Pencarian

Buronan Cinta Sekarat 2

Pendekar Mabuk 086 Buronan Cinta Sekarat Bagian 2


Kahyangan itu."
"Apakah beliau pernah bentrok juga dengan Peri Kahyangan?"
"Bukan hanya pernah, bahkan nyaris mati di tangan Peri Kahyangan. Namun pada
waktu itu Eyang Tulang
Geledek segera melepas bajunya dan memandang
dengan sayu. Peri Kahyangan langsung lemas dan
menjadi tak mampu membunuh Eyang Tulang Geledek."
"Mengapa begitu?"
"Katanya, Peri Kahyangan luluh jika melihat lelaki bertelanjang dada. Gairahnya
segera timbul dan
berkobar-kobar, lalu seluruh kemarahannya lenyap, ia harus segera mendapatkan
keindahan dari seorang lelaki untuk meredakan gairahnya itu."
Pendekar Mabuk tertawa pelan.
"Tapi itu kata Eyang Tulang Geledek. Aku tak yakin sepenuhnya, sebab Eyang
Tulang Geledek gemar
bercanda. Yang jelas menurut beliau, pada saat seperti itu sebenarnya Peri
Kahyangan mudah untuk dibunuh
oleh siapa pun, terutama lelaki yang membuat gairahnya terbakar. Hanya saja,
pada waktu itu Eyang Tulang
Geledek dalam keadaan terluka parah dan memilih
larikan diri daripada berusaha membunuh Peri
Kahyangan, karena ia lebih penting menyelamatkan
nyawanya yang tinggal seujung rambut. Itu menurut
cerita Eyang Tulang Geledek! Aku tak menjamin
kebenarannya."
"Kurasa memang benar," kata Suto Sinting dengan suara pelan. "Perempuan kalau
sudah dituntut oleh gairah kemesraannya, ia akan lemas dan tak mampu
berbuat apa-apa lagi. Segalak apa pun seorang
perempuan, jika sudah dibuai oleh keindahan, maka ia akan menjadi jinak!"
"Hmmm!" Perawan Sinting mencibir. "Lagakmu seperti penjinak perempuan saja!"
"Buktinya, keangkuhanmu luntur ketika kau mulai terbuai oleh kecupan bibirku,
saat kita berada di dalam gua"!"
Perawan Sinting sunggingkan senyum malu.
"Itu lantaran aku sudah bosan bersikap angkuh
padamu," ujarnya menutupi kenyataan.
Suto tertawa pelan sambil mencubit pipi Perawan
Sinting. Gadis itu menepiskan tangan Suto, seakan tak ingin disentuh.
"Jangan kurang ajar kau! Kutampar jika sekali lagi berani mencubit pipiku!"
gertaknya dengan pelan. Mata lebar berbentuk indah itu menatap Suto tajam-tajam.
Bibir sedikit tebal namun sangat menawan hati itu
tampak cemberut, membuat hati Suto semakin berdebar tergoda oleh ingatan masa di
dalam gua persembunyian si manusia badak itu.
"Tamparlah sekarang, agar aku nanti boleh
mencubitmu lagi," kata Suto sambil sodorkan pipinya.
"Tamparlah sekarang juga!"
Perawan Sinting pandangi wajah itu beberapa saat.
Hati pun berdebar-debar, batin tergoda tuntutan gairah.
Maka, tiba-tiba bibir Perawan Sinting mencium pipi Suto. Cup...!
"Begitukah caramu menampar?"
"Aku lupa cara menampar seorang lelaki yang
mengguncang hatiku setiap saat," ucapnya pelan sedikit datar.
"Apakah aku mengguncang hatimu?"
Perawan Sinting anggukkan kepala sambil matanya
mulai sayu. "Mengapa hatimu terguncang?" pancing Suto.
"Entahlah. Baru sekarang aku merasa benar-benar terguncang oleh penampilan
seorang lelaki yang pandai memberikan puncak keindahan bercinta tanpa
menggunakan 'pusaka'-nya."
Gadis itu tersenyum malu. Makin cantik dan makin
menggairahkan jika sedang tersenyum begitu. Pendekar Mabuk tak mau memutus
suasana romantis itu dengan
suasana lain, sehingga ia lakukan desakan dengan
beberapa pertanyaan.
"Kau suka dengan cumbuan seperti waktu itu?"
"Sangat suka! Kau jantan sekali. Kau dapat
lumpuhkan lawan kencanmu sebelum pertarungan yang
sebenarnya dimulai."
"Kau ingin mendapatkannya lagi?"
"Jangan bertanya begitu," jawab Perawan Sinting sambil tetap memandang semakin
sayu, dan kini jarinya bermain di bibir Suto, mengusap pelan dan sentuhannya
bagai mengambang di permukaan kulit bibir Suto.
"Mengapa aku tak boleh bertanya begitu?"
"Pertanyaanmu semakin menggoda hasratku."
"Kau tak suka digoda, hah"!"
Perawan Sinting makin sulit menjawab, karena saat
itu bibir Suto dibuka sedikit, lalu jari telunjuk yang bermain di bibirnya itu
digigit pelan. Jantung gadis itu semakin menyentak-nyentak. Terlebih setelah
jari tangannya disambar mulut Suto, maka jantung Perawan Sinting nyaris berhenti
karena ditikam perasaan nikmat.
Pendekar Mabuk tetap memandang gadis itu, walau
kini mulutnya menghisap-hisap jari si gadis dengan
kepala maju pelan-pelan dan mundur kembali pelan-
pelan. Perawan Sinting semakin berdebar-debar.
Matanya kian mengecil seakan menikmati tiap gerakan lidah Suto dalam menghisap
jari tangannya itu.
"Sss..., ahhh...!" Perawan Sinting mendesah dengan kepala sedikit mendongak dan
bibirnya merekah.
Tangan itu akhirnya dikecup-kecup lembut oleh bibir Suto, dari telapak tangan
merayap ke lengan, sampai ke siku lidah Suto menari-nari di sana. Perawan
Sinting sengaja meluruskan tangannya itu.
Kecupan Suto merayap lagi pelan-pelan dengan
disertai pagutan-pagutan kecil. Sampai di pangkal
pundak, lidah Suto menari kembali dan menggigit-gigit pelan, menimbulkan desiran
nikmat di sekujur tubuh
Perawan Sinting.
Akhirnya gadis itu mengerang bersama desah yang
dihamburkan ketika kecupan Suto sampai ke lehernya, ia sengaja memiringkan
kepala agar Suto lebih leluasa
menyapukan lidahnya ke leher kiri itu.
"Ouh... oouh..., indah sekali, Suto! Oooh... ambillah ini, Suto. Ambil...!"
rintihnya sambil menuntun tangan Suto ke dadanya. Dengan mudah tangan Suto
mencapai dada yang kencang dan berujung ranum itu, karena
rompi tersebut tidak dikancingkan sehingga mempunyai kelonggaran yang membuat
tangan Suto bebas bergerak.
"Ooh, indah sekali, Suto...! Ooh... teruskan,
Sayang...."
Tangan Perawan Sinting akhirnya ikut-ikutan
menjelajahi dada Suto. Bahkan tangan itu berani
bergerak turun dan menelusup, lalu menemukan
kebanggaan yang telah menantang penuh keberanian itu, ia menggenggamnya sambil
menggeram gemas.
"Hhhhmmm... aaah...! Luar biasa, Suto! Luar biasa ini, Suto!"
"Ini apa maksudmu?"
"Malam ini luar biasa indahnya, Suto... ooh, kubalas kau... kubalas kau, Suto!"
Perawan Sinting benar-benar membalas. Ciumannya
mengganas, lidahnya menari dengan liar. Dan, huup...!
Ia menyambar kebanggaan Suto, membuat Suto
memekik ditikam keindahan yang luar biasa.
"Uhuk, uhuk, uhuk...!" Mahesa Gibas terbatuk-batuk.
Mereka terkejut, bergegas rapikan diri.
"Sial!" gerutu si gadis dengan cemberut kesal.
* * * 5 PERJALANAN diteruskan di awal pagi. Kalau saja
mereka tidak bersama-sama Mahesa Gibas, perjalanan
akan lebih cepat lagi, karena Suto Sinting dan Perawan Sinting akan menggunakan
gerakan cepatnya agar lekas sampai tujuan. Tetapi karena Mahesa Gibas tak mampu
bergerak cepat, maka perjalanan pun terasa lamban.
"Bagaimana kalau Mahesa Gibas kita tinggal saja?"
bisik Perawan Sinting kepada Suto.
"Jangan, ah! Kasihan dia!"
"Aku tak sabar ingin lekas sampai ke kadipaten dan bertemu dengan si Bayangan
Setan itu!"
"Aku pun demikian. Tetapi yang selalu kupikirkan sejak tadi adalah; seandainya
Adipati Jayengrana dalam keadaan baik-baik saja dan tokoh yang berjuluk
Bayangan Setan itu tidak ada, lantas apa yang akan kita lakukan terhadap Mahesa
Gibas?" "Aku tak akan segan-segan memancung kepalanya!"
tegas Perawan Sinting, tampaknya ia sangat mengancam perjanjian itu tanpa ampun
lagi. Tiba-tiba mereka mendengar suara Mahesa Gibas
terpekik di belakang mereka.
"Aaaakh...!"
Mereka berpaling ke belakang secara serentak.
Ternyata Mahesa Gibas telah tumbang dan terkapar
tanpa gerakan lagi. Hal itu sangat mengejutkan dan
menegangkan Pendekar Mabuk serta Perawan Sinting.
"Apa yang terjadi"!"
"Jangan-jangan ia hanya berpura-pura saja"!" gumam Pendekar Mabuk agak sangsi.
Perawan Sinting segera
memeriksa keadaan Mahesa Gibas.
"Dia tidak main-main, Suto!"
"Dari mana kau tahu?"
