Pencarian

Pusaka Jarum Surga 1

Pendekar Mabuk 080 Pusaka Jarum Surga Bagian 1


Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
https://www.facebook.com/Dunia
AbuKeisel Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 KABUT masih selimuti puncak Gunung Dara. Udara
di puncak itu dingin. Embun jatuh berupa butiran-butiran batu bening. Embun itu
menjadi kristal-kristal es karena dinginnya udara di puncak tersebut.
Seorang lelaki tua meludah ke bebatuan yang
menghiasi lereng Gunung Dara. Cuih, klotak...!
Ludahnya menjadi batu karena membeku. Gila! Jika
ludah saja menjadi batu karena membeku, lalu
bagaimana jika lelaki tua itu buang air kecil. Jelas tidak akan mengucur seperti
biasanya. Atau jika mengucur,
bunyinya tidak: cuuur..., tapi akan berbunyi: klotak,
klotak, klotak, klotak...! Karena air seni itu langsung menjadi batu es yang
sama sekali tak sedap untuk
dicicipi. Lelaki tua berjubah abu-abu itu duduk di atas batu
besar. Bukan berarti dia habis buang air besar, tapi memang batu besar itu sudah
ada di tempatnya sebelum ia sampai di lereng Gunung Dara.
Tanpa mempedulikan tubuhnya dikeroyok udara
dingin yang menghamburkan busa-busa salju, lelaki tua berambut panjang tak rapi
warna abu-abu itu
memantapkan duduknya dalam keadaan bersila.
Tongkat yang tadi dibawa-bawa, kini ditancapkan di
samping batu itu. Lelaki berkalung tasbih hitam itu mulai tegakkan badan dan
menarik napas. Suuuut...!
Tanaman di depannya ikut tertarik karena sedotan
napasnya tadi. Wuuurrss...! Pluk...! Ada seekor ulat bulu masuk ke hidung lelaki
tua tadi. Ulat bulu itu ikut
tersedot oleh napas si tua bertubuh kurus itu. Tanpa permisi lagi, napas pun
disentakkan melalui hidung.
Fuiih...! Wees, plok...! Ulat bulu tadi terlempar seketika dan menabrak pohon, akhirnya
mati tanpa ada yang mau
menguburnya. Si tua bergigi ompong depan itu segera
tarik napas lagi, tapi kali ini pelan-pelan, karena takut batu koral itu
tersedot dan menyumbat lubang hidungnya sendiri.
"Aku tidak ingin lubang hidungku penuh batu koral.
Mending kalau bisa dijual seperti batu intan, digadaikan saja tak akan laku,"
pikir lelaki itu.
Pikiran segera ditetapkan untuk menyatu. Tidak
cabang ke mana-mana seperti pohon. Matanya yang
kecil itu mulai mengatup pelan-pelan. Kedua telapak tangannya disatukan di depan
dada. Lelaki tua berkumis dan berjenggot abu-abu itu mulai lakukan semadi.
Busa-busa salju yang mirip kapas tipis itu
beterbangan karena hembusan angin dari barat. Sebagian busa-busa salju itu
tersangkut di tubuh kakek bertelinga tinggi. Daun telinga itu tampak tinggi
karena bagian atas masing-masing daun telinga tumbuh kuku yang mirip
taji seekor ayam jago. Tidak panjang, tapi membuat
model telinganya lain dari yang lain. Karena itulah, sejak kecil kakek berusia
sekitar delapan puluh tahun itu
bernama si Jalu Kuping.
Karena makin lama semakin banyak busa salju yang
menyelimuti tubuhnya, Ki Jalu Kuping pun akhirnya
menggigil. Kedua tangannya tak kuat hanya saling
bertemu di depan saja.
"Kok lama-lama dingin sekali, ya?" ujarnya dalam hati. "Kalau begini caranya,
lama-lama aku bisa masuk angin. Sudah tubuh kurus, umur tua, masih kena angin
sedingin ini, waaah... bisa-bisa hidungku ingusan terus.
Malu, ah. Tua-tua kok ingusan, nanti dikira bocah
kemarin sore. Uuuuhg...! Dingin banget lho!"
Ki Jalu Kuping segera turun dari atas batu,
mengambil tongkatnya dan berlari mencari gua. Begitu dapatkan sebuah gua, ia
segera masuk dan tubuhnya
dikibaskan dalam satu sentakan seperti anjing
kehujanan. Buuurrss...! Busa-busa salju yang menempel di
tubuhnya rontok seketika. Rambutnya yang menjadi
tebal karena busa salju segera ditebah-tebah sambil
gelengkan kepala, hingga busa-busa itu pun rontok
berjatuhan. "Nah, bertapa di sini saja. Hangat! Hmm... gua ini sepertinya sering dipakai
orang untuk bermalam atau
berteduh. Banyak daun bekas makanan dan beberapa
potongan kayu unggun. Tapi... ada singanya apa tidak, ya?"
Setelah Ki Jalu Kuping memeriksa gua itu dan
ternyata aman-aman saja, maka ia segera memilih
tempat untuk duduk bersila. Diperolehnya sebidang batu datar yang tingginya
sebatas lutut. Di atas batu datar yang panjang itulah, Ki Jalu Kuping duduk
bersila dan lanjutkan semadinya.
Seekor lebah terbang melayang mengitari kepala Ki
Jalu Kuping. Mau tak mau Ki Jalu Kuping mengibaskan
kepala agar lebah itu tidak menyengat bagian wajahnya.
Lebah pun menjauh, tapi segera mendekat lagi. Ki Jalu Kuping gelengkan kepala,
lebah segera menjauh
kembali. Sebentar kemudian mendekat lagi, Ki Jalu
Kuping gelengkan kepala mengusir sang lebah.
Karena seringnya sang lebah mendekat dan terbang
mengelilingi kepala Ki Jalu Kuping, akibatnya kepala KI Jalu Kuping bergerak
menggeleng ke kanan-kiri berkali-kali. Bahkan ketika lebah itu sudah terbang
keluar gua, kepala Ki Jalu Kuping masih godek-godek terus mirip
orang triping. Gerakan godek-godek itu membuat seraut wajah yang
mengintainya terpaksa berkerut dahi. Si pengintai yang ada di pinggiran pintu
gua itu hanya bisa membatin
dalam hatinya. "Pak tua itu bertapa atau membaca doa" Dari tadi kok godek terus" Tapi anehnya
gerakan kepala yang godek
terus itu bisa membuat tempat di sekelilingnya menjadi bersih. Sampah dan
korotan menyingkir bagai disapu
olehnya. Oh, rupanya gerakan kepala yang godek-godek itu hadirkan angin kecil
yang mampu menyapu tempat
sekelilingnya"! Wah, sakti juga si tua godek itu."
"Siapa di luar"!" tiba-tiba Ki Jalu Kuping berseru dengan mata tetap terpejam
dan kepala tetap godek-godek.
Orang yang ada di luar gua itu kaget, karena tak
menyangka kalau kehadirannya diketahui oleh Ki Jalu Kuping. Orang itu menjadi
bingung antara mau
menjawab atau diam saja.
"Siapa di luar"!" seru Ki Jalu Kuping lagi, masih tetap memejam dan godek-godek.
Mau tak mau si pengintai di luar gua itu menyahut.
"Aku, Kek!"
"Aku siapa"!"
"Orang yang kedinginan!" jawab si pengintai.
"Kalau kedinginan masuklah! Jangan di luar! Silakan duduk. Pintunya tidak
dikunci kok."
Si pengintai tertawa dengan mulut dibekap tangan
sendiri. "Gua begini mana bisa pakai pintu segala, Pak Tua"!"
"Bisa saja. Kalau tak percaya cobalah kau masuk, sekarang pintu gua sudah
kukunci!" Si pengintai penasaran. Lalu ia melangkah masuk ke
dalam gua. Buuukh...! Brruuukkk...!
Tubuh si pengintai itu terpental bagai ada kekuatan
yang mendorongnya, ia mencobanya lagi melangkah
masuk ke dalam gua. Namun begitu melintasi batas
pintu gua, tubuhnya terlempar ke belakang lagi.
Buuuuk, bruuukkk...!
Gleduk...! Kepalanya malah kepentok batu. Mau tak
mau si pengintai pun cengar-cengir kesakitan sambil
mengusap-usap kepalanya yang agak benjol.
"Sial! Tak ada daun pintu dan tak ada apa-apanya tapi kenapa gua itu tidak bisa
dimasuki"! Coba aku masuk
dengan gunakan lompatan cepatku!"
Wees...! Brruk, beekh...!
"Uuuuhh...!" si pengintai mengerang kesakitan, karena ia seperti menabrak daun
pintu dari kayu jati tebal. Tubuhnya terbanting dalam keadaan terkapar.
Dadanya terasa sakit, tulang pipinya sempat memar
seperti habis membentur pilar. Pinggangnya seperti mau patah karena terbanting
dengan keras. "Kurang ajar! Dia benar-benar melapisi pintu gua dengan tenaga dalamnya yang
berbentuk udara padat,
jadi tetap seperti terbuka dan keadaannya bisa dilihat dari luar gua!" si
pengintai menggerutu dalam hati.
"Bagaimana. Orang kedinginan" Bisakah kau masuk ke dalam gua jika pintunya
kututup"!" seru Ki Jalu
Kuping masih dengan kepala godek-godek.
"Baiklah, kuakui kau berilmu tinggi, Kek!"
"Sebenarnya tidak terlalu tinggi, cuma sedang-sedang saja. Tapi kalau disuruh
memindahkan gunung... mudah saja, Nak!"
Si pengintai menggumam dalam hati sambil
melangkah memasuki gua yang sudah tidak dilapisi
udara padat itu.
"Sombong juga kakek ini."
Si pengintai segera meminum tuak yang ada dalam
bambu panjang ukuran setengah depa lebih. Melihat
bambu tempat tuak yang selalu dibawa-bawa si
pengintai, juga menimbang bahwa si pengintai memakai baju tanpa lengan warna
coklat dan celana putih lusuh, ditambah lagi mengingat si pengintai berwajah
ganteng, rambutnya panjang lurus tanpa ikat kepala, maka siapa pun akan sepakat
mengatakan bahwa si pengintai
tersebut tak lain adalah Pendekar Mabuk alias Suto Sinting, murid si Gila Tuak.
Ki Jalu Kuping melihat dengan mata batin, tapi kedua matanya tetap terpejam agak
menunduk sedikit dan
kepalanya masih godek-godek,
"Oh, kau punya tuak rupanya. Wah, enak juga kalau dingin-dingin begini minum
tuak, ya?"
"Apakah kau mau, Kek?"
"Yah, kalau memang diberi, ya mau. Kalau tidak, ya cukup telan ludah saja."
Pendekar Mabuk tertawa tanpa suara. "Kau ini sedang semadi atau menunggu ransum
datang"!"
