Pencarian

Ratu Tanpa Tapak 1

Pendekar Mabuk 026 Ratu Tanpa Tapak Bagian 1


Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 OMBAK bergulung-gulung melemparkan riak ke
pantai. Cuaca cerah. Langit jernih. Matahari baru
beberapa saat muncul dari peraduannya. Udara segar
enak untuk berlatih pernapasan. Dan di atas sebongkah batu karang runcing,
duduklah seorang lelaki bersila tanpa kenakan baju.
Batu karang itu benar-benar runcing. Bahkan runcing sekali. Tapi lelaki itu
duduk bersila di atasnya dengan tenang dan tidak merasa kesakitan. Yang jelas
siapa pun akan kagum melihat pria tampan itu mampu duduk di
atas sebuah keruncingan.
Badannya yang tidak berbaju tampak kekar.
Berkilauan karena dipanggang panas matahari pagi.
Dadanya tegak. Wajahnya memandang lurus ke
cakrawala. Kedua tangannya ada di samping. Lemas
tanpa kekerasan otot apa pun. Dada bidang itu tampak kekar. Bergerak naik turun
dengan teratur. Rambutnya yang panjang tak diikat meriap-riap dipermainkan
angin. Lelaki tampan itu bukan tak punya baju. Ternyata ia memang sengaja melepas
bajunya. Baju itu ditaruh di bebatuan pantai. Di samping baju ada bambu tempat
tuak. Warna bambunya coklat muda, sedangkan warna
bajunya coklat tua gelap. Celana yang dikenakan
berwarna putih. Jelas itu ciri-ciri si Pendekar Mabuk.
Apakah karena mabuk dia duduk di atas keruncingan
yang tajam"
O, tidak! Dia sengaja duduk di keruncingan yang
tajam untuk melatih ilmu peringan tubuhnya. Kalau dia tak memiliki ilmu peringan
tubuh yang tinggi, sudah pasti pantatnya akan tertusuk oleh ujung batu karang
runcing itu. Para tokoh berilmu tinggi tahu persis hal itu, dan pasti akan
mengatakan bahwa si Pendekar Mabuk
punya ilmu peringan tubuh yang tinggi, hampir
mendekati sempurna.
Perlahan-lahan badan Pendekar Mabuk bergerak.
Bukan miring ke kiri atau ke kanan, melainkan naik ke atas. Hebat sekali. Dalam
keadaan tetap duduk tubuh itu bisa bergerak naik pelan-pelan. Sekarang pantatnya
tidak menyentuh ujung runcing itu. Tapi mengambang.
Jaraknya sedikit sekali. Kira-kira setinggi separuh batang korek api. Tapi
semakin lama, semakin jauh jarak itu. Sekarang malah ukuran jarak pantat dengan
ujung batu karang ada sejengkal. Itu yang dinamakan ilmu
'Layang Raga', yaitu ilmu peringan tubuh yang bisa
mengangkat tubuh menjadi tetap di tempat tanpa
tumpuan apa pun.
Ilmu 'Layang Raga' dilatih sejak lama. Kian hari kian mencapai tingkatan tinggi.
Lihat saja, sekarang Pendekar Mabuk bisa mengambang di udara dalam jarak satu
hasta dari tempat duduknya. Padahal ia tetap duduk
bersila dengan urat-urat dilemaskan. Seolah-olah ia bisa duduk di udara lepas.
Mengagumkan sekali ilmu itu.
Tentunya tak mudah dimiliki sembarang orang.
Latihannya dilakukan sejak Pendekar Mabuk masih
berusia lima belas tahun. Sekarang usianya sudah dua puluh dua tahun. Bayangkan,
berapa lama ia berlatih ilmu 'Layang Raga' dengan tekun" Pantas kalau
mencapai tingkatan yang tinggi.
Tubuh yang masih bersila itu bergerak turun secara
pelan-pelan. Tak ada yang menarik, tak ada yang
menekan. Dia turun sendiri. Sebab ilmu 'Layang Raga'
adalah perpaduan kendali napas dan pemusatan pikiran yang terlatih. Kapan saja
pikiran dan hatinya menyatu untuk menghendaki tubuh bergerak naik, maka sang
tubuh pun bergerak naik. Jika menghendaki bergerak
turun, ya akan turun dengan sendirinya.
Kalau ilmu itu sudah benar-benar dikuasai dan
mencapai titik ketinggiannya, maka Pendekar Mabuk
bisa naik-turun sendiri dalam kecepatan cukup tinggi.
Tidak menutup kemungkinan ia akan bisa terbang. Tapi bukan terbang seperti
burung. Melainkan berpindah
tempat dengan cepat dalam keadaan duduk, jongkok,
atau apa pun juga. Tentunya tak bisa jauh-jauh. Ada
batasnya sendiri.
Ilmu itu memang mengagumkan. Buktinya bocah
kecil yang sejak tadi memperhatikan dari tempat
persembunyiannya sampai lupa menutup mulutnya yang
terbengong melompong. Akibat lupa menutup mulut,
seekor lalat masuk. Hab!
"Cuih...!" bocah kecil itu meludah, lalat pun selamat dari mulutnya, tapi bocah
itu bergidik jijik.
Bocah berusia sepuluh tahun yang sejak tadi
mengintip latihannya Pendekar Mabuk itu berkulit hitam kecoklatan. Rambutnya
lurus agak panjang. Tubuhnya
kurus namun bukan berarti cekung. Matanya sedikit
lebar, wajahnya polos.
Siapa bocah itu"
Angon Luwak namanya. Dia pernah mengikuti
pertarungan Pendekar Mabuk dengan Wiratmoko yang
bergelar Iblis Naga Pamungkas. Malahan bocah
penggembala kambing itu pernah menjadi 'murid' Ki
Gendeng Sekarat dalam mimpi, ia seorang bocah yang
amat menggemari cerita-cerita kependekaran, sehingga dalam angan-angannya ia
selalu ingin menjadi seorang pendekar berilmu tinggi. (Kalau ingin tahu riwayat
bocah itu, baca saja episode : "Naga pamungkas").
Bocah itu memang bandel, tapi punya tekad dan
keberanian yang tinggi. Kebandelannya terletak pada keingintahuannya terhadap
segala macam jenis ilmu
yang aneh-aneh. Sejak bertemu Pendekar Mabuk yang
bernama Suto Sinting itu, Angon Luwak menjadi
pengagum berat kesaktian Pendekar Mabuk. Maka diam-
diam dia mengikuti ke mana perginya Suto Sinting, ia tak berani terang-terangan,
takut dimarahi atau disuruh pulang oleh Suto Sinting.
Tapi kali ini ia ingin tampakkan diri dan bertepuk
tangan sebagai tanda memuji kehebatan ilmu 'Layang
Raga' itu. Sayang niatnya tertunda karena kemunculan dua tokoh tua yang datang
dari arah timur pantai. Angon Luwak makin merapatkan diri di persembunyiannya,
ia ingin tahu apa yang dilakukan dua tokoh tua yang baru datang itu.
Kedua tokoh tersebut punya ciri-ciri yang berbeda.
Yang berpakaian abu-abu mempunyai rambut putih
panjang, pakai ikat kepala merah, membawa tongkat
kayu coklat yang ujungnya tak berbentuk apa-apa.
Sedangkan yang mengenakan jubah merah berambut
putih pendek, botak bagian tengahnya, sehingga
keningnya kelihatan lebar, ia membawa tongkat kayu
warna putih, ujungnya berbentuk seperti ujung anak
panah. Runcing tapi tidak tajam sekali.
Keduanya mempunyai tinggi badan yang sama, usia
yang sama sekitar enam puluh tahunan. Sekalipun tua, tapi mereka melangkah
dengan tegak dan tegap. Seolah-olah tenaganya masih muda. Pada saat melangkah
tongkatnya digunakan sebagai tumpuan yang mengayun.
Mereka berhenti dalam jarak tujuh langkah dari tempat Suto menaruh baju dan
bumbung tempat menyimpan
tuaknya. Mereka memperhatikan Suto beberapa saat,
sementara Suto belum sadar atas kehadiran dua tokoh tua itu. Suto masih duduk di
atas keruncingan ujung batu
karang. Lima langkah di belakang kedua tokoh tua itu, terdapat pohon dan
kerimbunan semak. Di situlah Angon Luwak bersembunyi.
"Benarkah dia orangnya?" kata si jubah merah kepada jubeh abu-abu.
"Tak salah lagi, memang dialah orangnya."
"Hmmm..., agaknya ilmunya memang cukup tinggi."
"Murid si Gila Tuak tentunya mewarisi segala ilmu gurunya," kata si jubah abu-
abu seperti orang
menggumam. Percakapan itu didengarkan oleh Angon
Luwak. Tapi bocah itu tidak berulah apa-apa kecuali hanya diam dan tetap
mengintai. "Sejak kapan kau mengenal dia, Lumaksono?" tanya si jubah merah.
Orang berambut putih panjang yang ternyata bernama
Ki Lumaksono itu menjawab dengan kalem, "Kami
belum pernah saling kenal, Parandito. Tapi aku pernah melihat pertarungannya di
suatu tempat dari kejauhan."
Jubah merah yang ternyata bernama Ki Parandito itu
manggut-manggut. Ia berkumis dan berjenggot pendek
warna putih, sedangkan Ki Lumaksono hanya berkumis
putih tanpa jenggot.
"Apakah kita perlu panggil dia sekarang juga,
Parandito?"
"Jangan. Biar diselesaikan dulu latihannya. Tak enak kalau kita harus mengganggu
kesibukannya."
Pendekar Mabuk mulai mendengar suara kasak-kusuk
itu. Karenanya ia segera berpaling ke darat, dan sedikit kaget melihat dua tokoh
tua sedang memperhatikannya,
ia tak enak hati. Lalu segera turun dari atas batu karang, melangkah mendekati
baju dan bumbung tuaknya.
Matanya memandang ramah.
Ki Lumaksono mendekat lebih dulu dan menyapa
secara baik-baik, kemudian Ki Parandito menyusulnya, sehingga jarak mereka
dengan Suto hanya empat
langkah. "Kami tidak bermaksud mengganggu latihanmu, Suto Sinting."