"Kutemukan luka kecil di leher kirinya! Lihatlah sendiri!"
Pendekar Mabuk memeriksa leher kiri Mahesa Gibas.
Ternyata memang ada luka kecil sebesar satu titik,
seperti bekas tusukan jarum. Perawan Sinting pandangi keadaan sekeliling dengan
penuh siaga. Sementara itu, Suto memeriksa denyut nadi Mahesa Gibas yang
wajahnya dalam sekejap telah menjadi sepucat mayat.
"Denyut nadinya lemah sekali! Dia akan mati,
Perawan Sinting!"
"Urus dia, Suto! Aku akan mencari seseorang di sekitar sini!"
Slaaap...! Perawan Sinting melompat sangat cepat.
Gerakannya seperti kilat kebingungan, ia menjejak
pohon hingga tubuhnya melesat ke pohon lain. Di pohon lain itu ia menjejakkan
kakinya lagi dan melesat ke pohon lain. Begitu dilakukan secara terus menerus
sehingga gerakannya yang luar biasa cepat itu sulit dilihat oleh mata manusia
biasa. Wut, wut, wut, wut, wut, wut, wut...!
Pendekar Mabuk tak hiraukan gerakan Perawan
Sinting yang hampir menyamai jurus "Gerak Siluman'-
nya itu. Ia sibuk berusaha membuka mulut Mahesa
Gibas untuk menuangkan tuaknya agar bisa tertelan oleh pemuda berkulit sawo
matang itu. Repotnya, gigi
Mahesa Gibas terkatup rapat, rahangnya sukar
direnggangkan. Bisa direnggangkan jika menggunakan
kedua tangan Suto. Tetapi tak ada yang menuang tuak ke mulut yang direnggangkan
itu. "Aauh...!" Suto Sinting memekik tak seberapa keras, karena ketika ia
merenggangkan mulut itu dengan kedua tangannya, lalu tangan kiri melepaskan dan
mengambil bumbung tuak, tiba-tiba gigi itu terkatup lagi dan jari tangan kanan
tergencet gigi itu.
"Susah-susah amat..."!" gerutu Pendekar Mabuk, kemudian ia mengambil sepotong
kayu setinggi satu jari telunjuknya. Mulut itu dicangar dan diganjal memakai
sepotong kayu itu.
"Nah, kalau begini mulutmu baru bisa terbuka terus.
Hmmm... minum tuak ini, Nak!" ujar batin Suto sambil mengucurkan tuak ke mulut
Mahesa Gibas secara sedikit demi sedikit.
Tuak itulah yang membuat denyut nadi pemuda itu
menjadi normal kembali. Wajah pucatnya mulai tampak segar, dan luka kecil di
leher Mahesa Gibas pun hilang.
Kejap berikut, Mahesa Gibas siuman, namun ia menjadi
terkejut dan ketakutan.
"Hahh, hhahh...! Haaah, ha, hahh..."!"
"Ssst...! Tenang-tenang, kau baru saja terkena bencana. Tapi sudah kuatasi. Kau
selamat. Tenang saja, Mahesa!"
"Hah, hah..."! Hhahhh..."!"
"Oo, oo... maaf, aku lupa. Mulutmu masih terganjal kayu! Pantas kau ketakutan,
kau kira mulutmu tak bisa dikatupkan kembali, ya?" sambil Suto Sinting tertawa
kecil, lalu melepaskan kayu pengganjal mulut.
"Uuh, aaah... sialan! Aku takut sekali. Kupikir mulutku menjadi cacat!" ujar
Mahesa Gibas sambil terengah-engah dan merasa lega.
"Kenapa kau tadi?"
"Entahlah. Tiba-tiba aku merasa seperti digigit nyamuk di leherku. Kutampel satu
kali, lalu tak terasa apa-apa lagi. Tiga langkah kemudian, tubuhku seperti
disengat petir. Panas sekali. Aku terpekik, setelah itu tak ingat apa-apa lagi."
Perawan Sinting kembali bergabung dengan mereka.
Wajahnya tampak gusar, napasnya sedikit lebih cepat dari sebelumnya.
"Tak ada siapa-siapa di sekitar sini!"
"Kalau begitu, dia tadi memang digigit nyamuk yang mempunyai racun sangat
berbahaya," ujar Suto Sinting.
"Tapi aku tadi seperti melihat bayangan berkelebat di sebelah kiriku," kata
Mahesa Gibas. "Kurasa dia si Bayangan Setan!"
"Kau jangan mengada-ada, Mahesa!" ancam
Pendekar Mabuk.
"Tidak. Aku tidak mengada-ada!" Mahesa Gibas ngotot.
"Aku tak menemukan bayangan apa pun di sekitar tempat ini!" Perawan Sinting agak
ngotot juga. "Lupakan saja tadi soal bayangan itul Kita jalan terus!" tegas Pendekar Mabuk.
"Kau jalan lebih dulu, Mahesa!"
"Baik. Kalau aku pingsan lagi, usahakan jangan sampai jatuh ke tanah."
"Kenapa begitu?"
"Pakaianku nanti kotor!"
Perawan Sinting menendang pantat Mahesa Gibas
dengan kesal. "Jangan berlagak kau! Ayo, jalan.... Aaauh!" Tiba-tiba Perawan Sinting tersentak
dalam pekikan pendek sambil menepak lehernya sendiri. Pendekar Mabuk
pandangi Perawan Sinting dengan dahi berkerut.
"Ada apa, Perawan Sinting"!"
"Tak apa. Nyamuk nakal!" ujar Perawan Sinting melegakan hati Pendekar Mabuk,
kemudian mereka
teruskan perjalanan.
Sekitar tujuh langkah kemudian, Perawan Sinting
terpekik lagi. "Uukh...!" Tiba-tiba tubuhnya oleng, matanya terbeliak kemudian
gadis itu tumbang tanpa
malu-malu lagi. Brrrruk...!
"Perawan Sinting..."!" Pendekar Mabuk sangat kaget.
Lebih kaget lagi melihat wajah Perawan Sinting cepat menjadi pucat pasi,
tangannya dingin, denyut nadinya
lemah. Di leher gadis itu ada luka merah sebesar jarum seperti yang dialami
Mahesa Gibas tadi.
"Kurasa ini bukan nyamuk!" gumam Suto Sinting dengan waswas. "Nyamuk tak akan
selalu menggigit leher. Bisa saja di lengan, pundak, kaki, atau yang lainnya."
Mahesa Gibas hanya diam dengan mata menegang.
Wajahnya ikut-ikutan pucat, bukan karena terluka lagi, tapi karena dihantui
perasaan takut yang cukup besar.


Pendekar Mabuk 086 Buronan Cinta Sekarat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pasti... pasti si Bayangan Setan itu ada di sekitar sini, Suto! Oh, celaka
kalau dia ada di sini. Bisa mati semua kita, Suto!"
"Bantu aku menuang tuak ke mulut Perawan
Sinting!" perintah Suto sambil membuka mulut Perawan Sinting dengan kedua
tangannya, karena keadaan mulut gadis itu sama dengan mulut Mahesa Gibas tadi,
keras, kaku, dan sukar dibuka.
Tuak berhasil diminumkan secara paksa. Tangan
gadis itu mulai hangat kembali. Pendekar Ma-buk
merasa lega. Namun ia segera berdiri pandangi keadaan sekeliling mereka dengan
tajam dan teliti.
"Suto, kalian tetap saja di sini. Aku akan memeriksa ke semak-semak sebelah
sana! Sepertinya tadi kulihat ada sekelebat bayangan di sana!"
"Hati-hati, Mahesa. Jangan gegabah kau!"
"Ti...ti... tidak! Aku tidak akan gegabah. Kalau ada apa-apa aku akan berteriak
dan segeralah datang
membantuku!"
Setelah berkata begitu, Mahesa Gibas segera lari
menerobos semak-semak yang ada di depan langkah
mereka. Pendekar Mabuk sesekali perhatikan keadaan
Perawan Sinting sambil pandangi sekitarnya dengan
penuh selidik. "Daripada aku kena sasaran lagi, nyawaku melayang, lebih baik aku menghindar
dulu!" pikir Mahesa Gibas.
Rupanya ia pergi untuk cari selamat, ia naik ke atas pohon rindang, dan
bersembunyi di sana.
"Kalau keadaan sudah aman dan mereka tampak
ingin lanjutkan perjalanan, barulah aku turun dan
bergabung lagi dengan mereka!" pikir Mahesa Gibas.
"Aman...! Kalau sudah di tempat rindang begini, mau apa lagi" Biarlah penyerang
gelap itu dihadapi oleh Suto dan Perawan Sinting. Jangan sampai aku jadi sasaran
empuk bagi si penyerang gelap itu."
Perawan Sinting tampak mulai siuman. Gadis itu
bangkit dan mengejap-ngejapkan mata sebentar.
Pendekar Mabuk segera membantunya untuk dapat
berdiri tegak. "Bagaimana keadaanmu, Perawan Sinting?"
"Tak apa, aku sudah sehat kembali!"
Dari tempat persembunyiannya, Mahesa Gibas pun
tampak lega dan sunggingkan senyum kegirangan.
"Untung tuak itu bisa pulihkan keadaan Perawan Sinting, kalau tidak... oh,
kasihan sekali, gadis secantik dia terpaksa harus mati disengat bahaya dari
orang yang tak berani menampakkan diri itu! Hmmm... kalau saja aku mempunyai
ilmu setinggi mereka berdua, akan
kucari orang itu dan kuhajar habis-habisan."
Kecamuk batin Mahesa Gibas tiba-tiba terhenti
karena mendengar teguran seseorang. "Mau apa kau kemari"!"
Mahesa Gibas kaget, kemudian memandang ke dahan
di atasnya. Ternyata di dahan itu ada seorang gadis yang duduk santai sambil
pandangi Mahesa Gibas.
