Pencarian

Tandu Terbang 2

Pendekar Mabuk 030 Tandu Terbang Bagian 2


terdengar suara Suto ajukan tanya,
"Kalau boleh kutahu, mengapa Ratu gustimu
membutuhkan Pedang Kayu Petir?"
"Aku tak bisa sebutkan. Tapi jika kau ingin
mengetahuinya, kau bisa datang ke negeri kami dan
bicara langsung dengan Gusti Purnama Laras."
"Apakah beliau mau menerimaku?"
"Pasti mau. Karena...," Batu Sampang diam sesaat.
Matanya memperhatikan tiga anak buahnya yang sempat
cekcok gara-gara saling ledek kebotakannya. Ketiga
anak buahnya itu hentikan percekcokan karena mereka
tahu dipandangi oleh Batu Sampang. Agaknya Batu
Sampang punya wibawa yang besar di depan anak
buahnya itu, sehingga dengan memandang saja mereka
menjaditakut dan segeraperbaiki sikap masing-masing.
"Karena apa, Batu Sampang" Lanjutkanlah kata-
katamutadi," desak Suto.
"Karena... namamu pernah dibicarakan dalam sidang
parapejabat istana."
"Namaku...!" Suto berkerut dahi dengan heran.
"Maksudnya, mereka membicarakan diriku sebagai
pemilikPedang KayuPetir?"
"Bukan begitu," jawab Batu Sampang tetap bersikap
tegas dan wibawa. "Namamu dibicarakan sebagai tamu
yang ingin diundang ke negeri kami. Tapi tak satu pun
dari kamiyang mengetahui di manakau berada."
Pendekar Mabuk terbungkam mendengar jawaban
tersebut. Agaknya ada sesuatu yang penting sehingga
namanya dibicarakan oleh orang-orang Muara Singa.
Padahal Suto Sinting merasa belum pernah berkenalan
dengan satu pun orang Muara Singa. Tapi Suto segera
tidak merasa heran sebab banyak tokoh yang
mengatakan namanya sudah kondang di rimba
persilatan, dan hampir setiap tokoh berilmu tinggi aliran
putih mengenalnamaPendekar Mabuk.
Batu Sampang berkata, "Kalau kutahu sejak tadi
bahwa kau adalah Pendekar Mabuk, Suto Sinting,
tentunya akutak akan berani menyerangmu, Suto."
"Mengapa?"
"Karena aku sering mendengar para tokoh tua
berbicara tentang kesaktianmu. Terutama kesaktian
gurumu; Gila Tuak dan Bidadari Jalang."
Suto Sinting sunggingkan senyum sederhana.
"Kesaktianku belum seberapa. Jangan terlalu
terpengaruh oleh dongeng mereka yang melebih-
lebihkan kenyataan yang ada."
"Tapi Ratu Gusti Purnama Laras sangat tertarik dan
kagum dengan kesaktianmu, sehingga beliau sangat
berharap dapat jumpa denganmu, Suto."
"Apakah menurutmu aku memang harus datang ke
sana?" "Sebaiknya begitu, dan aku akan menyertaimu
sampaimenghadap Ratu Gustiku!"
Pendekar Mabuk tarik napas dalam-dalam. "Sayang
sekali ada urusan yang harus kuselesaikan secepatnya.
Sebaiknya berikan arah negerimu agar aku dapat datang
sendiri ke sana jikaurusankutelah selesai."
"Muara Singa ada di sebelah barat, di bawah kaki
Bukit Tungkai."
Wajah Suto terkesiap mendengar nama Bukit
Tungkai, karena ia ingat nama bukit itu disebut-sebut
oleh Palupi sebagai bukit penyimpanan Pedang Kayu
Petir. Untuk menutupi kecurigaan Batu Sampang, Suto
buru-buru sembunyikan rasa terperanjatnya itu dengan
berkata, "Apaciri-ciri BukitTungkaiyang bisa kuketahui?"
Batu Sampang diam sebentar, seakan berpikir tentang
ciri-ciri yang mudah diingat oleh calon tamunya itu.
Sesaat kemudian barulah iamenjawab,
"Bukit Tungkai tak jauh dari laut. Kaki bukit itu
menyatu dengan pantai Pasir Merah, pasirnya memang
berwarna merah kecoklatan. Bukit itu tidak terlalu
tinggi, juga tidak begitu lebar. Dulu bukit itu adalah
sarang singa, tapi sekarang sudah tidak lagi. Di
ujungnya, maksudku di puncak bukit, terdapat batu
tanpa lumut warna hitam, menjulang berbentuk seperti
sepotong telapak kaki raksasa yang kelihatan bagian
tungkai atautumitnya."
"Baiklah. Aku paham. Setelah urusanku selesai aku
akan menuju ke arah barat sampai menemukan bukit
berciri-ciri seperti itu," kata Suto Sinting.
"Kalau begitu, kita berpisah dulu sampai di sini?"
"Hmmm... sebentar, ada satu yang ingin kutanyakan
padamu. Apakah kau tahu dan kenal dengan orang yang
menyerang anak buahmu itu?"
"TanduTerbang maksudmu?"
Suto anggukkan kepala.
"Aku hanya pernah dengar julukan itu, dan pernah
dengar cerita kehebatan si Tandu Terbang dari mulut
orang-orang di kedai. Tapi aku belum pernah jumpa
dengan si Tandu Terbang sendiri. Kusarankan, hati-
hatilah jika jumpa dengannya. Karena Tandu Terbang
orang berilmu tinggi. Konon ia muridnya Pendita Arak
Merah berasal dariTibet."
Kembali sang Pendekar Mabuk terperanjat, ia pernah
mendengar nama Pendita Arak Merah dari Tibet,
sehingga ia pun berkata,
"Kalau begitu, Tandu Terbang adalah saudara
seperguruan dengan Sri Maharatu dariPulau Dadap"!"
"Mungkin saja! Aku pernah dengar nama Sri
Maharatu, tapi tidak tahu dari mana asal-usulnya dan
siapa gurunya."
Suto hanya manggut-manggut. Ia tak mau katakan
bahwa Sri Maharatu, yang kondang sebagai murid
Pendita Arak Merah dari Tibet itu sudah mati di
tangannya dengan jurus 'Yudha', (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Cambuk Getar Bumi"). Suto
sengaja sembunyikan cerita itu agar tidak berkesan
sombong di hadapan siapa saja.
Setelah berpisah dengan rombongan Batu Sampang,
Suto jadi berpikir tentang Palupi dan Bukit Tungkai.
"Jangan-jangan Palupi memang orang Muara Singa yang
menyimpan rahasia Pedang Kayu Petir, atau terlibat
sesuatu yang bersangkutan dengan Pedang Kayu Petir"
Buktinya nama Bukit Tungkai yang disebut-sebut Palupi
itu adalah namabukit tempat Muara Singa berada."
Sambil mencari ke mana kira-kira arah kepergian
Palupi, Pendekar Mabuk bertanya-tanya dalam hati
tentang pedang tersebut dan hubungannya antara Palupi
dengan orang-orang MuaraSinga.
"Aku jadi curiga, jangan-jangan orang-orang Muara
Singa mau tangkap Palupi bukan untuk mengorek
keterangan tapi untuk membunuhnya" Mungkin Palupi
terlalu banyak tahu tentang pedang pusaka itu dan Ratu
Purnama Laras tidak ingin rahasia pedang pusaka itu
bocor dari mulut gadis gila itu, sehingga Palupi perlu
dimusnahkan" Oh, kalau begitu aku harus segera dapat
menemukan Palupi sebelum mereka lebih dulu
membunuh Palupi! Tapi jika orang-orang Muara Singa
ingin membunuh Palupi, mengapa Dungu Dipo saat itu
melepaskan pukulan sinar kuningnya yang tidak
membahayakan bagi keselamatan jiwaPalupi?"
Tak ada kepastian jawaban, sehingga Suto dibuat
gelisah dan menerka-nerka menjengkelkan. Tetapi
kejengkelannya itu terhibur oleh suara teriakan seorang
wanita di kejauhan saja. "Hiaaaah...!"
Suara itu lengking, kecil, meninggi, dan berkesan liar.
"Itu pasti suara si gadis gila!" pikir Suto seketika itu
juga. Maka ia pun segera melesat ke arah datangnya
teriakan wanita.
* * * 4 TERNYATA tak jauh dari tempat itu ada sebuah
sungai dangkal berair bening. Ditepi sungai itutanahnya
datar, berbatu-batu namun ada sebagian yang lega. Di
tepian sungai itulah Suto melihat sekelebat sosok
perempuan melompat menyambar kepala seorang lelaki
dengan trisulanya. Untung lelaki itu cepat gulingkan
tubuh ke tanah walau ia harus meringis karena
punggungnya terganjal sebongkah batu agak runcing.
Wanita itu bukan Palupi. Tapi jelas suara jeritan tadi
datangnya dari mulut wanita berbibir agak tebal dan
memancing gairah kaum lelaki itu. Wanita tersebut
punya wajah cantik. Kulitnya kuning langsat, seperti
kulit Palupi, rambutnya pendek sebatas pundak lewat
sedikit, namun tampak tebal dan hitam mengkilat, ia
tidak kenakan ikat kepala, sehingga rambutnya meriap
ke sana-sini ketika digunakan untuk bergerak dengan
gesit dan lincah.
Menurut dugaan Suto, wanita berpakaian kuning
gading itu berusia sekitar tiga puluh tahun. Dengan
pinggul yang meliuk indah dan pantat montok kencang
Suto dapat pastikan perempuan itu pasti sering membuat
lelaki tergila-gila. Tapi bagi Suto bukan perawakan
perempuan yang menggairahkan itu yang menjadi pusat
perhatiannya, melainkan gerakan silatnya yang aneh
dalam menghadapi pertarungan. Lelaki yang diajaknya
bertarung sudah dikenal Suto belum lama ini. Dialah
lelaki berusia lima puluh tahunan yang bernama Dungu
Dipo. "Persoalan apa yang dihadapi Dungu Dipo, sehingga
perempuan itu agaknya bernafsu sekali ingin membunuh
Dungu Dipo?" pikir Suto daritempatnya.
