Pisau Tanduk Hantu 2
Pendekar Mabuk 039 Pisau Tanduk Hantu Bagian 2
menggeram marah,
"Setan mana tadi yang lewat di depan kita itu, Kumis Tengkorak" Kurang ajar! Apa
maksudnya menghentikan
gerakan kita"!"
Kumis Tengkorak hanya menjawab, "Entah!" tapi matanya tertuju pada Suto Sinting
yang tadi sempat
melompat mundur sekitar dua tindak. Tanpa menunggu
kata-kata lainnya, Kumis Tengkorak melompat kembali menerjang Suto Sinting.
"Hiaaat...!"
Suto Sinting lompat ke depan juga sambil kibaskan
bumbung tuaknya ke arah badan Kumis Tengkorak.
Wuuut...! Wuuusss...! Bumbung bambu itu terlihat jelas-jelas menghantam pinggang
Kumis Tengkorak. Tapi
bumbung bambu itu bagaikan menghantam bayangan.
Bahkan tubuh itu masih bisa bergerak menerjang
Pendekar Mabuk. Blaaass...!
"Lho..."!" terdengar suara kaget Kumis Tengkorak setelah berhasil berdiri di
belakang Suto Sinting. Semua menjadi heran dan tegang, termasuk Suto sendiri.
"Kumis Tengkorak"!" seru Roh Seribu Dewa. "Kau bisa menembus raga si bocah
kampungan itu"! Hebat...!
Hebat sekali kau! Ha, ha, ha, ha...!"
"Hebat gundulmu!" sentak Kumis Tengkorak.
Pendekar Mabuk, Teratai Kipas, dan Jelita Bule
segera mundur jauhi mereka berdua. Roh Seribu Dewa
dihampiri oleh si Kumis Tengkorak dan terdengar pula ia berkata,
"Bukan aku yang sakti, tapi bocah kampungan itu yang sakti. Raganya tak bisa
disentuh!"
"O, kukira kau yang menjadi sakti"! Ha, ha, ha, ha...!
Minggir, biar kuhadapi sendiri si bocah kampungan yang mata keranjang itu!"
Sambil berkata demikian, tangan Roh Seribu Dewa
menepiskan tubuh Kumis Tengkorak. Wuuusss...!
Tangan itu bagaikan menepis bayangan. Tubuh si Kumis Tengkorak tak tersentuh
oleh Roh Seribu Dewa. Tangan tersebut nyeplos dari lengan si Kumis Tengkorak
sampai ke dada dan keluar lagi.
Langkah kaki Roh Seribu Dewa terhenti, ia pandangi
temannya yang kurus kering bermata cekung itu.
"Kau..."!" katanya dalam nada heran. "Kau yang sakti. Buktinya aku tak bisa
menyentuh tubuhmu, Kumis Tengkorak!"
"Jangan ngomong sembaranganl Aku belum sesakti
itu!" sentak Kumis Tengkorak.
Ia mencoba menampar wajah Roh Seribu Dewa.
Wuuut..., plooos...! Tamparan itu tidak mengenai
sasaran, melainkan berkelebat tembus melintasi
pertengahan wajah Roh Seribu Dewa. Keduanya sama-
sama kaget. "Ternyata kau yang sakti, Roh Seribu Dewa! Aku tak bisa menamparmu! Lihat!"
Plos... wuuus... plos...!
Kumis Tengkorak menampar wajah Roh Seribu
Dewa, tapi selalu nyeplos seperti memukul asap. Roh Seribu Dewa terperangah
dalam wajah bangga, lalu ia
tertawa terbahak-bahak.
"Huah, ha, ha, ha, ha...! Ternyata kita berdua menjadi sakti, tak bisa disentuh
siapa pun! Hua, hah, hah, hah, haaa...!"
Plos, plos, plos, plos...!
Roh Seribu Dewa menendang dan memukul teman
sendiri berulang kali untuk membuktikan dugaannya.
Ternyata ia seperti memukul dan menendang asap.
"Lihat... buktinya kau pun tak bisa kupukul, Kumis Tengkorak! Dan lihat betapa
saktinya kita...."
Roh Seribu Dewa berlari menembus pohon. Blees...!
Plaaas...! Ploos...!
Setiap pohon diterjangnya, dan tubuh Roh Seribu
Dewa dapat menembusnya dengan mudah bagaikan
gumpalan asap menerjang pepohonan, ia tertawa
terbahak-bahak sambil lari sana-sini sengaja menabrak pohon atau gugusan batu.
"Huah, hah, ha, ha, ha, ha...! Kita menjadi sakti, Kumis Tengkorak! Lihat...
lihat aku bisa menembus
pohon! Tak ada getarannya sedikit pun. Lihat
kesaktianku ini, sama dengan kau juga. Kalau tak
percaya cobalah sendiri!"
Kumis Tengkorak penasaran. Tak peduli jadi
tontonan tiga lawannya, ia berlari menembus pohon.
Mulanya agak ragu. Kepalanya dulu yang dibenturkan
ke pohon. Busss...! Kepala itu nongol di balik pohon sementara badannya masih
ada di depan pohon.
"He, he, he..., iya! Bisa begini"!"
Akhirnya Kumis Tengkorak
tak segan-segan
menembus pohon. Mereka berdua berlari-lari menerjang pepohonan dengan bangga dan
gembira sekali.
Blas, blus... blas, blus... blas, blus...!
"Hiiaah, hiaah, hiaaahhh...! Kita bisa menembus pohon," Kumis Tengkorak
jejingkrakan seperti anak kemarin sore. Mereka berdua bersuka ria dengan
gembira, seakan memamerkan kesaktiannya yang baru di depan Suto Sinting.
Terdengar suara Teratai Kipas berkata lirih, hanya
Suto dan Jelita Bule yang mendengarnya,
"Manusia goblok! Dirinya sudah menjadi bayangan kok bangga" Disangkanya sakti"!
Hmm...!" "Menurutmu," kata Jelita Bule, "Orang yang berkelebat tadi adalah si Maling
Sakti dengan pisaunya?"
"Benar," kata Teratai Kipas. "Pasti mereka telah tergores pisau si Maling Sakti.
Lihat saja luka goresan di dada dan perut mereka itu!"
Suto Sinting tersenyum geli melihat Roh Seribu
Dewa dan Kumis Tengkorak jejingkrakan lari sana-sini bahkan saling berbenturan
tapi selalu lolos bagai dua asap beradu. Wuuus...! Dan mereka justru tertawa
terbahak-bahak. Tawa dan kegembiraan mereka itulah
yang membuat Suto Sinting menjadi geli melihatnya.
"Hei, Bocah Kampungan!" seru Roh Seribu Dewa,
"Sekarang saatnya kita bertarung untuk menentukan mana yang boleh tetap hidup
dan mana yang harus mati lebih dulu!"
Pendekar Mabuk lebarkan senyumnya, ia maju tiga
langkah, sementara Teratai Kipas dan Jelita Bule tetap di tempat.
"Perlu kau ketahui, Roh Seribu Dewa," kata Suto Sinting, "Kalian bukan menjadi
sakti, tapi justru kebalikannya! Kalian akan menderita dan sedih, karena
sebentar lagi kalian tidak akan bisa dilihat siapa-siapa!"
"Itulah kehebatan kami!" teriak Roh Seribu Dewa dengan bangga.
Kumis Tengkorak yang ada di samping kanan Roh
Seribu Dewa segera berkata,
"Kalau kau mulai takut, segeralah menyingkir dari hadapan kami, Bocah ingusan!
Biar kami akan paksa
Teratai Kipas untuk buka mulut!"
"Menyedihkan sekali!" kata Pendekar Mabuk.
"Kalian berdua sebenarnya sudah mati karena tergores pisau orang yang berkelebat
di depan kalian tadi!"
"Gundulmu iyu yang mati!" umpat Kumis Tengkorak sambil mengusap-usap kumisnya
dengan bangga. "Ambillah batu dan lemparkan padaku. Kalau kalian
bisa mengambil batu, aku akan berguru kepada kalian!"
kata Suto Sinting.
"Kurang ajar! Berani betul kau merendahkan ilmu orang sakti seperti kami ini,
hah"! Akan kubuktikan...!"
seru Roh Seribu Dewa. Lalu, ia mengambil batu yang
tergeletak tidak jauh darinya. Wuuut... ploos...! Ploos...!
Roh Seribu Dewa diam dalam
keheranan memandangi batu itu. Kumis Tengkorak pun
memandang dari tempatnya dengan dahi berkerut.
Tangan Roh Seribu Dewa mendekati batu itu pelan-
pelan bagai ingin menangkap kupu-kupu atau seekor
capung. Lalu tangan itu bergerak cepat menyambar batu segenggam. Wuut...!
Ploos...! Tangan menggenggam tapi batu masih
tertinggal di tempatnya.
Temannya berseru, "Goblok! Ambil batu saja tak becus!" Ia bergegas mendekat dan
memungut batu itu.
Bluus...! Sekali lagi ia menyambar batu itu.
Ploos...! "Kok tidak bisa"!" si Kumis Tengkorak mulai heran dan curiga, ia bicara pada Roh
Seribu Dewa, "Kita tak bisa menyentuh apa-apa"!"
"Entahlah. Sebenarnya kita ini sama-sama sakti atau sama-sama goblok"!"
Lalu, Suto Sinting berkata, "Percayalah padaku, kalian sebentar lagi akan
menjadi manusia tanpa raga!
Kalian telah terkena kekuatan sakti dari Pisau Tanduk Hantu yang dimiliki oleh
Durjana Belang alias si Maling Sakti itu!"
Roh Seribu Dewa menjadi gusar. "Tidak mungkin!
Pisau Tanduk Hantu dimiliki oleh Malaikat Miskin
dan...." "Dan dicuri oleh teman kalian yang bernama si Maling Sakti!" sahut Teratai Kipas
sambil mendekati Suto. Jelita Bule ikut mendekat pula.
"Dalam tujuh hari kalian akan tinggal bayangan dan suara saja!" sambung Jelita
Bule menimpali ucapan Suto dan Teratai Kipas.
Roh Seribu Dewa saling pandang dengan Kumis
Tengkorak. "Benarkah Durjana Belang sudah berhasil mencuri pisau Tanduk Hantu dari tangan
si Malaikat Miskin"!"
Kumis Tengkorak berkata, "Mungkin saja, karena
kudengar ada tokoh lain yang berani membayar Pisau
Tanduk Hantu dengan harga mahal sekali!"
"Tap... tapi... tapi kenapa dia melukai kita" Kita kan teman?" Roh Seribu Dewa
mulai tampak sedih.
"Entahlah," si Kumis Tengkorak tundukkan kepala dengan sedih pula. "Mungkin
Durjana Belang tak suka pada kita yang selalu dipuji oleh sang Ketua!" sambil
berkata begitu, tangannya mencoba memegang ranting-ranting semak, ternyata
ranting itu tak tersentuh sedikit pun.
"Tak mungkin. Durjana Belang tak mungkin berhasil mencuri pisau itu. Kalau toh
memang benar dia telah
berhasil mencuri pisau itu, pasti dia tak akan melukai kita. Selama ini hubungan
kita dengannya baik-baik saja, Kumis Tengkorak...! Kita tak pernah nakal
padanya," suara Roh Seribu Dewa semakin parau bagai orang mau
menangis. "Mungkin...," Kumis Tengkorak semakin sedih.
"Mungkin dia ingin menumpas habis kita, dan... dan ingin merebut kekuasaan untuk
menggantikan kedudukan Cukak Tumbila sebagai penguasa Bukit
Kopong!" "Kalau begitu... kita harus cepat-cepat menghadap sang Ketua!"
"Baik. Kita adukan tindakan Maling Sakti yang
membuat kita begini!"
Blaass...! Kedua orang itu pergi tanpa pamit,
menembus pohon, menembus semak, menembus apa
saja yang dilintasinya. Sementara itu, Suto Sinting dan kedua gadis cantik itu
memandang dengan tertegun
sesaat, lalu Teratai Kipas berkata, "Benarkah Maling Sakti bernafsu ingin
menggantikan kedudukan Cukak
Tumbila sebagai penguasa Bukit Kopong"!"
"Entahlah. Kita kejar saja dia!" ujar Suto sambil bergegas pergi.
* * * 4 MENJELANG senja, lereng bertanah datar menjadi
tempat pertemuan yang menegangkan. Di situ ada
gugusan bukit cadas yang tak seberapa tinggi. Mudah
dicapai dengan kekuatan tenaga peringan tubuh. Dinding
bukit cadas kecil itu berbentuk datar, dalam arti tegak lurus. Bagian atas bukit
kecil itu juga datar, tanpa pepohonan kecuali semak pendek dan bebatuan.
Dari atas bukit kecil itulah Pendekar Mabuk
melompat turun dan bersalto dua kali, sementara Teratai Kipas dan Jelita Bule
tetap ada di atas. Suto Sinting mendaratkan kakinya tanpa bunyi karena mampu
mengendalikan ilmu peringan tubuh yang digabungkan
dengan jurus 'Layang Raga'.
Kemunculan Pendekar Mabuk yang menyerupai
dewa turun dari langit itu mengejutkan langkah kaki
seseorang. Langkah itu terhenti seketika dalam jarak tujuh tindak di depannya
sang pendekar tampan, murid sinting si Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu.
"Eeh... kamu?" ujar orang itu sambil nyengir.
Wajahnya lucu-lucu konyol. Enak ditampar. Lagaknya
bagai orang tak berdosa apa pun. Barangkali itulah salah satu kemahiran si
Maling Sakti, mampu menipu lawan
dengan lagaknya yang seperti orang polos tanpa bersalah sedikit pun.
Tetapi sang pendekar tampan tetap waspada dan
pandangi Maling Sakti dengan mata tak berkedip walau di bibirnya tersungging
senyum tipis, ia melangkah
tenang dekati Maling Sakti. Empat langkah kemudian
berhenti. "Hebat. Kau sekarang menjadi orang hebat, Maling Sakti!"
"Ah, jangan begitu," Maling Sakti bersungut-sungut malu bagai merendahkan diri.
"Soal hebat itu kan sudah
lama, masa' baru kau tegur sekarang" Aku jadi malu
sendiri." "Mestinya kehebatanmu itu kau pergunakan untuk
kebajikan, Maling Sakti."
"O, tentu! Tentu begitu, Suto Sinting!"
"Tapi tindakanmu belakangan ini konon lebih liar lagi dari sebelumnya. Mengapa
kau bertindak lebih liar
lagi?" "Baru saja mau pulang ke tempat tinggalku. Kalau kau mau ikut singgah, aku tak
keberatan kau singgah di tempat tinggalku."
"Hei, yang kutanyakan, mengapa kau bertindak lebih liar"!" tegas Suto.
"O, kau tanya begitu" Kudengar kau tanya dari mana aku sejak kemarin" Hmm... ah,
kau mungkin salah
tanya. Mengapa kau menganggap aku bertindak liar,
Suto Sinting?"
"Karena kau telah melukai beberapa orang dengan pusaka curianmu itu!"
"Pusaka" Pusaka apa"!" Maling Sakti berwajah bingung, dahinya berkerut, matanya
menatap tajam. Suto Sinting melirik ke arah atas bukit cadas itu. Maling Sakti
ikut-ikutan memandang ke atas, menatap Jelita Bule dan Teratai Kipas. Lalu ia
nyengir sendiri dan berkata,
"Rupanya kau semakin lengket dengan gadis mantan murid Ki Selo Gantung itu,
Suto. Hmm... boleh juga!"
Maling Sakti manggut-manggut. "Tapi menurutku lebih cantik yang berkulit putih
dan berambut emas itu. Siapa dia, Suto"!"
"Apakah kau belum mengenal gadis itu?"
"O, menilai kecantikan itu merupakan keahlianku, Suto!"
"Yang kutanyakan, apakah kau tidak mengenal gadis itu"!" Suto agak keras lagi
dalam bicaranya, sedikit bernada jengkel.
"Ooo... begitu" Ah, mana aku kenal dia" Bertemu pun baru sekarang!"
"Kau bohong, Maling Sakti!"
"Ya, ampuuun...! Berani sumpah disambar tumpeng, aku belum pernah bertemu dengan
Pendekar Mabuk 039 Pisau Tanduk Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gadis itu sebelum ini!
Eh, ngomong-ngomong dia memakai pakaian atau tidak,
Suto" Kok kelihatannya... anu sekali"! Hi, hi, hi, hi...!"
Maling Sakti cengengesan.
Dari atas sana, percakapan itu terdengar oleh kedua wanita tersebut. Maka
Teratai Kipas memberi isyarat
kepada Jelita Bule agar turun bersama. Anggukan kepala Teratai Kipas membuat
Jelita Bule segera melompat
turun bagai seekor burung kehilangan bulunya.
