Pencarian

Rahasia Pedang Emas 2

Pendekar Mabuk 023 Rahasia Pedang Emas Bagian 2


Hanya saja, Embun Salju tidak ingin mayat itu dimakamkan di Tanah
Merah, tempat di mana Kuil Elang Putih berada. Mayat itu harus
dimakamkan di luar perbatasan Tanah Merah. Karena itu, para pengubur
membawa mayat Nini Pasung Jagat ke Pulau Kubangan, sebuah pulau
kecil yang tidak berpenghuni. Di sana ada delapan kuburan, yaitu kuburan
para musuh yang mati di tangan Embun Salju dan matinya di Tanah Merah.
Hanya enam orang yang membawa mayat itu ke Pulau Kubangan,
sedangkan yang memakamkan jenazah Irandani dan Pujarini hampir
seluruh penghuni Kuil Elang Putih. Jenazah Anjarwati pun dimakamkan di
tempat pemakaman khusus orang-orang Kuil Elang Putih.
Menjelang petang, ketika senja makin menua, Embun Salju
kedatangan tiga orang tamu. Wajah Embun Salju yang masih dilapisi masa
berkabung itu membuatnya seperti merasa enggan untuk menerima tamu.
Tetapi demi mendengar nama Kirana, adalah salah satu dari ketiga tamu
tersebut, mau tidak mau Embun Salju bergegas menyambutnya. Dan
ternyata Kirana datang bersama Jongos Daki, yang sudah dikenal Embun
Salju sebagal pelayan Tabib Cawan Maut. Tetapi satu orang tamunya lagi
itu belum pernah dilihat oleh Embun Salju. Karenanya Embun Salju
menatap dengan dahi berkerut ke arah wajah pemuda tampan yang
berbadan tinggi, tegap serta gagah. Dialah Suto Sinting, Pendekar Mabuk
yang ketampanannya sering menggoda hati wanita.
Tetapi karena Embun Salju belum mengenal wajah tampan itu,
merasa baru pertama kali ini berjumpa, maka Embun Salju pun bertanya
kepada Suto Sinting,
"Kalau boleh kutahu, siapa namamu dan dari mana asalmu?"
Kirana yang buru-buru memberi jawaban, seakan dia merasa bangga
bisa mengenalkan nama pendekar yang sedang banyak menjadi bahan
pembicaraan orang di rimba persilatan itu,
"Dia bernama Suto Sinting, Nyai...!"
"Oh.."!" Embun Salju terperanjat. Cepat-cepat matanya beralih ke
Suto Sinting tak berkedip, tapi mulutnya bicara kepada Kirana,
"Maksudmu, dialah si Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak dari
Jurang Lindu itu?"
Kirana menjawab, "Benar. Agaknya kau banyak tahu tentang dia,
Nyai! Apakah semua tokoh di rimba persilatan tahu banyak tentang orang
sinting itu"!"
canda Kirana. "Entahlah," jawab Embun Salju sambil menyunggingkan senyum
manis. Sungguh lebih manis dari senyuman Kirana atau senyuman Dewi
Anjani saat jumpa di depan kuil pemujaan tadi.
Embun Salju melanjutkan ucapannya setelah melihat Suto pun
membalas senyumannya, "Yang kutahu nama Suto Sinting selalu
berdampingan dengan nama Pendekar Mabuk. Dan semua perempuan di
rimba persilatan membicarakan tentang ketampanannya, kegagahannya,
serta daya tariknya yang luar biasa. Tapi, menurutku... biasa-biasa saja!"
"Maksud Nyai, ketampanannya biasa-biasa saja?"
"Artinya, kalau perempuan bicara tentang ketampanan seorang pria,
itu biasa-biasa saja!" jawab Embun Salju sambil matanya melirik sebentar
ke arah Pendekar Mabuk yang sejak tadi masih diam saja. Setelah itu, ia
kembali bicara kepada Kirana,
"Agaknya ada sesuatu yang penting dengan kedatanganmu bersama
Suto Sinting ini"!"
"Benar, Nyai! Banyak yang ingin kami bicarakan."
"Tentang apa, Kirana?"
Kirana melirik Suto, maksudnya menyuruh Suto menceritakan apa
yang ingin diketahui olehnya tentang pusaka Ki Padmanaba itu. Tetapi
Suto masih diam saja, dan Jongos Daki pun diam saja. Terjadilah masa
hening beberapa kejap di antara mereka berempat. Kemudian, Kirana
berkata kepada Pendekar Mabuk,
"Ceritakanlah apa yang kau alami di pantai itu, Suto!"
Kirana dan Jongos Daki terperanjat setelah Suto bicara dengan
suaranya yang menjadi serak dan sangat kecil kedengarannya,
"Bagaimana aku mau bicara, ada seseorang yang menotok pita
suaraku di tenggorokan! Aku tak bisa bicara!"
"Hei, kenapa suaramu jadi hilang begitu"!" kata Jongos Daki dengan
wajah menegang.
Embun Salju tersenyum. Ia memandang Suto sekejap, kemudian
berkata, "Bicaralah! Kau sudah bebas!"
"Hem...!" Suto mendehem. "Terima kasih," katanya dengan suara
jelas. Rupanya Embun Salju yang punya keusilan mencoba ilmunya
Pendekar Mabuk. Ia menotoknya lewat pandangan mata, sehingga su ara
Suto bagai tertahan tak bisa keluar karena jalan darah menyumbat pita
suara di tenggorokan.
"Maaf, sekadar perkenalan saja," kata Embun Salju merasa menang
karena orang yang kondang kesaktiannya saja masih bisa dipermainkan
dengan jurus totok melalui pandangan matanya. Pendekar Mabuk hanya
tersenyum. Ia mengusap-usap tenggorokannya sejenak, bahkan menenggak tuaknya beberapa teguk untuk membasahi kerongkongannya,
setelah itu berkata kepada Embun Salju,
"Ilmumu cukup tinggi, Nyai. Kau bisa menotokku lewat pandangan
matamu. Jika bukan berilmu tinggi tak mungkin bisa melakukannya."
"Sekali lagi aku minta maaf, itu hanya salam perkenalanku saja,"
jawab Embun Salju, sambil duduk di bangku bundar setinggi satu lutut.
"Tak apa, Nyai. Cuma aku sangsi apakah kau sekarang masih bisa
berdiri di depan kami, Nyai"!"
"Apa maksudmu, Suto?" pertanyaan itu terlontar dari mulut Kirana
dengan wajah penuh keheranan.
"Tak apa," jawab Embun Salju. "Mungkin Suto punya cara
perkenalan sendiri."
"Saya semakin tak jelas dengan pembicaraan ini!" kata Kirana.
"Suto menotokku dan membuatku tak bisa berdiri." jawab Embun
Salju dengan menahan malu. Ia tak mau memperagakan sikapnya yang
berusaha berdiri. Ia hanya menggerakkan pinggangnya sedikit, ternyata
masih belum bisa dipakai untuk berdiri.
"Suto," kata Kirana dengan sedikit sewot "Aku mengajakmu kemari
bukan untuk pamer ilmu! Lepaskan totokanmu pada Nyai Guru!"
"Aku tidak menotoknya!" kata Suto sambil menunjuk Embun Salju,
"Justru dia yang menotokku!"
"Tapi Nyai Guru tidak bisa berdiri! Pasti sama dengan yang kau
lakukan kepada Ekayana di pantai itu!"
"Tidak!" jawab Pendekar Mabuk agak ngotot.
Embun Salju tersenyum dan berkata, "Sudahlah, Kirana! Dia sudah
melepaskannya pada saat dia menunjukkan tangannya padaku!"
Maka, Embun Salju membuktikannya dengan berdiri tegak di depan
tamu-tamunya. "Aku sudah dibebaskan oleh kenakalannya!"
Mata Kirana memandang tak berkedip kepada Embun Salju. Pada
saat Embun Salju duduk kembali, Kirana berkata,
"Bukankah Nyai Guru orang yang susah ditotok oleh lawan?"
"Hanya lawan yang berilmu tinggi yang bisa menotokku," jawab
Embun Salju dengan jujur, dan secara tak langsung mengakui keunggulan
ilmu Pendekar Mabuk. Pemuda itu hanya tersenyum tipis, mengalihkan
pandangan mata, karena tak sanggup menatap senyuman Embun Salju
yang begitu indah. Luar biasa indahnya, sehingga setiap Embun Salju
tersenyum, jantung Suto berdebar-debar, hatinya gemetar,
"Baiklah!" kata Embun Salju. "Ceritakanlah persoalanmu, Suto!"
