Pencarian

Perawan Maha Sakti 3

Pendekar Mabuk 034 Perawan Maha Sakti Bagian 3


"Mengapa diam saja, Pelangi Sutera"! Apakah kau sangsi dengan pengakuanku, bahwa
aku adalah Perawan
Maha Sakti yang layak dihormati" Kalau kau sangsi, apakah kau ingin mencoba
bermain dua-tiga jurus denganku?"
Sumbaruni tetap diam. Tantangan itu sebenarnya memanaskan darah, tapi Sumbaruni
tetap mengendalikan hawa murkanya. Sedangkan Angin Betina yang mendengar lagak
bicara Perawan Maha Sakti itu ikut dibakar kemarahan. Kalau saja keadaannya
tidak terluka cukup parah, Angin Betina pasti akan menerjang Perawan Maha Sakti
tak peduli apa pun akibatnya nanti.
"Hei, apakah kau tiba-tiba menjadi tuli, Pelangi Sutera?" Perawan Maha Sakti
dekati Sumbaruni. Yang dilakukan Sumbaruni hanya menarik napas.
Gadis itu berkata lagi, "Berlututlah sekarang juga sebagai tanda kau mengakui
kehebatanku!"
"Persetan dengan kata-katamu, Dara Cupanggeni!"
geram Sumbaruni dengan gigi menggeletuk dan mata menyipit. Tapi hal itu justru
membuat Perawan Maha Sakti tertawa kegirangan.
"Bagus! Kau sudah berani memakiku, itu bagus!
Berarti kau berani melawanku!"
"Apa yang kutakuti dari dirimu"!" kata Sumbaruni bagai penuh dendam. Sambungnya
lagi, "Jika kau ingin adu kesaktian denganku, jangan sekarang! Sebab sekarang aku
masih punya urusan dengan pihak lain! Tentukan tempatnya di mana kita akan
bertanding laga satu lawan satu"!"
Rupanya Sumbaruni tak mau terhina dan diremehkan begitu saja. Ia sengaja
mengulur waktu untuk menunda
hasrat Dara Cupanggeni yang ingin melawannya.
"Bagus sekali! Aku suka jiwa-jiwa pemberani sepertimu, Pelangi Sutera. Aku punya
tempat pertarungan tersendiri. Kau tahu letak Bukit Perawan"!"
"Ya," jawabnya tegas.
"Aku membuka pertarungan bebas di Bukit Perawan.
Datanglah tiga hari lagi terhitung mulai esok! Kutunggu kau di Bukit Perawan!"
ucapnya sambil masih tersenyum sinis.
"Aku tak akan kecewakan dirimu. Aku akan ada di sana tepat pada waktunya!"
Wuuut...! Sumbaruni tidak memberi kesempatan Perawan Maha Sakti untuk bicara
terlalu banyak lagi. Ia segera pergi tinggalkan tempat itu. Perawan Maha Sakti
hanya tertawa kecil melihat kepergian Sumbaruni. Sesaat kemudian ia pun segera
pergi ke arah timur. Ia tak pedulikan Angin Betina, dianggap tak ada siapa pun
di situ sejak kepergian Sumbaruni.
Angin Betina sempat merasa cemas karena kepergian Perawan Maha Sakti ke arah
tempatnya menyembunyikan Suto Sinting. Angin Betina khawatir gadis angkuh itu temukan Suto
dan Suto akan dihabisi di sana. Sebab itu Angin Betina kerahkan tenaga yang
tersisa untuk segera pergi menyusul ke arah timur.
Namun, ketika ia mampu berdiri, baru satu langkah sudah terhuyung-huyung dan
jatuh. "Angin Betina...!" seru sebuah suara yang tak lain adalah suara Suto Sinting.
Pendekar tampan itu terperanjat cemas melihat keadaan Angin Betina yang
penuh luka memar dan mulut serta hidungnya berdarah.
Ia segera menghampirinya, memapah gadis itu ke tempat teduh.
"Sumbaruni-kah yang melakukannya?"
"Ya," jawab Angin Betina pelan sekali.
Suto Sinting buru-buru membuka tutup bumbung tuaknya sambil berkata, "Sudah
kuingatkan, jangan hadapi Sumbaruni. Dia tak mudah ditumbangkan!" Suto segera
menyuruh Angin Betina meminum tuaknya.
Sesaat kemudian Suto berkata, "Aku akan ke pondoknya Resi Wulung Gading untuk
meminjam Pedang Kayu Petir. Aku akan kalahkan Perawan Maha Sakti dengan pedang
itu." Angin Betina gelengkan kepala. "Justru aku pergi dari sana mau kasih tahu kau,
bahwa Resi pergi berziarah ke makam Nini Galih sambil membawa pedang itu."
"Celaka!" gumam Suto. "Aku tak tahu di mana makam Eyang Nini Galih"!"
* * * 6 MENDENGAR cerita dari Angin Betina, Pendekar Mabuk menjadi cemaskan nasib
Sumbaruni. Menurutnya, Sumbaruni sendiri terlalu berani jika menerima tantangan itu. Suto
Sinting yakin, Sumbaruni akan binasa jika melawan Perawan Maha Sakti.
"Aku harus temui Sumbaruni!" kata Suto sebelum mereka bergegas pergi.
"Untuk apa menemuinya" Mau minta dilumpuhkan lagi"!"
"Justru aku yang ganti akan melumpuhkannya!" tegas Suto Sinting. "Aku tak
izinkan dia menerima tantangan itu."
"Kalau dia berani, mengapa harus dilarang" Itu haknya untuk menerima tantangan
atau menghindarinya!" Angin Betina agak ngotot, karena dalam hatinya sangat setuju
jika Sumbaruni maju ke pertarungan. Dengan begitu, Sumbaruni akan tumbang di
tangan Perawan Maha Sakti. Jika Sumbaruni tumbang, menurut Angin Betina ia akan
bebas mendekati Suto dan tak ada yang mengganggu dengan kecemburuan-kecemburuan
seperti yang terjadi belakangan ini.
Pendekar Mabuk sendiri paham dengan maksud hati Angin Betina. Karenanya, ia
segera membendung hasratnya yang ingin menggagalkan pertarungan Sumbaruni
melawan Perawan Maha Sakti. Tetapi pada dasarnya, sebelum hari pertarungan itu
tiba, Suto Sinting harus bisa melumpuhkan Perawan Maha Sakti. Satu-satunya cara
ialah dengan meminjam Pedang Kayu Petir.
Karena Pedang Kayu Petir saat itu dibawa berziarah oleh Resi Wulung Gading,
sedangkan Suto tidak tahu di mana makam Nini Galih, gurunya Bidadari Jalang itu,
maka Suto harus pergi ke Lembah Badai untuk temui Bidadari Jalang dan tanyakan
letak makam itu.
"Aku setuju, dan aku ikut ke sana!" kata Angin Betina.
Maka pergilah mereka menuju ke Lembah Badai.
Jalan pintas tercepat untuk menuju Lembah Badai melalui arah timur. Angin Betina
mencegah langkah Suto.
"Sebaiknya lewat arah lain saja, sebab Perawan Maha Sakti tadi melesat ke arah
timur. Kita hindari perjumpaan dengannya sebelum kita dapatkan pedang pusaka
itu." Mau tak mau Suto Sinting merubah arah ke selatan.
Angin Betina hampir tertinggal ketika Suto Sinting gunakan 'Gerak Siluman'-nya.
Ternyata gerakan itu mempunyai kecepatan melebihi angin, sehingga Angin Betina
benar-benar tertinggal dalam jarak tak begitu jauh. Gadis itu berseru dengan
dongkol karena merasa tak mampu menyamai gerakan Suto. Akibatnya Suto Sinting
kurangi kecepatan larinya sehingga mereka bisa melesat dalam seiring.
"Ternyata kecepatan jurus 'Jejak Kilat'-ku tidak bisa mengungguli kecepatan
gerakmu, Suto," kata Angin Betina mengakui kelebihan Pendekar Mabuk.
"Kalau kau mau perdalam jurusmu itu, kau bisa samai gerakanku."
