Pencarian

Racun Gugah Jantan 1

Pendekar Mabuk 037 Racun Gugah Jantan Bagian 1


Serial Pendekar Mabuk 27
Racun Gugah Jantan
Scan djvu by Abu Keisel
Editting by Aryawinata
1 SEKELEBAT bayangan melintas menuju arah utara. Begitu cepatnya gerakan yang
dilakukan hingga tak terlihat bentuk dan wajah orang yang berlari itu. Arah yang
dituju sangat jelas sebuah bukit di pesisir pantai utara. Bukit itu tak seberapa
tinggi, na-mun menjadi patokan bagi para nelayan untuk menandai arah pantai
utara. Bukit yang bagian puncaknya berbidang datar mirip tanah lapang yang
dikelilingi pohon pada lerengnya itu selalu menjadi incaran orang-orang yang
berada di tengah laut. Jika mereka mulai melihat bukit yang banyak ditumbuhi
pohon jati merah, maka itulah pertanda mereka mulai mendekati wilayah pantai
utara tanah Jawa. Karenanya bukit itu dinamakan Bukit Mata Laut.
Tak heran jika sekelebat bayangan yang melintas itu dapat dengan mudah menemukan
letak Bukit Mata Laut, karena ia menggunakan ciri pepohonannya yang terdiri dari
pohon jati merah itu. Dalam waktu singkat sekelebat bayangan tersebut telah
mencapai lereng bukit. Kejap berikutnya ia telah mencapai puncak bukit dan
berhenti di balik sebuah pohon.
"Oh, ternyata sudah banyak orang" Apakah mereka sekadar ingin menyaksikan
pertarungan ini atau juga ingin ikut terjun dalam pertarungan?" pikir sosok
bayangan tadi yang ternyata seorang gadis berpakaian kuning gading. Gadis jelita
itu berambut pendek, ada poni dikeningnya. Pedang di pinggang berbatu ungu pada
gagangnya. Gadis cantik itu mempunyai tato gambar bunga mawar di pergelangan
tangan yang menandakan bahwa ia adalah murid Perguruan Mawar Seruni, mendiang
gurunya bernama Nyai Punding Sunyi. Gadis cantik itu tak lain adalah Kirana,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Lentera Kematian").
Dulu Kirana selalu mendampingi seorang pendekar tampan yang bergelar Pendekar
Mabuk yang punya nama Suto Sinting itu. Dia menyimpan perasaan suka pada sang
pendekar, tetapl tak pernah dicetuskan melalui kata-kata. Rasa suka kepada sang
pendekar disimpannya saja di dalam hati, sebab Kirana tahu Pendekar Mabuk sudah
mempunyai kekasih, calon istri yang amat dicintainya, yaitu Gusti Mahkota Sejati
yang bernama asli Dyah Sarinlngrum, penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi di
Pulau Serindu. Rasa cinta yang terpendam dan mau mengalah untuk tidak
menampakkan tuntutannya itulah yang membuat Kirana nadir di Bukit Mata Laut
tersebut. Ketenaran nama Pendekar Mabuk di kalangan para tokoh persilatan membuat sang
pendekar selalu menjadi pusat perhatian dan pembicaraan mereka, sehing-ga dalam
waktu yang amat singkat kabar tersebut me-nyebar dengan cepat menyusupi telinga-
telinga mereka. Kabar itu tak lain adalah kabar tentang pertarungan Pendekar
Mabuk yang akan dilakukan di Bukit Mata Laut. Lawannya dari Tanah Hindus,
seorang perwira kepercayaan Raja Kulana Baham bernama Syakuntala. Tantangan
Syakuntala itu terjadi di tengah laut ketika kapalnya berpapasan dengan perahu
yang digunakan Pendekar Mabuk menuju Pulau Selayang, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Tabib Darah Tuak").
Kabar yang cepat menyebar membuat para tokoh rimba persilatan berdatangan
mengunjungi Bukit Mata Laut. Pada umumnya mereka yang datang adalah orang-orang
yang sudah mengenal kesaktian Syakuntala dan kehebatan ilmunya Pendekar Mabuk.
Mereka ingin menyaksikan dengan matanya sendiri seperti apa pertarungan dua
tokoh sakti tersebut. Mereka ingin tahu, siapa yang unggul dalam pertarungan
itu. Tetapi ada pula yang hadir di Bukit Mata Laut untuk mewakili tantangan Pendekar
Mabuk dalam menghadapi Syakuntala. Umumnya mereka yang mempunyai perasaan cinta
terhadap sang pendekar tampan itu merasa tak rela jika
Suto Sinting dilukai oleh Syakuntala. Mereka ingin tampil sebagai perisai sang
pendekar. Hasrat seperti itulah yang membuat Kirana hadir di Bukit Mata Laut
dengan segenggam harapan dapat membuktikan pembelaan dan kesetiaannya terhadap
Suto Sinting. Tetapi ketika Kirana ingin bergerak mendekati tanah lapang yang sudah dihadiri
orang banyak itu, tiba-tiba langkahnya terhentl karena seseorang berkelebat
mendekatinya. Kirana sempat terkejut karena kehadiran orang tersebut bagaikan
muncul secara tiba-tiba dari arah samping kirinya.
"Kirana," sapa orang itu.
"Oh, kau...!" Kirana hampir berkelebat menendang orang itu karena gerak
nalurinya. "Kau sangat mengejutkan diriku, Citradani! Hampir saja aku
menendangmu."
"Maaf, aku tidak bermaksud mengejutkan dirimu, Kirana," ucap Citradani dengan
tersenyum kecil. Wanita cantik yang mengenakan pakaian merah jambu itu adalah
murid dari Perguruan Elang Putih yang usianya dua puluh empat tahun, sejajar
dengan usia Kirana. la pernah bertemu dengan Pendekar Mabuk ketika terusir dari
perguruannya karena menghilangkan kalung pusaka 'Lintang Suci' milik sang Guru
yang jika nama aslinya disebutkan akan menghadirkan angin badai dan guntur
berhamburan. "Apakah kau datang sendirian, Citradani?"
"Ya. Aku mewakili Guru Embun Salju untuk menyaksikan pertarungan Suto dengan
Syakuntala," jawab Citradani sambil melangkah menuju ke arena pertarungan.
la menyambung kata,
"Guru Embun Salju pernah bertempur melawan Syakuntala, jadi beliau tahu persis
kekuatan Syakuntala. Menurut beliau, Syakuntala orang berbahaya. Ilmunya cukup
tinggi dan bersifat liar. Jika tidak berilmu tinggi ia tidak akan dijadikan
panglima Tanah Hindus. Sejujurnya saja, Guru Embun Salju merasa cemas mendengar
kabar Syakuntala akan bertarung melawan Suto Sinting. Guru mencemaskan
keselamatan Suto Sinting, sebab itu aku dikirim untuk membayang-bayangi Suto
jika dalam bahaya yang akan merenggut jiwanya."
"Kudengar Syakuntala itu memang orang berilmu tinggi. Tapi bagaimanapun juga aku
merasa masih mampu menghadapi Syakuntala. Tak perlu Suto yang maju.
Aku sudah selesaikan pelajaran baru dari Kitab Gatra Lelana. Kurasa Syakuntala
cukup menghadapiku saja daripada menghadapi Suto Sinting."
"Hati-hatilah dalam bertindak, Kirana. Guru pun berpesan padaku agar jangan
bertindak gegabah terhadap Syakuntala, karena ia mempunyai jurus yang mampu
dilepaskan secara tiba-tiba dan sangat di luar dugaan kita."
Kirana hanya tersenyum tipis. Citradani tak tahu bahwa Kirana sekarang sudah
diangkat menjadi ketua Perguruan Mawar Seruni sejak berhasil menamatkan
pelajaran dari Kitab Gatra Lelana. Tentu saja ilmunya tidak seperti dulu lagi.
Karenanya ia merasa sangat yakin dapat tumbangkan Syakuntala dengan bekal ilmu
barunya itu. "Citradani, perhatikan gadis cantik yang didampingi oleh Nyai Paras Murai dan
Hantu Tari itu! Apakah kau mengenalnya?"
Mata Citradani tertuju pada gadis bermahkota kecil di kepalanya. Jubahnya
ungu, pakaian dalamnya kuning, rambutnya disanggul sebagian. Ada dua pengawal
di bagian belakangnya. Salah satu pengawal dikenal oleh Citradani sebagai tokoh
yang bernama Batu Sampang.
