Pencarian

Pembantai Cantik 1

Pendekar Mabuk 087 Pembantai Cantik Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan
undang-undang. Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit.
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Ke isel
Conve rt & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: De wi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
-ooo0dw0ooo- 1 PERJALANAN sang Pendekar Mabuk menuju negeri Samudera
Kubur menjadi berantakan. Semula ia berangkat ke negeri Samudera Kubur yang ada
di Pulau Blacan bersama Perawan Sinting dan Mahesa Gibas, si pelayan sang
Adipati Jayengrana itu. Dengan mengendarai sebuah perahu layar mereka
menyeberangi lautan menuju Pulau Blacan.
T iba-tiba badai datang, lautan mengamuk, ombak melonjak-
lonjak bagai ratusan kuda liar. Akhirnya perahu itu pecah, tiga penumpangnya
menyebar arah. Tak tahu bagaimana nasib Perawan Sinting dan Mahesa Gibas.
Murid si Gila T uak itu pingsan dan terdampar di pantai, ia ditemukan oleh
seorang kakek berjambul putih. Kemudian dibawa ke pondok sang kakek yang tak
jauh dari pantai. Di pondok itulah Suto Sinting, murid si Gila T uak itu siuman
dalam keadaan sekujur tulangnya bagaikan remuk terpatah-patah. Ia mencoba
bangkit, namun tubuh terasa sakit.
"T etaplah berbaring dulu se belum kekuatanmu pulih kembali.
Anak muda!" ujar sang kakek yang mengenakan jubah abu-abu itu.
Suto kaget, lalu merasa asing dengan wajah tua bertulang pipi menonjoi itu. Ia
tak pernah bertemu dengan tokoh tua yang rambutnya pendek warna hitam, tapi
rambut bagian depan di sekitar ubun-ubun itu berwarna putih uban. Sang kakek
menganggap wajar jika dirinya diperhatikan dengan dahi berkerut tajam. Ia
sunggingkan senyum
tipis dan menampakkan sikap bijaknya dengan memperkenalkan diri lebih dulu.
"Aku yang menemukan kau terkapar di pantai, tak jauh dari kayu-kayu pecahan
perahu. Mungkin itu perahumu yang dihantam ombak ganas tadi malam. Kau tak perlu
takut padaku, karena aku bukan hantu penunggu pantai, juga bukan iblis penunggu
hutan ini."
"Lalu siapa kau sebenarnya, Pak T ua?" tanya Suto Sinting dengan menyeringai
menahan rasa sakitnya.
Kakek bertubuh kurus dan tak terlalu tinggi itu semakin lebarkan
senyum. "Aku adalah seorang pengelana yang sudah bosan berkelana,"
jawab sang kakek yang berusia sekitar tujuh puluh tahun lebih itu.
Sambungnya lagi, "Namaku yang sebenarnya adalah Jumantara, tapi aku dikenal
dengan nama: si Jambul Haha. Dalam bahasa orang-orang sini, 'Haha' itu artinya
putih. Jadi yang dimaksud Jambul Haha adalah Jambul Putih. T api kalau tanyakan
kepada orang daerah Pantai Porong ini nama Jambul Putih, tak ada yang tahu. T
api jika kau tanyakan nama si Jambul Haha, semua orang tahu dan
mengenalku."
"Nama Ki Jumantara! "Jambul Ha
Se bab nama asl
mat," senyumnya
dalam sekejap. Jad
tidak harus berwajah
Pendekar Mabuk nya. T ernyata bumbung
Bumbung tersebut ikut terp
besar menyapu habis perah
Itu ia meminum tuak dari bum
maka seluruh sakitnya akan
menjadi segar kembali
"Ah, tenang saja! Nanti bumbung
datang sendiri," pikir Suto penuh rasa
Se bab, bambu bumbung tuak itu temu. sakti,
seperti punya nyawa sendiri, karen
jelmaan daritokoh sakti zaman dulu,
Pendekar Mabuk dalam episode: "Pedang
Biru"), Bumbung tuak itu sudah beberapa kali
Suto, baik tak sengaja ataupun disenga
oleh seseorang. Namun pada saat-saa
tentu bumbung tuak itu tahu-tahu muncul tak
dari Suto Sinting. Seakan bumbung tuak itu tahu di mana majikan setianya itu
berada, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Asmara Janda Liar").
"Sebentar lagi rasa sakit di sekujur tubuhmu akan hilang," ujar si Jambul Haha.
"Tapi kurasa me-
.u kehilangan pea". asal ceplos sa dirimu di pantai,
petaka. Kulitmu
bawa kemari, kusalurkan
ngeluarkan Racun Keong
Hawa murniku keba
tulang dan uratmu menjadi
percayalah, tak sampai mata
buhmu akan segar kembali."
kasih, Ki Jambul Haha. Aku tak tahu
rus membalas budi baik dan jasamu
sendiri jasa baik akan terbalas
T api kita tak tahu kapan da-
dan kita tak perlu mengha
Karena siapa pun yang menolong de-
harapkan batas jasa, itu namanya bukan san
melainkan memburuhkan jasa untuk
ari upah."
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum sebagai ucapan berterima kasih atas petuah si
Jambul Haha. Kakek berkulit hitam namun tak sampai kering itu segera pergi ke
sisi lain, kemudian datang kembali dengan membawakan sepoci teh panas dan gula
batu di tempat khusus seperti mangkuk dari perak kusam.
"Kubuatkan teh untukmu, biar badanmu cepat segar, Nak, Tapi
sebelum kau minum teh ini, terlebih dulu tolong sebutkan siapa namamu?"
"Namaku... Suto Sinting, Ki."
"Oh, nama yang bagus sekali itu," puji si Jambul Haha. "Dalam bahasa orang
Pantai Porong, Sinting itu berarti tampan, Suto itu berarti anak. Jadi Suto
Sinting itu anak tampan. Cocok sekali dengan wajahmu yang ganteng, Nak."
"Ah, kau terlalu mengada-ada dalam memujiku, Ki Jambul Haha."
"O, ya... kau belum berkenalan dengan cucuku yang bernama Mahayuni. Sebentar,
akan kupanggilkan. Dia sedang berlatih jurus baru di dekat
danau sana. Dia sudah wanti-wanti agar aku
memanggilnya jika kau sudah siuman."
Suto Sinting hanya bisa tersenyum, anggukkan kepala kecil, lalu berkecamuk
sendiri dalam hatinya setelah si Jambul Haha pergi memanggil cucunya.
"Baik sekali pak tua itu. Punya cucu perempuan segala. Hmmm,..
seperti apa cucunya itu" T api... bagaimana keadaan Perawan Sinting dan Mahesa
Gibas" Ba gaimana nasib mereka" Oh, aku lupa
menanyakannya kepada Ki Jambui Haha tadi."
T iba-tiba mata Pendekar Mabuk menangkap sebuah benda yang berdiri di pojok
dipan, bersandar pada dinding kayu. Benda itu membuat mata Suto Sinting
berbinar-binar penuh kegembiraan.
Benda tersebut tak lain adalah bumbung tuaknya yang tadi tidak ada di tempat
itu. "Nah, datang juga akhirnya!"
Kemudian Suto meraih bumbung tuak itu dan menenggak tuaknya beberapa teguk.
Glek, glek, glek...!
Beberapa kejap kemudian, rasa sakit pun hilang. Badan menjadi segar, pernapasan
lancar. Suto tersenyum dan mencium bumbung tuaknya sebagai ungkapan
kegembiraannya. Ia mampu bangkit dengan tanpa menggeliat, bahkan ia mampu
berdiri dengan tegak dan gagah. Baju coklatnya yang tanpa lengan dan celana
putihnya yang telah kering itu membuatnya tampak semakin kekar. Pakaian itu pas untuk tubuhnya
yang berotot dan berdada bidang.
T api tiba-tiba pandangan matanya menjadi buram, makin lama semakin gelap,
dan... blaap! "Ooh..."! Aku buta..."! Mataku menjadi buta atau... atau...."
Suto Sinting tak ingat apa-apa lagi. T ubuhnya menjadi lemas dan terkulai tanpa
daya sedikit pun. Sukma bagai melayang entah ke mana, dan rasa apa pun tak
pernah ada lagi pada diri Pendekar Mabuk.
Beberapa saat kemudian, tak diketahui berapa lamanya, tahu-tahu Pendekar Mabuk
mulai rasakan desiran angin. Setelah merasakan desiran angin, ia mulai mendengar
suara gemuruh samar-samar.
Suara gemuruh itu menjadi jelas beberapa kejap berikutnya. T ernyata suara itu
adalah suara ombak lautan.
Napas terhirup dengan ringan dan longgar. Suto Sinting mulai dapat rasakan hawa
panas di punggungnya. Hawa panas itu datang dari cahaya terik matahari.
Kemudian seluruh rasa telah kembali dimilikinya. Kini mata pun mulai dapat
terbuka dan berkedip-kedip sesaat. Pendekar Mabuk akhirnya tersentak kaget dalam
hatinya saat memandangi tanah berpasir, ia segera bangkit dan menjadi tertegun
bengong. T ernyata ia dalam keadaan terkapar di pantai, dan baru saja siuman
dari pingsannya.
"Oh, apa yang telah terjadi pada diriku?" pikirnya dengan heran sekait. "Mengapa
aku berada di pantai lagi" Bukankah aku tadi berada di pondoknya Ki Jambul
Haha"! Aneh, kenapa bisa jadi begini?"
Mata si tampan berambut sepundak tanpa ikat kepala itu mulai menemukan sebatang
bambu tergeletak tak jauh dari jangkauannya.
Bambu itu adalah bumbung tuak tempat minumnya.
"Seingatku tadi aku minum tuak dari bumbung ini di pondoknya si Jambul Haha"!
Ya, ya... aku meminumnya tiga teguk, kemudian aku merasa pusing, pandangan mata
kabur, dan... tak ingat apa-apa
lagi. T ahu-tahu aku sudah ada di sini"!"
Suto mencoba untuk bangkit. T ernyata badannya terasa segar dan tidak mengalami
rasa sakit sedikit pun. Hal itu juga membuat Pendekar Mabuk terheran-heran, ia
memandangi keadaan dirinya dan sekelilingnya.
"Pakaianku utuh, badanku tak ada yang terluka, tapi... tapi kayu yang terdampar
di sana itu sepertinya pecahan perahu yang kunaiki bersama Perawan Sinting dan
Mahesa Gibas"! Hmmm... ya, aku ingat sekarang. Perahu hancur dihantam ombak,
lalu aku terkapar di... di mana ini" Seingatku si Jambul Haha menyebutkan nama
daerah ini: Pantai Potong. Apa benar nama tempat ini Pantai Potong"!"
