Pencarian

Ratu Maksiat 2

Pendekar Mabuk 076 Ratu Maksiat Bagian 2


ledak. Keduanya sama-sama terlempar. Namun keadaan Ranti Ketawang menjadi sangat
parah. Tubuhnya
terbanting dan berasap. Sebagian kulit lengannya
menjadi hangus dan ia terkapar dengan darah kental keluar dari mulutnya. Darah
itu tampak berbusa putih.
Keadaan Harya Jipang lebih lumayan, ia hanya
keluarkan darah dari hidungnya, itu pun tak seberapa banyak. Wajahnya masih
tampak segar, tidak sepucat Ranti Ketawang. Kapak emasnya masih tergenggam di
tangan, tidak seperti pedang Ranti Ketawang yang
terlepas dari genggamannya.
"Kau kuberi kesempatan hidup kali ini saja, Ranti Ketawang! Jika kau masih
penasaran, untuk yang
terakhir kalinya aku benar-benar mencabut nyawamu.
Mudah-mudahan kali ini kau bisa sembuhkan lukamu
sendiri. Jika tidak, kuucapkan selamat jalan menuju
akhirat!" Blaaas...! Harya Jipang melesat cepat bagai sekelebat bayangan merah melintas
pergi, ia meninggalkan Ranti Ketawang yang tampak semakin parah napasnya mulai
memberat. Bahkan untuk bergerak pun terasa sukar
sekali. Mulutnya ternganga-nganga seakan ingin
menghirup udara banyak-banyak, namun dadanya bagai tak mau diajak untuk
bernapas. Mata perempuan itu
mulai terbeliak pertanda ingin hembuskan napas yang terakhir kalinya.
"Kasihan dia! Entah apa persoalannya dengan
pemuda bernama Harya Jipang itu, yang jelas Ranti
Ketawang butuh pertolongan secepatnya!"
Wuuut...! Suto Sinting melesat dari
persembunyiannya. Tahu-tahu sudah berada di samping Ranti Ketawang. Ia berlutut
dan tanpa bicara ini-itu langsung menuangkan tuaknya ke mulut Ranti
Ketawang. Tuak dituang sedikit demi sedikit.
Tertelannya juga sedikit demi sedikit, walau sebagian besar tuak yang tertuang
tumpah ke sekitar mulut
perempuan itu. "Semoga pertolonganku ini belum terlambat," ujar Suto membatin, ia segera
mengambil pedang Ranti
Ketawang yang terpental jatuh dalam jarak enam
langkah itu. Pedang segera dibawa mendekati Ranti Ketawan lagi.
Pada saat itu, darah di mulut Ranti Ketawang telah lenyap. Bukan kering, tapi
hilang lenyap bagaikan
terserap udara. Wajah pucat itu juga tampak mulai segar
kembali. Ranti Ketawang tidak merasakan sakit lagi pada bagian dada. Tangannya
yang hitam hangus pun mulai tampak merah dan kian lama kembali seperti warna
aslinya. Pendekar Mabuk sengaja menunggu perempuan itu
bangkit sendiri sambil jongkok bertopang pedang.
Hatinya sempat membatin, "Dalam lima hitungan pasti dia sudah bisa bangkit dan
duduk memandangku."
Ternyata belum sampai tiga hitungan, Ranti
Ketawang yang merasa heran dengan keadaan dirinya
segera bangkit, ia duduk memandang Suto Sinting
dengan dahi sedikit berkerut karena merasa baru
sekarang melihat seraut wajah tampan dengan senyum tipis menawan hati itu.
"Aneh. Aku tak merasa sakit sama sekali" Oh,
kemana luka-lukaku yang berbahaya tadi" Hanya dengan meminum tuaknya aku dapat
sehat begini dalam waktu singkat" Oh, ajaib sekali pemuda itu!" ujar Ranti
Ketawang dalam batinnya.
Pendekar Mabuk berdiri, Ranti Ketawang pun berdiri sambil masih memandang heran
bercampur rasa kagum
terhadap pemuda di depannya itu.
"Hmmm... ehh... apakah itu pedangku?" Ranti Ketawang mengawali percakapan.
"O, iya... maaf, aku lupa menyerahkan kembali padamu," seraya Suto mendekat dan
menyerahkan pedang itu.
"Terima kasih," senyum Ranti Ketawang masih kaku karena masih diliputi rasa
malu. "Jurus pedangmu cukup hebat. Sayang kau terlalu bernafsu, sehingga tak melihat
gerak tipuan lawanmu tadi," kata Suto Sinting bernada ramah.
"Ilmunya memang lebih tinggi dariku," kata Ranti Ketawang sambil menyarungkan
pedangnya. "Tapi suatu saat nanti aku pasti bisa mengalahkannya!"
"Apakah dia adikmu?"
"Hmmm... bukan," jawab Ranti Ketawang dengan kikuk. "Dia... dia kekasihku."
"Oh..."!" Suto Sinting terperangah, kaget tapi malu sendiri.
Ranti Ketawang mulai melangkah mendekati tempat
teduh, Pendekar Mabuk menyertainya dengan langkah
gagah. Bumbung tuaknya ditenteng dengan tangan kiri, karena Ranti Ketawang ada
di sebelah kanannya
"Harya Jipang ternyata lelaki yang tak patut dijadikan idaman hati," ujar Ranti
Ketawang seakan mencurahkan isi hatinya.
"Sudah lama kalian menjalin cinta?"
"Cukupan! Tapi ternyata aku tertipu mentah-mentah.
Yang kudapat bukan seorang kekasih, namun seorang
pengkhianat hati! Setelah ia menikmati manisnya madu, ia pun pergi ke bunga lain
dan tak mau hinggap lagi di bunga pertama."
Suto mengerti maksud kata-kata itu. Ranti Ketawang tampak kecewa sekali kepada
Harya Jipang. Perempuan itu pasti telah menyerahkan kesuciannya dan sekarang
ditinggalkan begitu saja oleh Harya Jipang. Dari sorot matanya yang jeli bening
itu, Suto menangkap pancaran
sinar dendam yang begitu membara, namun berhasil
disembunyikan di sudut mata itu.
"Sudah tiga bulan lebih kami tak saling jumpa.
Maksudku, sekalipun jumpa tak sehangat dulu. Aku
mencoba untuk mengalah, tapi ternyata ia semakin
ngelunjak. Sekarang ia justru mengejar seorang
perempuan yang sedang digila-gilainya."
Suto tersenyum kecil. "Jadi sekarang dia mengejar perempuan gila, begitu
maksudmu?"
Ranti Ketawang sembunyikan senyum.
"Maksudku, dia sedang tergila-gila kepada seorang perempuan. Padahal kudengar
dari beberapa tokoh tua, perempuan itu adalah iblis betina yang berbahaya bagi
setiap lelaki. Tak heran jika perempuan itu sering dijuluki sebagai Ratu
Maksiat, karena memang...."
"Siapa..."!" sentak Suto Sinting kaget. "Ratu Maksiat"! Maksudmu.... Ratu
Kamasinta yang berjuluk Dewi Penyebar Asmara itu"!"
Kini wajah Ranti Ketawang memandang Suto dengan
heran dan sedikit curiga.
"Kau mengenalnya?" tanya Ranti Ketawang.
"Hmmm... iya, aku pernah hampir terperangkap
olehnya. Untung seorang sahabat menyelamatkanku dan memberi tahu siapa
sebenarnya Ratu Kamasinta alias si Ratu Maksiat itu."
"Di mana kau bertemu dengannya?"
"Di... di sebuah telaga yang tiba-tiba berubah menjadi Istana Perak. Lalu aku
dijamu di sana dan...."
"Kau pernah bercumbu dengannya?"
"Nyaris!" jawab Suto, lalu terkekeh geli sendiri.
"Sekarang Harya Jipang sedang menuju ke Istana Perak itu!"
"Oh, kalau begitu aku harus mengikutinya!" Pendekar Mabuk ingin berkelebat
pergi, tapi tangan Ranti
Ketawang mencekal lengannya dengan tangkas.
"Jangan! Kau tak akan berhasil mengejarnya. Kau akan tersesat dan tak bisa
pulang nanti."
"Tapi... tapi seorang sahabatku sedang menuju kesana juga dan aku
mengkhawatirkan keselamatan jiwanya."
"Dia seorang lelaki?"
"Seorang gadis," jawab Suto serius sekali.
"Kekasihmukah dia itu?"
"Hampir," jawab Suto asal ceplos, lalu buru-buru menutup mulutnya sendiri dan
terkejut. Ranti Ketawang hanya tersenyum tawar. Sebelum ia
mengatakan sesuatu, Pendekar Mabuk lebih dulu ajukan tanya padanya.
"Apakah kau tahu di mana istana Perak itu berada?"
"Kalau kutahu sudah kususul Harya Jipang dan
kuajak bertarung lagi sampai salah satu dari kami ada yang mati."
Ranti Ketawang tarik napas, seakan menekan rasa
sakit hati yang membakar dendam kesumat.
"Ranti Ketawang..., apakah kau... kau termasuk masyarakat dasar bumi?"
"Ya, apakah kau bukan?"
"Bukan. Aku manusia yang hidup di permukaan
bumi. Justru karena aku terjebak di Istana Perak, maka
Nirwana Tria menyelamatkanku ke sini."
"Siapa" Nirwana Tria"!" kini Ranti Ketawang terkejut dengan mata melebar dan
mulut ternganga,
tampak tegang sekali, bahkan kelihatan takut berhadapan dengan Suto.
"Kenapa kau begitu terkejut mendengar nama
Nirwana Tria?" tanya Suto dengan heran.
Ranti Ketawang mundur pelan-pelan dengan wajah
masih tampak ketakutan.
