Pencarian

Pedang Kayu Petir 1

Pendekar Mabuk 031 Pedang Kayu Petir Bagian 1


Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 SELAMA tujuh hari tujuh malam negeri Muara Singa
mengadakan pesta besar-besaran. Berbagai pertunjukan
hiburan digelar dari alun-alun sampai ke pinggir pantai.
Berbagai makanan lezat pun dibeberkan pada tenda-
tenda hidangan. Siapa saja, tanpa terkecuali, boleh
menikmati hidangan lezat itu tanpa dipungut biaya
sedikit pun. Rakyat jelata selain bisa menikmati
hidangan lezat yang selama ini hanya bisa dinikmati oleh orang-orang istana,
juga mendapat santunan berbagai
pakaian, kain maupun keperluan dapur.
Pesta besar ini diadakan untuk menyambut
kedatangan ratu baru yang memang berhak memiliki
kekuaaaan di negeri Muara Singa. Ratu baru itu tak lain
adalah Ratu Gusti Galuh Puspanagari. Dulu dikenal
sebagai Palupi, si gadis gila, yang punya julukan lebih
dikenal lagi sebagai si Tandu Terbang, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Tandu Terbang").
Tampuk pimpinan diserahkan kepadanya dari Purnama
Laras, karena Purnama Laras merasa tidak memiliki hak
atas negeri tersebut dikarenakan ia hanya seorang anak
angkat sang Penguasa Muara Singa. Pesta besar itu pun
atas saran Purnama Laras yang sama sekali tidak sakit
hati ataupun sedih, namun justru, bangga dan gembira
melepas jabatannya sebagai ratu di negeri itu.
Pendekar Mabuk, Suto Sinting, sengaja ditahan oleh
Purnama Laras dan Palupi agar tidak meninggalkan
Muara Singa selama pesta berlangsung. Pendekar
Mabuk termasuk orang berjasa dalam pengembalian
kekuasaan kepada Palupi. Tanpa munculnya Pendekar
Mabuk pada waktu itu, Tandu Terbang sudah
merencanakan akan membabat habis orang Muara Singa
yang tidak mau akui dirinya sebagai alih waris negeri
tersebut. Tetapi agaknya orang dalam Tandu Terbang
yang ternyata adalah Palupi itu, merasa terkesan oleh
penampilan Suto dan ketampanannya, ia tak berani
lakukan kekerasan di istana ketika berhadapan dengan
Suto, dan akhirnya jalan damai pun bisa ditempuh.
Pada satu kesempatan, Purnama Laras yang dikenal
sebagai wanita berbudi luhur dan berjiwa besar itu,
sempat bicara empat mata dengan Pendekar Mabuk.
Pada saat itu malam tiba dan mereka bicara di sudut
taman. Harum bunga sedap malam menyebar di
sekeliling mereka. Tetapi roncean bunga melati yang
selalu segar dan menjadi penghias sanggul Purnama
Laras lebih tajam tercium hidung Pendekar Mabuk yang
bangir itu. "Sudah cukup lama aku memendam hasrat ingin
bertemu denganmu," kata perempuan berusia tiga puluh tahun itu. "Tetapi baru
sekarang hasrat itu terpenuhi dalam keadaan aku sudah tidak menjadi ratu lagi."
"Apakah kau menyesal?"
"Sama sekali tidak," jawab Purnama Laras. "Justru aku bertekad melindungi Galuh
untuk mempertahankan
negeri ini. Aku sangat terharu jika ingat cerita hidupnya semasa kecil, dibuang
oleh ibu angkatnya hanya karena
tak suka menerima bayi yang dilahirkan dari madunya.
Rasa ibaku ini terwujud dalam rasa kasihan, dan
akhirnya timbul rasa sayangku kepada Galuh
Puspanagari."
"Aku bangga dan kagum dengan sifatmu, Purnama
Laras. Jarang kutemukan wanita sebijak dirimu,"
sanjung Pendekar Mabuk dengan mata memandang raut
wajah ayu yang disinari cahaya obor di sudut taman itu.
Yang dipandang hanya tersenyum dan tundukkan kepala
merasa malu. "Terlepas dari kedudukanku yang dulu dan sekarang,
sesungguhnya keinginanku untuk bertemu denganmu
punya alasan sendiri, Suto."
"Katakanlah urusanmu itu, Purnama Laras."
"Aku butuh seorang senopati. Aku banyak mendengar
cerita tentang kesaktianmu dari mulut ke mulut, lalu aku ingin mengangkatmu
sebagai senopati dalam
kepemerintahan Muara Singa ini. Kami belum
mempunyai senopati atau seorang panglima perang,
itulah sebabnya aku pernah merencanakan
mengundangmu sebagai tamu agung untuk
membicarakan tawaran ini. Dalam benakku hanya ada
dua pilihan, mengangkatmu sebagai panglima perang
atau menemukan Pedang Kayu Petir."
Suto terkejut mendengar nama pedang itu disebutkan,
ia ingat kembali bahwa pedang tersebut pernah disebut-
sebutkan oleh Palupi yang sekarang menjabat sebagai
ratu negeri Muara Singa itu. Tetapi sampai malam itu,
Suto belum pernah bicara dengan Palupi secara
sungguh-sungguh tentang Pedang Kayu Petir.
Dulu Suto pernah menyangka bahwa pedang yang
disebut-sebut sebagai pedang pusaka maha sakti itu
dimiliki oleh ratu Purnama Laras. Karena Palupi si gadis gila itu mengetahui
tentang rahasia pedang tersebut,
maka Ratu Purnama Laras mengerahkan orang-orangnya
untuk menangkap Palupi dan membunuhnya, supaya
rahasia pedang pusaka itu tidak bocor dari mulut si gadis gila. Tapi dugaan Suto
itu ternyata meleset. Purnama
Laras memang tidak tahu-menahu tentang pedang
tersebut dan bahkan berminat untuk mendapatkannya.
"Mengapa kau mempunyai dua pemikiran seperti itu,
Purnama Laras" Apa alasanmu ingin mengangkatku
sebagai panglima perang atau memiliki Pedang Kayu
Petir?" tanya Suto Sinting dengan rasa ingin tahu.
"Karena negeri ini sebenarnya dalam ancaman bahaya
tokoh sakti yang ilmunya tak tertandingi oleh orang-
orang Muara Singa. Tokoh sakti itu dapat dikalahkan
dengan kesaktian Pendekar Mabuk, atau dengan
menggunakan Pedang Kayu Petir sebagai pusaka pedang
maha sakti. Sebab itu, dulu aku menyuruh para
pengawalku untuk menangkap Palupi sebab ia sebut-
sebutkan pedang tersebut. Aku ingin menangkap bukan
dengan maksud jahat, melainkan ingin mengorek
keterangan darinya tentang Pedang Kayu Petir itu."
Suto Sinting manggut-manggut, diam sebentar lalu
mulai perdengarkan suaranya yang lembut itu,
"Siapa tokoh sakti yang kau maksud sebagai
pengancam bahaya negeri ini?"
"Raja Tumbal, penguasa Lumpur Maut."
"Raja Tumbal..." Bukankah dia yang membunuh adik
Pendita Arak Merah, atau adik gurunya Palupi?"
"Aku tak mendengar soal itu. Yang kutahu, Raja
Tumbal menghendaki negeri ini. Beberapa waktu yang
lalu, tepatnya lima purnama yang lalu, Raja Tumbal
datang menemuiku dan ingin merebut Muara Singa, ia
adalah kakak dari ibu angkatku; Raden Ayu Indriakara.
Ia merasa bahwa negeri ini adalah negeri leluhurnya dan
yang berhak menjadi penguasa adalah dirinya. Aku
diberi waktu sampai tiga purnama untuk meninggalkan
negeri ini, jika tidak maka semua penghuni istana akan
dibantai habis olehnya dalam waktu sekejap. Dan aku
percaya ia sanggup membantai kami dalam sekejap,
karena ia memiliki pusaka yang bernama Seruling
Malaikat."
Suto Sinting kerutkan dahi. "Seruling Malaikat" Aku baru mendengar nama pusaka
itu. Apa kehebatannya
sehingga kau tampaknya amat ketakutan dengan pusaka
Seruling Malaikat itu?"
"Seruling Malaikat, menurut para tokoh tua, adalah
sebuah seruling yang jika ditiup dengan sembarangan
tanpa nada pun bisa membuat lawan yang dituju menjadi
pecah raganya bila mendengar suara seruling tersebut.
Konon, getaran seruling dapat menyatu dengan mata dan
batin kita. Pada saat kita melihat musuh yang dituju oleh batin kita untuk
dimusnahkan, maka getaran suara
seruling tersebut mengirimkan gelombang tenaga dalam
luar biasa besarnya hingga ketika masuk gendang telinga
lawan dapat membuat raga lawan meledak."
Suara gumam Pendekar Mabuk sangat lirih,
kepalanya terangguk-angguk sebagai tanda sangat
bersungguh-sungguh mempercayai cerita tersebut.
Hatinya menjadi tertarik untuk membicarakan tentang
pusaka Seruling Malaikat itu.
"Dari mana Raja Tumbal memperoleh pusaka sehebat
itu?" "Menurut cerita para tokoh tua, Seruling Malaikat
dulu milik seorang dewa yang terusir dari kayangan dan
menjelma menjadi seorang penggembala kerbau. Dewa
itu bernama Bramujaya. Ia menjalani masa hukuman
menjadi manusia dengan dibekali Seruling Malaikat.
Hukumannya akan selesai jika menikahi seorang wanita
yang berpenyakit kusta sangat parah. Tetapi sebelum hal
itu terjadi, Bramujaya sudah berhasil dikalahkan oleh
Siluman Tujuh Nyawa, ia mati dibunuh tokoh sesat itu.
Tapi Siluman Tujuh Nyawa tidak tahu bahwa Bramujaya
mempunyai pusaka sebuah seruling. Seruling itu
ditemukan oleh petapa sakti yang bernama Begawan
Demang Buwana...."