Wuuus...! Mata Maling Sakti terbelalak nakal. "Wow...!"
ucapnya sambil tarik napas memandangi keadaan Jelita Bule yang berpakaian sangat
tipis itu. Kedua wanita tersebut ada di sebelah kanan Suto Sinting dalam jarak
empat langkah. Jelita Bule langsung menyapa si Maling Sakti,
"Kau jangan berlagak tak mengenaliku, Monyet
Miskin! Kau telah bertarung denganku dan dengan
temanku. Kau bermaksud mau memperkosa kami
sekaligus! Kau telah melukai temanku dengan pisau
pusakamu!"
"Hei, hei..."!" Maling Sakti kian bingung mirip pria linglung. "Kau bicara soal
apa sebenarnya" Aku tidak penah bertarung denganmu dan tidak pernah bermaksud
memperkosamu. Aku tidak punya pisau pusaka.
Senjataku hanya golok, tapi itu pun sudah pecah ketika beradu dengan bumbung
tuaknya Suto! Jangan
mengada-ada, Nona aduhai!"
Pendekar Mabuk mengernyitkan alis, mengecilkan
matanya. Dipandangi tubuh Maling Sakti secara diam-
diam. Tak terlihat ada pisau di pinggangnya. Sementara itu Teratai Kipas berkata
dalam nada pelan kepada Jelita Bule.
"Apa kau tak salah lihat" Sudah yakin bahwa dia orangnya?"
"Ya. Dia orangnya! Dia yang mempunyai Pisau
Tanduk Hantu itu!" jawab Jelita Bule dengan suara keras dan tegas.
"Maling Sakti," kata Suto Sinting, "Serahkan pisau itu, karena pusaka tersebut
bukan milikmu!"
"Aku tidak memiliki pisau itu, Suto!" Maling Sakti bernada jengkel.
"Omong kosong!" bentak Jelita Bule. "Pasti kau sembunyikan di balik bajumu itu!
Mengaku sajalah
kau!" "Belum. Belum pernah melihatnya," kata Maling Sakti salah dengar.
"Dia bilang; mengaku sajalah kau!" bentak Suto
memperjelas. "O, dia minta aku mengaku" Baik...! Nih, aku
mengaku!" tubuh Maling Sakti dikeraskan. Dari kaki sampai kepala kaku semua.
Jelita Bule merasa dipermainkan. Maka dihampirinya
Maling Sakti dan ditampar pipi orang itu dengan keras.
Plaaak...! "Auh...!" Maling Sakti terpelanting memutar dua kali.
Ia meringis sambil mengusap-usap pipinya. "Katanya suruh mengaku! Begitu tubuhku
sudah kubuat kaku,
malah ditampar"! Bagaimana kau ini, Nona" Gilakah
kau sebenarnya"!"
Teratai Kipas ikut jengkel dan menjelaskan, "Jangan berlagak bodoh, Durjana
Belang! Yang dimaksud
mengaku itu berkata jujur! Bukan tubuhnya dibuat
menjadi kaku seperti kau tadi!"
"Tunggu dulu...," bisik Jelita Bule saat mereka berada di dekat Suto. "Dia bisa
kutampar. Padahal waktu bertarung denganku dan Pesona Indah, tubuhnya
bagaikan baja. Jangankan ditampar, ditendang saja tak bergeming sedikit pun.
Sekarang... lihat, pipinya
menjadi merah karena tamparanku"!"
"Coba lepaskan pukulan tenaga dalam yang tidak berbahaya!" bisik Teratai Kipas.
Maka dengan serta-merta Jelita Bule lepaskan pukulan tenaga dalam dari arah
samping ketika Suto mengajak bicara Maling Sakti.
Wuuut...! Sentakan tangan kiri Jelita Bule mempunyai hentakan tenaga dalam tanpa
sinar yang hanya akan
membuat orang terpukul dan tumbang. Beeeg...!
Wuuusss... brruk...!
Tubuh Maling Sakti terlempar empat tindak dari
tempatnya dan jatuh terjungkal dengan berteriak
kesakitan karena tulang sikunya membentur batu.
"Wadaaaow...! Kampret busuk!" Ia bergegas bangkit dan menjadi marah, tapi warna
merah di wajahnya yang kanan hanya samar-samar, berarti kemarahannya tak
seberapa tinggi.
"Perempuan kebo! Kalau berani jangan membokong!
Hadapi aku secara jantan!" umpat dan tantang si Maling Sakti. Tapi Jelita Bule
tidak layani tantangan itu. Ia bahkan berbisik kepada Suto dan Teratai Kipas.
"Waktu bertarung denganku, dia tak bisa dihantam seperti tadi. Bahkan kugunakan
jurus 'Kencana Lepas'
ku, tapi tak mampu menembus atau melukai kulit
tubuhnya. Sekarang kenapa dia bisa terjungkal hanya
dengan pukulan tenaga dalam seringan itu?"
"Akan kugeledah dia!" ujar Suto pelan, lalu tinggalkan dua gadis itu dan dekati
Maling Sakti. "Maling Sakti, jika kau benar tidak membawa Pisau Tanduk Hantu, maukah kau
kugeledah?"
"Untuk apa kau membedahku?"
"Kugeledah!" tegas Suto lagi.
"O, mau menggeledahku" Boleh saja! Boleh...!
Silakan!" Maling Sakti angkat kedua tangannya. Suto memeriksanya sampai kedua
kaki dirabanya.
"Kalau perlu periksa juga mulutku ini. Haaa..."!"
Maling Sakti buka mulutnya lebar-lebar. Suto Sinting mendengus dan berpaling
wajah. "Tak perlu. Aku belum terbiasa mencium bau pete!"
ujar Suto Sinting sambil mendengus lagi lewat
hidungnya, dan segera meninggalkan Maling Sakti.
"Bagaimana?" tanya Teratai Kipas.
"Tidak ada! Dia tidak menyelipkan pisau di mana-mana! Tak ada senjata apa pun
kecuali senjatanya
pribadi." "Ah, itu tak kubutuhkan!" kata Jelita Bule. "Tapi...
siapa tahu disimpan pada sekitar 'senjata pribadinya'
itu?" Teratai Kipas ingin tertawa geli, "Coba kau yang geledah di daerah sekitar itu,"
ucapnya kepada Jelita Bule.
"Ih, amit-amit! Kau saja yang periksa kalau kau mau!"
Suto Sinting berkata, "Sudah, sudah.... Sudah
kuperiksa di sekitar situ juga tidak ada. Jangan-jangan memang bukan dia?"
"Suto...," seru Maling Sakti. "Apakah kau sudah puas menggeledahku?"
Suto Sinting diam, tak bisa menjawab. Sebab hatinya
masih penasaran dan diiiputi keragu-raguan. Tapi
akhirnya ia berkata juga, "Dari mana kau tadi?"
"Memang aku jarang gosok gigi," jawab Maling Sakti salah dengar.
"Kutanya; dari mana kau tadi"l"
"O, dari... dari mencari dua temanku; Roh Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak.
Apakah kalian ada yang
melihatnya?"
Tiga orang itu saling pandang. Teratai Kipas yang
menjawab, "Ya, kami melihat mereka berdua. Tapi sekarang mereka sudah menjadi
bayangan, tak bisa
disentuh dan tak bisa menyentuh apa pun."
"Ah, kau bercanda saja! Yang kutanyakan, apakah kalian melihat mereka" Bukan
menanyakan tentang cita-cita kalian!"
"Aku sudah menjawab pertanyaanmu! Bukan bicara
soal cita-cita!" bentak Teratai Kipas, lalu Suto Sinting mengulangi jawaban
Teratai Kipas tadi. Dan si Maling Sakti tampak terbengong heran.
"Mereka menjadi bayangan"! Ah, mana mungkin"
ilmu mereka tak setinggi itu!"
"Karena seseorang telah menggoreskan Pisau Tanduk Hantu di tubuh mereka!" kata
Suto lebih memperjelas lagi.
"Siapa yang menggunakan pisau itu" Hmmm..., si
Malaikat Miskin maksudmu?"
"Kurasa bukan dia."
"Ah, pasti dia! Aku harus bikin perhitungan
dengannya sekarang juga!" Maling Sakti bergegas pergi.
"Hei, mau ke mana kau"!"
"Ke Perguruan Tongkat Sakti, bikin perhitungan
dengan si Maiaikat Miskin!"
"Kau tak akan bisa masuk ke pintu gerbangnya.
Penjagaannya sangat ketat!" seru Teratai Kipas. Dari kejauhan si Maling Sakti
berseru pula, "Tak ada yang tak bisa kutembus walau seketat apa pun penjagaan di sana! Kalau
kau tak percaya, kepala
nya Malaikat Miskin akan kubawakan untukmu!" sambil langkahnya makin cepat dan
akhirnya berlari
menyelusup di balik semak. Kepergian Maling Sakti
membuat Suto Sinting dan kedua wanita itu tertegun
beberapa saat. Masing-masing sibuk dengan kecamuk
batinnya. Tiba-tiba terdengar suara Jelita Bule berkata lirih bagai tertuju
untuk dirinya sendiri,
"Mungkinkah ada Maling Sakti kembar?"
Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas sama-sama
memandang Jelita Bule dengan cepat. Dahi mereka
masih berkerut. Jelita Bule tambahkan kata lagi,
"Sebab setahuku memang dialah orangnya. Tapi
mengapa dia bisa kupukul dan tidak membawa pisau
tersebut?"
"Penipuan...," ucap Teratai Kipas pelan dan datar, seperti orang bicara sambil
menerawang ke mana-mana.
"Penipuan bagaimana?" tanya Suto Sinting. Tapi Teratai Kipas tidak lanjutkan
kata. Ia hanya tarik napas dalam-dalam dan berkata kepada Suto Sinting,
"Keadaannya sudah seperti ini. Sekarang kita mau bagaimana menurutmu?"
Ganti si Pendekar Mabuk yang tarik napas, lalu
menjawab dengan ketegasan yang masih bernada
lembut, "Kurasa Jelita Bule pulang saja, sambil menjelaskan masalah ini kepada
Ratu Rangsang Madu."
"Tapi aku harus meminta kepastianmu bahwa kau
akan datang pada saat perkawinan Gusti Rangsang Madu nanti!"
"Kapan hal itu dilakukan?"
"Tepat malam purnama nanti. Tinggal beberapa hari lagi."
"Baik. Akan kuusahakan untuk datang. Tapi... siapa calon suaminya?"
"Calon suami Ratu Rangsang Madu tak lain adalah si tampan Pande Bungkus!"
"Hah..."!" Suto Sinting terkejut, matanya terbelalak.
"Pande Bungkus" Si bocah polos tanpa ilmu apa pun itu"!"
"Benar. Kepolosannya itu yang membuat Gusti
Ratuku terpikat olehnya!" kata Jelita Bule sambil tersenyum, lalu Suto Sinting
termenung dan akhirnya tertawa sendiri sambil geleng-gelengkan kepala.
Terbayang wajah Pande Bungkus yang tampan,
bertubuh kekar, berambut ikal selewat pundak diikat
dengan kain putih, tapi di balik sosok penampilannya yang menawan itu dia adalah
pemuda usia delapan belas tahun yang lugu, bahkan berkesan bodoh. Tak ada ilmu
apa pun pada diri Pande Bungkus kecuali ilmu
membidik sasaran dengan ketapelnya. Ketapel itu selalu menjadi kalung kebanggaan
dan ke mana pun ia pergi
selalu dibawanya. Pemuda desa yang dulu mempunyai
ibu seorang pedagang nasi bungkus itu dikenal Suto
Sinting pada saat terjadi banjir yang menerjang rumah pemuda tersebut. Pada
mulanya Pande Bungkus ingin
menjadi murid Pendekar Mabuk, sehingga dengan penuh
kesetiaan mendampingi Suto Sinting melakukan
perjalanan ke Pulau Selayang, menyembuhkan Ratu
Rangsang Madu. Tapi agaknya ia terjerat cinta di Pulau
Selayang dan memilih menjadi suami sang Ratu
ketimbang menjadi murid sang pendekar tampan, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Tabib Darah Tuak").
"Setiap manusia mempunyai keberuntungan sendiri-sendiri. Keberuntungan itu
sendiri tak bisa direncanakan sematang mungkin, karena keberuntungan itu datang
dari luar kemampuan daya pikir manusia," kata Suto Sinting menjelaskan kepada
Teratai Kipas tentang siapa Pande Bungkus dan siapa Ratu Rangsang Madu
sebenarnya. "Apakah keberuntunganku pun akan datang tak
disangka-sangka" Terutama soal jodohku nanti?"
pancing Teratai Kipas saat Jelita Bule sudah pergi sejak tadi. Dan Suto Sinting
memandangnya dalam senyuman
yang lembut menawan.
"Jodoh tidak bisa diatur sesuai dengan hasrat kita.
Jodoh sudah punya kodrat sendiri. Kita hanya bisa
menerka-nerka dan mencoba apakah seseorang yang kita cintai itu memang jodoh
kita atau bukan. Jika bukan, maka perpisahan pun akan segera datang walau hati
kita menaruh cinta sebesar gunung."
"Berarti hubunganmu dengan Dyah Sariningrum juga belum tentu merupakan jodohmu
sepanjang masa?"
"Kira-kira begitu. Tapi kemungkinan melesat sangat kecil. Sebab guruku; si Gila
Tuak sudah mengetahui
wanita yang bagaimana yang akan menjadi jodohku
nanti. Apabila dalam semadiku aku sampai menangis
dan mencucurkan air mata darah ketika terbayang
seorang wanita, maka dia itulah calon jodohku kelak, walaupun seribu wanita
berteman dekat denganku."
"Apakah kau pernah mencucurkan air mata
berdarah?"
"Ya. Saat kuterbayang wajahnya yang menderita
dalam cengkeraman Siluman Tujuh Nyawa," jawab Suto terang-terangan sambil
termenung membayangkan saat
ia lakukan semadi di tempat tinggal gurunya, sebelum ia turun sebagai seorang
pendekar penegak kebenaran dan keadilan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Darah Asmara Gila").
Percakapan yang dilakukan sambil jalan-jalan tiba-
tiba terhenti bersama langkah mereka. Baik Suto Sinting maupun Teratai Kipas
sama-sama terperanjat manakala
mereka tahu-tahu melihat seorang kakek berdiri di atas sehelai daun sereh liar
yang mirip seperti ilalang itu.
Suto Sinting segera tarik napas lega dan hilangkan
kekagetannya, tapi Teratai Kipas masih memandang
penuh keheranan. Buat Suto Sinting, bukan hal aneh lagi jika ia melihat
kemunculan seorang kakek berpakaian serba putih, bahkan rambut, alis, dan bulu-
bulu kakinya serba putih uban. Kakek itu tak lain adalah kakek
misterius yang ditemuinya sebelum Suto menyelamatkan Pande Bungkus yang hanyut
terbawa arus banjir
beberapa waktu yang lalu.
"Siapa orang sakti itu?" bisik Teratai Kipas menganggap kakek itu orang sakti
karena mampu berdiri di atas sehelai daun sereh tanpa patah. Suto Sinting segera
menjawab, "Dia itulah yang berjuluk Setan Merakyat, kakak dari si Bongkok Sepuh yang kau
kenal lewat cerita-cerita
gurumu. Bongkoh Sepuh sendiri dulu dikenal dengan
nama si Setan Arak!"
Pendekar Mabuk segera memberikan hormat
sekadarnya, Teratai Kipas ikut-ikutan karena merasa
Pendekar Mabuk 039 Pisau Tanduk Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
takut terkena kutuk sang tokoh tua nan sakti itu. Gerak kemunculannya tidak
menimbulkan suara tidak pula
menimbulkan hembusan angin. Teratai Kipas yakin,
biasanya orang seperti Setan Merakyat dapat menghajar seseorang melalui
ucapannya saja.
"Ada keperluan apa Eyang Bapa Guru Murdawira
menemuiku di sini?" tanya Suto Sinting dengan
menyebutkan nama asli si Setan Merakyat itu.
"Aku hanya ingin tanyakan kesiapanmu. Sudahkah
kau siap menerima salah satu ilmuku yang hanya bisa
kuturunkan pada pemuda tanpa pusar sepertimu?"
"Aku masih punya masalah, Bapa Guru. Aku belum
siap menerima ilmumu."
"Masalahmu belum selesai" Oh, ya... baik. Akan
kutunggu sampai masalahmu selesai, dan aku selalu
membayang-bayangimu, Anak Muda. Tapi ketahuilah,
aku baru saja bertemu dengan gurumu; Gila Tuak dan
Bidadari Jalang untuk meminta izin menitipkan ilmuku kepadamu. Kedua gurumu itu
setuju dan mengizinkannya. Tapi lebih baiknya lagi, kau memang harus menghadap dan bicara
sendiri tentang izin itu
kepada kedua gurumu tersebut."
"Nanti jika masalahku sudah rampung, aku akan
menghadap kedua guruku ke Jurang Lindu dan ke
Lembah Badai!"
"Baik. Kutunggu kesiapanmu. Tapi perlu kau ketahui, baru saja kau telah lakukan
suatu kebodohan besar
dalam sejarah hidupmu, Pendekar Mabuk."
