Pencarian

Pusaka Bernyawa 2

Pendekar Mabuk 044 Pusaka Bernyawa Bagian 2


"Iiiih... mampus kamu, Cah
Bagus...!" ia berlari maju dengan pantat ketinggalan. Lenggak-lenggoknya mirip
perempuan genit. Tapi setelah dekat dengan Suto Sinting, lelaki
berusia sekitar empat puluh tahun itu menebaskan pedangnya membabi buta.
Wung, wuung, wung, wuuung...!
Gerakan pedang besar itu begitu
cepat hingga kibasan
anginnya memercikkan ketajaman mata pedang.
Seakan tubuh Suto tergores
ketajamannya walau sebenarnya pedang itu tak sampai menyentuh kulit tubuh.
Mau tak mau Suto Sinting bersalto
mundur dua kali. Wuuk, wukkk...!
Ia diam sebentar di sana,
memandang si rambut botak. Seakan tak peduli Batu Laut memainkan pedang
sampai badannya membungkuk ke tanah untuk mencari kesempatan menebas
dengan tepat. Sedangkan Putri Malu
sengaja mundur sampai di bawah pohon, ia
hanya bersiap-siap melepaskan
pukulan jarak jauhnya yang mematikan jika Pendekar Mabuk terdesak dalam
bahaya. "Hiaaaat...!" suara Batu Laut
memekik keras seperti suara perempuan murka.
Putri Malu terperanjat tegang,
karena Suto Sinting hanya diam saja.
Padahal lawannya sudah sangat dekat, pedang sudah menebas-nebas ke kanan-kiri.
"Mundur...! Lekas mundur!" seru Putri Malu kepada Pendekar Mabuk.
Tapi sang Pendekar tetap diam
dengan tersenyum tenang. Sampai
akhirnya pedang besar itu berkelebat cepat memenggal leher Pendekar Mabuk.
Wuuut...! Craaas...!
"Sutooo...!" teriak Putri Malu dan segera menghambur menyerang Batu Laut dengan
melepaskan pukulan
bersinar hijau dari telapak tangannya.
Claaap...! Duaaar...! Batu Laut menangkisnya dengan
pedang besar itu. Rupanya ia
menyalurkan tenaga dalam melalui
pedangnya sehingga ketika menangkis sinar hijau lurus itu sang pedang
dikelilingi oleh sinar merah yang
mirip cacing berlompatan.
Ledakan itu menghentak dan
membuang tubuh Putri Malu ke tempat semula, di bawah pohon. Gadis itu
segera bangkit karena ingat Suto
ditebas lehernya dengan pedang besar itu.
Namun ketika ia memandang Suto,
ternyata Pendekar Mabuk masih bisa
tersenyum dan melangkah tenang ke
salah satu pohon di dekatnya. Putri Malu terbelalak bengong memperhatikan hal
itu. "Kulihat jelas sekali pedang itu ditebaskan ke lehernya dan kena! Jelas kena,
sebab pedang itu sampai lewat di antara kepala dan badannya. Tapi
kenapa ia masih bisa berjalan tenang?"
Keheranan itu juga dialami oleh
Batu Laut yang menggeram genit. "Iiih masih hidup juga! Benciiii... aku!
Benciii...sekali!"
Lelaki berpakaian bola-bola
hitam-putih itu juga memandang heran dan kagum sampai ia maju beberapa
langkah memperhatikan Pendekar Mabuk.
Namun tiba-tiba ia dan yang lain
mendengar suara benda jatuh.
Bluuuk...! Karena datangnya dari
belakang lelaki berpakaian bola-bola hitam-putih maka orang tersebut
menengok ke belakang.
"Hahh..."!" Ia terpekik dengan mulut ternganga lebar dan mata
membelalak bagai ingin loncat dari
kelopaknya. "Batu Laut...! Mengapa yang
terpenggal justru si Pawang Segara"!"
Batu Laut terpekik juga dengan
gaya ganjennya, "Haaah... kok Pawang Segara temanku sendiri yang kepalanya
putus"! Aduuuh... bagaimana ini"!
Bagaimana ini, Lumut Karang"!"
Batu Laut segera memungut kepala
si kepala botak itu, dengan gugup
kepala itu ingin ditempelkan kembali ke gembungnya yang roboh beberapa saat
kemudian. Akhirnya Batu Laut menangis layaknya seorang perempuan mengalami
kematian suaminya.
"Lumut Karang... bagaimana ini"!
Yang kupenggal kepala bocah itu, tapi kenapa yang putus kepalanya si Pawang
Segara"! Adduuuh... kenapa bisa jadi begini, Lumut Karang! Oh, Pawang
Segara... maafkan aku. Aku tidak
bermaksud memenggalmu, Pawang Segara.
Hik, hik, hik, huuuuuu...!"
Putri Malu semakin tak bisa
bergerak sedikitpun. Bahkan untuk
mengatupkan mulutnya terasa sulit, ia sangat terkesima dan terheran-heran
melihat kejadian itu. Tentu saja ia demikian karena ia tak tahu bahwa Suto
Sinting mempunyai jurus "Alih Raga'
yang mempunyai kehebatan tersendiri.
Serangan apa pun yang ditujukan
kepada Pendekar Mabuk, jika kekuatan batinnya dialihkan ke orang lain, maka
orang itulah yang akan menderita.
Karenanya sejak tadi Suto memandang si kepala botak karena sedang mengalihkan
kekuatan batinnya, di mana setiap
sentuhan ke tubuhnya tersalur pindah ke tubuh orang yang tadi dipandangnya.
Maka ketika leher dipenggal oleh Batu Laut, bukan leher Suto yang merasakan
sakit dan merasa disentuh pedang,
melainkan leher orang yang ternyata bernama Pawang Segara itu.
"Anak setan keparat kau!" geram Lumut Karang yang berambut pendek
dengan ikat kepala merah itu. Ia
segera menyerang Suto Sinting dengan kekuatan tenaga dalam. Pedangnya
ditancapkan ke tanah dengan satu kaki berlutut. Jrrub...!
Kedua tangannya mengeras dalam
keadaan telapak terbuka. Lalu, kedua telapak tangan itu bagaikan mendorong
pedang tersebut dengan satu sentakan yang tak sampai menyentuh gagang
pedang. Wuuut...! Dan pedang itu pun melayang sendiri bagaikan terbang ke
arah Suto Sinting. Weees...!
Suto Sinting terkejut, lalu
segera mengelak dengan memiringkan
badan ke kanan. Weeet...!
Jruub...! Pedang itu menancap di
batang pohon. Kurang dari setengah
jengkal akan menembus daun telinga
Pendekar Mabuk.
Pada saat Suto Sinting mengelak
itulah, Lumut Karang melepaskan
pukulan tenaga dalam jarak jauh,
berupa sinar biru dari tengah telapak tangannya. Suuuut...!
"Awaaass...!" teriak Putri Malu dengan tegang.
Suto Sinting menghindar dengan
satu lompatan. Tapi gerakannya
terlambat sedikit. Kaki Suto Sinting terkena sinar biru itu.
Blaab...! "Aaauuh...!" Suto Sinting memekik keras karena kaget dan merasakan sakit bukan
kepalang, ia pun segera roboh tak mampu berdiri lagi. Kaki kirinya menjadi memar
membiru bahkan seperti mau busuk.
"Mampus kau, Cah Bagus. Kupenggal kepalamu, Iiihh...!" Batu Laut gemas sekali,
ia segera berlari melompat
dengan berjungkir balik cepat, lalu
tiba di samping Suto.
Pedang besar diangkat, siap untuk
ditebaskan. Putri Malu siap lepaskan pukulan jarak jauhnya yang akan
mengarah ke punggung Batu Laut.
Namun tiba-tiba tangan Suto
Sinting bergerak lebih dulu melepaskan sinar hijau lurus ke dada Batu Laut.
Claaap...! Blaaar...! Jurus 'Pecah Raga' terpaksa
digunakan Pendekar Mabuk karena
keadaan sangat terdesak. Batu Laut
lenyap entah ke mana. Temannya yang berjuluk
Lumut Karang sempat kebingungan sesaat mencari ke mana
perginya Batu Laut.
Kejap berikutnya ia sadar bahwa
Batu Laut telah hancur menjadi
serpihan kecil-kecil. Bahkan pedangnya pun hancur menjadi serpihan logam yang
berantakan ke mana-mana.
Tubuh Lumut Karang gemetar
menahan murkanya manakala ia melihat jari kelingking Batu Laut jatuh di
depan telapak kakinya. Wajah bengis itu menjadi semakin buas. Giginya
bergemeretak penuh luapan amarah.
"Bangsaaat...! Bocah kemarin sore sudah mampu tumbangkan dua temanku!
Kubalas kematian itu! Kubalas kau,
Bocah Edan! Heeeaaah...!"
Suto Sinting semakin menyeringai
menahan sakit. Luka lebam di kakinya itu mendatangkan kebusukan begitu
cepat. Dari batas mata kaki, sekarang sudah sampai ke betis. Bau busuk pun tak
tertahankan lagi.
Melihat keadaan Pendekar Mabuk
menderita seperti itu, Putri Malu
segera lepaskan pukulan tenaga
dalamnya bersinar hijau ke arah Lumut Karang.
Pada waktu itu Lumut Karang
sedang kerahkan melalui kedua
tangannya untuk menghancurkan Pendekar Mabuk. Saat dadanya terbuka, sinar
hijau Putri Malu datang menghantamnya.
Claaap...! Deess...!
"Aaahg...!" Lumut Karang
tersentak ke belakang. Tubuh besarnya sempat melayang dalam keadaan
melengkung ke depan. Namun ketika
kakinya menapak ke tanah lagi, kulit tubuhnya menjadi merah matang dari
batas dada sampai kepala. Tubuh itu gemetar dengan mata mendelik tertuju ke arah
Putri Malu. Tapi mulutnya
segera mengeluarkan darah kental warna merah kehitam-hitaman.
Hidungnya juga mengeluarkan
darah, sedangkan kedua telinganya pun melelehkan darah kental dengan warna yang
sama. Lumut Karang terluka parah bagian dalamnya.
Namun ia masih berusaha
menggerakkan tangannya, seakan ingin mengerahkan tenaga untuk menguatkan diri.
"Aaaggghhh...!" mulutnya mendesah seperti seekor ular besar.
Putri Malu tidak mau tinggal
diam. Ia tak ingin memberi kesempatan kepada lawannya untuk memperoleh
tenaga baru. Maka dengan gerakan
cepat, gadis itu melesat bagaikan terbang, dan kedua kakinya menendang dada
Lumut Karang secara beruntun.
Duug, duug, duug, duug, duug...!
