Perawan Titisan Peri 1
Pendekar Mabuk 059 Perawan Titisan Peri Bagian 1
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 DENGAN didampingi dua ekor kuda di kanan-
kirinya, lelaki berbaju merah itu menabuh bende
berulang-ulang sambil serukan kata. Tiga kuda tersebut berjalan dengan santai
menyusuri jalan pedesaan. Si
penabuh bende yang menunggang kuda berbulu coklat
muda itu mengenakan ikat kepala kaku dari bahan kain bercampur logam yang
menjadi simbol sebuah kerajaan.
"Wara-wara... wara-wara...!" serunya dengan suara lantang dan garang. Para
penduduk desa hentikan kerja mereka hanya untuk mendengarkan 'wara-wara' alias
pengumuman yang dibawakan oleh si penabuh bende
itu. "Gusti Ayu Sunggarini, putri dari Prabu
Dasawalatama, membuka sayembara untuk umum.
Barangnya siapa...."
"Husy, bukan 'barangnya' siapa, tapi 'barang' siapa!"
potong pengawal di samping kirinya.
"Maaf, keliru sedikit!" seru si penabuh bende. Ia mengulang kata-katanya kembali
setelah bende ditabuh tiga kali.
Mung... mung... mung....
"Wara-wara. Gusti Ayu Sunggarini, putri mendiang Prabu Dasawalatama, membuka
sayembara untuk
umum. Barang siapa bisa menghidupkan kembali
jenazah Prabu Dasawalatama, jika perempuan akan
dijadikan kakak angkatnya dan berhak menerima
sebagian warisan dari negeri Kincir Bantala, jika lelaki akan dijadikan suami
tercinta Gusti Ayu Sunggarini!"
Mung, mung, mung...!
"Sekali lagi, barang siapa bisa menghidupkan
kembali jenazah Prabu Dasawalatama, ayahanda Gusti
Ayu Sunggarini, maka jika orang itu lelaki akan
dijadikan suaminya, jika orang itu perempuan akan
diangkat sebagai kakak tertua Gusti Ayu Sunggarini!"
Orang-orang yang mendengar pengumuman itu saling
berkasak-kusuk. Bahkan ketika petugas menyebar
pengumuman dari kerajaan Kincir Bantala itu berhenti di bawah pohon rindang,
tepat di tengah desa tersebut,
mereka bertiga dikerumuni oleh para penduduk desa.
Mereka yang berkerumun saling ajukan tanya dan saling membicarakan pengumuman
itu antara yang satu dengan
yang lainnya. "Apakah Prabu Dasawalatama, raja dari Kincir
Bantala itu telah meninggal dunia"!" tanya salah seorang penduduk.
Penabuh bende menjawab, "Kalau belum tewas tidak akan mendapat julukan
'jenazah', Tolol! Makanya
dikatakan 'jenazah' karena Kanjeng Prabu telah
meninggal dunia akibat sakit."
"Kenapa tidak segera dimakamkan saja"!" seru salah seorang lagi.
"Gusti Ayu Sunggarini telah membalsam jenazah
ayahandanya dan bermaksud membangkitkannya
kembali. Tetapi sampai sekarang, belum ada satu orang sakti mana pun yang mampu
menghidupkan kembali
Kanjeng Prabu Dasawalatama. Maka-nya Gusti Ayu
Sunggarini mengadakan sayembara untuk kalian semua.
Ayo, siapa saja yang merasa mampu menghidupkan
kembali sang Prabu akan dijadikan suami Gusti Ayu
Sunggarini, atau diangkat sebagai saudara tua Gusti Ayu Sunggarini dan mendapat
hak waris sama seperti anak
kandung keluarga Prabu Dasawalatama!"
Salah satu dari penduduk yang berkumpul di bawah
pohon itu ada seorang pemuda berpakaian celana putih dan baju tanpa lengan warna
coklat. Anak muda
berambut panjang sepundak tanpa ikat kepala itu dari tadi memperhatikan si
penabuh bende dan dua
pengawalnya. Anak muda itu membawa bambu sedepa
yang menjadi tempat menampung tuak. Siapa lagi
pemuda tampan itu selain si murid sintingnya Gila Tuak yang bernama Suto Sinting
alias Pendekar Mabuk.
Di samping Suto Sinting berdiri pula dua orang lelaki
berusia sekitar tiga puluh tahun, yang satu mengenakan pakaian hitam dan
berbadan kurus, yang satu berpakaian hijau berbadan agak gemuk. Tiba-tiba saja
yang berpakaian hijau berkata sambil menuding Suto Sinting.
"Nah, anak muda ini cocok sekali jadi suami Gusti Ayu Sunggarini!"
Yang berpakaian hitam menyahut, "O, iya!
Ketampanannya sangat serasi dengan kecantikan Gusti
Ayu Sunggarini. Cuma sayang, dia kumal dan hanya
sebagai pedagang tuak keliling."
"Lho, biar sebagai pedagang tuak keliling, kalau memang bisa menghidupkan Prabu
Dasawalatama, tentunya dia akan diangkat menjadi suami Gusti Ayu
Sunggarini."
"Iya, ya...!" kata si baju hitam, ia segera bicara kepada Suto.
"Hei, Anak muda...! Ikutlah sayembara itu. Siapa tahu kau beruntung, kau bisa
menjadi suaminya Gusti Ayu
Sunggarini. Jujur saja kukatakan padamu, ya... menjadi
'suami angkat' putri seorang raja itu enak lho! Kau ingin apa saja bisa
terkabul. Bahkan mungkin kau bisa
menjadi raja di negeri Kincir Bantala itu."
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum
keramahan. Wajahnya yang ganteng itu memandang dua
orang tersebut dengan sikap bersahabat.
"Kang, kurasa sayembara ini terlalu mengada-ada.
Orang sudah mati kok disayembarakan"! Aku sama
sekali tidak tertarik dengan sayembara ini."
"Tentu saja kau tidak tertarik, karena kau tak punya
kesaktian yang bisa membangkitkan mayat orang yang
sudah mati!" ujar si baju hijau.
Suto Sinting justru tertawa pelan, lalu berkata kepada si baju hitam,
"Katakan kepada si penabuh bende itu; di sini tidak ada dewa penyambung nyawa!
Kalau mau cari dewa
penyambung nyawa, suruh mereka pergi ke kayangan
dan menemui dewa yang punya urusan soal nyawa."
Setelah berkata begitu, Pendekar Mabuk tinggalkan
tempat itu dengan santainya. Delapan langkah kemudian ia berhenti untuk
menenggak tuak dari bumbung yang
dibawanya, kemudian berjalan lagi menjauhi kerumunan orang.
Namun tiba-tiba langkahnya menjadi terhenti kembali
karena mendengar derap langkah kaki kuda yang datang dari arah timur. Derap kaki
kuda itu terdengar bukan hanya seekor, melainkan lebih dari tiga ekor. Hal itu
menarik perhatian Pendekar Mabuk, sehingga murid si
Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu segera palingkan
wajah, memandang ke arah datangnya derap kaki kuda.
Debu berhamburan membentuk kabut samar-samar.
Ternyata yang datang bukan tiga ekor kuda, melainkan delapan ekor kuda yang
berlari cepat menuju kerumunan orang.
"Siapa mereka itu" Tampaknya ada niat tak beres dalam benak mereka," pikir Suto
sambil melangkah ke arah bawah pohon lain yang tumbuh di depan sebuah
kedai nasi. Dari sana ia memperhatikan kedelapan orang tersebut yang membuat
kerumunan menjadi bubar
karena takut diterjang kuda mereka.
Delapan kuda itu ternyata tidak berhenti, melainkan
tetap berlari cepat menerjang tiga utusan dari kerajaan Kincir Bantala. Tiga
orang dari rombongan berkuda
ganas itu mencabut pedang dan tiba-tiba pedang itu
ditebaskan ke arah tiga orang utusan dari Kincir Bantala.
Wees, weees, wees...! Cras, cras...!
"Aaaa...!"
Pekikan keras datangnya dari para penduduk yang
berada jauh dari tempat tersebut. Sebagian orang
memekik, sebagian lagi tertegun bengong tanpa bisa
bicara, manakala mereka melihat dua pengawal penabuh bende itu kehilangan
kepalanya dalam waktu yang amat singkat. Rombongan delapan penunggang kuda yang
semuanya berpakaian seragam hitam bergaris-garis
merah itu melaju bersama kuda mereka tanpa henti.
"Gilaaa..."!" gumam Suto Sinting dengan melongo.
Dua kepala yang terpisah dari raganya itu
menggelinding di tanah dengan darah berhamburan ke
mana-mana. Tetapi rupanya si penabuh bende punya
keberuntungan tersendiri, ia terkapar masih bernyawa, namun dadanya terluka
karena sabetan pedang,
sementara kepalanya bocor dan beberapa tulangnya
patah karena terinjak-injak kuda saat ia jatuh ke tanah.
Orang itu hanya bisa mengerang dengan suara pelan
sekali, nyaris tak terdengar karena ramainya jerit dan kekacauan masyarakat desa
yang diiiputi rasa takut itu.
"Mereka memenggal kepala dua orang Kincir
Bantala" ujar seseorang dari depan kedai, tepat di
belakang Pendekar Mabuk.
"Tentu saja, sebab mereka orang-orang Kadipaten Pusar Langit," sahut orang yang
satunya lagi, membuat Suto Sinting berpaling memandang mereka karena
tertarik dengan percakapan itu.
"Yang mana orang Kadipaten Pusar Langit itu,
Paman?" tanya Suto Sinting kepada lima orang yang ada di depan kedai itu.
"Itu tadi, yang jumlahnya delapan orang tadi!" jawab salah satu dari lima orang
tersebut. Temannya menimpali, "Kadipaten Pusar Langit
adalah musuh bebuyutan Kerajaan Kincir Bantala. Setiap saat dan kapan saja
mereka bertemu pasti saling bunuh!"
Ada yang berseru, "Lihat, si penabuh bende masih hidup!"
Semua mata tertuju pada si penabuh bende. Orang itu
berusaha untuk bangkit dengan merangkak, namun
keadaannya sangat lemah. Pendekar Mabuk segera
menghampirinya disusul dengan empat-lima orang yang
mendekati si penabuh benda dengan waswas.
"Oouh... oooh... bendeku... bendeku mana tadi..:"!"
ratap si penabuh bende sambil menyeringai menahan
rasa sakit. Tanpa bicara sepatah kata pun, Pendekar Mabuk
segera mengangkat tubuh si penabuh bende dan
membawanya ke kedai. Celoteh si penabuh bende
berhamburan bersama erangan rasa sakitnya, ia
dibaringkan di 'lincak', tempat duduk dari anyaman
bambu yang ada di teras kedai.
"Uuhg...! Aduuuh... oooh... bendeku mana...
pemukulnya mana... oooh... tubuhku sakit sekali!
Bendeku rusak apa tidak, tolong selamatkan bende-
ku...." Salah seorang yang mengerumuninya berseru,
"Selamatkan dulu nyawamu, jangan pikirkan bende-mu, Tolol!"
Pendekar Mabuk segera membuka tutup bumbung
tuaknya. Kemudian ia menyuruh si penabuh bende
meminum tuak itu.
"Minumlah tuakku. Minumlah walau sedikit biar rasa sakitmu berkurang," bujuk
Suto Sinting dengan suara pelan.
Ada yang menggerutu di belakang Suto, "Bocah ini otaknya di mana"! Orang sakit
dan terluka separah itu malah disuruh minum tuak" Kalau mau mabuk jangan
ajak-ajak orang sekarat begitu! Kasihan dia! Bukannya diobati tapi malah mau
diajak mabuk-mabukan!"
Tetapi tak satu pun kata-kata kecaman itu dipedulikan oleh Suto Sinting. Si
penabuh bende tetap dibujuk untuk meminum tuak tersebut, sampai akhirnya orang
tersebut mau meminum tuak tiga teguk.
Glek, glek, glek...!
"Uuhk, uhuk, uhuk, uhuk...!" si penabuh bende terbatuk-batuk. Orang saling
berceloteh mengecam Suto Sinting, tapi tak satu pun kecaman itu dilayani dengan
sanggahan. Kecaman itu mulai berhenti setelah mereka saling
terbengong melihat luka di dada si penabuh bende
berasap tipis dan bergerak-gerak merapat sendiri.
Semakin lama semakin rapat daging yang robek
terkoyak itu, sampai akhirnya menjadi utuh seperti
semula. Luka itu lenyap bersama sisa darah yang semula berlumuran di tubuh si
penabuh bende. "Edan! Luka itu bisa hilang dalam waktu singkat dan tak membekas sedikit pun"!"
Pakaian yang robek memang masih robek, tapi
seluruh luka yang ada di tubuh si penabuh bende itu
sirna tanpa bekas. Darah yang berceceran bagaikan
menguap dalam waktu singkat. Wajah si penabuh bende
tak terlihat sepucat tadi. Bahkan orang tersebut mampu bangkit dan duduk
memandang heran sekujur tubuhnya.
"Lho... ke mana lukaku tadi"!" ujarnya dengan bingung. "Rasa sakitku..." Rasa
sakitku kok ikut-ikutan hilang" Kenapa tak ada rasa perih atau panas sedikit
pun, ya"!"
Mereka tidak ada yang tahu bahwa tuak yang ada di
bumbung bawaan Suto Sinting itu adalah tuak sakti.
Melalui tuak itu pula Suto mendapat julukan dari
beberapa orang yang mengenalnya sebagai Tabib Darah
Tuak. Tentu saja mereka terheran-heran melihat
keampuhan tuak tersebut, walau sebenarnya yang
mempunyai kesaktian bukan terletak pada tuaknya,
melainkan pada bumbung bambu itu yang sebenarnya
adalah jelmaan dari tokoh sakti eyang gurunya si Gila Tuak yang bernama:
Wijayasura (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Pedang Guntur Biru").
"Anak muda itu ternyata punya kesaktian tinggi"!"
bisik salah seorang kepada temannya. Kasak-kusuk
segera terjadi di antara mereka. Namun Suto Sinting
tetap tidak peduli dengan kasak-kusuk itu. Bahkan tidak punya rasa bangga
sedikit pun. Perhatiannya justru
tertuju pada si penabuh bende.
"Kusarankan agar sebaiknya kau pulang ke negerimu dan suruh gusti ayu-mu itu
membatalkan sayembara itu."
Penabuh bende yang belum sadar bahwa nyawanya
telah diselamatkan oleh Suto Sinting segera memandang dengan dahi berkerut,
bersikap kurang suka mendengar saran Suto. Dengan nada ketus orang itu berkata;
"Enak saja kau menyuruhku begitu. Apa
kepentinganmu, sehingga berani menyarankan agar gusti ayu-ku membatalkan
sayembara itu"!"
"Ayahanda gusti ayu-mu sudah wafat. Biarlah beliau tenang di alam kelanggengan
sana dengan cara
Pendekar Mabuk 059 Perawan Titisan Peri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
disemayamkan baik-baik. Tak perlu disayembarakan
untuk dihidupkan kembali. Setiap manusia mempunyai
dua kodrat yang tak dapat disanggah lagi; lahir dan mati, datang dan pergi.
Katakan begitu kepada gusti ayu-mu."
"Katakanlah sendiri, aku tak berani mengajukan saran seperti itu!" orang
tersebut bersungut-sungut, lalu segera hendak pergi mencari bendenya.
"Hei, tunggu...!" cegah Suto Sinting. "Bawalah aku menghadap gusti ayu-mu, aku
akan bicara sendiri
tentang saranku tadi!"
Si penabuh bende memandang Suto Sinting dengan
keheranan semakin tinggi. Namun sebelum ia bicara,
tiba-tiba seorang lelaki tua berusia enam puluh tahun
yang rambutnya tak begitu banyak beruban itu segera
perdengarkan suaranya di belakang Suto Sinting.
"Anak muda, kusarankan agar kau tak perlu terlibat urusan dengan orang-orang
Kincir Bantala. Sebab kau
akan berurusan dengan orang Kadipaten Pusar Langit
yang kabarnya sekarang sedang mengumpulkan orang-
orang sakti yang dibayar untuk menumbangkan kerajaan Kincir Bantala. Kau bisa
menjadi korban mereka, Anak muda."
Mendengar ucapan itu, si penabuh bende tergugah
rasa pengabdiannya terhadap negerinya, ia segera
berkata kepada Suto Sinting,
"Jangan dengarkan omong kosong itu. Mari kuantar menghadap Gusti Ayu Sunggarini.
Orang-orang Kadipaten Pusar Langit hanya mengumpulkan manusia
rongsokan yang tak punya daya dan kekuatan apa-apa!
Jangan takut dengan orang-orang Pusar Langit, mereka hanya berani main bokong!
Sampai kapan pun mereka
tak akan mampu menumbangkan kerajaan Kincir
Bantala!" Orang tua itu hanya memandang Suto Sinting dengan
pundak menghentak naik satu kali, sebagai ganti ucapan,
"Terserah kau sajalah, Nak!"
Sedangkan Suto Sinting hanya diam dalam keraguan
yang penuh pertimbangan batin.
* * * 2 PENABUH bende itu mengaku bernama Kersa Gotri.
Bekerja sebagai 'abdi dalem' di istana Kincir Bantala selama tujuh tahun.
Sekarang usianya sudah mencapai
tiga puluh lima tahun.
"Aku bukan seorang prajurit kerajaan, tetapi termasuk pelayan keluarga Kanjeng
Prabu Dasawalatama,"
ujarnya kepada Suto Sinting ketika mereka dalam
perjalanan menuju negeri Kincir Bantala.
Mereka sama-sama berjalan kaki, karena kuda
berbulu coklat tunggangan Kersa Gotri telah melarikan diri saat diterjang
delapan ekor kuda tunggangan orang kadipaten. Sedangkan dua ekor kuda milik
pengawal yang terpenggal itu pun tak dapat digunakan lagi, yang satu kakinya patah karena
jatuh, dan yang satunya lagi berlari liar bersama kuda tunggangan Kersa Gotri.
Namun sebagai orang suruhan raja yang tugasnya ke
sana-sini, termasuk mengirim surat atau menyebarkan
pengumuman, Kersa Gotri tahu jalan pintas menuju
negerinya. Jalan pintas itu ditempuh dengan cara menyusuri kaki gunung yang berhutan tak
seberapa lebat.
"Sang Prabu wafat tujuh hari yang lalu. Sampai
sekarang jenazahnya masih diawetkan oleh Gusti Ayu
Sunggarini dengan cara dibalsam. Tindakan itu
dilakukan oleh Gusti Ayu karena Gusti Ayu masih
berharap ayahandanya bisa dibangkitkan lagi dari
kematiannya."
"Apakah Gusti Ayu Sunggarini belum menyadari
adanya kematian sebagai kodrat tiap manusia yang tak bisa ditolak lagi?"
"Semua punggawa negeri sudah mengingatkan hal
itu, tapi Gusti Ayu tetap bersikeras bahwa ayahnya harus hidup lagi. Seakan ia
tak bisa menerima kenyataan atas kematian tersebut. Gusti Ayu sangat mencintai
sang Prabu, karena ia anak tunggal yang dimanjakan oleh
ayahandanya."
"Bagaimana dengan ibunya?" tanya Suto sambil tetap melangkah.
"Ibunya sudah wafat sejak Gusti Ayu berusia sepuluh tahun, jadi cinta kasih yang
diterima Gusti Ayu lebih banyak dirasakan datang dari sang Ayah."
"Mengapa dia sampai bersedia menjadi istri
pemenang sayembara itu" Apakah ia belum bersuami?"
"Memang belum, Gusti Ayu merasa belum puas
mengabdi dan melayani ayahandanya, sehingga beliau
tak berminat untuk bersuami. Jika beliau bersuami,
beliau takut perhatian dan kasih sayang untuk
ayahandanya menjadi berkurang."
"Sungguh besar kesetiaan dan rasa baktinya kepada sang Ayah. Seandainya...."
Tiba-tiba kata-kata Pendekar Mabuk terhenti dengan
sendirinya. Langkah kakinya pun ikut terhenti, sehingga Kersa Gotri berpaling
memandangnya dengan heran.
"Ada apa, Suto?" tanyanya pelan, ia tahu pemuda yang bersamanya bernama Suto
Sinting, tapi ia belum tahu bahwa Suto Sinting adalah Pendekar Mabuk yang
ilmunya cukup tinggi hingga dikatakan berilmu sinting.
"Aku mendengar suara langkah kaki di belakang kita.
Agaknya ada orang yang ingin menguntit perjalanan
kita, Kersa Gotri," bisik Suto sambil matanya melirik ke samping kanan.
