Pencarian

Pisau Tanduk Hantu 1

Pendekar Mabuk 039 Pisau Tanduk Hantu Bagian 1


Pembuat E-book:
Scan & E-Book : Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 GUNUNG Kundalini dilapisi kabut tebal. Kabut
pembawa hawa dingin itu menyelimuti puncak gunung.
Dari gumpalan kabut tersebut muncul sesosok tubuh
berlari menuruni lereng terjal. Gerakannya cukup lincah dan cepat. Dalam waktu
singkat ia sudah mencapai kaki gunung tersebut.
Orang yang meluncur dari puncak gunung tersebut
ternyata seorang wanita muda yang usianya sekitar dua puluh lima tahun, tapi
sebenarnya sudah berusia tiga kali lipat dari usia tersebut. Ilmu awet ayu dan
awet muda membuatnya tampak tetap segar, cantik, dan
menggairahkan setiap lelaki.
Ia mengenakan pakaian model angkin ketat dan
celana ketat warna ungu berhias benang emas. Dadanya yang sekal tampak mencuat
mau keluar dibungkus
pinjung ungu ketat itu. Gumpalan daging pada belahan dada terlihat mulus,
membuat pria mana pun menelan
ludah sendiri jika melihatnya. Pakaian menantang saraf lelaki itu dibungkus
dengan jubah lengan panjang yang longgar berwarna ungu tua tanpa kancing. Pedang
di punggungnya dibungkus pula oleh kain beludru warna
ungu. Siapa lagi tokoh cantik yang gemar berpetualang
dengan pakaian serba ungu itu kalau bukan Pelangi
Sutera alias Sumbaruni, bekas istri Jin Kazmat yang juga bekas panglima negeri
dasar laut: Ringgit Kencana.
Perempuan ini bukan perempuan sembarangan.
Kesaktiannya cukup tinggi, karena ia menerima warisan seluruh ilmu yang ada pada
diri seorang pertapa sakti kala ia menjadi pelayannya. Pertapa itu adalah Eyang
Bayudana. Kesaktiannya itu membuat ia dikenal di kalangan
tokoh tua berilmu tinggi, karena sebenarnya Sumbaruni adalah tokoh sakti yang
masuk dalam aliran putih. Jika ia mau membuka perguruan sendiri, maka muridnya
ditanggung banyak kaum lelaki. Tapi ia tidak mau
membuka perguruan. Ilmunya hanya akan diturunkan
kepada anaknya yang semata wayang, yaitu Logo. Anak
jin yang bertubuh tinggi besar, berbadan kekar, gundul berkuncir tengah
melengkung ke belakang,
kegemarannya hanya mengenakan cawat, selebihnya
polos tapi tidak merangsang. Kasih sayangnya kepada
anak tunggalnya itu membuat Sumbaruni enggan
mewariskan ilmunya kepada siapa pun.
Tetapi kesaktiannya itu pernah dilumpuhkan oleh
'Racun Ludah Naga' yang membuatnya menjadi kecil,
semakin lama semakin seperti bocah. 'Racun Ludah
Naga' adalah milik Syakuntala, Panglima Tanah Hindus, utusan Raja Kulana Baham.
Ketika Syakuntala mengadu
pertarungan dengan Pendekar Mabuk; Suto Sinting,
Sumbaruni mendahului menyerang Syakuntala sebagai
pembelaan diri dan unjuk kesetiaan terhadap Suto, sebab sebenarnya ia menyimpan
hati dan cinta terang-terangan kepada si pendekar tampan muridnya Gila Tuak itu.
Saat melakukan pertarungan itulah, Sumbaruni
terkena 'Racun Ludah Naga'. Tubuhnya makin lama
semakin menyusut. Obatnya hanya dengan menelan
Telur Mata Setan. Pendekar Mabuk-lah yang berusaha
mencari Telur Mata Setan ke Gunung Kundalini.
Dengan didampingi Teratai Kipas yang sebenarnya anak raja dari negeri Majageni
itu, akhirnya Telur Mata Setan berhasil diperoleh Pendekar Mabuk, walaupun ada
pihak lain yang menginginkannya, yaitu Resi Pakar Pantun,
gurunya Tuanku Nanpongoh, penguasa Pulau Intan yang
juga terkena 'Racun Ludah Naga'. Tetapi bagaimanapun Pendekar Mabuk lebih
beruntung dan dapat membawa
Telur Mata Setan ke pesanggrahan Nyai Guru Betari
Ayu, di puncak Gunung Kundalini, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Racun Gugah
Jantan"). Setelah meminum Telur Mata Setan yang berisi
cairan hijau manis, dan hanya bisa dilubangi dengan
sinar tenaga dalam dari Suto Sinting itu, Sumbaruni
yang sempat menjadi bocah cilik seperti berusia dua
tahun kurang itu segera tertidur nyenyak. Pengaruh
cairan hijau dalam telur berkulit kuning emas itu
membuat Sumbaruni tertidur selama sehari semalam
penuh. Pada saat ia tertidur itulah tubuh kecilnya
mengalami perubahan semakin besar, semakin menjadi
dewasa, dan akhirnya menjadi seperti semula. Ketika ia bangun dari tidurnya, ia
telah menemukan tubuhnya
pulih kembali, lengkap dengan kecantikannya dan
kepadatan dadanya yang montok menggemaskan itu.
"Di mana Suto Sinting sekarang, Betari Ayu?"
tanyanya kepada Nyai Guru Betari Ayu yang dalam
urutan usia tergolong lebih muda dari Sumbaruni.
"Suto Sinting telah pergi," jawab Betari Ayu dengan kalem dan bijak.
"Mengapa dia tinggalkan diriku di puncak gunung ini" Lelaki macam apa dia itu"
Tidak tanggung jawab!
Bawa-bawa anak orang kemari lalu ditinggalkan begitu saja"! Apa dia sangka aku
ini barang titipan"!"
Sumbaruni ngomel dan menggerutu tak jelas
bedanya. Betari Ayu yang berpenampilan anggun dan
tenang, namun nilai kecantikannya tak kalah dengan
Sumbaruni itu hanya senyum-senyum saja. Ia tahu
Sumbaruni sewot karena ia merasa ditinggalkan Suto.
Padahal Sumbaruni suka sama Suto. Sedangkan Suto
dijamin tidak punya cinta untuk Sumbaruni, sebab Betari Ayu sang pertapa itu
yakin bahwa Suto hanya punya
cinta kepada seorang penguasa Puri Gerbang Surgawi
yang amat cantik jelita; Dyah Sariningrum, adik Betari Ayu sendiri. Tapi toh
Betari Ayu tidak banyak cemburu dan curiga kepada hubungan Suto dengan
Sumbaruni. "Cinta bisa tumbuh di mana saja dan kapan saja, juga oleh siapa saja. Cinta yang
tumbuh bukan suatu
kesalahan, karena cinta adalah bagian dari naluri dan kodrat. Sukar diatur
pertumbuhannya. Setiap manusia
punya benih cinta yang sewaktu-waktu dapat tumbuh
merimbun indah. Tetapi tidak banyak orang yang
mengerti hakikat dari sebuah cinta yang sejati. Hanya adikku yang tahu persis
hakikat cinta yang sejati,
sehingga layaklah ia dijuluki sebagai Gusti Mahkota
Sejati," tutur Betari Ayu di depan murid setianya;
Selendang Kubur. Pada waktu itu Sumbaruni berada di
pekarangan, lalu masuk lagi dan menemui Betari Ayu.
"Ke mana perginya si pemuda sinting itu?"
"Mengantar Teratai Kipas ke Negeri Majageni!"
"Brengsek!" sentaknya menggeram. Rasa cemburu tumbuh di hati Sumbaruni. "Untuk
apa dia mengantar gadis itu" Mengapa harus ke Majageni segala?"
"Karena Teratai Kipas ternyata putri raja Majageni yang bernama Prabu Wiloka.
Gadis itu harus pulang
untuk kelak mewarisi takhta kerajaan tersebut," kata Betari Ayu dengan jujur,
karena dia adalah wanita yang tak pernah berbohong, terutama semenjak menjadi
seorang guru di Perguruan Merpati Wingit. Apalagi
sekarang ia sudah menjadi pertapa di pengasingannya, ia sama sekali pantang
melakukan kebohongan. Melakukan
pertarungan pun sudah tak mau.
"Aku akan menyusul ke Negeri Majageni dan
mengobrak-abrik istananya!" kata Sumbaruni dengan kecemburuan berapi-api.