"Aku mendapat tugas untuk mencari pusaka dan menyelamatkannya.
Pusaka itu adalah milik Ki Padmanaba."
"Siapa yang menugaskan begitu?"
"Ki Padmanaba sendiri, sebelum ajalnya tiba, ia berbisik kepadaku!
Pada waktu itu, aku segera menghadapi Nini Pasung Jagat, sebab Nini
Pasung Jagat juga menghendaki pusaka itu sampai menewaskan Ki
Padmanaba. Tetapi aku masih sangsi, apakah benar pusaka itu ada?"
Embun Salju diam sejenak, bibirnya sengaja menyunggingkan
senyum dan membuat Suto Sinting salah tingkah. Kemudian Embun Salju
berkata sambil bergantian menatap Kirana, Suto, dan Jongos Daki.
"Mengenai Nini Pasung Jagat yang mengejar pusaka itu, memang
benar! Tadi siang dia habis mengamuk di sini dan mendesakku untuk
memberitahukan di mana pusaka Ki Padmanaba adikku di simpan. Bahkan
aku kehilangan kesabaran melihat tiga muridku dibunuhnya, lalu dia
kubunuh dan sekarang sedang dibawa ke Pulau Kubangan untuk di-
makamkan sebagaimana mestinya..."
"Oh, jadi nenek tua itu sudah mati?" potong Suto dengan cepat.
"Sudah!" jawab Embun Salju sambil menarik napas dalam-dalam.
Lalu katanya lagi,
"Mengenai pusaka itu ada atau tidak, kusarankan pada kalian atau
siapa pun, tak perlu mencari pusaka itu!"
"Maksudnya?" desak Kirana.
"Pusaka itu tidak ada. Itu hanya omong kosong adikku saja!"
Jongos Daki menyahut, "Tapi bagaimana dengan cerita tentang istri
Ki Padmanaba yang membunuh mertuanya sendiri dengan pedang pusaka
itu" Bukankah cerita itu benar adanya dan Ki Padmanaba pun segera
membunuh istrinya, lalu beliau berjanji agar tidak menggunakan pedang
tersebut, sehingga pedang tersebut disimpannya?"
Sekali lagi Embun Salju menarik napas dan setelah itu baru berkata,
"Soal istri Padmanaba yang membunuh ayahnya Padmanaba, atau ayah
tiriku, itu memang benar. Tapi tidak dengan pedang pusaka. Hanya dengan
pedang biasa!"
"Bukankah istri Ki Padmanaba tidak bisa bermain pedang" Dan ayah
Ki Padmanaba jago pedang juga" Mungkinkah jago pedang bisa
dikalahkan dan dibunuh oleh seorang perempuan yang tidak mahir
menggunakan pedang?" kata Jongos Daki, seakan mendesak supaya
Embun Salju mengatakan yang sebenarnya.
"Seseorang jika memang sudah mencapai naasnya, yang tidak
mungkin membunuhnya bisa menjadi mungkin membunuhnya!" jawab
Embun Salju tak begitu jelas dalam pernyataannya.
Jongos Daki mendesak lagi, "Setahu saya, Nyai... Ki Padmanaba
tidak pernah bohong kepada siapa pun. Mungkinkah dia menceritakan hal
itu kepada saya sebagai cerita bohong belaka?"
"Seseorang perlu bersikap jujur, tapi kadangkala kebohongan pun
dibutuhkan demi kebaikan bersama, bukan untuk menguntungkan diri
pribadi!" sekali lagi jawaban Embun Salju kali ini terasa mengambang,
seakan ia sengaja membuat tamu-tamunya menjadi penasaran mencari
kepastian jawabannya masing-masing.
"Jadi tentang pusaka itu tidak ada, Nyai?" Kirana minta penegasan.
"Lupakan tentang pusaka itu!" jawab Nyai Guru Embun Salju.
"Sekarang aku ingin menjamu kalian untuk makan malam bersama. Kalau
tak salah lihat, Jongos Daki sudah lapar sekali malam ini!"
Jongos Daki tersenyum malu sambil mengusap-usap perutnya.
"Dan Suto kelihatannya sudah terlalu lelah, butuh istirahat!"
"Kali ini tebakanmu salah, Nyai!" jawab Suto. "Aku hanya ingin
menyendiri untuk beberapa saat!"
"O, ya...itu perlu untuk menenangkan pikiranmu yang gundah. Aku
punya taman kecil di belakang sana...!" Embun Salju menunjuk kearah
belakang yang dimaksud adalah halaman belakang kuil. Lalu, Embun Salju
berkata lagi, "Di sana tempatnya nyaman, sepi, dan hening. Kalau kau mau
menenangkan diri sekarang juga, kuantarkan kau ke sana!"
Embun Salju berdiri dan berseru memanggil Dewi Anjani. Setelah
yang dipanggil muncul, Embun Salju berkata,
"Bawa tamu kita bersantap malam. Nanti aku menyusul. Aku mau
antarkan Pendekar Mabuk ini untuk ke taman belakang...!"
"Baik, Guru!"
"Sebaiknya kau makan bersama sekalian, Suto!" sahut Kirana
dengan maksud supaya Suto tidak ke taman bersama Embun Salju. Tapi
Suto kurang tanggap akan hal itu, sehingga dia berkata,
"Kalian berdua saja. Temani Paman Jongos Daki makan malam.
Wajahnya telah pucat sejak tadi. Aku butuh ketenangan sebentar saja!"
Kirana mau tak mau pergi bersama Paman Jongos Daki. Hatinya
menahan dongkol dan waswas. Rupanya ada benih-benih kecemburuan
yang tumbuh di hati Kirana. Jongos Daki yang tahu persis hal itu segera
berbisik kepada Kirana,
"Buanglah pikiranmu yang bukan bukan. Suto tidak akan melakukan
apa yang kau cemaskan sekarang ini!"
"Ah, Paman...!" Kirana menepiskan tangan dan bersikap biasa-biasa
saja, seakan tidak mempunyai benih kecemburuan.
Taman yang dimaksud adalah ladang bebatuan dengan aneka
macam jenis batu hias. Ada yang berwarna ungu berbentuk seperti pohon
kaktus, ada yang beerwarna putih mirip ikan melompat, ada pula yang
berwarna hijau seperti bentuk pohon cemara, tingginya seukuran tinggi
manusia dewasa. Yang namanya tanaman asli hanya rumput-rumput hias.
Sisanya batu-batuan hias dengan bentuk dan warna yang mempesona.
Di sudut taman itu, ada batu yang berbentuk seperti kerbau sedang
mengeram di kubangan lumpur. Warnanya kuning kehitaman. Batu itulah
yang biasa dipakai duduk-duduk menikmati ketenangan di taman yang
luasnya separo halaman depan. Di sanalah Embun Salju membawa Suto
dan mempersilakan duduk.
"Di sini kau akan merasa tenang dan nyaman," katanya.
"Kurasa lebih tenang berada di dekat batu merah itu."
"Batu ini mempunyai kekuatan gaib. Bisa membuat hati yang gundah
menjadi tenang, pikiran yang kusut memjadi tenang, jiwa yang guncang
pun menjadi nyaman. Duduklah dan coba beberapa saat!"
Baru sekarang Suto mendengar ada batu yang punya pengaruh
seperti itu jika diduduki. Karena ingin membuktikan kebenaran kata-kata
orang sakti itu, maka Suto pun duduk di batu yang mirip kerbau mengeram
di lumpur itu. Ternyata biasa-biasa saja menurut Suto. Yang membuat
sedikit tenang adalah keberadaan Embun Salju, yang duduk di batu hitam
seberangnya, dan wajahnya berhadap-hadapan dengan Pendekar Mabuk.
Wajah itulah yang memancarkan ketenangan, kedamaian, dan kenyamanan. Apalagi dibumbui dengan senyum tipis menggemaskan hati,
sungguh sesuatu yang indah dan enak dinikmati. Tanpa ada wajah Embun
Salju di depannya, mustahil batu yang diduduki Soto itu mempunyai
pengaruh seperti yang dikatakan Embun Salju tadi.
"Apakah Kirana itu kekasihmu?"
"Bukan," jawab Suto Sinting.
"Lalu mengapa kau bersamanya?"
Suto diam sesaat dan memikirkan jawabannya, tapi Embun Salju sudah
lebih dulu berkata,
"Kau mencari pusaka adikku dengan membawa-bawa Kirana,
apakah tak terpikirkan bahwa dia akan menjadi duri di dalam usahamu
menyelamatkan pusaka itu?"