"Hei, jelaskan dulu apa sebabnya kau terkejut dan menjadi takut?" ,
"Oh, tidak! Tidak...! Siapa pun dirimu, aku tidak mau dekat denganmu. Walau kau
telah menolong jiwaku,
tapi... tapi aku hanya bisa ucapkan terima kasih dan kumohon jangan dekati aku
lagi." "Apa sebabnya, Ranti"! Jelaskan padaku, mengapa kau takut dengan nama Nirwana
Tria?" Perempuan itu geleng-geleng kepala.
"Kumohon jangan ceritakan padanya kalau kita
pernah bertemu."
"Aneh kau ini!" geram Suto dengan jengkel.
Ranti Ketawang segera satukan kedua telapak
tangannya di dada. Kejap berikutnya ia sudah tak ada, hilang dari pandangan mata
Suto. Lenyap seperti
kepergian Nirwana Tria itu.
"Edan! Ada apa dengan Nirwana Tria" Mengapa
Ranti Ketawang setakut itu mendengar nama Nirwana
Tria"!" Suto bengong sendirian dengan hati kesal karena tak sempat mendengar
alasan Ranti Ketawang.
* * * 5 INGAT saat terjebak di Istana Perak berasal dari jalan setapak yang kemudian
menemukan telapak berair hijau bening, Suto Sinting segera berkelebat keluar
dari alam perbatasan itu.
"Kalau aku mencari di sini mungkin tak akan
kutemukan, karena tak tahu arah yang pasti. Tetapi kalau kucari lewat alam
nyata, aku punya arah tujuan yang pasti, yaitu telaga berair hijau bening,"
pikir Suto Sinting.
Lalu ia mengusap keningnya. Noda merah kecil
pemberian calon mertuanya; Ratu Kartika Wangi itu
adalah jurus keluar-masuk alam gaib dan alam nyata bagi Suto. Dengan satu kali
usap kening, tubuh Suto sudah terbawa dengan sendirinya memasuki alam nyata.
Bleess...! Tahu-tahu ia berada di tepi pantai. Pantai itu
mempunyai gugusan karang besar-besar dan tinggi-
tinggi. "Wah, di pantai mana aku ini?" gumamnya pelan sambil memandang sekeliling.
"Rasa-rasanya baru sekarang aku menginjakkan kaki di pantai ini. Hmmm...
sebaiknya kucari jalan menuju Bukit Canting, dari sana baru aku ke arah utara
dan mencapai jalan setapak yang mengarah ke telaga bening itu."
Bukit Canting dipakainya sebagai patokan. Karena
ketika Suto melewati jalanan setapak yang membelah hutan itu, ia dalam
perjalanan pulang dari Bukit Canting, sehabis mengembalikan panah emas pusaka
milik Begawan Parang Giri yang dicuri oleh Selimut Senja, dan kemudian dicuri oleh
Suto sendiri untuk
menghancurkan kabut sinar ungu di langit, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Bencana Selaput Iblis").
Dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman',
Pendekar Mabuk melesat secepat gerakan sinar menuju Bukit Canting. Tetapi untuk
menentukan arah menuju Bukit Canting ternyata bukan hal yang mudah. Bahkan Suto
sempat hentikan langkah karena merasa salah arah.
"Mestinya aku menuju ke arah matahari tenggelam.
Mengapa aku justru menuju arah yang berlawanan"
Uuh...! Dasar pikun. Ganteng-ganteng begini kalau
pikun bisa tidak ada gadis yang mau dekat denganku!"
gerutunya jengkel sendiri sambil berkelebat ke arah matahari tenggelam. Untung
saat itu matahari mulai condong ke barat, sehingga Suto dapat pastikan bahwa
gerakannya sedang menuju ke arah matahari tenggelam.
Gerakan secepat sinar itu terpaksa dihentikan, karena tiba-tiba Suto mendengar
suara dentuman di arah
selatan. Dentuman itu menggetarkan tanah yang
dipijaknya. Tak mungkin dentuman itu berasal dari
bencana alam, pasti ada sesuatu pertarungan cukup seru di sebelah selatan sana.
Pendekar Mabuk paling sulit membiarkan pertarungan yang terjadi tak jauh
darinya, pasti dihampirinya dan diam-diam diperhatikan jurus-
jurus mereka yang sedang bertarung itu. Zlaap...!
Zlaaaap...! Tiba di bawah pohon besar bersemak ilalang,
pandangan mata Suto diarahkan ke tanah datar berumput jarang namun dikelilingi
oleh pohon-pohon tinggi. Di sanalah ia melihat dua orang sedang mengadu
kesaktian tanpa pergunakan senjata. Cukup dengan tangan kosong mereka saling
melepaskan pukulan tenaga dalam yang punya risiko cukup besar bagi lawan masing-
msteing. "Oh, itu dia si Harya Jipang! Kebetulan sekali dia kujumpai di sini. Aku bisa
menguntitnya untuk menuju ke tempat Ratu Maksiat!" pikir Suto. "Tapi... siapa
lawannya itu" Agaknya baru kali ini kulihat wajah Pak Tua berjubah hitam itu"!"
Tokoh berjubah lengan panjang yang warnanya
separo hitam dan separo lagi putih itu berusia sekitar delapan puluh tahun,
mungkin juga lebih. Karena
rambutnya sudah memutih semua. Badannya agak kurus, kulitnya berkeriput, tapi
gerakannya masih lincah dan sikap berdirinya masih tegak, gagah. Seakan ia tak
ingin tampak tua.
Wajah tua yang keras dan beralis tebal warna putih seperti kumis dan jenggotnya
itu tampak bermusuhan sekali terhadap Harya Jipang. Tongkat kayu hitam
bercabang tak rata bagai patahan dahan itu dihantamkan beberapa kali ke tubuh
Harya Jipang. Tetapi gerakan Harya Jipang yang juga gesit itu berhasil hindari
tiap pukulan tongkat yang selalu memancarkan sinar merah sekilas jika menyentuh
benda. Pancaran sinar itu
menghadirkan ledakan-ledakan kecil dan selalu
menghancurkan benda apa pun yang terkena
hantamannya, baik batu, pohon, maupun gugusan tanah cadas.
Tongkat itu agaknya belum lama dipergunakan untuk
melawan Harya Jipang, karena sewaktu Suto tiba di
tempat persembunyiannya, tongkat kayu itu masih
menancap di tanah dalam keadaan berdiri tegak,
sementara pemiliknya terbang ke sana-sini mengadu
kekuatan tenaga dalam dengan lawannya secara
langsung. Tapi pada satu kesempatan emas, Harya Jipang
berhasil menyodokkan telapak tangannya ke pinggang Pak Tua itu. Akibatnya Pak
Tua terlempar dalam


Pendekar Mabuk 076 Ratu Maksiat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keadaan pinggangnya berasap. Dan setelah itulah
tongkat hitam itu dicabut dan dipergunakan menyerang secara membabi buta.
"Bahaya! Kalau begitu cara serangannya si Pak Tua itu, dia akan kehabisan tenaga
dan sekali kena pukulan bisa berakibat parah," pikir Suto Sinting mengomentari
pertarungan tersebut.
Perhitungan Suto ternyata memang benar. Ketika si
jubah putih-hitam gagal menghantam kepala Harya
Jipang, tiba-tiba kaki Harya Jipang melepaskan
tendangan bertenaga dalam cukup tinggi. Gerakan kaki menendang itu sangat cepat,
hampir saja tak terlihat oleh mata Suto yang sudah terbiasa melihat gerakan
secepat angin itu.
Wuuut, buuuhk...!
"Aaahk...!" Pak Tua berjubah putih-hitam itu terpental ke belakang dan jatuh
terjungkal, tepat di bawah pohon besar. Di situ ia memuntahkan darah segar dari
mulutnya. "Keparat kau, Harya Jipang!" geramnya dengan pandangan mata penuh kebencian.
"Kau yang keparat dan perlu kukirim ke neraka sekarang juga, Branjang Hantu!"
Harya Jipang segera melepaskan pukulan bersinar
biru sebanyak lima larik. Kelima pukulan itu sebenarnya diarahkan kepada
Branjang Hantu yang sedangi
mengejang karena menahan luka dalam akibat tendangan Harya Jipang tadi.
Tetapi melihat keadaan Branjang Hantu yang sangat
lemah itu, Suto Sinting menjadi tak tega membiarkan Pak Tua itu hancur oleh lima
larik sinar biru tersebut.
Maka dengan cepat kelima larik sinar biru itu dihantam dengan jurus 'Pukulan
Guntur Perkasa' dari arah
samping. Sinar ungu dari jurus 'Pukulan Guntur Perkasa'
itu menghantam kelima larik sinar biru, hingga terjadilah ledakan yang cukup
dahsyat dan membuat daun-daun
serta ranting-ranting kecil berguguran.
Jlegaarr...! Zlaaap, zlaaaap...!
Suto Sinting berpindah tempat. Harya Jipang
terlempar akibat ledakan dahsyat tadi. Tapi ia cepat bangkit dan memandang ke
arah semak-semak bekas
tempat persembunyian Suto tadi. Ia segera menghantam semak-semak itu dengan
pukulan tenaga dalamnya yang
bersinar merah itu. Ia tidak tahu bahwa Suto sudah tidak berada di sana.
Sementara itu, Suto segera melepaskan jurus 'Jari
Guntur' berupa sentilan jari yang mengandung kekuatan tenaga dalam sebesar
kekuatan tendangan seekor kuda jantan sedang mengamuk.
Tes, tes, tes...!
"Aahk, uuhk, uaahk!" Harya Jipang terlempar ke sana-sini setelah pukulannya itu
mengenai tempat
kosong. Harya Jipang ingin bangkit walau dengan
menyeringai kesakitan. Tetapi Pendekar Mabuk lepaskan jurus 'Jari Guntur'-nya
lagi secara beruntun.