"Tak perlu bersikap begitu," kata Betari Ayu lembut sekali. "Kecemburuan jika
tidak dikendalikan akan menjadi mata pedang yang tertajam bagi leher kita
sendiri." "Ah, tidak peduli! Pokoknya aku harus menyusul
Suto Sinting ke sana!"
"Menyusul itu boleh-boleh saja, tapi tak perlu buat keonaran di sana. Kasihan
prajurit Majageni yang tidak punya kecemburuan jadi korban juga."
Itulah sebabnya Sumbaruni terburu-buru menuruni
lereng gunung untuk mengejar Suto Sinting. Harapannya bisa bertemu dengan
Pendekar Mabuk itu di perjalanan, sehingga ia akan cegah si Pendekar Mabuk untuk
tidak mengantarkan Teratai Kipas sampai ke Majageni.
Banyak wanita yang tergila-gila dengan Suto Sinting
dan menjadi benar-benar sinting. Tapi yang sintingnya kelewat batas hanya ada
dua wanita; Sumbaruni dan
Angin Betina. Kecemburuannya sangat tinggi, nyawanya siap dikorbankan demi
kecemburuan dan kesetiaan.
Kepada dua wanita itu Pendekar Mabuk sudah berterus
terang bahwa ia tak bisa membalas cinta dan kemesraan mereka, yang dapat
dilakukan hanya persahabatan yang amat erat. Kepada keduanya juga sudah
dijelaskan bahwa Suto Sinting hanya mencintai satu wanita di
dunia yaitu Dyah Sariningrum.
Tetapi mereka berdua tetap nekat mencintai Suto
Sinting. Cinta itulah yang dianggap cinta asmara sinting yang tak mau tahu
kepada siapa hati Suto tertuju penuh kesetiaan. Mereka hanya berharap, moga-moga
di perjalanan cinta Suto kandas dan beralih kepada mereka.
Padahal Suto Sinting yakin betul bahwa cintanya
kepada Dyah Sariningrum tak akan kandas di tengah
jalan. Ketika Teratai Kipas menanyakan padanya,
"Apakah betul kau akan menikah dengan Dyah
Sariningrum?"
Suto Sinting menjawab, "Ya. Tapi aku harus
kalahkan dulu Siluman Tujuh Nyawa, si tokoh sesat
yang tak akan insaf itu. Kepala tokoh sesat yang amat keji itulah maskawin yang
akan kupersembahkan kepada
Dyah Sariningrum."
"Bagaimana jika kau gagal memenggal kepala
Siluman Tujuh Nyawa?"
"Tak akan gagal!" jawab Suto penuh keyakinan.
"Cepat atau lambat, Siluman Tujuh Nyawa harus
dibinasakan agar tidak mengganggu kedamaian di muka
bumi ini!"
"Apakah kau tak ingin beralih kepada perempuan
lain?" "Mengapa kau tanyakan begitu?"
"Sekadar ingin tahu, sebagai bekal jawabanku nanti kepada ayahku."
"Ada apa dengan ayahmu?"
"Dia ingin punya menantu sepertimu!" jawab Teratai Kipas terang-terangan.
"Kalau begitu kau harus mencari seorang calon suami yang berjiwa sepertiku;
artinya memerangi kejahatan
dan keangkaramurkaan. Jangan mencari calon suami
yang beraliran hitam!"
"Ya, aku akan mencarinya walau hal itu sangat sulit!"
Suto Sinting tertawa kecil. "Tidak sulit kalau kau mau tekun mencarinya. Di muka
bumi ini bukan hanya aku
pendekar beraliran putih yang punya ilmu tinggi dan berbudi baik. Bahkan ada
yang lebih sakti dariku, ada yang lebih baik dariku, ada yang lebih tampan
dariku." "Tapi tidak ada yang lebih sinting darimu!" sahut Teratai Kipas sambil tertawa,
Suto Sinting pun melepas tawa wibawa yang menawan hati.
Mereka melangkah menyusuri pantai, karena jalan
tercepat sedikit hambatan untuk menuju Majageni adalah melalui jalan pantai.
Tapi karena terik matahari
membakar bumi tidak tanggung-tanggung, Suto Sinting
memberi usul untuk beristirahat di bawah pohon rindang di depan langkah mereka
itu. Teratai Kipas setuju karena semakin lama berjalan dengan Suto Sinting
semakin lama pula ia menyimpan kebanggaan dalam hatinya.
Pendekar Mabuk menenggak tuaknya beberapa teguk
untuk menghapus dahaga. Teratai Kipas sudah mulai
terbiasa meminum tuaknya Suto yang sebenarnya tidak
memabukkan itu. Tuak tersebut tersimpan dalam
bumbung bambu yang punya kadar tenaga sakti
tersendiri, sehingga membuat tubuh menjadi segar,
membuat luka menjadi cepat hilang, namun tidak
membuat mabuk. Teratai Kipas juga meneguknya
beberapa kali, dan badannya terasa lebih segar, rasa lelahnya hilang.
"Lama-lama aku akan ketagihan tuakmu kalau begini caranya," kata Teratai Kipas
yang mempunyai nama asli Roro Padmi Wulintang.
"Carilah aku di rimba persilatan jika kau rindu dengan tuakku," kata Suto
Sinting sambil duduk di atas batu sebatas lutut. Teratai Kipas ingin mengatakan
sesuatu namun urung karena ada suara yang didengar
oleh mereka. "Pendekar muda... tolonglah aku!"
Suara itu sangat jelas didengar oleh telinga mereka.
Tapi mereka bingung mencari suara tersebut. Siapa yang bicara, dari mana
arahnya, masih belum jelas. Suto
Sinting hanya pandangi Teratai Kipas dan berkata pelan,
"Apakah aku tidak salah dengar?"
"Aku sendiri mendengar suara orang minta tolong padamu. Tapi di mana orangnya"
Akan kuperiksa di
kerimbunan pohon sebelah sana...!"
Baru saja Teratai Kipas hendak bergerak tiba-tiba
suara itu terdengar lagi, kali ini arahnya justru
berlawanan dengan arah yang hendak dituju oleh Teratai Kipas.
"Aku di sini, Pendekar Muda. Tolonglah aku...!"
Pendekar Mabuk celingak-celinguk mencari sumber
suara. Tak ada manusia di sekeliling mereka. Yang ada hanya gugusan batu-batu
pantai, ada yang tingginya
sampai sebatas dada manusia dewasa, ada yang hanya
setinggi mata kaki saja. Suto Sinting penasaran hingga melompat ke atas batu
yang agak tinggi. Wuuut...!
Jleeg...! Dari ketinggian itu ia memandang sekeliling mencari si pemilik suara,
tapi ia tidak menemukan siapa-siapa di sana.
"Apakah kau melihat seseorang di balik bebatuan sana?" tanya Teratai Kipas yang
masih ada di bawah.
"Tidak ada siapa pun di sana-sini!"
Wuuut...! Suto Sinting pindah ke batu lain dengan
lompatan yang amat cepat karena menggunakan ilmu
peringan tubuh. Dari batu ke batu ia melompat mencari sumber suara tadi, namun
hasilnya tetap nihil. Ia kembali berada di depan Teratai Kipas. Gadis yang
mengenakan pakaian sebatas dada warna hijau muda dan dibungkus
jubah kuning kunyit itu sengaja pandangi Suto Sinting
dengan curiga. Lalu ia berkata pelan dalam jarak satu langkah dari hadapan Suto
Sinting. "Jangan-jangan kau yang bikin lelucon sekonyol ini?"


Pendekar Mabuk 039 Pisau Tanduk Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah kau pikir mulutku bergerak saat kita
mendengar suara tadi" Perhatikan saja mulutku terus."
"Aku tidak mau," jawab Teratai Kipas sambil tersenyum.
"Kenapa?"
"Semakin lama memperhatikan bibirmu semakin
gemetar tubuhku."
"Apa sebabnya?"
"Ingat bibir kekasihku yang telah tiada."
Suto Sinting tersenyum. "Apakah bibirku sama
dengan bibir kekasihmu?"
"Justru jauh berbeda, makanya aku jadi ingat dia!"
Jawab Teratai Kipas seenaknya saja dalam menjawab.
Padahal yang benar bibir Suto jika terlalu lama
dipandang terlalu cepat hadirkan debar-debar keindahan hati yang akan menuntut
batin untuk mengecupnya
pelan-pelan. Teratai Kipas tak mau terpikat, karena ia tahu tak akan
mendapatkannya walau sekejap pun.
Suara aneh terdengar lagi pada saat Teratai Kipas
kepergok senyuman Suto Sinting yang menawan hati itu.