"Apakah kau mau ajarkan jurus 'Gerak Siluman'-mu itu?"
"Tak terlalu sulit untuk mengajarkannya padamu, karena kau sudah punya dasar
gerakan kilat seperti ini!"
"Tapi...," ucapan itu tak dilanjutkan, karena tiba-tiba mereka harus hentikan
langkah. Seseorang melesat di jalanan depan mereka. Mau tak mau mereka pun
berhenti dan menatap orang yang menghadang di depan jalan itu.
Suto Sinting berbisik kepada Angin Betina, "Kau masih ingat orang itu?"
"Ya. Dia si tampan berjuluk Dewa Rayu!"
"Tepat sekali. Ternyata ingatanmu sangat tajam untuk wajah-wajah tampan," goda
Suto Sinting sambil dekati pemuda berkumis tipis yang menghadang jalan mereka
itu. Angin Betina hanya bersungut-sungut dengan gerutu tak jelas.
"Rupanya kau telah sehat kembali, Dewa Rayu," sapa Suto Sinting, sebab Dewa Rayu
beberapa waktu yang lalu terluka parah karena dihajar habis oleh Lancang Puri,
keponakannya Nyai Gandrik. Dan Nyai Gandrik sendiri yang membawa lari tubuh Dewa
Rayu dalam keadaan terluka parah untuk dibawa ke Pulau Lanang dengan tujuan
sangat pribadi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kitab Lorong
Zaman"). Angin Betina menimpali perkataan kepada Dewa Rayu, "Rupanya Nyai Gandrik telah
mengobati luka-lukamu dengan caranya sendiri, Dewa Rayu. Sayang kau kelihatan
pucat dan letih. Mungkin karena kewalahan melayani Nyai Gandrik!"
"Nyai Gandrik curang!" kata Dewa Rayu. "Dia sembuhkan luka parahku, dia juga
menyembuhkan diriku dari pengaruh 'Racun Edan Cumbu', tapi dia tanamkan 'Racun
Cumbu Abadi' dalam diriku, sehingga... hasratku untuk bercinta tak pernah ada
puasnya." Angin Betina sembunyikan tawa geli. Ia tahu bahwa Nyai Gandrik termasuk tokoh
tua jago pelet. Hasrat kepada lelaki sangat besar, sebab ia mempunyai penyakit
yang membuatnya akan mati jika dalam satu purnama tidak bercumbu dengan lelaki.
Sebab itu Angin Betina tak heran jika Dewa Rayu ingin dikuasai Nyai Gandrik
dengan cara menanamkan 'Racun Cumbu Abadi', supaya pemuda tampan dan perkasa itu
selalu mempunyai kebutuhan yang sama dengannya.
"Apa kekuatan dan bahayanya 'Racun Cumbu Abadi'
itu?" tanya Suto.
"Setiap saat hasratku menyala-nyala. Jika hasrat bercumbu kutahan sampai tiga
hari, maka aku akan kehilangan tenaga. Lebih dari tiga hari, aku akan menjadi
lumpuh. Genap tujuh hari, aku akan mati rasa seumur hidup. Jadi aku selalu harus
lakukan keinginan bercumbuku untuk dapatkan kekuatan hidup."
"Tentu saja Nyai Gandrik membuatmu menjadi seperti itu, karena ia berharap kau
mau melayaninya setiap saat," ujar Angin Betina.
"Aku tahu, karenanya aku lari darinya."
"Mengapa kau lari darinya" Bukankah bersamanya kau akan tetap dapatkan kekuatan
karena bisa bercumbu kapan saja kalian inginkan?" kata Suto.
Dewa Rayu tundukkan kepala sebentar, lalu berucap dengan memandang Suto.
"Aku telah membunuh Lancang Puri, keponakannya."
"Oh..."!" Suto dan Angin Betina sama-sama terperanjat.
"Bagaimana kau bisa membunuh Lancang Puri, sedangkan setahuku Lancang Puri
berilmu tinggi,"
Angin Betina bernada kurang percaya.
Dewa Rayu jelaskan, "Lancang Puri memaksaku bercumbu tanpa setahu Nyai Gandrik.
Kulayani dia, tapi aku juga ingat dengan 'Racun Edan Cumbu'-nya yang membuatku
akhirnya jadi begini. Maka ketika ia sedang menikmati asmaranya, kutancapkan
pisau di punggungnya sebagai pembalasan atas dendam kekalahanku! Lalu... aku
melarikan diri dari Pulau Lanang."
Rupanya kejadian itu terjadi saat Lancang Puri berkunjung ke Pulau Lanang yang
dikuasai oleh bibinya itu. Pada awalnya, Lancang Puri memang tidak bergairah
kepada Dewa Rayu, mungkin karena masih dalam keadaan memusatkan pikiran ke
masalah Kitab Lorong Zaman. Tetapi lama kelamaan, seringnya Lancang Puri melihat
bibinya bermesraan dengan Dewa Rayu, hasratnya menjadi terbakar. Rasa penasaran
dan ingin mencoba menambah hasrat bercumbunya kian besar, sehingga Lancang Puri
pun melepaskan hasrat itu kepada Dewa Rayu. Ia tidak menyangka kalau Dewa Rayu
ternyata masih punya dendam kekalahan tempo hari yang membuat Dewa Rayu akhirnya
menderita ancaman 'Racun Cumbu Abadi'.
"Lalu, apa maksudmu menghadang langkah kami di sini, Dewa Rayu?" lanjut Pendekar
Mabuk dalam sapaannya.
"Aku merasa sudah mulai kehabisan tenaga. Aku
butuh seorang perempuan."
"Apa maksudmu"!" hardik Angin Betina mulai curiga.
Dewa Rayu berwajah sedih. Ia sulit menjawab, namun akhirnya dipaksakan juga
untuk bicara apa adanya.
"Aku membutuhkan kau!"
"Edan!" sentak Angin Betina.
"Sudah dua hari aku tidak melakukannya. Sekarang hari ketiga. Badanku sudah
mulai merasa lemas."
"Persetan dengan badanmu! Kau anggap apa aku ini, sehingga kau berani
menghadangku dan membutuhkan diriku untuk melayanimu"!"
"Jika memang terpaksa, mungkin aku harus melakukannya dengan kekerasan."
Suto Sinting tersenyum tipis. Hatinya membatin,
"Berani juga dia bersikap seperti ini di depan Angin Betina. Apakah dia tidak
perhitungkan bahwa aku ada di pihak Angin Betina?"
Menurut dugaan Suto, hal itu berani dilakukan oleh Dewa Rayu karena pemuda bekas
anak Raja Pengging itu sudah sangat kepepet. Mungkin sejak tadi ia tidak temukan
perempuan di hutan itu, sehingga ketika melihat Angin Betina ia beranikan diri
untuk menyatakan maksudnya. Tak heran jika Angin Betina pun tersinggung dengan
pernyataan Dewa Rayu, apalagi diucapkan di depan Suto, sebagai orang yang
dicintai, tentu saja Angin Betina akan tunjukkan sikap menantang keras ajakan
Dewa Rayu, sekalipun Dewa Rayu punya
ketampanan yang hampir senilai dengan ketampanan si Pendekar Mabuk. Setidaknya
saat-saat seperti ini adalah saat kesempatan bagi Angin Betina untuk tunjukkan
kesetiaan hatinya kepada Suto Sinting.
Wajar-wajar saja jika Angin Betina segera cabut pedangnya dan berkata dengan
suara keras, "Kupertaruhkan nyawaku untuk menjaga kehormatanku! Kalau kau memang inginkan
tubuhku dan berani memaksaku, aku pun inginkan nyawamu dan berani memenggalmu,
Dewa Rayu."
Sraang...! Pedang pemuda berkumis tipis itu juga dicabut dari sarungnya dengan
tenang. "Lebih baik aku mati dalam pertarungan daripada menjadi lumpuh dan mati
rasa seumur hidupi"
"Wah, benar-benar nekat anak ini!" gumam Suto membatin dengan perasaan geli.
Ketika Angin Betina dan Dewa Rayu mulai bersiap untuk saling lepaskan serangan,
Pendekar Mabuk segera berseru dengan sunggingkan senyum meremehkan pertarungan
tersebut. "Tahan amarahmu, Angin Betina!"