"Siapa"!" Suto terpekik kaget, wajahnya menjadi tegang. "Begawan Demang
Buwana"!"
"Benar. Kenapa kau tampak terkejut sekali?"
Purnama Laras merasa heran.
"Hmm... ya, aku sangat terkejut, sebab... sebab ketika aku dalam perjalanan
kemari bersama Dungu Dipo, kami
sempat bermalam di pondok sang Begawan di dalam
hutan di tepi sebuah telaga. Kami disambut baik oleh
Eyang Begawan Demang Buwana. Bahkan kami sama-
sama minum tuak sebagai penghormatan dan...."
Purnama Laras tertawa kecil sambil menepiskan
tangan di depan wajah sebagai tanda meremehkan cerita
Pendekar Mabuk. Tentu saja cerita itu tak jadi
dilanjutkan oleh Suto. Pendekar tampan itu justru merasa heran melihat tawa
wanita cantik yang lembut dan
bersahaya itu. "Mengapa kau menertawakan ceritaku?"
"Karena aku tahu kau sedang membual."
"Ini sungguh-sungguh terjadi," kata Suto agak ngotot.
"Aku tidak percaya," Purnama Laras gelengkan
kepala sambil tersenyum. "Begawan Demang Buwana
sudah wafat lima puluh tahun yang lalu. Ia meninggal
dalam usia sekitar seratus tahun. Dan kematiannya itu
disebabkan oleh perbuatan Siluman Tujuh Nyawa yang
terlambat mendengar tentang pusaka Seruling Malaikat.
Pada waktu itu, Seruling Malaikat sudah diturunkan
kepada murid sang Begawan, dan terus turun-temurun
sampai akhirnya ada kabar bahwa Seruling tersebut jatuh
ke Sumur Tengah Samudera. Cara mengambilnya harus
dengan lakukan semadi rendam. Dan Raja Tumbal telah
lakukan semadi rendam hingga akhirnya berhasil
memperoleh Seruling Malaikat. Jadi kalau kau bercerita
bertemu dan bermalam di pondok Begawan Demang
Buwana, itu adalah hal yang mustahil, apalagi hal itu terjadi belum lama ini.
Tak akan ada tokoh tua yang mau
percaya dengan pengakuanmu tadi, Suto."
Kini Suto Sinting termenung lama dengan dahi masih
berkerut. Dalam hatinya berkata, "Jadi siapa orang yang kutemui bersama Dungu
Dipo dalam hutan itu" Siapa
orang yang memintaku meminum tuak dalam mangkok
sebagian dan sisanya diminum olehnya itu?"
Senyum perempuan yang suka dengan bunga melati
itu masih menampakkan rasa tidak percayanya kepada
ucapan Suto tadi. Suto Sinting sangat penasaran jadinya.
"Kalau kau tak percaya, kau bisa tanyakan sendiri
kepada Dungu Dipo," kata Suto meyakinkan kata-
katanya. "Kami bermalam di pondok itu dan dijamu
dengan minuman tuak dalam mangkok."
"Kau berani bersumpah?"
"Sumpah apa pun aku berani, bahwa aku dan Dungu
Dipo bertemu dengan Eyang Begawan Damang Buwana.
Bahkan aku sempat bertanya tentang Padang Kayu Petir
kepadanya, tapi beliau tak tahu di mana pedang itu
berada. Juga ketika kutanyakan siapa orang dalam tandu
merah itu, beliau hanya mengatakan, ada lapisan tenaga
dalam yang tak bisa ditembus teropong indera
keenamnya dan membuat tandu itu tak bisa diketahui
siapa orang yang ada di dalamnya."
Kini ganti Purnama Laras yang tertegun bengong.
Kejap berikutnya ia menggumam, "Aneh sekali. Jika
benar begitu, berarti kau dan Dungu Dipo telah bertemu
dengan jelmaan sang Begawan. Mungkin punya maksud
tertentu, entah ingin menolongmu atau ingin sampaikan
pesan padamu."
"Pesan..." Rasa-rasanya tak ada pesan apa-apa.
Mungkin saja hanya ingin menolongku. Mungkin-
mungkin ada seseorang yang menyuruhnya
menyediakan pondok untuk bermalam bagiku?" kata
Suto seperti bicara pada diri sendiri, lalu dalam
benaknya terbayang wajah Ratu Kartika Wangi sebagai
orang yang menyuruh Begawan Demang Buwana untuk
sediakan pondok baginya. Karena dalam pembicaraan
kala itu, sang Begawan menyinggung-nyinggung nama
Ratu Kartika Wangi, calon mertua Suto Sinting.
"Baiklah, kita lupakan dulu tentang pertemuanku
dengan sang Begawan itu," kata Suto. "Sekarang bagaimana dengan Raja Tumbal?"


Pendekar Mabuk 031 Pedang Kayu Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Untuk mengalahkan Seruling Malaikat-nya kupikir
aku harus menggunakan Pedang Kayu Petir kalau
memang tak sanggup menandingi kesaktian pusaka
tersebut. Persoalannya adalah, saat ini sudah hampir
masuk purnama ketiga, berarti aku dan para pejabat di
istana harus segera tinggalkan negeri ini. Raja Tumbal
akan ganti menguasai negeri ini."
"Apakah kau sudah bicarakan kepada Palupi,
termasuk tentang Pedang Kayu Petir yang saat menjadi
orang gila disebut-sebutkan itu?"
"Aku belum berani membicarakan karena ia masih
menikmati masa kegembiraan. Setelah pesta ini usai, aku
akan membicarakannya."
Tak ingin mengganggu kebahagiaan dan kegembiraan
yang sedang berlangsung pada diri seseorang, sungguh
merupakan sikap yang baik dan patut dikagumi. Suto
Sinting mengerti betul maksud hati Purnama Laras.
Tetapi menurutnya, persoalan Raja Tumbal adalah
persoalan yang tak bisa ditunda. Secepatnya harus dicari jalan keluarnya,
mengingat Raja Tumbal memiliki
pusaka Seruling Malaikat yang dapat menjadi alat
pembantai bagi orang-orang Muara Singa.
"Apakah menurutmu dengan adanya Palupi menjadi
ratu di negeri ini, Raja Tumbal merasa masih mampu
mengungguli kekuatan yang ada di sini?" Tanya Suto
kepada Purnama Laras seusai mereka lakukan santap
malam bersama. Pertanyaan itu diucapkan secara
berbisik. Jawabannya pun cukup pelan, sehingga hanya
Pendekar Mabuk sendirilah yang mendengarnya.
"Kabarnya, suara Seruling Malaikat tak bisa ditangkal dengan ilmu dan kesaktian
apa pun. Jadi sesakti-saktinya Galuh Puspanagari jika mendengar suara Seruling
Malaikat ia akan hancur juga."
Jawaban itu cukup dipakai bahan pertimbangan bagi
Suto. Pertimbangan itu akhirnya memperoleh keputusan
bahwa ia harus bicara empat mata dengan Galuh
Puspanagari yang lebih suka dipanggilnya Palupi itu.
Pendekar Mabuk merasa perlu menjajaki ketinggian
ilmu Palupi dalam menghadapi Seruling Malaikat nanti.
Jika memang ternyata menurut kesimpulan Suto ilmu
yang dimiliki Palupi tidak mempunyai kesanggupan
untuk menghadapi Seruling Malaikat, maka ia harus
memaksa Palupi untuk mengambil Pedang Kayu Petir.
Suto mempunyai dugaan bahwa Pedang Kayu Petir
dimiliki oleh Palupi dan disimpan di suatu tempat.
Pedang itu pasti dibungkus oleh tenaga pelapis yang
sukar diteropong oleh kekuatan batin maupun mata
indera keenam, seperti halnya tandu merahnya yang tak
bisa ditembus oleh mata batin orang sakti, sehingga tak diketahui siapa penghuni
tandu tersebut selama ini.
Hanya saja, Pendekar Mabuk merasa tak enak hati,
karena Palupi bersedia bicara di dalam kamarnya, ia tak
mau percakapannya didengar orang lain. Ia membawa
Suto ke kamar tidurnya yang mewah dan megah serta
kedap suara itu. Suto Sinting justru menjadi kikuk
berada di tempat yang menimbulkan suasana hangat bagi
hasrat cinta dua orang berlainan jenis itu.
"Kau pucat sekali," kata Palupi sambil tersenyum-senyum. "Jangan takut, aku
sudah berjanji tidak akan memaksamu untuk memperkosaku seperti saat aku
berpura-pura gila itu. Duduklah dengan tenang."
Suto Sinting geli sendiri membayangkan peristiwa
lain. "Karena itu jangan diresapi kenangan masa laluku,
nanti hasratmu berontak dan menuntutku," kata Palupi
masih bersikap sebagai teman, bukan sebagai ratu.
Hanya kepada Suto saja ia tak bisa bersikap sebagai ratu yang mestinya penuh
ketegasan dan wibawa, menjaga
kharisma seperti Purnama Laras dulu.
"Tapi seandainya memang kau ingin menuntutku
karena resapan kenangan itu, aku pun tak keberatan
untuk memenuhi tuntutanmu," kata Palupi penuh arti yang amat dalam bagi perasaan
seorang lelaki muda
seperti Suto. Tapi hal itu hanya ditanggapi oleh Suto
dengan senyum menawan. Suto tak sadar, jika ia sering
memamerkan senyumnya, berarti menambah gejolak
gairah memberontak di dalam batin Palupi. Untung
selama ini Palupi mampu menahan diri sehingga tidak
berkesan sebagai wanita murahan.
"Baiklah, Suto... apa yang ingin kau bicarakan
padaku" Pesta ini esok telah usai. Apakah itu berarti
esok kau akan tinggalkan negeriku" Apakah tak bisa
tinggal lebih lama lagi atau justru selama-lamanya saja?"