"Hahhh..."!" Mahesa Gibas terpekik kaget. Karena kagetnya, ia tergelincir dan
jatuh dari pohon itu.
"Aaaa...!"
Krrrak, gruzaaak...! Brrruk...!
Perawan Sinting dan Suto Sinting sama-sama
terkejut, kemudian tanpa bicara sepatah kata pun mereka berkelebat menuju ke
tempat jatuhnya Mahesa Gibas.
Mereka sama-sama tahu bahwa suara itu tadi adalah
suara Mahesa Gibas. Dalam sekejap saja mereka sudah menemukan Mahesa Gibas
terkapar di bawah pohon, tak sadarkan diri lagi.
"Agaknya ia jatuh dari atas pohon ini, Suto! Lihat dahan yang patah itu!" sambil
Perawan Sinting
menuding dahan pohon yang patah tertimpa gerakan
jatuh Mahesa Gibas tadi.
Mereka segera pandangi atas pohon. Bahkan Perawan
Sinting sentakkan kakinya dan tubuhnya melesat lurus dengan ringannya. Wuuut...!
Ia hinggap di sebatang
dahan besar, lalu lakukan pemeriksaan di sekitar pohon itu.
"Bagaimana..."!" tanya Suto dalam seruan dari bawah pohon.
"Tak ada yang mencurigakan!" balas Perawan Sinting
berseru juga. Ia memang tidak menemukan siapa-siapa di sana. Bahkan bau keringat
atau wewangian juga tak ada.
Suto berseru iagi, "Periksa pohon sekitarnya, siapa tahu... aauuw!" Suto
terpekik dan cepat menepak lehernya. Plaaak...!
Mendengar pekikan pelan dan suara tepakan tadi,
Perawan Sinting langsung curiga ada sesuatu yang
terjadi pada diri Pendekar Mabuk, ia segera turun dari atas pohon dengan satu
lompatan bersalto. Wuuuk...!
Jleeg...! "Ada apa, Suto"!"
"Leherku seperti digigit nyamuk!"
Perawan Sinting memeriksa leher Pendekar Mabuk.
Ternyata ada noda merah dari darah yang tersumbul
setitik dari pori-pori kulit leher Suto. Perawan Sinting menjadi semakin tegang.
"Celaka! Lekas minum tuakmu! Lekas...!"
Pendekar Mabuk buru-buru menenggak tuaknya.
Dengan begitu, luka seujung jarum yang ada di leher Pendekar Mabuk segera
lenyap. Pemuda tampan
bertubuh kekar itu tak sampai jatuh pingsan seperti Perawan Sinting dan Mahesa
Gibas tadi. Kini pandangan mata Pendekar Mabuk menjadi nanar dan tampak mulai
marah, ia segera berkelebat memeriksa keadaan
sekeliling dengan pergunakan 'Gerak Siluman'-nya,
karena jurus itu dapat membuatnya bergerak menyamai kecepatan cahaya. Zlaaap,
zlaap, zlaaap...!
Beberapa saat kemudian, ia kembali tanpa membawa
hasil apa-apa. Suto tak melihat tanda-tanda yang
mencurigakan di sekitar tempat itu. Mahesa Gibas segera disadarkan dari
pingsannya, lalu pemuda itu
menjelaskan apa yang dilihatnya di atas pohon tadi.
"Seorang gadis berwajah cantik," katanya. "Cantik sekali! Saking cantiknya aku
sampai jatuh pingsan!"
"Hmm...," Pendekar Mabuk agak sangsi dengan pengakuan Mahesa Gibas.
"Kurasa dialah orang yang menyerang kita, Suto,"
ujar Perawan Sinting.
"Kurasa juga begitu," timpal Mahesa Gibas.
"Bagaimana ciri-ciri gadis itu?" tanya Suto.
"Cantik, montok, menggairahkan, bibirnya indah...."
"Selain soal kecantikannya! Apa lagi ciri-ciri yang bisa kau ingat!" sentak
Perawan Sinting.
"Hmmm... hmmm... pinggulnya...."
"Jangan pinggulnya! Yang lain; warna pakaian atau senjatanya"!" potong Perawan
Sinting. "Ak... aku tak sempat mengenali warna pakaian.
Bahkan menurutku... menurutku dia tak mengenakan
pakaian apa-apa."
"O, ya"! Di mana dia sekarang"!" tanya Pendekar Mabuk.
Perawan Sinting cepat mencengkeram baju Suto.
"Hei, kenapa kau jadi bersemangat mencarinya begitu mendengar gadis itu tak
mengenakan pakaian"!"
"Kau pikir untuk apa kalau bukan untuk membalas serangannya tadi"! Pasti dia
telah menyerang kita
dengan senjata berupa jarum!"
"Dan kau juga akan balas menyerangnya dengan
'jarum'-mu itu"!" Perawan Sinting melirik nakal, Suto menjadi kikuk dan salah
tingkah. "Kita lari saja dari sini! Jangan terlalu lama, nanti dia datang lagi!" usul
Mahesa Gibas dengan nada cemas.
"Aku yakin, orang itu adalah si Bayangan Setan!"
Perawan Sinting segera berkata tegas, "Suto, totok dia dan bawa lari dengan
pergunakan jurus kecepatan gerak kita!"
Tiba-tiba ada orang yang menyahut pembicaraan itu.
"Percuma saja kalian berlari secepat apa pun!" Kini mereka bertiga berpaling ke
arah selatan. Ternyata di atas sebatang pohon tak terlalu tinggi, telah berdiri
sesosok tubuh ramping berwajah cantik jelita. Gadis itu berambut kepang kuda
dengan pedang di punggungnya,
ia mengenakan pakaian ketat warna biru mengkilap yang membentuk lekak-lekuk
tubuh sexy-nya itu.
"Turun kau, jahanam!" seru Perawan Sinting. Ketika itu Pendekar Mabuk menggumam
kaget di samping
telinga Perawan Sinting.
"Lembah Wuyung..."!"
"It... itu dia! itu dia gadis yang... yang...."
Mahesa Gibas tak jadi teruskan ucapannya karena
tangan Pendekar Mabuk segera meremas mulutnya,
menyuruhnya untuk diam dan segera mencari tempat
aman bagi dirinya sendiri.
"Kalau kau tak mau turun, kuhajar dari sini,
Keparat!" teriak Perawan Sinting dengan berang. Tapi ia segera berkata lirih
kepada Suto. "Biar kuhadapi sisa-sisa orang istana Tengkorak itu!
Jangan ikut campur!"
Sambil bergerak mundur, Suto sempat menggerutu
pelan, "Kau dendam atau cemburu"!"
Perawan Sinting tak sempat tanggapi gerutuan
tersebut, karena pada saat itu Lembah Wuyung segera melepaskan pukulan jarak
jauhnya berupa sinar kecil sebesar jarum jahit yang keluar dari ujung jari
tengahnya. Claaap...! Sinar itu berkelebat cepat, nyaris tak kelihatan karena
begitu kecilnya. Tapi agaknya mata Perawan Sinting sudah terbiasa melihat
kilatan cahaya sekecil itu, sehingga ia tahu dirinya sedang terancam sinar merah
kecil itu. "Rupanya dengan melepaskan sinar merah seperti itu, si Lembah Wuyung menyerang
kita bertiga," ujar Suto Sinting kepada Mahesa Gibas. Pemuda itu tak memberi
jawaban apa pun karena sibuk mengagumi gerakan cepat Perawan Sinting.
Slaaap...! Gerakan itu sepertinya hanya melompat ke samping dengan pelan, tapi
kenyataannya Perawan
Sinting bagaikan menghilang dari tempat berdirinya.
Akhirnya sinar merah dari Lembah Wuyung hanya
mengenal sebatang pohon. Suuurp...! Pohon itu tetap tenang tanpa gerakan apa pun
kecuali daunnya yang
bergoyang karena angin.
Perawan Sinting ganti melepaskan pukulan
bersinarnya dari tangan kiri. Claaap...! Seberkas sinar kuning berbentuk seperti
meteor kecil melesat dan
menghantam dahan tempat berpijak Lembah Wuyung.
Jegaaar...! Ledakan keras terdengar mengejutkan Mahesa Gibas.
Ia semakin terperangah melihat dahan itu hancur
berkeping-keping, sementara Lembah Wuyung hilang
dari pandangan. Laaap...!
"Ke mana gadis itu"!" ujar Mahesa Gibas tak jelas ditujukan kepada siapa. Tetapi
Pendekar Mabuk memberi jawaban lirih.
"Dia ada di pohon sebelah timur!"
Mahesa Gibas memandang ke arah yang dimaksud.
"Oooh... benar juga apa katamu. Dia sudah pindah di sebelah sana!"
Perawan Sinting berkelebat menuju ke timur.
Gerakannya gila-gilaan; zigzag dengan sangat cepat dan menggunakan pohon-pohon
di sekitarnya sebagai tempat menjejakkan kakinya.
Wut, wut, wut, wut, wut...!
Gerakan itu sangat membingungkan lawan, sehingga
Lembah Wuyung tak sempat lepaskan serangannya.
Namun tiba-tiba ia diterjang Perawan Sinting dari arah samping. Brruuuussk...!
"Ouh...!" pekik Lembah Wuyung, kemudian
tubuhnya melayang jatuh dari pohon dalam keadaan
seperti terlempar kuat.
"Keparat kau, Perempuan jalang!" teriak Lembah Wuyung setelah bangkit kembali
dengan luka memar di tulang pipi kanannya. Sreeet...! Ia segera mencabut
pedangnya dengan wajah berang. Perawan Sinting
melangkah menyamping dengan tenang tapi pandangan
matanya sangat tajam.
"Hei, lihat pohon itu"!" seru Mahesa Gibas menuding pohon yang tadi terkena
sinar merahnya Lembah
Wuyung. "Gila..."!" gumam Suto Sinting lirih sekali.
"Kenapa pohon itu tiba-tiba merengas dan menjadi hitam begitu, Suto?"