Hentakan napas Dungu Dipo yang hadirkan napas
sepanas lahar itu selalu dapat dihindari oleh perempuan
tersebut dengan bersalto di udara atau melompat dengan
gesit. Tetapi menurut penilaian Suto, Dungu Dipo akan
terpojok dengan serangan perempuan tersebut. Kibasan
golok panjang Dungu Dipo sering menemui tempat
kosong karena terkecoh oleh gerakan lincah si
perempuan. Pada satu kesempatan mereka sama-sama hentikan
penyerangan. Perempuan itu ada di depan Dungu Dipo
dalam jarak lima tindak, ia masih sigap dan tak punya
rasa gentar sedikit pun. Trisulanya yang berwarna
kuning emas, entah emas asli atau emas palsu, masih
digenggam dengan erat-erat. Dungu Dipo sendiri
memandang perempuan itu dengan mata tajam, seakan
juga bernafsu untuk membabat habis tubuh mulus yang
bahenol itu. "Kuingatkan sekali lagi padamu, Hantu Tari," seru
Dungu Dipo."... jangan paksakan diri untuk melawanku,
jika kau ingin berumur pendek."
"Mungkin maksudnya, jika ingin berumur panjang
jangan melawannya," gumam Suto dalam hati
membenarkan kata-kata Dungu Dipo yang selalu salah
maksud itu. "Kalau tak becus ngomong, jangan buka mulut,
Dungu Dipo! Hadapi saja dendamku ini, karena hari ini
adalah hari pembalasan tiba! Jika dulu kau berhasil
membakar tubuhku dengan napas laharmu itu, sekarang
tubuhmu yang akan kubuat lumer oleh jurus 'Api Lebur
Baja' yangtak adatandingannya!"
"O, jadi selama lima tahun kau menghilang karena
kau belajar lagi perdalam ilmu silatmu"! Hmm...! Kau
tak tahu kalau aku pun perdalam ilmu silatku, sehingga
tak mudah merobohkan orang lain!"
Suto geleng-geleng kepala. "Dirobohkan orang lain,
diganti merobohkan orang lain. Padahal artinya jauh
berbeda!" pikirnya sambil santai setelah meneguk tuak.
Suto ada di atas pohon, duduk di sebuah dahan kekar
dalam satu sisi sungai yang sama dengan mereka, ia
sengaja tidak ikut campur, karena ingin melihat seberapa
tinggi ilmu perempuan yang tadi dipanggil Dungu Dipo
dengan nama julukan HantuTari itu.
Perempuan itu perdengarkan suaranya, "Sekalipun
tubuhku sudah kembali mulus berkat ramuan dari
guruku, tapi dendamku masih belum mulus dan tetap
menuntut pembalasan padamu. Tak peduli kau sekarang
menjadi orang penting di negeri Muara Singa, persoalan
kitatetap persoalan pribadi!"
"Kulayani apa maumu. Tapi jangan salahkan diriku
jika nyawamu tercabut oleh tanganku. Sebab aku orang
yang tak pernah mau menyisakan nyawaku sendiri,
HantuTari."
Hantu Tari hanya sunggingkan senyum sinis, ia tahu
maksud kata-kata Dungu Dipo adalah, 'tidak mau
menyisakan nyawa musuhku sendiri', tapi karena salah
ucap, maka artinya menjadi lain. Dan itu sebuah
ancaman yang lucu bagi siapa pun yang mendengarnya.
Perempuan itu tidak mau membuang waktu lagi. Ia
segera bergerak dengan merentangkan kedua tangannya
ke samping, lalu berputar-putar pelan bagai orang
sedang menari. Trisula emas masih tergenggam di
tangan kirinya merapat dengan lengan. Jurus tarian itu
ternyata punya kekuatan sendiri. Pertama dapat
memukau lawan melihat tarian yang indah dan liukan
pinggul bagaikan menantang gairah lelaki. Kedua,
pengumpulan tenaga dalam ternyata lebih diutamakan
pada tangan dan kaki, sehingga ketika gerakan lamban
yang mirip tarian itu menyentak cepat, sentakan itu
cukup mengejutkan dan membuat lawan menggeragap.
Tapi dari tangan kiri Hantu Tari telanjur melesat
seberkas sinar merah mirip bintang berekor. Claap...!
Wuuus...! Dungu Dipo sentakkan kaki dan melenting ke atas, ia
bersalto satu kali, kemudian tangan kirinya melepaskan
pukulan sinar hijau bening berbentuk seperti cahaya


Pendekar Mabuk 030 Tandu Terbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

petir. Claap...!
Duaaar...! Blaaar...! Kedua sinar membentur batu di lain tempat. Batu-
batu itu pecah berhamburan. Tapi batu yang dihantam
sinar merahnya Hantu Tari menjadi lumer dan meleleh
bagaikan bubur. Itulah jurus 'Api Lebur Baja' yang
menjadi andalannya. Batu bisa menjadi lumer padahal
lain bahan dengan besi atau baja. Jika batu saja bisa
lumer, apalagi tubuh Dungu Dipo, tentu lebih mudah
membusuk dan mencair.
Wuuut...! Keduanya saling terjang dengan senjata masing-
masing beradu. Trang, trang! Tapi gerakan kaki Hantu
Tari yang mirip orang menari itu berhasil menendang
tengkuk kepala Dungu Dipo. Duuuhg...!
Bruusss...! Dungu Dipo tersungkur mencium tanah.
Goloknya hampir saja mengenai dada sendiri, ia segera
berbalik dan bermaksud untuk bangkit. Namun tiba-tiba
dari ujung trisula itu keluar sinar biru bagaikan kawat
baja. Claaap...! Sinar itu tepat menembus dada Dungu
Dipo. "Ahhg...!" Dungu Dipo menengadahkan wajah dan
terpekik. Matanya terpejam kuat-kuat. Namun ia masih
berusaha untuk bangkit dan menyerang lawannya.
"Racun Murka' sedang bersarang di hatimu, Dungu
Dipo! Tapi sebaiknya memang kuselesaikan saja dengan
jurus 'Surya Pemunah Bangkai' ini! Hiaaah...!"
HantuTari menyentakkan trisulanya ke depan dengan
gerakan mirip orang menarikejang. Tiga matatrisula itu
melesatkan sinar hijau kusam. Arahnya ke dada Dungu
Dipo. Tetapi tiba-tiba tiga larik sinar hijau tua itu
dihantam oleh sinar merah yang melesat lebih cepat
bagaikan kilat, membentang tepat di depan Dungu Dipo
seakan sebuah perisai penangkis serangan.
Blaaar...! Glegaarrrr...!
Ledakan dahsyat membuat tubuh Hantu Tariterpental
ke belakang bagaikan terbang, ia jatuh tersungkur di
samping batu besar. Ledakan yang terjadi karena
benturan kedua sinar itu memercikkan nyala sinar biru
terang menyilaukan. Gelombang panas yang menyentak
dari ledakan itu berhasil membuat sebongkah batu
menjadi rompal separo bagian. Tubuh Dungu Dipo
sendiri terseret ketepian air sungai dan terpuruk di sana
dengan erangan lirih.
Hantu Tari bangkit, ia limbung dan hampir jatuh jika
tidak berpegangan pada sebongkah batu yang tingginya
sebatas dada. Mulutnya memuntahkan darah. Wajahnya
menjadi pucat. Napasnya sesak sekali, sehingga ia
bersandar di batu tersebut sambil mencari kelegaan
untuk napasnya, ia memegangi dadanyayang terasa sakit
bagaikan dihunjam tombak dari jarak dekat.
"Kurang ajar! Siapa yang membantumu Dungu
Dipo"! Kulihat sinar merah itu bukan datang dari tubuh
Dungu Dipo!"
Pandangan mata Hantu Tari tertuju ke atas tanggul.
Suto Sinting sudah berdiri di sana. Ia segera melompat
turun dekati Dungu Dipo. Tapi matanya memandang ke
arah Hantu Tari dengan senyum tipis. Mata Hantu Tari
tak berkedip memandang pendekar tampan yang baru
kali itu dilihatnya.
Terdengar suara Suto berkata dengan nada ramah,
tanpapermusuhan, bahkan berkesan penuh sesal.
"Maaf, aku hanya mencegah agar jangan terjadi
korban nyawa. Aku tidak tahu kalau sinar hijaumu itu
berkekuatan amat tinggi. Semestinya ledakan itu tak
begitu keras dan dahsyat. Tapi ternyata aku salah duga.
Sekali lagi aku mohon maaf jika sampai melukaimu,
Hantu Tari. Tapi aku bersedia sembuhkan lukamu
sekarang juga jikakau mau!"
"Persetan dengan permintaan maafmu!" geram Hantu
Tari dengan suara berat. "Kau berhutang satu jurus
padaku! Akan kubalas kalau luka ini telah sembuh!
Tunggu, tak akan lama kita pasti bertemu dan kau harus
bayar hutangmu ini!"
Weess...! Setelah bicara begitu, Hantu Tari larikan
diri dengan menahan luka di dadanya. Pendekar Mabuk
tak sempat menahan gerakan Hantu Tari. Tapi pikirnya,
memang tak ada perlunya menahan HantuTari, sebab ia
tak punya persoalan dengan perempuan itu. Namun
kepada Dungu Dipo, ia punya persoalan sendiri, yaitu
sebagai calon tamu di tempat Dungu Dipo mengabdikan
dirinya. Jika Suto lakukan penyelamatan terhadap
Dungu Dipo, hal itu disebabkan karena ia ingin menjalin
persahabatan dengan pihak Dungu Dipo, terutama
dengan ratu gustinya. Sebab dengan menjalin
persahabatan itulah, Suto Sinting berharap dapat
mengetahui rahasia pedang pusakayang konon disimpan
oleh gadis gila di sebuah gua di Bukit Tungkai.
"Dungu Dipo, minumlah tuakku ini sedikit saja untuk
penyembuhkan lukamu!" kata Suto Sinting, ia sudah
berhasil membawa Dungu Dipo ke tempat kering, dan
lelaki itu didudukkan dalam keadaan bersandar pada
sebuah batu. Wajah Dungu Dipo pucat pasi. Luka itu
diduga menjadi parah akibat ledakan dua sinar tersebut.
