Pencarian

Perawan Titisan Peri 2

Pendekar Mabuk 059 Perawan Titisan Peri Bagian 2


Raja?" "Aku tak memaksamu untuk percaya. Tapi setidaknya kau punya bekal jika kau
berhadapan dengan Paras
Kencani lagi. Kusarankan tak perlu temui dia dan
lupakan tentang dia! Kau masih muda, masih punya
kesempatan lebih panjang untuk mencari perempuan
yang lebih cantik dari Paras Kencani."
Pendekar Mabuk masih tertegun di tempat, ia bagai
tersihir dan tak bisa berbuat apa-apa ketika Duta Raja pergi meninggalkannya.
Arah kepergiannya menuju ke
perbatasan desa. Berarti Duta Raja tidak kembali lagi ke kedai.
"Benarkah Paras Kencani bersekutu dengan Perawan Titisan Peri"!" pikir Suto
Sinting masih berdiri di tempat. "Berarti hampir saja aku terkecoh oleh
pengakuan perempuan itu. Mungkin ia ingin
memanfaatkan kekuatanku menembus negeri Kincir
Bantala untuk mengambil pusaka Panji-panji Mayat.
Barangkali apa yang dikatakan tentang pusaka tersebut memang benar-benar
tersimpan di sebuah kamar rahasia di negeri Kincir Bantala. Tetapi niatnya bukan
hanya untuk menghidupkan kembali
murid-muridnya,
melainkan ingin menyerahkan pusaka Panji-panji Mayat kepada Kucing Hutan.
Kurasa, dengan menyerahkan
pusaka tersebut, Kucing Hutan bersedia membalaskan
dendam Paras Kencani kepada Rangkak Dulang atau si
Pawang Setan Binal."
Kaki pun mulai melangkah pelan-pelan sambil benak
berkecamuk terus. Saat beberapa langkah lagi sampai di kedai, Suto Sinting
sempat berkata pada dirinya sendiri.
"Aku harus bisa segera bertemu dengan Gusti Ayu Sunggarini sebelum Paras Kencani
tiba di negeri itu.
Aku khawatir Paras Kencani berhasil membujuk Gusti
Ayu Sunggarini untuk menunjukkan kamar rahasia
mendiang Prabu Dasawalatama. Jika hal itu terjadi, besar kemungkinan ia akan
menggunakan berbagai cara untuk
masuk ke kamar tersebut dan mengambil pusaka Panji-
panji Mayat. Tetapi... ah, lagi-lagi aku selalu dibuat bingung arah mana yang
harus kuambil agar tiba di
negeri Kincir Bantala"!"
Duduk di kedai merenung sendirian membuat Pak
Tua pemilik kedai tertarik untuk mendekatinya. Dengan hati-hati Pak Tua pemilik
kedai mengajak Pendekar
Mabuk bicara dengan mengajukan sebuah pertanyaan,
"Perawan Titisan Peri memakan korban lagi, Nak?"
"Benar, Pak Tua."
"Dan teman perempuanmu juga menjadi korban?"
Pendekar Mabuk memandang tajam ke arah Pak Tua
pemilik kedai. "Apa maksud pertanyaanmu, Pak Tua?"
"Sebab kulihat ketika teman perempuanmu tadi
bergegas menyusulmu, si tua bangka berjubah merah itu juga berkelebat
menyusulnya. Aku khawatir teman
perempuanmu menjadi sasaran si jubah merah."
"Mengapa kau berkata begitu?"
"Karena menurut dugaanku, si jubah merah adalah teman si pembantai yang haus
darah itu. Setiap kali akan terjadi korban pembantain selalu diawali dengan
kemunculan si jubah merah tadi."
"Maksudmu... Duta Raja itu"!"
"Aku tak tahu namanya. Tapi sudah empat kali dia selalu muncul di kedaiku, dan
beberapa saat kemudian terjadilah pembantain yang dilakukan oleh Perawan
Titisan Peri. Jika bukan karena kerja sama, mengapa
kemunculannya selalu bertepatan dengan peristiwa
pembantain itu?"
"Edan!" geram Suto Sinting dalam hati sambil garuk-garuk kepala. "Sekarang
semakin membingungkan lagi.
Pak Tua ini memberikan keterangan yang bertentangan
dengan keterangan si Duta Raja. Mana yang benar"
Siapa sebenarnya yang bekerja sama dengan si Kucing
Hutan itu" Paras Kencani atau Duta Raja"!"
Paras Kencani memang tak pernah muncul lagi
sampai pagi menyingsing. Pendekar Mabuk terpaksa
harus tinggalkan desa itu seorang diri. Tapi sebelumnya ia sempat menemui Pak
Tua pemilik kedai.
"Kalau aku mau ke negeri Kincir Bantala, tahukah kau arah mana yang harus
kutuju, Pak Tua?"
"Kau bisa berjalan terus ke arah utara, melewati sebuah lembah di kaki
perbukitan cadas, dan akan
menjumpai sebuah sungai besar. Di seberang sungai
itulah tanah wilayah negeri Kincir Bantala."
"Terima kasih atas bantuanmu, Pak Tua."
"Apakah kau ingin mengikuti sayembara
membangkitkan jenazah Prabu Dasawalatama, Nak?"
"Tidak. Aku hanya ingin bicara dengan putri sang Prabu saja."
"Berhati-hatilah, karena negeri itu sedang berselisih dengan Kadipaten Pusar
Langit. Dan kudengar Adipati
Pusar Langit sedang menyewa beberapa orang berilmu
tinggi aliran hitam untuk menumbangkan negeri Kincir Bantala."
"Terima kasih atas saranmu, Pak Tua!"
Perjalanan pagi menyusuri kaki perbukitan pun
dilakukan seorang diri oleh Pendekar Mabuk. Wajah
Paras Kencani masih membayang terus di pelupuk mata.
Bukan karena rasa cinta, melainkan karena penjelasan dari Duta Raja bagai
menghantui pikiran terus-menerus.
Pertimbangan demi pertimbangan telah membuat
langkah kaki Pendekar Mabuk tak terasa telah
menyusuri kaki perbukitan cadas yang jarang ditumbuhi pepohonan. Perbukitan itu
terasa kering dan tandus,
sekalipun dua tiga pohon tampak di sana-sini.
Akhirnya langkah itu pun terhenti manakala mata
Pendekar Mabuk memandang ke puncak perbukitan
yang membujur dari barat ke timur. Di atas perbukitan yang tandus itu terlihat
gerakan dua orang sedang
lakukan pertarungan cukup sengit.
Seorang perempuan berusia tiga puluh tahun sedang
menghadapi serangan tokoh tua berjubah merah kusam.
Tokoh tua itu tak lain adalah Duta Raja yang saat itu sedang menghantamkan
tongkatnya ke tubuh perempuan
cantik berambut terurai sepunggung.
Kalau saja perempuan itu tidak cepat rundukkan
badan, maka kepalanya akan terhantam gerakan tongkat si Duta Raja yang
berkelebat cepat tak bisa dilihat oleh mata manusia biasa. Wuuukk...! Pada saat
itulah perempuan berpakaian terusan warna biru ketat
menghantamkan pukulan dua jarinya ke arah perut Duta Raja. Sett...! Sodokan dua
jari ke depan memang tidak kenai perut lawannya, tapi sinar hijau lurus yang
keluar dari dua jari itu menghantam ke arah pusar si Duta Raja.
Claaapp...! Dengan tangkas Duta Raja sentakkan tongkatnya ke
tanah hingga tubuhnya melayang ke atas dalam keadaan kedua tangan masih bertumpu
pada tongkat. Sinar hijau itu lolos dari perutnya. Tubuh Duta Raja berjungkir
balik dengan cepat bagai seekor garuda terbang ke arah
belakang perempuan bertubuh elok itu.
Weeess...! Jlegg...!
Perempuan itu sempat bingung menghadapi
lawannya. Karena ketika lawannya melintas di atas
kepala dan mendaratkan kaki di tanah belakangnya,
tongkat sang lawan terlepas dan bergerak menyodok
sendiri dari arah depan. Perempuan itu lebih
mengkhawatirkan serangan dari arah belakangnya,
sehingga ia berusaha cepat balikkan badan. Tapi tongkat lawan sudah lebih dulu
menyodok telak mengenai
pinggangnya. Dugg...! .
"Aaahg...!" perempuan itu terpekik bagai tak sadar, suaranya cukup keras
menandakan rasa sakitnya pun
amat tinggi, ia jatuh terkulai bagai tak bertenaga lagi.
Tongkat itu jatuh begitu saja, lalu Duta Raja segera melompati tubuh yang jatuh
terkulai dan menyambar
tongkatnya dengan menggunakan kaki.
Wuuutt...! Taaabb...!
Dalam sekejap tongkat sudah berada di tangan Duta
Raja, dan kedua kakinya menapak dengan tegap di tanah seberang perempuan yang
sedang menggeliat kesakitan.
Rupanya sodokan tongkat itu bukan sekadar sodokan
biasa, melainkan mempunyai kekuatan tenaga dalam
tinggi yang mampu membengkakkan semua bagian
dalam tubuh. Napas perempuan itu tak bisa dihela lagi, hingga ia ternganga-
nganga berusaha menghirup udara
sebanyak mungkin.
Duta Raja tak mau membiarkan lawannya hanya
kesakitan, ia segera sentakkan kaki dan tubuhnya
melesat lurus ke atas, lalu tongkatnya disentakkan
sedikit ke arah perempuan itu. Seberkas sinar lurus
warna merah keluar dari ujung tongkat dan mengarah
pada punggung perempuan tersebut, Clappp..!
Pendekar Mabuk segera lepaskan pukulan sinar biru
dari kedua tangan disentakkan ke depan.
Clappp...! Jurus 'Tangan Guntur' yang mengeluarkan
sinar biru itu menghantam sinar merah dari tongkat Duta Raja. Blegaarrr...!
Ledakan dahsyat mengguncang perbukitan. Sebagian
lereng bukit mengalami longsor, bebatuannya
berhamburan menggelinding ke bawah. Ledakan itu
menghadirkan gelombang berdaya sentak tinggi,
sehingga tubuh Duta Raja terlempar ke belakang dan
jatuh terpelanting. Brrruukkk ..!