"Mulanya aku butuh dia, karena dia tahu letak Cemara Tunggal!"
"Ada apa dengan Cemara Tunggal" Aku tahu tempat itu, adanya di
Bukit Canang."
"Pesan Ki Padmanaba menyebutkan Cemara Tunggal."
"Maksudmu, dia menyimpan pusaka itu di sana?"
"Aku tak tahu pasti, Nyai. Karena aku masih bingung, apakah pusaka
itu memang ada atau tidak" Mana yang benar?"
Embun salju menarik napas dan menghembuskannya dengan


Pendekar Mabuk 023 Rahasia Pedang Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pelan-pelan, setelah itu berkata kepada Suto,
"Kau benar-benar sanggup bertanggung jawab dengan pusaka itu?"
tanpa memandang Embun Salju sudah merasa dirinya diperhatikan
Pendekar Mabuk dangan dahi berkerut, pertanda Pendekar Mabuk curiga
padanya. "Aku akan bertanggung jawab! Nah, sekarang katakan yang
sebenarnya, Nyai Embun Salju! Karena aku merasa seolah-olah aku punya
hutang besar kepada arwah Ki Padmanaba jika aku tidak melaksanakan
amanatnya itu. Aku sendiri tak tahu, mengapa aku jadi punya perasaan
seperti itu. Padahal aku merasa pusaka itu bukan pusaka warisanku, aku
tak punya hak untuk memiliki pusaka itu, dan aku tak tahu, setelah
kudapatkan pusaka itu lantas mau dikemanakan, aku tak tahu!"
"Kalau begitu, kekuatan batin Padmanaba menyertaimu terus saat ini
ini, Suto Sinting!"
"Baiklah. Anggap saja memang begitu. Lalu, untuk apa kekuatan
batin mendiang Ki Padmanaba menyertaiku jika pusaka itu tidak ada
seperti yang kau katakan tadi?"
Embun Salju memandang tanpa senyum, kelihatan wajahnya
bersungguh-sungguh menanggapi omongan Suto Sinting. Lalu dia berkata,
"Sebenarnya pusaka itu memang ada!" Embun Salju sengaja
berhenti sebentar untuk melihat perubahan wajah di muka Suto. Karena
wajah itu tetap tenang dan tidak merasa kaget ataupun heran, tapi justru
tampak bersunguh-sungguh menyimak tiap ucapan yang didengarnya,
maka Embun Salju pun melanjutkan ucapannya,
"Sengaja kukatakan kepada siapa pun bahwa pusaka itu tidak ada,
supaya mereka tidak saling berebut dan akhirnya saling bunuh! Sampai
sekarang aku tak tahu siapa yang berhak memiliki pusaka itu. Tapi dengan
jujur kukatakan, aku tak mengerti di mana Padmanaba menyimpan Pedang
Wukir Kencana itu."
Pendekar Mabuk manggut-manggut dan kelihatan tetap tenang. Ia
tidak seperti orang yang haus benda pusaka dan bernafsu untuk
memilikinya. Ia hanya kelihatan seperti orang yang gelisah karena
mengemban tugas yang tak bisa diselesaikan. Air muka seperti itulah yang
membuat Embun Salju merasa perlu bicara apa yang sebenarnya ia
ketahui, "Dalam amanatnya," kata Suto. "Ki Padmanaba mengatakan padaku,
'Selamatkan pusaka Cemara Tunggal dalam purnama', begitu yang
kudengar dari mulutnya yang kemudian menghembuskan napas terakhir.
Aku tak mengerti persis apa maksudnya, tapi aku yakin pusaka itu ada di
Cemara Tunggal. Hanya saja, aku sudah cari beberapa waktu bersama
Jongos Daki dan Kirana, tapi tidak kutemukan pusaka itu."
"Dalam purnama..."!" Embun Salju menggumam dengan dahi
berkerut. Ia merenung beberapa saat. Kemudian ia pun bicara dengan
pelan, masih seperti orang menggumam,
"Repotnya pusaka itu tidak bisa ditembus oleh mata hatiku, tak ada
orang yang bisa meneropong pusaka itu, sehingga sampai sekarang tak
ada yang menemukannya! Itulah kehebatan Pedang Wukir Kencana. Sulit
ditemukan oleh orang yang bukan pemiliknya atau yang bukan diberi tugas
merawatnya."
"Menurutmu apakah aku diberi tugas untuk merawat pusaka itu,
Nyai" Sebab aku merasa...."
"Tunggu...!" potong Nyai Guru Embun Salju dengan tiba-tiba,
sepertinya ada yang penting dan mengagetkan hatinya. Pendekar Mabuk
segera berdiri dan memandang sekeliling, bersikap waspada karena
menyangka ada bahaya yang mengancam kese-lamatan Embun Salju.
"Duduklah, tak ada bahaya apa-apa," kata Embun Salju. "Aku hanya
ingin mengatakan, bahwa aku telah menemukan kuncinya!"
"Kunci apa maksudmu, Nyai?"
"Kunci membuka jalan ke tempat penyimpanan pusaka itu!"
"Pembuka jalan"!" gumam Suto heran. "Apakah ada jalan menuju ke
suatu tempat yang dipakai menyimpan pusaka itu?"
"Tidak begitu maksudku, Suto! Tapi kunci itu menunjukkan di mana
pusaka tersimpan."
"Menurutmu di mana?"
"Di purnama...! Ya, seperti malam sekarang ini adalah malam bulan
purnama, Suto!"
"Jadi kau menyuruhku terbang ke bulan untuk mengambil pusaka itu,
Nyai?" "Bukan itu maksudku?" kata Embun Salju, ia berdiri menandakan
sangat gembira karena telah menemukan kunci tersebut. Ia berjalan
mendekati tempat duduk Suto Sinting dan berdiri di depan pemuda tampan
itu, sehingga pemuda tersebut sedikit mendongak memandangnya,
"Coba ulangi pesan Padmanaba padamu!"
Suto mengulangi ucapan Ki Padmanaba, "Selamatkan pusaka
Cemara Tunggal dalam purnama!" Suto termenung sebentar, ada sesuatu
yang lupa. Lalu ia berkata lagi,
"Eh, bukan... bukan begitu! Tapi begini, 'Selamatkan pusaka di pucuk
Cemara Tunggal dalam purnama...' Kira-kira begitu kurang lebihnya, Nyai!"
"Nah, semakin jelas! Sekarang adalah malam purnama. Rembulan
menampakkan diri secara utuh di langit. Tapi saat ini belum puncak
purnama. Puncaknya nanti, di pertengahan malam."
"Jadi bagaimana maksudmu?"
"Cari bayangan pucuk cemara pada saat puncak purnama tiba. Di
mana bayangan pucuk cemara itu ada di situlah pusaka itu tersimpan. Jika
ia jatuh di tanah, maka galilah tanah itu, pasti Padmanaba menyimpan
pusakanya di tanah itu!"
"Begitukah..."!" gumam Suto seperti bicara sendai, karena ia
mengucapkan kata tanya dalam keadaan matanya merenung.
"Kalau kau sanggup melakukannya, berangkatlah mulai sekarang
Pendekar Mabuk, bawalah peralatan gali seperlunya! Dan kusarankan
jangan pergi bersama siapa pun! Sebab pusaka itu banyak yang
mengincar!"
"Baiklah kalau kau yakin begitu, aku akan berangkat sekarang! Lalu,
setelah itu aku harus ke mana membawa pusaka itu?"
"Bawalah kemari dulu, nanti kita bicarakan!"
5 REMBULAN tampak utuh di langit cerah. Warnanya kuning
keperak-perakan. Cahayanya sangat terang menyorot ke bumi. Cahaya itu
sangat dibutuhkan oleh sepucuk cemara yang tumbuh sendirian di sebuah
bukit. Dan di bawah cemara itu, seseorang telah menunggu sejak tadi,
memperhatikan bayangan pucuk cemara yang jatuh di tanah tak berbatu,
juga tak bertanaman lain kecuali rumput. Orang itu menyandang sebuah
cangkul yang tidak terlalu besar, berukuran sedang sehingga mudah di
bawanya ke mana-mana.
Orang itu tak lain adalah Suto Sinting, yang sejak tadi entah sudah
berapa kali menenggak tuaknya, menunggu saat purnama tepat berada di
pertengahan malam. Pucuk cemara yang bayangannya jatuh ke tanah itu
diperhatikan terus sejak tadi. Dalam hati ia mengakui kebodohannya yang
tak bisa menerjemahkan arti amanat mendiang Ki Padmanaba itu.
