Sabit Guntur tanpa disengaja. Craas...!
"Aoooww...!" Sabit Guntur memekik keras-keras karena tangan itu segera putus
tepat pada bagian siku. Tangan yang buntung
membuat Sabit Guntur semakin liar. Ia
menebaskan sabitnya dengan gerakan cepat.
Claap...! Sinar biru petir menyambar ke
arah Ki Gendeng Sekarat. Namun oleh Ki
Pendekar Mabuk 025 Naga Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gendeng Sekarat sinar biru itu dikibaskan
memakai kipasnya. Sinar itu membalik arah
dan tepat mengenai tengkuk kepala Nenggolo.
Blaaar...! Tak ayal lagi leher Nenggolo pun putus
terpotong oleh kekuatan sinar biru petir itu.
Sabit Guntur mendelik melihat sinar birunya justru memotong leher teman sendiri.
"Keparat...! Heaaaat...! Sabit Guntur mengibaskan sabitnya beberapa kali,
sehingga sinar biru petir terlepas dari ujung sabit, jumlahnya lebih dari lima
sinar. Semuanya
tertuju ke arah Ki Gendeng Sekarat.
Dengan menggunakan kipasnya. Ki
Gendeng Sekarat membuang sinar-sinar ke
arahnya, dan sinar-sinar itu membentur benda apa saja yang dicapainya. Bunyi
ledakan dahsyat terjadi berkali-kali, merobohkan dua batang pohon dan yang terakhir
membuat Ki Gendeng Sekarat terpental ke belakang,
karena salah satu sinar biru petir sengaja ditangkis oleh kipasnya. Akibatnya
daya ledak itu menghentak melemparkan Ki Gendeng
Sekarat ke belakang. Bruuk!
"Uhg...! Sial! Pinggangku bisa bengkak atau patah kalau begini"!" gerutu Ki
Gendeng Sekarat sambil mencoba bangkit kembali. Tapi pada saat itu, Sabit Guntur
yang merasa tak akan mampu melawan Ki Gendeng Sekarat
segera lompat ke kuda bekas tunggangan
Nenggolo. Dengan menggunakan satu tangan
ia memacu kudanya, melarikan diri,
meninggalkan tempat tersebut. Ki Gendeng
Sekarat sengaja tak mau mengejarnya, karena tulang punggungnya terasa ngilu
sekali. Bertepatan dengan hilangnya Sabit Guntur,
muncul sesosok bayangan yang berkelebat ke arah Ki Gendeng Sekarat. Dengan cepat
Ki Gendeng Sekarat siap-siap kibaskan kipasnya untuk merobek kulit tubuh bayangan
yang baru datang. Namun gerakan itu segera
tertahan karena Ki Gendeng Sekarat segera
mengetahui bahwa bayangan yang datang ke
arahnya itu adalah sosok tubuh Pendekar
Mabuk. "Ki Gendeng Sekarat..."!"
"Ah, Gusti Manggala Yudha... Kenapa baru sekarang munculnya?" gerutu Ki Gendeng
Sekarat. Ia bersungut-sungut sambil mencari tempat untuk duduk. Sebatang kayu
yang tadi ditumbangkan berhasil diduduki, napasnya
terlepas lega. Sementara itu Suto Sinting
memandangi mayat Nenggolo dan potongan
tangan Sabit Guntur.
"Apa yang terjadi, Ki?"
"Mereka ingin mendatangi Empu Sakya
untuk merebut Keris Setan Kobra. Mereka
orang-orang utusan dari Gunung Sesat, anak buah Ratu Tanpa Tapak!"
"Ratu Tanpa Tapak"!" gumam Suto Sinting dengan dahi kian berkerut.
"Kau sendiri bagaimana bisa sampai sini"
Kulihat arahmu dari desa Kukusan!"
"Benar, Ki. Aku dari rumah Empu Sakya untuk menyelamatkan Empu Sakya dan Mega
Dewi, anak Ki Lurah Pramadi."
"O, ya... aku kenal orang itu!"
"Mereka terancam maut di tangan iblis Naga Pamungkas. Aku terkecoh..."
"Tunggu! Maksudmu Iblis Naga Pamungkas itu siapa" Wiratmoko"!"
"Benar. Murid Dampu Sabang, Ki. Dia juga mengancam nyawamu. Kaulah sasaran
berikutnya."
"Dampu Sabang!" geram Ki Gendeng Sekarat sambil matanya menyipit, menatap
arah jauh, bagaikan mengenang peristiwa
lama. "Tapi ketika aku tiba di rumah Empu
Sakya, mereka sudah tak ada, Ki!"
"Maksudmu?"
"Empu Sakya dan Mega Dewi tidak ada di tempat. Keadaan rumahnya sudah porak-
poranda. Aku tak tahu pasti apakah mereka
dibawa lari oleh Iblis Naga Pamungkas, atau melarikan diri dan sekarang masih
dalam pengejaran murid Dampu Sabang itu"!"
8 RUPANYA Ki Empu Sakya sudah mengetahui
akan kedatangan Wiratmoko yang membawa
Pusaka Pedang Naga Pamungkas. Sebelum
musibah itu datang, firasat batin Ki Empu Sakya untuk memberi isyarat. Maka ia
pun segera membawa pergi Mega Dewi. Tentu saja gadis itu merasa bingung ketika tahu-
tahu disuruh berkemas dan diajak pergi.
"Kita mau ke mana, Ki"!"
"Ke mana saja, yang penting selamat untuk dirimu," jawab Ki Empu Sakya.
"Selamat" Apakah jiwaku terancam
bahaya?" "Bukan jiwamu saja, tapi jiwaku juga
dalam bahaya."
"Aku tak mengerti maksud Ki Empu Sakya."
Setibanya di lereng bukit, Ki Empu Sakya
baru menjelaskan maksudnya kepada Mega
Dewi. "Iblis Naga Pamungkas sedang menuju ke rumahku. Pasti ia menghendaki nyawamu dan
pusakaku."
Mega Dewipun segera terkejut mendengar
penjelasan itu. Ia mulai gemetar karena
hatinya diguncang rasa takut namun dibakar rasa dendam pula. Akhirnya Mega Dewi
punya gagasan untuk melawan Iblis Naga Pamungkas itu.
"Kalau kau mengizinkan, pinjamkanlah
pusakamu itu, Ki. Akan kupakai untuk
membalas kematian ayahku kepada Iblis Naga Pamungkas."
Ki Empu Sakya gelengkan kepala, "Jangan membiasakan dendam bersarang dalam
hatimu, Anak Manis. Kematian adalah
perjalanan akhir dari suatu kehidupan di alam fana, dan perjalanan awal dari
suatu kehidupan di alam baka. Tak perlu kau buru dengan dendam. Itu hanya akan merusak
ketenangan jiwamu."
"Tapi... orang itu memang layak
dimusnahkan, Ki. Jika tidak ia akan memakan korban lebih banyak lagi."
"Menurutku itu bukan tugasmu, Mega Dewi.
Sekalipun kau kupinjami keris pusakaku, tapi jika ketinggian ilmumu tidak
seimbang, sama saja kau akan menemui ajal di tangannya.
Kekuatan keris itu tidak bisa dipakai untuk menentukan kemenangan. Tergantung
ketinggian ilmu kanuragan kita. Kecuali jika lawanmu tidak akan menyerang, maka
kau tetap akan menang dengan menggunakan keris pusakaku itu."
"Tapi...," Mega Dewi berkerut dahi memperhatikan Ki Empu Sakya, "Ku lihat kau
tidak membawa benda apa-apa, Ki. Apakah
keris pusaka itu ditinggalkan di rumahmu itu?"
Ki Empu Sakya tersenyum tipis, "Biar siapa pun menggali rumahku tidak akan
menemukan Keris Pusaka Setan Kobra. Keris itu kusimpan di suatu tempat yang tak mudah
diketahui oleh siapa pun, kecuali diriku sendiri."
"Tapi..."
Kata-kata itu tak jadi dilanjutkan karena
Ki Empu Sakya segera menarik tangan Mega
Dewi dan menutup mulut gadis itu dengan
tangan. Mereka masuk ke semak-semak yang
rimbun, karena Ki Empu Sakya mendengar
suara langkah kaki orang mendekat ke
arahnya juga detak jantung orang lain yang ada di kejauhan sana.
"Apakah ia datang kemari, Ki?" bisik Mega Dewi.
"Entahlah. Yang jelas ada seseorang yang bergerak kemari. Sebentar lagi kita
akan tahu siapa orangnya."
Anehnya telinga Mega Dewi tidak
mendengar suara langkah kaki orang. Yang
didengar hanya hembusan angin lereng bukit.
Bahkan mereka sempat mendekam di semak-
semak itu cukup lama. Kaki Mega Dewi sampai terasa pegal.
"Orangnya masih jauh, tapi telinga Ki Empu Sakya sudah mendengar langkahnya.
Sungguh tinggi ilmu pendengaran Ki Empu Sakya ini."
Mulanya Mega Dewi sempat sangsi,
"Jangan-jangan tak ada yang datang kemari"!
Sudah sembunyi lama sekali tapi tak ada yang datang, uuh...! Menyebalkan sekali.
Pasti Ki Empu Sakya salah dengar atau mungkin salah duga."
Tapi beberapa saat setelah membatin kata
begitu, gadis berkepang dua mendengar
langkah kaki menginjak rerumputan. Langkah itu makin mendekat ke arahnya. Mega
Dewi menjadi yakin, memang ada yang mendekati
tempat mereka. Sesosok tubuh kecil muncul dari balik
tikungan semak. Mega Dewi dan Ki Empu
Sakya sama-sama hempaskan napas lega, lalu keduanya berdiri dan keluar dari
persembunyian. "Ya, ampuun...! Kenapa kau ikut kemari.
Angon Luwak"!" tegur Ki Empu Sakya kepada bocah penggembala kambing itu.
"Aku hanya ingin beri tahukan padamu, Ki... ada orang yang mengobrak-abrik
rumahmu. Orangnya membawa pedang
bergagang kepala naga dari logam putih."
tutur Angon Luwak penuh kesetiaan.
"Iblis Naga Pamungkas!" gumam Mega Dewi percaya dengan firasat yang dimiliki Ki
Empu Sakya. Ia semakin kagum terhadap ketinggian ilmu orang tua bertubuh kecil
itu. "Sekarang apa yang harus kita lakukan, Ki?"
"Ke goa! Aku punya goa tempatku bertapa dulu. Mudah-mudahan belum tertutup
reruntuhan batu."
"Aku ikut, ya Ki?" usul Angon Luwak.
"Apakah kau tak akan dicari oleh
orangtuamu?"
"Orangtuaku yang suruh aku
memberitahukan padamu tentang kedatangan
orang itu, Ki," jawab Angon Luwak dengan lugu.
"Baiklah kalau kau memaksa mau ikut. Tapi tempatnya tinggi. Kalau kau lelah
mendaki tak ada orang yang sanggup menggendongmu."
"Aku akan berjalan sendiri. Ki," kata Angon Luwak dengan penuh semangat. Bocah
itu sangat kagum dengan Ki Empu Sakya, juga
menyukai petualangan di rimba persilatan.
Cerita-cerita tentang tokoh golongan putih yang pernah dan sering dituturkan
oleh Ki Empu Sakya memacu jiwa bocah itu untuk
masuk ke dunia persilatan golongan putih.
Karenanya, semangat untuk mengikuti Ki
Empu Sakya cukup tinggi. Orang tuanya
sendiri tak mampu mencegah kehendaknya.
Pada saat Ki Empu Sakya membawa Mega
Dewi ke goa bekas tempat pertapaannya dulu, Wiratmoko sedang sibuk membongkar
seluruh isi rumah Ki Empu Sakya. Ia lakukan dengan kasar, sehingga rumah bambu itu
sempat miring ke kiri karena diguncang kekasaran
Wiratmoko. Hatinya jengkel sekali
menemukan rumah itu telah kosong, bahkan
keris pusaka yang dicarinya pun tidak ada.
Saat ia keluar untuk mencari jejak
kepergian Ki Empu Sakya, tiba-tiba muncul
seorang berpakaian serba merah. Rambutnya
panjang berwarna merah, juga jenggot dan
kumisnya yang berwarna merah. Orang
bertubuh tinggi, besar dan bermata lebar.
Wajah angkernya tampak menyeramkan.
Kulitnya sedikit coklat kemerah-merahan.
"Oh, rupanya kau datang untuk maksud
yang sama, Dewa Api?" sapa Wiratmoko
kepada orang yang berusia sekitar empat
puluh tahun itu.
"Aku hanya ingin bertemu dengan Empu
Sakya. Bukan ingin bertemu denganmu,
Wiratmoko!"
"Empu Sakya sudah pergi, lari terbirit-birit sebelum aku datang!" kata Wiratmoko
dengan sikap sombongnya.
"Apakah dia lari membawa pusakanya?"