"Apa orang kalau semadi tidak boleh makan dan
minum?" "Tentunya tidak boleh, Kek!"
"Itu kan dulu," ujarnya masih ngotot, tapi tetap terpejam dan godek-godek.
"Semadi tidak makan dan tidak minum, itu kuno! Dulu aku kalau semadi juga
begitu, tidak makan apa-apa. Eeeh... lama-lama kok ya lapar juga. Lapar dan
haus. Maka kutetapkan kalau aku semadi harus pakai makan-minum segala. Bukankah
tujuan orang semadi itu mencari kekuatan atau
kesaktian. Lha kalau tidak makan tidak minum sampai
berhari-hari itu namanya mencari penyakit, bukan
mencari kekuatan!"
Sambil tersenyum geli, Suto berkata lagi, "Dan juga biasanya orang semadi itu
tidak boleh ngobrol. Harus diam dan penuh keheningan dalam batinnya."
"Semadi kek tidak boleh ngobrol, ya keju mulutku, Nak! Dulu memang orang semadi
itu harus diam, supaya pikiran, batin dan rasa memusat dalam satu tujuan. Tapi
sekarang cara seperti itu sudah ketinggalan. Kuno!
Dalam semadi itu kan yang penting tujuannya" Ngobrol boleh saja jalan terus,
tapi tujuan yang disemadikan itu tidak boleh belok ke mana-mana!"
"Kau ini memang orang aneh, Kek," kata Suto yang rasa sakitnya telah hilang
akibat telah meminum tuak saktinya itu. Sebab tuak tersebut adalah tuak sakti
yang dapat sembuhkan luka dan penyakit dalam waktu relatif singkat.
"Kau ini kok cerewet toh, Nak! Siapa namamu dan
apa perlumu datang ke Gunung Dara ini"!" tanya Ki Jalu Kuping.
"Namaku Suto Sinting, Kek. Aku datang ke...."
"Siapa, siapa..." Suto Sinting"! Lho, kok seperti namanya Pendekar Mabuk yang
kondang itu, Nak"
Pendekar Mabuk yang kondang itu juga kata orang-
orang, dia bernama Suto Sinting. Kalau begitu namamu itu tanpa sengaja mirip
sekali dengan nama asli si
Pendekar Mabuk itu. Wah, beruntung sekali kau punya nama seperti itu, Nak."
Ki Jalu Kuping masih godek-godek sambil pejamkan
mata. Suto Sinting sedikit dongkol dengan kata-kata
yang dianggap meremehkan dirinya. Tapi ia hanya bisa tarik napas dan berusaha
membuang kedongkolannya
itu. "Ilmumu cukup tinggi juga, ya Nak," ujar Ki Jalu Kuping tanpa membuka matanya.
"Jatuh terpental masih utuh. Hebat juga kau. Biasanya orang yang habis
menabrak jurus 'Pintu Gledek'-ku pasti hangus.
Sedangkan kau tetap utuh tanpa hangus sedikit pun.
Kalau tidak punya ilmu tinggi, tidak bisa utuh itu, Nak."
"Yaaah... sebenarnya tidak terlalu tinggi. Tapi kalau disuruh menunggingkan
gunung... mudah saja, Kek,"
kata Suto membalas kesombongan si kakek tadi.
"Oalaaa.... Mana ada gunung kok ditunggingkan.
Gunungnya siapa itu?"
"Gunung yang kau pindahkan tadi, Kek!"
"Ooo... ceritanya kau membalas kesombonganku
yang tadi itu, ya" Heh, heh, heh, heh...! Boleh juga kalau
mau adu ilmu denganku, Nak!"
Wuuut...! Ki Jalu Kuping tiba-tiba menerjang Suto
dalam keadaan masih duduk bersila dan memejamkan
mata. Tubuhnya melayang cepat menerjang Suto
Sinting. Bruuus...!
Untung yang diterjang sudah biasa jatuh, sehingga
ketika tubuhnya terpental dan membentur dinding gua, Pendekar Mabuk bisa cepat
gulingkan badan dan tak
mengalami patah tulang.
"Patah tulang memang tidak, tapi gigi gerahamku jadi goyang begini"! Uuh, sakit
juga tulang rahangku terkena tebasan tangannya tadi. Sialan! Jangan-jangan pak
tua itu gila. Hanya ngomong begitu saja langsung main
terjang"!" gerutu Suto dalam hatinya.
Ki Jalu Kuping masih mengambang di udara dalam
keadaan bersila. Matanya masih terpejam dan kepalanya masih godek-godek pelan.
Tangannya mengembang
dengan jari-jari menguncup, membentuk jurus seperti
patung teko teh panas.
"Kenapa tak bisa menahan seranganku kau, Nak"
Balaslah. Jika bisa membuatku jatuh ke tanah,


Pendekar Mabuk 080 Pusaka Jarum Surga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuserahkan segala harta kekayaanku padamu."
"Memangnya kau punya kekayaan apa, Kek"!"
"Tuuuuh...," sambil mulutnya monyong sebentar ke arah tongkatnya, lalu kepala
godek-godek lagi. "Aku punya tongkat kayu sengon."
"Uuh, tongkat seperti itu kok dipakai taruhan"!
Kekayaan apa itu"!" Suto mencibir.
"Lhooo... biar jelek-jelek begitu bisa buat gebuk
maling itu, Nak! Buat gebuk punggungmu pun bisa."
Baru saja selesai berkata begitu, tangan Ki Jalu
Kuping menyentak ke samping. Tongkat itu bagai
tersedot saat tangan tersebut ditarik mundur. Suuuut...!
Taaab...! Tongkat tergenggam di tangan, tubuh yang
melayang bersila itu segera melesat menerjang Suto
Sinting. Wuuuut...!
Buuuhk...! "Huaahhw...!" teriak Suto karena punggungnya terkena gebukan tongkat itu.
"Tua-tua edan!" maki Suto dengan jengkel, sementara sang kakek tertawa terkekeh-
kekeh dalam keadaan telah berdiri di atas batu dan membuka matanya dan hentikan
godek-godeknya.
Pendekar Mabuk bangkit dengan menggeliat karena
tulang punggungnya terasa remuk dan sukar dipakai
untuk berdiri cepat.
"Sekarang kau percaya kalau tongkat ini termasuk harta kekayaan yang berharga,
Nak?" "Masa bodoh!" sentak Suto dengan sewot, tapi justru ditertawakan oleh sang
kakek. "Baru begitu saja sudah tak bisa bangun. Huhh..., percuma punya badan tegap dan
kekar begitu, Nak.
Mendingan aku, biar tua, kurus, ompong, tapi masih
kelihatan gagah!"
"Hanya orang-orang bodoh yang mengatakan kau
gagah, Kek!"
"Jadi kau tidak menganggapku gagah" Kalau begitu, terimalah jurus 'Tongkat
Penggempur Bisul' ini.
Hiaaaah...!"
"Iya, iya, iya...!" teriak Suto Sinting sambil menyilangkan tangan takut kena
gebuk lagi. Gerakan Ki Jalu Kuping terhenti. Tampak lega berseri.
"Kau takut, Nak" Heh, heh, heh... padahal aku tadi hanya menggertakmu. Baru
digertak saja sudah takut,
apalagi kalau benar-benar diserang. Wah, ternyata
nyalimu tidak lebih besar dari sebutir upil, Nak!
Sebaiknya kau jadi perawan saja, jangan jadi pemuda
berbadan kekar begitu!" ejek Ki Jalu Kuping.
Hati pendekar tampan mulai terasa disundut puntung
rokok. Tapi ia selalu mencoba menahan panas hatinya
agar tidak berkobar dan tetap tenang di hadapan tokoh tua berilmu konyol itu.
"Aku ke sini bukan cari musuh, Kek!"
"O, ya" Jadi kau ke sini mau cari apa"!"
* * * 2 DENGAN suara tegas Pendekar Mabuk menjawab
pertanyaan Ki Jalu Kuping.
"Aku mencari pemuda bernama Badra Sanjaya!"
"Hahh..."!" Ki Jalu Kuping terperanjat dan lebarkan matanya yang tanpa bulu itu.
"Kenapa kau terkejut, Kek?"
Dengan geraham menggegat, pandangan mata
menjadi dingin, Ki Jalu Kuping perdengarkan suaranya sambil memandang ke arah
luar gua. "Badra Sanjaya itu muridku!"
"Muridmu"! Ooh..." Kebetulan sekali kalau begitu.
Tak kusangka aku akan bertemu dengan gurunya Badra
Sanjaya," sambil Suto Sinting sunggingkan senyum dan berwajah ceria, ia berkata
lagi dengan badan ditegakkan.
"Kalau begitu kau tahu di mana Badra Sanjaya
berada, Kek!"
Ki Jalu Kuping berpaling menatap Suto. "Mau apa kau"!"
"Menangkapnya!"
"Mengapa kau mau menangkap muridku"!"
"Karena aku disewa untuk menangkap Badra
Sanjaya!" "Siapa yang menyewamu"!"
"Ratu Dekap Rindu, penguasa Bukit Kemesraan!"
jawab Pendekar Mabuk dengan tegas dan jelas.
"Keparat si Dekap Rindu!" geram Ki Jalu Kuping, ia berjalan dekati pintu masuk
gua, dan menatap hamburan busa salju yang masih beterbangan dihembus angin barat
itu. Setelah diam sesaat di sana, Ki Jalu Kuping menatap Suto lagi dan berseru
dari tempatnya berdiri.
"Atas tuduhan apa Badra Sanjaya mau ditangkap
Ratu Dekap Rindu"!"
"Membawa lari pusaka 'Jarum Surga' yang menjadi kekuatan utama seluruh ilmu sang
Ratu!" "Hmmm...!" Ki Jalu Kuping mencibir, wajah
tegangnya mengendur. Mulutnya seperti mengunyah
permen karet, padahal tak ada yang dikunyah. Suto
yakin tak ada yang dimakan oleh kakek jubah abu-abu
itu, sehingga Suto heran melihat mulut itu bergerak-
gerak mengunyah sesuatu.
"Apa yang kau kunyah itu, Kek?"
"Aku mengunyah napasku sendiri!" jawabnya dengan nada tidak setegang tadi. Ia
kelihatan santai kembali, seakan tak pernah mengalami ketegangan sedikit pun.
"Nak, pulanglah ke Bukit Kemesraan dan katakan
kepada Ratu Dekap Rindu, bahwa Badra Sanjaya bukan
orang buronan dan tidak pantas ditangkapi. Muridku
tidak mencuri atau membawa lari pusaka itu. Bahkan dia tidak tahu apa-apa
tentang pusaka; 'Jarum Surga' itu."
"Tidak bisa, Kek. Aku malu kalau kembali tanpa
membawa Badra Sanjaya!"
"Turutilah saranku ini, Nak."
"Tidak bisa, Kek. Saranmu hanya bikin malu diriku!