Suto Sinting menyangka dirinya dibuang kembali oleh si Jambul Haha. Karenanya ia
segera bergegas mencari pondok berdinding kayu di dalam kerimbunan hutan pantai
itu. Bumbung tuak diperiksa sebentar, ternyata masih berisi dua pertiga bagian.
Suto merasa tenang jika bumbung tuaknya masih menyimpan tuak sebanyak itu.
"Keanehan apa yang telah kualami ini sebenarnya" Aku jadi sangat penasaran,
merasa seperti dibuai bulan-bulanan oleh si Jambul Haha yang... o, ya...
seingatku Jambul Haha akan memperkenalkan cucu ga disnya kepadaku. Kalau tak
salah ia menyebutkan nama sang cucu...
Mahayuni. Hmmm, ya... aku tak salah dengar, ia menyebutkan nama Mahayuni sebagai nama cucunya yang sedang berlatih di dekat
danau. Kalau begitu, aku harus mencari sebuah danau sebagai patokan mencari
pondoknya si Jambul Haha."
Langkah si tampan Suto Sinting terhenti seketika. Dari atas pohon meluncur turun
sekelebat bayangan yang menghadangnya. Bayangan itu kini tampak utuh sebagai
sosok seorang perempuan cantik berambut terurai sepanjang punggung. Matanya
memandang tajam, namun punya keindahan yang menarik, terutama pada bulu mata
lentiknya. Perempuan itu mengenakan jubah tanpa lengan warna merah
bintik-bintik kuning emas. Dadanya ditutup dengan selembar kain
sutera warna hijau muda transparan. Apa yang dibungkusnya itu tampak menonjol
kencang seakan selalu menantang. Sedangkan kain penutup pinggul dan bagian ba
wah lainnya juga terbuat dari kain sutera transparan berbelahan dua. Belahan itu
memanjang dari bawah sampai ke atas paha. Semilir angin menyingkapkan kain halus
itu membuat pahanya yang mulus tampak mengintai ke arah Suto
Sinting. Melihat caranya memandang, perempuan berusia sekitar dua
puluh enam tahun itu sepertinya menganggap
Suto sebagai musuhnya. T api sikap Suto justru lunak dan menampakkan
keramahannya. Suto menegurnya lebih dulu dengan tutur kata dan suara yang
lembut. "Sepertinya kita baru bertemu kali ini. Nona. Siapakah dirimu sebenarnya, dan
mengapa menghadang langkahku dengan sikap seperti itu" Bukankah kita belum
pernah saling bermusuhan, Nona?"
Gadis itu tak menjawab. Kakinya melangkah ke samping, tapi matanya masih tertuju
pada Suto Sinting. Pandangan mata itu membuat Pendekar Mabuk jadi salah tingkah,
bahkan sempat clingak-clinguk tanpa arti.
"Kau telah memasuki wiiayah kekuasaan kami!" ujar perempuan itu secara tiba-
tiba. Nada bicaranya ketus dan sangat tidak bersahabat. Pendekar Mabuk
menanggapi dengan cengar-cengir.
Pandangan matanya sempat nakal, tertuju pada belahan dada yang kelihatan sekal
dan 'mlenuk' seperti bakpao mengintip itu.
"Kau pasti mata-mata dari T anjung Leak!" tuduh perempuan cantik itu.
"T anjung Leak itu di mana" Apakah banyak leaknya"!"
Pertanyaan Suto tak ditanggapi dengan jawaban semestinya.
Se bagai pengganti jawaban, perempuan cantik itu segera menyerang Suto dengan
tendangan kipasnya yang memutar cepat. Wuuut...!
Suto rundukkan kepala agak limbung sedikit seperti orang mabuk mau jatuh.
Weess...! Kaki yang berkelebat ingin menendang kepala Suto itu akhirnya hanya
menendang angin. Badan si murid sinting
Gila T uak itu tegak kembali. Nyengir.
"Kau terlalu galak terhadap seorang tamu, Nona."
Kata-kata Pendekar Mabuk tak dihiraukan. Perempuan itu cepat-cepat lepaskan
pukulan tangan kosongnya ke wajah Suto Sinting.
Beet..., beet, beet...! Suto hanya menghindar ke kanan-kiri sambil sempoyongan
mundur seperti pemabuk keberatan kepala. Jurus mabuknya itu berhasil hindari
serangan lawan, tapi justru membuat lawan bertambah penasaran.
Perempuan cantik itu segera lepaskan tendangan menyamping atas. Wuut...! Kali
ini tangan Suto berkelebat menangkis. Plaakk...!
Namun ternyata tendangan itu cukup ringan, dan yang terberat tendangan kaki
kirinya perempuan itu.


Pendekar Mabuk 087 Pembantai Cantik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan satu lompatan rendah, tubuh si perempuan memutar balik dan kaki kirinya
tahu-tahu menyodok perut Suto. Buuhk...!
"Heehk...!" Pendekar Mabuk mendelik dan tubuhnya terlempar ke belakang dalam
keadaan menahan rasa sakit, seperti orang mau buang hajat.
Brruk...! Pendekar
Mabuk jatuh tepat di ba wah pohon. Punggungnya membentur akar pohon yang menggunduk keras.
Duuhk...! "Uuuhkk...!" pemuda tampan itu semakin meringis dengan tubuh meliuk kesakitan. T
ulang punggungnya terasa memar karena benturan keras itu.
"Edan! Main tipu juga dia." gerutu Suto Sinting dalam hatinya.
"T endangannya cukup berbobot. Perutku terasa mual dan mulas.
Napasku jadi sesak. Belum lagi punggungku ini, aduuuh... jangan-jangan tulang
punggungku retak ini"!"
Perempuan itu bergegas dekati Suto dengan langkah galaknya.
Pendekar Mabuk masih tetap duduk di tanah dan menyeringai kesakitan. Wajahnya
sedikit mendongak pandangi si perempuan yang kini berdiri di depannya dalam
jarak dua langkah. Mata perempuan itu semakin tajam, kelihatan bertambah garang.
"Kalau kau tak mau minggat dari sini, kukirim kau ke neraka!"
"Ja... jangan, jangan...!" Pendekar Mabuk berlagak ketakutan sambil bangkit
berdiri dengan dipaksakan.
"Jangan kirim aku ke neraka, Nona. Sumpah mati, aku belum tahu jalannya. Nanti
nyasar ke rumah janda, repot kan"!"
"Hmmm...!"
dengus perempuan
itu dengan wajah benci. T angannya mulai meraih gagang pedang. Suto berlagak semakin ketakutan dan
gemetar. "Ja... jangan... jangan cabut pedangmu, Nona. Ak... aku paling ngeri melihat
pedang. Lebih baik melihat wanita cantik daripada melihat pedang. Sumpah!"
"Pergi kau dari wilayah kami. Sekarang juga!" bentak perempuan itu.
"Nona, ak... aku... aku bukan mata-mata dari T anjung Leak!
Berani mati berdiri sambil nyengir, aku memang bukan mata-mata, Nona! Bahkan aku
tak tahu di mana T anjung Leak itu!"
"Lalu kenapa kau berada di wilayah ini"! Apa kerjamu?"
"Nganggur. Eh, maksudmu... maksudmu, aku tidak punya pekerjaan apa-apa, karena
aku baru saja siuman dari pingsanku."
Sreett...! Pedang dicabut, Suto makin berlagak takut.
"Aduh, mati aku kalau kau mencabut pedang, Nona," sambil tangannya menyilang
bagai menutupi matanya dari pantulan kemilau pedang itu.
"Kalau kau tak mau berterus terang tentang dirimu, kutebas lehermu sekarang
juga!" ancam si perempuan cantik.
"Aku sudah mengaku apa adanya, Nona! Percayalah padaku, lihatlah tampangku!
Apakah wajahku punya kesan sebagai wajah orang jahat"!"
"Ya!" bentak si perempuan.
"Oh, kalau begitu, kusarankan cucilah matamu dengan air sirih biar terang,
Nona." "Kurang ajar! Bukannya pergi malah menghina! Hiaat...!"
Wees...! Pedang ditebaskan ke arah pundak Suto. Tapi dengan gesitnya tangan Suto
mengangkat bumbung tuak dan bumbung itu
dipakai menangkis tebasan pedang. T rangng...! Suara yang timbul seperti besi
beradu dengan besi.
Perempuan cantik itu sebenarnya terkejut, namun rasa kagetnya disimpan dalam
hati. Hanya saja, hati itu tak hanya menyimpan rasa kaget, melainkan menggumam
penuh kekaguman.
"Hebat! Bambu tempat tuak itu tidak lecet sedikit pun"! Bahkan suaranya
berdentang, sepertinya pedangku menghantam besi berongga. Hmmm... pasti dia menyalurkan tenaga dalamnya ke dalam bumbung tuak
itu. Berarti dia bukan orang sembarangan.
Setidaknya punya ilmu yang patut diperhitungkan. T api aku yakin, kali ini ia
tak akan bisa hindari tebasan jurus 'Pedang Ceplok" yang belum pernah ada
tandingnya!"
T anpa banyak bicara, perempuan itu segera lepaskan jurus
'Pedang Ceplok' yang punya kecepatan cukup berbahaya. Pedang itu ditebaskan dari
atas ke bawah bagai membelah telur, lalu dengan gerakan cepat yang nyaris tak
terlihat, pedang itu menyentak ke kanan dan ke kiri. Wuuut, bet, bet...!
T api Pendekar Mabuk sengaja jatuhkan diri hingga duduk di tanah, lalu kakinya
menendang lutut perempuan itu dengan satu sentakan pendek yang penuh tenaga
dalam. Dees...! Krakk...!
"Oouh...!" perempuan itu memekik sambil jatuh berlutut.
"Maaf, Nona... ini sekadar perkenalan saja!"
Bet, plook...! T iba-tiba Suto Sinting berbalik dan merangkak, lalu kakinya menyodok ke
belakang tepat kenai pipi perempuan cantik itu.
Sodokan kaki Suto membuat si perempuan terpental dan terguling-guling ba gai
disereduk babi hutan.
