Pencarian

Pedang Kayu Petir 3

Pendekar Mabuk 031 Pedang Kayu Petir Bagian 3


membuat mereka sulit dibunuh. Jika salah satu mati,
yang satunya lagi meludahi mayat temannya itu, maka
sang mayat akan bangkit dan hidup kembali. Hanya
mereka berdua yang menekuni ilmu 'Ludah Iblis',
sehingga dari sekian banyak anak buah Raja Tumbal,
hanya merekalah yang memiiiki ilmu tersebut. Biasanya
mereka ditempatkan di kanan-kiri Raja Tumbal sebagai
orang kepercayaannya. Tapi kali ini agaknya Raja
Tumbal merelakan mereka pergi dari sampingnya demi
mendapatkan Pedang Kayu Petir itu.
Tugas Rajang Lebong dan Pangkas Caling adalah
mencari tahu di mana Pedang Kayu Petir itu berada. Jika
memungkinkan untuk merebut dan membawa pulang
Pedang Kayu Petir, mereka akan diberi wilayah
kekuasaan sendiri. Setidaknya mereka mengetahui siapa
pemegang Pedang Kayu Petir sekarang, sehingga Raja
Tumbal bisa menghadapinya dengan siasatnya sendiri
dan tentu saja menggunakan Seruling Malaikat-nya.
Tapi jika mereka gagal membawa pulang Pedang Kayu
Petir dan tidak mengetahui siapa pemiliknya, tugas
ketiga bagi mereka adalah bunuh diri dengan cara
sendiri-sendiri.
Mereka berdua berhasil menyadap pembicaraan para
tokoh di Bukit Lajang, sehingga mereka tahu ke mana
harus bergerak, yaitu ke arah utara. Dalam perjalanan
menuju utara itulah mereka berpapasan dengan dua
pendeta dari Biara Damai dan Biara Genta. Pada waktu
itu, Pendeta Mata Lima dan Pendeta Jantung Dewa baru
saja selesai sembuhkan diri akibat serangan sinar perak yang tak diketahui
pemiliknya. Mereka tak tahu bahwa
pemiliknya adalah Angin Betina. Mereka hanya berlari
menuju ke puncak bukit, melintasi Telaga Jompo,
sampai menuruni bukit dari puncaknya. Jalan itu adalah
jalan yang mereka tempuh semula saat datang dari arah
Bukit Lajang. Melihat kedua pendeta itu tampak terburu-buru,
Rajang Lebong segera hentikan langkah, tangan
kanannya direntangkan sedikit yang berarti menyuruh
Pangkas Caling berhenti pula.
"Ada apa?" tanya Pangkas Caling yang berbadan kurua, berpakaian hijau dengan
wajah layak dikatakan
runcing karena dagunya lancip.
"Jantung Dewa dan Mata Lima baru saja dari bukit
itu! Mereka tampak tergesa-gesa. Ada apa kira-kira?"
"Hmmm...!" Pangkas Caling
mengusap-usap kumisnya yang panjang melengkung ke bawah. Lalu
berkata dengan suara mirip orang menggumam,
"Pasti mereka sudah dapatkan keterangan tentang di
mana pedang pusaka itu dan siapa pemegangnya! Pasti
mereka sedang mengejar si pemilik pedang itu!"
Rajang Lebong yang berpakaian merah, berikat
kepala merah dengan rambut botak depan dan sisanya
panjang lewat pundak itu segera berkata,
"Hadang mereka! Paksa supaya buka mulut!"
Wuss, wuus...! Keduanya segera berkelebat menghadang langkah
kedua pendeta itu. Sapaan kedua utusan Lumpur Maut
yang pertama kali adalah melesatnya selarik sinar kuning ke arah punggung
Pendeta Jantung Dewa. Claaap...!
Tetapi Pendeta Jantung Dewa ternyata mempunyai gerak
naluri yang cukup peka, karena dalam keadaan penuh
waspada. Tak mau kecolongan lagi seperti tadi.
"Awas...!" serunya sambil jejakkan kaki dan
tubuhnya melenting di udara. Wuuus...!
Pendeta Mata Lima mendengar seruan itu tanpa
banyak tanya lagi, sentakkan kakinya dan, wuuut...!
Wuk, wuuk...! Bersalto di udara dua kali masih
merupakan kelincahan yang dimiliki orang setua dia.
Kini keduanya sudah kembali mendarat di tanah dan
langsung menghadang lawannya, tak pedulikan sinar
kuning tadi kenai pohon itu langsung kering dari pucuk
sampai akarnya.
"Rajang Lebong dan Pangkas Caling, mau apa kalian
menyerang kami!" tegur Pendeta Jantung Dewa dengan
kalem. Senyum Pangkas Caling diperlihatkan kesinisannya,
tapi bagi Pendeta Jantung Dewa, yang dipamerkan
adalah dua gigi taring yang sedikit lebih panjang dari
barisan gigi lainnya. Pangkas Caling menyeringai mirip
hantu tersipu malu.
Sekalipun yang menyeringai Pangkas Caling, tapi
yang bicara adalah Rajang Lebong yang punya badan
agak gemuk, bersenjata golok lengkung terselip di depan
perutnya. Beda dengan Pangkas Caling yang bersenjata
parang panjang di pinggang kirinya.
"Kulihat kalian berdua tadi ada di Bukit Lajang!"
"Memang benar!" jawab Pendeta Jantung Dewa.
Tegas dan jujur.
"Tentunya kalian telah berhasil peroleh keterangan tentang pedang pusaka itu.
Terbukti kalian berbalik arah dan sangat terburu-buru."
"Jika benar, mau apa kalian?" sahut Pendeta Mata Lima. Ia bersikap lebih tegas
lagi, dan sikapnya
langsung menentang tanpa basa-basi.
"Beri tahu kami, di mana pedang itu dan siapa
pemegangnya yang sekarang!" Pangkas Caling segera
menyambar percakapan sebelum Rajang Lebong bicara.
"Kami hanya melihat bayangan pedang itu saja," kata Pendeta Jantung Dewa. "Kami
tak tahu persis di mana pedang itu dan siapa sekarang yang memiiikinya!"
"Apakah aku harus memaksa mulut kalian agar
bicara"!" ujar Rajang Lebong dengan nada sinis. Pendeta Mata Lima tak sabar dan
berkata sinis juga,
"Apakah kalian mampu?"
"Rajang Lebong!" sentak Pangkas Caling, "Kita disepelekan! Hajar dia!" Wuuut...!
Craaak...! Pendeta Mata Lima mendahului gerakan Rajang
Lebong yang sudah siap-siap lakukan serangan. Pendeta
Mata Lima kibaskan tasbihnya ke depan dan
memerciklah bunga api warna hijau terang yang
langsung menerjang tubuh Rajang Lebong. Tetapi
tangan Pangkas Caling cepat-cepat menyentak ke depan
dan menghembuslah angin badai kecil
yang berkecepatan tinggi. Wuuussss...!
Cahaya hijau yang memercik-mercik itu menyingkir
arah dan terhempas badai dari tangan Pangkas Caling.
Sinar itu menghantam gugusan batu. Praak...! Gugusan
batu hancur menjadi butiran-butiran sebesar biji pepaya.
Seperti biasa, jika terjadi pertarungan, Pendeta
Jantung Dewa menyingkir lebih
dulu. Seakan memberikan kesempatan kepada kakaknya untuk
menangani lawan mereka dan mempercayakan
perlawanan kepada sang kakak. Pendeta Jantung Dewa
diam di bawah pohon dengan tenang, memperhatikan
kakaknya menghadapi kedua utusan Lumpur Maut itu.
"Kalian memang pendeta yang bodoh! Kalian pikir
usia kalian masih mampu melampau batas dua tahun
lagi" Tidak! Usia kalian tinggal sejengkal. Untuk apa
kalian paksakan diri melawan kami" Lebih baik kalian
katakan di mana pedang itu daripada kami percepat
kematian kalian berdua!" kata Rajang Lebong.
"Jangan banyak bicara! Buktikan saja
kemampuanmu."
"Keparat! Benar-benar orang tua tak bisa diberi
ampun kau! Heaaah..!"
Rajang Lebong segera melompat sambil cabut golok
lengkungnya. Wees...! Golok ditebaskan ke wajah
Pendeta Mata Lima. Tapi orang yang mau ditebas
wajahnya lompat mundur satu kali. Suuut...! Jauhnya
bisa empat langkah. Lalu dari mata kirinya melesat sinar biru lima larik kecil-
kecil seperti benang.
Slaaap...! Jraab...! Lima sinar itu menghantam tubuh Rajang Lebong.
Melesatnya lima sinar biru adalah sesuatu yang sangat
tidak diduga-duga, sehingga Rajang Lebong sempat
terkejut. Namun belum selesai rasa kagetnya ia sudah
harus terjungkal ke belakang dan jatuh di depan kaki
Pangkas Caling. Bruuuhk...!
"Uuhhgg...! Rajang Lebong mengerang. Matanya
yang lebar mendelik. Tubuhnya menjadi merah matang.
Demikian pula wajahnya. Alisnya lenyap terbakar,
demikian pula rambut belakangnya. Tinggal sisa bagian
belakang, itu pun menjadi keriting bagai disambar petir.
Tubuh itu mengejang sesaat, untuk kemudian terkulai
lemas dengan napas terhempas. Tapi selanjutnya Rajang
Lebong bagai orang malas bernapas karena nyawanya
melayang meninggalkan raga.