"Pohon itu telah menjadi arang. Hangus akibat sinar merah si Lembah Wuyung
tadi." "Oh, kalau begitu tubuh kita bisa menjadi seperti pohon itu jika tak buru-buru
meminum tuakmu"!"
"Yah, kira-kira begitu," jawab Suto masih dengan kalem, karena ia yakin Perawan
Sinting tak mungkin
tumbang di tangan Lembah Wuyung.
Dugaan Suto Sinting itu memang benar. Ketika
Lembah Wuyung menyerang dengan pedangnya,
Perawan Sinting hanya menghindar beberapa kali tanpa mencabut pedangnya sendiri.
Tebasan pedang Lembah
Wuyung tak ada yang kenai tubuh Perawan Sinting
sedikit pun. Bahkan ketika Lembah Wuyung hunjamkan
pedangnya ke dada Perawan Sinting yang terdesak
merapat pada sebatang pohon, pedang itu hanya
dihindari dengan gerakan merendah secepat kilat.
Suuut...! Jrrub...! Pedang itu menghunjam pohon.
Sebelum ditarik kembali oleh pemiliknya, tangan
Perawan Sinting segera menghentakkan ke depan,
telapak tangan itu tepat kenai perut Lembah Wuyung.
Buuukh...! "Heeekh..."!" Lembah Wuyung mendelik sambil tubuhnya terpental ke belakang
membuat pedangnya
tercabut dari pohon. Wees...!
Gadis berpakaian ketat itu jatuh tunggang langgang
dalam jarak sepuluh langkah dari tempatnya
menghunjamkan pedang tadi. Ia mencoba bangkit,
namun segera memuntahkan darah kental.
"Hoeek...!"
Perawan Sinting berkelebat hampiri lawannya.
Wuuut...! Namun tiba-tiba Perawan Sinting terpental balik bagaikan menabrak
dinding kaca. Duuub...!
Weees...! Brrruk...!
"Ouuuwh...!" erang Perawan Sinting sambil berguling-guling. Rupanya saat ia
berkelebat hampiri lawannya, sang lawan segera kibaskan pedang dari
kanan ke kiri dalam keadaan berlutut satu kaki. Kibasan pedangnya itu
menyebarkan lapisan tenaga dalam yang sukar diterabas musuh. Lapisan tenaga
dalam itulah yang ditabrak Perawan Sinting dan membuatnya terpental ke belakang.
"Haaaiah...!" Perawan Sinting cepat sentakkan pinggulnya dan dalam satu sentakan
saja ia sudah bisa melejit ke atas, lalu berdiri tegak kembali. Jleeg...!
Matanya memandang semakin buas ke arah lawan.
"Habis riwayatmu sekarang, Perempuan liar!" seru Lembah Wuyung sambil sentakkan
pedangnya lurus ke
depan. Suuut...! Dari ujung pedang itu keluar tiga cahaya merah berbentuk


Pendekar Mabuk 086 Buronan Cinta Sekarat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyerupai pedang tersebut.
Zraaaap...! Tiga pedang cahaya merah itu menyerang Perawan
Sinting dalam formasi berjajar ke samping. Gerakan
sinarnya sangat cepat dan menyilaukan pandangan mata lawannya.
Namun Perawan Sinting segera sentakkan kaki ke
tanah dan tubuhnya melesat naik dengan cepat sambil mencabut pedang dari
punggungnya. Slaaap...!
Pedang si Perawan Sinting menyala hijau pijar-pijar.
Pedang pusaka yang bernama Pedang Galih Petir itu
segera digunakan untuk menebas tiga cahaya pedang
warna merah itu dalam gerakan tubuh Perawan Sinting menukik secara tiba-tiba.
Wees...! Traaat, tat, tat, tat, blaab...! Blegaaarr...!
Tiga cahaya pedang merah itu hancur seketika
bersama menyebarnya cahaya hijau lebar yang
mengeluarkan gelombang ledakan cukup besar. Bumi
menjadi terguncang bagai dilanda gempa. Tanah retak di beberapa bagian. Pohon-
pohon pun ikut bergetar hebat hingga daun dan rantingnya berguguran.
Sedangkan tubuh Perawan Sinting yang belum
menapak ke tanah itu sudah terlempar kembali ke atas dan berguling-guling di
udara. Namun agaknya ia bisa mengendalikan keseimbangan tubuhnya, hingga
akhirnya ia mendarat bagaikan seekor burung perkasa yang hinggap ke atas
sebongkah batu tanpa guncangan sedikit pun. Namun batu itu ternyata sudah
telanjur retak karena gelombang ledakan tadi, sehingga akhirnya batu itu pun
rompal berbongkah-bongkah dan Perawan
Sinting jatuh terduduk. Brrruk...!
Di pihak lain, Lembah Wuyung sedang berusaha
bangkit dengan mulut berdarah lagi. Gelombang ledakan tadi membuatnya terlempar
dan terbanting keras sekali, sehingga punggungnya terasa patah dan dadanya
menjadi panas, ia terluka dalam akibat gelombang
ledakan dahsyat tadi.
Wuuut...! Lembah Wuyung melambung ke atas dan
hinggap di atas sebatang pohon. Jleeg...! Perawan
Sinting memandanginya dengan ganas. Pedang yang
memancarkan cahaya hijau pijar-pijar itu diarahkan kepada Lembah Wuyung. Tetapi
gadis berpakaian biru ketat itu segera pergi tinggalkan tempat setelah
tinggalkan ancaman.
"Tunggu pembalasanku, Keparat!"
Laaap...! Lembah Wuyung lenyap bagai ditelan
angin. Perawan Sinting mengejarnya, namun segera
hentikan pengejaran setelah mendengar seruan Suto.
"Biarkan dia pergi! Kita punya tujuan lebih penting lagi!"
Perawan Sinting hampiri Suto dan berkata dengan
ketus, "Tampaknya kau khawatir kalau sampai dia mati di tanganku, ya"!"
Pendekar Mabuk tersenyum tenang dan berbisik,
"Hilangkan kecurigaan pribadi itu!"
"Hmmm...!" Perawan Sinting mencibir sinis sambil buang muka.
"Pusatkan perhatianmu dan simpan tenagamu untuk hadapi si Bayangan Setan!"
tambah Suto sambil menatap gadis itu lekat-lekat.
* * * 6 MEREKA melewati Desa Cipuser, desa kelahiran si
Mahesa Gibas. Namun keadaan desa itu telah menjadi
sepi. Desa itu bagaikan telah mati. Hanya beberapa
gelintir manusia yang masih menempati desa tersebut, sisanya mengungsi ke tempat
lain, atau mengungsi ke alam kubur.
"Beginilah keadaan desaku," ujar Mahesa Gibas.
"Kehilangan kepercayaan penduduknya yang merasa tak aman tinggal di desa ini.
Entahlah bagaimana jadinya desa ini nanti. Mungkin akan kujual saja kepada
seorang penguasa yang masih membutuhkan desa."
"Jual..."! Apa hakmu sehingga mau menjual desa seperti menjual sarung bekas
saja"!" gerutu Perawan Sinting.
"Yah, kalau tak laku kujual, akan kugadaikan saja!"
kata Mahesa Gibas semakin mengacau. Wajahnya
tampak sedih, sepertinya ia bicara di luar kesadarannya.
"Gila! Apa yang terjadi dengan warga desa ini
sebenarnya, Mahesa"!" tanya Pendekar Mabuk sambil pandangi rumah-rumah yang
sebagian besar rusak dan
kotor. "Dulu desa ini ramai dan penduduknya padat.
Gadisnya cantik-cantik, jandanya montok-montok, tiap
kamar mandi punya lubang khusus untuk mengintip...."
"Siapa yang melubangi?" sergah Suto dengan menahan senyum geli.
"Sebagian aku, sebagian lagi... aku juga," jawab Mahesa Gibas dengan ekspresi
duka tapi menjengkelkan hati Perawan Sinting, ingin rasanya Perawan Sinting
menabok wajah itu, namun ia tak mau terkena keringat pemuda konyol itu.
Mahesa Gibas membawa mereka ke sebuah kedai
yang sudah tidak menjual makanan lagi itu. Kedai
tersebut milik Ki Ranowo, sahabat kakeknya Mahesa
Gibas yang telah tiada itu. Mahesa Gibas membawa
mereka masuk ke kedai yang pintunya terbuka lebar
namun tak ada penghuninya.
"Kalau mau makan atau minum, ambil saja! Soal pembayarannya biar kutanggungi"
ujarnya sambil melangkah ke dapur.
"Apa yang mau dimakan dan diminum" Kedai ini
gersang!" ketus Perawan Sinting yang membuat Suto tertawa pelan.
"Hei, ada tuak dalam guci!" seru Perawan Sinting setelah memeriksa gerobok di
bawah meja jualan. Tuak itu segera dituang ke dalam bumbungnya Suto.
Bumbung itu menjadi penuh tuak kembali, sisa tuak
dalam guci dihabiskan oleh Perawan Sinting.
"Gila kau! Tuak tersisa masih banyak begitu
dihabiskan semua"!" gerutu Pendekar Mabuk dengan bersungut-sungut.
"Aku haus," jawab Perawan Sinting sambil
melangkah ke dapur juga. Ia berpapasan dengan Mahesa Gibas yang menghempaskan
napas bagai melepas
keluhan. "Ada apa, Mahesa?"
"Ki Ranowo tak ada!" jawab Mahesa Gibas sambil duduk di sebuah bangku yang sudah
berdebu, pertanda sudah beberapa waktu kedai itu dikosongkan.
"Apakah Ki Ranowo itu pemilik kedai ini?" tanya Suto.
"Ya, biasanya kalau aku datang langsung dia
menyuguhkan minuman kopi, teh, atau tuak. Tapi
sekarang kedatanganku tak disambut."