Suto Sinting kaget dan memandang Setan Merakyat
yang turun dari atas daun sereh liar itu. Suto pun
bertanya, "Kebodohan apa yang telah kulakukan?"
"Melepaskan seorang pencuri yang sedang kau kejar-kejar itu."
"Maksudmu...?"
"Durjana Belang kau biarkan lari, padahal memang dialah yang sekarang ini
memegang Pisau Tanduk
Hantu. Aku merasakan sekali getaran gaib pisau pusaka itu saat ia kulihat sedang
bicara denganmu tadi! Cari dia dan paksa supaya dia mengaku siapa dirinya
sebenarnya!"
"Tap... tapi pisau itu tidak ada padanya, Eyang Bapa Guru."
"He, he, he, he...! Siapa bilang dia tak memiliki Pisau Tanduk Hantu" Kau telah
tertipu mentah-mentah
olehnya, Suto. Cari dia dan temukan pisau itu sebelum terlalu banyak makan
korban." * * * 5 PERJALANAN pulang ke Negeri Majageni tertunda
beberapa hari gara-gara Teratai Kipas harus membantu Suto Sinting menangani
masalah Pisau Tanduk Hantu.
Teratai Kipas sendiri merasa senang bisa mendampingi Pendekar Mabuk karena di
balik susah payahnya terselip kebanggaan yang hanya bisa dirasakan oleh dirinya
saja. Tetapi Pendekar Mabuk menjadi tak enak hati atas
penundaan itu. "Apa kata orangtuamu nanti jika kau tidak segera pulang" Prabu Wiloka pasti akan
menyangka putri
kesayangannya dilarikan oleh Pendekar Mabuk dan tak urung aku mendapat kecaman
dari sang Prabu."
"Itu urusanku, biar aku yang menjelaskan kepada ayah tentang keterlambatan ini,"
ujar Teratai Kipas seakan siap membela Suto mati-matian jika terjadi
kecaman atau tuduhan yang dilontarkan dari pihak
istana. Pendekar Mabuk tidak bisa memaksa Teratai Kipas
lagi. Gadis itu pun agaknya keras kepala dalam urusan yang satu ini. Tiga hari
telah lewat, Teratai Kipas masih tak ingin tinggalkan Suto Sinting.
"Sebelum masalah ini selesai aku belum ingin pulang ke istana," ujar Teratai
Kipas. "Aku bukan hanya senang mendampingimu saja, tapi juga penasaran dan ingin
tahu siapa pemegang Pisau Tanduk Hantu sebenarnya. Aku
ingin ikut membela kebenaran. Setidaknya buat
pengalaman hidupku sebelum aku kembali menjadi putri
keraton Majageni. Kalau aku sudah menjadi putri
keraton dan apalagi sudah menggantikan kedudukan
ayahku, aku tak akan mudah ikut membantumu dalam
menegakkan kebenaran dan memerangi kejahatan seperti saat ini. Jadi biarkanlah
aku ikut untuk yang terakhir kali hidupku sebagai gadis pengembara."
Suto Sinting semakin tak bisa bicara apa-apa,
sehingga ia hanya bisa angkat kedua pundak tanda
pasrah. Pengejaran Suto terhadap Maling Sakti tak sengaja
membawanya ke arah tempat berdirinya Perguruan
Tongkat Sakti. Pengejaran ini terpaksa terhenti karena banyaknya mayat yang
bergelimpangan di sana-sini
sepanjang jalan menuju Perguruan Tongkat Sakti. Mata Suto dan Teratai Kipas
memandang dengan terheran-heran. Asap mengepul di pusat perguruan. Pintu gerbang
perguruan hancur, hangus terbakar dan tinggal sisanya menghitam di sana-sini.
Suasananya sepi dan
mencekam. Bau daging bakar yang hangus menandakan
banyaknya korban manusia yang ikut terbakar dalam
reruntuhan itu.
"Seganas inikah Durjana Belang itu menurutmu,
Teratai?" tanya Suto kepada Teratai Kipas, karena gadis itu tampak hanyut dalam
lamunan ketegangan.
"Mungkin saja Durjana Belang bisa seganas ini.
Entah dendam apa yang ia miliki terhadap Perguruan
Tongkat Sakti, yang jelas ia berhasil menghancurkan
perguruan ini. Mungkin bukan saja dendam karena
kedua temannya; Roh Seribu Dewa dan si Kumis
Tengkorak, dibunuh oleh Malaikat Miskin menggunakan
pisau itu. Mungkin ada dendam lain yang...."
"Tunggu, tunggu...," Suto Sinting sengaja hentikan ucapan Teratai Kipas. "Apakah
kau yakin bahwa si Maling Sakti punya anggapan bahwa Malaikat Miskin
yang menggunakan Pisau Tanduk Hantu untuk
membunuh kedua temannya" Bukankah pisau itu ada di
tangan Maling Sakti sendiri" Tentunya ia tak akan
menduga bahwa Malaikat Miskin-lah yang mencelakai
kedua temannya itu?"
"Aku tak yakin dengan kata-kata Setan Merakyat.
Sebab kita sudah menggeledah Maling Sakti dan pisau itu tidak ada padanya. Kita
sudah coba serang dia
melalui tenaga dalam Jelita Bule, tapi toh dia bisa
tumbang. Kurasa dia bukan Maling Sakti yang memiliki Pisau Tanduk Hantu!"
"Setan Merakyat lebih tahu dari kita, Teratai. Aku cenderung mempercayai kata-
katanya. Ingat, apakah
orang yang kala itu menelan Batu Sembur Getih
mempunyai perbedaan rupa maupun pakaiannya" Kurasa
tidak. Ya dia itulah orangnya."
"Lalu, mengapa kala diserang Jelita Bule ia bisa terpental" Mestinya dia tidak
bisa diserang, bahkan
wajahnya tak bisa memar merah kala ditampar!"
"Mungkin ia bisa kendalikan kekuatan Batu Sembur Getih, sehingga di depan kita
kekuatan Batu Sembur
Getih bagaikan tidak berfungsi sama sekali. Di belakang kita kekuatan itu
digunakan sebagaimana mestinya."
"Lalu tentang pisau itu?"
"Mungkin ia punya cara sendiri untuk
menyembunyikannya."
Teratai Kipas diam, merenungkan pendapat Suto
Sinting. Sambil merenungkan kata-kata itu matanya
mengawasi reruntuhan Perguruan Tongkat Sakti.
Langkahnya pelan, mengenali setiap mayat yang ada di sekitar tempat itu.
Akhirnya terpetiklah gagasan baru dalam pemikiran Teratai Kipas.
"Kurasa ada seseorang yang telah berhasil merebut Pisau Tanduk Hantu dari tangan
si Maling Sakti sebelum ia bertemu dengan kita tempo hari itu."
"Maksudmu, Pisau Tanduk Hantu pindah tangan?"
"Ya. Karena jika Maling Sakti mengamuk di sini, maka mayat-mayat ini tidak akan
ada. Kalau toh ada
hanya beberapa saja. Maling Sakti pasti membuat para korban menjadi manusia
bayangan, ia akan menggoreskan pisau pusaka itu kepada para korban di
sini. Tak mungkin hanya menggunakan kekuatan tenaga
dalamnya saja jika memang Pisau Tanduk Hantu masih
menjadi miliknya."
Kini ganti Pendekar Mabuk yang merenungkan kata-
kata Teratai Kipas. Menurutnya, memang ada benarnya
pendapat Teratai Kipas. Barangkali memang benar
bahwa pisau tersebut sudah pindah tangan dan tidak ada pada diri Maling Sakti.
Hal yang dipertanyakan adalah; siapa orang yang berhasil merebut Pisau Tanduk
Hantu dari tangan Maling Sakti"
"Aneh, di sini tidak ada mayat Malaikat Miskin dan Menak Goyang," ujar Teratai
Kipas seraya masih
menatap ke sana-sini.
"Barangkali mereka kabur saat melihat kesaktian Durjana Belang menghancur-
leburkan tempat ini!"
"Rasa-rasanya janggal sekali kalau Durjana Belang bisa membuat Malaikat Miskin
terdesak dan melarikan
diri." "Mengapa janggal" Bukankah Durjana Belang telah menelan Batu Sembur Getih"
Tentunya kekuatannya
berlipat ganda dan dapat untuk mengalahkan kesaktian si Malaikat Miskin!"
Baru saja Teratai Kipas ingin ucapkan kata, tiba-tiba tubuhnya tersentak naik
dan bersalto di udara satu kali.
Wuuk...! Pendekar Mabuk cepat palingkan wajah
pandangi gerakan Teratai Kipas. Pada saat itu ia melihat seberkas sinar merah
pecah-pecah sedang menerjang
tubuh Teratai Kipas. Sinar merah pecah-pecah yang
dihindari itu ganti menyerang ke arah Pendeka Mabuk, karena keadaan Suto berdiri
sejajar dalam satu arah dengan Teratai Kipas.
Gerakan sinar merah yang cepat itu membuat Suto
tak sempat mengambil bumbung tuaknya, sehingga
tangan kirinya digunakan sebagai penghadang sinar
merah tersebut. Dari tangan kiri Suto Sinting keluar sinar membara warna biru.
Belum sempat melesat
keluar, baru saja tersumbul dari telapak tangannya sudah harus dihantam oleh
sinar merah pecah-pecah itu.
Akibatnya sinar merah tersebut menghantam tangan kiri Suto Sinting dengan
menimbulkan ledakan yang cukup
besar. Blaaarrr...! Tentu saja tubuh Suto Sinting terhempas kehilangan
keseimbangan, ia jatuh berjungkir balik di bawah pohon delapan langkah dari
tempatnya berdiri semula.
Sedangkan orang yang menyerang dengan sinar merah
pecah-pecah itu segera muncul dari tempat
persembunyiannya pada saat Teratai Kipas sudah
mencabut kipasnya dan Suto Sinting berusaha bangkit
dengan lemah. "Malaikat Miskin...!" seru Teratai Kipas dengan sikap menantang. "Mengapa kau
menyerang kami" Apakah
kau ingin bikin perkara dengan Pendekar Mabuk?"
"Jangan berlagak bodoh, Kipas Sate!" ejek Malaikat Miskin dengan wajah penuh
gumpalan amarah.
Pendekar Mabuk cepat-cepat minum tuaknya untuk
menghilangkan rasa sakit dan luka dalam akibat
menghadang pukulan jarak jauhnya si Malaikat Miskin
tadi. Teratai Kipas sengaja memberikan kesempatan
kepada Pendekar Mabuk untuk sembuhkan diri dengan
tuak, sehingga untuk sementara Teratai Kipas bertekad melayani kemarahan
Malaikat Miskin semampunya.
"Tak kusangka ternyata kalian berdua lebih kejam dari orang-orang Bukit Kopong!
Sekian banyak muridku yang tak tahu apa-apa kalian jadikan korban dan
perguruanku kalian bumi hanguskan seperti ini!"
"Bicaralah yang benar, Malaikat Miskin! Jangan memandang dengan sebelah mata!"
pancing Teratai Kipas agar perhatian Malaikat Miskin tidak tertuju pada Pendekar
Mabuk yang disangka masih terluka parah itu.
Padahal Suto Sinting sudah mulai segar kembali setelah menenggak tuaknya. Bahkan
ia sudah mampu berdiri
dengan tegak dan melangkah dengan gagahnya.
"Kau hanya sekadar mencari kambing hitam untuk
melampiaskan kemarahanmu, Malaikat Miskin," kata Teratai Kipas dengan lantang.
Tak ada hormat sedikit pun kepada bekas guru kekasihnya yang sudah tiada itu.
"Kalian ingin mengelak" Kalian sudah kepergok, tak mungkin bisa menghindar dari
tuduhanku!" suara
Malaikat Miskin cukup keras, ia melangkah dengan
penuh waspada sambil bertumpu pada tongkatnya yang
mempunyai tiga cabang bagian atasnya itu.
"Malaikat Miskin," seru Suto Sinting yang kini sudah berada di samping Teratai
Kipas, "Siapa yang lakukan pembumihangusan perguruanmu ini! Apakah kau
melihat kami melakukannya?"
"Siapa lagi jika bukan kalian!" bentak Malaikat Miskin yang mengenakan jubah
abu-abu bertambal-tambal seperti gelandangan itu. "Ketika aku melihat kepulan
asap dari kejauhan sana, aku mulai cemaskan
perguruanku. Lalu kuhampiri kemari dan ternyata
kutemukan kalian berdua ada di sini! Tentu saja aku tak bisa mengalihkan tuduhan
kepada orang lain, sebab yang kutemukan di sini adalah kalian!"
"Justru kami sedang selidiki siapa menghancurkan perguruanmu ini!" sahut Teratai
Kipas. Gadis itu tampak ngotot sekali karena hatinya panas dituduh sebagai
pembantai orang-orang perguruan tersebut.
"Kalian tak perlu banyak mulut lagi! Sekarang
terimalah pembalasanku inil Heaaahhh...!" si Malaikat Miskin tiba-tiba sentakkan
tongkatnya ke depan. Dari tiga ranting di ujung tongkat itu keluar tiga sinar
berwarna hijau lurus. Sasarannya tertuju kepada Suto Sinting dan Teratai Kipas;
dua ke arah Suto, satu ke arah Teratai Kipas. Tentu saja serangan itu dihadapi
oleh kedua orang tersebut. Suto Sinting menangkisnya
memakai bumbung tuak, sedangkan Teratai Kipas
menghadang sinar hijau dengan bentangan kipas
emasnya itu. Blaaar...! Drrabb...! Wuuurrrss...!
Teratai Kipas terpental karena tak kuat menahan
sentakan sinar hijau yang bertenaga besar dan berbahaya itu. Tubuhnya melayang-
layang dan membentur pohon.
Sedangkan Suto Sinting masih tegak berdiri karena sinar hijau itu bisa
dikembalikan dengan tangkisan bumbung tuaknya. Sekalipun tubuh Suto meliuk bagai
orang mabuk hendak jatuh, namun gerakan bumbung tuaknya
sangat tepat menangkis dua sinar hijau.
Kedua sinar hijau kembali ke pemiliknya dengan
lebih besar dan lebih cepat lagi. Malaikat Miskin
menggeragap dan segera melompat ke samping dan
Pendekar Mabuk 039 Pisau Tanduk Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berguling-guling di tanah menghindari sinar hijaunya.
Sinar itu akhirnya menghantam reruntuhan bangunan
perguruannya yang masih tersisa. Reruntuhan itu hancur menjadi serbuk halus yang
tak bisa terlihat lagi ke mana gerakannya. Sedangkan Malaikat Miskin bangkit
dengan tongkatnya dan memandang akibat benturan hijau itu
dengan mata terbelalak, terheran-heran.
"Sehebat itukah jurus sinar hijauku itu" Rasa-rasanya tak akan sampai membuat
bangunan menjadi hancur
selembut debu"! Gila! Bumbung tuak bocah itu benar-
benar berbahaya!" Malaikat Miskin membatin.
Terdengar pula suara Suto Sinting yang tak mau
melepaskan serangan balasan,
"Kuingatkan sekali lagi, Malaikat Miskin..., jangan mengumbar kemarahanmu kepada
kami! Kami bukan
pelaku penghancuran ini!"
"Aku tak percaya!" geram Malaikat Miskin. Tiba-tiba tangan kirinya menyentak ke
depan. Claaap...! Sinar
merah lurus melesat ke arah dada Suto Sinting. Dengan cepat pula jurus 'Tangan
Guntur' digunakan oleh Suto Sinting. Sinar biru melesat dari tangan Suto dan
bertemu di pertengahan jarak dengan sinar merahnya Malaikat
Miskin. Sinar-sinar itu tidak meledak tapi saling dorong bagai ingin mendesak ke
arah lawan masing-masing.
Pertemuan sinar itu memancarkan sinar lebar
memercik-mercik. Kadang bergerak mendekati Suto,
kadang bergerak mendekati Malaikat Miskin. Rupanya
kedua tokoh itu saling adu kekuatan tenaga dalam,
sehingga keduanya sama-sama gemetar, sekujur tubuh
mereka bergetar dan urat-urat di leher dan tangan saling bertonjolan keluar,
bagai ingin merobek kulit tubuh
mereka. Malaikat Miskin langsung bercucuran keringat bagai habis mandi, tapi
Suto Sinting hanya berkeringat tipis di keningnya.
Tiba-tiba Malaikat Miskin angkat tongkatnya dan dari salah satu ranting di atas
tongkat itu memancarkan sinar
hijau lagi. Slaaap...! Tapi gerakan Suto Sinting masih mampu melebihi kecepatan
sinar tersebut. Bumbung
tuaknya diarahkan ke depan dan sinar itu menghantam
bumbung tuak, memantul balik dan membuat pusat
perhatian Malaikat Miskin menjadi guncang. Zlaaap...!