Pendekar Mabuk sengaja mematahkan serangan Duta
Raja, karena perempuan yang nyaris mati oleh sinar
merah dari ujung tongkat itu tak lain adalah Merpati Liar, murid mendiang Nyai
Parisupit yang bukan dari
pihak keluarga. Merpati Liar merupakan orang yang
berusaha menyelamatkan pusaka Panji-panji Mayat agar tidak jatuh ke tangan orang
yang bukan ahli waris Nyai Parisupit. Pendekar Mabuk berjumpa dengan Merpati
Liar ketika ia dituduh berada di pihak Perawan Titisan Peri, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode:
"Gadis Buronan").
Apa persoalan yang terjadi antara Merpati Liar
dengan Duta Raja, belum jelas diketahui oleh Pendekar Mabuk. Namun nalurinya
mengatakan bahwa ia harus
memihak Merpati Liar. Setidaknya menyelamatkan
perempuan itu dari ancaman jurus mautnya Duta Raja,
mengingat Duta Raja adalah pelayan dan sahabat erat
Rangkak Dulang, sedangkan Rangkak Dulang adalah
tokoh aliran hitam.
Tetapi sebelum Suto Sinting tiba di atas perbukitan, Merpati Liar masih sempat
bangkit walau hanya bisa
merangkak dengan bertumpu kedua tangannya.
Pandangan matanya yang tajam itu berusaha menatap
Duta Raja. Pada waktu itu Duta Raja menggeram penuh
kemarahan akibat kegagalannya membunuh lawan.
Ketika Duta Raja setengah berdiri, kepala Merpati
Liar mengibas ke kanan. Weeess...! Tubuh Duta Raja
yang berjarak delapan langkah darinya terbuang dan
membentur sebongkah batu besar. Brruss...!
Walaupun Suto kini sudah mencapai puncak bukit
yang memang tak seberapa tinggi itu, tapi ia segera hentikan langkah dan gerakan
demi melihat Merpati Liar lakukan serangan dengan jurus 'Kendali Netra'-nya yang
mempunyai kekuatan pada pandangan mata. Dengan
menatap Duta Raja, ia dapat melemparkan tokoh tua itu ke atas, ke bawah atau ke
mana saja. Bahkan kali ini setelah Duta Raja dilemparkan dengan kekuatan
matanya ke atas dan jatuh terjungkal di tanah tak
berumput, Merpati Liar segera memandang sebongkah
batu berukuran sebesar gentong air. Batu itu tiba-tiba terangkat sendiri dan
melayang menghantam tubuh Duta Raja. Wuuuttt...!
Praakk...! Sayang sekali sebelum batu itu sampai di tubuh Duta
Raja, keadaan Duta Raja telah berjongkok bersiap untuk bangkit. Maka batu besar
yang melayang ke arahnya
segera dihantam dengan tusukan dua jari kirinya yang melepaskan segumpal tenaga
dalam cukup tinggi.
Suuutt..! Tak heran jika batu itu hancur menjadi berkeping-
keping sebelum kenai sasarannya. Duta Raja segera
bangkit dan melompat ke kiri, menyambar tongkatnya
yang tergeletak di tanah dengan menggunakan satu kaki.
Wuuutt...! Taaab...!
Tongkat tergenggam kembali di tangannya. Tubuh
Duta Raja bagaikan menghilang. Weess...! Tahu-tahu
sudah berada di atas sebongkah batu cadas lebih besar lagi. Ia masih tampak
segar dan sehat walau pakaiannya menjadi kotor akibat dibanting ke sana-sini
dengan kekuatan mata Merpati Liar.
"Hentikan...!" seru Suto Sinting begitu melihat Merpati Liar beradu pandangan
mata dengan Duta Raja.
Perpaduan pandangan mata itu rupanya saling
berusaha menjatuhkan lawan. Tubuh tokoh tua itu
bergerak-gerak bagai lidi dihembus angin di atas sebuah batu. Tetapi tubuh
Merpati Liar juga bergetar dalam
keadaan berlutut dengan kedua tangan merentang kuat.
Di pertengahan jarak keduanya terjadi percikan bunga api beberapa kali yang
mengeluarkan letupan-letupan
kecil. Dari situlah Suto Sinting tahu bahwa mereka
sedang beradu kekuatan tenaga dalam melalui
pandangan mata. Karenanya, Suto Sinting perlu
mengulang seruannya tadi dengan suara lebih keras lagi.
"Hentikaaan...!"
Wuuuk...! Beeehg...!
"Aaaahg...!"
Duta Raja memekik panjang, tubuhnya terlempar
bagaikan dihantam tenaga amat besar. Tubuh itu
akhirnya jatuh ke lereng bukit dan terguling-guling tanpa ampun lagi. Sementara
itu, Merpati Liar terengah-engah dengan tubuh bersimpuh lemas.
"Merpati, lekas minum tuakku ini!"
Sementara Merpati Liar meneguk tuak Suto, tampak
Duta Raja berkelebat pergi larikan diri dalam keadaan terhuyung-huyung. Agaknya
ia terluka bagian dalam
cukup parah oleh serangan Merpati Liar, sehingga
merasa perlu menyingkir untuk sembuhkan lukanya
lebih dulu. "Aku harus mengejarnya!" ujar Merpati Liar begitu selesai meminum tuak dan
melihat Duta Raja melarikan diri.
"Jangan, Merpati! Tunggu tenagamu pulih kembali."


Pendekar Mabuk 059 Perawan Titisan Peri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Mabuk sengaja menahan karena ia tahu
kekuatan Merpati Liar belum pulih seperti sediakala.
Rasa sakit di seluruh tubuh memang sudah hilang, tapi Merpati Liar harus
menunggu waktu sekitar lima puluh hitungan untuk memulihkan kekuatannya yang
tadi hilang akibat sodokan tongkat lawan.
"Aku tak ingin kehilangan dia, Suto!"
Pendekar Mabuk sengaja menghadang di depan
Merpati Liar, sikapnya tetap tenang seakan memasang
wibawa untuk menundukkan keinginan perempuan
cantik itu. "Mengejar dan menangkapnya itu persoalan mudah.
Aku sanggup lakukan sendiri. Tapi sebelumnya aku
perlu tahu, mengapa kau bentrok dengannya?"
"Duta Raja menyerangku lebih dulu, karena ia tahu aku murid mendiang Guru Nyai
Parisupit. Pasti dia tahu bahwa aku adalah salah satu dari orang yang akan
merintangi niatnya memperoleh pusaka Panji-panji
Mayat!" Dahi Pendekar Mabuk berkerut heran. "Jadi, dia ingin mendapatkan pusaka Panji-
panji Mayat" Apa
alasannya?"
"Duta Raja adalah adik si Kucing Hutan!"
"O, ya..."!" Suto Sinting terbelalak bengong. Kabar itu seperti petir menyambar
di ujung hidungnya.
* * * 6 SATU pertanyaan tersimpan dalam batin Suto
Sinting, "Jika Duta Raja ternyata adalah adik dari Kucing Hutan atau Perawan
Titisan Peri, lalu bagaimana dengan Paras Kencani sendiri?"
Merpati Liar membersihkan pakaiannya yang kotor
akibat jatuh tadi. Rambutnya yang panjang kini
disatukan ke belakang dan diikat dengan seutas akar kecil. Perempuan itu tampak
semakin cantik dalam
keadaan rambut dikebelakangkan, ia menjadi serba
kikuk setelah sadar sejak tadi dipandangi oleh Pendekar Mabuk yang dari dulu
dikagumi oleh hatinya, namun tak pernah dinyatakan lewat ucapan.
"Bagaimana kau bisa sampai di perbukitan ini, Suto?"
Merpati Liar mengalihkan rasa agar tak semakin salah tingkah.
"Sejak kau lari mengejar Perawan Titisan Peri itu, aku segera menyusulmu setelah
lebih dulu menyuruh
Hantu Laut dan Kadal Ginting pergi ke Lembah Sunyi
untuk menemui Resi Wulung Gading," tutur Pendekar Mabuk sehabis menenggak
tuaknya tiga tegukan.
Lanjutnya lagi, "Sementara itu pula, Resi Badranaya pulang ke padepokannya
bersama muridnya; Darah
Prabu. Aku sengaja menyusulmu karena khawatir terjadi sesuatu pada dirimu jika
berhadapan dengan si Kucing Hutan."
Merpati Liar menarik napas, ada perasaan aneh yang
membuat hatinya berdesir indah begitu mendengar
pengakuan Suto Sinting, ia masih bisa membayangkan
peristiwa pertarungan Kucing Hutan dengan Resi
Badranaya yang membuat Suto Sinting dan dirinya
segera mengambil alih pertarungan tersebut, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Gadis Buronan").
"Sayang sekali aku tidak tahu ke mana arah
pengejaranmu kala itu, sampai akhirnya aku berjumpa
dengan penabuh bende dari negeri Kincir Bantala yang menyebarkan sayembara.
Kersa Gotri, si penabuh bende yang menjadi wakil suara Gusti Ayu Sunggarini itu
sempat membawaku ke negeri Kincir Bantala. Dalam
perjalanan itu aku bertemu dengan seorang tokoh wanita yang usianya sudah
mencapai delapan puluh tahunan,
tapi penampilannya masih muda dan cantik."
"Hmmm...!" Merpati Liar sempat mencibir sinis, kemudian segera ajukan tanya,
"Siapa nama perempuan itu?"
"Paras Kencani," jawab Suto Sinting tenang, namun membuat Merpati Liar
terperangah dan memandang
dengan tajam. Suto menjadi heran melihat perubahan wajah itu.
"Mengapa kau terkejut" Apakah kau kenal dengan Paras Kencani?"
"Ketua Perguruan Pasir Pitu!"
"Memang benar. Perguruannya dihancurkan oleh
Rangkak Dulang dan...."
"Rangkak Dulang alias Pawang Setan Binal itu"!"
"Benar. Apakah kau juga kenal dengan tokoh aliran hitam itu."