Aku ini disewa oleh Ratu Dekap Rindu. Disewa untuk
menangkap Badra Sanjaya. Kok pulang tanpa membawa
Badra Sanjaya" Malu kan?"
"Ooo, ya...," Ki Jalu Kuping manggut-manggut.
"Kalau begitu, sekarang nyawamu akan kusewa juga!"
"Lho..."!" Suto kaget.
"Berapa kau pasang tarif untuk nyawa sewaanmu
itu"!"
"Mana bisa nyawa disewakan"! Aku tidak
menyewakan nyawaku!" tegasnya.
"Jika kau disewa oleh Ratu Dekap Rindu untuk
menangkap muridku, berarti yang disewa adalah
nyawamu! Karena menangkap Badra Sanjaya sama saja
berhadapan denganku. Berhadapan denganku sama saja
bertarung denganku. Bertarung denganku sama saja
menjual nyawamu. Menjual nyawa sama saja mencari
kematian. Kematian sama saja akhir dari segala kegiatan.
Kegiatan sama saja menyewakan nyawa. Lho, kok ke
situ-situ lagi, ya?"
Ki Jalu Kuping bingung sendiri dengan ucapannya
yang bertele-tele dan berbelit-belit itu. Pendekar Mabuk menanggapinya dengan
tenang, santai, sesekali minum
tuak, sesekali hanya mengusap-usap bumbung tuaknya.
"Singkatnya saja...."
"Nah, sebaiknya singkat saja kalau bicara!" sahut Suto.
"Aku tak rela kalau muridku kau anggap pencuri!"
"Pencuri atau bukan yang jelas harus ditangkap dulu dan diadili oleh Sang Ratu!"
"Tidak bisa!" jawab Ki Jalu Kuping sambil mencibir bangga.
"Harus bisa!"
"Kalau kau mau tangkap Badra Sanjaya, terima dulu jurus 'Penyambut Tamu' ini!
Heaaah...l"
Ki Jalu Kuping tiba-tiba sodokkan tongkatnya ke
depan. Wuuut...! Dari kepala tongkat keluar sinar lurus warna kuning kecil
sebesar lidi. Claaap...!
Suto Sinting segera berlutut dan menghadang sinar
kuning itu dengan bumbung tuaknya. Desss...!
Sinar itu membalik arah dalam keadaan lebih besar
dan lebih cepat. Ki Jalu Kuping kaget melihat sinarnya berbalik menyerangnya, ia
segera lompat ke atas batu di sampingnya. Wesss...!
Blaaarrr...! Sinar kuning itu menghantam batu yang bersandar
pada dinding dekat pintu. Batu itu langsung meledak, pecah
menjadi bongkahan-bongkahan sebesar
genggaman. Bruuull...! Brrrrruk...!
Pecahan batu itu menumpuk, menutup pintu gua.
"Konyol! Lihat, gara-gara kau menangkis jurusku jadinya pintu gua itu tertutup.
Kita mau lewat mana
kalau begini, hah"!" bentak Ki Jalu Kuping. "Mestinya sinar kuningku tadi jangan
kau tangkis, Tolol!"
"Kau yang tolol!" bantah Suto. "Mestinya sinar kuningmu diarahkan ke luar gua,
jangan diarahkan
kepadaku!"
"Iya, ya..."!" Ki Jalu Kuping menggumam sendiri.
"Sekarang bagaimana caranya keluar dari gua kalau jalanannya tertutup batu
begitu"!"
"Begini caranya...!" Pendekar Mabuk segera lakukan lompatan secara tiba-tiba.
Weess...! Ia menerjang Ki Jalu Kuping dengan tendangan bertenaga dalam cukup
tinggi. Ki Jalu Kuping tak menyangka akan diterjang Suto.
Maka kakek tua itu pun segera terpental begitu
lengannya ditabrak kaki Suto.
Bukh, wees...! Brrooolll...!
Ki Jalu Kuping terpental sampai menjebol tumpukan
batu, sehingga pintu gua pun jadi terbuka kembali, ia jatuh terkapar di tanah
berlapis busa salju. Pendekar
Mabuk menyusulnya dengan lompatan cepatnya yang
dinamakan jurus 'Gerak Siluman' itu.
Zlaaap...! Tahu-tahu ia sudah berdiri dalam jarak tujuh langkah dari Ki Jalu Kuping. Orang
tua itu sedang mengerang
sambil, pegangi pinggangnya yang belakang.
"Ooohh... tulang pinggangku rasanya patah jadi
empat potong! Tendanganmu setan juga, Nak! Tak
kusangka kau punya tenaga sebesar itu!"
"Belum seberapa, Kek. Itu masih tenagaku jika
menggeliat pada saat bangun tidur," Suto sengaja memancing emosi Ki Jalu Kuping,
ia ingin tundukkan
tokoh tua itu agar mau memberi tahu di mana muridnya berada.
"Kalau kau ingin tenaga sehabis nimba air, seginilah besarnya...."
Suto Sinting sentilkan jarinya beberapa kali. Sentilan jari yang dinamakan jurus
"Jari Guntur' itu mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup besar, seperti tendangan
kuda jantan yang ditolak bercumbu oleh pasangannya.
Tes, tes, tes...!
Srrrroooot...! Buueeekh...!
"Heekh...! Ya, ampuuunn...!"
Ki Jalu Kuping terdorong mundur dengan keras
dalam keadaan tetap duduk di tanah, ia merasa seperti diseruduk seekor banteng
yang sedang mengamuk.
Tubuh yang terseret mundur itu berhenti setelah
punggung Ki Jalu Kuping membentur sebongkah batu
besar, ia terpekik dengan suara ngeden dan mata
mendelik. Pendekar Mabuk sunggingkan senyum, memandang
kalem ke arah Ki Jalu Kuping, ia semakin dongkol
setelah menyadari begitu berdiri ternyata celananya bagian belakang robek
seperti habis dicakar-cakar anjing galak.
"Bocah ngepet!" serunya dari kejauhan.
Weess...! Ki Jalu Kuping berkelebat seperti setan lewat.
Pandangan mata Suto Sinting tak bisa menangkap
gerakan itu, karena busa-busa salju bertaburan di depan matanya. Tahu-tahu ia
merasa diterjang seekor kuda nil terbang. Bruuusss...!
Yang ada hanya gelap dan gelap. Pendekar Mabuk
merasa bagai sedang dikerumuni puluhan kunang-
kunang. Pertengahan dadanya, di atas ulu hati, terasa sakit dan berdenyut-
denyut. "Jangan-jangan dadaku bolong?" pikirnya saat pandangan matanya mulai terang
sedikit-sedikit.
Begitu mata dapat memandang dengan jelas, ternyata
wajah Ki Jalu Kuping ada di atasnya. Rupanya ia telah terkapar dengan bumbung
tuak terlepas dari tangannya.
Ki Jalu Kuping berdiri di sampingnya dan dengan sedikit membungkuk mendekatkan
wajah memandanginya.
Bibir keriputnya sunggingkan senyum, gusi depannya
yang tanpa gigi itu bagaikan lubang belut yang bergerak melebar karena nyengir.
"Tumbang, ya Nak?" sapa Ki Jalu Kuping bernada ramah. Pendekar Mabuk dongkol
sekali, ia segera
sentakkan kaki untuk lakukan loncatan berdiri. Tapi
ternyata sekujur tubuhnya bagai tak bertulang lagi.
Tenaganya seakan terpental entah ke mana akibat
terjangan secepat tadi.
"Maaf, ya Nak... aku sekadar kasih balasan kecil-kecilan saja," kata Ki Jalu
Kuping. "Terus terang saja, tapi jangan bilang tetanggamu, ya... bahwa kau telah
terkena jurus nakalku yang kunamakan jurus 'Petir
Jinak'. Cepatnya seperti petir tapi gunanya buat
menjinakkan kekuatan lawan. Tak ada yang punya
kecuali aku. Badra Sanjaya juga belum punya, sebab kalau dia punya jurus 'Petir
Jinak', maka dia akan
menerjangku seenaknya kapan saja dia mau. Heh, heh,
heh, heh...!"
Suto masih agak beruntung, karena bibirnya masih
bisa bergerak, lidahnya juga bisa bergerak, walau
semuanya serba lemah. Katup suara di tenggorokannya
masih bisa bergetar, walau terlalu pelan, sehingga Suto masih bicara keluarkan
suara dengan lirih.
"Kau... keparat...."
"Iya, memang kalau sedang begini aku ini keparat bagimu. Tapi tadi waktu kau
buang seenaknya dengan
jurus sentilanmu itu, kaulah yang keparat. Kurasa itu tak perlu kita
permasalahkan, toh kita sama-sama keparat!"
kata Ki Jalu Kuping seenaknya saja kalau bicara.
"Pulihkan... aku...."
"Apa..."!" Ki Jalu Kuping dekatkan telinganya.
"Pulihkan... aku...," ulang Suto pelan sekali.
"Bagaimana" Agak keras sedikit bicaramu. Maklum,
aku sudah tua, jadi sudah mulai budek. Coba, bilang apa kau tadi?"
"Puliiiiihkan... akuuu..., Budek."
"Wah, maaf. Aku tidak dengar kau bicara apa, Nak.
Yang kudengar kau mengatakan aku budek, itu saja. Jadi sebaiknya kau harus
kubawa ke pondokku, di Lereng


Pendekar Mabuk 080 Pusaka Jarum Surga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kunyuk, tak jauh dari sini! Atau kau kugelindingkan
dari sini. Pasti akan sampai di gubukku sana!"
"Peer... peeer... seee... taaaan...."
"Apa" Plesetan"! Jangan main plesetan nanti kau jatuh, lehermu patah, naaah...
repot! Disambung pakai tongkatku ini terlalu panjang, kan?"
Ki Jalu Kuping menggeser tubuh Suto, Kedua kaki
Suto dijadikan satu dan diikat dengan akar kering yang kenyal. Kedua tangan
Pendekar Mabuk juga disatukan
dengan tubuh dan diikat. Suto seperti memeluk dirinya sendiri.
"Nah, kalau begini... mudah digelindingkan. Tinggal kuikuti dari belakang kau
sudah sampai di pondokku
sendiri." "Maaatiii... aku...."
"O, tidak! Tidak akan mati. Kujamin nyawamu masih ada, karena aku ke sini memang
sebenarnya ingin
bertapa, mencari jalan keluar bagi kesulitan muridku; si Badra Sanjaya itu.
Tahu-tahu kau datang, jadi kau
kuanggap jalan keluar untuk kesulitan muridku itu.
Makanya aku tidak akan membunuhmu. Nyawamu tetap
ada, tapi akan kusewa sampai urusan ini selesai."
Ki Jalu Kuping menghadapkan tubuh Suto agar bisa
mudah digelindingkan dengan sentakan kakinya.
