Pencarian

Tandu Terbang 3

Pendekar Mabuk 030 Tandu Terbang Bagian 3


berbelok arah, lalumelesat kearah NyaiParas Murai.
Kipas hitam yang ditutupkan itu mempunyai daya
tarik pada logam yang mampu menyedot benda putih
berbahayatersebut. Senjata berbentuk menyerupai ujung
anak panah itu melesat cepat ke arah Nyai Paras Murai,
namun kipasnya segera dikibaskan ke samping ketika
benda itu mendekatinya. Wuuut...! Benda tajam itu
terlempar ke arah lain dan menancap di sebuah pohon.
Jraab...! Blaaar...! Ledakan dahsyat kembali terdengar. Benda putih
berkilap itu menghancurkan pohon tersebut menjadi
serbuk coklat yang menyerupai pasir menggunung di
tempat di mana pohon itu tumbuh. Dapat dibayangkan
seandainya tubuh Hantu Tari yang terkena senjata,
logam seperti pucuk panah itu, mungkin mayatnya tak
akan bisa dimakamkan karena menjadi serbuk halus
seperti pohontersebut.
Clap, clap, clap, clap...!
Nyai Paras Murai menghujani sinar biru kilat dari
ujung kipasnya ke arah Tandu Terbang. Dengan begitu,
Tandu Terbang dibuat terdesak dan kebingungan
menghindari serta menangkis hujan petir dari ujung
kipas tersebut. Tandu Terbang sempat dibuat mundur
beberapa langkah jauhnya. Kemudian tiba-tiba tandu itu
melepaskan sinar hijau dari dua kayu pengusung bagian
depannya. Slaaap...!
Nyai Paras Murai segera membentangkan kipasnya,
lalu kipas itu dilemparkan ke arah dua sinar tersebut.
Kipas terbang dengan berputar cepat dan memercikkan
bunga api warna merah. Kipas itu menghantam dua sinar
hijau tersebut, sehingga dua kali terjadi guncangan hebat
karena ledakan yang ditimbulkannya.
Blaar...! Blegaaarrr...!
Ledakan itu membuat Tandu Terbang tersentak dan
melesat mundur. Nyai Paras Murai terpental tiga
langkah, lalu bangkit berlutut dan menangkap kipasnya
yang terbang bagaikan bumerang. Taab...! Dengan cepat
ia bergerak menyambar muridnya dan membawanya lari
lagi. TetapiTanduTerbang masih mengejarnya juga.
* * * 7 KABUT sore membantu Nyai Paras Murai
menghilangkan jejak. Tandu Terbang kebingungan
mengikuti arah pelarian Nyai Paras Murai karena kabut
sore menebal dan mengganggu pandangannya.
Akibatnya, Tandu Terbang bergerak berbeda arah
dengan orang yang dikejarnya. Nyai Paras Murai berlari
ke arah barat, sedangkanTanduTerbang ke arah selatan.
Langkah sang Guru yang menyelamatkan jiwa
muridnya terhenti di suatu tempat. Wajahnya tampak
tegang memandang kanan-kiri dan sekitarnya. Lalu
terdengar ia bergumam seorang diri,
"Iniperbatasan negeriMuara Singa"!"
Mata tuanya memandang ke arah puncak bukit,
samar-samar terlihat olehnya batu hitam berbentuk
seperti tungkai kaki manusia yang sebagian tertutup
kabut sore. Hatinya yakin betul bahwa ia sudah
mendekati wilayah Muara Singa. Gemuruh ombak
samar-samar terdengar di sebelah utara.
"Kurasa ada baiknya kutemui Ratu Purnama Laras
untuk meminta perlindungan! Di sana aku bisa
sembuhkan luka HantuTari sebelum ajal menyambutnya
lebih dulu. Aku yakin, penguasa Muara Singa tak
keberatan jika aku dan Hantu Tari memohon
perlindungan dari kejaran Tandu Terbang, toh Hantu
Tari masih punya hubungan keluarga dengan penguasa
Muara Singa itu!"
Tanpa rasa ragu sedikit pun, Nyai Paras Murai
bergegas lanjutkan perjalanannya ke arah barat sambil
memanggul HantuTari dipundak kirinya. Gerakan cepat
itu tiba-tiba terhenti karena kemunculan dua orang
berpakaian biru dengan ikat kepala merah dan hijau. Dua
orang berbadan tegap itu muncul dari balik kerimbunan
semak ilalang yang tumbuh di bawah pohon beringin
putih. "Penjaga tapal batas!" gumam Nyai Paras Murai
pelan sekali, tak terdengar oleh dua orang tersebut,
karena jaraknyamasih tujuh langkah ke depan.
Keduanya kini melangkah tiga tindak, lalu yang
seorang menyapa dengan sikap tegas, "Nyai Paras
Murai! Akuhapal sekali dengan wajahmu, Nyai!"
"Benar. AkuParasMurai. Aku ingin menghadap Ratu
Gustimu!" "Siapa yangkau panggul di pundak Itu?"
"Hantu Tari, muridku sendiri," jawab Nyai Paras
Murai dengan nada tegas pula. "Izinkan aku lewat dan
menemui RatuPurnama Laras!"
"Tidak bisa!" jawab orang yang satunya, yang
memilikikumistebal.
"Mengapa tak bisa"! Apakah kalian tak tahu bahwa
HantuTari adalah adik sepupu Ratu Gusti kailan?"
"HantuTari adalah orang Lumpur Maut!"
"Itu dulu, ketika dia berpasangan dengan Windu Jati.
Tapi sekarang ia tak punya hubungan apa-apa lagi
dengan orang Lumpur Maut! Dia bukan kaki tangannya
Raja Tumbal."
"Maaf, Nyai. Saat ini Muara Singa tertutup untuk
tamu asing mana pun juga! Dengan menyesal
kusarankan kembalilah, Nyai!"
"Aku akan menghadap ratumu apa pun yang ingin
kau lakukan padaku!"
"Kalau begitu jangan menyesal jika kami lakukan
kekerasan untuk mengusirmu, NyaiParas Murai!"
"Jika itu kehendakmu, aku siap hadapi kalian
berdua!" "Heaaat...!" orang berkumis tebal melompat lebih
dulu sambil cabut goloknya. Lompatannya cukup tinggi
dan kakinya berkelebat menendang wajah Nyai Paras
Mural. Kaki itu segera ditangkis dengan menyilangkan
tangan yang sudah menggenggam kipas dalam keadaan
tertutup. Dees...! Lalu, golok si kumistebal pun menebas
ke sampingtanparagu-ragu lagi. Wuuut...!
Trak...! Kecepatan gerak membuat kipas itu mampu
menahan tebasan golok si kumis tebal. Kipas itu segera
memilin cepat dan menyodok pergelangan tangan
pemegang golok. Slaap...! Dees...!
"Auh...!" orang itu memekik, goloknya lepas dari
genggaman. Tangannya terasa ngilu dan sulit
digerakkan. Seakan tulangnya remuk dan uratnya putus
semua akibat sodokan ujung kipas bertenaga dalam
tinggi itu. Dalam keadaan orang tersebut menyeringai,
kaki Nyai Paras Mural bergerak memutar dan
menendang wajah orangtersebut dengan kuat. Plook...!
"Auuf...!" orang berkumis tebal memekik lagi dua
kali. Hidungnya langsung berdarah. Tubuhnya
terjengkang karena terpental oleh hentakan kaki Nyai
ParasMurai itu.
Melihat temannyatergeletak dengan hidung berdarah,
orang tanpa kumis segera lepaskan pukulan tenaga
dalam jarak jauh. Wuuut...! Pukulan tanpa sinar itu
hanya bisa dirasakan gelombang tekanannya begitu
besar. Nyai Paras Murai segera sentakkan kaki dan
tubuh pun melesat ke atas dengan tetap memanggul
muridnya. Wuuuk...! Pukulan tenaga dalam tanpa sinar
lolos dari tubuh Nyai Paras Murai. Orang tersebut
menjadi penasaran, sehingga ia terpaksa mencabut
goloknya juga dan menerjang Nyai Paras Murai dengan
gerakan golok menebas ke kanan kiri dengan kecepatan
tinggi. Wuung, wuung, wuung...! Suara angin tebasan
golok mendengung beberapakali.
Nyai Paras Murai sengaja undurkan diri beberapa
tindak untuk mengatur jarak dengan lawannya. Ketika
lawannya daratkan kaki ke tanah, Nyai Paras Murai
segera sentakkan kipasnya dalam keadaan masih
tertutup. Suuut...! Sodokan kipas itu hasilkan pukulan
jarak jauh yang mengarah ke perut lawannya. Pukulan
tanpa sinar ternyata tepat kenai sasaran, menghantam
keras perut lawannya yang membuat orang tanpa kumis
itu terlempar ke belakang dan jatuh berjungkir balik tak
karuan gerakannya.
"Uuhgg...!" orang itu mengerang sambil pegangi
perutnya yang membekas merah karena dihantam
gelombang tenaga dalam dari ujung kipas, ia akhirnya
muntah ditempat.
Agaknya Nyai Paras Murai sengaja tidak celakai
kedua penjaga perbatasan itu. Ia hanya ingin
melumpuhkan kedua orang tersebut dalam beberapa saat
saja. Ketika kedua orang itu tak memungkinkan bisa
mengejarnya dalam waktu singkat, Nyai Paras Murai
segera berkelebat ke arah benteng Muara Singa.