"Tidak. Pusakanya berhasil kudapatkan dan kini baru saja selesai kusembunyikan,"
jawab Wiratmoko dengan harapan Dewi Api tidak
akan memburu pusaka itu lagi jika sudah
ditemukan oleh dirinya. Tapi rupanya Dewa
Api punya rencana tersendiri. Tokoh yang
dikenal di rimba persilatan dengan keganasan napas apinya itu dulu pernah
dihajar habis oleh Dampu Sabang, guru Wiratmoko, tetapi
sebelum ajalnya tiba ia sudah lebih dulu
melarikan diri. Dewa Api adalah salah satu golongan hitam yang punya musuh
banyak dan ingin membalas dendam kepada musuh-musuhnya dengan menggunakan keris
pusakanya Empu Sakya. Karenanya, dengan
penuh tekad Dewa Api memaksa Wiratmoko
untuk serahkan Keris Pusaka Setan Kobra
kepadanya. "Apa pun ancamanmu aku tidak akan
serahkan keris itu, Dewa Api!"
"Kalau begitu kau harus lumer di ujung napasku, Wiratmoko!"
"Akan kubalik kenyataannya nanti!" kata Wiratmoko dengan tenang. Dewa Api
agaknya belum mengetahui bahwa Wiratmoko telah
berhasil menemukan Pedang Naga Pamungkas
yang konon telah terkubur ratusan tahun,
milik seorang raja penguasa alam gaib.
Kedua tangan Dewa Api yang berkuku
panjang itu segera membentang terbuka.
Kedua kakinya pun merendah, matanya
memandang tajam. Tapi Wiratmoko tidak
punya rasa gentar sedikit pun. Ia tak mau
membuang - buang waktu, maka dicabutlah
Pedang Naga Pamungkas dari sarungnya.
Sraang...! Dewa Api sempat terkesip melihat pedang
itu kepulkan asap putih yang tiada habisnya.
Ia menaruh curiga, tapi kecurigaan itu segera disingkirkan dengan bantahan, "Tak
mungkin anak ingusan itu memiliki Pedang Naga
Pamungkas. Pasti pedang itu tipuan belaka."
Pendekar Mabuk 025 Naga Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Majulah, Dewa Api...!" geram Wiratmoko memancing kemarahan Dewa Api.
"Heaaahh...! Dewa Api sentakkan napas dari mulutnya. Napas itu berubah menjadi
lidah api yang menjilat dalam kobaran tinggi.
Woosss...! Wiratmoko cepat sentakkan kaki dan
bersalto di udara melintasi atas kepala Dewa Api. Dengan cepat Dewa Api lepaskan
pukulan tenaga dalamnya melalui kelima jari tangan kanannya. Ujung kelima jari
keluarkan lima larik sinar merah api yang bertujuan
membungkus tubuh Wiratmoko. Tetapi
Wiratmoko lebih lincah lagi, ia berkelit
dengan menggulingkan tubuh ke tanah,
sehingga lima larik sinar itu mengenai
sebatang pohon dan pohon itu terbakar
dengen cepat. Nyaris tak terlihat bentuk
daunnya lagi kecuali kobaran api yang
mengerikan. Pada saat Wiratmoko terguling ke tanah,
kaki Dewa Api berusaha menginjaknya.
Buuhg...! Injakan itu meleset, membuat tanah yang terkena injakan kaki menjadi
hangus dan berasap. Warna tanah menjadi hitam arang.
Wiratmoko berkelebat bangkit dalam
liukan tubuh bagaikan menari berputar. Tepat ketika ia tegak, tubuhnya merendah
dan pedangnya menebas dengan cepat dari kanan
ke kiri. Wuuut...! Crass...!
"Ohhg...!" Dewa Api terbelalak merasakan perutnya robek terkena pedang lawan.
Luka itu tidak timbulkan darah. Tapi asap makin lama makin tebal. Asap putih
kekuning-kuningan itu bagai keluar dari luka panjang di perut. Semakin lama asap
itu semakin banyak, semakin membungkus tubuh Dewa Api. Walau
ia melawan dengan semburan apinya, tapi hal itu tidak menolong. Asap kian rapat
membungkus tubuh Dewa Api. Suara Dewa Api
segera hilang. Napas tak terdengar lagi. Ia roboh tanpa suara dan asap masih
membungkusnya. Beberapa penduduk desa
memperhatikan pertarungan itu dari jarak
jauh. Mereka menjadi sangat terkejut ketika asap itu hilang dan tubuh Dewa Api
telah berubah menjadi tulang-tulang atau kerangka keropos, seperti kerangak mayat yang
sudah puluhan tahun lamanya.
"Edan! Senjata apa itu membuat lawan
bisa jadi kerangka seketika"!" bisik salah seorang penduduk desa.
"Sudahlah, jangan dibicarakan. Nanti dia dengar dan menghampiri kita. Kita bisa
dibuat menjadi tulang seperti itu. Terus kalau kita mau cuci muka bagaimana,
coba"! Ayo, pergi saja sebelum dia mendatangi kita!" kata teman orang tadi. Ia
sangat ketakutan dan
wajahnya menjadi pucat.
Seorang perempuan desa yang tak
seberapa jauh tinggalnya dari rumah Ki Empu Sakya segera didekati Wiratmoko.
Tentu saja perempuan itu menggigil ketakutan karena ia juga mengintai
pertarungan tadi. Ia merasa ngeri membayangkan nasibnya akan seperti
Dewa Api jika pemuda tampan berhati kejam
itu melakukan hal yang sama seperti tadi.
Ternyata Wiratmoko hanya bertanya,
"Tahukah kau ke mana perginya Ki Empu Sakya dan seorang gadis cantik berpakaian
hijau?" "K... ke... ke selatan," jawab perempuan itu merasa lebih baik berterus terang
daripada bernasib seperti Dewa Api.
"Terima kasih," jawab Wiratmoko dengan senyum kemenangan. Ia pun segera bergegas
ke arah selatan.
Waktu Suto Sinting tiba di rumah Ki Empu
Sakya, ia terkejut melihat keadaan sudah
berantakan. Ia ingin menanyakan kepada
salah satu penduduk desa tersebut, tapi tiba-tiba mendengar ledakan di tempat
pertarungan Ki Gendeng Sekarat, sehingga
niatnya untuk bertanya ditundanya sesaat.
Kini setelah Suto datang bersama Ki
Gendeng Sekarat, Suto pun menanyakan
perihal Ki Empu Sakya kepada perempuan
yang tadi mengigil ditanyai Wiratmoko.
Perempuan itu takut kalau Suto dan Ki
Gendeng Sekarat adalah orang yang lebih
kejam lagi, sehingga pertanyaan tersebut
dijawab dengan benar.
"Mereka... mereka pergi ke selatan!"
"Apakah bersama orang lain?"
"Tid... tidak. Tapi saya lihat seorang pemuda tampan yang membunuh orang besar
sampai menjadi tulang itu juga menyusulnya ke selatan."
"Dari mana dia tahu kalau Ki Empu Sakya pergi ke selatan?"
"Saya memberitahukan. Karena... karena saya takut," jawab perempuan itu dengan
polos. Itulah sebabnya ketika Ki Empu Sakya
bersama Mega Dewi sedang mendaki bukit
menuju goa, gerakannya terlihat oleh
Wiratmoko dari kaki bukit. Pemuda itu
tertawa kecil, lalu berlari mengejarnya. Suara langkah kaki membuat Ki Empu
Sakya segera menyuruh Mega Dewi dan Angon Luwak untuk
bersembunyi. "Terpaksa aku harus menghadapinya.
Padahal aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak melakukan pertarungan
dengan siapa pun. Tapi agaknya kali ini aku dipaksa.
Apa boleh buat."
"Tapi kau tidak membawa keris pusaka, Ki!" "Akan kuhadapi tanpa pusaka itu.
Cepatlah bersembunyi!"
Ki Empu Sakya merasa sudah tak mungkin
menghindari Wiratmoko dengan melarikan
diri. Cepat atau lambat Wiratmoko pasti akan berhasil menemukannya. Maka pilihan
terakhir membuat Ki Empu Sakya sengaja bersikap
menunggu kedatangan lawannya di tanah
datar berpohon jarang itu.
"Kalau memang bisa kukalahkan dengan
omongan, tak akan kulakukan pertarungan.
Tapi jika memang tak berhasil kutundukkan
dengan kata-kata, aku terpaksa bertindak dan ini merupakan pertarungan akhirku!"
ucapnya bagaikan bicara dengan diri sendiri, tapi Mega Dewi mendengar dari
tempat persembunyian.
Lawan yang ditunggu pun datang. Wiratmoko
sunggingkan senyum jumawa, tapi Ki Empu
Sakya hanya diam saja. Matanya memandang
tajam tak berkedip, penuh wibawa dan
kharisma. "Apa maksudmu mengejar-ngejarku,
Wiratmoko"!"
"Tentunya kau tahu sendiri apa maksudku."
"Memang. Tapi siapa tahu apa yang telah kuketahui itu salah, karena tidak
selamanya orang sesat akan berjalan di tempat yang
salah. Suatu saat dia akan kembali ke jalan yang benar. Siapa tahu kau kembali
ke jalan yang benar! Jadi aku perlu menanyakan
maksudmu, Wiratmoko!"
Tawa Wiratmoko bernada angkuh,
melecehkan kata-kata Ki Empu Sakya.
"Tiap orang punya pandangan yang
berbeda, Ki Empu Sakya. Kau boleh
memandang langkahku adalah sesat, tapi aku menganggap langkahku ini benar. Setia
pada perintah Guru. Dan kalau aku inginkan keris pusakamu itu hanya semata-mata
agar jangan jatuh ke tangan orang serakah. Kau tidak
mempunyai kekuatan seperti yang kumiliki, Ki Empu Sakya. Aku khawatir keris itu
mampu direbut oleh orang serakah. Aku akan
mempertahankan dan menyelamatkannya."
"Gurunya sendiri sesat, bagaimana
muridnya"!" sahut Mega Dewi yang tahu-tahu muncul dari persembunyian. Rupanya
Mega Dewi tak tahan menyimpan dendam dan
kebencian di balik persembunyiannya. Ia
keluar dengan mata tajam penuh tantangan.
Tapi Wiratmoko menyambutnya dengan
tenang, bahkan sempat tersenyum sinis
memuakkan hati gadis berkepang dua itu.
"Mega Dewi," tegur Ki Empu Sakya.
"Kembalilah ke tempatmu. Biar kuhadapi orang ini!"
"Tidak! Kalau toh aku harus mati seperti ayahku, aku rela mati sekarang juga!
Pemuda iblis itu bagianku, Ki Empu Sakya! Aku tak mau takut oleh pusakanya. Aku
pun punya pedang yang mampu kalahkan pusakanya itu.
Siapa cepat dia menang, siapa lambat dia
tumbang!" kata Mega Dewi dengan kegeraman yang amat dalam. Ia bahkan maju
mendekati Ki Empu Sakya dan berkata kepada Wiratmoko dengan mata menyipit benci.
"Cabut pedangmu, kita adu kecepatan dan ketangkasan!"
"Mega Dewi...," bujuk Ki Empu Sakya.
"Biarkan aku menghadapinya, Ki!
Hiaaat...!" tiba-tiba Mega Dewi cabut pedangnya dan segera lompat serang
Wiratmoko. Wuuut...!
Wiratmoko sempat terkejut dengan
hadirnya serangan yang secara tiba-tiba itu. Ia cepat hindarkan diri dengan
lompat ke samping yang membuat tebasan pedang
pendek itu meleset dari sasarannya. Pedang yang menyerupai pisau itu segera
dikibaskan ke samping, breet...!
Wiratmoko tersentak kaget. Pipinya
tergores ujung pisau tajam. Kemarahan
Wiratmoko meluap, sedangkan keberanian
Mega Dewi kian tinggi.
Sraang...! Wiratmoko mulai cabut Pedang
Naga Pamungkasnya. Asap mengepul tipis dari mata pedang. Ki Empu Sakya mulai
cemas. Lalu dengan kecepatan tinggi ia berkelebat menerjang Wiratmoko sambil tangan
kirinya menyentakkan pukulan berwarna sinar merah, sedangkan tangan kanannya menyambar
tubuh Mega Dewi. Wuuut...! Claap...! Blaar...!
Wiratmoko berhasil menahan pukulan sinar
merah itu dengan pedang tersebut. Dentuman keras menggelegar membanana, namun
tidak menimbulkan sentakan kuat yang mampu
mengguncangkan sikap berdiri Wiratmoko.
Gema ledakan itu diterima oleh telinga
Pendekar Mabuk dan Ki Gendeng Sekarat.
Langkah mereka semakin cepat, arahnya kian jelas. Dalam sekejap mereka sudah
sampai ke tempat pertarungan tersebut. Pada saat itu, Ki Empu Sakya sedang
menuju Mega Dewi
untuk diam di tempat. Tapi karena Mega Dewi memberontak terus, akhirnya Ki Empu
Sakya menotok jalan darahnya.
Deb...! Mega Dewi diam tak berkutik lagi. Tapi
matanya masih bisa memandang dan
memahami keadaan sekeliling. Sedangkan
Angon Luwak masih ada di tempat
persembunyiannya. Ketika ia melihat
kehadiran Ki Gendeng Sekarat, hatinya
menjadi girang, wajahnya pun ceria.