"Nak, siap-siaplah menggelinding dan jangan
sungkan-sungkan kalau mau menjerit. Di gunung ini,
orang menjerit tidak dikenai biaya apa pun."
"Kejam...," ucap Suto lirih.
"Kejam memang kejam, tapi tak sekejam ibu tiri lho, Nak!" kata Ki Jalu Kuping
dengan mulut meruncing seperti orang mendongeng.
"Ibu tiri itu kalau marah ngrebus anaknya. Aku kalau marah ngrebus singkong.
Kalau tak ada singkong,
ngrebus handuk pun jadilah."
"Bumbung... bumbung tuakku...."
"O, ya...! Untung kau mengingatkan. Walau tak
seberapa berharga bumbung tuak itu, tapi kalau memang benda itu mainanmu sejak
kecil dan menjadi kenangan
selama hidupmu, memang sebaiknya ikut kubawa ke
pondok, biar rohmu nanti tenang dan betah tinggal di pondokku."
Ki Jalu Kuping mengambil bumbung tuak.
Kesempatan perginya Ki Jalu Kuping dipergunakan Suto untuk mencoba melawan
kelemahannya. Tapi ternyata ia tetap tak mempunyai tenaga apa-apa. Pertengahan
dadanya masih terasa sakit berdenyut-denyut, ia tak tahu pertengahan dadanya
tadi terkena ujung bawah tongkat si Jalu Kuping dan saat itulah seluruh kekuatan
dan tenaganya dilumpuhkan oleh Ki Jalu Kuping.
Bumbung tuak ditenteng oleh KI Jalu Kuping. Suto
melihatnya dan berpikir, "Kalau aku bisa minum tuakku itu, pasti tenagaku bisa
pulih kembali."
Maka ia pun memohon dengan suaranya yang lirih,
"Beri... aku... minum...."
"Ah, nanti saja! Kau ini sebentar-sebentar minum, sebentar-sebentar, minum...
nanti pipis dijalan lho.
Bersiaplah menggelinding, ya Nak!"
Ki Jalu Kuping meletakkan satu kakinya di tubuh
Suto. Satu sentakan kaki dapat membuat Suto
menggelinding di tanah miring itu. Tapi tiba-tiba Ki Jalu Kuping menarik kakinya
itu dan tak jadi
menggelindingkan tubuh Suto.
"Begini saja, Nak...," katanya sambil sedikit membungkuk, memandang ke wajah
Suto. "Kalau kau kugelindingkan dari sini, jatuhnya akan tepat di atas atap pondokku.
Wah, pondokku bisa rusak.
Kacaulah tidurku nanti. Maka kau tak jadi
kugelindingkan. Jangan kecewa, ya" Betul, jangan
kecewa, ya" Kau kuterbangkan saja, jadi aku sendiri
tidak perlu menanggung beban dengan memanggulmu!"
Zeeeng...! Tubuh murid Gila Tuak yang terikat mirip
kayu bongkokan itu terangkat sendiri begitu tangan Ki Jalu Kuping menghempas
naik dengan gerakan pelan
bagai tak bertenaga. Tubuh itu mengambang di udara,
kemudian Ki Jalu Kuping melepaskan tiupan kecil.
"Fuiiih...!"
Maka tubuh Suto pun bergerak terbang menuruni
lereng gunung tersebut. Ki Jalu Kuping tertawa
kegirangan, dan mengikutinya dengan berkelebat zigzag, kadang mendahului Suto,
kadang ada di belakang Suto.
"Kalau ada benang, kuberi benang kau dan kalau ada
layangan lain kuadu kau dengan layangan orang lain!
Heh, heh, heh...!"
Sementara itu, Pendekar Mabuk melayang cepat
dengan arah sembarangan, sehingga sesekali kakinya
menyambar batang pohon, atau kepalanya menerabas
semak dan dedaunan, ia terbentur ke sana-sini dan Ki Jalu Kuping hanya
menertawakannya.
* * * 3 PONDOK itu terbuat dari belahan kayu gelondong.
Menjadi dinding rapat karena ditambak dengan cairan
seperti getah yang juga merupakan bahan perekat kayu paling ampuh. Pondok Ki
Jalu Kuping termasuk besar, mirip sebuah tempat perguruan, karena mempunyai
pelataran lebar, dan mempunyai pagar seperti benteng kayu yang tampak kokoh.
Dalam salah satu ruangan lebar, yang mirip barak
para prajurit, terdapat dua tempat tidur bersebelahan dari batuan sejenis marmer
lebar. Di atas ranjang marmer itu diletakkan kain pelapis cukup tebal sehingga
jika dipakai tidur akan nyaman. Di atas salah satu tempat tidur itu terbujur
sesosok tubuh muda berparas ganteng.
Badannya tegap, gagah, kekar, berkulit kuning langsat.
Pemuda itu bukan Pendekar Mabuk. Pemuda berikat
kepala merah dengan hiasan benang emas itu adalah
murid si Jalu Kuping, yaitu Badra Sanjaya.
Badra Sanjaya putra seorang patih di sebuah kerajaan.
Ia mengembara mencari ilmu dan berguru kepada Ki
Jalu Kuping. Lama-lama ia betah tinggal bersama Ki
Jalu Kuping, karena ia termasuk murid kesayangan dan sering dimanjakan oleh Ki
Jalu Kuping. Murid Ki Jalu Kuping sebenarnya ada tiga. Tapi kali ini yang sedang
jadi bahan sorotan adalah si Badra Sanjaya.
Pemuda itu mengenakan baju dan celana hijau terang.
Ikat pinggangnya dari kain merah, ia sering membawa
pedang dari besi putih antikarat. Pedang itu sesekali ditenteng, sesekali
diselipkan di pinggang.
Wajah tampannya yang sedikit di bawah ketampanan
Suto itu mempunyai kumis tipis. Kumis itulah yang
membuat para wanita sering tergoda dengan senyuman
dan penampilan Badra Sanjaya. Badannya yang kekar
memang lebih besar dari badan Suto, tapi kelihatannya ototnya lebih kuat Suto.
Ketika Ki Jalu Kuping meletakkan Suto di tempat
tidur sebelahnya, ternyata ukuran tinggi tubuhnya sama dengan tinggi tubuh
Pendekar Mabuk. Karena itulah, Ki Jalu Kuping berkata kepada Suto yang masih
seperti pasien jompo itu.
"Ternyata dugaanku benar. Kau cocok dengannya.
Cocok sekali! Kemunculanmu di gua itu, membuatku
punya gagasan ini."
Walaupun dalam keadaan lemas dan tak bertenaga,
tapi otak Suto masih bisa digunakan untuk berpikir dan
mengingat sesuatu. Tapi pendekar tampan itu tidak tahu apa maksud kata-kata Ki
Jalu Kuping tadi. Sebenarnya ia ingin banyak bertanya, tapi suaranya yang pelan
dan tak bisa berkata dengan cepat membuatnya malas banyak bertanya.
Mata Suto berkedip pelan-pelan saat beradu pandang
dengan Ki Jalu Kuping. Pak tua yang konyol tapi
berilmu hebat itu selalu cengar-cengir karena hatinya girang telah mendapatkan
cara untuk menolong
muridnya. "Badra Sanjaya adalah orang yang terbaring di
sebelahmu ini," ujar Ki Jalu Kuping sambil menunjuk tempat tidur sebelahnya.
Suto Sinting hanya bisa
melirik, tak bisa menengok agar memandang jelas.
Maka, si Jalu Kuping membantu menengokkan wajah
Suto dengan memiringkan kepala pendekar muda itu.
Kreeek...! "Ouuuh...!" Suto mengeluh lirih, memejamkan mata kuat-kuat.
"Ooh, maaf, maaf... terlalu keras puntiran kepalamu tadi, ya Nak" Maaf, maksudku
agar kau bisa melihat
muridku yang satu ini dengan jelas. Sebab dia adalah orang yang akan kau
tangkap, tapi kau sendiri nantinya yang akan menjadi dia!"
Bingung juga Suto mencerna kata-kata itu, akhirnya
dibiarkan si tua berhidung panjang mirip betet itu bicara semaunya. Apa yang
bisa diingat, dicatat dalam ingatan, apa yang mudah dimengerti, dicoba untuk
dipahami. Sisanya dibiarkan berhamburan terbawa sang bayu.
Angin di Lereng Kunyuk itu tidak sekencang di
daerah puncak tadi. Udaranya memang dingin, tapi lidak sedingin di atas tadi.
Pendekar Mabuk juga mencatat
tentang udara tersebut dalam benaknya.
"Nak, kau tahu siapa si Dekap Rindu itu?"
"Seorang... ratu...," jawab Suto lirih.
"Iya, memang dia seorang ratu. Tapi ratu yang
bagaimana?"
"Ratu... perempuan... cantik...."
"Yang namanya ratu ya perempuan!" sentak Ki Jalu Kuping rada jengkel. "Tapi kau
mungkin tidak tahu kalau Ratu Dekap Rindu itu adalah tokoh tua aliran
hitam yang punya ilmu awet muda dan awet cantik."
"Diia... dia... sahabat... dari... temanku... yang bernama... Yundawuni...."
"Yundawuni..."! Oh, aku belum sempat kenalan.
Kalau kau ketemu dia lagi, sampaikan salam kenalku
kepada Yundawuni," ujar Ki Jalu Kuping seenaknya.
"Aku tak tahu apakah Yundawuni itu dari aliran
hitam atau putih atau belang-belang seperti kuda zebra.
Yang jelas, Ratu Dekap Rindu adalah murid dari Nyai Lawang Neraka yang pernah
kubunuh, tapi gagal..."
"Pernah dibunuh tapi kok gagal, ya sama saja belum terbunuh!" gerutu Suto dalam
hatinya. "Beberapa waktu lalu, kudengar Nyai Lawang Neraka sudah tewas di tangan
Tanuyasa."
"Ak... aku kenal... dengan... Eyang... Tanuyasa, alias... si Omong...
Cekak..,.."
Suto memang kenal dengan Tanuyasa, alias si Omong
Cekak, ia pernah melihat Tanuyasa mengajarkan
ilmunya kepada anak muda lugu dan polos yang
bernama Temon. Peristiwa itu ada kaitannya dengan
Yundawuni alias Dewi Kesepian yang nyaris menjadi
penyebar wabah kaum lelaki, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Dewi Kesepian").
"Aku tahu sepak terjang si Dekap Rindu, karena dia adalah cucunya Nyai Tudung
Pandan," sambung Ki Jalu Kuping. "Mendiang Tudung Pandan itu adalah kakakku.
Jadi aku agak sungkan terhadap Ratu Dekap Rindu.
Bagaimanapun juga ia juga termasuk cucuku. Tapi aku
tak suka padanya. Sejak kakakku meninggal, tingkah
laku Dekap Rindu berubah jungkir balik, mengikuti jejak gurunya dan menjadi
tokoh aliran sesat. Dia memang
cantik, tapi buat apa cantik-cantik kalau jalannya sesat, bisa-bisa suaminya
dibunuh dijadikan tumbal ilmunya."