"Mungkin Ki Ranowo sudah tidak menempati kedai ini lagi."
"Seingatku tempo hari dia ikut mengungsi ke timur."
"Kenapa kau cari!" sentak Perawan Sinting dengan jengkel. "Dasar bocah edan!"
"Maksudku, siapa tahu Ki Ranowo datang lagi, kan bisa kita mintai tolong untuk
menyediakan makanan,"
ujar Mahesa Gibas.
"Rumahmu di mana, Mahesa?"
"Di belakang rumah beratap miring itu. Tapi sudah rata dengan tanah."
"Karena diratakan oleh si Bayangan Setan?"
"Karena memang sudah rapuh bangunannya. Kena
angin sedikit, ambruk!"
"Apakah semua desa di wilayah Kadipaten Madusari mengalami nasib seperti ini?"
tanya Perawan Sinting sambil ikut nimbrung duduk di dekat Suto.
"Sepertinya memang semua desa mengalami nasib
begini. Tapi menurutku hanya desaku ini yang paling parah. Kalau begini
keadaannya, aku tak mau diangkat menjadi lurah di desa ini!"
"Oh, apakah kau rencananya akan diangkat menjadi lurah di desa ini?"
"Belum ada rencana itu. Tapi siapa tahu akan ada!"
"Konyol!" Perawan Sinting menggeram gemas.
"Sejak si Bayangan Setan menguasai kadipaten, desa ini seolah-olah dijadikan
sasaran utama keganasannya."
"Apa saja yang dilakukan si Bayangan Setan terhadap warga desa ini, Mahesa?"
"Menangkap penduduk satu-persatu, membunuhnya, dan memakan dagingnya."
"Oooh ."!" Perawan Sinting dan Pendekar Mabuk sama-sama terkejut. Tapi Suto
sempat sangsi dengan
kesungguhan kata-kata itu, sehingga dengan nada
setengah mengancam, Pendekar Mabuk berkata kepada
Mahesa Gibas. "Kau jangan membesar-besarkan kenyataan, ya"!"
"Aku tidak membesar-besarkan kenyataan, Suto.
Memang begitulah keganasan si Bayangan Setan.
Bahkan...," Mahesa Gibas tundukkan wajah dengan sendu, sepertinya ada duka yang
sedang ditahan dalam hatinya.
"Bahkan... kakekku sendiri menjadi korban
keganasan itu. Bayangan Setan itu masuk ke rumahku
pada malam hari, pada saat itu aku sedang main dadu di Desa Pucang Wetan sampai
pagi. Ketika aku pulang, aku
terkejut melihat kakekku telah terkapar di ruang tamu dalam keadaan berlumur
darah. Jantungnya hilang
dan...." "Siapa yang menghilangkan jantungnya?" tanya Suto memotong kata-kata Mahesa
Gibas. "Siapa lagi kalau bukan si Bayangan Setan. Dia gemar memakan jantung manusia.
Menurut desas-desus
yang kudengar, dengan memakan jantung manusia maka
kekuatan si Bayangan Setan itu akan selalu terjaga."
"Ceritamu itu sungguh-sungguh"!"
"Sumpah! Berani disambar bakiak satu keranjang kalau memang aku berkata bohong
pada kalian!"
Mahesa Gibas ngotot, membuat Suto Sinting menarik
napas lalu menggumam datar.
"Kejam...!"
"Kurasa si Bayangan Setan itu sesosok iblis yang menjelma sebagai manusia," ujar
Perawan Sinting seperti bicara pada diri sendiri.
"Kami memang menganggapnya iblis!" timpal Mahesa Gibas. "Tak ada manusia yang
doyan makan jantung manusia lainnya. Kalau makan jantung pisang, memang ada. Aku
sendiri suka makan jantung pisang
direbus atau dibuat sayur. Tapi makan jantung manusia belum pernah."
"Seperti apa ciri-ciri si Bayangan Setan itu"!" tanya Pendekar Mabuk.
"Cantik, montok...."
"Oh, dia seorang perempuan"!" sergah Perawan Sinting.
"Menurut pengamatanku selama ini, dia memang
seorang perempuan. Tapi, entah kenyataannya, karena aku tak pernah melihat
sampai di kedalaman tubuhnya,"
jawab Mahesa Gibas. "Yang kutahu, dia berdada
montok, seperti ini...," sambil menuding dada Perawan Sinting.
Plaak...! Tangan itu ditampar oleh Perawan Sinting.
"Kupatahkan jarimu kalau berani menudingnya lagi!"
"Maaf, aku tidak akan menudingnya lagi, kecuali melirik!"
"Kucolok matamu kalau berani melirik!" sergah Perawan Sinting sambil berdiri.
"Sudah, sudah...!" lerai Suto. "Makanya rapatkan pakaianmu itu, biar tidak jadi
bahan lirikan orang." Lalu, Suto berbisik setelah gadis itu duduk lagi.
"Rapatkan, tapi sisakan sedikit untuk mataku. Boleh, kan"!"
"Hmmm...!" Perawan Sinting mencibir dan melengos.
"Jangan jual mahal, nanti kutawar murah kau!" canda Pendekar Mabuk, kali ini
berhasil membuat si gadis
galak menjadi tersenyum agak lebar.
"Teruskan ceritamu tentang si Bayangan Setan itu, Mahesa."
"Teruskan sambil jalan saja!" ujar Perawan Sinting, lalu ia mendahului bangkit
dan langkahkan kakinya.
Mahesa Gibas berjalan di tengah; antara Pendekar
Mabuk dan Perawan Sinting. Pemuda berambut pendek
itu menceritakan apa yang ia tahu tentang si Bayangan Setan itu dengan penuh
semangat, kedua tangannya ikut bergerak-gerak seakan ingin memperkuat tiap kata
yang diucapkan. "Sesuai dengan julukannya, si Bayangan Setan datang tidak diketahui dan pergi
pun tak terlihat orang. Tapi ia bisa muncul sewaktu-waktu di depan kita atau di
belakang kita."
"Apakah ia tak bisa dipukul" Maksudku, raganya tak bisa disentuh?"
"O, bisa! Kalau sedang berhadapan dengan kita, ya bisa disentuh. Dicium pun
bisa, asal hati-hati, jangan sampai bibir kita dikunyah olehnya. Dia bukan saja
suka makan jantung manusia, tapi gemar pula memakan
daging mentah, termasuk daging manusia. Karena itu
kalau kita ciuman beradu bibir, hati-hati... jika
kecupannya semakin kuat, itu pertanda ia akan
menggigit bibir atau lidah kita, lalu diku-nyah-kunyah seperti makan sate
kambing." "Kalau begitu aku harus hati-hati," gumam Suto.
Perawan Sinting menyentak berang.
"Jadi kau ingin mencoba berciuman dengannya"!"
mata gadis itu pun melotot galak.
"Maksudku, harus hati-hati jangan sampai tergoda oleh rayuannya."
"O, ya. Itu bagus!" kata Perawan Sinting, lalu segera lanjutkan langkahnya.
Mahesa Gibas tertawa kedi, tapi segera hentikan
tawanya karena takut melihat tatapan mata Perawan
Sinting yang sangar itu. Ia justru lanjutkan ceritanya dengan lagak seperti tak
pernah tertawa sedikit pun.
"Si Moneng, temanku, matinya menyedihkan sekali.
Dia bukan saja kehilangan bibirnya, namun juga
kehilangan 'pusaka'-nya."
"Lho, kenapa bisa begitu?"
"Dia memang rakus perempuan. Wajahnya memang
ganteng dan badannya tegap seperti kau," kata Mahesa Gibas kepada Suto. "Tapi
sayang, dia tidak punya otak, sehingga perempuan mana saja yang mengajaknya
kencan selalu dilayani. Akibatnya ia kena batunya.
Perempuan yang mengajaknya kencan adalah si
Bayangan Setan. Tentunya mereka bergumul dulu
mencari puncak keindahan masing-masing. Tapi ketika si Bayangan Setan menciumi
sekujur tubuh Moneng,
tahu-tahu Moneng menjerit keras-keras ketika 'pusaka'-
nya dimakan oleh si Bayangan Setan."
"Maksudnya dimakan bagaimana?" tanya Perawan Sinting. Suto yang menjawab,
"Seperti kau semalam itulah! Cuma, kalau si
Bayangan Setan memang benar-benar memakannya
sampai habis. Bukan sekadar di...."
"Sudah, sudah...!" potong Perawan Sinting sambil mengulum senyum dan membuang
pandangan ke arah
lain. "Karena itulah aku tak pernah mau kencan
dengannya," kata Mahesa Gibas.
"Karena kau takut dimakan seperti Moneng?"
"Karena aku tak pernah diajak kencan olehnya!"
sahut Mahesa Gibas. Perawan Sinting alihkan
pembicaraan agar lebih menjurus pada kekuatan si
Bayangan Setan.
"Lalu, apakah si Bayangan Setan itu hanya
sendirian?"
"O, dia punya anak buah!" ujar Mahesa Gibas penuh semangat. "Entah berapa jumlah
anak buahnya, yang jelas ada dua orang yang dianggap sebagai orang
kepercayaan si Bayangan Setan. Kedua orang itu adalah Melon dan Gober!
Kekuatannya dahsyat-dahsyat mereka itu. Sekali menendang bikin kita melayang-
layang bagai tak bernyawa lagi."
"Kau pernah bertemu dengan Melon dan Gober"!"
"Pernah melihatnya, tapi tak pernah bertarung dengan mereka, karena kelihatannya


Pendekar Mabuk 086 Buronan Cinta Sekarat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka sungkan jika
berhadapan denganku!"
Pendekar Mabuk dan Perawan Sinting sama-sama
mencibir sinis mendengar kesombongan Mahesa Gibas.
"Lagakmu seperti jagoan saja, disungkani orang-orang seperti mereka. Hmmm...
nanti kalau kita
berhadapan dengan mereka, kau maju lebih dulu!"
