Pencarian

Pertarungan Di Bukit Jagal 2

Pendekar Mabuk 06 Pertarungan Di Bukit Jagal Bagian 2


sangat tak sabar ingin segera merobek-robek tubuh
Pendekar Mabuk dengan kuku-kukunya yang panjang
dan runcing itu.
* * * E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
4 BIDADARI Jalang memang pernah bercerita kepada
Suto tentang pertarungannya dengan Iblis Pulau
Bangkai. Juga, cerita tentang murid Iblis Pulau Bangkai yang masih penasaran
menuntut balas atas kematian
gurunya. Tapi seingat Suto, Bidadari Jalang menceritakan
tentang murid Iblis Pulau Bangkai yang bernama
Nagadipa itu sebagai pemuda yang tampan dan
menawan. Waktu Bidadari Jalang terakhir kalinya
melawan Nagadipa di sebuah pantai, orang itu dengan
ketampanannya hampir menjerat Bidadari Jalang, yang
waktu itu terkena racun birahi dari Tiga Pendekar Tibet (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa Pusar").
Hati Pendekar Mabuk sempat ragu melihat
penampilan pak tua yang mengaku sebagai Nagadipa itu.
Mulanya Suto menganggap orang itu hanya mengaku-
ngaku saja sebagai Nagadipa supaya punya alasan
bermusuhan dengan Suto. Tapi kejap berikutnya Suto
menyadari, bahwa waktu Nagadipa melawan Bidadari
Jalang di pantai, keadaan Suto masih kecil, masih
berusia delapan tahun.
Terbayang samar-samar dalam ingatan Pendekar
Mabuk waktu ia menyaksikan pertarungan itu dari suatu tempat bersama gurunya; si
Gila Tuak. Wajah Nagadipa
memang masih tampan, berusia tiga puluhan, tapi sudah mampu membuat Bidadari
Jalang terdesak mundur
beberapa kali. Sekarang, dalam keadaan usia sudah semakin menua,
tentu saja ilmunya semakin tinggi. Dua puluh tahun
Nagadipa tidak pernah bertemu dengan Bidadari Jalang
maupun Suto, tentunya ia sudah punya bekal cukup
banyak untuk mengalahkan Bidadari Jalang.
Agaknya Putri Alam Baka sangat mengunggulkan
bekas suaminya itu. Dengan suaranya yang berat ia
lontarkan kata kepada Pendekar Mabuk,
"Rasa-rasanya usiamu tinggal sejengkal waktu lagi, Pendekar Mabuk. Sebaiknya
pergilah bercinta dengan
mayat Betari Ayu agar kau bisa merasakan kehangatan
tubuhnya yang terakhir kalinya, karena suamiku ini tak akan lamban dalam
mencabut nyawamu!"
"Kau salah duga, Putri Alam Baka! Betari Ayu tidak mati, justru akan bangkit
menghadapimu dan
menghancurkan tubuhmu!"
"Omong kosong! Suamiku telah melepaskan pukulan
dahsyatnya yang bernama 'Mata Iblis'! Tak mungkin ada lawan yang bisa selamat
dari pukulan 'Mata Iblis'-nya!"
Suto sunggingkan senyum meremehkan. Katanya,
"Apa hebatnya pukulan 'Mata Iblis' kalau nyatanya Betari Ayu masih bisa
tertolong?"
"Dusta!" bentak Nagadipa. "Pukulan 'Mata Iblis' tak bisa diselamatkan oleh ilmu
apa pun!" "Nyatanya bisa!"
Putri Alam Baka mengalihkan pandang pada
Nagadipa dengan tatap kecewa. Kelihatannya ia mulai
tampak bimbang dengan kesanggupan dan kehebatan
Nagadipa. Melihat kebimbangan Putri Alam Baka,
Nagadipa segera unjuk ilmu di depan bekas istrinya itu.
Ia jejakkan kaki kanannya ke tanah satu kali. Jlegg...!
Jejakan kaki itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang tersalur, membuat tubuh
Pendekar Mabuk tersentak naik ke atas bagai terlonjak. Ilmu seperti itu juga
dimiliki beberapa tokoh sakti, termasuk Datuk Marah Gadai.
Tetapi, Pendekar Mabuk tetap tenang walau ia hampir
tergelincir jatuh saat terlempar ke atas tadi. Ia pun sentakkan kakinya ke bawah
dengan sangat pelan.
Jliggg...! Dan, mendadak tubuh Nagadipa bagaikan
amblas ke bumi sebatas mata kaki.
Putri Alam Baka terkesiap melihat Nagadipa
terbenam sebatas mata kaki. Nagadipa sendiri buru-buru hentakkan tubuh dan lepas
dari tanah penjepit kakinya.
Wiiigh...! Jlegg...!
Kembali ia berdiri di samping Putri Alam Baka dan
membatin, "Kurang ajar! Dia menguasai ilmu 'Telan Bumi'
rupanya! Ilmu itu jarang dimiliki orang, kecuali si Gila Tuak! Untung ilmuku
cukup tinggi, jika tidak bisa
amblas ke bumi sekujur tubuhku!"
Putri Alam Baka masih memandangi Nagadipa
dengan curiga, ia kecewa melihat Nagadipa bisa tersedot ke dalam tanah, padahal
Pendekar Mabuk hanya
menjejakkan kaki dengan pelan. Jika Pendekar Mabuk
menghentakkan kakinya dengan kuat, habis sudah tubuh
Nagadipa ditelan bumi, pikir Putri Alam Baka.
Perempuan bersenjata seruling itu lalu berbisik,
"Mana kehebatanmu" Jangan-jangan kau tak mampu
melawan Suto!"
Bisikan itu ditangkap Pendekar Mabuk dalam jarak
lima langkah. Tapi Pendekar Mabuk hanya diam saja,
hanya sunggingkan senyum tipis. Nagadipa merasa
diremehkan oleh Suto, lalu ia membalas dengan
lemparan tudungnya ke arah Pendekar Mabuk.
Tudung diambil dari kepala dan dilemparkan
memutar dengan gerakan begitu cepat. Wuuut...!
Pendekar Mabuk merendahkan kepalanya menghindari
hempasan tudung hitam. Tetapi ternyata tudung itu
mempunyai gelombang tenaga dalam yang membuat
tubuh Pendekar Mabuk merunduk jadi tersungkur jatuh
ke tanah. Sementara itu, tudung tersebut berputar terus dan kembali ke tempatnya
semula. Tapp...! Tangan
Nagadipa menangkapnya. Putri Alam Baka tersenyum
lebar dengan wajah ceria. Ia merasa senang dan bangga melihat kebolehan jurus
tudung Nagadipa.
Wajah Pendekar Mabuk hampir saja mencium tanah
karena tersungkur, bagai ada tenaga yang sangat kuat
menghantam tengkuk kepalanya. Kalau saja tangannya
tidak cepat mencagak, maka hidung dan mulutnya habis
terbentur bebatuan yang ada di bawahnya. Pendekar
Mabuk segera bangkit dan berhasil menggenggam
kerikil di tangannya. Kerikil itu segera disentilkan ke arah tudung Nagadipa
yang sudah dipakai di kepala.
Zlappp...! Kerikil itu melesat tak dapat dilihat, tapi tiba-tiba tudung Nagadipa
terhempas terbang dalam satu
sentakan keras. Prakkk...!
Putri Alam Baka dan Nagadipa sama-sama
terperanjat kaget. Tudung itu jatuh antara tiga langkah dari tempat Nagadipa
berdiri. Ketika diambil kembali, ternyata ada bagian tepinya yang bolong
melompong sebesar biji salak. Nagadipa semakin terbelalak kaget.
Ia membatin, "Gila! Tudung ini kulapisi dengan satu kekuatan baja yang tak bisa
dirusak oleh kekuatan apa pun! Pedang setajam apa pun tak akan mampu melukai
tudung ini. Tapi kenapa, sekarang bisa menjadi bolong begini" Hmmm... tentu ini
ulah bocah ingusan itu!
Jahanam...! Ilmunya tak bisa disepelekan!"
Terdengar suara Putri Alam Baka berbisik, "Kenapa bisa berlubang tudungmu itu"!"
"Entahlah!" jawab Nagadipa. Ia merasa kesal mendapat pertanyaan seperti itu,
karena merasa malu
pada diri sendiri.
Suto berkata dalam hatinya, "Putri Alam Baka ini agaknya terlalu banyak menuntut
dari Nagadipa. Aku
bisa mempengaruhi mereka dengan caraku sendiri agar
mereka tidak saling bantu-membantu."
Tapi sebelum Pendekar Mabuk sempat melakukan
rencananya, Nagadipa sudah lebih dulu berkata,
"Pendekar Mabuk! Sudah waktunya kau menjadi
tumbal kesalahan gurumu, si Bidadari Jalang itu!"
