Pencarian

Pedang Kayu Petir 2

Pendekar Mabuk 031 Pedang Kayu Petir Bagian 2


itu disebutkan sebagai pembunuh Sri Maharatu. Karena
di dalam hatinya sudah mempunyai perubahan dendam,
ia ingin mencari Sri Maharatu untuk membalas kematian
gurunya. Namun ia sangat tak menyangka kalau Sri
Maharatu justru telah mati di tangan orang yang pertama
kali dicurigai membunuh gurunya.
"Bagaimana kau bisa tahu semua itu?"
"Karena aku seorang peramal," jawab Suto dengan senyum tipis mengguncangkan hati
Angin Betina. Keketusan dan keangkuhannya mulai mengendor. Ia
meneguk arak pesanannya dalam cangkir kecil. Matanya
masih memandang Suto dengan kesan nakal.
Senyumnya pun tipis punya arti jalang. Lalu ia berkata
pelan, "Terlalu tampan kau untuk seorang peramal."
"Orang cantik sepertimu yang menjadi dukun bayi
juga banyak," kata Suto.
Angin Betina lebarkan senyum, bernada geli
mendengar kelakar Suto.
"Kau sudah tahu namaku. Sekarang aku perlu tahu,
siapa namamu?"
Suto diam sesaat mempertimbangkan jawabannya.
Karena terlalu lama membungkam, Suto kembali
didesak Angin Betina,
"Siapa namamu" Katakan saja. Aku tak pernah
menghina nama sejelek apa pun!"
"Namaku... Pancawala!"
"Oh, nama yang bagus sekali," ucap Angin Betina dengan lirih.
Suto sengaja tak mau sebutkan namanya, takut kalau
Angin Betina tidak mau percaya dengan ceritanya tadi.
Ia bergegas tinggalkan Angin Betina sebentar karena
Sundari lambaikan tangan kepadanya. Suto bergegas ke
dapur dan mendengar Sundari berkata,
"Jangan dekati wanita itu! Dia sedang mencarimu
untuk dibunuh!"
Ki Rosowelas menyahut, "Tidak apa-apa. Aku tadi
sudah ceritakan banyak-banyak tentang dirimu. Saat kau
masuk dapur tadi, ia bertanya padaku mengapa
kelihatannya di dapur terjadi kegembiraan. Lalu
kuceritakan secara singkat siapa dirimu. Apa yang
kudengar dari orang-orang tentang keberhasilanmu
membunuh Sri Maharatu yang mencuri cambuk
pusakanya Bandar Hantu Malam juga kuceritakan
dan...." "Jadi dia... dia sudah tahu namaku, Ki?"
"Sudah! Sudah tahu!" jawab Ki Rosowelas dengan bangga. "Malah dia merasa
menyesal telah mengancam oang yang telah membalaskan kematian gurunya itu."
Suto Sinting tertegun bengong dan menjadi tak enak
hati. Jika begitu maka bualannya tadi sia-sia. Suto jadi salah tingkah, namun
segera punya niat meluruskan
pengakuannya tadi. Ia segera temui Angin Betina lagi
dan berkata dengan lagak kikuknya.
"Hmmm... maaf, kurasa...."
"Aku besok akan pergi ke Bukit Lajang, apakah kau
mau ikut Pancawala?"
"Hmmm... anu... namaku bukan Pancawala. Namaku
Suto Sinting dan...."
"Ah, Pancawala!"
"Bukan kok. Namaku Suto Sinting! Aku tadi...."
"Sekali Pancawala tetap Pancawala. Jangan berubah-
ubah!" Suto mengendur, "Hmmm... iyalah... Pancawala juga
boleh...."
Angin Betina tersenyum. "Aku mau ke Bukit Lajang,
kau mau ikut?" ulangnya.
"Untuk apa ke sana?"
"Menyadap pembicaraan tokoh sakti yang sedang
membicarakan tentang munculnya Pedang Kayu Petir."
"Hahh..."!" Suto terkejut, hal ini pun termasuk sesuatu yang tak disangka-sangka. Ternyata Angin
Betina justru mengetahui di mana tempat pertemuan para
tokoh sakti itu. Padahal Suto sedang berusaha mencari
tahu dengan menghubungi Delima Gusti, itu pun belum
terlaksana karena harus singgah di kedai tersebut.
Agaknya tawaran itu tak bisa ditolak oleh Suto.
"Baiklah. Aku besok mau ikut denganmu ke Bukit
Lajang." "Kalau begitu, malam ini kau pasti setuju jika kita bermalam di sini!"
"Bermalam. Mak... maksudmu.... Eh, tapi di sini
hanya ada satu kamar kosong!"
"Cukup untuk berdua, bukan?"
"Eh... tapi... tapi begini saja..."
"Kalau kau tak mau bermalam denganku, aku tak
mau mengajakmu ke Bukit Lajang," kata Angin Betina.
Suto semakin bingung dan sulit bicara.
* * * 4 TiDUR bersama bagi Suto punya dua pengertian;
memang benar-benar tidur, atau justru tidak bisa tidur.
Jika memang benar-benar tidur, Suto tidak keberatan.
Tapi jika ternyata justru tidak bisa tidur, itu yang repot.
Suto tidak berani lakukan yang begituan, karena segala
gerak-geriknya selalu dipantau oleh calon istrinya; Dyah Sariningrum. Suto
Sinting tak mau kecewakan sang
kekasih, ia juga tak ingin nodai cintanya yang seputih
salju itu. Angin Betina dibiarkan tidur di kamar yang dulu
pernah disewa oleh Suto. Ia sendiri tidur di bangku
panjang kedai. "Asal sekarang ia tidur, aku juga tidur, bukankah itu namanya
juga tidur bersama" Cuma beda
tempat," pikir Suto. Ia sudah persiapkan alasan untuk mengelak kekecewaan Angin
Betina jika esok mereka
sama-sama bangun dari tidurnya.
Ternyata ketika Suto Sinting bangun dari tidurnya di
pagi hari, kamar tempat bermalam Angin Betina itu
sudah kosong. Sundari memberitahukan bahwa Angin
Betina sudah pergi meninggalkan tempat ketika ayam
berkokok. Suto Sinting sempat tertegun di tempat.
Dongkol hatinya karena merasa ditinggalkan.
"Sial! Dia benar-benar meninggalkan aku!" gerutu
Suto Sinting. "Rupanya yang dikehendaki bukan tidur bersama tapi melek bersama.
Ah, dasar perempuan.
Kalau sudah ada maunya dan tidak dituruti sering bikin
ulah yang menjengkelkan. Tapi sebaiknya kulacak
kepergiannya. Pasti belum terlalu jauh."
Suto Sinting temui Sundari di dapur.
"Apakah kau tahu saat ia pergi?"
"Ya. Aku sudah bangun kala itu."
"Ke mana arah kepergiannya?"
"Ke selatan," jawab Sundari sambil merasa heran.
"Kenapa kau tanyakan" Apakah kau ingin menyusulnya"
Susullah ke sana kalau kau ingin peluk dia!" Sundari bernada cemburu, tapi hanya
ditanggapi dengan senyum
geli oleh Suto.
"Arah selatan, Bukit Lajang"! Hmm...! Masa' iya aku tak bisa sampai di sana
kalau sudah kudapatkan
arahnya?" pikir Suto Sinting yang akhirnya segera pergi ke arah selatan. Untuk
menyusul Angin Betina, Suto
terpaksa gunakan gerak silumannya yang mampu berlari
secepat angin, melebihi kecepatan anak panah lepas dari
busurnya. Apa yang dibicarakan oleh para tokoh tua mengenai
pedang maha sakti itu sungguh membuat hati sangat
penasaran. Setidaknya mereka juga akan bicara tentang
Raja Tumbal. Suto ingin tahu tentang segala sesuatunya
yang berhubungan dengan kesaktian Raja Tumbal,
terutama Seruling Malaikat-nya. Tanpa mengetahui
seluruh kekuatan Raja Tumbal, tak mungkin dapat
diketahui kelemahan dan kekurangannya.
Hanya saja, menyusul Angin Betina tidak semudah
menyusul terbang sang garuda. Sudah beberapa saat
Suto Sinting lakukan perjalanan cepatnya ke arah
selatan, tapi sosok Angin Betina tidak dilihatnya.
Bahkan tiba-tiba Suto Sinting menyadari bahwa dirinya
sudah berada di perbatasan sebuah desa yang pernah
disinggahinya pula; desa Kukusan.
Desa itu adalah desa tempat tinggai mendiang Empu
Sakya, si pemilik Keris Setan Kobra. Di desa itu pula
Suto Sinting ingat tentang seorang bocah penggembala
kambing yang akhirnya sempat berkelana mengikutinya,
namun bocah itu merasa menjadi murid Ki Gendeng
Sekarat karena mendapatkan satu ilmu dari si tukang
tidur itu; ilmu 'Genggam Buana'. Bocah berusia sepuluh
tahun itu tak lain adalah Angon Luwak, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Keris Setan Kobra").
"Barangkali Angon Luwak bisa tunjukkan di mana
letak Bukit Lajang itu," pikir Suto. "Tapi apakah anak itu ada di rumah" Hmm...
seandainya tak ada, mungkin aku
bisa minta bantuan keluarganya, atau kakaknya yang
jualan legen dan pernah disangka sebagai diriku itu,
Sabani!" Rumah keluarga Angon Luwak akhirnya ditemukan
setelah bertanya kepada salah satu penduduk desa.
Seperti dugaannya, Suto Sinting berhasil temui Sabani,
kakak Angon Luwak yang pekerjaannya jualan legen,
yaitu air bunga kelapa yang bisa dibuat gula aren, sejenis gula merah, yang pada
umumnya dibawa dalam tempat
tabung bambu seperti tempat tuaknya Pendekar Mabuk
selama ini. Sabani tampak girang sekali melihat kedatangan Suto
ke rumahnya, karena ia pernah ditolong dan
diselamatkan oleh Pendekar Mabuk ketika terancam
maut dari tangan orang-orang perguruan Lumbung
Darah. "Wah, mimpi apa aku semalam, kok sekarang
kedatangan tamu agung yang menjadi kebanggaan
adikku. Selamat datang, Kang Pendekar!" sambut
Sabani. Ia sedikit membungkuk sebagai tanda
menghormat sopan kepada Suto Sinting.
