Pencarian

Pertarungan Di Bukit Jagal 1

Pendekar Mabuk 06 Pertarungan Di Bukit Jagal Bagian 1


Serial : Pendekar Mabuk
Judul : Pertarungan Di Bukit Jagal
Pengarang : "
Penerbit : "
E-book by : paulustjing
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
1 ANGIN laut berhembus guncangkan dahan dan
dedaunan. Suara deru yang timbul dari hembusan angin
itu menandakan di tengah samudera telah terjadi badai lautan yang melemparkan
gulungan-gulungan ombak.
Ketika sampai di tepi pantai, gulungan ombak itu sudah menjadi anak ombak. Tak
begitu besar, namun cukup
kuat berdebur menghantam bebatuan ataupun tebing
karang. Hembusan angin laut yang masih terasa kencang itu
menerpa dua wajah perempuan disela-sela hutan tepi
pantai. Dua wajah itu sudah semalaman berada di hutan tepi pantai menunggu
mangsanya tiba. Dua wajah
perempuan yang masing-masing mempunyai nilai
kecantikan sendiri-sendiri itu tak lain adalah wajah
Selendang Kubur dan wajah Peri Malam.
Melihat dari bibir-bibir mereka yang tanpa seulas
senyum, terlihat sikap bermusuhan mereka yang
terpendam untuk sementara waktu. Peri Malam sebentar-
sebentar memandang ke arah lorong kecil yang
menyerupai gua, yang ada di atas tebing karang tepi
pantai. Lorong kecil itu hanya bisa dimasuki oleh satu tubuh manusia dalam
keadaan merangkak. Tapi sejak
tadi, bahkan sejak kemarin Peri Malam tidak melihat
sosok tubuh keluar dari lorong tersebut.
Selendang Kubur sering hembuskan napas bersama
desah kekesalan hatinya. Sudah cukup lama dipandangi
lorong kecil itu, lalu ia palingkan wajah kepada Peri Malam dan berkata dengan
nada ketus, "Mana orang itu"! Sampai sekarang belum juga
muncul dari sana!"
"Jangan-jangan dia mati dibunuh Pendekar Mabuk di dalam lorong!" ucap Peri Malam
dengan wajah bersungut-sungut.
"Atau mungkin angan-anganku yang mati dibunuh
bualanmu!" Selendang Kubur berkata begitu karena kecemasan di dalam hatinya
semakin kuat, yaitu
kecemasan dipermainkan oleh Peri Malam.
"Kalau aku mau membual, tak perlu membual
untukmu! Tak pernah ada untungnya menebar bualan
untukmu, Selendang Kubur!"
Debur ombak kembali terdengar bergemuruh
panjang, lalu lenyap bagai ditelan sepi. Selendang Kubur kembali merenungi
peristiwa yang membawanya
terpatok di hutan tepi pantai itu. Semua itu terjadi gara-gara perasaan cintanya
terhadap murid sinting Si Gila Tuak, yaitu Suto Sinting, Pendekar Mabuk. Kalau
bukan karena cinta yang begitu dalam. Selendang Kubur tak
sudi menghadang kemunculan Nyai Lembah Asmara di
hutan tepi pantai itu.
Seperti dikisahkan dalam cerita "Murka Sang Nyai"
sebelum kisah ini, bahwa Pendekar Mabuk terpedaya
oleh tipuan Perawan Sesat yang membuat Suto merasa
gembira karena ingin dipertemukan dengan kekasih
idamannya yang bernama Dyah Sariningrum. Suto sudah
telanjur beranggapan bahwa Nyai Lembah Asmara yang
berkuasa di lereng Bukit Garinda itu adalah perempuan yang bernama Dyah
Sariningrum, yang wajahnya
ditemukan Pendekar Mabuk di alam semadi, maupun di
alam mimpi. Tetapi, ternyata Pendekar Mabuk kecewa.
Nyai Lembah Asmara adalah perempuan yang tidak
mirip sama sekali dengan Dyah Sariningrum.
Suto terjebak dalam Racun Darah Asmara yang
dimiliki oleh sang Nyai itu. Pendekar Mabuk hanya
ingin dijadikan pembenih bagi keturunan sang Nyai. Dan hal itu membuat murka
para perempuan yang mencintai
Suto. Maka, melabraklah Peri Malam, Selendang Kubur
yang dibantu oleh Pujangga Keramat dan Betari Ayu,
guru dari Selendang Kubur. Bukit Garinda diobrak-abrik oleh keempat orang itu.
Sayang, Pujangga Keramat
tewas di tangan Maharani dan Putri Alam Baka, murid
Nyai Lembah Asmara sendiri.
Betari Ayu berhasil mendobrak pintu kamar peraduan
yang menjadi tempat kencan Nyai Lembah Asmara dan
Pendekar Mabuk. Tetapi di dalam kamar itu, Betari Ayu tidak menemukan Pendekar
Mabuk maupun Nyai
Lembah Asmara. Rupanya Nyai Lembah Asmara sudah
lebih dulu melarikan Suto dengan menunda kencan
birahinya yang telah menggebu-gebu itu. Ke mana
larinya, hanya Peri Malam yang bisa menduga, karena
Peri Malam pernah menjadi murid sekaligus pelayan
kamar peraduan Nyai Lembah Asmara. Menurut dugaan
Peri Malam, kamar itu mempunyai pintu rahasia yang
tembus ke tepi pantai. Atau dugaan lain, Nyai Lembah
Asmara membawa lari Suto ke puncak bukit. Karenanya,
tugas pun dibagi. Peri Malam dan Selendang Kubur
menghadang pelarian Nyai Lembah Asmara ke pantai,
dan Betari Ayu mencoba pengejarannya ke puncak
bukit. Sayangnya Betari Ayu tidak segera menghubungi
Peri Malam dan Selendang Kubur untuk
memberitahukan, bahwa ia sudah berhasil menemukan
Suto yang selamat dari ancaman Nyai Lembah Asmara.
Peri Malam dan Selendang Kubur tidak tahu hal itu,
sehingga mereka berdua masih tetap menunggu di dekat
lorong tembus yang diduga akan menjadi ujung pelarian Nyai Lembah Asmara dan
Suto. Padahal saat itu Nyai
Lembah Asmara sudah dibawa lari oleh Si Mawar
Hitam, nenek keriput peot yang dulu menjadi guru dari Peri Malam.
Tentu saja penantian mereka adalah penantian yang
sia-sia. Selendang Kubur berulang kali melontarkan
gerutu kejengkelannya, tapi Peri Malam tak pernah mau peduli. Bahkan Peri Malam
berkata, "Kalau kau bosan menunggu, pergilah sana! Biar
kuhadapi sendiri Nyai. Kau pikir aku tak mampu
merebut Suto dari tangan Nyai"!"
"Dan kau pikir aku tak mampu merebut Suto dari
tanganmu"!"
Peri Malam lemparkan pandang ke wajah Selendang
Kubur dengan tajam. Ia masih duduk dengan kaki kiri
melonjor dan punggung bersandar pada batang pohon
tumbang. Tatapan mata itu makin ditentang oleh mata
Selendang Kubur. Ia tetap berdiri dengan satu kaki
menumpang di atas batang kayu tumbang, sedangkan
kaki satunya lurus berpijak tanah, badannya sedikit
membungkuk karena lengannya digunakan bertumpu
pada paha kaki.
Setelah mereka saling pandang bermusuhan dan
sama-sama bungkamkan mulut, Peri Malam palingkan
wajah ke arah lain sambil ucapkan kata,
"Kelak, suatu saat, aku yakin satu di antara kita ada yang terbunuh. Kau
membunuhku atau aku
membunuhmu. Sebab tanpa ada satu yang kalah, tak
mungkin Pendekar Mabuk mengawini keduanya."
"Dan yang kalah itu adalah kamu!" kata Selendang Kubur berlagak acuh tak acuh,
memandang dedaunan
pohon di atas. Terdengar suara tawa Peri Malam yang lirih, disusul
oleh ucapan, "Jangan merasa yakin dulu bahwa kau bisa
membunuhku. Kau belum menyadari betapa kecilnya
ilmu yang kau miliki itu sebenarnya, betapa ceteknya
kekuatanmu itu untuk melawanku. Sebenarnya kau
memang bukan tandinganku."
Panas hati Selendang Kubur menyengat ubun-ubun.
Kedua tangannya telah menggenggam kuat, menahan
luapan kemarahan yang ingin dihajarkan ke wajah Peri
Malam. Tapi agaknya Peri Malam pun sudah siaga
menghadapi serangan sewaktu-waktu. Posisi kakinya
yang dilipat dengan lutut tegak ke atas itu dapat
menyambar pukulan sewaktu-waktu. Mata Peri Malam
pun tampak tajam melirik penuh waspada.