Malaikat Miskin terpaksa harus hindari sinar hijau
yang mengarah ke dadanya. Sinar yang membias dari
bumbung Suto itu dihindari dengan cara memiringkan
badan. Tapi akibat menghindari sinar hijau, adu
kekuatan dengan menggunakan sinar merahnya itu
menjadi lemah. Akibatnya sinar biru Suto mendesak
lebih kuat dan menghantam tubuh Malaikat Miskin.
Blaaarr...! Blegaaar...!
Sinar hijau menghantam pohon, tubuh Malaikat
Miskin terpental karena dihantam ledakan kuat dari sinar birunya Suto Sinting.
Dada tokoh tua itu menjadi hangus sampai pada kain bajunya yang tampak hitam
bagaikan habis dibakar api berdaya panas tinggi.
"Huuuhhg...!" Malaikat Miskin mengerang di tempatnya jatuh, ia tersandar pada
pohon dengan tongkatnya terlepas dari tangan kanan. Kedua tangan
memegangi dadanya sambil menggeliat-geliat bagaikan
terbakar dadanya.
"Maaf, kau memaksaku berbuat demikian, Malaikat Miskin!"
Tokoh tua itu diam saja. Ia segera ambil sikap
berlutut dan memejamkan mata. Sementara itu, Pendekar Mabuk agak terkejut
melihat Teratai Kipas terkapar di bawah pohon besar. Tubuhnya mulai mengepulkan
asap dan tak bergerak. Dengan cepat dihampirinya tubuh
gadis itu. Wajah pucat kebiru-biruan terlihat jelas di permukaan raut muka
Teratai Kipas. "Celaka! Hampir saja aku terlambat!" gumam Suto dengan cemas, lalu ia berusaha
meminumkan tuaknya ke mulut Teratai Kipas yang berbibir ranum menggemaskan itu.
Di seberang sana, Malaikat Miskin menggerakkan
kedua tangannya pelan-pelan dari dada menuju ke
tenggorokan, dan akhirnya ia memuntahkan darah kental warna hitam. Rupanya
gerakan tangan itu adalah tenaga pembersih luka yang ada di dalam dadanya. Luka
itu terbuang melalui mulut dan dalam bentuk cairan hitam kemerah-merahan, ia
menyalurkan hawa murninya
beberapa saat dan hal itu sengaja dibiarkan oleh Suto Sinting. Kalau saja Suto
Sinting mau melepaskan
pukulan lagi ke arah Malaikat Miskin, pasti tokoh tua itu akan hancur atau
tumbang tak bernyawa lagi. Serangan itu akan kena sasaran tanpa meleset. Tapi
toh hal itu tidak mau dilakukan oleh Pendekar Mabuk, karena ia
tidak harapkan Malaikat Miskin mati di tangannya, ia cenderung mengharapkan
kesadaran Maiaikat Miskin
tentang salah pahamnya itu.
Setelah beberapa saat kemudian, Teratai Kipas sudah
pulih kesehatannya, Malaikat Miskin mampu berdiri
tegak lagi, Suto Sinting segera berkata kepada Malaikat Miskin dengan nada
tegasnya, "Percuma saja kau melawanku, karena bukan aku
yang bersalah. Seandainya aku mati di tanganmu, kau
pun kelak akan menyesal jika mengetahui siapa yang
menghancurkan perguruanmu ini, Malaikat Miskin!
Kuingatkan sekali lagi, jangan memusuhi aku dan
Teratai Kipas. Jika kau ingin membalas dendam, bukan kepada kami."
"Lalu kepada siapa"!" gertak Malaikat Miskin masih menampakkan keberangannya.
Matanya masih memandang dengan tajam dan ganas.
"Kami tidak tahu secara pasti siapa pelakunya," kata Suto Sinting. "Tapi cobalah
kau bicara dengan Durjana Belang!"
"Si Maling Sakti..."!"
"Benar. Sebab kami melihat beberapa korban yang berubah menjadi menusia
bayangan, bahkan ada yang
tinggal suaranya saja yang bisa kami dengar, sedangkan sosok tubuhnya lenyap tak
terlihat."
"Itu pasti karena Pisau Tanduk Hantu!" sergah Malaikat Miskin dengan tegang, ia
mulai tampak lebih gusar lagi. "Apakah pisau pusaka itu ada di tangannya dan
dipergunakan olehnya untuk melawan seseorang?"
"Aku tak melihat dengan mata kepala sendiri. Tapi ada korban dan saksi mata yang
memberikan keterangan kepadaku, bahwa Durjana Belang memegang Pisau
Tanduk Hantu!"
"Keparat, bocah itu!" kegeraman Malaikat Miskin membuat tangannya menggenggam
kencang, hingga tak
sadar tongkatnya menjadi sedikit retak karena tergencet genggamannya yang
beraliran tenaga dalam itu.
Kreek...! Kejap berikutnya, suara Malaikat Miskin terdengar
lagi, "Jadi menurutmu si Maling Sakti itu yang
menghancurkan perguruanku?"
"Aku tidak berkata begitu," jawab Suto Sinting.
"Karena aku tidak melihat sendiri saat perguruanmu dihancurkan oleh seseorang.
Tetapi perlu kau ketahui, bahwa Maling Sakti menyimpan dendam kepadamu
karena menyangka kaulah yang membuat Roh Seribu
Dewa dan si Kumis Tengkorak, temannya itu, menjadi
manusia bayangan karena tergores pisau pusaka itu.
Pada saat kami menggeledahnya, kami tidak
menemukan pisau itu pada tubuhnya. Kami sendiri
masih bingung, benarkah Maling Sakti yang
menggenggam pisau pusakamu itu, atau ada Maling
Sakti kembar yang lainnya?"
"Pantas kalau dia mendendam kepadaku, karena dulu dia pernah kutolak ketika
melamar menjadi muridku.
Tampangnya yang memang tampang maling itu
mengkhawatirkan diriku, maka aku tak mau
menerimanya sebagai murid. Beberapa waktu kemudian
kudengar ia menjadi muridnya Cukak Tumbila sampai
sekarang!" kata Malaikat Miskin dengan wajah masih tampak menahan amarah.
"Satu hal yang ingin kutanyakan padamu, Malaikat Miskin. Apakah Pisau Tanduk
Hantu bisa disembunyikan dengan cara lain yang membuat pusaka
itu tidak bisa terjamah dan tidak bisa terlihat oleh orang lain?"
Malaikat Miskin diam sebentar, berpikir beberapa
saat, setelah itu baru menjawab dengan nada tegasnya.
"Tidak bisa! Pisau itu tidak bisa disembunyikan dengan cara gaib!"
Teratai Kipas bicara pada Suto Sinting dengan suara agak pelan,
"Berarti pisau itu telah dijual kepada pemesannya sebelum ia bertemu kitai"
"Kepada siapa dia menjualnya"!" sergah Malaikat Miskin yang mendengar kata-kata
Teratai Kipas, ia maju hingga jaraknya menjadi empat langkah di depan
Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas.
"Kami hanya mempunyai dugaan saja," kata Suto Sinting. "Tapi kami belum dapat
keterangan, kepada siapa ia menjual pisau itu kalau memang benar dia itulah
pencuri Pisau Tanduk Hantu!"
"Ggrrrmm...!" Malaikat Miskin menggeram bagai singa buas. "Aku harus segera
melabraknya! Akan kutuntut Cukak Tumbila atas perbuatan muridnya ini!"
Blaasss...! "Malaikat Miskin!" seru Suto mengejar, "Buktikan dulu apakah benar si Maling
Sakti yang terlibat masalah ini atau bukan dia"!"
Tapi Malaikat Miskin sudah menghilang. Seandainya
ia mendengar seruan itu, ia tak punya waktu untuk
menjawabnya. Dendam dan kemarahan telah
menggumpal di dada. Hasrat untuk membalas orang
yang mengacak-acak Bukit Kopong semakin membakar
jiwa. Suto Sinting dan Teratai Kipas hanya bisa tertegun beberapa helaan napas.
Tak lama kemudian, Pendekar Mabuk menenggak
tuaknya dan setelah itu berkata kepada Teratai Kipas.
"Kita ikuti saja gerakan Malaikat Miskin. Kita ingin tahu apa yang terjadi di
Bukit Kopong! Setidaknya jika si Maling Sakti benar-benar tidak bersalah, kita
bisa selamatkan dia dengan membawanya lari dan
menyembunyikannya, biar ia tidak menjadi korban salah sasaran dalam perkara
ini!" "Yang lebih penting adalah mencari tahu siapa
sekarang pemegang Pisau Tanduk Hantu itu!" kata Teratai Kipas dengan tegas, dan
membuat Suto Sinting hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala, menyetujui
gagasan tersebut.
* * * 6 TANGAN Teratai Kipas segera ditarik oleh Suto
Sinting. Tubuh gadis itu hampir jatuh kalau tidak segera dipeluk sang pendekar
tampan. Mereka terbenam di
semak-semak. Teratai Kipas berdebar-debar dan
membatin, "Oh, indahnya. Mengapa baru sekarang ia berbuat begini padaku" Padahal
sudah cukup banyak
semak-semak yang kami lewati. Seandainya di setiap
semak-semak dia berbuat begini padaku, alangkah
indahnya perjalanan hidup bersamanya."
Teratai Kipas mulai pasrah, ia memejamkan mata,
menunggu serangan mesra berikutnya. Tapi sampai lama
menunggu tak ada serangan mesra selanjutnya. Teratai Kipas yang sudah pejamkan
mata itu segera melek
kembali dan berbisik dengan bibir merekah dan suara
mendesah, "Mengapa tak kau lanjutkan?"
"Apanya?" bisik Suto Sinting. "Aku menarikmu ke semak bukan untuk berbuat yang
tidak-tidak, tapi
membawamu sembunyi secepat mungkin."
"O, jadi... jadi kau mengajakku bersembunyi?"
"Benar. Kita mengintip dua orang yang ada di balik gugusan batu cadas itu!"
Seketika itu merah pula wajah Teratai Kipas menahan
rasa malu bercampur kecewa. Hatinya membatin penuh
gerutu, "Sial! Kalau tahu diajak sembunyi kenapa harus berdebar-debar penuh
harap" Uuh...! Dasar pemuda
sinting. Sayang saja dia tampan, kalau tak tampan malas aku menemaninya. Bikin
hatiku malu sendiri jika
begini!" Apa yang dimaksud Suto Sinting ternyata adalah
sepasang manusia berlainan jenis yang sedang
berpelukan di balik gugusan batu cadas. Rupanya
pasangan yang sedang berkasih-kasihan itulah yang
membuat Suto Sinting hentikan langkahnya dalam
perjalanan mencari sang pencuri Pisau Tanduk Hantu.
Teratai Kipas terbelalak kaget melihat pasangan yang sedang saling berpelukan,
saling bercanda penuh tawa mengikik dan berbisik. Bukan adegan itu yang membuat
Teratai Kipas terkejut dan terheran-heran, melainkan karena ia mengenali siapa
pasangan yang berpelukan
mesra di balik batuan cadas tersebut. Mulut Teratai
Kipas menyebutkan nama mereka dengan lirih dan
bernada desah keheranan.
"Menak Goyang..." Oh, dia... dia bercinta dengan si Maling Sakti"!"
"Titik terang mulai tampak nyata di depan kita, Teratai Kipas. Kita dengarkan
saja percakapan mereka."
"Tapi... tapi kalau mereka berbuat yang bikin hati syur bagaimana?"
"Pejamkan matamu agar tak terbawa khayalannya,"
bisik Suto Sinting dengan senyum tipis mekar di
bibirnya. Teratai Kipas bersungut-sungut tak jelas maksudnya.
Tapi perhatian Suto Sinting sudah telanjur terlempar ke arah Menak Goyang yang
sedang dirangkul Maling
Sakti. Menak Goyang yang cantik itu seakan pasrah-
pasrah saja ketika dikecup lehernya oleh si Maling Sakti.
Bahkan ia mendongak bagaikan memberi tempat agar
bibir si Maling Sakti kian bebas menikmati kemulusan lehernya. Tawa mengikik dan
tubuh menggelinjang
kegelian membuat si Maling Sakti kian nakal. Hasrat kejantanannya ditampakkan
dalam bentuk 'Kerajinan
tangan' yang cekatan serta penuh semangat juang.
"Sial! Kenapa kita harus mengintip yang beginian?"
gerutu Teratai Kipas yang wajahnya sangat dekat dengan wajah Pendekar Mabuk,
sampai-sampai hembusan napas
dari hidung Suto terasa menghangat di pipi kirinya.
Teratai Kipas tundukkan kepala, tak berani melihat
adegan panas yang dapat membangkitkan semangat
kemesraannya, ia takut batinnya menuntut kepada Suto dan Suto tidak mau menuruti
tuntutan itu. Tapi agaknya Menak Goyang dan Maling Sakti
sengaja membiarkan hasrat mereka saling menuntut
keindahan yang lebih dalam. Menak Goyang tak segan-
segan memberikan apa yang diharapkan Maling Sakti.
Gadis itu tiada hentinya bergoyang mengikuti
kebiasaannya yang membuatnya dijuluki Menak
Goyang. Tak ada waktu untuk diam bagi Menak
Goyang, apalagi dalam keadaan sedang bercumbu
mesra, sampai-sampai Suto Sinting berkata lirih dalam candanya yang membisik di
telinga Teratai Kipas,
Pendekar Mabuk 039 Pisau Tanduk Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Goyang terus sampai pagiii...!"
"Ssst...!" Teratai Kipas menempelkan telunjuknya di bibir Suto Sinting.
Keduanya sama-sama duduk di rerumputan bawah
pohon besar, memunggungi adegan panas yang sedang
berlangsung di balik gugusan batu cadas itu. Ilalang memagari pohon itu,
sehingga keadaan mereka sangat
rapi dan aman dari jangkauan mata sepasang orang yang sedang berkencan tersebut.
Suto Sinting sengaja
mengajak bicara Teratai Kipas dengan suara pelan untuk mengalihkan khayalan yang
masuk ke otak mereka
karena mendengar suara rintihan dan erangan si Menak Goyang.
"Aku tidak menyangka sama sekali."
"Aku juga seperti mimpi melihat mereka di sini," ujar Teratai Kipas. "Aku jadi
curiga terhadap Menak
Goyang. Kurasa ada hubungannya dengan Pisau Tanduk
Hantu." "Maksudmu, dia bekerja sama dengan Maling Sakti dalam masalah pencurian pisau
tersebut?"
"Benar! Pasti dia yang membantu Maling Sakti
masuk ke benteng perguruannya. Sedikitnya dialah yang memberikan keterangan dan
petunjuk tentang bagai
mana caranya mencuri Pisau Tanduk Hantu."
"Masuk akal. Tapi atas dasar apa dia berbuat begitu?"
"Mungkin secara diam-diam dia sudah lama jatuh
cinta kepada Maling Sakti?"
"Ya, ya... itu pun masuk akal. Jika memang begitu, berarti sikapnya yang keras
hati menuduhku sebagal
pencuri Pisau Tanduk Hantu itu adalah untuk
mengalihkan perhatian Malaikat Miskin, supaya tidak
menuduh dan menaruh curiga kepada Maling Sakti. Aku
hanya dijadikan kambing hitam dalam hal ini!"
"Tapi ketika Malaikat Miskin menemui kita bersama Menak Goyang, bukankah
Malaikat Miskin menjadi
berbalik menuduh orang-orang Bukit Kopong sebagai
pencurinya" Pikiran itu timbul karena mendapat laporan dari Menak Goyang dan
Menak Goyang mempunyai
gagasan itu dari kata-katamu dulu?"
"Benar. Tapi tentunya Menak Goyang tidak
menyebutkan nama Maling Sakti sebagai tertuduh
utama. Seandainya disebutkan hanya berupa
kemungkinan-kemungkinan yang belum pasti. Jadi
dengan begitu Menak Goyang tampak bersungguh-
sungguh dalam memihak Malaikat Miskin. Tentu saja
hal itu sudah diperhitungkan, seandainya Maling Sakti
menjadi tertuduh utama maka Maling Sakti dan Menak
Goyang akan melawan Malaikat Miskin secara bersama-
sama dengan menggunakan Pisau Tanduk Hantu itu!"
"Licik sekali mereka itu?"
"Cinta jika sudah menggila, membuat orang menjadi licik dan banyak akal."
"Ah, bodoh amat si Menak Goyang itu. Mengapa
jatuh cintanya sama Maling Sakti" Apa yang diharapkan dari Maling Sakti itu"
Rupa tak punya, kegagahan tak ada, kesaktian pun begitu-begitu saja. Kekayaan
sama sekali tak ada!"
"Siapa yang bisa menyelam di hati manusia" Tak ada yang bisa kecuali orang itu
sendiri. Tak ada yang tahu mengapa Menak Goyang mau jatuh cinta kepada Maling
Sakti. Hanya Menak Goyang sendiri yang punya alasan
kuat untuk langkahnya itu."
Percakapan mereka semakin panjang mengupas
hubungan Menak Goyang dengan si Maling Sakti.