"Nah, Guru datang!" katanya dengan suara pelan. Wiratmoko tersenyum kalem
melihat kedatangan Pendekar Mabuk. Pedang Naga
Pamungkas masih tergenggam di tangannya.
Ki Gendeng Sekarat diam menatap Wiratmoko
dengan pandangan dingin. Ki Empu Sakya tak jadi lanjutkan langkahnya, karena
mereka segera mendengar suara Suto berkata kepada Wiratmoko dengan nada tegas.
"Tak kusangka akhirnya kaulah lawanku, Wiratmoko!"
"Suto Sinting, kumohon kau tak perlu ikut campur urusan ini, karena di antara
kita tidak punya masalah apa-apa. Jangan melibatkan
diri dalam permasalahanku, Sobat."
"Kau punya tugas dari Dampu Sabang untuk membunuhku!" kata Ki Gendeng Sekarat.
"Sekarang lakukanlah, Wiratmoko! Aku sudah ada di depanmu!"
"Tidak!" sentak Suto Sinting. "Ki Gendeng Sekarat, kumohon dengan hormat,
menyingkirlah dan biarkan aku yang
menghadapinya."
"Aku masih mampu melumpuhkan tikus
sawah itu! Biarkan aku saja!"
"Ki Gendeng Sekarat, menyingkirlah!"
"Tidak!"
"Ini perintah dari Manggala Yudha!" seru Suto Sinting. Ki Gendeng Sekarat jadi
memandang, lemas, dan akhirnya ia
melangkah menepi. Jika Suto sudah gunakan
gelar kehormatannya seperti itu, Ki Gendeng Sekarat tak akan berani menentang
keputusan Suto Sinting. Tetapi hal itu digunakan Suto bukan semata-mata untuk
menyombongkan gelar kehormatannya, namun
hanya untuk menghindari korban yang tak
diinginkan. Suto tahu wajah Ki Gendeng
Sekarat memang kecewa, tapi ia paksakan diri untuk tidak pedulikan wajah kecewa
Ki Gendeng Sekarat itu.
"Wiratmoko, sekarang kita tentukan siapa yang unggul dalam pertarungan ini. Tapi
jika kau turuti saranku, pulanglah dan tinggalkan tugas dari gurumu yang sesat
itu. Jangan gunakan lagi Pedang Naga Pamungkas itu.
Hiduplah dengan damai terhadap sesama, dan jadilah pembela kebenaran."
"Cuih...!" Wiratmoko jadi jengkel dan meludah. "Aku tak butuh saranmu! Kalau kau
telah pastikan diri sebagai tandinganku,
sebaiknya kita mulai saja pertarungan ini! Kau akan menjadi kerangka tulang
keropos dalam waktu kurang dari seratus hitungan, Suto
Sinting!" Suto pun melangkah ke kiri ketika
Wiratmoko melangkah ke kanan, mereka
membentuk lingkaran gerak dan masing-
masing memandang dengan mata tajam penuh
kewaspadaan. Suto Sinting telah
memindahkan bumbung tuaknya ke tangan,
sehingga sewaktu-waktu mampu digunakan
sebagai senjata pengganti pedang. Sedangkan senjata Wiratmoko sendiri sejak tadi
kepulkan asap terus, seakan dalam kelaparan dan
menunggu mangsanya tiba.
"Hiaaat...!" Wiratmoko maju menyerang dengan satu lompatam rendah. Pedang
ditebaskan dari atas ke bawah.
Blaaar...! Pedang itu membentur bambu tuak.
Pendekar Mabuk 025 Naga Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sedikit pun tak ada luka pada bambu. Tetapi akibat benturan itu, gelombang
ledakan terjadi amat kuat dan Wiratmoko terlempar
hingga tujuh langkah dari tempatnya berdiri semula. Ia segera bangkit, lalu
dengan lompatan ringan yang menghasilkan tenaga
tinggi, ia meluncur bagaikan terbang dengan pedang terarah ke depan. Sasarannya
adalah dada Suto Sinting. Tetapi ketika ujung pedang itu sudah mendekat, tiba-
tiba Wiratmoko menggerakkan pedang ke bawah, lalu
menebas ke samping. Wuuut...!
Suto Sinting sentakkan kaki dan lompat
tinggi di atas permukaan tubuh Wiratmoko.
Kakinya segera menendang ke depan. Dees...!
Pelipis Wiratmoko menjadi sasaran kaki Suto.
Pemuda itu terpelanting jatuh akibat
tendangan keras yang membuat telinganya
mulai berdarah.
Wiratmoko berlutut setengah merangkak
merasakan sakit di telinganya. Ia yakin
gendang telinganya menjadi pecah akibat
tendangan tadi. Amarahnya kian bertambah,
sehingga dengan gerakan cepat ia berkelebat melancarkan jurus 'Pedang Sapu
Jagal'. Gerakan itu hampir saja tak terlihat oleh
mata Suto Sinting. Namun kelebatan asapnya membuat tangan Suto menggerakkan
bumbung tuak untuk menangkisnya. Trang...! Duaaar...!
Suto memutar tubuh, bumbungnya
disodokkan ke belakang, tepat mengenai
punggung Wiratmoko. Buuhg...!
"Hegghh..."!" Wiratmoko mendelik, napasnya bagai tersumbat dan tak mampu
dihela lagi. Kerongkongannya terasa amat
kering karena sodokan bambu itu mempunyai
kekuatan tenaga dalam cukup tinggi. Ia pun segera menguasai keadaan dirinya
dengan mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya.
Kejab berikut ia kembali sigap di depan Suto.
"Bambu itu benar-benar gila! Kerasnya melebihi baja mana pun. Agaknya aku tak
bisa menggunakan wujud nyata dalam
menyerangnya," pikir Wiratmoko.
Tiba-tiba ia menggerakkan pedang dengan
sangat cepat, menebas kanan, kiri, depan,
belakang, memutar, dan begitu seterusnya
sehingga tubuhnya sendiri mulai dibungkus
asap putih. Makin lama asap itu semakin tebal dan sepenuhnya raga Wiratmoko
berubah menjadi asap. Suto Sinting mencoba menyodokkan
bambunya, tapi menemui tempat kosong.
Asap itu tidak berubah sedikit pun. Asap itu masih tetap menggenggam pedang
walau tak terlihat tangan penggenggamnya. Semua yang ada di situ mempunyai rasa kagum yang
tak sama besar-kecilnya. Wuuus...!
Pedang itu berkelebat nyaris merobek
punggung Suto. Tetapi berhasil dihindari
dengan berguling ke depan satu kali dan
kembali berdiri dengan sigap.
"Suto akan kewalahan jika melawan asap begitu. Tak ada yang bisa dipukul," pikir
Ki Gendeng Sekarat. Tetapi apa yang dipikirkan Ki Gendeng Sekarat ternyata
berbeda dengan apa yang dipikirkan Pendekar Mabuk.
Tutup bambu itu dibuka oleh Suto Sinting.
Keadaan bambu dimiringkan, lubang bambu
yang berisi tuak tinggal sedikit itu diarahkan ke depan. Ketika Wiratmoko
bergerak dalam bentuk asap dan ingin menebaskan pedangnya kembali, kaki Suto pun menghentak ke
tanah satu kali. Duug...!
Tiba-tiba dari bumbung bambu itu keluar
tenaga penghisap yang amat kuat. Asap
tersebut tersedot masuk ke dalam bumbung
bambu. Terdengar suara Wiratmoko yang
berseru lantang,
"Hai, jurus apa ini"! Hai... tunggu! Tunggu, Suto....!"
Syuuurrp...! Deb...! Suto segera menutup lubang
bambu ketika asap itu tersedot habis masuk ke dalam bambu. Terdengar suara
Wiratmoko menjerit-jerit di dalam bumbung bambu.
"Lepaskan aku! Lepaskan! Suto...! Aaauh, aaauh...! Hai, siapa yang menghajarku
ini"! Hai... aauh... aaauh... huuggh...!
Sutooooo...!"
Di dalam bumbung itu tersimpan cincin
Manik Intan yang mempunyai kekuatan
tersendiri. Mungkin kekuatan cincin itulah yang menghajar Wiratmoko di dalam
bumbung bambu. Yang jelas seruan dan ratapan
Wiratmoko tidak dihiraukan oleh Suto Sinting.
Pedang Naga Pamungkas yang jatuh tak ikut tersedot ke dalam bambu itu segera
dipungutnya. Tapi ternyata gerakan Suto
terlambat. Pedang itu sudah disambar lebih dulu oleh bocah kecil; Angon Luwak.
Semua mata memandang kaget kepada Angon Luwak.
"Angon Luwak, serahkan pedang berbahaya itu kepada Kang Suto!" perintah Ki Empu
Sakya. "Tidak!" kata Angon Luwak. Ia mendekati Ki Gendeng Sekarat, lalu di depan
gurunya Angon Luwak unjuk kebolehan ilmu
genggamannya. Gagang pedang diremas kuat-
kuat. Praaas...! Hancur menjadi serbuk halus.
Lalu mata pedang yang berasap itu pun
diremas pelan-pelan. Sinar putih berkilauan memancar. Tapi mata pedang itu pun
hancur menjadi serbuk halus. Toosss...!
"He, he, he, he...!" Ki Gendeng Sekarat tertawa terkekeh-kekeh sambil mengusap
usap rambut Angon Luwak.
"Tidak ada yang bisa gunakan kejahatan pakai pedang ini lagi, Guru!"
"Bagus, bagus, bagus...!" Ki Gendeng Sekarat manggut-manggut, membuat Suto
Sinting dan Ki Empu Sakya pun tersenyum geli melihat kebanggaan Angon Luwak,
walau tadi Ki Empu Sakya sempat kaget melihat Angon
Luwak meremukkan gagang Pedang Naga
Pamungkas. Setelah mendengar Angon Luwak
menyebut Ki Gendeng Sekarat dengan sebutan
'guru', maka Ki Empu Sakya pun segera tahu bahwa Ki Gendeng Sekarat telah
memberikan ilmu itu kepada Angon Luwak.
"Ki Empu Sakya, kumohon bebaskan
totokan Mega Dewi."
"Oh, iya...! Hampir saja aku lupa!"
Taab...! Ki Empu Sakya bebaskan totokan
Mega Dewi. Tapi pada saat itu tahu-tahu Suto telah melesat pergi dengan
cepatnya. Mega Dewi melihat Suto sudah ada di seberang
jauh, di kaki bukit tersebut.
"Sutooo...! Mau ke mana kau"!"
"Membuang asap ini ke Sumur Tembus
Jagat?" seru Pendekar Mabuk, karena
menurutnya tak ada tempat lain untuk
memenjarakan Wiratmoko kecuali di Sumur
Tembus Jagat. Sedangkan Wiratmoko yang
ada di dalam bambu itu menjadi amat
ketakutan mendengar dirinya akan dibuang ke Sumur Tembus Jagat.
"Jangan, Suto...! Jangan buang aku ke sana! Jangan, Suto! Sutoooo...!"
Tapi Suto Sinting tetap berlari menuju ke
Bukit Mati Langit tempat di mana Sumur
Tembus Jagat berada.
"Sutooo...! seru suara wanita yang tak lain adalah Kirana. "Aku ikut!" Gadis itu
pun berlari mengejar Suto, kini ia tidak bersama
Citradani, sebab Citradani harus segera pulang ke Kuil Elang Putih untuk
serahkan kalung
pusaka Lintang Suci itu. "Aku ikut, Sutooo...!"
"Terserah!" teriak Suto di kejauhan sambil membiarkan dirinya dikejar Kirana
yang cantik dan bandel itu.
SELESAI Segera menyusul
RATU TANPA TAPAK
E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
Pendekar Jembel 18 Pendekar Bayangan Sukma 15 Maut Buat Madewa Gumilang Persekutuan Pedang Sakti 7
tendangan kipasnya. Wuuutt...! Tendangan itu dihindari oleh Tandak Ayu.
Kejab berikutnya Tandak Ayu berhasil
pukul punggung Citradani dengan sentakan
telapak tangannya. Duuuhg...!
"Uhhg...!" Citradani tersentak ke depan, darah muncrat dari mulutnya. Hal itu
membuat Suto Sinting sempat cemas. Kirana
sudah gatal, tak sabar ingin ikut terjun ke pertarungan itu. Tetapi ia menahan
diri mengingat pertarungan itu adalah urusan
pribadi meraka masing-masing.
Rupanya Citradani masih kuat walau telah
menyemburkan darah segar dari mulutnya.
Terbukti ia segera berbalik menghadap ke
arah lawannya dengan pedang dicabut dari
sarungnya. Sraaang...! Rupanya Tandak Ayu
tak mau kalah serang, ia pun mencabut
pedang dari punggungnya. Pedang itu lebih
panjang dari pedang milik Citradani. Tapi
Citradani tidak gentar sedikit pun.
"Hiaaaat...!"
"Heaaah...!"
Wuuut, wuuut...! Trang, trang, trang,
trang...! Mereka sama-sama lompat ke udara dan
beradu pedang di sana dengan gerakan sama
cepatnya. Satu pun tak ada yang terluka.