"Pendekar muda, hentikan kemesraanmu, tolonglah aku! Tolonglah...!"
Sekali lagi Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas tengok
sana-sini dan tetap tak ada manusia lain kecuali mereka berdua. Di laut hanya
ada ombak yang tidak terlalu
besar. Tak ada manusia berdiri di atas gelombang lautan.
Akhirnya Suto Sinting mencoba bicara dengan si
pemilik suara itu.
"Apakah kau mendengar suaraku juga?"
"Aku sangat mendengarnya, Pendekar Muda!"
Jawaban itu membuat Suto kembali beradu pandang
dengan Teratai Kipas. Kemudian Pendekar Mabuk
berbisik, "Jangan-jangan ada orang yang menggunakan Ilmu 'Suara Gaib', yaitu
bicara dari jarak jauh melalui getaran angin."
"Apakah ilmu semacam itu memang ada?"
"Ya. Ada beberapa tokoh tua yang dulu mempunyai ilmu itu. Ada yang sudah hilang,
ada yang masih menjaga keutuhan suara seperti itu. Salah satu di
antaranya adalah Palupi, yang dulu dikenal dengan nama Tandu Terbang, murid dari
Pendeta Arak Merah dari
Tibet." Rupanya percakapan itu didengar oleh seseorang
yang tadi bicara, sehingga orang itu berkata kepada Suto Sinting,
"Aku tidak memiliki ilmu 'Suara Gaib' seperti itu, Pendekar Muda! Aku ada di
dekatmu. Di pantai ini
juga!" Tentu saja kata-kata itu membuat Suto dan Teratai
Kipas sama-sama terperanjat. Mereka kembali tengok
sana-sini, namun tetap saja tak melihat sesosok manusia lain di situ.
"Suaranya jelas suara lelaki tapi wujudnya tak bisa kulihat?" bisik Teratai
Kipas. "Cobalah bicara terus dengannya aku akan melacak sumber suara tersebut.
Pancing dia agar jangan berhenti bicara."
Suto Sinting mengangguk. Terdengar suara Suto
bicara tak jelas arah pandangannya.
"Siapa namamu, Sobat?"
"Aku yang berjuluk Bancak Doya!"
"Apakah kau mengenalku juga?"
"Tidak. Tapi melihat perawakanmu aku yakin kau
seorang pendekar budiman."
"Kau terlalu memujiku, Bancak Doya! Kalau boleh kutahu, kau orang mana" Apa nama
perguruanmu?"
"Aku ketua Perguruan Beruang Maut."
"O, ketua perguruan"! Lantas apa maksudmu
mendatangiku dengan keadaan tak mau menunjukkan
dirimu, Bancak Doya?"
Sementara itu, Teratai Kipas berjalan pelan-pelan
menyusuri datangnya suara Bancak Doya itu. Semakin
ke arah pantai semakin jelas suara yang didengarnya.
Terdengar pula Bancak Doya berkata,
"Aku bukan tak mau menunjukkan diriku, tapi...
Inilah kesulitanku, Pendekar Muda. Justru itu aku ingin minta tolong padamu."
"Apa yang harus kuperbuat untuk menolongmu?"
"Sempurnakanlah kematianku."
"Apa..."!" Suto Sinting terkejut.
Teratai Kipas berlari mendekati Suto dengan tegang.
Kedua wajah tegang itu saling beradu pandang. Teratai Kipas berbisik,
"Kulihat bayangannya di balik batu itu. Tapi tak ada wujud manusianya."
"Dia sembunyi di batu yang lain!" bisik Suto juga.
"Tidak ada. Yang kulihat hanya bayangannya di
tanah." Suto Sinting bergegas ke tempat yang dimaksud
Teratai Kipas. Matanya memandang ke arah pasir pantai.
Di sana memang ada bayangan manusia berdiri. Tapi
wujud manusia itu sendiri tidak terlihat mata mereka.
Orang yang tampak bayangannya itu bertubuh kurus dan agak jangkung. Benarkah
begitu" Suto Sinting
memandang ke langit karena menduga orang itu ada di
angkasa atau di atas pohon. Mungkin saja berdiri di atas selembar daun.
"Aku tidak terlihat, Pendekar Muda," kata suara Bancak Doya, kali ini amat dekat
dengan Suto Sinting, seakan ada di samping kanannya. Suto yang terheran-heran
segera menyipitkan mata untuk memandang
sesuatu yang mungkin tak bisa terlihat oleh mata
telanjang. Tetapi sesuatu itu tidak ada dalam
pandangannya. "Bancak Doya, apa sebenarnya yang terjadi pada
dirimu?" tanya Suto.
"Kematianku tidak sempurna, Pendekar Muda.
Tolonglah sempurnakan kematianku agar tak
membuatku bergentayangan begini."
Teratai Kipas bergidik merinding, tapi ia ikut
bertanya, "Kematian yang bagaimana sebenarnya"
Maukah kau menceritakannya kepada kami?"
Untuk sesaat yang terdengar hanyalah debur ombak
siang. Bayangan hitam di pasir pantai bergerak. Lama-
lama bayangan itu lenyap tak berbekas.
"Bayangannya hilang"!" ucap Teratai Kipas dengan nada heran dan tegang.
Tapi suara Bancak Doya terdengar kembali, "Aku ada di bawah pohon, jadi
bayanganku tak terlihat, Nona. Jika aku di bawah terik matahari maka bayanganku
akan timbul lagi."
"Mengapa bisa begitu?" tanya Suto Sinting mulai menenangkan diri.
"Aku tidak tahu mengapa bisa begini, yang jelas aku merasa telah mati akibat
suatu pertarungan."
"Kau bertarung melawan siapa, Bancak Doya?"
Suara yang bernada tua tapi belum terlalu lanjut usia itu terdengar lagi,
"Seorang pencuri ingin menjarah harta pusakaku.
Aku melawannya, tapi ilmunya cukup tinggi. Tenaga
dalamnya besar sekali. Lima anak buahku mati dalam
satu gebrakan. Aku sendiri berhasil dilumpuhkannya."
"Bagaimana caranya mengalahkan dirimu" Bukankah kau ketua perguruan" Berarti
ilmumu tinggi."
"Pencuri itu mempunyai ilmu lebih tinggi dariku. Dia menikamkan pisaunya ke
punggungku. Sebenarnya tak
terlalu parah. Tikamannya sempat kuhindari, tapi
punggungku tergores pisau itu. Dan tahu-tahu aku tak bisa menyentuh benda apa
pun. Aku melarikan diri
menabrak pohon. Tapi pohon itu ternyata bisa kutembus dengan tubuhku. Aku
terkejut, lalu menyadari bahwa
sisa anak buahku tak bisa melihatku lagi. Mereka
menganggapku telah mati tanpa meninggalkan jasad.
Mayatku tak ada, sehingga mereka tak bisa
menguburku."
Nada suara itu kian lama semakin terdengar
mengharu. Suto Sinting tarik napas dalam-dalam,
demikian pula Teratai Kipas. Setelah diam beberapa saat Suto Sinting berkata,
"Menyedihkan sekali nasibmu. Tapi kau bisa
melihatku dengan jelas?"
"Jelas sekali," jawab Bancak Doya. "Selama tujuh hari beberapa orang masih bisa
melihatku, namun tak
bisa menyentuhku, juga tak bisa kusentuh. Aku seperti bayangan tanpa raga. Lewat
dari tujuh hari barulah
mereka merasa kehilangan aku, dan aku hanya bisa
melihat bayanganku. Aku berusaha mencari
kesempurnaan dalam kematianku, tapi tak seorang pun mampu menyempurnakan
kematian ini. Jika kau bisa,
tolonglah aku, Pendekar Muda! Sempurnakan
kematianku ini jika memang aku harus mati, dan jika
memang aku masih hidup, pulihkanlah keadaanku
seperti semula."
"Aku...," Suto Sinting diam sebentar, seperti ragu mengatakan sesuatu. Sesaat
kemudian barulah ia
berkata, "Aku tak mengerti apa yang harus kulakukan untuk dirimu, Bancak Doya.
Tapi... sebaiknya akan
kucoba menggunakan Ilmu 'Sembur Siluman' yang
kumiliki! Bergeraklah ke bawah sinar matahari biar
kulihat bayanganmu."
Maka terdengarlah suara napas Bancak Doya yang
bergerak menuju tempat panas. Bayangannya terlihat di
batu setinggi dada. Suto Sinting segera menenggak
tuaknya. Sebagian ditelan, sebagian disisakan di mulut.