"Aku tidak mendengar suara apa-apa," balas Kersa Gotri dalam bisikan. Ketika ia
ingin berpaling ke
belakang, Suto Sinting buru-buru menahannya dengan
berkata, "Jangan menengok ke belakang, biar kita dianggap tidak tahu apa-apa. Jalan terus
saja, nanti setelah
melewati batu besar itu kita segera bersembunyi di balik batu tersebut."
Pendekar Mabuk mencekal lengan Kersa Gotri dan
setengah menarik agar berjalan kembali. Jurus 'Lacak Jantung' segera
dipergunakan oleh Pendekar Mabuk,
sehingga murid si Gila Tuak itu dapat mendengar suara detak jantung orang lain
yang ada di belakangnya. Detak jantung itu hanya satu jenis, berarti hanya ada
satu orang yang, mengikutinya dari belakang.
Wees...! Zlaap...!
Gerakan cepat melebihi anak panah yang melesat dari
busur itu dilakukan Pendekar Mabuk dengan
menggunakan Jurus 'Gerak Siluman'-nya. Tangannya
sempat menyambar tubuh Kersa Gotri, sehingga mereka
berdua tampak seperti menghilang ditelan bumi. Tapi
sebenarnya mereka bersembunyi di balik gugusan batu
besar yang tingginya melebihi sebuah rumah.
"Kenapa kita tiba-tiba ada di sini?" bisik Kersa Gotri dengan heran, karena ia
merasa terhempas terbang dalam
sekejap. "Kita bersembunyi di sini dulu. Aku ingin tahu siapa orang yang menguntit kita
itu." "Tapi aku merasa...."
"Ssstt...!" potong Suto Sinting sambil berusaha membekap mulut Kersa Gotri.
Batu besar itu mempunyai celah sempit yang hanya
cukup dimasuki oleh satu orang. Di dalam celah batu
itulah Kersa Gotri berlindung di belakang Suto Sinting.
Mereka tak bisa berdiri bersebelahan, sehingga kepala Kersa Gotri selalu ingin
mendesak keluar untuk
mengintai siapa orang yang menguntit mereka. Tapi
kepala itu selalu ditekan oleh pundak Suto Sinting, membuat Kersa Gotri menjadi
jengkel namun tak berani mendesak.
Cukup lama mereka diam tanpa gerak dan bunyi di
tempat itu. Penguntit mereka tidak kunjung lewat,
sehingga hati mereka menjadi penasaran.
"Jangan-jangan tak ada apa-apa, hanya perasaanmu saja yang mengada-ada," bisik
Kersa Gotri pelan sekali, persis di depan telinga Suto Sinting. Bisikan itu
tidak mendapat jawaban kecuali gerakan jari Suto yang
memberi isyarat agar Kersa Gotri tidak bersuara sedikit pun.
Wuuk, wuuk...! Jlegg...!
Rupanya orang yang mengikuti mereka itu ada di atas
batu besar tersebut. Orang itu kebingungan mencari Suto dan Kersa Gotri,
akhirnya melompat turun dari atas batu dengan gerakan bersalto dua kali. Suto
Sinting segera memberi isyarat agar mereka berjongkok, karena orang yang mengikuti mereka
sekarang berdiri di depan celah batu dalam jarak sepuluh langkah. Orang itu
clingak-clinguk mencari mereka dengan mata tajam memandang
ke setiap penjuru.
"Perempuan...!" bisik Kersa Gotri sambil menyiapkan senjatanya yang sejak semula
terselip di depan perut.
Sebagai pesuruh raja, ia dibekali sebuah pusaka berupa keris bergagang hitam
dalam bentuk kepala burung
garuda. Seberapa tinggi kehebatan keris itu, Suto belum mengetahui karena memang
Suto tak menghiraukan
adanya senjata tersebut.
Apalagi sekarang, perhatian Suto Sinting lebih tertuju pada orang yang baru saja
turun dari atas batu, sebab orang tersebut ternyata adalah seorang perempuan
berusia muda, namun sudah tampak matang dalam
bersikap. Usianya sekitar dua puluh tujuh tahun.
Mengenakan pakaian jubah berlengan panjang dari kain halus berwarna biru muda.
Rambutnya disanggul rapi
dengan tusuk konde dari logam emas berbentuk kuncup
bunga kenanga. Perempuan itu menggenggam pedang di
tangan kirinya dengan sarung pedang dari logam
kuningan berukiran dan gagangnya pun dari logam
kuningan berukir.
Wajah perempuan itu cukup cantik, mempunyai
hidung bangir dan bibir sedikit tebal
tapi menggemaskan. Matanya tajam, namun mempunyai
kebeningan yang enak dipandang. Bulu matanya lentik, alisnya tebal teratur rapi.
ia mempunyai dada yang agak
besar, namun tampak masih kencang penuh tantangan.
"Apakah kau kenal dengan perempuan itu?" bisik Suto Sinting pelan sekali.
"Melihat bentuk tusuk kondenya itu, kurasa ia orang Pasir Pitu,"
"Pasir Pitu itu nama kadipaten atau kesultanan?"
"Pasir Pitu nama perguruan di bukit tepi laut utara."
"Kau kenal, dengannya?"
Kersa Gotri gelengkan kepala. Pendekar Mabuk ingin
berbisik lagi, kepalanya sudah menengok ke samping, tapi segera dibatalkan
karena tiba-tiba datang angin aneh berhembus dari arah depan. Wuuurrss...!
Angin aneh itu berhembus satu kali, menerbangkan
dedaunan hijau kecil-kecil yang membuat perempuan
berjubah biru muda itu segera melompat sambil
mencabut pedangnya. Wuuut...! Sraaang...!
Tring, tring, tring, tring, tring ..! Craaang...!
Daun-daun hijau yang berhamburan ke arahnya
ditangkis cepat dengan pedangnya. Tangkisan itu
membuat suara denting yang mengherankan, karena
daun-daun hijau itu bagaikan kepingan logam tajam
yang sukar dipatahkan atau dirobek dengan mata
pedang. Daun-daun hijau itu berpentalan ke sana-sini, salah satu ada yang jatuh
tepat di depan kaki Pendekar Mabuk.
Daun yang jatuh di situ segera dipungut dan
diperiksa. Pendekar Mabuk hanya menggumam dalam
desah, "Edan...! Daun selembut ini bisa berubah seperti baja
pada saat beterbangan tadi. Pasti ada orang yang
menyalurkan ilmu tenaga dalamnya melalui helai-helai daun tadi."
Kersa Gotri ikut memegang sehelai daun tersebut.
Ternyata sangat lemas, tanpa tulang pengeras, tanpa
tepian yang tajam. Kersa Gotri pun akhirnya bicara
sendiri dengan suara bisik.
"Daun selunak ini bisa menimbulkan suara denting saat ditangkis dengan pedang"!
Apakah telingaku tadi tidak salah dengar?"
"Seseorang sedang lakukan serangan ke arah
perempuan itu, Kersa Gotri."
"Begitukah"! Di mana orang yang menyerang
perempuan itu?"
"Entahlah. Aku belum menemukan tempat
persembunyiannya. Tapi yang jelas orang itu pasti
berilmu tinggi, buktinya ia bisa menerbangkan daun-
daun tadi dan mengubah tiap helai daun menjadi
kepingan logam tajam mirip senjata rahasia. Untung perempuan itu cepat-cepat
melakukan tangkisan, jika ia menganggap daun-daun itu adalah daun-daun biasa,
mungkin tubuhnya saat ini sudah tercabik-cabik oleh ketajaman daun-daun
tersebut."
"Berarti ilmu perempuan itu cukup tinggi. Buktinya ia bisa segera mengerti bahwa
daun-daun itu bukan
sembarang daun terbang."
Pendekar Mabuk manggut-manggut membenarkan
ucapan Kersa Gotri. Kemudian perhatiannya terarah
kembali kepada si perempuan yang sedang memandang
ke sana-sini mencari penyerangnya. Namun mendadak
angin aneh datang kembali, berhembus lebih kencang
dari yang pertama.
Weeessss...! Kali ini yang berhamburan bersama angin aneh itu
adalah batu-batu kecil yang ukurannya lebih kecil dari kerikil. Jumlahnya
ratusan batu yang masing-masing
bagai menerjang tubuh perempuan tersebut. Namun
rupanya perempuan itu mempunyai ilmu pedang yang
cukup hebat. Dengan sekali kelebat saja, pedangnya
menyebarkan asap mengelilingi tubuhnya. Asap putih
agak tebal itu bagai menahan ratusan batu-batu kecil.
Akibatnya, batu-batu itu saling pecah menimbulkan
suara letusan dan memancarkan bunga api yang indah
dipandang mata namun berbahaya jika mengenai tubuh
manusia. Wuuutt...! Buuusssh...!
Tar, tar, tar, tar, tar, tar, tar, traatar, tarrr...!
Angin hilang, batu-batu kecil pun lenyap, asap putih sirna. Perempuan berkulit
kuning itu segera berseru
tanpa arah yang pasti.
"Keluarlah dari persembunyianmu, Rangkak Dulang!
Aku tahu kau ada di sini dan ingin berhadapan
denganku! Keluar kau sekarang juga, Rangkak Dulang!"
"Ooh..."! Rangkak Dulang"!" Kersa Gotri terpekik dengan suara tertahan, bahkan
buru-buru menutup
mulutnya dengan mata menegang. Suto Sinting yang
menoleh ke belakang memperhatikan ketegangan mata
Kersa Gotri, sehingga ia pun ajukan tanya kepada
pesuruh raja Kincir Bantala itu.
Pendekar Mabuk 059 Perawan Titisan Peri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa yang bernama Rangkak Dulang itu" Apakah
kau kenal dengannya?"
Kersa Gotri hanya mengangguk satu kali sambil
melepas dekapan pada mulutnya.
"Rangkak Dulang adalah tokoh sakti dari Gunung Rancak Hantu. Dia dikenal dengan
julukan: Pawang
Setan Binal."
"Aku baru sekarang mendengar nama itu," gumam Pendekar Mabuk bagai bicara
sendiri, kemudian
perhatiannya kembali ke arah depan. Karena pada saat itu, seberkas sinar merah
terbang dari balik kerimbunan semak. Bentuknya seperti kerikil pecahan batu
lahar. Sinar merah itu jatuh ke tanah, buuusss...! Asap
mengepul merah samar-samar, makin lama semakin
hilang dan tampaklah sesosok tubuh kurus kering bagai tulang dibalut kulit
keriput. Wajah hitam bermata lebar, rambut hitam meriap tak beraturan. Orang itu
mengenakan pakaian abu-abu longgar, tanpa lengan
baju. Pada ikat pinggangnya yang berwarna merah itu
terselip sebuah senjata berupa trisula mata panah.
"Itu dia yang bernama Rangkak Dulang alias Pawang Setan Binal," bisik Kersa
Gotri. Pendekar Mabuk hanya menggumam sambil
pandangan mata tertuju pada wajah bertulang saling
bertonjolan dengan bola mata lebar berkesan dingin
dalam menatap si perempuan jubah biru. Rambut
hitamnya yang acak-acakan itu meriap merintangi
sebagian wajahnya hingga Rangkak Dulang kelihatan
sangat angker. "Ternyata kau masih saja menjadi seorang pengecut, Rangkak Dulang! Percuma saja
kau menyandang julukan Pawang Setan Binal, kalau melawanku saja
harus dengan sembunyi-sembunyi. Rupanya kau takut
mati di tanganku, Rangkak Dulang"!"
"Tutup mulutmu, Paras Kencani!" hardik si Rangkak Dulang dengan suara seraknya.
Mendengar nada suaranya, Suto Sinting dapat memperkirakan usia
Rangkak Dulang sekitar enam puluh tahunan.
Tangannya yang berkuku tajam dan runcing walau tak
terlalu panjang itu segera terangkat untuk menuding
perempuan cantik yang ternyata bernama Paras Kencani itu.
"Aku tak mau banyak bicara, Paras Kencani.
Serahkan saja kitab pusaka itu atau kucabut nyawamu
sekarang juga!"
"Aku tak memiliki kitab pusaka yang kau cari-cari sejak beberapa bulan yang lalu
itu! Apakah kau kurang puas telah membantai orang-orangku dan mengobrak-abrik
perguruanku hanya untuk suatu kesia-siaan itu"
Bukankah kau telah tidak mendapatkan kitab pusaka
itu?" "Tentu saja, karena kitab pusaka itu kau simpan di tempat yang tak bisa
kuketahui! Kau telah melapisinya dengan hawa murni sehingga tak bisa kutembus
dengan indera ketujuhku."
"Persetan dengan dugaanmu! Yang jelas aku tidak memiliki kitab pusaka itu. Jika
kau masih menghalangi
langkahku, maka aku akan menyingkirkan dirimu secara paksa!"
"Kau tak akan mampu!" ucap Rangkak Dulang
sambil menuding Paras Kencani. Jari yang menuding itu tiba-tiba keluarkan sinar
kecil bagai benang kaku yang melesat menuju dada Paras Kencani. Claaap...!
Sinar itu sangat kecil dan tipis, sehingga sukar dilihat oleh manusia biasa.
Bahkan pandangan mata Suto
Sinting hampir saja tak mampu melihat sinar tersebut.
Karenanya Paras Kencani tak sempat menangkis dan
menghindarinya. Juubs...!
"Uhg...!"
Sinar merah sebesar benang jahit itu tepat kenai
bawah pundak Paras Kencani. Hantaman sinar tersebut
membuat Paras Kencani jatuh terkulai bagai tanpa tulang sama sekali. Tubuhnya
yang sekal dan indah
mengeluarkan asap samar-samar.
Zaab...! Pawang Setan Binal bergerak dekati Paras
Kencani dengan gerakan bagaikan badai berhembus.
Tiba di samping tubuh Paras Kencani ia keluarkan
hardikannya lagi.
"Di mana kitab pusaka itu"! Jika kau tak mau
sebutkan, aku tak akan memberikan obat penawar racun
'Inti Mayat'. Selama ini tak ada orang yang dapat hidup lebih dari setengah hari
setelah terkena racun 'Inti Mayat'-ku itu! Katakan, kau simpan di mana kitab
itu"!"
"Buk... bukan ada padaku! Kitab itu... sudah direbut oleh... oleh...."
"Oleh siapa"!" desak Pawang Setan Binal dengan
bentakan serak. Paras Kencani tampak sukar keluarkan napasnya, namun ia berusaha
dengan susah payah agar
bisa bicara. "Kitab itu ada... ada pada... pada Perawan Titisan Peri!"
"Kucing Hutan"! Keparat bejat si Kucing Hutan!"
Zaaab...! Pawang Setan Binal melesat pergi bagaikan
badai menghembus. Gerakannya itu timbulkan kepulan
asap yang makin jauh semakin meruncing dan lenyap
sama sekali. Paras Kencani ditinggalkan begitu saja
tanpa diberi obat penawar racun seperti janjinya semula.
"Licik sekali dia...!" geram Suto Sinting sambil perhatikan ke arah lenyapnya si
Pawang Setan Binal.
Karena tak tega melihat keadaan Paras Kencani yang
masih tetap keluarkan asap dari kulit tubuhnya, Pendekar Mabuk segera keluar
dari persembunyiannya. Kersa
Gotri pun mengikuti dari belakang. Mereka mendekati Paras Kencani yang kesulitan
bernapas dengan wajah
pucat pasi. Melihat kedatangan Suto Sinting dan Kersa Gotri,
Paras Kencani tak punya pilihan lain kecuali mengeluh kepada mereka,
"Tolong... tolonglah aku. Jangan biarkan ragaku lumer dan menjadi busuk.... Oh,
tol.. tolonglah aku...!"
Kersa Gotri berkata pelan di samping Suto,
"Kabarnya, racun 'inti Mayat' dapat membuat korbannya menjadi lumer dan membusuk
bagaikan bubur bangkai.
Kurasa dia akan menjadi bubur bangkai dalam waktu tak lama lagi jika tak ada
obat yang bisa menawarkan racun
tersebut."
Pendekar Mabuk menggumam pendek, ia tampak
tenang sekali, seolah-olah tak punya perasaan iba sedikit pun., ia justru
menenggak tuaknya beberapa teguk. Glek, glek, glek...! Setelah itu baru
berjongkok dekati Paras Kencani dan berkata,
"Minumlah tuak ini sebelum kau menjadi bubur
bangkai. Walau belum tentu bisa menyelamatkan
jiwamu, tapi setidaknya kau punya pengalaman pernah
meminum tuaknya orang sinting sepertiku ini! Maukah kau ikut-ikutan sinting
denganku"!"
* * * 3 KERSA Gotri memang membantin, "Orang mau mati
malah diajak sinting bersama. Benar-benar konyol anak ini." Tapi gerutuan Kersa
Gotri menjadi sirna, berganti rasa heran yang terkagum-kagum manakala Paras
Kencani mau meminum tuak saktinya Suto Sinting, lalu asap yang mengepul dari
kulit tubuhnya itu berhenti.
Napas demi napas berikutnya, keadaan Paras Kencani
menjadi segar dan merasa bertulang kembali, ia mampu bangkit berdiri dalam
keadaan sehat. Bahkan merasa
lebih segar daripada sebelum bertemu Rangkak Dulang tadi.
"Luar biasa khasiat tuak itu?" pujinya dalam hati penuh kekaguman yang
disembunyikan. Kata hati pun berlanjut lagi, "Selama ini, setahuku memang tak pernah ada korban
yang mampu hidup jika
sudah terkena jurus racun 'Inti Mayat' milik si Rangkak Dulang itu. Tapi
kenyataannya aku bisa selamat dan
racun itu tak jadi membusukkan ragaku setelah minum
tuak si ganteng itu. Hmmmm... beruntung sekali aku
bertemu dengannya. Ternyata ia bukan pemuda yang
buta perasaan manusiawinya."
Pandangan mata saling beradu dalam jarak empat
langkah. Pendekar Mabuk sunggingkan senyum tipis
sebagai keramahan yang selalu menghiasi wajah
tampannya. Dalam keadaan begitu, ketampanannya
menjadi bertambah memikat hati lawan jenisnya. Tak
heran jika Paras Kencani menarik napas secara diam-
diam dan menahan perasaan gundah di dalam hatinya
yang seolah-olah ditaburi aneka bunga itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu. Aku berhutang nyawa padamu, Pendekar muda!"
"Namaku Suto Sinting," ucap Pendekar Mabuk dengan kalem, namun bernada sedikit
wibawa. "Sepertinya aku pernah mendengar nama itu," gumam Paras Kencani bagaikan bicara
pada dirinya sendiri.
"Apakah kau orang Perguruan Pasir Pitu?"
"Benar. Dari mana kau tahu, Suto Sinting?"
"Kersa Gotri yang mengatakan begitu padaku," jawab Suto
sambil melangkah menyamping berlagak
memandang ke arah lain.
Lanjut Suto lagi, "Kami tahu kau orang Perguruan Pasir Pitu, tapi kami tidak
tahu apa alasanmu mengikuti
langkah kami sejak tadi."
Paras Kencani menarik napas menutupi rasa malunya,
ia buang muka sebentar sambil mempertimbangkan
jawabannya. Dalam hati sempat terucap kata,
"Sebaiknya aku bicara terus terang saja pada
mereka." Lalu, mulutnya yang berbibir indah itu pun bergerak-
gerak lontarkan kata dengan nada tegas, pandangan
matanya tertuju ke arah Suto Sinting dan Kersa Gotri secara berganti-gantian.
"Aku mengenali Kersa Gotri sebagai orangnya Prabu Dasawalatama. Ketika ia
mengumumkan sayembara itu,
aku tertarik dan segera mengikutinya secara diam-diam, karena aku tak tahu di
mana negeri Kincir Bantala
berada." "Jadi kau ingin mengikuti sayembara itu?" potong Kersa Gotri. "Kau bisa
menghidupkan jenazah mendiang Kanjeng Prabu"!"
"Aku bukan sang Pembeli Hidup," jawab Paras Kencani bernada tegas. "Aku hanya
seorang guru dari sebuah perguruan yang sudah dihancurkan oleh Rangkak Dulang.
Tapi aku mempunyai tujuan yang sama dengan
Sunggarini, putri Dasawalatama itu."
"Tujuan sama bagaimana maksudmu?"
"Aku juga ingin menghidupkan murid-muridku yang telah dibantai oleh si Pawang
Setan Binal itu. Karenanya aku segera pergi untuk mencari di mana Dasawalatama
berada, karena sesungguhnya aku adalah sahabat
Dasawalatama semasa mudanya."