Tetapi Citradani sempat menggunakan kakinya untuk menendang dan tepat mengenai
bawah pundak kiri lawannya.
Duuhg...! Wuuuus...! Brruk...!
Tandak Ayu jatuh di rerumputan. Citradani
yang telah pijakan kakinya ke tanah tak mau beri kesempatan sedikit pun kepada
lawan. Ia gulingkan tubuhnya ke tanah, lalu pedangnya disabetkan ke arah perut
Tandak Ayu. Trang...! Pedang Tandak Ayu masih bisa
menangkisnya sambil ia berguling dan cepat bangkitkan diri. Asap dan bau hangus
tercium hidung Suto dan Kirana akibat perpaduan dua pedang berkekuatan tenaga
dalam itu. Kini keduanya sama-sama berdiri tegak
lagi. Masing-masing mata tertuju dengan
tajam. Napas Tandak Ayu tampak lebih
memburu karena tendangan kaki Citradani
tadi bagaikan menyumbat saluran pernapasan sehingga napasnya menjadi berat
dihela. Bagian dalam tubuh Tandak Ayu terasa nyeri semua, namun ditahannya kuat-kuat.
Bahkan Tandak Ayu sempat berkoar di hadapan
Citradani. "Kau tak akan berhasil menumbangkan
diriku, Citradani! Mengapa gadis buruk itu tidak kau suruh membantumu sekalian?"
Kirana merasa sebagai orang yang
dimaksud dan dikatakan gadis buruk. Hatinya semakin dibakar api kemarahan. Ia
menggeram dan mengepalkan kedua
tangannya. Ia bergerak maju, namun tertahan tangan Suto.
"Kita menjadi penonton yang baik saja!"
kata Suto Sinting yang membuat Kirana lepas desah kejengkelannya.
Tiba-tiba Citradani sentakkan tangan
kirinya walaupun tangan kanan sudah
memainkan jurus pedangnya. Sentakan tangan kiri keluarkan cahaya merah bagaikan
selarik sinar yang tertuju ke dada Tandak Ayu.
Slaaap...! Tandak Ayu sempat terkejut, tapi dengan cepat ia silangkan pedangnya
di depan dada. Sinar merah itu menghantam pedang
tersebut. Blaaar...! Traang...!
Pedang Tandak Ayu patah menjadi delapan
keping. Mata Tandak Ayu terperangah melihat pedangnya patah. Kini tinggal bagian
gagangnya saja yang digenggamnya. Maka
gagang pedang itu segera dibuang. Kedua
tangan segera dirapatkan. Melihat gelagat
begitu, Citradani tahu kalau Tandak Ayu mau merubah wujudnya. Maka serta-merta
Citradani melompat maju sambil tebaskan
pedang ke arah leher Tandak Ayu,
"Heaaah...!"
Craaas...! "Aaauuh..." Tandak Ayu memekik
kesakitan. Telapak tangan kirinya putus
ditebas pedang lawan dan jatuh ke tanah.
Pluk...! Dan darah pun mengucur deras dari pergelangan tangan. Hal itu membuat
mata Tandak Ayu berkunang-kunang. Citradani
mengetahui lawannya mulai lemah. Ia tak
mau buang buang waktu. Ia berbalik
memunggungi lawannya, namun pedangnya
segera ditekuk ke belakang dan dihujamkan dengan kuat. Jruuub...!
"Uuhg..."!" Tandak Ayu terpekik tertahan.
Mulutnya ternganga. Ulu hatinya ditembus
pedang Citradani tanpa ampun lagi. Ia
mengejang sesaat, lalu Citradani menarik
pedangnya hingga lepas dari tubuh lawan.
Brruk...! Tandak Ayu roboh dengan mulut
terbuka berusaha mencari napasnya. Matanya mulai terbeliak-beliak mendekati
ajal. Citradani dengan cepat melepaskan kalung
pusaka Lintang Suci dari leher Tandak Ayu.
Mulut perempuan yang menjelang ajal itu
bergerak-gerak, bersuara lirih tapi terdengar sampai di telinga Suto dan Kirana.
"Sam... paikan... salamku... pada....
Wiratmoko..." Suto berkerut dahi mendengar nama Wiratmoko, ia makin mendekati
Tandak Ayu bersama-sama Kirana. Saat itu Citradani perdengarkan suaranya,
"Apakah kalung ini pemberian Wiratmoko?"
"Bet...tul. Seb... sebagai...tanda cintanya padaku..."
"Memang keparat betul Wiratmoko itu!"
"Kkkau... akan... mati di tangan ... Iblis Naga... Pamungkas itu..."
"Siapa Iblis Naga Pamungkas itu"!"
"Wii...rat... mo... ko..."
"Wiratmoko"!" sentak Suto dengan amat terkejut, lalu wajah itu menjadi tegang
sekali, sedangkan wajah Tandak Ayu menjadi kendur, napasnya terhempas. Saat
itulah Tandak Ayu hembuskan napasnya yang
terakhir. Suto Sinting mundur dengan dahi
berkerut tajam.
"Wiratmoko..."!" gumamnya lagi dalam kebimbangan. "Benarkah dia yang berjuluk
Iblis Naga Pamungkas" Bukankah orang yang
berjuluk itu adalah si Raja Maut" Tapi... tapi menurut keterangan Mega Dewi,
ayahnya mati di tangan Iblis Naga Pamungkas ketika
lawannya itu mencabut pedang dan
menebaskannya di punggung Ki Lurah
Pramadi. Sedangkan Raja Maut tidak
mempunyai senjata pedang, tapi... tapi
Wiratmoko mempunyai pedang, dan gagang
pedangnya berbentuk kepala naga. Oh,
celaka! Aku telah tertipu olehnya! Benar kata Tandak Ayu, Wiratmoko itulah si
Iblis Naga Pamungkas. Kalau begitu Mega Dewi dan Ki
Empu Sakya dalam bahaya!"
Citradani tersenyum lega. Kalung pusaka
milik gurunya telah kembali diperolehnya. Itu berarti dia dapat diterima kembali
sebagai murid Embun Salju dan berhak tinggal di Kuil Elang Putih.
Kepada Kirana, Citradani berkata, "Kalung inilah pusaka yang kumaksud. Wiratmoko
adalah pemuda yang berhasil merayuku dan
mencuri kalung ini."
"Kalau begitu...," Kirana tak jadi berkata-kata karena ia melihat Suto segera
berlari meninggalkan tempat itu. Ia bahkan berteriak keras,
"Suto, tungguuu...!" Kirana pun segera menggunakan ilmu peringan tubuhnya,
berlari mengejar Suto Sinting yang mampu bergerak
seperti anak panah lepas dari busurnya.
Melihat Kirana berlari mengejar Suto Sinting, Citradani pun ikut-ikutan berlari
menyusul Kirana.
7 KALAU saja Pendekar Mabuk kala itu tidak
berbalik arah dan meneruskan langkahnya,
maka ia akan bertemu dengan Ki Gendeng
Sekarat di kaki bukit Cadas Putih. Itupun
kalau mata Suto Sinting cukup awas, sebab
siang itu Ki Gendeng Sekarat ternyata tertidur di atas sebuah pohon berdaun
lebat. Pohon itu mempunyai dahan yang berjajar rapat dan
enak dipakai untuk tidur. Orang yang doyan tidur itu tidak mau menyia-nyiakan
tempat seperti itu, tak heran jika dalam waktu cepat ia sudah tidur dengan dengkuran
yang amat lirih. Dengkuran itu tak terdengar dari jalanan
di bawah pohon tersebut. Ketika jalanan itu dipakai lewat tiga kuda, tak satu
pun dari ketiga penunggang kuda tersebut mendengar
dengkuran Ki Gendeng Sekarat. Bahkan tiga
orang itu sempat beristirahat di bawah pohon tersebut karena tak jauh dari sana
ada sendang kecil berair jernih. Mereka
menyempatkan cuci muka dan minum air
sendang itu. Tiga orang tersebut adalah para utusan
dari Gunung Sesat yang dikuasai oleh tokoh golongan hitam berjuluk Ratu Tanpa
Tapak. Tiga utusan tersebut berbadan kekar semua, tingginya sama, ilmunya pun sama
setingkat, keganasannya juga sama liarnya. Wajah
mereka tak ada yang menunjukkan wajah
damai. Bengis dan angker semuanya.
Nenggolo, walaupun tanpa kumis tebal
seperti Gaok Lodra, tapi punya wajah runcing, mata cekung berkesan dingin, gigi
tonggos bertaring runcing. Sedangkan si Sabit Guntur mempunyai kumis setebal Gaok Lodra,
matanya juga lebar ganas, tapi mempunyai
codet di pipi kanan yang menambah angker
wajahnya. Senjata mereka pun termasuk jenis senjata besar. Pedang, sabit, dan
rantai bola berduri, semua berukuran besar. Mereka
mempunyai usia yang hampir sama, sekitar
tiga puluh lima tahun, tapi tingkat
kecerdasannya berbeda. Gaok Lodra terhitung paling rendah kecerdasannya
dibanding kedua temannya itu.
Tak heran jika Gaok Lodra bicara dengan
suara keras ketika mengatakan,
"Yang penting kita sudah tahu letak rumah Empu Sakya. Tak perlu terburu-buru
sampai di sana. Keris Pusaka Setan Kobra pasti berhasil kita rebut dan kita
serahkan kepada sang
Ketua!" "Ssst...! Jaga mulutmu, jangan seperti ember sumur yang bisa bocor sewaktu-
waktu. Tugas ini tak boleh diketahui siapa pun!" kata Nenggolo sambil mendekati
kudanya. "Di sini tak ada manusia, kenapa takut bicara?"
"Apa 'dapurmu' itu bukan manusia"!" hardik Sabit Guntur. "Sekalipun tak ada
orang lain kecuali kita bertiga, tapi kita harus menjaga mulut supaya tidak
bicara sembarangan.
Apalagi membicarakan soal keris pusaka itu, lebih baik dengan berbisik saja!"
Nenggolo menyentakkan kepala Sabit
Guntur. "Kau sendiri bicaranya cukup keras!
Goblok! Memberi peringatan kepada teman
kok diri sendiri bicaranya keras-keras,"
Nenggolo bersungut-sungut. Kemudian ia
duduk di batu tepat bawah pohon.
"Menurutmu apakah ada orang lain yang mendahului kita merebut keris Pusaka Setan
Kobra itu?" tanya Gaok Lodra kepada Sabit Guntur.
"Sekalipun ada tak mungkin berhasil. Empu Sakya bukan orang berilmu rendah.
Hanya kita-kita orang saja yang bisa mengungguli ilmunya Empu Sakya!"
Mereka terus bicara, mengatur siasat dan
mencari kemungkinan-kemungkinan yang
perlu disiapkan. Tanpa mereka sadari,
seseorang yang tidur di atas pohon itu
mendengar semua percakapan tersebut.
Sekalipun dalam keadaan tertidur nyenyak,
namun telinga terpasang tajam, sehingga
suara bisikan pun bisa sampai di telinga Ki Gendeng Sekarat.
Beberapa saat setelah beristirahat, ketiga utusan dari Gunung Sesat itu
lanjutkan perjalanannya menuju desa Kukusan. Agaknya salah seorang dari mereka pernah
menyelidiki rumah Ki Empu Sakya, sehingga ia tahu persis keadaan di mana dan
tempat-tempat yang
harus dijaga agar Ki Empu Sakya tak bisa
lolos. Orang yang mengetahui keadaan di sana itu adalah Nenggolo, sehingga
secara tak langsung kedua temannya menganggap
Nenggolo sebagai ketua perjalanan.
Dengan mata masih lengket dan sukar
dibuka, Ki Gendeng Sekarat mulai turun dari pohon. Kakinya sempat terpeleset, ia
hampir jatuh terpelanting. Untung tangannya segera berpegang pada batang pohon,
tapi kepalanya terbentur batang tersebut. Duug...!
"Aduh...!" Ki Gendeng Sekarat akhirnya buka mata sambil meringis mengusap-usap
keningnya. Kalau tidak terbentur, mungkin ia masih dalam keadaan tertidur sambil
berjalan. Dengan mata terbuka, Ki Gendeng Sekarat
segera mengikuti tiga utusan tersebut.
Mulutnya berucap kata sendirian.
"Mereka pasti orang-orang Ratu Tanpa
Tapak! Untung mereka bicara di bawahku,
sehingga aku tahu tujuan mereka. Empu Sakya akan terdesak jika melawan mereka
bertiga. Ilmu orang-orang Gunung Sesat tak boleh
direndahkan. Aku harus menolong Empu Sakya untuk selamatkan Keris Setan Kobra.
Kalau sampai Keris Setan Kobra jatuh ke tangan
Ratu Tanpa Tapak, hancurlah seluruh isi dunia ini. Ratu keji tak berperasaan itu
akan melenyapkan semua penduduk bumi yang
tidak mau tunduk kepadanya. Tapi kalau bisa, sebelum mereka tiba di desa Kukusan
sudah kulumpuhkan lebih dulu. Yah, terpaksa
kerahkan tenaga untuk mengejar mereka!