"O, aku tidak merasa terganggu," jawab Suto dengan sopan. "Aku hanya merasa
heran, karena belum pernah bertemu dengan Kakek berdua."
"Aku Pawang Gempa, juga dipanggil Ki Lumaksono.
Dan ini...," ia menunjuk si botak berjubah merah, "... ini adalah saudara
seperguruanku. Namanya Ki Parandito, alias Juru Bungkam."
Sambil mengenakan bajunya yang tanpa lengan itu,
Suto Sinting ajukan pertanyaan tetap dengan sopan,
"Lalu apa keperluan Ki Lumaksono dan Ki Parandito menemuiku di sini?"
"Tak ada maksud apa-apa kecuali hanya ingin
meminta bantuanmu, Pendekar Mabuk," jawab Ki
Parandito. "Bantuan apa?"
Kedua tokoh itu saling pandang sebentar. Sepertinya mereka saling berserah diri
untuk menjelaskan maksud sebenarnya. Ki Lumaksono segera mengambil
keputusan untuk bicara kepada Pendekar Mabuk. "Kami kehilangan mayat guru kami."
Suto Sinting kerutkan dahi. Aneh sekali mendengar
kabar itu. Mayat bisa hilang. Siapa yang mau mencuri mayat" Dan untuk apa"
Ki Lumaksono teruskan kata, "Guru kami yang
berjuluk Sokobumi, telah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Jenazahnya kami
awetkan dan kami simpan dalam sebuah gua. Kami melakukan hal itu bukan untuk
maksud jahat, namun untuk mengenang dan
melampiaskan rindu kami yang datang sewaktu-waktu.
Guru kami bukan saja sebagai guru namun juga kami
anggap sebagai ayah kami. Ia hidup sampai berusia
sembilan puluh tahun lebih. Kami sangat menyayangi
dan menghormati Guru, karena ajaran-ajarannya selalu membimbing kami kepada
kebenaran. Sebulan yang lalu kami periksa gua itu, ternyata mayat Guru sudah
lenyap dari peti kaca."
"Dicuri orang atau jalan sendiri?" tanya Suto Sinting.
"Tak mungkin jalan sendiri, karena sudah lama tak bernyawa," tukas Ki Parandito
yang membuat Suto Sinting jadi tersipu, karena merasa telah mengajukan
pertanyaan yang bodoh.
Ki Lumaksono lanjutkan kata, "Seseorang telah
mencuri jenazah guru kami. Orang yang mencuri
jenazah guru kami sudah kami ketahui."
"Siapa?" tanya Suto.
"Nila Cendani yang juga dikenal dengan nama Ratu Tanpa Tapak. Dia penguasa
Gunung Sesat, dan memang
tokoh alot dari golongan hitam."
"Lalu, kenapa Ki Lumaksono tidak merebut mayat itu
darinya?" Ki Lumaksono hanya geleng-geleng kepala. Raut
wajahnya menampakkan semangat yang pudar. Suto
Sinting heran dan berkata,
"Apakah Nila Cendani berilmu tinggi dan tidak bisa ditandingi oleh Ki Lumaksono
maupun Ki Parandito?"
"Kira-kira begitu," jawab Ki Lumaksono. Tapi Ki Parandito segera menambahkan
keterangannya, "Nila Cendani berilmu tinggi. Tubuhnya tak bisa disentuh oleh seorang lelaki,
kecuali lelaki itu masih perjaka ting-ting. Belum pernah bercampur dengan
wanita. Tetapi orang tersebut juga harus berilmu tinggi untuk mengimbangi
ilmunya." "Aneh sekali," gumam Suto Sinting. "Tidak bisa disentuh lelaki yang sudah bukan
perjaka lagi?"
"Maksudnya yang belum pernah tidur dengan
wanita," jelas Ki Lumaksono.
"Ya, ya... aku paham. Tapi bagaimana dengan dia sendiri" Apakah bisa menyentuh
pria yang bukan
perjaka?" "Tidak bisa juga. Tapi dia bisa lepaskan serangan jarak jauhnya dan mampu
membunuh pria yang bukan
perjaka. Sedangkan pria seperti kami, tidak bisa
menyerangnya, karena serangan sehebat apa pun yang
kami lancarkan akan membalik arah. Tidak akan sampai dan tidak akan mampu
melukainya walaupun dari jarak jauh. Demikian pula kepada kaum wanita yang masih
perawan, akan bisa menyerang dan menyentuhnya, tapi yang bukan perawan tidak
akan bisa menyerang dan
menyentuhnya."
Ki Lumaksono tambahkan kata lagi, "Serangannya sangat berbahaya dan mematikan.
Sulit ditangkis dan dihindari."
"Lalu mengapa akulah orang yang terpilih untuk menghadapi Nila Cendani?"
"Karena kami yakin kau masih perjaka"'
"Dari mana Ki Lumaksono mengetahuinya?"
"Pernah kulihat tanda merah di dahimu. Sekarang pun kami melihat tanda merah itu
sebagai tanda penghormatan yang diberikan oleh Ratu Kartika Wangi dari negeri Puri Gerbang
Surgawi di alam gaib."
"Tapi tanda merah ini bukan jaminan keperjakaanku, Ki."
"Ratu Kartika Wangi tak akan berikan penghargaan setinggi itu kepada pemuda yang
sudah tidak perjaka.
Sekalipun beliau berikan penghargaan bertanda merah kepada yang bukan perjaka,
maka warna merahnya
berbeda, sedikit lebih gelap. Sedangkan tanda merah di dahimu itu sangat terang
dan cerah, itu tandanya kau masih perjaka. Kelak jika kau sudah tidak perjaka
lagi, maka warna merah itu akan keruh, tidak secerah saat ini."
Suto Sinting diam termenung, ia memang memiliki
noda merah kecil di tengah dahinya sebagai tanda
penghormatan dan gelar Manggala Yudha dari calon
mertuanya, yaitu ibu dari Dyah Sariningrum, (Baca


Pendekar Mabuk 026 Ratu Tanpa Tapak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serial pendekar Mabuk dalam episode : "Manusia Seribu Wajah"). Hanya orang-orang
yang tingkat ilmunya
cukup tinggi yang bisa melihat noda merah itu. Tetapi Suto sendiri tak tahu
kalau noda merah itu sebagai tanda keperjakaannya pula.
"Untung aku tidak pernah nyeleweng dengan
perempuan lain. Kalau aku nyeleweng dan berbuat
mesum, pasti Dyah Sariningrum dan ibunya akan
mengetahui dengan melihat cerah atau keruhnya wama
merah ini," pikir Suto. "Kini aku tahu, warna merah ini juga sebagai pemantau
bagi Dyah Sariningrum dan
ibunya untuk mengetahui apakah aku berbuat tak
senonoh dengan wanita lain atau tidak. Ah, kenapa baru sekarang aku
mengetahuinya?"
Renungan Pendekar Mabuk terhenti karena suara Ki
Lumaksono. "Gurumu, si Gila Tuak, pasti kenal dengan Eyang Sokobumi; guru kami itu. Karena
beliau-beliau adalah tokoh aliran putih yang disegani musuh. Jadi
sepantasnya kami memohon bantuanmu untuk merebut
kembali Jenazah guru kami dan tangan Nila Cendani.
Bila perlu kami akan meminta izin lebih dulu kepada Ki Sabawana alias si Gila
Tuak itu."
Belum sempat Pendekar Mabuk ucapkan kata lagi,
tiba-tiba dari arah timur pantai muncul seorang
penunggang kuda berkecepatan tinggi. Kuda hitam itu ditunggangi seorang wanita
cantik berpakaian ketat
warna ungu muda. Rambutnya disanggul sebagian,
sisanya dibiarkan lepas meriap-riap karena kecepatannya dalam mengendarai kuda.
Wanita cantik itu menyandang pedang di punggungnya. Jubah ungu tua yang melapisi
pakaian ketatnya melambai-lambai bagaikan sayap
burung raksasa.
Melihat kemunculan wanita cantik itu, kedua tokoh
tua tampak mulai tegang. Ki Parandito menyimpan
kecemasan, demikian pula Ki Lumaksono. Seolah-olah
mereka ingin lekas-lekas tinggalkan tempat itu. Angon Luwak yang ada di
persembunyiannya juga memandang
ke arah datangnya kuda hitam tersebut. Tapi ia tetap tidak lakukan apa-apa di
balik kerimbunan semak.
Kuda masih berlari tak begitu cepat. Wanita
berpakaian ungu itu melompat turun dengan lincahnya.
Kuda berhenti sendiri tanpa diperintah. Wanita cantik yang berusia sekitar dua
puluh lima tahun itu melangkah mendekati Suto Sinting. Matanya yang bening indah
tapi berkesan galak itu memandang ke arah Pawang Gempa
dan Juru Bungkam.
"Tak salah dugaanku, kalian berdua pasti menemui pemuda ini!" kata wanita cantik
itu. Suto hanya diam, tapi otaknya mencatat sikap permusuhan si wanita
kepada dua tokoh tua itu.
Ki Lumaksono berkata kepada wanita tersebut,
"Sekali lagi kuingatkan, jangan campuri urusan kami, Pelangi Sutera. Uruslah
urusanmu sendiri dan kami akan mengurus urusan kami sendiri."
"Kalian punya urusan sendiri denganku yang belum dijelesaikan! Karenanya aku
mengejar kalian kemari untuk selesaikan urusan kita sekarang juga...."
Wuuut...! Ki Parandito menyambar tempat kosong
dan tangannya menggenggam, bagaikan habis
menyambar nyamuk. Itulah jurus pembungkam
andalannya, supaya orang yang dimaksud tak mampu
lanjutkan bicara. Tapi wanita cantik yang ternyata
bernama Pelangi Sutera itu justru meludah ke samping.
"Cuih! Kau tak bisa membungkamku, Ki Parandito.
Ilmu bungkammu tak akan berguna bagi diriku!"