Tapi sebelumnyapasti sinar biru dari ujung trisula Hantu
Tari telah melukai bagian dalam tubuh Dungu Dipo
cukup parah. "Minumlah tuakku, jangan diam saja!" kata Suto
Sinting. Tapi Dungu Dipo masih diam. Anehnya
engahan napasnya sudah terkendali dan mulutnya tak
mau terbuka, tapi matanya menatap dengan tajam ke
arah Suto Sinting. Pandangan mataituterasa makin lama
semakin tajam dan semakin liar, sampai akhirnyatangan
Dungu Dipo yang masih memegangi golok panjangnya
itu berkelebat membabat wajah Suto Sinting. Wuuus...!
Untung wajah yang hampir terbabat golok itu ditarik
mundur dengan gerakan naluri yang amat cepat,
sehingga golok itu tidak kenai wajah tersebut. Bahkan
tubuh Suto yang jongkok berhasil melompat mundur tiga
langkah jauhnya.
"Kenapa kau jadi menyerangku"!" sentak Suto
kepada Dungu Dipo. Tapi orang tersebut justru bangkit
berdiri dengan menggeram, matanya menjadi liar dan
ganas, ia ingin sekali membunuh Suto Sinting, bahkan
kalau mungkin merajang-rajang tubuhnya dengan golok
panjang itu. "Ggrrr...!"
Suto Sinting berkerut dahi mendengar erangan
menyeramkan dari mulut Dungu Dipo. Matanya
memandang penuh waspada dan kecurigaan Suto
membuat hatinya mengatakan, "Ada yang tak beres pada
dirinya." Tiba-tiba tubuh Dungu Dipo melayang dengan cepat
dan membabatkan goloknya. Wuuut...! Wwwess...!
Gerakan golok itu sangat kuat dan cepat. Hampir saja
pundak Suto terpotong karena gerakan golok tersebut.
Suto tidak melawan, kecuali hanya menangkis dengan
bumbung tuaknya. Traang...! Kraak...!
Golok panjang itu patah menjadi dua bagian. Sisanya
yang masih menancap di gagang golok hanya sedikit,
kurang dari setengah jengkal. Tetapi Dungu Dipo masih
menggeram. Kini golok patah itu dibuang, dan ia
menerkam Suto Sinting dengan mata kian buas dan liar.
Wuuut...! Praaasss...!
Suto Sinting menghindar, akibatnya seonggok batu
yang menjadi sasaran serangan Dungu Dipo. Batu itu
pecah karenatendangan kuat bertenaga dalam darikedua
kaki Dungu Dipo. Bahkan batu besar itu hampir saja
terguling dari tempatnya ketika dua kaki itu menjejak
bersamaan. Kekuatan yang ditimbulkan sempat
membuat tanah terguncang sedikit bagai dilanda gempa
selintas. "Besar sekalitenaganya"!" pikir Suto. "Tapimengapa
dia jadi seganas itu terhadapku"! Ia menjadi buas dan
liar. Sepertinya bukan kehendak hati nuraninya untuk
bersikap seganas itu!"
Dungu Dipo berbalik arah, menggeram dengan kedua
tangan merenggang bagai ingin mencakar, lalu salah satu
tangan disentakkan ke depan. Wuuut...! Claap! Sinar
hijau besar melesat menghantam Suto Sinting. Tapi
pemuda tampan itu bagai menghilang dari tempatnya.
Zlaap...! Ternyata bergerak cepat dan berpindah tempat
di samping kanan Dungu Dipo. Sinar hijau itu
menghantam pepohonan di seberang sungai.
Blegaaar...! Buuurrrrkk...! Dua pohon tumbang seketika, terbelah
dari atas ke bawah. Itu pertanda pukulan dahsyat yang
dilepaskan Dungu Dipo benar-benar ingin
menghancurkan Suto Sinting. Tetapi Pendekar Mabuk
tidak mau berikan balasan, ia sempat berkata dalam
hatinya, "Kudengar tadi Hantu Tari lepaskan pukulan 'Racun
Murka' yang berwarna biru dari ujung trisulanya.
Apakah dengan begitu muka Dungu Dipo menjadi ganas
akibat terkena 'Racun Murka' dari Hantu Tari tadi"!"
Clap, clap...! Wuuut...!
Dungu Dipo semakin membabi buta melepaskan
pukulan-pukulan dahsyatnya. Suto Sinting hanya
menghindar dan menghindar terus sambil berpikir harus
bagaimana mengatasi 'Racun Murka' yang berpengaruh
dalam jiwa Dungu Dipo itu. Jelas apa yang dilakukan
Dungu Dipo adalah perbuatan yangtidak disadarinya.
Bebatuan banyak yang hancur lebur oleh pukulan
dahsyatnya. Sinar yang melesat tak tanggung-tanggung
banyaknya itu menghancurkan pepohonan juga di
sekeliling tempat itu. Gemuruh suara ledakan selalu
sambung-menyambung membuat bumi bagaikan sedang
diguncang kiamat. Suto Sinting tak punya pilihan lain
kecuali segera larikan diri menghindari pertemuan
dengan Dungu Dipo.
"Aku harus melumpuhkannya dari belakang, supaya
ia pingsan dan buru-buru kuberi minuman tuakku!" pikir
Suto Sinting dalam pelariannya. Tapi ternyata pelarian
itutidak dibiarkan oleh Dungu Dipo.
"Ggrrrraaw...!"
Suara geramnya makin keras dan menyeramkan.
Dungu Dipo melesat mengejar Suto Sinting, sehingga
mereka saling kejar. Kecepatan geraknya pun lebih
tinggi dari kecepatan aslinya. Rupanya pengaruh 'Racun
Murka' bukan hanya dalam jiwa yang menjadi buas saja,
melainkan kekuatan tenaga dalamnya pun menjadi
berlipat ganda. Buktinya sambil mengejar Suto, Dungu
Dipo melepaskan pukulan tenaga dalamnya berulang-
ulang dari jenis pukulan-pukulan dahsyat. Tak heran jika
pepohonan banyak yang hancur dan tumbang diamuk
pengaruh 'Racun Murka' yang membuat Dungu Dipo
bagaikan orang gila.
"Apakah Palupi menjadi gila juga karena pukulan
beracunnya Hantu Tari"!" pikir Suto Sinting kala ia
bersembunyi di balik pohon besar berbatang pipih,
menyerupai bilik-bilik dinding.
"Tak ada salahnya jika ia kulumpuhkan dulu
walaupun terluka, tapi harus segera kutolong agar
nyawanya tak telanjur melayang. Hmm... sebaiknya
kugunakan jurus 'Mabuk Pelebur Gunung', setelah itu
harus buru-buru kuberi tuak. Tapi... apakah itu tidak
berbahaya" Oh, jangan! Jurus itu berbahaya. Selain
dapat membuatnya biru legam dengan rambut rontok
semua, dalam waktu singkat ia akan mati. Tuakku belum
tentu bisa bekerja lebih cepat melawan kekuatan jurus
itu dan 'Racun Murka' di dalamnya."
Selagi Suto berpikir, tiba-tiba ia mendengar suara
jeritaseorang wanita.
"Aaaah...!"
Suto tersentak kaget. "Itu suara Palupi! Ya, pasti
Palupi!" Dan Suto pun segera sentakkan kaki,
pergunakan ilmu peringan tubuhnya untuk melesat
dengan cepat melebihi anak panah. Zlaaap...! Dalam
sekejap ia sudah berada di tempat yang datar, di sana ia
melihat Palupi sedang dikejar-kejar Dungu Dipo.
Bahkan sebuah pukulan bertenaga dalam tinggi
dilepaskan oleh Dungu Dipo ke arah punggung Palupi
yang berlari-lariketakutan itu.
Claap...! Sinar merah dari tangan kiri Dungu Dipo melesat
cepat menghantam Palupi. Tapi Pendekar Mabuk
bergerak lebih cepat lagi dengan menghantam sinar
ungunya yang keluar dari dua jari. Kedua jari itu
mengeras, ditempelkan di dahi, lalu disentakkan ke
depan dan keluarlah sinar ungu yang menghantam sinar
merah dari tangan Dungu Dipo. Zlaaap...! Duaaar...!
Jurus 'Turangga Laga' telah mematahkan jurus mautnya
Dungu Dipo yang hampir-hampir mencelakakan Palupi.
Gadis gila itu hanyamenjerit ketakutan dengan tubuh
terlempar jatuh di semak-semak ketika ledakan itu
terjadi dengan keluarkan gelombang hentakan cukup
kuat. Sedangkan Dungu Dipo sendiri terkapar karena
terjengkang ke belakang disentakkan oleh angin ledakan
tersebut. Suto Sinting buru-buru menyambar Palupiyang
sedang berdiri dari jatuhnya sambil mencaci Dungu
Dipo, "Dasar orangtua kampret!" Wuuut...! Tubuh gadis itu
terasa terbang dalam sekejap, ia sempat gelagapan dan
terbengong-bengong ketika sudah berada di balik pohon
besar. "Diam! Jangan bicara apa pun! Orang itu sedang
mencarimu!" sambil telunjuk Suto dirapatkan di bibir
gadis gila yang sebenarnya berbentuk indah menawan


Pendekar Mabuk 030 Tandu Terbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hati itu. Tapi si gadis gila mengangguk-angguk, seakan
memahamikata-kata Suto sambil berseru,
"Orang itu harus dibunuh biar tak bisa jalan lagi!"
"Ssst...!" bentak Suto mendesis. "Disuruh diam kok
malah bicara dengan suarakeras."
"O, Iya. Aku lupa!" kataPalupi dengan berbisik. "Eh,
Kang... ke mana saja kau" Aku mencarimu ke mana-
mana ingin mengajakmu bercumbu. Akhirnya aku
bercumbu dengan pohon! Tapi...tak ada enaknya."
Kata-kata itutak dihiraukan oleh Suto, dianggap kata-
kata gadis gila yang tidak muncul dari lubuk hatinya.