"Minggirlah kau, biar kutangani sendiri penghinaan pribadiku ini!"
"Tahanlah. Ada jalan yang lebih baik daripada harus beradu nyawa begini," ujar
Suto Sinting dengan kalem, ia masuk ke pertengahan jarak antara Angin Betina
dengan Dewa Rayu.
"Dewa Rayu, mendekatlah kemari. Barangkali tuakku bisa lenyapkan kekuatan 'Racun
Cumbu Abadi' itu!"
"Tuakmu tidak punya kekuatan apa-apa. Aku masih
ingat saat kau guyur wajahku dengan tuakmu, ternyata aku masih dalam pengaruh
'Racun Edan Cumbu'-nya si Lancang Puri."
"Barangkali kekuatan 'Racun Edan Cumbu' dengan
'Racun Cumbu Abadi' agak berbeda. Cobalah dulu, siapa tahu 'Racun Cumbu Abadi'
bisa ditawarkan dengan tuakku!"
Pada mulanya Dewa Rayu ngotot tidak mau
meminum tuak, melainkan butuh seorang perempuan.
Angin Betina yang sudah sangat muak itu hampir-hampijr menebaskan pedangnya ke
leher Dewa Rayu.
Tapi berkat kesabaran Suto dalam membujuk, akhirnya Dewa Rayu mau meminum tuak
dari bumbung bambu itu.
Rupanya kekuatan 'Racun Cumbu Abadi' cukup besar. Racun itu jika bercampur
dengan tuak hanya akan datangkan rasa kantuk yang amat kuat, namun tidak membuat
racun itu menjadi tawar. Dewa Rayu jatuh terkulai setelah sesaat menenggak tuak.
Akhirnya ia tertidur di bawah pohon dalam keadaan duduk bersandar.
"Setan itu malah ngorok!" gerutu Angin Betina.
"Tinggalkan saja dia! Untuk apa mengurusinya"!"
"Tunggu sebentar, aku jadi punya rencana sendiri untuknya."
"Rencana apa?"
"Memanfaatkannya untuk menghadapi Perawan Maha Sakti."
Angin Betina pandangi Pendekar Mabuk dengan
perasaan heran, ia mencoba menduga rencana tersebut, membayangkan pertarungan
Dewa Rayu dengan Perawan Maha Sakti. Akhirnya Angin Betina mendesis dan berkata,
"Dia pun akan hancur di tangan Perawan Maha Sakti kalau benar Perawan Maha Sakti
memiliki ilmu sehebat itu."
"Mungkin pertarungannya agak berbeda dengan pertarungan yang kau bayangkan."
"Kau akan menghantam Perawan Maha Sakti dari belakang saat ia bertarung melawan
Dewa Rayu?"
"Tidak. Seingatku, Guru pernah berpesan padaku:
'Jika kau tak bisa atasi lawanmu dengan ilmu, atasi lawanmu dengan kecerdasan
otak'. Berarti aku harus gunakan siasat untuk mengalahkan Perawan Maha Sakti."
"Siasat yang bagaimana?"
Suto Sinting sunggingkan senyum, seakan telah terbayang kemenangan di tangannya.
Tapi ia tidak jelaskan siasatnya itu. Ia hanya berkata,
"Carikan sebuah tempat untuk menyembunyikan pemuda itu!"
Angin Betina mendesah malas. Suto Sinting membujuk sampai akhirnya Angin Betina
memandang ke sana-sini, lalu berkata, "Seingatku di sebelah barat bukit ini ada
gua yang biasa digunakan bermalam para pengelana. Entah gua itu masih ada atau


Pendekar Mabuk 034 Perawan Maha Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah tertutup, aku kurang bisa memastikan. Tapi ada baiknya kalau kita periksa
dulu ke sana!"
Ternyata gua yang dimaksud Angin Betina adalah gua yang pernah digunakan Suto
untuk menolong mengobati Raja Maut dalam peristiwa Ratu Tanpa Tapak. Gua itu
masih ada. Tempatnya termasuk bersih untuk sebuah gua di lereng bukit. Letaknya
sedikit tersembunyi, karena empat langkah di depan pintu gua terdapat tanaman
semak yang rimbun dengan sebatang pohon berdaun lebat. Menurut Suto Sinting, gua
itu layak dipakai untuk menyembunyikan Dewa Rayu.
Ketika mereka membawa masuk Dewa Rayu yang tertidur itu, Angin Betina sempat
menahan lengan Suto hingga langkah Suto terhenti di pintu gua. Mata Angin Betina
memandang ke arah timur. Suto mengerti maksud Angin Betina, sehingga ia segera
memandang ke arah timur juga.
Lembah sebelah timur merupakan tempat yang ditumbuhi pohon berjarak renggang,
sehingga apa yang ada di lembah itu dapat terlihat dengan jelas dari depan gua
tersebut. Di sana terjadi pertarungan yang tak asing lagi bagi Suto Sinting.
Perawan Maha Sakti ada di lembah itu, hanya saja siapa lawannya kali ini masih
belum diketahui Suto Sinting. Dengan terburu-buru Suto Sinting masuk ke gua yang
tidak terlalu dalam tapi ditumbuhi banyak bebatuan datar yang menjulang di sana-
sini itu. Ia meletakkan tubuh Dewa Rayu yang masih tertidur pulas. Setelah itu
ia berkata kepada Angin Betina yang masih melongok ke luar, memandang ke arah
lembah. "Angin Betina, kau tunggu di sini! Aku akan ke
lembah timur sana!"
"Mau apa"!" Angin Betina cemas bercampur curiga.
"Lakukan saja perintahku. Tetaplah di sini dan jaga dia agar jangan sampai
pergi," kata Suto seraya bergegas keluar gua.
"Suto, apa yang akan kau lakukan di sana" Katakan!"
"Nanti sepulangnya dari sana akan kukatakan."
"Aku tidak ingin kau bertarung melawannya!" geram Angin Betina sambil dekati
wajah Suto dan dipandanginya dalam jarak amat dekat. Pendekar Mabuk hanya
sunggingkan senyum menawan yang
menjengkelkan hati Angin Betina.
"Aku tidak akan bertarung dengannya. Kali ini kuturuti keinginanmu," ujar Suto
sambil menepuk-nepuk pipi Angin Betina. Sikap itu menyenangkan bagi Angin
Betina. Tepukan pipi diterima sebagai tepukan mesra.
Angin Betina merasa mendapat perhatian, karena Suto mau turuti keinginannya
untuk tidak bertarung dengan Perawan Maha Sakti itu. Akibatnya, Angin Betina pun
tak bisa tolak tugasnya menjaga Dewa Rayu, sekalipun hatinya muak melihat pemuda
tampan berkumis tipis itu.
Pendekar Mabuk sempat meneguk tuaknya lebih dulu sebelum tiba di pertarungan
itu. Ketika sampai di balik pohon dekat tempat pertarungan, ternyata lawan yang
dihadapi Perawan Maha Sakti adalah lelaki berjubah hitam yang usianya sekitar
lima puluh tahun. Tubuhnya kurus, rambutnya panjang, kuku tangannya panjang dan
tajam-tajam. Suto tidak mengenali siapa lelaki berwajah dingin itu. Karenanya ia
sempat menyimak percakapan
mereka ketika mereka hentikan pertarungan sejenak, yaitu pada saat lelaki
berjubah hitam terpental karena pukulan jarak jauhnya Perawan Maha Sakti.
"Sekali lagi kuberi kesempatan padamu untuk tetap hidup, asal kau segera pulang
dan memanggil Gerhana Mandrasakti. Jangan sampai kesempatan yang kuberikan ini
kucabut kembali, Kucing Terbang!"
Suto membatin, "O, rupanya kucing itu bernama Kucing Terbang. Dia pasti orang
Tebing Karma, anak buah Gerhana Mandrasakti.
