Pencarian

Tantangan Anak Haram 1

Pendekar Mabuk 091 Tantangan Anak Haram Bagian 1


Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 JAGO-JAGO dunia berkumpul di kotaraja, yang
merupakan Ibukota dari negeri Bardanesya. Mereka
datang ke negeri Bardanesya bukan sekadar piknik,
namun karena tertarik dengan sayembara yang
dikeluarkan oleh pihak keluarga Istana. Sang penguasa
negeri Bardanesya menyebar pengumuman di seluruh
pelosok dunia, melalui selebaran-selebaran maupun
pariwara dari mulut ke mulut. Entah mulutnya siapa saja,
yang penting pengumuman itu dalam waktu singkat
cepat menyebar dan sampai di telinga para jago dunia.
Isi sayembara itu berbunyi:
Dicari seorang lelaki perkasa
Untuk calon menantu Raja Gundalana.
Syarat-syarat: Berbadan sehat, tanpa penyakit sedikit pun, meski hanya
sebutir panu. Berotak waras, dan belum pernah dinyatakan gila oleh
para perempuan.
Punya rasa tanggung jawab, baik terhadap istri maupun
mertua. Tidak pernah menggunakan obat terlarang, sekalipun
obat nyamuk. ... dan sebagainya... dan sebagainya....
Barang siapa yang memenuhi syarat dan terpilih
melalui ujian penyaringan, akan dinikahkan dengan
putri Raja Gundalana yang bernama:
Rara Ayu Kumala Udarini Sumbi, disingkat RAKUS.
Sayembara ini tidak dipungut biaya, kecuali sumbangan
sukarela berupa gula, teh, kopi, emping, kacang, dan
sebagainya untuk para petugas yang menangani
sayembara ini. Sekali lagi: Sukarela saja. Kalau tidak
suka dan tidak rela, tidak apa-apa. Sekian dan terima
kasih. Bardanesya, 13 Kliwon 4711 SM (Sudah Malam)
Atas nama Ketua Penyelenggara: Pak Nitlyo.
Pendekar Mabuk murid si Gila Tuak dan Bidadari
Jalang, juga membaca selebaran tersebut yang
ditempelkan pada sebatang pohon di hutan perbatasan
negeri tersebut. Senyum si tampan Suto Sinting alias
Pendekar Mabuk adalah senyum orang yang tidak
tertarik dengan pengumuman sayembara tersebut, ia
tetap ingin melanjutkan perjalanannya ke Teluk Sendu.
Ia harus temui Resi Parangkara yang berdiam di
Teluk Sendu, karena ada kabar dari seorang sahabat
yang mengatakan bahwa Puting Selaksa sedang sakit.
Puting Selaksa adalah murid dari Resi Parangkara yang
jatuh hati kepada si Pendekar Mabuk, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Wanita Keramat").
Tapi menurut dugaan Suto, perempuan itu tak
mungkin sakit berat. Bahkan mungkin hanya menderita
rindu saja. Sebab Suto ingat bahwa Puting Selaksa
adalah satu-satunya perempuan yang pernah mendapat
keberuntungan berupa 'gaib kekuatan kasih' yang
dimiliki para dewa, yang bernama 'Rona Dewaji'.
Kekuatan itu membuatnya perempuan muda itu akan
selalu dianugerahi kesehatan, keberuntungan, dan
kebahagiaan. Sekalipun Suto punya dugaan seperti itu, tetapi ia
tetap ingin luangkan waktunya untuk datang ke Teluk
Sendu. Karena bukan hanya Puting Selaksa yang akan
dikunjunginya, melainkan Resi Parangkara dan Manggar
Jingga, murid sang resi juga, merupakan orang-orang
yang disayanginya dan perlu dikunjungi sebagai langkah
silaturahmi yang akan mempererat tali persaudaraan.
"Aku tidak tertarik dengan pengumuman seperti itu,"
ujar Suto dalam hatinya sambil teruskan langkah
tinggalkan pohon berpengumuman tadi. "Bagaimanapun
juga aku tetap akan menikahi calon istriku yang
sekarang masih menunggu di Pulau Serindu. Sayang
sekali musuh utamaku; Siluman Tujuh Nyawa, belum
berhasil kupenggal kepalanya. Kalau saja si manusia
terkutuk itu sudah berhasil kupenggal kepalanya dan
kupersembahkan kepada Dyah Sariningrum sebagai
maskawin untuknya, ooh... alangkah indahnya. Pasti saat
ini aku berada di sampingnya sambil mengelus-elus
kulitnya yang putih, halus, lembut, seperti kulit bayi
itu...." Masa berandai-andai si murid sinting Gila Tuak itu
terputus seketika, karena mendadak ia dikejutkan oleh
ledakan kecil yang datang dari arah barat, lebih
mendekati arah batas wilayah negeri Bardanesya. Suara
ledakan kecil itu diduga sebagai suara pertarungan dua
tenaga dalam. Pendekar Mabuk adalah pemuda yang tak
boleh mendengar suara pertarungan, karena di mana saja
dan sedang apa saja jika ia mendengar suara pertarungan
selalu dihampirinya. Suto adalah pemuda yang hobi
melihat pertarungan, terutama jurus-jurus yang sedang
bertarung itu. Sebab dengan sering melihat jurus-jurus
tersebut, maka dalam benaknya akan penuh
perbendaharaan jurus, sehingga sewaktu-waktu jika
berhadapan dengan salah satu jurus tersebut, ia dapat
segera mengantisipasinya.
Pemuda bertubuh kekar, gagah, dengan baju buntung
warna coklat dan celana putih itu segera berkelebat ke
arah barat. Bumbung tuaknya masih menyilang di
punggung. Tali bumbung menyilang di dadanya yang
bidang. Zlaap, wuuut...! Pendekar Mabuk tahu-tahu sudah
berada di atas pohon berdaun rindang. Lompatannya
nyaris tak terlihat karena selain ia menggunakan jurus
'Gerak Siluman' yang punya kecepatan menyamai
kecepatan cahaya itu, juga menggunakan ilmu peringan
tubuh yang sangat dikuasainya. Tanpa ilmu peringan
tubuh tingkat tinggi, tak mungkin pemuda berambut
panjang lurus sepundak tanpa ikat kepala itu bisa berdiri
di atas dua ranting sebesar kelingkingnya.
"Alih... gila!" gumam Suto pertama kail melihat ke
arah pertarungan.
"Ternyata si pendek; Sawung Kuntet sedang
berhadapan dengan seorang lawan yang sangat tak
seimbang"! Hmmm... nekat sekali si kuntet itu. Sudah
tahu lawannya bertubuh tinggi, besar, seperti raksasa
berwajah kuburan, masih saja dilawannya"! Apa tak
tersayangkan olehnya kalau sampai kaki si orang besar
itu menginjak kepalanya, sudah tentu kepalanya akan
remuk seperti telur asin diinjak kakinya sendiri"!"
Suto Sinting geleng-gelengkan kepala. "Ck, ck, ck,
ck! Benar-benar konyol si kuntet itu. Boleh saja dia
bertarung pakai golok, pakai tenaga dalam, pakai jurus
andalan, tapi mestinya juga harus pakai otak! Mengapa
ia tidak gunakan jurus-jurus jarak jauh saja" Jangkauan
tangannya sangat tak seimbang dengan jangkauan tangan
si manusia raksasa itu! Goblok! Apa dipikirnya dia
punya nyawa cadangan"!"
Sawung Kuntet adalah seorang lelaki berusia sekitar
empat puluh tahun yang berkumis lebat seperti seekor
kelelawar hinggap di bawah hidungnya. Lelaki bertubuh
setinggi perut Suto itu mengenakan baju lengan panjang
warna hijau dan celana warna hitam. Rambutnya botak
bagian tengah, dari dahi sampai ke belakang,
membentuk seperti parit. Suto Sinting mengenal lelaki
itu dalam peristiwa hilangnya kitab keramat milik Eyang
Bintara alias si Geledek Biru, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Kematian Sang Durjana").
Sedangkan lawan si Sawung Kuntet itu adalah orang
yang belum dikenal Suto. Orang itu bertubuh tinggi,
besar, dan berkumis lebat melintang dengan wajah
seangker kuburan keramat. Badannya besar penuh bulu,
dadanya kekar seperti batu gunung. Pakaiannya serba
merah dengan baju tak berlengan dan tak terkancing
bagian depannya. Lelaki berusia sekitar empat puluh
tahun juga itu mempunyai rambut panjang sepunggung,
diurai lepas dan beterbangan ke mana-mana. Tampaknya
ia tak bersenjata, tapi mengenakan sabuk besar terbuat
dari logam kemerah-merahan seperti tembaga.
Sekalipun badannya besar dan tinggi, tapi orang
bergelang akar bahar sebelah kiri itu mempunyai
gerakan cukup gesit dan lincah, ia dapat menghindari
tebasan golok Sawung Kuntet yang sebenarnya
mempunyai gerakan tebas cukup cepat itu.
Sawung Kuntet tampak sulit kenai lawannya. Tak
sedikit pun goloknya menggores tubuh lawan, bahkan
menyentuh kain pakaiannya pun tidak.
Tetapi sekali pancal, kaki orang besar itu kenai
lengan Sawung Kuntet, sehingga Sawung Kuntet
terlempar dan terbanting dengan sangat menyedihkan.
Bruuuk...! "Ngeeg...!"
Jarak jatuh Sawung Kuntet dengan tempatnya di
tendang sekitar tujuh langkah. Orang berwajah angker
itu tidak buru-buru menyerang lagi. Rupanya ia ingin
memberi kesempatan kepada Sawung Kuntet untuk
bangkit dan persiapkan diri kembali untuk lanjutkan
pertarungan secara jantan.
Sawung Kuntet meringis kesakitan sambil menggeliat
bangkit. Pada saat itu, lawannya serukan kata dengan
suara besarnya.
"Sawung Kuntet! Kalau kau masih bersikeras untuk
datang ke kotaraja, aku tak akan segan-segan
membunuhmu sekarang juga!"
Sawung Kuntet biarpun kecil tapi tengil dan konyol,
ia membalas seruan itu dengan kebiasaannya
menggunakan kata 'anu' sebagai pengganti beberapa kata
yang kadang bisa dipahami orang kadang tidak.
"Aku tak akan gentar dengan anu-mu, Singawulu!