Pendekar Mabuk 025 Naga Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sialnya mereka berkuda semua. Mau tak mau
aku harus berpacu kalahkan tenaga kuda!"
Ilmu peringan tubuh yang dimiliki Ki
Gendeng Sekarat bukan ilmu tingkat rendah.
Tak heran jika ia mampu bergerak secepat
badai menerabas semak belukar memotong
arah untuk bisa menghadang tiga utusan
Gunung Sesat itu. Gerakan larinya yang cepat itu membuat tubuhnya bagaikan
ditiup angin semilir dan rasa kantuknya datang lagi.
Matanya pun mulai mengecil dan kepala mulai terangguk-angguk, namun langkah
larinya tetap cepat tak berkurang sedikit pun.
Bruus...! Serumpun pohon pisang
diterjangnya. Wajahnya tersabut daun pisang.
Perih. Tapi justru membuat kantuknya jadi
hilang. Matanya pun terbuka kembali dengan terang. Ketika tiba di perbatasan
desa, rasa kantuk itu sama sekali lenyap dan membuat
tubuh Ki Gendeng Sekarat tampak tegar. Ia
menunggu tiga utusan yang menurut
perkiraannya tidak lama lagi akan datang
melalui jalan tersebut.
Beberapa saat kemudian, suara deru kuda
mulai terdengar di kejauhan. Makin lama
semakin jelas, pertanda derap kaki kuda itu makin mendekati tempat Ki Gendeng
Sekarat menunggu mereka. Kejap berikutnya,
bayangan hitam tampak datang dari arah
barat. Ki Gendeng Sekarat saat itu berada di balik pepohonan. Salah satu pohon
randu dihantam dengan pangkal telapak tangannya, Duuugh...!
Wwrrr...! Pohon itu berguncang, makin
lama makin miring dan akhirnya tumbang
dalam keadaan akarnya tercabut, mencuat ke atas. Bruuuss....!
"Sial!" maki Ki Gendeng Sekarat buru-buru mengucal matanya. Tanah akar memercik
dan membuat mata Ki Gendeng Sekarat kelilipan.
Ia sedikit kebingungan menghilangkan tanah yang masuk matanya, sedangkan tiga
utusan itu sudah semakin dekat. Mau tak mau sambil mengucal mata, Ki Gendeng Sekarat
lompatkan badan dan lepaskan tendangan
bertenaga dalam cukup tinggi ke arah batang pohon jati.
Wuuut...! Duuugh...!
Kraaaaakk...! Bruuuusg...! Pohon itu pun
tumbang melintang jalan seperti pohon yang tadi. Keadaan tersebut membuat tiga
penunggang kuda segera hentikan
perjalanannya. Jalanan tertutup, kuda tak
dapat lewat begitu saja karena dahan pohon mencuat ke sana-sini tak beraturan.
"Ada seseorang yang berniat menghadang perjalanan kita, Gaok Lodra!" kata
Nenggolo dengan mata memandang ke arah sekeliling.
Kedua rekannya itu pun memandang
sekeliling. Sabit Guntur perdengarkan
suaranya mirip orang menggerutu.
"Cari penyakit betul orang itu. Agaknya dia mengetahui rencana kedatangan kita!"
"Kalian kalau bicara memang mirip mulut kalkun!" gerutu Nenggolo ditujukan
kepada kedua rekannya. "Coba periksa di semak-semak sebelah kiri itu!"
Gaok Lodra memacu kudanya untuk
menerabas semak-semak sebelah kiri, sebab
pohon yang roboh adalah pohon pada jajaran sebetah kiri mereka. Gaok Lodra
menerabas masuk semakin dalam, memeriksa keadaan di
sekitar pohon yang roboh itu. Sementara itu, Nenggolo dan Sabit Guntur menunggu
dengan waspada. Ki Gendeng Sekarat bersembunyi di atas
salah satu pohon yang masih utuh. Ketika
Gaok Lodra melintasi bagian bawah pohon, Ki Gendeng Sekarat segera cabut kipas
putihnya lalu lompat ke bawah bagaikan kelelawar
terbang. Wuuut...! Craaass...!
Ki Gendeng Sekarat daratkan kakinya ke
tanah tanpa bunyi gaduh. Hal itu membuat
Gaok Lodra sedikit terkejut. Matanya segera memandang tajam kepada Ki Gendeng
Sekarat. Orang yang dipandang hanya
tersenyum tipis dengan kipas masih tertutup dan ada di tangan kanannya.
"Manusia atau jin kau ini?" geram Gaok Lodra tetap tenang di atas kuda.
"Apa saja anggapanmu tak jadi masalah bagiku," kata Ki Gendeng Sekarat, "Aku
hanya inginkan kau dan kedua rekanmu itu kembali ke Gunung Sesat dan jangan
coba-coba merampas Keris Setan Kobra dari tangan Empu Sakya!"
"Hmm...!" Gaok Lodra tersenyum sinis.
"Kau belum tahu kekuatan orang-orang
Gunung Sesat rupanya. Perlu kau catat dalam ingatanmu, orang-orang Gunung Sesat
tak akan mundur sebelum tugasnya berhasil. Tak satu pun ada yang mampu menahan niat
kami, tak satu pun ada yang mampu menyentuh
tubuh kami. Jadi kusarankan, pergilah dan
jangan halangi kami!"
"Betulkah tak satu pun ada yang mampu menyentuh tubuh kalian?"
"Coba saja kalau kau ingin bukti!" tantang Gaok Lodra.
"Sudah kucoba, dan ternyata aku mampu memotong telingamu."
Gaok Lodra terkesiap. Ia segera memegang
daun telinga kirinya yang mulai terasa dingin itu. Dan ternyata daun telinga itu
telah hilang dari tempatnya.
"Hahhh..."!" Gaok Lodra terkejut sekali, matanya terbelalak melihat tangannya
berlumur darah. Rasa sakit mulai terasa dan ia mulai meringis menahan rasa perih
itu. Darah pun ternyata sudah sejak tadi meleleh hingga membasahi pundak dan
lengan kirinya.
"Telingaku .."! Oh..."! Telingaku"!" suara Gaok Lodra gemetar.
Ia baru menyadari bahwa daun telinganya
telah terpotong dan jatuh di bawah kaki kuda.
Hal itu dilakukan Ki Gendeng Sekarat pada
saat ia meluncur turun dari atas pohon dan mengibaskan kipasnya dengan sangat
cepat, sehingga pemotongan itu tidak terasa bagi si korban.
Kemarahannya yang meluap membuat
Gaok Lodra tak mampu lagi serukan suara, ia hanya menggeram dengan wajah merah
dan gemetar. "Bangsat kau...!"
"Eh, jangan memakiku. Tak sopan itu!"
Gaok Lodra segera cabut rantai bola
berduri dari tempatnya di pelana kuda.
"Eh, jangan mau menyerangku, kau bisa kehilangan nyawa. Bukan telinga saja yang
hilang!" "Gggrrr...!" Gaok Lodra benar-benar merasa dipermainkan nafsu amarahnya.
Sementara itu, Nenggolo dan Sabit Guntur
mulai tak sabar menunggu hasil pemeriksaan Gaok Lodra. Nenggolo pun berseru
keras, "Apa yang kau temukan di sana, Gaok
Lodra"!!"
"Aahg...!" terdengar suara pekik pendek tertahan dari dalam kerimbunan semak
itu. Suara pekik tertahan yang pendek itu
membuat Sabit Guntur menggerutu sambil
bersungut-sungut.
"Kurang ajar! Disuruh memeriksa keadaan malah buang hajat dulu!"
"Memang menjengkelkan pergi bersama
Gaok Lodra. Sebentar-sebentar cari tempat
buat buang hajat." Nenggolo menimpali.
Tapi beberapa saat kemudian terdengar
langkah kuda dan ringkikan yang pelan. Kaki kuda menerabas semak ilalang.
Nenggolo dan Sabit Guntur sudah pasang wajah geram dan
cemberut. Nenggolo sempat berkata kepada
Sabit Guntur, "Jangan terlalu dekat dengannya kalau dia habis begitu! Pasti tak pernah bersih
dan menjengkelkan!"
Nenggolo palingkan wajah, buang muka
ketika moncong kuda mulai terlihat. Tapi
Sabit Guntur memperhatikan kemunculan
kuda dengan dahi berkerut. Matanya menjadi terbelalak ketika sosok kuda
tunggangan Gaok Lodra terlihat jelas, dan tubuh Gaok Lodra terkulai di atas
punggung kuda. Keadaannya masih seperti menunggang kuda, tapi
tubuhnya membungkuk ke depan sementara
wajah tertunduk.
"Gaok Lodra!" panggil Sabit Guntur. Tapi tak ada jawaban. Gaok Lodra tetap
terbungkuk dan tertunduk lemas. Seruan itu membuat Nenggolo segera palingkan
wajah dan pandangi Gaok Lodra. Sang kuda
mendekat dengan sendirinya. Nenggolo
menghampiri, lalu menegakkan tubuh Gaok
Lodra. "Bangsat!" geramnya penuh amarah. Leher Gaok Lodra telah robek dan orang itu
tidak bernyawa lagi. Kedua temannya menjadi
panik, tegang, senjata mulai dicabut karena sadar ada musuh di balik semak
belukar itu. "Serang dia!" perintah Nenggolo sambil memacu kudanya untuk menerabas masuk ke
semak ilalang yang rimbun itu.
Wuuut...! Wes, wes, jleeg...!
Ki Gendeng Sekarat justru bersalto di
udara dua kali dan tiba di tempat kuda Gaok Lodra berdiri. Sedangkan kedua
musuhnya masuk ke dalam mencarinya sambil
meluncurkan kata makian yang kasar dan
kotor, sulit ditirukan.
Ki Gendeng Sekarat segera sentakkan
kedua tangannya ke depan, dan mayat Gaok
Lodra pun terlempar dengan sendirinya ke
arah semak-semak tempat kedua temannya
mencari musuh itu. Wuuut...! Buuhg...!
"Aoow...!" pekik Sabit Guntur. Rupanya ia kejatuhan mayat Gaok Lodra. Ki Gendeng
Sekarat tertawa tanpa suara, tapi bersikap menunggu kemunculan lawannya dengan
terlebih dulu mengusir kuda bekas tunggangan Gaok Lodra.
"Maling busuk! Monyet kembung!" rutuk Sabit Guntur. "Nenggolo, orang itu ada di
jalanan!" Kedua kuda muncul bersama
penunggangnya yang sudah semakin merah
wajahnya. Melihat Ki Gendeng Sekarat berdiri dengan berkipas-kipas santai,
Nenggolo segera melompat dari punggung kuda bersama
pedang besarnya yang mampu untuk
memotong tubuh lawan dengan sekali tebas.
"Hiaaat...!"
Wuuung...! Suara pedang besar
mendengung ketika menebas tempat kosong,
karena Ki Gendeng Sekarat ternyata sudah ada di sisi lain yang berlawanan arah
dengan serangan Nenggolo. Keadaannya yang ada di
belakang kedua tunggangan Sabit Guntur
membuat Ki Gendeng Sekarat mencocokkan
ujung kipasnya ke pantat kuda. Tentu saja
ujung kapas itu dialiri tenaga dalam tinggi.
Cruk...! "Hieeeee...!" Kuda meringkik sambil terlonjak mengamuk. Sabit Guntur terlempar
ke depan, jatuh ke tanah dalam keadaan
telentang. Kaki kuda yang mengamuk tanpa
permisi menginjak-nginjak dada dan perut
Sabit Guntur, lalu lari tunggang langgang
karena merasa sakit yang amat berat akibat ditusuk pakai ujung kipas.
"Uuhhg...!" Sabit Guntur mendelik susah bernapas karena dadanya terasa remuk
diinjak-injak kuda yang mengamuk. Ia
berusaha bangkit pelan-pelan dan berusaha
mencari kesempatan untuk menghirup udara.
Mulutnya tercengap-cengap dengan mata
sesekali terbeliak.
"Biadab! Siapa kau sebenarnya, hah"!"
bentak Nenggolo kepada Ki Gendeng Sekarat.
Pedangnya siap terangkat di atas kepala
dengan kuda-kuda siap serang.
"Sampaikan salamku kepada Ratu Tanpa
Tapak. Katakan kepadanya, Gendeng Sekarat
tidak izinkan dia memiliki pusakanya Empu
Sakya!" "Persetan dengan ucapanmu! Heaaah...!"
Nenggolo menyerang maju dengan pedang
dikibaskan ke berbagai arah secara cepat.
Bunyi gaung dari logam besar itu sempat
membuat daun-daun ilalang terbabat putus
dengan sendirinya. Tentu saja gerakan tebas pedang itu disertai tenaga dalam
tinggi yang memancar ke sana-sini. Tetapi Ki Gendeng Sekarat tetap berdiri tegak
dan berkipas-kipas dengan santai. Rupanya angin kibasan kipas itu menolak
datangnya kekuatan tenaga
dalam dari kibasan pedang besar. Sekalipun kipas itu hanya bergerak pelan, namun
memancarkan angin penolak tenaga luar yang cukup kuat. Nenggolo beberapa kali
tersentak mundur ketika mau dekati Ki Gendeng
Sekarat. Manakala kibasan kipas itu berhenti, Nenggolo berhasil mendekat dan
tebaskan pedang memotong perut Ki Gendeng Sekarat.