"Sekali lagi kau memancing kemarahanku, kujadikan tempat ini sebagai pertarungan
kita yang terakhir!"
ancam Selendang Kubur seraya menurunkan kakinya
yang bertengger di batang pohon tumbang.
Peri Malam hanya sunggingkan senyum tipis bernada
sinis. Ia pun segera bangkit dan melangkah dua tindak membelakangi Selendang
Kubur sambil berkata, "Kalau memang rasanya itu yang terbaik, mengapa harus
tunda pertarungan" Tak keberatan diriku menjadikan tempat
ini sebagai pertarungan kita yang terakhir!"
Sreet...! Selendang Kubur segera mencabut
selendangnya dari pinggang. Peri Malam cepat balikkan badan dan angkat kedua
tangannya ke atas, siap
lancarkan pukulan jarak jauhnya.
"Cobalah serang aku kalau kau ingin kehilangan
nyawa secepatnya!" gertak Selendang Kubur.
"Kau sendiri tak berani menyerangku, karena aku
tahu kau takut kehilangan nyawamu!"
"Keparat kau! Hiaah...!"
Wuuut...! Kain selendang dikibaskan ke depan. Gerakannya
begitu cepat bagaikan seekor ular yang gesit mematuk
mangsanya. Tapi pada saat itu, Peri Malam tak kalah
gesit. Ia keraskan tangan kanannya dengan jari-jari
terbuka, ia sentakkan ke depan dan melesatlah suatu
kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi.
Weeegh...! Selendang Kubur sentakkan ujung kakinya hingga
tubuhnya melesat naik lurus ke atas dan hinggap di salah satu dahan pohon. Peri
Malam juga sentakkan kakinya
dan tubuhnya melayang cepat lurus ke atas, lalu hinggap di salah satu dahan
dalam pohon itu juga. Keduanya
sama-sama menghindari pukulan, sehingga kedua
pukulan bertenaga dalam itu tidak mengenai sasaran,
kecuali mengenai benda-benda lain di sekitar mereka.
Peri Malam melihat pukulannya nyasar ke sebongkah
batu dan batu itu menjadi terbelah tiga bagian.
Selendang Kubur melihat tenaga dalam yang keluar dari ujung selendangnya
mengenai bongkahan akar pohon
kering, dan akar pohon itu menjadi hangus seketika.
Kini keduanya sama-sama di atas pohon beda dahan.
Keduanya sama-sama siap lancarkan serangan lagi. Tapi sebelumnya Peri Malam
berkata dengan sungging
senyum sinisnya.
"Kulunakkan pukulanku, karena aku masih
memberimu kesempatan untuk berpikir dalam
menghadapiku. Sekali lagi kuingatkan, aku bukan lawan tandingmu, Selendang
Kubur!" "Kupikir memang benar, aku bukan lawan
tandingmu. Karena kau merasa tak akan bisa
mengungguli ilmuku, sehingga kau hanya bisa berkoar-
koar seperti itu sejak dulu!"
Hinaan balik itu membuat hati Peri Malam makin
menggeram. Tapi hatinya berkata,
"Memang kuakui dia punya ilmu lumayan tinggi.
Kalau pertarungan ini kulakukan sekarang juga, aku atau dia yang kalah, dan hal
itu akan menguntungkan Ratu.
Untuk merebut Suto dan mengalahkan Ratu, aku masih
membutuhkan bantuannya. Tak cukup imbang ilmuku
jika sendirian dalam melawan Ratu! Sebaiknya, kutunda dulu dendamku kepadanya."
Melihat tangan kekar Peri Malam mengendurkan
urat-uratnya, Selendang Kubur pun sedikit demi sedikit mengurangi ketegangannya.
Saat itu terucap di dalam
hati Selendang Kubur,
"Kalau kulayani dia sekarang, bisa habis tenagaku melawan Nyai Lembah Asmara
nanti. Sebaiknya
kuhemat dulu tenagaku untuk menghimpun kekuatan.
Tanpa kekuatan yang penuh seperti saat ini, sepertinya mustahil aku bisa
mengalahkan Nyai dan merebut
Pendekar Mabuk dari tangannya!"
Kedua perempuan itu kembali memandang ke arah
lorong di atas tebing karang. Lorong itu masih sepi,
tanpa seekor tikus pun keluar masuk di dalamnya.
Bungkamnya kedua mulut mereka yang menciptakan
keheningan cukup panjang itu telah membuat Selendang
Kubur mempunyai gagasan lain,
"Bagaimana kalau kita periksa saja ke dalam lorong itu"! Siapa tahu justru Nyai
Lembah Asmara sedang
"menggarap' Suto di dalam lorong!"
"Atau mungkin mereka memang tidak lewat pintu
rahasia di dalam kamar itu" Jika Nyai Lembah Asmara
tidak membawa lari Suto melalui pintu rahasia, biar
sampai mampus tak akan kita temukan mereka di sini!"
"Kalau begitu, biarlah kuperiksa sendiri lorong itu sampai ke bagian dalamnya!"
kata Selendang Kubur bersiap untuk pergi. Tapi Peri Malam segera palingkan wajah
dan pandangannya lebih tajam,
"Pergilah ke sana kalau kau ingin cepat mati dihujam jebakan maut yang dipasang
di dalam lorong itu!"
"Jebakan..."!" gumam perempuan berpakaian merah dadu itu.
"Nyai memasang banyak jebakan di sana, sehingga
tidak sembarangan orang bisa masuk ke lorong itu!
Siapa yang terkena jebakan di sana tak akan hanya
sekadar menderita luka saja, tapi pasti mati tanpa nyawa sedikit pun!"
Selendang Kubur menggerutu pelan, "Yang namanya
mati ya tanpa nyawa!" Kemudian, ia menatap lorong tersebut sambil memutar
otaknya, mencari jalan menuju kepastian; tetap menunggu di situ, atau pergi
dengan

Pendekar Mabuk 06 Pertarungan Di Bukit Jagal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesimpulan lain"
Kejap berikutnya Selendang Kubur melompat ke
dahan yang dipijak Peri Malam. Sambil melompat ia
berkata, "Bagaimana kalau kita cari di tempat lain" Barangkali
bukan lorong itu yang menjadi tempat keluar mereka"!"
Peri Malam hampir kaget sedikit dan hampir
kibaskan tangannya ketika Selendang Kubur tahu-tahu
ada di sampingnya. Setelah melihat tak ada gelagat
untuk menyerang pada diri Selendang Kubur, Peri
Malam pun turunkan tangannya dan menjawab
pertanyaan tadi,
"Kurasa tak ada jalan keluar lainnya! Cuma lorong itulah satu-satunya jalan
keluar!" "Atau, barangkali saja mereka tidak melalui pintu rahasia" Mungkin saja mereka
pergi ke puncak bukit"
Dan di sana mereka pasti akan bertemu dengan Nyai
Guru Betari Ayu!"
"Ya. Memang itu satu kemungkinan! Tapi aku tak
yakin apakah gurumu punya ilmu yang cukup untuk
menandingi Nyai Lembah Asmara"!"
Selendang Kubur tersinggung gurunya diremehkan.
Cepat berkelebat tangannya menghantam rusuk Peri
Malam dengan menggunakan punggung telapak tangan.
Tapi, cepat pula tangan Peri Malam menangkisnya
dengan cara mengadu telapak tangannya dengan pukulan
lawan, Plakk...!
"Sekali lagi kau meremehkan guruku, kurobek
jantungmu!" geram Selendang Kubur dengan mata
mendelik garang.
"Kau tak akan bisa, Selendang Kubur!" ucap Peri Malam dengan senyum sinis. Tapi
dalam hatinya ia
membatin, "Boleh juga pukulan tangannya. Tulang lenganku jadi
ngilu dan telapak tanganku kesemutan akibat menahan
pukulan tangannya."
Selendang Kubur kendurkan urat, lepaskan
ketegangan. Tapi wajahnya masih terlihat kaku dan
penuh kedongkolan. Diam-diam rupanya Selendang
Kubur juga membantin kata,
"Sial! Gerakan tangkisnya begitu cepat! Tak bisa aku mencuri kesempatan untuk
meremukkan tulang
rusuknya. Tenaga dalamnya begitu cepat mengalir ke
telapak tangannya, membuat kulit tanganku terasa panas sekali mendapat tangkisan
telapak tangannya!"
Selendang Kubur mengambil posisi duduk di antara
tiga dahan yang berjajar mirip balai-balai kecil.
Punggungnya dipakai bersandar pada dahan besar
lainnya. Sementara itu, Peri Malam pun merasa perlu
sedikit santai, ia duduk dengan satu kaki berjuntai dan satunya lagi menapak di
salah satu dahan. Punggungnya yang bersandar di bagian batang utama pohon itu.