"Aku pernah bertarung dengannya beberapa tahun
yang silam, karena suatu urusan pribadi. Kami sama-
sama terluka parah, lalu sama-sama sepakat untuk
menunda pertarungan. Sampai sekarang aku belum
pernah bertemu lagi dengannya!"
"Sekarang dia sedang mengejar Kucing Hutan, karena mengejar sebuah kitab pusaka
yang menurut pengakuan
Paras Kencani kitab itu ada di tangan Kucing Hutan.
Aku sempat selamatkan Paras Kencani yang terkena
pukulan beracunnya si Pawang Setan Binal itu."
"Hemm...!" Merpati Liar mencibir lagi. Setiap Suto Sinting sebutkan nama Paras
Kencani, wajah Merpati
Liar menampakkan kesinisannya. Keanehan itu disimpan dalam hati Suto selama
menuturkan perjalanannya
hingga sampai di perbukitan itu.
Sambil menuruni lereng perbukitan, Suto masih
melanjutkan ceritanya.
"Sejak semalam aku berpisah dengan Paras Kencani, dan sampai saat ini aku tak
tahu dengan pasti ke mana perginya. Aku pun masih sangsi dengan keterangan Duta
Raja tentang persekongkolan Paras Kencani dengan si
Kucing Hutan."
Merpati Liar sengaja hentikan langkah tepat dibawah
pohon teduh. "Paras Kencani itu cucunya Gajahloka!"
Pendekar Mabuk terperangah kaget. "Cucunya
Gajahloka"!"
Otak murid si Gila Tuak segera mengingat silsilah
keluarga Nyai Parisupit yang mempunyai paman tiri
Eyang Kurupati. Sedangkan Eyang Kurupati mempunyai
anak Gajahloka. Gajahloka mempunyai tiga anak, yang bungsu adalah ibu dari
Barakoak, yang dikenal dengan nama si Raja Iblis. Salah satu anak dari Gajahloka
mempunyai keturunan yang sekarang masih hidup, dan
Paras Kencani itulah keturunan dari anak Gajahloka,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Pembantai Raksasa).
"Berarti tujuannya menemui Gusti Ayu Sunggarini bukan sekadar untuk meminjam
pusaka buat menghidupkan murid-muridnya, melainkan memang
ingin menguasai pusaka Panji-panji Mayat itu"!"
"Dugaanmu tak salah lagi!" ujar Merpati Liar dengan tegas. "Barangkali karena ia
tidak mempunyai kekuatan
yang cukup untuk merebut Panji-panji Mayat, maka ia
pergunakan dirimu sebagai penambah kekuatannya."
"Tapi dia tidak tahu bahwa aku adalah muridnya si Gila Tuak. Dia hanya
mengenalku sebagai Suto Sinting, bukan sebagai Pendekar Mabuk."
"Omong kosong! Ciri-ciri penampilanmu sudah
dikenal di rimba persilatan. Sebagai ketua perguruan, Paras Kencani pasti
mengenali ciri-cirimu sebagai
Pendekar Mabuk, ia hanya berpura-pura tolol supaya
niat busuknya tidak kau ketahui!"
Mendengar keterangan itu, Pendekar Mabuk menjadi
tertegun lama. Ia sama sekali tak menduga kalau Paras Kencani ternyata keturunan
dari Eyang Kurupati.
Hampir saja ia terjebak dan terpedaya oleh kepura-
puraan Paras Kencani.
"Tapi anehnya, mengapa malam itu ia menghilang
dariku" Apakah benar ia mengikuti pelarian si Kucing Hutan?"
"Menurutku apa yang dikatakan Duta Raja tentang si Paras Kencani itu tidak
benar. Mungkin Duta Raja hanya merasa sirik karena ia gagal menjadi pendamping
hidup si Paras Kencani. Mungkin juga ia cemburu melihat kau berduaan dengan
Paras Kencani, sehingga ia perlu
menyebar fitnah seperti itu agar kau menjauhi Paras
Kencani." "Rasa-rasanya... pendapatmu itu ada benarnya,"
gumam Suto Sinting sambil menerawang dalam keadaan
tertegun di tempat.
Merpati Liar yang bersikap angkuh di depan Suto
Sinting itu perdengarkan suaranya lagi, "Barangkali apa yang dikatakan oleh
Paras Kencani tentang kamar
rahasia dari Prabu Dasawalatama itu memang benar-
benar ada. Sebab, sudah lama kudengar kabar bahwa
Paras Kencani berteman akrab dengan Dasawalatama
ketika Dasawalatama belum menjadi raja dan belum
mencapai puncak kejayaannya. Setahuku juga,
Dasawalatama berteman akrab pula dengan Galak
Gantung." "Karena itulah aku bertekad ingin temui Gusti Ayu Sunggarini, putri tunggal
mendiang Prabu Dasawalatama itu."
"Apakah kau sanggup menahan diri?"
Pendekar Mabuk pandangi Merpati Liar dengan dahi
berkerut. "Apa maksudmu, Merpati"!"
Dengan melengos ke arah lain, Merpati Liar
menjawab bernada dingin, "Sunggarini punya kecantikan yang memikat tiap lelaki.
Apakah kau sanggup untuk
tidak terpikat olehnya?"
Pendekar Mabuk tertawa pendek. Merpati Liar
berkata lagi, "Kalau kau sanggup untuk tidak terpikat oleh
Sunggarini, akan kuantar kau ke kerajaan Kincir
Bantala." "Kau pernah ke sana"!"
"Sunggarini adalah sahabatku." Hanya itu jawaban dari mulut Merpati Liar.
Pendekar Mabuk menunggu
keterangan tambahannya, namun Merpati Liar tetap
katupkan bibirnya yang bikin hati geregetan itu.
"Satu lagi yang ingin kutanyakan padamu," ujar Suto Sinting. "Menurut keterangan
Paras Kencani, Duta Raja adalah sahabat sekaligus pelayannya Rangkak Dulang.
Benarkah itu?"
"Setahuku, dulu memang begitu. Tapi belakangan ini Duta Raja tidak memihak lagi
kepada Rangkak Dulang,
karena ia tahu bahwa kakaknya; si Kuping Hutan, telah menjalin permusuhan dengan
Rangkak Dulang. Tentu
saja Duta Raja yang dulu pernah menjadi utusan
mendiang Raja Bonang segera berbalik sikap memihak
kakaknya. Karena itu Rangkak Dulang pun benci kepada Duta Raja dan menggolongkan
Duta Raja sebagai
musuhnya."
"O, begitu ceritanya"! Lengkap sekali kau
mengetahui cerita itu. Dari mana kau dapat
mengetahuinya, Merpati"!"
"Duta Raja, Paras Kencani dan aku sendiri, pernah bersatu melumpuhkan kekuatan
negeri seberang. Tiga
tahun lamanya kami bersatu dan saling mengenal diri, kemudian setelah negeri
seberang runtuh, kami saling berpisah."
Murid si Gila Tuak menggumam dan manggut-
manggut, merasakan kelegaan dalam hatinya setelah
mengetahui segala sesuatu yang sejak kemarin menjadi ganjalan hatinya.
Sebenarnya ia ingin ajukan pertanyaan lagi kepada Merpati Liar. Namun niat itu
tertunda karena tiba-tiba mereka mendengar suara ledakan menggelegar dari arah
utara. Blegaarrr...! Pendekar Mabuk beradu pandang dengan Merpati
Liar. "Ada yang mengadu ilmu di sebelah utara!" ucap Suto Sinting seperti bicara pada
diri sendiri. Merpati Liar hanya membungkam diri, tapi
pandangan matanya segera diarahkan ke utara. Tampak
kepulan asap hitam membubung tinggi dari balik sebuah bukit cadas. Dapat
dibayangkan, alangkah dahsyat ilmu yang mereka pertarungkan di sana. Hal itu
sangat menarik perhatian Pendekar Mabuk, sehingga tanpa
menunggu pertimbangan Merpati Liar, Suto segera
melesat ke arah kepulan asap hitam itu.
"Aku akan menengoknya ke sana!"
Zlaaapp...! Pendekar Mabuk bagaikan menghilang
karena kecepatan bergeraknya yang menyerupai
hembusan angin, melebihi kecepatan anak panah.
Merpati Liar tak mau tinggal diam di tempat, ia pun
bergerak cepat menggunakan ilmu peringan tubuhnya
hingga mirip orang terbang. Weeess...!
Ternyata di balik bukit cadas itu terjadi pertarungan cukup seru. Pendekar Mabuk
yang mengintai dari atas
bukit sangat mengenali dua tokoh yang sering beradu
kesaktian. Mereka tak lain adalah Pawang Setan Binal sedang menghajar seorang
perempuan buta berpakaian
biru laut yang menyandang panah dan busur di
punggungnya. Perempuan buta itu tak lain adalah Dewi Geladak Ayu, si bajak laut
wanita yang cacat matanya saat melawan Peluh Setanggi, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Gadis Buronan").
Merpati Liar baru saja tiba saat Dewi Geladak Ayu
terjungkal oleh pukulan jarak jauh si Pawang Setan
Binal. Hanya dengan kelebatan tangan kiri bagai
menyambar air, tubuh Dewi Geladak Ayu dibuat
terjungkal bagai dihantam tenaga dalam cukup besar.
Bahkan perempuan cantik dari aliran hitam itu sempat memuntahkan darah kental
dari mulutnya. Tangannya
meraba-raba mencari tempat pegangan, namun tempat
pegangan itu tak ditemukan di sekitar tempatnya jatuh.
"Di mana si Kucing Hutan" Kutahu kau berdua
dengannya beberapa waktu yang lalu" Katakan saja di
mana dia daripada aku harus mencabut nyawamu,
Geladak Ayu!"
Dengan napas terengah-engah, Dewi Geladak Ayu
menjawab dengan nada geram.
"Persetan dengan si Kucing Hutan! Kalau aku berdua dengannya bukan lantaran aku
bersekutu dengannya, tapi karena aku diperdaya olehnya. Kalau kau mencari
Kucing Hutan, aku pun sedang mencarinya untuk
menuntut balas tindakannya padaku tempo hari. Tapi
jika kau tidak percaya padaku, apa pun maumu akan
kulayani walau mataku telah buta, Rangkak Dulang!"