Dengan keramahannya, Pendekar Mabuk menepuk-
nepuk punggung Sabani. Basa-basi terjadi sesaat, karena
jika terlalu lama bisa benar-benar basi. Suto Sinting
segera menanyakan tentang Angon Luwak.
"Bocah itu sudah beberapa hari murung dan lesu
karena kehilangan jejakmu, Kang. Baru sekitar dua-tiga
hari ia menjadi ceria setelah sering diajak bermain
perang-perangan oleh teman-temannya," kata Sabani.
"Di mana dia sekarang?"
"Kalau tak salah ada di tegalan, Kang. Kalau mau ketemu dia, biarlah
kupanggilkan dulu. Kang Pendekar
di sini saja," sambil Sabani bergegas pergi. Tapi lengannya segera dicekal
Pendekar Mabuk hingga
langkahnya tertahan.
"Biar kutemui saja di tegalan. Aku mau bikin kejutan untuknya."
Pendekar Mabuk segera bergegas ke tegalan atau ke
ladang yang belum ditanami tanaman baru. Di sana
bocah-bocah seusia Angon Luwak sedang bermain
perang-perangan. Ada sekitar delapan anak yang
bermain di sana. Angon Luwak pura-pura menjadi
pendekar, sedangkan teman-temannya ada yang menjadi
penjahat, ada yang berlagak menjadi guru sakti. Mereka
bertarung-tarungan menggunakan tombak dari pelepah
pisang, ada yang pura-pura membawa kapak dari
pelepah daun kering, ada yang membawa pedang-
pedangan dari kayu, ada juga yang lemparkan senjata
rahasia dari sabut dan tempurung kelapa. Mereka
berciat-ciat ramai sekali, membuat Suto tertawa-tawa
sendiri dari kejauhan. Suto sengaja biarkan mereka
bermain dan hanya dipandangi dari bawah sebuah pohon
berdaun rindang.
"Angon Luwak...," gumamnya. "Kangen juga aku padanya. Jiwa pendekar ada di dalam
darahnya, ia memang butuh seorang guru untuk membimbing darah
satrianya. Sayang sekali aku tak punya waktu, sehingga
tak bisa ajarkan ilmu silatku kepada Angon Luwak. Aku
suka kepada anak itu. Nakalnya adalah nakal sang
ksatria yang tidak takut menentang bahaya," kecamuk Suto dalam hati sambil
tersenyum-senyum.
"Gayanya sudah seperti seorang jago pedang saja,"
gumam Suto menertawakan gaya Angon Luwak yang
belum punya jurus silat sedikit pun tapi sudah sok
berlagak bisa silat. Pedang-pedangannya dimainkan asal
tebas sana-sini membuat teman-temannya terpaksa mati
walau belum sampai terkena pedang-pedangannya.
Teriakan Angon Luwak melengking-lengking sambil
lompat sana-sini dan akhirnya jatuh telentang sendiri
karena salah satu temannya ada yang menyampar
kakinya. "Curang kamu, Din! Jangan sampar kaki, ah!" Angon Luwak menggerutu.
"Saladin benar, Wak! Main silat itu boleh sampar
kaki." "Sampar mulut juga boleh," kata Saladin.
"Ya, ya...! Bolehlah!" kata Angon Luwak, "Tapi aku belum kalah lho!"
"Mana bisa"! Pendekar kalau sudah jatuh ke tanah
namanya sudah kalah!" seru teman di belakangnya.
"Tapi kan belum mati!" Angon Luwak ngotot.
"Harus mati! Sudah jatuh kok tidak mau mati" Kamu
sudah jadi mayat!"
"Tapi aku tidak kena pusaka kok. Aku jatuhnya
karena disampar kakinya!"
"Kamu jadi mayat jangan ngotot!" seru Saladin.
"Kalau ngotot nanti liang kuburmu sempit lho!"
"Ah, tidak bisa! Tidak bisa! Aku masih gagah kok,
belum kalah!" Angon Luwak masih tak mau dianggap
kalah. Teman-temannya membela Saladin, "Kamu sudah
kalah! Sekarang pendekarnya ganti Saladin!"
"Tidak mau!"
"Kamu jadi penjahat sakti!"


Pendekar Mabuk 031 Pedang Kayu Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak, tidak! Penjahat tidak ada yang sakti!" Angon Luwak cemberut.
"Wong sudah kalah kok marah!" kata Saladin.
"Terus maumu apa, hah"!" Angon Luwak menantang.
Saladin juga berani.
"Terserah, maumu apa" Mau tarung denganku"
Boleh!" "Huhh... tak bacok kamu!" Angon Luwak berlagak mau menebaskan pedang-
pedangannya. Saladin maju
dengan berani sambil busungkan dada.
"Mau bacok aku" Silakan! Nih, bacok! Bacoklah
dadaku! Nih...!"
Cras...! Angon Luwak membabatkan pedang-
pedangannya. Teman-temannya terkejut seketika. "Lho... terluka"!
Saladin terluka"!"
"Coba lihat! Wah, iya... dia benar-benar terluka!" kata yang lain.
Angon Luwak tertegun bengong. Suto Sinting pun
jadi kaget bukan kepalang. Ternyata dada Saladin benar-
benar terluka karena sabetan pedang-pedangannya
Angon Luwak. Lukanya memanjang dari ketiak kiri ke
pinggang kanan, luka itu menyala hijau berpendar-
pendar seperti nyala kunang-kunang. Angon Luwak
ketakutan. Lebih takut lagi setelah teman-temannya
menjauh dan tubuh Saladin segera jatuh terkapar,
kejang-kejang bagai ayam disembelih.
"Bagaimana ini, Wak"! Kuadukan kakaknya Saladin
lho! Pokoknya kamu yang melukai Saladin!"
"Jangan! Jangan bilang siapa-siapa, Man!" Angon Luwak ketakutan.
Teman-temannya juga ketakutan dan lari
berhamburan. Angon Luwak pun lama-lama ikut
melarikan diri, karena tubuh Saladin memancarkan sinar
hijau seperti sinar pada lukanya. Tubuh Saladin
terlonjak-lonjak dengan sentakan keras, sehingga tubuh
itu bisa bergeser sendiri ke sana-sini dalam keadaan
terkapar. "Celaka! Kenapa anak itu"!" pikir Suto dengan
tegang. Pada waktu itu, Angon Luwak masih belum
larikan diri, masih mundur pelan-pelan dengan wajah
tegang. Suto segera melesat menghampiri Saladin yang
menurutnya dalam bahaya. Tapi gerakan Suto menjadi
lamban. Langkahnya terasa berat. Jaraknya dengan
Saladin yang sekitar lima belas langkah itu ditempuh
dengan waktu lambat. Suto mencoba berlari
menggunakan gerak silumannya, tapi yang bisa
dilakukan berlari biasa. Bahkan ketika ia mencoba
melompat untuk bersalto cepat supaya segera sampai di
tempat Saladin, ternyata ia tak bisa bersalto lagi. Ia
justru jatuh berdebam seperti pepaya matang.
"Aneh"! Kenapa aku tidak bisa melenting di udara
dan tak mampu lakukan gerakan salto"!" pikirnya
dengan heran. Setelah Suto jatuh itulah, Angon Luwak ikut-ikutan
larikan diri seperti teman-temannya. Tapi Angon Luwak
lari ke arah hutan, karena takut kena marah kakaknya
Saladin atau keluarganya bocah itu. Ia lari untuk
bersembunyi sebab merasa telah membunuh Saladin.
Kejutan-kejutan tubuh Saladin mulai melemah.
Biasanya jika sudah begitu pertanda kematian akan tiba.
Suto Sinting sangat cemas melihat keadaan Saladin yang
sekujur tubuhnya masih menyala hijau walau sudah
mulai redup. "Benar-benar gawat anak ini! Dia mau mati!"
Suto Sinting cepat-cepat tenggak tuaknya, lalu tuak di
mulut disemburkan ke tubuh Saladin. Itu yang
dinamakan pengobatan 'Sembur Husada', yaitu cara
mengobati luka dengan semburan tuak. Luka memang
bisa sembuh cepat dan segera lenyap tanpa bekas, tetapi
yang diobati akan lupa ingatannya kepada Suto.
Seandainya sebelumnya Saladin sudah mengenal Suto,
maka jika ia diobati dengan jurus 'Sembur Husada',
setelah lukanya kering ia akan lupa siapa Suto dan
merasa seperti belum pernah mengenal Suto, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pusaka Tuak Setan").
'Sembur Husada' berani dilakukan oleh Pendekar
Mabuk, sebab ia merasa seandainya Saladin lupa pada
dirinya tak jadi soal, toh memang sebelumnya tak pernah
mengenal Suto, jadi tak perlu mengembalikan ingatan
bocah itu. Brrwwesss...! Tuak disemburkan. Biasanya cukup satu kali. Tapi
agaknya kali ini Suto harus mengulangi sampai tiga kali
semburan. Lalu, sinar hijau yang memancar dari tubuh
Saladin itu padam. Perlahan-lahan dada Saladin yang
basah tuak itu mulai bergerak-gerak. Luka memanjang
menjadi mengatup kembali. Sinar hijau pada luka pun
lama-lama hilang bersama lenyapnya luka yang
mengoyak dada. Saladin tampak mulai bisa bernapas. Erangannya lirih
sekali, tapi matanya mulai berkedip-kedip membuka
pelan. Suto Sinting membantu Saladin untuk bangun dan
duduk. Napas Saladin terhempas lepas seperti merasakan
kelegaan. Ia memandangi sekeliling dengan bingung,
juga menatap Suto dengan heran.
"Teman-temanku pada ke mana tadi, Kang?"
"Pulang," jawab Suto juga masih menyimpan
keheranan tersendiri.