"Bangsat kau, Mata Lima!" geram Pangkas Caling
dengan mata melebar penuh amukan dendam. Sebelum
ia lakukan serangan balasan, lebih dulu mayat Rajang Lebong itu diludahi satu
kali. "Cuih...!"
Plok! Ludah menempel di wajah mayat. Segera
Pangkas Caling melompat tak seberapa jauh. Maju ke
depan dengan kedua tangan yang saling merapat segera
disentakkan membuka ke kanan-kiri.
"Heaah...!"
Dari dada kurus Pangkas Caling melesat sinar lebar
warna merah terang. Sinar itu menyembur ke arah
Pendeta Mata Lima sampai merangkup ke tempat
berdirinya Pendeta Jantung Dewa. Plaaass...!
Seketika itu pula dua pendeta lepaskan jurus pukulan
yang sama tanpa berunding lebih dulu. Tangan kiri
mereka terangkat ke atas dan tangan kanan mereka
menghentak ke kiri bagaikan mendorong sesuatu dari
kanan ke kiri. Wuuut...! Secara bersamaan pula dari lengan kanan mereka
melesat sinar lebar pula berwarna hijau bening.
Wuuus...! Kedua sinar hijau bening itu menghantam sinar
merahnya Pangkas Caling, dan akibatnya sungguh
dahsyat. Kedua sinar itu pecah dan timbulkan ledakan
besar. Bleeng...! Gemanya memenuhi hutan lereng bukit. Tanah yang
dipijak mereka berguncang. Bukit itu bagaikan gunung
yang akan meletus. Lebih dari lima pohon tumbang.
Batu-batu yang ada di atas berhamburan bergulir saling
kejar-kejaran. Gemuruh suara yang timbul bagaikan
suara langit mau roboh. Angin datang, berhembus
menyerupai badai. Awan di angkasa yang semula terang
menjadi gelap. Menggumpal hitam dan bergulung-
gulung. Karena benturan dua jenis sinar itu tadi
menyebarkan asap hitam yang membumbung tinggi
bagaikan mendung tanpa petir.
Tubuh Pangkas Caling tak kelihatan setelah terjadi
kilatan cahaya terang warna ungu akibat benturan tadi.
Tubuh kedua pendeta itu terjungkal lima langkah dari
jarak tempat berdiri mereka tadi. Hidung mereka sama-
sama keluarkan darah, dan wajah mereka sama-sama
menjadi pucat. Mereka sendiri tak sangka kalau akan
terjadi ledakan sedahsyat itu.
"Jantung Dewa, apakah kita masih hidup atau sudah
di nirwana?"
"Kukira kita masih ada di bumi, Mata Lima," jawab Pendeta Jantung Dewa dengan
suara berat dan napas
sesak. Getaran bumi terhenti, angin membadai hilang.
Gemuruh bebatuan yang longsor bersama tanahnya pun
tinggal sisanya. Kedua pendeta itu sudah tegak berdiri
walau sesak napasnya belum teratasi. Tapi pandangan
mata para orang tua itu sudah cukup terang untuk
memandang alam sekitarnya.
Pada waktu itu, keadaan Rajang Lebong yang sudah
mati ternyata bisa bernapas dan bangkit lagi. Sebab
sebelum Pangkas Caling menyerang, terlebih dulu
meludahi wajah Rajang Lebong. Tetapi ia menjadi
bingung melihat keadaan sekeliling yang rusak bagai
dilanda kiamat setempat. Lebih bingung lagi ia mencari-
cari di mana Pangkas Caling berada.
Bagi kedua pendeta tua itu, kebangkitan Raja Lebong
dari kematian bukan sesuatu yang aneh. Sebab mereka
berdua sudah mengetahui kekuatan ilmu mereka. Tapi
bagi sepasang mata yang mengintai dari kejauhan dan
ikut terkena percikan tanah saat terjadi ledakan dahsyat tadi, sungguh heran
melihat Rajang Lebong bangkit
kembali. "Pangkas Caling...!" seru Rajang Lebong dengan terbungkuk-bungkuk karena masih
sempoyongan. "Pangkas Caling, di mana kau"!"
"Di sini...!" seru sebuah suara dari arah timur. Bukan hanya Rajang Lebong yang
berpaling ke timur,
melainkan kedua pendeta dan sepasang mata pengintai
itu juga memandang ke arah timur. Rajang Lebong kaget
melihat keadaan Pangkas Caling yang hanya kelihatan
kepaianya saja, sekujur tubuhnya terkubur tanah longsor.
Kepala itu berwajah kotor penuh tanah, nyaris tak dapat
dikenali sebagai kepala manusia, karena mirip dengan
kelapa kering yang terkelupas sabutnya secara acak-
acakan. "Maling kuntet!" geram Rajang Lebong. "Kenapa kau diam saja di situ"! Lekas
bangun! Lawan kita masih
tegar!" sambil Rajang Lebong bergegas menghampiri Pangkas Caling. Begitu ia
mendekat, Pangkas Caling
yang jengkel karena dikecam itu segera meludah.
Cuih...! Plok! "Monyet!" sentak Rajang Lebong memaki sambil


Pendekar Mabuk 031 Pedang Kayu Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengusap wajahnya yang kena ludah lagi itu. "Aku
sudah hidup. Tak perlu kau ludahi lagi!"
"Aku tahu! Tapi kau jangan mengecamku! Cepat
bantu aku keluar dari timbunan tanah longsor ini!"
sentak Pangkas Caling. Matanya mau mendelik tapi
buru-buru berkedip-kedip karena tanah di alisnya rontok
dan masuk ke mata.
Sementara Rajang Lebong membongkar timbunan
tanah untuk keluarkan tubuh Pangkas Caling, di sisi lain Pendeta Mata Lima
berkata kepada adiknya,
"Kita serang mereka saat begitu biar mati bersama.
Jika mereka mati bersama maka tak ada yang bisa saling
meludahi!"
"Tentu saja, sebab tak pernah ada mayat yang bisa
saling meludahi. Tapi itu licik namanya. Beri
kesempatan mereka bangkit dan berhadapan kembali
dengan kita! Seandainya mereka harus mati bersama,
biarlah mati secara ksatria, dan kita menang pun dengan
hormat!" Rajang Lebong menarik tubuh Pangkas Caling.
Bruuus...! Tubuh itu terangkat ke atas dan berhasil
keluar dari timbunan tanah. Tetapi keduanya sama-sama
kaget, matanya memandang ke bawah. Ternyata kaki kiri
Pangkas Caling terpotong sebatas lutut.
Pangkas Caling menyeringai memandangi Rajang
Lebong, antara menahan sakit, marah, dan sedih. Rajang
Lebong salah pengertian dan berkata,
"Jangan tersenyum!"
"Matamu itu yang tersenyum!" makinya dengan
kasar. "Lihat... kakiku ketinggalan di dalam sana!"
Pangkas Caling ingin menangis.
Rajang Lebong bingung. "Mau diambii percuma juga,
nyambungnya bagaimana"!" ucapnya pelan dan hati-
hati. "Balas! Buntungi kepala dua pendeta itu! Balas...!"
teriaknya dengan marah bercampur sedih.
"Heaaat..!" Rajang Lebong berlari dengan geram kemarahan terpancing. Tab, tab,
tab...! ia melompat
dengan gerakan jungkir balik yang cepat. Jleeg! Tiba di
depan kedua pendeta itu dengan napas terengah-engah.
Golok lengkungnya ketinggalan di tempat timbunan
tanah yang mengubur tubuh Pangkas Caling. Tapi hal itu
tidak jadi masalah buat Rajang Lebong. Niatnya
membalaskan kebuntungan kaki temannya sangat besar,
sehingga dengan geram ia berkata, "Sudah saatnya kaki dibalas kepala!
Heaaat...!" Rajang Lebong keluarkan sinar dari kedua telapak tangan yang selesai
digosokkan dan disentakkan ke depan. Sinar biru itu melesat
terputus-putus bagaikan senjata yang dilepaskan dari
tempatnya. Clap, clap, clap, clap...!
Duaaar! Blaar! Daaar..! Taar...! Blaar...! Sinar biru itu terus-terusan keluar
dari telapak tangan Rajang Lebong.
Pemiliknya bersalto ke sana-sini, melompat kian kemari.
Kedua pendeta itu dihujani sinar biru yang bagaikan
peluru tanpa ada habisnya. Teriakan Rajang Lebong
bagai orang kesurupan yang mengamuk ganas.
"Heaaat...! Hiaaah ..! Heeeaaah. .!' Clap, clap, clap...!
Gerakan memutari kedua pendeta membuat Rajang
Lebong sulit diserang baiik. Bahkan sinar biru yang
berbenturan dengan sinar sinar dari kedua pendeta itu
hanya hasilkan ledakan-ledakan yang tak mampu
membuat tubuh Rajang Lebong terpental. Jraab...!
Dees...! Dua sinar biru itu akhirnya berhasil kenai punggung
Pendeta Jantung Dewa, dan mengenai pinggang Pendeta
Mata Lima. Keduanya sama-sama jatuh dengan tubuh
mengejang dan menjadi hitam. Tetapi agaknya Rajang
Lebong belum puas. Lebih-lebih Pangkas Caling berseru
dari tempatnya yang agak jauh,
"Hancurkan! Jadikan mereka debu dengan jurus 'Pasir Neraka'! Cepaaat...!"