"Keparat!" geram si Pawang Setan Binal.
"Kutelanjangi tubuhmu sebagai upah sesumbarmu itu, Geladak Ayu!"
Weeess...! Weeesss...! Wut, wut, wut, wut...!
Pendekar Mabuk terbelalak bengong karena kagum


Pendekar Mabuk 059 Perawan Titisan Peri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat kecepatan gerak si Pawang Setan Binal. Lelaki tua yang kurus kerontang
itu berkelebat mengitari Dewi
Geladak Ayu. Rupanya ia mencabik-cabik pakaian tipis perempuan itu dengan
menggunakan kuku-kuku
tajamnya. Gerakannya bagaikan sebentuk hembusan
angin topan yang mengelilingi Dewi Geladak Ayu.
Weeesss...! Dalam kejap tertentu ia menjauh dan muncul pada jarak tujuh langkah
dari si bajak laut wanita itu.
"Oooh..."!" Dewi Geladak Ayu terpekik tertahan setelah meraba tubuhnya ternyata
tidak terbungkus kain lagi. Kain yang membungkus tubuh eloknya telah
tercabik-cabik hingga terlepas seluruhnya.
"Gila! Ck, ck, ck...!" Pendekar Mabuk geleng-gelengkan kepala melihat Dewi
Geladak Ayu tidak
berpakaian lagi.
Merpati Liar segera menotok tengkuk kepala Suto
Sinting. Tees...!
"Uuhg...!" Suto terpekik lirih. Kemudian ia menjadi berdebar-debar tegang
setelah matanya tak bisa dipakai untuk memandang. Tangan Suto mencoba mengucal
kedua matanya, namun pandangan yang dapat dilihatnya hanya warna hitam
berbintik-bintik merah dan kuning.
"Merpati...! Gila kau!" gerutunya pelan sekali.
"Mengapa kau totok diriku hingga menjadi buta"!
Lepaskan totokanmu ini, Merpati!"
"Matamu harus dipenjara agar tidak menjadi jalang melihat Geladak Ayu tanpa
busana." "Merpati, aku tidak memandang ke arah tubuh
Geladak Ayu. Aku... aku... oh, lepaskan totokanmu ini, lekas!"
"Mata nakalmu tak bisa kupercaya!" ujar Merpati
Liar dengan tetap membiarkan Suto Sinting dalam
kebutaan. Sementara itu, Rangkak Dulang masih tetap
menganggap Dewi Geladak Ayu bersekongkol dengan
Kucing Hutan, ia tetap mendesak agar Dewi Geladak
Ayu memberitahukan di mana Kucing Hutan berada.
Tetapi perempuan yang sudah tak berbusana lagi itu
tetap ngotot, bahkan melepaskan pukulan bersinar merah secara membabi buta.
Clap, clap, clap, clap...!
Wess, weess, weesss...!
Pawang Setan Binal menghindari tiap serangan itu
dengan sangat mudah. Tubuhnya bagai sulit dihantam
dengan sinar-sinar merah itu. Akibatnya, beberapa batu dan dinding bukit menjadi
sasaran sinar merahnya Dewi Geladak Ayu.
Blaarr, blaarr, Jegaarr... blegarr..!
Batu dan dinding bukit hancur. Tanah dan bukit itu
berguncang karena ledakan dahsyat yang terjadi saat itu.
Dewi Geladak Ayu mengamuk tanpa hiraukan keadaan
tubuhnya yang tidak berpakaian lagi itu. Bahkan busur serta anak panahnya telah
terpental entah ke mana pada saat ia dikelilingi Rangkak Dulang tadi.
"Heeeaaatt...!"
Dengan menggunakan mata batinnya, Dewi Geladak
Ayu lakukan serangan dengan sebuah lompatan mirip
terbang ke arah lawannya. Rangkak Dulang hanya
menghindar mundur tanpa gerakan bersalto. Zaaab...!
Tahu-tahu ia sudah pindah tempat, lima langkah dari
tempat berdirinya semula.
Rupanya serangan membabi buta Dewi Geladak Ayu
semakin membangkitkan kemarahan Pawang Setan
Binal. Maka dengan mengangkat tangan kanannya ke
depan, dari kuku jari kelingking melesat selarik sinar biru sebesar lidi.
Claapp...! Sinar itu tepat kenai
pinggang Dewi Geladak Ayu. Jeerb...!
Blegaaarrr...! Pinggang dan perut Dewi Geladak Ayu jebol
seketika. Tentu saja tokoh bajak laut wanita itu akhirnya terkapar tanpa nyawa
lagi. Rangkak Dulang hanya
memandanginya dengan dingin, kemudian cepat-cepat
pergi dengan menimbulkan asap yang bergerak makin
jauh makin menipis dan lenyap.
"Merpati! Merpati lepaskan totokanmu!" Suto Sinting ribut sendiri, berusaha
melepaskan totokan dengan
tangan sendiri tapi tidak berhasil. Padahal hatinya sangat penasaran mendengar
suara ledakan dan pekik
pertarungan tadi.
Pendekar Mabuk mencoba meminum tuaknya untuk
membebaskan totokan yang membutakan matanya.
Tetapi tuak tidak menolong. Mata masih tidak bisa
digunakan untuk memandang sebagaimana mestinya.
Jari-jari tangannya menotok leher dan beberapa bagian tubuhnya sendiri: des,
des, des, des...!
"Aaauh...!" ia justru kesakitan karena totokannya sendiri. Sementara itu totokan
Merpati Liar masih
mengunci urat matanya hingga tak bisa dipakai untuk
melihat apa-apa.
"Merpati! Lepaskan totokan ini! Lekaslah, Merpati...
aku ingin melihat pertarungan itu! Hei, Merpati..."!
Merpati di mana kau"!"
Suto Sinting akhirnya diam dengan merasa heran.
Telinganya ditelengkan untuk menangkap dengus napas
Merpati Liar. Bahkan jurus 'Lacak Jantung' digunakan untuk mendengar detak
jantung Merpati Liar. Tetapi
ternyata tak ada suara detak jantung sedikit pun, kecuali detak jantungnya
sendiri. Pendekar Mabuk menjadi cemas manakala ia sadari
keadaan di sekelilingnya sangat sepi. Ia dapat menduga bahwa Merpati Liar tidak
ada di sampingnya.
"Celaka! Dia telah meninggalkan aku dalam keadaan buta begini"! Kurang ajar!
Awas nanti jika kudapatkan, akan kubalas dengan tindakan yang lebih
menjengkelkan lagi!" geram Suto Sinting sambil mencoba melangkah dengan tangan
meraba-raba. * * * 7 Merpati Liar sengaja pergi mendekati mayat Dewi
Geladak Ayu. Ia menutup mayat yang telanjang itu
dengan tanah di sekitarnya. Selesai melakukan hal itu, barulah ia bergegas
kembali menemui Suto Sinting.
"Aaaa...!"
"Sutooo...!" seru Merpati Liar dengan tegang saat melihat Suto tergelincir dari
atas bukit dan jatuh
berguling-guling menuruni lerengnya.
Weeesss...! Merpati Liar segera bergerak dan
menahan gerakan tubuh Suto yang hampir saja
membentur batu besar pada bagian kepalanya. Wuuutt...!
Tubuh kekar Suto Sinting disambar dengan kedua
tangan, seakan hal itu dilakukan dengan ringan, tanpa beban berat sedikit pun.
Jika bukan dilakukan dengan tenaga dalam, tak mungkin Merpati Liar dapat
menyambar tubuh kekar Suto seperti menyambar
selembar sarung.
"Kucing kurap kau, Merpati!" maki Pendekar Mabuk sambil menahan rasa jengkel.
"Gara-gara mataku kau buat buta, aku tergelincir dari atas bukit! Uuuh...
sakitnya tulang pinggangku!"
Merpati Liar tertawa kecil, tapi Suto Sinting tak bisa melihat senyuman si
cantik yang menjengkelkan itu.
Hati pendekar tampan hanya bisa menggeram dongkol,
lalu segera menerima bumbung tuaknya yang
diambilkan oleh Merpati Liar. Bumbung tuak itu tadi
sempat terlempar jauh dari Suto Sinting. Untung tak ada orang yang menyambarnya,
sehingga Suto dapat segera
menenggak tuak beberapa teguk untuk menghilangkan
rasa sakit akibat jatuhnya tadi.
Deebb...! Merpati Liar pun segera melepaskan kunci
totokannya. Dengan begitu penglihatan Pendekar Mabuk menjadi terang kembali.
Tapi rasa dongkol masih
menyumbat relung hatinya, hanya saja karena ia segera tertarik pada mayat Dewi
Geladak Ayu, maka rasa
dongkol itu tidak dihiraukan lagi olehnya.
"Geladak Ayu tewas..."!"
"Rangkak Dulang murka dan membunuhnya.
Perutnya jebol, mengerikan sekali. Karena itu kututup dulu dengan tanah supaya
kau tak dapat melihat lukanya dan melihat... dadanya," kata-kata terakhir itu
diucapkan dengan pelan sekali. Pendekar Mabuk hanya menarik
napas dan geleng-geleng kepala merasakan kekecewaan
besar yang terpaksa harus ditelannya.
"Kali ini kau sangat mengecewakan diriku, Merpati.
Tingkahmu seperti anak-anak. Aku kan sudah dewasa,
sudah pantas memandang keindahan perabot seorang
wanita cantik seperti Dewi Geladak Ayu. Bukan hal tabu lagi barang seperti itu
untuk kupandangi"
"Kawini saja mayat si Geladak Ayu," ketus Merpati Liar dengan tangan
ditangkringkan di atas gagang pisau kembarnya yang terselip di pinggang kiri.
"Maksudku, hal yang sangat mengecewakan adalah karena aku tak bisa melihat
pertarungan seru antara
Dewi Geladak Ayu dengan Rangkak Dulang.
Seharusnya...."
Kata-kata itu terhenti seketika karena Merpati Liar
tiba-tiba menendang tubuh Pendekar Mabuk dengan
keras. Wuuutt...! Beeehg...!