Sekali aku tetap ingin ke sana, aku tetap anu! Anu-ku
sangat besar, sehingga aku tak merasa takut jika harus
bertarung dengan siapa pun. Siapa tahu aku bisa menjadi
menantu Raja Gundalana, dan putrinya itu menyukai
anu-ku!" Pendekar Mabuk mencoba berpikir tak jorok. "Apa
yang dimaksud: 'Anu-ku sangat besar' itu" Oh, mungkin,
semangatnya yang sangat besar. Lalu, apa yang
dimaksud dengan kata: 'putrinya menyukai anu-ku' itu"
Hmmm... mungkin maksudnya menyukai penampilannya atau wajahnya. Ah, memang sulit bicara
dengan si Juragan 'anu' itu. Harus hati-hati mengartikan
kalimatnya."
Rupanya antara si Sawung Kuntet dengan orang yang
bernama Singawulu itu sudah saling kenal. Entah
hubungan apa yang terjalin di antara mereka berdua.
Yang jelas, agaknya Singawulu tak menghendaki
Sawung Kuntet mengikuti sayembaranya Raja
Gundalana itu. "Sawung Kuntet! Rupanya kau memang tak pantas
diberi hidup lebih lama lagi! Jika begitu, bersiaplah
untuk mati sekarang juga, Sawung Kuntet!"
Singawulu berjungkir balik, plik-plak dengan kedua
tangannya. Gerakannya sangat cepat dan lincah. Wut,
wut, wut, wut...! Tahu-tahu ia sudah berada di depan
Sawung Kuntet. Tapi sebelum ia lakukan tendangan atau
pukulan, Sawung Kuntet sudah lebih dulu menebaskan
goloknya ke lutut Singawulu. Weess...!
Singawulu lompat ke atas dengan gerakan bersalto
cepat. Tahu-tahu ia sudah berada di belakang Sawung
Kuntet, kakinya menendang ke belakang dengan
kekuatan penuh. Dees...!
"Aahk...!" Sawung Kuntet melayang di udara,
terlempar ke arah depannya sejauh sepuluh langkah.
Wajahnya membentur sebatang pohon, dan pohon itu
adalah pohon yang dipakai bersembunyi Suto Sinting.
Brrrruuus...! "Aaaaaah...!"
Sawung Kuntet memekik keras. Wajahnya berlumur
darah karena hidungnya segera bocor dan bibirnya
jontor. Singawulu yang sudah tak punya ampun lagi itu
segera melepaskan sabuknya. Sabuk yang mirip tembaga
berukir itu segera disabetkan ke udara. Wuut...!
Claap, claap...! Dua berkas sinar biru melesat dari
sabetan sabuk itu. Salah satu sinar nyasar ke pohon lain.
Jegaaar...! Pohon itu hancur seketika dan menjadi
serpihan arang. Sedangkan satu sinar biru lagi mengarah
ke tubuh Sawung Kuntet.
Melihat pohon itu hancur dan menjadi arang, Suto
Sinting yakin betul kalau tubuh Sawung Kuntet pun akan
senasib dengan pohon tersebut.
Suto dengan cepat segera turun dari atas pohon.
Wuuut...! Bumbung tuaknya sudah berpindah dari
punggung ke tangan, ia menghadang sinar itu dan
menahan kecepatan sinar dengan bumbung tuaknya yang
nyaris meleset. Deebs...!
Blaaarr..! Meledak. Biasanya sinar yang ditangkis dengan
bambu bumbung tuaknya itu akan memantul balik dalam
keadaan lebih besar dan lebih cepat. Tapi kali ini sinar
itu justru meledak saat membentur bambu tempat tuak


Pendekar Mabuk 091 Tantangan Anak Haram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Berarti sinar biru Singawulu berkekuatan sangat
besar dan mempunyai kesaktian yang tidak tanggungtanggung.
Ledakan itu membuat Suto Sinting terpental mundur
tiga langkah dan jatuh berlutut satu kaki. Ia buru-buru
bangkit, sebab jari tangan Sawung Kuntet tertindih
lututnya, membuat orang yang masih terkapar itu
semakin merintih kesakitan.
Sedangkan di seberang sana, Singawulu tidak
bergeming karena gelombang ledakan tak mencapai
tempatnya. Namun begitu melihat kemunculan pemuda
berwajah tampan, Singawulu segera kerutkan dahinya
dan menggeram penuh kejengkelan, ia merasa asing
dengan Pendekar Mabuk dan tak menduga kalau
Sawung Kuntet akan ada yang melindungi. Maka,
Singawulu pun segera maju beberapa langkah dengan
melompat satu kali bagaikan seekor kuda nil terbang ke
arah Suto Sinting. Wuuus...! Bluuuk...! Kedua kakinya
menapak ke bumi dengan suara yang mirip nangka jatuh.
"Bangsat dari mana kau, hah"!" bentak Singawulu
kepada Pendekar Mabuk. Tapi yang dibentak tetap
kalem dan tegar, tak merasa gentar sedikit pun.
"Maaf, aku hanya menyelamatkan nyawa sahabatku.
Dia sudah jelas kalah melawanmu. Kurasa tak perlu kau
hancurkan seperti pohon itu, Kawan!" ujar Suto Sinting
dengan nada suara yang bersahabat.
"Kalau perlu kau sendiri akan kuhancurkan dengan
'Sabuk Lidah Dewa'-ku ini!"
Singawulu mengangkat sabuknya, ingin disabetkan,
tapi suara Suto Sinting segera terdengar menahan
gerakan sabuk itu.
"Tunggu, tunggu...! Aku tidak bermaksud
melawanmu, Sobat!"
"Hmmm...!" Singawulu menggeram dengan mata
besarnya memancarkan pandangan yang menyeramkan.
Suto Sinting hanya menggumam dalam hati.
"Gila! Matanya seperti telur bebek lho! Ganas juga
dia. Sabuknya saja bernama 'Sabuk Lidah Dewa'. Ya,
ampuuun... dewa mana yang lidahnya dipotong dan
dibuat sabuk orang ini"! Kasihan amat nasib si dewa
itu." Suara geram Singawulu tak terdengar lagi setelah
Suto berkata, "Kuakui, sabukmu memang sakti dan dahsyat.
Mungkin aku tak mampu melawan kesaktian sabukmu.
Tapi alangkah sia-sianya sabuk sedahsyat itu hanya
dipakai untuk membunuh orang kerdil seperti si Sawung
Kuntet ini"! Tanpa menggunakan sabuk itu kau sudah
bisa mengajarnya dan membuatnya tak berkutik,
mengapa harus menggunakan sabuk pusaka segala"
Simpan saja kekuatan sabuk itu untuk lawanmu yang
lebih tangguh, Singawulu!"
"Dia harus kubunuh supaya tak menjadi perintangku
di kotaraja nanti!"
"Tak perlu. Biar aku yang membunuhnya!"
"Hmmmm...! Ada urusan apa kau sampai mau
membunuhnya" Bukankah kau bilang dia adalah
sahabatmu?"
"Artinya, kalau dia masih nekat mau ke kotaraja,
maka aku yang akan membunuhnya! Kusarankan,
sebaiknya berangkatlah ke kotaraja sekarang juga.
Hematlah tenagamu, karena siapa tahu kau diterima
sebagai menantu raja dan harus lakukan bulan madu
dengan putri raja itu"!"
Singawulu membatin, "Benar juga kata-katanya.
Untuk apa aku melayani si kutu monyet itu" Buangbuang waktu dan tenaga saja!
Hmm... sebaiknya
kutinggalkan saja si kutu monyet itu, biar diurus oleh
sahabatnya yang kurasa ilmunya lebih tinggi dari ilmu si
kutu kuntet itu!"
Pendekar Mabuk merasa lega melihat Singawulu
mengenakan sabuknya di pinggang. Sebelum orang
angker itu pergi, terlebih dulu dia mengancam Pendekar
Mabuk dengan menuding tegas-tegas.
"Baik. Akan kuturuti saranmu. Tapi ingat, kalau
sampai dia masih muncul di kotaraja, maka kau sendiri
yang akan kubunuh!"
"Terserah kemampuanmu! Tapi sebaiknya sekarang
juga kuucapkan selamat jalan padamu semoga usahamu
berhasil!" kata Suto Sinting dengan suara lantang,
menunjukkan tak ada rasa takut sedikit pun terhadap
ancaman itu. Singawulu pergi dengan pamer gerakan cepatnya.
Satu kali lompat jauhnya sekitar delapan langkah.
Sedangkan gerakan lompatnya itu cukup cepat, sehingga
dalam waktu singkat ia sudah hilang dari pandangan
Suto Sinting. Sawung Kuntet ternyata menjadi buta akibat benturan
wajah dengan pohon. Dalam arti, pandangan matanya
menjadi rusak dan tak bisa dipakai untuk melihat dengan
jelas. Di samping itu, sekujur tubuhnya bagaikan remuk
akibat tendangan bertenaga dalam Singawulu tadi. Ia tak
mampu berdiri, namun masih mampu mengerang dan
merintih seperti perempuan mau melahirkan.
Pendekar Mabuk sempatkan diri menenggak tuaknya
beberapa teguk, kemudian meminumkan tuak itu ke
mulut Sawung Kuntet. Hati si Juragan 'anu' itu merasa
lega, karena ia sempat melihat secara samar-samar
bayangan wajah Pendekar Mabuk. Dan ia tahu betul
bahwa Pendekar Mabuk mempunyai tuak sakti yang
mampu obati segala macam luka atau penyakit.
"Makanya... lain kali jangan nakal! Jangan berani
sama orang besar. Akibatnya ya begini ini...," ujar Suto
seperti memberi peringatan kepada anak kecil.
Sawung Kuntet segera sembuh setelah meminum tuak
saktinya Pendekar Mabuk. Rasa sakitnya hilang dalam
waktu singkat. Luka-lukanya pun lenyap beberapa saat
kemudian. Pernapasannya yang semula tersendat-sendat
seperti tagihan hutang, sekarang menjadi longgar.
Badannya pun terasa segar, lebih segar dari saat sebelum
lakukan pertarungan.
"Terima kasih, anu-ku telah kau sembuhkan," katanya
kepada Suto. "Aku menyembuhkan lukamu, bukan anu-mu!"
bantah Suto. "Yang kumaksud memang lukaku telah kau
sembuhkan!" Sawung Kuntet bersungut-sungut. Suto
Sinting menggumam sambil tersenyum geli.
"Untung sinar itu kau tangkis dengan anu-mu, kalau
tidak...."
"Bumbung tuakku yang menangkisnya. Bukan anu-
ku yang menangkis!"
"Iya! Maksudku ya bumbung tuak itu!" bentak
Sawung Kuntet yang sebenarnya berasal dari perguruan
silat aliran putih, namun karena jiwanya yang kasar
maka sepintas ia seperti orang beraliran hitam.