Pucuk cemara itu bayangannya bukan jatuh di tanah sekitar batu
yang dipakai bersandar gurunya Kirana sebelum wafat, bukan di sekitar
batu yang pernah dicoba didorong-dorong oleh Suto itu, melainkan di tanah
seberangnya. Jika Pendekar Mabuk pada waktu itu menggali seluruh tanah
di sekitar dua batu yang berdekatan itu, maka ia tidak akan menemukan
apa-apa kecuali kekecewaan, sebab banyangan pucuk cemara tidak jatuh
ke sana. Bukan ke arah timur, melainkan ke arah barat. Barangkali dulu
banyak pemburu pusaka Ki Padmanaba itu yang terkecoh mencari di tanah
sebelah timur pohon cemara tunggal itu, sehingga sampai sekarang
pusaka itu belum ditemukan.
Hal yang dikhawatirkan Suto adalah, kalau-kalau dugaan Embun
Salju itu salah. Maka Suto hanya akan menemukan kelelahan dan
kekecewaan yang mendongkolkan hati. Tetapi menurut naluri Suto,
dugaan Embun Salju tidak banyak salahnya. Seandainya Suto menggali
tempat kosong, itu lantaran kurang tepat waktu purnamanya. Tetapi di
antara garis sejajar dari bayangan pucuk cemara itulah kira-kira pusaka itu
dipendam oleh Ki Padm naba.
Dari sikapnya yang duduk dengan santai, tiba-tiba Suto terpaksa
harus berdiri. Angin berhembus mulai kencang, hawa dingin datang di luar
kewajaran. Ini sudah merupakan tanda-tanda ajaib pada alam sekeliling
tempat penyimpanan pusaka tersebut.
Mata Pendekar Mabuk segera terkesiap, karena ia menangkap ada
kilatan cahaya bening yang muncul dari tanah. Kilatan cahaya yang hanya
sekejap itu berwarna putih, seperti logam terkena sinar, tapi kurang dari
setengah helaan napas, cahaya itu sudah lenyap. Suto yakin, di sanalah
pusaka itu dipendam oleh pemiliknya. Karena pucuk cemara mempunyai
bayangan ke arah tanah yang memercikkan cahaya terang sekejap itu.
"Bayangan pucuk cemara itu jatuh di sana, ditempat cahaya terang
sekejap tadi. Berarti aku harus segera menggali tanah tersebut. Agaknya
cahaya terang sekejap tadi merupakan pertanda gaib yang muncul untuk
menunjukkan bahwa di sanalah ditanam sebuah pusaka yang cukup
dahsyat itu!" kata Suto dalam hatinya. Maka ia pun bergegas menggali
tanah di sekitar cahaya dan bayangan pucuk cemara berada. Suto
menggalinya dengan cepat, menggunakan tenaga simpanannya yang
mampu menggerakkan tangan melebihi anak panah kecepatannya.
Sementara itu, angin semakin kencang bertiup. Dedaunan mulai
berterbangan. Hawa dingin bertambah mencekam, seakan ingin
membekukan darah. Langit masih terang, tapi gelegar guntur mulai
terde-ngar bersahutan dari langit timur dan langit barat. Trak...! Cangkul
mengenai benda padat dan keras. Pendekar Mabuk mulai hati-hati dan
memperlambat gerakan cangkulnya.
Dalam beberapa saat kemudian, mulailah tampak sebuah benda
berwarna hitam samar-samar karena masih bercampur dengan tanah.
Semakin dibersihkan tanah di sekelilingnya dengan cangkul, semakin
terlihat jelas bentuk benda hitam yang memancang itu. Ternyata adalah
sebuah peti besi berukuran lebar antara dua jengkal, panjangnya seukuran
sebuah pedang. tinggi kotak itu antara satu jengkal. Kotak besi itu segera
diangkat oleh Suto dari galiannya. Tidak terlalu berat, tapi sedikit licin
karena kotak besi itu ditumbuhi lumut lumut tipis. Dengan sangat hati-hati
Suto meletakkan kotak panjang itu di tepi liang galiannya. Napasnya
terhempas lepas, menandakan cukup lega dengan apa yang ditemukannya
itu. Namun ketika Suto ingin membuka tutup kotak besi itu, tiba-tiba
sekelebat benda mengkilat melesat ke arahnya. Zingng...! Benda itu
melintas tepat didepan mata Pendekar Mabuk. Andai Pendekar Mabuk
tidak menarik kepala ke belakang, maka ia akan menjadi sasaran senjata
rahasia tersebut.
"Aaaa...!"
Suto terkejut mendengar suara pekik manusia di sebelah kanannya.
Padahal benda itu muncul dan berkelebat dari samping kirinya. Rupanya
benda itu mengenai orang yang sedang mengangkat pedangnya dan ingin
menebaskan pedang itu ke punggung Suto. Jaraknya hanya tiga langkah
dari tempat Suto membungkuk tadi.
Orang yang masih diam mengangkat pedang ke atas dalam keadaan
tertancap senjata rahasia berbentuk bintang segi enam di tengah jidatnya
itu, bukan orang yang dikenal oleh Suto Sinting. Usianya sekitar empat
puluh sampai lima puluh tahun, bertubuh sedikit gemuk, berkumis tebal,
berwajah sangar. Dari wajahnya dan keadaannya yang ingin membunuh
Suto dari belakang itu sudah bisa disimpulkan, dia orang jahat yang layak
menerima senjata rahasia itu.
Brukk...! Orang itu jatuh ke belakang dan tak bernyawa lagi. Suto
baru saja mau memeriksa mayat orang itu, tiba-tiba ia melihat sekelebat
cahaya terang yang melesat terbang seperti tadi. Arahnya juga dari tempat
yang sama Zingng...! Dan anehnya benda itu tidak melayang ke arah Suto,
namun ke arah lain. Suto mengikuti dengan kecepatan pandangan
matanya. Tahu-tahu ia melihat seseorang yang berdiri di balik batu
berongga setinggi manusia. Orang itu memekik seketika, karena senjata
rahasia yang melesat itu tepat masuk ke dalam celah rongga batu yang
digunakan orang itu mengintai kegiatan Suto. Crabb...!
"Aahg...!" orang itu hanya memekik pendek, lalu terdengar tubuhnya
jatuh ke tanah dan tak terdengar lagi gerakannya.
"Gila!" gumam Suto dalam hatinya, "Rupanya ada orang yang sejak
tadi mengintaiku, menunggu aku menemukan benda pusaka itu. Tapi ada
yang bermaksud untuk merebutnya dengan mencelakai aku, ada yang
bermaksud melindungi diriku! Hmm...! Siapa orang yang melindungi
dengan senjata rahasia bintang segi enam itu"!"
Mata Suto Sinting memandang ke arah semak yang ada di sebelah
kirinya tadi. Ia berseru tak terlalu keras,
"Keluarlah kalau kau mau membantuku!"
Kemudian muncul seraut wajah yang sudah tidak asing lagi bagi Suto
Sinting, yaitu wajah berambut poni, bermata bulat bening, dan berhidung
mancung. Siapa lagi kalau bukan si cantik Kirana. Dan kemunculannya itu
membuat Suto sedikit terperangah lalu bertanya,
"Dari mana kau tahu kalau aku ada di sini"!"
"Aku tak melihatmu di Kuil Elang Putih. Aku melihat Nyai Guru
Embun Salju sendirian termenung di taman. Waktu kutanyakan tentang
kamu, ia menjawab bahwa kau sedang beristirahat di kamar. Aku tak
percaya, karena aku tahu kau belum makan dan kau tidak mungkin masuk
kamar tanpa menemuiku dulu. Aku merasa ada kejanggalan, lalu
kusimpulkan bahwa kau telah diberitahu oleh Nyai Embun Salju mengenai
rahasia pedang pusaka itu! Kau pasti kemari, karena kau tak bisa
mengartikan pesan yang diucapkan oleh Ki Padmanaba sebelum ajalnya
tiba. Tapi aku yakin, Nyai pasti bisa mengartikannya! Ternyata benar!"
Pendekar Mabuk hanya geleng-geleng kepala sambil nyengir.
Kemudian ia memandang dua orang yang tumbang karena lemparan
senjata rahasia Kirana itu. Dan Suto pun berkata,
"Untung kau menyusulku, sehingga kedua orang itu tak sempat
melenyapkan nyawaku!"
"Sejak tadi kuperiksa diam-diam keadaan di sekeliling tempat ini.
Sengaja tak kutemui dirimu, takut mengganggu ketenangan berpikirmu.