Suto memaklumi kata-kata itu, walau sebenarnya tak
pantas jika diucapkan gadis seusia Palupi seandainya ia
waras. Rupanya suaraPalupitadi didengar oleh Dungu Dipo,
sehingga pohon besar itu pun diserangnya dengan
pukulan tenaga dalamnya yang dahsyat. Wuus...!
Blegaaar...! Pohon itu hancur. Tapi tubuh Palupi sudah
disambar Suto untuk pindah tempat dengan kecepatan
tinggi. Seandainya tidak, sudah pasti tubuh mereka
hancur berkeping-keping seperti pohon besar itu yang
juga hancur berkeping-keping tak berbentuk bekas
pohon sama sekali.
Gerakan pindah Suto membawa Palupi diketahui oleh
mata Dungu Dipo. Maka Dungu Dipo mengerang kuat-
kuat dengan suara mirip manusia hutan yang liar, lalu
kedua tangannya disentakkan ke depan dan melesatlah
dua sinar hijau besar dari keduatangan itu. Wooos...!
Suto Sinting sentakkan kakinya dengan tangan kanan
menyambar pinggang Palupi yang menjerit-jerit
ketakutan. Tahu-tahu tubuh Palupi sudah ada di atas
pohon bersama dengan Suto. Dan dari sana Suto
lepaskan pukulan bersinar hijau pula yang langsung
kenai tubuh Dungu Dipo dan membuat orang tersebut
terpental, memuntahkan darah segar dari mulutnya, lalu
terkapar tak berkutik. Sedangkan sinar hijaunya tadi
menumbangkan empat pohon dalam keadaan terpotong-
potong menjadi beberapa, bagian.
"Aaa...!" Palupi jatuh dari pegangan Suto, tergelincir
saat mencoba berdiri sendiri di atas dahan. Suto Sinting
segera turun menyambarnya kembali. Tapi ia segera
terkejut ketika melihat tubuh Dungu Dipo ada yang
menyambarnyapergi.
* * * 5 SEKELEBAT bayangan yang sempat dilihat Suto
menyambar tubuh Dungu Dipo tampak seperti seseorang
yang pernah dikenalnya. Rasa penasaran Suto
membuatnyaterpaksa mengejar orangtersebut.
"Pakaian hitam seluruhnya, sepertinya pakaian
Siluman Tujuh Nyawa!" pikir Suto setelah tiba di suatu
tempat dan merasa kehilangan jejak. "Apakah benar
orang yang menyambar tubuh Dungu Dipo adalah
Durmala Sanca, atau Siluman Tujuh Nyawa"! Jika
benar, untuk apa dia membawa pergi Dungu Dipo dalam
keadaan terluka parah" Ya, Dungu Dipo pasti terluka
parah, selain oleh 'Racun Murka' juga oleh pukulanku
tadi. Tapi jika yang menyambarnya Siluman Tujuh
Nyawa, mengapa aku tidak melihat sekilas tongkat El
Mautnya?" Suto Sinting berkelebat ke utara, kembali ke selatan,
lalu ke timur dan segera ke barat. Tapi bayangan hitam
yang menyambar Dungu Dipo tidak terlihat. Tubuh
Dungu Dipo sendiri juga tidak tampak jejaknya. Tak ada
tetesan darah. Padahal semestinya Dungu Dipo
memuntahkan darah segar karena terkena pukulan
bertenaga dalam cukup besar. Tidak cukup satu kali
Dungu Dipo memuntahkan darah, pasti akan berulang
kali. Tapi ternyata darah itu tak kelihatan tercecer di
beberapatempat yang dilacak Suto.
"Sial! Cepat sekali gerakan si bayangan hitam tadi.
Jangan-jangan memang benar, Siluman Tujuh Nyawa
yang membawanya pergi dan masuk ke alam gaib"! Ah,
sudahlah! Biarkan dulu si Dungu Dipo. Aku perlu
menanyakan beberapa hal kepada Palupi! Gadis itu
hampir saja cedera karenatingkahnyayang membuatnya
jatuh dari pohon. Untung segera berhasil kusambar
kembali!" sambil menggumam begitu, Suto Sinting
bergegas kembali ke tempat di mana ia tinggalkan si
gadis gila itu.
Tetapi alangkah kecewanya hati Pendekar Mabuk
setelah sampai tempat semula, ternyata Palupi sudah
tidak ada di tempat. Matanya memandang sekeliliing,
bahkan sempat naik ke atas pohon dan memeriksa alam
sekitar dari sana. Gadis gila itu tidak terlihat sedang
melarikan diri ke suatu tempat. Suto Sinting menjadi
cemas dan berkata dalam hatinya,
"Jangan-jangan dia ikut dibawa lari oleh Siluman
Tujuh Nyawa" Ah, kacau sekali pikiranku. Mereka
lenyap begitu saja, seperti ditelan bumi. Apakah benar
orang berpakaian serba hitam tadi adalah Siluman Tujuh
Nyawa" Belum tentu juga! Siapa tahu orang lain. Tapi
apakah orang lain itu yang membawa pergi gadis gila"
Atau... atau gadis gila itu pergi sendiri entah ke arah
mana" Apakah ia menyusulku" Ah... dasar gila!" Suto
Sinting mendesah jengkel sendiri. Lalu untuk menahan
rasa jengkelnya, iameneguk tuak beberapa kali.
Sambil melangkah mencari Palupi, Suto Sinting
menggerutu dalam hatinya,
"Benar-benar sial nasibku hari ini! Belum mengorek
keterangan tentang rahasia Pedang Kayu Petir dari
Palupi, eh... sudah lenyap lagi. Aku jadi semakin
penasaran dengan gadis itu. Pasti dia memegang kunci
rahasia pedang pusaka tersebut. Sayang saja dia tidak
waras, jadi tak bisa dikendalikan gerakan dan terutama
otaknya. Kalau saja dia gadis yang waras, sudah pasti
bisa kuajak kerjasamamenemukan Pedang KayuPetir."
Angin berhembus ke arah barat. Ke arah itu pula Suto
Sinting bergerak, karena ia membayangkan Bukit
Tungkai dan gua tempat menyimpan Pedang Kayu Petir.
Tetapi tujuan utamanya saat itu adalah mencari Palupi,
dan dugaannya mengatakan bahwa Palupi tinggal dan
bersembunyi di gua yang ada di Bukit Tungkai itu. Besar
kemungkinan Palupi ketakutan menghadapi serangan
dahsyat dari Dungu Dipo, sehingga ia melarikan diri ke
gua di Bukit Tungkai untuk bersembunyi.
Ternyata perjalanan ke Bukit Tungkai pun memakan
waktu tidak sebentar. Sampai malam tiba, Suto belum
menemukan ciri-ciri Bukit Tungkai. Akhirnya ia
bermalam di sebuah desa, menumpang di rumah seorang
pemilik kedai yang ternyata masih punya hubungan
saudara dengan Ki Rosowelas, pemilik kedai yang
pernah menampungnya ketika dalam perjalanan ke
Gunung Keong Langit, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode :"Bandar Hantu Malam").
Esoknya, perjalanan diteruskan dengan bumbung tuak
telah kembali terisi penuh tuak pilihan. Bumbung itu
agak berat, tapibukan masalah buat Suto karena iasudah
terbiasa membawa bumbung berisi penuh tuak. Jika
bumbung penuh tuak, hati Suto menjadi tenang dan
gembira, karena ia bisa menikmati tuak kapan saja ia
inginkan. Salah satu kehebatan Suto Sinting adalah tidak
pernah merasa mabuk walaupun meminum tuak dua
bumbung sekaligus. Bagi Suto Sinting, lebih baik ia
terlambat makan daripada terlambat minum tuak. Tanpa
meminum tuak setengah hari saja tubuh Suto akan
merasa lemas dan pegal-pegal.
"Seharusnya," pikir Suto sambil melangkah, "Jika
Palupi pulang atau bersembunyi di Bukit Tungkai, ia
pasti akan bermalam di desa itu tadi. Ia pasti akan
kemalaman di perjalanan. Tapiternyata gadis gila itu tak
ada di sana, dan beberapa penduduk yang kutanyai
merasa tidak melihat gadis gila masuk desa itu. Lantas
lewat mana Palupi pergi ke Bukit Tungkai" Atau
barangkali ia pergi ke arah lain yang justru berbeda arah
denganku?"
Melewati kaki bukti cadas yang tak seberapa tinggi,
langkah Suto menjadi terhenti dan matanya memandang
ke atas bukit. Pendekar Mabuk sedikit terperangah
melihat seseorang sedang bertarung di atas bukit
bertanaman jarang itu.
"Sepertinya itu Hantu Tari"! Apakah ia telah berhasil
sembuhkan lukanya" Lalu siapa yang diajaknya
bertarungkali ini?"
Pendekar Mabuk kerutkan dahi, merasa heran dengan
lawan yang diserang oleh HantuTari. Dengan cepat Suto
Sinting naik keatas bukit dan mencaritempat berlindung
bagi dirinya. Karena kali ini ia melihat sesuatu yang
aneh, HantuTari bertarung melawan seseorang yang ada
di dalam tandu. Tandu itu bisa bergerak ke sana-sini dan
keluarkan pukulan atau lepaskan senjata rahasia.
"Itukah yang dimaksud Tandu Terbang"!" pikir Suto
dari persembunyiannya.
Tandu itu berukuran kecil. Tertutup kain merah satin
yang mengkilap dengan hiasan rumbai-rumbai benang
kuning pada tepiannya. Tandu itu mempunyai empat
tiang pemanggul, depan dua belakang dua. Kayu
pemanggul itu berwarna hitam dengan ukuran gambar
badan dan kepala naga. Jadi tandu yang pantasnya milik
seorang ratu itu seperti disangga oleh empat ekor naga.
Atapnya berbentuk lengkung tapi mempunyai lubang
sebesar buah sawo. Ada enam lubang yang mengelilingi
atap berlapiskain satin mengkilap warnamerah itu.