"Kalau tidak kau tangkis dengan anu-mu, sinar biru
itu akan membuatku berkeping-keping."
"Sudah kupertimbangkan sebelumnya! Tapi... siapa
sebenarnya Singawulu itu?"
"Dia bekas wakil ketua anu-ku... maksudku wakil
ketua perguruanku, yang telah pergi dan ber-anu lagi
dengan Nyai Santet Pitu."
"Ber-anu itu apa?"
"Berguru!" sentak Sawung Kuntet.
"Ooo.... Tapi baru sekarang kudengar nama Nyai
Santet Pitu. Siapa dia, Sawung Kuntet"!"
"Nyai Santet anu... adalah perempuan iblis dari
Tebing Teluh. Dia tokoh anu hitam...."
"Aliran hitam, maksudmu?"
"Ya, dan dikenal pula sebagai dukun anu...."
"Dukun cabul, maksudmu?"
"Dukun teluh!" tukas Sawung Kuntet. "Tapi ia juga
tokoh persilatan yang pernah punya anu...."
"Punya anu bagaimana?" potong Suto lagi.
"Punya perguruan! Hanya saja, perguruannya
dihancurkan oleh perguruan lain lima tahun yang lalu.
Nyai Santet Pitu ingin turunkan anu-nya kepada
seseorang...."
"Ilmunya...?"
"Ya. Dan rupanya Singawulu tertarik, sehingga ia
keluar dari anu-ku, lalu...."
"Keluar dari anu-mu"!"
"Keluar dari perguruanku!" geram Sawung Kuntet
dengan jengkel. "Dia keluar dari perguruanku dan
menjadi murid Nyai Santet anu. Dialah satu-satunya
orang yang akan menerima warisan anu dari Nyai anu
Pitu itu."
"Oo... jadi Singawulu adalah pewaris ilmu-ilmunya
Nyai Santet Pitu"! Lalu, mengapa sampai bentrok
denganmu"!"
"Kami ber-anu dalam perjalanan. Maksudku, bertemu
dalam perjalanan. Rupanya dia juga ingin ke kotaraja
untuk mengikuti sayembara raja anu. Dia tahu kalau aku
pun bermaksud mengikuti anu tersebut. Lalu, dia
menganggapku sebagai lawan yang harus di-anu-kan.
Maksudku, disisihkan. Dia tak setuju kalau aku anu ke
kotaraja. Barangkali karena dalam anunya yakin...."
"Dalam anunya itu apa?"
"Dalam batinnya...!" Sawung Kuntet selalu jengkel
jika kata-katanya dipotong atau ditanyakan."... dia yakin
kalau wajahnya lebih buruk dari anu-ku, sehingga..."
"Husy! Yang benar saja, masa' wajahnya lebih buruk
dari anu-mu?" Suto geli sendiri.
"Maksudku, dia yakin kalau wajahnya lebih buruk
dari wajahku, sehingga ia takut kalah saing denganku.
Maka ia bertekad menyingkirkan anu-ku!"
"Menyingkirkan nyawamu, begitu"!"
"Apa lagi kalau bukan nyawaku yang akan
disingkirkan"!" gerutu Sawung Kuntet sambil bersungutsungut. Suto Sinting
tertawa pelan, merasa geli melihat
wajah kecil penuh kumis itu bersungut-sungut seperti
ikan tongkol dalam penggorengan.
"Apakah kau juga anu ke sana, Suto?"
"Ah, untuk apa" Aku tidak tertarik ikuti sayembara
itu." "Tapi jago-jago dunia akan datang ke sana dan menganu sayembara itu. Mereka
pasti akan bertarung, anu
lawan anu!"
Suto tertawa geli. "Apa maksudmu bertarung anu
lawan anu?"
"Satu lawan satu!"
"Oooo..." Suto Sinting habiskan tawanya.
"Aku sendiri sudah siap untuk hadapi mereka dengan
anu-ku!" "Dengan apamu?"
"Dengan ilmuku!" sentak Sawung Kuntet. "Sekarang
aku mau ke sana. Aku tak takut bertemu beradu anu
dengan Singawulu atau yang lainnya."
"Kau tak takut beradu apa?"
"Beradu ilmu!"
"Kusarankan, sebaiknya jangan ke sana, Sawung
Kuntet! Kau akan celaka. Salah-salah kau akan
kehilangan nyawa dan tak bisa beli lagi!" ujar Suto
menasihati dengan gaya konyolnya.
Tapi rupanya Sawung Kuntet tak mau peduli dengan
nasihat Suto Sinting itu.
"Bagaimana kalau aku nekat ke sana"!"
"Aku akan mencegahmu dengan cara apa pun!" jawab
Suto yang membuat Sawung Kuntet diam berpikir.
Hati si juragan 'anu' itu berkata, "Kalau dia yang
mencegahku, pasti aku benar-benar tak akan bisa ke
sana. Hmmm... sebaiknya kupakai anu-ku untuk kelabui
dia." Niat untuk menggunakan anu alias akal, membuat
Sawung Kuntet akhirnya berlagak pasrah dan menurut.
"Baiklah, kuikuti anu-mu tadi. Saranmu, maksudku!
Tapi aku ingin melihat pertarungan di sana. Apakah kau
tetap ingin meng-anu-ku jika aku hanya ingin melihat
pertarungan"!"
"Kalau kau hanya ingin melihat pertarungan,
sebaiknya pergi saja denganku. Aku juga ingin melihat
pertarungan tersebut."
Tak ada pilihan lain bagi Sawung Kuntet, akhirnya ia
setuju untuk pergi bersama Suto ke kotaraja.
* ** 2 LERENG bukit tanpa nama mempunyai hutan
berpohon jarang. Bahkan berkesan tandus. Banyak batu
bertengger di lereng bukit yang tak seberapa tinggi itu.
"Dengan melewati bukit ini, kita akan lebih cepat anu
di perbatasan negeri Bardanesya," ujar Sawung Kuntet
sambil melangkah di samping kanan Pendekar Mabuk.
"Apakah Singawulu juga lewat jalan sini?"
"Kurasa anu," sambil Sawung Kuntet menggeleng.
"Dia tidak tahu jalan tembus lewat sini. Pasti dia lewat
pinggir tepian sungai, karena memang jalan yang anu
lewat pinggiran sungai."
"Rupanya kau sudah sering ke negeri Bardanesya."
"Dulu anu-ku di sana."
"Hahh..."! Anu-mu di sana?"
"Kekasihku!" sergah Sawung Kuntet. "Dulu hampir
setiap tujuh hari sekali aku ber-anu dengan kekasihku."
"Maksudmu bercumbu?"
"Bertemu!"
"O, bertemu...," sambil Suto tersenyum kecil.
"Sayang sekali hubungan kami putus di tengah anu,
sehingga...."
"Putus di tengah anu itu bagaimana?"
"Putus di tengah jalan," jelas Sawung Kuntet. "...


Pendekar Mabuk 091 Tantangan Anak Haram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehingga aku sudah tak pernah datang lagi ke negeri
Bardanesya."
"Sekarang kau sudah punya anak berapa, Sawung
Kuntet?" Lelaki pendek itu gelengkan kepala. "Aku belum
sempat punya anu."
"Jadi kau belum punya anak?"
"Belum sempat punya istri!" tegas Sawung Kuntet.
"O, masih perjaka?"
"Ya, perjaka. Tapi anu-ku sudah tidak perjaka lagi."
Suto Sinting tertawa pelan. "Maksudku, adikku sudah
tidak perjaga lagi. Sudah menikah lebih dulu."
"Oo... kukira yang sudah tidak perjaka adalah anumu."
"Anu-mu, bagaimana?"
"Hmmm, yaaah... itu, anu... kakakmu," jawab Suto
mengalihkan dugaan ngeres.
"Mengapa kau tidak segera menikah saja?" sambung
Suto. "Aku masih malas jatuh cinta," jawabnya dengan
kalem, seakan pria yang dingin terhadap wanita. Tapi
sebenarnya hati Sawung Kuntet sering menangis sendiri,
karena enam belas kali jatuh cinta, tujuh belas kali
ditolak. "Menurutku," kata Suto. Namun baru saja berkata
satu patah kata, tangan Sawung Kuntet mencekal
lengannya dan hentikan langkah mendadak. Wajah
berkumis lebat itu mulai tampak tegang. Ketegangan itu
mengundang rasa ingin tahu Pendekar Mabuk.
"Ada apa?"
"Sssst...!" Sawung Kuntet memberi isyarat dengan
telunjuknya agar Suto tidak bersuara dulu. Ia
menelengkan kepala, melacak sebuah suara yang samarsamar didengarnya.
Lalu ia berbisik pelan, "Tidakkah kau mendengar
suara anu menangis?"
"Anu menangis" Anu menangis itu seperti apa?"
tanya Suto Sinting dalam bisikan pula.
"Maksudku, suara perempuan menangis!"
"O, perempuan menangis"!" Suto Sinting ikut
mempertajam pendengarannya. Dalam kebisuan mereka,
Suto akhirnya mendengar suara rintihan perempuan
secara samar-samar sekali.
"Ya, ya... aku mendengarnya. Tapi dari sebelah mana
suara itu datangnya?"
"Sepertinya dari... dari tempat yang lebih anu lagi.
Maksudku, lebih atas lagi."
Mereka berdua segera mendaki lebih ke atas.
Akhirnya mereka mendengar suara rintihan perempuan
tersebut lebih jelas lagi. Mereka pun segera dekati suara
tersebut. "Ooh..."!"
Ternyata mereka temukan seorang gadis yang
terkapar dalam keadaan sekarat. Gadis itu berusia sekitar
dua puluh dua tahun, raut wajahnya mungil dan cantik,
ia mengenakan pakaian serba kuning. Tapi keadaan
pakaiannya morat-marit seperti habis diperkosa.
Wajah si gadis pucat pasi seperti mayat. Di bawah
lehernya, mendekati belahan dada, terdapat dua lubang
masing-masing sebesar kemiri. Lubang itu melelehkan
darah berwarna merah kehitaman. Luka yang
membentuk dua lubang itulah yang membuat si gadis tak
berdaya dan sebentar lagi akan kehilangan nyawanya.
"Kasihan sekali gadis itu. Anu-nya berlubang!" ujar
Sawung Kuntet setelah terperanjat dan memeriksa lebih
dekat lagi. Suto Sinting buru-buru membuka tutup bumbung
tuaknya, ia mengangkat kepala si gadis dengan tangan
kiri, kemudian tangan kanannya yang menyangga
bumbung tuak itu menuangkan tuak ke dalam mulut si
gadis dengan pelan-pelan. Beberapa teguk tuak
terminum oleh si gadis, sampai gadis itu tersedak dan
terbatuk-batuk. Suto Sinting meletakkan kembali kepala
gadis itu karena merasa lega, sudah ada tuak yang
tertelan oleh si gadis.