Tes, tes, tes, tes, tes...!
Pemuda berpakaian serba merah itu tak sempat
mencabut kapak emasnya, ia terjungkal ke sana-sini dengan pekik tertahan
menandakan rasa sakit yang
bertubi-tubi. Suto sengaja tidak beri kesempatan kepada Harya Jipang untuk
memberi perlawanan.
Tes, tes, tes...!
Tiga sentilan jari berkekuatan tenaga dalam besi itu mengakhiri gerakan Harya
Jipang. Pria berkumis tipis itu terpuruk di bawah pohon tanpa daya lagi. Sekujur
tubuhnya bagai habis diterjang puluhan ekor kuda.
Tulang-tulangnya terasa patah semua. Setiap tempat pada tubuhnya terasa sakit
jika dipegang dan napasnya pun menjadi sesak. Pandangan matanya bukan saja
berkunang-kunang, tapi tak bisa dipakai untuk melihat dalam beberapa saat.
Melihat Harya Jipang tak berdaya, Branjang Hantu
menggunakan kesempatan untuk melampiaskan
kebencian dan murkanya. Dalam keadaan duduk
bersandar pada pohon, Branjang Hantu melepaskan sinar merah yang menggumpal
berwarna asap tebal. Wuuus...!
"Modar kau sekarang, Jipang!" serunya dengan suara tua yang berat.
Tetapi sinar merah menggumpal bersama asap itu
tiba-tiba hancur di pertengahan jarak setelah Suto melepaskan jurus 'Pukulan
Gegana' yang berupa sinar kuning patah-patah dari kedua jarinya. Clap, clap,
clap. Blegaaarrr...! Bersamaan dengan itu, Pendekar Mabuk muncul dari
persembunyiannya dan memandangi Branjang Hantu
yang terseret gelombang ledakan hingga berguling-
guling tiga kali.
"Monyet sirik, kebo miskram...!" makinya dengan suara menggerang berat. Branjang
Hantu mencoba untuk bangkit walau harus berpegangan pada pohon, sebab
tongkatnya telah terlepas dari tangannya sejak tadi.
Begitu memandang Suto Sinting, tokoh tua itu segera berseru dengan suara tua
yang berat akibat sambil
menahan rasa sakitnya.
"Rendang penyu...! Di pihak mana kau sebenarnya, hah"!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum dan dekati
Branjang Hantu.
"Pak Tua, minumlah tuakku ini biar lukamu hilang!"
"Jawab dulu pertanyaanku! Di pihak mana kau
sebenarnya, hah"!"
"Aku di pihak'yang lemah," jawab Suto sengaja bersikap netral, karena ia belum
tahu siapa Branjang Hamu sebenarnya. Apakah orang baik-baik atau lebih jahat
dari Harya Jipang"
"Siapa pun yang lemah tapi tetap diserang, itu yang kulindungi."
"Hmmm...!" geram Branjang Hantu dengan mata menatap tajam. "Lagakmu seperti
pendekar saja. Siapa kau sebenarnya, Gorengan intip"!"
Pendekar Mabuk tertawa pendek tanpa suara
mendengar makian Branjang Hantu yang aneh-aneh itu.
Tetapi dengan sabar Suto menawarkan kembali tuaknya kepada Branjang Hantu.
"Kalau kau ingin bicara denganku, bebaskan dulu dirimu dari luka dan penyakit.
Untuk itu, minumlah tuakku."
"Pasti bisa sembuh"!"
"Tentu sembuh," jawab Suto, "...itu jika Yang Maha Kuasa menghendaki kau sembuh,
Branjang Hantu,"
"Hei, dari mana kau tahu namaku Branjang Hantu"!"
"Karena wajahmu memang mirip hantu," jawab Suto berkelakar.
"Badak bunting! Jangan bicara sembarangan di
depanku!" "Baiklah, aku akan bicara
sembarangan di belakangmu!"
"Hmmmm...! Uhuk, uhuk, uhooek...!" Branjang Hantu mau menggeram biar
menyeramkan, tapi malah
terbatuk-batuk dan memuntahkan darah kembali.
Tubuhnya lemas, dan tak kuat berdiri, akhirnya jatuh terpuruk sambil berpegangan
pohon. "Kalau kau tak mau kuobati, akan kutinggal pergi dan aku tak mau menegur mayatmu
lagi," kata Suto dengan suara tetap kalem.
Akhirnya Branjang Hantu tak banyak bicara lagi, ia meneguk tuak dibantu oleh
Suto. Dalam beberapa kejap saja ia mulai merasakan khasiat tuak tersebut,
sehingga ia bicara pada diri sendiri tapi didengar oleh telinga Pendekar Mabuk.
"Apa yang kuminum tadi"! Tuak atau beras kencur"!
Aneh sekali! Sakitku berkurang, badanku merasa mulai segar. Ooh, darah di
sekitar mulutku juga hilang. Siapa yang mencurinya" Ajaib! Benar-benar ajaib air
yang kuminum tadi."
Kemudian ia memandang Suto, "Hei, perkutut
hamil... apa yang kau berikan padaku tadi" Tuak atau beras kencur?"
"Galian singset!" jawab Suto sambil tertawa pelan.
"Resapi saja dulu aroma dan rasanya biar tenagamu pulih kembali dalam waktu
singkat, setelah itu baru bertanya yang...."
Kata-kata Suto Sinting berhenti seketika karena ia terkejut melihat Harya Jipang
sudah tak ada di
tempatnya. Wajah Suto menegang dan segera berkelebat ke tempat Harya Jipang
terpuruk tadi. "Sial! Ke mana dia"!" geram Suto dengan jengkel sambil memandang ke sana-sini.
"Dia melarikan diri
atau dilarikan oleh seseorang"! Ah... sial betul! Gara-gara terlalu banyak
bicara dengan si tua cerewet itu, akhirnya aku kehilangan dia. Padahal dia akan
kujadikan patokan langkahku untuk menuju ke Istana Perak itu.
Brengsek!"
Eh, ternyata si Branjang Hantu sudah bisa berkelebat mendekati Suto dan berdiri
tegak. Bahkan sudah
memegang tongkat yang tadi terpental darinya itu.
"Mengapa kau berang, Sapi Panas"!" ujar Branjang Hantu. "Apakah dia sahabatmu"!"
"Bukan," jawab Suto agak ketus karena masih jengkel dengan keteledorannya
sendiri. "Seharusnya dia kubiarkan pergi sambil kuikuti, sebab aku butuh
pemandu untuk sampai ke Istana Perak."
Branjang Hantu terkejut. "Oh, kau orang Istana Perak rupanya"!"
"Bukan!" sentak Suto karena masih jengkel. "Justru aku mencari istana itu untuk
membantu seorang sahabat yang bentrok dengan Ratu Kamasinta!"
"O, oh... kalau begitu kau bermusuhan dengan Ratu Maksiat itu!"
Pendekar Mabuk memandang curiga kepada
Branjang Hantu. "Rupanya kau mengenal si Dewi Penyebar Asmara itu, Branjang
Hantu?" "Aku sangat mengenalnya," jawab si Branjang Hantu sambil memandang ke arah jauh.
"Perempuan itu telah melanggar peraturan dan wajib dihukum seberat
mungkin!" "Kalau begitu kau orang dari dasar bumi?"
"Benar. Apakah kau bukan anggota masyarakat
kami?" "Bukan. Aku hidup di permukaan bumi. Aku salah satu orang yang hampir menjadi
korban kemaksiatan si Ratu Kamasinta itu."
Branjang Hantu memandang dalam satu sentakan
gerak kepala. "Kau sudah pernah berciuman dengan perempuan
itu?" "Belum. Apakah kau ingin mencobanya?"
"Keong borok...!" gerutu Branjang Hantu dengan bersungut-sungut. "Aku justru
ingin membunuhnya, kalau aku bisa!"
"Apakah kau merasa tak bisa membunuh Ratu
Maksiat itu"!"
"Sebetulnya bisa," jawab Branjang Hantu agak ragu.
"Tapi... aku tak pernah tega membunuh perempuan cantik."
Pendekar Mabuk tertawa pendek. "Bilang saja kau tidak mampu mengalahkan ilmunya
si Ratu Maksiat.
Jangan berpura-pura tidak tega membunuh perempuan
cantik." Branjang Hantu menarik napas, sengaja mengalihkan
percakapan agar tidak ketahuan kelemahannya.
"Pertanyaanku tadi belum kau jawab, Siput Retak!
Siapa kau sebenarnya?"
"Aku yang bernama Suto Sinting alias Pendekar Mabuk."
"Hahh..."!" Branjang Hantu terperangah. "Benarkah
kau si Pendekar Mabuk"!"
"Ya. Kenapa kau terkejut"!"
"Kalau benar kau Pendekar Mabuk, murid tokoh
terkenal yang berjuluk Gila Tuak itu; berarti kau adalah orang yang sedang
menjadi bahan pembicaraan oleh para tokoh di Dasar Bumi, terutama setelah kabar
tentang keberhasilanmu menghancurkan 'Selaput Iblis' itu."
Pendekar Mabuk berkerut dahi dalam memandang
Branjang Hantu.
"Mengapa kudengar namaku banyak dibicarakan oleh masyarakat perut bumi?"
"Karena jika 'Selaput Iblis' tidak bisa kau hancurkan, maka masyarakat kami akan
mati lemas dan seluruh
kekuatan serta ilmu kami akan lenyap. Untung kau
berhasil menghancurkan 'Selaput Iblis' dengan baik sehingga kami merasa seperti
mendapat kehidupan
kembali." Pendekar Mabuk manggut-manggut. "Tak kusangka sejauh itu pengaruh bencana
'Selaput Iblis' itu,"
gumannya dalam hati.