Tuak yang di mulut segera disemburkan ke arah
bayangan yang menempel pada batu itu.
Bwwruus...! Bayangan itu lenyap. Suto Sinting dan Teratai Kipas
menunggu kemunculan wujud raga Bancak Doya, tetapi
hingga beberapa saat wujud raga itu tak terlihat. Suto Sinting mencoba bertanya,
"Bancak Doya, kau masih melihatku"!"
Tak ada jawaban, tak ada suara. Suto Sinting heran
dan bertanya dalam hati, "Mungkinkah kematiannya telah menjadi sempurna?"
* * * 2 NAPAS Sumbaruni terengah-engah. Bukan karena
lelah berlari menyusul Pendekar Mabuk, tapi karena
diburu oleh kecemburuan yang membuatnya terpaksa
menahan napas, menahan kemarahan sendiri. Ia berhenti pada satu ketinggian
tebing. Dari atas tebing landai itu ia dapat memandang ke bawah, mencari
kemungkinan kelebatannya si pendekar tampan itu. Tapi yang dicari tidak kelihatan selintas
bayangannya pun.
"Mungkinkah mereka sudah sampai ke Istana
Majageni" Apakah Teratai Kipas juga mampu imbangi
gerak lari cepatnya Pendekar Mabuk" Hmm... menurut
teropong batinku, Teratai Kipas tidak mampu imbangi
kecepatan Suto Sinting. Aku sendiri sering tertinggal jika mengikuti gerak
larinya yang sinting itu!" pikir Sumbaruni sambil menatap ke sana-sini.
Kejap berikut wanita yang masih tampak muda dan
cantik itu terperanjat oleh suara langkah kaki yang berhenti di belakangnya, ia
buru-buru palingkan wajah sambil siap-siap lepaskan pukulan jarak jauhnya. Tapi
niat melepaskan pukulan jarak jauh tertahan begitu tahu siapa orang yang muncul
di belakang. "Celana kolor masuk ke tungku
Hangat sebentar disangka nasi
Kalau tak salah dugaanku
Engkaulah si cantik Sumbaruni.''
Napas bekas istri jin itu terhempas lega. Ternyata
orang itu adalah Resi Pakar Pantun yang sudah
mengenal Sumbaruni sejak dulu. Di belakang sang Resi berdiri seorang lelaki
kurus pendek berusia sekitar empat puluh tahun. Sumbaruni mengenal lelaki itu
yang tak lain adalah pelayan si Resi Pakar Pantun yang bernama Kadal Ginting, (Tentang
Resi Pakar Pantun, baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Telur Mata
Setan"). "Apa maksudmu menemuiku di sini, Pakar Pantun"!"
"Hanya kebetulan saja," jawab sang Resi dengan santai. "Aku mencari si Malaikat
Miskin. Dia lari dari pertarungannya denganku. Apakah kau melihat gelagat
si Malaikat Miskin, Sumbaruni?"
"Tidak," Jawab Sumbaruni pendek dan tegas. Tapi hati Sumbaruni segera membatin,
"Resi Pakar Pantun
mencari Malaikat Miskin" Ada persoalan apa sehingga
Malaikat Miskin dibuatnya lari terbirit-birit?"
Terdengar suara sang Resi bicara pada Kadal Ginting,
"Rupanya musuh kita lari ke liang semut, Kadal
Ginting!" "Tak boleh dibiarkan begitu saja, Eyang Resi! Harus dicari sampai dapat daripada
kelak bikin duri dalam
hidup kita setelah kita mendapatkan Telur Mata Setan!"
Sumbaruni terperanjat dalam hatinya. Ia segera ingat bahwa Resi Pakar Pantun
juga mencari Telur Mata Setan untuk sembuhkan sakit muridnya yang juga terkena
'Racun Ludah Naga' itu. Maka dengan cepat Sumbaruni
berkata, "Jika kalian ingin mencari Telur Mata Setan, sama saja kalian mencari bulu
angin. Artinya, apa yang kalian cari tidak akan kalian dapatkan, karena Telur
Mata Setan sudah kutelan dan membuatku menjadi seperti sediakala begini.
Tidakkah kalian tahu bahwa bocah kecil yang digendong Selendang Kubur saat
kalian datang ke
pesanggrahan Betari Ayu itu adalah aku?"
"Ooo... pantas, pantas...," kata Resi Pakar Pantun.
"Aku memang merasa pernah melihatmu belum lama ini, tapi di mana" Dan baru
kuingat ternyata kau telah
menjadi kecil dan digendong-gendong oleh Suto Sinting serta Selendang Kubur!"
Resi Pakar Pantun mangigut-manggut.
Kadal Ginting menyahut kata, "Eyang Resi... kalau begitu kita gagal mencarikan
obat penawar racun yang diderita Tuanku Nanpongoh"!"
Wajah tua Resi Pakar Pantun yang berbaju biksu
warna abu-abu itu menjadi murung. Kecerahannya pudar berganti selaput duka
membias di mata. Mata itu
memandang jauh bagai menerawang di gumpalan awan
duka. Tak lama terdengar pula suaranya yang lirih,
seakan bicara pada dirinya sendiri.
"Celana kolor robek tengahnya
Ditambal nasi masih terbuka jua
Bagaimanapun kita hanya bisa berusaha
Tapi kematian bukan kita penentunya."
Sumbaruni masih diam saja, bagaikan sedang
merenungi pantun sang Resi. Tapi kejap berikutnya ia mendengar suara Kadal
Ginting yang ikut-ikutan
bermain pantun dalam wajah duka pula.
"Celana kolor dibungkus pisang daun
Robek daunnya tinggal pisangnya...."
Lalu diam sesaat bagai berpikir. Resi Pakar Pantun
tertarik dan segera bertanya pelan,


Pendekar Mabuk 039 Pisau Tanduk Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa maksudmu, Kadal Ginting?"
"Maksudnya yaaah... cuma sekadar memberi tahu
kalau pisang itu bisa dibungkus dengan daun. Itu saja!"
Plaaak...! Tiba-tiba tangan Resi Pakar Pantun
menampar wajah Kadal Ginting. Tamparan pelan tapi
tenaga besar, tak heran membuat Kadal Ginting
terjungkal ke samping sambil mengerang keaakitan.
"Lain kali kalau bikin pantun harus ada artinya!"
hardik Resi Pakar Pantun. "Misalnya begini: 'Celana kolor dibungkus pisang daun,
robek daunnya tinggal
pisangnya. Biar kecewaku sampai ke ubun-ubun, tapi
masih ada pikiran untuk tugas lainnya'. Begitu, Tolol!"
"O, jadi begitulah contoh pantun tolol, Eyang Resi?"
"Hmmrrr...!" sang Resi menggeram jengkel karena penjelasannya disalahartikan.
Tapi ia segera tidak
pedulikan lagi akan kebodohan Kadal Ginting. Matanya menatap Sumbaruni kembali
yang sejak tadi ingin
tertawa tapi ditahan terus hingga mengulum senyum dan buang muka.
"Sumbaruni, maukah kau membantuku mencari
Malaikat Miskin dan muridnya si Menak Goyang?"
"Apa persoalannya?"
"Baru sekarang kuingat bahwa Malaikat Miskin
membunuh adikku dan merebut pusaka Pisau Tanduk
Hantu. Aku harus membalaskan kematian adikku dan
merebut kembali pisau tersebut."
"Itu urusan pribadimu, mengapa kau ingin melibatkan diriku juga?"
"Jujur saja kukatakan padamu, aku belum tahu di mana tempat Malaikat Miskin
membangun perguruannya. Daripada aku membuang waktu, lebih
baik aku minta bantuanmu untuk mengantarku ke
perguruannya. Barangkali saja kau tahu di mana letak perguruan si Malaikat
Miskin itu. Tapi jika kau tidak tahu, aku tidak memaksamu dan akan kucari
sendiri tempatnya itu."
Sumbaruni diam berpikir, ia masih ingat di mana
letak Perguruan Tongkat Sakti yang diketuai oleh
Malaikat Miskin itu. Ketika ia berubah menjadi bocah, ia pernah disandera di
perguruan itu, sehingga ia masih
ingat jalan menuju tempat tersebut. Hal yang dipikirkan Sumbaruni adalah:
Haruskah ia ikut terlibat dalam perburuan pusaka Pisau Tanduk Hantu itu"
Menunggu jawaban dari Sumbaruni tak kunjung tiba,
Resi Pakar Pantun berkata,
"Celana kolor bersulam benang paku
Digondol anjing dibuat jamu
Tak ada ruginya kau menolongku
Hadiah besar kan kuberikan padamu."