"Kau kenal dengan gadis ini?" tanya Suto Sinting
setelah ia sendiri meneguk tuak sebagai pembasah
kerongkongannya. Sawung Kuntet hanya menggeleng,
matanya masih tetap tertuju pada dua lubang di sekitar
dada si gadis. Dua lubang itu mengepulkan asap setelah si gadis
menelan tuak Suto. Makin lama asap itu semakin tebal,
tapi hanya menggumpal di dua lubang yang saling susun
seperti dua kancing baju itu.
Makin lama asap yang menggumpal di dua lubang itu
semakin menipis. Beberapa saat kemudian asap tersebut
hilang, dan kedua lubang itu pun ikut hilang.
Keadaannya menjadi bersih tanpa darah, karena darah
yang sudah telanjur keluar dan membekas di sekitar
lubang tadi ikut menguap setelah si gadis minum tuak
saktinya Pendekar Mabuk.
Gadis itu mulai bernapas dengan normal. Ia justru
terkejut ketika menyadari di sampingnya ada lelaki
pendek berkumis mirip kelelawar iseng itu. Ia buru-buru
bangkit dalam satu sentakan menegangkan.
"Hahh..."!"
Begitu melihat pemuda tampan di sisi lain, ia berlari
dekati pemuda tampan itu. Ia tak tahu bahwa pemuda
tampan itu adalah Pendekar Mabuk yang namanya
sering didengar dari mulut teman-temannya seusianya.
"Tenang, tenang... dia sudah jinak kok! Jangan takut,
dia sahabatku!"
"Ak... aku takut dicakar," ujar si gadis dengan nada
manja. "Kau pikir aku anak macan"!" geram Sawung Kuntet,
lalu bersungut-sungut. Suto Sinting hanya tertawa geli,
namun sengaja buang muka agar tak menyinggung si
juragan 'anu' itu.
Si gadis sempat terbengong tanpa sadar ketika Suto
Sinting sunggingkan senyum kepadanya.
"Siapa kau sebenarnya, Nona" Mengapa sampai
terkapar di sini?"
Saat itulah si gadis terbengong kagum melihat
senyuman yang menurutnya sangat menawan hati itu.
Namun kebengongan itu segera buyar setelah Sawung
Kuntet pindah tempat ke samping kanan Suto Sinting. Si
gadis sempat mundur selangkah melihat Sawung Kuntet
mendekat. Wajahnya berubah dari kagum menjadi
tegang. Sawung Kuntet berkata, "Sepertinya aku pernah
melihat anu-mu! Tapi di mana, ya?"
"Husy! Yang benar saja. Masa' kau pernah melihat
anu-nya?" "Maksudku, pernah melihat wajahnya!" tegas
Sawung Kuntet. Pendekar Mabuk segera pandangi gadis itu.
"Apakah kau pernah bertemu dengan sahabatku yang
bernama Sawung Kuntet ini"!"
Gadis itu gelengkan kepala. "Tapi... tapi guruku
pernah menyebutkan nama Sawung Kuntet kepada
kakakku." "Siapa gurumu?" tanya Suto.
"Eyang Cakraduya," jawabnya dengan jelas.
"Ooo.... Eyang Cakraduya"!" Sawung Kuntet
manggut-manggut. "Aku anu baik dengan beliau. Kalau
begitu, kau adalah murid beliau yang bernama Candu
Asmara itu"!"
"Bukan. Candu Asmara kakakku, sedangkan aku
bernama Mirah Cendani."
"Nama yang cantik sekali," gumam Suto memuji
dengan suara lirih.
Si gadis tersipu dan alihkan pandangan. Kebetulan
pedangnya yang terpental saat pertarungan tadi belum
diambil, maka pedang itu pun diambil dan dimasukkan
ke sarungnya yang ada di pinggang.
Gadis berambut kepang satu sepanjang punggung itu,
kembali memandang Sawung Kuntet setelah orang
Lembah Layon itu ajukan tanya kepadanya.
"Apakah kau yang ikut ke Lembah Layon ketika anuku sakit?"
"Husy...! Yang lengkap kalau bicara! Anu-mu apa
maksudnya?" tegur Suto.
"Guruku! Sebab ketika guruku sakit, Eyang
Cakraduya datang menjenguk bersama anu-nya...
maksudku, muridnya. Dan kalau tak salah gadis inilah
yang kulihat bersama Eyang Cakraduya."
"Ya, memang aku yang ikut Eyang kala ke Lembah
Layon," jawab Mirah Cendani.
Sawung Kuntet menarik tangan Suto hingga jauhi
Mirah Cendani. Ia menyuruh Suto Sinting merendah,
karena ia ingin bisikkan sesuatu. Suto pun menuruti
kemauan si juragan 'anu' itu.
"Setahuku, Eyang Cakraduya adalah tokoh ber-anu
tinggi. Maksudku, berilmu tinggi. Kudengar, kedua
muridnya juga mewarisi ilmu tingginya. Tetapi,
mengapa Mirah Cendani bisa terluka dan nyaris mati"
Pasti dia di-anu oleh seseorang yang anu-nya lebih besar
lagi." "Maksudmu di-anu bagaimana?"
"Dilawan oleh orang yang kekuatannya lebih besar
atau ilmunya lebih tinggi. Dalam keadaan luka bolong
pada anu-nya dan masih bisa bertahan hidup, itu sudah
menunjukkan bahwa dia ber-anu tinggi."
"Hmmm... ya. Lantas apa maksudmu?"
"Tanyakanlah, siapa lawannya. Aku ingin bertanya,
tapi takut ia sepelekan anu-ku. Maksudnya... sepelekan
pertanyaanku."
Suto Sinting manggut-manggut dan tegak kembali.
Mereka segera temui Mirah Cendani yang cemberut
manja karena merasa tersinggung melihat mereka
berkasak-kusuk berduaan.
"Mirah Cendani," ujar Suto dengan lembut. "Kami
merasa kagum melihat lukamu yang menurut kami
sangat berbahaya itu tapi kau masih bisa bertahan hidup
sampai kami tiba. Tolong jelaskan kepada kami,
mengapa kau sampai terluka separah tadi?" tanya Suto.
Sawung Kuntet menimpali, "Tadi kau disembuhkan
oleh Suto Sinting menggunakan anu-nya. Eh,
maksudku... tuaknya."
"O, terima kasih sekali kalau begitu," ujar si gadis
seraya menatap Suto Sinting. "Kalau saja kalian tak
datang dan menemukan diriku, mungkin aku sudah tak
bernyawa lagi saat ini."
"Tadi kulihat dadamu berlubang," kata Suto.
"Ya. Aku terkena senjata 'Garpu Malaikat'-nya si
Tengkorak Tampan."
"Hahh..."! Tengkorak Tampan"!" Sawung Kuntet
terperanjat. "Kau kenal siapa si Tengkorak Tampan itu, Sawung
Kuntet?" tanya Suto.
"Dia orang Pulau Wingit, muridnya si Jahanam Tua,
tokoh sakti yang sukar ditumbangkan!"
"Memang benar. Tengkorak Tampan adalah murid si
Jahanam Tua, tokoh aliran sesat! Tapi si Tengkorak
Tampan pernah lari ketika melawan kakakku! Ilmunya
masih di bawah ilmu kakakku. Kalau saja dia tadi tidak
bertindak curang, aku tak mungkin terkena senjatanya!"
"Apa yang membuat kau bentrok dengan Tengkorak
Tampan"!" tanya Suto.
"Sebenarnya persoalan itu adalah persoalan guruku
dengan gurunya. Tapi kami sebagai murid menjadi ikutikutan bermusuhan dengan
sesama murid. Ketika aku
dan Candu Asmara pulang dari rumah paman kami, tibatiba kami berpapasan dengan
si Tengkorak Tampan.
Kakakku terkena totokannya, dan tak berdaya. Lalu, aku
menghadapi si Tengkorak Tampan sendirian," tutur si
gadis dengan mata mengecil memancarkan dendam.
Lanjutnya lagi, "Setelah ia terdesak oleh seranganku
beberapa kali, akhirnya ia mengangkat kedua tangannya
dan mengaku kalah. Aku tak jadi lanjutkan seranganku.
Namun tiba-tiba ia mencabut senjatanya dan
menyerangku saat aku ingin melepaskan totokan pada
diri kakakku. Aku tak menduga kalau dia ternyata
menyimpan senjata 'Garpu Malaikat' di balik bajunya.
Padahal 'Garpu Malaikat' adalah senjata berbahaya milik
gurunya tak sebanding jika dipakai melawan senjata
lainnya. Maka, ketika aku berbalik ingin menangkis
'Garpu Malaikat'-nya dengan pedangku, senjata itu lebih
dulu melukaiku."
Gadis itu berhenti sejenak, menarik napas dan
menelannya sebagai penahan kobaran api dendamnya.
Setelah itu ia pun berkata lagi dengan suara merdunya
yang enak didengar.
"Aku terpental dan menabrak kakakku. Ujung gagang
pedangku menghantam leher kakakku, tapi justru
membuatnya terlepas dari totokan tersebut."
"Sekarang di mana anu-mu?" tanya Sawung Kuntet.
"Maksudmu... kakakku?"
"Ya. Kakakmu! Di mana dia?"
"Mengejar si Tengkorak Tampan yang lari ke arah
kotaraja. Karena kubilang lukaku tak seberapa parah,
bisa kuatasi, maka ia pun pergi. Tapi ternyata aku tak
bisa atasi lukaku."
"Kau yakin bahwa dia lari ke kotaraja?"
"Dia sendiri yang mengatakan akan mempersembahkan kepalaku dan kepala kakakku
sebagai bukti keperkasaannya dalam melamar putri Raja
Gundalana itu!"
"Hmmmmm...," Sawung Kuntet manggut-manggut.


Pendekar Mabuk 091 Tantangan Anak Haram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu Tengkorak Tampan nanti akan ber-anu
dengan Singawulu!"
"Apakah kau akan menyusul kakakmu, Mirah
Cendani?" "Tidak. Aku yakin kakakku mampu mengatasi si
Tengkorak Tampan. Aku akan mengadukan hal ini
kepada guru."
"Jadi kau mau anu ke Bukit Sutera"!" tanya Sawung
Kuntet, "Ya. Guru harus segera mengetahui kekurangajaran
murid si Jahanam Tua itu! Karena ia hampir saja
memperkosaku sebelum aku buru-buru mencabut
pedang dan nyaris memenggal kepalanya."