Branjang Hantu tampak mulai sungkan terhadap Suto
Sinting, sehingga bicaranya tak berani sembarangan.
Bahkan kali ini ia bicara agak serius.
"Kalau benar kau ingin melawan Ratu Maksiat itu, kurasa..., kurasa aku dapat
membantumu, Pendekar
Mabuk." "Seharusnya aku tidak perlu bantuanmu, Pak Tua.
Seharusnya aku dapat mengikuti langkah si Harya
Jipang, karena ia sedang menuju ke sana dan ingin
bergabung dengan Ratu Kamasinta. Tapi sayang, aku
kehilangan jejaknya dan tak tahu ke mana arahnya."
"Harya Jipang memang bocah keparat!" geram Branjang Hantu. "Dia memang mau ke
Istana Perak, bukan sekadar bergabung dengan Ratu Maksiat, tapi
juga ingin menjadi pendamping kemesraan si Ratu
Maksiat itu."
"Rupanya kau mengetahui rencana si Harya Jipang, Branjang Hantu."
"Tentu saja aku tahu, sebab dia sudah menyakiti hati cucuku dan menelantarkan
cintanya. Aku ikut sakit hati melihat cucuku ditelantarkan cintanya oleh si
Harya Jipang. Maka aku berusaha untuk membunuhnya!"
"Cucumu..." Apakah yang kau maksud adalah Ranti Ketawang?"
"Lho... kau kok kenal cucuku itu"!" Branjang Hantu terperanjat antara kaget dan
bangga karena pendekar yang dianggap pahlawan bagi masyarakat Dasar Bumi
itu mengenal cucunya.
Suto Sinting jelaskan pertemuannya dengan Ranti
Ketawang. "... dan akhirnya aku meninggalkan alam perbatasan itu untuk mencoba
mencari istana Perak di sebuah telaga, tempat di mana pertama kali kulihat
bangunan megah itu."
"Pantas kau mengenal Ranti Ketawang. Tapi
mengapa Ranti Ketawang tidak menceritakan hal ini
kepadaku?"
"Mungkin kau belum bertemu dengannya. Kami
bertemu belum ada sehari."
"Perjalananmu melintasi alam perbatasan ke alam nyata sudah memakan waktu tiga
hari, dan kau sudah bertemu dengan Ranti Ketawang setelah ia gagal
menahan Harya Jipang. Maka kukejar ia ke alam nyata ini."
"O, jadi satu kali perjalanan melintasi alam
perbatasan memakan waktu tiga hari"!" gumam hati Suto Sinting. Tapi ia segera
tidak memperpanjang
masalah itu, karena Branjang Hantu segera berkata kepadanya
"Ikutlah aku dan akan kutunjukkan di mana Istana Perak itu berada."
"Kau tahu tempatnya secara pasti?"
"Kugunakan getaran batinku untuk mendekati getaran batin si Ratu Maksiat."
"Terima kasih sekali jika kau mau membantuku sebab aku sangat mencemaskan
keselamatan Nirwan Tria jika berhadapan dengan Ratu Maksiat itu...."
"Nirwana Tria..."!" Branjang Hantu tersentak kaget matanya terbelalak memandang
Suto, wajahnya pun
menjadi tegang. Bahkan ia sempat bergeser mundur
seperti ketakutan.
"Nirwana Tria adalah sahabatku dan...."
"Ooh..."!" suara itu semakin jelas bermakna ketakutan. Branjang Hantu undurkan
langkahnya lagi dengan tegang. Suto menjadi terheran-heran melihat perubahan


Pendekar Mabuk 076 Ratu Maksiat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sikap si jubah belang itu.
"Apakah kau melihat seribu singa di belakangku?"
"Tid... tidak!"
"Kenapa kau jadi ketakutan begitu?"
"Kkau... kau sahabatnya Nirwana Tria..." Ke... ke...
kekasihnya?"
"Hei, kenapa kau jadi gugup begitu, Branjang
Hantu"!" Suto mulai jengkel karena tak mendapat penjelasan.
"Hmm... eeh... maafkan aku. Hmm... sebaiknya aku segera kembali ke Dasar Bumi
saja." "Lho, hei..."! Tunggu dulu! Mengapa kau sangat ketakutan padaku" Jelaskan dulu
alasanmu, Branjang Hantu! Hei... tunggu...!"
Blaas...! Branjang Hantu justru lakukan satu
lompatan yang secepat kilat, seakan tak berani
berhadapan dengan Suto Sinting lagi.
"Samber gledek...!" maki Suto jengkel sekali.
"Kukejar kau, Branjang Hantu!"
Zlaaap, zlaaap...!
* * * 6 PENGEJARAN Suto tidak berhasil dapatkan
Branjang Hantu, ia tidak tahu bahwa Branjang Hantu segera melintas ke alam
perbatasan begitu tahu sedang dikejar Suto. Akibatnya, Suto mengejar tanpa arah
yang pasti. Hatinya penuh gerutu kejengkelan karena dua kali ia dibuat penasaran
oleh perubahan sikap ketakutan itu.
"Ada apa sebenarnya pada diri Nirwana Tria itu"
Mengapa mereka harus merasa ketakutan jika
kusebutkan nama Nirwana Tria"!" batin Suto selalu bertanya tanya begitu, walau
ia tetap melakukan
pengejaran ta tentu arah.
Tanpa disadari pengejaran yang dilakukan melalui
atas pohon itu membawa Suto ke arah telaga berair hijau bening itu. Namun
sebelum ia mencapai telaga tersebut, perhatiannya tertarik pada dua orang yang
sedang berbicara di balik semak-semak. Dalam sepintas saja Suto sudah dapat mengetahui
siapa yang bicara di balik semak-semak itu.
Pemuda berpakaian serba merah mengkilap itu tak
lain adalah Harya Jipang, yang agaknya sudah
mendekati di mana Istana Perak itu berada. Tapi agaknya ia juga tertahan oleh
seorang perempuan muda yang
pernah dilihat Suto ketika pertama kali menemukan
istana dari perak itu. Gadis muda berbibir mungil dan berdagu belah itu tak lain
adalah salah satu dari gadis yang menjemput Suto dan membawanya menghadap
Ratu Kamasinta. Dalam mengikuti pesta di istana
tersebut, Suto mendengar Ratu Kamasinta memanggil
gadis itu dengan nama Nayang
"Aku tak salah lihat. Dia pasti Nayang, yang
membawaku menghadap Ratu Kamasinta. Hmmm... tapi
apa yang dibicarakan Nayang dengan Harya Jipang itu"
Sebaiknya kudekati pelan-pelan lewat atas pohon biar lebih jelas lagi apa yang
dibicarakan mereka," ujar Suto dalam hati. Walau ia punya jurus 'Sadap Suara',
tapi jika masih memungkinkan untuk menyusup lebih dekat, ia
tak akan pergunakan jurus tersebut.
Gadis berparas cantik dengan bibir menggemaskan
itu sengaja sunggingkan senyum manis dengan mata
memandang Harya Jipang sedikit sayu. Harya Jipang
pun tampak bersikap ramah kepada Nayang.
"Sudah beberapa waktu lamanya aku mencari-cari kalian dan ingin bergabung dengan
kalian. Tak ada
harapanku lainnya kecuali bergabung dengan Gusti Ratu Kamasinta," kata Harya
Jipang. "Bukankah kau sudah punya kekasih" Bagaimana
nanti jika kekasihmu tahu kalau kau bergabung dengan kami?"
"Ranti Ketawang, maksudmu?"
"Ya. Pasti Ranti tak menyukai langkahmu, Harya Jipang."
"Tak perlu kau pikirkan tentang dia. Aku sudah tak ada hubungan apa-apa dengan
Ranti Ketawang."
"Benarkah kau tak akan merindukan kehangatan
Ranti Ketawang?"
"Kurasa di Istana Perak aku akan mendapatkan lebih banyak daripada kehangatan
yang kudapatkan dari Ranti Ketawang," jawab Harya Jipang dengan senyum
semakin lebar. Nayang berdiri dengan bersandar pada pohon sambil
masih sunggingkan senyum yang menggoda hati.
"Izinkan aku bertemu dengan Gusti Ratu Kamasinta, Nayang."
"Hmmm... bisa saja," kata Nayang. "Tapi ada dua syarat yang harus kau penuhi."
"Sebutkan syarat itu dan aku pasti sanggup
memenuhinya."
"Syarat paling utama, kau harus bisa menangkap Pendekar Mabuk yang bernama Suto
Sinting itu."
"Hmmm... aku belum pernah kenal dengannya dan belum tahu seperti apa orangnya."
"Itu adalah tugasmu. Yang penting, tangkap Pendekar Mabuk dan serahkan kepada
Gusti Ratu Kamasinta,
karena saat ini pemuda itu sedang menjadi buronan kami dan Gusti Ratu sangat
ingin membunuhnya!"
"O, kalau begitu aku akan berusaha dalam waktu singkat untuk menangkap Pendekar
Mabuk! Percayalah, aku akan berhasil membawa pemuda sok jago itu dalam keadaan
hidup-hidup!" kata Harya Jipang dengan yakinnya.
"Kau akan mendapat penghargaan tinggi dari Gusti Ratu jika benar-benar dapat
menangkap orang yang satu itu dalam keadaan hidup-hidup!"
"Aku pasti bisa! Apakah kau tak tahu kalau aku punya jurus 'Napas Pembasmi' dari
guruku"!"
"Jurus apa itu?"
"Sehebat apa pun Pendekar Mabuk, jika ia
melukaiku, dengan tarikan napas dari jurus 'Napas
Pembasmi'-ku, maka seluruh luka dan penyakit yang
kuderita akan lenyap dalam sekejap. Percayalah,
Pendekar Mabuk tak akan mampu mengalahkan diriku,
Nayang!" Dari atas pohon, Suto Sinting bergumam dalam hati,
"Pantas dia lenyap saat aku bicara dengan Branjang Hantu. Rupanya ia punya jurus
penyembuh luka yang
lumayan hebatnya itu."