Dengan memperpanjang percakapan berkasak-kusuk itu
suara-suara kemesraan di balik batuan cadas tidak
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 1 Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Bukit Pemakan Manusia 22
menggeram marah,
"Setan mana tadi yang lewat di depan kita itu, Kumis Tengkorak" Kurang ajar! Apa
maksudnya menghentikan
gerakan kita"!"
Kumis Tengkorak hanya menjawab, "Entah!" tapi matanya tertuju pada Suto Sinting
yang tadi sempat
melompat mundur sekitar dua tindak. Tanpa menunggu
kata-kata lainnya, Kumis Tengkorak melompat kembali menerjang Suto Sinting.
"Hiaaat...!"
Suto Sinting lompat ke depan juga sambil kibaskan
bumbung tuaknya ke arah badan Kumis Tengkorak.
Wuuut...! Wuuusss...! Bumbung bambu itu terlihat jelas-jelas menghantam pinggang
Kumis Tengkorak. Tapi
bumbung bambu itu bagaikan menghantam bayangan.
Bahkan tubuh itu masih bisa bergerak menerjang
Pendekar Mabuk. Blaaass...!
"Lho..."!" terdengar suara kaget Kumis Tengkorak setelah berhasil berdiri di
belakang Suto Sinting. Semua menjadi heran dan tegang, termasuk Suto sendiri.
"Kumis Tengkorak"!" seru Roh Seribu Dewa. "Kau bisa menembus raga si bocah
kampungan itu"! Hebat...!
Hebat sekali kau! Ha, ha, ha, ha...!"
"Hebat gundulmu!" sentak Kumis Tengkorak.
Pendekar Mabuk, Teratai Kipas, dan Jelita Bule
segera mundur jauhi mereka berdua. Roh Seribu Dewa
dihampiri oleh si Kumis Tengkorak dan terdengar pula ia berkata,
"Bukan aku yang sakti, tapi bocah kampungan itu yang sakti. Raganya tak bisa
disentuh!"
"O, kukira kau yang menjadi sakti"! Ha, ha, ha, ha...!
Minggir, biar kuhadapi sendiri si bocah kampungan yang mata keranjang itu!"
Sambil berkata demikian, tangan Roh Seribu Dewa
menepiskan tubuh Kumis Tengkorak. Wuuusss...!
Tangan itu bagaikan menepis bayangan. Tubuh si Kumis Tengkorak tak tersentuh
oleh Roh Seribu Dewa. Tangan tersebut nyeplos dari lengan si Kumis Tengkorak
sampai ke dada dan keluar lagi.
Langkah kaki Roh Seribu Dewa terhenti, ia pandangi
temannya yang kurus kering bermata cekung itu.
"Kau..."!" katanya dalam nada heran. "Kau yang sakti. Buktinya aku tak bisa
menyentuh tubuhmu, Kumis Tengkorak!"
"Jangan ngomong sembaranganl Aku belum sesakti
itu!" sentak Kumis Tengkorak.
Ia mencoba menampar wajah Roh Seribu Dewa.
Wuuut..., plooos...! Tamparan itu tidak mengenai
sasaran, melainkan berkelebat tembus melintasi
pertengahan wajah Roh Seribu Dewa. Keduanya sama-
sama kaget. "Ternyata kau yang sakti, Roh Seribu Dewa! Aku tak bisa menamparmu! Lihat!"
Plos... wuuus... plos...!
Kumis Tengkorak menampar wajah Roh Seribu
Dewa, tapi selalu nyeplos seperti memukul asap. Roh Seribu Dewa terperangah
dalam wajah bangga, lalu ia
tertawa terbahak-bahak.
"Huah, ha, ha, ha, ha...! Ternyata kita berdua menjadi sakti, tak bisa disentuh
siapa pun! Hua, hah, hah, hah, haaa...!"
Plos, plos, plos, plos...!
Roh Seribu Dewa menendang dan memukul teman
sendiri berulang kali untuk membuktikan dugaannya.
Ternyata ia seperti memukul dan menendang asap.
"Lihat... buktinya kau pun tak bisa kupukul, Kumis Tengkorak! Dan lihat betapa
saktinya kita...."
Roh Seribu Dewa berlari menembus pohon. Blees...!
Plaaas...! Ploos...!
Setiap pohon diterjangnya, dan tubuh Roh Seribu
Dewa dapat menembusnya dengan mudah bagaikan
gumpalan asap menerjang pepohonan, ia tertawa
terbahak-bahak sambil lari sana-sini sengaja menabrak pohon atau gugusan batu.
"Huah, hah, ha, ha, ha, ha...! Kita menjadi sakti, Kumis Tengkorak! Lihat...
lihat aku bisa menembus
pohon! Tak ada getarannya sedikit pun. Lihat
kesaktianku ini, sama dengan kau juga. Kalau tak
percaya cobalah sendiri!"
Kumis Tengkorak penasaran. Tak peduli jadi
tontonan tiga lawannya, ia berlari menembus pohon.
Mulanya agak ragu. Kepalanya dulu yang dibenturkan
ke pohon. Busss...! Kepala itu nongol di balik pohon sementara badannya masih
ada di depan pohon.
"He, he, he..., iya! Bisa begini"!"
Akhirnya Kumis Tengkorak
tak segan-segan
menembus pohon. Mereka berdua berlari-lari menerjang pepohonan dengan bangga dan
gembira sekali.
Blas, blus... blas, blus... blas, blus...!
"Hiiaah, hiaah, hiaaahhh...! Kita bisa menembus pohon," Kumis Tengkorak
jejingkrakan seperti anak kemarin sore. Mereka berdua bersuka ria dengan
gembira, seakan memamerkan kesaktiannya yang baru di depan Suto Sinting.
Terdengar suara Teratai Kipas berkata lirih, hanya
Suto dan Jelita Bule yang mendengarnya,
"Manusia goblok! Dirinya sudah menjadi bayangan kok bangga" Disangkanya sakti"!
Hmm...!" "Menurutmu," kata Jelita Bule, "Orang yang berkelebat tadi adalah si Maling
Sakti dengan pisaunya?"
"Benar," kata Teratai Kipas. "Pasti mereka telah tergores pisau si Maling Sakti.
Lihat saja luka goresan di dada dan perut mereka itu!"
Suto Sinting tersenyum geli melihat Roh Seribu
Dewa dan Kumis Tengkorak jejingkrakan lari sana-sini bahkan saling berbenturan
tapi selalu lolos bagai dua asap beradu. Wuuus...! Dan mereka justru tertawa
terbahak-bahak. Tawa dan kegembiraan mereka itulah
yang membuat Suto Sinting menjadi geli melihatnya.
"Hei, Bocah Kampungan!" seru Roh Seribu Dewa,
"Sekarang saatnya kita bertarung untuk menentukan mana yang boleh tetap hidup
dan mana yang harus mati lebih dulu!"
Pendekar Mabuk lebarkan senyumnya, ia maju tiga
langkah, sementara Teratai Kipas dan Jelita Bule tetap di tempat.
"Perlu kau ketahui, Roh Seribu Dewa," kata Suto Sinting, "Kalian bukan menjadi
sakti, tapi justru kebalikannya! Kalian akan menderita dan sedih, karena
sebentar lagi kalian tidak akan bisa dilihat siapa-siapa!"
"Itulah kehebatan kami!" teriak Roh Seribu Dewa dengan bangga.
Kumis Tengkorak yang ada di samping kanan Roh
Seribu Dewa segera berkata,
"Kalau kau mulai takut, segeralah menyingkir dari hadapan kami, Bocah ingusan!
Biar kami akan paksa
Teratai Kipas untuk buka mulut!"
"Menyedihkan sekali!" kata Pendekar Mabuk.
"Kalian berdua sebenarnya sudah mati karena tergores pisau orang yang berkelebat
di depan kalian tadi!"
"Gundulmu iyu yang mati!" umpat Kumis Tengkorak sambil mengusap-usap kumisnya
dengan bangga. "Ambillah batu dan lemparkan padaku. Kalau kalian
bisa mengambil batu, aku akan berguru kepada kalian!"
kata Suto Sinting.
"Kurang ajar! Berani betul kau merendahkan ilmu orang sakti seperti kami ini,
hah"! Akan kubuktikan...!"
seru Roh Seribu Dewa. Lalu, ia mengambil batu yang
tergeletak tidak jauh darinya. Wuuut... ploos...! Ploos...!
Roh Seribu Dewa diam dalam
keheranan memandangi batu itu. Kumis Tengkorak pun
memandang dari tempatnya dengan dahi berkerut.
Tangan Roh Seribu Dewa mendekati batu itu pelan-
pelan bagai ingin menangkap kupu-kupu atau seekor
capung. Lalu tangan itu bergerak cepat menyambar batu segenggam. Wuut...!
Ploos...! Tangan menggenggam tapi batu masih
tertinggal di tempatnya.
Temannya berseru, "Goblok! Ambil batu saja tak becus!" Ia bergegas mendekat dan
memungut batu itu.
Bluus...! Sekali lagi ia menyambar batu itu.
Ploos...! "Kok tidak bisa"!" si Kumis Tengkorak mulai heran dan curiga, ia bicara pada Roh
Seribu Dewa, "Kita tak bisa menyentuh apa-apa"!"
"Entahlah. Sebenarnya kita ini sama-sama sakti atau sama-sama goblok"!"
Lalu, Suto Sinting berkata, "Percayalah padaku, kalian sebentar lagi akan
menjadi manusia tanpa raga!
Kalian telah terkena kekuatan sakti dari Pisau Tanduk Hantu yang dimiliki oleh
Durjana Belang alias si Maling Sakti itu!"
Roh Seribu Dewa menjadi gusar. "Tidak mungkin!
Pisau Tanduk Hantu dimiliki oleh Malaikat Miskin
dan...." "Dan dicuri oleh teman kalian yang bernama si Maling Sakti!" sahut Teratai Kipas
sambil mendekati Suto. Jelita Bule ikut mendekat pula.
"Dalam tujuh hari kalian akan tinggal bayangan dan suara saja!" sambung Jelita
Bule menimpali ucapan Suto dan Teratai Kipas.
Roh Seribu Dewa saling pandang dengan Kumis
Tengkorak. "Benarkah Durjana Belang sudah berhasil mencuri pisau Tanduk Hantu dari tangan
si Malaikat Miskin"!"
Kumis Tengkorak berkata, "Mungkin saja, karena
kudengar ada tokoh lain yang berani membayar Pisau
Tanduk Hantu dengan harga mahal sekali!"
"Tap... tapi... tapi kenapa dia melukai kita" Kita kan teman?" Roh Seribu Dewa
mulai tampak sedih.
"Entahlah," si Kumis Tengkorak tundukkan kepala dengan sedih pula. "Mungkin
Durjana Belang tak suka pada kita yang selalu dipuji oleh sang Ketua!" sambil
berkata begitu, tangannya mencoba memegang ranting-ranting semak, ternyata
ranting itu tak tersentuh sedikit pun.
"Tak mungkin. Durjana Belang tak mungkin berhasil mencuri pisau itu. Kalau toh
memang benar dia telah
berhasil mencuri pisau itu, pasti dia tak akan melukai kita. Selama ini hubungan
kita dengannya baik-baik saja, Kumis Tengkorak...! Kita tak pernah nakal
padanya," suara Roh Seribu Dewa semakin parau bagai orang mau
menangis. "Mungkin...," Kumis Tengkorak semakin sedih.
"Mungkin dia ingin menumpas habis kita, dan... dan ingin merebut kekuasaan untuk
menggantikan kedudukan Cukak Tumbila sebagai penguasa Bukit
Kopong!" "Kalau begitu... kita harus cepat-cepat menghadap sang Ketua!"
"Baik. Kita adukan tindakan Maling Sakti yang
membuat kita begini!"
Blaass...! Kedua orang itu pergi tanpa pamit,
menembus pohon, menembus semak, menembus apa
saja yang dilintasinya. Sementara itu, Suto Sinting dan kedua gadis cantik itu
memandang dengan tertegun
sesaat, lalu Teratai Kipas berkata, "Benarkah Maling Sakti bernafsu ingin
menggantikan kedudukan Cukak
Tumbila sebagai penguasa Bukit Kopong"!"
"Entahlah. Kita kejar saja dia!" ujar Suto sambil bergegas pergi.
* * * 4 MENJELANG senja, lereng bertanah datar menjadi
tempat pertemuan yang menegangkan. Di situ ada
gugusan bukit cadas yang tak seberapa tinggi. Mudah
dicapai dengan kekuatan tenaga peringan tubuh. Dinding
bukit cadas kecil itu berbentuk datar, dalam arti tegak lurus. Bagian atas bukit
kecil itu juga datar, tanpa pepohonan kecuali semak pendek dan bebatuan.
Dari atas bukit kecil itulah Pendekar Mabuk
melompat turun dan bersalto dua kali, sementara Teratai Kipas dan Jelita Bule
tetap ada di atas. Suto Sinting mendaratkan kakinya tanpa bunyi karena mampu
mengendalikan ilmu peringan tubuh yang digabungkan
dengan jurus 'Layang Raga'.
Kemunculan Pendekar Mabuk yang menyerupai
dewa turun dari langit itu mengejutkan langkah kaki
seseorang. Langkah itu terhenti seketika dalam jarak tujuh tindak di depannya
sang pendekar tampan, murid sinting si Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu.
"Eeh... kamu?" ujar orang itu sambil nyengir.
Wajahnya lucu-lucu konyol. Enak ditampar. Lagaknya
bagai orang tak berdosa apa pun. Barangkali itulah salah satu kemahiran si
Maling Sakti, mampu menipu lawan
dengan lagaknya yang seperti orang polos tanpa bersalah sedikit pun.
Tetapi sang pendekar tampan tetap waspada dan
pandangi Maling Sakti dengan mata tak berkedip walau di bibirnya tersungging
senyum tipis, ia melangkah
tenang dekati Maling Sakti. Empat langkah kemudian
berhenti. "Hebat. Kau sekarang menjadi orang hebat, Maling Sakti!"
"Ah, jangan begitu," Maling Sakti bersungut-sungut malu bagai merendahkan diri.
"Soal hebat itu kan sudah
lama, masa' baru kau tegur sekarang" Aku jadi malu
sendiri." "Mestinya kehebatanmu itu kau pergunakan untuk
kebajikan, Maling Sakti."
"O, tentu! Tentu begitu, Suto Sinting!"
"Tapi tindakanmu belakangan ini konon lebih liar lagi dari sebelumnya. Mengapa
kau bertindak lebih liar
lagi?" "Baru saja mau pulang ke tempat tinggalku. Kalau kau mau ikut singgah, aku tak
keberatan kau singgah di tempat tinggalku."
"Hei, yang kutanyakan, mengapa kau bertindak lebih liar"!" tegas Suto.
"O, kau tanya begitu" Kudengar kau tanya dari mana aku sejak kemarin" Hmm... ah,
kau mungkin salah
tanya. Mengapa kau menganggap aku bertindak liar,
Suto Sinting?"
"Karena kau telah melukai beberapa orang dengan pusaka curianmu itu!"
"Pusaka" Pusaka apa"!" Maling Sakti berwajah bingung, dahinya berkerut, matanya
menatap tajam. Suto Sinting melirik ke arah atas bukit cadas itu. Maling Sakti
ikut-ikutan memandang ke atas, menatap Jelita Bule dan Teratai Kipas. Lalu ia
nyengir sendiri dan berkata,
"Rupanya kau semakin lengket dengan gadis mantan murid Ki Selo Gantung itu,
Suto. Hmm... boleh juga!"
Maling Sakti manggut-manggut. "Tapi menurutku lebih cantik yang berkulit putih
dan berambut emas itu. Siapa dia, Suto"!"
"Apakah kau belum mengenal gadis itu?"
"O, menilai kecantikan itu merupakan keahlianku, Suto!"
"Yang kutanyakan, apakah kau tidak mengenal gadis itu"!" Suto agak keras lagi
dalam bicaranya, sedikit bernada jengkel.
"Ooo... begitu" Ah, mana aku kenal dia" Bertemu pun baru sekarang!"
"Kau bohong, Maling Sakti!"
"Ya, ampuuun...! Berani sumpah disambar tumpeng, aku belum pernah bertemu dengan
Pendekar Mabuk 039 Pisau Tanduk Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gadis itu sebelum ini!
Eh, ngomong-ngomong dia memakai pakaian atau tidak,
Suto" Kok kelihatannya... anu sekali"! Hi, hi, hi, hi...!"
Maling Sakti cengengesan.
Dari atas sana, percakapan itu terdengar oleh kedua wanita tersebut. Maka
Teratai Kipas memberi isyarat
kepada Jelita Bule agar turun bersama. Anggukan kepala Teratai Kipas membuat
Jelita Bule segera melompat
turun bagai seekor burung kehilangan bulunya.