"Dia yang sekarang menjadi ratu di Muara Singa. Dialah yanq dulu dikenal
dengan nama Tandu Terbang."
"Oh..."! Jadi gadis itulah yang ada di dalam Tandu Terbang itu?"
"Benar. Namanya sekarang dikenal sebagai Ratu Galuh Puspanagari. Kabarnya
Suto Sinting-lah yang merebutkan takhta untuknya dan menjaga dari rencana
penggulingan takhta yang akan dilakukan oleh Raja Tumbal. Suto Sinting yang
berhasil membunuh Raja Tumbal. Kabarnya pula ratu itu adalah murid Pendeta Arak
Merah dari Tibet. Kesaktiannya sedikit berkurang sejak ia menduduki takhta
sebagai Ratu di negeri Muara Singa. Tapi sisa kesaktiannya masih membuatnya d-pandang
sebagai tokoh beriimu tinggi juga." (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Tandu Terbang").
"Dari mana kau tahu tentang dia?"
"Gusti Guru Embun Salju belum lama ini berkunjung ke negeri Muara Singa,
karena punya hubungan baik dengan kakak angkat sang ratu bernama Purnama
Laras. Orang yang berjalan paling depan itulah yang bernama Purnama Laras."
"Menurutmu apa rencananya datang kemari?" tanya Kirana penuh selidik.
"Mungkin sama dengan kita, ingin melihat keunggulan Suto Sinting, atau
ingin membuktikan siapayang unggul dalam pertarungan nanti."
"Barangkali mereka akan kecewa, karena Suto Sinting tak akan berhadapan
dengan Syakuntala. Orang yang akan menumbangkan Syakuntala adalah aku
sendiri." Citradani mendesah, "Ah, jangan sebodoh itu, Kirana. Urungkan niatmu!"
Kirana hanya tersenyum sinis, tapi bukan karena benci kepada Citradani,
melainkan bersikap meremehkan nasihat sahabatnya itu. Kirana dan Citradani
mem-baur dalam kerumunan orang-orang yang menunggu saat pertarungan
dimulai. Agaknya pihak Syakuntala sudah siap sejak tadi dengan jumlah anak
buahnya yang berkumpul di sisi timur.
Ternyata yang ingin menyaksikan pertarungan seru itu bukan hanya Palupl, si
Ratu Puspanagari itu, melainkan juga ada tokoh lain yang menaruh simpati dan
menyimpan kekaguman terhadap Pendekar Mabuk. Antara lain: Ki Argapura, si jago
pedang yang pernah mengajarkan jurus pedangnya kepada Suto. Delima Gusti, putri
Adipati Suralaya, yang pernah terlibat masalah bersama Suto dalam peristiwa
Cambuk Getar Bumi. Kelana Cinta, mata-mata dari Ringgit Kencana yang selalu
menjadi wakil Ratu Asmaradani. Prasonco alias Raja Maut, sahabat karib gurunya
Suto Sinting; si Gila Tuak. Hadir juga di situ Bongkok Sepuh alias si Setan
Arak, yang pernah diselamatkan Suto Sinting dari ancaman maut ilmu 'Darah Gaib' dan 'Bias
Dewa' itu. Tak ketinggalan pula Batuk Maragam yang bernama asli Brajamusti juga
ada di situ bersama gadis yang ingin menjadi muridnya; Camar Sembilu. Serta
beberapa tokoh lain yang masing-masing punya rasa kagum kepada kependekaran
murid sinting si Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu.
Tetapi mereka menyimpan pertanyaan dalam hati karena Suto Sinting belum
kelihatan tampil di situ. Bagi mereka, sangat mustahil jika Suto Sinting sebagai
Pendekar Mabuk yang belakangan ini disebut-sebut sebagai Tabib Darah Tuak itu akan
ingkar janji dengan tidak menghadiri pertarungan tersebut. Suto Sinting pasti
datang. Tapi mengapa sampai hari menjadi lewat siang sang pendekar tampan itu
belum muncul juga" Adakah sesuatu yang menghambat langkahnya menuju Bukit
Mata Laut'. Terdengar percakapan Batuk Maragam dengan Bongkok Sepuh yang ada di
samping Ki Argapura dan Raja Maut,
"Suto pasti datang. Sebab saat kami berada di Pulau Selayang, Suto sudah
bilang padaku bahwa ia harus penuhi tantangan pertarungan dengan Syakuntala.
Mestinya aku yang akan menghadapi Syakuntala, tapi ia wanti-wanti sekali agar
aku tidak merusak rencananya menundukkan panglima Tanah Hindus itu. Uhuk, uhuk,
uhuk....' Mendengar batuknya Brajamusti, mata Syakuntala di seberang sana
memandang dengan beringas. Batuk Maragam mengetahui sorot pandangan mata
bekas lawannya yang pernah dipotong jari kelingkingnya itu, tapi Batuk Maragam
tidak melayani sikap tersebut. Karena Raja Maut segera bertanya dan ia harus
memberi penjelasan kepada sahabatnya itu,
"Apa yang membuat Suto Sinting harus bertarung dengan Syakuntala di sini?"
"Sebenarnya ini akibat siasat dari, uhuk, uhuk...!"
"Siasat uhuk, uhuk itu yang bagaimana?"
"Aku sedang batuk! Jangan diartikan sebagai bahasa mulut!" gerutu Batuk
Maragam. "Sebenarnya ini akibat siasat Suto yang ingin menghindari murka
Syakuntala terhadap perahu kami. Jika Suto tidak gunakan tantangan seperti ini, maka
akan timbul korban tak ber-salah di perahu kami yang kala itu membawa Jelita
Bule dan Pesona Indah ditambah si anak desa Pande Bungkus itu."
Batuk Maragam jelaskan pula tujuan perahu mereka menuju pulau Selayang,
karena ingin menolong Ratu negeri Malaga yang bernama Ratu Rangsang Madu dari
pengaruh racun ganas milik mendiang Nyai Sunti Rahim. Racun itu hanya bisa
disembuhkan oleh darah Pendekar Mabuk yang disebut-sebut sebagai Tabib Darah
Tuak. Sedangkan Syakuntala sendiri kala itu juga bermaksud membawa Suto sebagai
Tabib Darah Tuak yang harus sembuhkan Raja Kulana Baham, pe-nguasa Tanah
Hindus yang menderita sakit tak tersembuhkan, hanya dengan bantuan Tabib Darah
Tuaklah penyakit itu bisa disembuhkan. Sedangkan Raja Kulana Baham itu adalah
raja yang lalim, licik dan gemar menjajah kemerdekaan negeri lain, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Tabib Darah Tuak").
Tantangan itu menyebutkan, jika Syakuntala bisa kalahkan Suto Sinting dalam
pertarungan, maka Suto akan mau dibawa ke Tanah Hindus, tapi jika tidak, maka
Syakuntala tidak akan bisa membawa Tabib Darah Tuak. Mau tak mau akan pulang
ke Tanah Hindus dengan tangan hampa tanpa sang tabib. Hal itu dilakukan oleh
Suto Sinting sebagai pengajaran bagi raja Tanah Hindus sendiri atas perbuatan
kejinya selama ini yang mendapat upah penyakit kutukan tak tersembuhkan itu.
Pada dasarnya, Batuk Maragam dan Jelita Bule sendiri tidak setuju jika Suto Sinting
pergi ke Tanah Hindus, sebab banyak bahaya yang akan membuat Suto Sinting tak dapat
keluar dari sana.
Syakuntala tampak tak sabar. Orang bercambang dan berkumis lebat itu
mondar-mandir dengan gelisah. Kepalanya yang gundul menjadi mengkilap karena
ter-panggang matahari. la mengenakan baju putih tanpa lengan dan celana putih
ketat bawah membentuk keke-karan kakinya, seakan kuda-kudanya tak mungkin bisa
dipatahkan lawan. Pedang lengkung di pinggang dari perak hias selalu dipegang
gagangnya, bagai tak sabar ingin segera mencabutnya. Matanya yang bulat lebar,
tubuhnya yang berotot gepal, dua anting di kanan kiri telinganya itu, benar-
benar membuat penampilan Syakuntala tampak menyeramkan. la tak merasa malu wa-lau
tahu banyak mata yang tertuju pada kelingkingnya yang cacat karena terpotong
dalam pertarungan dengan Batuk Maragam itu.