"Aku sudah siap menghadapi kalian berdua!"
"O, tak perlu berdua. Cukup aku saja yang
membereskan dirimu. Biar istriku jadi penonton yang
baik!" "Majulah, Nagadipa. Tapi aku tak tanggung jika
istrimu kecewa melihat polahmu seperti anak kecil!"
"Bocah tak tahu diuntung!" geram Nagadipa.
"Hiaaat...!"
Cepat sekali tangan Nagadipa bergerak berkelebat
depan seperti orang melemparkan pasir ke atas. Dan
pada saat itu, Pendekar Mabuk segera bersalto mundur
satu kali, karena ia merasakan akan datangnya
gelombang panas yang hampir menyambar tubuhnya.
Dengan bersalto ke belakang satu kali, semburan
gelombang panas itu terhindar darinya. Melesat
mengenai sebatang dahan pohon, dan dahan itu tiba-tiba menjadi kering dalam
sekejap. Putri Alam Baka kelihatan kagum dan bangga
melihat serangan itu walaupun meleset, ia berkata
kepada Nagadipa,
"Desak terus dia. Jangan kasih kesempatan sedikit pun!"
Baru saja diam mulut Putri Alam Baka, tiba-tiba Suto
Sinting sudah meraih bumbung tuaknya yang sejak tadi
berselempang di punggung. Bumbung itu dipegang
bagian talinya dan kini diputar-putarkan di atas kepala.
Wuung...! Wuuung....! Wuuung...!. Bunyi putaran
bumbung menggaung bagaikan suara gangsing.
Pada saat itu, tubuh Nagadipa pun ikut berputar-putar tak bisa dikendalikan
berhentinya. Tubuh itu makin lama makin cepat berputar dan hampir saja menabrak
Putri Alam Baka. Perempuan itu segera melompat ke
samping, dan tubuh Nagadipa tertabrak batang pohon
besar. Brusss...! Bluggg...! Tubuh itu pun jatuh dalam geram kesakitan dan
kemarahan. "Bangun! Lekas bangun!" sentak Putri Alam Baka kepada Nagadipa.
Dengan perasaan masih pusing, Nagadipa pun
berusaha untuk bangkit.
"Lemah sekali kau! Baru menghadapi jurus begitu
saja sudah sempoyongan seperti orang mabuk!"
Pendekar Mabuk sengaja melontarkan ejekan,
"Bawalah dia pergi. Aku yakin, dia tak tahu arah pulang ke rumahnya, Putri Alam
Baka!" Perempuan itu menggeram marah karena bekas
suaminya yang dibanggakan itu dihina oleh Suto. Maka, sambil mencabut
serulingnya perempuan itu berkata,
"Jangan merasa bangga dengan ilmumu itu, Suto!
Tandingilah seruling saktiku ini jika kau berilmu tinggi!"
Tuiiit...! Tulalit, tulalit, tulalit, tuiiii...!
Seruling ditiup dengan suara lengking tinggi,
iramanya tak pasti. Kalau tidak buru-buru Suto menutup telinganya dengan kedua
tangan, maka gendang
telinganya pasti akan pecah.
Suara seruling itu ternyata merupakan suara tenaga
dalam yang merayap melalui gelombang nada seruling.
Bukan hanya membuat gendang telinga pecah,
melainkan juga membuat hidung Suto mulai berdarah.
Tubuhnya limbung karena menahan rasa sakit di setiap
lubang yang ada pada tubuhnya, termasuk pada
mulutnya. Tetapi anehnya, Nagadipa tidak merasakan sakit
sedikit pun walau ia tidak menutup telinganya. Ia bahkan berdiri di samping
Putri Alam Baka dan memperhatikan
Pendekar Mabuk sempoyongan sambil menggeram
kesakitan. Darahnya makin banyak keluar dari hidung.
"Bunyikan terus serulingmu biar aku yang
menyelesaikannya sekarang juga! Hiaaat...!"
Kedua tangan Nagadipa terangkat dengan gemetar.
Setiap kuku tangannya memercikkan bunga api warna
biru, bagai tali-tali menyala yang berkeliaran
mengelilingi kuku ke kuku, Pendekar Mabuk tak bisa
bersiap menghadapi pukulan Nagadipa, karena
tangannya mendekap lubang telinga kuat-kuat. Hanya
saja, ia masih bisa melihat kelebatan kedua tangan
Nagadipa yang mirip gerakan orang memercikkan
tangan basahnya.
Craaat...! Berkilap sinar biru yang menyerupai benang-benang
menyala itu. Melesat sinar itu ke arah Suto. Dengan
cepat kaki Suto menjejak ke tanah dan melompat lima
langkah ke samping kanannya. Brukk...! Ia jatuh di sana dan melompat lima
langkah ke samping kanannya.
Brukkk...! Ia jatuh di sana sambil berguling dan tetap mendekap telinga.
Bleger...! Suara ledakan menggema keras akibat cahaya biru
dari kuku-kuku Nagadipa itu mengenai sebatang pohon
yang tadi ditumbangkan oleh Pendekar Mabuk. Pohon
itu pecah menjadi serpihan-serpihan kecil tak berbentuk sedikit pun.
Tulalit, tuiiit... tuiit... tulaliiiit... tuiit...!
Seruling semakin nyaring. Kepala Pendekar Mabuk
bagaikan mau pecah rasanya. Ia menahan tangisnya
kuat-kuat untuk menutup telinga agar tak ditembus suara seruling itu. Sementara
darah sudah mulai banyak keluar dari lubang hidung, sudut mata dan mulut. Ia
terpisah dari bumbung tuaknya, sehingga ia tidak bisa
meggunakan bumbung itu untuk menangkis atau
melawan serangan Nagadipa dan Putri Alam Baka.
Pendekar Mabuk berdiri dengan lututnya sambil
mulutnya ternganga menahan rasa sakit di kepala. Pada waktu itu ia melihat
Nagadipa melepas tudungnya, dan
melingkari tudung itu dengan jari tangannya. Maka,
tudung itu tersebut menjadi menyala biru.
"Mampuslah kau sekarang, murid sinting! Hiaaat...!"
Nagadipa melemparkan tudung itu ke arah Pendekar
Mabuk. Wusss...!
Suto Sinting yang dalam keadaan tak bisa
menghindar dan menangkis serangan itu akhirnya
menyentakkan napasnya dari mulut.


Pendekar Mabuk 06 Pertarungan Di Bukit Jagal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hahhh...!"
Wuuuoosss...! Terlepaslah badai topan yang begitu mengganas
menyerang Nagadipa dan Putri Alam Baka. Sentakan
napas Pendekar Mabuk itu tak seberapa keras, tapi telah membuat tubuh Nagadipa
terlempar jauh, lebih dari
sepuluh langkah, sedangkan Putri Alam Baka terlempar
lebih jauh, bahkan sampai terseret-seret dan berdarah.
Pohon besar meliuk nyaris tumbang. Sedangkan pohon
yang berukuran sedang telah rubuh ke tanah. Beberapa
pohon berukuran satu pelukan tangan lebih sedikit,
tumbang dengan akarnya terangkat naik, bahkan terseret ke mana-mana, menghantam
apa saja yang ada hingga
dahannya menjadi retak, patah tak karuan.
Gerakan pohon yang patah itu menghantam pula
tubuh Nagadipa beberapa kali. Orang itu berusaha
berpegangan pada salah satu akar pohon yang tumbang.
Tapi karena kuatnya pegangan, pohon itu justru ikut
terseret menjauhi Suto. Akhirnya pegangan tangan itu
terlepas, Nagadipa terguling-guling. Tudungnya entah
ada mana. Sedangkan Putri Alam Baka pun entah ke
mana. Badai topan yang datang begitu mengerikan.
Sepertinya bumi akan terbelah, langit akan runtuh.
Seketika itu pula kabut hitam mendung menggantung di
angkasa. Gumpalan-gumpalan kabut itu meliuk-liuk
bagai ada topan dahsyat di atas sana. Matahari tertutup oleh kabut tebal yang
bergulung-gulung mengerikan.
Suara gemuruh tak jelas dari jenis apa saja. Binatang-binatang hutan saling
berjeritan membuat suasana alam menjadi semakin gaduh dan riuh.
Beberapa saat kemudian, badai menjadi reda. Sedikit
demi sedikit kabut hitam di angkasa itu menyisih,
cahaya matahari kembali tampak menyinari bumi. Suara
gemuruh gaduh pun mulai reda. Suto berdiri dengan
mata terbelalak tak berkedip. Ia sama sekali tak
menyangka kalau sentakan napasnya menjadi
sedemikian dahsyat dan mengerikan. Bumi seperti habis dilanda kiamat setempat.