Saladin bangkit, tengok sana-sini, menggerutu pelan,
"Uuh... payah! Mereka tinggalkan aku karena tak ada yang mau akui kalau aku
pantas jadi pendekar!"
Saladin langkahkan kaki tiga tindak, lalu berhenti dan
menengok ke arah Suto.
"Aku pulang, Kang!"
"Ya," jawab Suto dengan masih tertegun bengong, bagai terkesiap melihat Saladin
sehat dan segera berlari pulang.
Tinggallah Pendekar Mabuk sendirian di tegalan itu
dalam keadaan dikerumuni keheranan yang tiada tara.
Keheranan itu meliputi masalah luka di dada Saladin,
juga nyala sinar hijaunya, juga tentang dirinya yang tak bisa bersalto lagi, tak
bisa gunakan gerak siluman, dan
akhirnya Suto penasaran. Lalu ia coba kembali untuk
gunakan gerak silumannya, berlari cepat melebihi kilat.
Napasnya mulai ditahan didada, kaki pun menyentak
pelan di tanah.
Deeg...! Wwweesas...!
Seet...! Suto berhenti dan kembali tertegun bengong
menyadari bahwa dirinya sudah mampu bergerak
secepat kilat seperti biasanya. Bahkan ketika dicobanya
melenting di udara dan bersalto mundur dua kali,
ternyata hal itu mampu dilakukan dengan baik, seperti
biasanya pula. "Luar biasa anehnya diriku hari ini"! Tadi tidak bisa bergerak cepat. Melompat
pun jatuh. Tapi sekarang hal
itu bisa kulakukan. Ada apa sebenarnya pada diriku"
Sepertinya tadi aku kehilangan ilmuku, dan sekarang
ilmuku sudah kembali lagi"! Hmmm... pasti ada orang
usil di sekitar sini yang menggangguku! Aku ingin tahu
siapa orangnya?"
Suto Sinting segera gunakan ilmu 'Lacak Jantung',
mendengarkan detak jantung seseorang yang
bersembunyi di sekitarnya. Tapi ternyata ia tidak
mendengar detak jantung seseorang. Alam menjadi sepi,
hanya angin yang mendesah pelan.
Zlaaap...! Zlaaap...! Zlaaap...!
Suto melesat ke sana-sini dengan gerak silumannya
untuk mencari kemungkinan orang sakti bersembunyi di
sekitarnya. Karena ia menduga orang yang
mengganggunya tadi mampu menghentikan detak
jantung pada saat dilacak. Tetapi ternyata keadaan di
sekitarnya sepi-sepi saja. Tak ada manusia di sana-sini.
"Apakah dia sudah pergi" Hmmm... pergi dengan
anak itu! O, ya... ke mana si Angon Luwak tadi?" pikir Suto sambil tengok sana-
sini. Maka ia pun segera
melangkah kembali menuju rumah Angon Luwak,
karena ia menyangka anak itu pulang ke rumah dan
bersembunyi di kolong balai. Suto tersenyum
membayangkan bocah itu sembunyi di kolong balai
dalam keadaan ketakutan karena merasa baru saja
membunuh teman sepermainan. Bayangan itu akhirnya
membuat langkah Suto Sinting terhenti dengan
sendirinya. Senyum hilang, kerutan dahi jadi tajam.
"Iya, ya... kenapa Saladin mengalami luka seaneh itu"
Dia hampir saja mati. Padahal hanya terkena goresan
ujung pedang-pedangan si Angon Luwak. Mengapa
sampai bisa menyala hijau seperti kunang-kunang"
Apakah Angon Luwak punya ilmu lain tanpa
disadarinya" Setahuku, Angon Luwak hanya punya ilmu
'Genggam Buana' dari Ki Gendeng Sekarat. Ilmu itu
tidak akan bisa membuat lawan menyala hijau seperti
tadi. Hanya bisa meremukkan sesuatu yang digenggam
dengan napas tertahan."
Langkah dilanjutkan tapi pelan-pelan, karena batin
Pendekar Mabuk masih terus berkecamuk.
"Kenapa Saladin bisa terluka separah itu" Padahal ia hanya ditebas dengan
pedang-pedangan. Pedang itu dari
kayu biasa. Sepertinya dari kayu randu karena warnanya
putih dan tampaknya ringan dijinjing. Kayu itu juga
kelihatan sudah lapuk, geripis pinggirannya. Gagangnya
coklat, juga tampak sudah lapuk. Tak ada kehebatan apa-
apa yang bisa diiihat dari pedang itu. Ah, sungguh
mengherankan sekali, sepertinya tak masuk akal jika
tubuh Saladin bisa terluka seaneh itu hanya ditebas
dengan pedang-pedangan. Pasti Angon Luwak punya
ilmu baru yang bisa membuatnya seperti memegang
pedang asli."
Tiba-tiba langkah Suto terhenti lagi. Dahi masih
berkerut dan memandang dalam terawang keheranan.
"Tunggu dulu!" katanya dalam hati. "Pedang itu dari kayu yang mudah patah.
Bentuknya sangat sederhana,
berkesan dibuat secara kasar. Kayu itu tampaknya lapuk
dan memang geripis pinggirannya. Hmmm... lapuk"
Lapuk berarti lama! Jangan-jangan... jangan-jangan
pedang-pedangan itulah yang dinamakan Pedang Kayu
Petir"!"
Wajah Pendekar Mabuk mulai menegang. Hatinya
berdebar-debar.
"Apa benar Pedang Kayu Petir seperti itu" Ah, terlalu mengada-ada! Bukan! itu
bukan Pedang Kayu Petir, itu
hanya pedang-pedangan milik seorang bocah yang
dibuat secara kasar dan menirukan bentuk pedang biasa.
Berarti ada tenaga sakti yang tersalur di pedang-
pedangan itu. Entah dari tangan Angon Luwak atau dari
kekuatan batin seseorang yang punya niat jahil"
Sebaiknya kutemui Angon Luwak dan kuperiksa diri
anak itu. Pedang-pedangannya pun perlu kuperiksa
untuk meyakinkan bahwa pedang itu bukan pedang
berisi tenaga dalam!"
Sampai di rumah Angon Luwak, Sabani justru merasa
heran dan berkata,
"Angon Luwak belum pulang, Kang Pendekarl
Apakah di tegalan tak ada?"
"Ada. Tapi dia sudah berlari pulang bersama teman-
temannya."
"Ah, belum! Sejak tadi aku belum lihat dia pulang, Kang"!"
"Coba cari di kolong balai, mungkin dia bersembunyi di sana atau di tempat yang
pantas untuk bersembunyi."
"Bersembunyi"! Kenapa bersembunyi"! Apakah dia
takut melihatmu, Kang?"
"Tidak. Hanya sekadar mau main-main denganku.
Cobalah cari dulu...!" desak Suto yang akhirnya
membuat Sabani terpaksa mencari adiknya di kolong
balai, di belakang lemari, di dapur, bahkan di kandang
ayam. "Tidak ada, Kang Pendekar! Ibu saya juga bilang
belum lihat dia pulang."
"Wah, ke mana anak itu, ya?" gumam Suto Sinting.
"Coba biar saya yang cari, Kang. Kang Pendekar
diam di sini dulu."
Sabani sangat menghormati kedatangan Suto,
sehingga tak segan-segan bergerak cepat ke rumah
teman-teman adiknya. Beberapa saat kemudian ia
kembali dengan tangan hampa dan napas terengah-engah
pertanda habis lari.
"Tidak ada, Kang! Semua rumah temannya sudah
saya sambangi tapi Angon Luwak tidak ada di sana.
Malah beberapa temannya bilang, Angon Luwak habis
membunuh Saladin! Saya jadi takut, Kang!"
"Tidak. Angon Luwak tidak sejahat itu. Apakah kau
tidak bertemu Saladin?"
"Bertemu! Lalu saya tanya, 'Apakah kau tadi dibunuh
sama Angon Luwak"', dan Saladin bliang; 'tidak'. Lalu
saya pikir, benar juga. Kalau dia sudah dibunuh pasti dia tidak bisa menjawab
'tidak'." Suto Sinting tersenyum tipis, tertawa pendek dalam
gumam. Lalu ia berkata, "Kalau begitu biar kucari
sendiri anak itu. Mungkin dia bermain di hutan."
"Mungkin malah sedang nongkrong di Telaga Jompo,
Kang." "Telaga Jompo..."!" Suto berkerut dahi dengan heran.
"Telaga Jompo ada di atas bukit seberang itu. Hampir dekati puncaknya. Telaga
Jompo adalah telaga yang bisa
sembuhkan orang lumpuh, Kang. Airnya sangat
berkhasiat untuk penyembuhan. Beberapa hari yang lalu,
kutemukan Angon Luwak duduk termenung di Telaga
Jompo dengan sedih karena kehilangan jejakmu!"
"Apa benar dia ada di sana?" pikir Suto Sinting, lalu bergegas pergi ke Telaga
Jompo. * * * 5 BUKIT itu bernama Bukit Kukusan, sama dengan


Pendekar Mabuk 031 Pedang Kayu Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nama desa di kakinya. Bukit tersebut berseberangan
dengan bukit yang dulu digunakan mendiang Empu
Sakya untuk larikan diri dari kejaran Iblis Naga
Pamungkas. Bukit Kukusan mempunyai jenis tanaman
jati dan cemara liar. Hutannya tak terlalu lebat,
semaknya juga tak terlalu rimbun, mudah untuk dilalui.
Ketinggian bukit itu tidak seberapa, artinya masih
memungkinkan didaki oleh anak seusia Angon Luwak.
Tetapi Pendekar Mabuk merasa baru kali itu
mendengar ada telaga di bukit tersebut yang bisa
sembuhkan orang lumpuh. Rasa penasaran Suto bukan
terletak pada khasiat air telaga, melainkan kepada
keanehan Angon Luwak. Rasa penasarannya itu begitu
besar, sehingga Pendekar Mabuk merasa lebih penting
mengejar Angon Luwak ketimbang mengejar Angin
Betina ke Bukit Lajang.