Terdengar suara si Kucing Terbang yang serak pada saat ia bangkit dari jatuhnya,
"Tebus dulu nyawa kedua saudara sepupuku itu, baru kuturuti perintahmu, Gadis
Jalang!" "Nyawa kedua saudaramu adalah korban ketidaktaatannya kepada perintahku! Kalau
waktu itu Kapak Iblis dan Setan Akhirat segera pergi memanggil Gerhana
Mandrasakti, mereka pasti akan selamat sampai sekarang juga!"
"Untuk apa taat kepadamu" Kau pikir siapa dirimu, hah"!" Kucing Terbang
menampakkan sikap bermusuhannya, sedikit pun tak merasa gentar menghadapi
lawannya. "Sekalipun menurut mata-mata Tebing Karma yang melihat pertarunganmu
dengan kedua saudaraku itu, kau mempunyai jurus maut, tapi jangan merasa bangga
dulu jika berhadapan denganku; si Kucing Terbang! Jurus mautmu itu belum tentu
bisa tandingi jurus 'Meong Seribu Kaki'! Majulah kalau kau mau tahu kehebatan
jurusku: 'Meong Seribu Kaki'!"
Suto Sinting menahan geli. Tersenyum sambil geleng-gelengkan kepala. Hatinya
membatin, "Kucing Terbang terlalu berani. Dia belum tahu kekuatan 'Bias Dewa'-
nya Dara Cupanggeni. Biar pakai jurus 'Meong Seribu Kaki' atau 'Meong Seribu
Istri', tetap saja akan tumbang jika Perawan Maha Sakti sudah lepaskan jurus
'Bias Dewa'-nya."
Beberapa saat setelah Suto berpikir demikian, tiba-tiba ia rasakan dirinya
tertegun mematung. Laaap...!
Jantung bagaikan berhenti, semuanya terasa mati.
Ternyata saat itulah Perawan Maha Sakti lepaskan jurus
'Bias Dewa'-nya yang menghantam leher Kucing Terbang. Dees...! Akibatnya bisa
dibayangkan sendiri; nasib Kucing Terbang seperti nasib Kapak Iblis dan Setan
Akhirat. Ia tumbang dan segera dikerumuni belatung dalam waktu beberapa saat
saja. Suto Sinting yang mulai sadar kembali setelah nyala sinar merah dari telunjuk
gadis itu padam, segera memandang ke arah pertarungan dengan wajah sedikit
tegang. Matanya lebih tertuju pada mayat Kucing Terbang. Ia hanya geleng-
gelengkan kepala merasa prihatin melihat nasib korban jurus maut Itu.
Perawan Maha Sakti bermaksud tinggalkan tempat.
Suto Sinting bergegas keluar dari persembunyiannya, langsung melompat dalam
gerakan salto beberapa kali.
Sampai akhirnya ia tapakkan kakinya di tanah belakang gadis itu tanpa terdengar
suara kaki menyentuh tanah.
"Dara...!" Suto Sinting langsung menyapa. "Masih ingat aku tentunya!"
Perawan Maha Sakti yang berpaling segera putar tubuhnya hingga berhadapan
langsung dengan Pendekar Mabuk. Gadis itu masih diam memandang dengan wajah
tanpa senyum. Sikap bermusuhannya masih terbayang walau tipis. Tetapi Suto
Sinting tampak tenang, bahkan sunggingkan senyum ketampanannya.
"Kau ingin lanjutkan pertarungan kita yang tertunda itu"!" tantang Perawan Maha
Sakti secara tak langsung.
Tetapi tantangan itu dijawab dengan senyum lebar oleh Suto Sinting. Perawan Maha
Sakti sempat membatin, "Pantas namanya Suto Sinting, agaknya dia benar-benar
sinting; ditantang malah cengar-cengir"!"
"Menciptakan pertarungan itu mudah," kata Suto.
"Tapi menciptakan perdamaian itu susah."
Gadis cantik berbibir merekah itu pandangi Suto tak berkedip. Ia tak tahu bahwa
Pendekar Mabuk mempunyai satu jurus yang sebenarnya sudah jarang digunakan.
Jurus itu adalah pemberian dari Bibi Gurunya, Bidadari Jalang yang sering
dipergunakan semasa Bidadari Jalang menjadi tokoh aliran hitam.
Jurus tersebut sering mengembang dengan sendirinya, tapi tidak terlalu parah
bagi korbannya. Namun jika dipergunakan dengan sengaja, jurus itu mampu membuat
lawannya tak berkutik.
Seperti kata Ki Sonokeling, gadis yang memiliki ilmu
'Darah Gaib' dan 'Bias Dewa' biasanya sangat berhati-hati menjaga jiwanya. Ia
mencoba untuk tidak jatuh cinta kepada lelaki sebelum apa yang diinginkan dari
dua ilmu itu terlaksana. Begitu pula Perawan Maha Sakti,
sekalipun Suto dipandangnya sebagai pemuda yang menawan, tampan, gagah, dan
perkasa, namun Perawan Maha Sakti menutup pintu hatinya untuk tidak terpikat
dengan pendekar tampan itu.
Hanya saja, di saat menjelang senja tiba itu, pertemuannya dengan Pendekar Mabuk
rupanya mempunyai makna lain dalam hidup Perawan Maha Sakti. Suto Sinting
pergunakan jurus pemberian Bidadari Jalang yang dinamakan jurus 'Senyuman
Iblis'. Dengan menahan napas pada saat tersenyum, menyalurkan kekuatan batin dan
hawa murni pada saat memandang, maka memancarlah kekuatan gaib yang membuat
senyuman itu luar biasa memikatnya.
Andai pada waktu itu Perawan Maha Sakti pejamkan mata, maka ia tidak akan
terperangkap gelombang gaib senyuman Suto Sinting. Tapi karena Perawan Maha
Sakti justru memandang tanpa berkedip dan menikmati keindahan senyuman tersebut,
maka hatinya menjadi berdebar-debar dan berbunga indah. Semakin lama mereka
saling pandang, semakin lama gadis itu menikmati senyuman Suto, semakin resah
jiwanya dan bayangan kemesraan bercumbu menggoda hati, tak bisa dihindari lagi.
"Celaka! Dia begitu menggetarkan hatiku dan batinku menuntut kemesraan. Aduh...!
Aku tak bisa mengatasi rasa terpikatku ini. Kurang ajar sekali pemuda yang satu
ini. Sikapnya benar-benar menyenangkan hatiku, membuat khayalanku terbang ke
mana-mana. Oh, Dewa... baru sekarang kuperhatikan bahwa senyumnya
benar-benar enak dinikmati. Wajahnya yang tampan, sangat serasi dengan tubuhnya
yang kekar, berotot, perkasa, dan... oh, kulihat genangan keringatnya membersit
di leher, mengalir sampai di dadanya. Oh, Dewa... bagaimana cara menghentikan
khayalanku ini"!"
Sementara itu, Pendekar Mabuk pun membatin, "Kau boleh andalkan ilmu 'Darah
Gaib'-mu untuk menolak serangan-serangan keras, senjata tajam, dan tenaga dalam
penghancur raga. Tapi mampukah 'Darah Gaib'-
mu itu menolak kehadiran 'Senyuman Iblis'-ku"
Mampukah kau bertahan jika batinmu yang kuserang dengan kemesraan" Mampukah kau
menghindari pancaran bunga cintaku jika hatimu yang kutuju" Oh, tingkahmu sudah
mulai serba salah. Mau apa kau" Kalau kutinggalkan, bagaimana" Mampukah kau
biarkan aku pergi?"
Suto Sinting yang punya ilmu edan-edanan itu sering bersikap konyol. Ketika
dilihatnya mata Perawan Maha Sakti mulai redup dan menjadi sayu, senyum tipisnya
kian mekar penuh harap, napasnya mulai tampak tak teratur, bibirnya sering
digigit sendiri, pandangan matanya salah tingkah, saat seperti itulah yang
dimanfaatkan Suto Sinting untuk mempermainkan hati gadis itu dengan
kekonyolannya. "Dara Cupanggeni," ucap Suto dengan suara merdu yang kian menawan hati bagi
gadis berjubah ungu itu.
Sang gadis segera angkat wajah dan pandangi Suto dengan menggigit bibir bawahnya.