Bahkan Suto melihat tanah
yang longsor pada sebuah lereng. Ada yang terbongkah
dari keadaan aslinya. Batu-batu yang semula terpendam di tanah dan hanya muncul
di permukaan sedikit itu juga ada yang terpental keluar dan menggelinding jauh
dari tempat awalnya. Entah berapa yang tumbang dan rusak
berat akibat badai dahsyat tadi. Bahkan pohon besar pun sampai sekarang masih
meliuk dan tak bisa kembali
tegak dari posisinya semula.
"Pusaka Tuak Setan..."!" gumam Suto menjadi tegang dan ngeri sendiri. "Aku telah
menghempaskan napasku, dan napas itu adalah napas Tuak Setan! Oh, mengerikan
sekali"! Lantas bagaimana nasib Nagadipa dan Putri
Alam Baka..."! Di mana mereka"!"
* * * 5 PUTRI Alam Baka ditemukan oleh Maharani dalam
keadaan sangat menyedihkan. Maharani, satu dari
beberapa orang yang lolos dalam peristiwa 'Murka Sang Nyai' itu, baru saja tiba
dari Pulau Hantu untuk menemui si Mawar Hitam, tokoh sesat yang sebetulnya sudah
tidak ingin turun ke rimba persilatan kecuali berhadapan dengan Bidadari Jalang.
Maharani sungguh terkejut dan menjadi berang
melihat teman seperguruannya dalam keadaan terkoyak-
koyak sekujur tubuhnya. Mata kakinya remuk karena
terhimpit batu besar, serulingnya pecah dalam
genggaman sendiri, darah membungkus seluruh bagian
tubuh Putri Alam Baka, hingga hampir-hampir wajahnya
tak dikenalinya lagi. Jika tak melihat seruling pecah di tangannya, Maharani tak
dapat mengetahui siapa tubuh
yang terkapar berlumur darah itu.
"Sumbi!" panggil Maharani menyebut nama asli Putri Alam Baka. "Apa yang terjadi
si sini, Sumbi" Mengapa jadi begini"!"
Putri Alam Baka masih punya sisa napas walau
sejengkal. Matanya yang kiri nyaris keluar dari
rongganya, namun mata yang kanan masih bisa dipakai
untuk melihat walau hanya terbuka kecil sekali. Bibirnya yang hancur karena
benturan dengan benda keras
beberapa kali itu mencoba bergerak-gerak untuk bicara.
"Oh, Sumbi... tak bisakah kau bicara lebih jelas lagi?"
Maharani terpaksa dekatkan telinga ke mulut Putri Alam Baka
Samar-samar terdengar Putri Alam Baka ucapkan
kata, "Su... to...!"
Setelah itu ada napas kecil yang terlepas dari mulut
Putri Alam Baka. Lepasnya napas itu bersamaan dengan
tergoleknya kepala ke samping. Lemas dan lunglai.
Setelah itu, tak ada lagi gerakan maupun suara dari Putri Alam Baka.
"Sumbi!" seru Maharani menyentak dalam nada tegang. "Sumbi! Apa maksudmu dengan
Suto"! Jawablah, Sumbi! Sumbiii...!"
Maharani guncangkan tubuh berlumur darah itu. Tapi
si pemilik tubuh tetap diam membisu tanpa napas sedikit
pun. Lalu, meraunglah tangis Maharani begitu
menyadari temannya sudah tidak bernyawa lagi.
Hati Maharani diguncang duka dan kemarahan yang
begitu hebat. Tak tahu pasti apa penyebab kematian satu-satunya teman yang
tersisa dari perguruannya, Maharani mengamuk tanpa arah dan sasaran. Hanya
batang-batang pohon, bongkahan-bongkahan batu, dan benda-benda di
sekitarnya yang menjadi sasaran kemarahan Maharani.
Benda-benda itu dihancurkan dengan pukulan dan
tendangan bertenaga tinggi. Senjata kipasnya pun ikut ambil bagian menghantam ke
sana-sini hingga timbulkan suara ledakan yang menggetarkan tanah sekitarnya.
"Hentikan! Hentikan!" seru seseorang dengan suara gemetar.
Maharani cepat palingkan wajah dengan napas
terengah-engah. Ia segera kenali orang yang tanpa
tudung lagi namun masih berpakaian abu-abu itu.
Pakaiannya compang-camping bagai habis dikoyak
cakar beruang. Kulit tubuhnya pun terluka banyak,
seolah habis dirobek-robek oleh dua ekor harimau
jantan. Orang berkumis dan berambut banyak uban itu
tak lain adalah Nagadipa.
Maharani tertegun melihat keadaan Nagadipa seperti
itu. Setahunya, Nagadipa orang berilmu tinggi yang
jarang bisa dilukai oleh lawan. Tapi mengapa sekarang keadaan lukanya sedemikian
parah" Maka, Maharani
pun segera ajukan tanya kepada Nagadipa yang berdiri
dengan bersandarkan tubuh pada pohon yang masih
tegak berdiri. "Apa yang terjadi, Nagadipa"! Mengapa bumi
bagaikan habis dilanda banjir dan badai yang buas
begini" Mengapa Putri Alam Baka menderita luka
sebegitu parahnya hingga tak bernyawa lagi"!"
"Bawalah aku pergi ke tempat yang aman. Lekas!
Nanti kuceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku
butuh tempat aman untuk mengobati luka-lukaku ini,
Maharani!"
"Nagadipa...."
"Bawalah aku! Tenagaku tak kuat lagi untuk
bertahan!"
Tak ada pilihan lain buat Maharani. Ia harus segera
membawa Nagadipa pergi. Tempat yang dipilihnya juga
tak ada yang lain kecuali ke tempat asal Nagadipa, yaitu sebuah pulau yang
dikenal dengan nama Pulau Bangkai.
Pendekar Mabuk melihat kelebatan Maharani yang
membawa pergi Nagadipa. Tapi Pendekar Mabuk
sengaja tidak mengejarnya. Ia masih ingin memeriksa
keadaan alam sekitarnya, sejauh mana bencana yang
ditimbulkan oleh kekuatan dahsyat dari napas Tuak
Setan. Sebenarnya Pendekar Mabuk sudah sering
mendengar akibat yang ditimbulkan dari napas Tuak
Setan. Tapi untuk kali ini Suto benar-benar merasa heran dan juga menyesal.
Karena pada waktu ia sentakkan
napas dari mulutnya, ia tidak bermaksud melepaskan
Pusaka Tuak Setan dari dalam napasnya itu. Ia
menyentakkan napas karena ingin membuang rasa sakit
yang tak tertahankan lagi, yang ditimbulkan akibat suara
seruling Putri Alam Baka itu.
Terngiang kembali ucapan gurunya, si Gila Tuak,
saat membicarakan tentang Pusaka Tuak Setan,
"Orang yang menelan atau meminum Pusaka Tuak
Setan, akan mempunyai napas yang luar biasa
dahsyatnya. Sedikit napas tersentak dari mulut orang
yang diliputi kemarahan, maka badai topan yang amat
dahsyat akan menghembus keluar dan memporak-
porandakan alam sekitarnya. Karena itu, aku tak berani menggunakan Pusaka Tuak
Setan, karena aku masih
sering dihinggapi amarah yang walau dipendam tetap
akan menghasilkan napas badai yang dapat membawa
korban tak bersalah...."
Korban tak bersalah memang ada. Bukan harus dalam
wujud manusia, tapi hancurnya sebidang tanah hutan
juga bisa digolongkan sebagai korban tak bersalah.
Binatang-binatang hutan yang mati tergencet pohon,
atau pecah terbentur benda keras dengan kekuatan
tinggi, juga sebagai korban tak bersalah.
Pendekar Mabuk bergidik sendiri melihat seekor babi
hutan pecah kepalanya di dekat bongkahan batu besar.
Kulit babi hutan itu tercabik-cabik terkelupas dari
tubuhnya. Pohon-pohon hutan bagaikan rata dengan
tanah. Ambruk tak tertolong lagi. Akar-akar pohon
terpental keluar dari dalam bumi. Persawahan pun
hancur lebur tak berbentuk barisan tanaman padi lagi.
Badai yang ganas itu untung tak sampai memporak-
porandakan sebuah desa yang letaknya jauh dari lereng bukit itu. Namun dari
tempat Suto berdiri, ia melihat
sebatang pohon kelapa tumbang dan beberapa genteng
melorot dari atap. Suto pun segera lari ke desa untuk melihat lebih jelas lagi.
Ternyata memang tidak ada korban manusia di sana
kecuali dua ekor kerbau yang sedang dilepas di tepian sawah dekat tanah lapang.
Dua ekor kerbau itu masing-masing dalam keadaan kepala pecah dan tubuh terkoyak-
koyak. Dua ekor kerbau itu mati dalam keadaan
telentang, keempat kakinya mengeras ke atas.