"Lalu, apa syarat yang kedua?" tanya Harya Jipang tampak tak sabar ingin
mengetahuinya. Hal itu membuat gumam di batin Suto pun dihentikan, perhatiannya
lebih terfokus pada perkataan Nayang nanti.
Tapi agaknya Nayang tak mau langsung
menjawabnya. Ia justru memandang Harya Jipang
dengan senyum berkesan nakal. Tatapan mata gadis itu punya arti tersendiri bagi
jawaban yang akan
dilontarkannya itu
"Kau mau merahasiakan syarat ini agar tak sampai di telinga Ratu atau siapa
pun?" "Kalau memang itu maumu, akan kurahasiakan syarat keduamu, asal kau izinkan aku
bertemu dengan Ratu
Kamasinta."
"Dekatlah kemari," sambil Nayang meraih tangan Harya Jipang dan membuat pemuda
itu kian mendekat, semakin rapat dengan tubuh sang gadis.
"Seorang lelaki yang ingin bergabung dengan kami harus pandai memuaskan gairah
sang Ratu. Apakah kau mampu memuaskan sang Ratu nantinya?"
"O, tentu saja. Kau belum tahu siapa Harya Jipang!"
"Tak ada jeleknya kalau kau buktikan kemampuan mu padaku, bukan?"
"Apakah kau menginginkannya?"
Nayang mengangguk dengan senyum semakin nakal.
Ia pun berbisik, "Cumbulah aku...! Puaskan hatiku menikmati keindahan cinta
sebelum kau serahkan
keindahan itu kepada sang Ratu."
Sambil berkata begitu, Nayang mulai menyingkapkan
kain merah yang menyilang di dada. Begitu kain merah tersingkap, maka tampaklah
dua bukit yang sekal
menantang itu. Harya Jipang kian berseri-seri.
Tangannya segera meraih salah satu dari kedua bukit itu, kemudian wajahnya
mendekati bibir Nayang, dan
dikecupnya bibir itu.
Nayang membalas dengan lumatan bibir lebih galak
lagi. Rambut belakang Harya Jipang diremas-remasnya penuh kegeraman, sementara
Harya Jipang membalas
meremas-remas punggung Nayang membuat kain
penutup dada itu semakin mengendor.
"Oh, Harya... teruskan ke bawah, teruskan.,.," rengek Nayang dengan wajah
memancarkan seribu kenikmatan
yang sedang dirasakannya. Harya Jipang menuruti
keinginan Nayang. Ciumannya merayap sampai ke dada, lalu mencekam beberapa saat
di sana. "Oooh...! Teruskan, Harya... teruskan...." Nayang sedikit memekik dengan mata
terpejam seakan tak ingin membiarkan kenikmatan yang dirasakan terlepas dari
khayalannya sedikit pun. Ia bahkan meremas rambut
Harya Jipang semakin kuat.
Lebih-lebih setelah ciuman itu menyapu sampai ke
perut Nayang, gadis itu tersentak-sentak sambil
mendesis-desis. Ia menekan kepala Harya Jipang agar semakin ke bawah, dan kain
pun disingkapkan. Harya Jipang menyusupkan wajahnya, menyapu tubuh Nayang
dengan ciuman semakin menggila.
"Aaauh...!" Nayang memekik bukan karena sakit
namun karena ditikam rasa nikmat lebih besar lagi.
Ketika Harya Jipang akhirnya terengah-engah karena mendayung perahu cintanya ke
samudera kebahagiaan, Suto merasa seperti ada yang melemparkan batu kerikil ke
tengkuknya. Tees...!
"Apa ini?" pikirnya sambii berpaling ke belakang.
Tetapi pandangan matanya segera berkunang-kunang,
makin lama semakin buram, akhirnya pandangan mata
itu menjadi gelap. Tapi ia masih sadar dan berusaha, mencari pegangan agar tak
jatuh dari atas pohon.
Tetapi karena tenaganya terasa seperti berkurang dan semakin lemas, akhirnya ia
pasrah pada keadaan saat itu.
Tubuhnya jatuh dan tak bisa berpegangan lagi. Bruuss..!
Gusraak...! Pendekar Mabuk jatuh di semak-semak ilalang. Tentu saja hal itu mengejutkan
Harya Jipang serta Nayang.
Mereka bergegas bangkit dan buru-buru merapikan
pakaiannya. Harya Jipang menggeram penuh kemarahan.
Suto Sinting masih mendengar suara makian Harya
Jipang dalam keadaan tak bisa bangkit dari terkaparnya.
"Monyet sumbing...! Siapa itu yang berani
mengganggu kesenanganku"!"
Tiba-tiba Suto mendengar suara yang menjawab
seruan Harya Jipang.
"Aku yang mengganggu kalian! Mau apa"!"
Dengan susah payah, Suto berusaha meraih bumbung
tuaknya sambil membatin, "Sepertinya aku mendengar suara si Nirwana Tria.
Benarkah dia ada di sini"! Jika benar, pasti dialah orangnya yang membuatku jadi
begini! Dasar gadis sialan!"
Tuak berhasil diminum walau kocar-kacir ke mana-
mana. Tetapi dua teguk tuak sudah cukup
membangkitkan semangat dan memulihkan tenaga Suto.
Bahkan pandangan matanya mulai dapat dipakai untuk melihat dengan jelas.
Ternyata dugaan Suto Sinting memang benar.
Nirwana Tria ada di situ dan kini sedang berhadapan dengan Harya Jipang serta
Nayang. Keadaan Nayang
tampak masih belum sempat menata pakaiannya serapi mungkin, sehingga gumpalan
daging montok di dada
kirinya tampak mengintip separo bagian lebih. Suto Sinting hanya bisa mendesah
dongkol, karena ia tak mungkin bisa menjamah gumpalan yang menantang itu.
Karena kesal, akhirnya Suto mengambil sepotong
ranting dan melemparkan ke gumpalan montok itu.
Wuuut...! Teees...!
"Aauh...!" pekik Nayang kaget, lalu buru-buru merapikan penutup dadanya dan
pandangan mata segera diarahkan kepada Suto Sinting. Harya Jipang dan
Nirwana Tria juga menatap ke arah Pendekar Mabuk
yang segera menyembunyikan tawa nakalnya sambil
melengos. "Itu dia si Pendekar Mabuk!" sentak Nayang sambil menuding Suto dengan harapan
agar Harya Jipang
segera menyerang.
Tetapi baru saja Harya Jipang mau bergerak, Nirwana Tria menghadang dan berkata
dengan lantang.
"Berani kau sentuh dia, habislah riwayatmu, Harya
Jipang!" "Hmmm... eeh... hhmmm...," Harya Jipang menjadi salah tingkah dan undurkan
langkah. Suto heran melihat sikap Harya Jipang yang agaknya takut berhadapan
dengan Nirwana Tria.
Terdengar suara gadis berjubah putih itu berseru
kepada Harya Jipang.
"Kuingatkan padamu, Harya Jipang... kembalilah ke aliranmu semula. Jangan ikuti
aliran sesat si Ratu Maksiat itu! Mengerti"!"
"Hmm... meng... mengerti, Guru!" jawab Harya Jipang.
Suto Sinting terbelalak. "Hahh..."! Guru..."! Apa tidak salah dengar aku"! Harya
Jipang memanggil
Nirwana Tria dengan sebutan 'Guru'" Edan! Gadis muda cantik jelita kok dipanggil
Guru"! Mabuk buahnya siapa si Harya Jipang itu"! Mabuk keringatnya Nayang,
barangkali!" ucap batin Pendekar Mabuk.
Tetapi agaknya Nayang tak ingin Harya Jipang
berubah pikiran, ia berseru kepada Harya Jipang tanpa pedulikan sikap galaknya
Nirwana Tria. "Harya Jipang...! Lekas kita tinggalkan tempat ini.
Kau sangat ditunggu-tunggu oleh Ratu Kamasinta!
Jangan pedulikan mereka lagi! Kebahagiaan dan
kenikmatan menunggu di Istana Perak!"
"Istana Perak sebentar lagi akan kuhancurkan!" sahut Nirwana Tria dengan
lantang. "Omong kosong!" bantah Nayang dengan berani.
"Kau tidak akan berkutik jika melawan ratuku, Nirwana
Tria! Sekalipun kau cucu dari penguasa tertinggi aliran putih di Dasar Bumi,
tapi kami tidak pernah merasa takut kepada si Dewa Tanah itu!"
"Hmmm...!" Nirwana Tria sunggingkan senyum sinis.
"Bicaramu seperti mayat mau menuju liang kubur saja, Nayang! Kudengarkan dari
sini, jantungmu berdetak
cepat sekali pertanda kau takut padaku!"
"Siapa bilang aku takut padamu"! Ini buktinya, hiaaah...!"
Nayang menerjang dengan cepat ke arah Nirwana
Tria. Tetapi dengan tetap berdiri di tempat, Nirwana Tria sentakkan tangannya.
Tiba-tiba tubuh Nayang terlempar dan jatuh membentur pohon. Bruuuk...!
Nirwana Tria masih berdiri dengan bertolak pinggang satu tangan. Matanya
memandang lurus kepada Nayang.
"Kulumpuhkan kedua kakimu seumur hidup,
Nayang!" geram Nirwana Tria, kemudian ia mengangkat tangan kanannya. Dari setiap
kuku di jari lentiknya memercikkan bunga-bunga api warna merah.
Harya Jipang menjadi tegang, lalu segera berkata
dengan suara agak keras dan berdiri di depan Nirwana Tria.


Pendekar Mabuk 076 Ratu Maksiat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Guru, kumohon hentikan murkamu itu!"