"Jangan begitu," ujar Mahesa Gibas dengan murung.
"Aku sudah bertekad untuk tidak ikut campur di rimba persilatan lagi. Aku sedang
berusaha untuk mengasingkan diri dan sengaja membuang ilmu-ilmuku.
Jangan kalian bujuk aku untuk terjun kembali ke kancah persilatan ini."
Perawan Sinting dongkol mendengar kata-kata
Mahesa Gibas yang bermuluk-muluk itu. Rasa-rasanya ia ingin meremas mulut pemuda
itu sampai giginya
rontok semua. Tapi Perawan Sinting segera memaklumi, ucapan bermuluk-muluk itu
biasanya dilakukan oleh
seseorang untuk menutupi kelemahannya. Justru orang yang bicaranya bermuluk-
muluk kentara sekali kalau dia orang yang kosong, tanpa isi apa pun dalam
dirinya. "Apakah kau tahu, mengapa si Bayangan Setan
menguasai kadipaten ini" Mengapa bukan kadipaten lain yang diganggunya?" tanya
Suto dengan serius.
"Kudengar dari orang-orang yang tinggal di sekitar alun-alun kadipaten, katanya
si Bayangan Setan
menyimpan dendam kepada leluhur sang Adipati
Jayengrana. Ditambah lagi, si Bayangan Setan itu dulu naksir berat sama Raden
Rama Jiwana. Si Bayangan
Setan pernah membantu Rama Jiwana saat menyerbu
Kerajaan Siluman Berhala. Raden Rama Jiwana kala itu menjadi panglima kadipaten
yang amat diandalkan oleh sang Adipati."
"Hmmm... ya, ya... aku ingat! Rama Jiwana memang pernah menjadi panglima
Kadipaten Madusari dan
pernah lakukan penyerbuan ke kerajaan Siluman
Berhala. Memang benar itu!" kata Suto Sinting.
"Nah, antara Raden Rama Jiwana dan si Bayangan Setan ternyata telah saling
terikat perjanjian bahwa Raden Rama Jiwana akan bersedia menjadi suami si
Bayangan Setan apabila Bayangan Setan membantunya
menghancurkan kerajaan Siluman Berhala. Tapi setelah kerajaan itu hancur dengan
bantuan si Bayangan Setan, kenyataannya Raden Rama Jiwana dianggap ingkar janji,
karena menikah dengan putri sang Adipati yang bernama Muria Wardani alias Telaga
Sunyi." "Ooo... jadi singkatnya cerita, si Bayangan Setan
menuntut Rama Jiwana untuk memenuhi janjinya?" ujar Perawan Sinting.
"Benar! Dan ia memberi batas waktu sampai pada malam bulan purnama nanti. Jika
sampai malam bulan
purnama Raden Rama Jiwana tidak muncul dan menolak
dibawa pergi oleh si Bayangan Setan, maka sebagai
gantinya, sang Adipati Jayengrana akan digantung di depan umum!"
"Hmmm..., begitu?" Pendekar Mabuk menggumam sambil manggut-manggut. Perawan
Sinting pun menggumam tapi tidak manggut manggut, karena
matanya memandang ke arah depan penuh waspada.
Mereka sama-sama terbungkam beberapa saat, sampai
akhirnya suara Pendekar Mabuk memecah kebisuan
mereka bertiga.
"Apakah sampai sekarang Rama Jiwana belum mau
menemui si Bayangan Setan?"
"Aku tak jelas akan hal itu, karena aku bukan si Bayangan Setan," jawab Mahesa
Gibas. "Kabar terakhir yang kudengar sebelum aku meninggalkan desaku
adalah kesediaan Raden Rama Jiwana untuk
mengadakan pertarungan pribadi dengan si Bayangan
Setan. Tapi dari pihak keluarga sang Adipati dan
terutama istrinya sendiri; Telaga Sunyi itu, tidak
mengizinkan Raden Rama Jiwana beradu kesaktian
dengan si Bayangan Setan. Sebab mereka tahu bahwa
kekuatan si Bayangan Setan jauh lebih tinggi dibanding kesaktian yang dimiliki
Raden Rama Jiwana."
"Lalu tindakan apa yang diambil sang Adipati?" tanya
Perawan Sinting.
"Secara diam-diam, Kanjeng Adipati mengutus
beberapa orangnya untuk mencari bantuan kepada para sahabat sang Adipati. Tapi
sebagian para utusan itu dibunuh di perjalanan oleh anak buah si Bayangan
Setan. Sebagian lagi berhasil mendapat sang penolong.
Namun para penolong itu berhasil...."
"Berhasil kalahkan si Bayangan Setan"!"
"Berhasil dibunuh oleh Melon dan Gober!"
Pendekar Mabuk pindah tempat, kini berjalan di
samping Perawan Sinting, ia sempat berbisik kepada si Perawan Sinting.
"Aku curiga padanya. Bagaimana dia bisa tahu
panjang lebar tentang kekuatan dan tujuan si Bayangan Setan menguasai kadipaten
ini"! Selengkap itukah
pengetahuannya tentang hubungan si Bayangan Setan
dengan Rama Jiwana"!"
Perawan Sinting diam tertegun walau masih tetap
melangkah dengan pandangan mata mulai menerawang
kacau. Kesadarannya bagaikan baru saja dibangkitkan oleh bisikan Pendekar Mabuk,
sehingga hati kecilnya ikut bertanya-tanya, "Mengapa si Mahesa banyak mengetahui
tentang persoalan ini"!"
* * * 7 PERJALANAN mereka terhadang oleh dua orang
berkuda yang bertugas menjaga perbatasan kotaraja. Dua orang berkuda itu
hentikan langkah Pendekar Mabuk,
Perawan Sinting, dan Mahesa Gibas.
Kedua penunggang kuda itu adalah laki-laki berusia
sebaya, sekitar empat puluh tahun, dan mempunyai
tampang bengis. Mereka sama-sama berkumis lengkung
sampai ke dagu dan bermata kecil dengan wajah lonjong.
Tetapi yang satu berambut panjang sepundak dengan
ikat kepala kuning, yang satunya berambut pendek,
bahkan botak bagian tengahnya. Yang berikat kepala
kuning dan berambut panjang itu mengenakan pakaian
serba hitam, sedangkan yang botak mengenakan pakaian serba coklat tua. Mereka
sama-sama bersenjata pedang besar yang tak bisa diselipkan di pinggang atau di
punggung. "Berhenti kalian!" bentak si kepala botak. "Siapa kalian dan mau ke mana tujuan
kalian"!"
Pendekar Mabuk yang menjawab dengan tenang.
"Kami ingin beranjangsana kepada sang Adipati.
Kami adalah sahabat lama beliau!"
"Tidak bisa! Adipati Jayengrana sedang sakit, tak bisa ditengok siapa pun."
"Bagaimana kalau kami nekat menengok beliau"!"
"Kalian akan kehilangan nyawa." sentak yang berambut panjang, lalu ia turun dari
kudanya sambil mencabut pedang yang digantungkan di pelana kuda.
"Hei, Parsonto!" seru yang berpakaian coklat tua
kepada temannya yang berpakaian merah itu.
"Ada apa, Wiguro"!"
"Lihat pemuda berbaju kuning dan bercelana hitam itu. Bukankah dia yang bernama
Sukron; pelayan sang Adipati yang melarikan diri beberapa hari yang lalu"!"
sambil Wiguro menuding Mahesa Gibas. Yang dituding
menjadi pucat dan bersembunyi di balik punggung
Perawan Sinting,
Parsonto menggeram dengan mata semakin
dikecilkan pandangi Mahesa Gibas.
"Benar, dia adalah pelayan kadipaten yang melarikan diri tempo hari! Rupanya dia
mencari bantuan dan
sekarang datang bersama dua manusia bangkai ini!" ujar Parsonto sambil pandangi
Suto dan Perawan Sinting
dengan sinis. "Usir mereka dari wilayah ini, Parsonto!" seru Wiguro yang masih berada di
punggung kuda. "Sabar dulu, Paman," ujar Pendekar Mabuk dengan kalem.
Perawan Sinting menggerutu di samping Suto.
"Terlalu lama dan bertele-tele!"
Wuuut...! Claaap, crrasss...!
"Aaaakh...!" Parsonto mendelik ketika tiba-tiba sekali tangan Perawan Sinting
menyentak ke depan dan
seberkas sinar hijau lurus dari kedua tangannya melesat cepat menembus leher
Parsonto. Leher itu menjadi
bolong, berwarna hangus dan kepuikan asap putih.
Parsonto pun tumbang dan berkelojot sesaat, lalu diam tak bergerak selamanya.
Melihat keadaan Parsonto tak bernyawa lagi, Wiguro
segera melompat dari punggung kuda dan menyambar
Perawan Sinting.
"Jahanam kau, Perempuan busuk! Heeeaat...!"
"Hiaaah...!" Perawan Sinting berkelebat cepat dalam satu sentakan kaki. Tubuhnya
melesat bagaikan panah yang menerjang tubuh Wiguro di udara. Breeess...!
Blaaap, claaap...! Sinar hijau bagaikan menyebar pecah dalam sekejap.
"Uuuaakh...!" Wiguro terlempar ke belakang, jatuh berdebam tanpa ampun lagi.
Wajahnya menjadi hitam
hangus karena dihantam telapak tangan Perawan Sinting saat bertabrakan di udara
tadi. "Hooohk...!" Wiguro ingin memuntahkan sesuatu dari mulutnya. Tapi kaki Perawan
Sinting segera mengakhiri masa hidupnya yang baru empat puluh tahun lewat
sedikit itu dengan tendangan samping bertenaga dalam besar.
Deess...! Krraak...!
Tendangan itu tepat kenai leher kiri Wiguro. Suara
tulang berderak terdengar sebagai tanda patahnya tulang leher Wiguro. Kejap
berikutnya, Wiguro tumbang
terkapar tanpa nyawa lagi.