Wuuus...! Mata Maling Sakti terbelalak nakal. "Wow...!"
ucapnya sambil tarik napas memandangi keadaan Jelita Bule yang berpakaian sangat
tipis itu. Kedua wanita tersebut ada di sebelah kanan Suto Sinting dalam jarak
empat langkah. Jelita Bule langsung menyapa si Maling Sakti,
"Kau jangan berlagak tak mengenaliku, Monyet
Miskin! Kau telah bertarung denganku dan dengan
temanku. Kau bermaksud mau memperkosa kami
sekaligus! Kau telah melukai temanku dengan pisau
pusakamu!"
"Hei, hei..."!" Maling Sakti kian bingung mirip pria linglung. "Kau bicara soal
apa sebenarnya" Aku tidak penah bertarung denganmu dan tidak pernah bermaksud
memperkosamu. Aku tidak punya pisau pusaka.
Senjataku hanya golok, tapi itu pun sudah pecah ketika beradu dengan bumbung
tuaknya Suto! Jangan
mengada-ada, Nona aduhai!"
Pendekar Mabuk mengernyitkan alis, mengecilkan
matanya. Dipandangi tubuh Maling Sakti secara diam-
diam. Tak terlihat ada pisau di pinggangnya. Sementara itu Teratai Kipas berkata
dalam nada pelan kepada Jelita Bule.
"Apa kau tak salah lihat" Sudah yakin bahwa dia orangnya?"
"Ya. Dia orangnya! Dia yang mempunyai Pisau
Tanduk Hantu itu!" jawab Jelita Bule dengan suara keras dan tegas.
"Maling Sakti," kata Suto Sinting, "Serahkan pisau itu, karena pusaka tersebut
bukan milikmu!"
"Aku tidak memiliki pisau itu, Suto!" Maling Sakti bernada jengkel.
"Omong kosong!" bentak Jelita Bule. "Pasti kau sembunyikan di balik bajumu itu!
Mengaku sajalah
kau!" "Belum. Belum pernah melihatnya," kata Maling Sakti salah dengar.
"Dia bilang; mengaku sajalah kau!" bentak Suto
memperjelas. "O, dia minta aku mengaku" Baik...! Nih, aku
mengaku!" tubuh Maling Sakti dikeraskan. Dari kaki sampai kepala kaku semua.
Jelita Bule merasa dipermainkan. Maka dihampirinya
Maling Sakti dan ditampar pipi orang itu dengan keras.
Plaaak...! "Auh...!" Maling Sakti terpelanting memutar dua kali.
Ia meringis sambil mengusap-usap pipinya. "Katanya suruh mengaku! Begitu tubuhku
sudah kubuat kaku,
malah ditampar"! Bagaimana kau ini, Nona" Gilakah
kau sebenarnya"!"
Teratai Kipas ikut jengkel dan menjelaskan, "Jangan berlagak bodoh, Durjana
Belang! Yang dimaksud
mengaku itu berkata jujur! Bukan tubuhnya dibuat
menjadi kaku seperti kau tadi!"
"Tunggu dulu...," bisik Jelita Bule saat mereka berada di dekat Suto. "Dia bisa
kutampar. Padahal waktu bertarung denganku dan Pesona Indah, tubuhnya
bagaikan baja. Jangankan ditampar, ditendang saja tak bergeming sedikit pun.
Sekarang... lihat, pipinya
menjadi merah karena tamparanku"!"
"Coba lepaskan pukulan tenaga dalam yang tidak berbahaya!" bisik Teratai Kipas.
Maka dengan serta-merta Jelita Bule lepaskan pukulan tenaga dalam dari arah
samping ketika Suto mengajak bicara Maling Sakti.
Wuuut...! Sentakan tangan kiri Jelita Bule mempunyai hentakan tenaga dalam tanpa
sinar yang hanya akan
membuat orang terpukul dan tumbang. Beeeg...!
Wuuusss... brruk...!
Tubuh Maling Sakti terlempar empat tindak dari
tempatnya dan jatuh terjungkal dengan berteriak
kesakitan karena tulang sikunya membentur batu.
"Wadaaaow...! Kampret busuk!" Ia bergegas bangkit dan menjadi marah, tapi warna
merah di wajahnya yang kanan hanya samar-samar, berarti kemarahannya tak
seberapa tinggi.
"Perempuan kebo! Kalau berani jangan membokong!
Hadapi aku secara jantan!" umpat dan tantang si Maling Sakti. Tapi Jelita Bule
tidak layani tantangan itu. Ia bahkan berbisik kepada Suto dan Teratai Kipas.
"Waktu bertarung denganku, dia tak bisa dihantam seperti tadi. Bahkan kugunakan
jurus 'Kencana Lepas'
ku, tapi tak mampu menembus atau melukai kulit
tubuhnya. Sekarang kenapa dia bisa terjungkal hanya
dengan pukulan tenaga dalam seringan itu?"
"Akan kugeledah dia!" ujar Suto pelan, lalu tinggalkan dua gadis itu dan dekati
Maling Sakti. "Maling Sakti, jika kau benar tidak membawa Pisau Tanduk Hantu, maukah kau
kugeledah?"
"Untuk apa kau membedahku?"
"Kugeledah!" tegas Suto lagi.
"O, mau menggeledahku" Boleh saja! Boleh...!
Silakan!" Maling Sakti angkat kedua tangannya. Suto memeriksanya sampai kedua
kaki dirabanya.
"Kalau perlu periksa juga mulutku ini. Haaa..."!"
Maling Sakti buka mulutnya lebar-lebar. Suto Sinting mendengus dan berpaling
wajah. "Tak perlu. Aku belum terbiasa mencium bau pete!"
ujar Suto Sinting sambil mendengus lagi lewat
hidungnya, dan segera meninggalkan Maling Sakti.
"Bagaimana?" tanya Teratai Kipas.
"Tidak ada! Dia tidak menyelipkan pisau di mana-mana! Tak ada senjata apa pun
kecuali senjatanya
pribadi." "Ah, itu tak kubutuhkan!" kata Jelita Bule. "Tapi...
siapa tahu disimpan pada sekitar 'senjata pribadinya'
itu?" Teratai Kipas ingin tertawa geli, "Coba kau yang geledah di daerah sekitar itu,"
ucapnya kepada Jelita Bule.
"Ih, amit-amit! Kau saja yang periksa kalau kau mau!"
Suto Sinting berkata, "Sudah, sudah.... Sudah
kuperiksa di sekitar situ juga tidak ada. Jangan-jangan memang bukan dia?"
"Suto...," seru Maling Sakti. "Apakah kau sudah puas menggeledahku?"
Suto Sinting diam, tak bisa menjawab. Sebab hatinya
masih penasaran dan diiiputi keragu-raguan. Tapi
akhirnya ia berkata juga, "Dari mana kau tadi?"
"Memang aku jarang gosok gigi," jawab Maling Sakti salah dengar.
"Kutanya; dari mana kau tadi"l"
"O, dari... dari mencari dua temanku; Roh Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak.
Apakah kalian ada yang
melihatnya?"
Tiga orang itu saling pandang. Teratai Kipas yang
menjawab, "Ya, kami melihat mereka berdua. Tapi sekarang mereka sudah menjadi
bayangan, tak bisa
disentuh dan tak bisa menyentuh apa pun."
"Ah, kau bercanda saja! Yang kutanyakan, apakah kalian melihat mereka" Bukan
menanyakan tentang cita-cita kalian!"
"Aku sudah menjawab pertanyaanmu! Bukan bicara
soal cita-cita!" bentak Teratai Kipas, lalu Suto Sinting mengulangi jawaban
Teratai Kipas tadi. Dan si Maling Sakti tampak terbengong heran.
"Mereka menjadi bayangan"! Ah, mana mungkin"
ilmu mereka tak setinggi itu!"
"Karena seseorang telah menggoreskan Pisau Tanduk Hantu di tubuh mereka!" kata
Suto lebih memperjelas lagi.
"Siapa yang menggunakan pisau itu" Hmmm..., si
Malaikat Miskin maksudmu?"
"Kurasa bukan dia."
"Ah, pasti dia! Aku harus bikin perhitungan
dengannya sekarang juga!" Maling Sakti bergegas pergi.
"Hei, mau ke mana kau"!"
"Ke Perguruan Tongkat Sakti, bikin perhitungan
dengan si Maiaikat Miskin!"
"Kau tak akan bisa masuk ke pintu gerbangnya.
Penjagaannya sangat ketat!" seru Teratai Kipas. Dari kejauhan si Maling Sakti
berseru pula, "Tak ada yang tak bisa kutembus walau seketat apa pun penjagaan di sana! Kalau
kau tak percaya, kepala
nya Malaikat Miskin akan kubawakan untukmu!" sambil langkahnya makin cepat dan
akhirnya berlari
menyelusup di balik semak. Kepergian Maling Sakti
membuat Suto Sinting dan kedua wanita itu tertegun
beberapa saat. Masing-masing sibuk dengan kecamuk
batinnya. Tiba-tiba terdengar suara Jelita Bule berkata lirih bagai tertuju
untuk dirinya sendiri,
"Mungkinkah ada Maling Sakti kembar?"
Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas sama-sama
memandang Jelita Bule dengan cepat. Dahi mereka
masih berkerut. Jelita Bule tambahkan kata lagi,
"Sebab setahuku memang dialah orangnya. Tapi
mengapa dia bisa kupukul dan tidak membawa pisau
tersebut?"
"Penipuan...," ucap Teratai Kipas pelan dan datar, seperti orang bicara sambil
menerawang ke mana-mana.
"Penipuan bagaimana?" tanya Suto Sinting. Tapi Teratai Kipas tidak lanjutkan
kata. Ia hanya tarik napas dalam-dalam dan berkata kepada Suto Sinting,
"Keadaannya sudah seperti ini. Sekarang kita mau bagaimana menurutmu?"
Ganti si Pendekar Mabuk yang tarik napas, lalu
menjawab dengan ketegasan yang masih bernada
lembut, "Kurasa Jelita Bule pulang saja, sambil menjelaskan masalah ini kepada
Ratu Rangsang Madu."
"Tapi aku harus meminta kepastianmu bahwa kau
akan datang pada saat perkawinan Gusti Rangsang Madu nanti!"
"Kapan hal itu dilakukan?"
"Tepat malam purnama nanti. Tinggal beberapa hari lagi."
"Baik. Akan kuusahakan untuk datang. Tapi... siapa calon suaminya?"
"Calon suami Ratu Rangsang Madu tak lain adalah si tampan Pande Bungkus!"
"Hah..."!" Suto Sinting terkejut, matanya terbelalak.
"Pande Bungkus" Si bocah polos tanpa ilmu apa pun itu"!"
"Benar. Kepolosannya itu yang membuat Gusti
Ratuku terpikat olehnya!" kata Jelita Bule sambil tersenyum, lalu Suto Sinting
termenung dan akhirnya tertawa sendiri sambil geleng-gelengkan kepala.
Terbayang wajah Pande Bungkus yang tampan,
bertubuh kekar, berambut ikal selewat pundak diikat
dengan kain putih, tapi di balik sosok penampilannya yang menawan itu dia adalah
pemuda usia delapan belas tahun yang lugu, bahkan berkesan bodoh. Tak ada ilmu
apa pun pada diri Pande Bungkus kecuali ilmu
membidik sasaran dengan ketapelnya. Ketapel itu selalu menjadi kalung kebanggaan
dan ke mana pun ia pergi
selalu dibawanya. Pemuda desa yang dulu mempunyai
ibu seorang pedagang nasi bungkus itu dikenal Suto
Sinting pada saat terjadi banjir yang menerjang rumah pemuda tersebut. Pada
mulanya Pande Bungkus ingin
menjadi murid Pendekar Mabuk, sehingga dengan penuh
kesetiaan mendampingi Suto Sinting melakukan
perjalanan ke Pulau Selayang, menyembuhkan Ratu
Rangsang Madu. Tapi agaknya ia terjerat cinta di Pulau
Selayang dan memilih menjadi suami sang Ratu
ketimbang menjadi murid sang pendekar tampan, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Tabib Darah Tuak").
"Setiap manusia mempunyai keberuntungan sendiri-sendiri. Keberuntungan itu
sendiri tak bisa direncanakan sematang mungkin, karena keberuntungan itu datang
dari luar kemampuan daya pikir manusia," kata Suto Sinting menjelaskan kepada
Teratai Kipas tentang siapa Pande Bungkus dan siapa Ratu Rangsang Madu
sebenarnya. "Apakah keberuntunganku pun akan datang tak
disangka-sangka" Terutama soal jodohku nanti?"
pancing Teratai Kipas saat Jelita Bule sudah pergi sejak tadi. Dan Suto Sinting
memandangnya dalam senyuman
yang lembut menawan.
"Jodoh tidak bisa diatur sesuai dengan hasrat kita.
Jodoh sudah punya kodrat sendiri. Kita hanya bisa
menerka-nerka dan mencoba apakah seseorang yang kita cintai itu memang jodoh
kita atau bukan. Jika bukan, maka perpisahan pun akan segera datang walau hati
kita menaruh cinta sebesar gunung."
"Berarti hubunganmu dengan Dyah Sariningrum juga belum tentu merupakan jodohmu
sepanjang masa?"
"Kira-kira begitu. Tapi kemungkinan melesat sangat kecil. Sebab guruku; si Gila
Tuak sudah mengetahui
wanita yang bagaimana yang akan menjadi jodohku
nanti. Apabila dalam semadiku aku sampai menangis
dan mencucurkan air mata darah ketika terbayang
seorang wanita, maka dia itulah calon jodohku kelak, walaupun seribu wanita
berteman dekat denganku."
"Apakah kau pernah mencucurkan air mata
berdarah?"
"Ya. Saat kuterbayang wajahnya yang menderita
dalam cengkeraman Siluman Tujuh Nyawa," jawab Suto terang-terangan sambil
termenung membayangkan saat
ia lakukan semadi di tempat tinggal gurunya, sebelum ia turun sebagai seorang
pendekar penegak kebenaran dan keadilan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Darah Asmara Gila").
Percakapan yang dilakukan sambil jalan-jalan tiba-
tiba terhenti bersama langkah mereka. Baik Suto Sinting maupun Teratai Kipas
sama-sama terperanjat manakala
mereka tahu-tahu melihat seorang kakek berdiri di atas sehelai daun sereh liar
yang mirip seperti ilalang itu.
Suto Sinting segera tarik napas lega dan hilangkan
kekagetannya, tapi Teratai Kipas masih memandang
penuh keheranan. Buat Suto Sinting, bukan hal aneh lagi jika ia melihat
kemunculan seorang kakek berpakaian serba putih, bahkan rambut, alis, dan bulu-
bulu kakinya serba putih uban. Kakek itu tak lain adalah kakek
misterius yang ditemuinya sebelum Suto menyelamatkan Pande Bungkus yang hanyut
terbawa arus banjir
beberapa waktu yang lalu.
"Siapa orang sakti itu?" bisik Teratai Kipas menganggap kakek itu orang sakti
karena mampu berdiri di atas sehelai daun sereh tanpa patah. Suto Sinting segera
menjawab, "Dia itulah yang berjuluk Setan Merakyat, kakak dari si Bongkok Sepuh yang kau
kenal lewat cerita-cerita
gurumu. Bongkoh Sepuh sendiri dulu dikenal dengan
nama si Setan Arak!"
Pendekar Mabuk segera memberikan hormat
sekadarnya, Teratai Kipas ikut-ikutan karena merasa
Pendekar Mabuk 039 Pisau Tanduk Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
takut terkena kutuk sang tokoh tua nan sakti itu. Gerak kemunculannya tidak
menimbulkan suara tidak pula
menimbulkan hembusan angin. Teratai Kipas yakin,
biasanya orang seperti Setan Merakyat dapat menghajar seseorang melalui
ucapannya saja.
"Ada keperluan apa Eyang Bapa Guru Murdawira
menemuiku di sini?" tanya Suto Sinting dengan
menyebutkan nama asli si Setan Merakyat itu.
"Aku hanya ingin tanyakan kesiapanmu. Sudahkah
kau siap menerima salah satu ilmuku yang hanya bisa
kuturunkan pada pemuda tanpa pusar sepertimu?"
"Aku masih punya masalah, Bapa Guru. Aku belum
siap menerima ilmumu."
"Masalahmu belum selesai" Oh, ya... baik. Akan
kutunggu sampai masalahmu selesai, dan aku selalu
membayang-bayangimu, Anak Muda. Tapi ketahuilah,
aku baru saja bertemu dengan gurumu; Gila Tuak dan
Bidadari Jalang untuk meminta izin menitipkan ilmuku kepadamu. Kedua gurumu itu
setuju dan mengizinkannya. Tapi lebih baiknya lagi, kau memang harus menghadap dan bicara
sendiri tentang izin itu
kepada kedua gurumu tersebut."
"Nanti jika masalahku sudah rampung, aku akan
menghadap kedua guruku ke Jurang Lindu dan ke
Lembah Badai!"
"Baik. Kutunggu kesiapanmu. Tapi perlu kau ketahui, baru saja kau telah lakukan
suatu kebodohan besar
dalam sejarah hidupmu, Pendekar Mabuk."