Karena tak sabar, Syakuntala berteriak dengan berangnya, "Mana Pendekar
Mabuk itu"! Apakah dia bersembunyi di balik ketiak wanita"! Seharusnya kalau dia
takut menghadapiku, datang saja dan bersujud di hadapanku, aku pasti akan
mengampuni mulut besarnya yang hanya bisa berkoar-koar penuh sampah itu!"
Mendengar pendekar idamannya dihina, Kirana menjadi panas hati. Memang
sebenarnya bukan hanya Kirana saja yang panas hati mendengar hinaan itu. Palupi,
Kelana Cinta dan beberapa wanita pengagum Suto Sinting juga merasa hatinya
bagaikan disiram air men-didih. Tapi mereka bisa menahan diri. Hanya Kirana yang
kurang bisa menahan diri, sehingga dengan Ian-tang ia berseru dari tempatnya,
"Hei, Gundul Kopong...! Bicaralah dengan hati-hati sebelum kepala gundulmu
menggelinding ditebas jari kelingking Pendekar Mabuk!"
Mata Syakuntala tertuju kepada Kirana, memandang dengan tajam. la segera
tampil di arena yang terbentuk dengan sendirinya karena dikelilingi para
penonton yang hadir di situ. Di tengah arena itu Syakuntala menuding Kirana sambil
berkata keras-keras, "Siapa kau, Gadis Peot"! Kalau kau merasa tak senang dengan hinaanku,
majulah kemari dan hadapi aku!"
Wuuut...! Kirana tanpa berpikir panjang lagl lang-sung melompat dan tiba-tiba
sudah berada di tengah arena. Beberapa mata yang melihat kejadian itu memandang
tegang. Beberapa hati berkata, Terlalu bera-ni gadis itu!"
"Aku sudah di sini! Sekarang mau apa kau"!" tantang Kirana dengan tegas.
"Sepertinya kau tak rela jika aku menghina Pendekar Mabuk si Tabib Darah
Tuak itu!"
"Tantanganmu itu pun sudah termasuk menghina dan menyinggung
perasaanku, Kepompong Gundul! Kau pikir kau bisa unggul menghadapi Pendekar
Mabuk" Tidak! Kau akan tumbang dan pulang tinggal nama. Tapi jika kau bertarung
melawanku, kau masih punya keuntungan, yaitu dapat pulang bersama nyawamu
walau akhirnya di sana pun kau akan kehilangan nyawa juga."
"Mulut lancang!" geram Syakuntala dengan mata melebar ganas. "Apa
maumu sebenarnya, Gadis Edan"!"
"Aku mewaklli Pendekar Mabuk! Kau tidak akan bisa bertarung melawannya
sebelum mampu menumbangkan diriku, Kepompong Sawah!"
"Jahanam! Hiaaat...!"
Tangan orang gundul itu menyentak tiba-tiba dengan bentuk jari seperti cakar
elang. Dari tengah telapak tangannya itu melesat selarik sinar merah. Bentuknya
seperti besi panjang yang membara. Slaaap...! Sinar merah itu menuju dada
Kirana. Tapi gadis itu dengan cepatnya menyentakkan kakinya ke depan dengan tendangan


Pendekar Mabuk 037 Racun Gugah Jantan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

miring. Dari sisi kaki itu keluar gelombang bersinar biru yang menghantam sinar
merah tersebut. Claaap.-.l Wuuusss...! Blaaar...!
Kirana terpental tak seberapa jauh. Tapi ia masih bisa berdiri walau pandangan
matanya sedikit buram karena pancaran sinar ledak tadi. la segera tarlk napas
dan pandangan matanya kembali normal. Pada saat itulah ia melihat Syakuntala
melompat dan mencabut pedangnya untuk ditebaskan dari atas kanan ke bawah kiri.
Wuuuttt...! Traaang...! Kirana mampu bergerak cepat mencabut pedangnya dan
menangkis tebasan itu. Kakinya berkelebat lagi menendang wajah Syakuntala.
Tetapi kaki itu justru dihantam oleh kepalan tangan kiri Syakuntala. Deees...! Keduanya
sama-sama tersentak mundur dua tindak.
"Pukulannya mengandung hawa panas yang tinggi," pikir Kirana. "Kakiku
terasa dibakar seketika. Untung hawa murniku cepat tersalur ke bawah. Aku harus
hati-hati dengan pukulannya itu."
Syakuntala kembali menyerang dengan jurus pedangnya yang membuat
tubuhnya melompat sana-sini membingungkan pandangan lawan. Kirana
menghadapinya dengan jurus baru, sebuah jurus pedang yang dilakukan dengan
memutar tubuh bagaikan gangsing. Gerakan pedangnya sampai timbulkan bunyi
menggaung karena cepatnya. Gerakan memutar itu pun membingungkan Syakuntala
karena setiap pedang yang ditebaskan selalu saja mengenai pedang Kirana.
Trang, trang... trang... tring, taaang... trang...I
Sepuluh jurus tebasan pedang tak berhasil lukai tubuh Kirana. Pandangan
mata Syakuntala dibuat bingung membedakan mana pedang dan mana baglan tubuh
Kirana. Syakuntala segera mundurkan diri. Wuuut...! Dalam jarak lima langkah ia
berdlri tegak membiarkan Kirana berputar-putar terus tanpa sadar bahwa lawannya
sudah berhentl menyerang dan sedang memperhatikan. Salah seorang penonton
menjadi pusing dan mual perutnya melihat tubuh Kirana berputar secepat gangsing
itu. Sllaapp...! Kirana akhirnya berhenti berputar cepat. la tidak merasakan pusing
sedikit pun, sehingga ia bisa berdiri tegak menghadap Syakuntala. Tapi di luar
dugaan, tiba-tiba Syakuntala lepaskan senjata rahasianya berupa logam menyerupai
bentuk ujung panah yang melesat cepat dari sentakan tangan kiri.
Zlaaab, zlaaab, zlab...!
Kirana cepat kibaskan pedangnya. Trang, tring...! Jrrub...! Satu dari tiga logam
putih itu menghantam tepat di bawah pundak kiri Kirana.
"Aahg...!" Kirana terpekik dan oleng ke belakang. la mundur dengan
terhuyung-huyung dan pegangl pundaknya yang terluka itu. Benda tersebut sudah
telanjur terbenam di daging bawah tulang pundak. Sakitnya bukan main. Kirana
menjadi pucat pasi dan jatuh terkulai di dekat kaki Bongkok Sepuh.
Citradani segera menuju ke tempat Kirana. Bongkok Sepuh menolong Kirana,
tapi wajah Kirana semakin pucat. Tak ada darah yang keluar dari luka itu kecuali
warna daging yang memerah saja.
"Celaka! Senjata rahasfa Itu mengandung racun tinggi!" kata Bongkok Sepuh.
"Kirana...! Kau terluka parah. Berbahaya sekali!" kata Citradani. Wajahnya
tegang melihat Kirana semakin pucat dan semakin lemas. Kulit tubuh gadis itu
mulai membiru di sekitar luka.
"Tengkurapkan dia!" kata Batuk Maragam. Citradani memiringkan tubuh
Kirana. Lalu, telapak tangan Batuk Maragam menghantam pundak belakang Kirana
dengan satu sentakan mengejutkan. Dddus...!
Slaaap...! Logam putih beracun yang terbenam di tubuh Kirana itu melesat
keluar. Barulah darah keluar dari luka tersebut. Tapi darah yang keluar sudah
bercampur dengan racun ganas sehingga warnanya bukan merah lagi, melainkan
hitam bercampur larutan warna hijau tua.
"Dia terkena 'Racun Getah Mayaf. Sulit disembuhkan. Sebentar lagi pasti akan
mati," kata Batuk Maragam. "Bawa keluar dari sini, biar kuobati sebisaku! Siapa
tahu dia akan uhuk, uhuk, uhuk, ihiiiik.... heoeek...!" Batuk Maragam tak bisa
lanjutkan kata-katanya karena sakit batuk menyerang lagi. Citradani membawa Kirana keluar
dari lingkaran orang-orang yang membentuk arena pertarungan itu.
Sementara Kirana ditangani oleh Batuk Maragam, Syakuntala semula ingin
mengejar Kirana dan membunuhnya hingga mati. Tapi gerakan liarnya itu segera
ditumbangkan oleh pukulan jarak jauh tanpa sinar. Wuuut...! Beehg...! Tubuh
lelaki berlengan kekar dan berkulit hitam itu tersentak ke arah lain, melayang
kehilangan keseimbangan tubuh, lalu jatuh terpelanting di depan kaki tiga anak buahnya.