Tetapi tiba-tiba sekelebat sinar hijau dari telapak
tangan sang pengintai melesat lebih dulu sebelum
Rajang Lebong lepaskan jurus 'Pasir Neraka'
andalannya. Zlaaap...! Sinar hijau yang dinamakan jurus
'Pecah Raga' itu tepat kedai dada Rajang Lebong.
Deeub...! Blaaarrr...!
Apa yang terjadi sungguh tak diduga-duga oleh
Pangkas Caling. Tubuh Rajang Lebong hancur. Pecah
menjadi serpihan-serpihan daging dan tulang yang
menyebar ke mana-mana. Bahkan darahnya sendiri tak
bisa terkumpulkan. Ada yang membasahi batu, pohon,
daun, ilalang, dan ke mana saja tak jelas bentuknya,
hanya warna merah yang membuat alam sekitarnya
bagai berbunga indah. Sedangkan Pangkas Caling
gemetar antara takut dan memendam murka, ia sempat
berkata pada dirinya sendiri,
"Kalau begini matinya, bagaimana aku bisa meludahi
Rajang Lebong" Apanya yang harus kuludahi"! Celaka!
Ada orang yang membantu kedua pendeta itu! Ilmunya
pasti lebih tinggi! Sebaiknya aku harus lekas-lekas kabur saja!"
Pangkas Caling larikan diri dengan satu kaki. Sedikit
lambat, tapi termasuk cepat bagi orang awam. Sentakan
kakinya mengayunkan tubuh dengan ringan bagaikan
terbang. Wuus...! Wuuuus...! Wuuus...! Dalam beberapa
waktu saja ia sudah tidak kelihatan.
Sang pengintai segera muncul. Gerakannya sangat
cepat. Zlaaap...! Tahu-tahu ia sudah berada di samping
dua pendeta yang masih sekarat dalam keadaan tubuh
hangus tapi pakaian tidak terbakar sedikit pun. Pengintai itu tak lain adalah
Pendekar Mabuk, Suto Sinting, yang
bertujuan menemui Sabani, kakak Angon Luwak melalui
bukit itu seperti perjalanan saat menuju Lembah Sunyi.
"Agaknya masih bisa kutolong. Mereka masih punya
napas!" kemudian Suto Sinting segera meminumkan
tuaknya ke mulut kedua pendeta itu dengan sedikit susah
payah karena kedua pendeta itu bergigi rapat, menggigit
kuat menahan rasa sakit yang luar biasa.
Setelah keduanya berhasil diminumi tuak, beberapa
saat kemudian kulit yang hangus terbakar itu mulai
pudar, kian lama kian kembali ke warna aslinya. Napas
mereka pun mulai teratur. Tapi badan mereka masih
lemah. Mereka didudukkan oleh Suto Sinting.
Kedua pendeta itu terkejut setelah menyadari orang
yang menolongnya adalah Suto Sinting, yaitu orang
yang sedang dikejar-kejar untuk didesak agar
memberitahukan letak benda pusaka itu. Mereka jadi
tertegun beberapa saat memandangi Pendekar Mabuk.
Hati mereka gundah karena bingung harus bersikap
bagaimana terhadap Suto Sinting.
Akhirnya Pendeta Jantung Dewa berkata, "Terima
kasih atas pertolonganmu. Sempat kulihat sinar hijaumu
kenai dada Rajang Lebong dan pecahlah raga orang itu.
Tapi ketahuilah, ini sebuah kesempatan emas bagi Raja
Tumbal untuk menyerang biara kami dengan alasan
pembalasan terhadap kematian Rajang Lebong!"
"Jangan takut, saya akan membantu memperkuat
biara!" kata Suto Sinting.
"Apakah kau akan serang Raja Tumbal dengan
pedang pusaka itu?"
"Ya. Tapi aku harus cari pedang itu dulu. Eyang! Aku tahu siapa yang membawa
pedang itu. Dan aku tak sadar
kalau aku telah melihat pedang pusaka itu!"
Pendeta Mata Lima berusaha bangkit dengan pelan-
pelan. Ia berhasil berdiri tegak setelah dibantu oleh Suto Sinting.
"Sebaiknya katakan pada kami siapa yang membawa
pedang itu!" kata Pendeta Mata Lima. "Jangan bikin persoalan lagi dengan kami,
Suto Sinting."
Suto Sinting tarik napas menahan rasa jengkel.
Pendeta Jantung Dewa pun bangkit berdiri dan berkata
kepada kakaknya,
"Dia sudah selamatkan jiwa kita! Mengapa kau masih
mendesaknya dengan cara seperti itu, Mata Lima"!"
"Karena kita butuh pedang itu!"
"Serahkan saja semuanya pada Pendekar Mabuk,
tentunya dia tidak akan tinggal diam melihat orang sesat ingin hancurkan kita!"
"Bagaimana kalau dia ingkar janji setelah dapatkan
pedang itu?"
"Kalau dia mau ingkar janji, dia tidak akan mau
tolong kita saat ini!"
Akhirnya sang kakak mengalah dan tarik napas
dalam-dalam. "Baiklah, kuserahkan kepadamu tentang
keganasan Raja Tumbal itu!" katanya kepada Suto.
"Tetapi izinkan kami membantumu mencari pedang itu, supaya jika kau temui
kesulitan kami bisa membantu."
"Eyang berdua sebaiknya beristirahat saja. Biar aku yang mencarinya!" Suto tetap
bicara dengan ramah.
Tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan bernada
mengejek. Plok, plok, plok, plok, plok, plok...! Lalu
sesosok tubuh muncul dari balik pohon yang tumbuh
miring dan hampir roboh akibat amukan badai tadi.
Kedua pendeta itu dan Suto Sinting segera memandang
kemunculan tokoh sakti yang sudah mereka kenal
sebelumnya. Mereka sedikit terkejut karena ternyata
tokoh itu hadir pula di bukit tersebut, seakan ingin ikut campur urusan Suto dan
dua pendeta. * * * 8 TOKOH yang baru muncul itu berpakaian serba
merah, sabuknya hitam. Di sabuknya itu terselip kipas
putih. Rambutnya putih, sedikit ikal. Ia mengenakan ikat kepala warna hitam.
Kumis dan jenggotnya tak begitu
banyak, tapi berwarna putih rata. Usianya sekitar tujuh
puluh tahun. Kulitnya agak hitam dengan badan sedikit
gemuk. Ketika berjalan mendekati Suto dan dua pendeta itu,
kepalanya terkulai miring, matanya terpejam. Tak ada
gambaran apa pun di wajahnya itu, sebab ia dalam
keadaan sedang tidur. Siapa lagi yang bisa tidur sambil
lompat sana-sini kalau bukan Ki Gendeng Sekarat, bekas
pelayannya si Gila Tuak. Pendeta Jantung Dewa dan
kakaknya tidak heran melihat Ki Gendeng Sekarat
berjalan dalam keadaan tidur, sebab mereka sudah lama
mengetahui ketinggian ilmu Ki Gendeng Sekarat.
"Apa maksudmu bertepuk tangan, Gendeng Sekarat?"
tegur Pendeta Mata Lima.
Dengan suara parau karena dalam keadaan tidur, KI
Gendeng Sekarat menjawab,
"Aku memuji kehebatan Gusti Manggala-ku ini!"
seraya tangannya menuding Suto dengan lemas. "Masih muda, tapi justru akan
menjadi pelindung kalian yang
sudah tua dan berilmu tinggi!"
"Jaga bicaramu agar jangan menyinggung
perasaanku, Gendeng Sekarat!" hardik Pendeta Mata
Lima. Ki Gendeng Sekarat tertawa pendek, seperti orang
mengigau, ia menepuk pundak Suto dan berkata,
"Pendeta yang satu ini memang cepat panas hati dan
mudah tersinggung!"
"Ki Gendeng Sekarat, apa maksud Ki Gendeng
Sekarat datang menemuiku di sini" Apakah ada utusan
dari Puri Gerbang Surgawi?"
Mendengar nama Puri Gerbang Surgawi disebutkan,
kedua pendeta itu tetap tenang. Sebab mereka tahu,
bahwa Suto Sinting adalah orang Puri Gerbang Surgawi.
Noda merah di kening Suto sudah dilihat sejak awal
jumpa. Semestinya mereka merasa sungkan, karena
mereka tahu siapa penguasa negeri Puri Gerbang
Surgawi baik yang di alam gaib maupun yang di alam
nyata, yaitu di Pulau Serindu. Tapi karena terpaksa
sekali, demi pedang pusaka itu, maka kedua pendeta
tersebut melupakan tentang siapa Suto sebenarnya.
Ki Gendeng Sekarat menjawab pertanyaan Suto tadi,
"Aku datang bukan karena tugas dari calon istrimu;
Dyah Sariningrum. Aku datang karena aku dengar ribut-
ribut tentang Pedang Kayu Petir yang sudah puluhan
tahun dianggap lenyap tak berbekas itu. Tentunya
kepergianku atas seizin Ratu Gusti Mahkota Sejati, ya
calon istrimu itu."
Pendeta Mata Lima berkata, "Apakah kau juga ingin
memiliki pedang pusaka itu, Gendeng Sekarat?"
"Pedang itu milik Resi Wulung Gading," jawab Ki Gendeng Sekarat sambil bersandar
di pohon samping
Suto supaya tidurnya enak. Tapi ia tetap bicara walau
masih tertidur.