"Minggir kau, Harya Jipang!"
"Tidak! Guru tidak bisa mengatur diriku lagi! Aku sudah keluar dari jalur dan
bukan muridmu lagi!
"Kau memalukan perguruan jika sampai bergabung dengan Ratu Maksiat itu!"
"Persetan dengan perguruan! Tapi aku merasa bebas
menentukan langkahku!"
Nayang bangkit dan tiba-tiba tubuhnya melesat tinggi melewati kepala Harya
Jipang. Ia telah menggenggam pedang perak beronce-ronce benang hijau bintik-
bintik emas. Melihat tubuh Nayang berkelebat ingin menyerang
dari atas, Nirwana Tria rendahkan badan, berlutut
dengan satu kaki, dan tangannya yang sudah
memercikkan bunga-bunga api itu segera disodokkan ke arah Nayang. Suuut...!
Craaas...! Semburan bunga api menggerombol melesat dari
tangan itu dan menghantam kedua kaki Nayang.
"Aaa...!!" Nayang limbung dan jatuh terbanting, sementara kedua kakinya telah
terpotong dari batas lutut.
Kedua kaki itu terpental berbeda arah, salah satunya jatuh di depan Suto
Sinting. Bluuk...!
"Edan!" sentak Suto sambil melompat jijik, menjauhi potongan kaki itu.
"Aaauuh...!" Nayang mengerang dengan sangat kesakitan. Melihat keadaan Nayang
begitu, Harya Jipang tak mampu lagi untuk bersabar, maka ia pun menyerang
Nirwana Tria dengan kapak emasnya.
"Terpaksa aku melawanmu, Guru! Hiaaah...!"
"Murid durhaka!" teriak Nirwana Tria, kemudian tangannya yang tetap berjari
lurus dan rapat serta memercik-mercikkan bunga api merah itu berkelebat
dari kanan atas ke kiri bawah. Wuuut...!
Crraas...! Percikan bunga api membentuk satu garis lurus yang segera memotong pundak kiri
Harya Jipang sampai ke pinggang kanan.
"Aaahhk.. !" Harya Jipang mendelik, tubuhnya yang melompat itu terbelah menjadi
dua bagian. Satu bagian kepala jatuh di samping Nayang, bagian bawah jatuh di
depan Suto Sinting. Brrruk...!
"Edan lagi!" pekik Suto kaget sambil melompat pindah tempat.
"Kau keji! Murid sendiri kau bunuh...! Dasar
perempuan jahanam kaauuu...!"
Nayang berteriak dengan tangan berusaha lemparkan
pedang ke arah Nirwana Tria.
Namun ternyata tangan kiri Nirwana Tria lebih cepat bergerak maju, dan dari jari
tengahnya keluarkan sinar merah kecil seperti mata anak panah. Claap Weuuut...!
Jleeeb...! "Aaahhkkrr...!" Nayang mendelik dalam keadaan lehernya bolong dan hangus karena
terkena sinar merah itu. Ia segera tumbang tanpa nyawa di samping Harya Jipang
yang sudah tak bernyawa sejak tadi itu.
Bertepatan dengan kematian Nayang, Suto melihat
sekelebat bayangan meninggalkan tempat itu. Pendekar Mabuk segera mengenali
orang yang baru saja pergi dari tempat persembunyiannya itu.
"Itu dia teman si Nayang yang menyambut
kedatanganku di depan gerbang Istana Perak!" ujar Suto dalam hati. "Kalau tak
salah dia bernama Rahuni, karena waktu itu Ratu Kamasinta memanggilnya dengan
nama Rahuni. Eh, kenapa aku malah memikirkan namanya"
Rahuni pasti menuju ke Istana Perak untuk laporkan kejadian ini! Sebaiknya
kuikuti saja dia!"
Zlaaap...! Suto Sinting melesat mengejar Rahuni.
Tetapi tiba-tiba langkahnya terhalang karena
kemunculan sesosok tubuh di depannya.
Jleeeg...! "Mau ke mana kau"!" hardik orang yang menghadang itu, tak lain adalah Nirwana
Tria berwajah berang.
Suto Sinting hembuskan napas kesal namun tetap
nyengir sambil garuk-garuk kepala.
"Kuingatkan jangan keluar gua,
masih saja membandel!"
Suto Sinting bagai tak hiraukan ucapan itu. Ia
menenggak tuaknya lagi tiga teguk, sementara Nirwana Tria perdengarkan suara
tegasnya. "Bagaimana kau bisa lepas dari sinar 'Lapisan Petir'
yang kupasang di pintu gua itu, hah"!"
"Mana kutahu"!" Suto angkat bahu. "Sinar merahmu itu padam sendiri setelah
kuludahi."
"Hmmm...!" Nirwana Tria mencibir pertanda tak percaya.
"Kembali ke gua!" perintah Nirwana Tria dengan tegas. Tapi perintah itu hanya
ditertawakan oleh Suto Sinting.
"Aku bukan muridmu, seperti Harya Jipang itu.
Jangan memerintahku dengan cara seperti itu, Guru
Cantik. Aku bisa lebih galak darimu, bahkan lebih galak dari singa lapar! Kau
bisa kucabik-cabik tanpa sempat
menjerit!"
"Cabiklah!" Nirwana Tria maju menyodorkan dadanya. "Ayo, cabiklah! Kalau kau
mampu, lekas cabik-cabik tubuhku!"
"Dengan ciuman atau dengan belaian?"
Plaaak...! Enak saja gadis itu menampar Suto tanpa ragu-ragu.
Wajah pemuda itu tersentak ke samping dan kembali
memandang si gadis dengan nyengir.
"Panas juga," ucapnya lirih sambil matanya memerah dan berair karena menahan
panasnya tamparan itu.
Nirwana Tria mengendurkan ketegangannya,
memandang iba kepada Suto Sinting, ia menjadi gelisah, dan salah tingkah saat
melihat pipi Suto menjadi merah, makin lama merahnya semakin tua, sebentar lagi
akan berubah biru, lalu hitam, dan hangus.
"Lekas minum tuakmu!" katanya dengan ketus untuk menutupi kegelisahannya.
"Mengapa harus minum tuak?" Suto tetap kalem.
"Lekas minum tuakmu kalau tak ingin wajahmu
hangus semua!" nada suaranya makin tinggi.
"Biar saja hangus! Biar lenyap sekalian
ketampananku!"
"Sutooo...!" bentak Nirwana Tria semakin cemas, karena pipi Suto mulai tampak
membiru legam, ia segera merebut bumbung tuaknya, lalu berusaha meminumkan
ke mulut Suto. Trrrok...!
"Adduh...!" Suto menyeringai karena bumbung tuak itu membentur giginya dengan
keras. "Kau ingin mengobatiku atau merontokkan gigiku"!"
sentak Suto. Nirwana Tria cemberut, berbalik arah.
"Habis kau membiarkan luka tamparanku!"
"Salah sendiri main tampar seenaknya. Makanya jadi perempuan itu jangan suka
menampar lelaki. Nanti
lelakinya jadi hangus seperti singkong gosong, kau kebingungan"!"
Nirwana Tria diam dan tetap cemberut dengan rasa
takut bila wajah Suto jadi hangus. Namun ketika
didengarnya suara tegukan tuak, ia mulai berpaling dan melirik Suto. Ternyata
Suto memang buru-buru
menenggak tuaknya sebab tak mampu menahan rasa
panas di pipinya. Dengan tegukan tuak itu, pipi Suto tak sempat hangus, bahkan
warna birunya berubah merah, lalu merah muda, dan akhirnya bekas tamparan tangan
Nirwana Tria itu hilang sama sekali. Wajah tampan itu menjadi bersih kembali.
Nirwana Tria berpaling memandang terang-terangan.
Pipi itu dielus dengan tangannya sambil berkata lirih.
"Maafkan aku, ya..."!"
"Tidak mau!"
"Aaah, Suto...! Maafkan aku, ya?" guru cantik itu merengek manja.
"Kau harus menebus kesalahanmu."
"Baik. Aku bersedia. Tamparlah aku sebagai
tebusannya!'"
"Bukan itu tebusannya."
"Habis apa?" ia masih bernada manja.
"Ciumlah tempat yang habis kau tampar tadi!"
"Cium...?""
"Kalau tak mau aku tak akan memaafkan dirimu!"
"Hmmm...," gadis itu bersungut-sungut. Tapi kemudian berkata pelan, "Baiklah
kalau itu memang tebusannya."
Maka, Nirwana Tria pun dengan kikuk mencium pipi
Pendekar Mabuk. Cup...! Cup...!
"Lho, kok dua kali"!" kata Suto.
"Biar suatu saat kalau aku menampar pipimu lagi tidak kena denda!" jawabnya
sambil tersenyum malu.
Suto tertawa pelan, tangannya mencubit pipi Nirwana Tria sambil berkata,
"Guru nakal! Lain kali kalau menampar pas di bibir, ya?"
"Nanti bibirmu hangus"!"
"Minum tuak lagi, kan sembuh. Lalu dibayar lagi dengan ciuman, kan enak"!"
Nirwana Tria tertawa malu. "Kalau begitu, baru saja kau mencubit pipiku, kau
juga harus membayarnya
dengan ciuman."
"Baiklah," jawab Suto sabar. Kemudian ia mencium pipi gadis itu yang habis
dicubitnya tadi. Cup...!
Lalu, Suto pun berkata, "Lain kali akan kucubit ujung dadamu itu."
"Iih...!" Nirwana Tria melenggok sambil menutup dadanya dan berpaling ke
belakang. "O, jadi kau minta dicubit pantatmu"!"
Cemool...! "Aaah...!" jerit Nirwana Tria karena dicubit pantatnya oleh Suto.