"Ilmu... apa...?"
"Ya ilmu apa saja! Dekap Rindu memang tampak
kalem, bijaksana, suka menolong, tapi semua itu hanya kedok. Tahu kedok?"
Suto mengangguk kecil. "Binatang.... Yang
jalannya... lompat-lompat...."
"Itu kodok!" sentak Ki Jalu Kuping sambil bersungut-sungut. "Kedok itu topeng.
Jadi semua sikap manisnya si Dekap Rindu hanya sebagai topeng penutup
kebiadabannya. Diam-diam ia banyak mempelajari ilmu
hitam dan menyerang para tokoh tua seangkatan
denganku yang berilmu putih. Paham?"
Pendekar Mabuk anggukkan kepala pelan dengan
mata berkedip. "Beberapa waktu yang lalu, muridku ini pergi ke Bukit Kemesraan, ia sengaja
kusuruh ke sana, eh...
kuutus. Kalau guru menyuruh murid itu pantasnya
dengan kata 'mengutus', ya?"
"Terserah...," jawab Suto datar.
"Badra Sanjaya kuutus ke Bukit Kemesraan untuk
mencari kakak seperguruannya, yaitu muridku juga yang bernama Jantra Loya.
Sebab, kudengar dari beberapa
orang sahabatku, katanya Jantra Loya ditangkap dan
dijadikan tawanan di Bukit Kemesraan. Maka kuutus si Badra Sanjaya mencari
kebenaran kabar tersebut.
Setelah dua purnama, Badra Sanjaya pulang dalam
keadaan aneh."
"Jadi... monyet?"
"Bukan!" Ki Jalu Kuping semakin serius. "Badra Sanjaya pulang ke sini dalam
keadaan linglung, lupa
siapa diriku dan siapa dirinya, dan sering memanggil-manggil Dekap Rindu dengan
mesra." Ki Jalu Kuping pandangi muridnya dengan wajah iba.
"Kasihan dia," gumamnya pelan. Lalu memandang Suto Sinting.
"Ternyata dia terkena jurus racun 'Ranjang Goyang'
dari si Dekap Rindu. Hanya dia yang punya jurus racun
'Ranjang Goyang', dan racun itu membuat Badra Sanjaya akhirnya pingsan, hampir
tujuh hari tak sadarkan diri.
Aku tak bisa melawan racun 'Ranjang Goyang' itu.
Sudah kucoba berkali-kali, malah kepalaku sendiri yang goyang-goyang karena
kewalahan."
"Suruh... dia... minum... tuakku...."
Ki Jalu Kuping bersungut-sungut, "Orang pingsan kok disuruh minum tuak! Edan kau
ini!" Suto ingin jelaskan kekuatan sakti dari tuaknya itu.
Tapi ia ragu-ragu dan mempertimbangkan dalam
hatinya. "Kalau kuberi tahu bahwa tuakku adalah tuak sakti, bisa untuk melenyapkan racun
itu, nanti kalau aku minta minum tidak diberinya. Kakek ini agaknya tidak mau
melepaskan keadaanku. Hmmm... repot juga kalau
begini"!"
"Nak, jurus beracun yang namanya 'Ranjang Goyang'
itu dapat melumerkan seluruh urat di tubuh orang yang terkena jurus tersebut.
Jurus itu juga dapat meloloskan sukma seseorang dari raganya. Sukma itu kembali
kepada Ratu Dekap Rindu dan di sana sukma itu
dipenjarakan dalam sebuah tabung bening berbentuk
seperti poci tempat minuman teh. Jadi, kehebatan jurus beracun itu selain dapat
untuk memikat hati korbannya, juga dapat memenjarakan sukma si korban. Kalau
sampai seluruh urat si korban menjadi lumer, maka


Pendekar Mabuk 080 Pusaka Jarum Surga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sukma itu tak akan bisa masuk ke raganya kembali. Cara membebaskannya adalah
dengan menghancurkan tabung
bening yang dipakai memenjarakan sukma itu. Jika
tabung itu pecah, maka sukma itu akan kembali ke
raganya. Berarti, muridku dapat pulih kembali, raganya tak akan menjadi penghuni
liang kubur."
"Aneh... sekali... jurus... itu...."
"Tentu saja kau anggap aneh, karena pengetahuanmu
cekak!" ejek Ki Jalu Kuping. "Oleh sebab itu, aku ingin menyewa nyawamu, Nak.
Kupakai rohmu untuk masuk
ke dalam raga muridku, lalu kau harus kembali ke Bukit Kemesraan dan mencari
penjara sukma muridku itu!"
Pendekar Mabuk ingin menolak dan memberi
penjelasan tentang kemampuannya mencari penjara
sukma itu tanpa harus menggunakan raga Badra Sanjaya.
Tetapi makin lama ia merasa makin lemah dan sulit
keluarkan kata. Akibatnya ia hanya bisa pasrah kepada rencana Ki Jalu Kuping
itu. "Sekarang juga, akan kupindahkan rohmu ke dalam raga Badra Sanjaya. Bersiaplah,
Nak... karena hal ini tentunya jarang bagimu dan agak aneh rasanya," tutur Ki
Jalu Kuping sambil tersenyum-senyum kegirangan.
"Akan kugunakan ilmuku yang bernama ilmu
'Sewaka Sukma' yang juga jarang dimiliki orang ini!
Tenang saja, tidak akan terasa sakit, Nak. Hanya geli sedikit, seperti digigit
perawan genit! Heh, heh, heh...!"
Ki Jalu Kuping segera duduk di lantai di antara kedua tempat tidur itu. Ia duduk
bersila dengan mata terpejam.
Beberapa kejap kemudian tubuhnya terangkat dan
melayang di udara dalam keadaan tetap bersila,
berpejam mata, dan bersedekap.
Dalam hatinya, Suto mencoba untuk berontak dan
tak mau menyewakan nyawanya kepada Ki Jalu Kuping.
Tapi ternyata rasa lemas semakin membuatnya tak
mampu bergerak sedikit pun, walau untuk gerakkan satu jari tangan tetap tak
bisa. Bahkan untuk mengedipkan mata sudah tak mampu lagi. Kedua tangan Ki Jalu
Kuping segera mengembang. Telapak tangannya
mengarah ke bawah, tubuhnya makin bergerak naik
dalam keadaan tetap bersila dan berpejam mata. Lalu
beberapa saat kemudian, kedua telapak tangan itu
pancarkan sinar. Dua sinar ke tubuh Badra Sanjaya dan Suto Sinting.
Sinar yang memancar ke tubuh Suto berwarna putih,
kuning lebar, membungkus sekujur tubuh Suto. Sinar
yang memancar ke tubuh Badra Sanjaya berwarna
merah, juga membungkus sekujur tubuh Badra Sanjaya.
Kira-kira selama sepuluh helaan napas kedua sinar itu masih memancar. Pada
hitungan kesebelas, sinar itu
berubah secara perlahan-lahan. Sinar merah yang
memancar ke tubuh Badra Sanjaya berubah menjadi
kuning, dan sinar kuning yang menyelimuti sekujur
tubuh Suto Sinting berubah menjadi merah. Perubahan
sinar itu membuat kedua tubuh berpijar-pijar.
Blaab, blaab, blaab, blaab, blaab...!
Zuuuurrb...! Kedua sinar pun padam secara
bersamaan. Tubuh tua yang mengambang di udara itu
bergerak turun sampai menyentuh lantai kembali. Kejap berikutnya Ki Jalu Kuping
membuka matanya dan
tersenyum sambil menghembuskan napas lega. Ia pun
segera bangkit. Memandang tubuh Suto dan tubuh
muridnya bergantian, kemudian di depan wajah Badra
Sanjaya yang masih terpejam itu, Ki Jalu Kuping
mengadu telapak tangannya bagai orang bertepuk
tangan. Plaaak...! Badra Sanjaya tersentak kaget dan bangun dengan
menggeragap setelah terkena siraman cahaya biru dari hasil tepukan tangan tadi.
"Nah, sudah berhasil sekarang...," ujar Ki Jalu Kuping sambil cengar-cengir.
Pendekar Mabuk merasa berdiri turun dari tempat
tidur itu. Tapi ia segera kaget bukan kepalang tanggung begitu melihat sesosok
tubuh terbujur lemas di atas
tempat tidur yang satunya lagi itu. Dan tubuh yang
terbujur lemas itu tak lain adalah tubuhnya sendiri.
Ia bertambah kaget lagi setelah mengetahui bahwa
ternyata raganya telah berubah. Suto menjadi takut dan tegang sekali melihat
raga yang ada padanya adalah raga si Badra Sanjaya.
"Apa yang kau lakukan padaku. Kakek Edan"!"
sentak Suto Sinting kepada Ki Jalu Kuping yang
tersenyum-senyum itu.
"Eh, kau tak bisa marah padaku, tak boleh
menyerangku atau membangkang perintahku. Semakin
kau memusuhiku dan membangkang perintahku, maka
sukmamu akan semakin sulit kembali ke ragamu yang
asli itu!"
"Keparat kauuu...!" geram Suto Sinting sambil hendak lepaskan pukulan yang
mematikan. Tapi Ki Jalu Kuping tetap tenang walau cepat-cepat memberi isyarat
dengan tangannya agar Suto hentikan niatnya itu.
"Kalau aku mati kau sama sekali tak akan
mendapatkan ragamu kembali! Ingat itu!"
Suto Sinting menjadi ragu dalam kegusarannya.
"Kembalikan ragaku! Kembalikan sukmaku ke
ragaku yang asli itu!" sentak Pendekar Mabuk dengan kedua tangan menggenggam
kuat-kuat. "Sukmamu akan kukembalikan ke ragamu kalau kau
sudah jalankan tugasmu, Nak!" ujar Ki Jalu Kuping dengan santai sekali.
Bahkan ia menambahkan kata, "Aku berkata yang
sebenarnya, kalau kau melawanku dan membangkang
perintahku sukmamu akan semakin sulit masuk ke
ragamu kembali. Ilmu 'Sewaka Sukma' adalah kekuatan roh sejati yang mampu
menguasai guru sejati orang lain.
Jika roh sejatiku kau lawan, maka guru sejatimu akan terhukum dan itu berarti
kesulitan besar bagimu untuk kembali ke ragamu yang asli!"
Pendekar Mabuk hanya terengah-engah menahan
kemarahannya, ia segera jauhi si tua berjubah abu-abu itu. Di sana ia diam
termenung sambil sesekali pandangi raganya yang terasa janggal itu.
"Kakek tua edan!" makinya dalam hati. "Oh, mengapa nasibku bisa seburuk ini"!
Ragaku ditukar dengan raga si Badra Sanjaya. Padahal aku tak suka
punya kulit kuning langsat begini. Seperti kulit banci!