"Hahh..."!" Kersa Gotri terkejut, demikian pula Suto Sinting yang memandang
tajam dengan dahi berkerut.
"Kalau begitu usiamu sama dengan Kanjeng Prabu
Dasawalatama?"
"Benar, usiaku sejajar dengan Dasawalatama."
"Gila!" gumam Kersa Gotri. "Usia delapan puluh tahun seperti usia dua puluh
tujuh tahun! Pasti memakai ilmu awet muda!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut sambil tetap
memandang ke arah Paras Kencani. Yang dipandang
menjadi semakin gundah, hati berbunga-bunga resah,
akhirnya mencoba alihkan pandangan ke arah lain.
"Apa hubungannya Prabu Dasawalatama dengan
niatmu yang ingin menghidupkan kembali murid-
muridmu itu?" tanya Suto Sinting memecah keheningan yang terjadi selama empat
helaan napas itu.
"Dasawalatama bersahabat akrab dengan tokoh dari puncak Bukit Wangi yang bernama
Galak Gantung...."
"Siapa"! Galak Gantung..."!" Suto Sinting tersentak kaget, karena ia pun kenal
betul dengan tokoh yang
menjadi sahabat karib gurunya itu (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Pusaka Bernyawa").
"Apakah kau juga mengenal si Galak Gantung?"
"Aku sangat kenal dengan beliau, karena beliau adalah sahabat guruku. Tapi...
apa hubungannya dengan niatmu tadi?"
"Dulu aku pernah mendengar Galak Gantung
menitipkan sebuah pusaka kuno kepada Dasawalatama.
Pusaka itu milik keturunan Nyai Parisupit. Pusaka itu
bernama: Panji-panji Mayat atau Panji-panji Dewa.
Pusaka itu dapat menghidupkan kembali orang yang
telah mati. Bahkan jika pusaka itu dibawa melewati
kuburan, maka seluruh penghuni kuburan akan bangkit mengikuti Panji-panji Mayat
dan menjadi pengikut si
pemegang pusaka tersebut."
Hati pemuda tampan berhidung bangir yang punya
badan tinggi dan tegap itu menjadi berdebar-debar.
Sebab selama ini ia memang sedang memburu pusaka
Panji-panji Mayat untuk diserahkan kepada tiga saudara yang menjadi ahli waris
terakhir dari keturunan Nyai Parisupit. Tiga saudara itu adalah Dewi Hening,
Dewi Kejora dan Dewi Menik. Namun sampai sekarang
Pendekar Mabuk masih belum mengetahui siapa orang
yang dititipi pusaka itu sebenarnya, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Utusan Raja iblis").
"Jadi, menurutmu Galak Gantung adalah orang yang dipercaya untuk menyimpan
pusaka Panji-panji Mayat,
lalu pusaka itu dititipkan kepada Prabu Dasawalatama"!"
ujar Suto Sinting ingin meyakinkan kesimpulan hatinya.
"Benar," jawab Paras Kencani. "Sebab setahuku, Dasawalatama mempunyai ruang
rahasia yang tak bisa
dimasuki pencuri mana pun dan tak seorang pun walau
kesaktiannya sangat tinggi bisa memasuki ruangan
tersebut. Hanya Dasawalatama yang bisa memasuki
ruangan rahasia Itu. Aku yakin pusaka tersebut
tersimpan di dalam ruang rahasia itu."
"Tak mungkin," sangkal Kersa Gotri secara tiba-tiba.
"Jika Prabu Dasawalatama menyimpan pusaka Panji-
panji Mayat, tentunya Gusti Ayu Sunggarini tidak perlu membuka sayembara untuk
menghidupkan kembali
ayahandanya. Pasti Gusti Ayu akan menggunakan
pusaka Panji-panji Mayat itu untuk menghidupkan
kembali ayahandanya."
"Masuk akal sekali pemikiran Kersa Gotri itu," kata Suto kepada Paras Kencani.
"Justru aku ingin ke negeri Kincir Bantala untuk menemui Sunggarini setelah
kudengar Dasawalatama
telah mangkat. Aku perlu mengingatkan anak gadis si
Dasawalatama itu tentang adanya pusaka tersebut.
Pendekar Mabuk 059 Perawan Titisan Peri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tentunya aku pun ingin meminta bantuan padanya untuk membangkitkan jenazah
murid-muridku yang sebagian
besar masih kusimpan dalam ruangan hampa udara."
Pendekar Mabuk merasakan ada kebenaran dalam
pemikiran Paras Kencani, ia sempat menjadi bingung
sendiri menentukan langkah berikutnya.
Kersa Gotri segera berkata, "Kalau begitu, sebaiknya kita bersama-sama menghadap
Gusti Ayu Sunggarini
untuk membicarakan pusaka tersebut!"
Suto Sinting beradu pandangan mata sebentar dengan
Paras Kencani, setelah itu terdengar suaranya bernada lembut.
"Tak ada pilihan lain yang lebih baik kecuali
mengikuti saran Kersa Gotri."
Maka perjalanan menuju negeri Kincir Bantala
dilanjutkan kembali. Kali ini Kersa Gotri berjalan paling depan sebagai pemandu,
sementara Suto dan Paras
Kencani berjalan di belakangnya dalam jarak empat
langkah. Kersa Gotri bagaikan memberi kesempatan
kepada kedua insan itu untuk saling lebih mengakrabkan diri, karena ia merasakan
adanya pandangan aneh dari tiap tatapan mata Paras Kencani kepada Pendekar
Mabuk. "Aku memang mengaguminya," ujar Paras Kencani dalam hatinya. "Bahkan... aku
tertarik padanya. Tapi aku harus tetap menjaga wibawaku sebagai seorang guru
dari sebuah perguruan, walau perguruanku itu sekarang
dalam keadaan hancur. Aku harus bisa menyimpan
perasaan ini sampai kutahu bagaimana sikap sejatinya terhadapku. Bila perlu akan
kusimpan selamanya, tak perlu pemuda itu mengetahuinya."
Pendekar Mabuk perlambat langkah karena ia harus
meneguk tuaknya. Anehnya, secara tidak sadar langkah kaki Paras Kencani pun
ikut-ikutan berhenti, seakan ia tak ingin Pendekar Mabuk ketinggalan langkah.
"Kuperhatikan sejak tadi kau sebentar-sebentar
menenggak tuakmu, tapi tak kulihat kau menjadi mabuk.
Kapan kau akan mabuk sebenarnya?" tanya Paras
Kencani yang merasa heran melihat Suto Sinting tetap segar dan gagah walau minum
tuak cukup banyak.
"Aku tak pernah mabuk kecuali sedang dalam
pertarungan," jawab Suto Sinting sambil sunggingkan senyum yang jelas maknanya
bagi Paras Kencani.
"Barangkali kau termasuk...."
"Awaaass...!" sentak Suto Sinting sambil menarik lengan Paras Kencani. Perempuan
itu dibawanya berguling ke tanah dengan gerakan cepat.
Wuuutt...! Rupanya pada saat itu mata jeli Pendekar Mabuk
melihat kilatan benda yang melayang dari berbagai arah.
Benda-benda kemilau itu menyerang mereka dari
berbagai penjuru, seakan mengepung gerakan mereka.
Beruntung sekali Suto Sinting punya gerakan naluri
yang cukup tinggi, sehingga mereka berdua lolos dari lempengan logam berbentuk
piringan bergerigi.
Tetapi naas bagi Kersa Gotri yang tak sempat
menghindar dan jauh dari jangkauan tangan Pendekar
Mabuk. Dua piringan bergerigi menghantam leher dan
punggungnya. Zing, zing, zing, ziing...!
Cras, craaabs...!
"Aaahk...!" Kersa Gotri terpekik dengan suara tertahan. Tubuhnya limbung dengan
leher terkoyak nyaris terpotong.
"Kersaa...! Kersaaa....!" teriak Pendekar Mabuk yang menjadi tegang melihat
Kersa Gotri terkapar berlumur darah, ia bergegas hampiri Kersa Gotri, tetapi
tiba-tiba tiga piringan bergerigi melayang bersamaan dari kanan, kiri, dan
belakangnya. Zing, zing, ziiing...!
"Awass...!" pekik Paras Kencani yang segera lakukan lompatan dari keadaan duduk.
Wuuusss...! Traang,
blaaarr...! Piringan bergerigi yang hendak menghantam
punggung Suto Sinting berhasil ditebas dengan
pedangnya. Tebasan itu bukan saja menimbulkan suara
nyaring dan memancarkan bunga api, namun juga
menimbulkan ledakan yang mempunyai daya hentak
cukup kuat. Tubuh Paras Kencani sendiri terpental balik dan berguling-guling di
semak ilalang. Sementara itu Pendekar Mabuk segera lakukan
gerakan mirip orang mabuk; tubuhnya miring ke kiri
seperti mau tumbang, namun tangannya cepat
hantamkan bumbung tuak ke arah piringan yang datang
dari arah kanannya. Traak...! Zzziiing...!
Piringan yang datang dari kiri berhasil dihindari,
sedangkan piringan yang dihantam dengan bambu
tuaknya memantul balik dengan lebih cepat dari gerakan terbang aslinya. Piringan
bergerigi yang berbalik arah itu menghantam sebatang pohon besar.
Jegaaar...! Ledakan cukup dahsyat terjadi akibat benturan
senjata bergerigi dengan batang pohon. Ledakan itu
membuat batang pohon retak hebat, daun-daunnya
berguguran dan beberapa dahannya patah dengan
mengepulkan asap. Batang pohon itu sendiri menjadi
hangus bagai habis disambar petir.
"Kejadian itu membuat pemilik senjata menjadi
terbengong melompong, karena tak menduga senjatanya
dapat menimbulkan kekuatan sedahsyat itu. Bahkan si
pemilik senjata sempat bergumam dalam hati dari
persembunyiannya,
"Edan! Biasanya senjata itu hanya bisa memotong sebagian batang pohon dan
menjadikan pohon terkelupas kulitnya. Tapi mengapa sekarang senjata 'Cakra
Terbang' telah membuat pohon itu bagai disambar sepuluh petir murka"!"
Pendekar Mabuk tak jadi dekati Kersa Gotri, karena
setelah itu dari kerimbunan semak muncul beberapa
orang berpakaian hitam dengan garis-garis merah.
Mereka muncul dari berbagai arah, sehingga keadaan
Pendekar Mabuk dan Paras Kencani menjadi terkurung.
Mereka yang mengurung telah menggenggam senjata
masing-masing yang bukan dari lempengan piring
bergerigi. Tetapi di pinggang masing-masing masih
tampak tersimpan senjata piring bergerigi yang sewaktu-waktu dapat digunakan
sebagai pengganti pedang atau
golok pegangan mereka.
"Hati-hati, tampaknya mereka cukup ganas!" bisik Pendekar Mabuk kepada Paras
Kencani. Tapi perempuan
itu membalas bisikan dengan suara tenangnya.
"Aku tahu, mereka adalah orang Kadipaten Pusar
Langit. Mereka pasti menyangka kita memihak Kincir
Bantala." "Jika begitu, kita harus bagaimana, menurutmu"!"
"Sudah telanjur begini, sulit dihindari. Hadapi saja mereka!"
"Aku setuju sekali!" gumam Suto Sinting. "Tapi sebaiknya biarkan aku sendiri
yang menghadapi mereka.
Mundurlah dan lindungi si Kersa Gotri."
"Percuma, dia sudah tidak bernyawa."
"Ooh... celaka!" geram Pendekar Mabuk sambil matanya memandangi orang-orang yang
mengepungnya. Jumlah mereka ada sepuluh orang, dan masing-masing
mempunyai sorot pandangan mata sangat bermusuhan.
Tapi agaknya Suto Sinting ingin mencoba untuk
mengurangi timbulnya korban sia-sia dengan mencoba
berunding secara baik-baik.
Salah seorang dari mereka, yang berkalung tali hitam dengan bandul logam perak
berbentuk bunga matahari
itu berseru memberikan perintah kepada yang lain.
Agaknya orang berkalung perak dan berkumis lebat itu adalah ketua kelompok
tersebut. "Bunuh mereka berdua! Jangan ada yang tersisa!"
"Tunggu!" sentak Suto Sinting sambil mengangkat bumbung bambu yang talinya
melilit di tangan kanan.
"Kalian salah duga. Kami berdua bukan orang Kincir Bantala. Kami hanya akan
menjadi tamu di sana!"
"Persetan dengan alasan kalian! Seorang tamu bagi Kincir Bantala adalah seorang
musuh juga bagi Pusar
Langit!" "Kalau begitu kau saja yang berhadapan denganku.
Mengapa harus mengajukan anak buahmu" Apakah kau
takut mati lebih dulu dari anak buahmu"!" kata Suto Sinting sengaja memancing
kemarahan orang berkumis
lebat itu. Orang tersebut menyeringai dengan
menggeram marah.
"Bangsat kau! Heeeaat...!"
Wuuuss...! Orang berkumis itu melompat maju
dengan pedang menebas cepat. Sasarannya adalah leher Pendekar Mabuk yang akan
dipenggal seperti Kersa
Gotri itu. Tetapi Pendekar Mabuk bergerak limbung seperti
orang mabuk mau jatuh. Tiba-tiba gerakannya yang
miring ke kiri itu terhenti dan kakinya berkelebat cepat, lakukan tendangan
memutar bersama-sama diputarnya
tubuh, sedangkan bumbung tuaknya dihentakkan
melintang di atas kepala hingga pedang itu tertahan.
Traang...! Beehg...!
"Ouh...!" orang itu memekik, pinggangnya terkena tendangan keras yang membuat
napasnya bagai tersumbat dalam beberapa saat. Tubuh orang berkumis
itu terpental ke samping dan terguling-guling. Suto
Sinting cepat sentakkan bumbung tuaknya ke tanah, lalu tangannya bertumpu ujung
bumbung dan menghentak,
sehingga tubuhnya melayang berjungkir balik di atas
bumbung tuak itu, Wuuukk...!
Ketika ia mendaratkan kakinya di depan orang
berkumis yang baru saja hendak berdiri, bumbung
tuaknya ikut terbawa melambung dan dihantamkan ke
arah pundak lawan. Wuung...! Duuggh...!
Krraakk...! Terdengar suara tulang patah dengan jelas sekali.
Orang berkumis menjerit sekuat tenaga dengan tubuh
terkulai tak berdaya.
"Aaaa...!"
Mulutnya yang menganga keluarkan darah akibat
pukulan bumbung bertenaga dalam cukup tinggi. Suto
Sinting segera menginjak tangan kanan orang itu hingga pedangnya tak bisa
digunakan untuk menebas. Bumbung
tuak telah diangkat tepat di atas kepala orang yang jatuh telentang itu. Para
pengepung lainnya bergerak maju,
tapi segera tertahan begitu mendengar suara seruan Suto Sinting.
"Satu orang maju, kutumbuk hancur kepala ketua
kalian ini!"
Rupanya mereka takut dengan ancaman Suto yang
secara diam-diam dikagumi dalam hati masing-masing.
Akibat ancaman itu, mereka mundur pelan-pelan dengan wajah tegang.
"Buang senjata kalian! Buang semua!" seru Suto Sinting dengan wajah menampakkan
seakan benar-benar
ingin menumbuk kepala orang berkumis yang
mengerang tak berdaya.
Mereka membuang semua senjata, termasuk sisa
senjata di pinggang masing-masing berupa piring
bergerigi. "Semua berkumpul di depanku!" perintah Suto Sinting dengan mata memandang tajam
pada tiap-tiap wajah. Perintah tersebut dituruti oleh mereka demi
keutuhan kepala ketua mereka.
"Sekali kuingatkan kepada kalian, kami bukan orang Kincir Bantala. Kami hanya
orang-orang yang ingin
datang bertamu untuk suatu keperluan. Jika kalian
memusuhi kami, itu adalah tindakan yang amat keliru!
Kalian bisa mati tanpa guna!"
Masing-masing wajah dipandangi lagi dengan sorot
pandangan mata yang tajam. Paras Kencani sejak tadi hanya diam, memasang kuda-
kuda sebagai sikap siaga, tapi memberi peluang kepada Suto Sinting untuk
bertindak sekehendak hatinya. Mata perempuan itu pun
memandang sekeliling dengan jeli dan penuh waspada.
Karenanya, ketika orang berkumis yang mengerang
dalam keadaan sekarat itu berusaha mencabut pisau kecil dari pinggangnya dan
ingin ditancapkan ke betis Suto Sinting, dengan cepat Paras Kencani lepaskan
pukulan tenaga dalam berupa selarik sinar biru dari kedua ujung jarinya.
Claaap...! Sinar biru sebesar kelingking itu melesat dan mengenai tangan kiri
orang berkumis.
Zuuub...! Prraak...!
"Aaaauh...!"
Orang berkumis itu semakin memekik tinggi dan
panjang karena sinar biru itu telah membuat pergelangan tangan hancur hingga
tangan kirinya tidak bertelapak tangan lagi.
Rupanya sinar biru itu bukan hanya kenai tangan saja, melainkan, sebagian
sinarnya ada yang mengenai mata
kiri, sehingga mata itu pun hancur mengerikan dan
akhirnya orang tersebut tak mampu keluarkan teriakan lagi. Ia menghembuskan
napas terakhir setelah lima helaan napas terhitung sejak putusnya tangan kiri
itu. Hahhh.."! Mahesa Bakor mati"!" salah satu dari
mereka berseru tertahan karena menjadi lebih tegang
lagi. Pendekar Mabuk sendiri sebenarnya kecewa, karena
ia tidak bermaksud membuat orang berkumis itu mati.
Tetapi karena keadaan sudah telanjur begitu, maka ia segera berseru kepada
orang-orang kadipaten itu.
"Jika kalian tak segera pulang, maka kalian akan alami nasib seperti orang ini!"
Prajurit-prajurit kadipaten yang tergolong kelas
menengah itu menjadi ketakutan. Sebab setahu mereka, orang bernama Mahesa Bakor
itu adalah orang berilmu
tinggi yang jarang terkena pukulan lawan. Jika sekarang Mahesa Bakor tumbang
dalam waktu sesingkat itu, maka mereka berkesimpulan bahwa lawan mereka itu
orang berilmu tinggi. Dengan alasan melaporkan kepada sang Adipati, mereka pun
akhirnya melarikan diri tanpa
memungut senjata masing-masing.
"Mestinya tak perlu harus sampai mati," ujar Suto Sinting dengan suara tenang
kembali. Paras Kencani menjawab masih dengan nada ketus.
"Daripada ia melukaimu lebih baik kehilangan nyawa!
Apakah kau tak suka dengan tindakanku itu"!"
Sebaris napas ditarik dan dihembuskan lepas-lepas.
Pendekar Mabuk 059 Perawan Titisan Peri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, sudahlah! Tak perlu dimasalahkan lagi. Yang menjadi masalah sekarang adalah
bagaimana kita bisa sampai ke negeri Kincir Bantala jika penunjuk jalan kita
telah tak bernyawa"!"
"Kita cari semampu kita. Tak mungkin kita tak
berhasil menemukan negeri Kincir Bantala!"
"Seingatku, tadi Kersa Gotri berkata, kita akan menerabas hutan seberang lembah
ini, memotong jalan lewat sana. Apakah kau tidak keberatan menerabas hutan lebat
itu"!"
"Bersamamu tak pernah ada pekerjaan yang
memberatkan bagiku. Apa pun akan kulakukan selama
masih bersamamu," sambil matanya menatap lekat-lekat ke wajah Suto Sinting.
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tipis
dan keluarkan gumam lirih,
"Aneh...!" ia menahan geli dengan membuang muka ke arah lain.
* * * 4 SEBUAH desa tak seberapa luas dan hanya dihuni
oleh beberapa puluh penduduk telah menjadi tempat
persinggahan perjalanan Pendekar Mabuk. Petang yang
meremang menuju malam, bagai mulut raksasa siap
menelan bumi. Sebuah kedai menjadi sasaran sementara perjalanan Pendekar Mabuk
dan Paras Kencani.
"Kedai ini tampak sepi-sepi saja," bisik Paras Kencani kepada Suto Sinting saat
ia mulai duduk di
bangku panjang itu.
"Suasana desa juga terasa lengang," timpal Suto Sinting. "Hanya sedikit orang
yang keluar rumah, padahal kita masih di ujung petang, belum memasuki
pertengahan malam."
Pemilik warung yang bertubuh kurus dan agak
jangkung itu menyajikan pesanan mereka. Tentu saja
Suto Sinting memesan sepoci arak lebih dulu setelah itu baru menambah bumbungnya
dengan tuak yang baru.