Jaraknyayang masih jauh dariperbatasan membuat Nyai
Paras Murai terpaksa gunakan ilmu peringan tubuhnya
kembali agar mampu bergerak cepat dan lekas tiba di
tempat. "Sebaiknya jangan lewat pintu gerbang," pikirnya.
"Di sana aku hanya akan menemui kesulitan yang
ditimbulkan oleh para penjaga gerbang. Itu akan
membuang waktu saja. Sebaiknya aku melewati tembok
benteng agar lekastiba di depan istanaMuara Singa!"
Wuuut...! Tubuh Nyai Paras Murai begitu ringannya
melesat ke atas dan hinggap di salah satu pohon dekat
dengan bagian atas benteng berwarna hitam abu-abu itu.
Dari atas pohon tersebut, NyaiParas Muraimelompat ke
tembok benteng, Wuuus...! Dan dalam sekejap ia sudah
berada di pelataran istana. Tapi kehadirannya itu dilihat
oleh seorang pemanah yang ada di atas benteng.
Zlaaap...! Sebatang anak panah diarahkan padanya, dan
bergerak cepat menuju punggung sang nyai. Namun
gerak nalurinya cukup tinggi. Tangannya cepat
menyambar kipas dari pinggang, lalu tubuhnya berputar
sambil kibaskan kipas ke samping dalam keadaan
terbuka. Wuuuut...! Weeesss...!
Hembusan angin kencang membuat anak panah yang
sedang menuju ke arahnya menjadi berbelok arah dan
mengenai dinding bangunan lain. Traak...! Anak panah
itu patah bagian ujungnyakarenamenghantam dinding.
"Pencuri! Pencuri masuk! Awaaas...! Pencuri
masuk!" teriak penjaga di atas benteng yang gagal
memanah Nyai Paras Murai. Teriakan itu segera
diteruskan oleh penjaga lainnya, lalu beberapa penjaga
segera berhamburan mengepung Nyai Paras Murai
dengan senjataterhunus.
Batu Sampang segera muncul dari serambi Istana.
Dengan berdiri di anak tangga keenam, Batu Sampang
pandangi Nyai Paras Murai yang tampak tak pedulikan
kepungan para pengawal istana itu. Mata Nyai Paras
Murai segera beradu pandang dengan Batu Sampang,
lalu suaranyaterlontar lantang,
"Aku mau bertemu dengan Ratu Gusti Purnama
Laras!" "Apamaksudmu mau menemui beliau?"
"Mohon perlindungan!" jawabnya tanpa ragu-ragu.
"Muridku; HantuTari, dalam keadaan luka parah karena
pertarungannya dengan Tandu Terbang. Akutak berhasil
kalahkan Tandu Terbang, ia mengejar kami, dan aku
butuh perlindungan dari ratumu! Yang kubawa ini
adalah adik sepupu dari ratumu!"
"Kau ingin mengecohkan kami, Nyai Paras Murai"!
Kau ingin lakukan penyerangan terhadap Ratu bersama-
sama dengan muridmu itu"!"
"Leherku sebagai jaminannya jika aku mendustai
kalian!" Tandu Terbang diam sebentar, lalu berseru pada
seorang pengawal, "Prasogo! Periksa keadaan Hantu
Tari itu, apakah benar dia terlukaparah"!"
"Baik!" jawab Prasogo, lalu Nyai Paras Murai
meletakkan tubuh muridnya di lantai tangga. Prasogo
dibiarkan memeriksa keadaan Hantu Tari. Kejap
berikutnyaPrasogo berseru kepada Batu Sampang,
"Benar! Diaterluka parah bagian dalamnya!"
Batu Sampang kembali diam mempertimbangkan
keputusannya. Karena dalam ingatannya, Hantu Tari
pernah bertarung melawan Dungu Dipo demi membela
Windu Jati, orang Lumpur Maut. Sekarang pun Batu
Sampang belum mengetahui nasib Dungu Dipo, karena
kedua orang yang berangkat bersama Dungu Dipo sudah
pulang ke istana, sedangkan Dungu Dipo belum
kembali. Batu Sampang curiga, jangan-jangan Dungu
Dipo telah dibunuh oleh Hantu Tari yang dibantu oleh
Nyai Paras Murai. Karena itu, Batu Sampang segera
ajukan tanyakepada NyaiParas Murai,
"Di manamayat Dungu Dipo kau buang, Nyai"!"
"Aku tak tahu tentang mayat itu! Aku tak jumpa
dengan Dungu Dipo. Jangan menuduhku membunuh
Dungu Dipo! Karena yang kuhadapi adalah Tandu
Terbang. Tak menutup kemungkinan Tandu Terbang
akan mengejarku sampai kemari!"
Batu Sampang bimbang sesaat. Pancingannya tidak
berhasil menjebak Nyai Paras Murai. Kelihatannya
ucapan itu memang polos. Batu Sampang melihat
keadaan pakaian Nyai Paras Murai yang acak-acakan
seperti rambutnya, pertanda habis lakukan pertarungan
sengit dengan seseorang. Jika nenek berilmu tinggi itu
lari dan sampai meminta bantuan kepada pihak Muara
Singa, tentunya musuh yang dihadapi bukan orang


Pendekar Mabuk 030 Tandu Terbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sembarangan. Dan orang yang dulu dikenal bikin para
tokoh berilmu tinggi pontang-panting adalah Tandu
Terbang. Batu Sampang dapat bayangkan keadaan Nyai
ParasMurai yangterdesak danterpaksatanpamalu-malu
menyatakan permohonan perlindungannya.
"Baiklah. Kau dan muridmu kuizinkan temu Ratu
Gustiku. Tapitinggalkan semua senjata, termasuk kipas
saktimu itu, Nyai! Jika kau keberatan, tak kuizinkan
bertemu dengan Ratu Gustiku!"
"Aku tidak keberatan, asal senjata kami tidak hilang
dicuri anak buahmu!"
"Aku yang menjamin keamanan senjata-senjata
kalian!" Setelah dilucuti, Nyai Paras Murai segera dibawa
menghadap Ratu Purnama Laras. Mereka bertemu di
ruang paseban, tempat pertemuan paratamu dengan sang
Ratu yang gemar menghiasi sanggulnya dengan roncean
bunga melati. Batu Sampang kerahkan beberapa
orangnya untuk memagariruang pertemuan itu, sebagian
ada yang berjaga-jaga di pinggiran ruang pertemuan
tersebut. Agaknya Batu Sampang tak mau kehilangan
kewaspadaan. Demi keselamatan ratunya ia sendiri ikut
berdiri di belakang sang Ratu sebagai penjaga setia.
Ratu PurnamaLaras adakah sosok wanita cantik yang
tenang dan berwajah manis, selalu tampak ramah kepada
siapa pun. Sikapnya tak terlihat angkuh ataupun dingin.
Tapi di balik senyum keramahan tersebut, tersembunyi
mata hati yang penuh waspada terhadap apa pun yang
menimbulkan kecurigaannya. Termasuk berhadapan
dengan Nyai Paras Murai, sang Ratu yang kenakan
pakaian berjubah hijau muda dari kain suteratransparan
itu selalu memperhatikan tiap gerakan sekecil apa pun
yang dilakukan oleh tamunya. Bahkan sosok tubuh
HantuTariyang digeletakkan di lantai depan gurunyaitu
juga ikut diperhatikan dengan ekor matanya.
Sambil dengarkan cerita Nyai Paras Murai tentang
serangan Tandu Terbang, sang Ratu yang mengenakan
perhiasan lengkap dan tampak anggun itu
mempertimbangkan kehadiran Hantu Tari. Orang itu
sekalipun saudara sepupu tapi pernah dianggap memihak
Lumpur Maut, sehingga bagi sang Ratu tidak bisa
percaya begitu saja dengan pengakuan NyaiParas Murai
yang mengatakan bahwa muridnya tak punya hubungan
dengan Lumpur Maut.
"Alasannya apa kau berkata begitu, Nyai Paras
Murai?" tanya sang Ratu.
Maka, Nyai Paras Murai menceritakan tentang
hubungan pribadi antara muridnya dengan Windu Jati.
Persoalan cinta sang murid diungkapkan di situ, hingga
pada akhirnya sang murid merasa harus menjauhi orang-
orangnya Raja Tumbal, karena banyak lelaki yang
berlomba-lomba ingin menggantikan kedudukan Windu
Jati di hati HantuTari.
"Raja Tumbal sendiri pernah utarakan ingin peristri
Hantu Tari, tanpa peduli istrinya sudah tiga. Tapi Hantu
Tari tidak beri jawaban apa-apa kecuali menghilang dari
orang-orang Lumpur Maut."
"Tapi mengapa ia masih dimusuhi oleh Tandu
Terbang?" "Karena Tandu Terbang tak mau percaya dengan
kenyataan yang ada," jawab Nyai Paras Murai. "Di
samping itu, Tandu Terbang memang liar dan ganas!"
Persoalan yang belum ditemukan oleh sang Ratu
adalah penyerangan Tandu Terbang terhadap anak buah
Batu Sampang. Ratu Purnama Laras mengetahui cerita
tentang amukan Tandu Terbang di masa lalu. Tetapi
sasarannya bukan kepada orang-orang Muara Singa,
sedangkan sang Ratu merasatidak mempunyaipersoalan
dengan Tandu Terbang. Sejak menerima laporan dari
Batu Sampang, Ratu Purnama Laras selalu memikirkan
alasan penyerangan Tandu Terbang terhadap orang-
orangnya dengan menggunakan racun itu.