Setan kurap!"
Ki Jalu Kuping mendekatinya. "Pergilah ke Bukit Kemesraan sekarang juga. Cari
tabung penjara sukma si Badra Sanjaya! Hancurkan tabung itu secepatnya, tak
perlu kau bawa kemari dulu. Hancurkan di sana juga,
dan jika Ratu Dekap Rindu merintangimu, hancurkan
pula perempuan sesat itu, Nak!"
Mau tak mau Suto Sinting harus menjalankan tugas
itu. Namun hatinya menyimpan kemarahan yang
menyesakkan pernapasan. Ki Jalu
Kuping dipandanginya dengan tajam, seakan punya niat untuk
membalas tindakan yang merugikan hidupnya itu.
Tentu saja Suto merasa dirugikan hidupnya.
Sekalipun ia bisa berdiri tegak dan tenaganya seperti pulih kembali, tapi ia tak
suka dengan perawakan Badra Sanjaya. Apalagi rambut ikal dan kumis tipis itu,
sungguh memuakkan bagi Suto Sinting.
"Ingat, namamu sekarang adalah Badra Sanjaya,
murid Ki Jalu Kuping!" sambil Ki Jalu Kuping menepuk dadanya sendiri. "Kau bukan
lagi Suto Sinting, dan tugasmu bukan lagi menangkap Badra Sanjaya,
melainkan menghancurkan Ratu Dekap Rindu serta
menghancurkan penjara sukma muridku!"
"Persetan dengan penjelasanmu!" geram Suto Sinting sambil melangkah hampiri
bumbung tuaknya, karena ia
melihat bumbung tuaknya tergeletak di atas sebuah rak, tempat menaruh barang-
barang dapur dan peralatan
lainnya. Sedangkan Ki Jalu Kuping hanya terkekeh-
kekeh kegirangan, sampai berputar menari-nari karena merasa akan berhasil
menyelamatkan muridnya itu.
"O, ya.... Hoi, Nak...!" serunya sambil hampiri Suto,
"Jangan lupa, cari orang yang bernama Jantra Loya! Jika ia terpenjara juga,
bebaskan pula dia, Nak!"
Pendekar Mabuk tak hiraukan perintah itu. Ia
menenggak tuaknya. Badannya menjadi lebih segar lagi.
Tapi tetap saja ia memakai badannya si Badra Sanjaya
itu. "Pribadimu dan ilmumu tetap utuh. Hanya ragamu
saja yang berbeda dari biasanya, Nak!" ujar Ki Jalu Kuping saat Suto ingin
tinggalkan tempat itu.
* * * 4 RUPANYA memang tidak ada yang berubah pada
diri Suto kecuali raganya. Pendekar Mabuk masih bisa berlari cepat menyerupai
kecepatan cahaya. Zlaaap...!
Berarti jurus 'Gerak Siluman' masih dimilikinya.
Beberapa jurus lain dicoba, dan ternyata tetap ada
padanya. "Tapi risi sekali pakai raga seperti ini!" gerutu Suto dalam hati. "Kumis ini
lho, ah...! Kalau ada beling kepingin kukerok saja rasanya. Aku tidak suka pakai
kumis! Bikin gatal saja!"
Sambil menuju ke Bukit Kemesraan, Pendekar
Mabuk dalam sosok Badra Sanjaya itu masih
menenteng-nenteng bumbung tuak. Ia sempat berpikir
tentang kehebatan ilmu si Jalu Kuping itu.
"Kuakui dia berilmu tinggi. Menakjubkan sekali yang namanya ilmu 'Sewaka Sukma'-
nya itu. Rasa-rasanya
aku ingin mempelajari ilmu tersebut. Juga jurus 'Petir Jinak' yang mengenaiku.
Dahsyat juga jurus itu. Tapi...
kurasa Ki Jalu Kuping tak akan mau menurunkan
ilmunya kepadaku."
Beruntung saja si Ki Jalu Kuping adalah tokoh aliran putih. Hal itu membuat Suto
sedikit lega dan merasa
tidak menyimpang dari jalur langkahnya sebagai
pendekar beraliran putih. Makin lama merenungi sifat dan perilaku Ki Jalu
Kuping, akhirnya Suto kehilangan rasa dendam dan murkanya kepada tokoh berhidung
bengkok itu. Yang ada hanya rasa jengkel dan gemas.
Tapi bukan merupakan sebuah kebencian yang dalam.
"Kuakui, Ki Jalu Kuping itu cukup berani. Mestinya ia tahu siapa diriku, sebab
aku yakin dia bisa melihat noda merah di keningku yang merupakan tanda bahwa
diriku adalah Manggala Yudha, panglimanya Ibu Ratu
Kartika Wangi. Apakah dia tidak kenal dengan Ibu Ratu Kartika Wangi" Berarti dia
akan semakin tidak tahu
bahwa aku adalah calon menantunya Ibu Ratu Kartika
Wangi dan akan menikah dengan putrinya yang bernama
Dyah Sariningrum, penguasa Puri Gerbang Surgawi di
Pulau Serindu itu"!"
Langkah demi langkah berlanjut terus. Renungan
demi renungan menyertai langkah tersebut.
"Tapi benarkah keterangan Ki Jalu Kuping tentang Ratu Dekap Rindu itu" Benarkah
sang Ratu adalah tokoh beraliran hitam" Mengapa Yundawuni memintaku untuk
datang dan berkenalan dengan Ratu Dekap Rindu,
hingga perempuan itu berani menyewaku mahal untuk
menangkap Badra Sanjaya" Dan... dan benarkah Badra
Sanjaya tidak membawa lari pusaka 'Jarum Surga' yang
selalu dibutuhkan oleh sang Ratu"! Ah, sayang sekali aku tidak menanyakan
kehebatan pusaka 'Jarum Surga'
itu, sehingga aku tidak akan tahu jika ada orang
menggunakan pusaka tersebut. Aku hanya diberi tahu
bahwa pusaka itu mirip sebuah tombak tapi pendek."
Sampai di kaki Gunung Dara, Pendekar Mabuk
hentikan langkah sebentar, ia menenggak tuaknya, dan mencoba memandang alam
sekeliling untuk mencari
sebuah desa. Ia ingin mengisi bumbung tuaknya di
sebuah kedai yang ada di desa terdekat.
"Apakah Yundawuni juga tidak tahu bahwa Ratu
Dekap Rindu itu adalah tokoh aliran hitam" Atau dia
sebenarnya tahu tapi berlagak tidak tahu"! Oh, kalau benar begitu berarti dia
menjebloskan diriku hingga
terlibat urusan yang bersifat memihak golongan hitam"!"
Suto ingat pertemuannya dengan Yundawuni
beberapa hari yang lalu. Setelah ia berhasil sembuhkan Yundawuni dari bencana
racun 'Asmara Kubur', ia pun
segera berpisah dengan perempuan cantik yang
menamakan dirinya Dewi Kesepian itu. Pendekar
Mabuk segera membantu si Rupa Setan alias Anjardani
dalam suatu perkara lain.
Beberapa waktu kemudian, ia berpisah dengan
Anjardani karena si Rupa Setan yang ternyata berwajah cantik itu harus menemui
seorang sahabatnya di sebuah pulau. Pendekar Mabuk bermaksud memberi kabar
kepada gurunya; si Gila Tuak, bahwa ia telah berhasil menolong Yundawuni. Tetapi
ia segera bertemu dengan
Yundawuni sendiri.
"Kebetulan kita bertemu di sini, Suto," kata Yundawuni. "Aku ingin meminta
bantuanmu sekai ini demi seorang sahabat."
"Soal racun juga?"
"Bukan, tapi tentang pusaka yang dibawa lari oleh seseorang yang bernama Badra
Sanjaya. Untuk lebih
jelasnya, sebaiknya kau ikut aku ke Bukit Kemesraan
dan mendapat keterangan lebih lengkap dari sahabatku itu."
Sebenarnya Suto ingin menolak, tapi Yundawuni
membujuk terus dengan wajah sedih, dengan alasan
ingin membalas jasa baik temannya itu yang pernah
menolongnya beberapa saat yang lalu. Rasa tak tega
membuat Suto Sinting akhirnya berangkat ke Bukit
Kemesraan bersama Yundawuni.
Di sana ia bertemu dengan pengawal kepercayaan
Ratu Dekap Rindu yang bernama Laras Wulung.
"Sayang sekali Nyai Ratu sedang di kuil pamujan,"
kata Laras Wulung. "Biasanya jika beliau sudah masuk kuil pamujan, bisa dua-tiga
hari baru keluar, dan selama di sana tak bisa diganggu gugat siapa pun."
"Kurasa cukup kau saja yang menjelaskan segalanya kepada sahabatku, Suto Sinting
ini," usul Yundawuni.
Laras Wulung perempuan berwajah cantik yang
usianya sekitar dua puluh lima tahun. Namun ia sudah cukup banyak mendapatkan
ilmu dari Ratu Dekap Rindu
dan menjadi pengawal tertinggi ilmunya di antara para pengawal istana itu. Ia
bukan saja cantik, tapi juga punya daya tarik pada tubuhnya yang elok, meliuk
sekal dengan dada tak terlalu montok namun menonjol keras
bagai menantang adu kemesraan setiap saat.
Matanya yang indah berbulu lentik itu menatap Suto
Sinting sejak tadi. Dari tatapan matanya, Yundawuni


Pendekar Mabuk 080 Pusaka Jarum Surga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu bahwa Laras Wulung terpesona terhadap
ketampanan Suto. Yundawuni kurang setuju jika sampai Laras Wulung berhasil
menjerat hati Pendekar Mabuk,
oleh sebab itu ia segera mendesak Laras Wulung untuk segera memberi keterangan
tentang pusaka "Jarum Surga' yang dibawa lari oleh Badra Sanjaya itu.
"Padahal pihak kami sudah sebegitu baik kepada
Badra Sanjaya, sudah kami anggap orang kami sendiri, tapi ternyata Badra Sanjaya
tega berbuat selicik itu kepada kami, terutama kepada Nyai Ratu...," ujar Laras
Wulung yang mengenakan pakaian serba biru kehitam-hitaman, dan kain penutup
bagian bawahnya yang
berbelahan panjang itu berwarna merah tua.
Setelah mendapat keterangan dari Laras Wulung,
Yundawuni mendesak Suto agar segera tinggalkan
istana, karena Yundawuni semakin khawatir melihat
senyum Suto selalu mekar ditujukan kepada Laras
Wulung. Ia tak suka melihat Suto cengar-cengir kepada perempuan lain di
depannya. Lebih baik ia tak melihat jika Suto memang ingin bersikap begitu
kepada perempuan mana pun.
"Sebenarnya yang menjadi sahabatmu Nyai Ratu
atau...." "Laras Wulung!" sahut Yundawuni kala itu.