Wuuut...! Slaap...!
Ki Gendeng Sekarat hentakkan kedua kaki
dan tubuhnya terangkat tinggi, sehingga
pedang besar itu tak berhasil kenai tubuhnya.
Tapi kaki Ki Gendeng Sekarat cepat bergerak maju menendang tepat di dahi
Nenggolo. Praak...! Ki Gendeng Sekarat bagaikan menendang
sebongkah keramik. Tendangan cukup kuat
dan keras membuat darah menyembur dari
mulut, hidung, dan telinga Nenggolo. Orang itu pun terpelanting memutar sambil
tetap memegangi pedangnya. Pada waktu itu, Sabit Guntur baru saja berdiri dan siap
menggunakan sabitnya.
Tapi gerakan putar Nenggolo mengenai
dirinya. Pedang besar menebas tangan kiri
Sabit Guntur tanpa disengaja. Craas...!
"Aoooww...!" Sabit Guntur memekik keras-keras karena tangan itu segera putus
tepat pada bagian siku. Tangan yang buntung
membuat Sabit Guntur semakin liar. Ia
menebaskan sabitnya dengan gerakan cepat.
Claap...! Sinar biru petir menyambar ke
arah Ki Gendeng Sekarat. Namun oleh Ki
Pendekar Mabuk 025 Naga Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gendeng Sekarat sinar biru itu dikibaskan
memakai kipasnya. Sinar itu membalik arah
dan tepat mengenai tengkuk kepala Nenggolo.
Blaaar...! Tak ayal lagi leher Nenggolo pun putus
terpotong oleh kekuatan sinar biru petir itu.
Sabit Guntur mendelik melihat sinar birunya justru memotong leher teman sendiri.
"Keparat...! Heaaaat...! Sabit Guntur mengibaskan sabitnya beberapa kali,
sehingga sinar biru petir terlepas dari ujung sabit, jumlahnya lebih dari lima
sinar. Semuanya
tertuju ke arah Ki Gendeng Sekarat.
Dengan menggunakan kipasnya. Ki
Gendeng Sekarat membuang sinar-sinar ke
arahnya, dan sinar-sinar itu membentur benda apa saja yang dicapainya. Bunyi
ledakan dahsyat terjadi berkali-kali, merobohkan dua batang pohon dan yang terakhir
membuat Ki Gendeng Sekarat terpental ke belakang,
karena salah satu sinar biru petir sengaja ditangkis oleh kipasnya. Akibatnya
daya ledak itu menghentak melemparkan Ki Gendeng
Sekarat ke belakang. Bruuk!
"Uhg...! Sial! Pinggangku bisa bengkak atau patah kalau begini"!" gerutu Ki
Gendeng Sekarat sambil mencoba bangkit kembali. Tapi pada saat itu, Sabit Guntur
yang merasa tak akan mampu melawan Ki Gendeng Sekarat
segera lompat ke kuda bekas tunggangan
Nenggolo. Dengan menggunakan satu tangan
ia memacu kudanya, melarikan diri,
meninggalkan tempat tersebut. Ki Gendeng
Sekarat sengaja tak mau mengejarnya, karena tulang punggungnya terasa ngilu
sekali. Bertepatan dengan hilangnya Sabit Guntur,
muncul sesosok bayangan yang berkelebat ke arah Ki Gendeng Sekarat. Dengan cepat
Ki Gendeng Sekarat siap-siap kibaskan kipasnya untuk merobek kulit tubuh bayangan
yang baru datang. Namun gerakan itu segera
tertahan karena Ki Gendeng Sekarat segera
mengetahui bahwa bayangan yang datang ke
arahnya itu adalah sosok tubuh Pendekar
Mabuk. "Ki Gendeng Sekarat..."!"
"Ah, Gusti Manggala Yudha... Kenapa baru sekarang munculnya?" gerutu Ki Gendeng
Sekarat. Ia bersungut-sungut sambil mencari tempat untuk duduk. Sebatang kayu
yang tadi ditumbangkan berhasil diduduki, napasnya
terlepas lega. Sementara itu Suto Sinting
memandangi mayat Nenggolo dan potongan
tangan Sabit Guntur.
"Apa yang terjadi, Ki?"
"Mereka ingin mendatangi Empu Sakya
untuk merebut Keris Setan Kobra. Mereka
orang-orang utusan dari Gunung Sesat, anak buah Ratu Tanpa Tapak!"
"Ratu Tanpa Tapak"!" gumam Suto Sinting dengan dahi kian berkerut.
"Kau sendiri bagaimana bisa sampai sini"
Kulihat arahmu dari desa Kukusan!"
"Benar, Ki. Aku dari rumah Empu Sakya untuk menyelamatkan Empu Sakya dan Mega
Dewi, anak Ki Lurah Pramadi."
"O, ya... aku kenal orang itu!"
"Mereka terancam maut di tangan iblis Naga Pamungkas. Aku terkecoh..."
"Tunggu! Maksudmu Iblis Naga Pamungkas itu siapa" Wiratmoko"!"
"Benar. Murid Dampu Sabang, Ki. Dia juga mengancam nyawamu. Kaulah sasaran
berikutnya."
"Dampu Sabang!" geram Ki Gendeng Sekarat sambil matanya menyipit, menatap
arah jauh, bagaikan mengenang peristiwa
lama. "Tapi ketika aku tiba di rumah Empu
Sakya, mereka sudah tak ada, Ki!"
"Maksudmu?"
"Empu Sakya dan Mega Dewi tidak ada di tempat. Keadaan rumahnya sudah porak-
poranda. Aku tak tahu pasti apakah mereka
dibawa lari oleh Iblis Naga Pamungkas, atau melarikan diri dan sekarang masih
dalam pengejaran murid Dampu Sabang itu"!"
8 RUPANYA Ki Empu Sakya sudah mengetahui
akan kedatangan Wiratmoko yang membawa
Pusaka Pedang Naga Pamungkas. Sebelum
musibah itu datang, firasat batin Ki Empu Sakya untuk memberi isyarat. Maka ia
pun segera membawa pergi Mega Dewi. Tentu saja gadis itu merasa bingung ketika tahu-
tahu disuruh berkemas dan diajak pergi.
"Kita mau ke mana, Ki"!"
"Ke mana saja, yang penting selamat untuk dirimu," jawab Ki Empu Sakya.
"Selamat" Apakah jiwaku terancam
bahaya?" "Bukan jiwamu saja, tapi jiwaku juga
dalam bahaya."
"Aku tak mengerti maksud Ki Empu Sakya."
Setibanya di lereng bukit, Ki Empu Sakya
baru menjelaskan maksudnya kepada Mega
Dewi. "Iblis Naga Pamungkas sedang menuju ke rumahku. Pasti ia menghendaki nyawamu dan
pusakaku."
Mega Dewipun segera terkejut mendengar
penjelasan itu. Ia mulai gemetar karena
hatinya diguncang rasa takut namun dibakar rasa dendam pula. Akhirnya Mega Dewi
punya gagasan untuk melawan Iblis Naga Pamungkas itu.
"Kalau kau mengizinkan, pinjamkanlah
pusakamu itu, Ki. Akan kupakai untuk
membalas kematian ayahku kepada Iblis Naga Pamungkas."
Ki Empu Sakya gelengkan kepala, "Jangan membiasakan dendam bersarang dalam
hatimu, Anak Manis. Kematian adalah
perjalanan akhir dari suatu kehidupan di alam fana, dan perjalanan awal dari
suatu kehidupan di alam baka. Tak perlu kau buru dengan dendam. Itu hanya akan merusak
ketenangan jiwamu."
"Tapi... orang itu memang layak
dimusnahkan, Ki. Jika tidak ia akan memakan korban lebih banyak lagi."
"Menurutku itu bukan tugasmu, Mega Dewi.
Sekalipun kau kupinjami keris pusakaku, tapi jika ketinggian ilmumu tidak
seimbang, sama saja kau akan menemui ajal di tangannya.
Kekuatan keris itu tidak bisa dipakai untuk menentukan kemenangan. Tergantung
ketinggian ilmu kanuragan kita. Kecuali jika lawanmu tidak akan menyerang, maka
kau tetap akan menang dengan menggunakan keris pusakaku itu."
"Tapi...," Mega Dewi berkerut dahi memperhatikan Ki Empu Sakya, "Ku lihat kau
tidak membawa benda apa-apa, Ki. Apakah
keris pusaka itu ditinggalkan di rumahmu itu?"
Ki Empu Sakya tersenyum tipis, "Biar siapa pun menggali rumahku tidak akan
menemukan Keris Pusaka Setan Kobra. Keris itu kusimpan di suatu tempat yang tak mudah
diketahui oleh siapa pun, kecuali diriku sendiri."
"Tapi..."
Kata-kata itu tak jadi dilanjutkan karena
Ki Empu Sakya segera menarik tangan Mega
Dewi dan menutup mulut gadis itu dengan
tangan. Mereka masuk ke semak-semak yang
rimbun, karena Ki Empu Sakya mendengar
suara langkah kaki orang mendekat ke
arahnya juga detak jantung orang lain yang ada di kejauhan sana.
"Apakah ia datang kemari, Ki?" bisik Mega Dewi.
"Entahlah. Yang jelas ada seseorang yang bergerak kemari. Sebentar lagi kita
akan tahu siapa orangnya."
Anehnya telinga Mega Dewi tidak
mendengar suara langkah kaki orang. Yang
didengar hanya hembusan angin lereng bukit.
Bahkan mereka sempat mendekam di semak-
semak itu cukup lama. Kaki Mega Dewi sampai terasa pegal.
"Orangnya masih jauh, tapi telinga Ki Empu Sakya sudah mendengar langkahnya.
Sungguh tinggi ilmu pendengaran Ki Empu Sakya ini."
Mulanya Mega Dewi sempat sangsi,
"Jangan-jangan tak ada yang datang kemari"!
Sudah sembunyi lama sekali tapi tak ada yang datang, uuh...! Menyebalkan sekali.
Pasti Ki Empu Sakya salah dengar atau mungkin salah duga."
Tapi beberapa saat setelah membatin kata
begitu, gadis berkepang dua mendengar
langkah kaki menginjak rerumputan. Langkah itu makin mendekat ke arahnya. Mega
Dewi menjadi yakin, memang ada yang mendekati
tempat mereka. Sesosok tubuh kecil muncul dari balik
tikungan semak. Mega Dewi dan Ki Empu
Sakya sama-sama hempaskan napas lega, lalu keduanya berdiri dan keluar dari
persembunyian. "Ya, ampuun...! Kenapa kau ikut kemari.
Angon Luwak"!" tegur Ki Empu Sakya kepada bocah penggembala kambing itu.
"Aku hanya ingin beri tahukan padamu, Ki... ada orang yang mengobrak-abrik
rumahmu. Orangnya membawa pedang
bergagang kepala naga dari logam putih."
tutur Angon Luwak penuh kesetiaan.
"Iblis Naga Pamungkas!" gumam Mega Dewi percaya dengan firasat yang dimiliki Ki
Empu Sakya. Ia semakin kagum terhadap ketinggian ilmu orang tua bertubuh kecil
itu. "Sekarang apa yang harus kita lakukan, Ki?"
"Ke goa! Aku punya goa tempatku bertapa dulu. Mudah-mudahan belum tertutup
reruntuhan batu."
"Aku ikut, ya Ki?" usul Angon Luwak.
"Apakah kau tak akan dicari oleh
orangtuamu?"
"Orangtuaku yang suruh aku
memberitahukan padamu tentang kedatangan
orang itu, Ki," jawab Angon Luwak dengan lugu.
"Baiklah kalau kau memaksa mau ikut. Tapi tempatnya tinggi. Kalau kau lelah
mendaki tak ada orang yang sanggup menggendongmu."
"Aku akan berjalan sendiri. Ki," kata Angon Luwak dengan penuh semangat. Bocah
itu sangat kagum dengan Ki Empu Sakya, juga
menyukai petualangan di rimba persilatan.
Cerita-cerita tentang tokoh golongan putih yang pernah dan sering dituturkan
oleh Ki Empu Sakya memacu jiwa bocah itu untuk
masuk ke dunia persilatan golongan putih.
Karenanya, semangat untuk mengikuti Ki
Empu Sakya cukup tinggi. Orang tuanya
sendiri tak mampu mencegah kehendaknya.
Pada saat Ki Empu Sakya membawa Mega
Dewi ke goa bekas tempat pertapaannya dulu, Wiratmoko sedang sibuk membongkar
seluruh isi rumah Ki Empu Sakya. Ia lakukan dengan kasar, sehingga rumah bambu itu
sempat miring ke kiri karena diguncang kekasaran
Wiratmoko. Hatinya jengkel sekali
menemukan rumah itu telah kosong, bahkan
keris pusaka yang dicarinya pun tidak ada.