Brruk...! "Bangsat licik! Siapa yang menyerangku tadi!" bentaknya dengan suara keras
dan kasar. Ketiga anak buahnya segera gelengkan kepala saat mata Syakuntala
menatap mereka.
"Bukan saya yang menyerangnya, Tuan!"
Plook...! Anak buah yang bicara itu ditampar keras ke kanan hlngga melintir
bagai seseorang sedang me-nari. Orang itu lalu jatuh terduduk dengan wajah
menyeringai karena pipinya hangus dan berasap. Itu pertanda bahwa Syakuntala
benar-benar marah besar hingga tak sadar tenaga dalamnya tersalur keluar melalui
telapak tangan yang digunakan menampar tadi.
"Siapa yang menyerangku tadi, hah"!" teriak Syakuntala sambil berjalan ke
tengah arena. Lalu, terdengar suara seorang gadis berseru tegas,
"Aku...!" Kemudian gadis itu tampil ke tengah arena. Gadis itu tak lain adalah
Palupi, si Ratu Galuh Puspanagari.
"Galuh, tahan dan kendalikan dirimu!" bisik Purnama Laras.
"Akan kulawan dia!" ujarnya sambil melangkah maju ke arena. Batu Sampang
ingin bergerak maju, tapi tangannya segera ditahan oleh Purnama Lars.
"Biarkan! Dia ingin lampiaskan perasaannya terhadap Suto dan musuh Suto!"
Palupi tampil sebagai wanita berpakaian indah karena memang ia seorang
ratu. Tetapi Nyai Paras Murai, Hantu Tari, Batu Sampang, dan Purnama Laras
sendiri menjaga di sekeliling arena untuk segera berikan bantuan jika terjadi sesuatu
yang membahayakan ratu mereka.
"Siapa kau, sehingga berani menyerangku dari samping, hah"!" bentak
Syakuntala dengan ganas.
"Aku Palupi! Mungkin kita pernah bertemu di suatu tempat manakala kau
mengenalku sebagai Tandu Terbang."
Wajah Syakuntala tampak terperanjat kaget mendengar nama Tandu Terbang.
la bersuara menggeram, "O, rupanya kaulah orang yang ada di dalam tandu itu"!
Baik. Kita memang pernah bertemu dan mengadu kesaktian ketika di Selat
Madagaskar. Waktu itu aku kalah, tapi kali ini aku tak akan kalah lagi!"
"Tebuslah kekalahanmu itu sekarang juga, Syakuntala. Kau memang lebih baik
berhadapan denganku daripada dengan Suto Sinting yang hanya akan melenyapkan
nyawamu dalam waktu kurang dari lima hitungan!"
"Kutebus kekalahanku dulu, Biadab! Heeeaaah...!"
Tandu Terbang yang sekarang lebih senang meng-aku bernama Palupi itu segera
menyentakkan dua jarinya ke depan. Suuut...! Tubuh berkepala gundul yang
melayang hendak tebaskan pedangnya tersentak mun-dur. Duuss...! Seberkas sinar
kuning kecil menghantam perut Syakuntala. Sinar kuning kecil itu seperti sinar
bertenaga lima banteng murka. Syakuntala tak mampu menahan diri, sehingga
tubuhnya melayang terbuang ke belakang dan menabrak dua anak buahnya.
Brruuusss...! "Heeg...!" salah satu anak buahnya terpekik tertahan karena tubuhnya terkapar
dan kejatuhan badan kekarnya Syakuntala yang berperawakan tinggi besar itu.
Orang itu mendelik bagai tak bisa bernapas. Syakuntala sendiri menahan sakit
dengan menggeletukkan gigi dan mengancing mulut rapat-rapat.
Rasa mual yang amat kuat membuat Syakuntala akhirnya tak mampu
menahan diri dan muntah di tempatnya jatuh itu. Isi perutnya terkuras keluar
tanpa pe-duli muntahnya itu membasahi kaki anak buahnya yang masih terkapar menahan
sakit karena tertindih tubuh Syakuntala tadi.
"Kusarankan, batalkan saja pertarungan ini demi keselamatanmu, Syakuntala!"
kata Palupi dengan tegas dan berkesan penuh wibawa. Tapi hal itu justru membuat
Syakuntala menjadi semakin berang. la segera bangkit dan maju ke arena.
"Jangan punya niat mengguruiku, Tandu Terbang! Kurobek mulutmu sekarang
juga dengan pedangku ini! Hiiaaah...!"
Wuuut... wwwuus...!
Pedang itu ditebaskan ke tubuh Palupi. Tapi dengan gerakan cepat Palupi
mampu melenting ke atas dan bersalto satu kali. Jleeg...! la telah mendarat di
belakang Syakuntala dengan kedua kaki merenggang sigap. Syakuntala segera balikkan
badan sambil layangkan tendangan kakinya yang bergerak memutar itu.
Wuuss...! Plak, plak, plak! Wuuuss...! Des, dess...!
Dua pukulan telapak tangan Palupi kembali kenai dada Syakuntala. Tubuh
kekar itu tersentak mundur tiga tindak dalam keadaan melengkung. Dari mulutnya
keluar darah beberapa percik akibat pukulan telapak tangan bertenaga dalam itu.
Namun Syakuntala masih penasaran dan tetap lakukan pembalasan. la meraba
pedang lengkungnya dengan tangan kiri dari gagang sampai ke ujung. Lalu pedang
itu segera dikibaskan ke arah tubuh Palupi. Kibasan itu memercikan tiga larik
sinar merah dari kedua tangan kanan-kirinya itu. Seber-kas sinar putih perak menyatu
dalam kelebatan berben-tuk gelombang-gelombang besar.
Blaaar...! Gelegaaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi dari benturan dua jenis sinar itu. Palupi terpental jauh
dari tempatnya, karena jarak pertemuan dua sinar itu lebih dekat dengan diri-
nya. Sedangkan Syakuntala terpental sekitar tiga tindak ke belakang dalam keadaan
jatuh terduduk, tidak seperti Palupi yang terkapar dengan wajah memucat, darah keluar
dari mulut dan hidungnya. Ledakan itu tim-buikan getaran pada bumi, seakan bukit
itu ingin terbelah menjadi dua bagian. Beberapa orang yang ada di situ juga
berjatuhan karena guncangan mendadak tersebut.
2 RAJA MAUT memandang dengan tegang, demikian pula yang lain. Ki
Argapura berkata kepada Bongkok Sepuh, "Tandu Terbang agaknya telah kehilangan
ilmunya cukup banyak sejak menjadi seorang ratu. Berbahaya sekali jika ia nekat
bertarung dengan Syakuntala!"
"Memang. Pertarungan ini tidak seimbang, harus dicegah!" Bongkok Sepuh
hendak bergerak maju ke arena, tapi pundaknya segera dicekal oleh Batu Maragam
yang berkata, "Jangan campuri pertarungan ini. Kita hanya sebagai penonton saja, supaya
Pendekar Mabuk tidak merasa kecewa andai ia menang melawan Syakuntala. Kalau
toh kita harus campuri, akulah yang lebih berhak campur tangan karena Syakuntala
bekas musuh lamaku."
"Tapi ratu cantik itu bisa mati kalau masih mencoba melawan Syakuntala!"
Raja Maut segera berseru kepada Nyai Paras Murai yang berdiri tak jauh
darinya, "Paras Murai, cegah orangmu agar jangan masuk ke arena!"
Nyai Paras Murai hanya mengangguk. Tapi ketika itu Hantu Tari bergegas
mendekatl Purnama Laras dan berkata, "Kalau kita tak turun tangan, sang Ratu
bisa binasa di tangan Syakuntala!"
"Sabarlah. Jangan mengumbar kemarahan," kata Purnama Laras berkesan
bijak. Batu Sampang berkata, "Izinkan saya menandingi Syakuntala!"
"Jangan. Sebaiknya kita bawa keluar saja sang Ratu itu!"
Tetapi Hantu Tari tampak geram dan benci sekali memandangi Syakuntala
yang bersiap-siap lanjutkan pertarungan, sementara Palupi masih menggeliat dalam
keadaan terkapar.
"Aku harus bertindak sekarang juga!" geram Hantu Tari.
Hantu Tari, tahan...!" seru Nyai Paras Murai ketika Hantu Tari berkelebat masuk
ke arena hendak menyerang Syakuntala.