Sang Ratu akhirnya setuju memberikan perlindungan
kepada Hantu Tari dan gurunya. Ketika sang Guru telah
lakukan penyembuhan terhadap muridnya, Ratu
Purnama Laras sempat mengajak Nyai Paras Murai
untuk bicarakan tentang penyerangan Tandu Terbang
kepadaorang-orangnyaitu.
"Dendam Tandu Terbang adalah dendam utusan dari
sang Guru yang adiknya mati terbunuh oleh kekejaman
Raja Tumbal," kata Nyai Paras Murai. "Kebuasan Tandu
Terbang tentunyatercurah bagi siapa saja yang dianggap
memihak orang-orang Lumpur Maut di bawah pimpinan
Raja Tumbal."
"Apakah Tandu Terbang menyangka aku memihak
Raja Tumbal?"
"Barangkali saja begitu. Sebab perlu kau ingat,
Purnama Laras, bahwa Raja Tumbal adalah Gandar
Soca, dan orang yang bernama Gandar Soca adalah
kakak dari Raden Ayu Indriakara, ibumu! Tak heran jika
Tandu Terbang menyangka orang-orangmu ada di pihak
Raja Tumbal karena antara kau dan Raja Tumbal masih
punyahubungan darah yang mungkin dikenalinya."
"Apakah TanduTerbang orang buta, tak bisa bedakan
mana yang jahat dan mana yang tidak punya hubungan
darah keturunan?"
"Tandu Terbang sudah dicetak menjadi pembunuh
berdarah dingin oleh gurunya, sehingga tak peduli
keadaanmu bebas dari kekejian RajaTumbal, tapikarena
masih ada hubungan darah, maka ia pun menyerangmu.
Penyerang itu pun bisa diartikan sebagai peringatan agar
kau tidak turut campur dalam urusannya dengan
pamanmu itu; si RajaTumbal."
"Mestinya tidak dengan cara begitu. Dia bisa datang
dan temui diriku secara baik-baik."
"Darah dingin Tandu Terbang tak mengenal bicara
baik-baik, Purnama Laras," jawab sang nyai bertindak
sebagai orang yang dituakan.
Sementara Nyai Paras Murai berunding dengan Ratu
Purnama Laras, di tempat lain Suto Sinting dan Dungu
Dipo kebingungan mencari tempat untuk bermalam.
Akhirnya mereka menemukan sebuah pondok di tepi
sebuah telaga yang tidak begitu luas. Telaga itu ada di
dalam hutan yang banyak ditumbuhi pohon berakar
gantung sejenis beringin. Akar-akarnya yang berjuntai
dari atas ke bawah menyerupai rambut-rambut raksasa
yang cukup menyeramkan pada malam hari. Dungu
Dipo mengatakan hutan ini adalah hutan hantu, karena
nyarismenyerupai wilayah yang dihuniparahantu.
Pondok di tepi telaga itu ternyata milik seorang
petapa berusia sekitar seratus tahun lewat sedikit.
Kedatangan Suto dan Dungu Dipo seolah-olah sudah
diketahui oleh petapa tersebut, sehingga sang petapa
yang berpakaian kain putih lusuh melilit badan itu sejak
tadi sudah berada di luar pondoknya. Petapa itu seorang
lelaki berbadan kurus, berkepala gundul, namun
berwajah teduh, ia menyiapkan lentera di depan
pondoknya sebagal penerang jalan, seakan ia tak ingin
tamunya terperosok masuk ke telaga di depan
pondoknya. Dengan penuh hormat dan kelembutan petapa itu
menyambut kedatangan Suto Sinting dan Dungu Dipo.
Ia lebih dulu memperkenalkan dirikepadatamunya.
"Nama saya Demang Buwana, Tuan-tuan. JikaTuan-
tuan berkenan, sayapersilakan singgah di pondok saya."
"Demang Buwana..."!" gumam Dungu Dipo.
"Apakah kau yang dikenal dengan nama Begawan
Demang Buwana, Eyang?"
"Tidak salah lagi, memang itulah nama saya."
Dungu Dipo langsung berlutut di depan petapa kurus
itu dengan kepalatertunduk penuh hormat.
"Maafkan saya, Eyang. Saya tidak tahu kalau
Eyanglah yang bergelar Begawan Demang Buwana.
Hormat sayahaturkan kepadaEyang Begawan."
"Terima kasih, hormatku pun kuhaturkan kembali
untukmu, Nak Mas Dungu Dipo," kata sang Begawan
yang kemudian memanggil Dungu Dipo dengan sebutan
'Nak Mas' sebagai panggilan hormat untuk orang yang
lebih muda darinya.
Suto Sinting sendiri merasa tidak mengenal nama
tersebut. Tetapi melihat Dungu Dipo berlutut dan
memberi hormat, Suto pun segera ikut-ikut berlutut di
depan Begawan Demang Buwana.
"Saya pun menghaturkan hormat kepada Eyang
Begawan." Tetapi Begawan Demang Buwana justru segera ikut
berlutut dan membungkuk lebih rendah di depan Suto
Sinting sambil berkata,
"Sayalah yang patut memberi hormat dan sembah
kepada Gusti Manggala Yudha Kinasih, Pendekar
Mabuk Suto Sinting."
Terkejut Dungu Dipo melihat Begawan Demang
Buwana lebih menghormat di depan Suto Sinting.
Padahal Suto sendiri juga kaget mendengar sang
Begawan menyebutnya Gusti Manggala Yudha Kinasih,
sebab sebutan itu hanya dilakukan oleh orang-orang
negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib, khususnya
para bawahan Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya.
Suto segera sadar, buat orang berilmu tinggi, tanda
merah di keningnya itu tidak dapat disembunyikan lagi.
Hanya orang yang punya kesaktian tinggi yang bisa
melihat bahwa di tengah kening Suto terdapat noda
merah kecil, yaitu sebuah tanda yang diberikan oleh
Ratu Kartika Wangi sebagai penghormatan tertinggi dan
gelar Manggala Yudha Kinasih di kalangan orang-orang
alam gaib, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Manusia Seribu Wajah").
Jika petapa tua itu dapat melihat noda di kening Suto,
maka Suto pun tahu bahwa petapa itu adalah seseorang
yang berilmu tinggi yang kesaktiannya melebihi dirinya
sendiri. Terbukti, sebelum Suto dan Dungu Dipo
memperkenalkan diri, Begawan Demang Buwana sudah
bisa menyebutkan namamerekamasing-masing, padahal
mereka merasa baru pertama jumpa dengan sang
Begawan. Hal yang menarik lainnya adalah keajaiban pondok
tersebut. Dari luar Suto dan Dungu Dipo melihat pondok
itu kecil, sangat sederhana. Mungkin hanya muat untuk
ditempati satu orang. Tapi ketika mereka berdua masuk
ke dalam, ternyata pondok itu tampak lebar dan bisa
digunakan bermalam empat atau lima orang. Itulah yang
membuat kedua tamu sang Begawan tertegun kagum.
"Apakah Begawan Demang Buwana masih ada
hubungannya dengan nama Nyai Demang Ronggeng?"
tanya Suto kepada sang Begawan.
"Demang Ronggeng adalah adik bungsu saya, Gusti
Manggala," jawab sang Begawan tetap menghormat
kepada Suto. Sementara itu, Dungu Dipo sempat
berbisik kepada Pendekar Mabuk pada kesempatan di
mana sang Begawan tidak memperhatikan mereka.
"Kau gila, Suto! Begawan Demang Buwana ini orang
yang amat disegani di rimba persilatan khususnya oleh
golongan hitam, dan ia sangat dihormati oleh aliran
putih. Dia itu tokoh sakti yang sudah lama menghilang
dari rimba persilatan. Setiap orang ingin jumpa dengan
tokoh yang termasuk dikeramatkan oleh para tokoh
golongan putih. Tapi kau justru bicara dengan seenaknya
dan membiarkan dirimu dihormati setinggi itu oleh
beliau. Seharusnya kau yang bersikap sehormat itu
kepadanya, bukan terbalik begitu."
"Aku sudah menghormat tapi ia lebih menghormat
lagi," jawab Suto dengan kalem, tanpa mau
menceritakan mengapa ia dipanggil 'Gusti' oleh sang
Begawan. "Jangan mau dipanggil 'Gusti' olehnya. Kau ini
sepertinya merasa lebih tinggi derajatmu ketimbang dia!
Kau bisa kena kutuk tujuh turunan kalau tak mau hormat
kepadanya, Suto! Ratu Gustiku sendiri tak berani
sembarangan sebut nama beliau, karena sangat hormat
dan takut. Tidak semua orang bisa bertemu dengan
beliau, termasuk Ratu gustiku sendiri yang sudah
bertahun-tahun mencari tapi tidak pernah jumpa dengan
beliau. Jadi, kusarankan jangan terlalu ngelunjak dan
membiarkan dirimu dipanggil 'Gusti' oleh beliau, siapa
tahu beliau hanyamenguji rasa hormatmu kepadanya."
Suto Sinting hanya tersenyum geli ditahan.
Percakapan kasak-kusuk mereka terhenti karena sang
Begawan menghampiri Suto sambil berkata,
"Sudah cukup lama saya menunggu kedatangan Gusti
Manggala untuk suatu keperluan. Rupanya baru
sekarang HyangWidi mengizinkan kitasaling bertemu."