Dan..., yang kulihat tadi hanya dua orang itu, maka kusiapkan serangan
untuk mereka jika sewaktu-waktu membahayakan dirimu!"
"Terima kasih! Kau telah menyelamatkan nyawaku!"
"Hutang kita impas! Aku tak punya hutang nyawa lagi padamu!" kata
Kirana sambil memandangi kotak tersebut.
Suto berkata, "Kita lihat seperti apa isinya!" sambil Suto
membungkuk dan hendak membuka penutup kotak itu. Tapi tiba-tiba kaki
Kirana menginjak kotak tersebut. Tabb...! Kaki itu tepat ada di antara kedua
tangan Suto Sinting dan di depan wajah Suto. Pelan-pelan wajah Pendekar
Mabuk mendongak memandang Kirana yang berdiri dengan satu kaki
menginjak kotak. Lalu, Kirana pun mencabut pedangnya pelan-pelan dan
diangkat ke atas pelan pelan pula. Mata Pendekar Mabuk memandangi pe-
dang itu dengan tak berkedip.
"Apa maksudmu, Kirana"!"
"Jangan dari situ membukanya! Dari sebelah sini, sehingga kau tidak
langsung berhadapan dengan lubang kotak!"
Sekalipun heran terhadap maksud Kirana, tapi Suto Sinting mengikuti
saran Kirana. Ia berpindah tempat ke samping kanan Kirana. Kemudian
kotak itu dibuka penutupnya dengan cara menariknya ke atas, bukan
mengangkatnya ke atas. Dengan begitu penutup peti menjadi pelindung
bagi perut dan dada Suto.
Begitu kotak dibuka, melesatlah dua ekor ular putih sebesar jempol
kaki. Dan pedang Kirana cepat menebas ular putih yang tampak ganas itu.
Wuttt, wuttt...! Cras cras...!
Ular putih itu terpotong keduanya mati tak berkutik lagi. Jika
terlambat Kirana menebaskan pedangnya, maka ular putih itu akan lepas
dan mungkin akan menyerang Suto dan Kirana sendiri, atau akan
menyerang orang lain yang tidak tahu-menahu mengenai pusaka itu.
Karenanya, Kirana sudah mempersiapkan pedangnya sejak tadi. Dan
seandainya Suto membuka kotak tersebut di tempat semula, maka begitu
tutup kotak dibuka, maka ia akan diserang dua ekor ular ganas tersebut.


Pendekar Mabuk 023 Rahasia Pedang Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beruntung Kirana mengingatkan Pendekar Mabuk untuk membuka kotak
dari arah seberangnya.
"Namanya Ular Sanca Ratu," kata Kirana."Jenis ular ganas yang
langka, dan menjadi liar jika terkena udara malam. Ular Sanca Ratu
mampu tidak bernapas sampai bertahun tahun, tidak bergerak sedikitpun,
kecuali terkena udara malam! Sanca Ratu hanya terdapat di pegunungan
es! Racun gigitannya luar biasa ganasnya. Tak usah sampai tergigit,
tersentuh kulitnya pun bisa membuat seseorang mati dalam tiga helaan
napas." "Luar biasa..."!" gumam Suto merasa kagum dengan cara Ki
Padmanaba memasang perangkap bagi orang yang ingin mencuri pedang
pusakanya itu. Kini kotak besi itu dalam keadaan terbuka. Ternyata di dalamnya
berisi kotak lagi. Namun kali ini kotak tersebut terbuat dari kayu cendana
yang menyebarkan aroma wangi semerbak. Apalagi angin berhembus
pada saat itu, aroma wanginya menyebar kemana-mana.
Kotak itu berwarna coklat muda, ukurannya sedikit lebih kecil dari
ukuran kotak besinya. Suto segera mengambil kotak kayu cendana itu.
Namun tiba-tiba kaki Kirana segera menendangnya kuat-kuat. Wuttt...!
Behgg...! Pendekar Mabuk terpental jatuh ke samping. Tendangan itu
cukup kuat dan membuat Suto Sinting tak bisa bernapas sesaat.
Setelah bisa bernapas, Pendekar Mabuk pun berdiri secepatnya dan
memandang Kirana yang masih menggenggam pedang dengan kedua ta-
ngannya. Pedang itu menyilang di depan dada, sedikit miring ke kanan.
"Mengapa kau menyerangku, Kirana?"
"Karena kau ceroboh, Suto!"
"Ceroboh bagaimana"!"
"Kotak kayu itu jangan sekali-kali kau sentuh!"
"Apa sebabnya"!"
Dengan nada pelan, Kirana menjawab, "Kotak itu dilumuri racun yang
amat berbahaya! Siapa menyentuhnya dia akan mati dan mayatnya pun
akan beracun. Siapa menyentuh mayatnya juga akan mati dan begitu
seterusnya. Satu orang yang menyentuh kotak itu, bisa lima atau enam
orang yang ikut mati. Bisa juga lebih dari enam orang!"
"Mengagumkan sekali!" gumam Suto Sinting sambil berdecak.
"Ambil pengait dan kita angkat kotak kayu itu dari dalam kotak besi
ini! Kulihat di sisi kedua ujung nya ada tempat pegangan tangan.
Hmmm...!" "Bagaimana kalau pakai ranting"!"
"Bisa, bisa...!" jawab Kirana sambil memasukkan pedang ke
sarungnya setelah dibersihkan dengan dedaunan, sehingga darah ular
Sanca Ratu itu hilang dari mata pedang. Tapi sisanya akan membekas dan
menjadikan racun ganas yang menambah kekuatan dan keganasan
pedang tersebut. Siapa tergores, dia akan mati dengan cepat karena darah
ular itu beracun.
Dengan bantuan ranting bertunas pendek, mereka berdua
mengeluarkan kotak kayu cendana tersebut dari kotak besinya. Tetapi baru
saja kotak kayu itu mereka letakkan di rerumputan, tiba-tiba sebuah
serangan ganda datang secara bersamaan dari belakang Kirana dan
Pendekar Mabuk. Pukulan tenaga dalam itu menghantam punggung
mereka dan membuat mereka terlempar ke depan dan berjumpalitan di
tanah. Wuttt, wuttt...!
Gusrakkk... brrussss...!
Begitu Suto dan Kirana bergulingan di tanah akibat pukulan tenaga
dalam itu, tiba-tiba sesosok bayangan berpakaian kuning melesat,
menyambar kotak kayu itu. Zlappp...! Wuttt...! Kemudian bayangan kuning
itu pun menjauh dan berhenti di bawah pohon cemara tunggal itu.
"He he he he...! Akhirnya kudapatkan juga pedang pusaka ini! He he
he he...!"
Suto bergegas mengejarnya, tapi Kirana menghadang dan
mencegah. "Jangan! Biarkan saja dia menikmati kegembiraannya yang cuma
sebentar itu!"
Suto memandang sosok berbaju kuning, seorang lelaki kurus,
berambut pendek putih, mengenakan ikat kepala merah. Tubuhnya
jangkung, namun kerutan dan kekurusan wajahnya menampakkan dirinya
sudah berusia lebih dari enam puluh tahun. Ia menggenggam tongkat
warna putih, tangannya yang kiri memeluk kotak kayu cendana itu.
"Bumbung tuakku ada di punggung, tapi dia bisa menyerangku dari
belakang! Biasanya pukulan tenaga dalam dari mana pun bisa memantul
balik jika mengenai bumbung tuakku! Tapi pukulan orang itu tidak! Siapa
dia sebenarnya, Kirana?"
"Dia berjuluk Serigala Liar! Musuhnya Ki Padmanaba sejak semasa
mudanya! Sudah lama ia mengincar pedang itu tapi tak pernah berhasil.
Baru sekarang ia memperolehnya. Dan dia punya ilmu cukup tinggi yang
tak bisa ditangkis dan dilawan oleh ilmu tenaga dalam dari mana pun juga!
Kurasa gurumu kenal sama Serigala Liar itu!"
"Ya, ya...aku ingat dulu Guru pernah bercerita tentang tokoh sakti
bernama Serigala Liar! Tapi bukankah sekarang dia sudah bertobat dan
mengasingkan diri di Gunung Malabar"!"
"Dia menyebarkan kabar itu sendiri! Yang jelas dia bersembunyi di
sekitar tempat ini entah di mana dan entah sudah berapa tahun! Dulu dia
pernah mencari pusaka itu di sekitar sini sampai satu tahun penuh hanya
untuk mencari, tapi tak pernah berhasil. Mungkin karena jengkelnya, dia
tunggui tempat ini dari sisi mana kita tak tahu! Dan begitu ia mencium bau
cendana, ia yakin pasti pedang pusaka itu ada yang menemukannya,
karenanya ia segera datang kemari!"