Suto Sinting kaget dan memandang Setan Merakyat
yang turun dari atas daun sereh liar itu. Suto pun
bertanya, "Kebodohan apa yang telah kulakukan?"
"Melepaskan seorang pencuri yang sedang kau kejar-kejar itu."
"Maksudmu...?"
"Durjana Belang kau biarkan lari, padahal memang dialah yang sekarang ini
memegang Pisau Tanduk
Hantu. Aku merasakan sekali getaran gaib pisau pusaka itu saat ia kulihat sedang
bicara denganmu tadi! Cari dia dan paksa supaya dia mengaku siapa dirinya
sebenarnya!"
"Tap... tapi pisau itu tidak ada padanya, Eyang Bapa Guru."
"He, he, he, he...! Siapa bilang dia tak memiliki Pisau Tanduk Hantu" Kau telah
tertipu mentah-mentah
olehnya, Suto. Cari dia dan temukan pisau itu sebelum terlalu banyak makan
korban." * * * 5 PERJALANAN pulang ke Negeri Majageni tertunda
beberapa hari gara-gara Teratai Kipas harus membantu Suto Sinting menangani
masalah Pisau Tanduk Hantu.
Teratai Kipas sendiri merasa senang bisa mendampingi Pendekar Mabuk karena di
balik susah payahnya terselip kebanggaan yang hanya bisa dirasakan oleh dirinya
saja. Tetapi Pendekar Mabuk menjadi tak enak hati atas
penundaan itu. "Apa kata orangtuamu nanti jika kau tidak segera pulang" Prabu Wiloka pasti akan
menyangka putri
kesayangannya dilarikan oleh Pendekar Mabuk dan tak urung aku mendapat kecaman
dari sang Prabu."
"Itu urusanku, biar aku yang menjelaskan kepada ayah tentang keterlambatan ini,"
ujar Teratai Kipas seakan siap membela Suto mati-matian jika terjadi
kecaman atau tuduhan yang dilontarkan dari pihak
istana. Pendekar Mabuk tidak bisa memaksa Teratai Kipas
lagi. Gadis itu pun agaknya keras kepala dalam urusan yang satu ini. Tiga hari
telah lewat, Teratai Kipas masih tak ingin tinggalkan Suto Sinting.
"Sebelum masalah ini selesai aku belum ingin pulang ke istana," ujar Teratai
Kipas. "Aku bukan hanya senang mendampingimu saja, tapi juga penasaran dan ingin
tahu siapa pemegang Pisau Tanduk Hantu sebenarnya. Aku
ingin ikut membela kebenaran. Setidaknya buat
pengalaman hidupku sebelum aku kembali menjadi putri
keraton Majageni. Kalau aku sudah menjadi putri
keraton dan apalagi sudah menggantikan kedudukan
ayahku, aku tak akan mudah ikut membantumu dalam
menegakkan kebenaran dan memerangi kejahatan seperti saat ini. Jadi biarkanlah
aku ikut untuk yang terakhir kali hidupku sebagai gadis pengembara."
Suto Sinting semakin tak bisa bicara apa-apa,
sehingga ia hanya bisa angkat kedua pundak tanda
pasrah. Pengejaran Suto terhadap Maling Sakti tak sengaja
membawanya ke arah tempat berdirinya Perguruan
Tongkat Sakti. Pengejaran ini terpaksa terhenti karena banyaknya mayat yang
bergelimpangan di sana-sini
sepanjang jalan menuju Perguruan Tongkat Sakti. Mata Suto dan Teratai Kipas
memandang dengan terheran-heran. Asap mengepul di pusat perguruan. Pintu gerbang
perguruan hancur, hangus terbakar dan tinggal sisanya menghitam di sana-sini.
Suasananya sepi dan
mencekam. Bau daging bakar yang hangus menandakan
banyaknya korban manusia yang ikut terbakar dalam
reruntuhan itu.
"Seganas inikah Durjana Belang itu menurutmu,
Teratai?" tanya Suto kepada Teratai Kipas, karena gadis itu tampak hanyut dalam
lamunan ketegangan.
"Mungkin saja Durjana Belang bisa seganas ini.
Entah dendam apa yang ia miliki terhadap Perguruan
Tongkat Sakti, yang jelas ia berhasil menghancurkan
perguruan ini. Mungkin bukan saja dendam karena
kedua temannya; Roh Seribu Dewa dan si Kumis
Tengkorak, dibunuh oleh Malaikat Miskin menggunakan
pisau itu. Mungkin ada dendam lain yang...."
"Tunggu, tunggu...," Suto Sinting sengaja hentikan ucapan Teratai Kipas. "Apakah
kau yakin bahwa si Maling Sakti punya anggapan bahwa Malaikat Miskin
yang menggunakan Pisau Tanduk Hantu untuk
membunuh kedua temannya" Bukankah pisau itu ada di
tangan Maling Sakti sendiri" Tentunya ia tak akan
menduga bahwa Malaikat Miskin-lah yang mencelakai
kedua temannya itu?"
"Aku tak yakin dengan kata-kata Setan Merakyat.
Sebab kita sudah menggeledah Maling Sakti dan pisau itu tidak ada padanya. Kita
sudah coba serang dia
melalui tenaga dalam Jelita Bule, tapi toh dia bisa
tumbang. Kurasa dia bukan Maling Sakti yang memiliki Pisau Tanduk Hantu!"
"Setan Merakyat lebih tahu dari kita, Teratai. Aku cenderung mempercayai kata-
katanya. Ingat, apakah
orang yang kala itu menelan Batu Sembur Getih
mempunyai perbedaan rupa maupun pakaiannya" Kurasa
tidak. Ya dia itulah orangnya."
"Lalu, mengapa kala diserang Jelita Bule ia bisa terpental" Mestinya dia tidak
bisa diserang, bahkan
wajahnya tak bisa memar merah kala ditampar!"
"Mungkin ia bisa kendalikan kekuatan Batu Sembur Getih, sehingga di depan kita
kekuatan Batu Sembur
Getih bagaikan tidak berfungsi sama sekali. Di belakang kita kekuatan itu
digunakan sebagaimana mestinya."
"Lalu tentang pisau itu?"
"Mungkin ia punya cara sendiri untuk
menyembunyikannya."
Teratai Kipas diam, merenungkan pendapat Suto
Sinting. Sambil merenungkan kata-kata itu matanya
mengawasi reruntuhan Perguruan Tongkat Sakti.
Langkahnya pelan, mengenali setiap mayat yang ada di sekitar tempat itu.
Akhirnya terpetiklah gagasan baru dalam pemikiran Teratai Kipas.
"Kurasa ada seseorang yang telah berhasil merebut Pisau Tanduk Hantu dari tangan
si Maling Sakti sebelum ia bertemu dengan kita tempo hari itu."
"Maksudmu, Pisau Tanduk Hantu pindah tangan?"
"Ya. Karena jika Maling Sakti mengamuk di sini, maka mayat-mayat ini tidak akan
ada. Kalau toh ada
hanya beberapa saja. Maling Sakti pasti membuat para korban menjadi manusia
bayangan, ia akan menggoreskan pisau pusaka itu kepada para korban di
sini. Tak mungkin hanya menggunakan kekuatan tenaga
dalamnya saja jika memang Pisau Tanduk Hantu masih
menjadi miliknya."
Kini ganti Pendekar Mabuk yang merenungkan kata-
kata Teratai Kipas. Menurutnya, memang ada benarnya
pendapat Teratai Kipas. Barangkali memang benar
bahwa pisau tersebut sudah pindah tangan dan tidak ada pada diri Maling Sakti.
Hal yang dipertanyakan adalah; siapa orang yang berhasil merebut Pisau Tanduk
Hantu dari tangan Maling Sakti"
"Aneh, di sini tidak ada mayat Malaikat Miskin dan Menak Goyang," ujar Teratai
Kipas seraya masih
menatap ke sana-sini.
"Barangkali mereka kabur saat melihat kesaktian Durjana Belang menghancur-
leburkan tempat ini!"
"Rasa-rasanya janggal sekali kalau Durjana Belang bisa membuat Malaikat Miskin
terdesak dan melarikan
diri." "Mengapa janggal" Bukankah Durjana Belang telah menelan Batu Sembur Getih"
Tentunya kekuatannya
berlipat ganda dan dapat untuk mengalahkan kesaktian si Malaikat Miskin!"
Baru saja Teratai Kipas ingin ucapkan kata, tiba-tiba tubuhnya tersentak naik
dan bersalto di udara satu kali.
Wuuk...! Pendekar Mabuk cepat palingkan wajah
pandangi gerakan Teratai Kipas. Pada saat itu ia melihat seberkas sinar merah
pecah-pecah sedang menerjang
tubuh Teratai Kipas. Sinar merah pecah-pecah yang
dihindari itu ganti menyerang ke arah Pendeka Mabuk, karena keadaan Suto berdiri
sejajar dalam satu arah dengan Teratai Kipas.
Gerakan sinar merah yang cepat itu membuat Suto
tak sempat mengambil bumbung tuaknya, sehingga
tangan kirinya digunakan sebagai penghadang sinar
merah tersebut. Dari tangan kiri Suto Sinting keluar sinar membara warna biru.
Belum sempat melesat
keluar, baru saja tersumbul dari telapak tangannya sudah harus dihantam oleh
sinar merah pecah-pecah itu.
Akibatnya sinar merah tersebut menghantam tangan kiri Suto Sinting dengan
menimbulkan ledakan yang cukup
besar. Blaaarrr...! Tentu saja tubuh Suto Sinting terhempas kehilangan
keseimbangan, ia jatuh berjungkir balik di bawah pohon delapan langkah dari
tempatnya berdiri semula.
Sedangkan orang yang menyerang dengan sinar merah
pecah-pecah itu segera muncul dari tempat
persembunyiannya pada saat Teratai Kipas sudah
mencabut kipasnya dan Suto Sinting berusaha bangkit
dengan lemah. "Malaikat Miskin...!" seru Teratai Kipas dengan sikap menantang. "Mengapa kau
menyerang kami" Apakah
kau ingin bikin perkara dengan Pendekar Mabuk?"
"Jangan berlagak bodoh, Kipas Sate!" ejek Malaikat Miskin dengan wajah penuh
gumpalan amarah.
Pendekar Mabuk cepat-cepat minum tuaknya untuk
menghilangkan rasa sakit dan luka dalam akibat
menghadang pukulan jarak jauhnya si Malaikat Miskin
tadi. Teratai Kipas sengaja memberikan kesempatan
kepada Pendekar Mabuk untuk sembuhkan diri dengan
tuak, sehingga untuk sementara Teratai Kipas bertekad melayani kemarahan
Malaikat Miskin semampunya.
"Tak kusangka ternyata kalian berdua lebih kejam dari orang-orang Bukit Kopong!
Sekian banyak muridku yang tak tahu apa-apa kalian jadikan korban dan
perguruanku kalian bumi hanguskan seperti ini!"
"Bicaralah yang benar, Malaikat Miskin! Jangan memandang dengan sebelah mata!"
pancing Teratai Kipas agar perhatian Malaikat Miskin tidak tertuju pada Pendekar
Mabuk yang disangka masih terluka parah itu.
Padahal Suto Sinting sudah mulai segar kembali setelah menenggak tuaknya. Bahkan
ia sudah mampu berdiri
dengan tegak dan melangkah dengan gagahnya.
"Kau hanya sekadar mencari kambing hitam untuk
melampiaskan kemarahanmu, Malaikat Miskin," kata Teratai Kipas dengan lantang.
Tak ada hormat sedikit pun kepada bekas guru kekasihnya yang sudah tiada itu.
"Kalian ingin mengelak" Kalian sudah kepergok, tak mungkin bisa menghindar dari
tuduhanku!" suara
Malaikat Miskin cukup keras, ia melangkah dengan
penuh waspada sambil bertumpu pada tongkatnya yang
mempunyai tiga cabang bagian atasnya itu.
"Malaikat Miskin," seru Suto Sinting yang kini sudah berada di samping Teratai
Kipas, "Siapa yang lakukan pembumihangusan perguruanmu ini! Apakah kau
melihat kami melakukannya?"
"Siapa lagi jika bukan kalian!" bentak Malaikat Miskin yang mengenakan jubah
abu-abu bertambal-tambal seperti gelandangan itu. "Ketika aku melihat kepulan
asap dari kejauhan sana, aku mulai cemaskan
perguruanku. Lalu kuhampiri kemari dan ternyata
kutemukan kalian berdua ada di sini! Tentu saja aku tak bisa mengalihkan tuduhan
kepada orang lain, sebab yang kutemukan di sini adalah kalian!"
"Justru kami sedang selidiki siapa menghancurkan perguruanmu ini!" sahut Teratai
Kipas. Gadis itu tampak ngotot sekali karena hatinya panas dituduh sebagai
pembantai orang-orang perguruan tersebut.
"Kalian tak perlu banyak mulut lagi! Sekarang
terimalah pembalasanku inil Heaaahhh...!" si Malaikat Miskin tiba-tiba sentakkan
tongkatnya ke depan. Dari tiga ranting di ujung tongkat itu keluar tiga sinar
berwarna hijau lurus. Sasarannya tertuju kepada Suto Sinting dan Teratai Kipas;
dua ke arah Suto, satu ke arah Teratai Kipas. Tentu saja serangan itu dihadapi
oleh kedua orang tersebut. Suto Sinting menangkisnya
memakai bumbung tuak, sedangkan Teratai Kipas
menghadang sinar hijau dengan bentangan kipas
emasnya itu. Blaaar...! Drrabb...! Wuuurrrss...!
Teratai Kipas terpental karena tak kuat menahan
sentakan sinar hijau yang bertenaga besar dan berbahaya itu. Tubuhnya melayang-
layang dan membentur pohon.
Sedangkan Suto Sinting masih tegak berdiri karena sinar hijau itu bisa
dikembalikan dengan tangkisan bumbung tuaknya. Sekalipun tubuh Suto meliuk bagai
orang mabuk hendak jatuh, namun gerakan bumbung tuaknya
sangat tepat menangkis dua sinar hijau.
Kedua sinar hijau kembali ke pemiliknya dengan
lebih besar dan lebih cepat lagi. Malaikat Miskin
menggeragap dan segera melompat ke samping dan
Pendekar Mabuk 039 Pisau Tanduk Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berguling-guling di tanah menghindari sinar hijaunya.
Sinar itu akhirnya menghantam reruntuhan bangunan
perguruannya yang masih tersisa. Reruntuhan itu hancur menjadi serbuk halus yang
tak bisa terlihat lagi ke mana gerakannya. Sedangkan Malaikat Miskin bangkit
dengan tongkatnya dan memandang akibat benturan hijau itu
dengan mata terbelalak, terheran-heran.
"Sehebat itukah jurus sinar hijauku itu" Rasa-rasanya tak akan sampai membuat
bangunan menjadi hancur
selembut debu"! Gila! Bumbung tuak bocah itu benar-
benar berbahaya!" Malaikat Miskin membatin.
Terdengar pula suara Suto Sinting yang tak mau
melepaskan serangan balasan,
"Kuingatkan sekali lagi, Malaikat Miskin..., jangan mengumbar kemarahanmu kepada
kami! Kami bukan
pelaku penghancuran ini!"
"Aku tak percaya!" geram Malaikat Miskin. Tiba-tiba tangan kirinya menyentak ke
depan. Claaap...! Sinar
merah lurus melesat ke arah dada Suto Sinting. Dengan cepat pula jurus 'Tangan
Guntur' digunakan oleh Suto Sinting. Sinar biru melesat dari tangan Suto dan
bertemu di pertengahan jarak dengan sinar merahnya Malaikat
Miskin. Sinar-sinar itu tidak meledak tapi saling dorong bagai ingin mendesak ke
arah lawan masing-masing.
Pertemuan sinar itu memancarkan sinar lebar
memercik-mercik. Kadang bergerak mendekati Suto,
kadang bergerak mendekati Malaikat Miskin. Rupanya
kedua tokoh itu saling adu kekuatan tenaga dalam,
sehingga keduanya sama-sama gemetar, sekujur tubuh
mereka bergetar dan urat-urat di leher dan tangan saling bertonjolan keluar,
bagai ingin merobek kulit tubuh
mereka. Malaikat Miskin langsung bercucuran keringat bagai habis mandi, tapi
Suto Sinting hanya berkeringat tipis di keningnya.
Tiba-tiba Malaikat Miskin angkat tongkatnya dan dari salah satu ranting di atas
tongkat itu memancarkan sinar
hijau lagi. Slaaap...! Tapi gerakan Suto Sinting masih mampu melebihi kecepatan
sinar tersebut. Bumbung
tuaknya diarahkan ke depan dan sinar itu menghantam
bumbung tuak, memantul balik dan membuat pusat
perhatian Malaikat Miskin menjadi guncang. Zlaaap...!
Malaikat Miskin terpaksa harus hindari sinar hijau
yang mengarah ke dadanya. Sinar yang membias dari
bumbung Suto itu dihindari dengan cara memiringkan
badan. Tapi akibat menghindari sinar hijau, adu
kekuatan dengan menggunakan sinar merahnya itu
menjadi lemah. Akibatnya sinar biru Suto mendesak
lebih kuat dan menghantam tubuh Malaikat Miskin.