"Jawabannya tergantung pembicaraan kita nanti,"
kata Suto dengan tenang. Meski di dalam kamar tidur
seorang ratu, namun bumbung tuak selalu dibawanya,
sehingga sewaktu-waktu Suto tak segan-segan
menenggak tuak dari bumbungnya. Padahal Palupi
sudah siapkan sepoci tuak dan cangkirnya, tapi Suto
hanya sesekali minum tuak dari cangkir itu. Ia merasa
lebih mantap jika minum tuak dengan menenggak dan
mengangkat bumbung bambunya. Suatu kebiasaan yang
sudah menjadi kesukaan memang sulit ditinggalkan
begitu saja. "Apa yang ingin kubicarakan memang ada kaitannya
dengan semasa kau menjadi gadis gila," kata Suto
Sinting. "Soal... soal perkosaan?"
"Bukan!" jawab Suto malu. "Pada waktu itu kau sebut-sebut Pedang Kayu Petir. Kau
masih ingat, bahwa
kau bilang telah sembunyikan Pedang Kayu Petir di
sebuah gua di Bukit Tungkai?"
Palupi tersenyum dan manggut-manggut. Senyumnya
itu sukar dipastikan artinya, bisa senyum malu, bisa
senyum geli bisa juga senyum meremehkan. Tapi Suto
tak peduli sehingga tetap ajukan tanya lagi pada Palupi,
"Benarkah pedang pusaka itu ada di salah sebuah gua di Bukit Tungkai?"
"Aku tidak tahu," jawab Palupi.
"Palupi, kita sama-sama butuhkan pedang itu. Aku
juga butuh, kau juga nantinya akan butuh pedang itu.
Tolong bicaralah jujur padaku."
"Aku benar-benar tidak tahu tentang pedang itu.
Memang aku pernah dengar namanya, pernah dengar
ceritanya, tapi aku tidak tahu di mana pedang itu."
"Mengapa kau waktu itu selalu menyebut-nyebutkan
Pedang Kayu Petir?"
"Aku hanya memancing perhatian bagi orang-orang
yang bernafsu memiliki pedang tersebut. Tentu saja
bukan orang berilmu rendah yang menghendaki pedang
itu, pasti orang berilmu tinggi. Lalu, aku bisa kenali
orang-orang berilmu tinggi itu, dan bisa tahu apakah dia berpihak kepada Purnama
Laras, atau berpihak kepada
orang lain. Sasaran utamaku pada waktu itu adalah
Purnama Laras dan orang-orangnya. Karena aku tak tahu
hati Purnama Laras ternyata amat mulia. Jika aku ingin
lakukan penyerangan, aku harus tahu siapa-siapa saja
yang akan kuhadapi nantinya. Jadi kupancing mereka
dengan berita adanya Pedang Kayu Petir pada diriku.
Sebab aku tahu pedang itu pasti masih diminati oleh para tokoh sakti."
Napas Suto terhempas panjang sebagai penghilang
kedongkolan, ia segera bertanya, "Lantas apa
kesimpulanmu kala itu?"
"Ternyata Purnama Laras sangat berhasrat untuk
memiliki pedang itu, juga dirimu kulihat sangat bernafsu untuk memilikinya, tapi
tak kulihat kau ada di pihak
Purnama Laras. Sementara tokoh lain yang berhasrat
dengan pedang itu tak kulihat ada di pihak Purnama
Laras. Jadi aku merasa akan berhadapan dengan
Purnama Laras sendiri, tapi didukung oleh pihak lain
yang berilmu tinggi. Bahkan aku tak sangka kalau Nyai
Paras Murai ternyata ada di pihak Purnama Laras walau
tak menghendaki pedang itu. Aku sangat menyesal
sekali telah bertarung dengan Nyai Paras Murai yang
ternyata justru orang pertama yang menyambut
kelahiranku di muka bumi ini. Aku merasa berdosa
dengan beliau. Tapi aku sudah meminta maaf berulang
kali dan menganggap Nyai Paras Murai sebagai orangtua
sendiri. Aku pun telah berdamai dengan Hantu Tari yang
ternyata adalah saudara sepupuku sendiri, walau sepupu
tiri." Kamar tidur menjadi hening karena mulut Suto
terbungkam dalam termenungnya. Matanya lurus ke satu
sisi, sementara mata Palupi menatapi Suto tiada henti,
penuh debar-debar keindahan dalam hatinya, penuh rasa
kagum dan salut dengan sikap Suto. Batinnya
mengatakan, "Pendekar tampan ini biarpun punya wajah mampu melumpuhkan wanita
hingga bertekuk lutut di
hadapannya, namun ia sama sekali tidak mau berkurang
ajar padaku. Sikapnya pun tak sombong, punya
ketegasan dan kebijakan. Aku suka padanya. Sangat
suka!" Untuk memecah kesunyian, Palupi segera ajukan
tanya kepada Suto dengan berpindah duduknya di
samping kiri Suto. Ia mencoba mengusap pundak dan
lengan Suto seraya berbisik,
"Mengapa kau sangat berharap mendapatkan pedang
yang sudah bertahun-tahun dinyatakan hilang?"
"Demi keselamatan negeri ini juga," jawab Suto dengan sikap duduk masih sedikit
bungkuk, kedua sikunya bertumpu pada kedua paha. Ia bicara sambil
menoleh ke arah Palupi dan tampak lebih gagah
sikapnya seperti itu. Lengannya kelihatan lebih kekar,
ketampanannya tampak lebih jantan lagi.
"Apa maksudmu berkata begitu?"
"Ada seorang musuh yang ingin menyerang negeri ini
dan merebutnya, ia berilmu tinggi dan mempunyai
pusaka yang hanya bisa ditandingi dengan Pedang Kayu
Petir." Palupi diam sesaat, tampak tenang. Tak kelihatan
terkejut walaupun masih dipandangi Suto. Kejap berikut,
Suto mendengar suara gadis itu berkata lembut,
"Orang yang kau maksud itu adalah Raja Tumbal!"
Suto menegakkan sikap duduknya. "Dari mana kau
tahu" Apakah Purnama Laras sudah menceritakan
ancaman Raja Tumbal?"
"Belum. Tapi aku pernah menyadap pembicaraan
Raja Tumbal dengan orang-orang kepercayaannya,
itulah sebabnya aku memusuhi orang Lumpur Maut. Di
samping ingin membalaskan kematian adik guruku, juga
ingin melumpuhkan Raja Tumbal sebelum ia menguasai
negeri Muara Singa ini. Jika memang Purnama Laras
sudah mendapat kabar tentang niat Raja Tumbal, maka
sekarang aku tahu mengapa Purnama Laras sangat
bernafsu untuk memiliki Pedang Kayu Petir."
"Apakah kau sudah tahu bahwa Raja Tumbal
mempunyai pusaka yang bernama Seruling Malaikat?"
"Sudah!" jawabnya tanpa senyum.
"Bagaimana menurutmu" Apakah perlu dihadapi
dengan pedang pusaka itu atau cukup dengan ilmu dan
kesaktianmu saja?"
Wajah gadis berjubah ungu itu tampak dingin.
Matanya memandang lurus, menerawang tak tentu
makna. Bibirnya terkatup, napasnya teratur lembut.
Sesaat kemudian barulah ia bicara dengan mata masih
memandang hampa.
"Apakah kau bersedia membantuku?"
"Maksudmu?"
Ia menatap Suto, wajahnya penuh kesungguhan
dalam bicara. "Aku tak akan sanggup melawannya, apalagi ia
mempunyai pusaka Seruling Malaikat," ia berhenti
sampai di situ, sepertinya ada sesuatu yang membuatnya
sedih dan sulit dikatakannya.
Pendekar Mabuk menatap penuh perhatian dan bicara
sangat pelan. "Mengapa begitu" Bukankah seorang Tandu Terbang
adalah tokoh sakti yang cukup menggetarkan isi dunia?"
"Kesaktianku sebagian telah hilang jika aku menjadi ratu. Itu adalah perjanjian
yang kubuat dengan guruku; Pendita Arak Merah. Aku tak bisa lagi menjelma
sebagai Tandu Terbang, kekuatan tenaga dalamku juga tak
setinggi semula. Kuperoleh kesaktian setinggi itu hanya
untuk merebut hak warisku, yaitu negeri ini. Jika aku
telah memiliki negeri ini, maka beberapa kesaktianku itu akan lenyap. Jadi pada
waktu itu aku dihadapkan dengan
dua pilihan; tetap berilmu tinggi sebagaimana yang
dimiliki Tandu Terbang, atau menjadi seorang ratu yang
adil dan bijaksana dengan kehilangan beberapa
kesaktian. Aku memilih menjadi ratu karena memang
aku harus mewarisi kekuasaan leluhurku. Dan jika aku
menjadi ratu yang tidak adil dan bijaksana, maka
kesaktianku akan berkurang lagi."
"Aneh..."!" gumam Suto Sinting sambil berkerut dahi dan manggut-manggut.
"Dalam keadaan seperti
dulu, aku sanggup
menumbangkan Raja Tumbal. Sayang tak pernah
berhasil kutemui kecuali hanya begundalnya saja. Tapi
dalam keadaan setelah menjadi ratu dengan penobatan
resmi ini, aku merasa kalah ilmu dengan Raja Tumbal.
Tapi... hanya kau yang tahu hal itu. Kumohon jangan
sampai bocor kepada siapa pun."
Suto kian mengangguk-angguk. "Aku paham
maksudmu."
"Jadi, dalam menghadapi Raja Tumbal nantinya aku
sangat membutuhkan bantuanmu. Kecuali aku bisa
memiliki Pedang Kayu Petir, mungkin aku berani hadapi
sendiri paman tiriku itu. Tanpa pedang tersebut, aku
butuh berlindung di belakangmu, Suto. Maukah kau
menjadi panglima perangku?" tanya Palupi yang
membuat Suto bingung menjawabnya.