Sungging senyum tipis berkesan sinis mekar di bibir
manis Sumbaruni. Ia tak begitu tertarik dengan janji sang Resi. Tetapi ia
penasaran dan ingin tahu bentuk hadiah yang akan diberikan padanya.
"Apa hadiah yang akan kau berikan padaku" Aku
ingin tahu."
Resi Pakar Pantun menjawab, "Kunikahkan kau
dengan pelayanku yang ganteng ini; Kadal Ginting!"
"Ah, Jangan begitu, Eyang...!" Kadal Ginting bersungut-sungut malu.
Sumbaruni menarik napas sesak dan berkata,
"Apakah kau bicara menggunakan mulut dan pikiran"
Atau hanya menggunakan mulut dan gigimu, Pakar
Pantun?" "Mengapa kau tersinggung" Apakah kau tak melihat bahwa wujud Kadal Ginting ini
tak berapa jauh bedanya dengan Pendekar Mabuk?"
"Memang tak seberapa jauh, tapi untuk
menjangkaunya bagaikan harus uluran tangan dari sini ke rembulan. Kau menghinaku
jika menawarkan hadiah
seperti kepompong retak itu, Pakar Pantun!"
"Jangan menghinaku, Sumbaruni!" bentak Kadal Ginting. "Aku bukan seperti
kepompong retak!"
"Maaf, aku jengkel dengan tuanmu itu, Kadal
Ginting!" sesal Sumbaruni.
Kadal Ginting segera berpantun,
"Celana kolor tersangkut getek
Hanyut terbawa air singgah di benua
Biar begini rupaku yang jelek
Tapi sekali lirik, perawan sedesa ikut semua."
Resi Pakar Pantun sebenarnya ingin tertawa
mendengar rangkaian syair pantun itu, tapi karena
bayangan kegagalannya kian nyata, rasa tawa itu
terpendam amat dalam, rasa murka tumbuh membara.
Sasaran murkanya tertuju pada Malaikat Miskin,
sehingga ia pun segera berkata kepada Sumbaruni,
"Sumbaruni, aku mempunyai pusaka Jarum Jungkir
Juling. Jika kau mau antarkan aku ke tempat Malaikat Miskin, kuberikan Jarum
Jungkir Juling kepadamu."
Resi Pakar Pantun segera mengambil pusaka yang
dimaksud. Caranya dengan mengurut jari tengah
kanannya. Satu kali urut pelan-pelan, dari ujung jari itu muncul sepucuk Jarum
warna putih mengkilat. Wut...!
Jarum itu dicabut dari ujung jari tengah. Panjang jarum hanya seukuran tinggi
kelingking. "Jarum Jungkir Juling ini," katanya sambil mendekat dan menunjukkan Jarum
tersebut, "...jika kau sentakkan dengan menahan napas di dada, maka akan keluar
dari ujung jari tengahmu tiada habis-habisnya. Orang yang
terkena Jarum Jungkir Juling punya dua kemungkinan;
kalau tidak terjungkir langsung mati, ya matanya jadi juling seumur hidup. Tak
ada ruginya kau memiliki
jarum ini. Hanya dalam keadaan terpaksa saja kau bisa pergunakan secara diam-
diam, tanpa diketahui oleh
lawan." Kepala gadis yang sudah bukan gadis itu manggut-
manggut empat hitungan. Suaranya terdengar pelan,
bagaikan malas-malasan terucapkan,
"Boleh, boleh, boleh... lumayan juga kesaktian
jarummu ini, Resi!"
"Akan kuberikan padamu jika kita sudah tiba di
depan perguruannya Malaikat Miskin. Aku berjanji dan tak akan ingkar padamu,
Sumbaruni!"
Terbayang selintas kekasaran Malaikat Miskin saat
Sumbaruni kecil ada di tangannya, yang menangis
mencari Suto Sinting tapi justru ditampar mulutnya oleh Malaikat Miskin, maka
Sumbaruni pun menyetujui
perjanjian tersebut.
"Tugasku hanya mengantarmu sampai di perguruan
itu, aku tak mau ikut campur di dalamnya!"
"Baik. Begitu saja sudah cukup menolongku!" kata Resi Pakar Pantun.
"Tapi..., tunggu dulu," kata Sumbaruni sebelum mereka bergegas pergi. "Seingatku
aku ditawan oleh Malaikat Miskin karena ia menuduh Suto Sinting
sebagai pencuri pusakanya. Jadi kurasa Pisau Tanduk Hantu tidak ada di tangan
Malaikat Miskin. Pisau itu di tangan seorang pencuri, entah siapa pencurinya.
Yang jelas bukan Suto Sinting, sebab kala ia dituduh mencuri pusaka itu, ia ada
bersamaku dan mencuri bukan
merupakan sifat yang dimiliki oleh Suto Sinting!"
"Pikiranmu masih muda, Sumbaruni. Tak tahukah
kau bahwa Malaikat Miskin itu orang licik" Mungkin
saja ia sebarkan kabar tentang hilangnya Pisau Tanduk Hantu supaya orang-orang
anggap ia sudah tidak
berpusaka Pisau Tanduk Hantu. Dengan begitu tak ada
orang yang mengusik ketenangannya dalam memiliki
pusaka itu. Padahal sebenarnya Pisau Tanduk Hantu
masih ada di tangannya, entah disembunyikan di mana!"
"Kalau memang menurut keyakinanmu begitu,
terserah. Tapi tugas membawamu sampai di depan
gerbang Perguruan Tongkat Sakti akan kukerjakan, dan jika kau ingkar janji
tentang Jarum Jungkir Juling itu, kau akan berurusan denganku lebih parah lagi,
Pakar Pantun!" ancam Sumbaruni yang merasa masih mampu menandingi kesaktian Resi Pakar
Pantun. Sumbaruni dan Resi Pakar Pantun tak mengerti
bahwa kala itu Malaikat Miskin berpisah arah dengan
muridnya; Menak Goyang. Sang murid kembali ke
perguruan dan kerahkan bala bantuan untuk menyerang
Bukit Kopong, sedangkan sang Guru sempatkan diri
mencari Suto Sinting dan ingin membujuknya agar ikut membantu menyerang orang-
orang Bukit Kopong.
Sebab dalam hatinya, Malaikat Miskin punya keyakinan bahwa pencuri pisau pusaka
itu dari tangannya adalah salah satu orang Bukit Kopong yang dipimpin oleh
Cukak Tumbila, saudara seperguruannya sendiri.
Sedangkan Malaikat Miskin sendiri belum berhasil
melacak kepergian Suto Sinting si Pendekar Mabuk,
murid si Gila Tuak itu, karena ia salah arah. Ia pergi ke arah barat, sedangkan
Suto Sinting dan Teratai Kipas ke utara. Biar sampai buntung semua jari kakinya
tidak akan ketemu jika salah satu tidak membelok arah yang sama.
Pendekar Mabuk bukan malah bertemu dengan
Malaikat Miskin, melainkan justru bertemu dengan gadis berambut pirang. Jubahnya
warna merah jambu
transparan, hingga terbayang jelas bagian di balik jubah itu. Pakaian dalamnya
hanya menutup bagian dada yang terpenting saja, juga bagian lain yang
terpenting. Kain kuning yang menutup bagian terpenting itu hanya
seukuran setelapak tangan saja, sisanya tali melingkari tubuh sebagai pengikat
kain kuning. Gadis berambut
pirang panjang dan bertubuh elok menantang selera itu tak lain adalah Jelita
Bule, anak buah Ratu Rangsang Madu yang pernah diutus untuk mencari Suto Sinting
pada saat sang Ratu terkena 'Racun Bulan Madu' dari
Nyai Sunti Rahim, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
serial : "Tabib Darah Tuak").
Melihat pelarian Jelita Bule yang tampak terburu-
buru dan masih menggenggam pedang di tangannya,
Pendekar Mabuk segera tanggap dan mengetahui adanya
kesulitan yang dialami oleh Jelita Bule. Ia segera melesat dan menghadang
langkah Jelita Bule. Tentu saja gadis berusia dua puluh tiga tahun yang bermata
kebiru-biruan itu terhenti dengan kaget, tapi segera menjadi lega
setelah mengetahui orang yang menghadangnya adalah
Pendekar Mabuk.
"Oh, syukurlah aku bertemu denganmu, Suto
Sinting!" ujar Jelita Bule dengan napas terengah-engah diburu ketegangan.
Matanya yang berbulu lentik indah itu melirik Teratai Kipas dengan curiga.