"Apakeperluanmu, Eyang Begawan?"
Sang Begawan menunjukkan sebuah mangkok yang
sedang dibawa dengan dua tangan itu. Mangkok tersebut
ternyata berisituak. Sang Begawan berkata,
"Saya ingin meminum tuak ini, tapi menunggu sisa
dari Gusti Manggala; Pendekar Mabuk, Suto Sinting.
Silakan Gusti Manggala meminumnya sebagian, baru
sisanya sayahabiskan."
Dungu Dipo terbelalak bengong. Suto Sinting mulai
paham maksud sang Begawan. Meminum tuak sisa dari
seorang Manggala Yudha Kinasih merupakan
kebanggaan tersendiri bagi para tokoh sakti yang
mengenal Ratu Kartika Wangi. Dengan sikap hormat
seperti itu, ia akan dapat penghormatan tinggi juga dari
Ratu Kartika Wangi dan dianggap sebagai warga Puri
Gerbang Surgawi yang akan mendapat bantuan gaib dari
sang Ratu jika sewaktu-waktu dibutuhkan.
Maka Suto Sinting pun meminum tuak dalam
mangkok itu sebagian, sisanya segera dihabiskan oleh


Pendekar Mabuk 030 Tandu Terbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sang Begawan dengan penuh rasa hormat dan berterima
kasih sebesar-besarnya. Sedangkan Dungu Dipo
meminum tuak dengan mangkok lain yang hanya sedikit
dan boleh dihabiskan. Tetapi di dalam hati Dungu Dipo
terkagum-kagum melihat Suto Sinting berani
memberikan sisa minumannya kepada sang Begawan
yang diagung-agungkan oleh gusti ratunyaitu.
"Jika Gusti Manggala ingin beristirahat silakan
berbaring di ranjang sebelah dalam itu, dan Nak Mas
Dungu Dipo silakan berbaring di ranjang sebelah kiri itu.
Saya akan berjaga-jaga di depan pintu demi keselamatan
Gusti Manggala dan Nak Mas Dungu Dipo."
Jika dilihat dari luar, pondok itutidak memungkinkan
dipakai menempatkan dua ranjang berkasur jerami
dengan seprei putih lembut. Tetapi kenyataannya di
dalam gubuk yang tampak kecil itu bukan hanya ada dua
ranjang, melainkan tiga ranjang dengan satu ranjang
berukuran kecil dan layak disebut dipan. Tempat itu
kosong. Dipan itulah yang akan digunakan tidur oleh
sang Begawan. Dipan itu jauh lebih buruk keadaannya
daripada dua ranjang mewah tersebut. Dungu Dipo
sempat heran, dari mana sang Begawan dapatkan dua
ranjang bagus itu. Tapi rasa lelahnya lebih mencekam
pikiran, sehingga Dungu Dipo lebih mementingkan
merebahkan diri untuk melepas lelah ketimbang
memikirkan keanehan tersebut.
Pendekar Mabuk tak semudah itu untuk berbaring
dan tertidur. Ketika Dungu Dipo mulai terdengar suara
dengkurannya, Suto Sinting sengaja dekati sang
Begawan untuk memancing percakapan tentang Pedang
Kayu Petir. "Mohon ampun, Gusti Manggala. Sampai sekarang
saya masih belum bisa meneropong di mana pedang itu
berada. Jika benar apa yang diceritakan oleh Gusti
Manggala tentang gadis gila itu, maka besar
kemungkinan memang dialah yang memiliki pedang
tersebut."
"Siapa sebenarnya Palupi itu sehingga memiliki
pedang tersebut, Eyang?"
Sang Begawan tersenyum, "Dalam teropong batin
dan jalur lacak sukma, gadis itu tidak bisa diketahui dari
mana asalnya. Dia mempunyai pelapis jiwa yang
membuat seseorang tak bisa melacak sukmanya dan
meneropong batinnya. Mungkin karena dia memiliki
pedang pusaka itu maka jati dirinya tak bisa diketahui
oleh siapa pun, Gusti."
Suto Sinting sempat berdebar-debar. Agaknya
memang benar, Palupi mempunyai Pedang Kayu Petir.
Terbukti tokoh sesakti Begawan Demang Buwana
sampaitak bisa melacak jati diri gadis itu. Jika demikian
halnya, maka besar kemungkinan Ratu Purnama Laras
punya maksud tertentu dengan memerintahkan orang-
orangnya untuk menangkap Palupi. Barangkali sang
Ratu menginginkan agar hanya dialah yang mengetahui
di mana pedang maha sakti itu tersimpan aman di
tempatnya. Sang Ratu tak ingin gadis itu bicara kepada
siapa pun, sehingga perlu mengamankan atau
menyembunyikan Palupi dari pergaulan di rimba
persilatan. Jika Palupi lebih dulu tertangkap Ratu
Purnama Laras, maka akan sulit bagi Suto untuk
mendapatkan keterangan langsung dari mulut si gadis
gila itu. Jadi Suto harus bisa lebih dulu menemukan
Palupiketimbang Ratu PurnamaLaras.
"Lalu bagaimana dengan Tandu Terbang, Eyang
Begawan" Apakah bisa diketahui siapa orang yang ada
di dalam Tandu Terbang itu?"
"Tandu Terbang itu dilapisi kekuatan yang sukar
ditembus mata hati siapa saja, Gusti Manggala. Saya tak
mampu memandang ke dalam karena kekuatan batin
yang melapisi tandu merah itu sangat kuat!" ujar Eyang
Begawan Demang Buwana memberi penjelasan pada
Pendekar Mabuk.
"Orang di dalam tandu itu mempunyai ilmu yang
bukan saja berasal dari tanah Jawa, melainkan dari
mancanegarapun dimilikinya!"
"Maksud Eyang ilmu dariTibet juga dimilikinya?"
"Benar. Dan sebagian besar saya rasakan getaran ilmu
dari Tibet ada di dalam tandu merah itu, Gusti
Manggala."
Tak salah dugaan Suto, pasti si Pendita Arak Merah
itu yang ada di dalam TanduTerbangtersebut. Hati Suto
gelisah karena menjadi sangat penasaran ingin
menyingkap siapa orang yang ada dalam tandu tersebut,
ia tak sabar ingin membuktikan kebenaran dugaannya
itu, bahkan kalau bisa dilakukan di depan umum.
Masalahnya sekarang adalah, mampukah Suto
menyingkap rahasia di dalam tandu tersebut jika ilmu
yang dimiliki penghuni tandu itu sangat tinggi, bahkan
tak bisa ditembus oleh mata batin sang Begawan"
* * * 8 PERJALANAN Suto dan Dungu Dipo dilanjutkan
pagi hari. Seandainya saat itu Suto Sinting sendirian
tanpa Dungu Dipo dan sudah tahu persis arah Muara
Singa, ia akan tiba di sana sebelum malam tiba.
Tentunya ia akan gunakan gerak silumannya yang
mampu bergerak melebihi kecepatan badai itu. Tetapi
karena Dungu Dipo tak mampu bergerak secepat Suto,
maka terpaksa perjalanan itu memakan waktu lama,
sampai bermalam di pondok Begawan Demang Buwana
segala, belum lagi siang harinya masih menempuh jarak
yang cukup jauh. Menurut dugaan Dungu Dipo, mereka
akan tiba di Muara Singa menjelangpetang.
"Itu jika tidak ada halangan. Jika kita ada halangan
maka bisa jadi kita akan sampai di tempat pada waktu
tengah siang."
"Tengah malam!" Suto membetulkan maksud ucapan
Dungu Dipo. "Lha iya, maksudku tengah malam!" Dungu Dipo
yang mulai tak bisa bicara tepat sesuai arti dan maksud
hatinya itu tampak ngotot jika mendapat pembetulan
ucapan. "Tapi jika kita bisa dapatkan kuda, maka perjalanan
kita akan lebih lambat lagi," katanya salah arti.
"Maksudnya lebih cepat lagi, begitu?"
"Memang aku tadi bilang lebih cepat lagi!" Dungu
Dipo bersungut-sungut, sedangkan Suto Sinting
tersenyum geli sambil buang muka, takut rekannya itu
tersinggung jika melihat senyumnya.
"Bagaimana caranya supaya kita bisa dapatkan kuda"
Lebih enak jika perjalanan ini ditempuh dengan naik
kuda. Kitatak akan capek jikakuda naik kita."
"Kita naik kuda!"
"Iya, maksudku begitu! Jangan menyalahkan aku
terus, ah!"
Suto Sinting tak mau melayani kedunguan murid Ki
Palaran itu. Suto pun berpikir bagaimana caranya agar
secepatnyatiba di Muara Singa tanpabanyak membuang
waktu. Namun harapan itu agaknyatidak bisa terlaksana,
karena di tengah perjalanan tiba-tiba mereka mendengar
suara tangis seorang wanita. Suto dan Dungu Dipo
sama-sama saling pandang dan merasa heran mendengar
suara tangis seorang perempuan. Mereka segera
mendekati sumber suara tangis itu dengan langkah hati-
hati dan sedikit tegang.
"Ya, ampuun..."!" Suto Sinting terperanjat demikian
pula Dungu Dipo. Ternyata suara tangis itu milik Palupi
yang duduk di atas batu bawah pohon.