Tendangan beruntun yang tentunya
dialiri tenaga dalam
tinggi itu membuat tubuh Lumut Karang tersentak-sentak mundur tak berdaya lagi. Darah yang
keluar dari mulut dan hidungnya semakin menyembur-nyembur. Untuk
berteriak atau mengerang sudah tak
mampu lagi. Putri Malu segera daratkan kaki
ke tanah. Jleeg...! Ia pasang kuda-kuda untuk lakukan serangan lagi.
Namun gerakannya tertahan oleh
melimbungnya tubuh Lumut Karang.
Dada orang bertubuh besar itu
seperti nangka busuk.
Bonyok dan berwarna biru kehitaman. Jelas dada itu telah rusak karena didera oleh
tenaga dalam secara beruntun. Tulang dada patah, namun tak dirasakan lagi oleh
Lumut Karang. Badan besar itu akhirnya melayang ke kiri dan roboh tanpa ragu-
ragu lagi. Bruuuk...!
Putri Malu mengendurkan
ketegangan uratnya ketika ia melihat lawannya menghembuskan napas terakhir.
Gadis itu ikut menghembuskan napas
karena merasa lega.
Namun ketika ia memandang ke arah
Pendekar Mabuk, kecemasan menerkamnya kembali, ia berlari ke arah Suto yang tak
bisa berdiri lagi itu.
"Suto, bertahanlah! Kau terkena pukulan beracun yang amat berbahaya.
Ooh... badanmu bisa busuk semua. Luka itu bergerak merayap dengan liar."
Putri Malu menyingsingkan celana
putih Pendekar Mabuk hingga ke batas lutut, ia terperangah sesaat melihat betis
Suto telah habis dimakan racun yang membusukkan tulang dan daging.
"Diamlah! Kucoba untuk mengangkat
racun ini...!" kata Putri Malu.
Kemudian dengan kedua tangan
mengembangkan jarinya, otot-otot
tangan mengeras hingga gemetar, Putri Malu melakukan pengobatan sesuai
dengan caranya. Tangan itu tak
menyentuh luka sama sekali, namun
bergerak mengambang di atas luka. Ia seperti menarik beban berat hingga
tenaganya dicurahkan dan tubuhnya
gemetaran. Wuuut...! Putri Malu bagaikan
menyambar seekor nyamuk di atas luka membusuk itu. Kemudian sesuatu yang telah
digenggamnya itu ditiup dengan kepala mendongak ke langit. Puiiih...!
Hal itu dilakukan lebih dari lima
kali, sampai akhirnya seringai di
wajah Pendekar Mabuk mulai hilang.
Rasa sakit mulai menipis. Namun luka belum bisa sembuh. Pembusukan masih terjadi
di batas betis ke bawah.
Bahkan sekarang luka itu bagaikan bergerak merayap mendekati lutut.
"Masih terasa sakit"!"
"Tid... tidak. Tapi luka ini
masih bergerak terus."
"Aku telah membuang rasa
sakitnya. Tapi racun itu susah kusedot pakai tenagaku!"
"Kalau saja saat ini bumbung
tuakku ada, aku tak akan semenderita ini, Putri Malu."
Hati gadis itu meratap sedih dan


Pendekar Mabuk 044 Pusaka Bernyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penuh penyesalan. Rasa bersalah
semakin menghantui jiwanya. Dan kini ia merasa bertanggung jawab terhadap luka
Pendekar Mabuk, ia harus bisa
menyembuhkan luka berbahaya itu karena gara-gara ulahnya maka luka itu tak bisa
dicegah oleh tuak sakti sang
Pendekar Mabuk.
"Maaf, aku harus menotok lututmu untuk membendung gerakan racun yang akan
menjalar ke sana!"
"Lakukanlah...!" kata Suto Sinting dengan lemas.
Dengan dua jarinya, Putri Malu
menghantam lutut Suto Sinting.
Dees...! Satu totokan membuat Suto
tersentak dan memekik tertahan.
Dees...! Deeees...!
Tiga totokan sudah dilakukan
Putri Malu. Ternyata gerakan luka
terhenti. Namun bagian yang sudah
telanjur mengalami pembusukan tulang dan daging itu semakin menyebarkan bau tak
sedap, bahkan melelehkan air yang baunya memualkan perut. Putri Malu sempat
pergi ke balik pohon dan muntah
di sana. Kini Suto Sinting bagaikan
kehilangan satu kakinya. Ia tidak
merasa punya kaki karena peredaran darahnya sudah ditotok oleh Putri
Malu. Hati sang Pendekar menjadi
sedih, karena ia merasa sebagai
pendekar sudah kehilangan daya
kekuatan seperti biasanya.
"Tunggu sebentar, kucarikan daun penangkal racun. Mudah-mudahan di sini ada,"
kata Putri Malu, kemudian ia berlari cepat mencari daun yang
dimaksud. Suto Sinting ditinggalkan di situ sendirian.
"Bumbung tuakku, di mana kau"!"
kata Suto dalam hatinya. "Siapa sebenarnya pencuri bumbung tuakku
itu"! Celaka betul kalau begini, aku bisa mati busuk kalau racun ini tidak bisa
ditawarkan dengan cepat. Uuuh...
baunya saja bikin perutku mual sekali, apalagi rasanya!"
Suto Sinting ingat tentang bambu
wadah tuaknya itu. Bambu bernyawa itu jelmaan maha gurunya yang sering
disebutnya Eyang Wijayasura. Gila
Tuak, gurunya, memanggil Wijayasura dengan sebutan 'kakek', karena
Wijayasura adalah guru dari gurunya si
Gila Tuak. "Tak ada salahnya kalau aku
memanggil Guru; Gila Tuak supaya
membantuku mencarikan bumbung tuak
itu," pikir Suto. Kemudian ia segera mengambil sikap duduk lebih teratur lagi.
Badannya ditegakkan, kaki
kirinya yang sehat ditekuk bagai
bersila, kaki yang terluka dibiarkan lurus melonjor.
Mata terpejam dan kedua tangan
saling merapat di pertengahan dada. Ia memusatkan pikirannya untuk memanggil
sang Guru dari jarak jauh. Tetapi usaha itu terhalang oleh keadaan yang tak bisa
dihindari lagi.
Dalam keheningannya itu, Suto
Sinting merasakan datangnya sekelebat angin dari arah kirinya. Angin kencang itu
berhembus cepat ingin
menerjangnya. Seketika itu Pendekar Mabuk sentakkan badan hingga
terbaring. Tapi karena luka
pembusukan, maka segala gerakannya
menjadi lamban, tak selincah biasanya.
Wuuuut...! Angin itu menerjangnya
dan Suto Sinting terlambat bergerak.
Sesuatu menghantam wajahnya. Plook...!
Terasa keras dan ingin memecahkan
tulang pipi serta tulang rahangnya.
Suto Sinting sempat terpekik sampai jatuh terbaring. Namun ia cepat
bangkit terduduk dan memandang ke arah kanan.
Ternyata di sana sudah berdiri
sesosok tubuh berkerudung kain hitam dari kepala sampai kaki. Orang itu
berwajah putih dingin tanpa perasaan apa-apa. Ia memegang tongkat El Maut yang
ujungnya seperti paruh burung
bangau. Melihat kehadiran orang itu hati
Suto Sinting terkejut sekali, sebab ia sadar keadaan dirinya sangat lemah.
Suto tahu persis bahwa orang
berkerudung kain hitam itu tak lain adalah musuh utamanya yang berjuluk Siluman
Tujuh Nyawa. "Celaka! Dia muncul dalam keadaan aku sedang tak berdaya begini, tanpa bumbung
tuak dan tanpa tenaga seperti biasa!" keluh hati Suto Sinting.
"Pandangan matanya semakin tajam, bagai ingin menghancurkan jantungku.
Haruskah dia kulawan dalam keadaan
seperti ini" Oh, benar-benar celaka nasib ku hari ini. Tubuhku terlalu lemah
akibat pembusukan ini! Tapi
pertarungan ini agaknya tak bisa
dihindari lagi. Mudah-mudahan Putri
Malu jangan muncul dulu, supaya ia tidak menjadi korban Siluman Tujuh
Nyawa itu!"
* * * 5 PENGEMBARAAN Pendekar Mabuk
adalah upaya memburu tokoh sesat
terkenal yang sukar ditumbangkan.
Manusia yang menjalani masa kutukan selama tiga ratus tahun itu tak akan pernah
bisa lepas dari dunia hitam, karena ia pernah memperkosa neneknya; Nini Galih,
gurunya Bidadari Jalang.
Manusia terkutuk itu tak lain adalah Durmala Sanca, yang kemudian dikenal dengan
nama Siluman Tujuh Nyawa.
Sekarang usianya baru dua ratus
lima belas tahun, tapi Siluman Tujuh Nyawa masih kelihatan muda dan punya
ketampanan tersendiri. Wajah putihnya bagai mengenakan bedak tebal itu
menampakkan bentuk ketampanan yang
tersembunyi. Ketampanan yang pucat
semakin terlihat jelas dari warna
bibirnya yang biru, matanya tajam dan
berkesan dingin, ia satu-satunya orang yang tak pernah tersenyum dan tak
mempunyai perubahan air muka.
Tokoh paling keji di antara
seluruh tokoh kejam ini diburu Suto Sinting bukan saja karena kejahatannya yang
di luar batas, tapi juga
merupakan maskawin bagi calon istrinya Suto; Gusti Mahkota Sejati yang
berkuasa di negeri Pintu Gerbang
Surgawi alam nyata. Dyah Sariningrum, nama asli Gusti Mahkota Sejati, pernah
menolak lamaran Siluman Tujuh Nyawa, untuk penolakannya itu Dyah
Sarlnlngium nyaris kehilangan nyawa.
Untung ia segera ditolong oleh
Pendekar Mabuk, yang kemudian mereka saling jatuh cinta. Sebagai dendam
pembalasan Dyah Sariningrum, ia minta maskawin kepala Siluman Tujuh Nyawa,
sehingga Pendekar Mabuk pun memburu tokoh terkutuk itu untuk memenggalnya, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Prahara Pulau Mayat").