"Kurasa yang ada di dalamnya hanya satu orang,
karena tandu itu tak akan cukup untuk dua orang," pikir
Suto. "Pasti orang itu dalam keadaan duduk, karena
atapnyatidak begitutinggi. Jika orang di dalam tandu itu
berdiri, pasti orang itu bertubuh cebol. Hmmm... raja
mana yang ada di dalam tandu itu" Bangsawan mana
yang mempergunakantandu tanpa pemikul itu" Pintu tak
ada, jendela tak ada, tapi orang di dalam tandu agaknya
bisa melihat gerakan Hantu Tari, sehingga bisa hindari
serangannya. Hebat juga ilmu orang tersebut. Oh, ya...
apa benar dia yang ada dalam tandu itu murid Pendita
Arak Merah dari Tibet" Jangan-jangan Pendita Arak
Merah sendiri yang duduk di dalam tandu itu?"
Hantu Tari mulai terdesak oleh gerakan Tandu
Terbang yang mampu melesat dengan cepat menerjang
lawannya. Sebilah pedang tiba-tiba keluar dari dalam
ukiran kepala naga. Sraak...! Pedang itu bagaikan
muncul dari mulut naga, yaitu kayu pemikul sebelah
kanan depan. Seolah-olah kayu itu sebagai pengganti
tangan kanan si penghuni tandu. Kayu pemikul itu bisa
bergerak sendiri ke atas atau ke bawah, bahkan agaknya
bisa pula bergerak ke samping kanan-kiri. Gerakannya
itu memungkinkan pedang tersebut mampu menebas
lawan kapan saja.
Ketika Tandu Terbang melayang dengan pedangnya,
Hantu Tari menangkis menggunakan trisula emasnya.
Trang...! Lalu kakinya menendang bagian bawah kayu
pemikul. Daahg...! Tendangan bertenaga dalam tinggi itu
membuat tandu berjungkir balik di udara, tapi tak
membuat rusak keadaan penutupnya. Penghuni tandu
pun tidak terlempar keluar dan, ketika diam di tempat,
tandu itu sudah dalam keadaan sepertisemula.
Kedua kayu pemikulnya menghadap ke arah Hantu
Tari. Keadaan tandu itu tidak menyentuh tanah,
mengambang di udara tanpa bergerak, seakan menunggu
serangan lawan selanjutnya.
"Jika bukan orang berilmu tinggi yang ada dalam
tandu itu, tak mungkin ia bisa gerakkan tandu itu dan
diam dalam keadaan melayang di udara," pikir Pendekar
Mabuk. "Benar-benar tinggi ilmu si penghunitandu itu.
Sri Maharatu pun kalah tinggi ilmunya dengan orang
dalam tandu. Aku yakin, pasti Pendita Arak Merah
sendiri yangmenghunitandu tersebut."
Tiba-tiba terdengar suara Hantu Tari berseru, "Aku
tak peduli dengan ancamanmu, Tandu Terbang! Apapun
tuduhanmu tak akan kubantah untuk memohon ampun
darimu! Apa keinginanmu akan kulayani sekarang juga,
Tandu Terbang! Memang dulu aku punya kekasih orang
Lumpur Maut, tapi bukan berarti aku orang Lumpur
Maut! Dan percintaan usangku itu tak pernah kuingat-
ingat lagi, walaupun kau bernada cemburu kepada bekas
kekasihku itu!"
Hantu Tari diam, masih dalam keadaan sigap, kuda-
kudanya kokoh dan trisulanya terangkat di atas kepala
dengan arah ujung tiga mata trisula lurus ke depan.
Kapan saja siap lepaskan serangan kepada lawannya.
Setelah diam beberapa saat, Hantu Tari kembali
berkata, "Itu bukan urusanku! Urusanku dengan Windu
Jati adalah urusan cinta, bukan urusan perguruan, bukan
pula urusan kekuasaan di Lumpur Maut! Tapi kalau kau
masih penasaran denganku, kutunggu seranganmu
sekarang juga, Tandu Terbang! Jangan sangka aku
merasa jera dan takut menghadapimu!"
Suto Sinting berucap dalam hatinya, "Sepertinya
Hantu Tari berbicara dengan seseorang. Tapi tak
kudengar percakapan lawan bicaranya itu"! Apakah
orang yang ada di dalam tandu merah itu yang bicara
pelan kepadanya" Begitu pelannya, sampai-sampai
hanya dia yang mendengar perkataan orang dalam
tandu?" Terdengar lagi suara Hantu Tari berseru, "Windu Jati
telah mati! Mengapa kau persoalkan lagi dengan diriku"
Aku sudah bukan kekasihnya orang Lumpur Maut! Kala
aku tadi menyerangmu, karena dulu kau pernah lukai
punggungku dengan pedangmu itu, Tandu Terbang.
Sekarang luka itu harus kau bayar dengan kehancuran


Pendekar Mabuk 030 Tandu Terbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tandumu!" Hantu Tari mulai meliuk-liuk memainkan jurus mirip
orang menari. Sesekali ia berseru bagai menjawab
sebuah pertanyaan atau membantah sebuah tuduhan.
"Ya. Akan kuhancurkan tandumu itu supaya kutahu
persis wajah pengecut yang selalu bersembunyi di balik
tandu yang mirip kandang ayam itu!"
Wuuut...! Tiba-tibatandu merah itumelayang terbang
dengan cepat. Pedang di kayu pengusungnya itu
bergerak menoreh dada Hantu Tari. Tetapi dengan
lincah, Hantu Tari sentakkan kaki dan melenting di
udara, bergerak membabatkan ujung trisulanya yang
telah membara seperti besi terpanggang api. Gerakannya
itu bagaikan menukik, kepala di bawah dan trisula
terarah keatap tandu.
Namun belum sempat trisula itu menyentuh atap
tandu, tiba-tiba dari lubang sebesar buah sawo yang ada
di atap tandu itu keluar seberkas sinar putih perak.
Claaap...! Salah satu dari enam lubang di atastandu telah
berhasil menghentakkan tubuh Hantu Tari melalui sinar
putih peraknya. Tubuh tersebut terlempar dengan kuat,
berjumpalitan di udara, lalu jatuh terpuruk bagaikan
kehilangan tenaga. Brruk...!
Wuuusss...! Taab...!
Tandu merah hinggap di pucuk gugusan batu cadas.
Bagian depannya yang masih mengeluarkan pedang itu
menghadap ke arah Hantu Tari. Rupanya sinar putih itu
membuat luka cukup berat di dalam tubuh Hantu Tari
yangtepat mengenai bagian bawah pundak kiri. Luka itu
membiru, bahkan cepat membuat wajah menjadi pucat
bagaikan mayat.
Rupanya Tandu Terbang tak cukup lukai bagian
dalam lawannya. Dari ujung kayu pengusung sebelah
kiri depan melesat kilatan cahaya logam yang mengarah
ke tubuh Hantu Tari. Kilatan cahaya logam itu jelas
senjata rahasia yang membahayakan. Mungkin pula
mengandung racun ganas. Hantu Tari akan mati, atau
cedera berat seumur hidupnya jika terkena logam
berkilat itu. Untunglah sebuah sinar biru bagaikan bintang
melesat dari balik gugusan batu cadas sebelah kanan,
dan sinar biru itu menghantam logam putih tersebut.
Duaaar...! Logam putih itu berhasil dihancurkan oleh sinar biru.
Tandu Terbang bergerak ke kanan, lalu dari kain
penutup yang berwarna merah itu melesat sinar hijau
pendar-pendar berbentuk bola. Wuuut...! Sinar itu
mengarah ke gugusan batu dan ketika menyentuh
gugusan batu besar itu seketika terdengar suara
menggelegar bagaikan guntur menyambar batutersebut.
Glegaaar...! Gugusan batu sebesar anak gajah itu hancur lebur
menyebar ke berbagai arah dalam bentuk serpihan kecil
menyerupai pasir. Sedangkan orang yang diperkirakan
bersembunyi di balik gugusan batu itu tidak kelihatan.
Entah kapan ia pergi dari sana, tapi Suto Sinting tak
melihat adanya gerakan yang berpindah tempat dari
balik batu itu ke tempat lain. Suto pun mencari-cari
dengan matanyayang bergerak nanar. Jleeg...!
Tiba-tiba sesosok tubuh kurus sudah berdiri di
belakang tandu. Sesosok tubuh kurus itu miiik seorang
nenek berambut putih dengan rambut disanggul
sebagian. Wajahnya kempot, kulitnya keriput, matanya
cekung, namun mempunyai pandangan yang tajam.
Nenek itu kenakan jubah merah muda yang sudah kusam
dengan pakaian dalam warna hitam. Nenek itu masih
tegak walau usianya diperkirakan sekitar sembilan puluh
tahun lebih, ia mengipas-ngipas diri dengan kipas warna
hitam bertepian garis kuning emas. Di bagian tengah
kipasnyaterdapat lukisan seekor burung murai.
Rupanya nenek itu mendengar suara lawan bicaranya
sehingga tahu-tahu ia menjawab, "Benar! Tak salah
dugaanmu, Tandu Terbang. Akulah yang bernama Nyai
ParasMurai, guru dari HantuTari!"
Lalu, nenek itu diam beberapa saat bagai mendengar
suara, setelah itu terdengar berkata bagaikan menjawab
sebuah pertanyaan,
"Tak peduli apa urusanmu dengan muridku, tapi aku
tak rela jika muridku kau lukai begitu! Aku berhak
membelanya, TanduTerbang!"
Tandu merah itu bergerak memutar, kini bagian
depannya terarah kepada Nyai Paras Murai. Sang nenek
masih tampak tenang, tak ada kesan gugup atau cemas
sedikit pun dalam wajah tuanya itu. Gerakan
mengipasnya berhenti, kipasnya terkatup dan digunakan
untuk menunjuk lawannya.
"Kau sendiri yang akan hancur jika melawanku,
Tandu Terbang! Sekalipun muridku mudah kau
tumbangkan, tapi jangan harap kau bisa menumbangkan
gurunya pula, Tandu Terbang!"
Claaap...! Tiba-tiba dari mulut naga kayu itu keluar
sinar merah lurus menghantam tubuh Nyai Paras Murai.