"Ooouuh...!" ia mengerang di semak-semak sana. Wajahnya menjadi merah karena
tendangan kaki Suto, kakinya dipegangi karena sendi lututnya terasa lepas dan
sakit sekali. Pendekar Mabuk cepat bangkit dan menenggak tuaknya. T uak itu membuat tubuhnya
segar kembali dan rasa sakit di perut serta di punggung lenyap beberapa kejap
berikutnya. Kini Suto Sinting sengaja melangkah kalem dekati perempuan itu sambil
sunggingkan senyum mengejek. Perempuan itu berang sekali, kemudian menyabetkan
pedangnya ke arah kaki Suto. Wuutt...! Suto melompat, seet...! Ia hinggap di
atas ilalang setinggi betis. Ilalang itu tidak patah ataupun rusak, bahkan lebih
melengkung dari semula pun tidak. Perempuan itu hanya memandang dengan mata tak
berkedip dan mulut ternganga sedikit alias bengong.
"Ilmu peringan tubuhnya sangat tinggi!" gumam perempuan itu dalam hati. "Pantas
jurus 'Pedang Ceplok'-ku bisa dihindarinya, rupanya ia memang berilmu lebih
tinggi dariku. Aduuh... lututku sakit sekali, seperti habis dihantam pakai batu
sebesar anak kerbau.
Uuh... mungkin tempurung lututku pecah. Tak bisa kupakai
bergerak. Aaduuuh...!"
Perempuan itu menahan sakit dengan menggigit bibir ba wahnya.
Hati Suto menjadi berdebar-debar, matanya tak mau pindah dari wajah itu, karena
ekspresi wajah itu mengingatkan Suto pada wajah seorang perempuan yang sedang
menikmati gairah kemesraannya.
"Menggairahkan sekali ia jika menggigit bibir begitu. Hmm, hmmm...!" geram Suto
dengan geregetan.
"Mau diteruskan atau berhenti sampai di sini saja, Nona"!"
tantang Pendekar Mabuk dengan tersenyum-senyum. Sang Nona hanya memandang penuh
kedongkolan. * * * 2 MELIHAT sikap Suto Sinting penuh keramahan dan canda,
perempuan itu akhirnya mengendurkan ketegangannya, menepis permusuhannya, dan
mencoba untuk tidak terlalu bercuriga. Bujukan Suto membuat perempuan itu
akhirnya mau meminum tuak sakti tersebut.
"Aneh! Ajaib sekali!" gumam hati si perempuan dengan
keheranan yang besar. "Begitu aku meminum tuaknya, rasa sakitku hilang. Lututku
sudah bisa digerakkan, dan... oh"! Aku bisa berdiri.
Berdiri tegak sekali! Benar-benar manusia langka pemuda ini!
Bahkan kurasakan sekujur badanku menjadi segar, kegusaran hatiku pun menjadi
tenang kembali. Oh, jangan-jangan aku sedang
berhadapan dengan cucunya malaikat"!"
Se gala pujian dan kekaguman tetap tersimpan dalam hati demi menjaga gengsi.
Bahkan ucapan terima kasih pun tak dilontarkan oleh si perempuan. Wajah
cantiknya tetap dijaga agar kelihatan angkuh dan berwiba wa. T api pedangnya
sudah disarungkan kembali dan pandangan matanya tak segalak tadi.
"Siapa kau sebenarnya?" tanyanya dengan ketus.
"Namaku... Suto!" jawab Pendekar Mabuk, sengaja tak mau menonjolkan
kependekarannya. Bahkan ia berusaha untuk tidak menyebutkan
nama lengkapnya supaya perempuan itu menganggapnya berdusta. Seba b, siapa tahu nama Suto Sinting alias Pendekar
Mabuk sudah terkenal di wiiayah tersebut, sehingga si perempuan bisa saja
menganggap Suto menyombongkan diri jika menyebutkan nama lengkapnya sebagai Suto
Sinting. "T erus terang saja, aku terdampar di pantai sebelah sana itu!"
Suto menuding tempatnya terdampar. "Aku dan dua temanku dalam perjalanan
mengarungi lautan menggunakan perahu layar biasa.
T ahu-tahu ada ombak datang, perahuku tersapu ombak, bahkan berputar-putar
seperti mau tersedot angin puting beliung. Akhirnya, perahuku pecah, aku
terkapar di pantai dan terpisah dengan kedua temanku itu."
Perempuan tersebut pandangi Suto dengan mata tak berkedip, ia bukan saja
menemukan daya tarik yang menggetarkan hati, namun juga menemukan sebentuk
kejujuran dalam penuturan cerita tadi.
"Lalu, mengapa kau menuju ke hutan ini" Mengapa kau tidak menyusuri pantai?"
"Aku mencari sebuah pondok," jawab Suto dengan kalem, ia sudah turun dari atas
ilalang sejak tadi, dan kini berhadapan dengan
perempuan itu dalam jarak tiga langkah.
"Pondok siapa yang kau cari?" desak perempuan itu penuh curiga.
"Pondok seorang kakek berjambul putih."
Perempuan itu terkejut, matanya sedikit menyentak lebar, lalu netral kembali. T
api sorot pandangan matanya itu memancarkan kecurigaan yang menjadi besar lagi
seperti tadi. Hanya saja, Suto Sinting berlagak tidak peduli dengan reaksi
tersebut, ia tetap lanjutkan ucapannya yang dilontarkan dengan suara lembut.
Sangat bersahabat kesannya.
"Aku tidak tahu sekarang aku ada di mana. T api pada waktu aku siuman yang
pertama, aku sudah berada di se buah pondok. Rupanya seorang kakek berjambul
putih telah menolongku dan membawaku ke pondok, ia juga telah menyembuhkan
diriku yang katanya terkena racun kuil keong. Entah racun apa namanya, aku lupa.
Pada waktu aku meminum tuakku ini untuk sembuhkan rasa sakit di sekujur tubuhku,
sang kakek sedang memanggil cucunya untuk diperkenalkan padaku."
Pendekar Mabuk bergeser ke kiri, tangannya bersidekap di dada, dan bumbung
tuaknya menggantung di pundak.
"Dan pada waktu kuminum tuak ini, tiba-tiba pandangan mataku jadi gelap, lalu
aku tak sadar diri lagi. Ketika aku siuman, ternyata aku masih dalam keadaan
terkapar di pantai, dekat kayu pecahan perahuku. Makanya aku segera masuk ke
hutan ini untuk mencari pondok si kakek dan menanyakan, mengapa aku dibuang
kembali ke pantai"!"
Perempuan itu masih diam, masih memandangi Suto, masih
menyimpan debar-debar lembut akibat daya pikat yang terpancar melalui wajah dan
senyum si murid sinting Gila T uak dan Bidadari Jalang itu. Ia menunggu lanjutan
cerita dari Suto. Tapi karena Suto ternyata tidak melanjutkan ceritanya, maka si
perempuan yang makin lama tampak semakin curiga itu segera perdengarkan
suaranya. "Siapa nama kakek yang menolongmu itu?"
"Dia memperkenalkan diri kepadaku dengan nama Jambul Haha,
dan...." "Ooh..."!" si perempuan makin terkejut, wajahnya terang-terangan menegang.
Pendekar Mabuk heran, tapi berusaha untuk cuek
sementara. "... dan cucunya yang akan diperkenalkan padaku itu bernama Mahayuni, lalu...."
"Oooh..."!" sentakan kaget si perempuan kian jelas dan nyata.
Akhirnya Pendekar Mabuk penasaran dan merasa jengkel.
"Ah, oh, ah, oh... kenapa kau begitu terus, Nona"! Mengapa kau kaget-kagetan
sejak tadi"!"
Perempuan itu bicara dengan tegas. "Kau jangan berpura-pura kalem! Jelaskan,
siapa kau sebenarnya, atau kuulangi kekasaranku tadi"!"
"Aneh,"
Suto Sinting tersenyum.
"Sekarang kau bahkan mengancamku lagi"!"
"Karena aku tahu maksudmu. Kau ingin memperdaya diriku!"
"Memperdaya bagaimana" T ak perlu kuperdaya, kau memang sudah tak berdaya dalam
berhadapan denganku, Nona."
Perempuan itu mendengus kesal dan jadi serba salah.
"Nona, aku bicara apa adanya dan berusaha bersikap jujur di depanmu, karena aku
tahu kau perempuan yang tidak pantas untuk ditipu atau dikelabuhi. Kalau memang
aku mengada-ada dan
bermaksud memperdaya dirimu, mengapa aku harus sembuhkan luka di lututmu itu"
Mestinya kubiarkan saja, atau kubunuh, atau kuperkosa... kan mudah"!"
"Benar juga," gumam hati si perempuan. Lalu ia ajukan tanya dengan nada sedikit
tenang, tak seketus dan setegas tadi.
"Benarkah kau bertemu dengan seorang kakek bernama Jambul Haha"!"
"Benar! Bahkan dari mulutnya aku mengetahui kalau tempat ini bernama Pantai
Porong. Entah benar atau tidak, aku tak tahu.
Bagaimana" Apa benar tempat ini bernama Pantai Porong?"
"Benar!" jawab perempuan itu pelan.
"Apakah Pantai Porong masih dalam wilayah tanah Jawa?"
"Memang!" jawabnya pendek.
"Kalau begitu si Jambul Haha tidak membohongiku," gumam Suto seperti bicara pada
dirinya sendiri.
"Jika kau benar bertemu dengan kakek bernama Jambul Haha, tentunya kau tahu
siapa nama asli kakek itu?"
"Hmmm...,"
Suto berpikir sebentar, "O, ya... ia juga memperkenalkan nama aslinya yang menurutnya hanya berlaku untuk orang-orang
penting saja. Ia mempunyai nama asli Ki Jumantara."
Perempuan itu terkesip, kepalanya tersentak ke belakang sedikit, tanda ia
terkejut mendengar nama Ki Jumantara.
"Apakah kau kenal dengan Ki Jumantara atau si Jambul Haha"!"
tanya Suto Sinting dengan nada tetap lembut.
Setelah diam beberapa saat, perempuan itu akhirnya menjawab dengan suara seperti
orang menggumam.
"Itu nama almarhum kakekku."
Kini Suto Sinting terkejut. "Oh..."! Maksudmu... kau adalah cucu Ki Jumantara?"
"Benar. Akulah yang bernama Mahayuni!" jawabnya tegas sekali.
Pendekar Mabuk terperangah, kemudian manggut-manggut sambil terbengong.


Pendekar Mabuk 087 Pembantai Cantik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahayuni berkata dengan pelan, "tapi itu tak mungkin."
"T ak mungkin bagaimana?"
"Kakekku telah meninggal tujuh tahun yang lalu."
Mata si tampan Suto terbelalak tanpa sungkan-sungkan lagi.
Baginya penjelasan Mahayuni seperti petir menyambar ujung hidungnya. T aarr...!
"Aku bersungguh-sungguh."