"Mengapa suasananya sepi-sepi saja, Pak Tua?" tanya Paras Kencani.
"Memang beginilah keadaan desa kami sejak
peristiwa itu."
"Peristiwa apa"!" sambar Suto Sinting menjadi penasaran.
"Peristiwa pembantaian yang terjadi setiap malam, selama tujuh malam berturut-
turut." Pendekar Mabuk saling beradu pandang dengan Paras
Kencani. Dahi mereka sama-sama berkerut menandakan
rasa heran terhadap kabar tersebut. Lalu, Suto Sinting ajukan tanya kepada Pak
Tua pemilik kedai,
"Pembantaian apa sebenarnya, Pak Tua?"
"Entahlah," jawab Pak Tua dengan wajah murung.
"Keponakanku yang lelaki pun menjadi korban.
Darahnya bagai dihirup habis oleh si pembantai malam.
Kebanyakan para korban adalah lelaki dan mengalami
pengeringan darah."
"Pantas masih sesore ini mereka jarang berani keluar rumah," gumam Paras
Kencani. "Tentu saja mereka takut malam Iii terjadi
pembantain lagi," kata Pak Tua. "Yang lebih menyedihkan lagi, pembantain itu
dilakukan secara
terang-terangan, artinya walau ada saksi mata yang
melihat kejadian itu, si pembantai tak menggubrisnya sama sekali."
"Seorang ibliskah dia?" tanya Paras Kencani.
"Aku kurang paham tentang dia. Hanya saja,
beberapa orang yang menjadi saksi mata memberi
keterangan yang sama, bahwa si pembantai itu adalah
seorang perempuan cantik. Beberapa orang dari mereka ada yang mengatakan, bahwa
perempuan itu adalah
orang yang dikenal dengan nama Perawan Titisan Peri."
"Kucing Hutan!" sentak Suto seketika begitu mendengar nama Perawan Titisan Peri.
Ia segera ingat tentang seorang perempuan cantik yang tinggal di
Lembah Meong, karena ia memang pernah berhadapan
dengan perempuan yang berpakaian seronok itu, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Misteri
Bayangan Ungu").
"Aku juga pernah mendengar nama itu," kata Paras Kencani. "Tapi aku belum pernah
beradu muka dengan si Perawan Titisan Peri itu. Hanya saja, aku pernah mendengar
kabar bahwa perempuan aliran hitam itu
berilmu tinggi dan mempunyai kegemaran meminum
darah lelaki."
"Kabar yang kudengar juga begitu," kata Pendekar Mabuk. "Sejujurnya kukatakan
padamu, bahwa perjalanan kali ini sebenarnya dalam upaya memburu si Kucing Hutan alias Perawan
Titisan Peri."
Paras Kencani tampak terperanjat sesaat, matanya
memandang Suto Sinting lebih lekat lagi. Tanpa diminta untuk menjelaskan,
Pendekar Mabuk lebih dulu
menceritakan peristiwa pertemuannya dengan Perawan
Titisan Peri. Paras Kencani menjadi lebih terperanjat, karena Perawan Titisan
Peri ternyata ada hubungannya dengan persoalan Pusaka Panji-panji Mayat.
"Dia memburu pusaka itu, dan tampaknya memang
bernafsu sekali untuk memilikinya," ujar Suto Sinting yang segera meneguk tuak
dari cangkirnya.
"Rupanya kau pun termasuk orang yang memburu
pusaka Panji-panji Mayat!" kata Paras Kencani bernada
sesal yang terlalu kentara.
"Usahaku memburu pusaka itu bukan untuk kumiliki.
Aku hanya sekadar membantu keturunan Nyai Parisupit, yakni Dewi Hening, Dewi
Kejora, dan Dewi Menik.
Saat ini mereka berada di Lembah Sunyi, di kediaman
Resi Wulung Gading. Mereka sengaja kusarankan untuk
tetap di Lembah Sunyi, sementara aku berusaha
mendapatkan pusaka itu untuk kuserahkan kepada
mereka. Tapi sampai saat ini, aku belum tahu secara
pasti siapa penyimpan pusaka kuno itu sebenarnya."
Paras Kencani diam termenung, entah apa yang
berkecamuk dalam benaknya. Yang jelas di antara
mereka berdua terjadi kebisuan, sampai akhirnya datang seorang tamu kedai
berambut uban. Dia adalah seorang lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun
lebih, mengenakan jubah merah kusam dengan ikat kepala
pada rambutnya yang panjang sebahu berwarna hitam.
Tokoh tua itu menggenggam tongkat setinggi pundak
dengan ujung tongkat berbentuk tengkorak monyet.
Ia duduk dengan tenang, agak jauh dari tempat duduk
Suto Sinting dan Paras Kencani. Lelaki tua bertubuh
kurus itu memesan sepoci arak merah yang harganya
cukup mahal dan hanya sedikit dimiliki oleh si pemilik kedai. Pendekar Mabuk
sengaja memandang ke arah
tokoh tua yang duduk memunggmginya itu, tetapi Paras Kencani berpura-pura tidak
melihat kehadiran tokoh tua tersebut. Bahkan, perempuan itu bagaikan enggan
untuk palingkan wajah ke arah si tokoh tua. Namun saat orang itu tadi memasuki
kedai, sepasang mata bening Paras
Kencani sempat menatapnya sekilas, lalu buru-buru
palingkan wajah.
"Melihat penampilannya yang tenang dan
berkharisma, aku yakin ia bukan tamu kedai biasa. Pasti ia seorang tokoh berilmu
tinggi," bisik Suto Sinting kepada Paras Kencani. Wajah perempuan itu tampak
menyimpan kegelisahan, namun berusaha untuk tetap
tenang dan acuh tak acuh atas kehadiran tokoh berjubah merah itu.
Paras Kencani sempat berkata dalam nada membisik,
"Lupakan tentang dia."
"Hei, ada apa dengan dirimu" Mengapa kau
sepertinya tak mau memandang ke arahnya" Apakah kau
mengenalnya, Paras Kencani?"
Paras Kencani tidak langsung menjawab, ia melirik
pedangnya yang digeletakkan di atas meja, tepat di
samping kanannya. Di wajah cantiknya semakin terlihat keresahan yang berusaha
ditutup rapat-rapat dengan
ketenangan. Tetapi Pendekar Mabuk yang
memperhatikan wajahnya sejak tadi tak bisa dibohongi oleh ketenangan palsunya.
Pendekar Mabuk mengetahui
ada sesuatu yang tak beres dan menggundahkan hati
Paras Kencani, karenanya ia mendesak kembali dengan
pertanyaan yang sama,
"Siapa orang itu sebenarnya, Paras Kencani"!
"Ia dikenal dengan nama: Duta Raja."
"Mengapa kau tampak cemas sejak kehadirannya"
Apakah Duta Raja itu musuhmu"!"
Paras Kencani meneguk minumannya satu kali. Ia
bicara tanpa memandang Suto dan bersuara pelan,
hingga Pendekar Mabuk perlu memasang
pendengarannya tajam-tajam.
"Dia pernah menjadi kekasihku. Dulu kami ingin
hidup bersama. Tapi setelah kutahu dia adalah pengikut aliran Rangkak Dulang,
maka kuputuskan hubungan
cinta kasih kami sampai sekarang."
"Jadi... jadi dia muridnya Pawang Setan Binal?"
"Dia sahabat karibnya Pawang Setan Binal. Sampai sekarang kurasa dia masih
bersahabat erat dengan tokoh hitam itu. Kurasa sekarang pun ia dalam upaya
mencari kitab yang dulu diburu Rangkak Dulang. Pengabdiannya kepada Rangkak
Dulang akibat sumpahnya yang
berlebihan."
"Sumpah bagaimana?" desak Suto Sinting semakin ingin tahu.
"Dia pernah hampir mati terkena pukulan beracun yang sukar disembuhkan. Ketika
itu ia bersumpah,
barang siapa bisa selamatkan nyawanya, maka ia akan
mengabdi dan bersaudara dengan orang itu. Ternyata
Rangkak Dulang berhasil selamatkan nyawanya dari
racun ganas itu. Maka, jadilah ia sahabat sekaligus
pelayan si Pawang Setan Binal sesuai sumpah dan
janjinya."
Pendekar Mabuk manggut-manggut dengan gumam
kecil yang nyaris tak terdengar. Matanya melirik sekejap ke arah Duta Raja, dan
terkejut melihat Duta Raja
ternyata tidak meletakkan pantatnya di atas bangku.
Pantat Duta Raja mengambang di atas bangku, namun
tetap dalam keadaan seperti duduk menempel pada
bangku. "O, rupanya ia ingin pamer diri padaku bahwa ia berilmu tinggi. Tapi apa
perlunya ia pamer ilmu padaku"
Apakah karena ia cemburu melihatku berduaan dengan
Paras Kencani?" pikir Suto Sinting sambil sunggingkan senyum tipis nyaris tak
kentara. Pendekar Mabuk tetap tenang, meneguk tuaknya dari cangkir dengan santai
sekali. Duduknya semakin merapat mendekati Paras
Kencani, seakan biar tampak mesra.
Pergeseran duduk itu membuat Paras Kencani merasa
aneh dan heran, lalu ia melirik Pendekar Mabuk dengan curiga. Bahkan ia berbisik
lirih sekali, "Apa maksudmu merapatkan diri padaku?"
"Aku ingin tahu apa maksudnya datang ke kedai ini.
Sekadar kebetulan saja atau sengaja menguntitmu sejak tadi?"
"Ah, Suto... jangan memancing kemarahannya, aku bingung berpihak. Selama ini aku
berusaha menghindari pertikaian dengannya. Aku tak mau melawannya, namun
juga tak ingin diganggunya lagi."
"Apakah kau masih sayang padanya?"
"Aku memang tidak membencinya, Suto. Tapi aku
juga tidak ingin didekati olehnya selama ia masih
menjadi pengikut Rangkak Dulang. Apalagi kau tahu
sendiri, Rangkak Dulang hampir saja membunuhku
dengan racun 'Inti Mayat'-nya, aku semakin tak mau
berurusan dengan Duta Raja."
"O, ya... aku lupa menanyakan sebuah kitab pusaka
yang dikehendaki oleh si Pawang Setan Binal itu.
Tentunya kau tidak keberatan menceritakan tentang
kitab pusaka yang kalian perebutkan itu."
"Aku keberatan!" jawab Paras Kencani secara tegas dan jelas. Bahkan ia sempatkan
diri menatap lekat-lekat ke wajah pemuda tampan di samping kanannya itu.
Suto Sinting menjadi sedikit salah tingkah, tapi ia
segera menutupi perasaannya itu dengan sebuah
penjelasan yang merupakan alasan dari rasa ingin
tahunya. "Maksudku, jika aku tahu nama kitab pusaka itu, barangkah aku lebih bisa
membantumu menyelamatkan
diri dari ancaman Rangkak Dulang."
"Bagiku kitab itu sangat pribadi, Suto."
"Baiklah, mungkin memang sangat pribadi. Tapi
apakah kau benar-benar menyimpan kitab pusaka itu"
Jika memang tidak, mungkin aku akan mengambil sikap
lain dalam menghadapi Rangkak Dulang. Tapi jika kau
benar-benar menyimpan kitab pusaka itu, maka aku akan bertindak lebih tegas lagi
terhadap Pawang Setan Binal itu. Dan yang perlu diketahui, benarkah kau pemilik
kitab pusaka tersebut" Atau kau mempertahankan kitab itu untuk kepentingan
pribadimu sendiri?"
Tiba tiba terdengar suara yang menyahut dari
belakang mereka,
"Aku tahu di mana kau sembunyikan kitab itu, Paras Kencani!"
Pendekar Mabuk dan perempuan cantik dari
Perguruan Pasir Pitu itu terkejut mengetahui Duta Raja
sudah ada di belakang mereka. Kehadirannya bagaikan
hantu yang tahu-tahu menjelma tanpa suara dan tanda-
tanda apa pun. Pendekar Mabuk cepat pandangi wajah
Duta Raja yang tampak dingin tapi memancarkan
kecemburuan. Pendekar Mabuk sunggingkan senyum
nyengir sambil sedikit bergeser jauhi Paras Kencani.
Dengan wajah ketus Paras Kencani segera buang
muka, namun mulutnya lontarkan kata-kata untuk Duta
Raja, "Apa perlumu ikut campur dalam percakapan kami"!'
"Aku hanya ingin mengingatkan dirimu, bahwa
Rangkak Dulang tetap akan memburumu walau kau
berhasil selamat dari racun 'Inti Mayat' itu. Karena setahu Rangkak Dulang,
kaulah pencuri kitab pusaka
tersebut!"
"Persetan dengan apa pun yang akan kalian perbuat pada diriku! Aku sudah siap
menghadapi kalian berdua!"
tegas Paras Kencani, namun tetap tak mau memandang
langsung ke arah Duta Raja.
"Jangan libatkan aku dalam urusan kitab pusaka itu.
Sekalipun aku tahu di mana kau menyimpan kitab
tersebut, namun aku akan berlagak tidak mengetahuinya.
Semua kulakukan dengan menghormati masa mudaku
dan peristiwa indah yang pernah kita alami."
"Lupakan tentang peristiwa dan masa mudamu itu!
Semua kuanggap lelah musnah ditelan zaman. Jika kau ingin membantu Rangkak
Dulang untuk memperoleh
Pendekar Mabuk 059 Perawan Titisan Peri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kitab itu, kau boleh saja beradu kesaktian denganku!
Kapan pun kau mau, aku siap menghadapimu atau si
Pawang Setan Binal itu!"
Kali ini Paras Kencani memang mengadu pandangan
mata dengan Duta Raja untuk menunjukkan sikap
permusuhannya. Keadaan Paras Kencani pun telah
berdiri di luar bangku, tangan kirinya telah
menggenggam pedang yang sewaktu-waktu siap dicabut
untuk melawan Duta Raja. Tetapi dalam hatinya masih
timbul rasa tak tega jika harus melukai mantan kekasih itu. Duta Raja sendiri
hanya diam saja dengan tongkat di tangan kanan. Pandangan matanya yang berkesan
dingin itu belum mau lepas dari wajah Paras Kencani.
Kesunyian yang mengandung ketegangan itu tiba-tiba
buyar oleh suara jeritan dari luar kedai.
"Aaaa...!"
Semua terkejut, termasuk Pak Tua pemilik kedai.
Wajah Pak Tua menjadi pucat pasi dan lebih tegang lagi, karena ia segera berkata
bagai bicara pada dirinya sendiri,
"Pasti korban si Perawan Titisan Peri itu!"
Mendengar ucapan Pak Tua, dengan cepat Suto
Sinting melompat tinggalkan kedai tanpa permisi lagi.
Wuuutt...! Paras Kencani terperanjat melihat Pendekar Mabuk berkelebat cepat, ia
segera berkata kepada Pak Tua, pemilik kedai,
"Nanti kami kembali lagi!"
Wuuutt...! Paras Kencani pun ikut-ikutan melesat
pergi menyusul Suto Sinting, ia tak peduli lagi dengan si Duta Raja yang merasa
dongkol karena ditinggal pergi begitu saja. Paras Kencani hanya membatin dalam
hatinya, "Jangan sampai Suto terluka oleh keganasan si
Perawan Titisan Peri! Aku tak ingin si tampan itu
celaka!" Sampai di tempat kejadian, ternyata yang terbunuh
seorang perempuan muda dalam keadaan setengah bugil.
Perempuan itu adalah pengantin baru yang mati terkapar di pelataran rumahnya.
Menurut kabar dari pihak
orangtua perempuan itu, seorang perempuan lain telah membawa lari suami
perempuan itu saat mereka berdua
sedang di kamar mandi.
"Perempuan itu jelas perempuan yang kemarin
membunuh Sumpana," kata ayah korban. "Dia adalah si Perawan Titisan Peri!"
"Lari ke arah mana dia?" tanya salah seorang sesepuh desa.
"Ia berkelebat ke arah timur dengan cepat bagai menghilang."
Pendekar Mabuk menarik napas memandang ke arah
timur. Dalam benaknya sempat berkata
"Berarti Kucing Hutan bersembunyi tak jauh dari desa ini. Mungkin ia
meninggalkan Lembah Meong
karena suatu alasan tertentu. Tapi... haruskah aku
mengejarnya jika keterangan Paras Kencani itu memang benar, bahwa pusaka Panji-
panji Mayat disimpan di
ruang rahasia yang hanya bisa dimasuki oleh mendiang Prabu Dasawalatama"!"
Ada keraguan yang timbul di hati Pendekar Mabuk.
Rasa percaya dengan keterangan Paras Kencani menjadi
berkurang karena suatu pertimbangan yang baru saja
muncul dalam otaknya.
"Saat Paras Kencani dipaksa oleh Rangkak Dulang untuk serahkan kitab pusaka, ia
mengatakan kitab itu ada di tangan Perawan Titisan Peri. Tetapi saat kusebutkan
nama Perawan Titisan Peri, ia mengaku pernah
mendengar nama itu namun belum pernah bertatap muka
dengan Perawan Titisan Peri. Mana yang benar" Jika
memang kitab itu ada di tangan Perawan Titisan Peri, tentunya Paras Kencani
pernah beradu muka dengan
perempuan peminum darah itu. Mengapa ia harus
berbohong padaku"!"
* * * 5 TOKOH tua berjubah merah kusam muncul di tempat
pembunuhan. Kala itu Pendekar Mabuk sedang bergegas
untuk kembali ke kedai. Tetapi belum jauh dari rumah korban sudah berpapasan
dengan Duta Raja.
Sikap dari Duta Raja yang berhenti di depan langkah
Pendekar Mabuk menimbulkan kecurigaan tersendiri
bagi pemuda tampan itu. Dengan tetap menjaga
ketenangan sikapnya, Pendekar Mabuk sengaja hentikan langkah tiga tindak di
depan Duta Raja. Cahaya
rembulan samar-samar menyinari wajah-wajah mereka.
"Ada yang ingin kubicarakan padamu, Anak muda,"
kata Duta Raja dengan nada tak ramah.
"Apakah kau ingin bicara tentang kitab pusaka yang
dicari oleh majikanmu; si Pawang Setan Binal itu"!
Kalau benar kau ingin bicara denganku tentang kitab
tersebut, sebaiknya urungkan saja niatmu itu. Aku tak pernah tahu tentang kitab
tersebut."
"Ada yang lebih penting kau dengar dari kitab pusaka itu."
"Katakanlah, aku tak punya banyak waktu untuk
bicara, karena aku tak mau terlalu lama meninggalkan Paras Kencani."
"Dia sudah pergi dari kedai!"
Pendekar Mabuk berkerut dahi, diliputi perasaan
bimbang. Duta Raja berkata lagi dengan suaranya yang juga bernada dingin.
"Pasti dia pergi searah dengan kepergian si Perawan Titisan Peri."
"Dari mana kau tahu?"
"Naluriku mengatakan demikian," jawab Duta Raja.
"Paras Kencani bersekutu dengan Perawan Titisan Peri.
Dia mendapat tugas mencari pusaka Panji-panji Mayat."
Jantung terasa bagai ditarik seketika. Pendekar
Mabuk nyaris tersedak karena kaget mendengar ucapan
Duta Raja tentang Paras Kencani.
Duta Raja sedikit menjauh, memandang purnama
yang mengintip di balik mega. Tapi suaranya terdengar jelas ke telinga Pendekar
Mabuk. "Rangkak Dulang membantai habis anak buahnya dan menghancurkan Perguruan Pasir Pitu. Paras Kencani
kalah tanding dengan Rangkak Dulang, lalu bergabung
dengan Perawan Titisan Peri. Ada dua tujuan yang ingin
dicapai oleh Paras Kencani. Pertama, ingin meminjam
kekuatan si Kucing Hutan untuk membalas dendam
kepada Rangkak Dulang. Kedua, ingin mendapat
perlindungan dari Kucing Hutan untuk mendapatkan
Panji-panji Mayat, karena ia ingin menghidupkan
kembali murid-muridnya yang terbantai oleh Rangkak
Dulang." Duta Raja berpaling memandang Pendekar Mabuk
yang masih tertegun bengong, antara percaya dan tidak mendengar penjelasan
tersebut. Duta Raja mendekati
Pendekar Mabuk dan berkata,
"Hati-hati dengan perempuan itu. Dia bukan saja licin bagaikan belut, tapi juga
licik bagaikan ular!"
