Pencarian

Tragedi Di Tengah Kabut 1

Pendekar Naga Geni 19 Tragedi Di Tengah Kabut Bagian 1


1 CAHAYA SENJA semakin melenyap ketika pertem-
puran di sekeliling halaman rumah saudagar Wayan
Arsana berlangsung dengan serunya. Beberapa ekor
kelelawar terbang mencericit, seolah-olah ketakutan dan menjauhi medan
pertempuran. Sesekali terdengar
pula himbauan suara burung hantu dari sela pepoho-
nan, menambah seramnya suasana di situ yang sebe-
lumnya telah dipenuhi bunyi rintihan, erangan dan teriakan perang ataupun
gemerincingnya senjata ber-
adu. Betapa kaget si pendekar Ngurah Jelantik ketika
mata pedangnya kena dijepit oleh sisi kedua telapak tangan lawannya, si Tangan
Iblis yang sakti. Biarpun ia telah setengah mati dan sekuat tenaga berusaha
mencabut pedangnya, ternyata itu tidak banyak gu-
nanya. Dengan demikian, sia-sialah ia berkutat mengerahkan tenaga, sedang
kenyataannya pedang tadi tidak sedikitpun bergeming dari tempatnya, seakan-akan
telah terjepit di antara dua dinding baja yang kokoh.
"Heh, heh, heh," terdengar kembali si Tangan Iblis
ketawa sinis. "Mengapa tidak kau biarkan saja pedang ini terlepas, haa"! Apakah
senjata ini terlalu berharga, sampai engkau begitu menyayanginya"!"
Memenuhi anjuran ini, terang si Ngurah Jelantik ti-
dak berani. Sebab dengan begitu toh sama artinya dengan menyerahkan nyawanya
kepada si Tangan Iblis.
"Keparat! Kau bisa tertawa! Apakah yang kau ang-
gap lucu saat ini"!" seru Ngurah Jelantik sambil terus mengerahkan tenaga
dalamnya. "Engkau sendirilah yang lucu saat ini!" ujar Tangan Iblis. "Masakan sudah terang
tidak mampu mencabut
kembali pedang ini dari telapak tanganku, kok engkau
masih tetap ngotot?"
"Tutup mulutmu yang bau busuk itu! Baru mem-
perlihatkan kepandaian rendah saja, engkau telah
sombong keliwat batas!" bentak si Ngurah Jelantik, sehingga Tangan Iblis makin
marah mendengarnya. Ba-
ginya, kata-kata tadi merupakan ejekan yang pedas.
"Baiklah. Akan kuakhiri permainan kosong ini," ujar Tangan Iblis sambil
menggeram marah. "Semoga engkau tidak kaget karenanya."
Selesai berkata, tiba-tiba tanpa terduga si Tangan
Iblis melepaskan genggaman telapak tangannya pada
pedang Ngurah Jelantik, sehingga pendekar dari Si-
ngaraja ini terpental ke belakang oleh daya tariknya sendiri dan nyaris ia jatuh
terjengkang di atas tanah.
Tap! Mendadak si Ngurah Jelantik seperti tersentak ta-
ngannya dan sesaat kemudian ia menceloskan pan-
dangan matanya ke depan. Alangkah kagetnya bila ta-
hu-tahu Tangan Iblis telah berada kembali di depan-
nya, dengan kedua sisi telapak tangannya menjepit
mata pedang Ngurah Jelantik.
"Heh, heh. Aku terpaksa memegang pedangmu ini
kembali, sebab aku tak sampai hati membiarkan eng-
kau terjatuh tunggang-langgang menanggung malu!"
terdengar Tangan Iblis mengejek lawannya.
Wajah Ngurah Jelantik menjadi semerah bara men-
dengar kata-kata lawannya. Maka sekali ini Ngurah Jelantik merubah tenaganya, ia
tidak berusaha menca-
but pedang tadi, tapi justru sebaliknya, ia me-
ngerahkan tenaganya untuk mendorong dan menco-
bloskan batang pedangnya ke arah Tangan Iblis.