Ia memetik segerumbul buah yang mirip duku itu dan
memakannya dengan menyipit-nyipitkan mata karena
kecut. "Peri Malam," sapa Selendang Kubur setelah
merasakan jenuhnya dilanda sepi dalam keadaan
berduaan seperti itu.
"Hmmm...!" Peri Malam menggumam tak berpaling memandang.
"Apakah kau benar-benar mencintai Pendekar
Mabuk"!"
"Apa perlunya kau bertanya begitu?" Peri Malam
ganti bertanya.
"Jawab saja pertanyaanku, daripada aku harus
memaksamu dengan ancaman mencekik lehermu!"
Peri Malam lepaskan tawa kecil. "Hi hi hi.... Kalau aku tidak benar-benar
mencintai Suto, untuk apa aku
bersusah payah begini, sampai kubela-bela menjadi
murid murtad dan hidup tanpa naungan! Perasaanku
terhadap Suto begitu dalam, kadang menyenangkan,
kadang menyakitkan. Karena sikap Suto kepadaku tak
pernah punya kepastian."
Selendang Kubur tarik napas panjang, lalu berkata,
"Seingatku sudah dua kali kita bentrok gara-gara lelaki dan cinta."
"Apakah menurutmu kita ini perempuan-perempuan
bodoh" Apakah menurutmu kita ini wanita yang dungu,
yang mau diperbudak oleh ketampanan seorang lelaki
sehingga mau-maunya bertaruh nyawa untuk
mendapatkannya?"
"Mungkin juga," jawab Selendang Kubur kecil sekali.
Tangannya masih memainkan daun-daun pohon yang
dicabut-cabut tepiannya.
"Apakah menurutmu, seorang perempuan
mempertaruhkan nyawa untuk seorang lelaki itu adalah
tindakan yang keliru?"
"Tergantung lelakinya," jawab Selendang Kubur.
"Kalau lelakinya punya cinta dan kesetiaan kepada kita, nyawa yang dipertaruhkan
adalah suatu kemuliaan yang
tinggi dari seorang wanita."
"Tapi jika ternyata Pendekar Mabuk tidak mencintai
satu di antara kita, apakah kita harus tetap bertaruhkan nyawa, saling bertarung
dan saling berusaha
membunuh?"
"Itu yang kupikirkan sejak tadi, Peri Malam! Kau atau aku yang mati nantinya,
belum tentu ditangisi oleh Suto. Kau atau aku yang menang nantinya, belum tentu
dicintai oleh Suto!"
"Ya. Aku juga berpikir begitu. Tapi dia sangat
tampan dan menawan hati. Dia punya daya tarik yang
luar biasa, yang membuat hatiku terjerat lekat!"
"Hatiku pun terjerat lekat, Peri Malam. Tak bisa kubohongi lagi, aku sangat
merindukan kehangatan
cintanya!"
"Jadi kesimpulan yang ada ialah, bahwa ketampanan dan daya tariknya itulah yang
membuat kaum wanita
saling bunuh seperti binatang! Ketampanan Pendekar
Mabuk itulah racun bagi kita, Selendang Kubur!"
"Barangkali memang begitu. Sebab kupikir-pikir,
seandainya tak ada Suto, mungkin kita tidak akan
berselisih lagi, mungkin kita tidak saling membunuh
lagi!" "Bagaimana kalau kita lenyapkan saja dia, Selendang Kubur"!"
Usul itu membuat Selendang Kubur terperanjat bagai
sadar dari lamunan panjangnya, ia menggumam,
"Maksudmu, kita bunuh dia supaya tidak menjadi racun permusuhan bagi kita?"
"Ya. Bukan hanya bagi kita, tapi bagi kaum
perempuan lainnya!"
* * * 2 ANGIN berhembus entah dari mana datangnya.
Pikiran kedua perempuan itu jadi berubah. Hati yang
jatuh cinta menjadi benci. Jiwa yang rindu berubah
menjadi kering. Sikap terpikat menjadi dendam kesumat.
Maka mereka berdua pun bergegas pergi mencari
Suto dengan tujuan membunuh Pendekar Mabuk itu.
Arah pertama yang mereka tuju adalah puncak Bukit
Garinda. Tapi di sana mereka tidak menentukan siapa
pun. "Tapi aku yakin, Suto beberapa waktu ada di sini sebelum kita tiba," kata Peri
Malam. "Dari mana kau tahu?"
"Sisa bau keringatnya masih bisa tercium oleh
hidungku!" jawab Peri Malam sambil menghirup-hirup udara, mendengus-dengus ke
sana-sini. Sampai akhirnya arah hidungnya berhenti menghadap timur.
"Hmm... dia pergi ke arah timur. Kita kejar dia ke timur, Selendang Kubur!"
Cepat mereka melesat secepat angin dari barat.
Hembusan angin dari barat membuat Peri Malam
kehilangan penciumannya. Bau keringat Pendekar
Mabuk tak terlacak lagi. Mereka kehilangan arah dan
berhenti di salah satu gugusan tanah cadas yang
membukit. "Aku kehilangan penciumanku," kata Peri Malam.
"Bagaimana kalau kita kejar terus ke timur?"
"Belum tentu dia ke sana. Mungkin membelok arah
utara atau ke selatan, mana kita tahu?"
"Jika begitu, kita berpencar! Kau ke utara aku ke selatan!"
Usul Selendang Kubur direnungkan sebentar oleh
Peri Malam, sesaat kemudian terdengar suara Peri
Malam berkata, "Jika aku ke utara, kau ke selatan, lantas siapa yang timur?"
Tiba-tiba terdengar jawaban di belakang mereka,
"Aku...!"
Serentak kedua perempuan itu palingkan muka ke
belakang, dan terperanjat mereka melihat seraut wajah cantik dengan rambut acak-
acakan telah berdiri tegak
dengan sepasang kaki sedikit merentang. Wajah
berambut acak-acakan itu mengenakan pakaian ketat
warna ungu muda dengan ikat pinggang kuning.
Ia juga menyandang pedang gading di punggungnya,
dengan wajah dan sorot pandangan mata berkesan
beringas. Selendang Kubur dan Peri Malam tak asing lagi
dengan perempuan berambut jabrik itu, yang tak lain
adalah Perawan Sesat. Selendang Kubur segera sigap
pasang kuda-kuda untuk menyerang. Peri Malam hanya
pasang kewaspadaan yang sewaktu-waktu tangan dan
kakinya siap hadapi serangan pula. Tapi Perawan Sesat tampak tenang-tenang saja.
"Apa maksudmu ikut menjawab percakapan kami,
Perawan Sesat"!" sentak Peri Malam dengan mata tak bergeser sedikit pun dari
wajah cantik berkesan beringas itu.
"Aku mengikuti percakapan kalian sejak dari hutan tepi pantai!" kata Perawan
Sesat. "Dan aku sangat tertarik dengan rencana kalian itu! Pendekar Mabuk
memang harus dilenyapkan, karena dia menyebar racun
cinta yang membuat sesama perempuan saling
membunuh!"
"Rupanya kau mengalami nasib yang sama dengan
kami, Perawan Sesat" Dan kau ingin bergabung dengan
kami?" "Tak ada salahnya!" Perawan Sesat mengangkat pundak sambil langkahkan kaki
dekati sebuah batu. Di
sana dia duduk dengan kedua sikunya diletakkan di
kedua pahanya, hingga sedikit membungkuk tubuhnya.
Di sana ia perdengarkan kata,
"Aku jatuh cinta pada Pendekar Mabuk. Bahkan lebih gila dari kalian! Tugasku
membawa Pendekar Mabuk
menghadap Nyai Lembah Asmara kuselewengkan. Aku
berani mengkhianati guruku sendiri, yaitu Nyai Lembah Asmara. Aku berani melawan
kekuatan Maharani dan
Putri Alam Baka, sampai aku terluka dalam dan
diselamatkan oleh Peramal Pikun. Semua itu kulakukan
karena kegilaanku terhadap Suto."
Perawan Sesat membayangkan semua itu dalam satu
renungan yang menyimpan bara dendam. (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Murka Sang Nyai").
Kejap berikutnya ia ucapkan kata lagi.
"Sampai sekarang hatiku masih disiksa rindu dan
hasrat ingin bercumbu. Semua itu gara-gara Pendekar
Mabuk, si murid sinting itu! Untuk itu aku harus
meleyapkannya!"
Selendang Kubur angkat bicara, "Tapi kau masih
harus berhadapan denganku, Perawan Sesat! Kau masih
hutang banyak nyawa padaku, karena kau telah banyak
menewaskan saudara-saudara seperguruanku!"
"O, kau dari Perguruan Merpati Wingit"!"
"Ya!" jawab Selendang Kubur dengan mata
menantang. "Mereka mati gara-gara Suto Sinting, jadi tuntutlah Suto! Jangan aku!"