"Cubitanmu kasar!" sentak Nirwana Tria.
"Aku memang meremasnya. Bukan mencubit!
Hukumannya apa kalau meremas"!"
"Hukumannya... hukumannya... hmmm...
hukumannya harus meremas lagi seratus kali."
"Hahhh..."!" Suto Sinting mendelik dengan mulut terbuka lebar. Tiba-tiba gadis
itu menunduk sekelebat, lalu menyentilkan sesuatu hingga masuk ke mulut Suto.
Pluk...! "Puih, puih...! Kurang ajar! Apa yang kau sentilkan ke mulutku"!"
"Kotoran burung yang kering! Hi, hi, hi, hi...!"
"Kubalas kau dengan menyentilkan kotoran sapi!
Awas, jangan lari kau, Tria...!"
"Hi, hi, hi, hi, hi...!" Nirwana Tria berlari dan Suto mengejarnya.
* * * 7 CANDA mereka berhenti setelah Suto Sinting
berhasil meraih pundak gadis cantik jelita itu. Gadis tersebut berbalik menatap
Suto Sinting, kemudian
bibirnya merekah penuh tantangan. Suto tak mampu
menahan kesabarannya, maka bibir itu pun dilumatnya dengan lembut dan membuat
Nirwana Tria melambung
tinggi ditaburi bunga-bunga indah.
Ketika bibir itu saling lepas, Nirwana Tria
sunggingkan senyum manis berlesung pipit yang amat digemari Suto itu. Di sela
senyumnya, Nirwana Tria masih sempat sisipkan candanya yang menggemaskan
hati Suto. "Ternyata lembut sekali kotoran sapi yang tadi ada di mulutku."
"Itu bukan kotoran sapi, Sayang, itu kotoran hasrat seorang lelaki, tahu"!"
Mereka saling tawa dan berpelukan. Keduanya sama-
sama merasa sedang mengambang di udara menikmati
alam keindahan yang belum tentu bisa dirasakan oleh setiap orang.
"Suto, aku tak ingin kau membandel lagi. Kalau kubilang kau harus bersembunyi,
bersembunyilah.
Jangan keluyuran ke mana-mana."
"Apa yang membuatmu sangat khawatir terhadap
diriku?" "Aku tak ingin Ratu Maksiat itu menangkapmu dan menjadikan dirimu sebagai budak
nafsunya. Aku takut kau kalah ilmu dengannya."
"Jangan terlalu merendahkan ilmuku, walau kau sebenarnya seorang guru berilmu
tinggi." "Maafkan aku. Semua kulakukan karena aku sayang padamu."
"Sayang dalam arti apa?"
"Dalam arti seluas-luasnya," jawab Nirwana Tria sambil memainkan tepian baju
Suto dengan jarinya yang
lentik, sementara kepalanya disandarkan di pundak Suto, dan tangan Suto
merangkul punggung gadis itu.
"Entah kenapa ketika kuperhatikan saat kau masih pingsan di gua itu, tiba-tiba
hatiku bergetar. Hati yang selama ini tak pernah bergetar terhadap seorang
lelaki, sekarang menjadi bergetar dan merasa tak ingin melihat kau diperdaya
oleh Ratu Maksiat!"
"Aku sendiri juga bergetar kala memandang
kecantikanmu. Tapi aku jadi gemetar setelah tahu bahwa dirimu gadis berilmu
tinggi dan gurunya Harya Jipang."
"Sejak usia tujuh belas tahun aku sudah menjadi guru, karena seluruh ilmu
kakekku mengalir dalam diriku, sebagian ilmu mendiang nenek menitis dalam
hidupku." "Apakah karena sebab itu maka Ranti Ketawang dan Branjang Hantu menjadi takut
saat kusebutkan
namamu?" "Oh, kau kenal dengan mereka?"
"Aku bertemu dengan mereka saat berhadapan
dengan muridmu, si Harya Jipang itu!"
"Ooo...," Nirwana Tria menggumam lirih, kemudian berkata dengan tangan mengusap
lengan Suto yang
melingkar di tubuhnya dan mencapai dadanya itu.
"Kakekku si Dewa Tanah itu adalah penguasa
tertinggi golongan putih di Dasar Bumi. Kakek sangat dihormati dan disegani,
demikian pula halnya dengan diriku. Tapi yang membuat Ranti Ketawang dan
Branjang Hantu ketakutan adalah karena mereka
melakukan kesalahan, yaitu mencuri kitab pusaka milik kakekku. Padahal yang
mereka curi adalah kitab palsu,
dan kakek sudah berpesan padaku agar memaafkan
mereka. Mereka sendiri sudah berjanji tidak akan
bertindak sebodoh itu lagi. Tapi mereka masih tetap merasa takut padaku, karena
mereka tahu aku tak pernah segan-segan dalam bertindak dan mengadili seseorang."
"Ooo.... Pantas kau pun tidak segan-segan dalam membalas kecupan bibirku tadi."
"Ah... kau!" Nirwana Tria menepuk dada Suto.
"Kalau saja kau...."
Tiba-tiba kata-kata itu terhenti. Mereka terkejut sekali melihat wajah-wajah
penuh dendam bermunculan di
sekitar tempat itu. Rupanya mereka sebenarnya sudah berada tak jauh dari Istana
Perak. Pengaduan Rahuni cepat sampai di telinga Ratu Kamasinta. Maka pihak
Istana Perak segera kerahkan tenaga dan mereka
mengepung Suto Sinting dan Nirwana Tria dengan
senjata siap bantai.
"Sialan! Kita sudah terkepung, Tria!" bisik Suto Sinting dengan melirik ke sana-
sini penuh waspada.
"Hati-hati dan cari kesempatan untuk larikan diri!
Mereka akan kubuat sibuk dengan diriku, lalu melesatlah pergi dan jangan campuri
pertarungan ini. Kulihat Ratu Maksiat sedang menuju kemari dengan pandangan mata
tertuju padamu. Tutup telinga dan jangan pandang
matanya supaya kau tidak terkena pengaruh 'Aji Tunduk Bungkam'-nya!"
Pendekar Mabuk segera menyambar dedaunan semak


Pendekar Mabuk 076 Ratu Maksiat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang ada di dekatnya. Kedua telinga segera disumpal dengan daun-daun itu. Tetapi
karena terasa gatal dan
mengganggu ketenangan, maka daun-daun penyumbat
telinga tak jadi dikenakan. Ratu Kamasinta sendiri sudah berada di depan mereka.
"Sudah kuduga, pasti kau yang menculik Pendekar Mabuk dari genggamanku, Nirwana
Tria!" ucap sang Ratu dengan angkuh dan bernada sinis.
"Kalau kau sudah tahu, lantas mau apa?" tantang Nirwana Tria.
"Kembalikan Pendekar Mabuk padaku, biarkan dia menjadi selimut tubuhku sepanjang
masa, karena aku suka padanya, karena dia sesuai dengan seleraku;
tampan, tegap, gagah, perkasa, ooh... sangat
menggairahkan sekali!"
"Tak akan kuizinkan kau menyentuh seujung
rambutnya pun, Ratu Maksiat!"
"Bedebah! Kalau begitu kau layak mati tercacah oleh anak buahku! Serang dia!
Hancurkan!"
"Heeeaaah...!"
"Tunggu...!" teriak Nirwana Tria dengan suara lantang, dan membuat mereka yang
ingin menyergapnya menjadi terpental ke belakang saling berjatuhan.
Rupanya Nirwana Tria menyalurkan tenaga dalamnya
melalui suaranya tadi, hingga mereka yang ingin
menyerang terpental ke belakang.
"Kamasinta!' katanya dengan lantang. "Jangan kau korbankan anak buahmu sebagai
tumbal kepengecutanmu ini! Jika kau memang merasa sebagai penguasa dan berilmu tinggi,
kita tentukan siapa yang berhak memiliki Pendekar Mabuk ini! Kita bertarung
sampai salah satu ada yang mati!"
"Ooh...?" Ratu Kamasinta sunggingkan senyum sinis lagi sambil manggut-manggut.
"Jadi kau menantang pertarungan sampai mati denganku, Bocah Kencur"!
Baik, akan kulayani agar Pendekar Mabuk tahu siapa yang patut menerima
kehangatannya!"
Kemudian Ratu Kamasinta berseru, "Kalian
menjauhlah dan tetap waspada kalau dia melakukan
kecurangan!"
Suto Sinting berbisik, "Tria, jangan berjudi dengan nyawamu! Biarkan aku yang
menghadapi Ratu Maksiat
itu!" "Menjauhlah dan jangan sampai menjadi korban salah sasaran pukulan kami!"
Agaknya Nirwana Tria tak mau disingkirkan, justru ia yang menyingkirkan Suto
dengan perintah tegasnya tadi.
Suto Sinting terpaksa pasrah dan ingin melihat sejauh mana kehebatan ilmu si
cucu Dewa Tanah itu.
Dua perempuan itu mulai saling melangkah memutar
mencari kesempatan untuk menyerang lebih dulu. Ratu Kamasinta tampak tenang dan
tersenyum-senyum
menyepelekan lawannya. Nirwana Tria kelihatan sedikit tegang karena dibakar oleh
kebenciannya terhadap Ratu Kamasinta.
Wuuut, weeees...!
Nirwana Tria melompat maju dengan cepat setelah
Ratu Kamasinta berusaha menerjangnya. Di pertengahan jarak mereka bertemu. Dalam
keadaan masih melambung di udara, mereka saling lepaskan pukulan
dengan gerakan cepat dan sukar dilihat oleh siapa pun, termasuk oleh Suto
Sinting. Plak, plak, plak...! Blaaarrr...!