Dari percakapan orang-orang desa itu terpetik satu
kesimpulan dalam benak Suto, bahwa mereka hanya
mengalami rasa takut yang begitu hebat. Bahkan ada
yang menyangka langit akan rubuh dan bumi akan
mengalami kiamat. Kerugian yang ditimbulkan dan
diderita oleh penduduk desa itu tak seberapa banyak,
kecuali pemilik dua ekor kerbau yang genteng atap
rumahnya hampir melorot semua. Kepada pemilik dua
ekor kerbau itu, Suto memberikan sejumlah uang
sebagai ganti ruginya.
"Uang untuk apa itu, Anak Muda?"
"Terimalah saja, Pak. Kurasa cukup untuk membeli dua ekor kerbau dan membenahi
genteng rumahmu."
Pendekar Mabuk memang tidak jelaskan apa yang
terjadi dan apa yang menjadi penyesalannya. Mereka
belum tentu mau percaya dengan omongan Suto Sinting.
Buatnya yang penting sudah menebus penyesalan itu
dengan memberikan uang ganti rugi secukupnya kepada
korban tak bersalah.
"Mudah-mudahan jangan lagi aku menggunakan
napas Tuak Setan-ku ini. Aku harus bisa mengendalikan amarahku dan menahan diri
untuk tidak melampiaskan
amarah dengan hembusan napas. Kalau tidak sangat
terpaksa dan tak punya jalan lain, jangan lagi kugunakan napas Tuak Setan-ku
ini! Kasihan mereka yang tak
bersalah menjadi korban keganasan napas Tuak Setan!"
pikir Suto sambil langkahkan kaki meninggalkan desa
itu. Ia ingin memeriksa alam di sisi lain, barangkali ada korban lain yang
menderita akibat amukan badai dahsyat dari napas Tuak Setan-nya itu.
Tiba di pinggiran sungai bertanggul tinggi, langkah
Suto terhenti seketika karena anak panah yang meluncur cepat dan jatuh menancap
tanah di depan langkahnya.
Secara gerak naluri Pendekar Mabuk melenting ke atas
dan bersalto mundur satu kali. Kemudian setelah
sepasang kakinya tegak berdiri di atas sebuah batu besar yang tingginya dua depa
dari tanah, Suto memandang
arah datangnya anak panah itu. Ternyata dari atas
tanggul, dan diluncurkan dari busur seorang lelaki kerdil berambut jarang.
Bagian tengah kepalanya tak
ditumbuhi rambut sedikit pun. Botak polos dan
mengkilap. Tapi dari bagian atas telinga memutar
sampai di telinga satunya lagi ditumbuhi rambut sedikit lebat. Panjangnya kurang
dari batas pundak. Karena tak terlalu lebat, rambut itu seolah-olah bisa
dihitung jumlahnya. Lelaki kerdil yang tingginya sebatas perut Suto itu
melompat dengan gerakan lincah dan ringan. Dari atas
tanggul ia bersalto turun dua kali. Kejap selanjutnya ia
sudah berdiri di depan Suto. Kepalanya mendongak
keatas, karena di samping Pendekar Mabuk lebih tinggi, juga karena keadaan
Pendekar Mabuk saat itu di atas
batu tinggi. Ia berseru dengan tangan masih
menggenggam busur panah, sedangkan tempat menaruh
anak panah lainnya ada di punggung. Tempat menaruh
anak panah itu terbuat dari kulit berbentuk kantung
panjang warna hitam kecoklatan, mempunyai tali pengait yang membuat anak
panahnya tidak jatuh berantakan
walau dipakai jungkir balik di udara.
"Kaukah yang... yang... namanya Sut... Suto"!"
serunya sambil menyunggingkan senyum yang lebih
tepat dikatakan sebagai seringai yang konyol.
Suto melompat turun dari atas batu. Wuuttt...! Kejap
berikut ia sudah berada di depan lelaki kerdil yang
bertampang tua itu. Dilihat dari ketuaan wajahnya, Suto menduga lelaki itu
berusia antara lima puluh tahun lebih, namun belum sampai enam puluh tahun.
Cukup waspada Suto memperhatikan gerak-gerik
orang aneh itu. Yang diperhatikan ternyata tidak
menimbulkan kesan bermusuhan. Orang itu mencabut
anak panahnya yang tadi menancap di tanah sambil
berlari-lari diiringi bibir yang cengar-cengir. Kemudian kembali menemui Suto


Pendekar Mabuk 06 Pertarungan Di Bukit Jagal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setelah mendapatkan anak
panahnya. "Siapa kau, Pak Tua?"
"He he he... ja... jawab du... dulu pertanyaanku!
Kau... kau yang bernama Sut... Sut... Suto?"
"Ya. Aku Suto, murid sinting si Gila Tuak!" jawab
Suto dengan tegas sambil tetap pandangi orang kerdil
berpakaian serba putih dari bahan kulit binatang berbulu putih. Bentuk celananya
pendek, bentuk bajunya mirip
rompi panjang. Semuanya dari kulit binatang, yang
menurut dugaan Suto adalah kulit beruang putih. Di
pinggang orang itu terselip dua pisau bersarung yang
panjangnya satu setengah jengkal. Masing-masing ada di pinggang kiri dan kanan.
"Sen... senang sekali aku bis... bisa bertemu
denganmu, Suto!"
Dalam hati Pendekar Mabuk membatin, "Orang ini
bicaranya tersendat-sendat. Apakah karena dia gugup
bertemu denganku atau karena memang begitulah lagak
bicaranya?"
Orang itu segera ucapkan kata lagi, "Nam... nam...
namaku... Gatra Laksana, tap... tapi julukanku... Dewa Racun!"
Pendekar Mabuk akhirnya tertawa seperti orang
menggumam, ia merasa geli sendiri melihat Dewa Racun
bicaranya seperti orang tertelan biji kedondong. Dan
melihat Suto tertawa, Dewa Racun kerutkan dahi dalam
tatap matanya yang sedikit menyipit itu.
"Ken... ken... kenapa kamu ter... ter... tertawa?"
"Aku menertawakan diriku sendiri. Alangkah
bodohnya aku ini, tak bisa mengenali tokoh tua yang
berjuluk Dewa Racun," jawab Suto mengalihkan
anggapan, walau sebenarnya ia memang tak kenal dan
belum pernah mendengar nama Dewa Racun.
Mendengar jawaban itu, Dewa Racun tampaknya tak
jadi tersinggung, ia segera ucapkan kata gagapnya,
"Kal... kal... kalau begitu, kau termasuk or... orang beruntung."
"Mengapa beruntung?"
"Kar... karena kau sekarang sudah bisa mengenal dan berhadapan langsung de...
dengan... Dewa Racun!"
"Apa hebatnya orang ini sehingga aku dianggap
beruntung bisa berhadapan dengan Dewa Racun"!" pikir Suto.
Dewa Racun berkata lagi, "Nam... namamu juga
cuk... cuk... cuk...."
"Cukur"!" sahut Suto
"Bukan. Cuk... cukup dikenal di kalangan rim... rimba persilatan. Ak... aku
dengar kau murid si Gila Tuak yang cuk... cukup terkenal itu. Dan... dan... aku
dengar kau cari-cari pe... pe..."
"Penyamun"!"
"Bukan. Perempuan! Ya, aku dengar kau cari-cari
pe... perempuan yang ber... bernama Dyah Sariningrum."
Tersentak kaget Pendekar Mabuk mendengarnya.
Senyumnya hilang seketika begitu mendengar nama
Dyah Sariningrum disebutkan oleh Dewa Racun. Ia maju
setindak dan rendahkan badan, setengah jongkok di
depan Dewa Racun agar wajahnya sejajar dengan wajah
si kerdil itu. "Apakah kau mengenal Dyah Sariningrum?"
"Ya. Ak... aku kenal nama itu," jawab Dewa Racun.
"Tap... tap... tapi aku tidak tahu siapa dia dan di mana dia."
"Dari siapa kau tahu nama Dyah Sariningrum?"
"Dar... dar... dar... dar...."
"Cepat katakan! Jangan hanya main dar-daran saja"!"
sentak Suto tak sabar.
"Maksudku, dar... dari mulut Peramal Pikun!"
Pendekar Mabuk tertegun sejenak, ia berdiri dari
jongkoknya. Terbayang wajah bermata cekung bertubuh
kurus kering milik Peramal Pikun. Suto hampir saja
melupakan seraut wajah pikun. Dialah orang yang
menjadi kunci tentang rahasia nama Dyah Sariningrum.
Tapi apa perlunya Peramal Pikun memberitahukan
kepada Dewa Racun"
"Apa maksudmu menemuiku, Dewa Racun?" tanya Suto. "Bukankah kau tidak mengenal
siapa Dyah Sariningrum kekasihku itu, dan tidak tahu di mana dia berada?"