Di dalam hati Suto, pada sisi hati yang terkecil, masih
menyimpan dugaan tentang pedang-pedangan Angon
Luwak yang diduga adalah Pedang Kayu Petir. Harapan
kebenaran atas pedang itu memang sangat kecil, namun
justru mengganggu ketenangan berpikir Pendekar
Mabuk. Itulah sebabnya, Suto merasa perlu memeriksa
pedang-pedangan tersebut walau sisi hati lainnya
mengatakan; "Pekerjaan yang gila dan bodoh! Sudah tahu pedang-
pedangan untuk bermain anak kecil masih diharapkan
sebagai Pedang Kayu Petir. Rasa-rasanya aku sudah tak
waras lagi, terlalu tergila-gila dengan pedang maha sakti itu!"
Sekalipun sisi hati lainnya berkata begitu,
kenyataannya Suto Sinting tidak mau hentikan langkah
dan tetap maju menuju Telaga Jompo. Namun kejap
berikut langkah itu terpaksa dihentikan. Kemunculan
dua orang berpakaian seperti biksu membuat Suto
Sinting terpaksa hentikan langkahnya. Dua orang yang
secara tak sengaja berpapasan dengan Suto ternyata
berasal dari arah atas bukit. Mereka pun sama-sama
hentikan langkah karena melihat sosok penampilan
pemuda tampan menyandang bumbung tuak, pakaian
baju coklat tanpa lengan, celana putih kusam dan rambut
panjang selewat pundak tanpa ikat kepala. Ciri-ciri itulah yang membuat dua
tokoh tua berusia sekitar delapan
puluh tahun ke atas itu juga hentikan langkah.
Wajah mereka wajah seorang paderi, atau layaknya
seorang imam agung sebuah aliran kepercayaan. Kepala
mereka gundul, sehingga raut wajah tenangnya terlihat
dengan jelas. Tapi di balik ketenangan itu, Pendekar
Mabuk temukan kegelisahan yang tersembunyi, dan
kecurigaan yang sengaja ditutup dengan sikap wibawa
kedua tokoh. Mereka mengenakan kain pembalut tubuh warna
merah yang menyilang ke pundak kiri. Tapi baju longgar
yang dikenakan mereka berbeda warna, yang satu
berwarna kuning, yang satu berwarna biru. Mereka
sama-sama beralis tebal putih. Yang satu berkumis dan
berjenggot putih, yang satunya tidak berkumis dan tidak
berjenggot. Tubuh mereka sedikit gemuk, yang berkumis
lebih gemuk dari yang tidak berkumis.
"Salam damai dari kami untukmu, Anak Muda. Kalau
tak salah ciri-ciri yang kami lihat, kau adalah Pendekar Mabuk; Suto Sinting!"
kata yang berpakaian biru.
"Benar, Eyang," jawab Suto sopan. "Kalau boleh saya tahu, siapakah Eyang berdua
ini" Sebab saya baru
sekarang melihatnya."
"Aku Pendeta Jantung Dewa dari Biara Genta," kata yang memakai baju biru tanpa
kumis dan jenggot,
matanya sedikit sipit. "Di sampingku ini adalah kakakku yang bernama Pendeta
Mata Lima dari Biara Damai."
Orang yang diperkenalkan sebagai Pendeta Mata
Uma itu diam saja, tak ada anggukan apa pun. Kesannya
lebih kaku dari Pendeta Jantung Dewa. Bola matanya tak
sesipit si Jantung Dewa, bahkan besar dan mempunyai
pandangan tajam. Sekalipun demikian, Pendekar Mabuk
tetap tunjukkan sikap hormat dengan anggukkan badan
dan wajah penuh keramahan.
"Sangat kebetulan sekali kita bertemu di sini, Suto Sinting," kata si Jantung
Dewa. "Sesungguhnya adalah hal yang paling sulit menemui Pendekar Mabuk yang
sedang banyak dibicarakan oleh kalangan tokoh tua
belakangan ini."
"Apakah Eyang berdua memang bermaksud menemui
saya?" "Tidak utama!" sahut Mata Lima.
Kata-kata selanjutnya diteruskan oleh si Jantung
Dewa, "Yang paling utama adalah melacak benda
pusaka itu."
"Benda pusaka apa maksudnya?"
Pendeta Mata Lima yang sebenarnya hanya punya
dua mata, empat dengan mata kaki itu, segera menjawab
dengan suaranya yang agak besar dan berwibawa,
"Sebagil pendekar yang sedang kondang namanya,
tentunya kau sudah mengerti pusaka yang kami
maksudkan. Tak perlu lagi berlagak bodoh di depan
kami. Kau punya pikiran dan angan-angan yang
dipenuhi oleh pusaka itu."
"Pedang maha sakti itu, maksudnya?"
"Nah, kau sudah menjawab pertanyaanmu sendiri,
Anak Muda!"
Tak ada gentar bagi Pendekar Mabuk menatap bola
mata si baju kuning itu. Hatinya membatin, "Sepertinya dia punya maksud tertentu
padaku yang kurang beres.
Ada apa sebenarnya?"
Pendeta Jantung Dewa dari Biara Genta pun segera
berkata, "Pendekar Mabuk, jika kau tahu di mana benda pusaka itu, tolong
tunjukkan kepada kami, sebab kami
sangat membutuhkannya untuk memerangi lawan yang
ingin memporakporandakan biara kami berdua."
"Apa alasan Eyang menduga saya mengetahui benda
tersebut?"
"Hasil pertemuan kami menyimpulkan bahwa benda
itu ada di sebelah utara tempat kami berkumpul. Tongkat
penunjuk milik Resi Wulung Gading mengarah ke utara.
Getarannya sangat jelas, sehinga kami berlomba-lomba
lari ke utara mengejar Pedang Kayu Petir itu. Secara
kebetulan, kami berdua temukan kau ada di sini,
menyongsong perjalanan kami. Sudah tentu kami yakin,
bahwa kaulah orang yang mengetahui di mana benda
pusaka itu berada."
"Eyang salah! Justru saya sedang kebingungan
mencari benda tersebut," kata Suto sambil hatinya
berucap untuk diri sendiri, "Berarti pertemuan para tokoh tua di Bukit Lajang
telah usai. Apakah Angin
Betina sempat hadiri pertemuan itu atau kecele, karena
pertemuan sudah bubar pada saat ia sampai di Bukit
Lajang"!"
"Jangan berpikir soal perempuan, Anak Muda," kata Pendeta Mata Lima secara tiba-
tiba, membuat Suto
Sinting terperanjat dan menjadi malu.
"Agaknya ia tahu kata hatiku dan bisa membaca jalan pikiranku," pikirnya.
Kemudian dengan sikap dibuat tenang, Pendekar
Mabuk berkata kepada Pendeta Mata Uma,
"Eyang Pendeta Mata Lima, saya kagum mengetahui
Eyang dapat membaca pikiran saya. Barangkali itu salah
satu kesaktian Eyang sebagai Pendeta Mata Lima, yang
mampu memandang dengan mata batin tentang pikiran
seseorang. Sayang sekali Eyang punya pandangan batin
yang keliru dengan menyangka saya adalah orang yang
mengetahui pedang maha sakti itu."
"Mataku juga dapat melihat apa yang kau lihat. Bola matamu menampakkan bayangan
pedang maha sakti itu,
berarti kau sudah melihat pedang tersebut."
Senyum disunggingkan selebar mungkin, namun tak
mengurangi sikap sopannya. Suto merasa geli dengan
tebakan tokoh tua yang kaku itu.
"Eyang salah pandang!" kata Suto. "Benar-benar salah pandang. Sebab saya merasa
belum pernah melihat
pusaka tersebut."
"Jangan bertele-tele, Anak Muda!" Pendeta Mata Lima tampak mulai tak sabar.
"Sekali lagi kuingatkan, kami benar-benar butuh pedang itu untuk memerangi
orang seaat yang ingin memporakporandakan biara
kami. Jadi tolong beritahukan kepada kami dimana
benda itu berada. Jangan membuat kami harus
memaksamu dengan kekeraaan. Karena demi selamatkan
biara kami, jika sangat terpaksa kami tak segan-segan
lakukan kekerasan."
"Hmm..., dia mulai mengancam! Sudah salah, ngotot
lagi! Payah juga orang ini. Percuma jadi pendeta kalau
masih suka ngotot terhadap kesalahannya," pikir Suto Sinting, lupa bahwa pikiran
itu bisa dibaca lawannya.
Tentu saja sang lawan tampakkan perubahan wajah yang
makin nyata. Pendeta Mata Lima mulai geletukkan
giginya. Tasbih hitam dari bebatuan bening yang
sebesar-besar melinjo itu mulai diremas-remasnya.
Pendeta Jantung Dewa berkata masih dengan suara
tenang, "Apa yang dikatakan kakakku itu memang
benar, Pendekar Mabuk. Kami tak peduli kau adalah
murid dari si Gila Tuak, tapi jika tak mau bantu kami
dengan menunjukkan benda itu, kami akan tega
memaksamu menggunakan kekerasan. Barangkali
memang itulah jalan yang kau kehendaki. Kami
maklum, karena darah pendekarmu masih muda, masih
suka menguji ilmu seseorang."
"Sama sekali tidak!" bantah Suto dengan cepat. "Saya tidak menyukai kekerasan
jika tidak dipaksa dan
didesak. Saya mengatakan kebenaran diri saya. Tapi jika
Eyang-eyang ini tidak mau percaya dan menganggap
perlu gunakan kekerasan, dengan rendah hati saya
terpaksa melayaninya!"
"Di matamu ada bayangan Pedang Kayu Petir!"
sentak Pendeta Mata Lima. "Kau tak bisa bohongi
pandangan mataku, Suto Sinting!"
"Saya katakan sekali lagi, pandangan Eyang salah!"
"Tidak, Suto!" sahut Pendeta Jantung Dewa dengan kalem. "Apa kata kakakku itu
memang benar, karena aku sendiri melihat bayangan pedang ada di matamu,
ditambah lagi bayangan seorang wanita berambut acak-
acakan dan berpakaian hitam ketat dengan dada besar
menggiurkan dan...."