Siluman Tujuh Nyawa selain
berilmu tinggi juga punya kelicikan yang membuatnya licin seperti belut, sukar
diburu dan ditangkap. Namun
sekarang tokoh sesat itu ada di depan Suto Sinting, seolah-olah menantang
perburuan yang dilakukan Suto selama ini. Sayang sekali keadaan Suto
Sinting cukup lemah untuk lakukan
perlawanan. Sekalipun Suto tahu bahwa Siluman Tujuh Nyawa hanya akan bisa
dibunuh dengan Pedang Kayu Petir,
namun setidaknya dalam keadaan
bagaimanapun Pendekar Mabuk harus
lakukan penyerangan dan perlawanan
terhadap orang terkutuk yang membunuh saudara kembarnya, ayah-ibunya dan
anaknya sendiri itu. Karenanya, ketika Siluman Tujuh Nyawa diam tak bergerak
dalam jarak enam langkah dari Suto
dengan mata memandang tajam dan
kedinginannya bagai membekukan seluruh darah, Pendekar Mabuk tak mau kalah
nyali, ia juga memandang penuh sikap menantang, walaupun keadaan luka di kakinya
sebenarnya tidak memungkinkan bagi sang Pendekar untuk melakukan
pertarungan. "Kita bertemu di sini. Kau atau aku yang mati," ucap Siluman Tujuh Nyawa dengan
nada bicara yang datar bagai tak berperasaan. Itulah ciri-ciri Siluman Tujuh
Nyawa dalam bicara dan berpenampilan di depan siapa saja.
Tiap kata tidak mempunyai tekanan
khusus, sehingga datar dan lurus saja
tanpa irama. Pendekar Mabuk membalas ucapan
itu dengan nada tegas dan melambangkan keberanian dalam jiwanya.
"Apa yang bisa kau lakukan
terhadap diriku" Tak ada! Kedatanganmu sama saja menyongsong ajal, Durmala
Sanca!" sambil Suto Sinting siap-siap lepaskan jurus maut dari tangannya.
Sebab ia tahu bahwa Siluman Tujuh
Nyawa mempunyai jurus maut yang
bernama 'Lima Dewa Kilat'.
Jurus tersebut sangat berbahaya;
berupa lima larik sinar hijau dari
ujung jari. Sinar tersebut harus
ditangkis dengan sinar yang keluar
bersamaan. Jika lawan terlambat
keluarkan sinar penangkis, maka lima larik sinar hijau itu tak mampu
ditembus atau ditangkis oleh sinar
tenaga dalam apa pun. Jurus 'Lima Dewa Kilat' tak ada yang punya kecuali
Siluman Tujuh Nyawa.
Itulah sebabnya mata Suto Sinting
tak mau berkedip dan tetap waspada
supaya tak kecolongan peluang.
"Masa kejayaanmu sebagai pendekar kondang akan berakhir, Suto! Aku tahu kau
dalam keadaan lemah, dan aku tak mau kehilangan kesempatan untuk
menghancurkan ragamu!"
"Lakukanlah kalau kau merasa
mampu!" tantang Suto Sinting.
Wuuut...! Tiba-tiba tubuh
berkerudung kain hitam dari kepala
sampai kaki itu berkelebat seperti
angin lewat, ia menerjang Pendekar
Mabuk dengan mengarahkan senjata El Maut-nya.
Suto Sinting punya kesempatan
bergerak menghindar dengan cepat, ia menyentakkan punggungnya ke belakang hingga
badannya jatuh ke tanah dengan cepat. Buuk...! Duuk...! Kepala Suto terantuk
batu. Untung tak sampai
bocor. Sedangkan terjangan Siluman
Tujuh Nyawa yang mirip angin
berkelebat itu melintas di atas tubuh Pendekar Mabuk yang terbaring di
tanah. Weess...!
Dengan sekuat tenaga Suto Sinting
segera berguling ke arah kanan.
Kakinya yang luka terbentur batu.
Deeeb...! "Aaaauh...!" Suto Sinting memekik kesakitan. Wajahnya menyeringai hingga tampak
amarahnya. Durmala Sanca memanfaatkan
kesempatan itu untuk menyerangnya
dengan jurus 'Lima Dewa Kilat'. Namun
begitu tangannya bergerak, sebelum
sinar sempat keluar dari kelima ujung jarinya, Suto Sinting cepat sentakkan
kedua tangannya ke depan. Seberkas
sinar biru besar keluar dari tangan Pendekar Mabuk bersamaan dengan
melesatnya sinar hijau dari kelima
jari Siluman Tujuh Nyawa. Sinar biru besar itu menghantam kelima larik
sinar hijau bersamaan. Jraaab...!
Blegaaarrr...! Ledakan dahsyat terjadi akibat
pertarungan jurus 'Lima Dewa Kilat'
dengan jurus 'Tangan Guntur'-nya
Pendekar Mabuk. Gelombang ledakan yang menyentak hebat itu bukan saja membuat
tubuh Suto Sinting terlempar ke semak-semak, namun juga membuat tubuh
Siluman Tujuh Nyawa terlempar kuat membentur dinding batu cadas. Kerasnya
lemparan tubuh sang tokoh sesat itu membuat dinding batu cadas menjadi
gompal dan bebatuan di atasnya pun runtuh menimbulkan suara bergemuruh.
Reruntuhannya menimbun tubuh Siluman Tujuh Nyawa yang ada di bawahnya.
Namun dengan sekali sentak, batu-batu itu terbang menyebar ke berbagai arah dan
tubuh Siluman Tujuh Nyawa berhasil bangkit tegak kembali dalam sekejap.
Gelombang ledakan itu juga
membuat beberapa bongkah batu di
sekeliling tempat itu pecah ataupun retak, tanah berguncang mengerikan dan
pohon-pohon bergetar hebat. Bahkan ada yang sempat tumbang tercongkel akarnya
hingga mencuat ke permukaan tanah.
Suto Sinting mati-matian menahan
rasa sakitnya. Kaki yang membusuk itu terasa sangat nyeri saat tergores
ilalang dan ranting semak. Sekalipun demikian, ia berusaha keluar dari
semak-semak dengan merayap menggunakan kedua tangannya.
Kemarahan yang membakar hati Suto
Sinting, mendidihkan darahnya. Napas Tuak Setan mulai bekerja, setiap
engahan napasnya menghadirkan angin besar yang sempat membuat tanaman
kecil terguncang, rumput-rumput sempat jebol dari akarnya. Suto Sinting
menyadari akan hal itu.
Maka ketika Siluman Tujuh Nyawa
menggunakan tongkat El Maut-nya untuk lakukan serangan berikutnya, Pendekar
Mabuk segera membuka mulut dan
mengantarkan suara bersamaan keluarnya Napas Tuak Setan.
"Huaaah...!"
Blegeeerrr...! Wuuuurrrsss...!
Badai besar berkecepatan tinggi
menerjang apa saja yang ada di depan Suto Sinting. Bumi pun berguncang
hebat, langit berawan gelap, kilatan cahaya petir bersahutan di angkasa.
Keadaan itu seperti awal kedatangan kiamat.
Pohon-pohon tumbang beterbangan,
sekalipun yang berukuran besar maupun kecil. Tumbangnya pohon-pohon
itu menimbulkan suara semakin gaduh.
Bebatuan tersapu oleh badai yang
melanda tempat itu. Bongkahan batu
besar pecah menjadi bongkahan kecil, yang berukuran tanggung pecah menjadi
kerikil. Yang berukuran kecil terbang bagaikan kapas terhempas angin.
Siluman Tujuh Nyawa semula
bermaksud melawan badai Napas Tuak
Setan itu dengan berdiri tegak,
tongkatnya ditancapkan ke tanah, ia biarkan angin badai menyapu dirinya,
menyingkapkan kerudung hitamnya hingga rambutnya yang panjang tampak meriap-riap


Pendekar Mabuk 044 Pusaka Bernyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersapu angin badai.
Tetapi pertahanan itu segera
tumbang setelah sebatang pohon terbang dan menghantam dirinya. Wuuuss...!
Bruuusss...! Tubuh sang tokoh sesat pun ikut terbawa terbang dengan
kecepatan tinggi, ia terhempas pada dinding batu cadas. Namun saat itu
bukit cadas yang berdinding hampir
tegak lurus itu mengalami keruntuhan besar. Sebagian puncaknya bagaikan
terkikis dan mengalami kelongsoran.
Siluman Tujuh Nyiiwn tertimbun
kelongsoran yang terdiri dari
gumpalan-gumpalan batu cadas itu.
Ditambah lagi beberapa pohon yang
terbang menghantam dirinya. Beberapa batu yang terpental sempat menghantam
dirinya pula. "Dia berdarah..."!" gumam Suto Sinting yang memperhatikan lawannya sejak tadi.
Siluman Tujuh Nyawa memang
berdarah pada bagian wajahnya. Kayu pohon dan bebatuan runcing yang
menghantamnya sempat menggores atau melukai wajah itu. Sedangkan kekuatan tenaga
dalam yang dikerahkan Siluman Tujuh Nyawa untuk menahan agar tak ada benda yang
menyentuhnya ternyata jebol juga. Akibatnya ia tergencet antara pepohonan dan
bebatuan yang menghantamnya dengan dinding bukit
cadas yang ditabraknya.
Dari tumpukan benda-benda yang
menimbun tubuh Siluman Tujuh Nyawa
itu, tiba-tiba keluar beberapa berkas sinar merah yang memancar melalui
celah-celah kosong. Kejap berikutnya, tubuh Siluman Tujuh Nyawa tersentak keluar
dari timbunan benda-benda itu.
Braaasss...! Tubuhnya bersinar merah dalam
keadaan melayang di udara dengan
tongkat El-Maut masih digenggamnya.
Tapi karena hempasan badai
masih kencang, maka tubuh yang melayang di udara itu terbuang lagi melayang-layang
bagaikan daun kering. Tubuh itu menghantam sebatang pohon besar dan kokoh yang
masih berdiri dengan
meliukkan pucuknya nyaris menyentuh tanah. Blaaar...!
Ledakan besar terdengar akibat
benturan tubuh Siluman Tujuh Nyawa
yang memancarkan sinar merah dengan pohon besar. Akibatnya pohon besar itu patah
di pertengahan batang. Hancur sebagian dan sisanya menjadi hangus terbakar.
Durmala Sanca bangkit dari
jatuhnya. Berdiri tegang
menahan hembusan badai yang masih mengamuk
itu. Matanya tertuju ke arah Pendekar Mabuk. Tangan kanan Suto mulai bersiap
melepaskan pukulan jarak jauhnya. Tapi
tiba-tiba Siluman Tujuh Nyawa melesat ke arah lain dan menghilang dalam
pelariannya, ia masuk ke alam gaib, karena memang ia mempunyai ilmu yang bisa
dipakai untuk keluar-masuk alam gaib.
"Keparat! Dia kabur lagi!" sambil Suto Sinting menghantamkan kepalan
tangannya ke tanah. Tanah itu menjadi berongga cukup besar.
"Kalau keadaanku tidak sedang
seperti ini, kukejar kau ke alam gaib dan kita selesaikan pertarungan di
sana!" kata Suto Sinting bagai bicara pada diri sendiri.