"Untuk melanjutkan pertarungan kita yang tertunda
itu, aku sama sekali tak keberatan. Satu-satunya hal yang membuatku berat hati
adalah jika sampai kulit halusmu itu tergores atau terluka. Hatiku retak jika
melihatmu sampai terluka. Aku sendiri tak tahu, mengapa aku punya perasaan
begitu. Bahkan aku merasa lebih rela kehilangan nyawa dibandingkan harus melihat
tubuhmu ada yang terluka."
Perawan Maha Sakti semakin berdebar-debar indah mendengar ucapan itu. Sangkanya
hati Suto benar-benar tulus mengucapkan perasaan sebenarnya. Padahal kata-kata
itu adalah seonggok gombal yang sudah lama tak pernah digunakan oleh Suto
Sinting. Kali ini ia terpaksa menggunakannya demi runtuhkan kedua ilmu berbahaya
itu. Katanya lagi seraya mendekat dan mengusap pipi gadis itu dengan punggang telapak
tangannya, "Ilmu setinggi apa pun bisa kucari dan kupelajari. Tapi kecantikan
seperti ini hanya ada satu di dunia, yaitu hanya kau pemiliknya."
"Jangan merayuku," ucapnya lirih sekali, hampir tak terdengar. Pandangan matanya
semakin sayu karena terbuai keindahan dalam hatinya.
"Kalau kata-kataku ini kau anggap rayuan, izinkan aku merayumu beberapa saat
sebelum akhirnya kita harus bertarung. Tapi sesungguhnya apa yang kukatakan
adalah curahan hatiku yang sukar kubendung sejak aku harus berhadapan denganmu.
Mestinya aku tak ingin temui kau lagi, karena kau mempunyai ilmu yang dahsyat.
Tetapi harapan hatiku menuntut jiwaku untuk
bisa bertemu denganmu walau untuk yang terakhir kalinya. Harapan hati itu hanya
semata-mata ingin curahkan perasaan yang kukatakan ini. Hanya itu tujuanku
menemuimu sore ini, Dara Cupanggeni.
Setelah itu, marilah kita ianjutkan pertarungan kita yang tertunda itu."
Perawan Maha Sakti menatap sedikit mendongak karena Suto lebih tinggi darinya.
Wajah ayu berbibir merekah penuh gairah itu menggeleng pelan-pelan. Lalu
terdengar suaranya bagai orang mendesah dicekam asmara.
"Tidak. Aku tidak ingin lanjutkan pertarungan denganmu. Aku... aku...," Perawan
Maha Sakti tundukkan wajahnya, terdengar lagi lanjutan katanya,
"Aku tak sanggup bertarung melawanmu. Aku benar-benar tak sanggup."
Suto Sinting raih dagu gadis itu dan diangkatnya pelan hingga matanya menatap
lembut si mata sayu itu.
Lalu dengan senyum berkekuatan gaib, Suto Sinting berucap kata lirih,
"Jangan lemahkan hatimu. Mari lanjutkan pertarungan kita."
"Tidak, Suto," ucapnya pelan sekali. Lalu gadis itu menggigit bibirnya sendiri,
seperti ada suatu perasaan yang ingin meledak dalam dadanya tapi ditahan kuat-
kuat. "Lalu apa yang kau inginkan?"
"Hmmm... ehh... ppe... peluklah aku walau sekejap saja, Suto."
Bukan Suto Sinting yang memeluk, tapi Perawan Maha Sakti yang mendahului memeluk
Suto. Kepalanya disandarkan di dada Suto dengan mata terpejam seakan meresapi
kehangatan yang mengalir dari tubuh Pendekar Mabuk, sebab Pendekar Mabuk pun
membalas pelukan itu erat-erat. Perawan Maha Sakti merasa dirinya terbenam
sangat dalam hingga menyentuh kehangatan dasar hati Suto.
* * * 7 SEMENTARA itu, Angin Betina yang resah di dalam gua segera melongok keluar dan
memandang ke arah lembah. Matanya terbelalak, wajahnya bagai disiram air panas
melihat Suto sedang berpelukan dengan Dara Cupanggeni. Jantung Angin Betina
seakan dibetot dari dalam, terasa ingin meledak dadanya.
"Setan! Iblis! Peri! Hantu! Buaya buntung...!"
makinya dalam geram dengan kedua tangan
menggenggam kencang sekali. "Dasar sapi otak kerbau!
Katanya mau berhadapan dengan gadis itu ternyata malah berpelukan! Katanya
bermusuhan dengan gadis itu, nyatanya malah berkasih-kasihan. Uuuhhh...!" Angin
Betina jengkel sekali. Darahnya bagaikan mendidih dan mengguyur seluruh kepala.
Kedua kaki dan tangannya gemetar menahan amukan yang mendesak untuk meledak.
"Pendekar cap tikus!" cacinya sambil mondar-mandir
di dalam gua dengan pedang terhunus. "Apa yang harus kulakukan jika begini"!
Membantai mereka berdua"
Atau pergi meninggalkan mereka selamanya"! Uuhh...!
Dasar lelaki mata keranjang, mata serokan ikan, mata buaya, mata kucing, mata...
mata sapi juga! Benci aku padanya! benci aku! Benciiiii...!"
Duuurrr...! Sebongkah batu ditendang langsung hancur menjadi kerikil-kerikil
lembut. Kemarahan Angin Betina berkobar karena kecemburuan dalam hatinya meluap-
luap. Ia kembali masuk ke dalam gua dengan mondar-mandir salah tingkah sendiri.
Pedang yang sudah dihunus ingin dipancungkan ke leher Dewa Rayu yang sedang
tertidur, tapi niat itu segera dibatalkan. Ia kembali melongok keluar, memandang
ke lembah. "Dasar buaya kampung kumuh!" makinya lagi. "Dari tadi belum mau melepaskan
pelukannya! Iiih... benci aku! Benciii...!"
Plook...! Angin Betina menampar pipinya sendiri untuk lampiaskan kegeraman yang
menyiksa batin itu.
Ketika ia melongok keluar lagi, ternyata di lembah sudah tidak ada Suto Sinting.
Mata Angin Betina membelalak tegang, mencari-cari Suto ke sekitar lembah dengan
pandangan matanya yang tersembunyi di celah bebatuan. Suto tidak kelihatan, tapi
Perawan Maha Sakti masih diam di sana, duduk di sebatang kayu pohon kering yang
tumbang sudah sekian lama.
"Ke mana si buaya kampung kumuh itu" Mengapa tidak ada" Mengapa gadis itu masih
di sana" O, aku tahu...! Pasti si buaya kampung kumuh sedang cari
tempat buat kencan mereka! Setan peot! Sebaiknya kuhampiri gadis itu dan
kuserang dari belakang sebelum dibawa kencan oleh si buaya mata kodok!"
Rupanya Suto Sinting memang berjanji akan kembali lagi, sehingga Perawan Maha
Sakti masih menunggu di sana. Suto Sinting pamit mau cari tempat buat tidur
mereka, karena senja mulai tua dan mereka harus punya tempat untuk bermalam.
Perawan Maha Sakti setuju sekali, bahkan hatinya yang sudah kasmaran itu
bersorak kegirangan. Suto tidak langsung menuju ke gua, melainkan mengambil
jalan putar, sehingga ia muncul dari arah sisi kiri gua tersebut.
"Hei, mau ke mana kau"!" sergah Suto dengan suara berbisik ketika dilihatnya
Angin Betina hendak tinggalkan gua dengan pedang terhunus.
Angin Betina menatap dengan mata mengecil tanda menyimpan benci. Bicaranya pun
ketus. Giginya bagai tak mau terbuka.
"Iblis kau, Suto! Peri hamil busung kau!"
"Hei, hei... kenapa kau marah begitu" Masuklah!
Lekas masuk, kita bicaral"
Suto menarik lengan Angin Betina untuk dibawa masuk ke gua. Angin Betina
sentakkan lengannya dengan kasar hingga terlepas dari genggaman Suto Sinting.
"Jangan sentuh diriku lagi! Kau telah puas memeluknya!"