"Ssst...! Yang itu jangan dijelaskan!" sentak si Mata Lima dengan geram.
"Maaf, semoga Sang Hyang Widi mengampuni
ucapanku tadi," ucap Jantung Dewa dengan lirih penuh penyesalan.
Suto ingin berkecamuk lagi di dalam hatinya, tapi ia
batalkan karena kecamuknya akan diketahui oleh
Pendeta Mata Lima. Kini ia bahkan berkata dengan tegas
dan lebih bersikap berani.
"Eyang-eyang Pendeta, saya mohon maaf tidak bisa
membantu maksud Eyang. Jadi, izinkan saya lewat tanpa
ada sikap memaksa!"
"Tidak bisa!" si Mata Lima berkata dengan tegas juga. "Kami tak bisa lepaskan
orang yang tahu tentang pedang itu! Dengan menyesal dan sangat terpaksa, aku
harus tunjukkan padamu bahwa kami benar-benar
membutuhkannya!"
"Apa maksud kata-katanya?" pikir Suto Sinting
setelah mereka bertiga sama-sama diam. Tapi mata Suto
segera melihat bahwa tasbih hitam yang ada di tangan
Pendeta Mata Lima itu diremas-remas semakin kuat.
Remasan itu kepulkan asap putih, dan tiba-tiba Suto
Sinting rasakan perutnya bagai dipelintir sekuat tenaga, hingga akhirnya ia
jatuh terbanting.
"Uuhg...!"
Bruuk...! "Gila! Rupanya dia telah serang diriku dengan
kekuatan batinnya melalui tasbih itu!" gerutu Suto dalam hati. Ia pun segera
bangkit. Namun baru saja ia ingin menegakkan badan, tiba-
tiba Pendeta Mata Lima sabetkan tasbihnya ke udara.
Zraak...! Bunyi gemeresak akibat sabetan tasbih berbatu
hitam itu seperti terlepasnya ratusan jarum dari baskom
lebar. Bunyi itu membuat Suto Sinting terpental ke
belakang karena merasa dihempas oleh gelombang hawa
panas yang amat besar. Bahkan Pendekar Mabuk sempat
gelagapan dengan mata terpejam-pejam.
Bruuuk...! "Edan! ilmu apa ini, aku seperti dilanda seribu
kuda"!" gerutunya lagi di dalam hati. "Aku harus tunjukkan pembalasan supaya
mereka tahu bahwa aku
tidak bersalah."
Dalam keadaan duduk, Suto Sinting segera sentilkan
jarinya yang berarti jurus 'Jari Guntur' dilepaskan dari tempatnya. Tesss...!
Wuuud...! Daahk...! Seperti batu menghantam papan, tubuh Pendeta Mata
Lima masih berdiri tegak tak bergeming. Sedangkan
Pendeta Jantung Dewa justru mundur dengan tenang,
seakan menyerahkan perkara itu kepada kakaknya.
"Jurus 'Jari Guntur' tidak mempan untuknya! Luar
biasa besar kekuatan orang tua itu"!" pikir Suto sambil berdiri lagi. Ia segera
membuka tutup bumbung dan
menenggak tuak beberapa teguk.
Pada saat Suto mendongak untuk menenggak tuak,
Pendeta Mata Lima segera lepaskan pukulan tasbihnya
dengan kibasan memutar di atas kepala dan
menyentakkan ke depan. Crak...! Slaaap...!
Dari tasbih itu keluar sinar merah pijar sebesar bola
bekel. Sinar merah itu melesat menghantam Suto
Sinting. Tapi ekor mata Suto yang melihat kelebatan itu
segera tanggap, ia merendahkan badan dengan berlutut
satu kaki. Bumbung tuaknya segera ditegakkan dengan
dipegang dua tangan. Tepat di depan wajahnya,
bumbung tuak itu menghadang laju sinar merah.
Akhirnya sinar itu membentur bumbung tuak.
Blaaar...! Suatu keanehan terjadi. Sinar tidak membalik arah


Pendekar Mabuk 031 Pedang Kayu Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti biasanya, tapi meledak di tempat. Jika bukan
ilmu yang tinggi, tak mungkin tak bisa dikembalikan.
Hentakan daya ledak sinar merah tadi membuat Suto
Sinting terjungkal ke belakang dengan sekujur tubuh
terasa panas. Bahkan empat pohon di sekitarnya menjadi
keriput. Kulit batangnya mengelupas keriting, daun-
daunnya menguning dengan cepat. Bahkan ada yang
langsung berwarna coklat kering. Tetapi Suto Sinting
hanya mengalami raaa panas yang sekejap saja segera
hilang tak berbekas.
Pendeta Mata Lima sendiri terpental dan menabrak
adiknya yang berdiri di belakang. Jika tidak tentunya ia akan terlempar
membentur pohon cemara di arah
belakangnya. Akibat terpentalnya Pendeta Mata Uma
yang tak diduga-duga itu, Pendeta Jantung Dewa roboh
dan jatuh telentang tertindih tubuh kakaknya yang lebih
gemuk darinya. Buuhg...! Suaranya keras bagaikan sebongkah batu
besar jatuh ke tanah. Pendeta Jantung Dewa terpekik
dengan suara tertahan.
"Heegh...!"
Mereka berdua sibuk menjaga keseimbangan dan
buru-buru berdiri. Mereka sama-sama berpikir, harus
cepat berdiri sebelum dilihat anak muda itu. Akibat
terburu-buru ingin cepat berdiri lagi, mereka saling geret dan tindih, sehingga
mirip orang berebut sesuatu yang
membuat jatuh mereka justru lama. Suto Sinting sudah
berdiri tegak dan memperhatikan mereka saling berebut
kesempatan bangun.
"Bocah itu tidak bisa dianggap enteng, Mata Lima!"
kata Pendeta Jantung Dewa setelah keduanya sama-sama
berdiri dan selesai saling gerutu.
"Sudah kuduga dia memang tangguh. Tapi tak
kusangka setangguh ini, sehingga serangan tingkat
tigaku membuatnya masih setegar itu!"
"Kalau begitu, biar kuhadapi dia. Jurus 'Jala Surga'
bisa bikin dia jera dan mau membantu kita."
Si Jantung Dewa segera maju dua tindak. Wajahnya
tetap kalem, matanya yang kecil menatap Suto berkesan
dingin. Suaranya terdengar jelas tanpa tekanan
kemarahan sedikit pun.
"Kau boleh saja merasa bangga karena bisa bertahan
menghadapi pukulan tingkat tiga dari kakakku, Suto.
Tapi kau tak akan bisa bertahan melawan jurus 'Jala
Surga'-ku ini, Nak!"
Sraaab...! Tiba-tiba Pendeta Jantung Dewa sentakkan tangan
kirinya dengan telapak tangan membentuk cakar elang.
Dari telapak tangan itu melesat berlarik-larik sinar biru membentuk jala yang
menyerupai benang laba-laba.
Sinar-sinar biru itu melesat ke arah tubuh Suto Sinting
dengan kecepatan tinggi, seakan tak mungkin bisa
terhindari. Dan memang menurut pengakuan hati si
Jantung Dewa, jurus 'Jala Surga'-nya selama ini tak
pernah ada yang bisa menghindarinya. Namun ia tak
tahu bahwa Suto punya gerak siluman yang mampu
bergerak melebihi kecepatan anak panah. Zlaaap...!
Tahu-tahu ia sudah pindah tempat di belakang
Pendeta Mata Lima dalam jarak hanya empat langkah.
Sedangkan sinar birunya Pendeta Jantung Dewa
mengenai seonggok tanah keras. Jaaab...! Tanah keras
itu merekah, dari rekahannya keluar asap putih dan
cahaya sinar biru membara di dalamnya. Kejap
berikutnya tanah itu kembali utuh, namun rumput-
rumputnya rontok dan mengering kecoklatan.
"Mana dia tadi?" Pendeta Jantung Dewa mencari-cari
Suto tanpa menengok kepada kakaknya. Pendeta Mata
Lima juga menengok ke sana-sini dan begitu menengok
ke belakang terpekik kaget.
"Hahhh...!"
Wajahnya lucu. Wajah tua berkumis dan berwibawa
itu membelalakkan mata dan melebarkan mulut karena
kaget. Bahkan tubuhnya sempat terlonjak satu tindak ke
samping. Tapi wajah itu buru-buru dibuat tenang dan
berwibawa, walau yang terlihat adalah wajah menahan
rasa malu dan jengkel. Sedangkan Pendeta Jantung
Dewa tetap tenang memandangi Suto yang tersenyum
geli melihat kelucuan wajah Pendeta Mata Lima itu.
"Hebat sekali kau bisa hindari jurus 'Jala Surga'-ku,"
kata Pendeta Jantung Dewa sambil manggut-manggut.
"Tapi dapatkah kau tetap bertahan dengan sabuk Telur Naga'-ku ini"! Hiaah...!"
Sreet...! Wuuut...!
Sabuk dari batu-batuan merah bening yang
menyerupai rantai itu tahu-tahu dilepaskan dari pinggang dengan satu kali tarik.
Sabuk itu menyabet ke arah
Pendekar Mabuk. Memang tidak mengenai tubuh Suto,
tapi lecutannya keluarkan sinar api merah yang mirip
bunga api menggerombol dan menghantam ke arah dada
Suto Sinting. Bumbung tuak masih di tangan Suto,
sehingga dengan cepatnya Suto sentakkan bumbung tuak
ke depan dalam keadaan datar. Sodokan bumbung tuak
itu keluarkan sinar kuning. Jurus 'Naga Sontok'
menghantam bunga api dan menimbulkan ledakan
dahsyat yang sempat mengguncangkan tanah,
merontokkan bebatuan yang dalam posisi miring,
menumbangkan tiga pohon jati berukuran sedang.
Zlaap...! Blegaaar...! Tubuh kedua pendeta itu terjungkal bagaikan
dilemparkan badai besar. Mereka berguling-guling
berbeda arah. Hampir saja sebatang pohon yang roboh
menindih perut Pendeta Mata Lima. Bruus...!