"Haruskah aku mempercayai kata-katamu, Duta
Harpa Iblis Jari Sakti 25 Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi Pedang Hati Suci 10
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 DENGAN didampingi dua ekor kuda di kanan-
kirinya, lelaki berbaju merah itu menabuh bende
berulang-ulang sambil serukan kata. Tiga kuda tersebut berjalan dengan santai
menyusuri jalan pedesaan. Si
penabuh bende yang menunggang kuda berbulu coklat
muda itu mengenakan ikat kepala kaku dari bahan kain bercampur logam yang
menjadi simbol sebuah kerajaan.
"Wara-wara... wara-wara...!" serunya dengan suara lantang dan garang. Para
penduduk desa hentikan kerja mereka hanya untuk mendengarkan 'wara-wara' alias
pengumuman yang dibawakan oleh si penabuh bende
itu. "Gusti Ayu Sunggarini, putri dari Prabu
Dasawalatama, membuka sayembara untuk umum.
Barangnya siapa...."
"Husy, bukan 'barangnya' siapa, tapi 'barang' siapa!"
potong pengawal di samping kirinya.
"Maaf, keliru sedikit!" seru si penabuh bende. Ia mengulang kata-katanya kembali
setelah bende ditabuh tiga kali.
Mung... mung... mung....
"Wara-wara. Gusti Ayu Sunggarini, putri mendiang Prabu Dasawalatama, membuka
sayembara untuk
umum. Barang siapa bisa menghidupkan kembali
jenazah Prabu Dasawalatama, jika perempuan akan
dijadikan kakak angkatnya dan berhak menerima
sebagian warisan dari negeri Kincir Bantala, jika lelaki akan dijadikan suami
tercinta Gusti Ayu Sunggarini!"
Mung, mung, mung...!
"Sekali lagi, barang siapa bisa menghidupkan
kembali jenazah Prabu Dasawalatama, ayahanda Gusti
Ayu Sunggarini, maka jika orang itu lelaki akan
dijadikan suaminya, jika orang itu perempuan akan
diangkat sebagai kakak tertua Gusti Ayu Sunggarini!"
Orang-orang yang mendengar pengumuman itu saling
berkasak-kusuk. Bahkan ketika petugas menyebar
pengumuman dari kerajaan Kincir Bantala itu berhenti di bawah pohon rindang,
tepat di tengah desa tersebut,
mereka bertiga dikerumuni oleh para penduduk desa.
Mereka yang berkerumun saling ajukan tanya dan saling membicarakan pengumuman
itu antara yang satu dengan
yang lainnya. "Apakah Prabu Dasawalatama, raja dari Kincir
Bantala itu telah meninggal dunia"!" tanya salah seorang penduduk.
Penabuh bende menjawab, "Kalau belum tewas tidak akan mendapat julukan
'jenazah', Tolol! Makanya
dikatakan 'jenazah' karena Kanjeng Prabu telah
meninggal dunia akibat sakit."
"Kenapa tidak segera dimakamkan saja"!" seru salah seorang lagi.
"Gusti Ayu Sunggarini telah membalsam jenazah
ayahandanya dan bermaksud membangkitkannya
kembali. Tetapi sampai sekarang, belum ada satu orang sakti mana pun yang mampu
menghidupkan kembali
Kanjeng Prabu Dasawalatama. Maka-nya Gusti Ayu
Sunggarini mengadakan sayembara untuk kalian semua.
Ayo, siapa saja yang merasa mampu menghidupkan
kembali sang Prabu akan dijadikan suami Gusti Ayu
Sunggarini, atau diangkat sebagai saudara tua Gusti Ayu Sunggarini dan mendapat
hak waris sama seperti anak
kandung keluarga Prabu Dasawalatama!"
Salah satu dari penduduk yang berkumpul di bawah
pohon itu ada seorang pemuda berpakaian celana putih dan baju tanpa lengan warna
coklat. Anak muda
berambut panjang sepundak tanpa ikat kepala itu dari tadi memperhatikan si
penabuh bende dan dua
pengawalnya. Anak muda itu membawa bambu sedepa
yang menjadi tempat menampung tuak. Siapa lagi
pemuda tampan itu selain si murid sintingnya Gila Tuak yang bernama Suto Sinting
alias Pendekar Mabuk.
Di samping Suto Sinting berdiri pula dua orang lelaki
berusia sekitar tiga puluh tahun, yang satu mengenakan pakaian hitam dan
berbadan kurus, yang satu berpakaian hijau berbadan agak gemuk. Tiba-tiba saja
yang berpakaian hijau berkata sambil menuding Suto Sinting.
"Nah, anak muda ini cocok sekali jadi suami Gusti Ayu Sunggarini!"
Yang berpakaian hitam menyahut, "O, iya!
Ketampanannya sangat serasi dengan kecantikan Gusti
Ayu Sunggarini. Cuma sayang, dia kumal dan hanya
sebagai pedagang tuak keliling."
"Lho, biar sebagai pedagang tuak keliling, kalau memang bisa menghidupkan Prabu
Dasawalatama, tentunya dia akan diangkat menjadi suami Gusti Ayu
Sunggarini."
"Iya, ya...!" kata si baju hitam, ia segera bicara kepada Suto.
"Hei, Anak muda...! Ikutlah sayembara itu. Siapa tahu kau beruntung, kau bisa
menjadi suaminya Gusti Ayu
Sunggarini. Jujur saja kukatakan padamu, ya... menjadi
'suami angkat' putri seorang raja itu enak lho! Kau ingin apa saja bisa
terkabul. Bahkan mungkin kau bisa
menjadi raja di negeri Kincir Bantala itu."
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum
keramahan. Wajahnya yang ganteng itu memandang dua
orang tersebut dengan sikap bersahabat.
"Kang, kurasa sayembara ini terlalu mengada-ada.
Orang sudah mati kok disayembarakan"! Aku sama
sekali tidak tertarik dengan sayembara ini."
"Tentu saja kau tidak tertarik, karena kau tak punya
kesaktian yang bisa membangkitkan mayat orang yang
sudah mati!" ujar si baju hijau.
Suto Sinting justru tertawa pelan, lalu berkata kepada si baju hitam,
"Katakan kepada si penabuh bende itu; di sini tidak ada dewa penyambung nyawa!
Kalau mau cari dewa
penyambung nyawa, suruh mereka pergi ke kayangan
dan menemui dewa yang punya urusan soal nyawa."
Setelah berkata begitu, Pendekar Mabuk tinggalkan
tempat itu dengan santainya. Delapan langkah kemudian ia berhenti untuk
menenggak tuak dari bumbung yang
dibawanya, kemudian berjalan lagi menjauhi kerumunan orang.
Namun tiba-tiba langkahnya menjadi terhenti kembali
karena mendengar derap langkah kaki kuda yang datang dari arah timur. Derap kaki
kuda itu terdengar bukan hanya seekor, melainkan lebih dari tiga ekor. Hal itu
menarik perhatian Pendekar Mabuk, sehingga murid si
Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu segera palingkan
wajah, memandang ke arah datangnya derap kaki kuda.
Debu berhamburan membentuk kabut samar-samar.
Ternyata yang datang bukan tiga ekor kuda, melainkan delapan ekor kuda yang
berlari cepat menuju kerumunan orang.
"Siapa mereka itu" Tampaknya ada niat tak beres dalam benak mereka," pikir Suto
sambil melangkah ke arah bawah pohon lain yang tumbuh di depan sebuah
kedai nasi. Dari sana ia memperhatikan kedelapan orang tersebut yang membuat
kerumunan menjadi bubar
karena takut diterjang kuda mereka.
Delapan kuda itu ternyata tidak berhenti, melainkan
tetap berlari cepat menerjang tiga utusan dari kerajaan Kincir Bantala. Tiga
orang dari rombongan berkuda
ganas itu mencabut pedang dan tiba-tiba pedang itu
ditebaskan ke arah tiga orang utusan dari Kincir Bantala.
Wees, weees, wees...! Cras, cras...!
"Aaaa...!"
Pekikan keras datangnya dari para penduduk yang
berada jauh dari tempat tersebut. Sebagian orang
memekik, sebagian lagi tertegun bengong tanpa bisa
bicara, manakala mereka melihat dua pengawal penabuh bende itu kehilangan
kepalanya dalam waktu yang amat singkat. Rombongan delapan penunggang kuda yang
semuanya berpakaian seragam hitam bergaris-garis
merah itu melaju bersama kuda mereka tanpa henti.
"Gilaaa..."!" gumam Suto Sinting dengan melongo.
Dua kepala yang terpisah dari raganya itu
menggelinding di tanah dengan darah berhamburan ke
mana-mana. Tetapi rupanya si penabuh bende punya
keberuntungan tersendiri, ia terkapar masih bernyawa, namun dadanya terluka
karena sabetan pedang,
sementara kepalanya bocor dan beberapa tulangnya
patah karena terinjak-injak kuda saat ia jatuh ke tanah.
Orang itu hanya bisa mengerang dengan suara pelan
sekali, nyaris tak terdengar karena ramainya jerit dan kekacauan masyarakat desa
yang diiiputi rasa takut itu.
"Mereka memenggal kepala dua orang Kincir
Bantala" ujar seseorang dari depan kedai, tepat di
belakang Pendekar Mabuk.
"Tentu saja, sebab mereka orang-orang Kadipaten Pusar Langit," sahut orang yang
satunya lagi, membuat Suto Sinting berpaling memandang mereka karena
tertarik dengan percakapan itu.
"Yang mana orang Kadipaten Pusar Langit itu,
Paman?" tanya Suto Sinting kepada lima orang yang ada di depan kedai itu.
"Itu tadi, yang jumlahnya delapan orang tadi!" jawab salah satu dari lima orang
tersebut. Temannya menimpali, "Kadipaten Pusar Langit
adalah musuh bebuyutan Kerajaan Kincir Bantala. Setiap saat dan kapan saja
mereka bertemu pasti saling bunuh!"
Ada yang berseru, "Lihat, si penabuh bende masih hidup!"
Semua mata tertuju pada si penabuh bende. Orang itu
berusaha untuk bangkit dengan merangkak, namun
keadaannya sangat lemah. Pendekar Mabuk segera
menghampirinya disusul dengan empat-lima orang yang
mendekati si penabuh benda dengan waswas.
"Oouh... oooh... bendeku... bendeku mana tadi..:"!"
ratap si penabuh bende sambil menyeringai menahan
rasa sakit. Tanpa bicara sepatah kata pun, Pendekar Mabuk
segera mengangkat tubuh si penabuh bende dan
membawanya ke kedai. Celoteh si penabuh bende
berhamburan bersama erangan rasa sakitnya, ia
dibaringkan di 'lincak', tempat duduk dari anyaman
bambu yang ada di teras kedai.
"Uuhg...! Aduuuh... oooh... bendeku mana...
pemukulnya mana... oooh... tubuhku sakit sekali!
Bendeku rusak apa tidak, tolong selamatkan bende-
ku...." Salah seorang yang mengerumuninya berseru,
"Selamatkan dulu nyawamu, jangan pikirkan bende-mu, Tolol!"
Pendekar Mabuk segera membuka tutup bumbung
tuaknya. Kemudian ia menyuruh si penabuh bende
meminum tuak itu.
"Minumlah tuakku. Minumlah walau sedikit biar rasa sakitmu berkurang," bujuk
Suto Sinting dengan suara pelan.
Ada yang menggerutu di belakang Suto, "Bocah ini otaknya di mana"! Orang sakit
dan terluka separah itu malah disuruh minum tuak" Kalau mau mabuk jangan
ajak-ajak orang sekarat begitu! Kasihan dia! Bukannya diobati tapi malah mau
diajak mabuk-mabukan!"
Tetapi tak satu pun kata-kata kecaman itu dipedulikan oleh Suto Sinting. Si
penabuh bende tetap dibujuk untuk meminum tuak tersebut, sampai akhirnya orang
tersebut mau meminum tuak tiga teguk.
Glek, glek, glek...!
"Uuhk, uhuk, uhuk, uhuk...!" si penabuh bende terbatuk-batuk. Orang saling
berceloteh mengecam Suto Sinting, tapi tak satu pun kecaman itu dilayani dengan
sanggahan. Kecaman itu mulai berhenti setelah mereka saling
terbengong melihat luka di dada si penabuh bende
berasap tipis dan bergerak-gerak merapat sendiri.
Semakin lama semakin rapat daging yang robek
terkoyak itu, sampai akhirnya menjadi utuh seperti
semula. Luka itu lenyap bersama sisa darah yang semula berlumuran di tubuh si
penabuh bende. "Edan! Luka itu bisa hilang dalam waktu singkat dan tak membekas sedikit pun"!"
Pakaian yang robek memang masih robek, tapi
seluruh luka yang ada di tubuh si penabuh bende itu
sirna tanpa bekas. Darah yang berceceran bagaikan
menguap dalam waktu singkat. Wajah si penabuh bende
tak terlihat sepucat tadi. Bahkan orang tersebut mampu bangkit dan duduk
memandang heran sekujur tubuhnya.
"Lho... ke mana lukaku tadi"!" ujarnya dengan bingung. "Rasa sakitku..." Rasa
sakitku kok ikut-ikutan hilang" Kenapa tak ada rasa perih atau panas sedikit
pun, ya"!"
Mereka tidak ada yang tahu bahwa tuak yang ada di
bumbung bawaan Suto Sinting itu adalah tuak sakti.
Melalui tuak itu pula Suto mendapat julukan dari
beberapa orang yang mengenalnya sebagai Tabib Darah
Tuak. Tentu saja mereka terheran-heran melihat
keampuhan tuak tersebut, walau sebenarnya yang
mempunyai kesaktian bukan terletak pada tuaknya,
melainkan pada bumbung bambu itu yang sebenarnya
adalah jelmaan dari tokoh sakti eyang gurunya si Gila Tuak yang bernama:
Wijayasura (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Pedang Guntur Biru").
"Anak muda itu ternyata punya kesaktian tinggi"!"
bisik salah seorang kepada temannya. Kasak-kusuk
segera terjadi di antara mereka. Namun Suto Sinting
tetap tidak peduli dengan kasak-kusuk itu. Bahkan tidak punya rasa bangga
sedikit pun. Perhatiannya justru
tertuju pada si penabuh bende.
"Kusarankan agar sebaiknya kau pulang ke negerimu dan suruh gusti ayu-mu itu
membatalkan sayembara itu."
Penabuh bende yang belum sadar bahwa nyawanya
telah diselamatkan oleh Suto Sinting segera memandang dengan dahi berkerut,
bersikap kurang suka mendengar saran Suto. Dengan nada ketus orang itu berkata;
"Enak saja kau menyuruhku begitu. Apa
kepentinganmu, sehingga berani menyarankan agar gusti ayu-ku membatalkan
sayembara itu"!"
"Ayahanda gusti ayu-mu sudah wafat. Biarlah beliau tenang di alam kelanggengan
sana dengan cara
Pendekar Mabuk 059 Perawan Titisan Peri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
disemayamkan baik-baik. Tak perlu disayembarakan
untuk dihidupkan kembali. Setiap manusia mempunyai
dua kodrat yang tak dapat disanggah lagi; lahir dan mati, datang dan pergi.
Katakan begitu kepada gusti ayu-mu."
"Katakanlah sendiri, aku tak berani mengajukan saran seperti itu!" orang
tersebut bersungut-sungut, lalu segera hendak pergi mencari bendenya.
"Hei, tunggu...!" cegah Suto Sinting. "Bawalah aku menghadap gusti ayu-mu, aku
akan bicara sendiri
tentang saranku tadi!"
Si penabuh bende memandang Suto Sinting dengan
keheranan semakin tinggi. Namun sebelum ia bicara,
tiba-tiba seorang lelaki tua berusia enam puluh tahun
yang rambutnya tak begitu banyak beruban itu segera
perdengarkan suaranya di belakang Suto Sinting.
"Anak muda, kusarankan agar kau tak perlu terlibat urusan dengan orang-orang
Kincir Bantala. Sebab kau
akan berurusan dengan orang Kadipaten Pusar Langit
yang kabarnya sekarang sedang mengumpulkan orang-
orang sakti yang dibayar untuk menumbangkan kerajaan Kincir Bantala. Kau bisa
menjadi korban mereka, Anak muda."
Mendengar ucapan itu, si penabuh bende tergugah
rasa pengabdiannya terhadap negerinya, ia segera
berkata kepada Suto Sinting,
"Jangan dengarkan omong kosong itu. Mari kuantar menghadap Gusti Ayu Sunggarini.
Orang-orang Kadipaten Pusar Langit hanya mengumpulkan manusia
rongsokan yang tak punya daya dan kekuatan apa-apa!
Jangan takut dengan orang-orang Pusar Langit, mereka hanya berani main bokong!
Sampai kapan pun mereka
tak akan mampu menumbangkan kerajaan Kincir
Bantala!" Orang tua itu hanya memandang Suto Sinting dengan
pundak menghentak naik satu kali, sebagai ganti ucapan,
"Terserah kau sajalah, Nak!"
Sedangkan Suto Sinting hanya diam dalam keraguan
yang penuh pertimbangan batin.
* * * 2 PENABUH bende itu mengaku bernama Kersa Gotri.
Bekerja sebagai 'abdi dalem' di istana Kincir Bantala selama tujuh tahun.
Sekarang usianya sudah mencapai
tiga puluh lima tahun.
"Aku bukan seorang prajurit kerajaan, tetapi termasuk pelayan keluarga Kanjeng
Prabu Dasawalatama,"
ujarnya kepada Suto Sinting ketika mereka dalam
perjalanan menuju negeri Kincir Bantala.
Mereka sama-sama berjalan kaki, karena kuda
berbulu coklat tunggangan Kersa Gotri telah melarikan diri saat diterjang
delapan ekor kuda tunggangan orang kadipaten. Sedangkan dua ekor kuda milik
pengawal yang terpenggal itu pun tak dapat digunakan lagi, yang satu kakinya patah karena
jatuh, dan yang satunya lagi berlari liar bersama kuda tunggangan Kersa Gotri.
Namun sebagai orang suruhan raja yang tugasnya ke
sana-sini, termasuk mengirim surat atau menyebarkan
pengumuman, Kersa Gotri tahu jalan pintas menuju
negerinya. Jalan pintas itu ditempuh dengan cara menyusuri kaki gunung yang berhutan tak
seberapa lebat.
"Sang Prabu wafat tujuh hari yang lalu. Sampai
sekarang jenazahnya masih diawetkan oleh Gusti Ayu
Sunggarini dengan cara dibalsam. Tindakan itu
dilakukan oleh Gusti Ayu karena Gusti Ayu masih
berharap ayahandanya bisa dibangkitkan lagi dari
kematiannya."
"Apakah Gusti Ayu Sunggarini belum menyadari
adanya kematian sebagai kodrat tiap manusia yang tak bisa ditolak lagi?"
"Semua punggawa negeri sudah mengingatkan hal
itu, tapi Gusti Ayu tetap bersikeras bahwa ayahnya harus hidup lagi. Seakan ia
tak bisa menerima kenyataan atas kematian tersebut. Gusti Ayu sangat mencintai
sang Prabu, karena ia anak tunggal yang dimanjakan oleh
ayahandanya."
"Bagaimana dengan ibunya?" tanya Suto sambil tetap melangkah.
"Ibunya sudah wafat sejak Gusti Ayu berusia sepuluh tahun, jadi cinta kasih yang
diterima Gusti Ayu lebih banyak dirasakan datang dari sang Ayah."
"Mengapa dia sampai bersedia menjadi istri
pemenang sayembara itu" Apakah ia belum bersuami?"
"Memang belum, Gusti Ayu merasa belum puas
mengabdi dan melayani ayahandanya, sehingga beliau
tak berminat untuk bersuami. Jika beliau bersuami,
beliau takut perhatian dan kasih sayang untuk
ayahandanya menjadi berkurang."
"Sungguh besar kesetiaan dan rasa baktinya kepada sang Ayah. Seandainya...."
Tiba-tiba kata-kata Pendekar Mabuk terhenti dengan
sendirinya. Langkah kakinya pun ikut terhenti, sehingga Kersa Gotri berpaling
memandangnya dengan heran.
"Ada apa, Suto?" tanyanya pelan, ia tahu pemuda yang bersamanya bernama Suto
Sinting, tapi ia belum tahu bahwa Suto Sinting adalah Pendekar Mabuk yang
ilmunya cukup tinggi hingga dikatakan berilmu sinting.
"Aku mendengar suara langkah kaki di belakang kita.
Agaknya ada orang yang ingin menguntit perjalanan
kita, Kersa Gotri," bisik Suto sambil matanya melirik ke samping kanan.