"Ya. Tap... tap.... Tapi aku disuruh Peramal Pikun untuk mencarimu. Dia... dia
dalam keadaan sakit parah kar... karena... sebutkan nama Dyah Sariningrum di
depanku." Pendekar Mabuk kerutkan dahinya tajam-tajam, ia
dekatkan kembali wajahnya kepada Dewa Racun dengan
bungkukkan badan.
"Dia sakit parah karena sebutkan nama Dyah
Sariningrum?"
"Ya. Dia... tak boleh sebutkan nama itu, bah... bahkan mendengar nama itu pun
dia tak... tak boleh. Telinganya akan ber... ber...."
"Berkumis?"
"Bukan. Akan ber... berdarah jika mendengar nam...
nama Dyah Sariningrum. Sewaktu ia lup... lupa sebutkan nama itu di depanku, ia
langsung meng... meng...."
"Menghilang"!"
"Bukan, ia langsung mengeluarkan darah dari mul...
mulutnya. Dia langsung ter... ter... ter... terluka dalam.
Dia but... butuh bantuanmu secepatnya, Suto!"
"Aneh! Mengapa dia jadi terluka dan berdarah
begitu" Apa hubungannya antara nama Dyah
Sariningrum lengan lukanya itu?"
"Entahlah! Yang... yang... yang jelas dia minta kau segera da... datang
menemuinya!"
Suto menarik napas panjang, ia ambil bumbung tuak,
dan menenggak tuaknya beberapa teguk. Dewa Racun
hanya memperhatikan dengan senyum-senyum tak ada
manisnya sama sekali, tapi tidak berkesan bermusuhan.
"Apa hubunganmu dengan Peramal Pikun?" tanya Pendekar Mabuk mengawali langkahnya
mendaki tanggul sungai yang tinggi itu.
"Hanya sebagai te... te... tetangga, eh... bukan! Hanya sebagai teman biasa.
Teman baik. Dul... dulu dia pernah tolong aku dan aku pun pernah selamatkan
nyawanya dari bahaya racun. Sejak itu ka... kami mengikat tali persahabatan yang cuk...
cuk... cukup baik."
"Hmmm...!" Pendekar Mabuk menggumam sambil
manggut-manggut.
Terbayang lagi dalam benak Suto Sinting wajah
seorang perempuan yang pertama kali hadir di alam
semadinya itu. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Pusaka Tuak Setan"). Wajah cantik yang muncul di alam semadinya itu
membuat Suto mencucurkan air mata berdarah. Cucuran air mata
berdarah itu tidak disadari olehnya, namun dipahami
oleh gurunya, si Gila Tuak. Sejak itu, wajah yang
mengaku bernama Dyah Sariningrum itu sering hadir di
alam mimpi Pendekar Mabuk dan membuat Pendekar
Mabuk sering dicekam rindu. Itulah sebabnya Suto tak
bisa menerima cinta Betari Ayu, karena ia sudah telanjur jatuh cinta pada seraut
wajah milik Dyah Sariningrum.
Sayang sekali si Gila Tuak juga tidak menjelaskan, siapa perempuan itu dan di
mana letak persinggahannya. Si
Gila Tuak hanya mengatakan, bahwa wajah yang hadir
di alam semadinya Suto Sinting itu adalah calon jodoh Suto.
Itulah sebabnya Pendekar Mabuk memburu seraut
wajah cantik bernama Dyah Sariningrum dengan seribu
godaan yang datang dari perempuan-perempuan cantik
lainnya. Perempuan-perempuan itu terang-terangan jatuh cinta kepada Suto sampai
siap korbankan nyawa, tapi
Suto tetap tak bisa menerima cinta dari perempuan
Sikap Suto Sinting yang menutup diri terhadap cinta
perempuan lain itulah yang membuat mereka jadi
kecewa. Yang dulunya cinta kepada Suto, sekarang
berubah menjadi benci. Tetapi Pendekar Mabuk tidak
mengetahui adanya perubahan sikap mereka. Suto
Sinting tidak tahu bahwa jiwanya sedang dalam
ancaman tiga perempuan patah hati, yaitu Peri Malam,
Selendang Kubur, dan Perawan Sesat.
Satu dari tiga perempuan patah hati itu sengaja
menghadang langkah Suto. Sebuah pukulan tenaga
dalam dilancarkan dari jarak jauh. Pukulan itu hanya
sebagai pengganggu langkah saja, tidak bermaksud
menghabisi nyawa Pendekar Mabuk saat itu juga.
Pukulan tersebut segera dihadang dengan kelebatan
tubuh kerdil Dewa Racun yang melompat cepat di depan
Suto. Lalu dengan sentakkan tangan kirinya, Dewa
Racun menghantam kilatan cahaya hijau yang menuju ke
arah Suto. Wuugh...! Duub...! Kedua tenaga dalam itu beradu di
udara. Blarr...! Meledaklah benturan tenaga dalam tersebut,
membuat Dewa Racun terpental ke belakang membentur
Suto, membuat keduanya berjumpalitan di tanah.
"Apa-apaan kau ini, Dewa Racun!" sentak Pendekar Mabuk sedikit dongkol karena
matanya hampir tercolok
busur di tangan Dewa Racun.
"Ada yang... yang... yang ingin menghantammu dari tempat jauh!"
"Aku tahu. Tapi aku bisa atasi sendiri. Tak perlu kau yang menghalangi pukulan
itu." "Ak... aku... cuma mau selamatkan kam... kam...."
"Kambing"!" sentak Suto.
"Kamu!" Dewa Racun ganti membentak. Keduanya segera tegak berdiri, karena dari
atas pohon meluncur sesosok tubuh berambut acak-acakan. Siapa lagi dia
kalau bukan Perawan Sesat yang bertampang liar dan
beringas itu. Dewa Racun segera berkata kepada Pendekar Mabuk,
"Ad... ada... ada perempuan can... can... can..."
"Cantengan"!" sergah Suto Sinting menebak.
"Hmmm... iya," jawab Dewa Racun. "Perempuan cantik yang mungkin berpenyakit
cantengan, menghadang langkah kita. Ap... apa maksudnya ak... aku tidak tahu. Sumpah, aku
tidak tahu!"
"Siapa yang menuduhmu tahu maksudnya" Tak perlu
pakai sumpah segala!" sentak Suto agak dongkol dengan sikap gagapnya Dewa Racun.
Kemudian, Pendekar
Mabuk maju setindak dan berkata kepada Perawan
Sesat. "Apa maksudmu menghadang langkahku, Perawan
Sesat"!"
Dengan mata tajam bersikap bermusuhan, Perawan
Sesat menjawab,
"Aku hanya ingatkan kamu, dua hari lagi purnama
tiba!" "Apa maksudmu dengan purnama tiba?"
"Kau punya janji pertarungan dengan Manusia
Sontoloyo yang bernama Dirgo Mukti itu! Apakah kau
masih ingat dengan pertarungan yang akan terjadi di
Bukit Jagal itu?"
Pendekar Mabuk tertawa berkesan meremehkan. "Ya, ya... sekarang aku ingat.
Hampir saja aku lupa kalau aku mendapat tantangan dari Dirgo Mukti. Tapi...
sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi. Masalahnya tidak penting
dipertarungkan!"
"Buat Dirgo Mukti kau punya urusan dengannya yang
amat penting! Menentukan siapa yang berhak menerima
cinta Peri Malam, itu adalah masalah yang sangat
penting buat Dirgo Mukti!"
Sekali lagi Suto lontarkan tawa meremehkan. "Bilang kepada Dirgo, suruh dia
ambil perempuan itu. Aku tak
akan mempertahankannya!"
"Hmm... kau takut menghadapi tantangan itu
rupanya." "Ya. Aku memang takut. Takut membunuhnya.
Kasihan dia kalau harus mati sia-sia di tanganku.
Kasihan tanganku kalau harus membunuh orang yang
tidak punya masalah penting denganku!"
"Hadapilah dia kalau kau memang murid sinting si Gila Tuak! Aku hanya
mengingatkan saat
pertarunganmu itu, Suto!"
"Aku tidak akan hadir!"
"Harus hadir! Jangan kecewakan musuhmu, Suto!
Jangan jatuhkan martabat gurumu yang kesohor sebagai
orang sakti di papan teratas!" bujuk Perawan Sesat.
"Pertarungan itu tidak penting, Perawan Sesat! Aku tidak mau terlibat urusan
yang sangat sepele!"
"Kalau begitu, lepaskan gelar kependekaranmu biar Dirgo Mukti yang
menyandangnya!"
Suto hanya tersenyum heran sambil geleng-gelengkan
kepala, ia ucapkan kata pelan tapi penuh tatap pesona yang membuat hati Perawan
Sesat berdebar keras.