Dengan cepat kipas hitam dibentangkan dan menjadi
penangkis sinar merah tersebut. Daaar...! Letupannyatak
begitu dahsyat, namun cukup membuat Nyai Paras
Murai terlonjak mundur dua tindak. Tandu Terbang
segera melesat menyerang nenek itu dengan gerakan
cepat. Sang nenek bersalto di udara dan menendang
bagian atap tandu. Braak...! Tendangan itu
mengguncangkan tandu, namun juga membuat sang
nenek terpental lebih tinggi, ia bagaikan beradu tenaga
dalam dengan lawannya.
Tiba-tiba Tandu Terbang berputar sambil keluarkan
sinar warna-warni dari keenam lubang di bagian
atapnya. Clap, clap, clap, clap...! Sinar itu pun ikut
memutar seolah-olah menyapu tubuh Nyai Paras Murai
yang baru saja jatuh terhentak dari suatu ketinggian.
Nyai Paras Murai tidak diberi kesempatan menyerang
kembali, ia berusaha menghindari sinar-sinar warna-
warni itu dan dibuat terteter oleh serangan Tandu
Terbang. Karena di samping sinar yang keluar dari enam
lubang di bagian atap, Tandu Terbang juga keluarkan
sinar biru berasap tebal dari kedua kayu pengusung
bagian belakang. Sinar biru itu melesat ke arah Nyai
Paras Murai, akibatnya sang nenek berjumpalitan
dengan kebingungan menghindari serangan yang
beruntun dan bersifat mengepungnya itu.
Maka dengan hentakkan kaki di tanah, Nyai Paras
Murai kibaskan kipasnya dari samping kiri ke kanan,
wuuusss...! Tandu Terbang terpental berjungkir balik
karena kibasan kipas itu hadirkan angin kencang yang
menyerupai badai. Dua gugusan batu terlempar ke arah
Tandu Terbang. Jika tandu itu tidak kuasai diri dan
mampu melesat tinggi bagaikan menghindari gelombang
badai yang ada di bagian bawahnya, makatandu itu akan
hancur dihantam dua gugusan batu besar. Sementara itu,
di sisi lain dua pohon tumbang, patah bagian tengahnya
bagaikan dihempas badai berkekuatan melebihi dua ekor
banteng menyeruduk pohon tersebut.
Suto Sinting sendiri hampir saja terpental dari tempat
persembunyiannya jika iatidak segera berpegangan akar
pohon. Untung keadaannya tidak tepat berhadapan
dengan arah berdirinya Nyai Paras Murai. Keadaannya
sedikit menyamping, sehingga hempasan badai yang
melanda tubuh Suto tidak sekuat badai yang
menerbangkan tandu merah itu.
Dalam keadaan terbang tinggi pun tandu merah itu
masih lepaskan pukulan bersinar. Empat sinar merah
melesat bagaikan besi baja yang mengarah kepada Nyai
Paras Murai dan Hantu Tari. Dengan cepat Nyai Paras
Murai selamatkan diri, karena agaknya ia bisa mengukur
kekuatan lawannya yang lebih tinggi dari ilmunya
sendiri. Namun sambil berkelebat menghindari dari
serangan empat larik sinar merah itu, Nyai Paras Murai
menyambar muridnya dan membawanya pergi dengan
kecepatan tinggi. Tandu Terbang merendah, lalu melesat
bagaikan seekor burung mengejar mangsanya.
Pendekar Mabuk keluar dari persembunyian,
memandang ke arah kepergian mereka sambil geleng-
gelengkan kepala. Mulutnya berucap lirih, "Gila! Tandu
Terbang memang berilmu tinggi. Seharusnya ia tumbang
dan jebol karena kipas badai tadi. Tapi ia mampu
melesat terbang tinggi menghindarinya"! Luar biasa
ilmu itu. Aku jadi penasaran, bagaimana kelanjutan
pertarungan itu. KulihatTanduTerbangmasih penasaran
mengejar lawannya. Apakah Nyai Paras Murai mampu
mengimbangi kekuatan itu" Andai tidak, lantas
bagaimana caranya menyelamatkan diri dari ancaman
ganas Tandu Terbang" Ah, sebaiknya kuikuti langkah
mereka ke arah sana!"
Suto Sinting pun segera berkelebat, menggunakan
ilmu peringan tubuh dan jurus gerak siluman yang
mampu berlari dengan kecepatan melebihi badaitadi.
Zlaap...! Zlaaap...!
Tetapi gerakan Suto terhentioleh sebuah pertarungan
yang terjadi di lereng sebuah bukit. Suto terkejut,
perhatiannya lebih tertarik ke arah pertarungan tersebut,
ia bergegas menghampiri lereng bukit itu dan
memperjelaspenglihatannya.
"Dungu Dipo ada di sana" Hmm... siapa orang yang
sedang diserangnya itu?" pikir Suto Sinting sambil kian
mendekati tempat pertarungan Dungu Dipo melawan
tokoh tua berpakaian serba hitam. Rambutnya masih
tampak hitam pekat walau wajahnya mencerminkan usia
di atas sembilan puluh tahun. Tubuh kurus yang
terbungkus baju jubah hitam itu masih mampu bergerak
lincah, walau pada akhirnyaterjungkalkarenatendangan
kaki Dungu Dipo yang mempunyai hentakan tenaga
dalam dan membuat tubuh lawannya terpental sebelum
kakimenyentuhtubuh itu.
"Bahaya! Dungu Dipo masih ganas saja. Pengaruh
'Racun Murka' belum hilang dari jiwanya, ia masih
kelihatan bernafsu membunuh siapa saja, termasuk
lawannya itu. Tapi... bukankah lawannya itu yang tadi
kulihat berkelebat menyambarnya" Pakaiannya hitam,
rambutnya panjang dan hitam, kulitnya pun tergolong
hitam. Jangan-jangan memang orang itu yang tadi
menyambar Dungu Dipo?"
Dalam satu kesempatan, Dungu Dipo melihat
lawannya yang tua terkulai lemas dan memuntahkan
darah dari mulutnya walau tak banyak. Ketika lawan
sedang menunduk terengah-engah dalam keadaan
merangkak mau bangkit, Dungu Dipo lepaskan pukulan
bersinar hijau dari kedua tangannya. Suto ingat, pukulan
bersinar hijau keruh itu sangat berbahaya jika mengenai
lawan, karena pohon besar pun bisa dibuatnya hancur
berkeping-keping.
"'Racun Murka' itu jangan sampai membawa korban
nyawa!" pikir Suto Sinting. Kemudian dengan cepat,
Pendekar Mabuk rapatkan kedua telapak tangan di dada,
lalu kedua tangan itu dalam keadaan tetap merapat
disentakkan ke depan dan dari ujung tangan melesat
selarik sinar ungu yang menghantam kedua sinar
hijaunya Dungu Dipo di pertengahan jarak dengan
lawannya. Claaap...!
Blegaaarrrr...!
Kedua sinar itu pecah menjadi satu cahaya putih
menyilaukan yang berkerilap lebar. Asap hitam
mengepul, membumbung tinggi di udara, lalu lenyap
bersama hembusan angin yang bergerak menuju barat.
Karena sinar hijau tadi masih menyatu dengan kedua
telapak tangan Dungu Dipo, maka ketikaterjadi ledakan
dahsyat yang mengguncangkan beberapa pohon di
sekitarnya, tubuh Dungu Dipo terpental ke belakang dan
berguling-guling. Telapak tangannya menjadi hitam
bagaikan terkena sengatan tajam sinar ungunyaPendekar
Mabuk. Kekuatan gelombang sinar ungu tadi mampu
menembus peredaran darah Dungu Dipo melalui jalur
sinar hijau yang belum putus dari telapak tangannya.
Akibatnya, darah dalam tubuh Dungu Dipo bagaikan
tersontak keluar dari mulut, hidung, dan telinganya, ia
jatuh terkapar sambil menggeram, mengerang-erang
seperti singa sedang sekarat.
"Harus segera kujejali tuak ini supaya nyawanya
tidak copot dari raga!" pikir Suto sambil berkelebat
menuju tempat Dungu Dipo terkapar.
Tapi di luar dugaan, sinar biru datang menghantam
betis Suto dari arah belakang. Claap...! Dess...! Brruk...!
Suto Sinting jatuh tersungkur karena kakinya bagaikan
hilang seketika itu. Tak ada urat yang mampu digunakan
untuk berdiri. Kaki kiri itu bagaikan lumpuh, tapi kaki
kanannya tidak. Dengan menggunakan kaki kanan Suto
Sinting berusaha bangkit dan memandang ke belakang,
ternyata pukulan sinar biru itu datang dari si tokoh tua
berpakaian serba hitam yang tadi nyawanya
diselamatkan Suto dari ancaman sinar hijaunya Dungu
Dipo. Tentu saja Suto Sinting menjadi geram dan
jengkel, karena orang itu bukannya berterima kasih
padanya, melainkan justru menyerangnya.
"Mengapa kau menyerangku, Pak Tua"!" sentak Suto
ketika orang berpakaian serba hitam itu bergegas
mendekatinya dan ingin lepaskan satu pukulan mautnya
lagi ketubuh Suto.
Mendengar seruan Suto, orang tersebut menahan diri
untuk tidak melepaskan pukulannya. Namun ia
menjawab pertanyaan Suto itu dengan pandangan
angkernya, "Kau membunuh muridku! Dan aku tak rela orang
lain membunuhnya!"
"O, jadi Dungu Dipo ini muridmu?"


Pendekar Mabuk 030 Tandu Terbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya! Dan akulah yang menyambarnya saat ia
bertarung denganmu!"
"Pak Tua..., percayalah, aku tidak bermaksud
membunuh muridmu. Justru aku ingin menolongnya dari
pengaruh 'Racun Murka'kiriman HantuTari itu!"
Pak Tua yang sudah angkat tangannya untuk
disentakkan ke depan itu menjadi diam sesaat.
Tangannya bergerak turun pelan-pelan sambil terdengar
suaranya bagai orang menggumam,
"'Racun Murka'..."! Jadi, HantuTaritelah pergunakan
racun itu untuk serangmuridku"!"