Ki Parandito pun melepaskan genggamannya, merasa
sia-sia usahanya. Sedangkan Pelangi Sutera bergerak makin dekati kedua tokoh tua
itu. "Kita teruskan urusan kita dan kita selesaikan di sini juga!"
"Gadis sombong!" geram Pawang Gempa, ia mulai tampak tak sabar. "Kalau kau
memaksa kami, aku yang akan mengawali. Hiaaat...!"
Wuuut...! Pawang Gempa menebaskan tongkatnya untuk
menghancurkan kepala Pelangi Sutera. Tetapi gadis itu ternyata cukup lincah.
Kecepatan tebas tongkat itu dapat dihindari dengan merundukkan kepala, lalu
menyentakkan tangan ke depan. Slaaap...! Selarik sinar hijau menghantam perut
Pawang Gempa. Tetapi Pawang
Gempa segera lompat ke kiri, sehingga sinar hijau itu membentur gugusan batu
karang di kejauhan sana.
Blaaar...! Batu karang itu pecah menjadi serpihan
sebesar batuan kerikil.
Juru Bungkam tak mau tinggal diam. Dengan
tongkatnya yang berbentuk anak panah itu ia melompat ke arah Pelangi Sutera.
Tongkat itu dihunjamkan ke
punggung gadis tersebut. Sinar putih bagaikan baja
melesat dari ujung tongkat menuju punggung Pelangi Sutera.
Jruub...! Punggung itu terkena sinar putih dengan
telak. Mengepul asap kehitaman dari bekas luka. Tapi dalam sekejap tubuh yang
terluka hangus itu menjadi pulih seperti sediakala dengan hanya menarik napas
satu kali. Bahkan baju jubahnya yang tadi tampak mau
terbakar itu menjadi padam dan utuh seperti semula.
Pelangi Sutera kelebatkan
tangannya bagai
menyambar sesuatu di depannya. Dari ujung jari-jarinya memerciklah bunga-bunga
api warna merah kekuning-kuningan. Bunga-bunga api itu berbintik-bintik dan
sangat banyak jumlahnya. Bunga-bunga api itu
membungkus tubuh Ki Parandito. Tetapi sebelum tubuh itu terbungkus rapat, Ki
Lumaksono hentakkan
tongkatnya ke bumi satu kali. Duug!
Tanah berguncang, pantai bagai dilanda gempa.
Bunga-bunga api yang hendak membungkus tubuh Ki
Parandito pun rontok dan lenyap bagai ditelan tanah.
Gadis berjubah ungu itu melompat tinggi dan bersalto di udara. Rupanya di sana
ia lepaskan pukulan tenaga dalamnya berbentuk selarik sinar merah. Slaaap...!
Sinar itu menghantam dada Ki Lumaksono. Tapi dengan sigap orang itu menangkisnya
dengan menyilangkan tongkat
di depan dada. Blaaar...!
Ledakan dahsyat terjadi, menghentakkan tubuh tua Ki Lumaksono yang segera
terlempar dan terjungkal ke
perairan pantai. Byuuur...!
"Tinggalkan dia! Buang-buang waktu saja!" seru Juru
Bungkam sambil melompat pergi, sedangkan Ki
Lumaksono pun cepat bangkit dan pergi dengan
kecepatan tinggi. Wuuut...! Pelangi Sutera ingin
mengejarnya, namun hanya maju dua langkah dan
membatalkan niatnya. Napasnya sempat terengah-engah tipis, ia berpaling
memandang Suto Sinting yang dari tadi diam saja, tak mau ikut campur sedikit
pun. Malahan sesekali terlihat meneguk tuaknya dengan
tenang, seakan tidak peduli dengan pertarungan tersebut.
Kini ia memandang Pelangi Sutera yang wajahnya
masih memancarkan kemarahan, ia sengaja tidak
membuka kata, karena ia yakin Pelangi Sutera akan
mengawali bicara lebih dulu.
"Dugaanku ternyata benar. Kaulah orang incaran mereka berdua."
"Siapa mereka sebenarnya?"
"Utusan dari Gunung Sesat. Mereka para penasihat Ratu Tanpa Tapak."
Pendekar Mabuk terperanjat dan segera berkerut dahi.
Keterangan itu sangat bertentangan dengan penjelasan kedua tokoh tua tadi. Suto
menjadi bingung sendiri
mencari kebenarannya.
"Kau sendiri siapa" Sepertinya kau telah
mengenalku?"
"Namaku Pelangi Sutera, murid Raja Maut!"
jawabnya tegas.
"Raja Maut..."!" gumam Suto Sinting, ia merasa pernah bertemu dan mengenal nama
itu. Raja Maut adalah orang yang nyaris membunuh Wiratmoko dalam
kisah "Naga Pamungkas". Raja Maut agaknya kenal baik dengan guru Suto , tapi
pada waktu itu ia katakan akan menyelesaikan urusan dengan seseorang di Pulau
Blacan. Raja Maut pun kenal dengan Ki Gendeng
Sekarat. Jika gadis cantik yang berkesan galak itu
memang benar murid Raja Maut, tentunya ia termasuk
tokoh muda golongan putih.
"Apa persoalanmu dengan kedua tokoh tua itu?"
tanya Suto agak ragu.
"Mereka orang-orang yang diutus oleh Ratu Tanpa Tapak untuk mencari pemuda
lajang yang masih perjaka dan membawanya ke Gunung Sesat. Dugaanku mereka
pasti mencarimu, karena kau berilmu tinggi. Ternyata benar. Tapi untung mereka
belum sempat membawamu
kesana. Hampir saja kau menjadi tumbal cintanya ratu Tanpa Tapak.!"
"Tumbal"!" gumam Suto semakin bingung. "Mana yang benar kalau begini?" pikir
Suto sambil berkerut dahi.
* * * 2 PULAU Blacan adalah sebuah pulau yang tidak
terlalu besar. Bentuknya seperti telur ayam.
Kesuburannya terjamin. Dari kejauhan pulau itu tampak hijau segar. Penghuninya
hanya beberapa orang. Mereka hidup dengan bercocok tanam dan mencari ikan.
Tetapi sejak kedatangan Nyai Demang Ronggeng
pulau itu menjadi sepi. Sebagian penduduknya lari
meninggalkan pulau, sebagian mati meninggalkan dunia.
Nyai Demang Ronggeng bukan sekadar manusia biasa,
namun merupakan bencana dan malapetaka bagi
penduduk Pulau Blacan. Perempuan itu bukan saja
galak, tapi juga ganas dan tak segan-segan mencabut nyawa orang dengan seenaknya
sendiri. Ketika menjadi saudara seperguruan dengan Ki
Gendeng Sekarat, hubungannya sering dihiasai oleh
perang dingin dan perbedaan pendapat. Terlalu sering Nyai Demang Ronggeng dan Ki
Gendeng Sekarat
beradu debat dengan sengit, yang pada akhirnya
melahirkan pertarungan kecil. Jauh-jauh hari Ki
Gendeng Sekarat sudah menduga bahwa Nyai Demang
Ronggeng kelak akan menjadi tokoh silat golongan
hitam. Ternyata dugaan Ki Gendeng Sekarat itu memang benar.
Nyai Demang Ronggeng mencuri kitab pusaka milik
kakak dari gurunya. Kitab itu dipelajarinya sendiri dan membuat kekuatan yang
dimiliki Nyai Demang
Ronggeng bertambah, ilmunya berbeda dengan Ki
Gendeng Sekarat. Tetapi Ki Gendeng Sekarat sendiri
sudah selesaikan semua ilmu yang dituntut dari sang Guru. Eyang Pramban Jati,
guru Ki Gendeng Sekarat,
telah turunkan semua ilmunya kepada Ki Gendeng
Sekarat, sehingga sekalipun Nyai Demang Ronggeng
berhasil pelajari kitab dari Eyang Wisbo, kakak Eyang Pramban Jati, Ki Gendeng
Sekarat tidak merasa kalah ilmu dengan perempuan itu.
Eyang Wisbo sendiri mempunyai murid tunggal,
yaitu Raja Maut. Ketika Eyang Wisbo akan meninggal, Raja Maut mendapat pesan
agar merebut kitab yang
dicuri oleh Nyai Demang Ronggeng apabila Raja Maut
telah turunkan sebagian besar ilmunya kepada seorang murid. Raja Maut juga
mendapat tugas untuk pelajari seluruh ilmu yang ada di dalam Kitab Sukma Sukmi
itu. Dengan menggunakan dua lembar daun talas, Raja
Maut meluncur di permukaan air laut, menyeberang
menuju Pulau Blacan. Ia bagaikan perahu tanpa layar yang didorong angin dari
belakang cukup kuat. Berdiri di atas dua lembar daun talas bukan pekerjaan yang
mudah. Jika tidak berilmu tinggi sudah pasti akan
tenggelam sebelum sampai di pertengahan laut.
Jenggot panjang dan rambut panjang abu-abu tak
diikat itu meriap-riap bagaikan benang-benang layar yang rawis. Jubah putih
kusam berkelebat melambai-lambai mirip bendera kapal
penghantar mati.
Tongkatnya yang meliuk-liuk seperti ular itu digenggam dengan tangan kanan dan
dipakai untuk bersedekap di depan dadanya. Tubuh kurus bermata cekung itu tampak
tenang dalam mengendarai 'perahu daun' yang
kecepatannya melebihi kapal
layar tiga tiang.
Gelombang lautan membuat ia sesekali tampak timbul tenggelam dalam
kesendiriannya di tengah samudera.
Tetapi agaknya kedatangan Raja Maut dari Bukit
Semberani itu sudah diketahui oleh firasat Nyai Demang Ronggeng. Tak heran jika
kedatangan Raja Maut itu
segera disambut oleh Nyai Demang Ronggeng sebelum
sang tamu mencapai Pulau Blacan. Nyai Demang
Ronggeng menggunakan pelepah daun kelapa sebagai
alas kaki menyeberangi iautan. Dengan berdiri di atas pelepah daun kelapa, ia
pun meluncur bagaikan didorong angin kencang dari belakang.