"Untuk apa aku memiliki pusaka yang bukan hakku"
Kalau aku punya keperluan dengan pusaka itu, lebih
baik aku meminta izin kepada yang memilikinya, dan
meminjam dengan kerelaan hati si pemilik. Tidak
dengan mencari dan merebut sendiri pedang itu!" .
Pendeta Jantung Dewa yang kalem itu menatap
kakaknya. Mereka tahu sedang disindir. Tapi mereka
memang mengakui kesalahan langkah mereka, sehingga
Pendeta Mata Lima hanya tarik napas memendam
penyesalan. Ki Gendeng Sekarat sedikit melorot sandarannya.
Dengkurnya terdengar pelan sekali. Sepertinya ia tak
ingin bicara lagi dan lelap dalam mimpi. Namun ketika
Suto Sinting buka mulut untuk ucapkan kata, Ki
Gendeng Sekarat buru-buru berkata,
"Wulung Gading adalah temanku. Aku tahu persis
bahwa pusaka itu adalah pusaka leluhurnya. Gunanya
untuk membantai keangkaramurkaan yang sulit
dimusnahkan. Wulung Gading persiapkan pedang itu
untuk melawan Siluman Tujuh Nyawa. Tapi pedang itu
tahu-tahu lenyap secara gaib, dan sejak itu kami pun tak mau membicarakannya
lagi." Ki Gendeng Sekarat makin melorot, akhirnya duduk
di rumput dan bersandar santai dengan kaki melonjor
kepala kian miring ke kiri, sedikit agak ke depan.
Dengkurnya terdengar lirih sekali.


Pendekar Mabuk 031 Pedang Kayu Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi...," Suto mau bicara dipotong lagi oleh suara KI Gendeng Sekarat,
"Tapi sekarang kudengar pedang maha sakti itu
muncul lagi. Entah siapa yang menemukannya, yang
jelas kemunculan pedang itu punya makna sendiri bagi
kehidupan orang banyak. Bukan bagi kepentingan
pribadi." "Sejak tadi kau menyindir kami terus!" sambar
Pendeta Mata Lima. "Apa maksudmu sebenarnya,
Gendeng Sekarat"!"
"Maksudku, mengingatkan kalian. Yah, namanya saja
sudah pada tua-tua begitu, maklum kalau lupa dan kami
yang muda perlu mengingatkan," jawabnya dengan nada seenaknya walau masih
bersuara parau. "Kalau kalian ingin menggunakan pedang itu, pinjamlah kepada
Wulung Gading. Minta izin dulu kepada pemiliknya!
Setidaknya jika memang kalian berhasil menumbangkan
lawan dengan pedang itu, tidak akan timbul salah
pengertian di pihak Wulung Gading!"
"Saranmu itu memang benar," kata Pendeta Jantung Dewa. "Kami salah langkah
karena keadaan panik. Tapi kami akan segera ke Lembah Sunyi sekarang juga untuk
bicara dengan Wulung Gading!"
Kemudian Pendeta Jantung Dewa bicara kepada
kakaknya, "Kita berangkat sekarang saja. Biarkan
masalah pencarian pedang itu kita percayakan kepada
Pendekar Mabuk!"
"Dan urusan kita dengan Raja Tumbal?"
"Kutangani secepatnya, Eyang!" sahut Suto Sinting.
"Baiklah!" akhirnya Pendeta Mata Lima menyetujui rencana adiknya. Mereka pun
segera pergi setelah Suto
berkata, "Begitu pedang itu kudapatkan, sudah tentu
kuberikan dulu kepada Resi Wulung Gading. Atas seizin
beliau aku berani gunakan pedang itu!"
"Semoga kita bertemu di Lembah Sunyi, Anak
Muda!" kata Pendeta Jantung Dewa.
Setelah kedua pendeta itu pergi, Suto berkata kepada
Ki Gendeng Sekarat,
"Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu, Ki.
Sangat rahasia sekali. Karena itu, aku butuh tempat
aman yang tak tersadap oleh telinga siapa saja."
"Mudah saja, Gusti Manggala!" kata Ki Gendeng
Sekarat dengan sebutan terhormat kepada Suto, karena
kedudukan Suto lebih tinggi darinya jika mereka berada
di negeri Puri Gerbang Surgawi.
Ki Gendeng Sekarat segera keraskan dua jari
tangannya. Dua jari tangan itu disentakkan ke langit.
Wuuut...! Melesatlah sinar hijau memercik-mercik
seperti kumpulan kembang api. Sinar itu melesat di
udara tak seberapa tinggi, hanya sekitar lima jengkal dari kepala mereka. Sinar
itu memecah, menjadi lebar dan
akhirnya bergerak turun dalam bentuk kabut putih.
Wuuuss...! Kabut itu membungkus sekeliling mereka
berdua. Kejap berikut kabut itu lenyap. Kedua tubuh
mereka pun lenyap. Tak terlihat oleh mata siapa pun.
"Kita lenyap dari pandang mata siapa pun, Gusti
Manggala. Suara kita pun tak akan didengar oleh siapa
pun walau orang itu berilmu tinggi."
Suto memandangi alam sekeliling dengan kagum,
sebab dalam pandangannya alam sekeliling bercahaya
hijau semua. Mulut Suto pun menggumam heran. "Luar
biasa! Hebat sekali! Ilmu apa namanya, Ki?"
"Namanya ilmu... jurus 'Surya Kasmaran'."
"Aneh sekali namanya itu?"
"Jurus ini untuk menutupi kita jika sewaktu-waktu
kita ingin bermesraan dengan kekasih."
Gelak tawa Suto terlepas tak terlalu panjang.
"Agaknya jurus ini adalah jurus baru. Aku baru sekarang tahu kau memiliki ilmu
ini, Ki!" "Memang jurus baru! Calon istrimu itulah yang
menghadiahkan jurus ini padaku sebagai hadiah
kesetiaanku yang menjadi penghubung antara kau dan
dia!" "Menakjubkan sekali! Aku akan minta jurus ini
darinya jika aku pulang nanti."
"Itu urusan nanti. Sekarang bicaralah dulu hal yang ingin kau bicarakan!"
"Soal Pedang Kayu Petir itu, Ki!"
"Apa yang ingin kau ketahui" Kesaktiannya?"
"Ya. Pertama-tama aku ingin tahu sejelas-jelasnya
tentang kesaktian Pedang Kayu Petir itu."
Ki Gendeng Sekarat menguap setelah tubuhnya
bagaikan tersentak kaget, ia juga menggeliat dengan
tangan direntangkan. Satu tangan yang merentang keatas
nyaris kenai pipi Suto kalau Suto tak segera undurkan
kepala. 'Hati-hati, Ki...!"
"Lain kali kalau ada orang menggeliat jangan di
sampingnya!" gerutunya.
Ki Gendeng Sekarat mengusap wajahnya.
Tampaknya ia telah selesai tidur dan puas menikmati
kenyenyakannya. Pandangan matanya terasa segar. Tapi
segera berkerut dahi.
"Lho... kok semuanya serba hijau?"
"Kau yang bikin semuanya jadi hijau dengan jurus
barumu itu!"
"O, iya!" ia manggut-manggut sambil garuk-garuk kepala. "Hmm... kau tanya apa
tadi" Oh, kesaktian
pedang itu"!"
"Benar, Ki. Aku ingin tahu semuanya yang ada pada
pedang itu."
"Pedang itu sebenarnya roh dari Eyang Agung
Ciptamangkurat!"
"Siapa itu Eyang Agung Ciptamangkurat?"
"Kakeknya... hmmm... kakeknya manusia tanpa pusar
yang menjelma menjadi pohon bambu dan bambu itu
menjadi bumbung tuakmu yang sekarang. Aku tak
berani sebutkan namanya, karena jika namanya
kusebutkan akan terjadi hujan badai dan hujan petir!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut, ia mengerti
maksud Ki Gendeng Sekarat, bahwa Pedang Kayu Petir
adalah jelmaan kakeknya Wijayasura, manusia tanpa
pusar, guru dari Purbapati dan Nini Galih, kakek
gurunya si Gila Tuak. Padahal Suto sendiri adalah bocah
tanpa pusar juga, sehingga seluruh ilmu Wijayasura
mengalir dengan sendirinya ke tubuh Suto walau melalui
si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Nama Wijayasura
memang tak boleh disebut sembarangan karena bisa
datangkan hujan petir dan badai, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Pedang Guntur Biru", "Bocah Tanpa Pusar", dan "Pusaka
Tombak Maut").
"Terus letak keampuhannya, Ki?"
"Orang sesakti apa pun bisa dilukai oleh pedang itu.
Sebab siapa pun orangnya, jika melihat pedang itu, maka
seluruh kesaktiannya lenyap seketika dan menjadi orang
polos tanpa ilmu secuil pun. Tapi jika ia jauh dari
pedang itu dan tidak melihatnya, maka kesaktian orang
tersebut muncul kembali seperti sediakala."
Suto kembali manggut-manggut, lalu terbayang saat
ia melihat Angon Luwak bermain pedang-pedangan
bersama Saladin dan teman-teman lainnya. Saat itu, Suto
ingin menolong Saladin yang terluka, tapi gerakannya
menjadi lamban, ia tak bisa gunakan gerak siluman,
bahkan untuk bersalto pun tak mampu, malah jatuh
tersungkur memalukan. Rupanya saat itu ilmu Suto
hilang seketika karena melihat Pedang Kayu Petir.