"Ooo...," Suto manggut-manggut.
"Karena aku tak suka kalau dia ingin menaklukkan hatimu. Bisa putus
persahabatanku dengannya." -
Pendekar Mabuk hanya bisa tertawa pelan, sementara
Yundawuni yang cantik dan bersuara serak-serak mesum itu tampak cemberut kesal.
"Kau tadi mendengar sendiri ucapan Laras Wulung, bukan?"
"Yang mana?"
"Walau tanpa Nyai Ratu, tapi kau sudah resmi disewa oleh pihak Bukit Kemesraan
sebagai pemburu bayaran
terhadap Badra Sanjaya yang diperkirakan lari ke
Gunung Dara."
"Yang jelas, jika sebuah pusaka jatuh di tangan sesat akan berakibat buruk bagi
kita semua!"
Ingatan Suto saat pertemuan dengan Yundawuni itu
terputus, dan langkahnya pun terpaksa berhenti
mendadak. Pendekar Mabuk sempat tersentak kaget
ketika tiba-tiba dari atas pohon di depannya meluncur turun sesosok bayangan
berwarna kuning.
Wuuuut, jleg...!
"Oh, seorang gadis"!" sentak batin Suto. "Wah, sepertinya ia bermaksud tak beres
padaku. Pandangan
matanya yang bundar indah itu memancarkan sinar
permusuhan. Hmmm... tangannya juga sudah memegang
gagang pedang. Gawat juga gadis ini! Apa maunya tahutahu turun dari atas pohon.
Apa mau pamer kalau dia
bisa melompat seperti seekor harimau bergincu?"
Gadis itu tak sunggingkan senyum sedikit pun pada
Suto. Pakaiannya yang serba kuning itu dibiarkan sangat
kontras dengan warna pedangnya yang sepertinya
terbuat dari perunggu, hingga sarung pedangnya pun
terbuat dari perunggu berwarna kehitam-hitaman. Gadis berusia sekitar dua puluh
dua tahun itu mempunyai
rambut pendek, tapi mengenakan ikat kepala dari tali merah. Sisanya terjulur
turun dan jatuh melewati
pundak, di dada kiri.
Seperti biasanya, Suto sunggingkan senyum ramah
yang memancarkan daya pikat tinggi kepada orang yang bersikap memusuhinya. Tapi
kali ini senyum Suto
agaknya tak begitu dipedulikan oleh gadis hidung bangir dan berwajah mungil itu.
"Saatnya menebus dosa telah tiba! Bersiaplah!"
geram gadis itu, lalu mencabut pedangnya. Sreet...!
"Eh, hmmm... maaf, mengapa kau memusuhiku,
Nona" Siapa kau sebenarnya?"
"Berlagak picak kau, hah"! Tak perlu berpura-pura di depanku! Aku tak akan punya
waktu untuk luluh dalam
rayuanmu lagi, Keparat! Hiaaat...!"
Weeess...! Pedang itu menebas cepat, hampir saja
membelah pundak kanan Suto Sinting jika ia tidak
segera berkelit ke kiri dengan gerakan limbung, seperti orang mabuk mau jatuh.
Kemudian Suto memutar tubuh
hindari serangan yang datang dari tendangan kaki gadis itu. Wuuuk...!
Weess...! Suto melompat agak jauh dengan gerakan
jungkir balik di udara, kemudian berdiri tegak di bawah sebuah pohon yang
berjarak lima langkah dari gadis
berbibir seperti kuncup mawar itu.
"Kumohon jelaskan dulu apa persoalannya hingga
kau menyerangku, Nona Cantik!"
"Tak ada waktu lagi bagi seorang pengkhianat
sepertimu, Setan! Hiaaaat...!"
Gadis itu memutar tubuhnya. Wees...! Ternyata ia
melemparkan senjata rahasia berupa logam putih
berkilauan yang berbentuk bintang segi empat. Zliing...!
Juuurb...! Kalau saja Pendekar Mabuk tidak bergerak cepat ke
kanan, maka senjata itu pasti akan kenai tengah dahinya.
Untung ia berkelit ke kanan dan senjata itu akhirnya menancap pada batang pohon
di belakangnya.
Tapi gadis itu segera menyerang Suto lagi dengan
pedangnya yang dihujamkan satu kali ke arah dada Suto.
Hujaman pedang itu dilakukan sambil lakukan lompatan cepat. Wuuus...! Dan murid
si Gila Tuak itu segera
menangkisnya dengan bumbung tuak. Traaang...! Bunyi
benturan pedang dengan bumbung seperti bunyi
benturan pedang dengan baja.
Tangan Suto segera menghadang pukulan telapak
tangan si gadis dengan mengadu telapak tangannya juga.
Plaaak, blaaar...!
Gila! Si gadis terpental enam langkah ke belakang
dan jatuh terbanting akibat ledakan yang timbul dari adu telapak tangan tadi.
Rupanya si gadis punya tenaga
dalam cukup besar dan disalurkan melalui telapak
tangannya. Sementara Suto Sinting secara refleks
keluarkan tenaga dalamnya juga ketika telapak
tangannya harus menahan pukulan lawan.
Gadis itu terengah-engah, wajahnya menjadi pucat
dan ia memegangi dadanya yang terasa sakit akibat
gelombang ledakan tadi. Rupanya gelombang ledakan
itu menghantam dadanya dan membuat pernapasannya
sesak, seluruh permukaan dadanya bagai terbakar api.
"Kasihan dia...," gumam Pendekar Mabuk. "Disuruh menjelaskan persoalannya malah
menyerang, akibatnya
ya begitu itu!" gumam Suto Sinting dalam hatinya.
"Hentikan tindakanmu yang gegabah ini, Nona. Aku merasa tidak punya persoalan
denganmu, kuharap kita
jangan saling bermusuhan!"
Gadis itu bangkit dengan wajah berangnya.
"Meninggalkan diriku dalam keadaan telah kau nodai, kau anggap bukan
persoalan"!"
"Lho..."!" Pendekar Mabuk terbelalak kaget mendengar tuduhan itu. "Ketemu saja
baru kali ini kok langsung menuduh telah menodainya"! Jangan-jangan
gadis ini gila turunan"!"
"Kau memang jahanam busuk, Badra!" geram si gadis.
Akhirnya Suto Sinting terbengong dengan hati
memendam rasa dongkol-dongkol geli. "Ooo... rupanya dia melihat sosokku adalah
sosok Badra Sanjaya, maka dia menganggap diriku adalah si Badra Sanjaya! Pantas
dia menyerangku dengan ganas. Wah, tapi bagaimana
harus menjelaskan kepadanya bahwa aku adalah Suto
Sinting, bukan Badra Sanjaya. Pasti dia tak akan percaya kalau aku bukan Badra
Sanjaya." Terdengar suara gadis itu berkata, "Kau telah
menyakiti hatiku, Badra! Tidakkah kau tahu, bahwa Sriti Kuning tak akan berhenti
mengejar orang yang telah
menyakiti hatinya sebelum orang itu masuk ke liang
kubur"!" seraya ia menuding dirinya sendiri. Suto jadi tahu bahwa gadis itu
bernama Sriti Kuning.
Suto masih bingung menjelaskan siapa dirinya,
sehingga ia tak tahu harus bersikap bagaimana kepada Sriti Kuning. Membantah
telah menodai Sriti Kuning
hanya akan memperuncing permusuhan dan
memperbesar kebencian si gadis.
"Kau ke manakan pedangmu, Badra"! Ambillah dan
kita bertarung untuk tentukan siapa yang mati di antara kita berdua!"
"Hmmm... hmmm... kuharap tak ada yang mati di
antara kita berdua," ujar Suto dengan kikuk.
"Harus ada!" tegas Sriti Kuning. "Aku lebih baik mati daripada melihatmu
bermesraan dengan perempuan
jahanam itu!"
"Siapa yang kau maksud dengan perempuan
jahanam?" "Siapa lagi kalau bukan si Sunting Sari keparat itu!"
Pendekar Mabuk terperanjat lagi walau hanya
sekejap. Nama Sunting Sari bukan nama asing baginya, ia mengenal Sunting Sari
sebagai orang Partai Janda
Liar, yang sekarang menjadi ketua partai tersebut, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Asmara Janda Liar").
"Oh, rupanya Badra Sanjaya punya hubungan asmara dengan Sunting Sari"! Hmmm...
kalau begitu, daripada
aku mengaku bukan Badra Sanjaya nanti akan jadi
bertambah memperuncing persoalan, lebih baik kuatasi saja amarah gadis ini!"
pikir Suto Sinting.
Gadis itu maju beberapa langkah dengan pedang siap
digunakan untuk membunuh Suto Sinting. Tetapi sang
Pendekar Mabuk bersikap kalem dan tak menunjukkan
niat melawan kemarahan Sriti Kuning itu.
"Seenaknya saja kau pergi dariku setelah kau hisap habis maduku, lalu kau ingin
berpindah ke pelukan
Sunting Sari"! Hmmm...! Jadikan dulu aku sebagai
bangkai baru kau boleh bercinta sepuas hatimu dengan Sunting Sari!"
"Sriti Kuning!" sapa Suto dengan nada lembut. "Kau terlalu cemburu dan
cemburuanmu itu termasuk
cemburu buta. Sebenarnya aku tak ada hubungan apa-
apa dengan Sunting Sari!"
"Dusta!" bentak Sriti Kuning membuat Suto yang kalem dan tenang itu jadi
terlonjak kaget, lalu segera buang muka untuk sembunyikan tawa geli atas
kekagetannya tadi.
"Kulihat dengan mataku sendiri, kau berciuman
dengannya di tepi sungai, di balik batu yang kau anggap dapat untuk sembunyikan
kebusukanmu itu, Badra!"
Suto sengaja perlebar senyum dan tertawa pelan, ia
maju dua langkah, akhirnya saling berhadapan dalam
jarak satu langkah.
"Sriti Kuning, kau tak tahu siasatku rupanya.
Bukankah kau pun tahu bahwa Sunting Sari itu orang
Partai Janda Liar" Sedangkan aku punya urusan dengan
ketua partai itu yang bernama Selimut Senja alias si Janda Liar itu sendiri.
Urusanku adalah urusan pusaka, dan aku menyiasati Sunting Sari agar mau mencuri
pusaka panah emas itu. Tetapi...."
"Apakah kau belum mendengar kabar bahwa Selimut Senja telah tewas di tangan
Pendekar Mabuk, hah"!"
potong Sriti Kuning dalam bentakan yang lantang.
"Justru itulah, maka aku menyesal sekali telah berpura-pura jatuh cinta pada
Sunting Sari. Setelah dia kuajak bicara tentang pusakanya Selimut Senja, dia
mengatakan bahwa Selimut Senja telah tewas di tangan Pendekar Mabuk, dan pusaka
panah emas itu telah
dikembalikan kepada pemilik sebenarnya, yaitu
Begawan Parang Giri!"