Pertemuan di tengah lautan membuat Raja Maut
sempat sedikit kaget karena tak menyangka kalau akan disambut di sana. Tapi rasa
kaget itu hanya sekilas. Raja Maut kembali tenang dan memperhatikan sosok
perempuan berpakaian hitam meluncur di atas pelepah daun kelapa. Rambutnya yang
putih meriap-riap pula.
Jubah hitamnya bagai sayap kelelawar yang haus darah.
Sekalipun rambut telah memutih semua, tapi Nyai
Demang Ronggeng mempunyai raut wajah yang masih
tetap cantik, kulitnya kencang tidak berkeriput, matanya tajam dan badannya
masih tampak sekal, ia mirip wanita berusia tiga puluhan, karena ia memang
mempunyai ilmu pengawet kecantikan dan keelokan tubuh. Hanya warna rambut yang tak bisa
diawetkan. Dan dari warna rambutnya yang putih itulah dapat diketahui bahwa
sebenarnya ia telah berusia banyak.
Dalam jarak lebih dari lima belas tombak, Nyai
Demang Ronggeng sudah kirimkan serangan berupa
sinar merah bagaikan bola yang melesat cepat ke arah Raja Maut. Bola berapi itu
keluar dari sentakan tangan kanannya. Semakin lama melayang di udara semakin
bertambah besar ukurannya. Ketika melesat keluar dari telapak tangannya
berukuran sebesar kelereng, tapi
ketika mendekati Raja Maut ukurannya sudah menjadi
sebesar kelapa tanpa sabut.
Wuuuooos...! Raja Maut tetap tenang. Jari telunjuknya menuding
benda berapi itu. Ujung jari telunjuk tersebut keluarkan selarik sinar hijau.
Slaaap...! Tepat kenai benda berapi itu. Blaar...!
Gelegar gemuruh dari dentuman itu membuat
gelombang air laut naik melambung tinggi. Asap hitam pekat mengepul ke atas dari
hasil ledakan benda
tersebut. Nyai Demang Ronggeng tampak kecewa dan
kian menggeram jengkel, ia berhenti ketika Raja Maut pun diam di tempatnya,
hanya bergerak-gerak karena
alunan ombak laut. Kedua mata mereka saling tatap
dengan tajam dalam jarak sepuluh langkah.
Nyai Demang Ronggeng kelebatkan kedua tangannya
bagaikan menari dari belakang ke depan. Telapak tangan terbuka serentak sewaktu


Pendekar Mabuk 026 Ratu Tanpa Tapak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai di depan, dan
melesatlah bola-bola api dari kedua tangannya itu.
Masing-masing mempunyai tujuh bola api yang
berendeng bagaikan rangkaian kalung, semakin lama
semakin besar ukurannya.
Wuuuurrrsss...!
Raja Maut segera putarkan tongkatnya di atas kepala dengan cepat sampai timbul
suara menggaung bagaikan gangsing. Suara gaung itu memancarkan sinar
bergelombang warna biru. Sinar gelombang membentuk
lingkaran yang makin lama semakin melebar dan
bersusun-susun, sehingga akhirnya menjadi perisai bagi diri Raja Maut. Maka
ketika bola-bola api yang mirip
kalung terdiri dari dua kelompok itu mengenai sinar gelombang biru, terdengarlah
bunyi ledakan yang
beruntun dan mengguncangkan permukaan laut cukup
hebat. Keduanya bagaikan ingin dihempas ombak ke
sana-sini. Namun keduanya tetap kuat berdiri tegak.
Guncangan air laut reda. Mereka sudah dalam jarak
lebih dekat lagi, sekitar tujuh langkah. Suara Nyai Demang Ronggeng terdengar
lantang. "Sisa hidupmu tinggal sedikit, Raja Maut! Tak perlu bikin ulah yang bukan-bukan
di depanku!"
"Aku hanya menuntut hakku atas Kitab Sukma Sukmi yang kau curi dari guruku itu,
Nyai!" suara Raja Maut terdengar tenang, tidak bernafsu dalam melontarkan
kata-kata tuntutannya.
"Kau tidak akan memperolehnya, Raja Maut. Jika kau nekat mau merebut Kitab Sukma
Sukmi, maka yang
akan kau temui adalah ajal yang lebih cepat dari
semestinya. Sebaiknya, pulanglah!"
"Aku bukan anak kecil yang mudah kau usir dan
takut kau gertak. Kalau kau tak mau serahkan kitab itu, maka aku pun akan
bertindak lebih keji dari yang
terbayang dalam pikiranmu, Nyai Demang Ronggeng!"
"Aku tak bisa memberikan kitab itu, karena sudah terbakar saat aku bertarung
melawan seorang musuh.
Hampir saja ia terbakar bersama tubuhku."
"Semakin tua semakin pandai kau bersilat lidah, Kiswanli!" Raja Maut sebutkan
nama asli Nyai Demang Ronggeng.
Perempuan itu lontarkan tawa yang mengikik
pantang. "Kalau aku mau bersilat lidah tak akan dengan pria setua kau, tapi
memilih yang lebih muda dan
tampan. Rasa rasanya lebih hangat bersilat lidah dengan pria yang muda daripada
yang peot sepertimu,
Prasonco!" kala Nyai Demang Ronggeng yang juga sebutkan nama asli Raja Maut,
yaitu Prasonco.
"Pikiranmu masih sekotor dulu, Kiswanti. Tak pantas kau memiliki Kitab Sukma
Sukmi. Kuharap kau cepat
sadari kesalahanmu selama ini, dan jangan sampai
terjadi pertumpahan darah di antara kita gara-gara kitab itu. Sebaiknya serahkan
padaku sekarang juga, Kiswanti.
Aku tidak akan menjatuhkan hukuman padamu seperti
pesan eyang guruku."
"Aku tidak akan serahkan apa-apa padamu kecuali kematian!"
"Kau tak akan bisa menandingiku, Kiswanti."
"Hmm...! Congkak amat kau di depanku" Buktikan kekuatanmu, Prasonco!"
"Kalau kau memaksa memang akan kubuktikan."
"Tapi sebelumnya, terimalah dulu jurus 'Lidah Neraka' ini. Heaaah...!"
Slaaap...! Sinar merah besar keluar dari tengah kening Nyai
Demang Ronggeng yang menyentakkan kedua
tangannya membuka ke samping dan sedikit rendahkan
badan. Sinar merah itu begitu cepat melesat menghantam Raja Maut. Blaaar...!
Untung Raja Maut cepat sentakkan tongkatnya ke
depan wajah. Ujung tongkat keluarkan sinar putih perak
menyebar bagaikan piringan. Sinar itulah yang
menangkis sinar merahnya Nyai Demang Ronggeng.
Tapi akibatnya cukup berbahaya. Tubuh Raja Maut
tersentak mundur bagaikan diseret sesuatu dengan kuat.
Kakinya masih menapak pada daun talas. Namun
sentakan itu mengakibatkan keluarnya darah dari hidung Raja Maut.
Nyai Demang Ronggeng tertawa melengking tinggi.
Musuhnya kini berada daiam jarak lima belas langkah.
Kekuatan tenaga dalam yang disalurkan ke kaki
membuat pelepah daun kelapa itu bergerak maju satu sentakan. Wuuutt...! Lalu
berhenti dalam jarak sekitar enam langkah.
Raja Maut bagaikan tak pedulikan darah yang keluar
dari hidungnya, ia menatap tajam pada Nyai Demang
Ronggeng. Napasnya tertahan beberapa saat.
"Kalau kau...."
Kata-kata Nyai Demang Ronggeng terhenti, karena
tiba-tiba dari mata Raja Maut keluar sepasang sinar merah berkelok-kelok dan
menyambar kepala
perempuan itu. Slaap, slaap...! Blaaarr...!
Kelebatan kedua tangan Nyai Demang Ronggeng
membuat percikan sinar kuning membentang di depan
wajah, menghalang datangnya sinar merah tersebut. Tapi agaknya sinar yang keluar
dari mata Raja Maut itu punya kekuatan dahsyat. Ledakannya membuat tubuh Nyai
Demang Ronggeng terjungkal dalam keadaan terbang, ia kehilangan keseimbangan.
Jatuh tepat di ujung pelepah daun kelapa. Iia cepat-cepat menuju ke tengah
pelepah dan berdiri tegak kembali dengan napas terengah-engah.
Wajahnya pucat, mulutnya lelehkan darah yang tak
mampu ditahannya. Darah itu kental dan berwarna
merah kehitam-hitaman. Itu tandanya Nyai Demang
Ronggeng terluka dalam oleh ledakan tadi.
"Jahanam kau!" geramnya antara terdengar dan tidak.
"Kalau aku jahanam, kau adalah biang jahanam!"
balas Raja Maut dalam geramnya yang tetap kelihatan bersikap tenang.
"Rupanya memang tak ada jalan lain kecuali harus memusnahkan dirimu, Prasonco!
Baiklah, akan kulakukan walau sebenarnya aku tak tega!"
"Akan kulawan seluruh kekuatanmu demi tugas dari guruku!"
Slaaap...! Slaaap...!
Sinar kuning tua sebesar jari kelingking melesat
keluar dari kedua mata Nyai Demang Ronggeng. Tapi
bertepatan dengan itu pula, dari kedua mata Raja Maut juga keluar sinar hijau
muda dan bening, besarnya juga seukuran kelingking. Kedua sinar itu bertemu di
penengahan jarak. Blaab...!
Ujung pertemuan
memancarkan cahaya lebar warna kebiru-biruan.
Mereka saling bertahan. Kedua sinar tetap bertemu di pertengahan jarak. Napas
mereka sama-sama tertahan.
Tenaga mereka sama-sama tercurah. Tubuh Raja Maut
gemetar, demikian juga tubuh Nyai Demang Ronggeng.
Kekuatan mereka semakin lama semakin bertambah.
Terbukti dari warna sinar di pertemuan itu menjadi kian merah, makin lama
semakin jelas membara.