"Palupi..."!" sapa Suto sambil bergegas mendekati
gadis gila itu. Sang gadis segera hentikan rintih
tangisnya. "Kang...!" panggilnya manja, lalu ia berdiri dan
memeluk Suto Sinting.
"Ada apa,Palupi"! Mengapakau menangis di sini?"
"Aku diperkosaorang, Kang," rengek Palupi.
"Hah..."! Siapa yang memperkosamu" Mana
orangnya"!"
"Dia... dia pergi! Dia jahat sekali, Kang."
Dungu Dipo menyelatanya, "Orang itu pergi setelah
memperkosamu?"
"Tidak. Orang itu justru pergi sebelum
memperkosaku! Aku bencipadanya!"
Dungu Dipo tarik napas dan dihempaskan panjang-
panjang pertanda membuang perasaan jengkelnya. Suto
Sinting pun juga menghela napas. Ternyata omongan
Palupi tidak harus dipercaya semuanya. Tapi Suto
Sinting masih bisa memaklumi karena otak Palupi tak
waras sehingga bicaranyamelantur tak karuan.
"Ke mana saja kau, Kang" Kucari-cari sampai di
lubang semut, kupanggil-panggil dari depan lubang
semut itu, tapi kau tidak menjawabnya. Kau kejam,
Kang Suto. Kau pergi tanpa meninggalkan pesan
padaku." Sebenarnya Suto ingin membantah bahwa bukan dia
yang pergi tapi Palupi yang pergi meninggalkannya.
Tapi setelah dipikir-pikir, bantahan itu tak ada artinya
bagi gadis gila seperti Palupi. Karenanya Suto Sinting
hanya tertawa dalam gumam dan segera memandang
Dungu Dipo. Hatinya bimbang, apa yang harus
dikatakan kepada Dungu Dipo tentang gadis itu. Suto
ingin mengorek keterangan dari Palupi tentang Pedang
Kayu Petir, tapi Dungu Dipo pasti mendengarnya. Mau
membiarkan Palupi dibawa Dungu Dipo, hati kecil Suto
tak rela. "Kang, ke mana kau akan pergi" Aku ikut, ya Kang?"
Palupi bernada manja.
Dungu Dipo menyahut, "Bawa saja dia, Suto.
Kebetulan sang Ratu Gustiku ingin sekali berpisah
dengan gadis gila itu."
"Berpisah" Maksudmu ingin bertemu, begitu?"
"Memang aku tadi bilang begitu!" sentak Dungu
Dipo. Suto Sinting diam mempertimbangkan
langkahnya. Masa bungkam yang sepi itu tiba-tiba dikejutkan
dengan munculnya sinar merah dari balik pohon. Sinar
merah itu melesat hendak menghantam punggung Dungu
Dipo. Kelebatan cahaya sinar tertangkap oleh ekor mata
Pendekar Mabuk. Maka dengan cepat, Pendekar Mabuk
menarik tangan Dungu Dipo ke arahnya. Wuuut!
Bruss...! Dungu Dipo terlempar ke samping, tersungkur di
semak ilalang pendek. Suara makiannya terdengar
selintas, namun segera diam dan bungkam. Tawa gadis
gila itu terdengar lepasterkikik-kikik, namun juga segera
diam dan bungkam, setelah mereka mendengar suara
ledakan yang mengguncangkan tanah tempat mereka
berpijak. Blegaaar...! Sinar merah itu menghantam pohon besar
di kejauhan sana, membuat pohon tersebut tumbang
dengan akarnya mencuat keatas, jebol daritanah. Dungu
Dipo dan Palupi memandang ke arah pohon itu dengan
mata melebar dan mulut melongo bengong.
"Seseorang melepaskan pukulan jarak jauh padamu,
Dungu Dipo. Bersiaplah lindungi Palupi, aku akan
hadapi penyerang gelap itu."
Dungu Dipo segera membawa Palupi ke bawah
pohon untuk berlindung, sementara Suto Sinting berdiri
dalam jarak tujuh langkah darinya, mencari tempat
persembunyian si penyerang gelap. Telinga batin Suto
mendengar suara detak jantung di balik pohon berkulit
putih itu. Hatinya menggumam,
"Hmm... ada lebih dari satu orang yang bersembunyi
di sana! Sebaiknya kupaksa mereka untuk segera
tampakkan diri!"
Jurus 'Surya Dewata' digunakan oleh Suto. Dari dua
jari tangannya yang menempel di dahi segera
disentakkan ke depan. Wuuut...! Dan ujung jari itu
melepaskan selarik sinar ungu menghantam pohon
tersebut bagian atasnya. Duaaar! Pohon itu langsung
bolong, bahkan tiga pohon di belakangnya pun ikut
bolong, padahal jarak antara pohon-pohon itu sekitar
delapan sampai sepuluh langkah. Kekuatan jurus 'Surya
Dewata' memang mampu menembus sampai sekian jauh
yangtak akan disangka-sangkaoleh siapapun.
Ledakan kerasyangmengguncangkan pohon putih itu
membuat tiga orang yang bersembunyi di balik pohon
tersebut berlarian melompat ke berbagai arah. Kalau saja
Suto tadi arahkan sinar ungunyake bagian bawah pohon,
pasti tiga orang itu mati ditembus sinar ungu tersebut.
Namun Suto sengaja hanya ingin memancing keluar
orang-orang itu, sehingga sinar ungunya dikenakan ke
batang pohon agak ke atas, yang sekiranya jika tembus
tak akan kenaitubuh parapenyerang gelap itu.
Tiga orang yang muncul dari sana segera
berjumpalitan mendekati Suto dengan memperagakan
jurus-jurus silat tercepatnya. Mereka tak lain adalah
Raseta, Kobar, dan Ki Wirogo. Mereka orang-orang
Lumpur Maut yang tempo hari dua di antaranya mau
perkosaPalupi. Melihat wajah Raseta dan Kobar, Palupi menjadi
bersungut-sungut jengkel sambil menggerutu keras,
"Huuh...! Mereka lagi! Percuma dari dulu tak bisa
memperkosaku, mau apa mereka datang kemari" Usir
saja mereka, Kang Suto!"
Ki Wirogo tampil lebih ke depan. Raseta dan Kobar
ada di samping belakang, masing-masing berjarak tiga
langkah dari Ki Wirogo. Mata ketiga utusan Lumpur
Maut itu tertuju kepada Dungu Dipo. Sedangkan mata
Dungu Dipo pun memancarkan permusuhan dalam


Pendekar Mabuk 030 Tandu Terbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memandang ketiga orang Lumpur Maut itu. Bahkan
Dungu Dipo lepaskan Palupi dan maju sampai di
samping Suto, lalu dengan bertolak pinggang dan
berwajah berani, terlontarlah kalimat yang bernada
tantangan. "Wirogo! Apa maksudmu menyerangku dari
belakang, hah"! Apakah orang-orang Lumpur Maut
sudah tak punya nyali untuk berhadapan denganku
secara jantan"!"
Tampak KiWirogo menggeletukkan gigi gerahamnya
dengan pandangan mata semakin dingin, semakin penuh
permusuhan. Kedua tangannya telah menggenggam
bagaikan menahan luapan murka yang tidak ingin
dilepaskan saat itu.
Kejap berikut terdengar suara Ki Wirogo bernada
dingin, "Dungu Dipo... berkoarlah sesuka hatimu, karena
ajalmu sebentar lagi akan tiba!"
"Biadab kau!" geram Dungu Dipo, tiba-tiba ia
sentakkan kedua tangannya ke depan dan melesatlah dua
sinar hijaukusam kearah KiWirogo dan Raseta.
Claaap...! Ki Wirogo yang berdiri tegak itu hanya diam dengan
kedua tangan bersedekap di dada. Tapi dari tubuhnya
tiba-tiba memancar sinar putih berkilauan, makin lama
cepat menjadi lebar, lalu sinar hijaunya Dungu Dipo itu
menghantam sinar putih menyilaukan tersebut. Blaaar...!
Ledakan hebat terjadi mengguncang bumi. Dungu
Dipo tersentak ke belakang hingga jatuh terduduk,
sedangkan Ki Wirogo tetap di tempat tak bergeming
sedikit pun. Sinar putih menyilaukan itu segera redup,
mengumpul menjadi satu di tengah dahi, lalu sinar itu
melesat ke arah Dungu Dipo yang baru saja bangkit.
Sinar putih menyilaukan itu membentuk satu garis lurus
dan bergerak dengan cepatnya. Claaap...!
Saat itu, Suto sedang membujuk Palupi, "Cepat
sembunyikan dirimu di balik semak-semak seberang
sana. Orang-orang itu berbahaya bagimu. Mereka dapat
lukai dirimu seenaknya saja. Cepat sembunyi ke semak
sana, ya?"
"Ya, ya...!" jawab Palupi dengan mengangguk-
angguk tegang. Maka iapun segera lari ke semak-semak
seberang. Suto Sinting segera berbalik arah untuk membantu
Dungu Dipo menghadapi ketiga utusan Lumpur Maut.
Tetapi tak disangka-sangka sinar yang dihindari Dungu
Dipo itu melesat lurus dan mengenai pinggang kiri Suto.
Deesss...! "Ahg...!" Suto Sinting terpental lemas dan jatuh
terkulai di bawah pohon. Punggungnya sempat
membentur keras batang pohon itu. Ia menyeringai
merasakan panas di sekujur tubuhnya terutama bagian
dalam. Wajah Suto pun cepat menjadi sepucat mayat.