Sawung Kuntet menggumam, dan gumam itu
didengar oleh Suto Sinting.
"Setahuku, senjata 'Garpu Malaikat' adalah senjata
yang sangat berbahaya, dapat dipakai membunuh duatiga lawan dalam sekali pakai!"
Suto Sinting memandang Sawung Kuntet dan
berkata, "Temanilah dia pulang dan menghadap gurunya.
Aku akan menyusul kakaknya Mirah Cendani. Jangan
sampai ia menjadi korban senjata 'Garpu Malaikat' itu."
"Baik, aku setuju!" Sawung Kuntet pun berbisik,
"Siapa tahu gadis ini tertarik dengan anu-ku dan...."
"Tertarik dengan apamu?" bisik Suto.
"Wajahku!" geram Sawung Kuntet dengan rasa takut
didengar Mirah Cendani.
Suto tersenyum, Sawung Kuntet lanjutkan katakatanya dengan pelan, hanya Suto
Sinting yang mendengarnya. "Terus terang saja... anu-ku dulu seperti dia.
Maksudku... yang seperti dia kekasihku! Cantik, mungil,
tapi anu-nya besar."
"Apanya yang besar?"
"Keberaniannya."
Melihat mereka berkasak-kusuk lagi, Mirah Cendani
segera berkata dengan nada sedikit ketus.
"Kurasa aku tak perlu pengawal! Aku masih sanggup
tiba di Bukit Sutera dengan selamat tanpa harus dikawal.
Nanti justru aku repot melindungi pengawalku sendiri!"
"Kebetulan aku ada perlu dengan anu-mu. Eh,
maksudku... dengan gurumu," kata Sawung Kuntet yang
sejak tadi diam-diam menikmati sebentuk kecantikan
mungil yang mirip wajah mantan kekasihnya itu.
"Kalau kau ingin bertemu dengan guruku, pergilah
sendiri ke Bukit Sutera, tak perlu bersamaku!"
"Aku... aku lupa jalan menuju ke anu-mu. Hmmm...!
maksudku, lupa jalan menuju ke rumahmu, Mirah
Cendani!" "Kalau begitu kau bisa mengikuti dari belakang. Tak
perlu berjalan seiring denganku!" ujar si gadis.
Sebelum Sawung Kuntet bicara lagi, Mirah Cendani
sudah melesat pergi tinggalkan tempat.
"Lho... sudah anu duluan, ehh... sudah kabur lebih
dulu"!"
"Cepat susul dia!"
Sawung Kuntet tak banyak bicara lagi kepada Suto.
Ia takut kehilangan jejak Mirah Cendani. Maka ia pun
segera mengikuti gadis itu dengan kecepatan gerak
masih lebih tinggi dari gerakan si gadis.
Suto Sinting menuju ke barat, menyusul kakak Mirah
Cendani dengan pergunakan jurus 'Gerak Siluman' yang
mampu mempersingkat waktu. Hati si murid Gila Tuak
sempat menggerutu sendiri dalam perjalanannya.
"Sial! Mengapa aku sampai lupa menanyakan ciri-ciri
kakaknya Mirah Cendani itu"! Kalau begini, mana bisa
kutemukan gadis itu kecuali dalam keadaan sedang
bertarung melawan Tengkorak Tampan. Yang namanya
Tengkorak Tampan saja aku tak tahu ciri-cirinya. Uuh...!
Bodoh amat aku ini"!"
Pendekar Mabuk hanya bisa menahan kedongkolan
dalam hatinya. Namun langkahnya tetap meluncur ke
arah negeri Bardanesya yang baru kali itu akan
disinggahinya. * ** 3 PERBATASAN negeri itu dikelilingi oleh parit besar
yang sengaja digali sebagai perintang masuk ke wilayah
tersebut. Namun ada jalanan lebar yang rata menuju ke
gapura besar yang menjadi pintu gerbang negeri
tersebut. Untuk mencapai pintu gerbang perbatasan yang
letaknya sekitar lima puluh tombak dari parit pembatas,
dibangunlah sebuah jembatan beton selebar delapan
tombak. Di jembatan itu ada enam penjaga bersenjata tombak
dengan ujung tombak macam-macam. Ada yang
ujungnya berupa pedang besar, ada yang berupa trisula,
ada yang ujungnya berupa kapak dua mata, ada pula
yang ujungnya seperti centong nasi, namun tepiannya
sangat tajam, setajam mata pedang. Enam penjaga itu
berseragam hijau-hijau dengan potongan pakaian sama;
baju berlengan panjang dan celana longgar. Ikat
kepalanya berbeda-beda. Ada yang pakai ikat kepala,
ada yang tidak. Wajah mereka pun berbeda; ada yang
tampan, ada yang sedang-sedang saja, ada pula yang
jelek dengan gigi maju ke depan dan mekar bak kipas
pengantin. Orang yang bergigi mekar bak kipas pengantin itulah
yang hentikan langkah Suto Sinting dan menegur dengan
galak. "Mau ke mana kau, Bocah bau kencur"!"
"Mau... mau jualan kencur, Kang," jawab Suto
Sinting sambil nyengir geli.
"Bicara yang benar!" bentak si gigi mekar.
"Kau sendiri juga bertanya tak benar," ujar Suto
Sinting dengan kalem. "Sudah jelas aku mau melewati
jembatan ini, tentu saja aku mau menuju ke kotaraja. Itu
tak perlu ditanyakan. Yang perlu ditanyakan adalah
siapa namaku dan apa keperluanku" Begitu, Kang!"
''Eh, berani-beraninya kau mengguruiku, hah"!" orang
itu bukan saja giginya yang keluar, tapi sekarang
matanya pun seperti keluar karena melotot lebar-lebar.
Temannya yang berikat kepala merah itu menyahut,
"Hajar saja kalau dia macam-macam!"
Mereka berenam segera berdiri membentuk pagar
betis memenuhi jembatan. Mereka berbaris dengan
senjata mengarah ke depan, siap menghujam Pendekar
Mabuk. Rupanya mereka sengaja membuat pagar betis
agar Suto tak bisa menerobos dan melewati jembatan itu.
Pendekar Mabuk hanya tersenyum, ia dapat menduga
keenam orang itu berilmu rendah, karena salah satu dari
mereka ada yang menempatkan kedua kaki berkudakuda lemah. Untuk meyakinkan
dugaannya, Pendekar
Mabuk segera menggunakan jurus 'Sentak Bidadari',
pemberian dari bibi gurunya: si Bidadari Jalang. Jurus
itu hanya berlaku bagi orang yang berilmu rendah. Jika
orang itu berilmu tinggi, maka jurus 'Sentak Bidadari'
tak akan berguna sedikit pun.
Si gigi mekar menggertak lebih dulu, "Pulang dan
jangan kembali ke sini lagi!"
Suto membentak keras, "Minggir...!!"
Wajah-wajah yang dipaksakan angker itu mulai
tampak surut. Jantung mereka berdetak-detak. Bahkan
tadi ketika suara Suto terlontar, ada yang melonjak
karena kagetnya. Ada pula yang membatin, "Aduh,
jantungku pasti copot ini!"
Jurus 'Sentak Bidadari' telah menggetarkan jiwa
mereka, membuat mereka menjadi takut dan berwajah
pucat. Satu demi satu tundukkan kepala secara tak
langsung. Mereka merasa takut, bahkan ngeri melihat
pemuda tampan yang usianya masih di bawah mereka
semua itu. "Beri aku jalan!" kata Pendekar Mabuk dengan tegas,
tapi suaranya tak menyentak sekeras tadi.
Mereka segera menyisih dengan langkah sopan dan
penuh hormat. Mereka melangkah ke pinggiran jembatan
dengan membungkuk-bungkuk seperti ingin memberi
jalan untuk rajanya.
"Silakan lewat, Nakmas!" ujar si gigi tonggos dengan
suara pelan dan senyum canggung.
"Hmm, terima kasih!" ucap Suto Sinting, lalu
melangkah tegak, gagah, dan mantap. Tapi dalam
hatinya ia tertawa sendiri melihat wajah-wajah penuh
ketakutan itu. "Penjagaannya memang cukup kuat. Di sana ada
gerbang perbatasan dan tampaknya dijaga oleh beberapa
orang. Kurasa nanti aku akan menghadapi kesulitan juga
dari mereka," ujar Suto Sinting dalam hatinya, ia
sempatkan diri menenggak tuaknya setelah melewati
jembatan tersebut. Keenam penjaga tadi tak satu pun ada
yang berani memandang Suto secara terang-terangan.
Mereka hanya saling melirik dengan jantung masih
berdebar-debar.
"Kotaraja masih jauh, tapi penjagaannya sudah
seketat ini"!" ujar Suto membatin. "Ada berapa lapis
penjagaan yang harus kulewati nanti" Apakah si
Tengkorak Tampan dan Candu Asmara juga melewati
penjagaan yang berlapis-lapis ini"!"
Langkah Pendekar Mabuk diperlambat, karena
matanya sibuk menghitung jumlah penjaga yang ada di
sekitar gerbang perbatasan. Gerbang itu dibangun
dengan tembok kokoh berwarna putih, mempunyai dua
pilar di kanan kirinya. Tinggi gerbang itu sekitar lima
tombak, dan bagian atasnya ada dua orang penjaga
berpakaian serba hitam bersenjata panah. Sedangkan
enam orang berpakaian hitam lainnya ada di bawah
dengan senjata tak seragam.
Wajah-wajah kedelapan orang penjaga gerbang
perbatasan itu lebih seram ketimbang enam orang di
jembatan tadi. Mereka rata-rata berkumis lebat dan
berusia sekitar empat puluh tahun. Badan mereka pun
tampak lebih kekar ketimbang para penjaga yang ada di
jembatan. Salah seorang dari mereka yang menenteng golok
lebar tanpa sarung sengaja berdiri menghadang langkah
Suto di pertengahan jalan. Golok lebarnya diberdirikan,
bersandar dada kanan. Tangan kirinya melintir kumis
bagaikan sedang melintir sumbu kompor.
"Hei, siapa kau dan apa perlumu datang kemari"!"
tegurnya dengan tak ramah, tapi Suto Sinting
menanggapi dengan senyum ramah dan kalem.
"Namaku adalah Suto Sinting, Paman. Aku ingin ke
kotaraja."
"Hmmm...!" orang itu manggut-manggut angkuh
sambil tetap melintir kumis lebatnya. Kemudian dia
berseru memanggil temannya yang agaknya berkedudukan lebih rendah darinya.