Teratai Kipas sendiri punya cara memandang yang kurang bersahabat, sehingga Suto
Sinting terpaksa menjelaskan kepada
Teratai Kipas tentang siapa Jelita Buie itu, dan
menjelaskan kepada Jelita Bule tentang siapa Teratai Kipas. Hal itu dilakukan
Pendekar Mabuk supaya tidak timbul saling salah paham dalam bersikap.
"Tampaknya kau dalam ketegangan yang mencekam,
Jelita Bule. Apa yang telah terjadi pada dirimu?" tanya Pendekar Mabuk setelah
meneguk tuaknya.
"Seseorang ingin membunuhku!" jawab Jelita Bule setelah tarik napas panjang-
panjang. Sambungnya lagi.
"Sebetulnya aku diutus mencarimu oleh Gusti Ratu Rangsang Madu untuk sampaikan
undangan perkawinan
beliau. Tapi di perjalanan aku dan Pesona Indah
dihadang oleh orang dekil yang ingin perkosa kami
berdua. Kami melawan, tapi rupanya orang itu cukup
sakti. Akhirnya aku segera melarikan diri, karena merasa ilmuku tak bisa
tandingin ilmunya."
"Orang dekil"!" gumam Pendekar Mabuk sambil tundukkan kepala dan kerutkan dahi.
Sebentar kemudian ia pandangi Teratai Kipas, seakan ingin minta pendapat pada
Teratai Kipas tentang si orang dekil itu. Tapi
Teratai Kipas tidak memberikan jawaban apa-apa.
Suto Sinting segera bertanya, "Lalu di mana Pesona Indah" Kau tinggalkan?"
"Dia terluka, tapi dia pun lari ke arah lain dan orang itu masih mengejar Pesona
Indah. Hanya saja ketika ia melihatku, ia berbalik mengejarku dan aku harus
segera selamatkan diri. Dia...."
Kata-kata itu terhenti, berubah menjadi kata-kata
kaget, "Itu dia...!"
Teratai Kipas sempat terlonjak kaget dan cepat
pasang kuda-kuda untuk menghadang bahaya, sebab
yang dituding Jelita Bule adalah arah belakangnya.
Namun ketika Teratai Kipas berbalik ke belakang dan
mengetahui yang datang adalah seorang gadis
berpakaian tipis membayang seperti Jelita Bule, Teratai Kipas segera yakin bahwa
gadis itu pasti teman Jelita Bule yang namanya sedang dipertanyakan oleh
Pendekar Mabuk itu.
"Pesona Indah..."! Kau tidak apa-apa"!" Jelita Bule menghampirinya.
Pesona Indah mundur selangkah dan berkata, "Jangan dekati aku!"
Kata-kata itu bernada tegas tapi mengandung
kesedihan. Pendekar Mabuk mendekati Jelita Bule yang terhenti seketika dalam
jarak empat langkah sebelum
mencapai Pesona Indah yang tampak berpakaian dalam
warna kuning dan jubah tipisnya warna biru, berwajah mungil cantik, berambut
hitam sepundak dengan poni di depan merata rapi.
Mereka heran melihat Pesona Indah yang murung itu
tak mau didekati. Jelita Bule segera berkata, "Aku tahu kau terluka. Tapi kurasa
kita sudah jumpa dengan Tabib Darah Tuak dan lukamu akan disembuhkan, Pesona
Indah. Mengapa kau larang kami untuk mendekatimu?"
"Tuak itu tak ada gunanya lagi bagiku! Tak akan bisa menolongku karena...,"
Pesona Indah diam, dan akhirnya menangis dengan tundukkan wajahnya.
"Karena apa, Pesona Indah"!" desak Suto Sinting penasaran.
"Karena... karena aku tak bisa menelan tuak lagi,"
Jawab Pesona Indah bersama tangisnya.
"Aku tak mengerti maksud kata-katamu. Jelaskan, Pesona Indah!" desak Pendekar
Mabuk sambil maju dua langkah.
Gadis itu tidak menjawab, tapi ia menghampiri pohon
yang ada di sampingnya. Lalu ia menggerakkan
tangannya memukul pohon besar itu dengan gerakan
lambat sekali. Bluuusss...! Tangan itu menembus pohon.
Mata mereka yang memandang menjadi terbelalak kaget
dan heran. Mereka semakin tertegun setelah melihat
Pesona Indah melangkah dan mampu menembus pohon
tanpa mengguncangkan pohon itu sedikit pun. Ia
menembus pohon bagai sesosok bayangan tanpa raga.
"Apa yang terjadi pada dirimu sebenarnya, Pesona Indah"!" gumam Jelita Bule
dengan terheran-heran.
"Aku sudah tidak mempunyai raga lagi."
"Kau menjadi manusia tembus pohon"!"
"Lebih parah dari itu, aku tidak bisa menyentuh apa pun. Tak bisa merasakan
memegang pedang atau
memegang batu. Lihatlah...!" Pesona Indah mengangkat batu seukuran kepalanya,
tapi batu itu tidak bisa
terangkat karena tidak terpegang oleh Pesona Indah.
Tangannya bagaikan bayangan yang dapat menembus


Pendekar Mabuk 039 Pisau Tanduk Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batu, sehingga batu itu tak mampu disentuhnya sedikit pun.
"Ya, ampuuun... kau... kau...," Jelita Bule sukar bicara karena tegangnya.
Teratai Kipas yang sejak tadi diam saja dan ikut
terheran-heran itu segera tarik napas panjang-panjang dan berkata, "Aku tahu apa
yang telah terjadi."
Suto Sinting dan Jelita Bule pandangi Teratai Kipas
dengan masing-masing dahi berkerut. Tapi sebelum
Teratai Kipas bicara, tiba-tiba mereka mendengar suara tanpa rupa yang berkata;
"Nasibmu sama dengan nasibku, Nona!"
Sekali lagi mereka terkejut. Tapi Pendekar Mabuk
yang cerdas itu cepat menghapal suara tersebut, sehingga ia berseru,
"Bancak Doya..."! Kaukah yang bicara itu"!"
"Benar, Pendekar Muda! Aku Bancak Doya!"
"Bukankah kematianmu telah kusempurnakan dengan semburan tuakku?"
"Belum, Pendekar Muda! Semburan tuakmu hanya
dapat melenyapkan bayanganku. Tapi suaranya masih
bisa kau dengar, bukan" Berarti kematianku belum
sempurna, Pendekar Muda!"
"Suto, siapakah orang yang bicara tanpa rupa itu?"
tanya Jelita Bule.
Pendekar Mabuk belum sempat menjelaskan sudah
terdengar suara Bancak Doya yang agaknya bicara pada Pesona Indah,
"Nona jubah biru, apakah kau melihatku saat ini?"
"Tid... tidak...!"
"Nanti kau akan melihatku kalau kau sudah berbentuk bayangan, dan mungkin juga
setelah bayanganmu
hilang. Ketahuilah, Nona jubah biru, dulu aku juga
menjadi manusia tembus benda. Tak bisa memegang
apa-apa. Tapi dalam tujuh hari kemudian orang-orang
tak bisa melihatku, hanya bisa melihat bayanganku saja dan mendengar suaraku.
Sekarang bayanganku sudah
tidak terlihat lagi, tapi rupanya suaraku masih bisa didengar. Percayalah Nona
jubah biru... kau akan
mengalami urutan kejadian seperti yang kualami."
Pesona Indah semakin menangis, semua orang yang
ada di situ bisa melihat sosok Pesona Indah tundukkan kepala dalam wajah
dukanya. Suto Sinting dan dua
wanita cantik yang berdiri di kanan-kirinya itu sama-sama tertegun, sepi dan
hening beberapa saat lamanya, sampai akhirnya terdengar lagi suara Bancak Doya
yang berkata kepada mereka semua,
"Nasib Nona jubah biru itu tak akan bisa tertolong lagi. Sebaiknya relakan saja
ia mengalami hal yang
sedang kualami ini."
"Akan kusembur dengan tuakku!" sambil Suto Sinting buru-buru hendak menenggak
tuaknya. Tetapi
suara Bancak Doya terdengar lagi,
"Percuma, Pendekar Muda...! Semburan tuakmu akan
mempercepat Nona Jubah biru menjadi bentuk
bayangan. Kau sembur lagi bayangan itu akan lenyap,
dan suaranya tetap ada. Entah sampai kapan suaranya
bisa kau dengar terus, seperti suaraku saat ini."
Pendekar Mabuk ragu, akhirnya tak jadi semburkan
tuaknya. Pesona Indah berkata, "Aku harus menghadap Guru! Kuadukan hal ini
kepada Guru!"