"Tapi di tanganmu mereka mati, Bangsat!" bentak Selendang Kubur. Rupanya ia
semakin terpancing
dendam kesumatnya hingga bergegas untuk melepas
kain selendang pusakanya.
"Tahan...!" Peri Malam mencoba menengahi
perselisihan itu dengan maju satu tindak berada di antara Perawan Sesat dan
Selendang Kubur. Peri Malam pun
ucapkan kata, "Kalau kalian berdua punya perhitungan pribadi,
lakukan perhitungan itu setelah kita selesaikan masalah Suto!"
Perawan Sesat tarik napas sesaat, lalu berkata dengan suara serak.
"Aku tak keberatan kalau memang kau ngotot ingin nuntut balas padaku, Selendang
Kubur! Aku siap
menghadapimu kapan saja! Tapi jangan salahkan diriku
jika kau harus kehilangan kepalamu!"
Selendang Kubur menggeram. Matanya menyipit
benci saat ia ucapkan kata, "Kalau bukan karena tujuan yang sama, sudah
kuhancurkan mulut busukmu itu,
Perawan Sesat!"
Peri Malam menyahut, "Hancurkan nanti saja!"
Akhirnya Selendang Kubur kendurkan
ketegangannya. Matanya terlempar jauh ke arah utara.
Saat itu, terdengar suara Perawan Sesat berkata,
"Rasa-rasanya memang kita harus berpencar! Dan
untuk menghabisi nyawa Pendekar Mabuk itu, tak
mungkin kita lakukan secara sendiri-sendiri. Perlu kerja sama yang baik. Karena
si tampan sinting itu
mempunyai ilmu yang cukup tinggi, ia hanya bisa
dikalahkan jika kita gempur secara bersama-sama."
"Jadi bagaimana jika salah satu dari kita nanti
menemukan dia?" tanya Peri Malam.
"Bawa dulu dia ke arah kita masing-masing. Jangan buru-buru bertindak sebelum
kita bertiga saling
bertemu!" "Aku setuju," jawab Peri Malam. "Ada baiknya kalau...."
"Ssst...!" tukas Selendang Kubur memberi isyarat dengan tangan. Cepat ia
lompatkan tubuh ke balik
pohon. Melihat gelagat bahaya dari Selendang Kubur,
Peri Malam pun bergegas melompat di balik pohon
sebelah Selendang Kubur. Tak ketinggalan Perawan
Sesat juga cepat sentakkan kaki dan melesat
bersembunyi di balik rimbun daun-daun semak berduri.
Jaraknya tak berapa jauh dari Selendang Kubur dan Peri Malam.
"Ada apa" Suto lewat"!" bisik Perawan Sesat ke arah Peri Malam.


Pendekar Mabuk 06 Pertarungan Di Bukit Jagal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mana aku tahu"! Selendang Kubur yang melihat
nya!" Peri Malam pun menyapa Selendang Kubur
dengan suara lirih,
"Hei, ada apa" Kau melihat Pendekar Mabuk lewat?"
"Bukan Pendekar Mabuk, tapi... lihatlah ke sana!"
tuding Selendang Kubur.
Perawan Sesat dan Peri Malam sama-sama
memandang ke arah tempat yang ditunjuk Selendang
Kubur. Lalu, mereka berdua sama-sama hempaskan
napas panjang bernada dongkol, serta sama-sama
lepaskan ketegangan. Perawan Sesat terdengar
menggerutu, "Sial! Kupikir ada bahaya datang!"
"Buatku itu memang bahaya. Karena aku muak
ketemu dia!" cetus Selendang Kubur yang segera ikut-ikutan keluar dari tempat
persembunyiannya, karena
dilihatnya Peri Malam juga keluar dari balik
persembunyiannya. Mereka bertiga sama-sama berada di
tempat bebas dan memandang ke satu arah.
Apa yang dipandang mereka tak lain adalah
kemunculan Dirgo Mukti yang mengaku Manusia
Sontoloyo itu. Jaraknya cukup jauh, namun bisa dilihat mata telanjang mereka
bertiga. "Agaknya dia sedang dikejar oleh seseorang!" kata Peri Malam.
"Benar! Pasti ia dalam perselisihan," sahut Perawan Sesat. "Wajahnya terlihat
tegang. Keringatnya
mengucur. Hm... siapa orang yang mengejarnya?"
"Mudah-mudahan setan dari neraka yang
mengejarnya!" kata Selendang Kubur.
"Seharusnya aku yang bilang begitu, karena aku
sangat benci kepadanya!" kata Peri Malam.
"Mengapa kalian benci sekali kepadanya?" tanya Perawan Sesat.
"Dia mengejar-ngejarku dan selalu mendesakku
untuk menerima cintanya! Aku muak sekali!"
Selendang Kubur pun ikut berkata, "Aku juga begitu!
Dia selalu berusaha membujukku agar mau
melayaninya! Aku tak bisa banyak melawan dan
memberontak karena aku berhutang nyawa dengannya!
Menyesal sekali aku karena ditolong dan diselamatkan
olehnya! (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Perawan Sesat").
Perawan Sesat tertawa serak. "Aku sendiri punya
kedongkolan dengannya, saat dia menipuku dengan
mengaku sebagai Pendekar Mabuk!"
Peri Malam menyahut, "Ya, ya, aku pernah
memergoki kau bercumbu dengannya!"
"Jangan singgung-singgung soal itu! Rasa sesalku berubah jadi dendam jika aku
teringat peristiwa itu!"
kata Perawan Sesat.
"Hei, lihat...!" seru Selendang Kubur sambil tangannya menunjuk ke arah Dirgo
Mukti. "Rupanya orang itu yang mengejar Dirgo Mukti!"
"Hmmm... siapa orang yang berpakaian hitam itu?"
tanya Perawan Sesat. "Aku hanya bisa menandai bahwa orang sedikit gemuk itu
berilmu tinggi. Terlihat dari gerakan lompatnya begitu ringan dan cepat! Tapi
aku belum pernah tahu siapa dia?"
"Datuk Marah Gadai!" jawab Selendang Kubur. "Dia orang sesat dari seberang yang
ingin menguasai tanah
Jawa. Dia ingin menjadi raja tertinggi di rimba persilatan tanah Jawa!"
"Ada persoalan apa Sontoloyo bentrok sama Datuk
Marah Gadai?" tanya Peri Malam.
Selendang Kubur menjawab, "Mana aku tahu"! Tapi
kelihatannya mereka sama-sama tangguh!"
"Kurasa tidak," bantah Perawan Sesat. "Kurasa lebih tangguh si Datuk Marah
Digadai itu!"
"Datuk Marah Gadai! Bukan Datuk Marah Digadai!"
Peri Malam membetulkan ucapan Perawan Sesat. "Ya.
Kurasa orang itu lebih tangguh dari si Sontoloyo. Aku jadi tertarik ingin
menjajal ilmunya!"
"Bodoh!" tukas Selendang Kubur. "Kalau mau, jajal saja ilmunya si Sontoloyo,
jadi kalau kau berhasil
membunuhnya, kau telah membayar tipu muslihatnya
yang merugikan dirimu itu!"
"Membunuh si Sontoloyo lebih mudah! Dalam satu
gebrakan saja dia tidak akan memiliki nyawa lagi!"
"Hem... belum tentu!" Selendang Kubur mencibir.
"Kau pikir ilmu yang kau miliki lebih tinggi darinya"
Ilmu sedangkal itu mau disombongkan di depan si
Sontoloyo, bisa hancur berkeping-keping kau dihajar
habis oleh pukulan tenaga dalamnya yang hebat itu!"
"Hei, kau jangan sepelekan aku, Selendang Kubur!
Saat ini pun aku sanggup meremukkan kepalamu tanpa
harus bergerak dari tempatku!"
"Coba saja!" tantang Selendang Kubur. Perawan Sesat lemparkan daun kecil yang
sejak tadi dibuat
mainan. Lemparan daun itu begitu cepat dan mendesing
bunyinya bagai logam tipis melayang melewati depan
mata Peri Malam. Wiiing...!
Craat...! Selendang Kubur lengkungkan badan ke samping
sambil berpaling. Daun itu lewat di depan dadanya dan menancap di batang pohon
bagaikan lempengan logam
tajam dari bahan baja. Jika bukan dialiri kekuatan tenaga dalam yang tinggi, tak
mungkin daun itu bisa menancap di batang pohon sedemikian dalam. Kalau saja
tidak segera menghindar dengan gesitnya, Selendang Kubur
akan mati ditembus daun yang berubah jadi mata pisau
itu. Sebelum Selendang Kubur memberi balasan, Peri
Malam sudah menghadang di depannya seraya berkata,
"Cukup! Jangan terpancing nafsu!"
"Dia yang menyerangku lebih dulu!"