Getaran tubuh Raja Maut diiringi asap putih yang
merembes keluar dari pori-pori tubuhnya. Asap putih itu makin lama makin berubah
warnanya menjadi merah
samar-samar. Sedangkan Nyai Demang Ronggeng hanya
gemetaran saja. Asap yang merah samar-samar itu
menandakan keadaan dalam tubuh Raja Maut mulai
berbahaya. Darah pun mulai jelas-jelas keluar dari
telinga dan lubang hidung. Mulut Raja Maut tetap
terkatup rapat, tapi lama-lama keluar pula darah segar dari sela bibirnya.
Tiba-tiba dari arah samping mereka meluncur dua
ekor kura-kura berukuran kecil. Dua ekor kura-kura itu meluncur sejajar, di
punggungnya berdiri kaki seorang lelaki berikat kepala hitam, berpakaian merah.
Orang tersebut tak lain adalah Ki Gendeng Sekarat.
Kecepatan luncurnya tidak seperti kecepatan
berenangnya seekor kura-kura. Tentu saja kura-kura
tersebut digerakkan dengan tenaga dalam yang tinggi sehingga Ki Gendeng Sekarat
mampu melesat bagaikan
anak panah, ia melewati bagian belakang Raja Maut, lalu menyambar tubuh Raja
Maut dengan cepatnya.
Wuuut...! Taaab...!
Raja Maut telah ada di atas pundak Ki Gendeng
Sekarat. Salah satu tangannya melemparkan sesuatu ke arah Nyai Demang Ronggeng.
Blaaarr...! Sinar putih
menghantam pelepah daun kelapa yang dipakai sebagai tempat berpijak kaki Nyai
Demang Ronggeng. Daun
kelapa itu hancur berkeping-keping menjadi arang.
Akibatnya tubuh perempuan itu jatuh terjerembab ke
dalam air. Byuuur...!
"Monyet busung! Kau mau ikut campur urusanku.
Gendeng Sekarat"!" Nyai Demang Ronggeng lontarkan makian dan kemarahan. Tapi Ki
Gendeng Sekarat tidak pedulikan suara itu. Ia tetap melesat membawa pergi Raja
Maut yang terkulai lemas di atas pundaknya.
Nyai Demang Ronggeng ingin mengejar, tapi ia tak
mempunyai alas kaki untuk berpijak. Sedangkan
gelombang lautan pun mengamuk menggulung-gulung
tubuh Nyai Demang Ronggeng, seakan ingin mengejar
pelarian Ki Gendeng Sekarat. Perempuan itu hanya
berusaha bertahan dan menyelam timbul-tenggelam.
Sementara itu Ki Gendeng Sekarat sudah jauh dari
jangkauan pandangnya. Orang itu menuju ke pantai.
Ketika tiba di pantai masih berlari meninggalkan dua ekor kura-kura yang saling
pandang dan bingung
bagaikan tak sadar apa yang dilakukannya tadi.
Raja Maut pingsan di atas pundak Ki Gendeng
Sekarat. Ia dibawa ke hutan dan dicarikan tempat untuk berlindung. Sebab menurut
dugaan Ki Gendeng Sekarat.
Nyai Demang Ronggeng tidak menutup kemungkinan
untuk melakukan pengejaran terhadap dirinya. Sebab Ki Gendeng Sekarat tahu
persis watak Nyai Demang
Ronggeng yang selalu penasaran jika belum berhasil
melihat lawannya tak bernyawa. Sebab itu, Ki Gendeng Sekarat perlu
menyembunyikan Raja Maut ke dalam
sebuah gua yang ditemukan di kaki sebuah bukit.
Satu hal yang tidak diduga-duga, ternyata di dalam
gua itu terdapat seorang manusia yang sedang
beristirahat dengan santainya. Orang tersebut baru saja meneguk tuaknya dari
bambu penyimpanan. Orang itu
tak lain adalah Pendekar Mabuk, yang merasa perlu
menenangkan diri akibat kebingungannya mendengar
penjelasan berbeda antara Pelangi Sutera dengan Ki
Lumaksono dan Ki Parandito. Di gua itu Suto berharap dapat menemukan kesimpulan,
mana yang benar dari
dua penjelasan tersebut.
"Suto, kebetulan kita bertemu di sini." Ki Gendeng Sekarat letakkan tubuh Raja
Maut di sebidang tanah
datar dalam gua tersebut.
Wajah Suto Sinting yang tadi kaget melihat
kemunculan Ki Gendeng Sekarat, sekarang menjadi
heran melihat Raja Maut terluka pingsan begitu.
"Apa yang terjadi pada dirinya, Ki?"
"Berikan dulu tuakmu padanya, biar luka-lukanya tak sempat merenggut jiwa.
Semburkanlah tuakmu, Suto."
"Dia akan lupa pada diriku jika kulakukan
penyembuhan menggunakan ilmu 'Sembur Husada' itu,
Ki. Sebaiknya bikin dia bisa menelan tuakku."
"Dia pingsan. Mana mungkin orang pingsan bisa
menelan tuak?"
"Buat dia sadar dulu dengan cara bagaimanapun."
Ki Gendeng Sekarat menarik napas. Matanya
memandang iba kepada Raja Maut. Tapi mulutnya
bersungut-sungut dalam gerutuan yang lirih.
"Dasar bodoh kau, Prasonco. Melawan orang itu
pakai adu kekuatan mata tak akan bisa terkalahkan.
Harus dengan siasat."
Rupanya di gua itu Suto Sinting tidak sendirian.
Seorang bocah muncul dari luar gua membawa beberapa buah segar. Bocah itu
terkejut melihat Ki Gendeng
Sekarat dan segera menyapa dengan wajah ceria, "Guru, selamat datang, kita jumpa
lagi!" Bocah itu tak lain adaiah Angon Luwak. Ki Gendeng
Sekarat hanya berkerut dahi melihat kemunculan Angon Luwak. Sejak perpisahannya
di rumah Ki Empu Sakya,
tak terbayangkan kalau ia akan menemui bocah itu lagi.
Waktunya sudah berjalan tiga purnama, ternyata
pertemuan itu pun masih bisa terjadi. Ki Gendeng
Sekarat geleng-geleng kepala melihat keberanian dan keuletan Angcn Luwak yang
bercita-cita menjadi
pendekar untuk berpetualang. Agaknya bocah itu
mendidik diri sejak kecil menjadi petualang.
"Hei, apakah emak dan bapakmu tidak kebingungan mencarimu"!" kata Ki Gendeng
Sekarat kepada Angon Luwak.
"Mereka sudah izinkan aku berkelana, Guru. Lalu, diam-diam kuikuti kepergian
Kang Suto."
Suto Sinting menambahkan kata, "Aku tak tahu, dan baru kuketahui sejak aku mau
meninggalkan pantai,
kemarin siang. Akhirnya kubiarkan dia mengikutiku."
"Apakah kau ingin angkat dia sebagai muridmu?"
Suto Sinting tertawa. "Aku belum pantas jadi guru,"
jawabnya geli sendiri. "Kalau Ki Gendeng Sekarat bersedia, angkat saja dia
sebagai muridmu. Kurasa kau akan mempunyai murid yang tangguh dan tidak
mengecawakan, Ki."
Ki Gendeng Sekarat memandang Angon Luwak
sambil menarik napas. Yang dipandang tersenyum
berseri-seri seakan penuh harap dapat diterima sebagai murid Ki Gendeng Sekarat.
"Entahlah. Kutangani si Raja Maut ini dulu, supaya nyawanya belum terlanjur
minggat jauh-jauh dari
raganya!" Ki Gendeng Sekarat menyalurkan hawa murninya ke
dalam tubuh Raja Maut dengan cara menempelkan
kedua telapak tangannya ke dada Raja Maut. Pengerahan tenaga itu membuat tubuh
Ki Gendeng Sekarat gemetar dan berkeringat, ia melakukannya beberapa kali.
Biasanya tak sampai lama orang yang mendapat saluran hawa murninya akan sadar
dari pingsannya. Tapi
agaknya luka yang diderita Raja Maut itu cukup parah.
Ki Gendeng Sekarat memaklumi, karena ia tahu jurus
'Surya Ganda' yang dimiliki Nyai Demang Ronggeng itu memang cukup berbahaya dan
besar sekali kekuatannya.
Wajar jika Raja Maut sampai separah itu.
Angon Luwak memperhatikan cara Ki Gendeng
Sekarat melakukan penyembuhan. Hati anak itu bangga melihat orang yang dikagumi
bisa melakukan penyembuhan. Buktinya Raja Maut akhirnya siuman,
walau tak bisa apa-apa dan mengerang kecil sambil


Pendekar Mabuk 026 Ratu Tanpa Tapak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

napasnya tersendat-sendat.
Suto Sinting segera meminumkan tuaknya. Mulut
Raja Maut dibuka oleh dua tangan Ki Gendeng Sekarat bagaikan seekor ular akan
didulang makanan. Begitu
mulut terbuka, Suto mengucurkan tuak ke dalamnya
sedikit demi sedikit. Angon Luwak tertawa melihat Ki Gendeng Sekarat membuka
mulut Raja Maut seperti
merenggangkan besi perangkap musang.
"Cukup. Sudah cukup banyak tuak yang masuk," kata Suto sambil menjauh.
"Auuuh...!" Ki Gendeng Sekarat terpekik.
"Kenapa, Ki?" Suto kaget. Ki Gendeng Sekarat menuding-nuding ke arah mulut Raja
Maut. Suto Sinting dan Angon Luwak tertawa melihat tiga jari tangan Ki Gendeng
Sekarat terjepit mulut Raja Maut yang
mengatup itu. Ia bagaikan sedang digigit oleh Raja
Maut. Ki Gendeng Sekarat meringis antara sakit dan geli sendiri.
Ki Gendeng Sekarat mengibas-ngibaskan tangannya
yang tergigit mulut Raja Maut setelah tangan itu berhasil dilepaskan dari mulut
tersebut. Sedangkan Raja Maut segera tertidur setelah mendapat tuangan tuak
beberapa teguk. Biasanya jika orang habis meminum tuaknya
Suto, ia akan tertidur dan begitu bangun keadaannya akan menjadi segar, lebih
segar dari sebelumnya. Luka-luka pun hilang tak berbekas sedikit pun. Itulah
keistimewaan tuak yang sudah tersimpan di dalam
bumbung bambu tersebut.