Buktinya setelah Angon Luwak lari ketakutan karena
menyangka dirinya telah membunuh Saladin, Suto
mampu lakukan gerakan bersalto dan gerak silumannya
pun bisa digunakan kembali sebagaimana mestinya.
Ki Gendeng Sekarat berkata lagi, "Menurut cerita
Wulung Gading, pedang itu jika digoreskan ke kulit
tubuh manusia, maka lukanya akan menyala hijau
pendar-pendar, si korban kejang-kejang, tubuhnya
menjadi hijau berpijar-pijar, sesaat kemudian sinar itu
lenyap bersama hilangnya nyawa korban."
"Persis," gumam Suto sambil membayangkan
keadaan Saladin.
"Jika pedang itu disentakkan ke langit, keluar puluhan petir berpencar ke segala
arah dari ujung pedang. Langit menjadi merah menggelegar bagaikan mau pecah.
Jika di langit ada bulan dan pedang itu disentakkan ke arah
rembulan, maka rembulan akan menjadi semerah saga.
Jika disentakkan ke arah matahari, maka matahari akan
redupkan sinarnya dan tampak merah sehari penuh."
"Luar biasa..."!" Suto penuh kekaguman dalam
decaknya. "Pedang itu dari kayu biasa. Sepertinya kayu rapuh.
Tapi itulah kayu petir. Tanaman kayu petir sudah tidak
tumbuh lagi di masa sekarang. Sekalipun dari kayu, tapi
pedang itu tak bisa patah. Pedang itu sangat enteng,
baunya wangi cendana campur pandan. Bisa untuk
memotong baja setebal apa pun. Jika ditebangkan pada
satu pohon, maka dua-tiga pohon di kanan-kirinya ikut
terpotong dengan sendirinya. Pedang itu tanpa sarung
pedang. Konon, para leluhur Wulung Gading
membungkusnya dengan sarung pedang dari kain biasa."
"Pantas para tokoh di rimba persilatan menginginkan pedang itu"!" kata Suto
bagai bicara sendiri.
"Satu lagi keistimewaan pedang itu, jika ditusukkan keluar sinar ungu dari
ujungnya. Sinar itu bisa
menembus empat atau lima pohon sekaligus! Jadi kalau
ditusukkan ke tubuh lawan harus hati-hati. Bisa-bisa
mengenai teman sendiri yang kebetulan ada dalam satu
arah tusukan dengan lawan."
Gumam lirih Suto memanjang dengan kepala
manggut-manggut. Kini kelihatannya Ki Gendeng
Sekarat mulai memperhatikan segala sikap Suto yang
tadi terjadi saat ia menceritakan kehebatan pedang maha
sakti itu. Ki Gendeng Sekarat bertanya pada pemuda
tanpa pusar itu,
"Tadi kudengar kau mengatakan 'persis', maksudnya
persis bagaimana?"
"Aku melihat pedang itu ada di tangan muridmu."
Ki Gendeng Sekarat kerutkan dahi, pandangi Suto
penuh curiga dan keheranan.
"Aku tak punya murid. Semua muridku sudah mati
ketika Pulau Mayat diobrak-abrik oleh Durmala Sanca
atau Siluman Tujuh Nyawa!"
Suto tersenyum. "Kau mempunyai murid baru yang
hanya mempunyai satu ilmu, yaitu ilmu 'Genggam
Buana'. Apakah kau sudah tak ingat lagi?"
Segera raut wajah Ki Gendeng Sekarat berubah
tegang. "Maksudmu... maksudmu pedang itu ada di
tangan Angon Luwak, bocah penggembala kambing
itu?" "Benar!" lalu Suto Sinting pun ceritakan kembali tentang apa yang dilihatnya
saat Angon Luwak bermain
perang-perangan dengan Saladin dan yang lainnya. Ki
Gendeng Sekarat jadi terbengong-bengong dengan mulut
melompong. Dalam hatinya timbul kesangsian antara
percaya dan tidak. Tapi Suto Sinting mencoba
meyakinkan Ki Gendeng Sekarat, sehingga orang
bermata agak sipit karena kebanyakan tidur itu berkata,
"Kalau begitu Angon Luwak pasti dalam bahaya.
Sebab pada umumnya, para tokoh tua mengenali ciri-ciri
pedang tersebut. Pasti mereka berusaha merebutnya dari
Angon Luwak."
"Justru aku sampai di sini karena sedang mencari
Angon Luwak!"
"Kalau benar begitu," kata Ki Gendeng Sekarat serius sekali. "Aku akan menarik
bocah itu agar datang
kemari." "Caranya bagaimana, Ki?"
"Menarik ilmu 'Genggam Buana' yang ada padanya.
Kekuatan batinku masih tetap bertalian dengan ilmu
'Genggam Buana'. Jika kekuatan batinku menariknya,
maka bocah itu akan melangkah sendiri kemari tanpa
disadarinya!"
"Bagus!" Suto menyambar dengan cepat dan penuh semangat. "Lakukan sekarang juga,
Ki!" "Tapi kita harus keluar dulu dari lapisan jurus 'Surya Kasmaran' ini!"
Suto hanya angkat bahu pertanda tidak keberatan. Ki
Gendeng Sekarat sentakkan dua jarinya ke langit. Jari itu menjadi merah
memercik-mercik seperti bunga api.
Sinar merah yang mengumpul itu naik lima jengkal di
atas kepala mereka, kemudian turun berbentuk asap yang
menyebar membungkus diri mereka. Asap lenyap dan
mereka berdua dalam keadaan wujud kembali, bisa
dilihat dan didengar orang lain. Pandangan mata Suto
pun sudah tidak serba hijau lagi. Seperti biasa saja. Itu pertanda mereka sudah
keluar dari pengaruh jurus 'Surya
Kasmaran' yang dikagumi Suto Sinting.
"Aku akan lakukan semadi beberapa saat," kata Ki
Gendeng Sekarat. "Tolong jaga aku, jangan sampai ada yang mengganggu keheningan
batinku!" "Ada baiknya kalau kita di bawah pohon sana, Ki.
Letaknya lebih tersembunyi!" kata Suto sambil
menunjuk tempat yang dimaksud.
"Baik. Kita ke sana!"
Di bawah pohon yang tak menjadi korban angin badai
pertarungan tadi, Ki Gendeng Sekarat bersila di
rerumputan. Kedua tangannya siap-siap untuk saling
merapat di dada. Namun baru saja tangan digerakkan,
Suto Sinting segera terkejut memandang ke arah lereng
bukit lebih tinggi lagi.
"Tunggu, Ki! Bukankah bocah yang berlari-lari itu
Angon Luwak"!"
Ki Gendeng Sekarat cepat berdiri. Matanya sedikit
mengecil. Pandangannya tertuju ke arah lereng di mana
seorang bocah sedang berlari menuruni bukit.
"Benar! itu dia anaknya!"
Suto tampak ceria. Bahkan tak sadar menepuk-nepuk


Pendekar Mabuk 031 Pedang Kayu Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pundak Ki Gendeng Sekarat sambil berkata, "Hebat
sekali ilmumu, Ki. Baru duduk bersila saja sudah bisa
panggil anak itu!"
"Ini hanya kebetulan saja! Aku belum memulai
semadiku!" Ki Gendeng Sekarat bersungut-sungut.
"Hei, lihat...! Ternyata dia dikejar seseorang, Ki!"
kata Suto tegang.
"Ya. Ada yang mengejarnya. Bukan seseorang, tapi...
lihat di seberang sana, ada yang ingin menghadang
Angon Luwak."
"Hmmm... benar! Satu, dua, tiga... empat! Sepertinya empat orang yang
mengejarnya, Ki!"
"Kurang ajar! Tak kuizinkan siapa pun menyentuh
muridku itu!" Ki Gendeng Sekarat bergegas pergi untuk menolong Angon Luwak, tapi
tangannya segera dicekal
oleh Suto Sinting.
"Tunggu sebentar! Kau lindungi bocah itu, aku akan
hadapi mereka!"
"Baik! Kita bergerak sekarang!"
Suto Sinting segera berlari sambil berseru, "Luwak...!
Angon Luwak...!"
Bocah itu berhenti, memandang ke arah Suto, lalu
berseru sambil berlari ke arah Suto Sinting.
"Kaaang...! Tolong, Kang...! Guruuu...!"
Wuuut...! Ki Gendeng Sekarat berkelebat cepat, lalu
menyambar bocah itu. Wuus...! Dibawanya salto bocah
itu dan mereka telah tiba di bawah pohon yang mau
dipakai untuk bersemadi tadi. Sementara itu, Suto
Sinting berdiri tegak, menenggak tuak sebentar, lalu siap hadapi empat orang
pengejar itu. Dilihat dari
penampilannya yang berwajah dingin, mereka jelas
tokoh sakti dari berbagai penjuru. Dilihat dari ketuaan
usianya, mereka tentunya para guru dari beberapa
perguruan. * * * 9 JUBAH hitam berambut putih panjang terurai sebatas
punggung adalah tokoh sakti dari Nusa Garong. Biar
badannya kurus, wajahnya bengis, matanya cekung, tapi
kesaktiannya tak diragukan lagi. Ia dikenal sebagai ketua perguruan aliran
hitam, yaitu Perguruan Lumbung
Darah. Namanya cukup dikenal di kalangan aliran sesat
sebagai Tengkorak Liar.