"Kalau begitu, kita rebut pedang itu supaya..."
"Tak perlu...! Lihat dia sekarang ini!" kata Kirana memotong.
Orang berjuluk Serigala Liar itu tertawa kegirangan sambil
menimang-nimang kotak kayu cendana itu. Tetapi tiba-tiba tawanya
menjadi hilang, tubuhnya tersentak kejang, mulutnya ternganga. Ia menarik
napas dengan susah payah. Megap-megap sebentar, lalu roboh dengan
kelojotan beberapa saat. Keringatnya mulai mengucur dan berbau amis.
Kejap berikutnya, Serigala Liar tak bergerak lagi untuk selama-lamanya, ia
mati dalam keadaan mulut ternganga dan mata terbeliak tak berkedip lagi.
"Dia mati, Kirana!"
"Ya. Memang mati. Tapi jangan sentuh mayatnya, bisa-bisa kau ikut
mati!" "Apakah dia mati karena racun di kotak kayu tersebut"!"
"Betul! Sekarang kita tarik kotak itu dari pelukannya, lalu kita buka
tutupnya. Ingat, jangan pakai tangan telanjang! Pakailah kayu pengait
untuk menariknya, dan gunakan beberapa daun untuk membungkus
tanganmu supaya saat kau membuka kotak itu tidak terkena racun yang
ada di tutup kotak tersebut!"
Pendekar Mabuk melakukan apa yang disarankan Kirana. Ternyata
ia selamat. Kotak bisa dibuka dan sebuah pedang yang terbuat dari logam
emas murni tampak membujur panjang di dalam kotak kayu cendana itu.
Suto Sinting segera mengambil pedang itu dengan pelan-pelan, tangannya
berusaha jangan sampai
menyentuh permukaan kotak kayu bagian luar.
"Woww...!" desah Suto penuh kekaguman. Ia tersenyum girang dan
Kirana memperhatikan dengan rasa bangga dan gembira. Pedang itu
diperhatikan oleh mereka berdua, dari bentuknya yang mempunyai dua
ujung runcing di kanan-kiri gagang, gambar ukiran naga di tengahnya,
bagian tajamnya yang mengelilingi mata pedang itu, semuanya membuat
kedua orang itu terkagum-kagum. Jika diberdirikan terbalik, panjang
pedang setinggi bawah pinggul Suto. Bentuknya kelihatan besar dan berat,
tapi sebenarnya ringan dijinjing, sarung pedangnya juga dari logam emas
berukir gambar naga dengan seni ukir yang cukup tinggi. Mempunyai tali
dari bahan kulit tebal, itu berarti pedang tersebut biasanya diletakkan di
punggung pembawanya.
"Kau tampak gagah jika memegang pedang itu, Suto. Jauh lebih
gagah dibanding jika tidak memegang pedang itu!" kata Kirana sambil
memandangi Suto dengan senyum berseri seri, berhamburan rasa bangga
dan kagum. "Tapi ini bukan hak milikku! Pedang ini bukan warisan untukku!" kata
Pendekar Mabuk kepada Kirana. Tapi gadis itu berkata,
"Sekarang sudah menjadi milikmu dan kau berhak memakainya
kapan saja, Suto! Kaulah pemilik Pedang Wukir Kencana ini!"
"Mengapa begitu" Aku hanya menemukannya sesuai amanat Ki
Padmanaba! Aku tidak punya hubungan saudara dengan Ki Padmanaba!"
"Memang. Tapi barang siapa yang bisa menemukan pedang ini,
maka dialah yang berhak mewarisinya! Karena itu banyak orang berburu
pedang ini di masa lalu! Tapi tak ada yang berhasil!"
"Siapa yang menemukan pedang ini, dialah yang berhak
mewarisinya"!"
"Benar, Suto!"
"Dari mana kau tahu hal itu" Dan... kurasakan dari tadi kau banyak
tahu tentang pedang ini"!"
"Aku anak angkat Ki Padmanaba!" jawab Kirana. "Sejak usia delapan
tahun aku diasuh oleh beliau! Pada saat beliau ingin menyembunyikan
pedang pusaka ini, aku mengetahuinya! Hanya saja tidak boleh ikut saat
ia menyembunyikan pedang ini! Dan aku disumpah untuk tidak
membocorkan rahasia pedang emas ini! Jika aku membocorkan begitu
saja, aku akan mati dimakan sumpah dan kutukku sendiri! Karenanya aku
takut ingin mengatakan yang sebesarnya kepadamu. Suto! Bahkan kepada
guruku Nyai Punding Sunyi pun aku tak berani mengatakannya!"
"Kenapa kau tidak berguru kepada Ki Padmanaba?"
"Ki Padmanaba hanya menurunkan ilmu kepada cucunya, yaitu
Ekayana! Ilmu itu tak diturunkan kepada orang lain, supaya ilmu yang
dimiliki cucu kesayangannya itu tidak ada yang menyamai! Dan aku
ditolong oleh Ki Padmanaba, menjadi anak angkatnya karena sesuatu hal.
Bukan karena ingin dijadikan murid. Dia sayang kepadaku, karena itu dia
hanya bisa memberi banyak wejangan kepadaku, dan menceritakan
beberapa pengetahuannya tentang dunia persilatan!"
Suto menyarungkan pedang itu sambi berkata, "Pantas kau tahu
tentang jebakan ular dan racun didalam kotak itu! Kau juga tahu tentang
Ular Sanca Ratu sampai sekecil-kecilnya, juga tahu tentang racun maut
yang merenggut nyawa Serigala Liar itu!"
"Namanya Racun Getah Tengkorak!"
Suto terkesiap memandang Kirana. Ia berkata, "Bukankah racun itu
yang diributkan oleh orang-orang Kobra Hitam" Kau tahu tentang Racun
Getah Tengkorak rupanya"!" Suto manggut-manggut.
"Karena akulah yang menggunakan racun itu pada sebuah lentera,
untuk menjebak orang-orangnya Logayo!"
"Kau...."!" Suto menegaskan keheranan dan rasa kagetnya. "Jadi,
kau yang melakukan pembunuhan di pihak orang-orang Kobra Hitam itu"!
Jadi kaulah orang yang dicari-cari mereka"!"
"Ya. Memang aku. Racun itu kudapatkan dari Ki Padmanaba. Ki
Padmanaba mendapatkannya dari seorang sahabatnya yang bernama si
Jompo Keling. Ketika mau meninggal, Jompo Keling menyerahkan racun
itu kepada Ki Padmanaba. Ketika aku akan berguru kepada Nyai Punding
Sunyi, aku dibekali oleh Ki Padmanaba Racun Getah Tengkorak. Karena
Ki Padmanaba tahu, aku akan membalas dendam kepada Logayo dan
orang -orangnya!"
"Membalas dendam"! Ada salah apa mereka padamu, Kirana"!"
6 KETIKA berusia delapan tahun, gadis kecil yang bernama Kirana
hidup bersama kedua orangtuanya dan lima kakak perempuannya.
Sebetulnya ia mempunyai enam saudara, satu kakaknya laki-laki berusia
sepuluh tahun. Tapi kakak lelakinya itu sejak bayi sudah dipungut oleh
bibinya, sehingga gadis kecil Kirana hanya mengenal kelima kakak
perempuannya. Gadis ini tergolong gadis yang nakal dan bandel. Sering ia
mengganggu kakak-kakaknya hingga mereka menangis, atau marah dan
memukulnya. Dan jika sudah begitu, gadis kecil Kirana dihajar oleh
orangtuanya. Kadang ia dihukum dengan tidak di beri makan sehari penuh,
tapi kenakalannya membuat ia pandai mencuri makanan dan
menghabiskan persediaan makanan, sehingga kakak-kakaknya tidak
mendapat bagian makanan. Hukuman yang paling sering ia lakukan adalah
dikurung di atas loteng, pintu loteng ditutup dari luar dan setelah matahari
mau tenggelam, barulah ia dilepaskan.
Sekalipun ia sering dihukum oleh orangtuanya dengan dimasukkan
ke dalam loteng dan tidak diberi makan seharian penuh, gadis kecil Kirana
itu tidak ada jeranya. Kenakalannya semakin terasa bertambah,
sampai-sampai kedua orang tuanya dan kelimam kakak perempuannya
kewalahan menghadapinya.