"Periksalah sendiri!"
"Ya, ya...!" orang itu manggut-manggut. "Pantas
ketika kusembuhkan lukanya akibat seranganmu tadi,
tahu-tahu dia menyerangku dengan ganas bagai tak
mengenaliku lagi!"
"Itulah sebabnya aku banyak menghindar, dan
terpaksa melumpuhkannya untuk mengobati racun
tersebut dari jiwanya. Tapi kau lebih dulu membawanya
pergi!" '"Racun Murka'tak ada obatnya!" gertak Pak Tua itu.
"Selama racun itu bermukim dalam jiwa seseorang,
makaorang tersebut akan selamanyamenjadi liar, ganas,
dan tak mengenal siapa-siapa lagi. Selama ini tak pernah
kudengar ada orang sembuh dari 'Racun Murka'. Yang
kudengar orang itu mati karena dikalahkan lawannya,
kadang saudara sendiri atau teman sendiri yang
membunuhnya!"
Suto Sinting sempat tertegun dan bertanya dalam hati,
"Benarkah 'Racun Murka' tak dapat ditawarkan
sekalipun menggunakantuakku?"
* * * 6 TOKOH tua yang ternyata memang gurunya Dungu
Dipo itu mengaku bernama Ki Palaran. Tokoh itu juga
mengenal si Gila Tuak, gurunya Suto Sinting. Tapi
rupanya baru kali ini ia berhadapan langsung dengan
murid sinting si Gila Tuak itu. Ki Palaran sendiri tidak
menyangka kalau Suto ternyata orang yang namanya
sedang menjadi buah bibir kalangan rimba persilatan
sebagai Pendekar Mabuk beraliran putih.
Ketika Suto berhasil sembuhkan diri sendiri dari sinar
birunya Ki Palaran dengan meminum tuaknya, Ki
Palaran sempat merasa heran, karena baru kali ini
melihat seorang lawan yang dapat sembuh dengan cepat
setelah terkena pukulan jurus 'Pelumpuh Jagat' itu.
Bahkan Ki Palaran kian terheran-heran melihat Suto
berhasil lenyapkan 'Racun Murka' dalam jiwa Dungu
Dipo setelah meminumkan tuaknya ke mulut Dungu
Dipo. Ketikaorang tua itu mendengar nama Suto Sinting
dan gelarnya;Pendekar Mabuk, maka rasa heran itu pun
lenyap darihatinya.
"Pantas kalau kau bisa lakukan hal-hal seperti itu,
ternyata kau si Pendekar Mabuk, muridnya Gila Tuak!"
katanya ketika itu, dan Suto Sinting hanya tersenyum
ramah, tanpa kelihatan membusungkan dada atas
kesaktiannya. Hubungan mereka bertiga menjadi baik. Bahkan Ki
Palaran sempat menceritakan siapa HantuTari dan Nyai
ParasMurai itu.
"Paras Murai adalah bekas kekasihku," kata Ki
Palaran agak malu-malu, namun masih kelihatan
ketegasan dan kewibawaannya. "Kami tak jadi
melanjutkan hubungan cintakarenaorangtuakami saling
bermusuhan. Walau sekarang aku dan ParasMurai sudah
sama-samatidak mempunyaiorangtua, namun hubungan
cinta sudah telanjur putus dan sepertinya kami sama-
sama enggan menyambung kembali di usia setua ini."
Dungu Dipo masih bersandar di pohon sambil duduk
melonjor seakan menunggu pulihnya tenaga yang
terkuras habis karena amukannya itu. Sementara Suto
Sinting sendiri masih tampak diam, mengikuti cerita Ki
Palaran yang tentunya punya pengetahuan cukup banyak
di rimba persilatan.
"Paras Murai mempunyai murid Windari, yang
kemudian bergelar Hantu Tari, karena jurus-jurus yang
diajarkan Paras Murai menyerupai sebuah tarian. Hantu
Tari sebenarnya masih ada hubungan saudara dengan
penguasa Muara Singa. Dia adalah adik sepupu Ratu
Purnama Laras, anak dari adik ayahnya Ratu Purnama
Laras, ia diangkat murid oleh Paras Murai sejak berusia
sebelas tahun."
Setelah Ki Palaran berhenti bicara, Suto segera
ajukan tanya, "Lantas, persoalan apa yang membuat
HantuTarimendendam kepada Dungu Dipo?"
"Persoalannya berkait," jawab Ki Paiaran. "Hantu
Tari mempunyai kekasih bernama Windu Jati, orang
Lumpur Maut. Windu Jati diutus oleh penguasa tanah
Lumpur Maut untuk membunuh Ratu Purnama Laras.
Waktu itu, Dungu Dipo sebagai pengawal terdepan sang
Ratu. Dungu Dipo berhasil membunuh Windu Jati yang
kala itu datang bersama rombongannya berjumlah tujuh
orang, di luar rombongannya itu ikut pula Hantu Tari
sebagai pendamping sang kekasih. Melihat kekasihnya
mati di tangan Dungu Dipo, Hantu Tari mengamuk, lalu
berhasil dicederai oleh Dungu Dipo. Sekujur tubuhnya
terbakar dan kecantikannya hilang, kemulusannya pun
rusak, hal itu membuat Hantu Tari sangat sakit hati.
Namun berkat perawatan gurunya, Hantu Tari bisa
kembali seperti sediakala. Kini saatnya ia menuntut
balas atas kekalahannyatempo hari."
"Akutak tahu kalau dia sudah dibekali 'Racun Murka'
oleh gurunya," sahut Dungu Dipo dengan suara parau,
masih malas bicara namun dipaksakan.
Ki Palaran melanjutkan kata, "Tetapi sejak
terputusnya hubungan cinta antara Hantu Tari dan
Windu Jati, tak ada lagi hubungan Hantu Tari dengan
orang-orang Lumpur Maut. Tetapi pada umumnya,
orang-orang Muara Singa masih menyangka bahwa
HantuTari di pihak orang-orang Lumpur Maut."
"Tapi," kata Suto, "Sebelum aku tiba di sini, kulihat
Nyai Paras Murai dan Hantu Tari terlibat pertarungan
dengan TanduTerbang."
Ki Palaran cepat pandangkan mata ke arah Suto,
demikian pula Dungu Dipo, seakan terkejut mendengar
nama Tandu Terbang disebutkan. Bahkan Dungu Dipo
menyatakan sikap tertariknyadengan bertanya,
"Lantas bagaimana?"
"Hantu Tari terluka, dibawa lari oleh Nyai Paras
Murai. Tapi pihakTanduTerbang masih mengejarnya."
Dungu Dipo yang tampak tegang memandang
gurunya, seakan ia ingin mendengar pendapat sang Guru
tentang Tandu Terbang itu. Tetapi karena keduanya
sama-sama diam, Suto pun kembali ceritakan
pertemuannya dengan Batu Sampang.
"Kala itu kutemukan delapan orangnya Batu
Sampang terkapar karena terkena racun dari Tandu
Terbang. Tapi aku berhasil menolong mereka, dan Batu
Sampang mengharapkan kedatanganku ke Muara Singa."
Dungu Dipo menyahut, "Kalau saja kutahu waktu itu
kau adalah Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting,
maka aku tak akan gegabah melawanmu. Karena
memang Ratu Gustiku sangat mengharapkan bisa jumpa
denganmu. Tentunya kalau beliau mendengar aku
menyerangmu, aku akan kena hukum cambuk entah
berapa puluh kali. Sejujurnya kukatakan padamu, bahwa
kau sangat ditunggu-tunggu oleh Ratu Gusti Purnama
Laras." "Apapersoalannya?"
"Tak bisa kuceritakan," jawab Dungu Dipo yang
sejak tadi bicaranya lancar tanpa salah arti. Mungkin
pengaruh dari luapan murkanya yang sudah tercurah
habis tadi, sehingga pikirannya mulai bisa berpikir
dengan benar, mampu menyusun kalimat dengan tepat.
Itu puntidak disadari oleh Dungu Dipo. Sampaikapan ia
dapat berbicara sesuai dengan arti sebenarnya, tak ada
yangtahu. Yang jelas, bila ia dalam keadaan kelelahan ia
mampu bicara dengan arti yang benar. Tapi jika tak
mengalami kelelahan, sepertinya ia tak mampu
menyusun kalimat sesuai dengan maksud hatinya.
Dungu Dipo berkata lagi, "Ada baiknya jika kau
menghadap Ratu Gustiku. Kau akan dihormati sebagai
tamu agung oleh beliau."
"Itu soal gampang," kata Suto. "Tapi aku ingin tahu
lebih dulu, apa hubungan Ratu Gustimu dengan gadis
gila yang bernamaPalupi?"
"Bisa kutanyakan, eh... bisa kau tanyakan setelah kau
bertemu dengan Ratu Gustiku."
"Mengapa kau tak berani menjawab pertanyaanku
itu?" "Takut kurang jelas bagimu. Tapi setahumu..., eh...
setahuku, gadis gila itu tak ada hubungannya dengan
Ratu Gustiku, sebab kami mengetahui gadis itu baru
beberapa hari yang lalu, yaitu ketika ia berteriak-teriak
di depan pintu gerbang mengatakan akan menjual
Pedang Kayu Petir kepada siapa saja yang mau
membelinya. Gadis itu segera diusir oleh penjaga pintu
gerbang. Penjaga pintu gerbang sempat bocor kepalanya
karena dilempar batu oleh gadis gila itu. Ratu Gusti
Purnama Laras mendengar teriakan gadis gila yang
menawarkan Pedang Kayu Petir, lalu menyuruh kami
untuk menghadapkan gadis itu. Tapi... gadis itu malah
lari sehabis melukai kepala si penjaga pintu gerbang.
Kami ditugaskan mencari dan membawanya pulang ke
Muara Singa. Hanya itu yang kau tahu, eh... yang kutahu
tentang gadis tersebut."
"Apakah ceritamu itu bisa kupercaya?"