"Aku tidak mendengar suara apa-apa," balas Kersa Gotri dalam bisikan. Ketika ia
ingin berpaling ke
belakang, Suto Sinting buru-buru menahannya dengan
berkata, "Jangan menengok ke belakang, biar kita dianggap tidak tahu apa-apa. Jalan terus
saja, nanti setelah
melewati batu besar itu kita segera bersembunyi di balik batu tersebut."
Pendekar Mabuk mencekal lengan Kersa Gotri dan
setengah menarik agar berjalan kembali. Jurus 'Lacak Jantung' segera
dipergunakan oleh Pendekar Mabuk,
sehingga murid si Gila Tuak itu dapat mendengar suara detak jantung orang lain
yang ada di belakangnya. Detak jantung itu hanya satu jenis, berarti hanya ada
satu orang yang, mengikutinya dari belakang.
Wees...! Zlaap...!
Gerakan cepat melebihi anak panah yang melesat dari
busur itu dilakukan Pendekar Mabuk dengan
menggunakan Jurus 'Gerak Siluman'-nya. Tangannya
sempat menyambar tubuh Kersa Gotri, sehingga mereka
berdua tampak seperti menghilang ditelan bumi. Tapi
sebenarnya mereka bersembunyi di balik gugusan batu
besar yang tingginya melebihi sebuah rumah.
"Kenapa kita tiba-tiba ada di sini?" bisik Kersa Gotri dengan heran, karena ia
merasa terhempas terbang dalam
sekejap. "Kita bersembunyi di sini dulu. Aku ingin tahu siapa orang yang menguntit kita
itu." "Tapi aku merasa...."
"Ssstt...!" potong Suto Sinting sambil berusaha membekap mulut Kersa Gotri.
Batu besar itu mempunyai celah sempit yang hanya
cukup dimasuki oleh satu orang. Di dalam celah batu
itulah Kersa Gotri berlindung di belakang Suto Sinting.
Mereka tak bisa berdiri bersebelahan, sehingga kepala Kersa Gotri selalu ingin
mendesak keluar untuk
mengintai siapa orang yang menguntit mereka. Tapi
kepala itu selalu ditekan oleh pundak Suto Sinting, membuat Kersa Gotri menjadi
jengkel namun tak berani mendesak.
Cukup lama mereka diam tanpa gerak dan bunyi di
tempat itu. Penguntit mereka tidak kunjung lewat,
sehingga hati mereka menjadi penasaran.
"Jangan-jangan tak ada apa-apa, hanya perasaanmu saja yang mengada-ada," bisik
Kersa Gotri pelan sekali, persis di depan telinga Suto Sinting. Bisikan itu
tidak mendapat jawaban kecuali gerakan jari Suto yang
memberi isyarat agar Kersa Gotri tidak bersuara sedikit pun.
Wuuk, wuuk...! Jlegg...!
Rupanya orang yang mengikuti mereka itu ada di atas
batu besar tersebut. Orang itu kebingungan mencari Suto dan Kersa Gotri,
akhirnya melompat turun dari atas batu dengan gerakan bersalto dua kali. Suto
Sinting segera memberi isyarat agar mereka berjongkok, karena orang yang mengikuti mereka
sekarang berdiri di depan celah batu dalam jarak sepuluh langkah. Orang itu
clingak-clinguk mencari mereka dengan mata tajam memandang
ke setiap penjuru.
"Perempuan...!" bisik Kersa Gotri sambil menyiapkan senjatanya yang sejak semula
terselip di depan perut.
Sebagai pesuruh raja, ia dibekali sebuah pusaka berupa keris bergagang hitam
dalam bentuk kepala burung
garuda. Seberapa tinggi kehebatan keris itu, Suto belum mengetahui karena memang
Suto tak menghiraukan
adanya senjata tersebut.
Apalagi sekarang, perhatian Suto Sinting lebih tertuju pada orang yang baru saja
turun dari atas batu, sebab orang tersebut ternyata adalah seorang perempuan
berusia muda, namun sudah tampak matang dalam
bersikap. Usianya sekitar dua puluh tujuh tahun.
Mengenakan pakaian jubah berlengan panjang dari kain halus berwarna biru muda.
Rambutnya disanggul rapi
dengan tusuk konde dari logam emas berbentuk kuncup
bunga kenanga. Perempuan itu menggenggam pedang di
tangan kirinya dengan sarung pedang dari logam
kuningan berukiran dan gagangnya pun dari logam
kuningan berukir.
Wajah perempuan itu cukup cantik, mempunyai
hidung bangir dan bibir sedikit tebal
tapi menggemaskan. Matanya tajam, namun mempunyai
kebeningan yang enak dipandang. Bulu matanya lentik, alisnya tebal teratur rapi.
ia mempunyai dada yang agak
besar, namun tampak masih kencang penuh tantangan.
"Apakah kau kenal dengan perempuan itu?" bisik Suto Sinting pelan sekali.
"Melihat bentuk tusuk kondenya itu, kurasa ia orang Pasir Pitu,"
"Pasir Pitu itu nama kadipaten atau kesultanan?"
"Pasir Pitu nama perguruan di bukit tepi laut utara."
"Kau kenal, dengannya?"
Kersa Gotri gelengkan kepala. Pendekar Mabuk ingin
berbisik lagi, kepalanya sudah menengok ke samping, tapi segera dibatalkan
karena tiba-tiba datang angin aneh berhembus dari arah depan. Wuuurrss...!
Angin aneh itu berhembus satu kali, menerbangkan
dedaunan hijau kecil-kecil yang membuat perempuan
berjubah biru muda itu segera melompat sambil
mencabut pedangnya. Wuuut...! Sraaang...!
Tring, tring, tring, tring, tring ..! Craaang...!
Daun-daun hijau yang berhamburan ke arahnya
ditangkis cepat dengan pedangnya. Tangkisan itu
membuat suara denting yang mengherankan, karena
daun-daun hijau itu bagaikan kepingan logam tajam
yang sukar dipatahkan atau dirobek dengan mata
pedang. Daun-daun hijau itu berpentalan ke sana-sini, salah satu ada yang jatuh
tepat di depan kaki Pendekar Mabuk.
Daun yang jatuh di situ segera dipungut dan
diperiksa. Pendekar Mabuk hanya menggumam dalam
desah, "Edan...! Daun selembut ini bisa berubah seperti baja
pada saat beterbangan tadi. Pasti ada orang yang
menyalurkan ilmu tenaga dalamnya melalui helai-helai daun tadi."
Kersa Gotri ikut memegang sehelai daun tersebut.
Ternyata sangat lemas, tanpa tulang pengeras, tanpa
tepian yang tajam. Kersa Gotri pun akhirnya bicara
sendiri dengan suara bisik.
"Daun selunak ini bisa menimbulkan suara denting saat ditangkis dengan pedang"!
Apakah telingaku tadi tidak salah dengar?"
"Seseorang sedang lakukan serangan ke arah
perempuan itu, Kersa Gotri."
"Begitukah"! Di mana orang yang menyerang
perempuan itu?"
"Entahlah. Aku belum menemukan tempat
persembunyiannya. Tapi yang jelas orang itu pasti
berilmu tinggi, buktinya ia bisa menerbangkan daun-
daun tadi dan mengubah tiap helai daun menjadi
kepingan logam tajam mirip senjata rahasia. Untung perempuan itu cepat-cepat
melakukan tangkisan, jika ia menganggap daun-daun itu adalah daun-daun biasa,
mungkin tubuhnya saat ini sudah tercabik-cabik oleh ketajaman daun-daun
tersebut."
"Berarti ilmu perempuan itu cukup tinggi. Buktinya ia bisa segera mengerti bahwa
daun-daun itu bukan
sembarang daun terbang."
Pendekar Mabuk manggut-manggut membenarkan
ucapan Kersa Gotri. Kemudian perhatiannya terarah
kembali kepada si perempuan yang sedang memandang
ke sana-sini mencari penyerangnya. Namun mendadak
angin aneh datang kembali, berhembus lebih kencang
dari yang pertama.
Weeessss...! Kali ini yang berhamburan bersama angin aneh itu
adalah batu-batu kecil yang ukurannya lebih kecil dari kerikil. Jumlahnya
ratusan batu yang masing-masing
bagai menerjang tubuh perempuan tersebut. Namun
rupanya perempuan itu mempunyai ilmu pedang yang
cukup hebat. Dengan sekali kelebat saja, pedangnya
menyebarkan asap mengelilingi tubuhnya. Asap putih
agak tebal itu bagai menahan ratusan batu-batu kecil.
Akibatnya, batu-batu itu saling pecah menimbulkan
suara letusan dan memancarkan bunga api yang indah
dipandang mata namun berbahaya jika mengenai tubuh
manusia. Wuuutt...! Buuusssh...!
Tar, tar, tar, tar, tar, tar, tar, traatar, tarrr...!
Angin hilang, batu-batu kecil pun lenyap, asap putih sirna. Perempuan berkulit
kuning itu segera berseru
tanpa arah yang pasti.
"Keluarlah dari persembunyianmu, Rangkak Dulang!
Aku tahu kau ada di sini dan ingin berhadapan
denganku! Keluar kau sekarang juga, Rangkak Dulang!"
"Ooh..."! Rangkak Dulang"!" Kersa Gotri terpekik dengan suara tertahan, bahkan
buru-buru menutup
mulutnya dengan mata menegang. Suto Sinting yang
menoleh ke belakang memperhatikan ketegangan mata
Kersa Gotri, sehingga ia pun ajukan tanya kepada
pesuruh raja Kincir Bantala itu.
Pendekar Mabuk 059 Perawan Titisan Peri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa yang bernama Rangkak Dulang itu" Apakah
kau kenal dengannya?"
Kersa Gotri hanya mengangguk satu kali sambil
melepas dekapan pada mulutnya.
"Rangkak Dulang adalah tokoh sakti dari Gunung Rancak Hantu. Dia dikenal dengan
julukan: Pawang
Setan Binal."
"Aku baru sekarang mendengar nama itu," gumam Pendekar Mabuk bagai bicara
sendiri, kemudian
perhatiannya kembali ke arah depan. Karena pada saat itu, seberkas sinar merah
terbang dari balik kerimbunan semak. Bentuknya seperti kerikil pecahan batu
lahar. Sinar merah itu jatuh ke tanah, buuusss...! Asap
mengepul merah samar-samar, makin lama semakin
hilang dan tampaklah sesosok tubuh kurus kering bagai tulang dibalut kulit
keriput. Wajah hitam bermata lebar, rambut hitam meriap tak beraturan. Orang itu
mengenakan pakaian abu-abu longgar, tanpa lengan
baju. Pada ikat pinggangnya yang berwarna merah itu
terselip sebuah senjata berupa trisula mata panah.
"Itu dia yang bernama Rangkak Dulang alias Pawang Setan Binal," bisik Kersa
Gotri. Pendekar Mabuk hanya menggumam sambil
pandangan mata tertuju pada wajah bertulang saling
bertonjolan dengan bola mata lebar berkesan dingin
dalam menatap si perempuan jubah biru. Rambut
hitamnya yang acak-acakan itu meriap merintangi
sebagian wajahnya hingga Rangkak Dulang kelihatan
sangat angker. "Ternyata kau masih saja menjadi seorang pengecut, Rangkak Dulang! Percuma saja
kau menyandang julukan Pawang Setan Binal, kalau melawanku saja
harus dengan sembunyi-sembunyi. Rupanya kau takut
mati di tanganku, Rangkak Dulang"!"
"Tutup mulutmu, Paras Kencani!" hardik si Rangkak Dulang dengan suara seraknya.
Mendengar nada suaranya, Suto Sinting dapat memperkirakan usia
Rangkak Dulang sekitar enam puluh tahunan.
Tangannya yang berkuku tajam dan runcing walau tak
terlalu panjang itu segera terangkat untuk menuding
perempuan cantik yang ternyata bernama Paras Kencani itu.
"Aku tak mau banyak bicara, Paras Kencani.
Serahkan saja kitab pusaka itu atau kucabut nyawamu
sekarang juga!"
"Aku tak memiliki kitab pusaka yang kau cari-cari sejak beberapa bulan yang lalu
itu! Apakah kau kurang puas telah membantai orang-orangku dan mengobrak-abrik
perguruanku hanya untuk suatu kesia-siaan itu"
Bukankah kau telah tidak mendapatkan kitab pusaka
itu?" "Tentu saja, karena kitab pusaka itu kau simpan di tempat yang tak bisa
kuketahui! Kau telah melapisinya dengan hawa murni sehingga tak bisa kutembus
dengan indera ketujuhku."
"Persetan dengan dugaanmu! Yang jelas aku tidak memiliki kitab pusaka itu. Jika
kau masih menghalangi
langkahku, maka aku akan menyingkirkan dirimu secara paksa!"
"Kau tak akan mampu!" ucap Rangkak Dulang
sambil menuding Paras Kencani. Jari yang menuding itu tiba-tiba keluarkan sinar
kecil bagai benang kaku yang melesat menuju dada Paras Kencani. Claaap...!
Sinar itu sangat kecil dan tipis, sehingga sukar dilihat oleh manusia biasa.
Bahkan pandangan mata Suto
Sinting hampir saja tak mampu melihat sinar tersebut.
Karenanya Paras Kencani tak sempat menangkis dan
menghindarinya. Juubs...!
"Uhg...!"
Sinar merah sebesar benang jahit itu tepat kenai
bawah pundak Paras Kencani. Hantaman sinar tersebut
membuat Paras Kencani jatuh terkulai bagai tanpa tulang sama sekali. Tubuhnya
yang sekal dan indah
mengeluarkan asap samar-samar.
Zaab...! Pawang Setan Binal bergerak dekati Paras
Kencani dengan gerakan bagaikan badai berhembus.
Tiba di samping tubuh Paras Kencani ia keluarkan
hardikannya lagi.
"Di mana kitab pusaka itu"! Jika kau tak mau
sebutkan, aku tak akan memberikan obat penawar racun
'Inti Mayat'. Selama ini tak ada orang yang dapat hidup lebih dari setengah hari
setelah terkena racun 'Inti Mayat'-ku itu! Katakan, kau simpan di mana kitab
itu"!"
"Buk... bukan ada padaku! Kitab itu... sudah direbut oleh... oleh...."
"Oleh siapa"!" desak Pawang Setan Binal dengan
bentakan serak. Paras Kencani tampak sukar keluarkan napasnya, namun ia berusaha
dengan susah payah agar
bisa bicara. "Kitab itu ada... ada pada... pada Perawan Titisan Peri!"
"Kucing Hutan"! Keparat bejat si Kucing Hutan!"
Zaaab...! Pawang Setan Binal melesat pergi bagaikan
badai menghembus. Gerakannya itu timbulkan kepulan
asap yang makin jauh semakin meruncing dan lenyap
sama sekali. Paras Kencani ditinggalkan begitu saja
tanpa diberi obat penawar racun seperti janjinya semula.
"Licik sekali dia...!" geram Suto Sinting sambil perhatikan ke arah lenyapnya si
Pawang Setan Binal.
Karena tak tega melihat keadaan Paras Kencani yang
masih tetap keluarkan asap dari kulit tubuhnya, Pendekar Mabuk segera keluar
dari persembunyiannya. Kersa
Gotri pun mengikuti dari belakang. Mereka mendekati Paras Kencani yang kesulitan
bernapas dengan wajah
pucat pasi. Melihat kedatangan Suto Sinting dan Kersa Gotri,
Paras Kencani tak punya pilihan lain kecuali mengeluh kepada mereka,
"Tolong... tolonglah aku. Jangan biarkan ragaku lumer dan menjadi busuk.... Oh,
tol.. tolonglah aku...!"
Kersa Gotri berkata pelan di samping Suto,
"Kabarnya, racun 'inti Mayat' dapat membuat korbannya menjadi lumer dan membusuk
bagaikan bubur bangkai.
Kurasa dia akan menjadi bubur bangkai dalam waktu tak lama lagi jika tak ada
obat yang bisa menawarkan racun
tersebut."
Pendekar Mabuk menggumam pendek, ia tampak
tenang sekali, seolah-olah tak punya perasaan iba sedikit pun., ia justru
menenggak tuaknya beberapa teguk. Glek, glek, glek...! Setelah itu baru
berjongkok dekati Paras Kencani dan berkata,
"Minumlah tuak ini sebelum kau menjadi bubur
bangkai. Walau belum tentu bisa menyelamatkan
jiwamu, tapi setidaknya kau punya pengalaman pernah
meminum tuaknya orang sinting sepertiku ini! Maukah kau ikut-ikutan sinting
denganku"!"
* * * 3 KERSA Gotri memang membantin, "Orang mau mati
malah diajak sinting bersama. Benar-benar konyol anak ini." Tapi gerutuan Kersa
Gotri menjadi sirna, berganti rasa heran yang terkagum-kagum manakala Paras
Kencani mau meminum tuak saktinya Suto Sinting, lalu asap yang mengepul dari
kulit tubuhnya itu berhenti.
Napas demi napas berikutnya, keadaan Paras Kencani
menjadi segar dan merasa bertulang kembali, ia mampu bangkit berdiri dalam
keadaan sehat. Bahkan merasa
lebih segar daripada sebelum bertemu Rangkak Dulang tadi.
"Luar biasa khasiat tuak itu?" pujinya dalam hati penuh kekaguman yang
disembunyikan. Kata hati pun berlanjut lagi, "Selama ini, setahuku memang tak pernah ada korban
yang mampu hidup jika
sudah terkena jurus racun 'Inti Mayat' milik si Rangkak Dulang itu. Tapi
kenyataannya aku bisa selamat dan
racun itu tak jadi membusukkan ragaku setelah minum
tuak si ganteng itu. Hmmmm... beruntung sekali aku
bertemu dengannya. Ternyata ia bukan pemuda yang
buta perasaan manusiawinya."
Pandangan mata saling beradu dalam jarak empat
langkah. Pendekar Mabuk sunggingkan senyum tipis
sebagai keramahan yang selalu menghiasi wajah
tampannya. Dalam keadaan begitu, ketampanannya
menjadi bertambah memikat hati lawan jenisnya. Tak
heran jika Paras Kencani menarik napas secara diam-
diam dan menahan perasaan gundah di dalam hatinya
yang seolah-olah ditaburi aneka bunga itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu. Aku berhutang nyawa padamu, Pendekar muda!"
"Namaku Suto Sinting," ucap Pendekar Mabuk dengan kalem, namun bernada sedikit
wibawa. "Sepertinya aku pernah mendengar nama itu," gumam Paras Kencani bagaikan bicara
pada dirinya sendiri.
"Apakah kau orang Perguruan Pasir Pitu?"
"Benar. Dari mana kau tahu, Suto Sinting?"
"Kersa Gotri yang mengatakan begitu padaku," jawab Suto
sambil melangkah menyamping berlagak
memandang ke arah lain.
Lanjut Suto lagi, "Kami tahu kau orang Perguruan Pasir Pitu, tapi kami tidak
tahu apa alasanmu mengikuti
langkah kami sejak tadi."
Paras Kencani menarik napas menutupi rasa malunya,
ia buang muka sebentar sambil mempertimbangkan
jawabannya. Dalam hati sempat terucap kata,
"Sebaiknya aku bicara terus terang saja pada
mereka." Lalu, mulutnya yang berbibir indah itu pun bergerak-
gerak lontarkan kata dengan nada tegas, pandangan
matanya tertuju ke arah Suto Sinting dan Kersa Gotri secara berganti-gantian.
"Aku mengenali Kersa Gotri sebagai orangnya Prabu Dasawalatama. Ketika ia
mengumumkan sayembara itu,
aku tertarik dan segera mengikutinya secara diam-diam, karena aku tak tahu di
mana negeri Kincir Bantala
berada." "Jadi kau ingin mengikuti sayembara itu?" potong Kersa Gotri. "Kau bisa
menghidupkan jenazah mendiang Kanjeng Prabu"!"
"Aku bukan sang Pembeli Hidup," jawab Paras Kencani bernada tegas. "Aku hanya
seorang guru dari sebuah perguruan yang sudah dihancurkan oleh Rangkak Dulang.
Tapi aku mempunyai tujuan yang sama dengan
Sunggarini, putri Dasawalatama itu."
"Tujuan sama bagaimana maksudmu?"
"Aku juga ingin menghidupkan murid-muridku yang telah dibantai oleh si Pawang
Setan Binal itu. Karenanya aku segera pergi untuk mencari di mana Dasawalatama
berada, karena sesungguhnya aku adalah sahabat
Dasawalatama semasa mudanya."