Perawan Sesat membantah, "Dia menghinaku lebih
dulu!" "Kalian ini memang seperti anak kecil!" sentak Peri Malam. "Aku menyesal
bergabung dengan kalian
menyusun rencana seperti tadi. Mana bisa orang-orang
berjiwa anak kecil mengalahkan Suto" Untuk
mengalahkan Pendekar Mabuk itu, bukan hanya ilmu
tinggi yang dibutuhkan tapi juga jiwa dewasa dan otak cerdas!"
Selendang Kubur menghembuskan napas pelan-pelan
walau matanya masih memandang tajam pada Perawan
Sesat. Yang dipandang hanya tersenyum sinis dengan
sikap siap tarung kapan pun juga.
"Jangan dulu kita berselisih sebelum cita-cita kita bersama tercapai! Jika
belum-belum kita sudah saling
bunuh, lantas kapan kita bisa bunuh Suto Sinting itu"!"
omel Peri Malam yang bertindak menjadi orang yang
lebih dewasa dari mereka, walau sebenarnya ia hanya
sebagai penengah saja.
"Lihatlah," kata Peri Malam lagi, "Dirgo Mukti sudah semakin terpojok oleh
serangan-serangan Datuk! Tak
perlu kita memberikan pujian atau penilaian apapun
selain menjadi penonton yang baik!"
Selendang Kubur bahkan berkata, "Seharusnya ia bisa segera cabut senjatanya itu!
Dirgo Mukti mempunyai
senjata kapak yang cukup hebat, sebenarnya!"
"Kalah hebat dengan pedangnya Datuk Marah Gadai!
Kulihat sendiri kehebatan pedang itu saat ia
mengalahkan Cadaspati di tepi sebuah sungai!" kata Peri Malam. (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode:
"Darah Asmara Gila").
Perawan Sesat kasih pendapat, "Orang-orang seperti mereka jelas tidak akan
semudah itu mencabut
pedangnya! Hanya pada saat-saat terakhir dari
pertarungan itu ia akan mencabut pedangnya!"
"Aku berharap Dirgo Mukti kalah dan mampus di
tangan Datuk!" kata Peri Malam.
"Aku juga!" sahut Selendang Kubur.
"Kuharap juga begitu," sela Perawan Sesat.
"Hai, ternyata kita sama-sama punya kebencian pula dengan si Sontoloyo itu"!
Mengapa kita tidak sepakat
gunakan Sontoloyo untuk melawan Suto?"
Ucapan Peri Malam itu membuat mereka saling
memandang. Perawan Sesat dan Selendang Kubur sama-
sama tatapkan mata ke wajah Peri Malam. Sepertinya
mereka menuntut penjelasan lebih rinci lagi dari kata-kata Peri Malam tadi.
Karenanya, Peri Malam pun
lanjutkan kata,
"Dirgo Mukti lelaki mata keranjang! Dia ingin aku menerima cintanya. Dia ingin
Selendang Kubur
melayani gairahnya. Dia pasti inginkan tubuh dan
kehangatanmu lagi, Perawan Sesat. Sebab dia pernah
merasakan gairahmu. Dia pasti tergiur kembali padamu."
"Lalu, apa rencanamu?" tanya Selendang Kubur.
"Jadikan dia umpan untuk bertarung melawan
Pendekar Mabuk. Beri dia semangat agar bisa
membunuh Suto Sinting. Upah yang akan kita berikan
padanya adalah tubuh kita masing-masing!"
"Aku tidak sudi!" sentak Selendang Kubur bersungut-sungut.
"Ini hanya siasat saja! Sontoloyo jelas tak akan bisa mengalahkan Pendekar
Mabuk. Tapi dengan mendapat
semangat dari kita, dia akan bertarung melawan
Pendekar Mabuk mati-matian. Hal itu akan membuat
Suto semakin terdesak, sekurang-kurangnya Pendekar
Mabuk akan menguras tenaganya untuk mengalahkan
Sontoloyo. Walaupun pada akhirnya nanti Sontoloyo
mampus di tangan Suto, tapi kita punya peluang bagus
untuk menyerang Suto secara bersama. Kekuatan Suto
yang sudah berkurang karena pertarungannya dengan
Dirgo Mukti, membuat kita lebih mudah menghancurkan
dirinya!" "Gagasan yang bagus!" sela Perawan Sesat lalu ia tertawa serak.
"Kebetulan aku ingat bahwa Dirgo Mukti pernah janji pertarungan dengan Suto di
Bukit Jagal! Bulan ini
adalah bulan saat pertarungan itu dilakukan!" tambah Peri Malam.
"Bagus! Aku setuju dengan rencanamu," kata
Selendang Kubur.
"Kalau begitu, kita bantu Sontoloyo untuk
mengalahkan Datuk Marah Gadai itu! Biar Sontoloyo
tidak mati di tangan Datuk!" kata Peri Malam.
"Aku setuju!" kata Perawan Sesat dengan
menyeringai liar.
"Tapi, tunggu dulu...!" Selendang Kubur mencegah, sepertinya Datuk Marah Gadai
sudah merasa kewalahan
melawan Dirgo Mukti! Datuk Marah Gadai melarikan
diri!" "Ya, tapi Dirgo Mukti kelihatannya terluka dan tak bisa mengejarnya! Ada baiknya
jika kita tolong dia!"
kata Peri Malam.
Tapi sebelum mereka mencapai tempat Dirgo Mukti
terkapar, orang itu sudah bangkit lebih dulu dan melesat pergi mengejar
lawannya. Rupanya ia tadi terkena
pukulan tenaga dalam dari Datuk Marah Gadai, namun
bisa segera ditawarkan oleh kekuatan batinnya sendiri.
Dan melihat Dirgo Mukti lari mengejar Datuk Marah
Gadai, ketiga perempuan itu juga lari mengejar Dirgo
Mukti. Apa yang mereka pertarungkan sebenarnya berasal
dari kabar tentang Pusaka Cincin Manik Intan. Datuk
Marah Gadai dan Dirgo Mukti sama-sama ingin
mendapatkan Cincin Manik Intan yang konon masih ada
di dasar telaga, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Murka Sang Nyai"). Mereka saling halang-menghalangi ketika sama-sama
mau menyelam ke dasar
telaga. Pertarungan itu membuat mereka saling kejar dan
tanpa sadar menjauhi Telaga Manik Intan. Saat mereka
jauh dari telaga itulah, sesosok tubuh masuk dan
menyelam ke dasar telaga. Orang itulah yang
menemukan Pusaka Cincin Manik Intan. Orang itu
adalah Betari Ayu, yang kemudian segera menggunakan
Pusaka Cincin Manik Intan untuk melabrak Nyai
Lembah Asmara yang ingin menjadikan Suto sebagai
pembenih dalam keturunannya.
Datuk Marah Gadai dan Dirgo Mukti sama-sama
tidak tahu, bahwa apa yang mereka rebutkan itu sudah
menjadi milik seseorang. Bahkan ketika Datuk Marah
Gadai meninggalkan Dirgo Mukti, dalam benaknya ia
merasa lebih baik meninggalkan pertarungan dan segera
menyelam ke dasar telaga untuk mencari Cincin Manik
Intan yang dahsyat itu. Jika Cincin Manik Intan berhasil ditemukan olehnya, maka
urusannya dengan Manusia
Sontoloyo itu akan cepat terselesaikan. Pasti lawannya itu akan mati dan hancur
oleh kekuatan Pusaka Manik
Intan itu. Karena Datuk Marah Gadai tidak tahu bahwa cincin
itu sudah ditemukan Betari Ayu beberasa saat berselang, maka ketika ia tiba di
tepi telaga, ia langsung saja
menceburkan diri ke permukaan air telaga, dan
menyelam di kedalamannya.
Lama kemudian, Dirgo Mukti tiba pula di tepi telaga.
Ia mencari lawannya. Memandangi sekeliling telaga.
Ternyata tak ada sesuatu yang mencurigakan. Air telaga pun tampak tenang.
Pikirnya, sebelum Datuk Marah
Gadai menemukan diriku, ia harus sudah lebih dulu
mencari Cincin Manik Intan di dasar telaga.
"Mampuslah kau, Tukang Gadai! Jika kutemukan itu lebih dulu akan kuhancurkan
mulutmu yang sangat
kubenci itu!" kata Dirgo Mukti. Lalu, ia pun melompat dan terjun ke dalam
genangan air telaga. Byurrr...!
* * * E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
3 GEMERISIK dedaunan bambu dihembus angin
siang. Gemerisik itu masuk ke telinga Pendekar Mabuk
ibarat musik penghantar duka. Gundukan tanah di
depannya masih dipandangi dengan wajah duka.


Pendekar Mabuk 06 Pertarungan Di Bukit Jagal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gundukan tanah itu adalah kuburan bagi si pelayan setia gurunya. Suto memberi
nama pada kayu patok kuburan
itu dengan tulisan besar: Sugiri. Di bawahnya ada tulisan kecil yang berbunyi:
Lahir tak diketahui, mati pun tak diketahui.