"Uuhg...!"
Pohon itu hanya menjatuhi kaki kanan Pendeta Mata
Lima, sementara adiknya diam tak bergerak karena
sebongkah batu besar menggelinding dan menggencet
tubuh itu dengan pohon yang masih berdiri tegak. Hanya
kakinya yang tampak bergerak-gerak kebingungan
mencari panjatan untuk mendorong batu besar itu.
Pendekar Mabuk hanya terpental beberapa langkah
dari tempatnya. Namun sempat meringis kesakitan
karena pinggulnya bagai retak karena saat terlempar
pinggul itu menghantam sebatang pohon cemara hingga
daun-daun cemara berguguran. Suto Sinting masih bisa
berdiri walau penuh gerutu karena harus singkirkan
daun-daun cemara dari tubuhnya, ia lekas tenggak
tuaknya untuk hilangkan rasa sakit di tulang pinggulnya.
"Hiaaaah...!"
Suto kaget mendengar suara teriakan besar. Ternyata
Pendeta Mata Lima sentakkan kaki yang tertindih pohon
itu. Sentakan kaki ke atas membuat batang pohon
terlempar terbang ke arah belakang, lalu jatuh di semak-
semak berjarak delapan langkah dari tempatnya. Sebuah
kekuatan tenaga dalam yang besar telah dilepaskan
Pendeta Mata Lima demi singkirkan batang pohon yang
membuat tulang keringnya terasa patah itu.
"Hiaaah...!"
Suto kaget lagi mendengar suara sentakan keras.
Disusul dengan suara gemuruh sekilas. Ternyata suara
itu datang dari Pendeta Jantung Dewa yang berhasil
pecahkan batu besar itu menjadi serpihan kecil. Dengan
begitu tubuhnya yang tergencet batu dapat bebas walau
tulang rusuknya masih terasa sakit, sepertinya ada yang
patah. "Kalau kulayani, bisa-bisa salah satu ada yang mati konyol," pikir Suto.
"Sebaiknya kutinggal pergi menuju Telaga Jompo. Agaknya tak jauh lagi dari sini.
Kalau memang mereka mengejar, akan kuajak bermain kucing-
kucingan! Tak mungkin mereka bisa temukan aku."
Zlaaap...! Suto Sinting sentakkan kaki dan lenyap
bagaikan ditelan bumi. Padahal ia berlari cepat melebihi kilat menuju ke puncak
bukit. Pendeta Mata Lima bisa
lihat gerakan cepat itu karena ketajaman matanya, ia
berseru kepada Pendeta Jantung Dewa,
"Anak itu lari ke puncak! Kejar dia!"
Tanpa menunggu jawaban, Pendeta Mata Lima
bergerak cepat hampir menyamai gerakan Suto Sinting.
Adiknya menyusul dengan kecepatan sama. Jika mereka
tidak berilmu tinggi, mustahil mereka mampu bergerak
cepat dalam keadaan tulang kaki dan tulang rusuk terasa
remuk. Mereka punya cara sendiri untuk hilangkan rasa
sakit itu. Sayangnya gerakan mereka sengaja dipatahkan oleh
pukulan seseorang yang menyerang dengan sinar putih
keperakan. Dua sinar putih keperakan itu menghantam
lambung mereka dan sulit dihindari atau ditangkis lagi.
Claap...! Des, des...! "Aahg...!" keduanya sama-sama mengerang pendek, kemudian tumbang ke bumi.
Serangan itu belum
membuat mereka mati, namun cukup membuat mereka
tak berdaya. Penyerangnya masih sembunyikan diri,
memperhatikan keadaan mereka dari tempat yang amat
terlindung. * * * 6 TELAGA Jompo terletak di tanah datar yang
mendekati puncak bukit. Tanaman di sekelilingnya
membuat rindang tempat itu. Berbatu-batu dan tidak
begitu lebar. Airnya sedikit keruh berwarna kekuning-
kuningan. Dilihat letaknya mendekati puncak bukit,
sudah terbayang keanehan telaga yang ada di situ.
Airnya yang kekuning-kuningan mempunyai kesan
sebagai air yang punya khasiat penyembuhan. Entah
mungkin bercampur belerang, atau endapan tanahnya
yang mengandung obat, yang jelas sebuah danau ada di
puncak bukit merupakan keajaiban tersendiri.
Pandangan Suto Sinting tertuju ke beberapa tempat di
sekitar telaga. Ternyata tak ada seorang pun di sana.
Angon Luwak tidak kelihatan, orang lain pun tak ada.
Benar-benar tempat yang sunyi, tanpa kicau burung dan
suara binatang apa pun kecuali desau angin.
"Luwaaak...!" seru Suto memanggil. "Angon Luwaaak...!"
Tak ada jawaban. 'Lacak Jantung' digunakan.
Ternyata memang tak ada suara detak jantung siapa-
siapa kecuali jantungnya sendiri. Akhirnya Suto Sinting
duduk di salah satu tepi danau itu. Ia menenggak
tuaknya beberapa teguk. Setelah itu hatinya membatin,
"Ke mana anak itu" Jika tak ada di sini, berarti dia berlari dan bersembunyi di
tempat lain. Tapi di mana
kira-kira" Haruskah kutanyakan kembali kepada Sabani,
kakaknya" Ah, capek kalau harus bolak-balik ke sana."
Sesaat kemudian di hati Pendekar Mabuk timbul
kecemasan yang samar-samar.
"Jangan-jangan dia terperosok di jurang sebelah timur tadi" Ah, mudah-mudahan
tidak demikian. Biarlah
kedua pendeta bodoh itu yang terperosok di jalanan tepi
jurang timur itu. Kalau tidak terperosok pasti mereka
sudah mengejar dan menemukanku di sini. Seandainya
mereka menemukanku di sini dan menyerangku, apakah
aku harus melumpuhkan mereka?"
Pikiran Suto sempat melayang-layang tak tentu arah.
Tapi segera dikembalikan pada pokok persoalannya, ia
masih merasa tak habis pikir, mengapa kedua pendeta itu
yakin betul bahwa dirinya telah melihat pedang maha
sakti" "Apakah benar di mataku ada bayangan pedang maha
sakti itu" Jangan-jangan mereka hanya cari gara-gara"
Untuk apa dua orang itu menjadi pendeta di dua biara
jika kerjanya cari gara-gara" Kurasa... tak mungkin.
Pasti mereka memang punya kepentingan dengan
pedang itu, hanya saja dugaan mereka terlalu mengada-
ada. Eh, tapi... kata mereka, tongkat penunjuk arah milik Resi Wulung Gading
mengarah kemari" Hmm... kalau
begitu pusaka tersebut memang benar-benar muncul
kembali dan ada di sekitar sini" Lho, tapi... menurut
Delima Gusti, Pedang Kayu Petir itu ada di tangan Raja
Tumbal dan akan diserahkan sebagai maskawinnya. Ah,
yang benar yang mana kalau begini?"
Suto Sinting garuk-garuk kepala. Minum tuaknya
lagi, dan melepaskan napas panjang sebagai tanda
kelegaan dan kepuasan minum tuaknya.
"Sebaiknya aku ke Lembah Sunyi saja. Jika memang
pertemuan para tokoh tua itu sudah usai, berarti Resi
Wulung Gading sudah sampai di Lembah Sunyi. Pasti
terjadi pembicaraan dengan Delima Gusti. Sebaiknya
aku ikut dalam pembicaraan itu!"
Baru saja Suto Sinting berdiri, tiba-tiba di samping
kirinya telah muncul sesosok tubuh yang tak asing lagi baginya. Perempuan cantik
berkesan liar dengan rambut
acak-acakan. Siapa lagi kalau bukan Angin Betina yang
kecewa karena gagal membujuk Suto untuk tidur
bersamanya. "Hai, Tampan...!" sapa Angin Betina dengan mata tajam menantang cumbuan. Tangan
kirinya menggenggam pedang bersarung. Kapan saja siap
dicabutnya. "Dari mana kau tahu aku ada di sini?"
"Aku tidak tahu kau ada di bukit ini. Tapi aku sempat lihat dirimu diserang
pendeta kakak-beradik itu." Angin Betina mendekat.
Suto diam di tempat sambil matanya perhatikan ke
arah kaki kiri Angin Betina yang ditumpangkan di atas
sebuah batu setinggi satu betis. Kaki yang kanan tetap
menapak di tanah, tangan kirinya yang memegang
pedang bertolak pinggang. Sungguh suatu sikap yang
menantang kemesraan dipamerkan dengan tonjolan
dadanya yang benar-benar membuat lelaki bisa sesak
napas. "Kusangka kau mati digempur mereka berdua,


Pendekar Mabuk 031 Pedang Kayu Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ternyata kebalikannya."
"Apakah kau mengenal mereka?"
"Cukup kenal, karena perguruanku tak jauh dari Biara Genta," jawab Angin Betina
dengan senyum tipis dan
mata memandang mesra.
"Kau juga bertemu dengan mereka saat menuju
kemari?" "Ya. Tapi mereka sempat kurobohkan dengan jurus
'Mustika Perak' yang sukar ditandingi itu."
"Maksudmu, kau membunuh mereka?"
"Tidak. Hanya sekadar melumpuhkan mereka agar
tak mengejarmu sampai sini," ia bersikap acuh tak acuh sebentar, memandang arah
kedatangannya dan kembali
menatap Suto Sinting.
"Mengapa tak kau bunuh saja mereka itu?" pancing
Suto. "Aku punya niat lain. Aku ingin berguru dengan salah satu dari mereka."
"Mengapa" Apa keistimewaan mereka, sehingga kau
ingin berguru pada mereka?"
"Mereka punya Kitab Lorong Zaman. Aku ingin
mempelajarinya."
Suto Sinting berkerut, berjalan dekati Angin Betina
hingga dalam jarak dua langkah di depan perempuan itu
baru berhenti. "Apa itu Kitab Lorong Zaman?" tanya Suto bersuara lirih.