Pendekar Mabuk 034 Perawan Maha Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Angin Betina, ini siasat! Hanya siasat semata!"
"Siasat untuk menutupi kerakusanmu"! Siasat untuk
memuaskan hasratmu" Iya"!"
Angin Betina angkat pedangnya untuk ditebaskan, Suto Sinting hanya merunduk dan
menyilangkan tangannya seakan ingin menangkis pedang itu dengan tangan.
"Tunggu dulu. Kujelaskan dulu rencanaku!"
Angin Betina hempaskan napas dengan dongkol sekali. Ia tak suka melihat Suto
berpelukan dengan wanita lain, tapi ia harus menahan rasa tak suka itu untuk
dengarkan penjelasan dari Pendekar Mabuk.
"Kau menyingkirlah dulu. Pindah di tempat lain yang tersembunyi!"
"Apa..."! Kau menyuruhku pergi dari gua ini dan gua ini akan kau pakai untuk
bermesraan dengan gadis liar itu"!" mata Angin Betina mendelik.
Suto masih menjaga sikap sabarnya. "Tenang dulu, dengarlah penjelasanku!" Suto
Sinting mendekat. Angin Betina buang muka. Ia berkata lagi,
"Aku berhasil menjerat hatinya. Ia terpikat padaku. Ia kasmaran padaku. Lalu
kami sepakat untuk mencari tempat buat bermalam. Ia senang sekali ketika
kukatakan bahwa aku berusaha mencari tempat yang nyaman dan enak untuk bermalam
bersama. Ia bahkan mau menungguku di sana, dan aku berjanji akan kembali lagi
secepatnya."
Angin Betina menjauh, memandang ke arah luar gua, melirik ke arah Dara
Cupanggeni yang bagai perawan setia menunggu sang kekasihnya datang. Suto
Sinting bicara dari belakang Angin Betina dengan suara pelan
tapi jelas. "Ia bergairah sekali untuk tidur bersamaku. Aku berhasil memancing gairahnya dan
dia...." "Tentu saja dia bersedia sekali tidur denganmu!"
potong Angin Betina dengan ucapan cepat. Suto Sinting sempat gelagapan, lalu
tertawa kecil. Angin Betina buang muka lagi seraya berkata, "Dia boleh tidur denganmu jika dia
bisa lepaskan nyawaku dari raga! Akan kutantang dia sekarang juga!"
"Hei, tunggu dulu!" cegah Suto Sinting menarik pundak Angin Betina.
Gadis berambut acak-acakan itu menepiskan tangan Suto dengan kasar. Tapi ia
tidak tahu bahwa saat ia mengucapkan niatnya untuk menantang Perawan Maha Sakti,
Suto telah lakukan sesuatu di belakangnya; memejamkan mata dan mengarahkan
wajahnya kepada Dewa Rayu yang sedang tidur itu. Maka ketika Angin Betina
berbalik arah dan memandang Suto dengan sengit, tiba-tiba wajah tegang itu
mengendur, mata sipit itu melebar, mulut runcing itu ternganga. Di belakang Suto
ia melihat sosok Suto Sinting sedang tertidur, sedangkan sosok Dewa Rayu tidak
ada. Angin Betina jadi tergeragap, "Lho, it... kok... kuk...
puas... di... nguk... ngok... ngek...."
Suto Sinting hanya tertawa dengan mulut
terbungkam, hingga yang terdengar hanya gumam terpatah-patah. Katanya dalam
senyum, "Makanya jangan salah anggap dulu. Dengarkan penjelasanku, baru ngotot
kalau memang tak setuju!"
"Tap... tapi... siapa yang tidur itu?"
"Dewa Rayu!" jawab Suto dengan kalem.
"Mengapa wajahnya, perawakannya, pakaiannya, semuanya seperti dirimu?"
"Aku menggunakan ilmu 'Seberang Raga'. Biasanya ilmu 'Seberang Raga' kugunakan
untuk mengecoh pandangan lawan. Benda apa pun bisa menyerupai diriku dan akan
kembali ke wujud semula jika batinku sudah melepaskan ilmu 'Seberang Raga' itu."
"Jadi apa maksudmu?"
"Kupancing Perawan Maha Sakti agar masuk ke gua ini. Dia akan menemui Dewa Rayu
yang disangka diriku. Lalu... tentu saja dia akan bermalam di gua ini bersama
Dewa Rayu. Sementara itu, kita mencari tempat lain untuk bersembunyi, tapi
jangan jauh-jauh dari sini untuk menjaga kalau terjadi sesuatu pada diri Dewa
Rayu." Angin Betina manggut-manggut dengan kemarahan yang mereda. "Ternyata kau bukan
buaya kampung kumuh, tapi kancil mata keranjang!" ejek Angin Betina.
Suto hanya tersenyum. "Sekarang, kita bangunkan dulu Dewa Rayu...!"
Dengan susah payah mereka membangunkan Dewa Rayu. Percikan tuak di wajah Dewa
Rayu baru bisa membuat pemuda berkumis tipis yang sudah menjadi serupa betul
dengan Suto itu menggeragap dan bangun dari tidurnya. Ia terkejut mendapatkan
dirinya sudah mengenakan pakaian mirip dengan Suto Sinting.
Tapi ia menjadi lebih terbelalak melihat Angin Betina
dan mulai mendesis dengan pandangan mata penuh gairah. Dewa Rayu pun berkata
kepada Suto, "Tuakmu hanya bisa membuatku mengantuk. Tapi hasratku untuk bercinta dengan
seorang wanita masih menyala-nyala. Semakin kuat mencekam jiwaku!"
"Karena itulah kau kudandani seperti diriku!"
"Apa maksudmu mendandaniku seperti ini?"
tanyanya penuh keheranan. Bahkan ia juga merasa heran melihat bumbung tuak ada
di sampingnya. Suto Sinting jelaskan, "Kau akan kuberikan obat pelega jiwa. Tapi kau harus bisa
berpura-pura menjadi diriku."
"Aku tak mengerti maksudmu"!" Dewa Rayu kerutkan dahi.
"Kami mau kasih kamu perempuan!" sentak Angin Betina dengan kasar.
"Pokoknya nanti kalau ada gadis cantik datang kemari berjuluk Perawan Maha
Sakti, jangan kecewakan dia. Turuti saja apa keinginannya. Kau tetap harus
merasa menjadi Suto Sinting, tak perlu sering-sering minum tuak tak apa, tapi
kau harus merasa menjadi diriku dan merasa sudah kenal lama dengan Perawan Maha
Sakti." "Mengapa begitu?"
"Karena aku punya kencan dengan Perawan Maha Sakti, tapi tidak bisa
melaksanakan. Aku harus temui seorang tokoh tua yang sedang ziarah dan tak
kutahu di mana makam itu. Aku dan Angin Betina akan pergi, baik-baiklah di sini
dan jangan ke mana-mana!"
Dalam hati Angin Betina kagum dengan kecerdasan Suto Sinting. "Biar sinting tapi
otaknya encer juga!"
katanya membatin sambil ia duduk di atas pohon berdaun rindang. Sementara itu
Suto Sinting sedang memancing Perawan Maha Sakti agar memasuki gua tersebut.
Angin Betina masih bisa pandangi pertemuan Suto dengan Perawan Maha Sakti di
lembah, karena pohon tempatnya bersembunyi tak jauh dari gua tersebut.
Di sana, Suto Sinting kembali mekarkan senyum pemikatnya. Hati Perawan Maha
Sakti kian berbunga-bunga. Senyum gadis itu menampakkan kegirangan hati yang
sepertinya baru kali ini dialami dan dirasakannya.
"Kusangka kau tak akan kembali lagi."
"Kau pikir aku lelaki yang bodoh"! Mana mungkin akan kubiarkan gadis secantik
kau duduk sendirian di sini sampai petang tiba?"
Mereka berhadap-hadapan, jaraknya sangat dekat.
Tangan Perawan Maha Sakti sempat berbuat nakal, mencubit pipi Suto, mengusap
rambut panjangnya, dan semua itu membuat Angin Betina di atas pohon salah
tingkah lagi. Ia lekas-lekas buang muka sambil menggerutu dan bersungut-sungut,
"Mudah-mudahan lain kali Suto tidak temui lawan yang seperti itu! Menyakitkan
hati kalau dipandang.