Plaaasss...! Pesona Indah berlari menembus
pepohonan dan semak, apa saja diterjangnya tanpa
menimbulkan angin dan gerakan lain.
"Ilmu apa yang membuat nasibnya menjadi seperti itu?" tanya Suto Sinting sambil
matanya memandang Teratai Kipas.
* * * 3 SEPERTI dugaan Teratai Kipas, sebuah pisau telah
menggores lengan Pesona Indah. Memang begitulah
menurut pengakuan Jelita Bule. Lawannya yang disebut sebagai laki-laki dekli itu
bersenjatakan sebuah pisau.
Ciri-ciri pisau itu adalah bergagang tanduk rusa purba warna kuning kecoklatan.
Mata pisau runcing dari logam baja hitam. Panjangnya dari ujung sampai gagang
sekitar dua jengkal. Sarung pisau itu juga terbuat dari tanduk rusa purba yang
berukir. "Itulah yang dinamakan Pisau Tanduk Hantu!" kata Teratai Kipas membuat suasana
menjadi sepi sejenak
karena mereka saling terkesima.
Jelita Bule bertanya, "Dari mana kau tahu tentang Pisau Tanduk Hantu?"
"Bekas guruku; Ki Selo Gantung, pernah
menceritakan Pisau Tanduk Hantu yang dimiliki oleh
Malaikat Miskin. Tapi menurut Guru, pisau itu dulu
bekas milik seseorang yang berhasil direbut oleh
Malaikat Miskin."
"Apakah kau tahu kehebatannya?"
"Tentu saja tahu," jawab Teratai Kipas dengan tegas.
"Pisau itu cukup digoreskan pada tubuh lawan. Sedikit goresan saja sudah bisa
membuat lawan menderita luka seperti yang dialami oleh Pesona Indah dan Bancak
Doya. Siapa pun yang tergores Pisau Tanduk Hantu
tubuhnya akan berubah menjadi bayangan selama tujuh
hari. Ia bisa dilihat tapi tak bisa disentuh dan juga tak bisa menyentuh apa
pun. Selama tujuh hari menjadi
bayangan, ia tetap bisa kirimkan suaranya ke
pendengaran kita. Setelah tujuh hari, bayangan itu akan lenyap dan orang
tersebut hanya bisa didengar suaranya saja tanpa bisa dilihat bentuknya. Setelah
tujuh hari lagi, orang tersebut tak akan bisa didengar lagi suaranya karena ia
sudah berada di alam kelanggengan. Alam
kematian yang abadi!"
"Kenapa baru kau katakan sekarang?" tanya Suto Sinting bernada gerutu.
"Aku baru ingat kata-kata mendiang guruku setelah melihat dua korban; Bancak
Doya dan Pesona Indah
itu," jawab Teratai Kipas.
"Lalu, siapa pemilik pisau itu?"
"Si orang dekil itu!" kata Jelita Bule menyahut dengan geram tertahan.
"Seperti apa ciri-cirinya?" tanya Teratai Kipas.
"Mungkin Bancak Doya mengenalnya," kata Suto Sinting. "Sayang sekali dia sudah
pergi mengejar Pesona Indah. Mudah-mudahan ia bisa menenangkan hati
Pesona Indah yang sangat menderita itu."
"Aku masih ingat ciri-cirinya," sambar Jelita Bule sambil berpaling menatap Suto
Sinting dan Teratai
Kipas. "Coba sebutkan apa yang kau ingat, Jelita Bule!"
"Namanya tak kuketahui, tapi yang jelas wajahnya jelek, tak ada manisnya sedikit
pun. Rambutnya abu-abu, kepala depan botak, celana merah, bajunya hitam,
pendek, dan...."
"Si Maling Sakti!" sergah Teratai Kipas memutus kata-kata Jelita Bule.
"Maling Sakti"!" gumam Suto Sinting.
"Apakah namanya Maling Sakti?"
"Banyak yang memberi julukan begitu. Tapi nama
aslinya Durjana Belang. Sebab kalau ia marah wajahnya menjadi merah separo
bagian." "Kalau begitu dugaan kita dulu benar, Teratai," kata Suto Sinting.
"Memang orang itulah yang melarikan Sumbaruni
kecil dan mencuri pusaka dari tangan Malaikat Miskin!"
Lalu terbayang kembali wajah si Maling Sakti di
benak Suto Sinting. Teratai Kipas pernah dibuatnya
hampir mati gara-gara melawan sosok pendek berwajah
lugu tapi ternyata berilmu tinggi itu. Lebih lekat lagi bayangan si Maling Sakti
setelah Jelita Bule berkata,
"Dia tidak bisa dibunuh, karena berulang kali
pedangku menebas dadanya, namun ternyata ia kebal
senjata. Kekuatan tenaga dalamnya sangat besar."
"Tentu saja, karena dia telah menelan Batu Sembur Getih!" sahut Teratai Kipas
yang segera ingat saat Suto Sinting menuangkan tuaknya untuk obati si Maling
Sakti, dan dari dalam bumbung bambunya itu keluar
Batu Sembur Getih yang disimpan Suto dalam bumbung
itu. Akibatnya batu tersebut tertelan oleh si Maling Sakti, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode :
"Telur Mata Setan").
"Maling Sakti bisa menjadi orang berbahaya sekali,"
kata Suto Sinting bagai menggumam pada diri sendiri.
Tapi setelah itu ia memandang Teratai Kipas dan
menyambung ucapannya,
"Selain dia menjadi kebal serta bertenaga dalam ganda karena menelan Batu Sembur
Getih, dia juga
bersenjata Pisau Tanduk Hantu. Ini sangat berbahaya
bagi orang lain. Pasti sikapnya akan semena-mena
terhadap siapa saja!"
"Kalau begitu, kita cari dia untuk kita tumbangkan!"
kata Jelita Bule.
"Pada dasarnya memang begitu, tapi bagaimana cara melawan orang yang berkekuatan
ganda seperti Durjana Belang itu?" ujar Teratai Kipas. "Aku sendiri merasa
semakin tak mampu untuk kalahkan ilmunya."
"Aku yang akan menghadapinya!" kata Suto Sinting dengan tegas dan yakin sekali
akan kemampuannya.
Tiga sosok itu melesat menuju ke arah sungai. Karena menurut pengakuan Jelita
Bule, Maling Sakti bertarung dengannya di tanggul sebuah sungai dan berhasil
melukai Pesona Indah di sana juga. Harapan mereka
sebelum mencapai tanggul sungai mereka sudah bisa
bertemu dengan si Maling Sakti, sebab Maling Sakti tadi mengejar Jelita Bule.
Tapi ternyata yang mereka temui bukan si Maling Sakti, melainkan dua orang yang
pernah berhadapan dengan Pendekar Mabuk. Dua orang itu
adalah orang-orang Bukit Kopong juga, anak buah dari Cukak Tumbila yang sangat
penasaran untuk dapatkan
pusaka peninggalan mendiang Ki Selo Gantung; bekas
gurunya Teratai Kipas.
Kedua orang itu adalah Roh Seribu Dewa dan si
Kumis Tengkorak. Dalam kisah 'Telur Mata Setan' telah diceritakan bahwa Roh
Seribu Dewa mulanya bersatu
dengan Neraka Berjalan dan Jeprak Kurap. Mereka
adalah para pemburu pusaka untuk diperjual-belikan.
Mereka menamakan diri: Tiga Pengawal Iblis. Tetapi
setelah kematian Jeprak Kurap di tangan Teratai Kipas, mereka mengambil si Kumis
Tengkorak untuk
bergabung menjadi Tiga Pengawal iblis. Namun dalam
satu pertempuran dengan Pendekar Mabuk, Neraka
Berjalan dibunuh oleh Malaikat Miskin, karena Malaikat Miskin ingin menciptakan
budi supaya dibalas oleh Suto dengan cara bergabung menyerang orang-orang Bukit
Kopong. Kini yang dinamakan Tiga Pengawal Iblis
tinggal dua, yaitu Roh Seribu Dewa dan si Kumis
Tengkorak. Dan agaknya mereka masih penasaran untuk
dapatkan pusaka Tongkat Tulang Barong. Mereka
menganggap kunci mendapatkan Tongkat Tulang
Barong ada di tangan Teratai Kipas.
Tak heran jika mereka menyerang Teratai Kipas
untuk mencederai wanita cantik itu karena mereka
melihat tiga bayangan berkelebat. Sebuah pukulan jarak jauh dilepaskan oleh si
Kumis Tengkorak yang kurus
kerempeng mirip tengkorak tapi kumisnya panjang
melengkung sampai lewat dagu.