"Ilmu yang membuat kita bisa melompat dari zaman
sekarang ke zaman yang lalu, atau zaman akan datang."
Kerutan di dahi menghilang, berganti senyum geli
yang disertai pandangan tertuju ke arah air telaga.
Senyum itu berkesan meremehkan, sehingga Angin
Betina terpaksa ngotot agar ucapannya dipercaya.
"Mereka benar-benar punya kitab tersebut! Guruku
dulu pernah mau mencurinya, tapi selalu gagal. Sekarang
aku akan berguru kepada mereka sampai dapatkan ilmu-
ilmu yang ada dalam Kitab Lorong Zaman itu. Selama
ini, hanya mereka berdua yang bisa mental ke zaman
lalu atau zaman mendatang seperti orang lakukan
tamasya saja."
Tawa yang terdengar dari Suto seperti gumam
terputus-putus. Tetapi hati Angin Betina berkata, "Aku suka dengan tawanya.
Gila! Ada yang berdenyut-denyut
di bagian tubuhku begitu mendengar tawanya."
Sesaat kemudian, Suto Sinting memandang ke arah
Angin Betina dan berkata,
"Kalau memang benar mereka punya Kitab Lorong
Zaman, dan kalau benar kau ingin jadi muridnya, berarti
kau harus menjadi seperti mereka. Artinya, harus
berjalan di jalur yang benar. Menjadi bagian dari tokoh aliran putih. Sebab aku
yakin sebenarnya mereka adalah
tokoh sakti dari aliran putih. Hanya karena sedang
hadapi masalah bahaya, maka mereka paksa aku untuk
tunjukkan benda itu. Kurasakan mereka sangat terpaksa
melakukannya demi selamatkan biara mereka."
"Tak keberatan bagiku untuk masuk ke aliran putih,
sebab selama ini naluriku kupaksakan untuk mengikuti
aliran hitam dari guruku; mendiang Nini Pancungsari.
Dan... aku tahu bahaya yang mereka hadapi. Sayang
sekali aku tak akan mampu menolong mereka."
"Apa bahaya itu?"
"Mereka terancam oleh orang-orang Lumpur Maut."
Suto berkerut dahi secepatnya. "Raja Tumbal,
maksudmu?"
"Ya. Raja Tumbal bermaksud menaklukkan kedua
biara itu, sebab kedua biara itu dianggap perguruan yang berbahaya jika sampai
bersatu. Selama ini kedua biara
itu tidak bisa bersatu karena ada perbedaan pendapat
mengenai aliran kepercayaan mereka. Ancaman dari
Raja Tumbal itulah yang membuat mereka harus bisa
mendapatkan Pedang Kayu Petir, sebab mereka tahu
bahwa Raja Tumbal telah memiliki pusaka Seruling
Malaikat."
"Bukankah Pedang Kayu Petir sudah ada di tangan
Raja Tumbal?"
Angin Betina gelengkan kepala dengan tenang.
"Tidak mungkin, sebab jika Raja Tumbal sudah
memiliki pedang yang asli, tentunya kedua biara sudah
diserangnya, negeri Muara Singa sudah direbutnya, dan
negeri-negeri lain sudah ditumbangkannya. Sampai
sekarang Raja Tumbal belum mau bergerak, sebab ia
punya firasat munculnya pedang maha sakti itu. Ia harus
mencarinya lebih dulu agar tak menjadi penghalang
gerakan makarnya nanti."
Suto diam dan manggut-manggut. "Agaknya kau
cukup banyak mengetahui tentang Raja Tumbal."
"Guru pernah menugaskanku untuk menyusup ke
sana guna mencuri Seruling Malaikat-nya. Tapi sebelum
niat itu terlaksana, sudah kudengar kabar tentang
kematian Guru, sehingga aku pun meninggalkan Lumpur
Maut!" jawab Angin Betina jujur tapi tegas.
"Perempuan itu jujur sekali," pikir Suto. "Sepertinya dia tak pernah merasa
takut sedikit pun dengan
kejujurannya. Tak punya malu dengan kesalahannya, ia
berani menghadapi akibat apa pun dari semua
tindakannya, bahkan ia tampak sebagai orang yang siap
dikecam oleh siapa pun. Sikap itu sebenarnya sangat
baik. Seandainya dia benar-benar telah masuk sebagai
tokoh beraliran putih, sikap itu pasti lebih membantunya dalam merebut simpati
dari para tokoh tua!"
Pendekar Mabuk kini tahu apa yang ada pada Raja
Tumbal. Kabar tentang Pedang Kayu Petir di tangan
Raja Tumbal hanya sebuah kebohongan semata. Jelas
bahwa Raja Tumbal sengaja memancing minat sang
Adipati dengan janji maskawin pedang pusaka hanya
untuk merebut perhatian sang Adipati dan dapat
mengawini Delima Gusti. Berarti Delima Gusti akan
tertipu mentah-mentah oleh siasat Raja Tumbal. Hal ini harus dicegah, dan Suto
harus beberkan kepada
sahabatnya itu; Delima Gusti.
Tetapi sebelumnya, Suto perlu tanyakan sesuatu
kepada Angin Betina yang mengaku pernah menyamar
sebagai anggota Lumpur Maut.
"Apakah kau tahu kehebatan Seruling Malaikat?"
"Sangat tahu. Sebab aku pernah lihat sendiri Raja
Tumbal membantai lawan-lawannya dengan Seruling
Malaikat itu."
"Dan kau tahu kelemahannya?"
Angin Betina diam sebentar. Matanya yang jeli itu
memandang permukaan air telaga sebentar, lalu beralih
ke wajah Suto Sinting sambil menjawab,
"Tidak. Aku tidak tahu kelemahannya. Dan kurasa...
tak ada kelemahan pada pusaka itu, sebab dihancurkan
pun tak bisa."
"Dihancurkan pun tak bisa"!" gumam Suto sambil manggut-manggut. Satu lagi
kekuatan Seruling itu
diketahuinya. Paling tidak jika nantinya ia harus
berhadapan dengan Raja Tumbal, maka ia tidak akan
mencoba menghancurkan Seruling itu, agar tidak buang-
buang waktu dan tenaga.
"Kurasa hanya bisa dikalahkan dengan Pedang Kayu
Petir yang sudah kau temukan itu, Suto."
Tentu saja Pendekar Mabuk terkejut mendengar kata-
kata Angin Betina yang diperdengarkan secara tiba-tiba
itu. Dengan cepat mata yang semula memandang ke
tempat lain, kini menatap mata jeli si rambut amburadul
itu. "Kau sangka aku telah mendapatkan pedang maha
sakti itu?"
"Apa yang dikatakan kedua pendeta tadi kudengar
jelas dari tempat persembunyianku. Sengaja aku
mengikuti langkah mereka dari kejauhan ketika kulihat
mereka meninggalkan Bukit Lajang. Aku memang
terlambat tiba di sana. Mereka telah bubar. Tapi
percakapan kedua pendeta itu akan kujadikan sumber
beritaku mengenai hasil pertemuan para tokoh sakti
tersebut. Dan kudengar dengan jelas bahwa pedang itu
ada di arah bukit ini, atau wilayah sekitarnya. Aku juga mendengar mereka
melihat bayangan pedang ada di bola
matamu. Itu benar. Sebab setahuku, mereka bisa melihat
apa yang pernah dilihat seseorang sebelum lewat tengah
malam." "Aku tidak tertarik untuk mempercayai kata-kata itu."
"Karena kau belum tahu persis siapa mereka," sergah Angin Betina sambil turunkan
kakinya yang nangkring
di atas batu itu. Bahkan ia sengaja dekati Suto kurang
dari satu langkah. Beradu pandang dengan tegar, berkata
dengan suara bisik yang memiliki nada tegas.
"Kau memang pernah melihat pedang itu. Kau pasti
merahasiakannya!"
"Percakapan ini semakin tidak menarik bagiku, sebab aku makin tak tahu harus
bilang apa padamu jika
kebenaranku kau sanggah, Angin Betina!"
"Aku tidak bermaksud merebutnya. Percayalah, aku
hanya bermaksud membantumu menjaga pedang itu asal
kau jujur padaku!"
"Maaf, kejujuranku sudah kau remehkan. Tak ada
lagi kejujuran. Aku harus segera pergi. Sampai jumpa
lagi, Angin Betina!"
"Tunggu...!"
Wuuut...! Tangan perempuan itu cepat sekali mencekal lengan
Suto yang keras dan kekar itu. Suto Sinting tak jadi
bergerak. Wajahnya kembali menatap dalam jarak sangat
dekat. Angin Betina berkata lirih,
"Ada satu hal yang ingin kukatakan padamu."
"Tentang apa?"
"Kau tampan!"
Pegangan tangan dilepaskan, seakan Angin Betina
sudah tak keberatan jika terpaksa ditinggal pergi
Pendekar Mabuk. Tapi si Pendekar Mabuk sendiri justru
diam bagaikan terpaku di tempat. Ucapan itu pelan,
penuh kesungguhan dalam mengungkapkan penilaian
hatinya. Diamnya Suto dimanfaatkan oleh Angin Betina
untuk berkata lagi,
"Aku suka padamu, dan berjanji akan
melindungimu!"
"Berani sekali kau berkata begitu padaku. Apakah
kau tak merasa malu, sebagai perempuan menyatakan isi
hatimu di depanku?"
"Aku lebih malu jika kau yang menyatakan rasa suka
padaku lebih dulu!"
"Aneh!" Suto Sinting tertawa, tapi tiba-tiba Angin Betina menyentak lirih,
"Jangan tertawa!"
"Kenapa" Aku tertawa pakai mulutku sendiri"!"
"Tawamu makin memancing gairahku," jawabnya
dalam desah yang menggiring khayalan kepada sebentuk
kehangatan. Suto Sinting hanya tersenyum, matanya
sempat melirik nakal ke dada Angin Betina. Perempuan
itu pun berkata lirih lagi,
"Jangan hanya melirik kalau kau berani! Lakukanlah!
Tunjukkan keberanianmu sebagai seorang lelaki yang
mestinya mampu tundukkan wanita sepertiku!"