Saat ia keluar untuk mencari jejak
kepergian Ki Empu Sakya, tiba-tiba muncul
seorang berpakaian serba merah. Rambutnya
panjang berwarna merah, juga jenggot dan
kumisnya yang berwarna merah. Orang
bertubuh tinggi, besar dan bermata lebar.
Wajah angkernya tampak menyeramkan.
Kulitnya sedikit coklat kemerah-merahan.
"Oh, rupanya kau datang untuk maksud
yang sama, Dewa Api?" sapa Wiratmoko
kepada orang yang berusia sekitar empat
puluh tahun itu.
"Aku hanya ingin bertemu dengan Empu
Sakya. Bukan ingin bertemu denganmu,
Wiratmoko!"
"Empu Sakya sudah pergi, lari terbirit-birit sebelum aku datang!" kata Wiratmoko
dengan sikap sombongnya.
"Apakah dia lari membawa pusakanya?"
"Tidak. Pusakanya berhasil kudapatkan dan kini baru saja selesai kusembunyikan,"
jawab Wiratmoko dengan harapan Dewi Api tidak
akan memburu pusaka itu lagi jika sudah
ditemukan oleh dirinya. Tapi rupanya Dewa
Api punya rencana tersendiri. Tokoh yang
dikenal di rimba persilatan dengan keganasan napas apinya itu dulu pernah
dihajar habis oleh Dampu Sabang, guru Wiratmoko, tetapi
sebelum ajalnya tiba ia sudah lebih dulu
melarikan diri. Dewa Api adalah salah satu golongan hitam yang punya musuh
banyak dan ingin membalas dendam kepada musuh-musuhnya dengan menggunakan keris
pusakanya Empu Sakya. Karenanya, dengan
penuh tekad Dewa Api memaksa Wiratmoko
untuk serahkan Keris Pusaka Setan Kobra
kepadanya. "Apa pun ancamanmu aku tidak akan
serahkan keris itu, Dewa Api!"
"Kalau begitu kau harus lumer di ujung napasku, Wiratmoko!"
"Akan kubalik kenyataannya nanti!" kata Wiratmoko dengan tenang. Dewa Api
agaknya belum mengetahui bahwa Wiratmoko telah
berhasil menemukan Pedang Naga Pamungkas
yang konon telah terkubur ratusan tahun,
milik seorang raja penguasa alam gaib.
Kedua tangan Dewa Api yang berkuku
panjang itu segera membentang terbuka.
Kedua kakinya pun merendah, matanya
memandang tajam. Tapi Wiratmoko tidak
punya rasa gentar sedikit pun. Ia tak mau
membuang - buang waktu, maka dicabutlah
Pedang Naga Pamungkas dari sarungnya.
Sraang...! Dewa Api sempat terkesip melihat pedang
itu kepulkan asap putih yang tiada habisnya.
Ia menaruh curiga, tapi kecurigaan itu segera disingkirkan dengan bantahan, "Tak
mungkin anak ingusan itu memiliki Pedang Naga
Pamungkas. Pasti pedang itu tipuan belaka."
Pendekar Mabuk 025 Naga Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Majulah, Dewa Api...!" geram Wiratmoko memancing kemarahan Dewa Api.
"Heaaahh...! Dewa Api sentakkan napas dari mulutnya. Napas itu berubah menjadi
lidah api yang menjilat dalam kobaran tinggi.
Woosss...! Wiratmoko cepat sentakkan kaki dan
bersalto di udara melintasi atas kepala Dewa Api. Dengan cepat Dewa Api lepaskan
pukulan tenaga dalamnya melalui kelima jari tangan kanannya. Ujung kelima jari
keluarkan lima larik sinar merah api yang bertujuan
membungkus tubuh Wiratmoko. Tetapi
Wiratmoko lebih lincah lagi, ia berkelit
dengan menggulingkan tubuh ke tanah,
sehingga lima larik sinar itu mengenai
sebatang pohon dan pohon itu terbakar
dengen cepat. Nyaris tak terlihat bentuk
daunnya lagi kecuali kobaran api yang
mengerikan. Pada saat Wiratmoko terguling ke tanah,
kaki Dewa Api berusaha menginjaknya.
Buuhg...! Injakan itu meleset, membuat tanah yang terkena injakan kaki menjadi
hangus dan berasap. Warna tanah menjadi hitam arang.
Wiratmoko berkelebat bangkit dalam
liukan tubuh bagaikan menari berputar. Tepat ketika ia tegak, tubuhnya merendah
dan pedangnya menebas dengan cepat dari kanan
ke kiri. Wuuut...! Crass...!
"Ohhg...!" Dewa Api terbelalak merasakan perutnya robek terkena pedang lawan.
Luka itu tidak timbulkan darah. Tapi asap makin lama makin tebal. Asap putih
kekuning-kuningan itu bagai keluar dari luka panjang di perut. Semakin lama asap
itu semakin banyak, semakin membungkus tubuh Dewa Api. Walau
ia melawan dengan semburan apinya, tapi hal itu tidak menolong. Asap kian rapat
membungkus tubuh Dewa Api. Suara Dewa Api
segera hilang. Napas tak terdengar lagi. Ia roboh tanpa suara dan asap masih
membungkusnya. Beberapa penduduk desa
memperhatikan pertarungan itu dari jarak
jauh. Mereka menjadi sangat terkejut ketika asap itu hilang dan tubuh Dewa Api
telah berubah menjadi tulang-tulang atau kerangka keropos, seperti kerangak mayat yang
sudah puluhan tahun lamanya.
"Edan! Senjata apa itu membuat lawan
bisa jadi kerangka seketika"!" bisik salah seorang penduduk desa.
"Sudahlah, jangan dibicarakan. Nanti dia dengar dan menghampiri kita. Kita bisa
dibuat menjadi tulang seperti itu. Terus kalau kita mau cuci muka bagaimana,
coba"! Ayo, pergi saja sebelum dia mendatangi kita!" kata teman orang tadi. Ia
sangat ketakutan dan
wajahnya menjadi pucat.
Seorang perempuan desa yang tak
seberapa jauh tinggalnya dari rumah Ki Empu Sakya segera didekati Wiratmoko.
Tentu saja perempuan itu menggigil ketakutan karena ia juga mengintai
pertarungan tadi. Ia merasa ngeri membayangkan nasibnya akan seperti
Dewa Api jika pemuda tampan berhati kejam
itu melakukan hal yang sama seperti tadi.
Ternyata Wiratmoko hanya bertanya,
"Tahukah kau ke mana perginya Ki Empu Sakya dan seorang gadis cantik berpakaian
hijau?" "K... ke... ke selatan," jawab perempuan itu merasa lebih baik berterus terang
daripada bernasib seperti Dewa Api.
"Terima kasih," jawab Wiratmoko dengan senyum kemenangan. Ia pun segera bergegas
ke arah selatan.
Waktu Suto Sinting tiba di rumah Ki Empu
Sakya, ia terkejut melihat keadaan sudah
berantakan. Ia ingin menanyakan kepada
salah satu penduduk desa tersebut, tapi tiba-tiba mendengar ledakan di tempat
pertarungan Ki Gendeng Sekarat, sehingga
niatnya untuk bertanya ditundanya sesaat.
Kini setelah Suto datang bersama Ki
Gendeng Sekarat, Suto pun menanyakan
perihal Ki Empu Sakya kepada perempuan
yang tadi mengigil ditanyai Wiratmoko.
Perempuan itu takut kalau Suto dan Ki
Gendeng Sekarat adalah orang yang lebih
kejam lagi, sehingga pertanyaan tersebut
dijawab dengan benar.
"Mereka... mereka pergi ke selatan!"
"Apakah bersama orang lain?"
"Tid... tidak. Tapi saya lihat seorang pemuda tampan yang membunuh orang besar
sampai menjadi tulang itu juga menyusulnya ke selatan."
"Dari mana dia tahu kalau Ki Empu Sakya pergi ke selatan?"
"Saya memberitahukan. Karena... karena saya takut," jawab perempuan itu dengan
polos. Itulah sebabnya ketika Ki Empu Sakya
bersama Mega Dewi sedang mendaki bukit
menuju goa, gerakannya terlihat oleh
Wiratmoko dari kaki bukit. Pemuda itu
tertawa kecil, lalu berlari mengejarnya. Suara langkah kaki membuat Ki Empu
Sakya segera menyuruh Mega Dewi dan Angon Luwak untuk
bersembunyi. "Terpaksa aku harus menghadapinya.
Padahal aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak melakukan pertarungan
dengan siapa pun. Tapi agaknya kali ini aku dipaksa.
Apa boleh buat."
"Tapi kau tidak membawa keris pusaka, Ki!" "Akan kuhadapi tanpa pusaka itu.
Cepatlah bersembunyi!"
Ki Empu Sakya merasa sudah tak mungkin
menghindari Wiratmoko dengan melarikan
diri. Cepat atau lambat Wiratmoko pasti akan berhasil menemukannya. Maka pilihan
terakhir membuat Ki Empu Sakya sengaja bersikap
menunggu kedatangan lawannya di tanah
datar berpohon jarang itu.
"Kalau memang bisa kukalahkan dengan
omongan, tak akan kulakukan pertarungan.
Tapi jika memang tak berhasil kutundukkan
dengan kata-kata, aku terpaksa bertindak dan ini merupakan pertarungan akhirku!"
ucapnya bagaikan bicara dengan diri sendiri, tapi Mega Dewi mendengar dari
tempat persembunyian.
Lawan yang ditunggu pun datang. Wiratmoko
sunggingkan senyum jumawa, tapi Ki Empu
Sakya hanya diam saja. Matanya memandang
tajam tak berkedip, penuh wibawa dan
kharisma. "Apa maksudmu mengejar-ngejarku,
Wiratmoko"!"
"Tentunya kau tahu sendiri apa maksudku."
"Memang. Tapi siapa tahu apa yang telah kuketahui itu salah, karena tidak
selamanya orang sesat akan berjalan di tempat yang
salah. Suatu saat dia akan kembali ke jalan yang benar. Siapa tahu kau kembali
ke jalan yang benar! Jadi aku perlu menanyakan
maksudmu, Wiratmoko!"
Tawa Wiratmoko bernada angkuh,
melecehkan kata-kata Ki Empu Sakya.
"Tiap orang punya pandangan yang
berbeda, Ki Empu Sakya. Kau boleh
memandang langkahku adalah sesat, tapi aku menganggap langkahku ini benar. Setia
pada perintah Guru. Dan kalau aku inginkan keris pusakamu itu hanya semata-mata
agar jangan jatuh ke tangan orang serakah. Kau tidak
mempunyai kekuatan seperti yang kumiliki, Ki Empu Sakya. Aku khawatir keris itu
mampu direbut oleh orang serakah. Aku akan
mempertahankan dan menyelamatkannya."
"Gurunya sendiri sesat, bagaimana
muridnya"!" sahut Mega Dewi yang tahu-tahu muncul dari persembunyian. Rupanya
Mega Dewi tak tahan menyimpan dendam dan
kebencian di balik persembunyiannya. Ia
keluar dengan mata tajam penuh tantangan.
Tapi Wiratmoko menyambutnya dengan
tenang, bahkan sempat tersenyum sinis
memuakkan hati gadis berkepang dua itu.
"Mega Dewi," tegur Ki Empu Sakya.
"Kembalilah ke tempatmu. Biar kuhadapi orang ini!"
"Tidak! Kalau toh aku harus mati seperti ayahku, aku rela mati sekarang juga!
Pemuda iblis itu bagianku, Ki Empu Sakya! Aku tak mau takut oleh pusakanya. Aku
pun punya pedang yang mampu kalahkan pusakanya itu.
Siapa cepat dia menang, siapa lambat dia
tumbang!" kata Mega Dewi dengan kegeraman yang amat dalam. Ia bahkan maju
mendekati Ki Empu Sakya dan berkata kepada Wiratmoko dengan mata menyipit benci.
"Cabut pedangmu, kita adu kecepatan dan ketangkasan!"
"Mega Dewi...," bujuk Ki Empu Sakya.
"Biarkan aku menghadapinya, Ki!
Hiaaat...!" tiba-tiba Mega Dewi cabut pedangnya dan segera lompat serang
Wiratmoko. Wuuut...!
Wiratmoko sempat terkejut dengan
hadirnya serangan yang secara tiba-tiba itu. Ia cepat hindarkan diri dengan
lompat ke samping yang membuat tebasan pedang
pendek itu meleset dari sasarannya. Pedang yang menyerupai pisau itu segera
dikibaskan ke samping, breet...!
Wiratmoko tersentak kaget. Pipinya
tergores ujung pisau tajam. Kemarahan
Wiratmoko meluap, sedangkan keberanian
Mega Dewi kian tinggi.
Sraang...! Wiratmoko mulai cabut Pedang
Naga Pamungkasnya. Asap mengepul tipis dari mata pedang. Ki Empu Sakya mulai
cemas. Lalu dengan kecepatan tinggi ia berkelebat menerjang Wiratmoko sambil tangan
kirinya menyentakkan pukulan berwarna sinar merah, sedangkan tangan kanannya menyambar
tubuh Mega Dewi. Wuuut...! Claap...! Blaar...!