Weeess...! Tubuh pemuda tampan itu terpental
melayang dan jatuh berguling-guling. Tali bumbung
tuaknya sengaja digenggam erat-erat agar tak terpisah darinya.
"Perempuan kecut! Apa-apaan dia sebenarnya"!"
geram hati Pendekar Mabuk setelah cepat-cepat berdiri kembali.
Rupanya pada saat Merpati Liar selesai melayangkan
tendangannya ke arah Suto Sinting, ia sendiri segera bersalto ke belakang dalam
gerakan plik-plak beberapa kali dengan cepat. Gerakan plik-plak-nya yang
terakhir sempat membuat Merpati Liar jatuh berlutut, dan ketika Suto telah
berdiri serta memandangnya, perempuan itu sedang berdiri dari jongkoknya.
Namun ada sesuatu yang lebih menarik perhatian
Pendekar Mabuk dan membuat dahinya berkerut heran.
Sebatang tombak tertancap di tanah tempatnya berdiri sebelum ditendang Merpati
Liar. Tombak itu berpita
merah panjang pada ujungnya. Seluruh mata tombak
terbenam di tanah, sedangkan pita merahnya terkulai di tanah.
"Tombak siapa itu"!" gumam Pendekar Mabuk
dengan mata tak berkedip. Kemudian pandangan
matanya segera beralih ke arah datangnya tombak.
Ternyata di sana telah berdiri tiga orang lelaki berbadan kekar dan berwajah tak
bersahabat. Usia mereka rata-rata sekitar empat puluh tahun.
"O, rupanya tendangan Merpati Liar tadi bermaksud menyelamatkan diriku dari
lemparan tombak yang
datang dari ketiga orang itu"! Hmmm... memang lebih
baik terkena tendangan Merpati Liar daripada kelilipan tombak!" gumam Suto dalam
hatinya. Pendekar Mabuk segera melangkah menghampiri
Merpati Liar, sedangkan perempuan itu pun juga
melangkah menghampirinya. Mereka bertemu di dekat
mayat Dewi Geladak Ayu. Keduanya sama-sama
menghadap ke arah datangnya tiga orang kekar yang
sedang menghampiri mereka.
"Siapa tiga orang itu, Merpati"!" tanya Suto Sinting dalam bisikan.
"Entahlah. Tapi menurutku mereka bukan orang
negeri Kincir Bantala. Mungkin anak buahnya si
Geladak Ayu. Biar kuhadapi mereka!"
Satu dari tiga lelaki kekar itu mengenakan rompi
ketat warna merah beludru bersulam benang emas.
Lelaki itu berkumis tipis, menyandang keris di perutnya, ia memakai ikat kepala
kaku dari kain beludru merah juga yang bersulam benang emas. Sedangkan dua
lelaki di kanan-kirinya mengenakan rompi panjang dari kain
biasa warna hijau dan hitam. Kedua orang itu
menggenggam tombak berujung pedang besar. Dapat
disimpulkan, tombak yang tertancap di tanah itu pasti senjata milik si rompi
merah. Ketika mereka hentikan langkah dalam jarak lima
tindak dari Suto Sinting dan Merpati Liar, lelaki berompi merah maju satu
langkah, sebagai tanda bahwa ia yang mewakili kedua lelaki di kanan-kirinya itu.
Dengan mata nanar tanpa kesan bersahabat, lelaki itu lebih dulu
perdengarkan suaranya yang bernada besar.
"Hanya kebetulan saja kalian masih bisa bernapas di depanku. Mestinya salah satu
dari kalian modar di ujung tombakku! Tapi percayalah, sebentar lagi kalian akan
kukirim ke neraka, karena tak ada orang Kincir Bantala yang akan hidup lebih
lama jika kami yang berjuluk Iblis Tiga Paksa telah bertindak!"
"Kami bukan orang Kincir Bantala!" ucap Merpati Liar dengan ketus dan dingin.
"Kami tak kenal siapa kalian, dan kami tak punya urusan dengan kalian!"
"Ha, ha, ha.,.! Rupanya perempuan cantik itu budek kupingnya," ujar lelaki yang
memakai rompi merah kepada orang berbaju hitam.
Maka orang berbaju hitam tanpa lengan itu berkata
kepada Merpati Liar ,
"Kami adalah Iblis Tiga Paksa yang disewa oleh
Adipati Pusar Langit untuk membantai habis orang
orang Kincir Bantala!"
"Sekali lagi kutegaskan pada kalian, kami bukan orang Kincir Bantala. Tetapi
jika kalian bosan hidup, aku akan mewakili El Maut untuk merenggut nyawa
kalian!" Pendekar Mabuk sengaja diam saja. Tapi matanya tak
lepas dari ketiga orang tersebut. Terutama yang berbaju hijau, tampak sudah
menggeram dengan tangan
menggenggam tombak menjadi kuat. Agaknya mereka
tersinggung dengan ucapan Merpati Liar .
"Perempuan bermulut lebar! Kurobek mulutmu
sekarang juga. Heeeah...!"
Orang berompi merah lakukan lompatan ke atas
sambil tangannya menyentak ke depan. Telapak
tangannya itu mengeluarkan seberkas sinar hijau tertuju ke arah Merpati Liar.
Dengan kaki merendah, Merpati
Liar juga menyentakkan telapak tangannya ke depan,
dan sinar merah tanpa putus melesat dari telapak tangan.
Sinar merah itu menahan datangnya sinar hijau dan
akhirnya meledak di pertengahan jarak.
Blegaaarr..! Orang berompi merah yang melayang ke atas menjadi
terpental tak tentu arah. Rupanya gelombang ledakan itu keluarkan angin
menyerupai badai yang mampu
menerbangkan tubuh orang tersebut, sementara tubuh
Merpati Liar sendiri terdorong mundur tiga tindak.
Kedua orang berpakaian hijau dan hitam segera
bertindak menyusul serangan si rompi merah. Namun
baru saja mereka mengangkat tombaknya, kedua tangan
Suto Sinting menyentil ke arah depan. Tes, tes...! Jurus
'Jari Guntur' dilepaskan oleh Pendekar Mabuk. Sentilan yang mengandung kekuatan
tenaga dalam cukup besar


Pendekar Mabuk 059 Perawan Titisan Peri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu tepat mengenai ulu hati kedua orang tersebut. Dub, dub...!
"Heeggh..!" keduanya sama-sama terpekik dengan tubuh melengkung ke depan dan
terdorong mundur
dengan cepat. Keduanya sama-sama jatuh terkapar
bagaikan dibanting tangan, raksasa. Buhgg...!
"Biarkan aku saja yang melayaninya!" hardik Merpati Liar kepada Pendekar Mabuk.
Murid si Gila Tuak hanya bisa sunggingkan senyum
tipis sambil angkat bahu satu kali. Kemudian ia sengaja melangkah ke tempat
lain, memberikan kesempatan
kepada Merpati Liar untuk melawan ketiga orang
sewaan Adipati Pusar Langit itu.
Merpati Liar berdiri tegak dengan kaki sedikit
merentang. Matanya mulai memandang tajam ke arah
lelaki berompi merah. Sebilah keris yang terselip di
depan perut lelaki itu dipandanginya, lalu kepalanya menyentak ke atas samping.
Maka keris itu pun terbang sendiri terbuang jauh bersama sarungnya.
Weeess...! Si pemiiik keris tercengang bengong. Pada saat itu
tiba-tiba tubuhnya bagai ada yang melemparkan ke arah samping. Wuuutt...!
Brrrukk...! "Aaaoh...!"
Orang itu menjerit kesakitan karena kepalanya
bagaikan dibenturkan dengan sebongkah batu besar.
Tenaga yang melemparkan orang itu adalah tenaga yang datang dari pandangan mata
Merpati Liar . Wuuut, brruk,..! Wuuutt, brruukk...! Weeess, prrok...!
"Aaaauh, aaah... aaaow... tolong, aaaauh...!"
Orang berompi merah menjerit-jerit kesakitan karena
tubuhnya dilemparkan ke sana-sini, dibentur-benturkan batu ataupun pohon yang
ada tak jauh darinya. Jurus
'Kendali Netra'-nya Merpati Liar membuat orang itu babak belur dan kehabisan
tenaga. Sementara itu, kedua temannya hanya bisa memandang dengan kagum dan
mulutnya ternganga bengong.
"Kenapa si Golo itu"! Mengapa ia membenturkan diri ke batu dan pohon"!" ujar si
baju hitam. "Perempuan itu menggunakan kekuatan mata! Serang dia sekarang juga!
Heeeeaaah...!"
Kedua orang yang ingin maju menyerang itu tiba-tiba
saling beradu kepala. Merpati Liar menggunakan
kekuatan matanya untuk mengadu kepala kedua orang
itu dengan kerasnya. Prraaakk...!
"Aaaoww...!"
Wees, praaakk...!
"Aaaohh...!"
Kedua orang itu berlumur darah, kepala mereka
saling bocor. Bahkan terakhir kalinya tubuh mereka
terlempar tinggi-tinggi saat kepala Merpati Liar
menyentak ke atas. Tubuh yang terlempar tinggi itu
akhirnya jatuh dalam keadaan kepala di bawah.
Brruukk...! "Ouhgg...!"
Kedua orang itu mengalami patah tulang lehernya.
Kepalanya yang sudah berlumur darah semakin bocor
lagi karena mereka jatuh ke tempat yang keras. Pada saat itu segera terdengar
suara si lelaki berompi merah.
"Lariii...! Cepat lariii...!"
Dengan sempoyongan, mereka akhirnya melarikan
diri ke arah selatan. Rupanya Merpati Liar sangat berang kepada mereka, sehingga
ia pun segera mengejarnya.
Weeess...! "Merpati...! Tak perlu dikejar!" seru Suto Sinting, namun seruan itu tak
dihiraukan oleh Merpati Liar. Suto Sinting hanya geleng-geleng kepala melihat
Merpati Liar mengejar tiga orang tersebut.
"Perempuan itu kalau sudah marah membahayakan
sekali! Aku harus mencegahnya!" pikir Suto Sinting yang segera menyusul Merpati
Liar. Zlapp...!