"Kalau saja aku tidak terbujuk oleh anggapan tentang Dyah Sariningrum di Bukit
Garinda, Paman Sugiri tak
akan mati di sana. Kasihan Paman Sugiri, ia mati hanya untuk membela diriku yang
tak berharga ini. Mudah-mudahan arwahnya diterima di sisi Yang Maha Kuasa,"
kata hati Pendekar Mabuk yang segera bergegas bangkit dari kesedihan. Ia tak
berlarut-larut tenggelam dalam perasaan duka atas kematian Pujangga Keramat.
Suto memakamkan jenazah Pujangga Keramat di
Jurang Lindu, tak jauh dari pancuran air yang menjadi pintu masuk menuju
persinggahan si Gila Tuak. Sayang
sekali waktu itu si Gila Tuak tak ada di tempat, sehingga Suto tak bisa
melaporkan kematian Pujangga Keramat.
Ke mana arah perginya si Gila Tuak, Suto tak tahu.
Hanya ada satu kemungkinan dalam benak Suto, bahwa
gurunya itu mungkin sedang bertandang ke Limbah
Badai, tempat persinggahan bibi gurunya Suto yang di
kenal dengan nama kondangnya: Bidadari Jalang.
Tiba-tiba Pendekar Mabuk jadi ingat dengan bibi
gurunya. Ingatan itu berkait dengan Pusaka Cincin
Manik Intan yang ditemukan oleh Betari Ayu. Cincin itu warisan terkubur dari
Bidadari Jalang. Sekarang ada di tangan Betari Ayu, sedangkan Betari Ayu
menyimpan dendam kepada Bidadari Jalang. Pendekar Mabuk belum
sempat meminta cincin itu dari tangan Betari Ayu.
Ketika Pendekar Mabuk selamat dari cengkeraman
Nyai Lembah Asmara, ia segera pergi mengurus jenazah
Pujangga Keramat yang mati di bangsal pertemuan, di
persinggahannya Nyai Lembah Asmara. Pada waktu itu,
Betari Ayu berkata kepada Suto,
"Aku harus pergi membalaskan sakit hatiku kepada seseorang. Jika kau mau ikut
aku, aku tak keberatan. Jika kau ingin mengurus mayat Pujangga Keramat yang
tergeletak di sana, aku juga tidak melarang. Yang
penting kau ketahui, saat ini adalah saat yang baik untuk melampiaskan dendamku
yang selama ini kupendam
dalam hati!"
Suto masih dalam keadaan mabuk tuak waktu itu,
sehingga ia tidak terlalu peduli dengan kepergian Betari Ayu. Ia segera bergegas
mencari mayat Pujangga
Keramat dan segera membawanya ke Jurang Lindu.
Sekarang Pendekar Mabuk jadi ingat semua kata-kata
Nyai Betari Ayu. Tak salah lagi dugaan Suto, bahwa
dendam yang akan dilampiaskan oleh Betari Ayu itu
adalah dendamnya kepada Bidadari Jalang, karena
Bidadari Jalang dianggap telah merebut kekasih hati
Betari Ayu. Hal itu yang membuat Betari Ayu tidak
pernah mau jatuh cinta lagi dengan seorang lelaki.
Namun kehadiran Suto sempat membuat Betari Ayu
tergugah oleh cinta lagi, meski ia dapat memendamnya.
Tentu saja Nyai Betari Ayu menganggap saat ini
adalah saat yang tepat untuk melampiaskan dendamnya
kepada seseorang, karena Betari Ayu memakai Cincin
Manik Intan. Jelas, cincin itulah yang akan dipakai untuk melawan Bidadari
Jalang, yang namanya masuk dalam
deretan kedua; setelah si Gila Tuak, sebagai nama-nama tokoh yang sukar
ditumbangkan. Tanpa pusaka cincin
dahsyat itu, Nyai Betari Ayu tak akan berani berhadapan dengan Bidadari Jalang.
"Celaka! Bibi Guru pasti akan hancur oleh pusakanya sendiri," pikir Pendekar
Mabuk. "Seharusnya waktu itu kurebut dulu Cincin Manik Intan dari tangan Betari
Ayu! Jika begini, sama saja aku membiarkan Bibi Guru
terancam nyawanya! Betari Ayu tidak tahu bahwa Bibi
Guru yang sekarang bukan orang sesat seperti dulu.
Karenanya Bibi Guru Bidadari Jalang tidak mau turun ke dunia persilatan kembali,
karena dia ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan mendekatkan diri kepada sang
Maha Pencipta!"
Suto Sinting sempat terlihat gelisah, ia berjalan
mondar-mandir di depan makam Pujangga Keramat.
Hatinya kembali berkecamuk,
"Apa yang harus kulakukan jika begini" Merampas
cincin itu dari tangan Nyai Betari Ayu" Itu berarti aku harus bertarung dengan
Nyai. Haruskah aku bertarung
dengan orang yang selama ini bersikap baik padaku"
Tapi jika hal itu tidak kulakukan, berarti aku ikut
mendukung rencana Betari Ayu untuk membunuh Bibi
Guru"!"
Sekelebat bayangan melesat di atas pohon.
Banyangan itu mendarat tepat di depan Suto, hingga
Suto terkesiap memandangnya.
"Nyai Betari..."!" gumam Suto dengan hati berdebar.
Orang ini yang sedang dipikirkan oleh Suto, tapi orang ini pula yang tahu-tahu
muncul dalam kenyataan di
depan Suto. "Kebetulan sekali Nyai datang kembali," kata Suto menatap perempuan cantik yang
menyunggingkan senyum bersahaja.
"Aku mendengar gemuruh kegelisahanmu, Suto. Jadi aku kembali menemuimu," kata
Nyai Betari Ayu yang berikat kepala dari tali sutera merah berbintik-bintik
kuning keemasan.
"Nyai mendengar gemuruh kegelisahanku?" Suto heran.
"Apa yang terjadi pada diri orang yang kusayangi selalu kudengar lewat telinga
hatiku, dan kulihat lewat mata hatiku, Suto."
"O, jadi... saya orang yang Nyai sayangi?"
"Mungkin lebih dari itu," jawab Betari Ayu pelan sambil palingkan wajah ke arah
curahan air terjun yang menjadi pintu gerbang persinggahan si Gila Tuak.
Pendekar Mabuk menjadi kikuk mendengar jawaban
itu. Tapi ia segera tenangkan diri dan tetap bersikap lembut kepada Nyai Betari
Ayu. Ia mendekati Betari
Ayu dari samping kanan, ikut memandang jurang berair
terjun itu, tapi mulutnya ucapkan kata tanya,
"Sudahkah dendam Nyai terlampiaskan?"
"Belum," jawab Betari Ayu sambil tetap pandang air terjun.
"Mengapa tak jadi membalas dendam?" tanya Suto.
"Aku berubah pikiran."
"Berubah bagaimana, Nyai?"
"Untuk apa aku hidup menuruti dendam?" Betari Ayu palingkan wajah dan lempar
pandangan pada Suto.
Lembut sekali pandangannya. Selembut rona kecantikan
sang Nyai. Katanya lagi, "Aku harus menjadi orang yang bisa mengalahkan diriku sendiri.
Orang hebat adalah orang
yang bisa melawan nafsunya sendiri. Kalau aku masih
turuti dendamku kepada Bidadari Jalang, maka aku
bukan sebagai orang hebat. Aku orang lemah yang tak
mampu melawan nafsuku sendiri."
"Saya menyukai kata-kata Nyai," Pendekar Mabuk sunggingkan senyum yang sangat
menawan. Nyai Betari
Ayu pun tundukkan kepala karena merasa teduh hatinya
mendapat senyuman seperti itu. Tapi kejap berikut ia
kembali pandang Suto dan ucapkan kata,
"Ada sesuatu yang lupa kukembalikan padamu."
"Tentang apa itu, Nyai?"
Tangan kiri Nyai melepaskan cincin di jari tangan
kanannya, lalu Pusaka Cincin Manik Intan itu diserahkan kepada Suto.
"Ambillah cincin ini, Suto."
Pendekar Mabuk tidak segera mengambil cincin itu,
tapi matanya menatap lama pada cincin dan wajah Betari Ayu yang polos dan lugu
itu. "Mengapa Nyai kembalikan cincin itu kepadaku"
Bukankah Nyai tahu kehebatan Pusaka Cincin Manik
Intan itu?"
"Ya, tapi ini bukan milikku."
"Tapi Nyai yang mengambilnya dari dasar telaga!"