Tubuhnyamenggigil dan bagian yangterkena sinar putih
itu menjadi hitam hangus sebesar jeruk nipis.
"Suto"! Kau kena"!" Dungu Dipo terkejut melihat
Suto menggeliat dengan memeluk bumbung tuaknya.
Ketika Dungu Dipo hendak menolong Suto, tiba-tiba
sinar putih dari tengah dahi Ki Wirogo kembali melesat
lurus. Claap...! Sasaran empuk jatuh di punggung Dungu
Dipo. Deess...!
"Aaahg...!" Dungu Dipo mengejang dengan tubuh
melengkung ke belakang. Lalu ia pun jatuh terkulai di
samping Suto Sinting.
Terdengar suara Ki Wirogo berseru, "Kobar,
Raseta...! Habisi orang Muara Singa itu, tapi biarkan si
Pendekar Mabuk. Jangan usik dia lagi!"
"Baik!" jawab Raseta dan Kobar sambil bergegas
maju mencabut senjatanya.
Tetapitiba-tiba jari tangan Suto masih bisa menyentil
ke depan dalam keadaan tubuh setengah berbaring.
Taas...! Jurus 'Jari Guntur' ditujukan ke arah Raseta dan
Kobar. Rupanya kekuatan tenaga dalam yang terlepas
sangat besar, sehingga kedua tubuh yang berjalan dalam
jarak satu langkah kurang itu segera terpental ke
belakang dan berguling-guling. Kemudian keduanya
sama-sama memuntahkan darah segar ketika Dungu
Dipo roboh ke depan, nyaris menjatuhi tubuh Suto
Sinting. Bruuk...!
"Hoeeek...!"
Melihat kedua anak buahnya berlutut sambil
terbungkuk merasakan sakit, Ki Wirogo mencengkeram
baju belakang mereka dan menarik mereka hingga
berdiri. "Bodoh!" sentaknya. "Habisi sekalian si Pendekar
Mabuk itu. Ia sudah tak berdaya karena darahnya sudah
dicemari 'Racun Sinar Iblis' tadi! Jangan takut,
lenyapkan sekalian Pendekar Mabuk itu!"
"Bba... baik...," jawab Raseta, lalu berjalan
terhuyung-huyung dan saling berbenturan dengan tubuh
Kobar yang juga berjalan sempoyongan seperti orang
mabuk. Ditangan mereka sudah tergenggam golok tajam
yang siap dipakai untuk menghabisi nyawa Suto dan
Dungu Dipo. Tiba-tiba sangat di luar dugaan siapa pun, sebentuk
bayangan merah menyambar Raseta dan Kobar dengan
kecepatan tinggi. Wuuuut...! Braaak...!
"Aaaahg...!"
"Uuhg...!"
Bayangan merah besar itu membuat Raseta memekik
panjang dalam keadaan terjungkal ke belakang dan
Kobar mengerang dengan suara tertahan, tubuhnya
terkapar berlumur darah. Mata mereka terbeliak dengan
mulut ternganga bagai ingin menghirup udara sebanyak-
banyaknya. Raseta sendiri dadanya bolong sampai ke
belakang, ia tak mampu bertahan satu helaan napas, lalu
roboh tanpa nyawa. Kobar sendiri masih bisa berusaha
bertahan sampai dua helaan napas, kemudian roboh
dengan dada memar dan leher robek.
Ki Wirogo terperanjat bukan kepalang melihat dua
anak buahnya sudah tak bernyawa lagi. Matanya tak
berkedip memandang bayangan merah yang menyambar
secepat kilat itu adalah Tandu Terbang. Kini benda
ganas masih diam di udara dalam ketinggian sebatas
manusia berdiri. Tandu Terbang berhadapan dengan Ki
Wirogo yang tampak tegang dan menyimpan kecemasan.
"Tak kusangka ia muncul juga dalam keadaan seperti
ini?" pikir KiWirogo.
Sementara itu, kesempatan tersebut dipergunakan
oleh Suto untuk membuka tutup bumbung tuaknya, lalu
ia meneguk tuak dengan terburu-buru, hingga tuak
berceceran membasahi wajah dan dadanya, ia
meneguknya lebih banyak dari biasanya, karena jika
tidak begitu, maka luka bakar pada bagian dalam
tubuhnya akan merenggut nyawa secepat mungkin.
Dengan meneguk tuak, terasa bagian dalam yang
panas luar biasa itu menjadi sejuk. Napas pun dapat
dihela dengan longgar. Suto segera meminumkan tuak
ke mulut Dungu Dipo. Kebetulan mulut itu ternganga-
nganga, seperti ikan kekurangan air, karena merasakan
sakit. Tak sulit bagi Suto untuk menuangkan tuaknya
walau sebagian besar menyiram wajah Dungu Dipo
hingga gelagapan.
Melihat Pendekar Mabuk tampak mulai segar lagi, Ki
Wirogo semakin menyembunyikan kecemasan yang
bertambah besar. Pikirnya, "Melawan Tandu Terbang
saja aku belum tentu menang, apalagi jika Pendekar
Mabuk ikut turun tangan membalas seranganku tadi.
Matilah aku jika begini keadaannya."
Niat untuk melarikan diri timbul dalam benak Ki
Wirogo. Tetapi lebih dulu ia akan membuat Tandu
Terbang terdesak agar tak mudah menyerang. Maka
dengan gerakan kedua tangan merapat di dada, lalu
berkelebat ke kanan-kirl secara bersamaan, tangan
tersebut segera menyentak ke depan secara bersamaan
pula. Wuuuuk...! Telapak tangan keduanya menyemburkan api yang
cukup besar. Wooosss...! Api itu menyerang Tandu
Terbang dalam bentuk dua gumpalan besar yang segera
menjadi satu. Api sebesar kerbau menerjang tandu
tersebut, tapi terhenti di pertengahan jarak karena
munculnya uap putih yang menyembur dari ujung dua
kayu pengusung tandu itu. Uap putih itu menjadi satu
dan saling menahan gerakan dengan gumpalan api besar.
Uap putih itu ternyata uap salju, terbukti rumput di
bawahnya menjadi putih dan udara di sekitar tempat itu
menjadi dingin sekali, menggigilkan tubuh.
Ki Wirogo memberi bantuan tenaga dorong kepada
gumpalan apinya dari jarak empat langkah. Kedua
tangannya masih terangkat ke depan, tenaga dalam
keluar dari telapak tangan tanpa bentuk dan warna.
Tenaga itulah yang digunakan mendorong gumpalan
apinya agar maju terus menerjang gumpalan uap salju.
Kedua kaki Ki Wirogo tampak gemetar dan tanah yang
dipijaknya pun mulai amblas sedikit demi sedikit.
Telapak kaki itu sebentar lagi pasti akan terbenam di
tanah yang dipijaknya.
Dungu Dipo masih lemas walau sudah tidak
merasakan sakit. Suto Sinting segera menariknya agar
berdiri, ia lebih segar, lebih cepat kuat kembali
ketimbang Dungu Dipo.
"Lihat, Tandu Terbang membantu kita menyerang
orang Lumpur Maut!"
"Tap... tapi... sebaiknya kita tinggalkan saja mereka.
Jangan sampaikita berhadapan dengan Tandu Terbang!"
bisik Dungu Dipo dalam kelemasannya.
"Baik. Kita tinggalkan mereka. Cari si Palupi dulu.
Tadi bersembunyidi semak-semak sebelah sana!"
Mereka berdua sibuk mencari Palupi, karena gadis
gila itu tak kelihatan di balik semak-semak tempatnya
bersembunyi tadi.
"Tadi kusuruh dia bersembunyi di sini! Rupanya
karena ketakutan dia bersembunyi di tempat yang lebih
aman dan mungkin agak jauh ke sana! Ayo, kita cari dia
ke sana!" Dungu Dipo berlari lamban karena masih lemas, ia
mengikuti Suto Sinting yang segera memanggil-manggil
gadis gila itu.
"Palupiii...! Palupiii...! Hoi, Palupi di mana kau"!
Jawab...!"
"Ah, sudahlah. Tinggalkan saja gadis gila itu. Jangan
ceritakan hal ini kepada Ratu. Ayo, lekas kita pergi dari
sini." "Tunggu! Lihat orang Lumpur Maut itu, iaterdesak!"
Ki Wirogo memang terdesak. Tubuhnya terbenam
sebatas mata kaki. Tapi ia masih berusaha mengerahkan
tenaga dalamnya untuk mendorong gumpalan api yang
berkobar-kobar tiada kunjung padam itu. Sedangkan uap
putih pun masih bertahan di depan gumpalan api dalam
jarak satu depa. Bahkan secara tiba-tiba, dari gumpalan
uap putih itu melesat lima sinar biru bagaikan lidi yang
segera menerjangtubuh Ki Wirogo menembus gumpalan
apitersebut. Craap...! Blegaaar...! Ledakan dahsyat terjadi manakala lima sinar biru
menembus gumpalan api. Api itu pecah dan padam
seketika. Tapi lima sinar itu masih utuh dan melesat
mengenaltubuh KiWirogo. Zraaab...!
"Aagh...!" Ki Wirogo terpekik, tubuhnya
mengepulkan asap putih samar-samar bagaikan terbakar
bagian dalamnya. Kulitnya tampak mulai mengelupas.