Wiratmoko berhasil menahan pukulan sinar
merah itu dengan pedang tersebut. Dentuman keras menggelegar membanana, namun
tidak menimbulkan sentakan kuat yang mampu
mengguncangkan sikap berdiri Wiratmoko.
Gema ledakan itu diterima oleh telinga
Pendekar Mabuk dan Ki Gendeng Sekarat.
Langkah mereka semakin cepat, arahnya kian jelas. Dalam sekejap mereka sudah
sampai ke tempat pertarungan tersebut. Pada saat itu, Ki Empu Sakya sedang
menuju Mega Dewi
untuk diam di tempat. Tapi karena Mega Dewi memberontak terus, akhirnya Ki Empu
Sakya menotok jalan darahnya.
Deb...! Mega Dewi diam tak berkutik lagi. Tapi
matanya masih bisa memandang dan
memahami keadaan sekeliling. Sedangkan
Angon Luwak masih ada di tempat
persembunyiannya. Ketika ia melihat
kehadiran Ki Gendeng Sekarat, hatinya
menjadi girang, wajahnya pun ceria.
"Nah, Guru datang!" katanya dengan suara pelan. Wiratmoko tersenyum kalem
melihat kedatangan Pendekar Mabuk. Pedang Naga
Pamungkas masih tergenggam di tangannya.
Ki Gendeng Sekarat diam menatap Wiratmoko
dengan pandangan dingin. Ki Empu Sakya tak jadi lanjutkan langkahnya, karena
mereka segera mendengar suara Suto berkata kepada Wiratmoko dengan nada tegas.
"Tak kusangka akhirnya kaulah lawanku, Wiratmoko!"
"Suto Sinting, kumohon kau tak perlu ikut campur urusan ini, karena di antara
kita tidak punya masalah apa-apa. Jangan melibatkan
diri dalam permasalahanku, Sobat."
"Kau punya tugas dari Dampu Sabang untuk membunuhku!" kata Ki Gendeng Sekarat.
"Sekarang lakukanlah, Wiratmoko! Aku sudah ada di depanmu!"
"Tidak!" sentak Suto Sinting. "Ki Gendeng Sekarat, kumohon dengan hormat,
menyingkirlah dan biarkan aku yang
menghadapinya."
"Aku masih mampu melumpuhkan tikus
sawah itu! Biarkan aku saja!"
"Ki Gendeng Sekarat, menyingkirlah!"
"Tidak!"
"Ini perintah dari Manggala Yudha!" seru Suto Sinting. Ki Gendeng Sekarat jadi
memandang, lemas, dan akhirnya ia
melangkah menepi. Jika Suto sudah gunakan
gelar kehormatannya seperti itu, Ki Gendeng Sekarat tak akan berani menentang
keputusan Suto Sinting. Tetapi hal itu digunakan Suto bukan semata-mata untuk
menyombongkan gelar kehormatannya, namun
hanya untuk menghindari korban yang tak
diinginkan. Suto tahu wajah Ki Gendeng
Sekarat memang kecewa, tapi ia paksakan diri untuk tidak pedulikan wajah kecewa
Ki Gendeng Sekarat itu.
"Wiratmoko, sekarang kita tentukan siapa yang unggul dalam pertarungan ini. Tapi
jika kau turuti saranku, pulanglah dan tinggalkan tugas dari gurumu yang sesat
itu. Jangan gunakan lagi Pedang Naga Pamungkas itu.
Hiduplah dengan damai terhadap sesama, dan jadilah pembela kebenaran."
"Cuih...!" Wiratmoko jadi jengkel dan meludah. "Aku tak butuh saranmu! Kalau kau
telah pastikan diri sebagai tandinganku,
sebaiknya kita mulai saja pertarungan ini! Kau akan menjadi kerangka tulang
keropos dalam waktu kurang dari seratus hitungan, Suto
Sinting!" Suto pun melangkah ke kiri ketika
Wiratmoko melangkah ke kanan, mereka
membentuk lingkaran gerak dan masing-
masing memandang dengan mata tajam penuh
kewaspadaan. Suto Sinting telah
memindahkan bumbung tuaknya ke tangan,
sehingga sewaktu-waktu mampu digunakan
sebagai senjata pengganti pedang. Sedangkan senjata Wiratmoko sendiri sejak tadi
kepulkan asap terus, seakan dalam kelaparan dan
menunggu mangsanya tiba.
"Hiaaat...!" Wiratmoko maju menyerang dengan satu lompatam rendah. Pedang
ditebaskan dari atas ke bawah.
Blaaar...! Pedang itu membentur bambu tuak.
Pendekar Mabuk 025 Naga Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sedikit pun tak ada luka pada bambu. Tetapi akibat benturan itu, gelombang
ledakan terjadi amat kuat dan Wiratmoko terlempar
hingga tujuh langkah dari tempatnya berdiri semula. Ia segera bangkit, lalu
dengan lompatan ringan yang menghasilkan tenaga
tinggi, ia meluncur bagaikan terbang dengan pedang terarah ke depan. Sasarannya
adalah dada Suto Sinting. Tetapi ketika ujung pedang itu sudah mendekat, tiba-
tiba Wiratmoko menggerakkan pedang ke bawah, lalu
menebas ke samping. Wuuut...!
Suto Sinting sentakkan kaki dan lompat
tinggi di atas permukaan tubuh Wiratmoko.
Kakinya segera menendang ke depan. Dees...!
Pelipis Wiratmoko menjadi sasaran kaki Suto.
Pemuda itu terpelanting jatuh akibat
tendangan keras yang membuat telinganya
mulai berdarah.
Wiratmoko berlutut setengah merangkak
merasakan sakit di telinganya. Ia yakin
gendang telinganya menjadi pecah akibat
tendangan tadi. Amarahnya kian bertambah,
sehingga dengan gerakan cepat ia berkelebat melancarkan jurus 'Pedang Sapu
Jagal'. Gerakan itu hampir saja tak terlihat oleh
mata Suto Sinting. Namun kelebatan asapnya membuat tangan Suto menggerakkan
bumbung tuak untuk menangkisnya. Trang...! Duaaar...!
Suto memutar tubuh, bumbungnya
disodokkan ke belakang, tepat mengenai
punggung Wiratmoko. Buuhg...!
"Hegghh..."!" Wiratmoko mendelik, napasnya bagai tersumbat dan tak mampu
dihela lagi. Kerongkongannya terasa amat
kering karena sodokan bambu itu mempunyai
kekuatan tenaga dalam cukup tinggi. Ia pun segera menguasai keadaan dirinya
dengan mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya.
Kejab berikut ia kembali sigap di depan Suto.
"Bambu itu benar-benar gila! Kerasnya melebihi baja mana pun. Agaknya aku tak
bisa menggunakan wujud nyata dalam
menyerangnya," pikir Wiratmoko.
Tiba-tiba ia menggerakkan pedang dengan
sangat cepat, menebas kanan, kiri, depan,
belakang, memutar, dan begitu seterusnya
sehingga tubuhnya sendiri mulai dibungkus
asap putih. Makin lama asap itu semakin tebal dan sepenuhnya raga Wiratmoko
berubah menjadi asap. Suto Sinting mencoba menyodokkan
bambunya, tapi menemui tempat kosong.
Asap itu tidak berubah sedikit pun. Asap itu masih tetap menggenggam pedang
walau tak terlihat tangan penggenggamnya. Semua yang ada di situ mempunyai rasa kagum yang
tak sama besar-kecilnya. Wuuus...!
Pedang itu berkelebat nyaris merobek
punggung Suto. Tetapi berhasil dihindari
dengan berguling ke depan satu kali dan
kembali berdiri dengan sigap.
"Suto akan kewalahan jika melawan asap begitu. Tak ada yang bisa dipukul," pikir
Ki Gendeng Sekarat. Tetapi apa yang dipikirkan Ki Gendeng Sekarat ternyata
berbeda dengan apa yang dipikirkan Pendekar Mabuk.
Tutup bambu itu dibuka oleh Suto Sinting.
Keadaan bambu dimiringkan, lubang bambu
yang berisi tuak tinggal sedikit itu diarahkan ke depan. Ketika Wiratmoko
bergerak dalam bentuk asap dan ingin menebaskan pedangnya kembali, kaki Suto pun menghentak ke
tanah satu kali. Duug...!
Tiba-tiba dari bumbung bambu itu keluar
tenaga penghisap yang amat kuat. Asap
tersebut tersedot masuk ke dalam bumbung
bambu. Terdengar suara Wiratmoko yang
berseru lantang,
"Hai, jurus apa ini"! Hai... tunggu! Tunggu, Suto....!"
Syuuurrp...! Deb...! Suto segera menutup lubang
bambu ketika asap itu tersedot habis masuk ke dalam bambu. Terdengar suara
Wiratmoko menjerit-jerit di dalam bumbung bambu.
"Lepaskan aku! Lepaskan! Suto...! Aaauh, aaauh...! Hai, siapa yang menghajarku
ini"! Hai... aauh... aaauh... huuggh...!
Sutooooo...!"
Di dalam bumbung itu tersimpan cincin
Manik Intan yang mempunyai kekuatan
tersendiri. Mungkin kekuatan cincin itulah yang menghajar Wiratmoko di dalam
bumbung bambu. Yang jelas seruan dan ratapan
Wiratmoko tidak dihiraukan oleh Suto Sinting.
Pedang Naga Pamungkas yang jatuh tak ikut tersedot ke dalam bambu itu segera
dipungutnya. Tapi ternyata gerakan Suto
terlambat. Pedang itu sudah disambar lebih dulu oleh bocah kecil; Angon Luwak.
Semua mata memandang kaget kepada Angon Luwak.
"Angon Luwak, serahkan pedang berbahaya itu kepada Kang Suto!" perintah Ki Empu
Sakya. "Tidak!" kata Angon Luwak. Ia mendekati Ki Gendeng Sekarat, lalu di depan
gurunya Angon Luwak unjuk kebolehan ilmu
genggamannya. Gagang pedang diremas kuat-
kuat. Praaas...! Hancur menjadi serbuk halus.
Lalu mata pedang yang berasap itu pun
diremas pelan-pelan. Sinar putih berkilauan memancar. Tapi mata pedang itu pun
hancur menjadi serbuk halus. Toosss...!
"He, he, he, he...!" Ki Gendeng Sekarat tertawa terkekeh-kekeh sambil mengusap
usap rambut Angon Luwak.
"Tidak ada yang bisa gunakan kejahatan pakai pedang ini lagi, Guru!"
"Bagus, bagus, bagus...!" Ki Gendeng Sekarat manggut-manggut, membuat Suto
Sinting dan Ki Empu Sakya pun tersenyum geli melihat kebanggaan Angon Luwak,
walau tadi Ki Empu Sakya sempat kaget melihat Angon
Luwak meremukkan gagang Pedang Naga
Pamungkas. Setelah mendengar Angon Luwak
menyebut Ki Gendeng Sekarat dengan sebutan
'guru', maka Ki Empu Sakya pun segera tahu bahwa Ki Gendeng Sekarat telah
memberikan ilmu itu kepada Angon Luwak.
"Ki Empu Sakya, kumohon bebaskan
totokan Mega Dewi."
"Oh, iya...! Hampir saja aku lupa!"
Taab...! Ki Empu Sakya bebaskan totokan
Mega Dewi. Tapi pada saat itu tahu-tahu Suto telah melesat pergi dengan
cepatnya. Mega Dewi melihat Suto sudah ada di seberang
jauh, di kaki bukit tersebut.
"Sutooo...! Mau ke mana kau"!"
"Membuang asap ini ke Sumur Tembus
Jagat?" seru Pendekar Mabuk, karena
menurutnya tak ada tempat lain untuk
memenjarakan Wiratmoko kecuali di Sumur
Tembus Jagat. Sedangkan Wiratmoko yang
ada di dalam bambu itu menjadi amat
ketakutan mendengar dirinya akan dibuang ke Sumur Tembus Jagat.
"Jangan, Suto...! Jangan buang aku ke sana! Jangan, Suto! Sutoooo...!"
Tapi Suto Sinting tetap berlari menuju ke
Bukit Mati Langit tempat di mana Sumur
Tembus Jagat berada.
"Sutooo...! seru suara wanita yang tak lain adalah Kirana. "Aku ikut!" Gadis itu
pun berlari mengejar Suto, kini ia tidak bersama
Citradani, sebab Citradani harus segera pulang ke Kuil Elang Putih untuk
serahkan kalung
pusaka Lintang Suci itu. "Aku ikut, Sutooo...!"
"Terserah!" teriak Suto di kejauhan sambil membiarkan dirinya dikejar Kirana
yang cantik dan bandel itu.
SELESAI Segera menyusul
RATU TANPA TAPAK
E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
Pendekar Jembel 18 Pendekar Bayangan Sukma 15 Maut Buat Madewa Gumilang Persekutuan Pedang Sakti 7