Anak buahnya pernah berhadapan dengan Suto
Sinting ketika Suto selamatkan Sabani, kakak Angon
Luwak dalam peristiwa Keris Setan Kobra. Orang kurus
bersenjata cambuk pendek warna merah itu berdiri tepat
berhadapan dengan Suto. Usianya diperkirakan sama
dengan orang yang berpakaian serba hijau, sampai ikat
kepalanya juga hijau, sabuknya hijau, gagang
rencongnya hijau dan pakaian dalamnya hijau lebih tua
dari jubah lengan panjangnya. Orang itu dikenal dengan
nama Tongkang Lumut, dari Perguruan Tambak Wesi.
Dalam usia sekitar delapan puluh tahun ke atas ia masih
mempunyai mata tajam dan rambut serta kumisnya abu-
abu. Badannya masih tegap, walau tak seberapa gemuk.
Orang ketiga adalah seorang perempuan tua berusia
sekitar sembilan puluh tahun, sedikit bungkuk, peot,
keriput. Rambutnya putih rata. Jubahnya biru tua dengan
pakaian dalam hitam. Membawa tongkat yang ujungnya
berbentuk kepala bayi. Dia penguasa Teluk Dukun, yang
menghasilkan banyak dukun santet kelas berat.
Namanya dikenal di rimba persilatan sebagai tokoh sesat
berjuluk si Tongkat Bayi.
Sedangkan orang keempat seusia dengan Ki Gendeng
Sekarat. Termasuk lelaki berbadan tegap walau tak
berarti gemuk. Berambut abu-abu dibungkus kain merah.
Pakaiannya coklat muda, tapi jubahnya hijau tua.
Tenang, tapi dingin. Konon ia penguasa Hutan Cadas
berjuluk Beruang Tebing.
"Kalau tak salah penglihatanku," kata si Tongkat Bayi, "Kau adalah murid si Gila
Tuak yang bergelar
Pendekar Mabuk! Sebab kulihat ciri-ciri bumbung
tuakmu itulah yang jadi pembicaraan para tokoh di
rimba persilatan!"
"Benar. Aku adalah murid si Gila Tuak dan Bidadari
Jalang!" jawab Suto dengan tegas. Lalu suara tua si Tongkat Bayi terdengar lagi,
"Namamu dan kesaktianmu memang sedang jadi
bahan pembicaraan para tokoh. Tapi aku tak peduli.
Kalau kau halangi niatku mengambil bocah itu, kucabut
nyawamu sekarang juga."
"Bukan kuasamu mencabut nyawa orang, Tongkat
Bayi! Jangan bicara semudah itu!" ujar Tongkat Lumut yang bernada sepelekan ilmu
si Tongkat Bayi.
"Diam mulutmu, Lumut Jamban!" hardik sang nenek.
"Kalau kau merasa bisa kalahkan dia, majulah sana!
Hadapi dia, biar kuhadapi si Gendeng Sekarat yang mau
ikut campur urusan orang itu!"
Ki Gendeng Sekarat hanya tersenyum kecil, ia
memang sudah mengenal keempat tokoh itu. Dia pula
yang menjelaskan satu persatu tentang keempat tokoh itu
kepada Pendekar Mabuk, sementara Angon Luwak
selalu ada tak jauh darinya. Tengkorak Liar juga sangat
kenal dengan Ki Gendeng Sekarat karena beberapa tahun
yang lalu pernah terlibat bentrokan antara perguruannya
dengan murid-murid Ki Gendeng Sekarat yang kala itu
belum dibantai habis Siluman Tujuh Nyawa. Karenanya,
Tengkorak Liar berseru seenaknya kepada Ki Gendeng
Sekarat, "Gendeng Sekarat! Serahkan bocah itu padaku dan
akan kulupakan kekalahanku waktu itu! Tak kan
kutuntut nyawamu untuk gantikan kematian istriku!"
Dari bawah pohon berjarak delapan langkah di
belakang Suto Sinting, Ki Gendeng Sekarat berseru,
"Kalahkan dulu Pendekar Mabuk, baru ambil anak ini!
Siapa yang mampu kalahkan dia, berarti berhak
memiliki anak ini! Karena aku tahu kalian mengincar
Pedang Kayu Petir yang dimiliki bocah ini!"
"Memang!" sahut Tongkat Lumut. "Bocah itu licin seperti belut. Tapi aku
melihatnya sendiri ia membawa-bawa Pedang Kayu Petir yang sekarang disimpannya
entah di mana! Jika memang kehendakmu begitu, akulah
orang pertama yang akan tumbangkan Pendekar Mabuk
ini! Apa susahnya menumbangkan bocah kemarin sore
yang masih ingusan ini"!"
"Biar aku dulu yang maju melawannya," kata
Beruang Tebing dengan tenang, tapi wajahnya, sorotan
matanya, melebihi es kutub utara dinginnya.
"Tidak bisa! Aku dulu yang hadapi bocah kencur
itu!" sentak Tengkorak Liar sambil maju dua langkah.
Ki Gendeng Sekarat berseru, "Begini saja! Siapa yang
menang dialah musuh kalian yang harus kalian
tumbangkan untuk dapatkan bocah ini!"
"Baik. Aku setuju!" seru Tongkat Bayi. "Siapa pun yang menang melawan murid Gila
Tuak, dialah yang
harus ditumbangkan oleh penantang berikutnyal"
Rupanya keempat tokoh itu sama-sama melihat
Angon Luwak memegang Pedang Kayu Petir. Mereka
diam-diam ingin menangkap anak itu, tapi ingat
kekuatan pedang yang dapat lumpuhkan semua ilmu,
maka dicari kesempatan yang baik, menunggu bocah itu
simpan pedangnya lalu baru disergap. Mereka lakukan
hal itu di luar rencana, bahkan saling tidak tahu. Mereka saling mengetahui
setelah Angon Luwak dikejar-kejar
oleh Tengkorak Liar, lalu Tongkang Lumut, Beruang
Tebing, dan terakhir yang muncul ikut mengejar adalah
si Tongkat Bayi. Sedangkan Angon Luwak hanya
andalkan kelincahan berlarinya, sehingga mereka sulit
menangkap hidup-hidup. Tentu saja mereka tak mau
lepaskan pukulan karena takut membuat bocah itu mati
dan tak bisa dikorek keterangannya tentang pedang itu.
Tapi rupanya nasib mujur masih mengikuti Angon
Luwak. Para pengejarnya terpaksa berhadapan dengan
Pendekar Mabuk yang selalu dibangga-banggakan itu.
Lebih gembira lagi setelah Angon Luwak bertemu
dengan gurunya, rasa aman bocah itu lebih besar lagi
karena ia pun mengagumi ilmu silat Ki Gendeng
Sekarat. Orang pertama yang menghadapi Suto Sinting adalah
Tongkang Lumut yang bersenjata rencong terselip di
depan perutnya. Yang lain mundur, memberikan tempat
untuk pertarungan maut itu. Tongkang Lumut mulai
buka kuda-kudanya, tapi Suto Sinting malahan
menenggak tuaknya dengan seenaknya saja. Ketenangan
itu sengaja dipamerkan Suto untuk membuat ciut nyali
lawannya, sekalipun hanya sedikit saja kedutan nyali itu dialami oleh lawan,
tapi punya sisi menguntungkan bagi
Suto Sinting. Tongkang Lumut rendahkan kakinya. Kedua tangan
terangkat, yang kanan ada di atas kepala dengan bergetar pertanda tenaga dalam
mulai disalurkan pada tangan
tersebut. Tangan kirinya menghadang di depan dada.
Menggenggam keras dan kuat sekali.
Slaaap...! Tiba-tiba Tongkang Lumut bagai
menghilang dari hadapan Suto. Tahu-tahu dia sudah
berpindah tempat di belakang Suto dalam jarak satu
jangkauan tangan. Tentu saja punggung Pendekar
Mabuk dijadikan sasaran tangan yang sudah berasap itu.
Menyadari hal itu, Suto Sinting cepat robohkan
badan. Dua tangannya menapak di tanah dalam keadaan
rendah, dua kakinya masuk di sela-sela langkah
lawannya. Lalu secepat kilat, kedua kaki itu merentang
dalam satu sentakan kuat Wuuut...! Prak...!
Kedua kaki Suto Sinting yang jatuh mirip orang
mabuk berat itu berhasil menendang kedua kaki
Tongkang Lumut. Akibatnya kaki Tongkang Lumut
sama-sama merenggang dengan sentakan kuat bagaikan
dirobek ke kanan dan ke kiri.
"Auhh...!" Tongkang Lumut mendelik, langsung
pegangi 'Jimat Lelakinya' yang terasa robek itu. Ia
memang masih sempat berdiri setelah kedua kaki
tersentak lebar-lebar ke samping kanan-kiri, tapi tak
mampu bertahan lama. Karena Suto Sinting berguling
cepat satu kali, dan kakinya menjejak ke atas dalam
keadaan masih berbaring di rumput. Wuuut...! Deegh...!
Dada Tongkang Lumut jadi sasaran tendangan kaki
Suto yang bertenaga dalam tinggi itu. Akibatnya tubuh
Tongkang Lumut terpental bagai dilemparkan badai.
Wuuus...! Bruuk...! Ia jatuh di semak-semak. Jatuhnya
tak membuat parah, tapi tendangan itu membuat dadanya
bagaikan pecah. Napasnya seakan terhenti seketika.
Namun toh ia masih berusaha untuk bangkit walau
dengan satu lutut, lalu lepaskan pukulan dari telapak
tangan kanannya. Wuuut...! Slaaap...!