Perawan Sinting tampak berwajah sangar
memandangi kedua lawannya. Setelah ia yakin keduanya sudah tak bernyawa lagi, ia
berkata tegas kepada
Pendekar Mabuk.
"Cepat kita menuju istana kadipaten!"
"Gila!" gumam Pendekar Mabuk di samping Mahesa
Gibas. "Gerakannya cepat sekali. Dalam sekejap dua nyawa telah dicabutnya.
Benar-benar perempuan elmaut kau, Perawan Sinting!"
"Tak ada waktu buat basa-basi kepada orang seperti mereka!"
"Tapi, tunggu dulu...," ujar Suto, kemudian menarik lengan Mahesa Gibas.
"Ternyata kau pelayan sang adipati, Mahesa!"
"Hemmm, eehhh, hmm...." Mahesa Gibas salah tingkah dan wajahnya menjadi pucat
ketakutan. Terlebih setelah Perawan Sinting mendekatinya dengan wajah
sangar, Mahesa Gibas semakin gemetar dan rasa
takutnya kian tinggi.
"Mengakulah, siapa kau sebenarnya, hah"!" bentak Perawan Sinting sambil
mencengkeram baju Mahesa
Gibas dan menentengnya ke atas.
Pemuda itu bertambah menggeragap, akhirnya ia
hanya bisa anggukkan kepala dan berkata pelan.
"Iyya... iya, aku pelayan sang Adipati. Aak... aku...
aku memang melarikan diri karena takut kalau suatu saat tiba giliran jantungku
yang dimakannya. Ak... aku hanya mempunyai satu jantung. Sumpah! Hanya satu
jantung!" "Bukan soal jantung!" sentak Perawan Sinting. "Kau telah membohongiku lagi,
Keparat!" Plaaak...! "Aauw...!" Mahesa Gibas terpelanting jatuh karena tamparan keras Perawan
Sinting. Gadis itu marah sekali karena merasa ditipu oleh pengakuan Mahesa
Gibas. Kalau saja ia tidak segera dicegah oleh Pendekar Mabuk,
maka Mahesa Gibas akan babak belur, setidaknya gigi gerahamnya akan copot semua
dihajar Perawan Sinting.
"Cukup, cukup...! Kebohongannya bukan merupakan hal yang membahayakan bagi kita.
Tak perlu menghukumnya lebih dari ini, Perawan Sinting!"
"Sekali lagi kutahu kau berbohong padaku, kubedah perutmu dan kumasukkan
sekeranjang tikus lalu kujahit lagi perutmu! Mengerti"!"
"Ngeriii...!"
"Mengertiiii..."!"
"O, ya... mengerti!" jawab Mahesa Gibas dengan gemetaran.
"Makanya jadi orang jangan suka bohong! Kau bisa terpenggal oleh lidahmu
sendiri, Mahesa!" ujar Pendekar Mabuk sambil teruskan langkah bersama-sama.
"Aku toh tidak membohongi kalian. Aku memang
berasal dari Desa Cipuser itu! Kakekku memang mati
dibunuh si Bayangan Setan. Hanya saja, kalian tak
menanyakan apa pekerjaanku, maka aku tidak ceritakan kalau aku bekerja sebagai
pelayan di Istana kadipaten ini," ujar Mahesa Gibas sambil bernada gerutu yang
menghiba. "Apa maksudmu melarikan diri dari istana
kadipaten?" tanya Suto.
"Pergi jauh-jauh dan tak perlu kembali lagi daripada harus kehilangan jantung,
seperti Senduk dan beberapa pelayan lainnya."
Pendekar Mabuk manggut-manggut dengan gumam
tipis, ia merasakan kewajaran dalam pelarian Mahesa
Gibas. Tentunya sebagai pelayan ia tak mau mati sesadis itu. Sikap pengabdiannya
hanya sebatas pelayan sang Adipati, bukan pengawai yang harus berani pertaruhkan
nyawa demi keselamatan sang Adipati.
"Gajiku kecil kok harus sampai korbankan nyawa"
Enak amat"!" gerutu Mahesa Gibas seperti bicara pada diri sendiri.
Trang, trang, trang, blaaarr..!
Pendekar Mabuk dan Perawan Sinting spontan
hentikan langkah dan saling pandang dengan tegang.
Mereka mendengar suara pertarungan di arah kanan
mereka. Tanpa banyak bicara, Pendekar Mabuk
anggukkan kepala, maka Perawan Sinting berkelebat
lebih dulu ke arah pertarungan. Pendekar Mabuk
menyusul setelah berkata kepada Mahesa Gibas,
"Jangan jauh-jauh dariku, supaya kau tidak mati mendadak!"
Rupanya pertarungan itu dilakukan oleh seorang
pemuda berpakaian perak yang punya wajah tampan dan rambut bergelombang
sepanjang pundak. Pemuda
tampan itu mengenakan ikat kepala dari logam putih
berukir dihiasi bebatuan warna merah dan hijau.
Perawan Sinting tidak segera turun tangan karena ia merasa belum mengenali kedua
orang yang bertarung
dengan serunya itu. Bahkan ia sama sekali merasa asing kepada seorang lelaki
berpakaian serba kuning yang
bertubuh tinggi, tegak, dan kekar. Walau usianya sudah mencapai sekitar lima
puluh tahun, tetapi lelaki itu masih tampak gagah dan tangkas, ia berkumis lebat
dan bermata tajam. "Siapa mereka itu?" bisik Perawan Sinting saat Suto dan Mahesa Gibas
mendekatinya. "Ooh..."! Rama Jiwana muncul"!" gumam Suto Sinting.
"Yang mana yang namanya Rama Jiwana?"
"Yang berpakaian perak itu! Aku kenal baik
dengannya."


Pendekar Mabuk 086 Buronan Cinta Sekarat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"O, maksudmu dia si menantu sang Adipati?"
"Benar! Dia bekas panglima sang Adipati."
"Lalu, siapa yang memakai pakaian warna kuning itu?"
"Melon Kuning, adiknya Melon Hijau!" jawab Mahesa Gibas dengan cepat. "Dia salah
satu orang andaian si Bayangan Setan!"
"Kalau begitu, akan kulumpuhkan si Melon Kuning itu. Kelihatannya Rama Jiwana
terdesak dan terlalu lamban menumbangkan lawannya."
Perawan Sinting tampak tak sabar melihat
pertarungan yang menurutnya terlalu lamban itu.
Sementara si Rama Jiwana sendiri berusaha menangkis jurus-jurus pedang Melon
Kuning yang tampak liar dan ganas. Perawan Sinting segera melesat ke tengah
pertarungan dengan beraninya. Weess...! Jleeg...!
"Nekat sekali saudaramu itu, Suto!" bisik Mahesa Gibas.
"Begitulah kesintingannya!" jawab Suto asal cuap saja, tapi ia segera bergegas
dekati Rama Jiwana. Pria muda menantu sang Adipati itu terkejut girang melihat
Pendekar Mabuk muncul di tempat itu. Sambil
mendekap luka di pundak kirinya, ia segera menyapa
Suto dan menyambut kedatangan si Pendekar Mabuk itu.
"Suto..."! Oh, syukurlah kau ada di sini juga rupanya!"
"Bagaimana dengan lukamu"! Minum tuakku ini!"
"Hmmm, tapi...."
"Biar si Melon Kuning dihadapi oleh Perawan
Sinting. Dia murid sahabat Kanjeng Adipati!"
Melon Kuning terkejut melihat tampilnya perempuan
cantik berdandanan seronok. Tapi ia tak punya rasa tertarik untuk bercumbu, yang
ada hanya perasaan heran, karena merasa asing terhadap perempuan montok itu.
"Siapa kau dan mengapa mencampuri urusanku,
hah"!" bentak si Melon Kuning bernada galak.
Sreeet...! Perawan Sinting tak banyak bicara, ia
mencabut pedangnya. Pedang yang menyala hijau pijar itu membuat mata Melon
Kuning terkesiap, ia mundur satu langkah dengan tetap menggenggam pedangnya
dengan kedua tangan dalam posisi berdiri tegak di
samping kanan. Sebelum Melon Kuning ajukan tanya
lagi, Perawan Sinting sudah lebih dulu menyerangnya dengan satu lompatan cepat
yang membuat Melon
Kuning geragapan.
Wuuut...! Trang, craas...!
"Aauh...!" Melon Kuning memekik, lengan kirinya terkena sabetan pedang. Lukanya
menjadi hitam dan
berasap. Melon Kuning menjadi gemetar setelah tahu lawannya punya jurus pedang
yang tak bisa ditangkis
karena kecepatannya tak bisa tertangkap oleh
penglihatannya.
"Hiaaah...!" Perawan Sinting sentakkan pedangnya ke depan dengan kaki kiri
terangkat ke belakang dan tangan kanan merentang. Suuut...! Dari ujung pedang
itu keluar petir hijau yang jumlahnya empat larik dan berkelebat zigzag
membingungkan si Melon Kuning.
Clap, clap, clap...!
Melon Kuning hanya bisa menebaskan pedangnya ke
kanan-kiri dengan cepat. Wung, wung, wung...! Dan
keluarlah asap putih samar-samar. Asap itu diterjang oleh empat petir hijau
tersebut. Cralap...!
Blegaaarrr...! Ledakan dahsyat terjadi mengguncangkan bumi.
Melon Kuning terlempar sejauh lima langkah ke
belakang dan jatuh berguling-guling, ia cepat bangkit sambil menahan luka di
lengan kirinya. Ternyata luka itu telah mengeluarkan belatung yang menjijikkan.
Belatung-belatung itu mengerogoti daging hingga ke
tulangnya. Rasa sakit nyaris membuat Melon Kuning
berteriak meraung-raung seperti anak kecil.
Wuuut, brruuss...!