Suto Sinting manggut-manggut ketika Ki Gendeng
Sekarat menceritakan pertarungan Raja Maut dengan
Nyai Demang Ronggeng. Suto pun jadi mengerti apa
sebab waktu itu Raja Maut bilang mau ke Pulau Blacan untuk satu urusan. Rupanya
urusan tentang Kitab Sukma Sukmi yang berisikan jurus-jurus ilmu maut di
dalamnya. "Mengapa Ki Gendeng Sekarat tidak ikut merebut kitab itu?"
"Karena Eyang Pramban Jati melarang. Kitab itu haknya Raja Maut. Aku tak boleh
serakah dan berusaha memilikinya. Karena itu hubunganku dengan Raja Maut selama
ini baik-baik saja."
"Kalau begitu, sebaiknya Raja Maut segera kita antarkan ke Bukit Semberani,
tempatnya bersemayam.
Biar si Pelangi Sutera merawatnya."
"Pelangi Sutera"!" gumam Ki Gendeng Sekarat dengan dahi berkerut heran. "Siapa
Pelangi Sutera itu?"
"Bukankah Raja Maut mempunyai murid bernama
Pelangi Sutera"!"
Ki Gendeng Sekarat tertegun dalam keheranan. Kejap
berikutnya ia berkata, "Raja Maut memang mempunyai seorang murid, tapi namanya
bukan Pelangi Sutera.
Kalau tak salah murid Raja Maut bernama Srimurti."
"Lho, jadi Pelangi Sutera itu siapa?" Suto menjadi heran kembali. "Dia mengaku
sebagai murid Raja Maut di depanku. Apa perlunya" Tapi... tapi dia kelihatannya
unggul di depan Ki Lumaksono dan Ki Parandito, utusan Gunung Sesat itu. Kedua
tokoh tua itu takut berhadapan dengannya."
"Siapa" Lumaksono dan Parandito"! Mana mungkin dia takut menghadapi murid Raja
Maut, sebab kedua
tokoh itu ilmunya lebih tinggi dari Raja Maut. Dan
mereka... ah, apa benar mereka utusan dari Gunung
Sesat" Rasa-rasanya tak mungkin," Ki Gendeng Sekarat
bingung, Suto Sinting sendiri akhirnya juga tambah
bingung. * * * 3 PIKIRAN Pendekar Mabuk masih tertuju pada gadis
cantik yang bernama Pelangi Sutera. Bukan memikirkan kecantikannya, tapi
memikirkan keperluan gadis itu.
Mengapa harus mengaku-aku sebagai murid Raja Maut"
Sayang Raja Maut masih tertidur sampai sore tiba,
sehingga Suto tidak dapat tanyakan berapa sebenarnya murid Raja Maut itu" Satu,
dua, tiga, atau seribu"
"Kutunggu di kaki Bukit Semberani esok sore. Ada sesuatu yang perlu kau ketahui,
Pendekar Mabuk."
Itulah kata-kata Pelangi Sutera sebelum berpisah
dengan Suto. Kata-kata itu sampai kini terngiang di telinga Pendekar Mabuk.
Sedangkan pikiran pemuda itu sedang dikacaukan oleh keterangan dari Ki Gendeng
Sekarat tentang murid Raja Maut. Rasa penasaran
membuat Pendekar Mabuk pergi meninggalkan gua
tanpa menunggu Raja Maut bangun, ia pergi sendiri.
Angon Luwak tidak diizinkan ikut. Bocah itu tidak
keberatan karena dia punya maksud mau dekati Ki
Gendeng Sekarat.
Pesan dari Pelangi Sutera mempunyai makna yang
sangat rahasia. Ada sesuatu yang perlu diketahui Suto.
Sesuatu apa"! Ini yang membuat Suto Sinting gemas dan bergegas menuju Bukit
Semberani, tempat persinggahan Raja Maut.
Bukit itu sebenarnya tanah tinggi yang ada di tepi
pantai. Letaknya di sebelah timur. Dinding bukit
sebagian dan batu karang yang tegak jurus dengan
permukaan air laut. Tapi bagian sisi lainnya landai, ditumbuhi oleh tanaman dan
mempunyai hutan tak
begitu rimbun. Sangat mudah mencari Bukit Semberani, karena bentuk dan cirinya
dapat dilihat dari pantai. Tak heran jika sebelum matahari tenggelam Pendekar
Mabuk sudah mencapai kaki Bukit Semberani. Tapi di mana
Pelangi Sutera berada" Ini yang membuat Pendekar
Mabuk berhenti dan garuk-garuk kepala.
"Mungkinkah ia ada di atas bukit, di tempat
tinggalnya Raja Maut" Kalau benar begitu, berarti aku harus mendaki bukit itu,"
pikir Suto. Tapi sebelum Pendekar Mabuk mengawali
pendakiannya, mendadak langkahnya terhenti karena
cahaya biru melintas dari arah kirinya. Suto Sinting melompat ke belakang sambil
bersalto satu kali.
Wuuut...! Kilatan cahaya biru itu menghantam gundukan batu
karang sebesar rumah. Blaaarrr...!
Wuuut...! Suto Sinting melompat lagi ke belakang
sambil bersalto, langsung menelungkupkan badan di
rerumputan. Jika tidak begitu, batu sebesar rumah yang pecah menjadi serpihan-
serpihan seukuran kepalan
tangan manusia dewasa itu akan menghantam kepala
Suto Sinting. Untunglah Suto cepat menelungkup di
tanah, sehingga kepalanya tak sempat bocor. Tapi ada satu batu yang jatuh di
punggungnya. Taak...! Batu itu
mengenai bambu tuak. Kalau tidak, pasti Suto akan
nyengir kesakitan ditimpa batu sebesar genggamannya.
Siapa pengirim cahaya biru yang cukup dahsyat itu"
Siapa yang punya pukulan dapat menghancurkan batu
sebesar rumah menjadi lenyap begitu saja" Mata
Pendekar Mabuk pun melirik ke sekelilingnya dengan
penuh waspada. Ternyata tak ada manusia di sana-sini.
"Pasti dia bersembunyi!" pikirnya. "Kalau begitu aku juga bersembunyi di bawah
semak sebelah sana!"
Pendekar Mabuk merangkak pelan-pelan mendekati
semak-semak rimbun. Begitu wajahnya mendekati
semak-semak, ia menjadi terkejut sekali karena di balik semak-semak itu ada
seekor babi hutan yang
bersembunyi. Moncongnya tepat ada di depan wajah
Suto Sinting. "Jabang bayi!" sentak Suto kaget. Babi hutan itu juga kaget. Karena kagetnya,
babi hutan itu menerjang Suto.
Sebab ia tak bisa berbelok arah dalam waktu singkat.
Suto Sinting terpaksa merapatkan badan ke tanah, ia dilompati babi hutan yang
ketakutan. Babi itu segera lari tak mau menengok ke belakang lagi. Tapi jantung
Suto sempat deg-degan karena rasa kagetnya.
"Dasar babi!" umpatnya dengan jengkel. Lalu ia tertawa sendiri dalam hati. Tapi
segera berpikir curiga dan menggumam sendiri, "Jangan-jangan babi hutan itu yang
menyerangku dengan pukulan bercahaya biru?"
Kecurigaan itu segera hilang, karena Suto segera
melihat kelebatan bayangan manusia yang melintas di kerimbunan lain. Batin Suto
langsung menduga, orang
itulah yang menyerangnya tadi. Ia harus mengejarnya.
Apakah orang itu Pelangi Sutera atau orang lain"
Claaap...! Suto Sinting melesat pergi mengejar orang itu.
Gerakannya benar-benar cepat, sehingga jika dilukis hanya berupa garis coklat
putih saja. Tak bisa dilihat bentuk keseluruhannya. Tapi agaknya orang itu punya
siasat untuk lari menghindari kejaran Suto Sinting.
Pendekar Mabuk sempat kehilangan arah. Mungkin
larinya terlalu cepat sehingga orang yang dikejar
tertinggal di belakangnya.
Buktinya ketika Suto berhenti dan celingak-celinguk, tiba-tiba ia merasakan ada
hawa panas menyerang
dirinya dari belakang. Suto Sinting membiarkan
serangan itu datang, meluncur dengar cepat sekali. Suto merasa tenang karena
bumbung tuaknya ada di belakang, ia hanya bergeser sedikit ke kiri, maka pukulan
jarak jauh berwarna biru itu mengenai bumbung tuaknya.
Traak...! Sinar itu membalik ke arah semula, tapi
warnanya sudah bukan biru lagi. Merah.
Pasti pemilik pukulan itu merasa heran dan
kebingungan, karena gerakan sinar merah itu dua kali lebih cepat dari gerakan
semula. Kekuatannya pun
berlipat ganda. Tak mungkin si pemilik pukulan itu
berani menangkisnya.
Gusraaak...! Ada orang melompat dari semak yang satu ke semak
yang lain. Dan pada saat itu pula sinar merah
menghantam pohon dengan telaknya. Glegaaarrr...!
Blaar! "Edan! Kenapa jadi lebih dahsyat dari aslinya?" pikir si pemilik pukuian. Ia
tertegun bengong. Empat pohon hancur seketika dihantam pukulan balik yang
berubah warna itu. Dua pohon hancur seketika karena terkena langsung, dua pohon
lagi hancur karena terkena getaran gelombang sedaknya.
"Ada orang yang ingin main-main denganku," pikir Suto Sinting. "Akan kulayani
biar aku sendiri tahu siapa orangnya."
Pendekar Mabuk segera beriari biasa, seakan
kebingungan mencari penyerangnya. Beberapa saat
kemudian, ia menampakkan wajah takutnya, ia pun
segera lari bagaikan orang ketakutan. Tentunya wajah ketakutan Suto membuat
penyerangnya kembali
bersemangat untuk melakukan serangan berikutnya.
Pancingan Suto berhasil. Orang itu menghadang
langkah Suto. Jleg...!