Blaaarr...! Blegaaar...!
Sinar hijau menghantam pohon, tubuh Malaikat
Miskin terpental karena dihantam ledakan kuat dari sinar birunya Suto Sinting.
Dada tokoh tua itu menjadi hangus sampai pada kain bajunya yang tampak hitam
bagaikan habis dibakar api berdaya panas tinggi.
"Huuuhhg...!" Malaikat Miskin mengerang di tempatnya jatuh, ia tersandar pada
pohon dengan tongkatnya terlepas dari tangan kanan. Kedua tangan
memegangi dadanya sambil menggeliat-geliat bagaikan
terbakar dadanya.
"Maaf, kau memaksaku berbuat demikian, Malaikat Miskin!"
Tokoh tua itu diam saja. Ia segera ambil sikap
berlutut dan memejamkan mata. Sementara itu, Pendekar Mabuk agak terkejut
melihat Teratai Kipas terkapar di bawah pohon besar. Tubuhnya mulai mengepulkan
asap dan tak bergerak. Dengan cepat dihampirinya tubuh
gadis itu. Wajah pucat kebiru-biruan terlihat jelas di permukaan raut muka
Teratai Kipas. "Celaka! Hampir saja aku terlambat!" gumam Suto dengan cemas, lalu ia berusaha
meminumkan tuaknya ke mulut Teratai Kipas yang berbibir ranum menggemaskan itu.
Di seberang sana, Malaikat Miskin menggerakkan
kedua tangannya pelan-pelan dari dada menuju ke
tenggorokan, dan akhirnya ia memuntahkan darah kental warna hitam. Rupanya
gerakan tangan itu adalah tenaga pembersih luka yang ada di dalam dadanya. Luka
itu terbuang melalui mulut dan dalam bentuk cairan hitam kemerah-merahan, ia
menyalurkan hawa murninya
beberapa saat dan hal itu sengaja dibiarkan oleh Suto Sinting. Kalau saja Suto
Sinting mau melepaskan
pukulan lagi ke arah Malaikat Miskin, pasti tokoh tua itu akan hancur atau
tumbang tak bernyawa lagi. Serangan itu akan kena sasaran tanpa meleset. Tapi
toh hal itu tidak mau dilakukan oleh Pendekar Mabuk, karena ia
tidak harapkan Malaikat Miskin mati di tangannya, ia cenderung mengharapkan
kesadaran Maiaikat Miskin
tentang salah pahamnya itu.
Setelah beberapa saat kemudian, Teratai Kipas sudah
pulih kesehatannya, Malaikat Miskin mampu berdiri
tegak lagi, Suto Sinting segera berkata kepada Malaikat Miskin dengan nada
tegasnya, "Percuma saja kau melawanku, karena bukan aku
yang bersalah. Seandainya aku mati di tanganmu, kau
pun kelak akan menyesal jika mengetahui siapa yang
menghancurkan perguruanmu ini, Malaikat Miskin!
Kuingatkan sekali lagi, jangan memusuhi aku dan
Teratai Kipas. Jika kau ingin membalas dendam, bukan kepada kami."
"Lalu kepada siapa"!" gertak Malaikat Miskin masih menampakkan keberangannya.
Matanya masih memandang dengan tajam dan ganas.
"Kami tidak tahu secara pasti siapa pelakunya," kata Suto Sinting. "Tapi cobalah
kau bicara dengan Durjana Belang!"
"Si Maling Sakti..."!"
"Benar. Sebab kami melihat beberapa korban yang berubah menjadi menusia
bayangan, bahkan ada yang
tinggal suaranya saja yang bisa kami dengar, sedangkan sosok tubuhnya lenyap tak
terlihat."
"Itu pasti karena Pisau Tanduk Hantu!" sergah Malaikat Miskin dengan tegang, ia
mulai tampak lebih gusar lagi. "Apakah pisau pusaka itu ada di tangannya dan
dipergunakan olehnya untuk melawan seseorang?"
"Aku tak melihat dengan mata kepala sendiri. Tapi ada korban dan saksi mata yang
memberikan keterangan kepadaku, bahwa Durjana Belang memegang Pisau
Tanduk Hantu!"
"Keparat, bocah itu!" kegeraman Malaikat Miskin membuat tangannya menggenggam
kencang, hingga tak
sadar tongkatnya menjadi sedikit retak karena tergencet genggamannya yang
beraliran tenaga dalam itu.
Kreek...! Kejap berikutnya, suara Malaikat Miskin terdengar
lagi, "Jadi menurutmu si Maling Sakti itu yang
menghancurkan perguruanku?"
"Aku tidak berkata begitu," jawab Suto Sinting.
"Karena aku tidak melihat sendiri saat perguruanmu dihancurkan oleh seseorang.
Tetapi perlu kau ketahui, bahwa Maling Sakti menyimpan dendam kepadamu
karena menyangka kaulah yang membuat Roh Seribu
Dewa dan si Kumis Tengkorak, temannya itu, menjadi
manusia bayangan karena tergores pisau pusaka itu.
Pada saat kami menggeledahnya, kami tidak
menemukan pisau itu pada tubuhnya. Kami sendiri
masih bingung, benarkah Maling Sakti yang
menggenggam pisau pusakamu itu, atau ada Maling
Sakti kembar yang lainnya?"
"Pantas kalau dia mendendam kepadaku, karena dulu dia pernah kutolak ketika
melamar menjadi muridku.
Tampangnya yang memang tampang maling itu
mengkhawatirkan diriku, maka aku tak mau
menerimanya sebagai murid. Beberapa waktu kemudian
kudengar ia menjadi muridnya Cukak Tumbila sampai
sekarang!" kata Malaikat Miskin dengan wajah masih tampak menahan amarah.
"Satu hal yang ingin kutanyakan padamu, Malaikat Miskin. Apakah Pisau Tanduk
Hantu bisa disembunyikan dengan cara lain yang membuat pusaka
itu tidak bisa terjamah dan tidak bisa terlihat oleh orang lain?"
Malaikat Miskin diam sebentar, berpikir beberapa
saat, setelah itu baru menjawab dengan nada tegasnya.
"Tidak bisa! Pisau itu tidak bisa disembunyikan dengan cara gaib!"
Teratai Kipas bicara pada Suto Sinting dengan suara agak pelan,
"Berarti pisau itu telah dijual kepada pemesannya sebelum ia bertemu kitai"
"Kepada siapa dia menjualnya"!" sergah Malaikat Miskin yang mendengar kata-kata
Teratai Kipas, ia maju hingga jaraknya menjadi empat langkah di depan
Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas.
"Kami hanya mempunyai dugaan saja," kata Suto Sinting. "Tapi kami belum dapat
keterangan, kepada siapa ia menjual pisau itu kalau memang benar dia itulah
pencuri Pisau Tanduk Hantu!"
"Ggrrrmm...!" Malaikat Miskin menggeram bagai singa buas. "Aku harus segera
melabraknya! Akan kutuntut Cukak Tumbila atas perbuatan muridnya ini!"
Blaasss...! "Malaikat Miskin!" seru Suto mengejar, "Buktikan dulu apakah benar si Maling
Sakti yang terlibat masalah ini atau bukan dia"!"
Tapi Malaikat Miskin sudah menghilang. Seandainya
ia mendengar seruan itu, ia tak punya waktu untuk
menjawabnya. Dendam dan kemarahan telah
menggumpal di dada. Hasrat untuk membalas orang
yang mengacak-acak Bukit Kopong semakin membakar
jiwa. Suto Sinting dan Teratai Kipas hanya bisa tertegun beberapa helaan napas.
Tak lama kemudian, Pendekar Mabuk menenggak
tuaknya dan setelah itu berkata kepada Teratai Kipas.
"Kita ikuti saja gerakan Malaikat Miskin. Kita ingin tahu apa yang terjadi di
Bukit Kopong! Setidaknya jika si Maling Sakti benar-benar tidak bersalah, kita
bisa selamatkan dia dengan membawanya lari dan
menyembunyikannya, biar ia tidak menjadi korban salah sasaran dalam perkara
ini!" "Yang lebih penting adalah mencari tahu siapa
sekarang pemegang Pisau Tanduk Hantu itu!" kata Teratai Kipas dengan tegas, dan
membuat Suto Sinting hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala, menyetujui
gagasan tersebut.
* * * 6 TANGAN Teratai Kipas segera ditarik oleh Suto
Sinting. Tubuh gadis itu hampir jatuh kalau tidak segera dipeluk sang pendekar
tampan. Mereka terbenam di
semak-semak. Teratai Kipas berdebar-debar dan
membatin, "Oh, indahnya. Mengapa baru sekarang ia berbuat begini padaku" Padahal
sudah cukup banyak
semak-semak yang kami lewati. Seandainya di setiap
semak-semak dia berbuat begini padaku, alangkah
indahnya perjalanan hidup bersamanya."
Teratai Kipas mulai pasrah, ia memejamkan mata,
menunggu serangan mesra berikutnya. Tapi sampai lama
menunggu tak ada serangan mesra selanjutnya. Teratai Kipas yang sudah pejamkan
mata itu segera melek
kembali dan berbisik dengan bibir merekah dan suara
mendesah, "Mengapa tak kau lanjutkan?"
"Apanya?" bisik Suto Sinting. "Aku menarikmu ke semak bukan untuk berbuat yang
tidak-tidak, tapi
membawamu sembunyi secepat mungkin."
"O, jadi... jadi kau mengajakku bersembunyi?"
"Benar. Kita mengintip dua orang yang ada di balik gugusan batu cadas itu!"
Seketika itu merah pula wajah Teratai Kipas menahan
rasa malu bercampur kecewa. Hatinya membatin penuh
gerutu, "Sial! Kalau tahu diajak sembunyi kenapa harus berdebar-debar penuh
harap" Uuh...! Dasar pemuda
sinting. Sayang saja dia tampan, kalau tak tampan malas aku menemaninya. Bikin
hatiku malu sendiri jika
begini!" Apa yang dimaksud Suto Sinting ternyata adalah
sepasang manusia berlainan jenis yang sedang
berpelukan di balik gugusan batu cadas. Rupanya
pasangan yang sedang berkasih-kasihan itulah yang
membuat Suto Sinting hentikan langkahnya dalam
perjalanan mencari sang pencuri Pisau Tanduk Hantu.
Teratai Kipas terbelalak kaget melihat pasangan yang sedang saling berpelukan,
saling bercanda penuh tawa mengikik dan berbisik. Bukan adegan itu yang membuat
Teratai Kipas terkejut dan terheran-heran, melainkan karena ia mengenali siapa
pasangan yang berpelukan
mesra di balik batuan cadas tersebut. Mulut Teratai
Kipas menyebutkan nama mereka dengan lirih dan
bernada desah keheranan.
"Menak Goyang..." Oh, dia... dia bercinta dengan si Maling Sakti"!"
"Titik terang mulai tampak nyata di depan kita, Teratai Kipas. Kita dengarkan
saja percakapan mereka."
"Tapi... tapi kalau mereka berbuat yang bikin hati syur bagaimana?"
"Pejamkan matamu agar tak terbawa khayalannya,"
bisik Suto Sinting dengan senyum tipis mekar di
bibirnya. Teratai Kipas bersungut-sungut tak jelas maksudnya.
Tapi perhatian Suto Sinting sudah telanjur terlempar ke arah Menak Goyang yang
sedang dirangkul Maling
Sakti. Menak Goyang yang cantik itu seakan pasrah-
pasrah saja ketika dikecup lehernya oleh si Maling Sakti.
Bahkan ia mendongak bagaikan memberi tempat agar
bibir si Maling Sakti kian bebas menikmati kemulusan lehernya. Tawa mengikik dan
tubuh menggelinjang
kegelian membuat si Maling Sakti kian nakal. Hasrat kejantanannya ditampakkan
dalam bentuk 'Kerajinan
tangan' yang cekatan serta penuh semangat juang.
"Sial! Kenapa kita harus mengintip yang beginian?"
gerutu Teratai Kipas yang wajahnya sangat dekat dengan wajah Pendekar Mabuk,
sampai-sampai hembusan napas
dari hidung Suto terasa menghangat di pipi kirinya.
Teratai Kipas tundukkan kepala, tak berani melihat
adegan panas yang dapat membangkitkan semangat
kemesraannya, ia takut batinnya menuntut kepada Suto dan Suto tidak mau menuruti
tuntutan itu. Tapi agaknya Menak Goyang dan Maling Sakti
sengaja membiarkan hasrat mereka saling menuntut
keindahan yang lebih dalam. Menak Goyang tak segan-
segan memberikan apa yang diharapkan Maling Sakti.
Gadis itu tiada hentinya bergoyang mengikuti
kebiasaannya yang membuatnya dijuluki Menak
Goyang. Tak ada waktu untuk diam bagi Menak
Goyang, apalagi dalam keadaan sedang bercumbu
mesra, sampai-sampai Suto Sinting berkata lirih dalam candanya yang membisik di
telinga Teratai Kipas,
Pendekar Mabuk 039 Pisau Tanduk Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Goyang terus sampai pagiii...!"
"Ssst...!" Teratai Kipas menempelkan telunjuknya di bibir Suto Sinting.
Keduanya sama-sama duduk di rerumputan bawah
pohon besar, memunggungi adegan panas yang sedang
berlangsung di balik gugusan batu cadas itu. Ilalang memagari pohon itu,
sehingga keadaan mereka sangat
rapi dan aman dari jangkauan mata sepasang orang yang sedang berkencan tersebut.
Suto Sinting sengaja
mengajak bicara Teratai Kipas dengan suara pelan untuk mengalihkan khayalan yang
masuk ke otak mereka
karena mendengar suara rintihan dan erangan si Menak Goyang.
"Aku tidak menyangka sama sekali."
"Aku juga seperti mimpi melihat mereka di sini," ujar Teratai Kipas. "Aku jadi
curiga terhadap Menak
Goyang. Kurasa ada hubungannya dengan Pisau Tanduk
Hantu." "Maksudmu, dia bekerja sama dengan Maling Sakti dalam masalah pencurian pisau
tersebut?"
"Benar! Pasti dia yang membantu Maling Sakti
masuk ke benteng perguruannya. Sedikitnya dialah yang memberikan keterangan dan
petunjuk tentang bagai
mana caranya mencuri Pisau Tanduk Hantu."
"Masuk akal. Tapi atas dasar apa dia berbuat begitu?"
"Mungkin secara diam-diam dia sudah lama jatuh
cinta kepada Maling Sakti?"
"Ya, ya... itu pun masuk akal. Jika memang begitu, berarti sikapnya yang keras
hati menuduhku sebagal
pencuri Pisau Tanduk Hantu itu adalah untuk
mengalihkan perhatian Malaikat Miskin, supaya tidak
menuduh dan menaruh curiga kepada Maling Sakti. Aku
hanya dijadikan kambing hitam dalam hal ini!"
"Tapi ketika Malaikat Miskin menemui kita bersama Menak Goyang, bukankah
Malaikat Miskin menjadi
berbalik menuduh orang-orang Bukit Kopong sebagai
pencurinya" Pikiran itu timbul karena mendapat laporan dari Menak Goyang dan
Menak Goyang mempunyai
gagasan itu dari kata-katamu dulu?"
"Benar. Tapi tentunya Menak Goyang tidak
menyebutkan nama Maling Sakti sebagai tertuduh
utama. Seandainya disebutkan hanya berupa
kemungkinan-kemungkinan yang belum pasti. Jadi
dengan begitu Menak Goyang tampak bersungguh-
sungguh dalam memihak Malaikat Miskin. Tentu saja
hal itu sudah diperhitungkan, seandainya Maling Sakti
menjadi tertuduh utama maka Maling Sakti dan Menak
Goyang akan melawan Malaikat Miskin secara bersama-
sama dengan menggunakan Pisau Tanduk Hantu itu!"
"Licik sekali mereka itu?"
"Cinta jika sudah menggila, membuat orang menjadi licik dan banyak akal."
"Ah, bodoh amat si Menak Goyang itu. Mengapa
jatuh cintanya sama Maling Sakti" Apa yang diharapkan dari Maling Sakti itu"
Rupa tak punya, kegagahan tak ada, kesaktian pun begitu-begitu saja. Kekayaan
sama sekali tak ada!"
"Siapa yang bisa menyelam di hati manusia" Tak ada yang bisa kecuali orang itu
sendiri. Tak ada yang tahu mengapa Menak Goyang mau jatuh cinta kepada Maling
Sakti. Hanya Menak Goyang sendiri yang punya alasan
kuat untuk langkahnya itu."
Percakapan mereka semakin panjang mengupas
hubungan Menak Goyang dengan si Maling Sakti.
Dengan memperpanjang percakapan berkasak-kusuk itu
suara-suara kemesraan di balik batuan cadas tidak
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 1 Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Bukit Pemakan Manusia 22