Perawan Sinting terlempar secara tiba-tiba. Ternyata dari arah belakangnya
muncul sekelebat bayangan hijau yang menerjangnya dengan kuat membuat Perawan
Sinting terlempar di udara, ia segera bersalto dan dengan menggunakan pedangnya
yang disentakkan ke tanah,
tubuh Perawan Sinting dapat hindari kilatan cahaya biru besar yang menerjangnya
dari seorang lelaki gemuk
berpakaian hijau. Claap, wuuut...!
Jegaaar...! Cahaya biru itu menghantam sebatang
pohon. Pohon itu lenyap tanpa bekas, tanahnya rata
bagai tak pernah dipakai tumbuh pohon besar tadi.
"Bahaya...!" gumam Pendekar Mabuk pandangi si lelaki gemuk berpakaian hijau
dengan kepala mengenakan topi kain yang ujungnya melengkung ke
samping. Ujung topinya itu mempunyai bundaran dari
kain halus. Topi itu berwarna abu-abu biru.
"Siapa dia"!" gumam Pendekar Mabuk. Mahesa Gibas menjawah dengan nada tegang.
"Si Gober! Oh, celaka! Si Gober muncul, pasti
sebentar lagi Melon Hijau, adik Melon Kuning akan muncul juga!"
"Kalau begitu aku harus segera bertindak!"
"Biar aku saja yang bertindak, Suto!" ujar Rama Jiwana.
"Jangan! Kau di sini saja! Akan kubereskan mereka secepatnya, lalu kita
membebaskan mertuamu dari
ancaman si Bayangan Setan!"
Zlaaap...! Pendekar Mabuk berkelebat lebih
menyerupai gerakan cahaya. Tahu-tahu ia telah
menerjang Gober dengan tendangan kakinya yang
menjejak secara beruntun cepat itu.
"Bangsaaaat...!"
Gober berteriak dengan kasar dan liar. Matanya yang agak besar itu segera
pandangi Pendekar Mabuk yang
sudah bergabung dengan Perawan Sinting. Saat itu si Perawan Sinting berkata
lirih kepada Suto Sinting.
"Siapa orang itu?"
"Si Gober!"
"Hmmm... kau ambil si Gober, aku akan ambil nyawa si Melon Kuning. Hati-hati,
keduanya mempunyai
tendangan yang berbahaya, menurut kata Mahesa Gibas tadi!"
Gober segera melompat dalam keadaan tubuhnya
memancarkan sinar hijau kebiru-biruan, ia menerjang Pendekar Mabuk yang saat itu
segera lakukan lompatan ke samping. Kemudian ia segera memutar bumbung
tuaknya, dan menghantamkan ke tubuh si Gober dengan kuat. Wuuut, blegaaarr...!
Gober terpental dalam keadaan tubuhnya tidak
bercahaya lagi. Ia terguling-guling dalam jarak lima belas langkah dari Suto.
Tubuhnya menjadi hitam dan berasap tipis, ia mengerang dengan suara mengerikan.
Sementara itu, Melon Kuning yang mencoba
melepaskan pukulan bersinar kuning lurus itu telah
dipatahkan oleh pedang hijaunya Perawan Sinting. Sinar kuning tersebut
menghantam pedang dan pecah
menyebar ke arah datangnya sinar tersebut. Blaaar...!
Sraaap...! Melon Kuning kaget, sinarnya menyebar menjadi
bias-bias runcing yang mengarah kepadanya. Firasatnya mengatakan, ia akan mati
jika tetap di tempat. Maka, Melon Kuning pun lakukan sentakan dan ia melambung
tinggi dengan cepatnya. Wees...!
Di udara ia berjungkir balik berkali-kali dan tiba-tiba berubah menjadi gulungan
asap. Bluub...! Kejap
kemudian asap itu buyar tertiup angin, sosok si Melon Kuning pun menghilang dari
pandangan mata lawannya.
Pada saat itu Gober juga keluarkan jurus mautnya
dalam bentuk semburan asap biru dari kedua tangannya.
Kedua tangan itu disentakkan ke depan, tubuhnya
melayang cepat bagai seekor kelelawar. Wees...!
Bersamaan dengan itu, asap biru tadi menyebar ke mana-mana. Wuuuss...!
Asap itu semakin tertiup angin semakin menjadi
banyak dan memenuhi alam sekitar tempat mereka.
Udara terasa kering dan menggatalkan hidung. Bau tak sedap pun tercium oleh
mereka. "Uhuk, uhuk, uhuk...!" Pendekar Mabuk terbatuk-batuk. Ia sempatkan diri berseru
kepada Perawan Sinting. "Tahan napas! Udara beracun!"
"Uhuk, uhuk, uhuk...!" Perawan Sinting sudah telanjur menghirup udara bercampur
asap biru itu. Sementara itu, Mahesa Gibas berlari-lari ketakutan
sambil berseru di sela batuknya.
"Sutooo...! Raden Rama hilang...! Raden Rama
hilaaang...!"
Pendekar Mabuk terkejut pandangi tempat Rama
Jiwana berada tadi. Ternyata tempat itu telah kosong.
Perawan Sinting pun terperanjat kaget dan menjadi
tegang. Tapi tubuh mereka semakin terasa lemas karena menghirup udara beracun.
Sementara itu, Gober yang telah menapakkan kakinya
ke tanah, terpaksa urungkan niatnya untuk melepas
pukulan penghancur ke tubuh Perawan Sinting, karena pada saat itu ia mendengar
seruan seorang perempuan yang menggema ke mana-mana.
"Buronan cinta telah tertangkap! Hatiku tidak sekarat lagi! Karena itu, semuanya
segera pulang... pulang...
pulang...."
Pendekar Mabuk melihat si Gober berubah menjadi
asap putih yang tebal. Tapi asap itu segera lenyap
tersapu angin, dan sosok si Gober tak terlihat lagi, sepertinya halnya Melon
Kuning tadi. Suara perempuan yang bergema itu terdengar
kembali. "Tinggalkan mereka! Apa yang kucari sudah
kudapatkan! Kita pulang ke Samudera Kubur! Pulang
semuaaa...! Bebaskan Adipati dan yang lainnya, karena Rama Jiwana sudah ada
dalam pelukanku!"
"Suara siapa itu"!"
"Siapa lagi kalau bukan si Bayangan Setan...!" seru Mahesa Gibas, lalu terbatuk-
batuk lagi. Akhirnya ia jatuh dengan napas sesak dan seperti tak mempunyai
tulang lagi. Hal yang sama dialami oleh Pendekar Mabuk dan Perawan Sinting.
"Racun ini ganas sekali, Suto... uhuk, uhuk, uhuk...!"
Perawan Sinting berusaha dekati Suto sambil
merangkak. Pada saat itu, Suto buru-buru menenggak
tuaknya untuk kalahkan keganasan racun yang
bercampur dengan udara itu.
Tanpa tuak tersebut, mungkin Suto dan Perawan
Sinting dalam waktu dekat akan mati membiru,
demikian juga dengan Mahesa Gibas. Beruntung Mahesa Gibas ada bersama Suto,
sehingga setelah meminum
tuak sakti tersebut, pernapasannya menjadi longgar dan rasa panas di dada telah
hilang secara berangsur-angsur.
"Adipati telah dibebaskan oleh si Bayangan Setan, tapi menantunya diculik dan
dibawa lari!" ujar Perawan Sinting.
"Sebaiknya kita menghadap sang Adipati dulu!" kata Suto Sinting. Lalu, mereka
bertiga bergegas ke istana kadipaten.
Namun alangkah terkejutnya mereka begitu melihat
sepanjang perjalanan menuju istana kadipaten, mereka melihat mayat-mayat yang
bergelimpangan di sana-sini dalam keadaan biru legam. Mereka adalah para
penduduk yang menjadi korban udara beracun tadi.
Sampai di istana kadipaten, ternyata sang Adipati
sendiri sedang dalam keadaan sekarat. Beberapa orang lainnya pun demikian,
saling terkapar di sana-sini bagai diserang wabah penyakit yang amat ganas. Suto
Sinting terpaksa sibuk memberikan minum tuaknya kepada
mereka, sehingga mereka pun akhirnya selamat,
termasuk sang Adipati dan permaisurinya. Namun yang sudah telanjur tewas tak
bisa diselamatkan dengan tuak Suto. Setiap tuak dalam bumbung mau habis, Perawan
Sinting menuangkan tuak baru lebih dulu ke dalam
bumbung sakti tersebut, baru bisa dipakai untuk
mengobati mereka yang terluka dan terancam racun
ganas. "Beruntung sekali kau datang, Suto," ujar sang
Adipati. "Tapi kita semua mendengar suara menggema tadi, itulah suara si
Bayangan Setan. Dia telah membawa lari menantuku, sementara putriku sendiri:
Muria Wardani sedang berada di tempatnya, ia sedang
melahirkan bayi pertama mereka!"
"Kasihan...," gumam Suto Sinting.
"Tolong, Suto...!
Tolong ambilkan kembali
menantuku; Rama Jiwana agar Muria Wardani tidak
menderita terlalu lama!" pinta sang Adipati di depan Perawan Sinting juga.
"Kanjeng Adipati, apakah Kanjeng tahu di mana kami bisa temukan si Bayangan
Setan"!"
"Mereka tinggal di sebuah negeri yang bernama
Samudera Kubur! Letaknya di Pulau Blacan!"
Maka, berangkatlah Suto Sinting dan Perawan
Sinting ke Samudera Kubur untuk berhadapan dengan si Bayangan Setan. Namun si
Bayangan Setan bukan orang berilmu pas-pasan. Mampukah mereka berdua kalahkan
kekuatan si Bayangan Setan dan membawa pulang Rama
Jiwana" SELESAI PENDEKAR MABUK Segera terbit!!!
PEMBANTAI CANTIK
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Bara Diatas Singgasana 7 Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemanah Rajawali 37
^