"Wow..."! Gede amat"!" gumam Suto pelan namun penuh rasa kagum, ia terpaksa
mendongak karena orang yang menghadangnya lebih tinggi darinya. Lelaki
bermata besar itu menyerupai raksasa. Singo Bodong
masih kalah besar. Benar-benar menyeramkan bagi
orang awam. Kulitnya hitam kelam. Kepalanya botak, tapi
tengahnya ada sejumlah rambut yang bisa dikuncir.
Kumisnya lebat turun ke bawah, ia hanya mengenakan cawat, tanpa pakaian lain. Ia
mengenakan anting-anting tapi hanya telinga kirinya saja.
"Ini manusia atau jin?" pikir Suto Sinting sambil memandangi orang tinggi besar
berkuncir itu. Wajah angkernya benar-benar menyeramkan.
Matanya bagai mau keluar karena melotot kepada Suto Sinting, ia diam saja tanpa
bicara. Mulutnya terkatup rapat. Tangannya menggenggam kuat-kuat. Mengenakan
gelang besi hitam di kanan-kirinya. Kakinya tanpa alas.
Berdiri tegak dan renggang. Bulu-bulu kakinya tidak begitu lebat tapi berjarak
renggang dan panjang.
Baru sekarang Suto berhadapan dengan lawan yang
begitu besarnya. Tapi pemuda itu toh tetap tenang, tak tampak gentar sedikit
pun. Bahkan ia sempat mengambil bumbung tuaknya, menenggak dua kali tegukan
dengan mata tetap melirik ke arah orang tinggi besar itu.
Sedangkan orang tersebut justru memandanginya dengan kepala sedikit dimiringkan.
Hidungnya mendengus-dengus bau tuak. Dahinya sedikit berkerut, sepertinya merasa
heran dengan apa yang dilakukan oleh Suto.
"Tuak!" ucapnya dengan suara besar. Setelah itu diam. Suto melirik sambil pelan-
pelan menutup bumbung. "Tuak!" katanya lagi.
Suto menjawab. "Ya. Tuak." Kemudian dahi Suto Sinting berkerut heran. Kemudian
pula bambu tuak itu diacungkan. "Kau mau tuak?"
Orang tinggi besar seperti raksasa itu gelengkan
kepala. "Mabuk," katanya.
Agaknya orang besar itu takut mabuk. Mungkin ia
tidak terbiasa minum tuak. Apakah mungkin ia orang
baik-baik" Alisnya tebal ke atas, menandakan dia orang sangar. Tak ada tampang
jadi orang baik sedikit pun.
Suto jadi sangat ingin tahu apa maksud orang besar itu menghadangnya.
"Siapa namamu?"
"Logo," jawabnya singkat seperti tadi.
"Logo...?" gumam Suto sambil manggut-manggut. Ia melangkah ke kiri sambil
memandangi Logo, dan mata
orang besar itu mengikutinya dengan tajam. Suto
kembali ke tempat semula, mata itu mengikuti. Suto
berjalan ke kanan, mata itu mengikuti. Suto kembali melangkah ke kiri, juga
diikuti. Lama-lama orang besar itu memalangkan kakinya di depan Suto.
"Pusing!" katanya.
Suto tertawa kecil. Hatinya merasa geli. Ia tahu
maksud ucapan itu. Logo merasa pusing melihat Suto mondar-mandir.
"Kalau kau pusing melihatku mondar-mandir,
tinggalkanlah aku."
Logo gelengkan kepala. "'Tugas," katanya.
"Tugas" Kau punya tugas apa?"
Tangkap... kau!" ia menuding Suto. Suaranya sedikit menggeram.
"Siapa yang memberimu tugas menangkapku?"
"Ratu," jawabnya tegas dan singkat.
"Ratu siapa" Ratu Kidul?"
Logo geleng-geleng kepala. "Bukan." Setelah itu dia diam saja. Suto tak sabar
dan segera ajukan tanya lagi.
"Ratu siapa?"
"Nila Cendani."
"O, Ratu Tanpa Tapak?"
"Tanpa!" jawab Logo sambil anggukkan kepala.
Suto manggut-manggut. Ternyata orang besar itu
utusan Ratu Tanpa Tapak. Tugasnya menangkap dirinya.
Tentu saja Pendekar Mabuk merasa heran dan tak mau
pasrah begitu saja.
"Mengapa Ratu Tanpa Tapak menyuruhmu
menangkapku" Apa salahku?"
"Bunuh!"
"Siapa yang kubunuh"'
"Utusan."
Suto Sinting muiai jengkel. "Hei, coba kau bicara yang jelas. Jangan sepotong-


Pendekar Mabuk 026 Ratu Tanpa Tapak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepotong begitu!"
Logo geleng-gelengkan kepala. "Pesan Ratu aku tak boleh banyak bicara. Sedikit
bicara banyak bekerja. Jadi aku jawab sepotong-sepotong saja!"
"Konyol!"
"Tidak!" bantah Logo seakan menganggap ungkapan rasa kesal Suto suatu pernyataan
yang sungguh-sungguh akan dirinya.
"Artinya jangan banyak bicara adalah jangan bicara melantur," kata Suto
menjelaskan. "Kau hanya boleh bicara hal-hai yang perlu, misalnya menjelaskan
beberapa masalah yang perlu dijelaskan. Bukan berarti ngomongnya hanya sepotong-
sepotong seperti tadi! Biar kau ngomong sepotong-sepotong, tapi kalau sampai
sehari semalam, itu sama saja banyak bicara sedikit
bekerja. Mengerti?"
"Mengerti!" jawab Logo sambil mengangguk.
"Nah, sekarang jelaskan, apa sebab Ratu Tanpa
Tapak menyuruhmu menangkapku atas tuduhan
membunuh utusan! Utusan yang mana maksudnya?"
"Nenggolo, Gaok Lodra, dan Sabit Guntur. Dua dari mereka kau bunuh. Satu pulang,
tangannya buntung."
"Aku tidak membunuh mereka."
"Bohong!" gertaknya.
"Bertemu mereka pun tidak. Tapi kalau bertemu
mayatnya memang iya!"
"Bohong juga! Kau yang bunuh dia. Kau yang punya nama Gendeng Sekarat!"
"Salah!"
"Benar!" Logo ngotot.
"Aku bukan Ki Gendeng Sekarat! Aku Suto Sinting!"
Logo diam. Kepalanya dimiring-miringkan
memperhatikan Suto.
"Aku Pendekar Mabuk, namaku Suto Sinting.
Sumpah!" Logo menyodorkan tangan, mengajak bersalaman.
"Sumpah..."!"
"Ya. Sumpah!" lalu Suto Sinting menjabat tangan Logo. Rupanya Logo percaya kata-
kata seseorang itu
benar jika sudah bersalaman sambil mengucap sumpah.
"Seperti anak kecil saja?" pikir Suto menahan geli.
"Oh, remasan tangannya cukup kuat. Untung kutahan dengan tenaga dalam yang sejak
tadi telah tersalur di tanganku, jadi jari-jari tanganku tak sempat patah
digenggamnya. Tenaganya tinggi dan besar sekali.
Sekali jotos, muka orang bisa melesak."
Kreeek...! Logo menyeringai kesakitan. Rupanya Suto balas
meremas tangan Logo dengan kekuatan tenaga
dalamnya. Tulang-tulang jari Logo sampai berbunyi,
menandakan tenaga remas Suto cukup besar. Logo
sendiri membatin dalam hatinya,
"Edan. Sakit juga diremas olehnya. Aku harus hati-hati kalau begini caranya. Tak
boleh gegabah dengan orang ini. Selama ini belum ada orang yang bisa
membuat jari tanganku gemeretak karena remasannya."
Setelah jabat tangan dilepaskan, Logo manggut-
manggut. Matanya yang besar masih memandangi Suto
Sinting. Yang dipandang segera naik ke atas gugusan batu, supaya lehernya tidak
capek dipakai untuk
mendongak terus. Setelah di atas gugusan batu, Suto dapat saling pandang dengan
sedikit datar. Tapi masih saja ukurannya lebih tinggi Logo.
"Kurasa kau salah sasaran, Logo. Tapi ada baiknya kau bertemu denganku, sebab
aku ada di pihak Ki
Gendeng Sekarat."
Logo berkerut dahi hingga alis tebalnya saling
bertemu. "Kau tak boleh berpihak kepada Gendeng Sekarat."
"Kenapa?"
"Nanti kau mati di tanganku juga."
"Kau tak akan bisa menjamahku kalau aku sudah mau bertindak."
"Bohong!"
"Sekarang pun kau tak akan bisa memegangku, Logo.
Cobalah kalau tak percaya. Ayo, cobalah!" tantang Suto.
Logo segera menyambar tubuh Suto dengan tangan
kanannya. Wuuut...! Suto Sinting melompat hanya
dengan sentakan kecil ujung jempol kakinya. Suuut...!
Tangan Logo justru digunakan pijakan. Dess...! Suto melompat lagi dengan
bertumpu menggunakan lengan
tangan itu, lalu ia bersalto melintasi kepala Logo.
Tangannya memegang kepala botak berkuncir. Plaak...!
Telapak tangan itu menyentak di permukaan kepala
botak, lalu tubuh Suto kian melayang ke belakang dan bersalto lagi satu kali.
Gerakan saltonya cukup cepat.
Sambil bersalto ia menjejak tengkuk kepala orang besar itu. Duuhhg...! Keras
sekali bunyi yang keluar dari jejakan tersebut.
Logo terdorong ke depan, hampir jatuh tersungkur.
Itu tandanya tendangan kaki Suto mempunyai kekuatan yang sungguh besar. Hampir
saja kepala dan wajah Logo membentur pohon. Untung kedua tangannya segera
menghadang sehingga wajah dan kepalanya tak jadi
membentur batang pohon. Tapi pohon itu segera
berguncang, daun-daunnya rontok akibat sentakan
tangan Logo yang tak sengaja.
Wwrrr...! Daun-daun yang berjatuhan tak dihiraukan. Logo
segera berpaling ke belakang. Suto Sinting sudah
bertengger di atas gugusan batu lainnya. Mata Logo
menatap garang, tapi mata Pendekar Mabuk memandang
lembut, bahkan diiringi seulas senyum tipis di bibirnya.