Sudah kubilang jangan bersentuhan lagi, eeh... malah nempel! Ah, dasar buaya
kampung kumuh bermata kodok!"
Perawan Maha Sakti berkata, "Sebentar lagi petang
tiba. Apakah kau sudah dapatkan tempat untuk bermalam?"
"Ya. Aku sudah dapatkan sebuah gua di sebelah sana!" seraya Suto menunjukkan
tempat gua tersebut.
Senyum gadis itu mekar berseri-seri, matanya tampak berbinar-binar penuh
kegembiraan. "Kalau begitu, tak ada jeleknya jika sekarang juga kita ke sana saja!"
Suto anggukkan kepala. "Aku menjadi pelayanmu jika kau bisa mencapai gua itu
lebih dulu dariku."
"O, kau mengajak beradu kecepatan lari" Baik! Kita mulai sekarang!"
Wees...! Zlaaap...! Suto Sinting menggunakan 'Gerak Siluman'
hingga Perawan Maha Sakti tertinggal jauh. Tapi gadis itu melihat Suto masuk ke
gua tersebut. Padahal hanya masuk selintas, kemudian keluar lagi dengan gerakan
cepat yang nyaris tak tertangkap mata Perawan Maha Sakti. Maklum, remang petang
kian menua, sehingga mata gadis itu sulit menangkap kelebatan bayangan Suto
Sinting. "Ternyata kau lebih dulu sampai di sini," kata Perawan Maha Sakti kepada Dewa
Rayu yang disangka Suto Sinting. Dewa Rayu hanya tersenyum dan berkata,
"Cukup lama aku menunggumu di sini. Tak sabar rasa hatiku untuk segera membawamu
terbang tinggi-tinggi."
"Terbang" Oh..., hi, hi, hi, hi...!"
Suara tawa lirih terdengar sampai di atas pohon
tempat Suto dan Angin Betina bersembunyi. Jarak pohon dengan gua yang tak
seberapa jauh membuat suasana malam kian memperjelas suara-suara mesra di dalam
gua itu. Kadang terdengar suara cekikikan, kadang terdengar suara desahan
memanjang menyerupai erangan orang kesakitan. Sementara mereka yang di atas
pohon hanya bisa saling bungkam, membiarkan malam meluncur bersama rembulan
separo bagian, membiarkan suara-suara mesra berhamburan di dalam gua sana. Angin
Betina membayangkan apa yang terjadi di dalam gua itu, terlalu kuat bayangan
tersebut, akibatnya jantungnya berdetak-detak dan tubuhnya berkeringat dingin.
"Suto," bisiknya kepada Suto Sinting yang duduk di dahan sampingnya, "Aku
berkeringat dingin. Hi, hi, hi, hi...!"
"Pakailah bajuku kalau kau kedinginan," balas Suto.
"Bukan kedinginan!" sentak Angin Betina dalam bisik. "Aku tergoda dengan suara-
suara mereka itu."
"Kalau begitu, pejamkan mata dan tidurlah. Biar aku saja yang menjaga mereka
dari sini."
Dahan yang besar dan pipih itu bisa dipakai untuk merebahkan badan. Suto Sinting
tahu, Angin Betina bergairah mendengar suara-suara mesra dari dalam gua.
Apa yang diharapkan Angin Betina juga diketahui Suto.
Tapi Suto tidak mau memberikannya. Ia hanya menghibur hati Angin Betina dengan
membiarkan gadis itu berbaring di pangkuannya, rambutnya diusap-usap oleh Suto,
sampai akhirnya Angin Betina tertidur dengan sendirinya.
Suto sengaja tidak tidur, sebab jika ia tidur maka pengaruh kekuatan ilmu
'Seberang Raga' akan lenyap.
Dewa Rayu menjadi wujud sebenarnya. Suto menjaga agar kekuatan ilmu itu masih
tetap ada sampai esok pagi.
Setidaknya memberi kesempatan panjang bagi Dewa Rayu untuk melenyapkan kedua
ilmu andalan Perawan Maha Sakti yang amat berbahaya itu.
Melintasi pertengahan malam, ketika malam dicekam sepi, Suto Sinting mendengar
suara isak tangis samar-samar dari dalam gua tersebut. Angin Betina terbangun
oleh suara tangis itu.
"Suara siapa?" tanyanya kepada Suto.
"Jelas suara perempuan. Pasti suara Dara Cupanggeni."
"Mengapa menangis" Apakah Dewa Rayu berubah wujud?"
"Kurasa dia menangis karena sadar bahwa kedua ilmu andalannya telah hilang!"
jawab Suto pelan sekali.
"Kalau begitu... dia sudah tidak perawan lagi?"
"Mungkin saja begitu. Tapi bisa jadi tangis itu disebabkan karena Dewa Rayu tak
bisa memenuhi seleranya, atau mungkin kakinya kejatuhan batu atau hal-hal
lainnya." "Bagaimana kalau kita intip lebih dekat?"
"Jangan! Nanti keadaan menjadi kacau-balau jika Dara Cupanggeni mengetahui aku
ada di luar gua."
Sampai pagi tiba, Angin Betina tidak bisa tidur lagi.
Tapi mereka masih di atas pohon. Dan ketika matahari mulai merayap naik, mereka
melihat Perawan Maha
Sakti keluar dari gua dalam keadaan lesu.
'Hei, dia keluar sendirian. Mana si Dewa Rayu"
Mengapa tidak ikut keluar juga?" kata Angin Betina berbisik.
"Jangan-jangan... jangan-jangan Dewa Rayu dibunuh olehnya"!"
"Coba kau periksa gua itu, dan aku akan mengikutinya dari belakang!" kata Angin
Betina, lalu ia melesat berpindah pohon tanpa timbulkan suara. Suto Sinting
segera melesat ke arah gua dengan melintasi dahan-dahan pohon lainnya. Dara
Cupanggeni berjalan dengan gontai, seperti orang putus asa.
Suto Sinting terkejut melihat gua dalam keadaan kosong. Dewa Rayu tak ada di
tempat, tapi baju dan celananya tertinggal di sana, juga bumbung tuaknya.
"Ke mana perginya" Apakah dia pergi tanpa kenakan pakaian apa-apa?"
Suto Sinting segera susul kepergian Perawan Maha Sakti. Tapi pada waktu itu
Perawan Maha Sakti sudah terhenti langkahnya karena Angin Betina nekat
menghadang dari arah depan. Perawan Maha Sakti segera tegakkan badan dan pasang
lagak sebagai orang yang tidak mengalami duka apa pun.
"Siapa kau?" sapanya dengan ketus kepada Angin Betina.
"Angin Betina! Aku kekasih Suto! Kau ingat saat bertemu dengan Sumbaruni" Akulah
yang dihajar habis-habisan oleh perempuan itu."
"O, ya...! Aku ingat tentang itu. Tapi aku tidak tahu
kalau kau kekasih Pendekar Mabuk! Pendekar tampan itu mengaku padaku tidak
mempunyai kekasih siapa pun!"
"Kau telah ditipunya! Dan kulihat semalam kau masuk ke gua bersamanya!"
"Ya, benar!" jawabnya tegas penuh keberanian yang dlberani-beranikan.
Angin Betina pandangi wajah itu, bahkan seluruh tubuh dari atas ke bawah
dipandanginya. Angin Betina temukan noda merah di leher Perawan Maha Sakti .
Noda merah itu ada di kanan dan kiri leher.
"Noda merah apa itu?" pikir Angin Betina. "Pukulan maut atau ciuman maut?"
Perawan Maha Sakti merasa kikuk dipandangi demikian, ia segera sentakkan suara
untuk membuang kekakuannya.
"Apa maksudmu menghadangku"! Kau ingin tuduh aku yang membawa lari Suto Sinting
itu"! Hmm...!
Kalau itu maumu, kau salah duga! Aku tidak membawa pergi Suto Sinting! Justru
aku merasa kecewa karena Suto telah dibawa lari seseorang ketika kami sedang
bercengkerama!"