Terhembusnya Napas Tuak Setan
menghadirkan bencana alam di sekitar tempat itu, bahkan sampai beberapa jauh.
Hutan di seberang sana pun
menjadi rusak dilanda angin badai dari tempat Suto Sinting berada. Gelegar petir
di angkasa masih saling
bersahutan. Dan ketika badai itu
hilang, suasana alam menjadi porak-
poranda. Tempat itu benar-benar
seperti habis dilanda kiamat kecil yng mencengangkan mata seorang gadis.
Gadis yang berlari-lari dari arah
belakang Suto itu tak lain adalah
Putri Malu. Wajah sang gadis bukan
saja tercengang memandang keadaan alam di depan Suto, melainkan juga merasa
cemas sekali akan keselamatan Pendekar Mabuk.
"Sutooo..."! Kau tidak apa-apa"!"
ucap sang gadis menampakkan
kecemasannya. Pendekar Mabuk buru-buru
meredakan engahan napasnya, menurunkan getar kemarahannya, ia mencoba untuk
tampil dengan tenang dan kalem,
walaupun masih tampak kaku.
"Dari mana saja kau?" Suto Sinting berlagak mencemaskan Putri
Malu dan merasa agak kecewa karena
terlalu lama ditinggal pergi. Padahal kepergian Putri Malu adalah suatu
keberuntungan bagi Pendekar Mabuk.
Karena dengan demikian Putri Malu
tidak menjadi korban salah sasaran
serangan Siluman Tujuh Nyawa.
Setidaknya gadis itu tidak menjadi
korban badai Napas Tuak Setan itu.
"Aku mencari daun penangkal racun itu, tapi sampai ke lembah sana tak
kudapatkan. Aku justru mendengar suara gemuruh seperti gempa bumi. Lalu aku
berlari ke sini dengan hati cemas,
takut kau mengalami celaka yang lebih mengerikan lagi."
Suto Sinting sunggingkan senyum
tipis. "Aku baik-baik saja "
Tapi mata gadis itu masih
memandang heran ke arah pohon-pohon yang tumbang dan bebatuan yang hancur.
Kejanggalan ditemukan oleh sang gadis, sehingga gadis itu membatin dalam
hatinya, "Mengapa yang porak-poranda hanya sebatas bagian depan Suto, sedangkan alam di
belakang Suto tidak mengalami kehancuran seperti itu" Apa yang
terjadi di sini sebenarnya?"
Ketika hal itu ditanyakan kepada
Suto, Pendekar Mabuk itu hanya
menjawab, "Aku tak tahu. Aku baru saja siuman dari pingsanku."
"Oh, kau sempat pingsan"!"
"Ya, karena menahan rasa sakit yang datang lagi secara bertubi-tubi ini!" sambil
ia menunjuk kakinya yang kian membusuk.
Karena senja semakin temaram,
Putri Malu berkata kepada Suto
Sinting, "Aku tadi melihat sebuah gua di lereng sebelah selatan sana.
Bagaimana kalau kau kubawa ke gua itu, lalu kutinggalkan di sana untuk
mencari daun penangkal racun?"
"Apakah gua itu aman untuk kita?"
"Aku sempat memeriksa sebentar.
Gua itu aman, hanya sedikit agak
kotor. Dan lagi... sebentar lagi
petang akan tiba. Kita harus segera dapatkan tempat untuk bermalam. Langit
menghitam begitu, pasti akan turun
hujan." Pendekar Mabuk tidak mempunyai
pilihan lain, ia terpaksa menerima uluran tangan Putri Malu untuk bangkit dan
menuju ke sebuah gua yang dimaksud si gadis tadi.
"Bagaimana kalau kau kupanggul"
Aku kuat memanggulmu," kata Putri Malu dengan penuh perhatian.
"Tidak perlu," jawab Pendekar Mabuk. "Aku butuh kayu penyangga tubuh. Aku masih
bisa melangkah walau harus terpincang-pincang
sambil menahan sakit."
"Gunakan pundakku sebagai kayu penopang. Mari kupapah pelan-pelan
menuju gua itu."
Sebenarnya tak sulit mencari
sebatang kayu untuk menopang tubuh
Suto Sinting, tapi Putri Malu agaknya tak inginkan hal itu. Ia lebih suka
pundaknya digunakan sebagai pegangan Suto.
Barangkali dengan cara begitu
Putri Malu ingin menunjukkan bahwa ia siap berkorban demi menebus
kesalahannya, mencuri bumbung tuak
sakti sang Pendekar itu. Sikap
mengorbankan diri dan membaktikan diri dimiliki oleh sang gadis yang tentunya
punya maksud tertentu, berkaitan
dengan masalah pribadi dan hatinya.
Mungkin juga dengan menyediakan diri menjadi 'tongkat' sang Pendekar yang
terluka, Putri Malu dapat menunjukkan kesetiaannya yang penuh dengan
ketulusan hati.
Dengan melalui langkah yang susah
payah, akhirnya mereka tiba di sebuah gua. Gua itu tidak begitu besar.
Kedalamannya sekitar lima belas
langkah dari mulut gua. Jalan masuk ke gua itu agak kecil, hanya cukup untuk
masuk dua orang bersamaan. Keadaannya agak kotor. Banyak kotoran binatang yang
mengering, tapi umumnya ada di bagian yang paling dalam.
Salah satu sisi lantai gua yang
datar tampak bersih dari kotoran. Ada tanda-tanda gua itu bekas dipakai
orang, karena tempat datar itu
dibersihkan dengan menggunakan
sekumpulan ilalang yang kini dalam
keadaan kering.
Di situlah Putri Malu menempatkan
Pendekar Mabuk untuk beristirahat, ia membimbing sang Pendekar untuk duduk
pelan-pelan dan bersandar puda dinding gua.
"Di luar langit mendung semakin gelap," kata Pendekar Mabuk ketika Putri Malu
akan mencari daun penangkal racun.
"Aku yakin sebentar lagi hujan akan turun. Sebaiknya kau tak usah
pergi dulu, Anggani."
"Aku harus pergi," kata Anggani, si Putri Malu itu. "Racun itu kalau tidak
segera diobati akan membuat
kakimu terpotong dengan sendirinya.
Tapi sebaiknya aku mencari kayu bakar dulu untuk persiapan api unggun."
Suto Sinting tak bisa melarang
lagi. Gadis itu mempunyai kemauan
keras untuk menyelamatkan Suto. Bahkan seolah-olah ia menyediakan diri untuk
menjadi perawat sang Pendekar dengan penuh rasa bertanggung jawab. Diam-diam
Suto Sinting memuji kesetiaan itu dan hatinya sempat terharu
menerimanya. "Rasa sakitmu kuambil dulu!"
ujarnya sebelum pergi mencari kayu
bakar. Suto Sinting membiarkan Putri
Malu mengambil rasa sakit pada luka busuknya itu.
Selesai mengobati rasa sakit
Suto, gadis itu pun keluar dari gua dan mengumpulkan kayu kering. Berulang kali
ia keluar-masuk gua mengumpulkan kayu kering hingga menumpuk di salah satu sisi
lantai gua yang tidak begitu lebar itu.
Angin berhembus membawa udara
dingin. Butiran hujan mulai terasa meresap ke dalam gua dibawa oleh sang bayu.
Gelegar guntur bersahutan di
angkasa. Alam menjadi lebih gelap
lagi. Untuk menghalau hawa dingin.
Putri Malu menyalakan api unggun.
Selain keadaan di dalam gua menjadi hangat, juga menjadi terang. Wajah
sedih penuh penyesalan terlihat pada kecantikan si gadis berambut cepak
itu. Suto Sinting memperhatikan
kecantikan itu dengan mulut terkatup dan badan bersandar sedikit merebah.
Pada saat si gadis membungkuk untuk menyusun kayu bakar, belahan dadanya
terlihat jelas dari tempat Pendekar Mabuk berada. Dua buah bukit
menggantung di sana, tampak segar dan menggoda jiwa.
"Setan...!" gerutu Suto Sinting sambil memalingkan wajah, tak berani terlalu
lama memandang kemulusan yang begitu sekal menantang itu.
"Kalau aku bukan kekasih Dyah
Sariningrum, akan kubiarkan asmaraku mekar dalam pelukannya. Ah, ini
godaan. Kau harus tabah, Suto. Kau
harus bisa menahan diri untuk tidak hanyut dalam pemandangan yang
menggiurkan itu," kata Suto dalam hatinya, bicara pada diri sendiri.
Api unggun telah menyala. Tapi
rintik hujan mulai turun membasahi
bumi. Putri Malu bangkit dan tampak memandang ragu ke arah luar. Suto
Sinting segera berkata kepadanya,
"Urungkan niatmu untuk sementara, Anggani. Hujan akan menjadi deras.
Jika kau basah karena hujan kau akan sakit. Lalu siapa yang akan merawatku kalau
kau sakit?"
Kata-kata itu sangat menyentuh
hati Anggani. Sepertinya mempunyai
makna besar bagi hubungan mereka
berdua. Anggani pun segera mendekati Suto dan berkata dengan sikap tegar, walau
sebenarnya dalam hatinya
merasakan keharuan yang dalam.
"Baiklah, aku menurut dengan
saranmu. Kupikir memang ada baiknya aku menjaga diri agar aku bisa
merawatmu."
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum
tipis. Sorot matanya tertuju ke mata indah Putri Malu. Sorot mata itu
merayap ke hidung bangir, lalu ke
bibir menggemaskan, lalu ke dada.
Sampai di dada sorot mata itu cepat-cepat naik lagi, tak berani terlalu lama
memandangi dada berkulit mulus, takut terjadi pemberontakan dalam
jiwanya. "Masih terasa sakit?" tanya Putri Malu dengan suara lembut.
Suto Sinting menggeleng pelan.
"Tapi kau berkeringat, apakah
menahan sakit?" sambil keringat di kening Suto segera dihapusnya memakai kain
ikat pinggang berwarna kuning.
Kain itu dilepas dari pinggang Putri Malu dan digunakan mengeringkan
keringat di sekitar kening dan
pelipis. Dengan terlepasnya kain ikat
pinggang yang selama ini membuat rompi merah tak berlengan itu menjadi rapat
bagian depannya, maka keadaan rompi merah pun menjadi berubah. Rompi itu membuka
dan kulit tubuh pun terlihat
jelas. Suto agak risih melihat rompi
tanpa kancing itu. Sebab di balik
rompi tak ada pelapis tubuh lagi.
Namun ia tak berani menegur, karena mungkin jika ditegur Anggani benar-benar
menjadi putri malu.