Dungu Dipo diam sejenak, lalu angkat bahu,
"Terserah padamu. Aku tidak memaksamu untuk
mempercayai ceritaku. Karenanya kusarankan agar kau
temui saja Ratu Gustiku supaya dapat penjelasan lebih
lengkap lagitentang gadis itu dan Pedang Kayu Petir."
Ki Palaran menimpali, "Tak ada jeleknya jika kau
mau menghadap Ratu Purnama Laras. Mungkin banyak
hal yang dapat kau ketahui dari beliau."
"Apakah menurutmu," kata Suto kepada Dungu Dipo,
"Gadis gila itu benar-benar mempunyai Pedang Kayu
Petir?" Ki Palaran yang menjawab, "Namanya saja orang
gila, tentunya celotehnya tidak selalu benar. Lebih
banyak mengacau bagai orang mengigau. Pedang Kayu
Petir sudah bertahun-tahun dinyatakan hilang dari
permukaan bumi. Beberapa orang tokoh sakti tak ada
yang berhasil menemukan pedang itu dalam teropong
indera keenamnya. Kurasa gadis gila itu tak mempunyai
Pedang Kayu Petir. Sebab jika dia mempunyai pedang
pusakatersebut, maka ia sudah menjadi orangterkenaldi
kalangan rimba persilatan. Orang setinggi apa pun jika
melawannya akan tumbang. Kenyataannya sampai
sekarang tak pernah ada berita lagi tentang pedang
pusakatersebut."
Pendekar Mabuk angguk-anggukkan kepala, ia diam
sesaat, setelah itu memandang KiPalaran dan bertanya,
"Apakah KiPalaran tahu siapa orang yang ada dalam
Tandu Terbang itu?"
KI Palaran tarik napas panjang-panjang, setelah itu
baru menjawab dengan suara pelan tapi terdengar jelas
oleh Suto dan Dungu Dipo.
"Tandu Terbang dulu pernah mengamuk dan
membunuh orang-orang yang berpihak kepada Gandar
Soca, penguasa daerah Lumpur Maut yang berjuluk Raja
Tumbal. Menurut kabar, Raja Tumbal pernah berselisih
dengan Pendita Arak Merah dan berhasil membunuh
adik Pendita Arak Merah dariTibet itu. PadahalPendita
Arak Merah mempunyai murid Tandu Terbang dan Sri
Maharatu dari pulau Dadap. Kedua murid ini punya
tugas membalaskan kematian adik Pendita Arak Merah,
sehingga perselisihan pun terjadi antara Raja Tumbal
dengan Tandu Terbang dan Sri Maharatu. Tapi yang
tampak getol menyerang adalah Tandu Terbang. Untuk
beberapa saat Raja Tumbal sempat menghilang dari
rimba persilatan, sehingga Tandu Terbang pun tidak
tampakkan gerakannya. Ternyata Raja Tumbal
menghilang untuk pelajari beberapa ilmu kesaktian yang
dapat mengungguli Pendita Arak Merah. Mungkin
sekarang Tandu Terbang mendengar Raja Tumbal
bangkit kembali, sehingga tugas dari sang Guru pun
harus dikerjakan sebaik-baiknya."
"Tapi mengapa dia punya urusan dengan Hantu Tari
juga"' "Kurasa itu urusan pribadi, atau karena Tandu
Terbang masih menyangka Hantu Tari ada di pihak Raja
Tumbal," jawab Ki Palaran dengan nada bijaknya.
Suto manggut-manggut sebentar, setelah itu berkata
lagi, "Sri Maharatu pernah kulihat wajahnya, tapiTandu
Terbang tidak kulihat wajahnya saat bertarung melawan
HantuTari."
"Tak seorang pun yang pernah melihat wajah orang
dalam tandu merah itu."
"Bagaimana kalau aku menduga, bahwa orang dalam
tandu itu adalah Pendita Arak Merah sendiri?"
KI Palaran terkesiap memandang Suto. Ia sedikit
tegang namun bercampur rasa bangga dalam hati yang
disembunyikan. Dalam gumam lirihnya ia terdengar
berkata datar, "Baru sekarang ada orang yang punya
dugaan seperti itu. Selama ini aku sendiri tak
membayangkan hal tersebut yang menurutku sangat
besar kemungkinannya. Karena semangat
menghancurkan Raja Tumbal begitu besar dan semangat


Pendekar Mabuk 030 Tandu Terbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

biasanya ada di dalam jiwa orang yang merasa dirugikan
pribadinya, misalnya orang yang kehilangan sanak-
saudaranya karenadibunuh Raja Tumbal."
Dungu Dipo ikut terbengong mendengar dugaan
Suto. Ia berkata, "Itu sebuah pemikiran yang bagus
sekali. Tak pernah kudengar ada orang yang mempunyai
dugaan seperti itu. Aku jadi yakin, di dalam Tandu
Terbang itu terdapat sosok seorang guru berilmu tinggi
dari Tibet yang bernama Arak Merah."
"Aku jadi ingin membongkar tandu itu," ujar Suto
Sinting setelah diam dan menerawang beberapa saat.
"Jika tak ada urusan, jangan sekali-sekali
mengganggu TanduTerbang," kataKiPalaran. "Ilmunya
sangat tinggi. Kurasa jika aku harus berhadapan dengan
nya, belum tentu aku bisa menumbangkan si Tandu
Terbang itu. Sebaiknya jangan bikin perkara dengannya,
hindari bentrokan dengan siTandu Terbang."
Dungu Dipo segera menimpali, "Lupakan tentang
Tandu Terbang. Sekarang sebaiknya kau datang ke
Muara Singa. Ratu Gusti Purnama Laras pasti akan
senang hatinya menerima kedatanganmu. Setidaknya
aku akan mendapat penghormatan dari beliau, mungkin
sebuah hadiah, jikaaku datang bersamamu."
Rasa ingin tahu yang ada di dalam hati Suto Sinting
semakin besar, terutama tentang Palupi dan Pedang
Kayu Petir itu. Karenanya, Suto Sinting segera bergegas
mengikuti Dungu Dipo menuju ke negeri Muara Singa
setelah Ki Palaran kembali ke pondoknya di lereng
Gunung Cemara Putih. Harapan Suto, setelah bertemu
dengan Ratu Purnama Laras ia bisa peroleh keterangan
tentangPedang KayuPetir yang sebenarnya.
"Jangan katakan bahwa kau pernah bertemu dengan
gadis gila itu," kata Dungu Dipo. Kata-kata itu membuat
Suto Sinting menjadi heran dan menaruh curiga,
sehingga meluncurlah pertanyaan darimulutnya,
"Mengapa begitu" Apa akibatnya jika kuceritakan
tentang halyang sebenarnyakualami bersamaPalupi?"
"Pokoknya jangan ceritakan soal Palupi. Berlagaklah
pura-puratidak bertemu dengan gadis gila itu. Aku takut
Ratu Gustiku akan menaruh curiga padamu, Suto.
Dikiranya kau telah berhasil memiliki Pedang Kayu
Petir." Suto hanya tersenyum dan manggut-manggut.
Sebenarnya jika Pendekar Mabuk tidak berbelok arah
untuk saksikan pertarungan Dungu Dipo dengan Palupi,
ia dapat jumpai pertarungan hebat antara Nyai Paras
Murai. Tandu Terbang berhasil mendesak Nyai Paras
Murai, sehingga hampir-hampir Hantu Tari hancur
menjadi sasaran pukulan tenaga dalam yang dilancarkan
dari dalam tandu. Untung Nyai Paras Murai cepat-cepat
lindungi muridnya, hingga punggungnya menjadi
sasaran telak sinar putih dari salah satu keenam lubang
di bagian atap tandu.
Jika Hantu Tari menjadi lemas dan tak berdaya
karenaterkenasinar putih perak, maka Nyai Paras Murai
pun hampir-hampir mengalami nasib serupa. Untung ia
segera mampu kendalikan hawa murni dalam tubuhnya,
sehingga darah dan napasnya membaur dengan hawa
murni itu, lalu melawan luka yang ditimbulkan dari sinar
putih perak tersebut. Dalam beberapa saat saja, kekuatan
NyaiParasMurai sudah pulih kembali.
"Keparat kau, Tandu Terbang!" geram Nyai Paras
Murai, lalu ia meletakkan tubuh muridnya yang lemas
itu. Wajah sang murid yang kian memucat dengan bibir
semakin membiru tidak dihiraukan. Nyai Paras Murai
segera bentangkan kipasnya lalu melompat ke arah
Tandu Terbang dengan gerakan bersalto cepat beberapa
kali. Wuuurt...! Kipas dikibaskan, darikibasan itu terpancar sinar biru
menyebar bagaikan kilatan bintang jatuh di waktu
malam. Slaaap...! Sinar itu bagaikan ingin membelah
tandu merah dari atas ke bawah. Biasanya sinar seperti
itu dapat membelah gunung atau pohon sebesar apapun.
Tetapi kali ini agaknya sinar biru itu gagal menunjukkan
kehebatannya. Dari dalam selubung tandu keluar sinar kuning yang
segera pecah dan menyelubungi seluruh tandu.
Akibatnya sinar biru itu tak dapat membelah tandu
bahkan hanya menimbulkan dentuman dahsyat.
Blegaar...! Tubuh kurus NyaiParas Murai pun terpelanting jauh
bagaikan kapas terhempas topan, ia berguling-guling di
kejauhan sana. Tandu Terbang melihat keadaan Hantu
Tari tanpa penjagaan. Maka dengan cepat tandu itu
melayang tinggi dan dari ujung kayu pengusungnya
yang kirikeluar logam putih seperti saat di puncak bukit
cadas itu. Claaap...!
Pantulan sinar matahari menyilaukan, melesat dari
logam putih itu, membuat NyaiParas Murai mengetahui
muridnya dalam bahaya. Maka ia segera menyentakkan
kipasnya dalam keadaan tertutup. Suuut...! Dan logam
putih itu berhenti di udara dalam jarak dua jengkal
sebelum menyentuh dada Hantu Tari. Logam putih itu
Suling Emas Dan Naga Siluman 1 Pendekar Bayangan Sukma 1 Pedang Pusaka Dewa Matahari Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 20
^