Mahayuni sekarang mulai tampakkan kejujurannya lewat pancaran mata yang tak setajam tadi. Bahkan raut wajahnya tampak mulai murung,
seperti ada duka yang melapisi kecantikan berhidung mancung itu. Mau tak mau
Suto Sinting pun kontan percaya pada
kata-kata Mahayuni.
"Beliau tewas di tangan lawannya dalam suatu pertarungan satu lawan satu."
"Siapa yang membunuhnya?"
"Si Bayangan Setan dari Pulau Blacan!"
"Hahh..."!" tersentak lagi hati Suto mendengar jawaban itu.
Jantungnya bagaikan dibetot tanpa permisi oleh suara Mahayuni.
Karena wajah Suto Sinting kelihatan tegang sekali, Mahayuni pun ajukan tanya
dalam keheranannya.
"Apakah kau mengenal nama si Bayangan Setan" Kelihatannya kau terkejut sekali,
Suto." "Justru perahuku pecah dan aku terdampar di sini itu lantaran aku sedang memburu
si Bayangan Setan di Pulau Blacan! Aku punya urusan sendiri dengan si Bayangan
Setan dan ingin mengajaknya adu nyawa dalam sebuah pertarungan!" tutur Suto
Sinting dengan cepat dan penuh semangat.
Mahayuni sunggingkan senyum tawar. Bagi Suto senyum itu aneh juga. Karenanya
Suto memandangi dengan dahi berkerut heran.
"Pulau Blacan sudah hancur! Kau tak akan temukan si Bayangan Setan jika ke
sana!" "Hancur..."!" makin heran lagi si Pendekar Mabuk itu. Seakan semua yang didengar
dari mulut Mahayuni yang berbibir agak tebal tapi sensual itu serba mengandung
keanehan. "Sebaiknya kau pulang saja, dan jangan berada di wilayah Pantai Porong. Nanti
kau disangka mata-mata dari tanjung Leak."
"T unggu dulu," sergah Suto ketika Mahayuni ingin tinggalkan dirinya. Tanpa
sadar tangan Suto mencekal lengan Mahayuni.
Perempuan cantik itu hanya pandangi tangan tersebut, membuat Suto Sinting
akhirnya segera sadar dan melepaskan genggamannya,
"Aku butuh penjelasan darimu tentang si Bayangan Setan," kata Suto tegas,
' "Carilah di Bukit Lahat!"
"Bukan soal tempatnya saja, tapi keteranganmu itu kusangsikan,
Mahayuni!"
"Sama saja aku menyangsikan keteranganmu yang mengaku bertemu dengan mendiang
kakekku!" "Hmm, ehhh, hhhmm...," Soto salah tingkah sendiri karena menjadi gugup.
"Semoga kita tak akan jumpa lagi!"
Blaas...! Mahayuni melesat pergi dengan cepat. Pendekar Mabuk kelabakan
sebentar, akhirnya menyusul Mahayuni dengan jurus
'Gerak Siluman' yang kecepatannya sama dengan kecepatan cahaya itu. Zlaaapp...!
Dalam sekejap Mahayuni sudah terhadang langkahnya oleh Suto Sinting. Pendekar
Mabuk itu sengaja berdiri tepat di depan Mahayuni dalam jarak sepuluh langkah
kurang. Akibatnya, Mahayuni hentikan langkah dengan menarik napas menyimpan
kejengkelan hatinya.
Pendekar Mabuk hampiri si cantik dan berhenti dalam jarak empat langkah. Mereka
saling berhadapan dengan sama-sama tegang seperti ingin lakukan pertarungan.
Pendekar Mabuk sendiri bicara dengan nada tegas dan tanpa senyum, ia tampak
serius sekali. "Kuharap kau percaya padaku, bahwa aku memang ditolong oleh kakekmu, sehingga
terhindar dari racun kulit keong itu."
"Kuharap kau juga percaya, bahwa istana Samudera Kubur sudah hancur dan si
Bayangan Setan tidak ada di sana!" balas Mahayuni.
"Baik. Aku akan percayai kata-katamu itu. T api jelaskan, kapan Samudera Kubur
hancur"!"
"Delapan tahun yang lalu!"
"Ooh..."!" Pendekar Mabuk terperangah dan tampak bingung, ia berkata dengan
suara seperti orang menggumam, namun didengar oleh Mahayuni.
"Padahal perjalananku menuju Samudera Kubur baru memakan waktu delapan hari."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku, baru tiga hari yang lalu aku berhadapan dengan orang-orangnya si
Bayangan Setan yang menculik Rama Jiwana,
menanti Adipati Jayengrana."
"T idak mungkn! Kurasa kau orang yang kurang pengetahuan dalam hal ini, Suto!"
"Aku denyar sendiri suara si Bayangan Setan menyuruh orang-orangnya untuk pulang
ke Samudera Kubur!"
"Barangkali yang dimaksud adalah
Bukit Lahat!" sentak Mahayuni karena merasa jengkel melihat sikap Suto yang ngotot itu.
Sikap saling ngotot itu membuat mereka semakin mirip orang ingin lakukan
pertarungan. Karenanya, tiba-tiba sekeping logam berbentuk daun bergerigi
melesat dengan cepat dari arah belakang Pendekar Mabuk. Ziiing...! Jeerb...!
"Aaahk...!" Suto Sinting mengejang dengan mata terpejam kuat-kuat. Ia memegangi
punggungnya. Punggung itu terluka dan
berdarah. Rupanya ada orang yang lemparkan senjata rahasia beracun tinggi ke
arah Suto Sinting. Senjata itu kini menancap di punggung Suto dan membuat Suto
terkulai jatuh, lalu tak sadarkan diri.
Mahayuni terkejut, ia segera mendekati Pendekar Mabuk dan memeriksanya. Mahayuni
menjadi semakin kaget setelah mengetahui punggung Suto terluka oleh senjata
rahasia yang mirip daun bergerigi itu. Ia mengenali pemilik senjata rahasia
tersebut. Maka perempuan cantik itu menjadi cemas dan tegang, ia bangkit, lalu berseru
dengan lantang dengan marahnya.
"Rahisan! Keluar kau!"
Kurang dari dua helaan napas, sesosok bayangan turun dari atas pohon, ia
bagaikan elang menghampiri mangsanya. Gerakannya cepat dan menebarkan angin
kencang di sekelilingnya.
Wuuusss...! Daun-daun terhembus, semak ilalang tersingkap, bahkan ranting kering yang
berjatuhan di tanah dapat berserakan bersama rumput-rumput kering. Rambut
panjang Mahayuni tersingkat meriap-riap bagai dihembus angin kencang. Sudah
pasti bayangan yang turun dari atas pohon itu adalah orang berilmu tinggi yang
gerakannya mampu hadirkan angin kencang, nyaris menyerupai badai.
Seraut wajah mungil segera menjelma ketika angin kencang itu mulai reda. Seraut
wajah mungil itu milik seorang gadis kecil berambut kepang kuda. Gadis kecil itu
mengenakan baju tanpa lengan
warna hijau dan celananya juga warna hijau. Ikat pinggangnya dibalut kain beludru warna merah. Di pinggang si gadis kecil itu
terselip sebilah pedang bersarung hitam dengan gagang ukiran bentuk kepala
burung hantu. Gadis kecil yang tingginya sebatas perut Mahayuni itu tersenyum ketika ditatap
Mahayuni dengan pandangan mata berangnya.
Wajahnya yang cantik mungil seperti baru berusia sekitar sepuluh tahun itu
kelihatan tenang. Seolah-olah ia merasa tak melakukan apa-apa.
"Mengapa kau serang pemuda ini, Rahisan"! T ahukah kau bahwa racun dalam senjata
rahasiamu itu dapat menewaskan pemuda itu dalam waktu kurang dari seperempat
hari"!"
"Itu bagus, bukan"!"
"Apanya yang bagus"!" bentak Mahayuni.
"Apakah aku salah jika membelamu"! Apakah aku tak boleh melumpuhkan orang ini
sebelum dia menyerangmu"!" ujar gadis itu dengan lagak tengil dan sok tua.
"Kau keliru, Rahisan! Aku tidak bermusuhan dengan pemuda ini!"
"Lho..."!" Rahisan memandang dengan bengong.
"Dia terdampar di pantai! Perahunya pecah dihantam ombak badai. Dia sedang
berdebat denganku tentang si Bayangan Setan!"
"Jadi... kalian berteman"!" Rahisan makin bingung.
* * * 3 TERNYAT A Pantai Porong merupakan wilayah kekuasaan
Panembahan Pancalingga. Di situ berdiri se buah padepokan yang juga sebuah
perguruan cukup besar dengan jumlah murid hampir mencapai seratus orang.
Perguruan beraliran putih itu diketuai langsung oleh Panembahan Pancalingga.
Dalam silsilahnya, Mahayuni adalah murid sekaligus cucu dari Panembahan
Pancalingga, karena sang penembahan adalah adik dari Ki Jumantara alias si
Jambul Haha. Racun yang ada di senjata rahasia gadis kecil itu hanya bisa disembuhkan oleh
sang Panembahan sendiri. Beruntung saat itu, luka beracun yang diderita Pendekar
Mabuk belum sampai membuat nyawa sang pendekar melayang. Panembahan Pancalingga
menyerap habis racun itu dengan cara menempelkan telapak tangannya pada luka. T
elapak tangan itu berubah menjadi biru, lama-lama menjadi hitam.
T angan lelaki kurus berjubah putih dengan sorban putih juga itu segera
disentakkan ke atas, maka melesatlah cahaya biru berasap samar-samar dan tangan
yang hitam itu menjadi bersih seperti semula.
"Lain kali kau tak boleh gegabah menggunakan senjatamu itu, Rahisan!"
"Baik, Eyang!" jawab Rahisan dengan wajah penuh rasa takut.
"Pemuda ini bukan orang T anjung Leak. Ilmunya bahkan jauh lebih tinggi dari si
Penguasa T anjung Leak itu."
"Maksud Eyang, orang ini lebih sakti dari Nyai Gincu Barong"!"
"Benar, Rahisan! Justru sebenarnya kita beruntung kedatangan tamu pemuda ini,
karena dia pasti akan memperkuat pihak kita jika orang-orang T anjung Leak
menyerang lagi."
Percakapan itu terjadi pada saat Pendekar Mabuk belum siuman, namun racun
senjata rahasia itu sudah diserap habis oleh sang Panembahan. Pendekar Mabuk
dibaringkan di lantai pendopo beralas tikar. Beberapa murid Perguruan Pantai
Porong mengerumuninya, termasuk Mahayuni yang paling dekat dengan tempat Suto
berbaring menunggu siuman, sementara yang lain hanya berkerumun dari jarak
agak jauh. Rahisan dan Mahayuni berada di samping kanan-kiri Pendekar Mabuk,
mendengarkan kata-kata Eyang Panembahan
mereka. "Dia mengaku bernama Suto, Eyang," ujar Mahayuni. "Benarkah itu namanya?"