"Barangkali ia punya kebanggaan sendiri memamerkan keadaan seperti
itu," pikir Suto Sinting. "Biar sajalah, tak perlu ditegur. Kalau mau ya
dipandang kalau tidak mau ya jangan dipanggang, eh... jangan dipandang,"
lalu Suto tertawa sendiri dalam
hatinya. Malam pun tiba, hujan semakin


Pendekar Mabuk 044 Pusaka Bernyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

deras. Namun keadaan Putri Malu
berkeringat karena ia habis
menyalurkan hawa murninya ke tubuh
Suto supaya bisa menghambat keganasan kerja racun di kaki. Hawa murni Putri Malu
yang disatukan dengan hawa murni Pendekar Mabuk ternyata tidak
menghasilkan perubahan apa-apa pada luka busuk tersebut.
"Cukup sudah usahamu, Anggani.
Aku tahu kau sangat menyesal karena mencuri bumbung tuakku, dan kau ingin
menebusnya dengan cara merawatku. Aku cukup paham dengan isi hatimu,
Anggani." Anggani diam termenung memandangi
luka tersebut. Tiba-tiba
ia perdengarkan suaranya yang enak
didengar. "Kalau kakimu sampai buntung
sebelah, bagaimana?"
"Itu namanya takdir."
"Itu hanya anggapanmu saja.
Padahal takdirmu belum
tentu menghendaki kakimu buntung sebelah."
"Aku selalu beranggapan begitu supaya bisa tetap tenang dan bisa
menerima keadaan apa pun tanpa keluh kesah dan jiwa yang lemah. Dengan
menerima sang takdir, kita akan
memperoleh ketenangan sekalipun dalam keadaan yang menyedihkan. Begitulah caraku
mengobati hati jika sedang
menghadapi kekecewaan."
"Apakah hatimu pernah dikecewakan oleh seseorang?"
"Sering," jawab Suto kalem.
"Maksudku, seorang wanita."
Suto Sinting tersenyum menawan.
"Yang berhubungan dengan masalah cinta?"
Gadis itu ganti tersenyum, tapi
kepalanya mengangguk.
"Belum pernah," jawab Suto
Sinting. "Aku tak pernah dikecewakan oleh seorang wanita dalam soal cinta.
Justru sepertinya akulah yang sering mengecewakan wanita."
"Mengapa begitu?"
"Karena aku sering menolak cinta mereka."
"Apakah kau tak punya selera
terhadap wanita?"
"O, sangat tinggi!" jawab Suto cepat sambil tertawa kecil. "Soal selera jangan
ditanyakan. Masalah yang kuhadapi bukan soal selera, tapi soal kesetiaan."
"Kesetiaan"!" Putri Malu berkerut dahi dan mulai curiga. "Apakah kau sudah
mempunyai kekasih?"
Suto Sinting menjawab dengan
tegas, "Ya. Aku sudah mempunyai seorang calon istri...," kemudian ia menjelaskan
tentang Dyah Sariningrum.
Wajah gadis cantik bergiwang
kecil warna merah delima itu mulai
tampak surut. Keceriaannya bagai
terkikis oleh cerita Suto tentang
calon istrinya itu. Tapi setelah ia merenung beberapa saat, wajah murung itu
mulai tampak berseri kembali.
Napasnya ditarik dalam-dalam untuk
mengusir kekecewaan. Karena sebenarnya
Putri Malu kecewa mendengar Suto
Sinting sudah mempunyai calon istri.
Walaupun tak diucapkan, namun Suto
Sinting mengetahui kekecewaan
tersebut. "Persahabatan kadang lebih kekal daripada percintaan," ujar Suto menghibur hati
sang gadis. "Ya, aku mengerti maksudmu. Aku justru bangga mempunyai seorang
sahabat yang punya kesetiaan begitu tinggi terhadap calon istrinya. Jarang
sekali kutemui seorang lelaki yang punya kesetiaan sepertimu, Suto."
"Ah, banyak juga. Hanya saja
mungkin baru akulah yang kau temui."
Putri Malu sunggingkan senyum
kecil. Lalu mereka sepakat untuk tidur setelah Putri Malu berkata,
"Esok pagi aku akan pergi mencari daun penangkal racun. Kurasa esok hari luka
busuk ini belum sampai memotong kakimu. Kita masih punya waktu untuk mencari
daun penangkal racun."
"Terserah bagaimana caramu
merawatku. Aku pasrah," ucap Suto lirih, membuat keteduhan tersendiri di hati
sang gadis. "Sekarang tidurlah, istirahatkan seluruh anggota
tubuhmu biar tak
membuat racun itu bekerja lebih ganas lagi. Aku akan menjagamu di sini."
"Aku ingin kau tidur juga. Ingat, aku tak ingin kita berdua jadi sama-sama
sakit." "Baiklah, tapi bolehkah aku tidur di sampingmu?"
"Untukmu kuizinkan, tapi untuk perempuan lain akan kutolak."
Putri Malu semakin merasa
tenteram, walau ia tahu tak akan bisa mencintai Suto. Ia akhirnya merebah
berbantalkan dada kanan sang Pendekar.
Suto Sinting merapatkan tangannya,
memeluk gadis itu tanpa kenakalan yang mestinya diharapkan oleh sang gadis.
Tidur dengan memeluk Putri Malu
terasa nyenyak bagi Pendekar Mabuk.
Namun esok paginya, ketika ia
terbangun, sesuatu telah terjadi amat mengejutkan. Suto memandang ke samping
kanannya, karena ia merasa memeluk
Putri Malu semalam. Ternyata yang ada dalam pelukannya, yang bersandar di dada
kanannya bukan Putri Malu lagi, melainkan bumbung tuaknya yang hilang itu.
"Hahhh..."! Siapa yang
mengembalikan bumbung tuak ini"!"
pikir Suto Sinting dengan jantung
berdetak-detak karena kegirangan.
Matanya sempat memandang ke sisi lain, ternyata Putri Malu tidur sendirian di
seberang api unggun.
"Oh, terima kasih, Dewa! Kau
telah kembalikan bumbung tuakku dalam keadaan masih penuh. Ooh... terima
kasih...!" Suto Sinting bersorak dalam hatinya. Tanpa menunggu lebih lama
lagi, ia segera menenggak tuak yang amat dirindukan itu.
Seperti seseorang yang menyimpan
dendam cukup lama, tuak itu ditenggak hampir mendekati batas separo bumbung.
Akibatnya luka busuk di kaki Suto
Sinting mulai mengalami perubahan.
Sedikit demi sedikit bau busuknya
hilang, cairan yang meleleh
menjijikkan itu jadi mengering, warna hitamnya berubah menjadi semakin
kecoklatan. Sampai akhirnya luka busuk itu lenyap sama sekali tanpa bekas
sedikit pun. Suto Sinting masih tersenyum-
senyum karena kegirangan, ia bahkan lupa membangunkan Putri Malu karena sibuk
menciumi bumbung tuaknya.
"Jangan-jangan Putri Malu yang bikin permainan ini" Malam-malam ia bangun dan
mengambil bumbung tuak dari
persembunyiannya yang asli, lalu
ditaruh di dadaku dan ia tidur di
seberang sana. Hmmm... tapi kejujuran Putri Malu saat menampakkan
penyesalannya itu memang tulus dan
tidak dibuat-buat. Atau... Nyai Sumbar Keramat yang mengembalikannya karena
melihat aku akur dengan muridnya"
Hmm... dari mana dia tahu kami ada di sini" Jangan-jangan bumbung tuak ini jalan
sendiri..."!"
Kemudian Suto Sinting ingat
peristiwa saat bumbung tuaknya dibuang oleh seseorang ke dalam jurang.
Ternyata ketika malamnya ia tidur di dalam gua, bumbung tuak itu kembali berada
di dekatnya, karena bumbung itu adalah bumbung bernyawa, yang terjadi akibat
kesaktian Eyang Guru Wijayasura dapat menjelma menjadi bambu untuk
bumbung tuak. "Hmmm... ya, ya... aku tahu,
bumbung tuak ini berjalan sendiri
menemuiku walau disembunyikan orang di tempat serapi apa pun!"
Suto Sinting manggut-manggut dan
membayangkan peristiwa hilangnya
bumbung tuak saat dibuang ke jurang oleh Putri Kunang, murid Dewa Sengat yang
kini menjadi penguasa di Pulau
Dadap (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode "Cambuk Getar Bumi").
Putri Malu terbangun dengan
sendirinya tanpa dibangunkan oleh
Pendekar Mabuk, ia terpekik kaget
melihat kaki Suto Sinting sudah pulih seperti sediakala. Bahkan wajah cantik itu
sempat menjadi pucat karena
kekagetannya. Semakin kaget lagi
melihat bambu tuak sudah ada di
samping Pendekar Mabuk, ia nyaris tak bisa berkata apa-apa. Lalu, Pendekar Mabuk
menjelaskan tentang kesaktian bumbung tuaknya yang sejak kemarin
dilupakan itu. "Kalau begitu kita tak perlu
melanjutkan perjalanan ke Bukit
Wangi!" kata Putri Malu.
"Betul. Untuk apa kita ke sana"
Buat apa menemui gurumu jika bumbung tuak ini sudah ada di tanganku?"
"Jadi sekarang kita berangkat
menemui Ratu Sukma Semimpi?"
"Tak ada pilihan lain kecuali
menghadapi dia untuk membebaskan
Ibumu: si Tabib Getar Bumi."
Paras cantik itu berseri-seri
kegirangan. Sorot matanya penuh
semangat. Bayangan Ibunya bebas dari tawanan sang Ratu membuatnya berdebar-
debar. "Tapi sang Ratu punya aji
pemikat," ujarnya mulai melemah kembali. "Mampukah kau menghadapi aji pemikat
yang amat dahsyat itu"!"
"Tahukah kau kelemahan aji
pemikat itu?"
"Aku tidak tahu," jawab Putri Malu dengan semangat mengendur.
"Yang penting kita hadapi dulu sang Ratu. Soal mengatasi aji
pemikatnya, kita pikirkan setelah
berhadapan dengannya. Kita berangkat sekarang saja, Anggani!"
"Aku siap memandumu, Pendekar
Tampan!" jawab Anggani mulai
bersemangat kembali.
* * * 6 TERSEBUTLAH sebuah wilayah
kekuasaan yang dinamakan Tanah Ratu.
Tempat itu ada di lereng bukit
menghadap ke pantai. Jalanan menuju ke istana berbenteng warna putih itu
dibangun begitu rapi dan ditata dengan
tanaman hias yang cukup indah.
Di dalam istana berbenteng putih
itu bertakhta seorang ratu berusia
sekitar empat puluh tahun, namun masih tampak cantik dan menggairahkan.