Keruan saja lawannya terkejut setengah mati se-
waktu ia merasakan perubahan tadi. Namun toh itu
cuma berlangsung dalam sekejap, sebab, sekali lagi
Ngurah Jelantik menjadi mati kutu apabila pedangnya
tetap membisu tanpa mau bergerak sedikitpun.
Pada detik berikutnya mendadak saja si Tangan Ib-
lis melepaskan pegangannya disusul tubuhnya berkelit ke samping. Akibatnya,
Ngurah Jelantik lalu terdorong ke depan dengan terhuyung-huyung dan dapat
dipastikan bahwa ia akan jatuh tersungkur ke atas tanah.
Namun sementara itu, si Ngurah Jelantik menjadi
kian marah setelah merasa dipermainkan oleh lawan-
nya. Maka secepat kilat ia berbalik dan membacokkan pedang tadi ke arah Tangan
Iblis. Siiingngng! Tap!
Si Tangan Iblis dengan tepatnya menyambut baco-
kan pedang lawannya dengan menjepit pedang terse-
but pada kedua sisi telapak tangannya. Maka hal ini sudah diulangnya untuk yang
ketiga kalinya.
"Heh, heh. Sekarang lihatlah pedangmu ini baik-
baik!" gereneng si Tangan Iblis seraya tangannya tiba-tiba bergerak membengkok
disusul oleh bunyi berden-
tang logam patah.
Pletaak. Tangngng!
Tahu-tahu batang pedang tersebut terpatah dan ku-
tung menjadi dua bagian, mengejutkan hati siapa saja yang melihatnya. Satu
pameran tenaga dalam yang
hebat dan patut dipuji.
Belum habis kekagetan orang-orang melihat hal itu,
mendadak saja tangan kanan si pendekar Tangan Iblis telah berkelebat ke depan
dengan gerakan cepat, sukar ditangkap oleh mata dan kedua jari tangannya menjen-
tik pundak Ngurah Jelantik dengan tiba-tiba.
Plak! Pluuk! "Aah!" desis Ngurah Jelantik kesakitan dan kaget,
begitu pundaknya merasa nyeri seperti disengat oleh lebah berbisa.
Sesaat kemudian satu perasaan lemas dan hilang
semangat telah menjalar ke seluruh tubuh, sehingga
Ngurah Jelantik lalu merasakan tubuhnya seolah-olah seperti tak bertulang lagi.
Sedetik kemudian rebahlah Ngurah Jelantik meng-
gelosor di tanah, menggelumpruk seperti segumpal kapas yang kesiram air.
"Ooh, aku tertotok oleh jari Tangan Iblis! Celaka,
habis riwayatku sekarang!" pikir Ngurah Jelantik ketika dirinya telah rebah
tertelentang di atas tanah tanpa daya dan setengah lumpuh.
Segera pula, Ngurah Jelantik memejamkan kedua
matanya, siap menyambut kematian yang akan dija-
tuhkan oleh lawannya, si Tangan Iblis. Hatinya telah pasrah kepada Dewa akan
segala nasib dan lelakon yang bakal terjadi kemudian.
Terdengar langkah si Tangan Iblis makin mendekat
ke arah tubuhnya yang tertelentang di tanah, dan kemudian berkumandang tawa
kemenangan si Tangan
Iblis. "Heh, heh, heh. Kau harus mati sekarang, sobat!
Terimalah pukulan telapak mautku ini dan hiruplah
udara segar ini banyak-banyak buat terakhir kalinya!
Haeet!" Dengan tanpa ampun, Tangan Iblis telah menghan-
tamkan pukulan telapak mautnya ke bawah, tepat te-
rarah ke dada Ngurah Jelantik.
Blaaaaarr! Sebuah benturan keras seperti ledakan petir ter-
dengar dengan dahsyatnya, mengejutkan orang-orang
di situ. Saking kagetnya, begitu telapak tangannya mem-
bentur benda yang keras, si Tangan Iblis melemparkan diri ke samping dengan
sebat, sementara hatinya penuh bertanya-tanya, apakah yang terjadi sesungguh-
nya dengan tubuh lawannya itu" Mungkinkah puku-
lannya tadi meleset dan mengenai batu" Tapi itupun
mustahil, sebab sewaktu terjadi benturan tadi, ia me-
rasakan adanya tenaga dorongan yang membentur
tangannya. Memang ia tadi telah melihat sesuatu yang berkele-
bat, justru tepat di saat ia memukulkan telapak mautnya ke dada Ngurah Jelantik!