"Hahh..."!" Kersa Gotri terkejut, demikian pula Suto Sinting yang memandang
tajam dengan dahi berkerut.
"Kalau begitu usiamu sama dengan Kanjeng Prabu
Dasawalatama?"
"Benar, usiaku sejajar dengan Dasawalatama."
"Gila!" gumam Kersa Gotri. "Usia delapan puluh tahun seperti usia dua puluh
tujuh tahun! Pasti memakai ilmu awet muda!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut sambil tetap
memandang ke arah Paras Kencani. Yang dipandang
menjadi semakin gundah, hati berbunga-bunga resah,
akhirnya mencoba alihkan pandangan ke arah lain.
"Apa hubungannya Prabu Dasawalatama dengan
niatmu yang ingin menghidupkan kembali murid-
muridmu itu?" tanya Suto Sinting memecah keheningan yang terjadi selama empat
helaan napas itu.
"Dasawalatama bersahabat akrab dengan tokoh dari puncak Bukit Wangi yang bernama
Galak Gantung...."
"Siapa"! Galak Gantung..."!" Suto Sinting tersentak kaget, karena ia pun kenal
betul dengan tokoh yang
menjadi sahabat karib gurunya itu (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Pusaka Bernyawa").
"Apakah kau juga mengenal si Galak Gantung?"
"Aku sangat kenal dengan beliau, karena beliau adalah sahabat guruku. Tapi...
apa hubungannya dengan niatmu tadi?"
"Dulu aku pernah mendengar Galak Gantung
menitipkan sebuah pusaka kuno kepada Dasawalatama.
Pusaka itu milik keturunan Nyai Parisupit. Pusaka itu
bernama: Panji-panji Mayat atau Panji-panji Dewa.
Pusaka itu dapat menghidupkan kembali orang yang
telah mati. Bahkan jika pusaka itu dibawa melewati
kuburan, maka seluruh penghuni kuburan akan bangkit mengikuti Panji-panji Mayat
dan menjadi pengikut si
pemegang pusaka tersebut."
Hati pemuda tampan berhidung bangir yang punya
badan tinggi dan tegap itu menjadi berdebar-debar.
Sebab selama ini ia memang sedang memburu pusaka
Panji-panji Mayat untuk diserahkan kepada tiga saudara yang menjadi ahli waris
terakhir dari keturunan Nyai Parisupit. Tiga saudara itu adalah Dewi Hening,
Dewi Kejora dan Dewi Menik. Namun sampai sekarang
Pendekar Mabuk masih belum mengetahui siapa orang
yang dititipi pusaka itu sebenarnya, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Utusan Raja iblis").
"Jadi, menurutmu Galak Gantung adalah orang yang dipercaya untuk menyimpan
pusaka Panji-panji Mayat,
lalu pusaka itu dititipkan kepada Prabu Dasawalatama"!"
ujar Suto Sinting ingin meyakinkan kesimpulan hatinya.
"Benar," jawab Paras Kencani. "Sebab setahuku, Dasawalatama mempunyai ruang
rahasia yang tak bisa
dimasuki pencuri mana pun dan tak seorang pun walau
kesaktiannya sangat tinggi bisa memasuki ruangan
tersebut. Hanya Dasawalatama yang bisa memasuki
ruangan rahasia Itu. Aku yakin pusaka tersebut
tersimpan di dalam ruang rahasia itu."
"Tak mungkin," sangkal Kersa Gotri secara tiba-tiba.
"Jika Prabu Dasawalatama menyimpan pusaka Panji-
panji Mayat, tentunya Gusti Ayu Sunggarini tidak perlu membuka sayembara untuk
menghidupkan kembali
ayahandanya. Pasti Gusti Ayu akan menggunakan
pusaka Panji-panji Mayat itu untuk menghidupkan
kembali ayahandanya."
"Masuk akal sekali pemikiran Kersa Gotri itu," kata Suto kepada Paras Kencani.
"Justru aku ingin ke negeri Kincir Bantala untuk menemui Sunggarini setelah
kudengar Dasawalatama
telah mangkat. Aku perlu mengingatkan anak gadis si
Dasawalatama itu tentang adanya pusaka tersebut.
Pendekar Mabuk 059 Perawan Titisan Peri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tentunya aku pun ingin meminta bantuan padanya untuk membangkitkan jenazah
murid-muridku yang sebagian
besar masih kusimpan dalam ruangan hampa udara."
Pendekar Mabuk merasakan ada kebenaran dalam
pemikiran Paras Kencani, ia sempat menjadi bingung
sendiri menentukan langkah berikutnya.
Kersa Gotri segera berkata, "Kalau begitu, sebaiknya kita bersama-sama menghadap
Gusti Ayu Sunggarini
untuk membicarakan pusaka tersebut!"
Suto Sinting beradu pandangan mata sebentar dengan
Paras Kencani, setelah itu terdengar suaranya bernada lembut.
"Tak ada pilihan lain yang lebih baik kecuali
mengikuti saran Kersa Gotri."
Maka perjalanan menuju negeri Kincir Bantala
dilanjutkan kembali. Kali ini Kersa Gotri berjalan paling depan sebagai pemandu,
sementara Suto dan Paras
Kencani berjalan di belakangnya dalam jarak empat
langkah. Kersa Gotri bagaikan memberi kesempatan
kepada kedua insan itu untuk saling lebih mengakrabkan diri, karena ia merasakan
adanya pandangan aneh dari tiap tatapan mata Paras Kencani kepada Pendekar
Mabuk. "Aku memang mengaguminya," ujar Paras Kencani dalam hatinya. "Bahkan... aku
tertarik padanya. Tapi aku harus tetap menjaga wibawaku sebagai seorang guru
dari sebuah perguruan, walau perguruanku itu sekarang
dalam keadaan hancur. Aku harus bisa menyimpan
perasaan ini sampai kutahu bagaimana sikap sejatinya terhadapku. Bila perlu akan
kusimpan selamanya, tak perlu pemuda itu mengetahuinya."
Pendekar Mabuk perlambat langkah karena ia harus
meneguk tuaknya. Anehnya, secara tidak sadar langkah kaki Paras Kencani pun
ikut-ikutan berhenti, seakan ia tak ingin Pendekar Mabuk ketinggalan langkah.
"Kuperhatikan sejak tadi kau sebentar-sebentar
menenggak tuakmu, tapi tak kulihat kau menjadi mabuk.
Kapan kau akan mabuk sebenarnya?" tanya Paras
Kencani yang merasa heran melihat Suto Sinting tetap segar dan gagah walau minum
tuak cukup banyak.
"Aku tak pernah mabuk kecuali sedang dalam
pertarungan," jawab Suto Sinting sambil sunggingkan senyum yang jelas maknanya
bagi Paras Kencani.
"Barangkali kau termasuk...."
"Awaaass...!" sentak Suto Sinting sambil menarik lengan Paras Kencani. Perempuan
itu dibawanya berguling ke tanah dengan gerakan cepat.
Wuuutt...! Rupanya pada saat itu mata jeli Pendekar Mabuk
melihat kilatan benda yang melayang dari berbagai arah.
Benda-benda kemilau itu menyerang mereka dari
berbagai penjuru, seakan mengepung gerakan mereka.
Beruntung sekali Suto Sinting punya gerakan naluri
yang cukup tinggi, sehingga mereka berdua lolos dari lempengan logam berbentuk
piringan bergerigi.
Tetapi naas bagi Kersa Gotri yang tak sempat
menghindar dan jauh dari jangkauan tangan Pendekar
Mabuk. Dua piringan bergerigi menghantam leher dan
punggungnya. Zing, zing, zing, ziing...!
Cras, craaabs...!
"Aaahk...!" Kersa Gotri terpekik dengan suara tertahan. Tubuhnya limbung dengan
leher terkoyak nyaris terpotong.
"Kersaa...! Kersaaa....!" teriak Pendekar Mabuk yang menjadi tegang melihat
Kersa Gotri terkapar berlumur darah, ia bergegas hampiri Kersa Gotri, tetapi
tiba-tiba tiga piringan bergerigi melayang bersamaan dari kanan, kiri, dan
belakangnya. Zing, zing, ziiing...!
"Awass...!" pekik Paras Kencani yang segera lakukan lompatan dari keadaan duduk.
Wuuusss...! Traang,
blaaarr...! Piringan bergerigi yang hendak menghantam
punggung Suto Sinting berhasil ditebas dengan
pedangnya. Tebasan itu bukan saja menimbulkan suara
nyaring dan memancarkan bunga api, namun juga
menimbulkan ledakan yang mempunyai daya hentak
cukup kuat. Tubuh Paras Kencani sendiri terpental balik dan berguling-guling di
semak ilalang. Sementara itu Pendekar Mabuk segera lakukan
gerakan mirip orang mabuk; tubuhnya miring ke kiri
seperti mau tumbang, namun tangannya cepat
hantamkan bumbung tuak ke arah piringan yang datang
dari arah kanannya. Traak...! Zzziiing...!
Piringan yang datang dari kiri berhasil dihindari,
sedangkan piringan yang dihantam dengan bambu
tuaknya memantul balik dengan lebih cepat dari gerakan terbang aslinya. Piringan
bergerigi yang berbalik arah itu menghantam sebatang pohon besar.
Jegaaar...! Ledakan cukup dahsyat terjadi akibat benturan
senjata bergerigi dengan batang pohon. Ledakan itu
membuat batang pohon retak hebat, daun-daunnya
berguguran dan beberapa dahannya patah dengan
mengepulkan asap. Batang pohon itu sendiri menjadi
hangus bagai habis disambar petir.
"Kejadian itu membuat pemilik senjata menjadi
terbengong melompong, karena tak menduga senjatanya
dapat menimbulkan kekuatan sedahsyat itu. Bahkan si
pemilik senjata sempat bergumam dalam hati dari
persembunyiannya,
"Edan! Biasanya senjata itu hanya bisa memotong sebagian batang pohon dan
menjadikan pohon terkelupas kulitnya. Tapi mengapa sekarang senjata 'Cakra
Terbang' telah membuat pohon itu bagai disambar sepuluh petir murka"!"
Pendekar Mabuk tak jadi dekati Kersa Gotri, karena
setelah itu dari kerimbunan semak muncul beberapa
orang berpakaian hitam dengan garis-garis merah.
Mereka muncul dari berbagai arah, sehingga keadaan
Pendekar Mabuk dan Paras Kencani menjadi terkurung.
Mereka yang mengurung telah menggenggam senjata
masing-masing yang bukan dari lempengan piring
bergerigi. Tetapi di pinggang masing-masing masih
tampak tersimpan senjata piring bergerigi yang sewaktu-waktu dapat digunakan
sebagai pengganti pedang atau
golok pegangan mereka.
"Hati-hati, tampaknya mereka cukup ganas!" bisik Pendekar Mabuk kepada Paras
Kencani. Tapi perempuan
itu membalas bisikan dengan suara tenangnya.
"Aku tahu, mereka adalah orang Kadipaten Pusar
Langit. Mereka pasti menyangka kita memihak Kincir
Bantala." "Jika begitu, kita harus bagaimana, menurutmu"!"
"Sudah telanjur begini, sulit dihindari. Hadapi saja mereka!"
"Aku setuju sekali!" gumam Suto Sinting. "Tapi sebaiknya biarkan aku sendiri
yang menghadapi mereka.
Mundurlah dan lindungi si Kersa Gotri."
"Percuma, dia sudah tidak bernyawa."
"Ooh... celaka!" geram Pendekar Mabuk sambil matanya memandangi orang-orang yang
mengepungnya. Jumlah mereka ada sepuluh orang, dan masing-masing
mempunyai sorot pandangan mata sangat bermusuhan.
Tapi agaknya Suto Sinting ingin mencoba untuk
mengurangi timbulnya korban sia-sia dengan mencoba
berunding secara baik-baik.
Salah seorang dari mereka, yang berkalung tali hitam dengan bandul logam perak
berbentuk bunga matahari
itu berseru memberikan perintah kepada yang lain.
Agaknya orang berkalung perak dan berkumis lebat itu adalah ketua kelompok
tersebut. "Bunuh mereka berdua! Jangan ada yang tersisa!"
"Tunggu!" sentak Suto Sinting sambil mengangkat bumbung bambu yang talinya
melilit di tangan kanan.
"Kalian salah duga. Kami berdua bukan orang Kincir Bantala. Kami hanya akan
menjadi tamu di sana!"
"Persetan dengan alasan kalian! Seorang tamu bagi Kincir Bantala adalah seorang
musuh juga bagi Pusar
Langit!" "Kalau begitu kau saja yang berhadapan denganku.
Mengapa harus mengajukan anak buahmu" Apakah kau
takut mati lebih dulu dari anak buahmu"!" kata Suto Sinting sengaja memancing
kemarahan orang berkumis
lebat itu. Orang tersebut menyeringai dengan
menggeram marah.
"Bangsat kau! Heeeaat...!"
Wuuuss...! Orang berkumis itu melompat maju
dengan pedang menebas cepat. Sasarannya adalah leher Pendekar Mabuk yang akan
dipenggal seperti Kersa
Gotri itu. Tetapi Pendekar Mabuk bergerak limbung seperti
orang mabuk mau jatuh. Tiba-tiba gerakannya yang
miring ke kiri itu terhenti dan kakinya berkelebat cepat, lakukan tendangan
memutar bersama-sama diputarnya
tubuh, sedangkan bumbung tuaknya dihentakkan
melintang di atas kepala hingga pedang itu tertahan.
Traang...! Beehg...!
"Ouh...!" orang itu memekik, pinggangnya terkena tendangan keras yang membuat
napasnya bagai tersumbat dalam beberapa saat. Tubuh orang berkumis
itu terpental ke samping dan terguling-guling. Suto
Sinting cepat sentakkan bumbung tuaknya ke tanah, lalu tangannya bertumpu ujung
bumbung dan menghentak,
sehingga tubuhnya melayang berjungkir balik di atas
bumbung tuak itu, Wuuukk...!
Ketika ia mendaratkan kakinya di depan orang
berkumis yang baru saja hendak berdiri, bumbung
tuaknya ikut terbawa melambung dan dihantamkan ke
arah pundak lawan. Wuung...! Duuggh...!
Krraakk...! Terdengar suara tulang patah dengan jelas sekali.
Orang berkumis menjerit sekuat tenaga dengan tubuh
terkulai tak berdaya.
"Aaaa...!"
Mulutnya yang menganga keluarkan darah akibat
pukulan bumbung bertenaga dalam cukup tinggi. Suto
Sinting segera menginjak tangan kanan orang itu hingga pedangnya tak bisa
digunakan untuk menebas. Bumbung
tuak telah diangkat tepat di atas kepala orang yang jatuh telentang itu. Para
pengepung lainnya bergerak maju,
tapi segera tertahan begitu mendengar suara seruan Suto Sinting.
"Satu orang maju, kutumbuk hancur kepala ketua
kalian ini!"
Rupanya mereka takut dengan ancaman Suto yang
secara diam-diam dikagumi dalam hati masing-masing.
Akibat ancaman itu, mereka mundur pelan-pelan dengan wajah tegang.
"Buang senjata kalian! Buang semua!" seru Suto Sinting dengan wajah menampakkan
seakan benar-benar
ingin menumbuk kepala orang berkumis yang
mengerang tak berdaya.
Mereka membuang semua senjata, termasuk sisa
senjata di pinggang masing-masing berupa piring
bergerigi. "Semua berkumpul di depanku!" perintah Suto Sinting dengan mata memandang tajam
pada tiap-tiap wajah. Perintah tersebut dituruti oleh mereka demi
keutuhan kepala ketua mereka.
"Sekali kuingatkan kepada kalian, kami bukan orang Kincir Bantala. Kami hanya
orang-orang yang ingin
datang bertamu untuk suatu keperluan. Jika kalian
memusuhi kami, itu adalah tindakan yang amat keliru!
Kalian bisa mati tanpa guna!"
Masing-masing wajah dipandangi lagi dengan sorot
pandangan mata yang tajam. Paras Kencani sejak tadi hanya diam, memasang kuda-
kuda sebagai sikap siaga, tapi memberi peluang kepada Suto Sinting untuk
bertindak sekehendak hatinya. Mata perempuan itu pun
memandang sekeliling dengan jeli dan penuh waspada.
Karenanya, ketika orang berkumis yang mengerang
dalam keadaan sekarat itu berusaha mencabut pisau kecil dari pinggangnya dan
ingin ditancapkan ke betis Suto Sinting, dengan cepat Paras Kencani lepaskan
pukulan tenaga dalam berupa selarik sinar biru dari kedua ujung jarinya.
Claaap...! Sinar biru sebesar kelingking itu melesat dan mengenai tangan kiri
orang berkumis.
Zuuub...! Prraak...!
"Aaaauh...!"
Orang berkumis itu semakin memekik tinggi dan
panjang karena sinar biru itu telah membuat pergelangan tangan hancur hingga
tangan kirinya tidak bertelapak tangan lagi.
Rupanya sinar biru itu bukan hanya kenai tangan saja, melainkan, sebagian
sinarnya ada yang mengenai mata
kiri, sehingga mata itu pun hancur mengerikan dan
akhirnya orang tersebut tak mampu keluarkan teriakan lagi. Ia menghembuskan
napas terakhir setelah lima helaan napas terhitung sejak putusnya tangan kiri
itu. Hahhh.."! Mahesa Bakor mati"!" salah satu dari
mereka berseru tertahan karena menjadi lebih tegang
lagi. Pendekar Mabuk sendiri sebenarnya kecewa, karena
ia tidak bermaksud membuat orang berkumis itu mati.
Tetapi karena keadaan sudah telanjur begitu, maka ia segera berseru kepada
orang-orang kadipaten itu.
"Jika kalian tak segera pulang, maka kalian akan alami nasib seperti orang ini!"
Prajurit-prajurit kadipaten yang tergolong kelas
menengah itu menjadi ketakutan. Sebab setahu mereka, orang bernama Mahesa Bakor
itu adalah orang berilmu
tinggi yang jarang terkena pukulan lawan. Jika sekarang Mahesa Bakor tumbang
dalam waktu sesingkat itu, maka mereka berkesimpulan bahwa lawan mereka itu
orang berilmu tinggi. Dengan alasan melaporkan kepada sang Adipati, mereka pun
akhirnya melarikan diri tanpa
memungut senjata masing-masing.
"Mestinya tak perlu harus sampai mati," ujar Suto Sinting dengan suara tenang
kembali. Paras Kencani menjawab masih dengan nada ketus.
"Daripada ia melukaimu lebih baik kehilangan nyawa!
Apakah kau tak suka dengan tindakanku itu"!"
Sebaris napas ditarik dan dihembuskan lepas-lepas.
Pendekar Mabuk 059 Perawan Titisan Peri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, sudahlah! Tak perlu dimasalahkan lagi. Yang menjadi masalah sekarang adalah
bagaimana kita bisa sampai ke negeri Kincir Bantala jika penunjuk jalan kita
telah tak bernyawa"!"
"Kita cari semampu kita. Tak mungkin kita tak
berhasil menemukan negeri Kincir Bantala!"
"Seingatku, tadi Kersa Gotri berkata, kita akan menerabas hutan seberang lembah
ini, memotong jalan lewat sana. Apakah kau tidak keberatan menerabas hutan lebat
itu"!"
"Bersamamu tak pernah ada pekerjaan yang
memberatkan bagiku. Apa pun akan kulakukan selama
masih bersamamu," sambil matanya menatap lekat-lekat ke wajah Suto Sinting.
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tipis
dan keluarkan gumam lirih,
"Aneh...!" ia menahan geli dengan membuang muka ke arah lain.
* * * 4 SEBUAH desa tak seberapa luas dan hanya dihuni
oleh beberapa puluh penduduk telah menjadi tempat
persinggahan perjalanan Pendekar Mabuk. Petang yang
meremang menuju malam, bagai mulut raksasa siap
menelan bumi. Sebuah kedai menjadi sasaran sementara perjalanan Pendekar Mabuk
dan Paras Kencani.
"Kedai ini tampak sepi-sepi saja," bisik Paras Kencani kepada Suto Sinting saat
ia mulai duduk di
bangku panjang itu.
"Suasana desa juga terasa lengang," timpal Suto Sinting. "Hanya sedikit orang
yang keluar rumah, padahal kita masih di ujung petang, belum memasuki
pertengahan malam."
Pemilik warung yang bertubuh kurus dan agak
jangkung itu menyajikan pesanan mereka. Tentu saja
Suto Sinting memesan sepoci arak lebih dulu setelah itu baru menambah bumbungnya
dengan tuak yang baru.