Tentu saja Suto Sinting dapat menjelaskan tentang
hal itu, karena memang ia pernah terlibat persoalan panah emas itu dan dibantu
oleh Sunting Sari, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bencana Selaput Iblis"). Akibat
penjelasan tentang pusaka yang pernah didengar oleh Sriti Kuning itu, maka gadis
tersebut akhirnya diam tertegun dengan wajah masih
cemberut dan mata memandang tajam, tapi Suto tahu
gadis itu dalam kebimbangan bersikap.
"Maka setelah kutahu Selimut Senja sudah tewas, untuk apa aku masih mendekati
Sunting Sari" Sudah
sepantasnya kalau sampai saat aku berdiri di depanmu ini, Sunting Sari sudah
kulupakan. Tak ada seujung
rambut pun wajah Sunting Sari yang tertinggal dalam
benakku, Sriti Kuning."
Gadis itu masih diam membisu dengan mata
pancarkan keraguan.
"Tapi jika kau anggap hal itu menyakiti hatimu, aku minta maaf padamu, Sriti
Kuning. Jika kau belum puas, silakan penggal kepalaku sebagai hukumannya dan
sebagai tanda bahwa aku tidak mencintai terhadap
Sunting Sari!"
Pendekar Mabuk segera berlutut di depan Sriti
Kuning, mengulurkan lehernya seakan siap dipenggal.
Tapi kedua tangannya memegangi bumbung tuak, buat
persiapan kalau-kalau Sriti Kuning benar-benar mau
memenggalnya, ia sudah siap lakukan tangkisan dengan bambu tempat tuak itu.
"Penggallah aku kalau kau masih menyangka aku
meninggalkan dirimu, Sriti Kuning!"
Sang gadis masih diam, sekarang wajahnya bukan
saja cemberut tapi mempunyai rona duka yang timbul
dari keharuan hatinya. Matanya pandangi Suto yang
dianggap Badra Sanjaya itu.
"Mengapa kau tidak katakan hal itu sebelumnya
padaku"!"
"Aku tak berani mengatakannya, karena aku takut menyakiti hatimu! Sementara itu,
aku sendiri terdesak tugas dari guruku untuk mengambil panah emas itu,"
kata Suto dengan penuh waspada.
"Sriti, lakukan keinginanmu membunuhku. Penggal kepalaku biar kau puas dan
percaya betul bahwa aku
masih mencintaimu."
"Seetaaan...!" teriaknya. Suto sudah hampir angkat
bumbung tuaknya untuk menangkis pedang Sriti
Kuning. Tapi ternyata teriakan Sriti Kuning itu adalah teriakan membuang
penyesalan dalam hatinya, ia berlari ke pohon samping dan menangis di sana
dengan genggaman pedang melemah.
"Uuhf...! Untung tak benar-benar dipenggal," gumam Suto dalam hati. Lalu, ia
segera hampiri gadis itu.
"Sriti, pandanglah aku! Pandanglah kobaran api
cintaku lewat kedua bola mataku ini. Kau akan
melihatnya dengan lebih jelas lagi, Sriti...."
"Badra...!" Sriti Kuning hamburkan tangis sambil memeluk Badra Sanjaya palsu
itu.

Pendekar Mabuk 080 Pusaka Jarum Surga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maafkan aku, Badra...! Aku tidak mungkin tega
membunuhmu, karena aku tak ingin kehilangan dirimu,
Badra!" "Aku pun tak ingin kehilangan dirimu, Sriti! Kau adalah mahkotaku, harapan damai
di masa depanku, Sriti Kuning."
"Oooh... Badra...," pelukan itu semakin erat. Rupanya gadis itu benar-benar
merindukan Badra Sanjaya,
sehingga sambil masih menitikkan air mata, ia menciumi Suto yang dianggap Badra
Sanjaya itu. "Lumayan dapat rezeki tiban...," gumam Suto dalam hati kegirangan, ia bahkan
membalas ciuman Sriti
Kuning dengan sebuah kecupan lembut di bibir gadis itu.
Cuuup...! Tapi rupanya gadis itu membalas kecupan itu dengan
lumatan bibir yang mendebar-debarkan hati Suto
Sinting. Untuk menjaga jangan sampai membakar
gairah, Suto bermaksud melepaskan kecupan bibir itu.
Tapi Sriti Kuning makin mempererat pelukan dan
melumat bibir itu dengan lebih ganas lagi. Gadis itu seperti singa kehausan di
padang pasir yang segera
menemukan telaga berair bening.
"Ooh, Badra...," keluhnya di sela napas yang memburu, ia menciumi leher Suto
Sinting dengan pedang dilepaskan begitu saja dan tangannya merayap ke mana-mana. Tangan itu
mengusap dan meremas apa pun
yang dapat diremas. Dan hal itu telah membuat gairah Suto terbakar berkobar-
kobar. "Wah, gawat kalau begini...," gumam Suto dalam hati.
"Badra, aku rindu... aku rindu cumbuanmu, Badra.
Oooh... ambillah, ambillah ini, Badra...."
Sriti Kuning tak malu-malu lagi melebarkan belahan
bajunya. Breeet...! Terlepaslah baju itu, ternyata tak ada pelapis lain di balik
baju tersebut. Maka dua bukit yang sekal menantang itu tampak jelas di mata
Suto. "Badra, lekas ambillah... sudah lama aku tak
merasakan pagutan bibirmu, Badra...."
Pendekar Mabuk hanya berkata dalam hatinya,
"Yaaaah... daripada kena angin sia-sia, santap sajalah apa adanya...."
"Aaaauh...!" Sriti Kuning memekik ketika Suto menyambar salah satu gumpalan dada
itu dengan lahapnya. Ia seperti bayi yang kehausan, dan Sriti
Kuning agaknya sangat menyukai tindakan itu.
"Ooh, Badra... kau lebih hebat dari biasanya. Kau
lebih pandai membuatku melayang-layang, oouuh... aku tak tahan, Badra...,"
rengek Sriti Kuning. Kemudian ia menarik ikat pinggang Suto. Terlepaslah baju
hijau itu, terlepas pula segalanya. Suto meremas lembut rambut
kepala Sriti Kuning, dan remasan itu membuat Sriti
Kuning merasakan gairahnya semakin dicambuk oleh
keindahan. "Badra... lakukan sekarang, lakukanlah sekarang, Badra...!"
Sriti Kuning telah siap. Cawan anggur kehangatan
menunggu tamu datang meneguknya tuntas. Tapi sang
tamu ragu-ragu untuk meraih cawan anggur itu.
"Haruskah kulakukan"!" pikir Suto Sinting.
"Haruskah kuberikan apa yang diharapkan Sriti Kuning ini" Aku adalah Suto, tapi
ragaku adalah Badra Sanjaya.
Jika kuberikan kehangatanku kepadanya, apakah berarti aku menodai cinta suciku
kepada Dyah Sariningrum"
Jika sampai kuberikan, siapa yang berbuat sebenarnya"
Suto atau Badra Sanjaya"!"
"Badra, kita tak punya banyak waktu. Aku harus
segera kembali ke padepokan, karena Guru ingin
bertemu denganku!"
"Ak... aku juga harus segera menemui seseorang, karena Guru mengutusku
menyelesaikan masalah
secepatnya."
"Oh, Badra... jangan berdiri saja di situ. Peluklah aku, Badra...."
Suto segera merendah, tapi berdiri lagi dengan
gelisah. "Ayolah, Badra... jangan siksa rinduku ini! Lekaslah, Sayang...," rengek Sriti
Kuning tampak tak sabar sekali.
Suto benar-benar bingung tentukan langkah; maju
atau mundur" Atau... maju-mundur-maju-mundur"!
* * * 5 SEBELUM menyeberangi sungai yang merupakan
perbatasan wilayah Bukit Kemesraan, langkah Pendekar Mabuk terhenti karena
ulahnya sendiri. Suara ledakan di sebelah utara membuatnya hentikan langkah.
Hati pun berdebar sekejap sambil berucap, "Ada pertarungan...!"
Pendekar Mabuk paling hobi ngintip pertarungan.
Terlepas apakah nantinya ia terlibat atau tidak, tapi sebuah pertarungan
merupakan ladang pendidikan ilmu
tambahan baginya. Dengan memperhatikan jurus-jurus
yang dipakai oleh pihak yang bertarung, Pendekar
Mabuk akan dapat mengantisipasi seandainya ia bertemu dengan lawan yang
menggunakan jurus seperti yang
dilihatnya itu.
Dari ketinggian sebatang pohon beringin liar,
Pendekar Mabuk mengintai pertarungan yang terjadi di sebidang tanah datar itu.
Pepohonan yang tumbuh di
tempat tersebut berjarak renggang, sehingga memberi
peluang lebih bebas lagi bagi pihak yang terlibat
pertarungan. "Oh, rupanya si wajah dingin itu yang lakukan
pertarungan"!" ujar Suto membatin sambil pandangi lelaki berwajah dingin yang
mengenakan jubah merah.
Suto kenal betul dengan lelaki berusia sekitar enam
puluh lima tahun yang berambut putih panjang meriap tanpa ikat kepala itu. Sudah beberapa kali Suto temukan lelaki berbadan agak gemuk itu dalam sebuah
pertarungan. Suto selalu ikut campur karena demi
selamatkan lawan si lelaki bersenjata cambuk merah itu karena tak rela melihat
lelaki kejam itu hancurkan
lawannya. Lelaki itu adalah Pangkar Soma, murid mendiang
Tengkuk Cadas yang punya jurus berbahaya bernama
jurus 'Hujan Petaka' itu. Pendekar Mabuk pernah melihat beberapa korban jurus
'Hujan Petaka' yang rata-rata mati dalam keadaan menjadi bubur busuk. Hujan
darah yang dapat didatangkan oleh kekuatan Pangkar Soma itu
mengandung racun yang membusukkan tulang dalam
waktu singkat. Jika seseorang tersiram hujan merah
kiriman Pangkar. Soma, maka tulang dalam raga orang
tersebut akan cepat menjadi busuk, lalu mati dalam
keadaan menjijikkan, kecuali jika orang itu
menggunakan ilmu lilin yang antiair, seperti jurus
'Balsam Tengkorak' yang dimiliki oleh si Kapas Mayat dan pernah digunakan pada
saat bertarung melawan
Pangkar Soma, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Gadis Tanpa Raga").
"Orang ini memang berbahaya sekali!" pikir Suto.
"Demi memperoleh apa yang diinginkan ia tak akan pernah peduli dengan orang lain
yang menjadi korban tak bersalah dari jurus-jurus mautnya itu! Dan lagi,
ooooh..."!"
Kisah Si Bangau Putih 8 Suling Emas Dan Naga Siluman Bu Kek Sian Su 11 Karya Kho Ping Hoo Karma Manusia Sesat 3
^