Maka hal inilah yang
membuatnya terheran-heran.
Selesai mendaratkan kedua kakinya ke tanah, si
Tangan Iblis lantas terperanjat seketika, sebab ma-
tanya yang tajam telah melihat sesosok tubuh manusia berdiri dengan kokohnya di
dekat tubuh Ngurah Jelantik yang tergeletak di tanah.
Sementara itu, Ngurah Jelantikpun terkejut dan be-
gitu membuka matanya, lantas saja ia menampak ada-
nya sesosok tubuh yang berdiri di dekatnya, sambil
memandang tajam ke arah Tangan Iblis.
Orang ini sudah cukup tua, terbukti dari rambut,
kumis dan jenggotnya yang telah memutih kapas. Pada tangan kanannya tampak
tergenggam selembar selendang cukin yang berwarna kuning, menjuntai ke bawah
laksana seekor ular.
"Uh...! Uh...! Uh...!" Terdengar bunyi batuk dari mulut si kakek berambut kapas
itu, seraya mengacung-
kan tangan kirinya ke arah Tangan Iblis dan berkata dengan suara yang tenang dan
berwibawa, "Kau telah
membuat keributan di sini dan menyebar kematian!
Sungguh tercela perbuatanmu ini! Karenanya, lekaslah minggat dari tempat ini!
Atau jika engkau bandel, aku harus terpaksa menindakmu, heh"! Uh...! Uh...! Uh!"
"Tua bebangkotan! Sudah bertubuh reyot dan ting-
gal mampus saja masih gatal ingin turun tangan"!" se-ru si pendekar Tangan Iblis
sangat mendongkol dan
penasaran. Melihat selendang berwarna kuning yang tergeng-
gam di tangan si kakek tua itu, ia dapat sedikit mene-bak, bahwa itulah agaknya
senjata yang tadi telah
membentur pukulan telapak mautnya.
"Sebut dulu namamu, tua bangkotan. Setelah itu
barulah kita mengukur tenaga!" seru Tangan Iblis dengan mata menyipit, memandang
rendah kepada ka-
kek tua di hadapannya ini.
"Uh...! Uh...! Bagus! Namaku adalah Wiku Salaka!
Apakah cukup berarti nama itu bagi dirimu, penga-
cau"!" ujar si kakek tenang-tenang.
Wajah si Tangan Iblis berkerut seperti tengah men-
gingat suatu, kemudian setengah pucat manakala ia
dapat mengenal bahwa itulah nama salah seorang dari cucu murid Empu Barada yang
terkenal sakti dan berilmu tinggi.
Kini tahulah Tangan Iblis, bahwa ia tengah berha-
dapan dengan lawan yang tidak boleh dipandang de-
ngan sebelah mata. Si kakek berambut kapas itu ter-
nyata bukan orang sembarangan seperti yang ia sang-
ka sebelumnya. Diam-diam Tangan Iblis jelalatan melirik ke tanah,
dan ia melihat sebatang tombak tergeletak di situ. Ma-ka secepat kilat tangannya
menyambar tombak terse-
but dan siap menyerang si kakek Wiku Salaka.
Tapi dengan gerakan yang tak terduga, Wiku Salaka
menyerang lebih dulu dengan kibasan selendang ku-
ningnya yang berubah menjadi keras seolah palu go-
dam, menghajar patah tombak di tangan pendekar
Tangan Iblis menjadi dua potong!
Keruan saja si Tangan Iblis kaget setengah mati me-
lihat kehebatan senjata kakek tua itu, dan ini sudah cukup memberinya peringatan
untuk lebih berlaku ha-ti-hati dalam menghadapinya.
*** Dalam satu gebrakan pertama dan telah runtuh,
ternyata menyebabkan hati si Tangan Iblis seperti ter-
cekat oleh duri dalam menghadapi si kakek Wiku Sa-
laka. Ini pula seperti menjadi pertanda buruk bagi dirinya, bahwa kemenangan
akan sukar dicapai.