"Benar," jawab Eyang Panembahan. "Nama lengkapnya adalah Suto Sinting, gelarnya
adalah Pendekar Mabuk."
"Ooohhh..."!"
Semua orang yang ada di situ menggaung antara terkejut dan bangga. Selama ini
mereka hanya mendengar nama dan kesaktian sang Pendekar Mabuk, tak pernah
bertatap muka dengan pendekar yang kondang ketampanannya itu. Baru sekarang
mereka dapat berjumpa dan melihat sendiri seperti apa kegagahan dan ketampanan
sang Pendekar Mabuk alias Suto Sinting itu.
Karenanya, beberapa murid yang semula berada agak jauh kini mendekat secara
serempak ingin melihat lebih jelas lagi sosok si Pendekar Mabuk itu. Bahkan
beberapa orang dari mereka saling berdesak-desakan, ingin mendapat tempat paling
depan, terutama para gadisnya. T etapi Mahayuni segera menenangkan mereka agar
kembali tertib seperti semula. Mereka pun menurut apa perintah Mahayuni, karena
Mahayuni dipandang sebagai murid tertua dan tertinggi tingkatannya dibanding
mereka. Tingkatan kedua diduduki oleh
Rahisan yang merupakan cucu langsung dari Eyang Panembahan Pancalingga.
"Kalian boleh bertukar pendapat dengan Pendekar Mabuk, boleh saling berkenalan,
tapi tetap jaga kesopanan dan hormat. Sebab, aku melihat noda merah kecil di
tengah keningnya," ujar Eyang Panembahahan.
"Apa arti noda merah kecil itu, Eyang?" tanya Rahisan.
Salah seorang murid menimpali, "Apakah noda merah itu berarti sang pendekar
sedang masuk angin"!"
"Husy!" hardik Mahayuni membuat orang tersebut mengkerut.
Mereka saling berkerut dahi, merasa heran dengan penglihatan
sendiri. Sebab mereka tidak melihat ada noda merah kecil dikening Pendekar
Mabuk. Bahkan sebutir jerawat pun tak ada. Mereka akhirnya berkesimpulan, hanya
orang-orang berilmu tinggi yang sudah mencapai kepekaan Indera ketujuh saja yang
bisa melihat noda merah kecil itu. Dan ternyata penjelasan sang Panembahan pun
memang begitu. "Noda merah kecil sebesar biji jagung itu tidak bisa dilihat oleh sembarang
orang. Seba b noda merah itu merupakan tanda
penghargaan sekaligus jabatan bagi si Pendekar Mabuk. Bagi orang yang tahu, tak
akan berani bertingkah sembarangan di depan pemuda ini, sebab noda merah itu
menandakan bahwa dia adalah seorang Manggala Yudha alias Panglima Perang dari
Sebuah negeri di alam gaib, yaitu negeri Puri Gerbang Surga wi dengan ratunya
yang kukenal bernama Gusti Ratu Kartika Wangi," (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode; "Manusia Seribu Wajah").
Para murid manggut-mahggut, merasa terkesima dan terkagum-kagum oleh penuturan
Eyang Panembahan alias guru mereka itu. Si gadis kecil Rahisan sempat bertanya
kepada kakek kandungnya itu dengan lagak sok tuanya.
"Bukankah negeri Puri Gerbang Surga wi itu adanya di Pulau Serindu, Eyang.
Seingatku, ratu negeri Puri Gerbang Surga wi bernama Dyah Sariningrum dan
berjuluk Gusti Mahkota Sejati.
Bukan Ratu Kartika Wangi seperti yang Eyang katakan tadi. Pikirlah dulu baik-
baik, Eyang. Siapa tahu catatan dalam ingatan Eyang sedikit keliru."
Sang Panembahan tersenyum bijaksana. "Rahisan, negeri Puri Gerbang Surga wi itu
ada dua; satu di alam gaib, satu di alam nyata.
Dyah Sariningrum itu ratu Puri Gerbang Sur gawi di alam nyata. Dia anak dari
Gusti Ratu Kartika Wangi."
"Ooo...," Rahisan manggut-manggut.
"Kalau begitu, Pendekar Mabuk ini adalah tamu agung kita, Eyang?" ujar Mahayuni.
"Iya! T api... pendekar yang satu ini memang agak konyol. Lihat
saja, sebagai Manggala Y udha dari sebuah negeri terhormat hanya mengenakan
pakaian seperti ini dan membawa-bawa bumbung tuak itu," sambil sang Panembahan
menuding bumbung tuak yang tergeletak di lantai atas kepala Suto. "Itu kan
namanya konyol! Jadi cara kita bersikap kepadanya tak perlu muluk-muluk. Dia
bahkan tak suka dihormati secara muluk-muluk. Dan hati-hati...," Panembahan agak
mengecilkan suara.
"Ada apa, Eyang?"
"Hati-hati, pendekar ini agak mata keranjang. Jangan mengawali melirik nakal.
Sebab kalau diawali dengan lirikan nakal, maka kalian, terutama yang perempuan,
bakal mendapat lirikan yang lebih nakal lagi. Biasanya kalau sudah begitu, gadis
mana pun pasti akan terbuai olehnya dan bisa jadi tergila-gila padanya."
"Hi, hi, hi, hi...!' para murid wanita tertawa cekikikan.
"Habis ganteng, Eyang," celetuk salah seorang murid wanita.
"Memang dia ganteng, tapi kalau tidak diawali dia tidak mau berbuat nakal.
Sekali terkena kenakalannya, ooh... heboh! Pokoknya heboh!"


Pendekar Mabuk 087 Pembantai Cantik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dari mana Eyang tahu banyak tentang pendekar heboh ini?"
tanya si kecil Rahisan.
"Lho, Eyang kan sering berhubungan batin dengan bibi gurunya; si Bidadari Jalang
itu." "Lho, katanya Pendekar Mabuk itu muridnya si Gila T uak?"
"Lha, iya! Memang muridnya si Gila T uak. Tapi dia juga menjadi muridnya
Bidadari Jalang."
"Jadi dia punya dua guru, Eyang?" tanya Mahayuni.
"Benar. Punya dua guru; Gila T uak dan Bidadari Jalang. Mereka ibarat kakak-
beradik dalam satu perguruan."
Mereka saling berkasak-kusuk dengan wajah berseri-seri, sesekali tampak
mengagumi kehebatan ilmu Pendekar Mabuk. Kejap berikut, Panembahan Pancalingga
perintahkan kepada Mahayuni untuk
memindahkan Suto Sinting sebelum pemuda itu siuman.
"Bawa dia ke kamar peristirahatan. Bisa malu kita kalau dia
siuman dan ternyata masih digeletakkan di lantai begini."
Para murid, terutama yang wanita, saling berebut membawa Suto ke kamar
peristirahatan.
"Biar aku saja yang membawanya.... Jangan, aku saja! Badanku lebih kuat kok,...
Minggir-minggir, sini kubawanya sendiri.... Eh, jangan sendirian. Aku juga mau
membawanya.... T idak, aku saja...."
T ubuh Suto ditarik ke sana-sini oleh beberapa tangan. Panembahan Pancalingga menjadi cemas.
"Eeh, eeh... jangan dibetot ke sana-sini! Kalian pikir rebutan kalkun
panggang"!"
Akhirnya tubuh kekar itu jatuh dari ketinggian satu perut. Bruuk, gleduuuhk...!
"Naaah... jatuh kan"! Aduh, bisa bocor kepalanya itu!"
Jatuhnya Suto membuat pingsannya justru menjadi siuman, ia tersentak kaget dan
langsung menyeringai sambil mengerang kesakitan. Kedua tangannya, pegangi
kepala. "Aaauuhh.!"
Mereka justru ketakutan dan ditinggal kabur begitu saja. Bruubut.
.! T inggal Eyang Panembahan yang ada di situ, clingak-clinguk salah tingkah,
karena merasa tak enak terhadap sang Manggala Yudha yang dihormati itu.
"Aduh, anak-anak bagaimana ini"! Kalau sudah be gitu ditinggal pergi begitu
saja. Celaka! Pasti aku yang kena getahnya!"
Namun ternyata Pendekar Mabuk tidak tersinggung dan tak ada yang disalahkan.
Pemuda itu justru mengambil sikap bijaksana, mengucapkan terima kasih kepada
Eyang Panembahan walaupun sebelumnya Eyang Panembahan lebih dulu bur u-buru
memberikan hormat kepada sang Manggala Y udha itu. Keramahan dan keceriaan Suto
Sinting membuat mereka menjadi tak sungkan-sungkan untuk mendekat dan saling
ajukan tanya. Hal itu, terjadi setelah badan Suto merasa segar kembali akibat
menenggak tuak saktinya.
"Dia memang tidak seperti seorang panglima, ya?" bisik salah seorang murid
lelaki. "Dia memang selalu merendah. T uh, lihat saja kepalanya sampai rendah, kan?"
"Itu karena dia sedang gar uk-garuk jempol kakinya!" sentak yang lain dengan
suara pelan. Mereka terkesima mendengar cerita pertarungan Pendekar Mabuk saat melawan
Pangeran Cabul dan Rogana, si manusia badak, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Perawan Sinting"). T api mereka segera menjadi tegang dan berdebar-
debar ketika Suto ceritakan pertarungannya dengan Gober, orang kepercayaan si
Bayangan Setan, kisah pengejaran ke Samudera
kubur dan pertemuannya dengan Ki Jambal Haha.
Bukan para murid saja yang terkejut mendengar nama Jambul Haha disebutkan,
melainkan Eyang Panembahan sendiri juga kaget, hingga terpaksa ajukan beberapa
pertanyaan yang bersifat menguji kesungguhan cerita tersebut. Tentu saja tes uji
kesungguhan itu berhasil dijawa b oleh Suto secara benar, karena bagi Suto
pertemuan dengan Jambul Haha bukan sekadar isapan jempol.
Salah seorang murid berbisik kepada temannya, "Kurasa cerita itu sungguh-sungguh
terjadi. Bukan hanya isapan jempol semata."
"Lagi pula jempolnya siapa yang mau dihisap sampai mata"!"
tanggap murid yang memang rada culun. Mereka cekcok sendiri, lalu digertak oleh
si kecil Rahisan, keduanya diam, mengkerut seperti harum manis kena angin.