Sekalipun demikian ia masih kelihatan berusaha untuk
melarikan diri. Tubuhnya melesat ke atas dalam satu
hentakan kaki yang terpendam, ia hinggap di atas pohon
dalam keadaan limbung. Tandu Terbang berkelebat
mengejar sambil melepaskan senjata logam putih
mengkilap dari ujung kayupengusungnya. Ziiing!
Tapi Ki Wirogo masih bisa berusaha menghindari
logam berbahaya yang mirip ujung anak panah itu. Ia
melompat dari dahan ke dahan, sengaja berlari melintasi
pohon-pohon supaya Tandu Terbang tak bisa
mengejarnya dengan bebas. Keadaan lukanya makin
lama semakin parah, tapi Ki Wirogo masih bertahan
terus sekuat sisa tenaga yang digunakan untuk melarikan
diri. Suto segera membawa Dungu Dipo pergi. "Aku tak
bisa berlari cepat," kata Dungu Dipo. Suto Sinting segera
berkata, "Ke mana arah yang harus kitatuju, katakan saja!"
"Lurus ke sana, nanti kita akan menemukan lembah
berbunga, dari sana belok ke kiri dan lurus saja maka
kita akan sampaike batas wilayah Muara Singa. Di sana
pasti ada dua penjaga yang mengenakan pakaian biru.
Lalu...." Teeeb...! Gerakan tangan Suto sangat cepat menotok
samping leher Dungu Dipo. Tubuh orang itu langsung
terkulai lemas bagai tanpa urat dan tulang. Suto Sinting
segera memanggul tubuh itu di pundak kirinya.
"Maaf, Dungu Dipo... terpaksa kulakukan cara ini
supaya kau bisa bergerak secepat gerakanku!"
Zlaaap...! Suto Sinting bagaikan menghilang, padahal
berlari sangat cepat menggunakan gerak silumannya
yang tak mudah dilihat mata telanjang. Dalam waktu
singkat ia sudah sampai di lembah berbunga, lalu
membelok kekiri.
Zlaaap...! Seperti apa kata Dungu Dipo, di perbatasan ada dua
penjaga berseragam biru. Suto Sinting berhasil melewati
dua penjaga yang sedang saling berbincang-bincang.


Pendekar Mabuk 030 Tandu Terbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gerakan cepat dari Pendekar Mabuk membuat rambut
mereka yang panjangtersentak meriap, tapimerekatidak
melihat sekelebat bayangan yang melintasi depan
mereka. "Angin apa itu tadi?" tanya seorang penjaga kepada
temannya. "Biasa, angin bukit!" jawab yang satunya dengan
kalem. "Sepertinyaada yang melintas di depan kita."
"Ya angin itu tadi yang melintas, kok bingung kamu
ini"!" Lalu mereka kembali ke percakapan semula,
sedangkan Suto Sinting menuju titik hitam yang tak lain
adalah tembok benteng batu. Beberapa rumah penduduk
dilewati begitu saja, dan satu pun dari mereka tak ada
yang melihat gerakan Suto Sinting yang memanggul
Dungu Dipo. Orang bisa melihat kehadiran Suto Sinting setelah
Pendekar Mabuk itu berhenti di depan pintu gerbang dan
melepaskan totokan Dungu Dipo. Tees...!
"Hei, lihat...! Ki Dungu Dipo datang bersama orang
tampan!" seru salah satu dari empat penjaga gerbang.
Dungu Dipo yang merasa jengkel terpaksa
memendam kejengkelannya, ia hanya melirik Suto
dengan cemberut, lalu berseru kepada penjaga gerbang,
"Buka pintu! Kami akan menghadap Ratu!"
Pintu gerbang pun dibuka, Dungu Dipo membawa
Suto Sinting masuk. Tapi di luar dugaan siapa pun,
ternyata pelarian Suto Sinting tadi diikuti oleh Tandu
Terbang secara sembunyi-sembunyi. Bahkan ketika Suto
dan Dungu Dipo masuk melalui pintu gerbang yang
dibuka lebar, Tandu Terbang melesat dengan cepat ke
dalam benteng, seperti kilatan cahaya merah tak
berbentuk. Zlaaap...! Ketika pintu gerbang sudah
ditutup, barulah wujud Tandu Terbang yang merah
terlihat oleh mata beberapa pengawal Istana. Tandu itu
diam di udara tepat di belakang Suto dan Dungu Dipo.
Seseorang yang melihat kehadiran Tandu Terbang
segera berseru dengan tegang,
"Tandu Terbang! Tandu Terbang...!" Yang lain ikut
berseru demikian dan saling berlari berhamburan, ada
yang segera mencari senjata, ada yang segera mencari
tempat untuk bersembunyi. Sedangkan Suto dan Dungu
Dipo yang berpaling ke belakang segera tertegun
bengong melihat Tandu Terbang diam di udara
menghadap mereka.
"Sial! Rupanya kita tadi diikuti olehnya!" gumam
Suto Sinting kepada Dungu Dipo yang matanya
terbelalak tak bisa bilang apa-apa.
Batu Sampang keluar dari istana begitu mendengar
suara gaduh tentangTandu Terbang. Bahkan NyaiParas
Murai dan Hantu Tari yang telah sembuh dari lukanya
ikut keluar mendampingi Ratu Purnama Laras. Mereka
berdiri di teras istana, sementara Tandu Terbang dan
yang lainnyaada di tengah pelataran istana.
"Kepung dia! Jangan sampai lolos!" teriak Batu
Sampang memberi perintah kepada para pengawal, dan
mereka pun segera mengepung tempat itu serapat
mungkin dengan senjata terhunus. Suto Sinting dan
Dungu Dipo ikut terkepung juga karena jaraknya dengan
Tandu Terbang hanyalima langkah.
Dungu Dipo berseru kepada Batu Sampang, "Aku
membawa Pendekar Mabuk!"
Batu Sampang tampak sedikit lega, lalu
menyampaikan hal itu kepada sang Ratu. Sementara itu,
Suto membisik di teiinga Dungu Dipo menyuruhnya
bicara dengan sang Ratu.
"Biar kutahan Tandu Terbang di sini, jika ia ingin
membuat ulah aku yang akan menghadapinya. Suruh
orang-orangmu menjauh agar tak timbul korban sasaran.
Lekas!" Dungu Dipo segera menghadap sang Ratu dan
menyampaikan pesan Suto Sinting. Sang Ratu
memandang dengan senyum berseri, pertanda hatinya
tenang, bahkan berbunga indah melihat wajah Pendekar
Mabuk yang terkenal tampan itu. Ia hanya berkata
kepada Dungu Dipo dan Batu Sampang,
"Lakukan apapun perintah Pendekar Mabuk!"
Hantu Tari menyahut, "Lebih baik kita serang
bersama-sama saja! Tandu Terbang berilmu tinggi dan
sangat berbahaya jika hanya dihadapi oleh satu orang
saja, PurnamaLaras!"
"Kerjakan apa pun yang diperintahkan Pendekar
Mabuk!" ulang sang Ratu dengan tegas. Maka Dungu
Dipo dan Batu Sampang pun memberi isyarat kepada
para pengawal agar menyingkir jauh-jauh dan membuka
kepungan mereka. Mereka justru menjadi penonton
pertarungan yang menegangkan antaraPendekar Mabuk
yang namanya sedang kondang itu dengan Tandu
Terbang yang dikenal sebagai sosok tokoh misterius
beriimu tinggi.
Suto Sinting mencoba menatap tandu itu mencari
celah untuk dapat membongkar kain penutup tandu.
Namun pada saat itu ia mendengar suara serak berbisik
yangtak jelas suara lelakiatau perempuan.
"Jangan ikut campur urusanku. Ini bukan kejahatan,
tapi menegakkan keadilan. Pergilah, biarkan aku
berhadapan dengan Purnama Laras!"
Suto Sinting kaget, lalu segera berkata dalam hatinya,
"Rupanyaorang di dalam tandu itu berbicara lewat batin,
ia mampu mengirimkan suara batinnya ke gendang
telingaku. Hebat juga orang ini!"
Tandu Terbang ingin bergerak ke teras istana, tapi
Suto Sinting segera mengibaskan bumbung tuaknya
dengan kecepatantinggi. Bumbung tuak itu dihantamkan
pada salah satu sisi kayu pengusung tandu. Trak...!
Wuuusss...! Tandu merah itu berputar cepat dalam
keadaan di tempat. Pukulan itu bertenaga dalam tinggi
dan membuat tandu terpelanting memutar bagaikan
gangsing. Seet...! Tapi Tandu Terbang pun tunjukkan
kebolehannya yang mampu berhenti dengan mendadak
walau masih berputar cepat, ia berhenti tepat pada
keadaan semula, yaitu menghadap ke arah Suto Sinting.
Pendekar Mabuk mendengar kiriman suara dari
dalam tandu, "Aku tak mau melawanmu. Jangan bodoh, Pendekar
Mabuk. Urusanku dengan Purnama Laras adalah urusan
pribadi, jangan melibatkan diri."
"Jelaskan persoalannya!" seru Suto yang didengar
oleh yang lain. Tapi mereka yang berada dalam jarak
terdekat dengan Suto pun tidak dapat mendengar suara
orangyang ada di dalam tandu merah itu. Agaknya suara
itu khusus dikirimkan untuk Suto Sinting.
"Istana ini adalah istanaku, Pendekar Mabuk. Aku
berhak merebutnya dari kekuasaan Purnama Laras.