"Gintung, Polo...! Hajar dia!"
Dua orang bersenjata sabit kembar dan trisula kembar
segera hampiri Pendekar Mabuk yang tercengang.
Gintung bersenjata sabit kembar, dan Polo bersenjata
trisula kembar.
"Tunggu dulu!" kata Suto mencoba menahan langkah
kedua orang itu. "Mengapa aku akan dihajar" Apakah
aku melakukan kesalahan"!"
Tetapi pertanyaan itu tak ada yang menjawabnya.
Justru dari arah kanan kiri Suto Sinting segera datang
serangan dari Gintung dan Polo.
Sabit kembar itu disabetkan secara beruntun ke tubuh
Suto Sinting. Namun dengan gerakan menggeloyor
seperti orang mabuk mau jatuh tebasan sabit kembar itu
selalu meleset dari sasaran. Tak satu pun sabetan sabit
yang menggores pakaian Pendekar Mabuk.
Sebuah tendangan cepat dikirimkan oleh Suto.
Wuuut...! Tendangan itu sukar dilihat, sehingga tahutahu Gintung terpental
sejauh delapan langkah.
Wuuuss..! Brrruk...!
"Aaoow..!" pekiknya kesakitan.
Polo segera menyerang dengan trisula kembarnya.
Pendekar Mabuk sempoyongan, sepertinya mau jatuh ke
kiri, tak tahunya justru berada di kanan, ia menggeloyor
terbungkuk-bungkuk dengan pegangi bumbung tuaknya
sebagai penahan tubuh agar tak jatuh ke tanah. Gerakan
yang membingungkan itu membuat Polo sukar
mengarahkan tusukan trisulanya ke tubuh Suto Sinting.
Wut, wut, wut, wut...!
Tiba-tiba Suto berguling di tanah dan kakinya
menyentak ke atas. Wuuut...! Sentakan itu tepat kenai
dagu Polo dengan telak, sampai wajah orang itu
terdongak dan tubuhnya terlonjak ke atas. Kruuk...!
"Ouffh...!" Polo mengerang kesakitan, giginya rontok
dua, gusinya berdarah, ia sempoyongan dan tak bisa
tegak lagi. Zlaap, zlaap...! Suto Sinting bergerak dengan
kecepatan menyamai cahaya. Mereka kebingungan, sulit
mengikuti gerakan Suto dengan pandangan mata. Tahutahu Pendekar Mabuk sudah
melintasi gerbang
perbatasan, berdiri di bagian dalam, dipunggungi
mereka, ia tersenyum di sana sambil membuka tutup
bumbung tuaknya dan menenggak tuak dengan tenang.
"Hei, itu dia anaknya!" seru salah seorang yang ada di
atas pintu gerbang. Mereka berpaling ke belakang dan
terperanjat melihat anak muda itu sudah injakkan
kakinya di tanah wilayah negeri itu.
"Kampret busuk! Keluar kau!" bentak si kumis
melintang dengan melepaskan pelintiran kumisnya.


Pendekar Mabuk 091 Tantangan Anak Haram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Empat orang penjaga menyergap Suto membentuk
kepungan dari empat arah: depan, belakang, kanan, kiri,
dan dua orang yang ada di atas gapura besar itu
merentangkan tali busurnya, siap lepaskan anak panah
ke arah Pendekar Mabuk.
Tapi si murid sinting Gila Tuak itu masih tetap
tenang. Senyumnya berkesan cengar-cengir meremehkan
lawan. Pandangan matanya tertuju ke mata si kumis
melintang yang rupanya sebagai ketua dari kelompok
delapan orang itu.
"Setiap orang yang ingin menghadap Paduka Raja
untuk ikut mendaftarkan diri sebagai calon menantu raja
harus diuji dulu kemampuannya! Kami tidak ingin Gusti
Rara Ayu Kumala Udarini Sumbi mempunyai seorang
suami yang tidak mampu melindungi keselamatan
keluarga istana!"
"Aku tidak bermaksud...."
"Serang!" teriak si kumis melintang memotong katakata Pendekar Mabuk.
Dua anak panah melesat lebih dulu dari atas gapura
besar itu dan menancap di bawah pundak kanan-kiri
Suto Sinting. Jeeb, jeeb...! Disusul dengan lemparan dua
buah pisau dari arah belakang yang menancap di bagian
paha. Jrrub, jruub...!
"Aaakh...! Aooow...!"
Suara teriakan itu bukan berasal dari Pendekar
Mabuk. Pemuda tampan itu tetap berdiri di tempat tak
bergerak sedikit pun. Tapi si kumis melintang justru
menjerit dua kali dan akhirnya tumbang sendiri.
Brrruk...! "Aaaaaaoow...! Aaaaahh...!" si kumis melintang
meraung-raung kesakitan.
Dua orang yang akan menyerang Suto dari kanan kiri
terpaksa hentikan langkah. Mereka terperanjat sekali
melihat ketuanya jatuh dan meraung-raung. Setelah
diperiksa, ternyata si kumis.
"Edan! Kenapa kau, Sagolo"! Siapa yang
melukaimu"!" seru salah seorang dengan wajah tegang.
Suto Sinting mencabut dua panah yang menancap di
bawah pundak kanan-kiri. Srub, sruub...!
Saat itu tubuh Sagolo menyentak dua kali sambil
memekik, "Aah, aahkk...!"
Salah seorang dari dua pemanah itu mendelik bagai
patung ketika melihat Suto Sinting mencabut anak panah
dengan santainya, tapi Sagolo yang merasa kesakitan.
Bahkan kini ia melihat Pendekar Mabuk mencabut pisau
di kedua pahanya dengan tenang. Sreeb, sreeb...! Dan
saat itu pula Sagolo menyentak, dua kali lagi dengan
pekik kesakitan yang diteruskan raungan memanjang.
"Hahk, haahk...! Aaaauuh...!"
"Gila!" gumam orang di atas yang terbengong. "Dia
yang kena panah, dia yang cabut panah, eeh.... Sagolo
yang kesakitan dan terluka begitu"!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum tipis.
Tubuhnya tak merasa sakit sedikit pun. Ketika anak
panah dan pisau dicabut dari badannya, ternyata badan
itu tidak terluka. Tetapi Sagolo tetap terluka hingga
darahnya bercucuran ke mana-mana. Ia digotong ke
tempat bayangan tembok gerbang yang teduh.
"Monyet, babi, kambing, tokek sinting!" makinya
sambil berteriak. "Jangan keras-keras mengangkatku!
Sakit semua, Setan!!"
Mereka tak tahu bahwa saat Suto beradu pandang
dengan Sagolo, saat itulah jurus "Alih Raga' dilancarkan.
Jurus itu dapat memindahkan rasa sakit dan luka yang
seharusnya diderita Suto tapi bisa diderita orang lain.
Dalam kesempatan itu, jurus 'Alih Raga' ditujukan
kepada Sagolo melalui pandangan mata Suto tadi,
sehingga yang terluka dan merasakan sakit adalah
Sagolo sendiri walau yang diserang tubuh Suto Sinting.
Tiba-tiba dari arah timur melesat sekelebat bayangan.
Wuuuuss...! Bayangan itu berasal dari salah satu pohon
yang melintasi atas kepala para penolong Sagolo.
Jleeg...! Sesosok tubuh muncul berdiri tak jauh dari
para penolong Sagolo. Mereka terperanjat saat orang
tersebut perdengarkan suaranya.
"Bukan kalian yang patut menguji ilmu pemuda itu!
Kalian akan mati sia-sia jika masih nekat ingin
menahannya!"
Mereka segera berkasak-kusuk, kejap kemudian
undurkan diri dan merasa takut berhadapan 'tamu' yang
baru datang itu. Suto Sinting berkerut dahi karena
merasa heran melihat sikap mereka yang takut kepada
'tamu' tersebut.
"Siapa dia" Mengapa mereka takut"!" pikir Suto
Sinting sambil pandangi seorang gadis berusia sekitar
dua puluh empat tahun yang mengenakan celana dan
baju buntung warna ungu bintik-bintik putih. Gadis itu
berparas cantik dengan potongan rambutnya yang
pendek. Cepak, seperti potongan lelaki, ia bertubuh
tinggi, sekal, dadanya montok, kulitnya kuning langsat.
Sebilah pedang ada di pinggang yang dililit sabuk kain
merah, sama dengan ikat pinggang Suto Sinting.
Gadis berwajah berhidung mancung dan berbibir
sensual dengan mata bening indah itu sengaja hampiri
Suto Sinting dengan langkah tegas. Tak ada kesan yang
manja dan cengeng pada penampilannya. Suto Sinting
memandangi penuh rasa kagum dan hati mulai berdesirdesir.
Ketika gadis itu berhenti di depan Pendekar Mabuk
dalam jarak tiga langkah, aroma wangi melati tercium
oleh hidung Suto yang bangir. Aroma wangi melati itu
membuat hati Suto Sinting semakin berdebar-debar
indah. "Kurasa kau tak perlu membenci mereka. Tugas
mereka memang menguji setiap tamu yang ingin
mendaftarkan diri sebagai calon menantu Raja
Gundalana!"
"Aku tidak membenci dan mendendam kepada
mereka," ujar Pendekar Mabuk dengan senyum
keramahan menghiasi wajah tampannya.
Sambungnya lagi, "Hanya yang kusayangkan, mereka
bukan orang-orang berilmu tinggi yang patut menjadi
kelompok penguji ilmu lawan. Salah-salah mereka bisa
mati sebagai penguji yang naas!"
"Untuk ukuran di sini, ilmu mereka sudah cukup
lumayan." "Mungkin saja begitu. Tapi kurasa mereka tak harus
lakukan pengujian dengan menggunakan pertarungan.
Sebaiknya dengan cara lain yang dapat dipakai untuk
mengukur ketinggian ilmu para tamu! Misalnya dengan
cara memecah batu atau yang lainnya."
"Itulah kecerobohan atasan mereka," ujar si gadis
tinggi sambil memandang ke arah Sagolo yang masih
dibiarkan terkapar merintih-rintih.
Si gadis dekati Sagolo, Pendekar Mabuk pun segera
dekati Sagolo pula, kemudian menyuruh Sagolo
meminum tuaknya. Gintung dan Polo juga disuruh
minum tuaknya. Mereka menurut walau dahi yang lain
berkerut. Mereka heran melihat tindakan Suto.
"Istirahatlah beberapa saat. Luka kalian akan
sembuh!" ujar Suto Sinting, setelah itu ia pergi
tinggalkan mereka tanpa bicara lagi. Seakan ia tak peduli
dengan keheranan yang akan berkembang di wajahwajah mereka yang akan melihat
kesembuhan secara
ajaib itu. Ia juga tak peduli dengan wajah si gadis yang
terbengong memandanginya.