"Mengapa suasananya sepi-sepi saja, Pak Tua?" tanya Paras Kencani.
"Memang beginilah keadaan desa kami sejak
peristiwa itu."
"Peristiwa apa"!" sambar Suto Sinting menjadi penasaran.
"Peristiwa pembantaian yang terjadi setiap malam, selama tujuh malam berturut-
turut." Pendekar Mabuk saling beradu pandang dengan Paras
Kencani. Dahi mereka sama-sama berkerut menandakan
rasa heran terhadap kabar tersebut. Lalu, Suto Sinting ajukan tanya kepada Pak
Tua pemilik kedai,
"Pembantaian apa sebenarnya, Pak Tua?"
"Entahlah," jawab Pak Tua dengan wajah murung.
"Keponakanku yang lelaki pun menjadi korban.
Darahnya bagai dihirup habis oleh si pembantai malam.
Kebanyakan para korban adalah lelaki dan mengalami
pengeringan darah."
"Pantas masih sesore ini mereka jarang berani keluar rumah," gumam Paras
Kencani. "Tentu saja mereka takut malam Iii terjadi
pembantain lagi," kata Pak Tua. "Yang lebih menyedihkan lagi, pembantain itu
dilakukan secara
terang-terangan, artinya walau ada saksi mata yang
melihat kejadian itu, si pembantai tak menggubrisnya sama sekali."
"Seorang ibliskah dia?" tanya Paras Kencani.
"Aku kurang paham tentang dia. Hanya saja,
beberapa orang yang menjadi saksi mata memberi
keterangan yang sama, bahwa si pembantai itu adalah
seorang perempuan cantik. Beberapa orang dari mereka ada yang mengatakan, bahwa
perempuan itu adalah
orang yang dikenal dengan nama Perawan Titisan Peri."
"Kucing Hutan!" sentak Suto seketika begitu mendengar nama Perawan Titisan Peri.
Ia segera ingat tentang seorang perempuan cantik yang tinggal di
Lembah Meong, karena ia memang pernah berhadapan
dengan perempuan yang berpakaian seronok itu, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Misteri
Bayangan Ungu").
"Aku juga pernah mendengar nama itu," kata Paras Kencani. "Tapi aku belum pernah
beradu muka dengan si Perawan Titisan Peri itu. Hanya saja, aku pernah mendengar
kabar bahwa perempuan aliran hitam itu
berilmu tinggi dan mempunyai kegemaran meminum
darah lelaki."
"Kabar yang kudengar juga begitu," kata Pendekar Mabuk. "Sejujurnya kukatakan
padamu, bahwa perjalanan kali ini sebenarnya dalam upaya memburu si Kucing Hutan alias Perawan
Titisan Peri."
Paras Kencani tampak terperanjat sesaat, matanya
memandang Suto Sinting lebih lekat lagi. Tanpa diminta untuk menjelaskan,
Pendekar Mabuk lebih dulu
menceritakan peristiwa pertemuannya dengan Perawan
Titisan Peri. Paras Kencani menjadi lebih terperanjat, karena Perawan Titisan
Peri ternyata ada hubungannya dengan persoalan Pusaka Panji-panji Mayat.
"Dia memburu pusaka itu, dan tampaknya memang
bernafsu sekali untuk memilikinya," ujar Suto Sinting yang segera meneguk tuak
dari cangkirnya.
"Rupanya kau pun termasuk orang yang memburu
pusaka Panji-panji Mayat!" kata Paras Kencani bernada
sesal yang terlalu kentara.
"Usahaku memburu pusaka itu bukan untuk kumiliki.
Aku hanya sekadar membantu keturunan Nyai Parisupit, yakni Dewi Hening, Dewi
Kejora, dan Dewi Menik.
Saat ini mereka berada di Lembah Sunyi, di kediaman
Resi Wulung Gading. Mereka sengaja kusarankan untuk
tetap di Lembah Sunyi, sementara aku berusaha
mendapatkan pusaka itu untuk kuserahkan kepada
mereka. Tapi sampai saat ini, aku belum tahu secara
pasti siapa penyimpan pusaka kuno itu sebenarnya."
Paras Kencani diam termenung, entah apa yang
berkecamuk dalam benaknya. Yang jelas di antara
mereka berdua terjadi kebisuan, sampai akhirnya datang seorang tamu kedai
berambut uban. Dia adalah seorang lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun
lebih, mengenakan jubah merah kusam dengan ikat kepala
pada rambutnya yang panjang sebahu berwarna hitam.
Tokoh tua itu menggenggam tongkat setinggi pundak
dengan ujung tongkat berbentuk tengkorak monyet.
Ia duduk dengan tenang, agak jauh dari tempat duduk
Suto Sinting dan Paras Kencani. Lelaki tua bertubuh
kurus itu memesan sepoci arak merah yang harganya
cukup mahal dan hanya sedikit dimiliki oleh si pemilik kedai. Pendekar Mabuk
sengaja memandang ke arah
tokoh tua yang duduk memunggmginya itu, tetapi Paras Kencani berpura-pura tidak
melihat kehadiran tokoh tua tersebut. Bahkan, perempuan itu bagaikan enggan
untuk palingkan wajah ke arah si tokoh tua. Namun saat orang itu tadi memasuki
kedai, sepasang mata bening Paras
Kencani sempat menatapnya sekilas, lalu buru-buru
palingkan wajah.
"Melihat penampilannya yang tenang dan
berkharisma, aku yakin ia bukan tamu kedai biasa. Pasti ia seorang tokoh berilmu
tinggi," bisik Suto Sinting kepada Paras Kencani. Wajah perempuan itu tampak
menyimpan kegelisahan, namun berusaha untuk tetap
tenang dan acuh tak acuh atas kehadiran tokoh berjubah merah itu.
Paras Kencani sempat berkata dalam nada membisik,
"Lupakan tentang dia."
"Hei, ada apa dengan dirimu" Mengapa kau
sepertinya tak mau memandang ke arahnya" Apakah kau
mengenalnya, Paras Kencani?"
Paras Kencani tidak langsung menjawab, ia melirik
pedangnya yang digeletakkan di atas meja, tepat di
samping kanannya. Di wajah cantiknya semakin terlihat keresahan yang berusaha
ditutup rapat-rapat dengan
ketenangan. Tetapi Pendekar Mabuk yang
memperhatikan wajahnya sejak tadi tak bisa dibohongi oleh ketenangan palsunya.
Pendekar Mabuk mengetahui
ada sesuatu yang tak beres dan menggundahkan hati
Paras Kencani, karenanya ia mendesak kembali dengan
pertanyaan yang sama,
"Siapa orang itu sebenarnya, Paras Kencani"!
"Ia dikenal dengan nama: Duta Raja."
"Mengapa kau tampak cemas sejak kehadirannya"
Apakah Duta Raja itu musuhmu"!"
Paras Kencani meneguk minumannya satu kali. Ia
bicara tanpa memandang Suto dan bersuara pelan,
hingga Pendekar Mabuk perlu memasang
pendengarannya tajam-tajam.
"Dia pernah menjadi kekasihku. Dulu kami ingin
hidup bersama. Tapi setelah kutahu dia adalah pengikut aliran Rangkak Dulang,
maka kuputuskan hubungan
cinta kasih kami sampai sekarang."
"Jadi... jadi dia muridnya Pawang Setan Binal?"
"Dia sahabat karibnya Pawang Setan Binal. Sampai sekarang kurasa dia masih
bersahabat erat dengan tokoh hitam itu. Kurasa sekarang pun ia dalam upaya
mencari kitab yang dulu diburu Rangkak Dulang. Pengabdiannya kepada Rangkak
Dulang akibat sumpahnya yang
berlebihan."
"Sumpah bagaimana?" desak Suto Sinting semakin ingin tahu.
"Dia pernah hampir mati terkena pukulan beracun yang sukar disembuhkan. Ketika
itu ia bersumpah,
barang siapa bisa selamatkan nyawanya, maka ia akan
mengabdi dan bersaudara dengan orang itu. Ternyata
Rangkak Dulang berhasil selamatkan nyawanya dari
racun ganas itu. Maka, jadilah ia sahabat sekaligus
pelayan si Pawang Setan Binal sesuai sumpah dan
janjinya."
Pendekar Mabuk manggut-manggut dengan gumam
kecil yang nyaris tak terdengar. Matanya melirik sekejap ke arah Duta Raja, dan
terkejut melihat Duta Raja
ternyata tidak meletakkan pantatnya di atas bangku.
Pantat Duta Raja mengambang di atas bangku, namun
tetap dalam keadaan seperti duduk menempel pada
bangku. "O, rupanya ia ingin pamer diri padaku bahwa ia berilmu tinggi. Tapi apa
perlunya ia pamer ilmu padaku"
Apakah karena ia cemburu melihatku berduaan dengan
Paras Kencani?" pikir Suto Sinting sambil sunggingkan senyum tipis nyaris tak
kentara. Pendekar Mabuk tetap tenang, meneguk tuaknya dari cangkir dengan santai
sekali. Duduknya semakin merapat mendekati Paras
Kencani, seakan biar tampak mesra.
Pergeseran duduk itu membuat Paras Kencani merasa
aneh dan heran, lalu ia melirik Pendekar Mabuk dengan curiga. Bahkan ia berbisik
lirih sekali, "Apa maksudmu merapatkan diri padaku?"
"Aku ingin tahu apa maksudnya datang ke kedai ini.
Sekadar kebetulan saja atau sengaja menguntitmu sejak tadi?"
"Ah, Suto... jangan memancing kemarahannya, aku bingung berpihak. Selama ini aku
berusaha menghindari pertikaian dengannya. Aku tak mau melawannya, namun
juga tak ingin diganggunya lagi."
"Apakah kau masih sayang padanya?"
"Aku memang tidak membencinya, Suto. Tapi aku
juga tidak ingin didekati olehnya selama ia masih
menjadi pengikut Rangkak Dulang. Apalagi kau tahu
sendiri, Rangkak Dulang hampir saja membunuhku
dengan racun 'Inti Mayat'-nya, aku semakin tak mau
berurusan dengan Duta Raja."
"O, ya... aku lupa menanyakan sebuah kitab pusaka
yang dikehendaki oleh si Pawang Setan Binal itu.
Tentunya kau tidak keberatan menceritakan tentang
kitab pusaka yang kalian perebutkan itu."
"Aku keberatan!" jawab Paras Kencani secara tegas dan jelas. Bahkan ia sempatkan
diri menatap lekat-lekat ke wajah pemuda tampan di samping kanannya itu.
Suto Sinting menjadi sedikit salah tingkah, tapi ia
segera menutupi perasaannya itu dengan sebuah
penjelasan yang merupakan alasan dari rasa ingin
tahunya. "Maksudku, jika aku tahu nama kitab pusaka itu, barangkah aku lebih bisa
membantumu menyelamatkan
diri dari ancaman Rangkak Dulang."
"Bagiku kitab itu sangat pribadi, Suto."
"Baiklah, mungkin memang sangat pribadi. Tapi
apakah kau benar-benar menyimpan kitab pusaka itu"
Jika memang tidak, mungkin aku akan mengambil sikap
lain dalam menghadapi Rangkak Dulang. Tapi jika kau
benar-benar menyimpan kitab pusaka itu, maka aku akan bertindak lebih tegas lagi
terhadap Pawang Setan Binal itu. Dan yang perlu diketahui, benarkah kau pemilik
kitab pusaka tersebut" Atau kau mempertahankan kitab itu untuk kepentingan
pribadimu sendiri?"
Tiba tiba terdengar suara yang menyahut dari
belakang mereka,
"Aku tahu di mana kau sembunyikan kitab itu, Paras Kencani!"
Pendekar Mabuk dan perempuan cantik dari
Perguruan Pasir Pitu itu terkejut mengetahui Duta Raja
sudah ada di belakang mereka. Kehadirannya bagaikan
hantu yang tahu-tahu menjelma tanpa suara dan tanda-
tanda apa pun. Pendekar Mabuk cepat pandangi wajah
Duta Raja yang tampak dingin tapi memancarkan
kecemburuan. Pendekar Mabuk sunggingkan senyum
nyengir sambil sedikit bergeser jauhi Paras Kencani.
Dengan wajah ketus Paras Kencani segera buang
muka, namun mulutnya lontarkan kata-kata untuk Duta
Raja, "Apa perlumu ikut campur dalam percakapan kami"!'
"Aku hanya ingin mengingatkan dirimu, bahwa
Rangkak Dulang tetap akan memburumu walau kau
berhasil selamat dari racun 'Inti Mayat' itu. Karena setahu Rangkak Dulang,
kaulah pencuri kitab pusaka
tersebut!"
"Persetan dengan apa pun yang akan kalian perbuat pada diriku! Aku sudah siap
menghadapi kalian berdua!"
tegas Paras Kencani, namun tetap tak mau memandang
langsung ke arah Duta Raja.
"Jangan libatkan aku dalam urusan kitab pusaka itu.
Sekalipun aku tahu di mana kau menyimpan kitab
tersebut, namun aku akan berlagak tidak mengetahuinya.
Semua kulakukan dengan menghormati masa mudaku
dan peristiwa indah yang pernah kita alami."
"Lupakan tentang peristiwa dan masa mudamu itu!
Semua kuanggap lelah musnah ditelan zaman. Jika kau ingin membantu Rangkak
Dulang untuk memperoleh
Pendekar Mabuk 059 Perawan Titisan Peri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kitab itu, kau boleh saja beradu kesaktian denganku!
Kapan pun kau mau, aku siap menghadapimu atau si
Pawang Setan Binal itu!"
Kali ini Paras Kencani memang mengadu pandangan
mata dengan Duta Raja untuk menunjukkan sikap
permusuhannya. Keadaan Paras Kencani pun telah
berdiri di luar bangku, tangan kirinya telah
menggenggam pedang yang sewaktu-waktu siap dicabut
untuk melawan Duta Raja. Tetapi dalam hatinya masih
timbul rasa tak tega jika harus melukai mantan kekasih itu. Duta Raja sendiri
hanya diam saja dengan tongkat di tangan kanan. Pandangan matanya yang berkesan
dingin itu belum mau lepas dari wajah Paras Kencani.
Kesunyian yang mengandung ketegangan itu tiba-tiba
buyar oleh suara jeritan dari luar kedai.
"Aaaa...!"
Semua terkejut, termasuk Pak Tua pemilik kedai.
Wajah Pak Tua menjadi pucat pasi dan lebih tegang lagi, karena ia segera berkata
bagai bicara pada dirinya sendiri,
"Pasti korban si Perawan Titisan Peri itu!"
Mendengar ucapan Pak Tua, dengan cepat Suto
Sinting melompat tinggalkan kedai tanpa permisi lagi.
Wuuutt...! Paras Kencani terperanjat melihat Pendekar Mabuk berkelebat cepat, ia
segera berkata kepada Pak Tua, pemilik kedai,
"Nanti kami kembali lagi!"
Wuuutt...! Paras Kencani pun ikut-ikutan melesat
pergi menyusul Suto Sinting, ia tak peduli lagi dengan si Duta Raja yang merasa
dongkol karena ditinggal pergi begitu saja. Paras Kencani hanya membatin dalam
hatinya, "Jangan sampai Suto terluka oleh keganasan si
Perawan Titisan Peri! Aku tak ingin si tampan itu
celaka!" Sampai di tempat kejadian, ternyata yang terbunuh
seorang perempuan muda dalam keadaan setengah bugil.
Perempuan itu adalah pengantin baru yang mati terkapar di pelataran rumahnya.
Menurut kabar dari pihak
orangtua perempuan itu, seorang perempuan lain telah membawa lari suami
perempuan itu saat mereka berdua
sedang di kamar mandi.
"Perempuan itu jelas perempuan yang kemarin
membunuh Sumpana," kata ayah korban. "Dia adalah si Perawan Titisan Peri!"
"Lari ke arah mana dia?" tanya salah seorang sesepuh desa.
"Ia berkelebat ke arah timur dengan cepat bagai menghilang."
Pendekar Mabuk menarik napas memandang ke arah
timur. Dalam benaknya sempat berkata
"Berarti Kucing Hutan bersembunyi tak jauh dari desa ini. Mungkin ia
meninggalkan Lembah Meong
karena suatu alasan tertentu. Tapi... haruskah aku
mengejarnya jika keterangan Paras Kencani itu memang benar, bahwa pusaka Panji-
panji Mayat disimpan di
ruang rahasia yang hanya bisa dimasuki oleh mendiang Prabu Dasawalatama"!"
Ada keraguan yang timbul di hati Pendekar Mabuk.
Rasa percaya dengan keterangan Paras Kencani menjadi
berkurang karena suatu pertimbangan yang baru saja
muncul dalam otaknya.
"Saat Paras Kencani dipaksa oleh Rangkak Dulang untuk serahkan kitab pusaka, ia
mengatakan kitab itu ada di tangan Perawan Titisan Peri. Tetapi saat kusebutkan
nama Perawan Titisan Peri, ia mengaku pernah
mendengar nama itu namun belum pernah bertatap muka
dengan Perawan Titisan Peri. Mana yang benar" Jika
memang kitab itu ada di tangan Perawan Titisan Peri, tentunya Paras Kencani
pernah beradu muka dengan
perempuan peminum darah itu. Mengapa ia harus
berbohong padaku"!"
* * * 5 TOKOH tua berjubah merah kusam muncul di tempat
pembunuhan. Kala itu Pendekar Mabuk sedang bergegas
untuk kembali ke kedai. Tetapi belum jauh dari rumah korban sudah berpapasan
dengan Duta Raja.
Sikap dari Duta Raja yang berhenti di depan langkah
Pendekar Mabuk menimbulkan kecurigaan tersendiri
bagi pemuda tampan itu. Dengan tetap menjaga
ketenangan sikapnya, Pendekar Mabuk sengaja hentikan langkah tiga tindak di
depan Duta Raja. Cahaya
rembulan samar-samar menyinari wajah-wajah mereka.
"Ada yang ingin kubicarakan padamu, Anak muda,"
kata Duta Raja dengan nada tak ramah.
"Apakah kau ingin bicara tentang kitab pusaka yang
dicari oleh majikanmu; si Pawang Setan Binal itu"!
Kalau benar kau ingin bicara denganku tentang kitab
tersebut, sebaiknya urungkan saja niatmu itu. Aku tak pernah tahu tentang kitab
tersebut."
"Ada yang lebih penting kau dengar dari kitab pusaka itu."
"Katakanlah, aku tak punya banyak waktu untuk
bicara, karena aku tak mau terlalu lama meninggalkan Paras Kencani."
"Dia sudah pergi dari kedai!"
Pendekar Mabuk berkerut dahi, diliputi perasaan
bimbang. Duta Raja berkata lagi dengan suaranya yang juga bernada dingin.
"Pasti dia pergi searah dengan kepergian si Perawan Titisan Peri."
"Dari mana kau tahu?"
"Naluriku mengatakan demikian," jawab Duta Raja.
"Paras Kencani bersekutu dengan Perawan Titisan Peri.
Dia mendapat tugas mencari pusaka Panji-panji Mayat."
Jantung terasa bagai ditarik seketika. Pendekar
Mabuk nyaris tersedak karena kaget mendengar ucapan
Duta Raja tentang Paras Kencani.
Duta Raja sedikit menjauh, memandang purnama
yang mengintip di balik mega. Tapi suaranya terdengar jelas ke telinga Pendekar
Mabuk. "Rangkak Dulang membantai habis anak buahnya dan menghancurkan Perguruan Pasir Pitu. Paras Kencani
kalah tanding dengan Rangkak Dulang, lalu bergabung
dengan Perawan Titisan Peri. Ada dua tujuan yang ingin
dicapai oleh Paras Kencani. Pertama, ingin meminjam
kekuatan si Kucing Hutan untuk membalas dendam
kepada Rangkak Dulang. Kedua, ingin mendapat
perlindungan dari Kucing Hutan untuk mendapatkan
Panji-panji Mayat, karena ia ingin menghidupkan
kembali murid-muridnya yang terbantai oleh Rangkak
Dulang." Duta Raja berpaling memandang Pendekar Mabuk
yang masih tertegun bengong, antara percaya dan tidak mendengar penjelasan
tersebut. Duta Raja mendekati
Pendekar Mabuk dan berkata,
"Hati-hati dengan perempuan itu. Dia bukan saja licin bagaikan belut, tapi juga
licik bagaikan ular!"
"Haruskah aku mempercayai kata-katamu, Duta
Harpa Iblis Jari Sakti 25 Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi Pedang Hati Suci 10