Gerakan yang tertahan membuat Hantu Tari jengkel kepada gurunya dan
berseru, "Dia melukai Palupi! Ini saat terbaik untuk membalasnya."
"Jangan! Urus dulu sang Ratu, lukanya cukup berbahaya!"
Hantu Tari terpaksa segera angkat tubuh Palupi dan membawanya ke tepi
arena. Sementara itu Syakuntala segera bangkit, menggerakkan kedua tangannya
dengan kerahan tenaga berotot. Seakan ia sedang lakukan penyembuhan dengan
permainan napasnya agar tubuhnya kembali segera seperti sediakala.
"Tandu Terbang! Kau tak bisa hentikan pertarungan Ini sebelum nyawamu
kucabut dari raga! Heiaaah...!"
Syakuntala kembali menyerang Palupi, padahal Palupi sudah dalam
perlindungan Hantu Tari, Purnama Laras, dan Batu Sampang. Gerakan berbahaya
Syakuntala itu segera dipatahkan oleh pukulan tenaga dalam tanpa sinar dari Nyai
Paras Murai. Wuuuut...! Buuhg...!
"Uuhg...!" Syakuntala terpekik tertahan. Karena pada saat itu pula muncul
serangan tanpa sinar dari jarak jauh. Serangan itu datang bersama melesatnya
sesosok tubuh yang masuk ke dalam arena. Jleeg...!
Kelana Cinta yang sejak tadi bersedekap menyak-sikan pertarungan itu kini
menedahkan kata lirih, "Sumbaruni...?"
Wanita cantik berpakaian serba ungu itu tak lain adalah Pelangi Sutera, alias
Sumbaruni, bekas istri jin, bekas panglima negeri dasar laut: Ringgit Kencana,
yang berarti pula bekas atasannya Kelana Cinta.
Melihat lawannya yang maju kali ini, Syakuntala sedikit kecilkan matanya. Tapi
pandangannya masih tajam, Kedua pukulan jarak jauh yang mengenai tubuhnya
tidak membuatnya lemah setelah menarik napas dan menahannya di rongga dada
dan perut. "Kaukah yang bernama Sumbaruni"!" geram Syakuntala dengan mata kian
mengecil menatapi wajah ayu Sumbaruni.
Wajah cantik berkesan gaiak itu tak mau sunggingkan senyum, tapi bicaranya
sangat tegas dan jelas.
"Aku memang Sumbaruni, yang dulu pernah melukai rajamu sekian tahun
yang lalu. Sekarang agaknya kau ingin mengikuti jejak penyakit rajamu itu,
Syakuntala!"
"Aku tak punya urusan denganmu!"
"Sekarang kau mempunyai urusan denganku. Karena Pendekar Mabuk tak
kuizinkan bertarung melawanmu!"
"Mengapa kau ikut campur pertarungan ini"! Apa hakmu mencampuri
urusanku dengan Tabib Darah Tuak itu!"
"Aku pelindungnya dan pengawal setianya! Jika kau ingin menghadapi
Pendekar Mabuk, kau harus melangkahi mayatku lebih dulu!"
"Kulayani keinginanmu, Sumbaruni. Heaaah...!" Syakuntala tampak semakin
ganas melawan musuhnya yang sekarang. Sumbaruni bukan wanita yang mudah
ditumbangkan. Ilmunya tinggi dan mampu mengukur kekuatan lawannya dengan
ilmu 'Getar Sukma' yang dimilikinya. Syakuntala yakin, Sumbaruni berani tampil
dl arena karena wanita itu sudah mengukur ilmu lawannya yang dirasakan lebih rendah
darinya. Terbukti, tebasan pedang dan serangan tenaga dalam Syakuntala sejak
tadi mampu ditangkis dan dihindari oleh Sumbaruni.
Sampai-sampai, Syakuntala sendiri membatin dalam hatinya, "Bangsat! Sejak
tadi seranganku dipatahkan terus oleh jurus-jurusnya. Kudengar dia mempunyai
jurus 'Anak Rembulan' yang dapat melumpuhkan lawan. Aku harus hindari agar ia
tidak lepaskan jurus itu. Kudului dengan melepaskan 'Racun Ludah Naga' yang akan
membuatnya tak berdaya. Tanpa menggunakan racun itu aku tak bisa melukai
tubuhnya!"
Syakuntala memainkan jurus rendah. Tangannya berkelebat ke sana-slnl
sambil yang kanan pegangi pedang. Gerakan tangan dan tubuhnya yang meliuk-liuk
itu menyerupai gerakan seekor naga sedang mende-kati mangsanya. Tapi tiba-tiba
Sumbaruni lepaskan jurus 'Anak Rembulan' berupa sinar kuning seperti bintang
yang dilemparkan dari tangan kirinya. Ciaaap...!
Wuuutt...! Tubuh Syakuntala melentak terbang menghindari sinar kuning itu
yang segera menghantam tubuh saiah satu anak buahnya. Tapi dalam gerakan
menyentak bagaikan terbang itu, tiba-tiba dari mulut Syakuntala keluar cairan
hitam yang diiudahkan. Cuuuih...! Ploook...!
Ludah hitam itu kenai leher Sumbaruni walau sudah berusaha untuk dihindari.
"Ahh...!" Sumbaruni bagaikan mengeluh dan merasa jijik. Namun kejap berikutnya


Pendekar Mabuk 037 Racun Gugah Jantan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia jatuh terkulai berlutut karena seperti kehilangan seluruh tulangnya.
Tubuh itu segera tertunduk lemas bagaikan tak bisa mengangkat kepala.
Lehernya membekas hitam tanpa cairan sedikit pun.
"Celakal Dia menggunakan 'Racun Ludah Naga'," ucap Batuk Maragam
didengar oleh beberapa orang di sekitarnya. Wajah Batuk Maragam menjadi tegang.
Sumbaruni yang terkulai masih berusaha berlutut dengan satu tangan menopang
tubuh itu sangat mencemaskan para penonton.
"Saatnya aku melayani mayatmu, Sumbaruni! Hiaaah...!" Syakuntala melompat
dengan pedang terangkat di atas. Pedang itu pun segera ditebaskan ke arah leher
Sumbaruni. Wuuusss...! Zlaaap...!
Traaak...! Pedang itu tiba-tiba tertahan oleh sebuah benda yang datangnya tak terlihat
mata para penonton. Benda itu adalah bumbung tuak sakti milik Pendekar Mabuk.
Dan tiba-tiba tangan Syakuntala yang menghantamkan pedang itu tersentak ke
belakang dengan keras, tubuh besar itu pun terpelanting jatuh ke belakang. la
bagai mendapat sentakan tenaga yang membalik akibat benturan pedang dengan
bumbung tuak. Suara orang di sekeliling mulai bergumam menggaung bagaikan lebah begitu
melihat seorang pemuda berambut lurus panjang sebatas lewat pundak, berpakaian
coklat tanpa lengan dan celana putih. Pemuda tampan itu tak lain adalah Pendekar
Mabuk. Kedatang-annya membuat para pengagumnya merasa lega, bahkan
beberapa orang sempat bertepuk tangan karena girangnya.
Terlambat sedikit saja kedatangan Suto Sinting, maka leher Sumbaruni pasti
telah jatuh terpenggal oleh pedang Syakuntala. Sekalipun leher Sumbaruni selamat
dari pedang Syakuntala, tapi wanita cantik itu masih tetap terkulai di tanah
dalam keadaan bersimpuh dan tertunduk. Tubuhnya menjadi susut beberapa saat setelah
terdengar suara Syakuntala berkata kepada Pendekar Mabuk.
"Mengapa baru datang" Apakah kau sengaja ingin menyerangku dari
belakang"!"
"Maafkan keterlambatanku, karena aku harus menghadap guruku lebih dulu!"
"Bagus. Berarti kau sudah pamit untuk berangkat ke Tanah Hindus, Tabib
Darah Tuak!"
"Justru Guru melarangku pergi ke Tanah Hindus!"
"Gurumu itu memang setan kurang ajar! Akan kupaksa muridnya agar Ikut
denganku ke Tanah Hindus!"
"Kalau kau mampu, silakan saja!"
"Kau ingin melawanku dengan senjata atau tanpa senjata"!"
"Terserah mana yang baik menurutmu!"