Sinar biru sebesar jempol kakinya melesat lurus ke
arah Suto Sinting. Panjang sinar yang hanya satu depa
itu ditangkis dengan bumbung tuak. Traak! Sinar itu
berbalik arah dengan lebih lebih cepat dan lebih besar.
Tentu saja si pemilik pukulan maut itu amat terkejut,
ia segera menghindar dengan satu lompatan dengan
lutut. Wuuut...! Tapi terlambat, karena saat itu sinarnya lebih cepat menghantam
tulang rusuk kirinya. Jraab...!
Tubuh Tongkang Lumut kepulkan asap. Kulitnya
mulai bergerak-gerak mengelupas. Sekalipun demikian,
Tongkang Lumut tak mau segera lari, melainkan
berusaha berdiri dengan sempoyongan dan segera cabut
rencongnya. Seet!
Dengan terhuyung-huyung ia hampiri Suto Sinting
yang berdiri tegak itu. Dalam jarak empat langkah
rencong itu dikibaskan ke depan bagai merobek udara
dari kanan ke kiri. Wuuut...!
Suto rasakan ada gelombang panas yang mampu
mendidihkan baja berkelebat ke arahnya. Tanpa sinar
dan tanpa wujud apa pun. Pendekar Mabuk cepat
tanggap. Itu adalah gelombang hawa sakti yang lepas
dari rencong tersebut. Maka dengan cepat Suto Sinting
sentakkan kaki dan melesatlah tubuhnya ke atas.
Wuuut...! Gelombang hawa panas itu menerabas tempat
kosong, hampir saja kenai Tongkat Bayi kalau saja
nenek itu tak segera ikut lompat ke atas seperti Suto.
Sementara itu, sebelum tubuh bergerak turun, Suto
Sinting lepaskan pukulan dari atas yang dinamakan
'Pukulan Gegana'. Dua jarinya dikibaskan ke depan dan
keluarkan sinar kuning patah-patah yang langsung
menghantam bagian bawah pundak kiri lawan. Zraaab...!
Sinar patah-patah itu bagaikan masuk dalam satu titik,
membuat tubuh lawan terdorong mundur satu tindak,
tapi untuk kemudian diam tak bergerak. Matanya
menatap tajam ke arah depan. Kulit tubuhnya mulai kian
terkelupas dengan sendirinya. Rambut rontok semua,
demikian pula rambut alis dan kumis abu-abunya.
Pakaiannya pun ternyata cepat berubah menjadi abu
keputih-putihan. Pada akhirnya, Tongkat Lumut
tumbang dalam keadaan tubuh kering tanpa darah setetes
pun. Melihat Tongkang Lumut tumbang dan menjadi
sekering itu, mirip kayu bakar, si Tongkang Bayi segera
berseru dengan suaranya yang cempreng,
"Aku lawanmu berikutnya, Anak Ingusan!"
Wuuut...! Si Tongkat Bayi maju bagaikan masuk
dalam arena. Suto Sinting berbalik arah dan pandangi
mata si Tongkat Bayi yang buram itu. Batin Suto
berkata, "Tak tega aku melawannya. Terlalu tua untuk kutandingi. Tapi... apa
boleh buat kalau memang ini
pilihan yang tak bisa dibatalkan lagi!"
Tongkat Bayi menunggungikan kepala tongkatnya
dan menghentakkan ke tanah. Duuhg...! Seketika itu
tubuh Pendekar Mabuk bagaikan terlempar terbang.


Pendekar Mabuk 031 Pedang Kayu Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sepertinya ada tenaga yang amat besar menyodok keluar
dari dalam tanah dan melemparkan tubuh Pendekar
Mabuk. Tubuh yang terlempar tinggi itu hampir-hampir
kehilangan keseimbangan. Oleh si Tongkat Bayi
kesempatan itu digunakan untuk melemparkan
tongkatnya dengan sentakan tenaga dalam yang tinggi.
Wuuus...! Tongkat pun melayang dengan cepat seperti
laju kecepatan anak panah. Hampir saja mengenai kepala
Pendekar Mabuk jika bumbung tuak tidak segera
berkelebat di depan wajah dan tongkat berkepala
tengkorak bayi itu menghantam bumbung tuak tersebut.
Blaaar...! Gelombang ledakan menghentak sangat kuat
membuat tubuh Pendekar Mabuk sebelum sempat
mendarat sudah terlempar lagi bagaikan terbuang ke arah
belakang. Wuuus...! Brrukk...!
Benturan tersebut bukan saja hasilkan gelombang
ledakan tinggi, namun juga kerliapan cahaya merah yang
lebar dan menyilaukan. Tongkat itu sendiri pecah dan
terpotong-potong tidak beraturan. Pandangan mata Suto
Sinting menjadi gelap bagaikan menemui kebutaan.
Ketika ia jatuh terpuruk dan mencoba untuk bangkit,
ia tak melihat apa-apa kecuali kegelapan yang pekat.
Tetapi bumbung tuak masih ada di tangannya, talinya
masih melilit di telapak tangan kanan, sehingga Suto
Sinting buru-buru menenggak tuaknya dua teguk. Glek,
glek...! Maka dalam beberapa kejap saja pandangan
matanya sudah kembali seperti semula. Kesesakan
dadanya mulai lancar, dan rasa sakit pada sekujur tubuh
serta tulang-tulangnya yang merasa patah telah pulih
segar seperti semuia.
"Edan! Kekuatannya begitu tinggi. Hampir saja aku
celaka!" pikirnya sambil berdiri tegak memandang si Tongkat Bayi. Hatinya
teperanjat melihat si Tongkat
Bayi ternyata masih memegang tongkatnya.
"Bukankah tongkat itu tadi pecah bersama ledakan
dahsyat itu" Tapi mengapa ternyata masih ada di tangan
si nenek ganas itu" Hmm... jelas ini permainan ilmu
sihirnya yang agaknya cukup tinggi!"
Pendekar Mabuk langkahkan kaki maju dekati lawan.
Si Tongkat Bayi segera hadang langkah itu dengan
melepaskan pukulan bersinar kuning panjang dan lurus
dari sodokan tongkatnya ke depan. Wuuut...! Slaaap...!
Sinar kuning lurus mengarah ke dada Suto Sinting.
Dengan cepat Suto Sinting segera sentakkan
bumbung tuaknya sambil tubuhnya miring bagai orang
mabuk yang menggeloyor. Tubuh yang miring itu
akhirnya terbawa terbang oleh sodokan bumbungnya.
Wuuueeess...! Sinar kuning itu membentur pangkal
bumbung yang disodokkan ke depan. Blaaar...! Ledakan
pun terjadi sedahsyat tadi. Tapi kali ini tubuh Suto
Sinting masih tetap menembus asap ledakan dan
akhirnya bumbung itu menghantam kepala tongkat.
Duaar...! Bersamaan dengan itu Suto Sinting liukkan badan ke
depan dan bersalto pendek dan kakinya menendang
wajah si nenek dengan kekuatan tenaga dalam penuh.
Dees...! "Auuhg...!" terdengar pekikan pendek yang tertahan.
Wajah si nenek tersentak amat kuat bersama-sama
terbangnya tubuh ke belakang. Tubuh yang terlempar itu
membentur sebatang pohon kering dan, kraaak...!
Brrruk...! Pohon itu patah di pertengahan batang, lalu
roboh berdebum di bumi. Bersamaan dengan itu tubuh si
Tongkat Bayi jatuh terpuruk, hidungnya mengucurkan
darah, demikian pula lubang telinga dan mulutnya yang
memuntahkan darah hitam kemerahan.
"Mati aku," pikir sang nenek. "Kepalaku retak, mataku bagaikan pecah. Ohh...
berat! Berat sekali lukaku ini. Aku tak bisa memandang dengan jelas. Makin lama
makin buram dan gelap. Aku harus segera keluar dari
pertarungan ini untuk bikin perhitungan sendiri di lain
waktu!" Tak ada pilihan lain bagi si Tongkat Bayi. Ia segera
melesat pergi tanpa tinggalkan pesan apa pun, karena
kepalanya berderak- derak bagai ingin pecah ke berbagai
penjuru. Wajahnya biru legam, pandangan matanya kian
suram. Bahkan ketika ia berlari untuk tinggalkan tempat, sebatang pohon
ditabraknya lagi.
Bruuss...! "Mati lagi aku, Mak!" keluhnya sambil terpental dan jatuh ke belakang, lalu
bangkit lagi dan larikan diri. Di seberang sana ia menabrak pohon lagi. Brus...!
"Mati juga akhirnya aku, Mak...!" ia bangkit lagi, lari lagi, dan menabrak pohon
lagi. Begitu seterusnya sampai
akhirnya Tongkat Bayi hilang dari pandangan mata Suto.
Ki Gendeng Sekarat dan Angon Luwak tertawa
melihat nasib si Tongkat Bayi yang melarikan diri.
Sementara itu Suto Sinting hanya tersenyum tipis,
kemudian menenggak tuaknya lagi. Dan pada saat
menenggak tuak itulah, Beruang Tebing tanpa berkata-
kata langsung menyerang Suto dengan kedua tangan
membentuk cakar. Kedua tangan berjari menyala merah
bara itu dihantamkan ke dada Pendekar Mabuk,
bersamaan dengan itu tubuhnya melompat cepat dan
menerjang Suto Sinting.