Dan pada suatu hari, gadis kecil Kirana dihukum oleh orangtuanya
karena melempar cangkir dan mengenai kening salah satu kakaknya, ia
segera dimasukkan ke dalam loteng dan dikunci dari luar. Sampai petang
tiba, ia masih belum dibebaskan. Tangisnya yang menjerit-jerit di atas
loteng tak dihiraukan oleh mereka, hingga akhirnya gadis itu tertidur kele-
lahan di sana. Kira-kira tengah malam, gadis kecil Kirana terbangun dari tidur
nyenyaknya di atas loteng. Suara gaduh di bawah membuatnya terbangun,
suara jeritan ibunya dan kakak kakak perempuannya membuat Kirana
bertanya tanya dalam hati, apa yang terjadi di bawah. Mula mula Kirana
justru kegirangan mendengar kakak-kakaknya jejeritan. Gara-gara mereka
ia dihukum ayahnya di dalam loteng itu.
"Sekarang, biarlah mereka ganti dihajar oleh Ayah!" pikir gadis kecil
ketika itu. Tetapi hatinya semakin bertanya tanya setelah ia mendengar
suara orang lain yang bukan anggota keluarganya. Suara itu adalah suara
orang lelaki yang terdengar kasar membentak-bentak, tapi sebagian ada
yang tertawa terbahak-bahak.
Gadis kecil Kirana penasaran. Ia mencoba membuka pintu loteng
dengan mendorongnya kuat kuat, tapi tidak berhasil. Ia menjadi ketakutan
mendengar suara bentakan-bentakan kasar dan keras itu. Kemudian ia
memutuskan diri agar tidak berusaha keluar dari loteng. Namun hatinya
yang penasaran segera menemukan lubang loteng yang bolong akibat dua
ekor kucing kawin di situ beberapa waktu yang lalu.
Melalui lubang sebesar telapak tangan itulah, Kirana kecil mengintai
kejadian di bawah sana. Ternyata ada enam orang bertampang kasar dan
ganas-ganas merampok rumahnya. Pada waktu itu, keluarga Kirana
termasuk keluarga kaya dan terhormat. Kakeknya mantan seorang
saudagar dan warisan hartanya jatuh ke anak tunggalnya, yaitu ayah
Kirana. Harta itulah yang menjadikan para perampok tergiur dan segera
menjarahnya. Kirana gemetar melihat enam orang itu. Mulutnya tak bisa
dipakai untuk berteriak, matanya tak bisa berkedip, tulang-tulangnya terasa
lemas. Hal yang membuat Kirana kecil menjadi lebih ketakutan lagi adalah
melihat ayahnya dibantai seperti seekor kambing. Ibunya diperkosa, dan
kelima kakaknya juga diperkosa oleh keenam manusia kejam itu. Kirana
menyaksikan semua itu dengan mata terbelalak dan tak bisa bergerak.
Kirana ingin menangis, tapi tak mampu sama sekali.
Kakaknya yang nomor lima, yang masih berusia empat belas tahun
itu, juga diperkosa oleh laki-laki bertubuh tinggi besar, seperti raksasa.
Kirana melihat jelas bagaimana kakak-kakaknya meronta, menjerit dan
tidak kuasa menghadapi kekejaman para perampok itu. Dan yang paling
membuat jiwa Kirana terguncang tatkala melihat harta mereka disikat habis,
kehormatan mereka dirampas dengan keji. Kirana ingin menjerit
sekeras-kerasnya, tapi lidahnya kelu dan tenggorokannya tak bisa dipakai
untuk melontarkan suara, sepertinya tenggorokan itu tersumbat sesuatu
yang menyesakkan pernapasan. Sejak itulah, gadis kecil Kirana menjadi
bocah yatim-piatu. Tanpa ayah, tanpa ibu, tanpa saudara.
Satu-satunya saudara adalah kakak lelakinya yang ikut bibinya sejak
kecil. Kakak lelakinya itu adalah Pranawijaya, yang kini telah tewas di
tangan Ekayana. Tetapi apa yang bisa diperbuat oleh Pranawijaya kala itu"
Tak ada yang bisa diperbuat, karena Pranawijaya masih berusia sekitar
sepuluh tahun.

Pendekar Mabuk 023 Rahasia Pedang Emas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akhirnya, gadis kecil Kirana bertemu dengan seorang tokoh sakti
yang kala itu baru saja selesai mengalahkan lawannya dalam suatu
pertarungan di tepi pantai. Gadis kecil Kirana yang berpakaian com-
pang-camping dan seperti bocah liar itu, akhirnya diangkat anak oleh tokoh
sakti tersebut, yang tak lain adalah Ki Padmanaba.
Sebenarnya ia ingin dirawat oleh bibinya. Tetapi tiga hari ia ikut
bibinya, ia memergoki bibinya sedang berduaan mesra dengan salah satu
anggota komplotan perampok itu. Gadis kecil Kirana segera menarik
kesimpulan, bahwa perampokan di rumahnya itu ternyata didalangi oleh
bibinya sendiri.
Terukir dendam di hati bocah kecil itu. Terbayang terus wajah enam
perampok yang membunuh, dan memperkosa keluarganya. Wajah yang
paling jelas melekat di ingatan Kirana adalah wajah brewok bertubuh tinggi,
besar, seperti raksasa. Wajah itu adalah wajah Logayo.
Ketika ia menginjak usia lima belas tahun, Ki Padmanaba menitipkan
Kirana untuk belajar ilmu silat kepada seorang kenalannya yang berjuluk
Punding Sunyi. Selain Ki Padmanaba tidak ingin menurunkan ilmunya
kepada siapa pun kecuali kepada cucunya Ekayana, penitipan Kirana
kepada Nyai Punding Sunyi itu juga dilakukan untuk menghindari
perselisihan yang sering terjadi antara Kirana dengan Ekayana. Kedua
anak itu sering bertengkar dan Ki Padmanaba dibuat kewalahan.
Sekalipun demikian, Kirana tetap merasa berhutang budi kepada Ki
Padmanaba. Sesekali ia sering berkunjung kekediaman Ki Padmanaba
untuk menerima wejangan tentang hidup di permukaan bumi ini. Atau
kadang-kadang Ki Padmanaba yang menengok Kirana di Perguruan
Mawar Seruni sambil membawa oleh-oleh cerita tentang orang-orang sakti
dan pusaka-pusakanya.
Setelah ia berusia dua puluh lima tahun, dendam itu mulai
meletup-letup lagi di dalam dadanya. Sepuluh tahun ia menempuh ilmu
dan berguru kepada Nyai Punding Sunyi, cukup sudah rasanya ia punya
kekuatan untuk membalas orang-orang bengis yang merampok dan
memperkosa ibu serta kakak-kakak perempuannya. Satu persatu mereka
dicari oleh Kirana dan berhasil dibunuh. Dari enam perampok, hanya satu
yang belum berhasil dibunuh oleh Kirana, yaitu Logayo. Sedangkan bibinya
sendiri sudah terlanjur mati karena sebab lain sebelum Kirana berhasil
membunuhnya pula.
Ketika memburu dendamnya itulah, Kirana bertemu kembali dengan
Pranawijaya yang sudah sama-sama dewasa. Kirana menyarankan agar
kakaknya ikut membantunya mencari pembunuh keluarganya. Tapi
rupanya Pranawijaya sudah terlanjur termakan didikan bibinya, hingga
membuat ia menolak ajakan Kirana.
"Biarlah masa lalu tenggelam bersama kenangannya sendiri, kita tak
perlu memburu sesuatu yang sudah berlalu! Nanti hidupmu terikat oleh
kenangan yang dapat menyusahkan dirimu sendiri!" kata Pranawijaya.
Mulanya ada kebencian di hati Kirana kepada kakaknya itu. Tapi
setelah dipikir-pikirnya, rupanya sang kakak sudah banyak terpengaruh
oleh didikan bibinya sehingga tidak mau melakukan balas dendam.
Pranawijaya merasa menjadi anak bibinya, karena memang sejak bayi ia
dididik dan dibesarkan oleh bibinya. Kadang Kirana menyalahkan ibunya,
mengapa membiarkan anak lelaki satu-satunya itu dirawat oleh bibinya,
sehingga sang anak kurang mempunyai rasa belapati terhadap sang ibu.
"Jika aku membencinya, maka aku semakin tidak mempunyai
siapa-siapa di dunia ini! Pranawijaya adalah satu-satunya saudaraku yang
masih hidup. Tak baik jika aku membencinya!" pikir Kirana kala itu.