"Ha, ha, ha, ha...!" Syakuntala tertawa dengan bangga. "Sebaiknya tak perlu
gunakan senjata. Kau akan luka dan mati oleh senjataku, nanti bagaimana nasib
rajaku jika kau sampai mati" Hmmm.... Bersiaplah menghadapiku, Tabib Darah
Tuak!" Setelah memasukkan pedangnya ke sarung pedang, Syakuntala mulai memamerkan
kecepatan gerak tangannya yang menghasilkan tonjolan-tonjolan kuat dan keras
pada lengannya. Pendekar Mabuk pun menyelempangkan tali bumbung tuak,
sehingga bumbung tuak itu berada di punggungnya dengan aman. Gerakannya
cukup sederhana, bahkan bagaikan tak mengeluarkan tenaga dan otot.
Tapi ketika Syakuntala maju menyerang dengan pukulan beruntun, Suto
Sinting hanya diam saja. la membiarkan pukulan itu menghantam wajah, dada, serta
perutnya beberapa kali. Tapi yang berjeritan dan memekik kesakitan adalah
beberapa anak buah Syakuntala. Mereka saling tumbang bagai dihantam pukulan
kuatyang membuat mereka memuntahkan darah segar.
"Aahg...!"
"Uuhg...!"
"Hheeg... hoeeek...!"
Syakuntala hentikan serangannya seketika itu pula. la terkejut melihat anak
buahnya saling berjatuhan. Ada yang wajahnya memar dan mulutnya pecah bagai
habis terhantam pukulan bertenaga dalam. Syakuntala membatin,
"Gila! Yang kuhantam Pendekar Mabuk tapi yang tumbang malah anak
buahku"! Kurang ajar! Ilmu konyol apa yang dimiliki si Tabib Darah Tuak inl"l"
Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tipis. Syakuntala tak tahu bahwa
Suto telah menggunakan ilmu anehnya yang bernama ilmu 'Allh Raga', mengirimkan
rasa kepada orang lain, sehingga pada saat dirinya dipukul yang terasa sakit
adalah orang lain. Dengan begitu Syakuntala bagaikan menyerang anak buahnya sendiri. la
menjadi ragu-ragu menyerang Pendekar Mabuk.
"Kalau kutebas kepalanya dengan pedang, tak urung yang akan
menggelinding adalah kepala anak buahku sendiri," pikirnya dengan bingung. "Lalu
bagaimana caraku menghadapinya jika begini?"
Pada saat Syakuntala kebingungan itulah, Suto Sinting segera lepaskan
pukulannya yang bernama 'Pukulan Gegana'. Seberkas sinar patah-patah warna
kuning melesat dari dua jari tangan Pendekar Mabuk. Clap, clap, clap...!
Syakuntala terhenyak kaget. Buru-buru ia melepaskan pukulan bersinar hijau diri telapak
tangannya. Tapi pukulan balasan itu termasuk terlambat karena jaraknya sudah
sangat dekat dengan dada.
Blegaaar...! Kedua sinar itu beradu dan meledak dengan dahsyat. Hentakan gelombang
ledaknya yang menghadirkan hawa panas tinggi itu menghantam tubuh Syakuntala.
Seketika itu pula tubuh besar berkulit hitam terlempar dalam keadaan tidak
beraturan. Tubuh itu menggelinding berguling-guling di tanah sambil terdengar
suara erangan memanjang dari mulut Syakuntala.
"Aaaahhh...!"
Orang-orang menyangka Syakuntala mati. Tapi nyatanya tidak. Syakuntala
hanya menderita luka bakar yang menghanguskan sekujur tubuhnya. Matanya
menjadi merah dan sebagian cambangnya rontok. Kulitnya kian hitam bagaikan
disambar petir. la sempat berusaha bangkit, tapi jatuh tersungkur kembali
bagaikan kehilangan seluruh tenaganya.
"Angkat sang Panglima! Larikan dia!" seru saiah satu anak buahnya. Kemudian
dua anak buahnya bergegas menyambar tubuh Syakuntala dan membawanya lari
meninggalkan Bukit Mata Laut. Anak buah yang lain Ikut-ikutan melarikan diri.
Yang terkena ilmu 'Anak Rembulan' tadi disambar oleh temannya dan ikut dibawa larl.
Suto Sinting hanya tersenyum memandangi pelarian tersebut dan tidak berminat
untuk mengejarnya. Karena ia segera melihat Sumbaruni berubah menjadi lebih
kecil dari wujud aslinya.
"Sumbaruni!" sentak Suto Sinting dengan terkejut dan merasa heran.
Batuk Maragam berkata, "Dia terkena racun 'Ludah Naga', tubuhnya akan
berangsur-angsur menjadi kecil. Makin lama akan menjadi seperti bocah."
Sumbaruni berkata lirih, "Cepat, berikan tuak-mu...."
Suto Sinting segera menuangkan tuak ke mulut Sumbaruni dengan
pelan-pelan. Tetapi beberapa saat kemudian, setelah Suto Sinting juga meminumkan
tuaknya untuk Kirana dan Palupi, ternyata tubuh Sumbaruni tidak berubah seukuran
tubuh aslinya. Bahkan tampak berubah menjadi lebih susut lagi.
"Tuakmu tidak akan berhasil untuk menawarkan racun 'Ludah Naga', Suto,"
kata Bongkok Sepuh. "Racun itu hanya bisa ditawarkan dengan Telur Mata Setan."
Sementara Suto Sinting tertegun tegang memandangi Sumbaruni, Nyai Paras
Mural segera menimpali kata,
"llmunya akan mengendap dan tak bisa digunakan lagi. Tapi pikirannya masih
mampu digunakan sebagai-mana mestinya."
"Suto... tolonglah aku!" Sumbaruni memandang penuh iba. la berusaha berdirl
dengan berpegangan jubahnya Batuk Maragam.
Hati Suto Sinting tersentuh haru melihat Sumbaruni lebih pendek dari ukuran
sebenarnya. Raut wajahnya pun mulai kian tampak lebih remaja. la seperti anak
gadis berusia sekitar tujuh belas tahun.
"Sumbaruni...!" Suto Sinting meralh tangan Sumbaruni dan segera
membimbingnya mendekat. "Apa yang harus kulakukan?"
"Carikan aku Telur Mata Setan. Tubuhku akan kian mengecil jika tidak segera
menelan telur keramat itu, Suto," ucap Sumbaruni sambil menahan tangis dengan
hati cemas dan duka.
"Di mana bisa kudapatkan Telur Mata Setan itu?"
Tak ada jawaban beberapa saat. Mereka saling berpiklr dalam herring. Tapi
tiba-tiba Nyai Paras Murai berkata bagai orang menggumam, sepertinya ditujukan
kepada dirinya sendiri,
"Kalau tak salah, aku pernah mendengar Telur Mata Setan itu hanya ada di
Gunung Kundalini...."
"Gunung Kundalini"!" gumam Suto Sinting sambil berkerut dahi.
"Sumbaruni harus segera menelan Telur Mata Setan," kata Bongkok Sepuh.
"Jika tidak, dalam waktu dekat ia dapat berubah menjadi bayi, lama-lama akan
mati juga." Mereka yang mengerumuni Sumbaruni menjadi merenggang karena
kemunculan sosok tilnggi-besar berkulit hitam. Sosok berkepala gundul dengan
satu kuncir rambut melengkung ke belakang itu tak lain adalah Logo, anak Sumbaruni
dari hasil keturunan Jin Kazmat Itu.
"Ibu...! Ibu..."!" Logo mendekati Sumbaruni dan dipandanginya dengan mata
yang besar dan wajah yang penuh keheranan. Sumbaruni memandang anaknya dan
segera menepuk-nepuk pundak Logo ketika anak jin itu berlutut di hadapannya.
"Apa yang terjadi, ibu" Mengapa Ibu menjadi kecil dan muda begini?"
"Tidak ada apa-apa. Tidak terjadi apa-apa, Logo. Jangan piklrkan Ibu."
"Aku harus tahu apa yang terjadi, Ibu!" bentak Logo mulai kelihatan kasarnya.
Bentakan itu hadirkan getaran yang mampu membuat orang tanpa ilmu tersentak
mundur. Melihat Logo mulai menahan kemarahan, Bongkok Sepuh mencoba
meredakan kemarahan itu dengan berkata,
"Ibumu baru saja bertanding melawan Syakuntala dari Tanah Hindus. Ibumu
menang. Hanya terkena 'Racun Ludah Naga' yang membuatnya menyusut. Tapi
orang Tanah Hindus Itu sekarang sudah lari menderita kekalahan. Lukanya pun
parah." "Syakuntala...!*
Logo menggeram dan kedua tangan menggenggam kuat-kuat. Sumbaruni
cemas dan berkata dengan suara dipaksakan lebih keras lagi,
"Ibu tidak apa-apa, Logo! Jangan berbuat yang bukan-bukan, Nak!"