"Tahan amarahmu, Merpati. Tak perlu kau semarah itu kepada mereka!" kata Suto
Sinting yang tiba-tiba muncul di depan langkah Merpati Liar, membuat
langkah perempuan itu akhirnya terhenti.
"Mereka harus diberi pelajaran biar jera!"
"Kurasa pelajaran untuk mereka sudah cukup.
Mereka kabur, itu tandanya mereka jera melawanmu,
Merpati! Tahanlah luapan amarahmu itu, nanti dapat
mencelakakan diri sendiri."
Bujukan Pendekar Mabuk lambat laun berhasil
menurunkan kemarahan Merpati Liar. Walau wajah
perempuan itu masih cemberut, tapi helaan napasnya
sudah tidak memburu seperti tadi.
"Sebaiknya kita teruskan perjalanan kita menuju Kincir Bantala!" usul Suto.
Merpati Liar tidak
menjawab, namun melangkah lebih dulu sehingga
diikuti oleh Pendekar Mabuk setelah sang pendekar
tampan menenggak tuaknya tiga kali. Akhirnya mereka
tiba di tanggul sebuah sungai lebar. Menurut keterangan Pak Tua pemilik kedai,
sungai itu adalah perbatasan
tanah negeri Kincir Bantala. Merpati Liar sendiri
hentikan langkah dan berkata,
"Kita harus menyeberangi sungai itu. Di seberang sanalah istana negeri Kincir
Bantala berada."
"Tak ada jembatan yang dekat dari tempat kita ini.
Merpati"!"
"Seorang berilmu tinggi sepertimu, apakah masih membutuhkan jembatan untuk
menyeberangi sungai"!"
ucap Merpati Liar dengan nada melecehkan pertanyaan Suto Sinting tadi. Pendekar
Mabuk hanya menyeringai, kemudian segera memetik beberapa daun selebar telapak
tangan. "Kita menyeberang sekarang juga, Merpati!"
Pendekar Mabuk segera lemparkan helai demi helai
daun yang dipetiknya. Pluk, pluk, pluk, pluk! Daun-daun itu mengambang di
permukaan air sungai. Kemudian
Pendekar Mabuk menyeberangi sungai itu dengan
menggunakan daun-daun tersebut sebagai alas pijakan
kakinya. Tab, tab, tab, tab, tab...! Jleeggg...!
Merpati Liar rupanya tak mau kalah ilmu dengan
Pendekar Mabuk. Daun-daun bekas pijakan kaki Suto
Sinting digunakan sebagai pijakan kakinya, sehingga ia seperti berjalan di atas
permukaan air sungai yang tak seberapa deras itu.
Tab, tab, tab, tab...! Jlegg...!
Keduanya kini telah tiba di seberang sungai. Merpati Liar segera naik ke tanggul
diikuti oleh Pendekar
Mabuk. Tepat pada saat itu, Suto melihat sekelebat
bayangan berlari di sela-sela pepohonan jati.
"Ssstt...! Kita ikuti dia!" bisik Suto Sinting.
Merpati Liar kerutkan dahinya memandang bayangan
yang berkelebat menjauhi tanggul sungai. Mulutnya
sempat menggumam dengan nada menggeram.
"Duta Raja..."! Rupanya dia lebih dulu sampai di sini!"
"Ia sudah berhasil menyembuhkan luka
pertarungannya denganmu tadi."
"Ya, dan... dan kurasa ia sedang menuju ke Istana Kincir Bantala."
"Apakah ia juga menghendaki Panji-panji Mayat"!"
"Tentu saja, sebab ia berpihak kepada kakak
perempuannya; Perawan Titisan Peri! Bukankah
Perawan Titisan Peri bernafsu sekali untuk memiliki
pusaka itu?"
"Tapi bagaimana ia bisa tahu bahwa pusaka itu ada di Istana Kincir Bantala"!"
* * * 8 LANGKAH Duta Raja terhenti karena dihadang oleh
tokoh yang baru saja menghilang dari penglihatan
Merpati Liar. Mau tak mau Pendekar Mabuk menahan
gerakan Merpati Liar dan mengajaknya bersembunyi di balik kerimbunan pohon.
"Mau apa si Pawang Setan Binal itu"!" bisik Pendekar Mabuk.
"Tentunya dia punya urusan sendiri dengan Duta
Raja. Kita lihat saja sejauh mana Pawang Setan Binal melepaskan kebenciannya
kepada Duta Raja."
Pandangan mata yang dingin bagai menusuk tulang
membuat Duta Raja menarik napas, ia sadar kali ini ia berhadapan dengan tokoh
yang lebih tinggi ilmunya.
Namun ia tidak menampakkan rasa takut ataupun gentar sedikit pun. Ia menghadapi
Rangkak Dulang dengan
sikap tenang. "Aku terpaksa menghadapmu, Pengkhianat!" ujar Rangkak Dulang menampakkan
kebenciannya. "Aku tak punya urusan lagi denganmu, Rangkak
Dulang. Kumohon, jangan menggangguku lagi. Aku
sudah cukup berbakti kepadamu selama dua puluh tahun melayanimu dan bersahabat
denganmu. Kita tak punya
urusan apa-apa lagi."
"Siapa bilang?" gumam Rangkak Dulang. "Sekarang kau memihak kakak perempuanmu;
si Perawan Titisan
Peri itu. Pasti kau tahu di mana perempuan laknat itu!"
"Bicaralah yang ramah kepadaku, Rangkak Dulang!"
"Persetan dengan keramahan, kau tidak
membutuhkan dan aku pun tidak membutuhkannya.
Yang kubutuhkan adalah si Kucing Hutan yang rakus
darah itu! Di mana dia sekarang"!"
"Untuk apa kau mencari kakakku"!"
"Dia telah merebut kitab pusaka dari tangan Paras Kencani! Kitab itu harus
kumiliki!"
"Oh, kurasa kau telah dikelabuhi oleh Paras Kencani.
Kakakku tidak memiliki kitab pusaka dan tidak pernah merebutnya dari Paras
Kencani. Urusan yang dihadapi
Kucing Hutan adalah memiliki pusaka kuno yang
bernama Panji-panji Mayat. Aku ditugaskan mencurinya dari istana Kincir
Bantala." "Omong kosong! Pusaka itu sudah tidak ada, hilang entah ke mana!"
"Pusaka itu masih ada!" bantah Duta Raja. "Paras Kencani berhasil dilumpuhkan
saat keluar dari kedai bersama pemuda tampan yang kurasa ia adalah murid si Gila
Tuak. Kuserahkan Paras Kencani kepada Kucing
Hutan yang malam itu berhasil membawa seorang lelaki
untuk diambil darahnya. Di tempat kediaman kami,
Paras Kencani tak tahan menerima siksaan dari kakakku, sehingga sebelum ia
menghembuskan napas terakhir, ia telah menyebutkan di mana pusaka Panji-panji
Mayat berada. Karena itu, aku ditugaskan oleh Kucing Hutan untuk mencuri pusaka
tersebut yang tersimpan di salah satu kamar rahasia di dalam Istana Kincir
Bantala." "Bualanmu berlebihan, Duta Raja!"
"Aku bicara tentang kenyataan. Aku dan Kucing
Hutan tak pernah bicara tentang kitab pusaka. Yang
kami bicarakan belakangan ini hanya pusaka Panji-panji Mayat."
Dari persembunyian Suto Sinting menggumam lirih
sekali dan berbisik kepada Merpati Liar,
"O, rupanya waktu aku memeriksa di rumah korban pembantain si Kucing Hutan, Duta
Raja sempat melumpuhkan Paras Kencani dan menyerahkan kepada
Kucing Hutan yang sedang membawa lari lelaki suami
korban." "Dan sekarang Paras Kencani sudah meninggal akibat siksaan keji si Kucing
Hutan." "Tapi dari mana Kucing Hutan mengetahui bahwa
Paras Kencani punya rahasia tentang pusaka Panji-panji Mayat itu?"
"Duta Raja berhubungan lama dengan Paras Kencani.
Tentunya ia tahu Paras Kencani keturunan dari
Gajahloka. Mungkin juga Paras Kencani dulu pernah
menceritakan tentang pusaka tersebut kepada Duta Raja, sehingga saat Kucing
Hutan membutuhkan pusaka itu,
Duta Raja mengorbankan Paras Kencani sebagai kunci
rahasia penyimpanan pusaka tersebut. Lagi pula...."
"Ssst...!" potong Suto Sinting. "Ceritanya nanti saja.
Sekarang perhatikan kedua orang itu, agaknya Duta Raja bersikeras melawan
Rangkak Dulang."
Duta Raja memang masih berdiri tenang dengan
tongkat digenggamnya. Tetapi Rangkak Dulang sudah
tak bisa menahan kemarahannya. Rangkak Dulang tidak
mempercayai keterangan Duta Raja dan tetap mendesak
agar Duta Raja menyebutkan di mana Perawan Titisan
Peri berada. Sampai akhirnya Duta Raja berkata dengan tegas-tegas.
"Jika kau ingin mengusik kakakku, kau harus
melangkahi mayatku lebih dulu, Rangkak Dulang!"
"Biadab mulutmu, Duta Raja!" geram Rangkak Dulang. Matanya memandang semakin
tajam dan dingin.
Rahangnya kelihatan menggeletuk kuat.
Rangkak Dulang mengangkat tangan kirinya dengan
jari-jari membentuk cakar terarah kepada Duta Raja.
Wuuutt...! Srraabb...!
Lima larik sinar biru sebesar lidi keluar berkuatan dari tiap ujung kuku tangan
tersebut. Duta Raja segera memutar tongkatnya dengan gerakan sangat cepat.
Putaran tongkat itu keluarkan cahaya merah lebar yang menjadi perisai datangnya
lima sinar biru. Claaapp..!
Blegaaarr...! Duta Raja terlempar sejauh lima langkah. Tubuhnya
terbanting dengan kuat hingga membuat bumi seolah-
olah semakin berguncang. Padahal tanpa jatuhnya tubuh
itu, bumi pun sudah berguncang akibat ledakan dahsyat tersebut. Pohon-pohon di
sekitar tempat itu menjadi
bergetar dan daun-daun berguguran.