* * *

Pendekar Mabuk 031 Pedang Kayu Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

2 SEBENARNYA Suto tidak ingin mempunyai jabatan
yang akan mengikat kebebasannya. Menjadi senopati
atau panglima perang adalah pekerjaan yang menyita
waktu. Banyak kesibukan yang harus dipersiapkan untuk
menghadapi lawan, termasuk melatih bala tentaranya,
mengatur siasat perang nantinya. Suto enggan
melakukan hal-hal seperti itu. Tetapi dalam hatinya ia mempunyai suatu tekad
untuk membantu Palupi
menyelamatkan negeri Muara Singa, sebab ia tahu
memang Palupi-lah pewaris negeri itu yang sebenarnya.
"Jika keadaan Palupi memang sudah demikian,
berarti kemenangan akan ada di tangan Raja Tumbal.
Seruling Malaikatnya bisa digunakan seenak pusarnya
sendiri untuk membantai orang-orang Muara Singa.
Kasihan Palupi, baru beberapa waktu memiliki hak
warisnya sudah harus dirampas lagi oleh orang lain.
Agaknya aku harus memihaknya dan memperkuat
pertahanan negeri ini. Tapi aku harus tahu bagaimana
cara melawan kekuatan Seruling Malaikat itu?"
Pendekar Mabuk segera membayangkan cara kerja
pusaka Seruling Malaikat. Getaran maut akan
tersalurkan melalui gelombang suara. Mengatasi
gelombang suara tidak bisa seperti mengatasi sinar
pukulan tenaga dalam yang bisa dilihat arah dan
gerakannya. Apalagi gelombang suara itu mempunyai
hubungan erat dengan mata dan batin. Raja Tumbal bisa
saja menghancurkan lawannya dari jarak jauh asal masih
bisa melihat sang lawan dan batinnya menghendaki
kehancuran orang tersebut. Gelombang suara seruling
dapat melesat masuk ke telinga lawan tanpa diketahui
gerakan dan bentuknya.
"Repotnya lagi, gelombang suara itu bukan saja
membuat gendang telinga pecah, melainkan raga pun
bisa pecah dan hancur berkeping-keping. Berarti
kekuatannya lebih tinggi dibanding jurus 'Siulan Peri'
yang ada padaku. Jurusku itu hanya bisa memecahkan
gendang telinga saja. Jika diadu dengan suara Seruling Malaikat, maka 'Siulan
Peri'-ku akan kalah. Aku harus
mencari tahu bagaimana melawan Seruling Malaikat,
dan di mana letak kelemahan pusaka tersebut. Yang
berbahaya adalah jika Raja Tumbal ada di suatu tempat
yang tak kuketahui, tapi ia bisa melihatku dari tempat
tersebut. Maka diriku pun akan hancur begitu Seruling
Malaikat mulai ditiupnya."
Menurut perhitungan, bulan purnama akan tiba
sebelas hari lagi. Apakah Raja Tumbal akan datang tepat
pada saat bulan purnama tiba atau lebih beberapa hari dari saat purnama tiba"
Bagi negeri Muara Singa sama
saja, kehancuran akan segera tiba tepat malam purnama
atau lewat dari itu. Karenanya persiapan menghadapi
serangan orang-orang Lumpur Maut harus sudah disusun
secara matang sejak sekarang.
"Aku akan menghadap guruku," kata Suto kepada
Palupi yang didampingi oleh Purnama Laras, Nyai Paras
Murai, Hantu Tari, Batu Sampang, dan Dungu Dipo.
Suto menyambung kata-katanya, "Dalam waktu
sesingkat ini, tak mungkin kita bisa dapatkan Pedang
Kayu Petir yang belum diketahui di mana tempatnya.
Yang kulakukan adalah mencari tahu di mana kelemahan
Seruling Malaikat itu. Aku akan tanyakan kepada guruku
tentang hal itu. Aku harus pergi selama empat atau lima
hari." Nyai Paras Murai yang kini dianggap keluarga Istana
itu berkata, "Kurasa Gila Tuak juga tak tahu bagaimana cara mengalahkan
gelombang suara. Seingatku, sejak
dulu tak pernah ada lawan yang bisa kalahkan Seruling
Malaikat."
Purnama Laras memotong, "Tapi mengapa Begawan
Demang Buwana dapat dikalahkan oleh Siluman Tujuh
Nyawa?" "Karena Seruling Malaikat telah diturunkan kepada
muridnya," jawab Nyai Paras Murai. "Kabarnya,
sekarang pun jika Siluman Tujuh Nyawa melawan Raja
Tumbal ia akan mampu mengalahkannya, karena
Siluman Tujuh Nyawa sudah kuasai ilmu yang bernama
'Redam Guntur', yaitu menutup semua lubang tubuhnya
agar tidak bisa dimasuki suara apa pun."
"Apakah kita perlu minta bantuan kepada Siluman
Tujuh Nyawa?" tanya Dungu Dipo yang ditanggapi
dengan ketus oleh Hantu Tari,
"Kalau kau mau jadi pengikut sesatnya, silakan kau lari dan bergabung kepada
Siluman Tujuh Nyawa!"
Dungu Dipo bersungut-sungut tak mau bicara lagi.
Batu Sampang tetap diam memperhatikan tiap
pembicaraan tersebut. Sedangkan Palupi sejak tadi
berkerut dahi walau tetap berlagak tenang, namun
sebenarnya bingung menghadapi lawannya nanti.
Bahkan ketika Hantu Tari ajukan tanya kepada Palupi,
"Apakah kau tak sanggup menghadapinya dengan
kesaktianmu?"
Suto tahu Palupi akan bingung menjawabnya, karena
itu Suto lebih dulu berkata sebagai wakil Palupi dalam menjawab,
"Seorang ratu tak baik jika turun tangan sendiri,
kecuali keadaan sudah sangat terpaksa! Palupi memang
akan turun tangan, tapi sebelum ia turun tangan tentunya kita lebih dulu
menghadapi lawan tersebut. Yang kita bicarakan ini adalah seandainya kita hadapi
Raja Tumbal, lantas dengan kekuatan apa kita harus
melawannya. Kalau kita mengandalkan kekuatan dan
kesaktian Palupi, lantas untuk apa kita diajak berunding di sini?"
Sebuah pembelaan telah dilakukan Suto. Palupi
merasa sedang ditutupi kelemahannya. Rupanya Suto
Sinting benar-benar menjaga rahasia kelemahan ilmu
Palupi, sehingga pendekar tampan itu merasa harus
berpikir dan berjuang sendiri mencari jalan keluar dari masalah yang masih buntu
itu. "Pembelaannya terhadapku cukup membuat hatiku
semakin bangga padanya," pikir Palupi. "Tapi apakah pembelaan itu berarti awal
tumbuhnya rasa cintanya
pada diriku" Semoga saja begitu. Seandainya tidak
begitu, aku pun tak boleh sakit hati, karena cinta bebas memilih dan tak baik
dipaksakan. Aku hanya bisa
berharap agar ia dekat dengan hatiku, jauh dari hati
perempuan lain. Mulai sekarang harus kupahami bahwa
tidak setiap harapan menjadi kenyataan. Jika harapan itu jauh dari kenyataan,
aku tak boleh terlalu kecewa. Untuk membendung rasa kecewa agar tidak melukai
hatiku, sebaiknya segalanya kuserahkan kepada garis
kehidupanku saja. Biar sang nasib yang menentukan
perjalanan kasihku."
Termenungnya Palupi membuat Suto curiga. Ketika
yang lainnya meninggalkan tempat setelah Suto
putuskan untuk menunggu kedatangannya pulang dari
menghadap Gila Tusk, maka Suto pun berbisik kepada
Palupi yang masih melamun itu,
"Palupi...!" sentakan lembut mengguncang tubuh Palupi. Sang Ratu tersipu malu,
apalagi setelah Suto
bertanya, "Apa yang kau lamunkan" Sepertinya bukan
masalah yang sedang kita bicarakan. Kau melamunkan
soal lain, Palupi!"
Palupi kian melebarkan senyumnya, namun ia
menjawab dengan tegas, "Ya, memang soal lain. Soal
kepergianmu nanti,"
"Maksudmu bagaimana?"
"Entahlah, tiba-tiba kubayangkan Istana mewah ini
akan menjadi sepi tanpa dirimu, Suto!"
Suto ingin tertawa, ia bahkan menjawab dengan
konyol, "Kalau mau ramai, bakar saja Istana ini. Pasti ramai!"
Palupi tertawa, tangannya mencubit lengan Suto.
Hatinya berbunga indah, dan Suto mulai paham dengan
gelagat itu. Maka ia segera berkata lebih bijak,
"Jangan menggantungkan hidup pada seseorang.
Gantungkanlah hidup pada dirimu sendiri dan seluruh
manusia di muka bumi ini. Jika kau terlalu
menggantungkan hidup pada seseorang, maka jiwamu
akan mati pada saat orang itu pergi. Hidupnya jiwa tidak bisa bergantung pada
satu jiwa saja. Itulah yang
kumaksud 'hidup' dalam artian jiwa yang butuh
semangat."
"Aku mengerti," jawab Palupi dengan senyum lebih wibawa lagi. "Aku harus mencoba
menghidupkan jiwaku tanpa harus bergantung pada jiwamu."
"Aku yakin kau mampu, Palupi."
"Baiklah. Lalu..., kapan kau akan berangkat temui
gurumu?" "Sekarang juga!" jawab Suto dengan tegas.
"Perlu pendamping?"
"Tak perlu."
"Bawalah seekor kuda supaya lebih cepat sampai dan
kembali kemari."
"Pada waktu kuda sampai di tempat guruku, aku
sudah bisa kembali sampai di sini lagi. Kau mengerti
maksudku?"
Palupi mengangguk kalem. "Artinya gerakanmu akan
lebih cepat daripada gerakan seekor kuda pacu!"
Seekor kuda bagi Pendekar Mabuk merupakan
perintang perjalanan saja. Ia akan dibuat lebih sibuk
dengan membawa kuda daripada pergi sendirian.