Selama malang-melintang di dunia persilatan, be-
lum pernah ia terpukul runtuh oleh lawannya dalam
gebrakan awal seperti kejadian yang lewat tadi. Tombak yang dipegangnya kena
terhajar patah oleh selendang si kakek bangkotan. Memandang senjata lawan-
nya yang cuma berwujud selembar selendang tapi
mampu berubah menjadi sekeras logam, iapun sadar
bahwa lawannya ini memiliki tenaga dalam yang dah-
syat dan jarang tandingannya.
Jauh di sebelah timur, sang purnama telah muncul
di balik pepohonan seperti tengah mengintip mereka
yang lagi berhadapan untuk bertarung. Sinarnya ke-
mudian dengan lambat merambah ke segenap arena
pertempuran di sekitar halaman rumah Wayan Arsana,
yang terletak di sebelah timur Gilimanuk.
Di sana-sini tampak para korban yang berkaparan
di tanah, sebagian mati dan sebagian lagi luka-luka.
Made Maya masih menjaga ayahnya, si saudagar
Wayan Arsana yang terluka dalam. Di sebelah lainnya, Ki Selakriya masih duduk
juga mengatur tenaganya
yang telah banyak hilang, akibat bertempur melawan
Wasi Bera. Ia merasa beruntung bahwa Made Maya te-
lah turun tangan menolongnya. Jika tidak, mungkin ia sudah binasa di tangan Wasi
Bera itu. Namun di samping rasa syukurnya tadi, iapun menjadi takjub ketika ia
menyaksikan Made Maya mampu bertempur dan
mengalahkan lawannya sampai roboh.
Dari sekian orang yang paling heran, Sunutamalah
yang hampir tak percaya menyaksikan Made Maya bisa
merobohkan lawannya. Selama mengenal gadis ini, be-
lum pernah ia melihat Made Maya berlatih silat, apalagi memperlihatkan minatnya
terhadap masalah per-
silatan. Sedang kenyataannya, Made Maya mempunyai
ilmu dan tataran persilatan yang cukup tinggi, bahkan mungkin lebih tinggi dari
ilmu yang telah dimilikinya.
Inilah yang luar biasa. Terbukti bahwa selama ini
Made Maya mampu merahasiakan dirinya, merahasia-
kan ilmu silat yang begitu hebat.
Dengan munculnya si kakek Wiku Salaka yang kini
berhadapan dengan Tangan Iblis, sementara pertem-
puran terhenti. Semua seolah-olah seperti terpukau
untuk menyaksikan bagaimana kedua tokoh tersebut
berhadapan dan kemudian bertempur.
Memang begitulah, kini pusat perhatian tertuju ke-
pada si kakek Wiku Salaka dan si Tangan Iblis. Mereka berhadapan, saling
memandang dengan sorot mata
yang tajam, menembusi udara senja.
Mendadak saja, si Tangan Iblis bergerak dengan ke-
cepatan yang luar biasa membabatkan potongan tom-
bak yang masih tergenggam di tangannya.
Wuuuss! Tapi si kakek Wiku Salaka lebih cepat! Selendang di tangannya menyambar dan sisa
tombak di tangan si
Tangan Iblis sempal menjadi serpihan, terhajar oleh selendang tersebut.
Kembali orang berteriak kagum melihat kehebatan
tandang si kakek yang berambut kapas. Lebih-lebih si Tangan Iblis sendiri.
Menghadapi pendekar Ngurah Jelantik saja ia mampu, malahan berhasil melumpuh-
kannya. Padahal Ngurah Jelantik adalah pendekar terkenal dari Singaraja. Akan


Pendekar Naga Geni 19 Tragedi Di Tengah Kabut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetapi sekarang, ia seperti mati kutu, sebab bukankah lawan yang kini dihadapi
jauh lebih tua, yang seharusnya lebih mudah untuk
dirobohkan. Rupanya si kakek itu tidak mau membuang-buang
waktu lagi, sebab sebelum Tangan Iblis memper-
siapkan diri kembali ia telah melancarkan serangan se-
lendangnya. Tangan Iblis mulai mengeluh di dalam hati, setelah
kakek tua ini ternyata tidak mau memberi kesempatan kepadanya untuk bernapas.