"Sebelum dia mati aku tidak akan pulang temui ibu!" kata Logo lalu segera
berlari pergi menerjang beberapa orang yang menghadang jalan. Orang-orang itu
buyar seketika takut diterjang kaki berpotongan seperti pilar itu.
"Logooo...!" seru Sumbaruni dengan berlari, tapi ia jatuh tersungkur karena
masih lemas. Untung tubuhnya segera disambar tangan Suto hingga ia tak sempat
mencium tanah. "Biar aku yang menahannya!" kata Raja Maut, lalu mengejar Logo.
3 TUJUH hari perjalanan menuju Gunung Kundalini membuat Suto Sinting
semakln dicekam rasa haru. Perjalanan itu tidak dilakukan sendirlan. Sumbaruni
ngotot ingin ikut agar begitu Telur Mata Setan ditemukan ia bisa cepat-cepat
menelannya. Alasan kuat itulah yang membuat Pendekar Mabuk tidak bisa
mencegah Sumbaruni mengikutinya.
Keadaan Sumbaruni yang memprihatinkan itulah yang membuat hati Suto
Sinting sering digetarkan oleh keharuan. Betapa tidak, karena sekarang Sumbaruni
bukan lagi sosok gadis cantik bermata galak. Sumbaruni bukan lagi wanita yang
lincah dan berilmu tinggi. Sumbaruni sudah menjadi seorang bocah yang tingginya
hanya sebatas perut Suto Sinting.
Bukan saja sosok tubuhnya yang menyusut, melainkan pakaiannya pun ikut
menyusut menyesuaikan badan. Bahkan pedang di punggungnya pun ikut menjadi
kecil. Apa saja yang menempel di tubuh Sumbaruni telah berubah menjadi kecil.
Itulah kehebatan "Racun Ludah Naga' yang dimiliki Panglima Perwira Tanah Hindus.
Konon hanya beberapa orang saja yang mempunyai ilmu 'Racun Ludah Naga'.
Kini dalam keadaan seperti gadis kecil berusia sepuluh tahun, Sumbaruni tidak
bisa banyak berbuat apa-apa. Bahkan terkadang jika ia lelah berjalan, Suto
Sinting terpaksa harus menggendongnya. Sikap itu dilakukan Suto Sinting agar Sumbaruni
tidak patah semangat dan masih mempunyai gairah hidup. Betapa pun tabahnya
seseorang jika melihat keadaannya makin hari makin menjadi seperti anak kecil,
sudah tentu kekecewaannya begitu besar dan mampu mematahkan semangat
hidupnya. Namun karena Sumbaruni selalu didampingi Suto Sinting yang gemar
mengalihkan kesedihan dengan bercanda, maka semangat mempertahankan hidup
masih menyala-nyala di hati sanubari sahabat Gila Tuak itu.
Guntur menggelegar di langit. Awan mendung mulai menutupi mentari sore.
Angin berhembus secara alami, bukan karena pengaruh kekuatan gaib apa pun. Hari
memang menjadi mendung, sebentar lagi hujan akan turun. Saat itu mereka berdua
sudah berada tidak seberapa jauh dari gunung Kundalini. Puncak gunung yang
bersalju itu sudah kelihatan dari tempat mereka berjalan.
"Aku yakin di dekat kaki gunung itu ada sebuah desa, Suto. Ada baiknya jika
kita mencapai desa Itu sebelum hujan turun dan sore menjadi gelap," kata
Sumbaruni. Walaupun sosok tubuhnya menjadi bocah cilik tapi daya pikir dan
kemampuan bicaranya masih seperti orang dewasa. 'Racun Ludah Naga' hanya
menyusutkan tubuh dan melenyapkan ilmu, tapi tidak bisa menyusutkan daya pikir
dan akal seseorang. Hal itu dianggap sebagai kelemahan 'Racun Ludah Naga', yang
konon akan menjadi lebih berbahaya lagi, lebih bisa menyusutkan daya pikir
korbannya jika saat dilepaskannya ludah itu keadaan Syakuntala sedang lakukan
puasa dan diludahkan dengan hati yang damai. Tapi karena racun itu diludahkan
pada saat hati dibakar Kemarahan dan tidak sedang berpuasa, maka 'Racun Ludah
Naga' tak mampu membuat susut pikiran seseorang.
Tepat ketika Suto Sinting dan bocah Sumbaruni mencapai sebuah kedai, hujan
pun turun dengan deras. Cahaya senja makin remang, tak berapa lagi lagi akan
menjadi petang. Hujan itu disertai dengan angin dan badai yang berhembus dengan
mengerikan. Kilatan-kilatan cahaya guntur seakan ingin menyambar seluruh
permukaan bumi. Kabut menebal di sana-sini, sehingga pemandangan tak bisa
terlihat jelas.
"Untung kita sudah tiba di kedai Ini. Jika tidak, pasti kau akan terserang
batuk-batuk seperti empat hari yang lalu," kata Suto Sinting kepada bocah
Sumbaruni. "Kalau kau tak menuruti gagasanku untuk mengarah kemari, kau juga tak akan
temukan kedai ini, Suto!" bocah Sumbaruni tampak bangga dengan ketepatan
gagasannya. Suto Sinting hanya tersenyum sambil manggut-manggut.
"Kau mau makan bubur sayur?" Suto Sinting mena-wari Sumbaruni.
"Perutku sudah telanjur kenyang oleh jadah goreng ini," ujarnya sambil
menghabiskan sisa makanan yang sedang dikunyahnya. "Aku minta tuak, ah!"
"Husy! Jangan!" kata Suto Sinting agak berbisik. "Jika kau minum tuak, nanti
orang-orang di sini akan mengecammu sebagai bocah nakal. Ingatlah, kau
dipandang mereka sebagai bocah, bukan sebagai gadis dewasa."
Sumbaruni tarik napas, ada perasaan sedih jika ingat akan hal itu. la mencoba
beralasan, "Aku... aku hanya ingin menghangatkan badan. Tubuhku dingin sekali.
Angin badai dan hujan menghadirkan hawa dingin mencekam tubuh, seakan ingin
membekukan darahku, Suto. Berilah tuak sedikit saja!"
Alasan itu dipandang masuk akal sekali. Suasana yang membuat Pendekar
Mabuk tak bisa menahan keinginan bocah Sumbaruni. Dengan memandang
sekeliling, secara diam-diam cangkir tuak diberikan kepada Sumbaruni.
"Minumlah sedikit saja, jangan sampai kelihatan siapa-siapa!" bisik Suto
Sinting sambil badannya bergerak miring menutupi gerakan minum tuaknya bocah
Sumbaruni. Sruup...! Srrrup...! Srruupp...!
Bocah Sumbaruni meneguk tuak dari cangkir. Beberapa hirupan tuak
membuat Suto Sinting cepat-cepat mencegahnya. "Sudah, jangan banyak-banyak.
Nanti kau mabuk, aku malu!"
Tanpa disadari oleh mereka ternyata di belakang Suto Sinting telah berdiri si
pemilik kedai yang usianya sudah mencapai enam puluh tahun dan sedikit bungkuk.
Pemilik kedai yang dikenal dengan nama Ki Sabarsumo itu terkekeh pelan
mengejutkan Suto dan Sumbaruni. Bicaranya yang penuh senyum itu pun terdengar
pelan. "Wah, adik kecil kok sudah doyan tuak" Apakah tidak memabukkan?"
Suto Sinting tersenyum kikuk, demikian pula Sumbaruni yang sunggingkan
senyum canggung bernada malu dan jengkel. Suto Sinting segera berkata kepada Ki


Pendekar Mabuk 037 Racun Gugah Jantan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sabarsumo, "Dia memang sudah terbiasa minum tuak karena sering ikut denganku
berkelana ke mana-mana."
"Ooo... pantas. Wah, hebat juga anak sekecil dia sudah doyan tuak. Pasti kelak
besarnya akan menjadi Pendekar Mabuk wanita, seperti yang sekarang sedang ramai
dibicarakan oleh para langgananku itu, Nak."