Ayahku, raja di sini. Ketika aku lahir, ibuku yang
bernama sang Paramita meninggal dunia. Beliau adalah
rakyat negeriPuri Gerbang Surgawi di bawah kekuasaan
Gusti Ratu KartikaWangi. Kau pasti kenal!"
Bagai kilat menyambar di depan Suto, mata pendekar
tampan itu terbelalak seketika. Wajah tegangnyatak bisa
disembunyikan, bahkan jantungnya menjadi berdetak-
detak kencang. Lidah Suto kelu hingga tak bisa bilang
apa-apa. Tandu Terbang kirimkan suara lagi, "Dalam usia
masih bayi, ayahku menikah lagi dengan Raden Ayu
Indriakara. Ia seorang ibu tiri yang keji. Ia tak suka
denganku. Dalam usia satu tahun, aku dibuang ke hutan
Pulau Peri. Tapi inang pengasuh yang disuruh
membuangku justru membawaku pergi berlayar. Inang
pengasuhku kawin dengan nahkoda kapal dan
menganggapku sebagai anak sendiri. Sampai di Tibet
aku diserahkan kepada PenditaArak Merah. Lalu jadilah
aku murid sang Penditayangpertama sebelum kehadiran
Sri Maharatu."
Sepi sejenak, Suto memandang orang-orang
sekeliling yang juga diam dengan wajah tegang dan hati
mereka pun pasti berdebar-debar. Suto menyempatkan
diri meneguk tuaknya, lalu menyuruh Tandu Terbang
teruskan cerita.
"Raden Ayu Indriakara tak bisa punya keturunan, ia
tidak menyesali tindakannya yang membuangku, justru
ia lebih suka mengangkat anak. Maka diangkatlah anak
seorang petani miskin yang baru saja ditinggal mati
kedua orangtuanyakarena bencana alam. Anak itu diberi
namaPurnamaLaras. Ketika Ayah meninggal, negeri ini
dikuasai oleh ibu tiriku; Indriakara. Ketika ibu tiriku
meninggal, negeri ini diserahkan kepada Purnama Laras.
Tapi sebagai anak kandung pewaris negeri ini, aku
merasa berhak merebut hak warisku dan menjadi
penguasa di Muara Singa. Sebab itu, aku akan
berhadapan dengan Purnama Laras!"
Suto berkata, "Aku sanggup selesaikan masalah ini
tanpa pertumpahan darah!" suara itu pun didengar oleh
mereka yang berdiri tegang memperhatikan Suto,
termasuk sang Ratu sendiri. Suto sengaja bicara dengan
nada keras, "Hentikan murkamu kepada sang Ratu. Masih ada
jalan lain mengembalikan hak warismu atas negeri ini
tanpa gunakan kekerasan!"
Sang Ratu menjadi tegang dan heran, ia memandang
Hantu Tari dan Nyai Paras Murai. Mereka saling
pandang mendengar suara Suto. Tapi tak satu pun ada
yang berani bicara. Bahkan yang ingin batuk pun
ditahannya mati-matian hingga wajahnyamemerah.
Terdengar suara Suto berkata jelas-jelas, "Jika
memang kau anak dari permaisuri yang bernama Sang
Paramita, keluarlah daritandu dan perkenalkan wajahmu
kepada mereka! Tunjukkan kebenaran dan keadilan yang
kau milikitanpa harus bersembunyi di dalam tandu!"
"Kau bertaruh apa atas kesanggupanmu
menyelesaikan persoalan initanpakekerasan?"
Kata Suto, "Jika kau benar anak Sang Paramita yang
dibuang oieh ibu tirimu; Raden Ayu Indriakara, sehingga
ibu tirimu akhirnya memungut anak petani yang diasuh
menjadi anak sendiri itu, maka aku akan bertaruh nyawa
untukmu. Aku ada di pihakmu! Apa pun kesulitanmu
untuk merebut negeri ini akan kupertaruhkan nyawaku
untuk membelamu. Maka, keluarlah dari tandu dan
perlihatkan kebenaranmu!"
Hening mencekam, semua memandang Ratu Purnama
Laras. Nyai Paras Murai diam dan tampak kepalanya
manggut-manggut memandangi tandu merah itu. Ia tahu
persis persoalan tersebut, sehingga dalam hatinya
membenarkan ucapan Suto. Bahkan Nyai Paras Murai
tiba-tiba melangkahturun tangga dua baris dan berseru,
"Jika benar kau anak dari Sang Paramita, aku pun
akan berpihak padamu!"
Kasak-kusuk mulai terdengar bergemuruh seperti
suara lebah. Suara kasak-kusuk itu diam seketika setelah
NyaiParasMurai berseru lagi,
"Jika kau anak Sang Paramita, kau pasti bisa
tunjukkan noda hitam pada bagian tubuhmu yang
menjadi tanda sejak lahir. Aku tahu persis noda hitam
itu, karena dulu aku adalah dukun bayi yang membantu
melahirkan anak Sang Paramita!"
Suasana hening mencekam sesaat. Tiba-tiba Ratu
Purnama Laras berseru dari tempatnya, "Jika benar kau
punya tanda hitam sebagai anak Sang Paramita, maka
kaulah orang yang kutunggu-tunggu untuk kuserahi
kekuasaan ini. Karena aku sadar bahwa aku hanyalah
anak angkat dari Raden Ayu Indriakara. Aku sadar ada
orang yang lebih berhak mewarisi negeri ini ketimbang
diriku. Aku hanyamempertahankan agar negeri initidak
jatuh di tangan orang yang bukan pewaris sebenarnya!
Buktikan bahwa kau anak Sang Paramita!"
Wuuut...! Sekelebat bayangan melompat dari dalam
tandu merah, menerobos kain penutup namun tidak
membuat kain itu robek atau terbuka, ia bagaikan
menembus kain penutup itu dan tahu-tahu sudah berdiri
di depan Suto. "Palupi..."!" pekik Suto karena kagetnya melihat
orang yang muncul dari dalam tandu ternyata adalah
Palupi yang kini mengenakan pakaian jubah ungu,
rambut lebih tertata rapi, wajah lebih bersih, dan
kecantikannyalebih menonjol.
Bukan hanya Suto yang terkejut, tetapi beberapa
orang yang pernah melihat gadis gila menawar-
nawarkan Pedang Kayu Petir juga ikut terkejut dan tak
menyangka bahwa tandu merah itu ternyata adalah
Palupi si gadis gila.
Tanpa bicara sepatah katapun, Palupi segera berbalik
arah memunggungi Suto Sinting, lalu menyingkapkan
sisa rambutnya yang tergerai itu, ia menunjukkan noda
hitam yang ada di tengkuk kepala. Nyai Paras Murai
memeriksanya sebentar dan menjadi yakin bahwa Palupi
adalah anak Sang Paramita, istri pertama penguasa
negeri Muara Singa. Sengaja NyaiParas Muraitaditidak
menyebutkan di mana letak noda hitam itu, sebab jika
disebutkan bisa dibikin secepatnya di dalam tandu pada
tempat yang sama. Tapi ternyata tanpa disebutkan
tempat noda itu, Palupi dapat tunjukkan tempatnya yang
tepat, sehingga NyaiParas Muraitidak sangsi lagi.
"Benar! Dia memang anak Sang Paramita!" kata Nyai
Paras Muraikepada Ratu PurnamaLaras. Sang Ratu pun
menjawab, "Jika begitu, memang dialah orang yang kutunggu
selama ini! Dialah yang mempunyai hak atasnegeri ini!"
Palupi segera mengibaskan tangannya sekelebat,
tandu merah pun lenyap dengan meninggalkan kepulan


Pendekar Mabuk 030 Tandu Terbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

asap tipis setelah menyala terang sekejap. Rupanya
dengan kibasan tangan seperti itulah ia memunculkan
dan menghilangkan tandu selama ini. Jika bukan berilmu
tinggi tak mungkin hal itu bisa dilakukan Palupi yang
namakecilnyaadalah: Galuh Puspanagari.
Ratu Purnama Laras menerima kedatangan Palupi
dengan bijak dan berjiwa besar, ia pun bersedia
undurkan diri dan menyerahkan kekuasaan kepada
Palupitanpaharus melalui banjir darah lebih dulu. Justru
orang-orang menaruh rasa hormat dan salut atas sikap
yang diambil oleh Ratu Purnama Laras. Sekalipun kini
ia tidak menjadi ratu lagi, namun Palupitetap memohon
agar Purnama Laras mau mendampinginya sebagai
penasihat dalam memimpin negeritersebut.
Kepada Suto, Palupi sempat berbisik, "Sayang
orangtua angkatku sudah meninggal karena wabah
penyakit di tengah lautan, sehingga aku diserahkan pada
guru Pendita Arak Merah. Jikatidak, akan kubanggakan
kau di depan orangtua angkatku itu. Tapi... terlepas dari
semua ini, aku mengucapkan terima kasih atas caramu
menyelesaikan persoalanku ini, dan... aku tak ingin
mendesakmu untuk memperkosaku, karena semua itu
sebenarnya hanya kepura-puraanku guna menyelidiki
kekuatan lawan-lawanku."
Suto Sinting tersenyum, "Lalu bagaimana dengan
Pedang Kayu Petir itu?"
Palupi hanya memandangi Suto dengan senyum
manis yang sukar diartikan.
SELESAI Pendekar Mabuk Segera terbit!!!
PEDANG KAYU PETIR
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
Pukulan Naga Sakti 3 Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Heng Thian Siau To 3
^