Sayangnya belakangan ini kecantikan tersebut semakin susut akibat kutukan sang
Pendeta yang dibunuhnya.
Seperti yang pernah dijelaskan
oleh Galak Gantung, Ratu Sukma Semimpi memang tergolong ratu aliran hitam, ia
mempunyai ilmu yang dapat menyerap kesaktian seorang lelaki dalam keadaan sedang
melakukan percumbuan yang
paling dalam. Ayahnya memang bekas
seorang ketua perampok, ibunya
termasuk perempuan jalang, namun
keduanya kini sudah tiada. Darah sesat mewarisi sang anak, hingga jadilah ia
seorang Ratu yang hidupnya selalu
mementingkan diri sendiri.
Perempuan yang disebut Ratu Sukma
Semimpi mempunyai tubuh langsing,
sekal, dan termasuk tinggi. Kulitnya putih tanpa cacat, dadanya montok
sekali, kegemarannya mengenakan jubah ungu dengan belahan dada lebar dan kain
tembus pandang untuk menutup
bagian bawahnya. Rambutnya disanggul rapi, namun sesekali diriap untuk
memancing minat lelaki.
Namun sekarang keadaan sang Ratu
tidak demikian eloknya. Sejak membunuh seorang pendeta dari aliran putih,
rambutnya mulai rontok sedikit demi sedikit. Dan akhirnya menjadi gundul tanpa
rambut selembar pun. Buah
dadanya mengempes, dan nyaris datar seperti seorang lelaki. Kulit tubuhnya
mengalami perubahan dari putih mulus menjadi bercak-bercak coklat, seperti akan
dipenuhi tahi lalat.
Kesekalan tubuhnya pun mulai
mengendor. Betisnya yang semula indah kini menjadi berbusik seperti dilapisi
sisik halus. Kekencangan paha dan
pinggulnya menjadi seperti balon
kekurangan udara. Bulu matanya yang lentik beberapa waktu yang lalu
menjadi rontok dan sekarang nyaris
tanpa bulu mata. Alis lebarnya yang dulu indah, sekarang tinggal tipis dan
tumbuhnya tak beraturan.
Namun demi membanggakan hati,
para bawahannya selalu mengatakan
bahwa sang Ratu masih tetap cantik.
"Siapa bilang Gusti Ratu berubah"
Menurut saya tidak, Gusti Ratu tetap cantik dan menggairahkan para lelaki.
Sama seperti dulu, cuma sekarang
sedikit kurus karena barangkali Gusti Ratu banyak pikiran!" ujar salah seorang
pengawalnya. Namun sang Ratu sering lemah
keyakinan akan dirinya, ia pernah berdiri di depan cermin seharian penuh untuk
memperhatikan dirinya, juga
meyakinkan batinnya apakah ia masih cantik dan menarik atau sudah tidak sama
sekali. Kadang ia merasa sedih jika hati kecilnya mengatakan dirinya sudah tidak
menarik, kadang ia merasa yakin bahwa dirinya masih menawan.
Beberapa pemuda dicarinya, ia
ingin membuktikan apakah dirinya masih menarik dan menggairahkan bagi seorang
lelaki atau tidak. Toh kenyataannya beberapa pemuda yang disuguhkan masih merasa
terpikat dan mau melayani sang Ratu.
"Ini menandakan bahwa aku memang masih cantik dan menarik," kata hati sang Ratu.
Padahal para pemuda yang melayaninya itu menjadi tertarik
karena ajian pemikat sang Ratu yang terletak pada bibir dan matanya. Tak ada
lelaki yang mampu kalahkan
kekuatan gaib dari bibir dan mata sang Ratu. Sekali mereka kena pandang,
sekali mereka senyum, hati mereka
luluh dan keinginan bercumbunya


Pendekar Mabuk 044 Pusaka Bernyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melonjak-lonjak amat tinggi.
Hal itulah yang dikhawatirkan
oleh Putri Malu. Karenanya, Suto
Sinting mempunyai cara sendiri untuk mengatasi kekuatan aji pemikat sang Ratu.
Pendekar Mabuk yang sudah
berdampingan dengan bumbung
bernyawanya itu juga punya cara
sendiri untuk membebaskan Tabib Getar Hati, ibu dari Putri Malu yang menjadi
kambing hitam sang Ratu itu.
"Bagaimana hasilnya, Putri
Malu"!" sapa sang Ratu dalam pertemuan yang diadakan secara mendadak karena
Putri Malu pulang dari tugasnya.
"Mana pemuda tampan yang bergelar Pendekar Mabuk itu"! Mengapa kau
datang tidak membawa Suto Sinting, si murid Gila Tuak itu" Apakah kau tak ingin
Ibumu selamat" Ingat tujuh hari lagi purnama tiba. Jika kau belum bisa membawa
Pendekar Mabuk kemari, maka Ibumu akan kugantung di depan umum!"
"Gusti Ratu," kata Putri Malu sambil menahan kegeraman dalam
hatinya. "Saya sudah bertemu dengan Pendekar Mabuk."
"Bagus!" sahut sang Ratu dengan wajah mulai berseri-seri. "Lalu
bagaimana?"
"Suto Sinting ada di luar,
Gusti!" "Hah..."! Mengapa tidak kau bawa masuk" Lekas panggil dia, aku sudah tak sabar
lagi ingin menikmati
kemesraannya!"
"Suto bersedia melayani gairah Gusti Ratu, tapi ia punya syarat
sendiri." "Hmmm... mungkin dia minta upah"
Baiklah. Apa syarat yang diminta?"
"Dia ingin dijemput oleh Gusti Ratu sendiri dan berjalan menuju
istana berdampingan dengan Gusti
Ratu." "Hik, hik, hik, hik...! Rupanya dia seorang pendekar yang menyukai
kemesraan seperti itu. Oh, ya... aku tahu maksud hatinya. Suto Sinting
seorang pemuda tampan yang manja
dengan cinta. Baiklah. Aku akan datang menjemput sang Pendekar! Di mana dia
sekarang?"
"Ada di alun alun, menunggu Gusti Ratu di bawah pohon beringin."
"Aha, dia benar-benar pemuda
pemalu untuk soal kencan. Hik, hik, hik, hik...!"
Putri Malu segera beranikan diri
bicara lagi. "Suto Sinting menghendaki Gusti Ratu membawa ibu saya juga."
Sang Ratu berkerut dahi memandang
tajam kepada Putri Malu. Senyum
keceriaannya lenyap seketika berganti rona angkuh penuh curiga.
"Mengapa ia menghendaki begitu?"
"Saya ceritakan persoalannya,
kemudian dia ingin membebaskan ibu
saya. Tapi dia takut Gusti Ratu ingkar janji. Dia inginkan pertukaran secara
ksatria. Dia mau melangkah
berdampingan bersama Gusti Ratu masuk ke istana, jika Ibu sudah berada di tangan
saya." "Mengapa dia tidak percaya
padaku"! Dia pikir aku seorang Ratu yang curang"! Menghina sekali dia"!"
"Maklumilah,
Gusti. Sebab dia
belum kenal siapa Gusti Ratu. Walaupun saya sudah jelaskan kebaikan Gusti, namun
dia ingin buktikan kesungguhan Gusti yang ingin mendapatkan kemesraan dengannya.
Sebab dia merasa sudah
cukup waktu untuk menikah, namun
sampai sekarang belum punya calon
istri yang tepat dengan pilihan hati.
Ketika saya ceritakan ciri-ciri
kecantikan Gusti Ratu, ia tampak
gembira dan merasa yakin bahwa Gusti
Ratu adalah wanita yang sesuai dengan selera cintanya."
"Hik, hik, hik, hik...," sang Ratu tertawa lagi, hatinya diliputi perasaan
bangga. Ini akibat kepandaian Putri Malu menyanjung Ratu Sukma
Semimpi, sehingga sang Ratu bagaikan lupa dengan anggapan curang yang tadi
sempat membakar hatinya.
"Baiklah. Pengawal..., keluarkan Tabib Getar
Hati, dan bawa dia
menyambut darah pendekar bersamaku!"
Tabib Getar Hati dikeluarkan dari
ruang tahanan bawah tanah. Perempuan berusia lima puluh tahun itu masih
tampak segar dan tidak mengalami
cedera apa pun. Putri Malu merasa lega melihat ibunya dalam keadaan sehat.
Perempuan yang rambutnya mulai
ditumbuhi uban itu segera ditemui oleh anaknya. Putri Malu dipandang dengan mata
penuh curiga. Sang Ibu segera
bertanya, "Apakah kau berhasil membujuk
Pendekar Mabuk?"
"Ya, aku berhasil, Ibu," jawab Putri Malu dengan menundukkan kepala.
Sang Ibu tampak tidak menyukai
keberhasilan itu. "Kau salah langkah, Anggani!" katanya sambil memandang
hampa ke arah depan. "Kau menodai rimba persilatan dengan menjadi budak
kutukan!" "Tak ada jalan lain untuk
membebaskan Ibu kecuali jalan ini,"
ujar Putri Malu membela diri dengan wajah penuh sesal.
"Kau sama saja mencoreng muka Ibu di depan Gila Tuak dan Bidadari
Jalang. Ibu kenal betul dengan mereka.
Rasa-rasanya Ibu merasa lebih baik
digantung daripada harus mengorbankan murid si Gila Tuak itu."
"Maafkan aku, Ibu. Aku tak ingin kehilangan Ibu."
"Apalah artinya seorang perempuan seperti aku" Pendekar Mabuk mempunyai arti
lebih besar bagi dunia persilatan ketimbang seorang tabib seperti
diriku, Anggani. Aku kecewa dengan
langkahmu!" sang Ibu semakin ketus dan datar, wajahnya menampakkan kekecewaan
secara jelas-jelas. Kemudian ia
melangkah meninggalkan anak gadisnya dengan didampingi dua pengawal istana
bersenjata pedang.
Putri Malu menjadi penunjuk
jalan, walau sebenarnya tanpa
ditunjukkan sang Ratu sudah tahu
sendiri mana jalan menuju alun-alun.
Namun sebagai perantara kedua belah pihak, Putri Malu layak berjalan lebih dulu
menuju ke alun-alun. Sang Ratu dibawa pakai tandu. Padahal jarak
istana dengan alun-alun sangat dekat.
Tidak sampai memakan waktu setengah atau seperempat hari. Mungkin hanya lima
puluh helaan napas sudah sampai, sebab alun-alun letaknya di depan
gerbang istana.