"Mengapa kau harus mendesakku bertarung melawan
Dirgo Mukti" Apakah kau punya dendam dengan Dirgo
Mukti dan ingin meminjam tanganku untuk
membunuhnya" Apakah kau tak mampu membunuh
Dirgo Mukti sendiri?"
"Jangan picik otakmu, Suto Sinting! Ini bukan soal dendam. Ini soal harga diri,
antara harga dirimu dengan harga diri Dirgo Mukti!"
"Tidak. Aku tetap tidak mau hadir dalam pertarungan nanti!"
"Kau kalah!"
"Biarlah dianggap kalah! Tapi aku punya
kemenangan sendiri di balik kekalahan itu!" kata Pendekar Mabuk dengan tetap
tenang. "Kau harus menghadapinya, Suto!" bentak Perawan Sesat yang merasa jengkel karena
bujukannya tidak
berhasil. Akhirnya, Dewa Racun ikut angkat bicara, ia berkata
kepada Perawan Sesat sambil bertolak pinggang.
"Aku yang akan mewakili Suto! Aku yang akan
menghadapi Dirgo Mukti itu!"
"Hmmm...!" Perawan Sesat mencibir sinis, ia sengaja tidak kasih tanggapan
terhadap kata-kata orang kerdil itu. Ia segera pergi setelah berkata, "Jangan
kecewakan orang-orang yang mencintai dan mengagumi
kehebatanmu, Suto. Kami ingin menyaksikan kehebatan
orang yang kami puji-puji itu!" Lalu, ia melesat pergi dengan ilmu siluman.
* * * E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com


Pendekar Mabuk 06 Pertarungan Di Bukit Jagal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

6 SUNGGUH tak habis pikir Pendekar Mabuk terhadap
kemunculan Perawan Sesat. Mengapa perempuan itu
begitu besar harapannya agar Suto melaksanakan
pertarungan dengan Dirgo Mukti di Bukit Jagal" Pasti perempuan itu mempunyai
satu alasan dan tujuan lain
yang tersembunyi. Suto merasa bukan hanya ingin
ditonton dan dipuji kehebatan pertarungannya nanti, tapi karena ada sesuatu yang
ingin dilakukan oleh Perawan
Sesat. Ia merasa dirinya akan dijadikan alat oleh
Perawan Sesat, yaitu alat pembantai Dirgo Mukti.
Satu hal lagi yang membuat Pendekar Mabuk heran
adalah pembelaan yang dilakukan oleh Dewa Racun,
baru saja mereka saling kenal, mengapa Dewa Racun
melakukan pembelaan sebesar itu. Saat pukulan tenaga
dalam Perawan Sesat hendak menyerang Suto, Dewa
Racun cepat ambil sikap menahan dan menghancurkan
pukulan tersebut. Mestinya hal itu tidak perlu ia lakukan.
Pada saat Suto ngotot tidak mau melayani tantangan
Dirgo Mukti, tiba-tiba Dewa Racun menyediakan diri
sebagai pengganti Suto dalam pertarungan nanti.
Mestinya Dewa Racun tak perlu ikut campur, toh dia
tidak tahu duduk perkaranya tentang pertarungan dan
tantangan Dirgo Mukti Itu.
Suto sendiri tidak tahu, bahwa sebenarnya Perawan
Sesat hanya bertugas mengingatkan saat pertarungan
yang sebentar lagi akan tiba itu. Tiga perempuan patah hati telah menugaskan
Perawan Sesat untuk
mengingatkan Suto, sementara Peri Malam dan
Selendang Kubur bertugas memberi semangat pada
Dirgo Mukti. Tetapi, agaknya Perawan Sesat kurang
pintar main siasat. Bujukannya terlihat jelas melalui desakan yang bersifat
memaksa, sehingga Suto tetap
berkeputusan untuk tidak melayani tantangan Dirgo
Mukti. Sementara itu di tempat lain, Peri Malam dan
Selendang Kubur tetap memberi bujukan agar Dirgo
Mukti bersemangat melawan Suto. Sebelumnya, saat
mereka bertiga menunggu kemunculan Dirgo Mukti dan
Datuk Marah Gadai dari dasar telaga, mereka sudah atur siasat seperti itu.
Mereka sudah menyangka bahwa Dirgo Mukti pasti
bertarung melawan Datuk Marah Gadai, karena
keduanya sama-sama menyelam ke dasar telaga mencari
Cincin Manik Intan. Tetapi tiba-tiba kedua tubuh mereka tersentak keluar dari
dalam telaga dan masing-masing
terlempar tak tentu arah. Air telaga bergolak begitu kuat, hingga sebagian
airnya tumpah ke samping dan
sekelilingnya, mengguyur tubuh tiga perempuan patah
hati itu. Ketiga perempuan itu berpegangan pada pohon
karena tubuh mereka terhempas badai kencang dari arah wetan. Bahkan sebagian
pohon di dekat telaga ada yang tumbang ke sana kemari. Hal itu terjadi saat Suto
Sinting melepaskan napas Tuak Setan-nya tadi. Badai itu
ternyata sampai pula di sekitar telaga dan menipis ke arah barat.
"Pasti ada yang menggunakan ilmu kesaktian tinggi!"
seru Perawan Sesat kala itu. Ia sendiri hampir terbang terpental oleh hembusan
angin badai yang cukup kuat
itu. Seruan tersebut tak mendapat tanggapan dari kedua temannya, karena masing-
masing sibuk bertahan agar
tak ikut terbuang oleh badai keras tersebut.
Pada waktu Dirgo Mukti dan Datuk Marah Gadai
terlempar dari dasar telaga, sang Datuk Marah Gadai
segera terpental bagaikan kapas tertiup angin. Mungkin karena tenaganya sudah
sangat berkurang selama
pertarungan dengan Dirgo Mukti yang berlanjut di dasar telaga, hingga ia tak
mampu bertahan diri dari hembusan badai. Tubuhnya melayang menerabas semak
berduri. Suaranya pun hilang dari pendengaran tiga perempuan
patah hati itu.
Dirgo Mukti sendiri sebenarnya juga terhempas ke
mana-mana. Mungkin akan lebih jauh terpentalnya
dibanding Datuk Marah Gadai. Tetapi, tangan Peri
Malam berhasil memegangi kaki Dirgo Mukti yang
hampir terbawa terbang hembusan badai dahsyat itu.
Sambil berpegangan pada pohon, Peri Malam
mempertahankan tubuh Dirgo Mukti yang merayap-
rayap bagaikan buaya tanpa kaki.
"Bantu aku menahan tubuhnya!" teriak Peri Malam saat itu, dan Selendang Kubur
pun menahan pundak
Dirgo Mukti dengan kedua kakinya. Pundak itu tak bisa maju karena mendapat
tahanan dua kaki dari depan,
sedangkan kedua tangan dan pundak Selendang Kubur
menahan diri ke salah satu batang pohon. Ia pun
bertahan sekuat tenaga agar tidak ikut terlempar oleh
hembusan angin badai yang menggila itu.
Saat-saat berikutnya, badai itu reda. Suasana di
sekitar telaga persis bumi yang habis mengalami kiamat, itulah kekuatan dahsyat
dari napas Tuak Setan. Padahal dari tempat Pendekar Mabuk hembuskan napas itu
sampai ke Telaga Manik Intan jaraknya cukup jauh.
Memakan waktu setengah hari untuk berjalan menuju
kesana. Tapi toh badai napas Tuak Setan sempat bikin
gaduh di sekitar telaga itu.
Mereka tidak tahu, pada saat badai mengamuk di
sekitar telaga, keadaan di tempat Suto sudah kembali
tenang. Jadi bentuk badai itu bergulung-gulung yang
makin lama semakin tipis gulungannya dan semakin
pudar hembusannya. Kalau saja mereka tahu, badai
sedahsyat itu datang dari mulut Suto, sudah pasti mereka urungkan niat untuk
mengadukan kesaktian Dirgo Mukti
dengan Suto. Dan karena mereka tidak tahu hal itu, maka mereka pun akhirnya
tetap membujuk Dirgo Mukti
untuk melaksanakan janji pertarungannya dengan Suto
Sinting. Waktu itu, suasana sudah reda dan tenaga mereka
sudah pulih seperti sediakala. Dirgo Mukti berkata
kepada Peri Malam.
"Tenagaku terkuras habis melawan Datuk Marah
Gadai itu! Rasa-rasanya aku harus menunda pertarungan sampai purnama mendatang!"
"Itu sama saja kau mengakui kekalahanmu, Dirgo!
Dan berarti Suto-lah yang berhak memiliki cintaku,"
kata Peri Malam mempengaruhi pikiran Dirgo Mukti.
"O, tidak! Kau tidak akan kuserahkan kepada Suto Sinting! Kau harus kumiliki,
Peri Malam!"