"Siapa yang sedang santer dibicarakan mereka,Ki?"
"Pendekar Mabuk yang punya ilmu tinggi dan dikagumi orang banyak. Tapi
Pendekar Mabuk hanya ada di wilayah kulon, di sebelah barat sana. Cerita tentang
kehebatannya lebih banyak dibicarakan oleh orang-orang kulon dan sekitar pesisir
utara." Suto Sinting diam saja walaupun ia tahu yang dibicarakan Ki Sabarsumo itu
adalah dirinya. Suto Sinting tidak mau perkenalkan dirinya sebagai Pendekar
Mabuk karena untuk menghilangkan kesan sombongkan diri. Baginya biarlah orang tahu
dengan sendirinya siapa Pendekar Mabuk dan siapa dirinya itu, ketimbang harus
memperkenalkan diri tanpa diminta. Kecuali untuk suatu keperluan penting, Suto
Sinting baru mau perkenalkan diri sebagai Pendekar Mabuk, murid dari Gila Tuak
dan Bidadari Jalang.
Karenanya ketika bocah Sumbaruni ingin berkata tentang siapa sebenarnya
yang diajak bicara Ki Sabarsumo itu, Suto Sinting buru-buru alihkan pembicaraan
dengan menanyai bocah Sumbaruni,
"Apakah kau ingin makan nasi pecel?"
"Tidak. Sudah kubilang aku sudah kenyang dengan makan ketan goreng ini!"
jawab Sumbaruni merasa dongkol karena niatnya bicara dialihkan Suto Sinting. Ki
Sabarsumo berkata sambil membersihkan meja samping Suto, "Apakah dia adikmu,
Nak?" "Benar, Ki," jawab Suto secepatnya. "Dia adikku yang paling kucintai."
"Kulihat sungguh besar kasih sayangmu kepada seorang adik. Andai kata aku
dikaruniai keturunan mungkin anakku yang sulung sudah seusiamu dan anakku yang
bungsu sudah seusia adikmu itu. O, ya... siapa nama kalian?"
"Aku bernama Suto dan adikku ini bernama Runi," jawab Pendekar Mabuk
berkesan menutupi jati diri mereka berdua.
"Apakah kedua orangtua kalian masih ada?"
"Hmmm... sudah meninggal. Kami hanya hidup berdua saja," jawab Suto
Sinting. "Ooo... kasihan sekali, ya" Bagaimana jika kalian tinggal di sini saja
bersamaku?" Ki Sabarsumo menawarkan jasa baiknya. "Setidaknya jika kalian berdua
tinggal bersama kami, tentunya kami tidak akan kesepian jika kedai ini sudah
ditutup. Istriku akan punya hiburan, setidaknya punya teman berbincang-bincang yang dapat
menghibur hatinya."
Sumbaruni langsung menyahut kata, "Kami punya tujuan sendiri, Ki."
"Betul," timpal Suto Sinting. "Kami punya jalan hidup sendiri. Sebagai
pengelana kami tak bisa bermukim di suatu tempat. Kami hanya bisa singgah di
sana-sini dalam waktu sejenak."
"Sayang sekali," ujar Pak Tua berpakaian hitam dengan ikat kepala kaln batik
coklat itu. "Ki, apakah kedai ini menyewakan tempat untuk bermalam?" tanya Sumbaruni.
"Tidak. Tapi jika kalian mau bermalam di sini, aku punya satu kamar lagi yang
kusediakan untuk bermalam para sanak saudaraku yang berkunjung kemari. Kalian
bisa tempati kamar itu tanpa membayar uang sewanya. Kami justru senang jika
kalian mau bermalam di sini. Jangan teruskan perjalanan, agaknya hujan akan menjadi
lebih deras lagi menjelang tengah malam."
"lya. Sekarang saja hujannya sudah bercampur badai begini. Kurasa beberapa
pohon di sana-sini ada yang tumbang karena amukan angin badai dalam hujan ini,"
kata Sumbaruni sambil memandang arah luar lewat celah pintu penutup kedai yang
belum ditutup rapat itu.
"Biasanya," kata Ki Sabarsumo, "Jika keadaan alam seperti ini, pasti Gunung
Kundalini akan kedatangan tamu orang sakti."
"Dari mana kau tahu?" sergah Suto Sinting merasa tertarik dengan ramalan
tersebut. Ki Sabarsumo yang murah senyum pun menjawab penuh kesabaran,
"Bagi rakyat desa sekitar kaki Gunung Kundalini sudah mempunyai tanda
khusus akan hal itu. Hujan badai sangat jarang turun di sekitar sini, hanya
saat-saat menjelang kedatangan tamu sakti yang menuju Gunung Kundalini saja hujan badai
datang hampir semalaman. Seakan hujan badai merupakan sambutan ramah dari
Gunung Kundalini untuk tampakkan kesegarannya kepada sang tamu."
Suto Sinting hanya mengangguk-anggukkan kepala. la tak tahu kalau
Sumbaruni telah habiskan tuak dalam cangkir, bahkan menuangnya sendiri dari
poci. Pandangannya yang sejak tadi tertuju pada Ki Sabarsumo dan sesekali memandang
ke arah hujan membuat Suto tak melihat gerakan tangan Sumbaruni menuang tuak
dan meminumnya. Tak heran jika bocah Sumbaruni itu ini menjadi cegukan dengan
mata sedikit merah sayu.
"Kita lanjutkan perjalanan kita, Suto. Jangan takut dengan hujan air! Huk,
huk.... Kalau takut air, maka kita akan menjadi manusia kering yang huk,
huk...." "Sumbaruni"! Wah, kacau! Kau pasti mabuk karena kebanyakan minum tuak!
Tuak ini agak keras, beda dengan tuak-tuak di tempat lain!"
"Siapa yang mabuk"! Huk...! Huk...! Aku masih bisa melihat wajahmu yang
tampan dan mendebarkan hati itu. Huk... huk...! Kapan kau ingin mengawiniku,
Suto Sinting?" "Ssstt...!" Suto Sinting membekap mulut bocah Sumbaruni dengan cemas.
Matanya melirik sana-sini. Untung Ki Sabarsumo sudah pergi mempersiapkan kamar
untuk mereka, dan beberapa pengunjung kedai sibuk dengan percakapan
masing-masing. Suto Sinting agak lega tak ada orang yang mengetahui celoteh
bocah Sumbaruni itu.
"Sumbaruni, sebaiknya kau beristirahat di kamar saja. Kau mabuk!"
"Tidak. Aku tidak mabuk," katanya dengan parau dan nada mengambang.
"Aku masih sehat, huk, huk... huk...!"
"Coba hitung, ini berapa?" Suto Sinting menunjukkan tiga jarinya.
Sumbaruni memandang sebentar dan tersenyum tipis seakan meremehkan.
"Hmmm... begitu saja ditanyakan. Aku tahu itu empat!"
"Salah! Ini tiga!"
"Kau yang bodoh tak bisa menghitung jarimu sendiri," kata Sumbaruni.
Suto Sinting geleng-geleng kepala dengan tersenyum geli. "Coba kau hitung,
ada berapa pengunjung di kedai ini?"
Sumbaruni menghitung dengan pandangan mata lalu menjawab, "Sepuluh!"
"Salah. Yang ada di sini ada delapan orang termasuk kita berdua. Bukan
sepuluh orang."
"Tadi yang dua sudah pulang sebelum hujan turun. Kau tak tahu, Suto!"
Pendekar Mabuk tertawa geli tanpa suara. Lalu ia segera membawa bocah
Sumbaruni ke kamar setelah Ki Sabarsumo memberitahukan bahwa kamar mereka
sudah disiapkan. Bocah Sumbaruni sebenarnya masih ingin duduk di situ, tapi Suto
Sinting membujuknya untuk ke kamar. Sebab jika bocah Sumbaruni ada di situ dalam
keadaan mabuk, maka kata-katanya akan membahayakan bagi diri mereka.
Setidaknya banyak orang yang tahu bahwa mereka sedang memburu Telur Mata
Setan dan mengetahui siapa Suto dan Sumbaruni sebenarnya.
Hari sudah malam, hujan makin menderu karena derasnya bertambah. Bocah
Sumbaruni tak mau diting-gal Suto keluar kamar. la minta ditunggui dengan sikap
Sastrawan Cantik Dari Lembah Merak 5 Bu Kek Kang Sinkang Karya Kkabeh Kitab Mudjidjad 20
^