Selendang Wiku Salaka merupakan sebuah senjata
yang paling aneh dan sangat berbahaya. Dengan di-
landasi tenaga dalam ia mampu berubah-ubah sesekali seperti baja keras yang
mampu memporak-porandakan
setiap benda yang dihajarnya sampai berkeping-ke-
ping. Di lain saat, selendang itu ujungnya dapat mematuk-matuk lemas, seperti
mulut seekor ular yang
siap mencaplok mangsa. Sehingga seluruhnya selen-
dang kakek Wiku Salaka dapat bergerak dengan jurus
maut sebanyak empat puluh bagian.
Masih mujur bagi Tangan Iblis bahwa ia memiliki
kegesitan dan simpanan ilmu yang cukup, sehingga
dengan meloncat dan berjumpalitan kesana-sini ia
menghindar dari kejaran selendang si kakek yang sela-lu mengancam nyawanya.
Hingga saat itu, Tangan Iblis masih bertangan ko-
song, sebab ia tak pernah mendapat kesempatan un-
tuk melolos pedangnya yang tergantung di pinggang.
Tambahan lagi, selama ia turun tangan di tempat itu, selalu saja mengandalkan
ilmu pukulan telapak mautnya. Tak tahunya sekarang ia telah ketanggor lawan yang
hebat! Telah dicobanya beberapa kali menghantam kakek
Wiku Salaka dengan pukulan mautnya, tapi semuanya
telah gagal. Apalagi sempat menyentuh tubuh si ka-
kek, mendekat saja pun sukar, disebabkan oleh haja-
ran si selendang kakek Wiku Salaka tadi.
"Hee, kakek bangkotan! Mengapa tak kau biarkan
aku mencabut pedangku, sedang engkau sendiri meng-
genggam senjata"! Nah, apa itu adil namanya"!" seru Tangan Iblis seraya masih
berloncatan menghindar.
Oleh seruan tadi, kakek Wiku Salaka memanggut-
manggutkan kepala lalu berkata, "Eeh, eh. Bagus, bocah ingusan! Cabutlah
senjatamu! Cabutlah dia lekas-lekas, supaya orang-orang tidak bakal mengatakan,
bahwa Wiku Salaka seorang pengecut karena membu-
nuh lawannya yang tak bersenjata!"
Sungguh hebat ucapan kakek berambut putih ini.
Sifat ksatria dan kebijaksanaan tergambar di dalamnya cukup mengagumkan bagi
telinga-telinga yang mendengarnya, termasuk pula si Tangan Iblis sendiri.
Berbareng itu, kakek Wiku Salaka mengendorkan
serangannya, untuk memberi kesempatan kepada si
Tangan Iblis yang hendak mencabut pedangnya.
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Ta-
ngan Iblis buru-buru melolos senjatanya dan balas
menyerang ke arah si kakek Wiku Salaka.
Sebentar kemudian berlangsunglah pertempuran
yang lebih hebat karena masing-masing telah bersen-
jata di tangannya. Pedang di tangan si Tangan Iblis, menyambar-nyambar dengan
ganasnya, berkilatan tertimpa cahaya rembulan yang lagi mengembang. Na-
mun itu hanya sedikit menolong terhadap kedudukan
Tangan Iblis, sebab kembali selendang si kakek Wiku Salaka mencecarnya dengan
serangan-serangan beran-tai yang dahsyat mematikan.
Detik-detik selanjutnya, keringat dingin si Tangan
Iblis bercucuran keluar dari lubang kulitnya, manakala tenaganya seperti
terkuras habis oleh serangan si kakek yang dahsyat. Berkali-kali si Tangan Iblis
terpaksa mengerahkan kekuatannya sewaktu ujung selendang
kakek Wiku Salaka membentur pedangnya. Terasa
kemudian pada setiap benturan, rasa nyeri kelewat batas, seolah-olah puluhan
jarum lembut merayap ke
tangan kanannya.