Tetapi tiba-tiba sekelebat bayangan melintas di
depannya. Weess...! Bayangan bagai angin badai itu
mengejutkan Suto Sinting, juga Tengkorak Liar dan Ki
Gendeng Sekarat. Karena kejap berikutnya, tubuh
Beruang Tebing ternyata telah roboh, terpotong menjadi
dua bagian di atas perutnya.
Bayang itu berhenti di sisi kanan Tengkorak Liar.
Ternyata seorang perempuan yang diam di tempat
dengan kuda-kuda kokoh, menggenggam pedang dengan
kedua tangan. Pedang itu masih dalam keadaan miring
ke samping karena habis ditebaskan. Darah yang
melumuri pedang itu masih menetes satu persatu.
"Angin Betina!" gumam Suto Sinting merasa kaget dan kagum melihat kecepatan
gerak pedang yang benar-benar menyerupai angin itu. Beruang Tebing yang baru
saja mau bergerak tahu-tahu sudah roboh terpotong dua
bagian. Tentu saja sejak saat itu Beruang Tebing enggan
bernapas lagi karena nyawanya pergi entah ke mana.
"Istirahatlah, Suto! Biar kutangani sisanya yang satu ini!" kata Angin Betina
sambil mata tajamnya berkesan liar itu menatap tajam ke arah ketua Perguruan
Lambung Darah yang ternyata sudah mengenalnya pula.
"Angin Betina! Rupanya kau pun bermaksud ingin
memiliki pedang pusaka itu! Hemm...! Apa kau
mampu"!"
"Bagiku lebih berharga memiliki Pendekar Mabuk
daripada pedang pusaka itu!"
"O, jadi kau membela Suto dengan pertaruhkan
nyawamu untuk melawanku"!"
"Ya. Karena aku mencintai Suto!" jawabnya tegas, jelas, keras. Suto sendiri
sampai tersipu malu seraya
melirik sekejap ke arah Ki Gendeng Sekarat yang
tersenyum-senyum.
"Bocah bodoh kau! Gurumu saja tak mampu
kalahkan aku, apalagi kau yang hanya muridnya!" geram Tengkorak Liar.
"Mendiang Guru tidak mempunyai ilmu 'Pedang
Bintang', tapi aku punya jurus itu dari seorang guru
pedang tersohor: Ki Argapura alias si Penggal Jagat!
Tentunya kau kenal, Tengkorak Liar!"
"Persetan dengan Argapura!" geram Tengkorak Liar.
"Buktikan kehebatannya di depanku! Hiaaah...!"
Tengkorak Liar sentakkan kedua tangannya ke depan.
Dua larik sinar merah yang melingkar-lingkar pada
ujungnya bagaikan mata bor itu melesat ke arah Angin
Betina. Kecepatannya amat tinggi, membahayakan sekali
bagi Angin Betina. Dihindari akan terlambat, ditangkis
akan telat. Untung Suto Sinting selalu siap siaga. Begitu sinar
merah itu terlepas, sinar birunya pun keluar dari
sentakan kedua tangan Suto. Claaap...! Jurus 'Tangan
Guntur' yang biasanya membuat lawan hangus dan
keropos itu menghantam sinar merahnya Tengkorak
Liar. Blegaaarrr...! Dentumam itu menggelegar. Kedua sinar yang beradu
pecah menjadi satu warna jingga dalam sekejap saja.
Sentakan gelombang ledaknya menjungkirbalikkan
Tengkorak Liar, karena ia tak menyangka akan ada yang
mampu lebihi kecepatan gerak sinar merahnya. Angin
Betina sendiri juga terjungkal ke belakang dengan jatuh
berlutut dan setengah merangkak. Kepalanya yang
berambut acak-acakan itu dikibaskan dua kali. Ia
menghilangkan rasa pusing dan pandangan mata yang
berkunang-kunang. Setelah itu bangkit bersamaan
berdirinya Tengkorak Liar yang berwajah merah matang.
"Memang jahanam busuk kalian semua!" geram
Tengkorak Liar sambil mencabut cambuk pendeknya
yang hanya empat jengkal kurang itu. Cambuk itu segera
dilecutkan di udara. Taaarrr...! Seberkas sinar biru
melesat menuju ke tubuh Suto Sinting.
Bumbung tuak disilangkan dengan kedua tangan dan
kakinya berlutut satu. Sinar biru berkerliap itu
menghantam bumbung tuak. Duaar...! Ternyata sinar
tersebut kembali ke arah semula dengan lebih besar lagi
dan masuk melalui ujung cambuk pendek. Jraaab...!
"Aaahg...!" Tengkorak Liar memekik. Tangannya
menjadi hangus seketika karena kekuatan dahsyat
mengalir masuk melalui cambuknya.
Wuuusss...! Kembali sekelebat bayangan melintas cepat
menerjang Tengkorak Liar yang sedang sibuk menahan
rasa sakit pada tangannya. Sekelebat bayangan itu tak
lain adalah Angin Betina yang lancarkan jurus 'Pedang
Bintang' dengan tebasan lima sisi yang bisa dilihat oleh mata orang biasa. Lima
tebasan dalam sekelebatan itu
telah membuat Tengkorak Liar tumbang berlumur darah.
Salah satu luka terparahnya adalah bagian dada yang terbelah. Tentu saja nyawa
pun segera minggat dan
pertarungan pun berhenti saat itu juga.
"Angin Betina, kuakui cukup hebat ilmu pedangmu.
Tapi seharusnya kau tak perlu ikut campur urusanku
ini!" kata Suto Sinting sambil mendekati perempuan yang wajahnya masih tampak
angker-angker cantik itu.
"Sudah kubilang, aku akan melindungimu karena aku
suka padamu!" katanya terang-terangan. Suto Sinting memberi tanggapan dengan
senyum ramah yang amat
menawan dan membuat hati Angin Betina berdenyut-
denyut lagi. Mereka segera hampiri Ki Gendeng Sekarat
dan Angon Luwak yang merasa puas menyaksikan
tontonan hebat secara gratis. Wajah bocah itu berseri-
seri saat memuji Suto.
"Hebat sekali kamu, Kang. Nenek ini juga hebat,"
tudingnya pada Angin Betina. Si perempuan menggeram
dongkol. "Nenek"! Gundulmu itu yang pantas dibilang nenek!"
Suto tertawa selintas, lalu berkata kepada Angon
Luwak, "Kulihat kau bermain pedang-pedangan dengan
Saladin dan...."
Angon Luwak kaget, "Aku... aku tak sengaja
membunuh Saladin, Kang. Sumpah!"
"Saladin tidak mati!" kata Suto. "Aku telah berhasil obati lukanya itu. Cuma,
aku ingin tahu di mana kau
peroleh pedang-pedanganmu itu?"
"Di... di Telaga Jompo, Kang. Ketika aku duduk
merenungimu karena kehilangan jejakmu, tiba-tiba
pedang kayu itu muncul dari dalam telaga dan
mengambang. Lalu kuambil dan kugunakan untuk
bermain pedang-pedangan. Ak... aku tak menyangka
kalau orang-orang setua lawan-lawanmu tadi juga masih
kepingin mempunyai pedang-pedangan dari kayu,
Kang." Ki Gendeng Sekarat menyahut, "Itu bukan sekadar
pedang dari kayu biasa, Angon Luwak! itu pedang
pusaka bertenaga hebat. Sangat sakti."
"Benar kata gurumu, Angon Luwak," kata Suto.
"Pedang itulah yang menjadi rebutan para tokoh berilmu tinggi. Pedang itulah
yang dinamakan Pedang Kayu
Petir. Kesaktiannya sudah kau lihat sendiri saat kau
melukai Saladin."
Bocah itu terbengong melompong. Ki Gendeng
Sekarat bertanya lagi,
"Sekarang di mana pedang itu?"
"Pedang itu...," Angon Luwak berhenti bicara,
memandang Suto, Ki Gendeng Sekarat, Angin Betina,
dan kepada Suto lagi. Sepertinya ada keraguan yang
membuatnya bingung untuk mengatakannya.
"Kau simpan di mana pedang itu?" desak Suto
dengan nada pelan.
"Pedang itu... jatuh, Kang."
"Jatuh di mana?"
"Di sana... di tempat kau membuang asap Iblis Naga
Pamungkas."
"Hahhh. ."! Jadi..."!" Suto Sinting terbelalak kaget, ia segera menatap Ki
Gendeng Sekarat yang tak mengerti
maksud Angon Luwak. Suto jelaskan dengan suara
lemah bagaikan kehilangan harapan.
"Pedang itu jatuh ke... Sumur Tembus Jagat!"
"Gila! Sumur itu tak ada dasarnya!" Ki Gendeng Sekarat pun menjadi tegang. Suto
Sinting tarik napas
dalam-dalam, sementara Angon Luwak tundukkan
kepala dengan rasa takut dan bersalah.
Terdengar gumam Suto bagaikan diliputi kecemasan.
"Lantas, bagaimana caranya aku menandingi Raja
Tumbal nanti" Seruling Malaikatnya tak bisa dilawan
kecuali dengan Pedang Kayu Petir itu."


Pendekar Mabuk 031 Pedang Kayu Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Angin Betina memandang Suto, kemudian
mendekatinya dan menepuk-nepuk pundak Suto. Apa
artinya, Suto sendiri tak mengerti.
SELESAI PENDEKAR MABUK ikuti kisah selanjutnya :
SERULING MALAIKAT
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Pukulan Naga Sakti 15 Dewi Ular Lorong Tembus Kubur Kelelawar Iblis Merah 1
^