Suto kian lebarkan senyum dan menggeleng. "Tidak.
Anggap saja aku pengecut untuk urusan ini! Selamat
tinggal!" Zlaaap...! Weesss...!
Suto Sinting segera pergi, tak mau memperpanjang
percakapan dan pertemuan dengan Angin Betina. Hati
kecilnya mulai tergelitik. Darah asmaranya mulai
terbakar. Suto takut tak mampu menahan tuntutan
batinnya yang ingin memegang dada itu, sekadar
mengukur seberapa kebesarannya.
"Melawan nafsu lebih sulit daripada melawan
Siluman Tujuh Nyawa. Daripada aku mati berdiri
dengan kaku, lebih baik kutinggalkan saja si penggoda
yang pemberani itu!" pikirnya dalam perjalanan kilatnya
menuju Lembah Sunyi, ia tak tahu bahwa Angin Betina
mengikuti dari belakang dengan gerakannya yang juga
menyerupai angin badai, sehingga ia berjuluk Angin
Betina. Sampai di pondok Resi Wulung Gading, ternyata
Suto Sinting sudah tidak bertemu dengan Delima Gusti.
Menurut Sukat, Delima Gusti pergi ke Jurang Lindu
mencari Suto. Ia berangkat tadi pagi, setelah ayam
berkokok karena gembira melihat matahari lagi.
"Apakah Resi Wulung Gading sudah tiba di tempat?"
"Sudah," jawab Sukat. "Guru sedang murung, sekarang duduk sendirian di taman
belakang. Mari kuantar menemui Guru."
Memang benar apa kata Sukat, wajah sang tokoh tua
keponakan dari Nini Galih, gurunya Bidadari Jalang itu
sedang murung. Tapi ketika ia mengetahui kedatangan
Suto Sinting, kemurungan tersebut segera ditekan
dalam-dalam dan disembunyikan di belakang paru-
parunya. Wajah tenang dan berkharisma kembali terlihat
nyata. "Menyesai sekali Delima Gusti pergi selang beberapa saat sebelum aku pulang dari
Bukit Lajang," kata Resi Wulung Gading. "Pasti anak itu punya masalah yang
ingin dibicarakan denganku. Kudengar dari Dul, kau
yang mengantarnya."
"Benar. Memang saya yang mengantarnya kemari...,"
lalu Suto menceritakan masalah yang dihadapi Delima
Gusti. Cerita itu membuat Resi Wulung Gading
tersenyum tipis sekali.
"Tidak. Pusaka itu tidak ada di tangan Raja Tumbal,"
katanya sambil melangkah, tongkatnya berwarna hitam
kecoklatan itu digunakan sebagai penopang tubuh pada
saat berjalan pelan. Suto Sinting menyertainya dari
samping. Mereka mengelilingi taman yang tidak terlalu
luas namun ditata rapi oleh Sukat.
"Pedang itu masih tetap tidak bisa diteropong di mana letaknya. Tapi tongkatku


Pendekar Mabuk 031 Pedang Kayu Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini sejak tadi menunjuk ke arah kedatanganmu. Aku yakin pusaka itu ada di utara.
Dan aku yakin, kau sudah melihat pusaka itu."
Suto Sinting diam, tapi batinnya menggumam heran,
"Mengapa Resi Wulung Gading berpendapat seperti
kedua pendeta itu" Aku lagi yang jadi sasarannya.
Padahal aku merasa tidak pernah melihat pedang sesakti
itu. Andai kukatakan yang sebenarnya, apakah Resi
Wulung Gading mau percaya?"
Langkah sang Resi terhenti, ia sengaja memandang
Suto dan berkata,
"Mengapa pedang itu tidak kau ambil?"
"Resi, sesungguhnya apa yang terjadi pada diri saya, sehingga Pendeta Jantung
Dewa dan Pendeta Mata Lima
juga berpendapat seperti itu" Padahal saya merasa belum
pernah melihat pedang pusaka itu."
Resi Wulung Gading tertegun sejenak, setelah itu
berkata, "Jantung Dewa dan Mata Lima menduga hal
yang sama denganku" Berarti benarlah dugaanku, karena
Mata Lima bisa melihat bayangan yang ada di mata
seseorang, demikian pula adiknya; si Jantung Dewa.
Cuma...," Resi Wulung Gading diam sebentar.
Langkahnya diteruskan dengan pelan-pelan.
"Apakah menurutmu kedua pendeta itu menghendaki
pedang tersebut?"
"Benar, Resi!"
"Bahaya!" gumam Resi Wulung Gading. "Mereka bisa membawa lari pedang itu ke masa
akan datang di saat aku telah tiada. Mereka punya ilmu 'Tembus Waktu'
yang tidak dimiliki orang lain."
"Mereka memerlukan pedang itu untuk melawan Raja
Tumbal, sebab biara mereka terancam oleh Raja Tumbal,
Resi." "Hmmm...!" Resi Wulung Gading manggut-manggut.
"Kalau begitu mereka tidak bermaksud jahat. Mereka hanya membutuhkan keamanan
dan keselamatan, baik
keselamatan jiwa maupun keselamatan biara mereka!
Mengapa tak kau bantu, Suto?"
"Bagaimana saya harus membantu, saya tidak punya
pedang itu, Resi! Raja Tumbal punya Seruling Malaikat
yang dapat menghancurkan raga saya dari kejauhan, atau
dari tempat yang tersembunyi."
Langkah sang Resi terhenti lagi. "Percayalah, apa
yang dikatakan mereka itu benar. Mata Lima memang
sedikit galak, tapi hatinya baik. Kau pasti sudah melihat pedang itu."
Suto Sinting tarik napas. "Baiklah kalau anggapan itu memang benar. Tapi tolong
jelaskan seperti apa ciri-ciri pedang itu, Resi Wulung Gading?"
"Pedang itu bergagang coklat kusam, seperti mau
keropos. Mata pedangnya terbuat dari kayu warna putih
kusam, seperti lapuk. Tepiannya geripis, dan... pokoknya bentuknya tidak
menarik. Semua terbuat dari kayu
sederhana dan kasar. Seperti pedang buat mainan anak-
anak!" Seketika itu pula Suto terperanjat kaget. "Angon
Luwak..."!" gumamnya dalam hati, karena yang
terbayang di otaknya adalah pedang yang dipakai
perang-perangan oleh Angon Luwak. Pedang itulah
Pedang Kayu Petir. Suto gemetar dan berdebar-debar
sambil bertanya dalam hati, "Di mana anak itu berada sekarang"!"
* * * 7 RESI Wulung Gading mengatakan, bahwa Seruling
Malaikat tidak mempunyai kelemahan. Satu-satunya
cara menghadapi Seruling Malaikat adalah, "Jangan beri kesempatan Raja Tumbal
meniup Seruling itu!"
Pendekar Mabuk punya kesimpulan, "Harus
menyerang lebih dulu sebelum diserang. Karena jika
Raja Tumbal diserang lebih dulu, maka ia tidak punya persiapan untuk meniup
serulingnya. Syukur bisa
membuat dia tidak punya kesempatan untuk mengambil
pusaka itu!"
Itu berarti Suto Sinting harus lakukan penyerangan
mendadak ke Lumpur Maut. Padahal ia tidak
mengetahui di mana wilayah Lumpur Maut. Maka,
hatinya pun membatin,
"Aku harus minta bantuan Angin Betina! Di mana
perempuan itu sekarang?"
Pendekar Mabuk dihadapkan pada beberapa
persoalan yang memusingkan kepala. Pertama, ia harus
mencari di mana Angon Luwak, agar Pedang Kayu Petir
yang ada di tangan anak itu tidak jatuh ke tangan orang
sesat. Kedua, ia harus temukan Delima Gusti dan
memberi tahu tentang siasat Raja Tumbal yang ingin
memperistrinya dengan maskawin Pedang Kayu Petir
palsu. Sebab Suto yakin, jika sampai Raja Tumbal
serahkan sebuah pedang yang menurutnya adalah
Pedang Kayu Petir, maka pedang tersebut adalah pedang
palsu. Selain itu Suto Sinting juga harus segera temukan
Angin Betina. Perempuan itulah yang bisa membawanya
ke Lumpur Maut, dan perempuan itulah yang akan
digunakan sebagai pancingan. Sebab Suto percaya
bahwa Angin Betina pasti benar-benar pernah menyusup
ke Lumpur Maut, karena ia tahu banyak tentang rencana-
rencana Raja Tumbal. Kekuatan Angin Betina pun dapat
dimanfaatkan untuk menggempur kekuatan Raja
Tumbal. Jika usaha itu berhasil, Raja Tumbal berhasil
ditumbangkan, maka negeri Muara Singa akan bebas
dari ancaman maut penguasa Lumpur Maut. Di samping
itu Biara Damai dan Biara Genta juga akan terbebas dari
ancaman kehancuran tangan keji Raja Tumbal.
Tetapi agaknya kedua Pendeta kakak-beradik itu
terpaksa harus berhadapan dengan utusan Lumpur Maut
sebelum berhasil mendengar rencana Pendekar Mabuk.
Karena Raja Tumbal
diam-diam mengikuti perkembangan gejolak dunia persilatan yang meributkan
kemunculan pedang maha sakti itu. Orang yang diutus
itu bukan lagi Ki Wirogo, yang kini justru telah dibunuh oleh Raja Tumbal
sendiri karena gagal melawan Tandu
Terbang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Tandu Terbang"). Orang yang diutus Raja Tumbal kali ini mempunyai tingkat ilmu
yang lebih tinggi dari Ki
Wirogo. Tentu saja nyawa tetap menjadi jaminan bagi
keberhasilan tugas.
Rajang Lebong dan Pangkas Caling adalah dua orang
Lumpur Maut kepercayaan Raja Tumbal. Mereka berdua
mempunyai ilmu 'Ludah Iblis', sebuah ilmu yang
Pedang Golok Yang Menggetarkan 7 Pendekar Bloon 10 Sang Maha Sesat Terjebak Bencana Gaib 1
^