"Jika kau ingin memiliki aku, kau harus tunjukkan kesaktianmu di depanku dengan
mengalahkan Pendekar
Mabuk di pertarungan nanti!"
Dirgo Mukti tarik napas panjang-panjang. Matanya
menerawang dalam satu renungan pertimbangan. Pada
saat itu, Selendang Kubur segera angkat bicara dari
samping kanan Dirgo Mukti,
"Aku pun bertaruh untuk dirimu, Dirgo. Kau pasti menang melawan Suto, dan aku
siapkan hadiah untukmu
yang sangat istimewa!"
Cepat-cepat Dirgo Mukti palingkan wajah,
memandang Selendang Kubur dengan senyum berseri,
"Hadiah istimewa apa yang akan kau berikan padaku jika aku menang melawan Suto
Sinting?" Mata Selendang Kubur melirik nakal sambil ia
berkata, "Apa yang kau harapkan dariku selama ini akan kuberikan padamu!"
"Betulkah"!" Dirgo Mukti kian berbinar-binar matanya.
"Ya. Aku hanya ingin menyerahkan tubuhku pada
laki-laki yang benar-benar jantan dan perkasa sebagai seorang pendekar!"
Perawan Sesat segera lontarkan kata sambil berdiri di depan Dirgo Mukti,
memamerkan belahan dadanya,
merenggangkan kedua
kakinya dengan senyum
menggoda. "Rasa-rasanya aku juga perlu kasih hadiah kepada
siapa yang unggul dalam pertarungan nanti!"
"Kau..."! Kau juga akan kasih hadiah yang sama
seperti Selendang Kubur?"
"Kurasa kau pernah merasakannya, Dirgo! Tapi yang tempo hari kau rasakan itu
belum istimewa. Kau akan
memperoleh yang paling istimewa jika bisa kalahkan
Suto Sinting!"
"Oh, menyenangkan sekali..."!" si Manusia Sontoloyo berseri-seri dan lebih
bersemangat lagi.
Peri Malam berkata kepada Perawan Sesat, "Cari
Suto, ingatkan padanya tentang pertarungan di Bukit
Jagal, supaya dia tidak lupa, dan supaya Dirgo Mukti
tidak kecewa atas ketidakhadirannya nanti!"
"Aku akan cari dia dan akan kuingatkan demi
pendekar pujaan kita itu, Peri Malam!" kata Perawan Sesat, lalu ia cubitkan
tangannya di pipi Manusia
Sontoloyo. Setelah itu, segera tinggalkan tempat untuk mencari Pendekar Mabuk.
Pada saat itu, Dirgo Mukti sempat ucapkan
kesangsiannya, "Tapi aku belum menguasai jurus 'Cakar Naga'"
Mana bisa aku mengalahkan dia?"
"Kau pasti punya jurus simpanan lainnya!" sahut Selendang Kubur. "Gunakan jurus-
jurus intimu. Keluarkan ilmu-ilmu simpananmu. Jangan tanggung-
tanggung kalau melawan Pendekar Mabuk. Dia juga tak
pernah tanggung-tanggung gunakan ilmunya!"
Peri Malam menimpali, "Bila perlu, gunakan pusaka kapakmu itu! Aku yakin
Pendekar Mabuk tak akan
mampu menandingi kesaktian kapakmu itu!"
Dirgo Mukti semakin sombong hatinya. Kepalanya
bagaikan bengkak mendapat sanjungan seperti itu. Lalu, ia cabut senjata kapaknya
dan ia amat-amati beberapa
saat. Kapak bermata dua itu mempunyai ujung mata
tombak yang bisa melesat memburu sasaran dan tumbuh
lagi mata tombak lainnya dari dalam gagang. Kapak itu mempunyai gagang yang bisa
ditarik dan menjadi rantai sehingga bisa dipakai menebas leher dari jarak dua
tindak atau tiga langkah di depannya.
"Seharusnya Datuk Marah Gadai sudah kuhabisi
nyawanya pakai kapakku ini! Kenapa aku jadi lupa pada pusaka sendiri"!"
"Itu tak perlu. Melawan Datuk Marah Gadai tidak
harus pakai kapak pusakamu! Tidak terhormat rasanya
jika kapak itu kau gunakan untuk melawan Datuk Marah
Gadai. Akan lebih terhormat lagi jika kau gunakan untuk membunuh Suto Sinting!
Kurasa hanya kapak ini yang
bisa menandingi semua ilmu Pendekar Mabuk!" kata Peri Malam yang membuat hati
Dirgo Mukti menjadi
semakin berbunga-bunga.
"Kurasa kau perlu istirahat banyak, Dirgo," kata Selendang Kubur dengan senyum
manisnya. "Jangan
buang-buang tenaga sebelum hari pertarungan tiba. Mari kuantar pulang ke Pantai
Saru. Kau perlu persiapkan diri di sana."
"Kau akan menemaniku di sana sebelum pertarungan tiba?"
"Ya, aku dan Peri Malam akan mendampingi masa
istirahatmu!"
"Dan... dan akan berikan kehangatan padaku di
sana?" Peri Malam cepat menjawab, "Kehangatan itu akan
tiba jika kemenanganmu tergenggam di tangan. Kurasa
Perawan Sesat juga akan memberikan kehangatan yang
lebih indah lagi setelah kau berhasil membunuh Suto
Sinting!" Selendang Kubur menambahkan kata, "Kau akan
memperoleh kemenangan ganda, Dirgo! Selain namamu
jadi cepat dikenal di rimba persilatan sebagai seseorang yang mampu mengalahkan
murid si Gila Tuak, juga kau
akan memperoleh kemenangan batin yang luar biasa
tingginya, yaitu memperoleh tiga istri sekaligus!"
"Tiga istri"! Waaah..., ha ha ha ha...!" Dirgo Mukti tertawa kegirangan. Kedua
perempuan itu dirangkulnya kanan-kiri. Kedua perempuan itu juga membiarkan
dicium wajahnya oleh Dirgo Mukti yang tampak jelas
serakah dengan kemesraannya.
Di Pantai Saru, ketika malam hadirkan sunyi,
Perawan Sesat renungkan diri, duduk di atas bebatuan
tak berlumut. Satu persatu Peri Malam dan Selendang
Kubur mendekat, lalu mereka saling bergunjing tentang Suto. Perawan Sesat yang
mengawali percakapan itu.
"Lain kali jangan aku yang harus temui Pendekar
Mabuk sendirian."
"Mengapa?" tanya Peri Malam.
"Aku tak tahan memandang matanya. Gairahku
terbakar dan rasa cintaku meletup-letup jika bertatap
muka dengannya."
"Apakah kau masih tertarik pada Suto?"
"Justru karena aku masih punya rasa cinta, maka aku harus menghadirkannya jika
inginkan kematiannya!"
kata Perawan Sesat sambil menatap Peri Malam. Tapi,
Selendang Kubur segera angkat bicara,
"Dasar perempuan binal!"
Sreeg...! Perawan Sesat berdiri, Selendang Kubur
juga sigap menantang. Mata Perawan Sesat tajam
menembus bola mata Selendang Kubur yang
memancarkan dendam itu. Lalu, terdengar Perawan
Sesat menggeram dalam ucapan kata,
"Jangan memancing kemarahanku kalau tak ingin
kubinasakan di sini sekarang juga!"
"Lebih baik kita adu nyawa daripada akhirnya nanti kamu masih menyukai Suto!"
"Aku tak pungkiri hal itu. Tapi aku toh berusaha untuk tidak mau menemuinya
secara sendirian"!"
"Bagaimana jika nantinya kau menjadi
pengkhianat"!" sentak Selendang Kubur. "Lebih baik kuhabisi sekarang nyawamu
ketimbang nantinya kau
menjadi pengkhianat!"
"Sudah, sudah...!" Peri Malam menengahi dengan suara tegasnya. "Sekarang bukan
saatnya bicara soal urusan pribadi! Aku ingin kalian bedakan antara urusan
pribadi dengan urusan bersama!"
"Dia masih mencintai Suto!" tuding Selendang Kubur kepada Perawan Sesat.
"Kurasa itu hal yang wajar," kata Peri Malam dengan
lantang. "Karena ada cinta itulah maka timbul kebencian kepada Suto. Kalau kita
tak punya cinta pada Suto, tak mungkin kita sakit hati dengan sikap acuh tak
acuhnya!" Selendang Kubur kendorkan ketegangan uratnya,
demikian pula Perawan Sesat. Keduanya saling bisu, tapi Peri Malam tetap bicara


Pendekar Mabuk 06 Pertarungan Di Bukit Jagal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam keadaan berada di tengah mereka.
"Secara jujur aku sendiri mengakui masih punya rasa cinta pada Suto Sinting.