Rangkak Dulang masih tetap berdiri tegak tanpa
bergeser dari tempatnya. Matanya memandang tajam ke
arah Duta Raja yang sedang berusaha untuk bangkit.
Namun tiba-tiba tubuh Rangkak Dulang bagaikan
menghilang. Zaabb...! Tahu-tahu muncul di samping kiri Duta Raja. Tentu saja
kemunculannya sempat membuat
Duta Raja terperanjat. Belum habis rasa kagetnya, Duta Raja telah menerima
pukulan telapak tangan Rangkak
Dulang pada pelipisnya. Plaaakk...! Dueerr...!
Hantaman itu menimbulkan suara ledakan yang
membisingkan telinga. Duta Raja terpental lagi dan
berguling-guling. Tongkatnya terlepas dari genggaman tangan. Telinganya
berdarah, separo wajahnya menjadi hitam menyedihkan. Asap mengepul dari pori-
pori kulit wajahnya.
Duta Raja tak bisa bicara, bahkan merintih pun sudah tak mampu. Tubuhnya
terkapar dengan bersandar pada
sebatang pohon besar. Keadaan itu membuat mulut Duta Raja tampak mengucurkan
darah yang berbusa-busa.
Kelopak matanya sudah tak sanggup untuk dibuka lagi, tarikan napasnya tampak
tersengal-sengal dan memberat.


Pendekar Mabuk 059 Perawan Titisan Peri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekalipun demikian, agaknya Rangkak Dulang masih
belum puas menghajar lawannya, ia segera melepaskan
pukulan tenaga dalam berbentuk sinar merah tak kentara yang keluar dari ujung
dua jari tangannya yang
disentakkan ke depan.
"Racun 'Inti Mayat'..."!" bisik Pendekar Mabuk dengan tegang.
Namun pada saat sinar sebesar benang itu melesat ke
arah dada Duta Raja, tiba-tiba muncul sinar hijau bening menghantam ujung sinar
merah tersebut. Claaap...!
Jegaaarr...! Dentuman dahsyat terdengar kembali. Disusul
kemudian dengan kemunculan seorang perempuan
cantik seperti masih berusia dua puluh lima tahun.
Matanya biru bening, hidungnya mancung, alisnya tebal rapi, bulu matanya lentik.
Rambutnya terurai lepas
sepunggung, ia mengenakan kutang tipis penutup dada
montoknya berwarna ungu, dilapisi jubah sutera ungu.
"Kucing Hutan datang"!" sentak Pendekar Mabuk dalam nada membisik.
"Saatnya untuk melumpuhkan si Perawan Titisan Peri itu!" geram Merpati Liar. Ia
ingin bergerak keluar dari persembunyiannya, tapi ditahan oleh Pendekar Mabuk.
"Biarkan dulu ia berurusan dengan Pawang Setan Binal! Hematlah tenagamu, siapa
tahu Perawan Titisan Peri itu hancur di tangan Rangkak Dulang."
Rupanya pada saat terjadi ledakan dahsyat itu,
gelombang hentakannya menghantam dada Duta Raja.
Akibatnya, napas yang sepotong itu pun akhirnya lenyap seketika. Duta Raja tak
bernyawa lagi di depan kakaknya yang masih tampak muda belia itu.
"Keparat kau, Rangkak Dulang! Kau telah
membunuh adikku, harus kau tebus dengan seluruh
darah dan dagingmu!"
"Kau pun akan mengalami nasib seperti adikmu,
Kucing Hutan. Tapi akan kubebaskan dari murkaku jika kau mau serahkan kitab
Lorong Zaman yang kau rampas
dari tangan Paras Kencani!"
Pendekar Mabuk terperanjat sekali mendengar nama
Kitab Lorong Zaman, sebab ia tahu persis di mana kitab itu berada.
"Kitab Lorong Zaman adalah kitab yang mempelajari ilmu untuk tembus waktu, bisa
melompat ke masa lalu
dan masa datang," bisik Merpati Liar seakan tak mau ketinggalan pengetahuannya
tentang kitab tersebut.
Tapi pikiran mereka tidak tertuju pada kitab itu lagi, karena tampaknya Kucing
Hutan tak sanggup menahan
murkanya terhadap Rangkak Dulang, ia segera
melepaskan serangannya berupa sepasang sinar biru
lurus dari kedua matanya. Claaapp ..!
Zaaab...! Rangkak Dulang bagaikan lenyap ditelan
bumi. Tahu-tahu ia berada di belakang Kucing Hutan.
Sementara sepasang sinar biru itu menghantam
pepohonan dan membuat dua pohon itu hancur menjadi
serbuk lembut tanpa suara menggelegar.
Zuuurrb...! Weerrsss...!
"Uuuaaaoooww...!"
Perawan Titisan Peri mengerang setelah lakukan
lompatan cepat ke arah sebatang pohon, lalu kakinya
menjejak pohon itu dan tubuhnya melesat ke arah lain sambil bersalto. Ketika
kakinya mendarat ke tanah,
tubuhnya membungkuk dan mengerang seperti seekor
kucing murka. Rangkak Dulang sempat dibuat bingung
hingga tak jadi melepaskan serangannya.
Wuuub...! Rangkak Dulang berubah menjadi asap,
dari kepulan asap itu muncul sinar merah sebesar
kelereng. Sinar merah itu bergerak melayang-layang
memburu Kucing Hutan menimbulkan cahaya merah
kecil bagai ekor bintang jatuh. Wut, wut, wut, wut...!
Sinar merah sebagai ganti perwujudan Rangkak Dulang bergerak mengejar Kucing
Hutan. Slap, Slaaapp...! Kucing Hutan bersalto di udara dan tahu-tahu sudah berada di
atas pohon, ia mengerang
dengan buas, menampakkan giginya yang bertaring
pendek. "Oooeewww..! Oooeeoooww...!"
Weeess...! Sinar merah mengejar ke atas pohon. Zlab, zlab..! Perawan Titisan
Peri itu lenyap dalam sekejap, muncul di pohon lain. Lenyap lagi, dan muncul
kembali sudah di tanah. Jleeg...!
Sinar merah bergerak memburunya. Tapi pada saat
sinar itu melayang di udara, Perawan Titisan Peri
melepaskan pukulan bersinar biru dari telapak
tangannya. Claaapp...! Sinar sebesar jari telunjuk Itu menghantam sinar merah
tersebut. Blegaaarr...! Dentuman dahsyat mengguncang alam sekitar tempat
itu. Pohon-pohon tumbang, tanah bagaikan
dijungkirbalikkan oleh tangan-tangan raksasa. Sinar
merah jelmaan Rangkak Dulang itu pecah dan padam
seketika. Dan itulah tanda kematian bagi si Pawang
Setan Binal. Namun amukan alam akibat gelombang ledakan yang
dahsyat telah membuat tubuh Merpati Liar terlempar
keluar dari persembunyiannya. Suto Sinting pun
terjungkal ke semak-semak lain setelah lebih dulu tanah yang dipijaknya
menghentak ke atas bagai mengalami
ledakan dari kedalamannya.
Brrrukk...! Merpati Liar jatuh terguling di tanah
depan Perawan Titisan Peri. Melihat kemunculan
Merpati Liar, Perawan Titisan Peri menyeringai sambil mengerang bagaikan
kegirangan. "Ooeeegggrrr...!"
Merpati Liar cepat bangkit dan pasang kuda-kuda.
Pisau kembarnya dicabut dari pinggang. Tetapi baru saja pisau itu dicabut,
Kucing Hutan sudah menerjang lebih dulu. Wuuutt...! Brrruifbs...! Pisau kembar
itu bisa terpental dari kedua tangan Merpati Liar . Sementara itu, tubuh Merpati
Liar pun terdorong mundur dan jatuh
membentur pohon yang baru saja tumbang.
"Perempuan picisan! Rupanya kau ada di sini untuk menghalangi niatku mendapatkan
pusaka itu, hah"!"
hardik Perawan Titisan Peri.
Merpati Liar bergegas bangkit dengan penuh
waspada. Matanya yang tajam pandangi si Kucing Hutan yang bergerak ke sana-sini
di depannya. "Kau akan mati menelan murkaku jika masih tetap ingin menghalangi niatku! Aku
tahu kau murid Parisupit, tapi jangan harap aku merasa gentar dengan murid
Parisupit yang bertugas melindungi pusaka Panji-panji Mayat itu! Apa pun
jadinya, pusaka itu harus kuperoleh!
Siapa yang menghalangiku akan kuhancurkan dan
rohnya kukirim ke neraka!"
"Jahanam kau, Kucing Hutan!" geram Merpati Liar.
"Hiaaah...!"
Merpati Liar sentakkan kepalanya bagai ingin
melemparkan tubuh Kucing Hutan dengan kekuatan
matanya. Tetapi Kucing Hutan diam tak bergerak
dengan pandangan mata tetap tertuju pada Merpati Liar.
Perawan Titisan Peri juga sentakkan kepalanya bagai
Ingin membuang tubuh Merpati Liar dengan kekuatan
pandangan matanya.
"Hiaaahh..!"
Merpati Liar mengokohkan kuda-kuda, menjaga
keseimbangan tubuhnya. Tubuh itu hanya merasa
bergerak sedikit namun bisa cepat dikuasai. Rupanya si Kucing Hutan juga
mempunyai kekuatan melemparkan
lawan dengan pandangan mata. Akibatnya kedua
perempuan itu saling mengerahkan tenaganya dari jarak enam langkah, tubuh mereka
sama-sama gemetar karena
berjuang keras menumbangkan lawan.
"Hiaaah...!"
"Hhheeeah...!"
Mereka saling mengerang dengan suara tertahan.
Urat-urat leher saling keluar bertonjolan. Wajah mereka menjadi berkulit merah,
sama-sama mendelik dengan
gigi menyeringai.
"Hentikan! Hentikaaan...!" seru Pendekar Mabuk yang mencemaskan keselamatan
Merpati Liar. Tapi
kedua wanita itu bagai tak mendengar seruan tersebut.