"Kurang sopan!" geram Logo sambil mengusap kepalanya yang tadi digunakan tumpuan
tangan Suto Sinting. Senyum pemuda itu kian lebar. Logo kian
menggeram jengkel. Kedua tangannya menggenggam
kuat-kuat dan siap menyerang Suto. Tetapi Pendekar
Mabuk segera ulurkan tangan ke depan dengan telapak tangan terbuka, ia bermaksud
menahan gerakan Logo.
"Tunggu, tunggu...! Jangan marah dulu!" katanya.
"Itu tadi hanya contoh. Ya, contoh bahwa kau tak akan bisa menjamahku jika kau
mau melawanku. Sedangkan
aku di pihak Ki Gendeng Sekarat. Kalau kau mau
menangkap dia, berarti kau harus berhadapan denganku.
Padahal aku tak bisa kau jamah, tapi akulah yang dengan mudah menjamahmu. Apakah
itu bukan berarti kau akan mendapat celaka jika bertarung melawanku?"
Logo diam tanpa bicara. Tapi ketegangan amarahnya
mengendur. Makin lama makin kendor lagi. Sementara
dahi tetap berkerut.
"Coba bayangkan dan pikirkan apa jadinya jika kau bertarung dengan orang yang
tak bisa kau jamah!" bujuk Suto Sinting, sebab menurut dugaan Suto, orang itu
hanya besar badan dan tenaga tapi otaknya kecil.
Mungkin sekecil merica.
"Kalau aku bisa menjamahmu berarti aku bisa
memukulmu sewaktu-waktu. Tapi kau tak akan bisa
memukulku. Kalau sudah begitu maka siapa yang akan
bonyok?" "Aku!" jawab Logo tegas sambil memegang dadanya.
"Apakah kau mau bonyok?"
Logo menggeleng dengan sedih. "Tidak!" jawabnya.
"Karena itu kau tak boleh melawanku. Paham?"
"Paham!" ia mengangguk.
"Kalau kau tak boleh melawanku, berarti kau tak boleh menangkap Ki Gendeng
Sekarat. Mengerti?"
"Mengerti," ia mengangguk patuh.
"Sekarang sebaiknya kau pulang saja dan katakan kepada Ratu Tanpa Tapak bahwa
kau tidak berhasil
menangkap Ki Gendeng Sekarat karena ada Pendekar
Mabuk yang menjadi perisainya!'
Logo geleng-geleng kepala lagi. "Tak mau pulang."
"Kenapa?"
"Takut."
"Takut apa?"
"Hukuman."
"Apakah Ratu Tanpa Tapak akan menghukummu jika kau gagal menangkap Ki Gendeng
Sekarat?" Logo mengangguk dengan muka
sedih, ia mengibaskan jarinya ke leher sambil berkata,
"Dipancung!'
"Ooo... jadi kalau kau gagal menangkap Ki Gendeng Sekarat, kau akan dipancung
sebagai hukumannya?"
"Ya," jawabnya dengan makin sedih, ia pun mundur beberapa langkah dan bersandar
pada sebatang pohon besar. Wajahnya tampak sedih, hati Suto Sinting mulai
tergerak. Tak mau bersikap bermusuhan dengan Logo.
"Berapa lama kau mengabdi kepada Ratu Tanpa
Tapak?" "Dua."
"Dua tahun?"
"Dua purnama."
"O, dua purnama"!" Suto manggut-manggut.
"Apakah kau tak berani melawan Ratu Tanpa Tapak?"
Logo menggelengkan kepala. "Kalah."
"Kalah kuat?"
"Kalah sakti," jawabnya.
"Kalau begitu... hmmm... sekarang apa rencanamu jika tak berani pulang?"
"Ikut...," sambil menuding Suto.
"Maksudmu ikut aku"'
Logo menganggukkan kepala jelas-jelas.
"Kenapa kau mau ikut aku?"
"Sulit dijamah."
Suto tertawa sedikit keras. Logo pun ikut tertawa.
Tapi tiba-tiba suara tawanya yang bergemuruh itu hilang seketika. Senyap.
Wajahnya menjadi tegang. Matanya
melirik ke sana-sini dengan cemas. Suto Sinting
memperhatikan dengan heran. Lalu, Suto pun ajukan
tanya padanya. "Kenapa"!"
"Ada orang."
"Mana?"
"Entah," jawabnya, tapi tampak kian tegang.
Suto ikut memasang indera pendengarannya. "O,
benar. Ada orang menuju kemari," kata Suto dalam hati.
"Tajam juga pendergar si Logo itu."
Tak berapa lama, sesosok tubuh melesat dari balik
kerimbunan. Melompat dengan tangkas dan lincah.
Jleeg...! Tahu-tahu orang itu ada di depan Suto dan Logo. Orang tersebut tak
lain adalah si cantik Pelangi Sutera.
"Pelangi Sutera"! Syukurlah kau akhirnya bertemu denganku di sini. Jadi aku tak
perlu mencari-carimu,"
kata Suto Sinting. Tapi gadis itu memandang Logo
dengan bertolak pinggang, tak ada rasa takut sedikit pun.
Bahkan kesan jijik melihat Logo hanya mengenakan
cawat saja tak ada pada wajah gadis itu. Yang ada hanya sikap angkuh dan berani.
Logo cepat-cepat rapatkan kedua kakinya. Lalu ia
membungkukkan badan, memberi hormat kepada
Pelangi Sutera. Melihat hal itu, Pendekar Mabuk
menjadi bingung bercampur heran. Suara ringkik kuda yang ditinggalkan Pelangi
Sutera di kejauhan sana tak dihiraukan. Suto lebih tertarik untuk bertanya dalam
hati, "Mengapa Logo bersikap hormat dan takut kepada Pelangi Sutera" Siapa gadis ini
sebenarnya?"
* * * 4 SEBUAH gua karang tepi laut menjadi tempat
bernaung menghindar malam. Yang ada di dalam gua itu hanya Suto Sinting dan
Pelangi Sutera. Orang besar
berkulit hitam ada di luar gua, seolah-olah menjadi penjaga. Di dalam gua itu,
mereka nyalakan api unggun.
Gua itu agak dalam, bebas dari air laut yang sedang surut. Bukan hanya bebatuan
karang yang ada di sana, tapi juga batuan gunung warna hitam pun ada. Gua itu
berlangit-langit tinggi. Ada lumut dan kelembaban. Tapi itu tidak mengganggu
mereka. Di depan api unggun Suto duduk bersanding
dengan... bambu tuak. Bukan bersanding dengan Pelangi Sutera. Gadis itu ada di
depannya. Duduk bersandar batu hitam yang tergolong halus permukaannya. Jubah
ungu tuanya terbuka lebar-lebar, tapi kain penutup dada dan celana ketatnya
masih dipakai. Sumbulan dua bukit di balik kain pinjung penutup dada warna ungu
muda itu membuat pemandangan segar bagi seorang lelaki. Hanya saja, Suto tak mau
terlalu memperhatikan ke arah
kemontokan itu, takut ada sesuatu yang bangkit dan
memberontak dalam dirinya.
"Logo adalah anak jin. Jin yang kawin dengan
manusia. Ibunya bernama Sumbaruni, ayahnya jin yang bernama Kazmat," tutur
Pelangi Sutera dengan mata memandang mesra kepada Suto Sinting. Kalau tak
ganteng, tak mungkin dipandang selembut itu.
"Teruskan," kata Suto sambil mengorek kayu api agar api itu tak padam.
"Sumbaruni adalah pelayan seorang petapa di
Gunung Sesat. Waktu itu nama gunung tersebut adalah Gunung Winukir. Petapa itu
tak punya anak, dan tak
punya istri. Ketika mau meninggal, seluruh ilmunya
diturunkan kepada Sumbaruni."
"Apakah Sumbaruni tidak diambil istri sang petapa?"
"Tidak. Petapa itu pantang menikah. Tak punya selera kepada wanita. Sumbaruni
bukan hanya diwarisi ilmu, tapi juga diwarisi tempat, yaitu puncak Gunung
Winukir. Petapa itu berharap Sumbaruni mau pertahankan
Gunung Winukir. Tapi jika memang sudah tak sanggup, sang petapa pun tak melarang
Sumbaruni turun gunung.
Pada mulanya memang Sumbaruni bertahan tinggal di
puncak Gunung Winukir. Ia menjadi wanita yang
kesepian. Lalu datang seorang pemuda tampan, ia
terpikat dan jatuh cinta. Segala-galanya diserahkan kepada pemuda itu, termasuk
kesuciannya. Karena ia
wanita yang punya selera, tak mampu bertahan sepi
seumur hidup. Akhirnya Sumbaruni hamil oleh
perbuatan pemuda tampan itu."
"Apakah tidak mengurangi kekuatan ilmu yang
dimiliki?"
"Tidak. Justru bertambah tinggi," kata Pelangi Sutera dengan sungguh-sungguh.
"Tapi pada suatu malam, ketika Sumbaruni mau bercumbu dengan pemuda
tampan itu, tiba-tiba hujan turun. Petir menyambar
gubuknya. Atap gubuk terbakar. Pemuda itu kecewa dan marah. Kemarahan yang
disebabkan karena gairah
tertunda itu membuat pemuda tampan berubah wujud
menjadi jin. Itulah wujud asli pemuda tampan tersebut."
"Jin...?"
"Ya. Jin itu bernama Jin Kazmat. Tentu saja
Sumbaruni takut dan tak mau jadi istrinya lagi. Jin Kazmat sedih, ia tak bisa


Pendekar Mabuk 026 Ratu Tanpa Tapak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merubah diri menjadi manusia lagi karena murkanya terlontar pada saat hujan
turun itu. Akhirnya Jin Kazmat mengakui keberadaannya yang
memang tak mungkin beristri Sumbaruni lagi. Ia hanya berpesan agar kandungan
Manusia Srigala 6 Pendekar Bayangan Sukma 25 Datuk Sesat Bukit Kubur Anak Pendekar 27
^