Panembahan Pancalingga mengangkat kedua tangannya, semua
suara hilang. Suasana menjadi sepi senyap seketika itu juga.
Rupanya kedua tangan Panembahan Pancalingga mempunyai daya bungkam sendiri ba gi
murid-muridnya, sehingga tak satu pun berani bersuara. Bahkan yang suara batuk
pun tak ada. Suara napas pun tak terdengar.
"Hebat Juga Eyang Panembahan ini," pikir Suto. "Jurus apa yang dipakainya,
sehingga dengan mengangkat kedua tangan saja sudah bisa bikin bungkam mulut
mereka?" Pendekar Mabuk tak tahu bahwa kedua tangan Eyang Panembahan sebenarnya tak memiliki kekuatan pembungkam. Yang membuat mulut
mereka bungkam adalah wiba wa dan kharisma sang Panembahan, di mana ia sebagal
guru dan penguasa wilayah Pantai Porong sangat dihormati dan ditakuti oleh para
muridnya. "Agaknya, mendiang Ki Jambul Haha, yaitu kakakku sendiri, sengaja ingin
mempertemukan Pendekar Mabuk dengan kita. Entah apa sebenarnya maksud roh Ki
Jambul Haha itu. T api firasatku mengatakan, Ki Jambul Haha ingin supaya
Pendekar Mabuk membantu kita dalam menghadapi orang-orang Tanjung Leak,
terutama Nyai Gincu Barong itu!"
T iba-tiba, mereka bersorak serentak, "Hidup Pendekar Mabuutik...!!"
Suto Sinting clingak-clinguk kaget, ia memperhatikan mereka.
Hanya si kecil Rahisan yang tidak ikut bersorak dan mengangkat satu tangan.
Mahayuni saja ikut bersorak, tapi gadis kecil Rahisan hanya diam, cuek,
bersidekap, matanya memandang agak angkuh kepada Pendekar Mabuk.
"Rahisan, kenapa kau tidak ikut gembira menyambut kedatangan Pendekar Mabuk
ini"!" tanya Mahayuni.
"Ah belum tentu dia unggul melawan Nyai Gincu Barong," jawab Rahisan sambil
mencibir terang-terangan di depan Suto Sinting.
"Buktinya, ia masih bisa terkena senjata rahasiaku! Hmmm...! Kita lihat saja
hasilnya nanti. Jangan bersorak dulu sebelum dia memang unggul melawan Nyai
Gincu Barong!"
"T engil amat
gadis lucu itu?" pikir Suto Sinting sambil
sunggingkan senyum geli. T api ia segera berkata dengan nada merendahkan diri.
"T iap manusia memang punya kelemahan, demikian juga aku.
Dan kurasa memang belum tentu aku unggul melawan Nyai Gincu Barong. T etapi jika
Eyang Panembahan yang melawan Nyai Gincu Barong, tentunya Nyai Gincu Barong akan
tumbang dalam satu gebrakan. Bisa jadi Nyai Gincu Barong akan sakit sendiri,
jatuh sendiri, mati sendiri dan mengubur diri sendiri!"
"O, tidak begitu, Nak Mas Pendekar...," sela Eyang Panembahan.
"Aku sudah bersumpah untuk tidak mau lakukan pertarungan, kecuali menghindari
dan mengobati yang terluka. Sumpah ini kuucapkan di depan kakakku; si Jambul
Haha, pada saat dia dalam keadaan sekarat dan aku tak bisa kejar si Bayangan
Setan itu! Jadi aku tak berani melanggar sumpah. Barangkali dengan alasan
itulah, maka roh kakakku mempertemukan dirimu dengan pihakku, agar kau menjadi
wakilku melawan Nyai Gincu Barong."
Mahayuni menarik tangan gadis kecil berlagak tengil itu.
"Rahisan, hati-hati bicaramu. Jangan menyinggung perasaan Pendekar Mabuk."
Rahisan justru membantah dengan suara keras.
"Masa' seorang pendekar perasaannya mudah tersinggung dengan ucapan seperti itu
saja"! Hmmm! Pendekar cap apa dia kalau begitu"!"
Suto menyahut, "Cap tengkorak nyengir!"
Lalu yang lainnya tertawa serentak. Suto Sinting sendiri ikut tertawa walau
tidak terbahak-bahak.
T etapi di balik sambutan ramah orang-orang Padepokan Pantai Porong itu,
ternyata Suto Sinting tetap menyimpan misteri yang membuatnya sangat penasaran,
akhirnya ia dibayang-bayangi oleh kegelisahan. Menjelang tidur malam di
kamarnya, Pendekar Mabuk kelihatan sangat resah, tak bisa tenang.
"Benarkah Samudera Kubur sudah hancur delapan tahun yang lalu"! Kalau begitu,
haruskah aku mengejar si Bayangan Setan ke Bukit Lahat"! Apakah ia masih
menyandera Rama Jiwana" T erus, bagaimana dengan Perawan Sinting dan Mahesa
Gibas" Seharusnya dalam saat-saat bingung begini, aku bisa bertemu dengan
Perawan Sinting
dan membicarakannya.
T api... kelihatannya pihak Panembahan sangat membutuhkan bantuanku. Lalu, mana yang
harus kulakukan lebih dulu; menghadapi Nyai Gincu Barong lebih dulu"!"
Akhirnya Suto memutuskan untuk mencari Perawan Sinting di
sepanjang Pantai Porong. Ia berharap dapat menemukan Perawan Sinting atau Mahesa
Gibas di pantai tersebut, ia juga berharap kedua sahabatnya itu terdampar di
pantai itu juga dalam keadaan masih bernyawa.
* * * 4 POT ONGAN tiang layar ditemukan Suto bersama sesobek kain layarnya. Semula ia
merasa senang, karena dapat menemukan bagian lain dari perahunya. T etapi di
sekitar tempat itu tak ditemukan Perawan Sinting maupun Mahesa Gibas. Hanya
saja, ia menemukan bekas telapak kaki yang bergerak dari pantai ke hutan.
"Apakah ini bekas jejak kaki Perawan Sinting"!" tanyanya dalam hati. "Atau
jangan-jangan ini Jejak kaki si Mahesa Gibas"! Oh, aku lupa menanyakan ukuran
kaki mereka sebelum berlayar. Akibatnya aku tak bisa membedakan telapak kaki
siapa yang ada di pasir pantai ini"!"
Pendekar Mabuk pandangi arah hutan dengan teliti. T ak ada tanda-tanda gerakan
manusia di sana. Bahkan suara rintih atau dengus napas pun tak terdengar. Maka,
jurus 'Lacak Jantung' pun digunakan oleh Suto Sinting. Jurus itu dapat
mendeteksi detak jantung seseorang yang berada di sekitarnya.
"Hmmm..., aku mendengar detak jantung yang berirama kalem-kalem saja. Arahnya di
sebelah sana. Aku yakin di sana pasti ada orang. Hanya saja, apakah dia Perawan
Sinting atau Mahesa Gibas, aku tak bisa menduganya."
Suto segera menuju sasaran dengan lompatan-lompatan peringan tubuhnya, sehingga
suara langkahnya tak terdengar oleh siapa pun. Ia menyelinap di antara pohon-
pohon mendekati suara detak jantung itu.
"Ooh..."!" dahi Pendekar Mabuk berkerut heran. "Suara detak
jantung itu menghilang" Aneh. Padahal tadi sudah semakin keras, berarti semakin
dekat. Mengapa tiba-tiba hilang begitu saja" Apakah orang itu mati"!"
Mata setengah dipejamkan, konsentrasi dipusatkan pada kepekaan pendengaran.
Jurus 'Lacak Jantung' digunakan lagi. Akhirnya ia memandang ke arah pantai,
karena kini suara detak jantung itu ada di pantai.
"Mengapa bisa pindah ke pantai secepat ini"!" pikir Pendekar Mabuk. "Apakah yang
ada di pantai adalah detak jantung orang lain"
Maksudku, bukan orang yang ada di dekat-dekat sini?"
Rasa penasaran membuat Pendekar Mabuk terpaksa memeriksa
keadaan hutan sebentar. T etapi ternyata di sekitar tempat didengarnya detak jantung tadi memang tak ada orang, bahkan sesosok mayat pun
tak ada. Pendekar Mabuk berkesimpulan, si pemilik detak jantung itu memang sudah
pindah ke daerah pantai.
Maka ia pun segera mengejar ke pantai kembali. Zlaaap...!
Di sana juga tak ada orang. T api anehnya, detak jantung itu menjadi semakin
jelas, bahkan sepertinya sedang mendekati Suto Sinting. Pandangan dan
kewaspadaan Suto segera ditingkatkan.
Bumbung tuak yang digantungkan di pundak kini sudah digenggam dengan tangan
kirinya. "Ada sesuatu yang bergerak mendekatiku, tapi ia tak punya rupa,"
batin sang pendekar. "Aku harus hati-hati. Siapa tahu tiba-tiba ia menyerangku
tanpa bisa kusentuh tubuhnya, aku harus tetap waspada."
Sampai beberapa saat, detak jantung itu masih terdengar jelas tapi wujud
pemiliknya tak kelihatan. Bahkan Suto merasa si pemilik detak jantung itu sedang
mengitarinya dalam jarak sekitar delapan langkah.
"Aneh, tak kulihat sosoknya tapi jelas kudengar detak jantungnya.
Hmmm... kurasa kali ini aku berhadapan dengan Bayangan Setan yang mampu hadir
tanpa sosok tubuh itu. Jika memang...."
Ucapan batin sang Pendekar Mabuk terhenti karena tiba-tiba
pandangan matanya menangkap sesuatu. Sesuatu yang dilihatnya adalah seekor kupu-
kupu yang terbang mengelilinginya.
Rasa ingin membuang air kecil pun timbul, dan Suto mencari tempat yang
tersembunyi untuk membuang air seninya. T api kupu-kupu itu hinggap di ilalang
persis di depan Suto. Sambil
memandangi kupu-kupu itu, dengan cuek Suto menuntaskan hajat kecilnya tersebut.
"Hmmm... kupu-kupu itu sepertinya memandangiku terus.
Apakah ia tertarik dengan alat pembuang airku ini?" ujarnya dalam hati dengan
konyol. Lalu, perhatiannya kepada kupu-kupu itu dilanjutkan.
Namun kejap berikut, setelah pembuangan hajat kecil itu selesai, Pendekar Mabuk
baru menyadari ada yang aneh pada seekor kupu-kupu yang berwarna hitam bintik-
bintik kuning dengan ukuran kecil itu.