Setidaknya soal makan saja harus dipikirkan untuk sang
kuda. Tapi jika pergi sendirian ia hanya memikirkan
makan untuk perutnya saja. Karenanya Suto tak pernah
mau membawa seekor kuda dalam bepergian ke mana
saja, sebab ruang geraknya akan dibatasi oleh
keberadaan kuda tersebut.
Perjalanan Suto terpaksa menyimpang arah karena
mendengar denting suara pedang beradu. Rasa ingin tahu
siapa yang bertarung dengan mengadu pedang membuat
Pendekar Mabuk berlari menuju ke balik bukit gundul
itu. Untuk menyingkat waktu, Suto Sinting membatalkan
niatnya untuk mengitari bukit gundul yang tak seberapa
tinggi, melainkan mendaki bukit itu dengan gerak
silumannya yang secepat kilat itu. Zlaaap...
Seorang wanita cantik berusia sekitar tiga puluh
tahun dengan pakaian hijau dirangkap jubah merah
jambu, sedang berhadapan dengan perempuan usia
sebaya dengan pakaian ketat warna hitam dan rambut
acak-acakan berkesan liar. Wanita berpakaian hitam itu
mempunyai gerakan yang sangat lincah dan cepat.
Pedangnya bergagang hitam mampu berkelebat nyaris
tak terlihat mata. Tapi wanita berjubah merah jambu itu
pun mempunyai jurus pedang yang sering membuat
lawan nyaris tertipu.
Suto Sinting sedikit terperanjat melihat wanita
berjubah merah jambu sebab ia sangat kenal dengan
wanita itu. Sebuah peristiwa terbayang dalam benak
Pendekar Mabuk begitu melihat wanita yang menjadi
anak Adipati Suralaya. Wanita itu tak lain adalah Delima Gusti, yang dulu pernah
menolong Suto Sinting dalam
keadaan terkena racun 'Lebah Setan' dari Dewa Sengat.
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Cambuk Getar Bumi"). Sedangkan
wanita berambut acak-acakan itu belum pernah dikenal Suto sama sekali, sehingga
batin Suto bertanya-tanya; siapa wanita yang
mempunyai jurus pedang cukup hebat itu"
"Pakaiannya seperti dari karet. Ketat sekali dengan tubuhnya yang meliuk-liuk
penuh tantangan bercumbu
itu," pikir Suto. "Siapa sebenarnya perempuan berambut acak-acakan itu"
Sebenarnya dia cantik, sayang tak mau
merawat kecantikannya sehingga tak terlalu kelihatan
menyolok. Hanya dadanya saja yang sangat menyolok
karena besar dan sesak itu. Agaknya ia mempunyai jurus
pedang yang cukup hebat, terbukti Delima Gusti
berulang kali terdesak dan hampir terpenggal lehernya.
Hmmm... kalau kubiarkan saja, Delima Gusti bisa mati
di ujung pedang perempuan berkulit kuning langsat itu."
Pandangan mata Suto Sinting tersentak lebar ketika
melihat perempuan itu berani lemparkan pedangnya ke
dada Delima Gusti. Wuuut...! Pedang itu kenai tempat
kosong karena Delima Gusti menghindar dengan
lompatan ke samping.
Weess...! Dan ternyata dengan sentakan tangan yang terjulur
bergerak ke belakang, pedang bergagang hitam itu bisa
kembali mundur dengan cepat. Wuuut!
Taab...! Dalam sekejap pedang itu sudah kembali ke tangan
pemiliknya. Jurus itu belum pernah dilihat oleh Suto
Sinting. Tangan perempuan berpakaian hitam itu seperti
mempunyai daya sedot yang mampu membuat
pedangnya yang sudah melayang lurus menjadi kembali
ke tempat semula. Tentu saja hal itu bisa dilakukan
karena tenaga dalam yang tinggi dan sangat terkendali.
"Bahaya sekali jurus pedangnya itu," gumam Suto masih belum mau bertindak.
Tetapi di lain sisi, Delima Gusti pun lakukan jurus
yang memukau, ia tak mau mundur setapak pun ketika
lawannya maju menyerang. Pedangnya berkelebat cepat
membuat tangkisan-tangkisan
sambil mencuri kesempatan untuk merobek perut atau dada lawannya.
Bahkan dalam satu keeempatan, Delima Gusti berhasil
lemparkan pedangnya lurus ke depan, tapi tubuhnya
segera melompat dan hinggap di pedang yang sedang
melayang. Wuuutt...!
Delima Gusti bagaikan terbang dengan berdiri di atas
pedangnya yang datar. Ujung pedang diarahkan ke leher
lawan. Bahkan ketika lawan menghindar ke kiri, Delima
Guatl membelokkan arah terbangnya pedang, sehingga
pedang itu mengejar lawan ke kiri juga. Slaaap...!
Pedang menukik naik karena lawan lakukan lompatan


Pendekar Mabuk 031 Pedang Kayu Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke atas. Arah pedang tertuju ke perut lawan. Kaki
Delima Gusti seakan menjadi pengganti tangan yang
hendak menghunjamkan pedang itu ke tubuh lawan.
Kibasan pedang perempuan berpakaian hitam itu
ditangkis dengan sentakan tenaga dalam yang keluar dari
telapak tangan Delima Gusti, sehingga tangan yang
hendak menebaskan pedang tersentak ke belakang, tak
jadi maju ke depan. Tapi pedang di kaki Delima Gusti
melesat naik dan berputar membuat Delima Gusti
berjungkir balik di udara dengan kaki tetap menempel
pada pedang. Untung saja perempuan yang menjadi
lawannya cepat bersalto ke belakang, jika tidak perutnya akan jebol ditembus
oleh pedang Delima Gusti.
"Ternyata jurus pedang Delima Gusti juga tidak bisa diremehkan"!" gumam Suto
bicara sendiri. "Mungkin itulah yang dinamakan jurus 'Pedang Terbang'."
Karena keenakan nonton jurus pedang yang demikian
hebat, Suto hampir saja lupa melerai pertarungan itu.
Kesadarannya timbul ketika Delima Gusti terdesak di
bawah pohon setelah menerima tendangan keras tepat di
ulu hatinya dari wanita berambut acak-acakan itu.
Duuhg...! Wuuus...!
Delima Gusti terkapar di bawah pohon. Punggungnya
tadi membentur batang pohon dengan keras. Darah
keluar dari mulut Delima Gueti. Tapi ia masih berusaha
untuk segera bangkit, walaupun dalam keadaan
sempoyongan. Kelemahan itu tidak disia-siakan oleh
lawannya. Lawan segera menerjang dengan pekik
melengking penuh hasrat membunuh.
Hiaaat...!"
Pedang bergerak cepat ke sekeliling tubuh, tak tahu
akan menebas melalui sisi mana. Delima Gusti pasti tak
mampu menangkis serangan itu. Maka, Suto Sinting
segera kirimkan pukulan ringan namun cukup
melumpuhkan. Jurus 'Jari Guntur' digunakan. Sentilan
jarak jauh dari jari tangan kanannya melepaskan tenaga
dalam tanpa sinar. Tess...! Wuuud...!
Buuhg...! Pukulan tenaga dalam itu mengenai dada
perempuan berpakaian ketat tereebut. Gerakan majunya
terhenti seketika, tubuhnya melayang balik dengan
terjungkir satu kali dan jatuh dalam jarak tiga tombak
dari tempatnya melompatnya tadi. Ia terengah-engah
dengan keadaan setengah merangkak. Dadanya
dipegangi karena merasa sakit, merasa seperti dijejak
dengan dua kaki kuda.
Delima Gusti merasa heran, namun cepat tanggap
bahwa ada orang yang telah membantunya dari suatu
tempat. Delima Gusti segera sapukan pandangan mata ke
segala arah. Lalu temukan sosok seorang lelaki berdiri di
atas bukit gundul. Dari bumbung tuak di pundak kanan,
Delima Gusti segera mengenali bahwa lelaki di atas
bukit itu tak lain adalah Suto Sinting. Maka ia pun
mendesah di sela engahan napasnya, "Suto..."!"
Keadaan seperti itu adalah kelengahan yang
berbahaya bagi Delima Gusti. Perempuan berpakaian
hitam ketat itu ternyata memanfaatkan kelengahan
tersebut dengan melepaskan seberkas sinar yang
disentakkan dari ujung jari tangan kiri. Claap...! Sinar merah terang berkelebat
menuju Delima Gusti.
Suto Sinting yang mengetahui keadaan gawat itu
segera menyentakkan jari tangannya juga setelah jari itu disentuhkan di dahi.
Wuuut...! Suto bagaikan membuang
sesuatu di ujung dua jarinya, lalu seberkas sinar ungu
melesat melebihi kecepatan sinar merah perempuan
berpakaian hitam itu. Zlaaap...!
Sinar ungu itu tepat membentur sinar merah sebelum
mencapai tubuh Delima Gusti. Benturan tersebut
hadirkan gelombang panas yang meledak dan
menghentak ke berbagai penjuru.
Blaaarr...! Jurus 'Turangga Laga' telah menyelamatkan Delima
Gusti dari ancaman maut sinar merah lawannya. Namun
daya ledak yang menimbulkan gelombang panas
menyentak kuat telah menerbangkan tubuh Delima Gusti
hingga terpelanting tak tentu arah. Demikian pula
lawannya, terpelanting membentur pohon menerabas
semak belukar dan jatuh berdebum di balik semak. Suto
Sinting segera turun dari atas bukit untuk menolong
Delima Gusti. "Su... Suto...!" Delima Gusti semakin parah, darah keluar dari mulut semakin
banyak. Wajahnya sepucat
mayat. Suto Sinting segera menyangga kepala Delima
Gusti, lalu meminumkan tuaknya. Dua teguk tuak masuk
ke tubuh Delima Gusti. Suto Sinting segera letakkan
kembali kepala Deiirrta Gusti ke tanah. Karena pada
waktu itu, perempuan berambut acak-acakan itu telah
melompat keluar dari balik semak dan berseru dengan
suara sedikit serak,
"Manusia licik! Siapa kau, hah"! Apa urusanmu
sehingga berani mencampuri pertarunganku ini"!"