Pukulan jarak jauh itu bersinar hijau lurus tertangkap oleh mata Jelita Bule
yang posisinya tertinggal di belakang. Dengan cepat tangan Jelita Bule menyentak
dan terlepaslah Jurus 'Kencana Lepas'-nya yang
berwarna kuning keemasan. Sinar kuning itu
menghantam sinar hijau setelah seruan Jelita Bule
terdengar keras,
"Teratai, awaaas...!"
Blaaarrr...! Ledakan keras terdengar saat kedua sinar itu
berbenturan. Gelombang ledakan itu menghempas kuat,
membuat tubuh Teratai Kipas yang sedang melompat itu terpelanting terbang dan
jatuh tak terjaga keseimbangan tubuhnya. Bruus! Pendekar Mabuk dan Jelita Bule
segera menghadap ke arah datangnya sinar hijau tadi.
Teratai Kipas menggerutu tak jelas sambil berdiri
kembali tanpa luka dan cacat apa pun.
Dua orang muncul dari balik pepohonan jati besar. Si
Kumis Tengkorak yang berbaju loreng hitam-merah
dengan rambut ditumbuhi uban tidak merata, muncul
lebih dulu. Disusul kemudian Roh Seribu Dewa yang
berwajah angker tanpa ikat kepala karena rambutnya
pendek, kumisnya lebat seperti sayap kelelawar, bajunya hitam, senjata di
pinggangnya adalah trisula bergagang panjang. Kedua tokoh hitam yang berusia
sekitar lima puluh tahun itu sama-sama menatap Teratai Kipas yang tengah
berjalan mendekati Suto.
"Rupanya kalian masih penasaran denganku"!" kata Suto Sinting.
"Sebelum gadis ini buka mulut tentang di mana
pusaka Tongkat Tulang Barong disembunyikan, kami
tetap akan mengganggu ketenangan kalian!" kata Roh Seribu Dewa yang bersuara
berat. Si Kumis Tengkorak menimpali, "Tapi kalau yang
lainnya mau ikut-ikut cari perkara dengan kami, kami siap sedia melayaninya
tanpa rasa gentar sedikit pun."
Matanya melirik ke arah Jelita Bule yang berhidung
mancung dan berkulit putih itu. Pandangan mata itu jelas pandangan mata nakal,
karena keelokan tubuh Jelita
Bule terlihat jelas dari balik pakaian tipisnya.
Teratai Kipas segera maju selangkah dari samping
Suto dan berkata tanpa rasa takut sedikit pun,
"Sampai mayatku ke liang kubur pun kalian tak akan dapatkan keterangan dari
mulutku tentang Tongkat
Tulang Barong itu!"
"Perempuan keras kepala akan dimakan rayap dalam waktu singkat!" ujar Kumis
Tengkorak dengan nada
tegas namun berkesan dingin.
"Apa maumu sekarang"!" bentak Teratai Kipas.
Roh Seribu Dewa menjawab, "Melumpuhkan dirimu
agar mau bicara!"
"Biar aku saja yang menghadapi!" kata Jelita Bule.
"Jangan! Ini urusanku!" kata Teratai Kipas agak pelan.
Roh Seribu Dewa segera berkata, "Terlalu banyak berunding kalian ini!
Heaaah...!"
Sebuah pukulan jarak jauh dilepaskan oleh Roh
Seribu Dewa. Sasarannya ke perut Teratai Kipas.
Dengan cepat Teratai Kipas melompat ke atas dan
pukulan bersinar biru bagai bola kecil itu melesat di tempat kosong. Tetapi
karena di belakang Teratai Kipas ada Suto Sinting, maka Suto-lah yang menjadi
sasaran bola biru itu.
Wuuut...! Deeeb...! Weees...! Blaaar...!
Sinar biru itu ditangkis dengan bumbung tuaknya
Suto Sinting. Sinar itu membalik arah lebih besar
bentuknya dan lebih cepat gerakannya. Roh Seribu
Dewa tercengang melihat pukulannya membalik arah. Ia bagaikan terpaku di tempat.
Untung kaki si Kumis
Tengkorak segera menendangnya dari samping.


Pendekar Mabuk 039 Pisau Tanduk Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Duuug...! Wuuus...! Brrruk...!
Roh Seribu Dewa jatuh terjengkang karena tendangan
itu, tapi ia selamat dari pukulan sinarnya yang membalik itu. Sinar tersebut
menghantam pohon jati di
belakangnya dan pohon itu langsung pecah menjadi
berantakan. Duaaar!
"Auh...!" Roh Seribu Dewa terpekik kesakitan karena sepotong dahan pohon yang
hancur jatuh menimpa
ubun-ubunnya. "Hiaaat...!" si Kumis Tengkorak melompat
menyerang Teratai Kipas. Tangannya bergerak cepat
membingungkan pandangan mata lawannya. Tapi
Teratai Kipas segera bersalto mundur dua kali, dan
dengan kaki berlutut satu, ia telah mencabut kipasnya.
Lalu kipas itu disentakkan ke depan dan dari ujung kipas yang masih terkatup itu
keluar sinar merah lurus.
Claaap...! "Huaaah...!" si Kumis Tengkorak menyentakkan kedua tangannya ke depan dalam
keadaan terbang di
udara. Dari tangan itu keluar asap biru yang mengha-
dang sintar merah.
Blaaarrrr...! Ledakan yang timbul cukup hebat. Daya hempasnya
bagaikan badai menyentak tubuh yang melayang itu. Tak urung tubuh si Kumis
Tengkorak terpental menghantam
salah satu pohon. Duuugh...!
"Oohg...!" Kumis Tengkorak terpekik. Tulang punggungnya terasa patah.
Tahan...!" seru Suto Sinting ketika Jelita Bule hendak bergerak menyerang Roh
Seribu Dewa yang sudah cabut
trisulanya. Seruan itu disangka tertuju pula kepada
Teratai Kipas yang hendak menerjang si Kumis
Tengkorak dengan kipasnya yang telah terbentang.
Gerakan Teratai Kipas pun terhenti seketika. Padahal maksud Suto Sinting
mengingatkan Jelita Bule agar
tidak ikut campur dalam perkara tersebut.
Karena tak ada serangan dari pihak Teratai Kipas,
maka Roh Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak pun
hentikan serangannya. Mereka bersifat menunggu,
dengan mata tertuju pada Pendekar Mabuk, menyangka
ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh Pendekar Mabuk.
Tapi setelah Pendekar Mabuk sendiri diam karena
bingung merasa semuanya bungkam seketika, maka Roh
Seribu Dewa pun berkata kepadanya,
"Kalau kau ingin membelanya, majulah! Aku yang
akan merajang tubuhmu, Bocah Kampung!'
"Tidak. Aku tidak akan mau melawanmu lagi. Aku
kasihan kepadamu. Jika melawan Teratai Kipas saja
kalian keteter, mengapa kalian berharap melawanku"
Kusarankan hilangkan saja harapan kalian untuk
melawanku!"
"Kau sangka kami kalah melawanmu, hah"!" bentak Roh Seribu Dewa. "Coba terima
jurus 'Trisula Kubur'
ini, hiaaah...!"
"Heeeaaah...!" si Kumis Tengkorak ikut-ikutan menyerang Suto Sinting dalam satu
lompatan. Namun
baru saja mereka bergerak, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sekelebat bayangan
yang melintas di depan mereka seperti angin berhembus. Wuuut...!
Craasss...! Bruuus...! Bayangan itu masuk ke semak-semak.
Kemudian terdengar seperti berlari meninggalkan tempat
itu dengan menerabas semak belukar dengan cepatnya.
Suara gemerisik terdengar makin lama semakin
menjauh. Bukan hanya kedua tokoh hitam itu saja yang
terkejut, melainkan Suto Sinting dan kedua gadis cantik itu juga terperanjat
melihat gerakan cepat sesosok
bayangan yang segera menghilang itu. Lebih terkejut
lagi setelah melihat perut si Kumis Tengkorak terluka kecil bagai tergores benda
tajam. Sementara itu dada Roh Seribu Dewa juga tergores kecil, seperti terkena
bulu bambu yang tajam. Darah yang keluar sangat
sedikit. Bahkan luka itu sempat digaruk-garuk oleh Roh Seribu Dewa sambil
Jamur Sisik Naga 1 Pedang Bunga Bwee Karya Tjan I D Kisah Pendekar Bongkok 13
^