Pendekar Mabuk pandangi kupu-kupu yang sekarang terbang
kembali mengelilinginya dan ternyata suara detak jantung tersebut berasal dari
binatang kecil tersebut. Menurutnya, ini hal yang aneh.
T ak pernah ia dapat melacak detak jantung seekor kupu-kupu.
Bahkan detak jantung seekor burung pun tak berhasil dilacaknya dengan
ilmu tersebut. T api mengapa sekarang Suto bisa mendengarkan suara detak jantung seekor kupu-kupu"
"Aku yakin dia bukan kupu-kupu sembarangan," pikirnya dalam membatin. "T ak
mungkin seekor kupu-kupu mempunyai detak jantung sekeras ini. T api jika kupu-
kupu itu terbang melintasi kepalaku, suara detak jantung pun kudengar lebih
keras lagi. Ah, apa iya seekor kupu-kupu mempunyai sentakan jantung sama dengan
ukuran detak jantung manusia"!"


Pendekar Mabuk 087 Pembantai Cantik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

T iba-tiba kupu-kupu hitam bintik-bintik kuning itu melesat cepat seakan ingin
menabrak wajah Suto.
Wees...! Pendekar Mabuk hanya lengkungkan badan ke belakang hingga kepalanya
terdongak. Dengan begitu kupu-kupu tersebut tak berhasil kenai wajahnya.
"Hei, kenapa dia sepertinya mau menyerangku"!" ujar Suto membatin dengan heran.
Kupu-kupu itu segera hinggap di atas ujung sebongkah batu berukuran satu dada.
Pendekar Mabuk mendekati dengan rasa penasaran. Namun baru mendapat beberapa
langkah, kupu-kupu itu terbang kembali dan melesat ingin menerjang Suto Sinting.
Dengan gerakan limbung cepat seperti orang mabuk mau tumbang, gerakan kupu-kupu
itu berhasil dihindari Suto Sinting lagi. Wuuus...!
Kejap berikut kupu-kupu itu terbang tinggi dan memutar cepat.
Putaran tubuhnya mengeluarkan asap yang makin lama semakin tebal. Asap itu
bergerak turun sambil berputar, sampai akhirnya menyentuh tanah dan, buuss...!
"Ooh..."!" Pendekar Mabuk terbelalak kaget, karena hilangnya asap dan kupu-kupu,
muncullah seraut wajah cantik berjubah hitam bola-bola kuning. Seraut wajah
cantik itu mempunyai rambut panjang terurai dan mengenakan mahkota hias
berukuran kecil.
Pendekar Mabuk mengucal-ngucal matanya, khawatir kalau dia salah pandang. T
ernyata apa yang dipandangnya saat itu memang benar, ia berhadapan dengan seraut
wajah cantik berhidung mancung dan berbibir menggemaskan. T ubuhnya sekal, padat
dan berisi. Dadanya yang ditutup dengan pinjung kain kuning itu kelihatan montok sekali.
Sebagian belahan dadanya tersumbul naik dari dalam pinjung.
Wanita cantik itu tampak sudah berusia sekitar dua puluh tujuh tahun.
Kecantikannya cukup matang, demikian pula keseksian tubuhnya tampak sedang
matang-matangnya. Kain penutup pinggul yang berwarna kuning itu mempunyai dua
belahan, depan dan belakang. Belahan yang depan cukup panjang. Dari bawah sampai
mendekati pusar. Satu gerakan kaki saja dapat menyingkapkan kain dan menimbulkan
daya tarik yang dapat membuat Suto panas-dingin.
Wanita cantik itu sunggingkan senyum tipis berkesan sinis. Tapi senyuman itu
justru menambah kecantikannya menjadi semakin memancarkan daya pikat tinggi.
"Cantik sekali dia"!" puji Suto dalam hatinya. Senyuman itu dibalas oleh
Pendekar Mabuk dengan senyuman tipis pula. Setelah maju tiga langkah, Pendekar
Mabuk sengaja tampilkan kesan bahwa ia sangat mengagumi kecantikan perempuan
itu. "Kupu-kupu yang cantik," ujar Suto pelan. "Siapa sangka kalau kupu-kupu kecil
itu ternyata adalah seorang wanita yang menarik dan menggemaskan. Sayang sekali
tak kutahu namanya."
Dengan mata memandang nakal mengoda hasrat lelaki, wanita berkulit putih itu
perdengarkan suaranya yang bening tanpa serak sedikit pun.
"Apakah kau pernah mendengar nama Andani?"
"Belum. T erus terang saja, aku orang baru di sini. Jadi masih merasa asing
dengan nama Andani. Siapakah orang yang memiliki nama Andani itu?"
"Orang itu ada di depanmu."
"Oo...," Suto Sinting manggut-manggut dalam senyumnya yang menawan.
"T ernyata nama itu sangat sesuai dengan kecantikan orangnya", tambah Suto
Sinting. Si wanita perlear senyumnya, namun matanya tetap memandang Suto tanpa
kedip penuh goda.
''Apakah kau orang Pantai Porong juga, Andani?"
"Bukan. Aku orang pendatang, Suto."
Pemuda tampan itu terkejut. "Oh, kau sudah tahu namaku"!"
"Siapa orang yang tidak kenal nama Suto Sinting dalam pakaian berciri coklat-
putih dan bumbung tuak yang selalu dibawanya itu"
Siapa orang yang tidak kenal wajah tampan berbadan kekar dan gagah itu adalah
milik Suto Sinting"! Kurasa semua orang
mengenalmu dari ciri-cirimu itu, Suto."
"T ernyata wawasanmu lebih luas daripada Mahayuni atau yang lain."
"Siapa Mahayuni itu" Kekasihmukah"!"
"Bukan," jawab Suto Sinting dengan lemparkan senyum ke arah lautan lepas, ia
melangkah ke perairan sambil lanjutkan kata.
"Mahayuni adalah seorang sahabat baru. Ia tidak mengenaliku saat kami jumpa
pertama." Pendekar Mabuk palingkan pandang ke arah Andani.
"Apakah kau sama sekali tidak mengenal Mahayuni?"
Wanita itu mendekat dengan memandang ke arah lautan juga.
"Sudah kukatakan tadi, aku hanyalah tamu di Pantai Porong ini!
T amu yang kebetulan saja lewat di Pantai Porong dan singgah sebentar karena
melihat cahaya ketampanan dari seorang pemuda yang ternyata adalah Pendekar
Mabuk." "Jangan memujiku, nanti aku lupa daratan, ingatnya cuma lautan."
Andani lepaskan tawa kecil. "Ini adalah keberuntungan besar bagiku," kata Andani
tanpa pandangi Suto. "Barangkali memang sudah kehendak dewata aku harus bertemu
denganmu, Suto."
"Apa maksudmu berkata begitu?"
"Aku membutuhkan seorang tabib. Kudengar kau juga dikenal sebagai T abib Darah T
uak?" "Hanya beberapa orang saja yang menjulukiku demikian."
"T api julukan itu membuatku menaruh harap padamu, T abib Darah T uak."
"Boleh saja kau menaruh harap padaku, tapi segala keputusan tetap ada di tangan
Yang Kuasa, Andani."
"Aku paham maksudmu."
Pendekar Mabuk kembali menikmati sebentuk kecantikan yang enak dipandang dan
membuat jantung berdebar-debar sejak tadi.
Debaran itu menghadirkan
keindahan tersendiri yang sukar dilukiskan dengan kata.
"Siapa yang membutuhkan bantuanku sebagai tabib"!" tanya Suto setelah mereka
beradu pandang dua helaan napas.
"Aku sendiri," jawab Andani. Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum sebagai tanda kurang percaya atas pengakuan tersebut.
"Kau tampak segar, sehat, cantik, dan... menawan sekali. Kau tak kelihatan
sebagai orang yang sakit, Andani."
"Kelihatannya memang begitu. T api beberapa tahun yang lalu, seseorang telah
menyerangku dan melukai bagian dalamku. Orang itu menggunakan jurus 'Karang
Siksa'. Dengan jurus itu ia menanamkan sebutir batu dalam tubuhku. Batu itulah
sebenarnya yang dinamakan batu 'Karang Siksa', yang tubuhku merasa tersayat-
sayat setiap malam. Kadang merasa seperti dicambuk-cambuk, atau juga seperti
ditusuk-tusuk jarum. Menyiksa sekali. Dan setiap malam aku harus menderita
perasaan seperti itu. Jika matahari muncul, barulah siksaan itu berhenti dan
keadaanku sehat-sehat saja, seperti saat ini."
"Jurus yang aneh sekali," gumam Pendekar Mabuk.
"Lawanku itu memang tangguh. T api dalam waktu dekat nanti, dia akan kukirim ke
neraka setelah aku menyelesaikan pelajari satu jurus utama khusus untuk
mengalahkan lawanku itu!"
"Siapa lawanmu yang mempunyai jurus 'Karang Siksa' itu, Andani?" tanya Pendekar
Mabuk setelah merenung sebentar.
"Kurasa nama itu tak penting bagimu. Yang kuharap darimu adalah menghancurkan
batu 'Karang Siksa' yang tertanam di dalam tubuhku ini! Aku ingin bebas dari
siksaan setiap malam. Aku ingin bisa tidur dengan nyenyak dan damai."
Wajah cantik itu tampak murung, sebagai ungkapan dari rasa sedihnya jika
membayangkan siksaan setiap malamnya itu. Pendekar Mabuk menjadi iba hati
melihat si cantik berwajah murung.
Akhirnya ia putuskan untuk menolong wanita cantik itu.
"Akan kucoba menolongmu, Andani. T api terlebih dulu aku ingin tahu, dari mana
asalmu?" "Aku... aku dari Bukit Jerami, agak jauh dari sini. Aku sengaja mengasingkan
diri ke Bukit Jerami, karena sebenarnya aku sudah tak ingin ikut campur dalam
dunia persilatan ini! Aku capek dan ingin istirahat dengan damai di bukit yang
sepi itu."
"Jadi, kau tinggal sendirian di Bukit Jerami, tanpa teman, tanpa saudara dan
tanpa suami?"
"Saudaraku telah tewas semua di tangan musuhku itu. Aku tak
pernah mau dikunjungi teman, karena aku memang ingin hidup menyendiri. Sedangkan
suami... suamiku telah kabur dengan perempuan lain, dan membiarkan hidupku
menjanda tanpa anak dan keluarga."
Kata-kata itu dituturkan dengan menghiba sekali, membuat
Pendekar Mabuk semakin trenyuh dan berbelas kasihan kepada Andani. Semakin
trenyuh lagi hati Suto setelah perempuan itu berlutut di depannya dan memohon
dengan suara menghiba.