Lima perampok yang menewaskan keluarganya itu telah dibunuh
satu persatu. Kirana tinggal menyelesaikan satu orang lagi, dan agaknya
itu bukan pekerjaan yang ringan. Logayo menjadi besar, makin bertambah
sakti, makin punya anak buah yang jumlahnya cukup banyak. Kirana
merasa tidak mampu mengalahkan Logayo. Karena itulah ia datang
kepada Ki Padmanaba beberapa waktu sebelum Ki Padmanaba
meninggal. "Kalau kau nekat melawan orang besar itu, kau akan mati konyol,"
kata Ki Padmanaba. "Kau jangan melawannya dengan otot, tapi lawanlah
dengan otak!"
"Sampai saat ini otak saya menjadi seperti tak berguna, Ki! Saya
belum menemukan cara untuk mengalahkan Logayo, mengingat anak
buahnya begitu banyak dan masing-masing mempunyai ilmu tinggi!"
"Kau ingat Racun Getah Tengkorak yang kuberikan dulu?"
"Ya. Saya ingat, Ki! Saya masih menyimpannya!" jawab Kirana.
"Gunakan racun itu untuk membasmi perguruan sesat itu! Mintalah
bantuan kakakmu Ekayana! Cari dia dan kurasa dia mau membantumu!"
Selama ini Ki Padmanaba tidak tahu kalau cucu kesayangannya
telah menjadi anggota perguruan sesat itu. Kirana ingin mengatakan
bahwa Ekayana ada di pihak Logayo, tapi ia tak sampai hati. Jelas hal itu
akan mengecewakan hati Ki Padmanaba dan membuatnya sedih. Karena
itu, Kirana tidak mau mengatakan apa yang sebenarnya. Ia hanya bilang,
"Baiklah, Ki! Saya akan gunakan racun itu untuk membunuh Logayo
dan orang-orangnya! Rasa-rasanya, jika Logayo belum mati, hidup saya
selalu dibayang-bayangi oleh arwah keluarga saya, Ki!"
"Aku bisa merasakan perasaanmu saat ini! Aku bisa memahami
gejolak dendammu karena kau melihat sendiri peristiwa itu! Kalau toh aku
sarankan agar tidak mengumbar dendam, maka dalam usiamu semuda ini,
kau belum bisa memahami kata-kata dan saranku itu, Kirana! Jadi,
berbuatlah sesuai dengan nalarmu yang bekerja saat ini! Asal demi satu
kebaikan, memberantas kejahatan, menegakkan kebenaran, hal itu
sah-sah saja, Kirana! Aku tidak ingin
menjadi orangtua yang kolot, tapi sebisa mungkin aku berdiri sebagai sang
bijak." Kirana segera memutar otak untuk mencari cara menyebarkan racun
maut tersebut. Jika melalui pengiriman makanan atau minuman, jelas akan
mudah diketahui oleh orang-orangnya Logayo, sebab Logayo punya ahli
racun, yaitu Brajawisnu dan Rangka Cula. Kirana memikirkan hal itu
berhari-hari, sampai akhirnya ditemukanlah sebuah cara dengan
menggunakan lentera. Dan ternyata caranya itu cukup berhasil (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Lentara Kematian").
Tetapi racun itu hanya membuat jiwa Logayo menjadi guncang,
karena menghadapi kematian anak buahnya yang begitu banyak. Logayo
sendiri masih hidup. Kirana belum tahu bagaimana harus mengalahkan
Logayo sementara Racun Getah Tengkorak semakin menipis. Jika melalui
lentera lagi jelas akan dicurigai. Ia harus menggunakan cara lain. Tapi cara
lain itu belum ditemukan gagasannya.
Kirana mengakhiri cerita hidupnya dengan air mata mengering di
pipinya. Terangnya sinar bulan malam itu membuat Suto Sinting melihat
jelas bekas-bekas air mata yang mengering di pipi. Terharu juga hati Suto
Sinting mendengar kisah hidup gadis cantik yang luput dari korban
pemerkosaan orang-orang kejam itu.
"Sekarang, setelah kematian Pranawijaya, lengkap sudah aku hidup
sebatang kara di muka bumi ini, Suto! Sendiri, tanpa Ayah, tanpa Ibu,
tanpa kakak, tanpa adik, tanpa saudara, juga tanpa kekasih!"
Suto Sinting meraih gadis itu dan memeluknya ke dada. Sikap itu
membuat Kirana semakin trenyuh dan menghiba tangisnya. Pendekar
Mabuk mengusap-usap rambut gadis itu seraya berkata,
"Hidup itu mahal, Kirana! Hidup itu harus ditebus dengan
pengorbanan, bukan hanya pengorbanan harta dan nyawa, tapi juga jiwa
dan perasaan! Kita satu nasib, Kirana! Kita sama-sama sebatang kara di
pemukaan bumi ini. Pada usia delapan tahun pula aku kehilangan anggota
keluargaku dan diselamatkan oleh guruku dari ancaman pembantaian
seseorang. Aku dapat merasakan sebesar apa dendammu kepada Logayo
itu. Tapi hidup ini tidak hanya memburu dendam! Hidup ini sebenarnya
indah, kalau kita bisa menyingkirkan dendam dan kebencian di dalam hati
sanubari kita. Itu pekerjaan yang paling sulit bagi tiap manusia, karenanya
banyak manusia yang berpendapat, hidup ini kejam!"
Kirana mengisak dalam tangisnya. Semakin ingin ia menenggelamkan diri dalam pelukan Suto Sinting. Semakin ingin ia
merengkuh kehangatan dan cinta kasih dari pemuda gagah itu. Tetapi, ia
pernah mendengar dari Jongos Daki bahwa Suto sudah mempunyai
kekasih di Pulau Serindu. Karenanya, gadis itu mulai merenggangkan
hatinya dan merasa tak akan mampu menyisihkan kekasih hati Pendekar
Mabuk. Namun hati kecil Kirana sendiri merasa sulit berpisah dari
Pendekar Mabuk.
"Jika kau tak punya adik, aku juga tak punya adik. Jika kau tak punya
kakak, aku juga tak punya kakak, juga tak punya orangtua, dan oleh sebab
itu Kirana... tak ada jeleknya jika kita saling bersaudara dengan limpahan
kasih sayang, bukan" Anggaplah aku kakakmu, maka akan kuanggap kau
adikku yang paling cantik, tapi paling bandel..."
Ada tawa di bibir Kirana. Ada haru di mata gadis itu. Tapi tak ada
ampun di dalam hati gadis itu untuk Logayo!
7 SEBELUM fajar menyingsing di ufuk timur, kuil Elang Putih
dihebohkan oleh datangnya seorang petugas penguburan mayat Nini
Pasung Jagat. Orang itu bernama Minarsih, yang berangkat ke Pulau
Kubangan bersama lima orang untuk menguburkan mayat Nini Pasung
Jagat di sana. Minarsih datang dalam keadaan sendirian. Wajahnya menjadi memar
membiru seperti habis dihajar olah seseorang memakai benda keras.
Bibirnya berdarah, dan satu tulang rusuknya patah. Kehadirannya itu
membuat seluruh penghuni Kuil Elang Putih menjadi terbangun dari tidur
nyenyaknya. Dewi Anjani segera membawa Minarsih ke ruang penyembuhan
sebelum Nyai Guru Embun Salju datang ke ruang tersebut. Jongos Daki
juga ada di sana dan menjadi kebingungan melihat keadaan yang menjadi
serba tegang itu.
"Ada apa ini?" tanya Jongos Daki kepada salah seorang murid di situ.
Orang tersebut menjawab dengan nada tegang juga,
"Nini Pasung Jagat bangkit kembali!"
"Apa dia sudah mati, sehingga dikatakan bangkit kembali!"
"Ya. Guru yang membunuh Nini Pasung Jagat kemarin siang.
Mestinya sbelum tengah malam, Minarsih dan teman-teman yang
bertugas menguburkan mayat Nini Pasung Jagat sudah kembali pulang.
Kami juga cemas karena sampai lewat tengah matan Minarsih dan
teman-temannya belum pulang. Ternyata mereka mengalami suatu
bencana!" "Bencana..."!"
Minarsih sempat menuturkan bencana itu kepada gurunya di ruang
penyembuhan, "Ketika kami belum selesai menggali, mayat Nini Pasung Jagat mulai
bergerak-gerak. Dan secara mengejutkan ia bangkit, duduk di usungan.
Kami berenam menjadi takut dan segera melompat menjauhi mayat itu.
Kami menyangka dia adalah hantu yang masuk ke dalam raga Nini Pasung
Pedang Angin Berbisik 10 Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Dendam Empu Bharada 29
^