"Benar. Karena ada dua alasan. Pertama, aku takut Cincin ini jatuh ke tangan
Datuk Marah Gadai atau
pemuda tampan yang mengaku punya gelar Manusia
Sontoloyo itu. Kedua, karena waktu itu aku
membutuhkan Cincin ini untuk melawan Nyai Lembah
Asmara. Tanpa bekal pusaka dahsyat ini, aku belum
tentu bisa menyerang Bukit Garinda dan dengan tujuan
membebaskan kamu dari cengkeraman Nyai Lembah
Asmara. Jujur saja kukatakan kepadamu, Suto... aku tak rela kau tanamkan benih
kependekaranmu, benih darah
ksatriamu, ke dalam kandungan Nyai Lembah Asmara!
Aku tak ingin kau punya keturunan sesat, Suto."
"Sejauh itukah Nyai berpikir tentang saya?"
Betari Ayu tak menjawab. Ia alihkan pembicaraan itu
sambil sekali lagi sodorkan cincin tersebut.
"Terimalah cincin ini. Kau yang berhak memiliki.
Bukan aku! Karena kaulah yang punya tugas mengambil
dua pusaka di dasar telaga tersebut, yaitu Pusaka Tuak Setan dan Pusaka Cincin
Manik Intan ini."
"Mengapa Nyai tidak memilikinya saja, atau
membawanya lari?"
"Bukan sifatku menjadi pencuri, Suto."
Senyum Suto melebar, bahkan berubah menjadi tawa
yang mirip orang menggumam. Tawanya itu pun
bagaikan memancarkan daya tarik tersendiri bagi hati
yang sudah berbunga indah itu.
Ketika Pendekar Mabuk menerima cincin itu, tangan
Betari Ayu dipegangnya dengan lembut. Betari Ayu
menatap dan merasakan aliran hawa hangat di sekujur
tubuhnya. Ia segera bertanya dalam nada bisik,
"Suto, apa yang kau salurkan ke dalam tubuhku?"
"Kasih sayang," bisik Suto membalas.
"Apa maksudnya kasih sayang?"
"Sampai kapan pun aku tidak akan melupakan
kebaikanmu, Nyai."
"Tentunya itu bukan berarti sebuah cinta yang lahir dari hati sanubarimu."
"Memang bukan cinta. Tapi, barangkali kasih sayang melebihi dari segala cinta
yang ada. Kasih sayang boleh ada di dalam jiwa kita masing-masing, tapi tak
harus memiliki raga kita masing-masing."
"Dalam sekali pengertianmu, Suto. Aku semakin suka padamu."
Suto tersenyum dengan mata memandang kian
lembut. Seakan kelembutan pandang mata Suto itu
bagaikan sinar halus yang menembus ke dalam dasar
hati Betari Ayu.
Sebelum cincin itu tergenggam oleh Suto, Betari Ayu
lekas-lekas mengambil alih cincin itu. Ia mengangkat
jari manis Suto yang kanan, lalu cincin itu dimasukkan ke dalam jari manis
cincin itu dengan pelan-pelan sekali.
Kedua mata mereka saling memandang ke arah cincin.
"Semoga kau dapat mengenang peristiwa ini
selamanya, Suto."
"Semoga kau pun dapat mengenangnya pula. Nyai."
Kemudian, wajah Nyai Betari Ayu tengadah
memandang Pendekar Mabuk. Matanya yang bening
teduh itu bagai digenangi air. Suto pelan-pelan
mendekatkan wajah dan menempelkan ciumannya di
kening Nyai. Mata itu terpejam, bibir itu merekah, dan akhirnya Suto tempelkan
bibir ke mulut Nyai. Bibir Suto dilumatnya dengan lembut oleh Nyai Betari Ayu.
Suto membalasnya dengan seribu kali lebih lembut, hingga
Nyai Betari Ayu meremaskan genggaman tangannya di
ujung pundak Suto.
Pelan-pelan pula ciuman dan kehangatan itu
dilepaskan. Senyum mereka saling bermekaran. Suto
berbisik lirih,
"Indah, Nyai?"
"Luar biasa indahnya, Suto," jawab Nyai Betari semakin lirih. "Sayang sekali
bukan aku perempuan yang kau cintai. Seandainya aku adalah orang yang kau
cintai, mungkin selamanya aku akan merebah di
dadamu, Suto."
"Apakah hal itu membuatmu kecewa, Nyai?"
"Tidak," jawab Nyai dalam ketegasan yang lembut.
"Aku tidak kecewa, karena memang kau dan aku
memiliki garis kehidupan yang berbeda. Aku tak
salahkan dirimu, Suto. Kau bebas memburu cinta dan
kasih sayang untuk dirimu, Suto. Aku hanya ingin
merawat agar cinta ini tetap mekar di hatiku, sampai
masa tuaku tiba."
Tiba-tiba Nyai Betari Ayu memeluk Pendekar Mabuk
erat-erat. Suto pun membalas pelukan itu dengan hangat.
Nyai pasti ingin mencurahkan tangis keharuannya, pikir Suto. Dan sengaja Suto
tidak melarang tangis itu
tercurah karena memang suasana haru tercipta atas dasar saling menyadari keadaan
masing-masing. Betari Ayu diam. Pelukannya tetap erat. Tak ada
guncangan tangis atau pun suara mengisak. Pastilah
Nyai Betari Ayu tak ingin cucurkan air mata di depan
seorang ksatria. Pastilah Nyai Betari Ayu merasa malu dan takut wibawa
kharismanya jatuh di depan Suto.
Tetapi tubuh Nyai Betari Ayu makin lama semakin
dingin. Suto menjadi curiga. Cepat-cepat ia tarikkan diri dari tubuh Betari Ayu.
Mata Suto terkesiap melihat
wajah Betari Ayu pucat dan kepalanya terkulai lemas.
"Nyai..."!" sentak Suto sambil guncangkan tubuh Nyai. Namun keadaan Nyai semakin
memucat dan dingin. Matanya terpejam mulutnya terbuka sedikit
bagai menahan rasa sakit yang menyentak.
"Nyai..."! Kenapa kau, Nyai..."!"
Pendekar Mabuk berdebar-debar melihat keadaan
Nyai Betari Ayu seperti itu. Suto buru-buru memeriksa tubuh Betari Ayu. Ternyata
di bagian punggungnya
terdapat noda merah membekas di kulit. Noda merah itu sebesar biji sawo, tepat
bersebelahan dengan pedang
Jalaganda yang sejak tadi disandang di punggungnya.
Noda merah itu menembus jubah kuningnya, yang
terbuat dari kain sutera. Tapi jubah itu tidak membekas lubang. Hanya sedikit
hangus tepat di bagian noda
merahnya itu. "Kurang ajar! Ada yang menyerang Nyai secara
diam-diam. Hmm...! Siapa orangnya"!" geram Suto
dengan mata memandang liar.
Gemuruh suara air terjun masih terdengar. Di atas
curahan air terjun itu, mata Suto memandang jelas
sesosok tubuh berpakaian kuning ketat. Pendekar Mabuk mengenal orang itu sebagai


Pendekar Mabuk 06 Pertarungan Di Bukit Jagal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang Bukit Garinda. Orang tersebut tak lain adalah Putri Alam Baka. Di
tangannya tergenggam seruling kuning. Pasti dialah yang telah
menyerang Nyai Betari Ayu memakai seruling
pusakanya itu. "Kau...!" geram Pendekar Mabuk dengan wajah merah. Matanya menatap tajam ke arah
Putri Alam Baka. Tak sadar kemarahan Pendekar Mabuk itu membuat
tenaga dalamnya mengalir melalui Cincin Manik Intan.
Pada waktu itu, cincin tersebut dalam keadaan
menghadap ke arah Putri Alam Baka. Maka, dengan
tiba-tiba cincin itu mengeluarkan cahaya putih
menyilaukan, melesat bagaikan lidi ke arah perempuan
di atas air terjun. Clappp...! Duarrr...!
Arah cincin tidak tepat persis, sehingga batuan di
samping Putri Alam Baka hancur menjadi serbuk ketika
dihantam sinar putih menyilaukan itu. Ledakan itu
membuat Putri Alam Baka terlempar ke samping dan
jatuh di rerumputan.
"Aku harus menyelamatkan Nyai Betari Ayu dulu!
Aku sudah tahu siapa orang yang menyerangnya!" pikir Suto.
Secepat kilat ia angkat tubuh yang terkulai lemah itu, lalu ia jejakkan kaki ke
tanah dan tubuhnya bagaikan
terbang melompati batu demi batu, akhirnya menerobos
masuk ke curahan air terjun. Di balik air terjun itu ada pintu gua. Slaap...!
Suto masuk ke dalam gua dan segera meletakkan Nyai Betari Ayu di atas
pembaringan tak
berkaki. Pembaringan itu dulu bekas tempat tidur Suto selama Pendekar Mabuk
menjadi murid si Gila Tuak.