Pendekar Mabuk teruskan langkahnya menuju
kotaraja. Ternyata kotaraja masih jauh dari gerbang
perbatasan. Sejauh mata Suto memandang, ia belum
temukan tanda-tanda keramaian kota atau rumah-rumah
penduduk. Matahari sudah condong ke barat sejak tadi. Suto
Sinting membatin, "Bisa-bisa sampai kotaraja sudah
malam. Atau mungkin langkahku salah arah"!"
Langkah itu akhirnya terhenti seketika, karena tibatiba muncul seseorang yang
turun dari atas pohon di
depannya. Wuuut...! Jleeg...! Suto Sinting sempat
tersentak kaget, dan secara naluriah tangan dan kakinya
mengambil sikap kuda-kuda pertahanan.
Ketegangan itu segera mengendur setelah Pendekar
Mabuk segera sadar bahwa orang yang turun dari atas
pohon itu adalah si gadis berpakaian ungu bintik-bintik
putih tadi. Rupanya ia sengaja menghadang Suto Sinting
dengan maksud yang masih menjadi tanda tanya besar
dalam hati si pendekar tampan itu.
"Aku sengaja mengganggu perjalananmu sebentar!"
ujar gadis itu tanpa sungkan-sungkan, ia kelihatan tegas
dan rada-rada cuek dalam bersikap. Suto Sinting hanya
sunggingkan senyum tipis sambil pandangannya tak
bergeser dari wajah si gadis tomboy itu.
"Ada yang bisa kubantu?" tanya Suto Sinting bernada
lembut. "Justru aku yang ingin bertanya, mungkin kau butuh
bantuanku?"
"Bantuan tentang apa, misalnya?"
"Mungkin tentang arah ke kotaraja! Kulihat kau telah
salah arah. Mestinya kau membelok ke kiri saat
melewati jalanan menurun tadi."
Suto Sinting tertawa kecil, menertawakan
kebodohannya. "Aku memang orang asing di negeri ini. Kurasa...
kurasa aku memang butuh seorang pemandu."
Gadis itu sunggingkan senyum tipis, seperti gadis
yang angkuh dan melecehkan kebodohan Suto. Tetapi
senyuman tipisnya itu sempat membuat Suto Sinting
hampir menggeragap, karena di sudut senyuman itu si
gadis mempunyai lesung pipi yang menambah
kecantikannya. Lesung pipit seperti itu juga dimiliki oleh
Dyah Sariningrum, calon istri Suto Sinting yang menjadi
penguasa di negeri Putri Gerbang Surgawi, di Pulau
Serindu. Karenanya, desir-desir di dalam dada Suto
berubah menjadi debar-debar yang sempat membuatnya
salah tingkah. "Apakah kau yang bernama Suto Sinting dan bergelar
Pendekar Mabuk?" tanya gadis itu sebelum mereka
melangkah. "Benar. Dari mana kau tahu namaku?"
"Bumbung tuak dan pakaianmu. Juga, tuak saktimu
yang tadi telah membuat luka-luka Sagolo serta dua anak
buahnya menjadi sembuh. Mereka sehat dan merasa
lebih segar dari sebelum meminum tuakmu! Kehebatan
tuakmu itu yang paling utama mengingatkan diriku pada
cerita beberapa sahabatku tentang Pendekar Mabuk."
Malu juga Suto jadinya. Tapi di balik rasa malu itu
bertaburan rasa bangga akan populeritas namanya yang
sampai membekas dalam ingatan gadis secantik itu.
"Boleh kutahu namamu?" Suto ganti bertanya.
"Candu Asmara!" jawab si gadis. Suto Sinting
terperanjat, namun buru-buru ditahan dan disembunyikan, sehingga ia tetap kelihatan kalem.
"Candu Asmara...?" gumamnya sambil manggutmanggut. "Kau pasti murid Eyang
Cakraduya, dan kakak
dari si Mirah Cendani!"
Kini gadis itu yang terperanjat kaget. "Dari mana kau
tahu?" Tawa Suto sengaja dibuat berkesan dingin, ia
memandang alam sekelilingnya sambil menjawab
pertanyaan itu, hingga berkesan tengil.
"Kecantikanmu membuatku ingat tentang murid
Eyang Cakraduya yang punya lesung pipit menggetarkan
hati setiap lelaki."
Gadis itu tampak tersipu, namun masih berusaha
tampil cuek. "Kau... kau kenal dengan guruku?"
"Dengan kekasihmu pun aku kenal," pancing Suto
Sinting. Pancingan itu membuat Candu Asmara menarik
napas seperti menahan kedongkolan.
"Ikuti aku kalau mau ke kotaraja!" ujarnya sambil
melangkah, tapi maksudnya mengalihkan percakapan
yang tadi. Pendekar Mabuk menangkap perasaan tak enak pada
diri gadis itu, terutama setelah menyinggung tentang
kekasih. Entah apa sebabnya, untuk sesaat Suto tak ingin
menanyakannya. Namun ia segera mengikuti langkah
Candu Asmara hingga akhirnya mereka berjalan
berdampingan. "Rupanya kau sudah mengenal seluk beluk negeri ini!
Apakah kau termasuk rakyat negeri Bardanesya?"
"Bukan. Tapi aku sering berkunjung ke kotaraja.
Seorang sahabatku tinggal di sana, dan dia punya
hubungan baik dengan putri Paduka Raja Gundalana
itu." "Pantas para penjaga tadi saling berkasak-kusuk dan
takut kepadanya," ujar batin Suto Sinting. "Kurasa
mereka pernah dihajar gadis ini, sehingga mengetahui
bahwa gadis ini berilmu lebih tinggi dari mereka.
Hmm.... Ternyata kakak si Mirah Cendani lebih cantik
dari adiknya. Aku terkesan sekali dengan sikapnya yang
tegas dan rada-rada galak itu. Dia bisa bikin hatiku
penasaran kalau selalu menjaga keangkuhan sikapnya."
Lamunan dan kecamuk batin Suto dibuyarkan oleh
teguran Candu Asmara.
"Kau akan mendaftarkan diri sebagai calon menantu
Paduka Raja?"
"Oh, hmm... ya, eeh... tidak! Aku tidak punya niat
begitu," jawab Suto agak grogi, lalu segera ingat tentang
tujuannya semua, ia pun ajukan tanya kepada Candu


Pendekar Mabuk 091 Tantangan Anak Haram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Asmara. "Apakah kau sudah bertemu dengan Tengkorak
Tampan?" Langkah si gadis terhenti, mata memandang tajam,
Suto Sinting menjadi salah tingkah. Senyumnya
berkesan cengar-cengir yang tak jelas tujuannya.
"Mak... maksudku... hhmm... maksudku, apakah kau
sudah berhasil menghadang langkah si Tengkorak
Tampan?" "Dari mana kau tahu kalau aku sedang memburu
murid si Jahanam Tua itu"! Kau sahabat si Tengkorak
busuk itu"!"
"Oh, bukan! Hmmm... bukan itu maksudku. Aku...
aku mendengar nama itu dari adikmu: Mirah Cendani!"
Candu Asmara kerutkan dahi. "Kau bertemu dengan
adikku?" "Ya. Kutemukan dia terkapar dalam keadaan sekarat.
Tapi untung aku berhasil menuangkan tuak ke mulutnya.
Sekarang dia sudah sehat dan sedang pulang untuk
menemui guru kalian."
Setelah diam termenung sebentar, Candu Asmara
bergumam lirih, namun sempat didengar oleh Suto.
"Pantas ketika aku kembali ke tempat itu, Mirah
sudah tak ada! Kupikir dibawa pulang oleh Guru"!"
Suto pun membatin, "Jika dia sempat menengok
tempat itu lagi, dan berhasil menyusulku tiba di gerbang
perbatasan, berarti dia mempunyai kecepatan gerak yang
hampir menyamaiku"! Oh, agaknya kata-kata Sawung
Kuntet memang benar; murid Eyang Cakraduya berilmu
tinggi. Tak heran jika Candu Asmara mempunyai
kecepatan gerak yang menyamai gerakanku."
Untuk mengetahui seberapa tinggi ilmu si gadis itu
terutama dalam kecepatan geraknya, Pendekar Mabuk
pun memancingnya secara halus.
"Apakah kita tak akan kemalaman di jalan jika
dengan hanya berjalan biasa begini?"
"Sampai kotaraja bisa tengah malam."
"Bagaimana kalau kita berlari agar bisa tiba di
kotaraja sebelum tengah malam"!"
Gadis itu hanya tersenyum kecil berkesan
meremehkan, karena ia tahu ajakan itu merupakan
tantangan halus dari si tampan. Maka, tanpa menjawab
atau berkata sepatah kata pun, Candu Asmara sentakkan
kaki kirinya ke bumi satu kali. Duuhk...!
Bluub...! Asap mengepul tipis, Candu Asmara
bagaikan lenyap di telan bumi. Suto Sinting
kebingungan sesaat. Setelah memandang ke depan,
ternyata gadis itu sudah berada jauh di depan sana.
"Gila! Kecepatan geraknya seperti melebihi angin
berhembus"! Hmmm... baik, akan kususul kau, Candu
Asmara!" Zlaaaap, zlaaap...! Jurus 'Gerak Siluman' dipergunakan Pendekar Mabuk untuk susul gadis itu.
Kejap berikut, Candu Asmara hentikan langkah ketika ia
merasakan hembusan angin berkelebat di samping
kanan, mendahului langkahnya.
"Edan! Gerakan apa itu hingga bisa mendahului jurus
'Pemburu Badai'-ku"!" gumam hati gadis cantik itu.
Candu Asmara mencoba menyusul gerakan Suto
Sinting, namun tak pernah berhasil, ia hanya bisa berada
tiga langkah di belakang Suto Sinting. Sekalipun
demikian, gerakan itu dianggap oleh Suto sebagai
pemecah rekor bagi gerakan para gadis yang pernah
dikenal Pendekar Mabuk. Angin Betina, saja masih
tertinggal lima langkah di belakang Suto Sinting. Berarti
Angin Betina, gadis yang menyimpan cinta kepada Suto
itu, masih kalah cepat dengan Candu Asmara, walaupun
Angin Betina punya ilmu yang dapat menembus waktu.