"Maaf, Nona. Aku hanya tidak menghendaki temanku
ini mati di tanganmu!" kata Suto sedikit keras namun tidak menampakkan sinar
bermusuhan. "Dia harus mati!" sentaknya sambil menuding Delima Gusti pakai tangan kiri,
sebab tangan kanannya masih
pegangi pedang. "Kalau kau mau ikut dia ke alam baka, sekarang juga aku akan
mengirimnya ke sana!
Hiaaah...!"
Claaap...! Sentakan telapak tangan kiri yang kuat
melepaskan selarik sinar kuning lurus besarnya seukuran
gagang tombak. Suto Sinting segara menghadang sinar
kuning itu dengan bumbung tuaknya. Dees...! Wuuuk...!
Sinar kuning itu berbalik arah, dua kali lebih besar dari aslinya dan dua kali
lebih cepat dari gerakan semula.
"Edan!" pekik perempuan itu geram. Dia terkejut melihat sinar kuningnya berbalik
arah. Ia segera
sentakkan kaki dan, wwwut...! Tubuhnya melesat ke
atas. Sinar kuning itu lewat di bawah kakinya. Namun
ila tak tahu kalau jaraknya dekat dengan pohon. Maka
ketika sinar kuning itu menghantam pohon, suara
ledakan yang timbul menggelegar itu hasilkan
gelombang panas yang menyentak ke berbagai arah.
Blegaaar...! Tubuh perempuan itu tersentak ke depan dan jatuh
tersungkur dengan keras. Wajahnya beradu dengan
rumput. Dadanya yang membusung montok itu pun
bagaikan dibantingkan ke tanah. Bung...!
"Eegh...!" suaranya tertahan karena hentakan itu.
Kejap berikut terdengar suara erangan kecil, ia
menggeliat dan bangkit pelan-pelan. Matanya
memandang ganas walau berdirinya masih belum bisa
tenang, limbung ke kiri-kanan. Suto Sinting sengaja
dekati perempuan itu.
"Maaf, itu seranganmu sendiri," katanya dengan lembut.
Walau matanya menatap tajam dan berkesan ganas,
tapi hati perempuan itu berkata, "Tak pernah ada yang bisa membalikkan pukulan
'Lancang Kuning'-ku itu. Jika
dia bisa berbuat seperti tadi, berarti ilmunya cukup
tinggi. Uuh...! Punggungku terasa panas sekali. Kurasa
ada bagian tubuh yang hangus. Tulang punggungku pun
terasa retak. Aku butuh waktu untuk atasi luka dalamku
ini. Hmmm... sayang sekali dia tampan, kalau tidak,
sudah kulepaskan jarum pamungkasku ke arahnya
sekarang juga. Sial!"
Suto Sinting berkata dengan lembut, senyumnya tipis
memikat hati wanita.
"Kalau kau tidak menyerangku, kau tidak akan
celaka, Nona!"
"Jangan banyak mulut! Suatu saat kita pasti bertemu, dan akan kubalas
kekalahanku ini!" Setelah berkata demikian, Suto Sinting melihat perempuan itu
mundur tiga tindak, kemudian berbalik dan cepat pergi
tinggalkan tempat. Gerakannya cukup cepat, karena
dalam kejap berikutnya sudah tidak terdengar langkah
dan gerakan larinya.
Delima Gusti menyusul Suto dengan badan masih
sedikit lemas, tapi rasa sakit di bagian dada sudah
hilang. Napasnya masih sedikit terengah-engah.
"Seharusnya jangan kau biarkan dia melarikan diri!"
kata Delima Gusti.
"Siapa dia sebenarnya?" mata Suto masih
memandang ke arah kepergian perempuan tadi.
"Dia dikenal dengan nama Angin Betina. Murid Nini
Pancungsari, tentunya kau masih ingat nama Nini
Pancungsari!"
"Ya, aku ingat. Nini Pancungsari yang bekerja sama
dengan Sri Maharatu untuk membunuh Bandar Hantu
Malam, tapi akhirnya mati sebagai bahan percobaan
pusaka Cambuk Getar Bumi di tangan Sri Maharatu."
"Benar. Dia berkelana mencari pembunuh gurunya."
"Lalu, mengapa seharusnya tak kubiarkan melarikan
diri?" "Dia mencarimu, mau membunuhmu, karena ada
kabar yang mengatakan bahwa pembunuh gurunya
adalah Suto Sinting."
"Mengapa terlibat bentrokan denganmu?"
"Karena... karena ketika kami sama-sama satu kedai, kudengar sesumbarnya yang
memuakkan, yaitu akan
memotong-motong tubuhmu menjadi delapan bagian.
Aku tak rela kau mati di tangannya. Maka kuhadang dia
di perjalanan dan kucoba untuk melumpuhkannya.
Ternyata ia cukup tangguh. Tapi aku yakin tak ada
sekuku hitamnya jika dibandingkan ilmumu."
"Berarti dia hanya tahu nama tanpa tahu rupa?"
"Kurasa begitu. Buktinya, dia justru pergi, padahal dia mencarimu. Dia tak tahu
kalau yang dihadapi adalah
Pendekar Mabuk; Suto Sinting!"
Tawa Suto pendek saja. Kalem, tak terpancing
kemarahan, ia bahkan menenggak tuaknya beberapa
teguk. Saat itu Delima Gusti berkata,
"Kau mau ke mana, Suto?"
"Menemui guruku untuk suatu keperluan. Kau sendiri
mau ke mana?"
"Menemui Resi Wulung Gading, mau menanyakan
ciri-ciri Pedang Kayu Petir."
Seketika itu juga Suto Sinting tersentak kaget,
matanya cepat memandang tajam pada Delima Gusti,
lalu dia ajukan tanya pada wanita cantik itu,
"Kenapa kau ingin mengetahui ciri-ciri Pedang Kayu
Petir?" "Seseorang ingin melamarku dan memberiku
maskawin Pedang Kayu Petir!"
"Hah..."!" Suto terbelalak. "Siapa orang itu"
"Gandar Saka, dari Lumpur Maut!"
Suto makin terkejut. "Gandar Saka" Bukankah dia
yang berjuluk Raja Tumbal"!"
* * * 3 SUTO SINTING terpaksa menemani Delima Gusti
dalam perjalanan ke Lembah Sunyi, untuk menemui
Resi Wulung Gading. Hal itu dilakukan Suto demi
memperoleh keterangan sejelas-jelasnya dari Delima
Gusti tentang kebenaran kata-katanya itu. Sebab, hati
Pendekar Mabuk kini diliputi kecemasan yang
tersembunyi. Jika benar Pedang Kayu Petir akan
dijadikan maskawin bagi Raja Tumbal untuk melamar
Delima Gusti, itu berarti Pedang Kayu Petir sudah ada di tangan Raja Tumbal.
Semakin sulit menumbangkan
orang yang telah memiliki pusaka Seruling Malaikat itu.
"Kabarnya memang begitu, Gandar Saka sudah
berusia banyak, tapi ia masih awet muda karena memang
mempunyai ilmu awet muda. Ia seperti lelaki berusia
tiga puluhan," tutur Delima Gusti.
"Kau pernah bertemu dengannya?"
"Pernah, yaitu ketika ia selamatkan ayahku dari
ancaman orang-orang Pulau Dadap. Waktu itu kami
masih bermusuhan dengan Pulau Dadap. Setelah itu aku
tak pernah bertemu lagi, karena aku jarang ada di
kadipaten. Belakangan kudengar dia menemui Ayah dan
melamarku dengan maskawin Pedang Kayu Petir."
"Lalu apa kata ayahmu?"
"Ayah tertarik dengan Pedang Kayu Petir itu. Kata
Ayah, pedang itu sangat sakti, dapat lukai semua orang
berilmu setinggi apa pun, karenanya pedang itu ditakuti
oleh semua orang sakti dari golongan hitam maupun
putih. Katanya pula, seluruh kekuatan lawan sesakti apa
pun jika matanya sudah memandang Pedang Kayu Petir,
maka kekuatan itu akan lumpuh tak akan bisa digunakan
selama masih berada di sekitar pedang tersebut.
Karenanya mudah digunakan membunuh tokoh yang
ilmunya setinggi langit pun. Bahkan kabarnya pedang itu
paling ditakuti oleh tokoh sesat terkenal, yaitu Siluman Tujuh Nyawa."
Sebagian keterangan sudah didengar Suto dari
beberapa tokoh tua, termasuk Resi Wulung Gading. Tapi
agaknya sang Adipati, ayah Delima Gusti itu lebih
banyak mengetahui tentang pedang tersebut. Tak heran
jika sang Adipati sangat tertarik untuk memiliki Pedang
Kayu Petir. "Apakah waktu Gandar Saka datang kepada ayahmu
sudah membawa pedang tersebut?" tanya Suto bersifat menyelidik.
"Belum. Kurasa Gandar Saka tidak bodoh,
membawa-bawa pedang pusaka tanpa jelas lamarannya
diterima atau tidak. Salah-salah direbut orang di tengah jalan," jawab Delima
Gusti. "Menurutmu sendiri bagaimana" Apakah kau mau
menikah dengan Gandar Saka?"
"Ayah hanya mengatakan, kesempatan mendapatkan
pedang maha sakti itu hanya satu kali ini. Belum tentu
tujuh turunan kita bisa punya kesempatan lagi. Jadi,
Ayah sarankan padaku agar jangan sia-siakan


Pendekar Mabuk 031 Pedang Kayu Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesempatan ini. Aku didesak untuk menerima lamaran
Gandar Saka, toh pedang itu nantinya akan menjadi
milikku. Jadi kupikir-pikir, kuterima saja lamarannya
demi dapatkan pedang itu. Sesakti apa pun si Gandar
Saka, kalau pedang itu sudah ada di tanganku, aku bisa
lepaskan diri dari tali perkawinan itu. Kalau dia
melawan, aku punya senjata untuk melumpuhkannya!"