Pendekar Mabuk segera menggenggam telapak kaki
Nyai Betari Ayu, lalu ia menggumam sendiri, "Hmmm...
masih sedikit hangat!"
Segera ia meneguk tuaknya. Sebagian tuak tersimpan
di mulut hingga pipinya menggelembung. Pendekar
Mabuk pejamkan mata sebentar, lalu segera tempelkan
mulutnya ke mulut Nyai Betari Ayu. Tuak dalam
mulutnya itu segera disemburkan ke dalam tenggorokan
Nyai Betari Ayu.
Bruuus...! Tersentak tubuh Nyai Betari Ayu seketika bagai
mendapat kejutan. Kemudian Suto mengulanginya sekali
lagi. Bruuus...! Tersentak lagi tubuh Nyai Betari Ayu, lalu terdengar
suaranya mengerang lirih. Suto merasa lega. Itu pertanda jiwa Betari Ayu bisa
tertolong, tinggal menunggu
kesembuhan berikutnya.
Pendekar Mabuk memiringkan tubuh Nyai Betari
Ayu, memeriksa noda merah di punggung Nyai. Noda
itu makin menipis. Itu tandanya pengaruh tuak bertenaga dalam yang berguna untuk
pendingin hawa panas telah
bekerja. Andaikata Pendekar Mabuk tidak segera
bertindak cepat, maka bagian dalam tubuh Nyai Betari
Ayu akan hangus terbakar ilmu tenaga dalam yang
sangat tinggi dan berbahaya itu.
"Aku harus segera mengejar Putri Alam Baka!"
geram Suto, merasa keasyikannya terganggu oleh
serangan mendadak dari murid Nyai Lembah Asmara
itu. "Tetapi Nyai Betari Ayu tidak ada yang menunggui.
Jika sewaktu-waktu musuh datang dan mengancam
nyawanya, bisa berbahaya. Untuk sementara dia akan
lumpuh karena pukulan tenaga dalam yang tinggi itu.
Dia hanya akan mempunyai luapan kemarahan namun
tak akan bisa banyak melakukan gerakan. Uuh...!
Kemana Guru"! Mengapa sampai sekarang belum
datang juga?"
Pendekar Mabuk sempat bimbang sebentar. Hatinya
gelisah, dadanya bergemuruh. Hasratnya ingin segera
memburu lawan, tapi cemas meninggalkan Nyai Betari
Ayu. "Hmmm... begini saja! Cincin ini kusematkan di
jarinya saja! Kalau ada ancaman bahaya datang,
kemarahan Nyai Betari Ayu bisa membuat cincin ini
melancarkan kekuatan tenaga dalamnya dan menyerang
musuh!" Maka, setelah Suto menyematkan Cincin Manik
Intan, ia pun segera tinggalkan Nyai Betari Ayu. Pada saat itu keadaan Betari
Ayu belum sadar sepenuhnya, namun napasnya tampak terengah-engah dan kepalanya
bergerak-gerak pelan.
"Sebelum ia lari jauh, aku harus sudah bisa
mendapatkannya!" pikir Pendekar Mabuk saat
meninggalkan gua tersebut.
Dalam kejap berikutnya, Suto sudah berada di tempat
Putri Alam Baka tadi berdiri. Tempat itu telah kosong.
Pendekar Mabuk tak melihat gerakan-gerakan yang
mencurigakan. Tetapi ia melihat patahan daun ilalang
dan beberapa ranting lainnya. Jelas, ranting itu patah karena terabasan larinya
Putri Alam Baka. Maka,
Pendekar Mabuk pun segera mengejarnya ke arah
tersebut. Pendekar Mabuk mengejar dengan menggunakan
ilmu silumannya, sehingga gerakan Pendekar Mabuk tak
dapat terlihat oleh mata karena kecepatannya yang luar biasa. Dalam kejap yang
singkat, Pendekar Mabuk telah berada jauh dari Jurang Lindu. Bahkan sekarang
tubuhnya telah hinggap di atas pohon, seperti menunggu mangsanya lewat.
Dugaan Suto benar. Tak lama kemudian, terlihat dua
sosok manusia berkelebat lari dengan cepat bagai anak panah yang terlepas dari
busurnya. Duarrr...! Duarrr...!
Pendekar Mabuk hantamkan pukulan tenaga
dalamnya yang membuat dua pohon tumbang seketika,
menghadang langkah kedua sosok yang berlari cepat itu.
Dan pada saat dua sosok itu berhenti, Pendekar Mabuk
pun segera sentakkan ujung jari kakinya pada dahan, lalu tubuhnya melesat
terbang dan bersalto satu kali,
akhirnya mendarat di tanah di hadapan kedua orang itu Dengan bumbung tuak
tersandang di punggung
bagaikan pedang maut, Suto berdiri pancarkan
kemarahan kepada dua orang yang ada di depannya.
Suaranya menggeram saat ia berkata,
"Rupanya kau tidak sendirian, Putri Alam Baka!"
"Ya. Aku yang mendampinginya!" jawab orang yang ada di samping Putri Alam Baka.
Dia adalah seorang lelaki, berbadan masih segar tapi
kelihatannya sudah cukup umur, antara lima puluh
tahunan. Tak terlalu besar badannya, juga tak terlalu kurus. Ia mengenakan
caping hitam dengan kumis dan
jenggotnya yang mulai ditumbuhi uban. Orang itu
mengenakan pakaian abu-abu dan kancing bajunya tidak
dirapatkan. Orang itu juga menyandang pedang di
punggungnya, dan jari-jari tangannya mempunyai kuku
yang panjang dan runcing. Dari balik capingnya, wajah itu terlihat angker dan
bengis. Suara tuanya terdengar menggeram jika bicara.
"Aku tidak mengenal siapa dirimu, Pak Tua. Aku
hanya mengenal Putri Alam Baka itu!"
Yang menyahut Putri Alam Baka dengan suara
ketusnya, "Dia suamiku! Aku terpaksa kembali berada di sampingnya, karena dia
bersedia membantuku
melawanmu, juga melawan Betari Ayu untuk menebus
kekalahanku di Bukit Garinda!"
"O, jadi kau menghilang dari Bukit Garinda untuk meminta bantuan kepada bekas
suamimu"! Hmm... ada
berapa orang yang menjadi bekas suamimu" Mengapa
tidak semuanya saja kau bawa kemari untuk menghadapi
aku dan Betari Ayu"!"
"Jangan sesumbar bacotmu, bocah ingusan!" geram orang bertudung hitam. "Mulutmu
bisa kurobek tanpa ampun lagi jika kau sesumbar di depanku!"
"Pak Tua...!" kata Suto dengan tegas. "Jangan merasa terlalu mudah merobek
mulutku sebelum kau coba dulu
merobek mulutmu sendiri! Karena merobek mulut orang
itu pekerjaan yang sulit, apalagi orang itu mampu
berkelit!"
"Jangan mengguruiku, Setan!"
bentak orang berhidung hitam. "Kau tak patut mengguruiku. Bahkan gurumu sendiri, Bidadari
Jalang, tak punya kepatutan
mengguruiku!"
"Hei, Pak Tua... siapa dirimu sehingga kau bawa-
bawa nama bibi guruku itu"!"
"Apakah gurumu. Bidadari Jalang, tak pernah
bercerita tentang hutang nyawanya dengan guruku?"
"Siapa nama gurumu, Pak Tua?"
"Iblis Pulau Bangkai!"
Suto terkesiap sejenak. Mencoba mengingat cerita
bibi gurunya tentang Iblis Pulau Bangkai. Lalu Suto
berkata, "Ya. Memang Bibi Guru pernah bercerita tentang
musuhnya yang berjuluk Iblis Pulau Bangkai. Tapi dia
sudah mati dan dengan mudahnya dikalahkan oleh Bibi
Guru!" "Tapi dia masih punya satu murid lagi, Suto!" kata orang bertudung hitam, dengan
mudahnya menyebut
nama Pendekar Mabuk.
"Hmm... ya, seingatku Bibi Guru pernah bercerita tentang murid Iblis Pulau
Bangkai yang bernama
Nagadipa."
"Akulah Nagadipa...!"
Orang itu berkata dalam geram, kemudian membuka
tudungnya dan menampakkan wajahnya yang ber
tampang bengis itu. Rambutnya sedikit botak di bagian atasnya, tapi yang lainnya
panjang sampai melewati
pundaknya. "O, jadi kaulah murid tersisa dari Iblis Pulau
Bangkai"!"
"Ya. Dan bagaimana jika murid bertemu murid untuk membereskan hutang gurunya,
hah"! Setelah kubereskan
muridnya, segera akan kubereskan gurunya! Biar sama-
sama meratap di dasar neraka!" geram Nagadipa dengan matanya yang menampakkan
kebengisan. Sepertinya ia
Playboy Dari Nanking 5 Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Kisah Pedang Di Sungai Es 1
^