Ratu Kamasinta menapakkan kaki ke bumi dengan
tegak. Jleeg! Tetapi Nirwana Tria terjengkang ke belakang dan
tubuhnya jatuh terbanting dengan keras. Bruuuk...! Lalu dari hidungnya yang
mancung itu keluar darah berwarna merah kehitam-hitaman. Wajah itu pucat pasi,
dan Suto melihat noda hitam membentuk telapak tangan di jubah putih Nirwana
Tria. Rupanya gadis itu terkena pukulan bertenaga dalam tinggi pada sekitar dada
kirinya. "Tria...!" sentak Suto Sinting sambil hampiri gadis itu dengan cemas. Tapi
Nirwana Tria segera bangkit dan menyuruh Suto mundur.
"Aku masih sanggup melawannya!
"Tapi kau...."
Sreet...! Nirwana Tria mencabut pedang 'Lidah Naga'
sambil terhuyung-huyung. Suto segera undurkan diri.
Pedang sependek dua jengkal itu segera ditebaskan ke depan pada saat Ratu
Kamasinta hendak melepaskan
pukulan jarak jauhnya. Wuuut...! Zrrraab...!
Ternyata pedang itu menjadi panjang melebihi
pedang biasa. Mata pedang itu menyambar leher Ratu Kamasinta. Wuuut...! Dan sang
Ratu segera melompat mundur sambil berlutut satu kaki, kemudian melepaskan sinar
merah bintang ke arah perut Nirwana Tria.
Claaap...! Pedang 'Lidah Naga' segera berkelebat mengkerut,
lalu meliuk menyambar sinar merah berbentuk bintang.
Traak, blaaarrr...!
Sinar merah hancur dan lenyap, tapi pedang 'Lidah Naga' masih berkelebat bagai
ekor naga yang menyabet dalam gerak putar membalik dan mengarah ke kepala
Ratu Kamasinta. Wuuut...! Weess...!
Pedang itu kenai kepala Ratu Kamasinta, tetapi bagai menebas angin, karena tiba-
tiba Ratu Kamasinta berubah menjadi bayangan yang tak bisa disentuh oleh apa
pun, kecuali hanya bisa dilihat dengan mata telanjang.
"Hak, hak, hak...! Kau tak akan bisa membunuhku, Tria!" ujar Ratu Kamasinta
sambil tertawa liar.
Kemudian ia melesat maju, tubuhnya menerjang
pohon dan pohon itu tetap tak bergerak. Ternyata tubuh Ratu Kamasinta yang
berubah menjadi bayangan itu
mampu menembus pohon dan bebatuan tinggi.
Wuuussstt...! Pedang 'Lidah Naga' bergerak cepat meliuk-liuk
menghantam bayangan sang Ratu. Wiik, wiik, wuuk,
wiiuk...! Nirwana Tria tahu-tahu terpental karena pedangnya
tak mampu lukai bayangan Ratu Kamasinta, namun
justru kaki sang Ratu berhasil menjejak kuat dada gadis itu.
Buuhk...! "Hheeehk...!"
Brrruk...! "Hooeek...!" Nirwana Tria memuntahkan darah hitam dengan dada membekas telapak
kaki berasap. "Celaka! Ia tak akan mampu melukai bayangan itu!"
ucap Suto menegang dalam hatinya, ia pun segera
bergerak menyambar tubuh Nirwana Tria saat Ratu
Kamasinta mau lepaskan pukulan bersinarnya.
Zlaaap...! Wuuus...!
"Hei, mau kau ke manakan bayi itu, hah"!" sentak Ratu Kamasinta.
"Dia bukan tandinganmu!" ujar Suto Sinting lalu meletakkan tubuh yang
disambarnya itu. Kini ia bangkit berhadapan langsung dengan Ratu Kamasinta.
Nirwana Tria masih sadar kalau dalam keadaan
terluka parah, ia sempat berseru dengan suara berat.
"Jangan hadapi dia, Suto! Pejamkan matamu tutup telingamu! Oohkk...!"
Mata sang Ratu memandang tajam kepada Suto
Sinting. Seketika itu Suto pejamkan mata dan
menghantamkan bumbung tuaknya ke arah sang Ratu
yang berwujud bayangan itu.
Wuuut...! Buuhk...!
Bambu tuak seperti kenai benda padat. Lalu terdengar suara Ratu Kamasinta
memekik kesakitan sebelum
melepaskan bentakan yang akan menundukkan
keberanian Suto.
"Aaahk...! Keparat! Kau bisa menyentuh bayanganku dengan bumbung tuakmu itu,
Suto! Kuhabisi nyawamu
sekarang juga! Hiaaah...!"
Clap, clap, clap...!
Tiga sinar hijau menghantam ke arah Suto dari tangan sang Ratu. Tetapi Suto
Sinting segera menghadang sinar
itu dengan bumbung tuaknya yang dipegang dua tangan.
Blegarrr, blaar, bluaaar...!
Biasanya bumbung tuak dapat memantulkan sinar
pukulan ke arah pemiliknya. Tapi kali ini ternyata ketiga sinar itu meledak
begitu kenai bumbung tuak, dan Suto Sinting terpental jauh hingga membentur
pohon dengan keras. Bruuk, duuurrr...!
Daun-daun pohon berguguran karena benturan kuat
itu. Tubuh Suto menjadi hitam samar-samar dan berasap.
Rambutnya sempat menyebarkan bau hangus
menandakan rambut itu terbakar sebagian. Matanya
menjadi merah dan mulutnya pun keluarkan darah.
"Celaka! Tenaga dalamnya besar sekali dan sangat berbahaya!" ujar Suto dalam
hati. buru-buru membuka bumbung tuak dan menenggaknya sebentar, kemudian
segera melesat kembali dalam gerakan cepat. Pendekar Mabuk pergunakan jurus
'Bangau Mabuk'. Bumbung
tuak disodokkan dan bumbung itu terbang dengan cepat, tubuh Suto terbawa terbang
mengarah ke tubuh sang
Ratu. Wuuuutt...!
Sang Ratu mencoba menangkis sodokan bumbung
tuak itu dengan kedua tangannya yang bercahaya merah itu. Tetapi ternyata
bumbung tuak itu lebih tangguh dan mempunyai kekuatan dahsyat, sehingga
terjadilah ledakan kuat saat bumbung itu menghantam kedua
telapak tangan sang Ratu. Jlegaaarrr...!
Cahaya merah menyala lebar dalam sekejap. Lalu
hilang tinggalkan asap. Suto Sinting jatuh terpuruk di tanah sambil masih
memegangi bumbung tuaknya,
sementara tubuh sang Ratu entah ke mana.
Kakinya ada di timur, kepalanya di barat, tangannya di selatan, badannya hancur
berantakan tak dapat
tertolong lagi.
"Hahhh..."! Sang Ratu hancur"! Celaka...! Cepat lariiii...!" seru para anak buah
yang ketakutan melihat ratunya hancur tanpa nyawa lagi.
Suto masih penasaran, ia memburu mereka untuk
mengetahui di mana Istana Perak berada. Ternyata tak seberapa jauh. Istana Perak
itu tampak berdiri di balik kerimbunan hutan. Suto Sinting segera melepaskan
jurus 'Tangan Guntur' yang memancarkan sinar biru besar dari telapak tangannya.
Claaap...! Wuuusss...!
Sinar itu menghantam Istana Perak bagian atasnya.
Bleggaaarrr...!
Istana Perak pun hancur dan lebih berantakan lagi
setelah jurus 'Tangan Guntur' dilepaskan kedua kalinya.
Blegaaaarrrr...!
Kepingan-kepingan perak menyebar ke langit
bersama kobaran api begitu tinggi. Mereka yang ingin masuk ke dalam istana
tersebut menjadi urung dan
berlari selamatkan diri masing-masing. Sementara itu, Nirwana Tria memandang
bengong penuh kekaguman
melihat serpihan Istana Perak menyebar ke langit dan berjatuhan ke mana-mana.
"Memang sinting ilmu pemuda yang satu itu!"
gumamnya dalam hati. "Kalau tak ada dia, mungkin aku mati di tangan Ratu
Maksiat!" Gema ledakan pun lenyap, gemuruh tanah yang
bergetar segera reda. Suara jeritan anak buah sang Ratu telah menjauh dan hilang
di kerimbunan hutan. Kini tempat itu menjadi sepi, hanya napas Suto dan Nirwana
Tria yang didengar oleh mereka berdua.
Tuak diteguk, Nirwana Tria pun meminum tuak
tersebut hingga lukanya hilang dan tubuh mereka
menjadi segar kembali.
"Dahsyat sekali...," hanya itu yang bisa diucapkan Nirwana Tria ketika beradu
pandang dalam jarak satu langkah dengan Suto.
Pemuda itu mencubit pipi sang gadis bersama
senyum kemenangannya.
"Ratu Maksiat sudah hancur. Kurasa keadaan di Dasar Bumi akan tenang kembali."
"Ya, memang akan tenang. Tapi...kau telah mencubit pipiku! Kau harus dihukum,
Suto!" "Aku tahu hukumannya, Guru Cantik!" kemudian Suto Sinting menempelkan bibirnya
ke bibir Nirwana Tria. Bibir Suto dilumat lebih dulu dalam kecupan
lembut. Setelah itu, Nirwana Tria menarik kepalanya dan berkata.
"Yang kau cubit pipiku kenapa yang kau kecup
bibirku?" "Maaf, aku sudah tidak bisa membedakan mana bibir dan mana pipi!" jawab Suto,
kemudian mengecup lagi bibir gadis itu yang mungil merekah dalam keranuman.
Sang gadis menerimanya tanpa protes sedikit pun.
SELESAI Segera terbit!!!
ASMARA JANDA LIAR
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
https://www.facebook.com/pages/Dunia-Abu-
Keisel/511652568860978
Petualang Asmara 8 Renjana Pendekar Karya Khulung Pendekar Pedang Pelangi 6
^