"Kumohon kau mau menyembuhkan sakitku ini, Pendekar
Mabuk! Aku sudah tak kuat hidup dalam penderitaan setiap malam!"
"Bangunlah, Andani. Bangun, tak perlu berlutut di depanku begitu. Aku akan
mengobatimu sekarang juga. Minumlah tuakku ini dan kau akan terhindar dari
penyakit yang menyiksa itu. T uakku ini dapat hancurkan batu "Karang Siksa' yang
ada dalam tubuhmu itu, Andani!"
Sambil berkata begitu, tangan Suto mencekal lengan Andani dan membimbing agar
wanita itu segera berdiri lagi. Bahkan setelah Andani berdiri, tangan itu masih
mencekal lengan si wanita, sehingga keduanya sama-sama merasakan sentuhan hangat
yang menjalar sampai ke seluruh tubuh.
"Minumlah tuakku...," sambil Suto Sinting menarik bumbung tuak yang tadi sempat
digantungkan di pundaknya. Namun sebelum bumbung tuak itu sempat diberikan
kepada Andani, tiba-tiba seberkas sinar hijau seperti buah rambutan melesat
cepat menyerang Pendekar Mabuk dari arah belakang. Weeess...!
"Oh, Suto..."!" Andani segera menarik tubuh Suto ke dalam pelukannya, kemudian
dengan telapak tangannya ia menahan
datangnya sinar hijau tersebut. Suuurb...!
Seandainya Suto tidak ditarik hingga berpelukan dengan Andani, dan tangan Andani
yang ada di belakang Suto tidak menahan sinar hijau itu, maka punggung Suto akan
berlubang besar dan nyawa pun akan melayang.
Ketika mereka merenggangkan jarak, Suto Sinting sempat
tersenyum karena menyangka mendapat pelukan mesra dari Andani.
T api ketika genggaman tangan Andani membuka, tampaklah sinar hijau yang
memancar seperti bentuk buah rambutan.
"Seseorang ingin membunuhmu dengan sinar ini," ujar Andani.
Maka, Suto pun akhirnya terbelalak tegang dan kebingungan sendiri. Ketegangan di
hati Suto diseba bkan oleh datangnya sinar hijau yang nyaris mengenai
punggungnya, dan kemampuan Andani menangkap sinar hijau yang sampai sekarang
belum meledak-ledak juga.
"Gila! T inggi sekali ilmu perempuan ini"!" pikir Suto dalam keheranan "Cahaya
hijau itu bisa ditangkapnya dan tidak meledak dalam gengamannya. Kalau bukan
berilmu tinggi tak mungkin hai itu bisa dilakukan."
Andani justru memainkan sinar hijau itu seperti memainkan bola kecil di
tangannya. "Aku ingin tahu siapa yang ingin membunuhmu itu!" ujarnya, lalu tiba-tiba sinar
hijau itu dilemparkan ke arah tempat datangnya semula. Weess...! Sinar itu
melesat dan menghantam sebatang pohon besar. Jegaaarr...!
Pohon itu berlubang sebesar kepala sapi. Daun-daunnya rontok seketika, bahkan
dahan serta rantingnya menjadi kering dalam waktu singkat.
Pendekar Mabuk terbelalak membayangkan jika sinar hijau itu mengenai
punggungnya, maka nasibnya akan seperti pohon tersebut.
"Untung dia tangkas dan punya ilmu bisa memegang sinar pukulan sedahsyat itu,
seandainya ia tidak mempunyai ilmu tersebut, pasti sekarang ini aku sudah
menjadi sundel bolong. Punggungku akan berlubang sebesar kepala sapit begitu."
Sementara si perempuan cantik itu masih memperhatikan ke arah pohon tersebut, ia
menunggu sesuatu yang muncul dari balik pohon tersebut, karena ia melihat orang
yang melepaskan pukulan bersinar hijau itu bersembunyi di baiik pohon tersebut.
T etapi sampai dua helaan napas ditunggu, orang tersebut tak segera tampakkan
diri, Andani pun jengkel dan berseru dengan lantang.
"Jahanam, keluar kau! Jangan hanya berani menyerang dari belakang!"
"Aku di sini sejak tadi!" ujar suara yang tiba-tiba didengar sudah berada di
belakang Suto dan Andani. Mereka berpaling serentak dan mundur dua langkah.
"Siapa kau"!" tanya Suto dengan tetap tenang. "Mengapa kau menyerangku dari
belakang dengan jurus yang berbahaya itu"!"
Seorang lelaki yang tiba-tiba muncul di belakang mereka itu hanya sunggingkan
senyum dingin. Lelaki itu bertubuh sedang, kumisnya tak terlalu lebat,
jenggotnya cepak. Rambut si lelaki masih hitam dan pendek, diikat dengan ikat
kepala warna biru, sesuai dengan pakaiannya yang serba bir u itu. Diperkirakan,
lelaki itu berusia sekitar empat puluh tahun lebih sedikit, ia menyandang kapak
yang terselip di sabuk hitamnya.
"Aku tak punya urusan denganmu, Perempuan cantik! Urusanku adalah dengan pemuda
itu!" "Aku tidak kenal denganmu," sergah Suto Sinting. "Mengapa kau merasa punya
urusan denganku"!"
"Karena kau yang kulihat bergabung dengan pihak Panembahan Pancalingga!"
"Kalau begitu kau orang T anjung Leak"!"
"Benar! Akulah yang dipercaya untuk memata-matai padepokan itu dan diberi hak
untuk membunuh orang padepokan selagi ada kesempatan untuk melakukannya. T api
sasaranku yang paling utama adalah membunuh si tua bangka; Panembahan
Pancalingga, supaya Nyai Gincu Barong semakin bangga dengan hasil kerjaku!"
"Kau yang bernama Singaloya"!" sahut Andani dalam tanya.
"Dari mana kau mengenaliku sebagai Singaloya, Cantik"!"
"Aku tahu, si Gincu Barong punya beberapa orang kepercayaan, di antaranya ada
yang bernama Singaloya yang mempunyai senjata ampuh 'Kapak Guntur'. Dan kulihat
senjata di pinggangmu itu adalah Kapak Guntur!"
"Ha, ha, ha, ha...! Kau ternyata cukup jeli. Cantik! T api aku tak tahu siapa
kau dan di pihak mana kau berdiri. Maklum, aku baru beberapa bulan bergabung
dengan Nyai Gincu Barong!"
"Sampaikan salamku kepada Gincu Barong, dan ingatkan kepadanya agar tidak
mengganggu pemuda ini."
"Oh, pikirmu kau ini siapa, sehingga merasa mampu menyuruh Nyai Gincu Barong
untuk tidak membunuh pemuda ini"! Kalau kukatakan bahwa pemuda ini akan
memperkuat pihaknya Padepokan Pantai Porong, tentu saja tak akan ada ampun bagi
pemuda ini. Nyai tetap akan perintahkan kepadaku untuk membunuhnya."
"Kalau begitu." kala Andani. "Sebelum kau melukai pemuda ini, terlebih dulu
sebaiknya kau kukirim ke neraka, Singaloya'"
"Oh, jadi kau yang ingin tampil sebagai perisainya"! Celaka!
Bodoh amat kau ini, Cantik. Mengapa kau mau menjadi perisainya"
Apakah kau tak tahu kali ini yang berhadapan dengannya adalah Singaloya" Kau
bisa mati tanpa berkedip kalau harus melawanku, Cantik."
"Jangan banyak bicara!" geram Andani, tiba tiba tangannya berkelebat ke depan
seperti menaburkan sesuatu. Wuuurs...! T angan itu sebarkan percikan sinar merah
yang segera menerjang ke arah Singaloya. Namun dengan cepat Singaloya melesat
tinggi ke atas, hingga percikan sinar merah itu tak ada yang mengenainya
"Modar kau. Cantik! Heeah...!"
Singaloya lepaskan pukulan bersinar lurus tanpa putus ke arah Andani. Claaap...!
Sinar hijau lurus itu bermaksud menghantam kepala Andani. T etapi dengan tangkas
tangan Andani menahan ujung sinar tersebut.
Deeb...! Sinar itu tetap memancar lurus dari tangan Singaloya ke tangan Andani
Sementara itu Suto yang ingin ikut campur segera dilarang oleh Andani memakai
bahasa isyarat. Mau tak mau ia membiarkan dulu kemampuan Andani menghadapi
Singaloya. Sampai lelaki berpakaian serba biru itu daratkan kakinya ke tanah, sinar hijau
itu masih memancar seperti sebatang tongkat yang
dipakai untuk saling mendorong lawan.
Namun dalam kejap berikutnya, Andani bukan sekadar menahan sinar hijau melainkan
juga ikut kerahkan tenaga dalamnya melalui telapak tangan itu. Wuuk...! Sinar
hijau pun membengkak menjadi kebiru-biruan. Lalu dengan satu kali sentakan
tangan ke depan, Andani berhasil membuat Singaloya terjungkal ke belakang dan berguling-guling.
Weess...! Brruk...!
"Uuhk...!" Singaloya mengerang ketika sinar hijau yang berubah kebiru-biruan itu


Pendekar Mabuk 087 Pembantai Cantik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghantam masuk ke telapak tangannya dan tubuhnya bagai diseruduk banteng liat.
Clap, clap...! T iba-tiba dari kedua jari Andani keluar sinar merah seperti
ujung tombak. Sinar merah itu melesat cepat dan menghantam dada Singaloya.
Blegaaarr...! Blaaarr...!
"Gila"!" pendekar tampan itu terperangah bengong. T ernyata tak ada ampun lagi
bagi Singaloya, tubuhnya menjadi hancur dihantam dua
sinar merahnya Andani tadi. Tanpa punya kesempatan
menggunakan senjata 'Kapak Guntur'-nya, Singaloya akhirnya tumbang dalam keadaan
mengerikan, tangan, kaki, badan, kepala, bahkan jari-jari tangannya, semua
menjadi menyebar karena pecah.
"Mengapa kau bunuh dia sekeji itu, Andani"!"
"Karena ia pun orang yang keji, dan layak mendapat ganjaran seperti itu dariku!"
Pendekar Mabuk masih tertegun bengong memperhatikan Andani.
Hatinya memuji namun juga mengecam Andani yang dapat
membunuh Singloya dalam waktu amat singkat.
* * * 5 PARA murid Perguruan Pantai Porong sibuk mencari pendekar heboh itu. Setiap
orang ditugaskan mencari Suto Sinting secara
Patung Dewi Kwan Im 9 Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana Tujuh Pedang Tiga Ruyung 10
^