Mereka masih saling mengerahkan tenaga dan saling
serang melalui pandangan mata.
"Sebaiknya kulepaskan jurus 'Jari Guntur'-ku agar Merpati Liar tak kalah
tenaga," pikir Suto Sinting.
Namun baru saja ia bersiap ingin menyentil Kucing
Hutan dari jarak jauh, tiba-tiba sekelebat bayangan
melesat dan menerjang Kucing Hutan dari arah samping kanan. Wuuutt...!
Bruuss...! "Aaahg...!" Kucing Hutan memekik tertahan.
Perawan Titisan Peri itu terjungkal dan berguling-guling bagai diterjang
sebongkah batu gunung. Namun ia cepat bangkit, tak mempeduiikan rasa sakitnya.
Matanya segera memandang orang yang baru datang.
"Kaaau...!" geram Perawan Titisan Peri.
Pendekar Mabuk terperangah dengan mulut
ternganga melihat orang yang baru datang itu.
Sedangkan Merpati Liar pun agak terkejut sejenak.
Suto Sinting tak berkedip memandangi gadis
berambut acak-acakan dengan pakaian hitam yang lekat dengan tubuh, seperti
terbuat dari bahan karet. Pedang bergagang hitam disandang di punggungnya. Suto
Sinting tak akan lupa dengan wajah cantik berkesan liar dan ganas itu.
"Angin Betina"!" ucap Suto Sinting membuat Merpati Liar terperanjat kembali
karena tak menyangka Suto Sinting kenal dengan gadis itu. Merpati Liar tak
pernah tahu bahwa Suto cukup lama mengenal Angin
Betina sebagai gadis yang tak rela jika Suto Sinting dilukai orang karena
perasaan cinta yang ada di dalam
hati gadis itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Seruling Malaikat").
Tetapi saat itu bukan saat saling membeberkan kisah
lama. Karena pada saat itu, Perawan Titisan Peri
semakin murka setelah mendapat serangan telak dari
Angin Betina. Matanya memandang Angin Betina yang
berdiri di depan Merpati Liar seakan menjadi perisai bagi Merpati Liar .
"Laknat busuk kau! Heeeaahh...!"
Kucing Hutan sentakkan kedua tangannya ke depan
dan dari kedua telapak tangan itu keluar sepasang sinar besar warna marah
membara. Wooosss...!
"Angin Betina, minggir kau!" seru Merpati Liar.
Tetapi Angin Betina tak mau menyingkir, bahkan ia
mengerahkan tenaganya dan menyentakkan kedua
tangannya juga ke depan, dari telapak tangan keluar sepasang sinar putih perak
sebesar kelingking. Claaap...!
Sinar putih perak beradu dengan sinar merah besar di pertengahan jarak.
Blegaaarrr...! Angin Betina terlempar ke belakang menabrak
Merpati Liar. Keduanya saling berguling-guling dalam hempasan hawa panas akibat
ledakan dahsyat itu.
Sedangkan Perawan Titisan Peri hanya terlempar ke
belakang dalam keadaan masih bisa berdiri dan
punggungnya membentur potongan batang pohon yang
tadi patah akibat guncangan hebat. Beeegh...!
"Kalau aku tak turun tangan, bisa berbahaya kedua perempuan itu!" pikir Suto
Sinting yang juga ikut
terpental akibat sentakan gelombang ledak tersebut. Ia segera melompat ke
pertengahan jarak, menghadap ke
arah Perawan Titisan Peri.
Tetapi pada saat itu, Perawan Titisan Peri tampak
semakin liar dan ganas, ia menyentakkan kedua
tangannya ke langit.
"Heeeaaahhh..!"
Blegaarr...! Kilatan cahaya petir menyambar, langit
menjadi redup tertutup mega hitam dalam waktu sangat singkat. Kemudian dari
langit turun hujan merah yang mengerikan. Hujan itu adalah hujan bara panas yang
dapat membuat kulit hangus ataupun melepuh.
"Aaauh...! Uuuh..! Aaah...!"
Mereka saling terpekik karena tubuhnya dihujani bara panas. Tapi anehnya si
Kucing Hutan tidak merasakan
panas sedikit pun walau tubuhnya juga terkena hujan
bara. Pendekar Mabuk sempat kelabakan menghadapi
hujan bara itu. Sambil melompat ke sana-sini ia berusaha menenggak tuaknya untuk
menahan rasa panas.
Tiba-tiba dengan hati dongkol, Pendekar Mabuk
sentakkan suara dalam keadaan mendongak ke langit.
"Heeeaahh...!"
Jurus 'Napas Tuak Setan' terlepas dari hembusan
napas Pendekar Mabuk. Angin badai datang dengan gila-gilaan. Untung arahnya ke
langit, sehingga hujan bara itu bagai dipindahkan ke arah lain dalam waktu
sangat singkat. Gelegar suara guntur bersahutan membuat langit bagai mau pecah.
Kucing Hutan terperangah melihat hujan bara
buatannya berhasil disingkirkan oleh Pendekar Mabuk.
Dengan sangat murka ia segera mencabut pisau
garpunya sebagai senjata berbahaya yang mengandung
racun ganas. "Keparat kau! Terimalah pisau ini sekarang juga, hiaaah...!"
Tangan Pendekar Mabuk tiba-tiba menghentak ke
depan dalam keadaan miring, napas terhembus dalam
satu sentakan melalui hidung. Fuihh..!
Clap, clap, clap, clap...!
Cahaya perak berbentuk bintang kecil-kecil keluar
dari telapak tangan Pendekar Mabuk. Cahaya perak itu tak bisa dilihat jika bukan
oleh mata orang berilmu
tinggi. Bintang-bintang itu menghantam dada Perawan
Titisan Peri secara beruntun. Zuurrt, Kemudian
perempuan itu diam tak bergerak bagaikan patung.
Pendekar Mabuk telah mempergunakan jurus 'Yudha'
pemberian Ratu Kartika Wangi, ibu dari Dyah
Sariningrum, calon istrinya itu. Akibatnya, satu demi satu tubuh Kucing Hutan
terpotong dengan sendirinya.
Ruas demi ruas bagian tubuh itu berjatuhan sampai
akhirnya Perawan Titisan Peri itu menjadi setumpuk
potongan tubuh yang tak bisa disambung sambung lagi.
"Akhirnya ia mati dengan jurus 'Yudha'-ku juga!"
gumam hati Pendekar Mabuk sambil menghempaskan
napas kelegaan. Kejap berikutnya, ia segera hampiri
Merpati Liar dan Angin Betina yang mengalami luka
bakar karena hujan bara tadi. Mereka segera diberi
minum tuak, sehingga dalam waktu singkat luka bakar
itu hilang, rasa panas pun sirna.


Pendekar Mabuk 059 Perawan Titisan Peri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Angin Betina... bagaimana mungkin kau bisa tahu aku berada di sini"!" tanya
Pendekar Mabuk dalam keheranannya.
"Aku diutus oleh Resi Wulung Gading untuk
menemui Sunggarini agar membatalkan sayembaranya
itu," jawab Angin Betina dengan nada tegas. Sesekali ia melirik Merpati Liar
yang ada di samping kirinya.
Katanya lagi, "Heboh pusaka Panji-panji Mayat
sampai ke telinga Resi Wulung Gading. Walau
sebenarnya dari dulu aku memburu pusaka itu, tapi
setelah mendapat penjelasan dari Resi Wulung Gading, niatku untuk memiliki
pusaka itu menjadi kubatal kan."
"Apa alasan Resi Wulung Gading menyuruh
Sunggarini membatalkan sayembaranya?"
"Takut pusaka kuno itu semakin banyak yang
memburu untuk menghidupkan mendiang Prabu
Dasawalatama. Padahal pusaka Panji-panji Mayat yang
ada di tangan Batuk Maragam telah diserahkan kepada
Resi Wulung Gading dan sekarang sudah diterima oleh
Dewi Hening, sebagai pewaris pusaka yang sebenarnya."
"O, jadi pusaka itu sebenarnya ada di tangan Batuk Maragam?"
"Betul. Sedangkan yang disimpan oleh Prabu
Dasawalatama adalah tiruannya, untuk mengecohkan
para pemburu pusaka seperti si Perawan Titisan Peri
itu." "Hmmm...!" Suto Sinting manggut-manggut. "Tapi...
tapi ada satu masalah lagi yang belum kuketahui. Kucing
Hutan, Rangkak Dulang, dan Paras Kencani
memperebutkan sebuah kitab pusaka yang bernama
Kitab Lorong Zaman. Padahal setahuku kitab itu ada di tanganmu. Apakah benar
kitab itu dicuri oleh Paras
Kencani"!"
"Hanya tiruannya juga yang dicuri Paras Kencani beberapa waktu yang lalu."
"Ooo... hanya kitab tiruannya"!"
"Kitab yang asli kusimpan di suatu tempat setelah isinya selesai kupelajari,"
kata Angin Betina.
"Hei, tunggu sebentar...!" sela Merpati Liar. "Sejak kapan kalian saling kenal
sehingga ngobrol seenaknya sendiri begitu hah?"
"Cukup lama," jawab Pendekar Mabuk. "Dan kau sendiri, sejak kapan mengenal Angin
Betina, sahabat
eratku ini"!"
Merpati Liar menjawab, "Dia adikku...!"
"Hahh..."!" Pendekar Mabuk memandang dengan mata melebar.
Angin Betina berkata kepada kakaknya, "Suto adalah kekasihku!"
"Haahh..."!" kini Merpati Liar yang membelalakkan mata, lalu menatap Suto
Sinting dengan tak berkedip.
Hal itu membuat Angin Betina hanya bisa berkerut dahi memandangi kakaknya dengan
perasaan heran, ia tak
tahu bahwa kakaknya pun terpikat oleh ketampanan Suto Sinting yang hanya
terpendam dalam hati
SELESAI PENDEKAR MABUK Segera terbit!!!
DENDAM SELIR MALAM
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Kisah Para Penggetar Langit 9 Dewi Sri Tanjung 8 Perjalanan Yang Berbahaya Keturunan Pendekar 3
^