Di sana, seperti kata Putri Malu,
seorang pemuda tampan yang bergelar Pendekar Mabuk sudah menunggu di bawah pohon
beringin kembar. Dalam
kerindangan pohon itu, Pendekar Mabuk tampak berdiri dengan gagah dan
perkasa. Namun ketenangannya tetap
terjaga. Bumbung tuaknya
diselempangkan di punggung, hingga
dari jauh mirip sebuah pedang pusaka yang menambah kegagahan sang Pendekar.
Perempuan yang kini menjadi
wanita paling kerempeng seistana itu segera turun dari tandu. Dua pengawal
mendampinginya di kanan-kiri.
Kepalanya yang gundul tanpa selembar rambut dipayungi oleh seorang pembawa
payung dari belakang. Ratu Sukma
Semimpi segera mendekati Suto Sinting dengan pandangan mata yang berbinar-
binar. Semakin dekat semakin mekar
senyumnya menandakan kegembiraan
hatinya saat itu.
"Selamat datang di Tanah Ratu, Pendekar Mabuk; Suto Sinting!" sapa sang Ratu
dengan penuh wibawa.
Suto Sinting membungkuk,
memberikan hormat ala kadarnya. Karena ia diberi tahu oleh Putri Malu bahwa sang
Ratu suka dengan hormat dan
sanjungan. "Salam hormatku untukmu, Gusti Ratu."
"Terima kasih. Kau benar-benar lelaki yang pandai membuat hatiku
bangga dan gembira."
Suto Sinting segera sunggingkan
senyum. Hati sang Ratu bergetar
melihat senyuman itu. Ia tak tahu
bahwa Suto Sinting telah gunakan jurus
'Senyuman Iblis' yang mampu membuat lawan kasmaran dan mau tak mau pasrah kepada
Suto Sinting. Jurus itu
dilepaskan Suto lebih dulu sebelum ia terkena aji pemikat dari sang Ratu.
Dengan membentengi diri memakai jurus
'Senyuman Iblis', aji pemikat apa pun terpancar balik kepada pemiliknya,
sehingga si pemilik aji pemikat justru akan semakin tergila-gila kepada
Pendekar Mabuk.
"Kudengar kau merasa yakin bahwa aku adalah perempuan
yang sesuai dengan selera cintamu, Suto."
"Benar sekali, Ratu!" tegas Suto.
"Kau satu-satunya perempuan yang mampu membangkitkan semangat cintaku. Baru
mendengar cerita dan ciri-cirimu saja gairahku sudah tergugah. Kini setelah aku
berhadapan langsung denganmu,
semakin tergugah lagi hasrat cintaku."
"Ah, jangan menyanjungku begitu nanti aku lupa daratan. Hik, hik, hik,
hiiik...," sang Ratu
bagaikan mengambang di udara mendengar
sanjungan itu. "Tapi aku sangsi padamu, Ratu,"
ucap Suto pelan.
"Apa yang kau sangsikan?"
"Apakah kau mampu melayani
cintaku" Sebab cintaku ini berlebihan, tidak seperti lelaki lain. Karenanya
belum pernah ada perempuan yang
sanggup melayaniku, sehingga aku tak pernah tertarik
untuk memperistri
mereka." "O, soal itu kujamin kau tidak akan mau pergi dariku. Kalau tak
percaya, mari kita buktikan kemampuan kita masing-masing."
"Baiklah. Tapi aku ingin
mengujimu lebih dulu."
Sang Ratu justru tertawa karena
mempunyai pengertian yang
berbeda dengan maksud kata-kata Suto Sinting.
Bahkan ia berkata dengan tawa
genitnya, "Tak mungkin mengujiku di sini.
Aku tak mau dilihat oleh para punggawa dan rakyatku yang menyaksikan
pertemuan ini di pinggir alun-alun
itu." "Aku bukan ingin menguji
ketangguhan bercintamu secara
langsung. Cukup dengan permainan dua-tiga jurus aku sudah bisa mengetahui
seberapa besar kekuatanmu bertahan
dalam pelukanku, Ratu."
"O, jadi kau menghendaki
permainan jurusku"!"
"Aku gemar berjudi, Ratu. Mohon kau mau menerimaku apaadanya."
"Tentu aku mau menerimamu. Sebab aku pun gemar berjudi. Apakah kau
ingin mengajakku bermain judi?"
"Kalau kau tak keberatan, aku
ingin bermain judi dengan jurus-jurus kita."
"Baiklah. Tapi bagaimana aturan mainnya?" tanya sang Ratu semakin
merasa tertarik, karena ia belum
pernah mendapatkan lelaki yang
mempunyai gaya seperti Suto Sinting itu.
"Jika kau bisa menumbangkan aku dalam tiga jurus, aku akan langsung
menggendongmu masuk ke kamar tidur.
Untuk berikutnya kita akan menjadi
pasangan suami-istri."
"Aku setuju. Sangat setuju
sekali!" sahut sang Ratu dengan berapi-api.
"Tapi jika kau yang tumbang dalam permainan tiga jurusku, kau harus
bebaskan Tabib Getar Hati, dan
persoalan kemesraan kita bisa
dirundingkan lagi."
"Mengapa kau menghendaki Tabib Getar Hati sebagai bahan taruhanku"!"
"Karena aku juga seorang tabib; Tabib Darah Tuak. Aku tak tega melihat sahabatku
sesama tabib harus kau
jadikan tawanan. Aku hanya ingin
membebaskan dia supaya dia bisa
menolong orang lain yang membutuhkan pengobatan. Soal kemesraan kita, bisa
diatur lagi dengan perjudian yang
lainnya." Ratu Sukma Semimpi diam termenung
beberapa saat. Ia mempunyai berbagai
pertimbangan. Suto Sinting tidak mau memberi kesempatan sang Ratu menemukan
pertimbangan yang membahayakan
keselamatan Tabib Getar Hati.
Karenanya pemuda tampan itu mendesak dengan bujukan yang dibumbui senyuman
menawan. "Mengapa kau ragu-ragu, Ratu"
Apakah kau tak menghendaki pembuktian di dalam kamar tidurmu nanti" Aku
sudah tak sabar, Ratu. Aku ingin
segera mengawali kemesraan kita dengan permainan seperti yang kuinginkan
itu." "Baiklah! Aku setuju, karena aku juga sudah tak tahan ingin membuktikan
kehebatanmu di dalam kamar tidurku.
Hi, hi, hi...!"
Kemudian sang Ratu mengumumkan
permainan tersebut kepada para
punggawanya, rakyat yang berkerumun di pinggir alun-alun juga mendengarnya.
Sang Tabib sempat heran mendengar
permainan itu. "Tiga jurus aku tumbang, tabib itu bebas dari semua hukuman. Tiga
jurus Pendekar Mabuk tumbang, dia akan menjadi suamiku selamanya!" seru sang
Ratu, kemudian rakyat dan para
punggawa negeri menyambutnya dengan
sorak dan tepukan. Mereka mengelu-
elukan sang Ratu, seakan sangat
menjagokan ratu mereka.
Kemudian orang-orang yang ada di
dekat sang Ratu segera menyingkir.
Mereka membentuk arena pertarungan


Pendekar Mabuk 044 Pusaka Bernyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cukup lebar. Para prajurit dan
punggawa negeri lainnya berada dalam jarak sekitar lima belas tombak.
"Hidup Gusti Ratu...! Hidup Gusti Ratu...!" teriak mereka memberi semangat sang
Ratu. Dengan tersenyum-senyum sang Ratu
yang merasa dibangga-banggakan itu
mulai menghadapi Suto Sinting, ia
membuka jurus lebih dulu dengan
merentangkan kaki kirinya ke belakang dan mengangkat kedua tangannya ke atas
pundak. Satu tangannya mengepal, satu lagi terbuka dengan jari merapat.
Badannya sedikit membungkuk ke depan, sehingga mudah lakukan gerakan
menghindar jika datang serangan secara tiba-tiba.
Namun Suto Sinting bagai tidak
memainkan jurus sedikit pun. Ia hanya berjalan pelan mondar-mandir di depan sang
Ratu sambil mata memandang dan bibir sunggingkan senyum. Senyum itu tetap
merupakan 'Senyuman Iblis' yang
membahayakan bagi perempuan mana pun juga.
"Bersiaplah, Kekasihku...!" geram sang Ratu sambil mengubah posisi kuda-kudanya,
makin mendekat lagi.
"Seranglah aku jika kau perempuan yang gemar bercinta."
Sang Ratu bagai ditantang
kemesraannya. Untuk membuktikan
kehebatan bercintanya, sang Ratu
segera melepaskan serangan lebih dulu dengan satu lompatan kecil yang
mencapai tanah depan Suto Sinting
"Hiiaah...!"
Jleeeg ..! Lalu mereka beradu kecepatan
tangan dalam memukul dan menangkis.
Plak, plak, plak, plak, plak....
Zlaaab...! Suto Sinting bergerak melingkar
hingga berada di belakang sang Ratu.
Gerakan itu tak diketahui oleh sang Ratu karena Suto menggunakan Juru
'Gerak Siluman'-nya.
Ketika perempuan itu terbengong
sejenak menyangka Suto menghilang,
maka terdengarlah suara Suto yang
kalem di belakangnya.
"Aku di sini, Ratu."
Begitu sang Ratu berpaling ke
belakang, Suto Sinting segera
hantamkan telapak tangannya dengan
kecepatan tangan yang tak dapat
dilihat oleh mata telanjang. Wuuut...!
Beeehg...! "Uuuhg...!" sang Ratu terpental ke belakang empat tindak dan
terhuyung-huyung. Dadanya terkena
pukulan telapak tangan Suto Sinting yang dialiri tenaga dalam sekadarnya itu.
"Uuuh...! Panas sekali
pukulanmu."
"Kau pasti sanggup bertahan,
Ratu," Suto tetap sunggingkan senyum dan melangkah ke samping pelan-pelan.
Sang Ratu bersiaga lagi dengan jurus lainnya. Tubuhnya memutar pelan-pelan
karena Suto Sinting mengelilinginya.
Jarak mereka hanya tiga langkah.
Tiba-tiba kaki Suto menyentak dan
tubuhnya melesat maju dengan tendangan kaki berkelebat ke arah wajah sang
Ratu. Wuuut...!
Plak...! Sang Ratu berhasil
menangkisnya. Tapi ia tak tahu kalau Suto akan menyentakkan kaki kirinya ke
tanah dan memutar tubuh dengan cepat, lalu kaki kiri itu menampar pipi sang
Ratu. Ploook...! Suaranya cukup keras. Tendangan
itu membuat sang Ratu terpelanting ke samping dan jatuh bersimpuh. Pandangan
matanya menjadi berkunang-kunang.
Hatinya mulai dibakar kemarahan. Sementara para penonton bergemuruh
seperti pasukan lebah yang mencemaskan sang Ratu.