Angin Betina terperanjat, namun buru-buru ditutupi dengan tarikan napas.
"Siapa yang membawanya lari"!"
"Tak kukenal! Aku tak sempat mempertahankan karena aku ditotok melalui pandangan
matanya yang tajam itu!"
Angin Betina berpikir, apakah orang yang membawa
lari itu tahu bahwa pemuda tersebut adalah Dewa Rayu"
Jangan-jangan Dewa Rayu diculik orang sebelum merenggut kesucian gadis ini"
Keadaanku gawat juga kalau ternyata gadis ini masih perawan. Berarti dia bisa
serang diriku dengan jurus 'Bias Dewa'-nya itu.
Hmmm... sebaiknya aku menyingkir saja sebelum luapan amarahnya dilampiaskan
padaku!" Tanpa pamit apa-apa Angin Betina cepat-cepat pergi, berkelebat bagaikan angin
pegunungan berhembus di pagi hari. Gerakan cepat itu segera dihentikan ketika
berpapasan dengan Pendekar Mabuk.
"Bagaimana keadaannya?"
"Gua kosong. Dewa Rayu tak ada. Tapi pakaiannya ada di tempat."
"Berarti pengakuan gadis itu memang benar," kata Angin Betina seperti bicara
pada diri sendiri. Lalu ia ceritakan apa yang diceritakan Perawan Maha Sakti.
Suto Sinting berkerut dahi, pertanyaan dalam benaknya sama dengan pertanyaan
batin Angin Betina.
"Apakah dia sudah kehilangan kesuciannya saat Dewa Rayu diculik orang?"
"Aku tak tahu dengan pasti. Aku hanya melihat noda merah di lehernya, yang
menurutku adalah noda kemesraan yang diberikan oleh Dewa Rayu."
"Berarti penculik itu orang berilmu tinggi yang bisa menyelinap masuk ke dalam
gua tanpa kulihat. Padahal aku semalaman tidak tidur."
"Mungkin pada saat kau memandang ke arah lain, penculik itu masuk ke gua dan
membawa pergi Dewa
Rayu. Barangkali juga kejadiannya ketika tengah malam terdengar suara tangis.
Itulah suara tangis Dara Cupanggeni yang kehilangan Suto Sinting-nya!"
"Tapi menurutmu tadi, dia ditotok dengan pandangan mata"!"
"Memang. Tapi totokan yang bagaimana" Mungkin hanya totokan yang membuatnya
tidak bisa bergerak kecuali hanya bersuara dan menangis saja?"
"Kalau begitu...,' kata Suto setelah diam. "Aku harus menjajal ilmunya. Aku akan
bertarung dengan Perawan Maha Sakti. Jika dia masih perawan, maka dia akan
lepaskan jurus mautnya itu. Tapi jika ia tidak perawan lagi, ia akan pergunakan
jurus lain yang tidak berbahaya!"
"Aku keberatan!" debat Angin Betina. "Kalau ternyata dia masih perawan, belum
sempat direnggut Dewa Rayu, maka kau akan jadi korban jurus mautnya itu!
Sebaiknya aku saja yang mencoba bertarung dengannya!"
Suto berpikir, "Belum tentu Angin Betina bisa hindari jurus mautnya. Daripada
dia yang celaka, lebih baik aku yang mencobanya dengan caraku sendiri.


Pendekar Mabuk 034 Perawan Maha Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seandainya Perawan Maha Sakti sudah tak berilmu maut, siapa tahu ia masih punya
ilmu dahsyat lainnya yang sukar ditandingi oleh Angin Betina?"
Tiba-tiba Suto Sinting gerakkan tangannya, menyentil tiga kali ke arah depan.
Jurus 'Jari Guntur' dilepaskan, segumpal tenaga melesat dari sentilan itu
mengenai beberapa tempat di tubuh Angin Betina. Perempuan itu
terkejut sesaat, untuk selanjutnya badannya tak bisa bergerak kecuali mulutnya
yang berseru dengan marah,
"Setan kau, Suto! Lepaskan totokan ini! Hei, Suto...!
Lepaskan totokan ini atau kuhajar kau!"
"Aku harus hadapi Perawan Maha Sakti. Maafkan aku, nanti kulepaskan kalau aku
sudah bertemu dia!"
"Buaya kampung miskin! Jangan hadapi dia!" teriak Angin Betina, tapi Suto
Sinting tetap melesat dengan kecepatan gerak silumannya. Zlaaap...! Sebaris
makian terdengar makin kecil dan hilang karena kecepatan Suto mencapai tempat
yang jauh dalam beberapa kejap saja.
"Itu dia orangnya!" Suto membatin. "Sebelum ia lepaskan jurus mautnya, aku harus
mendahului melepaskan pukulan jarak jauh. Jika ternyata masih belum bisa
menembus lapisan 'Darah Gaib'-nya, berarti dia masih perawan dan aku harus cepat
lari sebelum ia membalas dengan jurus 'Bias Dewa'-nya."
Suto Sinting hentikan langkah dalam jarak delapan tindak di belakang Perawan
Maha Sakti. Ia menyapa dengan satu sentakan, "Daraaa...!"
Gadis itu langsung berpaling ke belakang. Ia terperanjat melihat Suto.
Keceriaannya terlintas sekejap, karena Suto Sinting segera lepaskan pukulan
jarak jauhnya berupa sinar biru besar dari telapak tangan.
Ciaaap...! Tentu saja munculnya sinar biru itu mengejutkan bagi Perawan Maha Sakti. Dengan
gerak naluri kedua tangannya menghadang dada dan keluarkan sinar merah membias
dari kedua telapak tangan itu. Namun sebelum
sinar merah sempat melesat, sinar birunya Suto dari jurus 'Tangan Guntur' telah
lebih dulu menghantam tangan bersinar merah itu. Deeess...! Blaaar..!
"Uuhg...!"
Terdengar pekik tertahan dari mulut Perawan Maha Sakti. Gadis itu terlempar ke
atas, melayang-layang dalam keadaan tubuh berasap, menandakan jurus
'Tangan Guntur' berhasil kenai tubuh lawan.
"Pukulanku kena sasaran"! Berarti dia sudah tidak mempunyai lapisan 'Darah Gaib'
lagi. Ilmu 'Bias Dewa'-
nya juga pasti telah hilang. Jika begitu... ternyata dia sudah tidak perawan
lagi"!"
Tubuh yang berasap itu tepat jatuh di kedua tangan seseorang yang berkelebat
dari balik sebatang pohon besar. Brlleb...! Gerakannya sangat cepat, seimbang
dengan kecepatan 'Gerak Siluman'-nya Suto Sinting.
Tokoh yang baru datang itu berambut putih, tapi wajahnya masih cantik, hidungnya
kecil bangir. Ia mengenakan jubah abu-abu dengan pakaian dalamnya berwarna
kuning gading. Matanya memandang tajam kepada Suto, suaranya terdengar ketus
penuh dendam. "Tunggu pembalasanku! Kalau sampai muridku ini tak tertolong, kuhancurkan dirimu
di depan Bidadari Jalang!"
Zlaaap...! Tokoh berambut putih meriap-riap itu bagaikan lenyap. Suto Sinting
tertegun bengong beberapa saat, lalu hatinya membatin, "Berarti dia adalah Nyai
Sunti Rahim; gurunya Dara Cupanggeni"!"
Sambil menuju ke tempat Angin Betina tertotok, Suto
berbicara sendiri dalam hati, "Perawan Maha Sakti sudah tak perawan lagi. Kedua
ilmu mautnya sudah hilang.
Buktinya jurus 'Tangan Guntur'- ku bisa celakai dirinya.
Syukurlah jika dua jurus maut itu telah lenyap darinya.
Cuma yang membuatku heran, siapa orang yang menculik Dewa Rayu itu?"
SELESAI Pendekar Mabuk Segera terbit!I!
PERI SENDANG KERAMAT
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU : Abu Keisel
Convert & Edit : Paulustjing
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewikz.byethost22.com
Romantika Sebilah Pedang 8 Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek Perawan Lembah Wilis 26
^