Tapi cinta ini dibungkus oleh kebencian, dan karena itu kita merencanakan untuk
membunuh Suto. Sekarang yang perlu kita pikirkan,
andaikata Suto tidak hadir dalam pertarungan nanti, apa yang harus kita
lakukan?" "Ya. Sejak tadi itulah yang kupikirkan!" kata Perawan Sesat. "Karena agaknya dia
merasa tidak ada perlunya melayani tantangan Dirgo Mukti! Persoalan
yang dihadapi dianggap persoalan kecil. Bahkan dia tak mau peduli akan dirimu,
Peri Malam. Dia berniat
membiar kan dirimu dimiliki oleh Dirgo Mukti!"
"Karena dia tidak mencintaimu, Peri Malam," sahut Selendang Kubur dengan
cepat. Peri Malam
menggeletukkan giginya menahan kegeraman hati.
"Menurutku," kata Perawan Sesat. "Kaulah yang membujuknya agar dia tetap hadir
melayani tantangan
Dirgo Mukti. Kau bisa gunakan kemanjaanmu dan
mengadu yang bukan-bukan tentang sikap Dirgo!"
"Aku tak berani! Aku takut terjerat cinta yang makin membara," kata Peri Malam.
"Bagaimana jika Selendang Kubur saja yang temui dia dengan pengaduan palsu
tentang Dirgo Mukti" Dia pasti ada di pihakmu,
Selendang Kubur, karena antara dia dan gurumu ada
hubungan baik! Dia pasti mau membelamu jika kau
katakan Dirgo Mukti akan mengganggu, juga
mengganggu gurumu itu!"
"Tidak. Aku juga tidak berani berhadapan sendiri dengan Suto. Aku takut semakin
mencintainya!"
"Kalau semuanya takut makin jatuh cinta, lantas
bagaimana kita bisa membunuh dia"!" tukas Peri Malam bernada jengkel.
* * * 7 PERAMAL Pikun memang terluka pada bagian
dalamnya. Wajahnya yang berkulit hitam memancarkan
rona pucat pias. Bibirnya membiru dengan darah masih
sesekali keluar dari mulutnya, Peramal Pikun terbaring lunglai bagai cucian
basah tak terawat.
Ketika ia melihat kehadiran Suto, tampak cahaya
penuh harapan terpancar dari matanya yang sayu itu.
Dahi Suto berkerut melihat keadaan Peramal Pikun.
Separah itukah sakitnya hingga ia sendiri tak dapat
mengobati" Pikir Suto. Iba hati murid si Gila Tuak itu melihat keadaan Peramal
Pikun, sepertinya lelaki tua renta itu memikul dosa yang amat berat
disandangnya. Terlontarlah kalimat tanya dari mulut Suto yang
sengaja bernada pelan agar tidak mengganggu
keheningan pondok ini.
"Apa penyebabnya" Katakan saja sejujurnya, Peramal Pikun"!"
"Sebuah nama yang kau sebutkan."
"Nama kekasihku?"
"Ya. Mestinya aku tak boleh sebutkan nama itu, Suto.
Aku lupa, dan aku sebutkan nama itu!"
Pendekar Mabuk memeriksa sesaat tubuh Peramal
Pikun. Ia terkesiap melihat bagian perut memar biru.
Dari perutnya itu bergurat garis merah sebesar lidi yang menuju ke tengah leher,
melewati pertengahan ulu
hatinya. Suto bergumam,
"Apa arti jalur merah ini?"
"Itulah yang dinamakan jalur kutukan. Jalur merah itu dikenal julukan ilmu
'Rentang Kutuk'! Hanya dia yang memilikinya!"
"Maksudmu...."
"Jangan sebut namanya, Suto! Kumohon, jangan...!"
sergah Peramal Pikun memelas. Pendekar Mabuk buru-
buru menunda ucapannya, ia segera ingat bahwa
Peramal Pikun tak bisa mendengar nama Dyah
Sariningrum. Jika ia mendengar nama itu, telinganya
akan mengucurkan darah lagi.
"Jalur Kutukan atau ilmu 'Rentang Kutuk' ini akan merenggut nyawaku pada saat
tepat bulan menjadi
purnama!" tambah Peramal Pikun dengan suara
lemahnya "Jadi aku mohon bantuanmu untuk
menghilangkan ilmu 'Rentang Kutuk' ini sebelum
purnama tiba."
"Sebelumnya aku ingin tahu mengapa ilmu 'Rentang Kutuk' itu menimpa dirimu?"
"Apakah Dewa Racun belum bicarakan hal itu
padamu?" "Belum! Dewa Racun mendengar nama kekasihku
dari mulutmu, tapi dia tidak kenal siapa orang yang
punya nama itu dan di mana tempat persinggahannya.
Dewa Racun hanya bertugas mencari aku dan
membawaku kemari untuk menolongmu!"
"Dewa gila!" geram Peramal Pikun sambil matanya mencari Dewa Racun di dalam
pondoknya. Tapi orang
kerdil itu tidak ada di dalam pondok. Orang kerdil tadi menyuruh Suto masuk
sendirian dan ia bergegas menuju
ke sungai, katanya mau mandi sebentar di sana.
"Siapa Dewa Racun itu sebenarnya, aku belum jelas, Peramal Pikun. Dia tidak
banyak menceritakan dirinya
sepanjang perjalanan kemari. Dia bahkan lebih banyak
membicarakan tentang pertarunganku dengan manusia
Sontoloyo dua hari lagi."
Mata Peramal Pikun berkedip-kedip seperti orang
menunggu ajal. Cukup lama ia bungkamkan mulutnya,
sampai akhirnya Suto mengulang pertanyaannya yang
tadi, "Aku ingin tahu mengapa ilmu 'Rentang Kutuk' itu menimpa dirimu, Peramal Pikun.
Ceritakanlah!"
"Ini rahasia hidupku, Suto."
"Untuk apa kau simpan rahasia kalau sebentar lagi kau mati?"
"Memang benar katamu. Tapi...." Peramal Pikun ragu
sejenak, sehingga Pendekar Mabuk perlu mendesaknya.
"Katakanlah apa adanya, supaya aku bisa mengambil sikap bagaimana harus
menolongmu, Peramal Pikun."
"Baiklah," katanya, lalu Peramal Pikun mencoba tarik napas panjang. Darah keluar
lagi dari mulutnya tanpa
batuk sedikit pun. Ia mengusap darah itu memakai kain yang kumal dan tak
berbentuk kain lain, melainkan
bentuk kumpulan darah mengering.
Dengan suara pelan, Peramal Pikun tuturkan kata,
"Aku melakukan kesalahan semasa mudaku."
"Kesalahan apa?"
"Mencintai guruku sendiri."
"Apakah gurumu seorang perempuan?"
"Ya. Usianya sudah banyak, tapi masih awet muda
dan cantik. Ia memiliki ilmu kecantikan abadi, seperti yang dimiliki oleh tokoh-
tokoh sakti lainnya. Rasa
cintaku kepada Guru begitu dalam, sehingga aku
menjadi gila, dan nekat ingin memperkosanya. Tapi
dalam satu jurus aku tumbang, tak bisa mengalahkan
Guru. Lalu, aku diusir dari Puri Gerbang Surgawi...."
"Apa itu yang dimaksud Puri Gerbang Surgawi?"
"Sebuah negeri Pulau Serindu, jauh dari sini
letaknya," jawab Peramal Pikun sambil matanya
menerawang bagai mempunyai sebaris kenangan masa
lalunya. Peramal Pikun menyambung ucapannya lagi, "Aku
diusir dari sana dengan satu kutukan yang membekas
selamanya dalam hidupku. Aku dianggap murid sesat
dan sangat tidak terhormat. Karenanya, ilmu 'Rentang
Kutuk' selalu menyertaiku."
"Siapa yang mengusirmu dan siapa yang melancarkan kutuk itu?"
"Siapa lagi kalau bukan penguasa tunggal Puri
Gerbang Surgawi, yang namanya menjadi nama
kekasihmu itu!"
Terbelalak mata Suto seketika itu. Tertegun ia sampai beberapa saat lamanya.
Sama sekali tak menyangka
bahwa Dyah Sariningrum itu adalah penguasa sebuah
negeri, yang menjadi guru dari Peramal Pikun. Hampir-
hampir Pendekar Mabuk tidak mempercayai kata-kata si
Peramal Pikun. Kembali setelah hening tercipta beberapa helaan
napas, Peramal Pikun melanjutkan ceritanya,
"Aku terancam kutukan itu, tak boleh mendengar
nama guruku dan tak boleh menyebut nama Nyai Guru.
Jika aku mendengar nama guruku disebut orang, maka
telingaku akan luka, dan jika aku menyebutkan nama
guruku, maka jalur kutukan itu akan bekerja dalam
diriku dan menancapkan jalur kematian yang akan tiba pada saat bulan terang
Pedang Bintang 1 Seruling Gading Lanjutan Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 25
^