"Jadi kau tidak mencintainya?"
"Aku tahu orang Lumpur Maut itu busuk-busuk
hatinya! Untuk apa aku jatuh cinta pada lelaki berhati
busuk, kecuali untuk dapatkan pedang maha sakti!"
Terdengar suara tawa Suto pendek saja, seperti orang
menggumam. Sambil tetap melangkah menuju Lembah
Sunyi, hati Suto Sinting berkecamuk sendiri.
"Cerdik juga otak perempuan ini. Rela menjadi istri Raja Tumbal hanya untuk
dapatkan senjata sesakti itu.
Tetapi apa jadinya jika ternyata pedang itu palsu"
Padahal Delima Gusti sudah telanjur menjadi istri Raja
Tumbal" Mau melawan tanpa pedang asli, jelas ia tak
akan mampu mengalahkan Raja Tumbal. Bahaya juga
kalau Delima Gusti tidak hati-hati. Dia bisa terjebak
dalam lumpur mautnya Raja Tumbal!"
"Apakah kau keberatan kalau aku menerima lamaran
Gandar Saka?" pancing Delima Gusti. "Kalau memang kau keberatan aku bersuamikan
dia, kubatalkan niatku
memperoleh pedang pusaka itu, asal aku dapat pangganti
seorang suami yang serupa persis denganmu."
Suto Sinting tertawa pendek. "Agaknya perempuan
ini menyimpan hati untukku tapi tak berani berterus
terang," pikir Suto. "Terserah, itu haknya untuk jatuh cinta kepada siapa saja.
Yang jelas aku tak boleh
mengikatnya kalau aku tak siap membalas cintanya."
"Jawablah, Suto," Delima Gusti sengaja hentikan langkah. "Jawablah apakah kau
keberatan aku menikah dengan Raja Tumbal?"
Suto tersenyum menawan. Lembut dan meneduhkan
hati. "Yang membuatku kecewa kalau kau terjebak
lumpurnya Raja Tumbal itu!"
"Maksudmu?"
"Pedang itu ternyata palsu, tapi kau sudah terikat tali perkawinan dengannya.
Kau tak akan bisa memberontak.
Kalau toh kau memberontak, kau akan kalah bertanding
ilmu dengannya. Ingat, dia punya pusaka Seruling
Malaikat!"
Delima Gusti tarik napas panjang-panjang, lalu
melangkah lagi sambil berkata dengan pelan,
"Ituiah sebabnya perlu kutanyakan dulu kepada Resi Wulung Gading tentang ciri-
ciri pedang tersebut. Bila
perlu, akan kuminta Resi Wulung Gading datang pada
saat penyerahan pedang dan memeriksanya."
Gagasan itu dianggap cukup bagus oleh Pendekar
Mabuk. Tapi ia yakin, jika pedang itu asli, pasti akan
direbut oleh Resi Wulung Gading, sebab Pedang Kayu
Petir adalah pedang milik leluhurnya dan hanya sang
Resi yang berhak memegang pedang tersebut. Sekalipun
pedang tersebut sudah dinyatakan hilang puluhan tahun,
tetapi sang Resi pasti tetap merasa harus merebutnya jika ia tahu di mana pedang
itu berada. Mereka tiba di padepokan sang Resi ketika matahari
mulai bergeser ke barat. Cahayanya masih terang
benderang. Kedatangan mereka disambut oleh dua murid
sang Resi yang luput dari pembantaian Dampu Sabang,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bandar Hantu Malam"). Kedua orang
itu adalah Dul dan Sukat.
"Guru tidak ada di tempat," kata Sukat
"Ke mana beliau?"
"Pergi ke Jurang Lindu," jawab Dul.
"Ke Jurang Lindu"!" Suto berkerut dahi.
"Ya. Beliau ingin temui seorang tokoh sakti di sana bergelar si Gila Tuak!" kata
Sukat tanpa menyadari
bahwa yang diajak bicara adalah murid si Gila Tuak. Hal
itu membuat Delima Gusti memandangi ke arah Suto,
sebab ia tahu bahwa Suto Sinting adalah murid si Gila
Tuak. Tapi karena Suto berpikir beberapa saat, maka
Delima Gusti pun segera ajukan tanya kepada Sukat.
"Kapan beliau pulang kemari?"
"Menurut hitungan, hari ini Guru pulang. Mungkin
sedikit sore baru tiba."
"Kalau begitu begini saja," kata Suto kepada Delima Gusti. "Kau tunggu sang Resi
datang di sini, aku akan bergegas ke Jurang Lindu, siapa tahu kepulangan beliau
ditunda. Aku akan ceritakan tentang dirimu yang ada di
sini serta maksud dan tujuanmu mencari beliau."
"Baik. Aku setuju. Aku akan menunggumu juga
walau sudah bertemu dengan sang Resi nanti. Jadi
kuharap dari temui gurumu kau kembali ke sini dan kita
pergi bersama. Mungkin ada beberapa hal yang perlu
kita bicarakan."
Sambil berlari menggunakan gerak siluman menuju
Jurang Lindu, benak Suto selalu berkecamuk terutama
tentang dua hal yang disangsikan.
"Benarkah pedang itu sudah ada di tangan Raja
Tumbal" Serela itukah ia memberikan pedang maha
sakti itu hanya untuk mempersunting seorang wanita
anak Adipati" Alangkah bodohnya Gandar Saka jika hal
itu benar-benar terjadi." j
Lalu pikiran Suto pun beralih pada kesangsian kedua,
"Benarkah Delima Gusti ingin dilamar Gandar Saka
dengan maskawin Pedang Kayu Petir" Jangan-jangan
Delima Gusti hanya membual di depanku untuk
memancing perasaanku, apakah mencintainya atau
tidak" Alangkah beruntungnya Delima Gusti jika
memang hal itu benar-benar terjadi."
Tepat menjelang petang, Suto Sinting tiba di
kediaman gurunya; si Gila Tuak. Tetapi tempat itu
ternyata kosong. Gila Tuak tak ada di tempat. Resi
Wulung Gading juga tidak ada di tempat. Tak pernah
ada tanda ke mana Gila Tuak pergi. Hal itu membuat
Suto menjadi bingung sendiri.
"Kalau begitu aku harus pergi ke Lembah Badai
untuk temui Bibi Guru Bidadari Jalang. Siapa tahu Guru
ada di sana bersama Resi Wulung Gading! Setidaknya
aku bisa tanyakan kepada Bibi Guru tentang kelemahan
Seruling Malaikat. Pasti Bibi Guru mengetahuinya,
mungkin juga kenal dengan Raja Tumbal."
Zlaaap...! Dengan gunakan gerak siluman Suto
menuju Lembah Badai. Lembah itu adalah satu-satunya
lembah yang sering dilanda badai. Konon tak jauh dari
pondok Bidadari Jalang terdapat pusaran angin yang
mampu menyedot benda apa pun yang melintas di
atasnya, itulah sebabnya lembah itu dinamakan Lembah
Badai. Sejak Bidadari Jalang mengasingkan diri di Lembah
Badai, membersihkan diri dari tindakan sesatnya selama
ini, ia tinggal di pondok itu bersama seorang pelayan
wanita yang bernama Biyung Supi. Usianya sekitar
empat puluh tahun. Konon seorang janda yang nyaris
mati di tangan perampok, lalu diselamatkan oleh
Bidadari Jalang dan akhirnya mengabdi di sana. Biyung
Supi orang yang pendiam, rajin bekerja, dan taat pada
perintah majikannya. Badannya kurus, rambutnya
panjang tapi selalu digelung rapi. Kulitnya sawo matang.
Sisa kecantikannya masih terlihat lewat kebangiran
hidung dan keindahan bentuk mata serta bibirnya.
Kegemarannya mengenakan kebaya hijau muda dengan
kain batik warna coklat cerah.
Perempuan ituiah yang menyambut kedatangan Suto
dan memberitahukan,
"Gusti Ayu Bidadari Jalang sedang pergi, Tuan
Pendekar."
"Ke mana perginya, Biyung?"
"Secara pasti saya tidak tahu, Tuan Pendekar. Tetapi tadi Eyang Guru Gila Tuak
dan Resi Wulung Gading
menjemputnya. Mereka pergi bertiga. Kalau tak salah
dengar, mereka akan hadiri pertemuan para tokoh tua
yang akan membicarakan soal kemunculan Pedang Kayu
Petir." Pendekar Mabuk terperanjat sedikit, namun segera
bersikap biasa kembali.
"Kapan mereka akan pulang?"
"Saya tidak mendengar percakapan tentang kapan
beliau pulang."
"Apakah kau juga tidak tahu di mana mereka
berkumpul?"
"Tidak mendengar nama tempat disebutkan oleh
beliau, Tuan Pendekar."
Petang mulai datang. Dengan hati sedikit kecewa
karena tidak berhasil temui guru-gurunya, Suto pun
kembali ke Lembah Sunyi, ia perlu bicarakan tentang
pertemuan para tokoh tua itu kepada Delima Gusti.
Siapa tahu perempuan cantik itu mengetahui adanya
pertemuan tersebut dan bisa sebutkan tempatnya. Jika
Suto tahu tempatnya, sudah pasti ia akan menyusul para
gurunya ke tempat pertemuan itu. Sebab pembicaraan
yang dibahas sangat menarik perhatiannya, yaitu tentang
kemunculanTedang Kayu Petir.
"Ternyata pedang itu memang benar-benar muncul
lagi di permukaan bumi," pikir Suto dalam
perjalanannya. "Terbukti para tokoh tua berkumpul
untuk membicarakannya. Berarti apa yang dikatakan
Delima Gusti itu benar, bahwa Pedang Kayu Petir ada di
tangan Raja Tumbal dan akan dijadikan maskawin.