Dengan kalem, Suto Sinting
mengulurkan tangan dan membantu sang Ratu berdiri. Namun begitu sang Ratu
bangkit, tangannya menghantam dada
Suto Sinting dengan sentakkan pangkal telapak tangan. Deees...!
"Huuuhg...!" Suto Sinting tersentak mundur beberapa langkah dan sempat merasakan
dadanya seperti
dihantam memakai palu godam berukuran besar.
Melihat Pendekar Mabuk
sempoyongan, Ratu Sukma Semimpi segera melompat dan melayang di udara
bagaikan terbang ke arah Pendekar
Mabuk. "Heeeeaaat...!"
Pendekar Mabuk pun cepat
sentakkan kaki dan tubuhnya melesat naik. Lalu mereka beradu pukulan
telapak tangan di udara.
"Hiaaat...!"
Blaaarr...! Seberkas sinar merah memercik
dari perpaduan telapak tangan itu.
Ledakan cukup keras menggelegar
memenuhi alun-alun. Tubuh Suto Sinting mendarat kembali dengan kaki tegak,
sedangkan Ratu Sukma Semimpi terpental dan terguling-guling di udara, lalu jatuh
dengan kepala menukik.
Bruukk...! "Ouuh...!" pekiknya dengan suara tertahan.
Suto Sinting tersenyum kalem, ia
mengambil bumbung tuaknya dan
menenggaknya dua teguk.
Badannya kembali segar. Rasa sakit di dadanya pun segera lenyap.
Ketika sang Ratu bangkit dan
ingin menyerang lagi, Suto Sinting
berseru dengan wajah tetap memamerkan senyumannya.
"Eiiit... Sudah tiga jurus dan kau tumbang dua kali!"
"Aaah... sial!" sang Ratu menggeram gemas.
"Aku masih punya permainan satu lagi untuk membangkitkan selera
bercintaku. Kau pasti akan suka jika seleraku sudah berkobar-kobar, karena
sepanjang hari aku tak akan melepaskan dirimu dari pelukan cintaku, Ratu!"
"Baiklah. Kuakui sekarang aku
kalah. Akan kutebus di permainan yang kedua."
"Bebaskan dulu tabib itu."
Kemudian sang Ratu yang semakin
terpikat oleh senyuman Suto itu segera berseru kepada pengawal, "Bebaskan tabib
itu sekarang juga! Lekas...!"
Hal itu dilakukan oleh sang Ratu
supaya setiap orang, terutama Suto
Sinting, mengakui bahwa sang Ratu
punya ketegasan dan tidak pernah
ingkar janji. Dengan begitu, maka
Tabib Getar Hati pun segera
dibebaskan, kedua tangannya yang
terikat ke belakang itu dilepaskan.
Kemudian Putri Malu menyambutnya
dengan pelukan kegirangan. Mereka
segera berlari menemui Suto Sinting.
"Rencana kedua!" bisik Suto Sinting kepada Putri Malu.
"Baik. Aku akan membawa Ibu
menjauh dulu."
Putri Malu membawa ibunya keluar
dari alun-alun. Mereka menyaksikan
rencana kedua dari kejauhan. Sementara itu, sang Ratu segera berseru kepada Suto
dengan hati penasaran.
"Aku akan menebus kekalahan ini.
Sekarang kita bermain dalam satu jurus saja. Kalau kau tumbang, kau harus
segera memboyongku masuk ke kamar
tidurku. Kalau aku yang tumbang, aku yang akan memboyongmu masuk ke kamar."
"Tidak," tolak Suto tegas. "Kita bermain dua jurus. Kalau kau bisa
melumpuhkan aku, kau boleh miliki aku semaumu.
Tapi kalau aku bisa
melumpuhkan dirimu, aku tidak akan
melayani kemesraanmu."
"Hei, apa-apaan ini" Mengapa
permainannya menjadi begitu"! Aku
tidak setuju!" sentak sang Ratu.
"Dalam permainan kedua ini, kau atau aku yang mati!" tegas Suto Sinting lagi.
Sang Ratu terkesiap, kemudian
segera menyadari bahwa dirinya telah tertipu oleh permainan Pendekar Mabuk.
Amarahnya menjadi lebih besar lagi.
"Kalau begitu kau sebenarnya
menghendaki kematianku, hah"!"
"Apa boleh buat, kecuali kau mau bertobat dan menghentikan
segala tingkah lakumu yang sesat itu."
"Keparat! Kau belum tahu siapa aku sebenarnya, hah"! Terima ini
jurusku yang bukan sekadar permainan
anak kemarin sore. Hiaaah...!"
Sang Ratu lepaskan pukulan
bersinar biru bagaikan bola berekor.
Wuusss...! Sinar biru itu keluar dari telapak tangannya yang dihantamkan ke arah
Pendekar Mabuk. Maka sinar biru itu pun meluncur cepat ke arah sang Pendekar.
Melihat kemunculan sinar biru
itu, Suto Sinting segera melepaskan pukulan 'Guntur Perkasa' yang
memancarkan sinar hijau. Claaap...!
Sinar hijau segera beradu dengan sinar biru di pertengahan jarak.
Blaab...! Blegaaarr...!
Cahaya ungu berkerilap dari hasil
benturan dua sinar tadi. Ledakan
menggelegar pun sempat mengguncang
tanah lapang alun-alun, membuat orang-orang menjadi gaduh karena ketakutan.
Namun di luar dugaan, ternyata sinar ungu
itu menguncup dan membentuk
gumpalan sinar biru lagi yang melesat ke arah Suto Sinting. Wuuusss...!
"Gila! Sinarnya masih utuh"!"
sentak batin Suto. Ia segera bersalto ke belakang beberapa kali untuk
menjauhi sinar biru itu. Wuk, wuk,
wuk, wuk...! Kecepatan saltonya sukar dilihat. Tahu-tahu Suto Sinting sudah
berdiri dengan bumbung tuak menghadang di depan dada. Sinar biru itu
ditangkisnya dengan bumbung tuak
tersebut. Tuubs...! Wuuusss...!
Sinar biru itu berbalik ke arah
pemiliknya dengan lebih besar dan
lebih cepat lagi. Tapi karena jarak mereka sudah cukup jauh, maka sang
Ratu punya kesempatan melepaskan
kesaktiannya kembali.
Tangannya segera bertepuk satu
kali di depan kepalanya, lalu kedua tangan saling menyentak ke depan.
Bersamaan terbukanya telapak tangan maka keluarlah hembusan angin berasap merah.
Wuuuss...! Asap merah itu membentang lebar
dan dihantam oleh sinar biru.
Duubb...! Wuuusss...!
Ternyata asap merah itu
menyerupai karet yang mampu
memantulkan sinar biru ke arah Suto Sinting lagi. Tentu saja Pendekar
Mabuk terperanjat melihat peristiwa yang belum pernah dialami.
"Ilmunya benar-benar gila
perempuan itu!" gerutu Suto dalam keadaan tegang. Akhirnya ia berguling di tanah
beberapa kali sambil memeluk
bumbung tuaknya. Sinar itu pun lolos dari tubuhnya dan menghantam tiga
prajurit yang lari pontang-panting
begitu tahu sinar tersebut meluncur ke arah mereka.
Blaaar...! Tiga prajurit itu tidak berbentuk
lagi karena hancur dihantam sinar biru yang mempunyai daya ledak cukup
tinggi. Namun bersamaan dengan itu, Suto Sinting yang dalam keadaan
berdiri dengan satu lutut itu segera merapatkan kedua tangannya di dada dan
disentakkan lurus ke depan. Claaap...!
Sinar ungu sebesar lidi melesat
ke arah sang Ratu. Keadaan itu tidak disangka-sangka oleh sang Ratu. Ketika ia
hendak menghindar, sinar ungu yang bernama jurus 'Surya Dewata' itu telah lebih
dulu menghantam pinggangnya.
Jluub...! Bluuus...! Sinar ungu itu
menembus pinggang sebelahnya, bahkan masih terus melesat dan akhirnya
menghantam pohon beringin yang tadi dipakai Suto menunggu kemunculan sang Ratu.
Blegaaar...! Pohon itu tumbang seketika dalam
keadaan berlubang besar. Jika pohon
sekeras itu berlubang besar, bagaimana dengan tubuh sang Ratu"
Ratu Sukma Semimpi tak terdengar
suaranya setelah tadi terpekik dengan suara tertahan. Perempuan itu terkapar di
rerumputan dalam keadaan bagian
perutnya pecah, isinya berhamburan
kemana-mana. Tentu saja sang Ratu pun akhirnya mati akibat jurus 'Surya
Dewata' dari Pendekar Mabuk.
Melihat ratunya tewas, para
pengawal segera mengepung Suto
Sinting. Tapi dengan tenang Suto
Sinting berkata, "Kalau ratu kalian saja tumbang di tanganku, apalagi
kalian"! Sebaiknya kalian jangan
bertindak bodoh! Dalam sekejap aku
bisa membuat kalian hilang tak
berbekas."
Mereka jadi tertegun dan mulai
berpikir. Saat itulah, Suto Sinting bergerak cepat menggunakan jurus
'Gerak Siluman'-nya. Zlaaap...!
Ia bagaikan menghilang dari
hadapan para pengepung yang terpaku di tempat itu. Tahu-tahu si murid sinting
Gila Tuak itu sudah ada di depan Putri Malu dan Tabib Getar Hati.
"Cepat kita pergi dari sini!"
kata Suto Sinting, lalu Putri Malu dan
ibunya bergerak lebih dulu
meninggalkan Tanah Ratu, Suto Sinting mengawalnya dari belakang. Sampai di luar
batas wilayah Tanah Ratu mereka pun berpisah.
"Terima kasih atas bantuanmu,
Suto," ucap Putri Malu dengan lirih.


Pendekar Mabuk 044 Pusaka Bernyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sampaikan salamku kepada gurumu; Gila Tuak dan Bidadari Jalang," kata Tabib
Getar Hati. "Baik, akan kusampaikan, Bibi!
Selamat jumpa lagi. Anggani, jaga
Ibumu baik-baik!"
Lambaian tangan Suto mendatangkan
haru di hati kedua perempunn itu.
Namun lebih haru hati Putri Malu,
karena ia mempunyai kesan indah
tersendiri selama menjadi pencuri
pusaka bernyawa milik sang Pendekar Mabuk itu.
SELESAI PENDEKAR MABUK Segera terbit!!!
PERTARUNGAN TANPA AJAL
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Keisel
Convert & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: Abu Keisel
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Naga Sasra Dan Sabuk Inten 31 Golok Halilintar Karya Khu Lung Suling Naga 2
^