* ** 4 HATI Candu Asmara merasa lega mendengar
adiknya dalam keadaan sehat. Nafsu memburu
Tengkorak Tampan tidak sebesar tadi. Bahkan perhatian
gadis itu lebih banyak ditujukan kepada Pendekar
Mabuk. Curahan perhatian batin itu membuat Candu
Asmara juga rasakan debar-debar indah yang sering
membuatnya jengkel sendiri.
Hampir memasuki kotaraja, Pendekar Mabuk sengaja
hentikan langkah disusul langkah Candu Asmara yang
terhenti pula. Gadis itu memandang heran kepada Suto
Sinting. Suaranya terdengar lirih. "Kenapa berhenti?"
"Aku mendengar suara perempuan merintih," jawab
Suto pelan. Candu Asmara diam sesaat, pertajam pendengarannya. Matanya melirik ke arah kiri, pada
gerumbulan semak yang melingkari batu besar. Suara
rintihan perempuan berasal dari gerumbulan semak itu.
Sepertinya ada yang terkapar dan sekarat di bawah batu
besar itu. Suto Sinting berbisik lagi, "Arah pandangan matamu
memang benar. Suara itu dari bawah batu. Hanya saja,
ketinggian semaknya membuat kita tak bisa melihat apa
yang terjadi di bawah batu besar itu."
"Rasa-rasanya bukan rintihan orang menderita," ucap
Candu Asmara dengan membisik. "Sebaiknya tak perlu
kau hiraukan. Kita lanjutkan langkah kita."
"Tunggu sebentar," sergah Pendekar Mabuk sambil
mencekal lengan Candu Asmara. "Aku penasaran dan
ingin mengintainya dari atas pohon itu."
"Ah, sudahlah! Itu tak perlu!"
"Sebentar saja!"
Wuuut...! Tahu-tahu Suto Sinting sudah berada di
atas pohon. Gerakan lompatnya sangat cepat dan
membuat Candu Asmara hanya bisa hempaskan napas
sebagai tanda menahan rasa kesalnya.
"Bandel juga dia!" gerutunya dalam hati. "Masa' dia
tak bisa bedakan suara rintihan kesakitan dengan rintihan
kenikmatan"!"
Pendekar Mabuk melesat dari pohon pertama ke
pohon kedua, dari pohon kedua ke pohon ketiga. Di situ
ia berhenti, mengintai ke bawah, tepat di atas batu besar
tersebut. "Astaga..."!" hati Suto terkejut dan jantungnya
menjadi berdetak-detak.
Ternyata apa yang ada di balik semak dan di bawah
batu besar itu adalah suatu pemandangan yang
menggetarkan gairah kemesraannya. Seorang perempuan
sedang dicumbu oleh seorang pemuda dengan panasnya.
Perempuan itu tampak berusia sekitar tiga puluh
tahun, sedangkan lawan jenisnya berusia sekitar dua
puluh tiga tahun. Tetapi pemuda yang bertubuh gempal
itu tampak masih hijau dalam hal bercumbu, sehingga
butuh bimbingan dari si perempuan yang cukup matang
dalam masalah kencan. Pemuda itu menurut saja ketika
diperintahkan untuk memindahkan kecupannya ke dada
si wanita. Sekalipun pemuda itu masih hijau, tapi
semangatnya tampak tinggi dan menggebu-gebu,
sehingga si perempuan mengerang berkali-kali
menikmati keindahannya.
Candu Asmara akhirnya menyusul Suto Sinting.
Dengan lompatan yang sama seringan tubuh Suto tadi, ia
melesat ke atas pohon dan hampiri Suto Sinting. Daun
dan ranting yang dipijaknya tak sempat bergerak karena
ilmu peringan tubuhnya ternyata cukup tinggi juga.
Suto Sinting nyaris terkejut ketika sikunya
menyentuh daging empuk di belakangnya. Ternyata ia
menyentuh pipi Candu Asmara yang ikut berjongkok di
sampingnya, agak ke belakang.
"Sial!" gerutu Suto Sinting.
"Inikah yang ingin kau intip" Rupanya kau doyan
mengintip orang beginian, ya?"
"Kusangka bukan beginian!"
Mereka hentikan bisik-bisik sesaat karena suara
perempuan yang sedang dicumbu pemuda itu makin
meringkik tinggi manakala si pemuda memagut dada
sekal perempuan itu. Candu Asmara sengaja palingkan
pandangan ke arah lain sambil mencolek lengan Suto.
"Tinggalkan pemandangan itu! Sebentar lagi petang
datang, kita harus sudah tiba di kotaraja sebelum hari
menjadi gelap."
"Sebentar...," ujar Suto Sinting dalam bisikan, ia
memandang tak berkedip adegan hot yang dilakukan
oleh sepasang insan yang sudah seperti bayi baru lahir
itu. Mereka menggelar pakaian sebagai alas berbaring
bagi si perempuan. Tampaknya perempuan itu sangat
menikmati tiap sentuhan hangat yang dilakukan si
pemuda atas perintahnya.
Suto Sinting berbisik tepat di telinga Candu Asmara,
membuat napasnya menyembur hangat di sekitar telinga
gadis itu. "Kau kenal dengan mereka?"
Candu Asmara menjawab dengan nada dingin, "Dewi
Ranjang, seorang janda liar yang selalu memburu
kehangatan pemuda ingusan."
"Dewi Ranjang..."!" gumam Suto lirih. "Lalu, siapa
pemuda yang menjadi pasangannya itu?"
"Rudaya, bocah ingusan, anak Raden Mas
Sastrajingga, salah satu dari lima penasihat Raja
Gundalana."
Suto Sinting menggumam lirih sambil manggutmanggut, pandangan matanya kembali ke
arah kedua insan yang sedang asyik-asyiknya menyerap kenikmatan
bersama itu. Jantung Suto pun kian berdebar-debar saat
melihat Rudaya menuruti perintah Dewi Ranjang.
"Kecuplah ini... kecuplah, Rudaya," sambil
perempuan itu menekan kepala Rudaya agar bergeser ke
bawah. Rudaya pun menurut, kepalanya bergeser ke
bawah dan kecupannya mencapai bagian yang
diinginkan Dewi Ranjang.
"Oouh... nikmat sekali itu, Rudaya. Uuuhhh...!
Hmmmmhhh...!" sambil kedua tangan Dewi Ranjang
meremas-remas rambut pendek Rudaya dan merentang
diri untuk mempermudah gerakan kepala Rudaya.
"Sudahlah! Untuk apa kita tonton lama-lama"!" bisik
Candu Asmara dengan tak enak hati. Ia menarik tangan
Suto agar menyingkir dari tempat itu. Tapi Pendekar
tampan itu masih betah menyaksikan adegan yang makin
lama semakin membakar darah kemesraannya sendiri.
Tentu saja darah kemesraan Suto terbakar, karena
kala itu Rudaya digulingkan oleh Dewi Ranjang.
Pemuda itu terbaring dan menerima dengan pasrah apa
yang akan dilakukan Dewi Ranjang.
"Diamlah begitu, kau akan kuterbangkan ke langit
yang paling tinggi. Hik, hik, hik, hik...!" kata perempuan
yang berparas ayu dan punya mata serta bibir
memancarkan daya tarik untuk bercumbu.
Rudaya menggigit bibirnya sendiri sambil
menggeram ketika Dewi Ranjang menciumi wajahnya,
lalu melumat bibir pemuda itu dengan lahap. Lidah
perempuan itu akhirnya menjalar sampai ke leher,
mencekam beberapa saat, lalu bergeser ke dada si
pemuda. Desir-desir di dalam dada Suto semakin tinggi,
karena ia membayangkan seandainya yang diperlakukan
begitu adalah dirinya. Desiran itu sempat membuat Suto
Sinting meremas dedaunan manakala ia melihat jelas
sekali ke mana gerakan lidah Dewi Ranjang.
Mulut perempuan bertahi lalat di sudut dagu
kanannya itu melintasi perut Rudaya. Ternyata mulut itu
tidak hanya berhenti mengecup di perut saja, namun
lewat terus dan lidahnya menyapu sekitar paha Rudaya.
Napas si Pendekar Mabuk menjadi sesak ketika
mendengar suara Rudaya merintih dengan kepala
menggeliat ke atas dan kedua tangan di kanan-kiri
kepalanya itu menggenggam kuat-kuat. Suto dapat
merasakan desiran keindahan yang amat tinggi yang
dirasakan Rudaya manakala mulut Dewi Ranjang bagai
ingin menelan sesuatu dengan gerakan pelan-pelan
sekali. Candu Asmara resah. Mau pergi sendiri, tak enak.
Mau tetap di samping Suto, juga tak enak. Serba salah
jadinya. "Pendekar jalang!" gerutunya pelan bernada jengkel,
tapi gerutuan itu didengar oleh Pendekar Mabuk. Hati
menjadi tak enak mendengar kecaman tersebut. Suto
segera ingat nama besarnya sebagai seorang pendekar.
"Masa' seorang pendekar kerjanya nonton begituan"
Ah, tak enak hati aku kepada gadis yang baru ku kenal
ini. Sebaiknya memang aku harus segera pergi agar tak
timbulkan kesan buruk di hati Candu Asmara," ujar Suto
dalam hatinya, maka ia pun segera bergegas pergi
tinggalkan pemandangan yang sedang panas-panasnya
itu. "Jangan coba-coba menatap mata Dewi Ranjang jika
kebetulan kau berpapasan dengannya," kata Candu
Asmara sambil teruskan langkah menuju kotaraja.
"Mengapa tak boleh?"
"Ia mempunyai aji pemikat melalui pandangan
matanya. Kau bisa kasmaran jika terkena aji pemikatnya
itu." "Kau khawatir?" Suto Sinting sunggingkan senyum


Pendekar Mabuk 091 Tantangan Anak Haram di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggoda. "Aku hanya mengingatkan padamu, bukan karena
khawatir. Jika kau sendiri punya selera kepada si janda
liar itu, silakan saja! Itu urusan pribadimu, bukan
urusku." Pendekar Mabuk makin lebarkan senyum dan
akhirnya berubah menjadi tawa pelan seperti orang
menggumam. Candu Asmara bersungut-sungut, tampak
sedang menahan rasa malu dan sembunyikan
keresahannya. Menjelang matahari ditelan bumi, Pendekar Mabuk
dan Candu Asmara tiba di kotaraja. Gadis itu segera
membawa Suto Sinting ke sebuah penginapan. Tentu
saja hal itu cukup mengherankan bagi Suto.
"Mengapa aku dibawa ke penginapan?" tanyanya
terang-terangan.
Gadis tomboy itu menjawab seenaknya, "Kalau
kutahu jalan ke neraka, kubawa kau ke neraka dan
Anak Berandalan 10 Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Rahasia Peti Wasiat 11
^