Barangkali para tokoh tua mendengar pedang pusaka
maha sakti itu akan dijadikan maskawin, sehingga hal itu perlu dibicarakan
secara penuh perhatian. Mungkin
tindakan itu dianggap penghinaan terhadap pusaka maha
sakti, atau mereka berusaha selamatkan pedang itu dari
tangan Raja Tumbal?"
Pendekar Mabuk hanya meraba kemungkinan-
kemungkinan yang bisa terjadi dan bisa dilakukan oleh
para tokoh tua. Diam-diam dia mempunyai kecemasan
walau kecil sekali. Kecemasan itu berupa bayangan
kesaktian Raja Tumbal jika pedang maha sakti itu tak
jadi diberikan kepada orangtua Delima Gusti. Menurut
Suto, kesaktian Raja Tumbal akan semakin berlipat
ganda; punya pedang maha sakti dan Seruling Malaikat.
Siapa orangnya yang bisa mengalahkan dua pusaka
dalam satu tangan itu"
Suto sempatkan diri berhenti sejenak, ia menenggak
tuaknya. Ternyata tuak tinggal sedikit, ia harus mengisi bumbung itu dengan tuak
yang baru. Ia tak mau
kehabisan tuak di perjalanan. Gagasan yang terlintas
adalah singgah di desa Pucangan, karena desa itulah
yang terdekat dari tempatnya berhenti.
"Aku akan mampir ke kedainya Ki Rosowelas dan
mengisi tuak di sana. Sekalian ingin melihat kabarnya
Sundari, anak gadis Ki Rosowelas itu," pikir Suto sambil segera melesat ke arah
desa Pucangan di kaki Gunung
Keong Langit. Dari desa itu dapat ditempuh jalan
menuju Lembah Sunyi lebih dekat lagi asal mau
melintasi lereng Gunung Keong Langit, bekas
persinggahan Bandar Hantu Malam yang bernama asli
Ki Randu Papak itu.
Satu hal yang tak disangka-sangka terjadi di kedai Ki
Rosowelas. Kedai masih buka, pembelinya cukup ramai
karena salah satu warga desa ada yang punya hajat,
mengawinkan anaknya dengan menanggap ronggeng.
Rumah yang sedang punya hajat itu tidak seberapa jauh
dari kedai Ki Rosowelas. Karenanya banyak pembeli
ysng hilir mudik ke kedai tersebut.
Suto Sinting sengaja muncul dari pintu dapur.
Sundari berteriak kegirangan, lalu tanpa sungkan-
sungkan memeluk Suto sebagai ungkapan rasa
girangnya. KI Rosowelas pun tampak gembira sekali
menerima kedatangan Suto,
bahkan sempat menceritakan keadaan Suto yang waktu itu ditemukan
seperti orang gila. Suto mengerti maksud Ki Rosowelas,
dan ia jadi malu membayangkan masa linglungnya
karena terkena racun 'Lebah Setan' itu. Temu kangen itu
terjadi di dapur, sehingga tidak mengganggu orang lain
dan tidak terganggu oleh orang lain.
"Aku hanya ingin mengisi bumbung tuakku yang
hampir kering, Sundari. Setelah itu aku harus pergi ke
Lembah Sunyi."
"Mengapa buru-buru, Suto" Bermalamlah di sini saja!
Besok baru teruskan perjalananmu," bujuk Sundari
dengan penuh harap, karena gadis itu sebenarnya
menyimpan cinta dan kekaguman terhadap Pendekar
Mabuk. Sambil mengisi tuak ke bumbung, Ki Rosowelas juga
menyarankan agar bermalam di tempatnya. Bahkan Pak
Tua itu tambahkan kata,
"Mumpung ada tanggapan ronggeng semalam suntuk
lho. Pasti seru dan sangat sayang kalau dilewatkan."
"Kapan-kapan saja aku bermalam lagi di sini, Ki.
Sekarang aku punya urusan yang lebih penting daripada
nonton ronggeng semalam suntuk," kata Suto. Ia
menerima bumbungnya kembali setelah bumbung itu
penuh tuak. "Ada makanan apa di depan, Ki?"
"Biasa... ketan, singkong rebus, ubi goreng, pisang goreng, jadah, dan...
cobalah lihat sendiri sana," kata Ki Rosowelas yang sudah menganggap Suto
seperti anak sendiri. Diam-diam Sundari persiapkan kamar untuk
bermalam Suto. Ia yakin dengan bujukan dan rengekan
manjanya, Suto pasti akhirnya akan bermalam di
kedainya itu. Setidaknya akan terpaksa bermalam jika
kamar sudah disiapkan oleh Sundari.
Ketika Suto ingin mengambil makanan sebagai


Pendekar Mabuk 031 Pedang Kayu Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengganjal perut, tiba-tiba matanya memandang ke arah
bangku sudut. Di sana duduk seorang wanita berambut
acak-acakan, mengenakan pakaian ketat warna hitam,
wajahnya tampak angker walau sebenarnya cantik. Suto
terkejut memandang wanita itu yang tak lain adalah
Angin Betina, lawan Delima Gusti yang konon sedang
mencari Suto untuk dibunuh.
Melihat si murid Nini Pancungsari itu duduk
sendirian dalam keadaan sedang termenung, Suto
Sinting pelan-pelan mendekatinya dengan senyum tipis
telah mekar di bibirnya dan sepotong pisang goreng ada
di tangannya. Wanita berwajah liar itu terkejut ketika
sadar ada lelaki telah berdiri di depannya. Ia langsung pegang gagang pedang,
namun segera batalkan niat
mencabutnya setelah matanya menatap jelas-jelas siapa pemuda yang mendatanginya
itu. "Kampret busuk! Si tampan itu lagi yang muncul!"
gumamnya dalam hati.
"Boleh aku duduk di bangku depanmu ini, Nona
Cantik?" Angin Betina diam saja, berkesan angkuh dan sinis.
Tapi ketika Suto duduk di bangku depan mejanya, ia
segera buang muka bagai tak ingin beradu pandang
dengan Suto Sinting. Lagaknya itu membuat Suto kian
melebarkan senyum geli.
"Untuk apa kau berada di desa ini, Angin Betina?"
Seet...! Wajah sangar itu berpaling memandang Suto.
"Dari mana kau tahu namaku"!" ucapnya bernada ketus.
"Banyak hal yang kuketahui tentang dirimu.
Sesungguhnya kau berhadapan dengan seorang
peramal," kata Suto mulai membual dalam canda
batinnya. Mata Angin Betina terkesiap. "Apa saja yang kau
tahu tentang diriku?"
"Kau sedang dilanda kemarahan yang tertunda, tapi
juga menyimpan duka atas suatu musibah yang terpaksa
harus kau hadapi."
Angin Betina tidak memberikan pendapat. Diam
beberapa saat. Karena Suto pun diam agak lama dan
mereka saling adu pandang, Angin Betina tak kuat
menahan debar-debar di hatinya, maka ia alihkan
perhatian hatinya dengan tanya,
"Apa lagi yang kau tahu?"
"Kau... sedang berkabung atas kematian gurumu."
Suto memandang dengan sengaja tak berkedip supaya
kelihatan sedang meneropong mata dan membaca
pikiran wanita itu. Si wanita mulai tertarik dan
mendesak pertanyaan,
"Kalau kau memang peramal, sebutkan nama
guruku!" "Hmmm... gurumu adalah Nini Pancungsari, orang
berilmu tinggi yang punya dendam dengan tokoh sakti
bernama Bandar Hantu Malam!"
Angin Betina mulai semakin tertarik dengan gerak
mata yang sedikit melebar tanda terperanjat. Padahal
semua keterangan itu sudah diperoleh Suto jauh sebelum
ia bertemu dengan Angin Betina.
"Apa kau tahu siapa pembunuh guruku?"
"Hmmm... ya, tahu! Tapi berbeda dengan alam
pikiranmu."
"Jelaskan!"
"Gurumu bertarung melawan Bandar Hantu Malam,
bekerja sama dengan Sri Maharatu. Mereka berhasil
membunuh Bandar Hantu Malam, gurumu mengambil
kalung pusaka Bandar Hantu Malam, sedangkan Sri
Maharatu mengambil pusaka Cambuk Getar Bumi. Tapi
Sri Maharatu orang kejam. Gurumu dipakai bahan
percobaan kesaktian cambuk itu. Sri Maharatu
melecutkan cambuknya dan gurumu pun mati. Sri
Maharatu baru percaya bahwa cambuk itu adalah
cambuk pusaka yang mempunyai kesaktian tinggi."
"Sri Maharatu..."!" gumamnya mulai berkerut dahi.
"Aslinya memang dia pembunuh gurumu. Tapi...
sepertinya kau telah memperoleh berita yang salah. Kau
pasti sangka orang lain yang membunuhnya."
"Memang benar. Tapi tahukah kau siapa orang yang
kusangka membunuh guruku?"
"Menurut pikiranmu yang kubaca saat ini, kau
menyangka Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting
itulah orang yang kau anggap membunuh gurumu."
Keheranan Angin Betina mulai terlihat jelas dari
gumamnya, "Aneh! Tepat sekali!" sorot matanya pun mempunyai nada keheranan cukup
dalam. "Aku ingat,
kala itu Guru memang dihampiri oleh Sri Maharatu dari
Pulau Dadap, dan mereka menyebut-nyebut cambuk
pusaka yang bernama...."
"Cambuk Getar Bumi!"
"Ya. Tepat. Rupanya ini kelicikan Sri Maharatu"!"
"Benar. Tapi dia sekarang sudah tiada. Tewas
terpotong-potong di depan tiga saksi, yaitu Delima
Gusti, Resi Wulung Gading, dan Putri Kunang, adik tiri
Sri Maharatu."
"Siapa yang membunuh Sri Maharatu?"
"Pendekar Mabuk, Suto Sinting."
Angin Betina nyata-nyata terkejut mendengar nama
Sumpah Palapa 20 Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung Pendekar Panji Sakti 8
^