Dan akhirnya, pada suatu ketika... ujung selendang
Wiku Salaka membentur dengan serunya pada pedang
Si Tangan Iblis, disusul bunyi berdentang logam patah.
Klaaangng! Patahlah sudah pedang si Tangan Iblis!
Saking kagetnya, si Tangan Iblis terhenyak lalu terpelanting roboh ke belakang
disertai wajah kepucatan dan nafasnya tersengal-sengal. Pikirnya, "Celaka!
Sekali ini habis riwayatku!"
Kakek Wiku Salaka telah mengangkat tinggi-tinggi
tangannya yang menggenggam selendang, siap dis-
abetkan ke tubuh Tangan Iblis yang telah kepayahan
terlentang di depannya. Semua menahan napas meng-
ikuti adegan yang menegangkan dan mencengkam pe-
rasaan. Namun diam-diam telah terjadi sesuatu yang tidak
mudah diketahui sebab-sebabnya. Ketika tangan Wiku
Salaka telah terangkat tinggi dan sorot matanya menatap tajam ke wajah Tangan
Iblis, tiba-tiba bergeloralah satu perasaan aneh yang menyelinap ke hati si
kakek ubanan ini. Tiba-tiba saja ia seperti telah mengenal wajah si Tangan
Iblis. Seolah-olah ia telah mengenalnya sama sekali, sehingga membuatnya
termangu be- berapa saat. Selanjutnya, Wiku Salaka menurunkan
tangan yang semula telah siap menghajarkan selen-
dangnya ke tubuh Tangan Iblis.
"Tangan Iblis! Bangunlah, dan cepatlah berlalu dari tempat ini selekasnya,
sebelum aku merubah niatku!"
ujar kakek Wiku Salaka dengan suara yang berwibawa.
"Lekaas!"
Si Tangan Iblis seperti tak mau percaya dengan ka-
ta-kata si kakek yang baru saja hampir membu-
nuhnya. Namun ia segera bangkit perlahan-lahan keti-ka didengarnya sekali lagi
Wiku Salaka berkata, "Aku masih ingin memberimu kesempatan untuk memper-baiki
dirimu! Karenanya, lekaslah pergi dari tempat
ini!" Semua orang tertegun menyaksikan adegan yang
cukup aneh ini. Seseorang yang telah bertempur mati-matian, ketika ia berhasil
mengalahkan lawan dan
tinggal membunuhnya sekali, semudah orang memijit
buah tomat, tiba-tiba saja telah mengurungkan niat-
nya. Agaknya si kakek Wiku Salaka ini tak sampai hati
mengakhiri nyawa si Tangan Iblis. Terbukti bahwa ia telah melepaskan lawannya
tersebut, untuk cepat-cepat berlalu, meninggalkan tempat ini.
Akhirnya dengan langkah terseok-seok si Tangan
Iblis telah bangkit dan kemudian melangkah mening-
galkan halaman rumah Wayan Arsana, dengan diikuti
oleh pandangan mata orang-orang di situ.
Sebuah geram tertahan terdengar dari mulut Ta-
ngan Iblis, sambil berjalan itu. Entah, apakah itu geram kemarahan atau geram
pertanda kelelahan diri-
nya. Juga kedua tangannya mengusap debu-debu yang
melekat pada kulit dan pakaiannya.
Sekonyong-konyong, sehabis ia mengusap-usap
pinggangnya, berbaliklah si Tangan Iblis ke belakang ke arah Wiku Salaka
sementara tangan kanannya mengibas dengan kecepatan yang hebat dan menakjub-
kan! Di saat yang pendek itu, beterbanganlah belasan ja-
rum beracun, berkeredapan seperti kunang-kunang
menyambar ke arah kakek Wiku Salaka.
Hampir semuanya terpekik melihat hal ini, sebab
jaranglah orang mampu menangkis serangan senjata
rahasia yang berjarak pendek dan tiba-tiba ini.
Made Maya yang masih berjongkok di samping
ayahnya lekas-lekas berseru dengan kecemasan, "Ka-
kek! Awas! Jarum beracun!"
Untunglah, si kakek Wiku Salaka sendiri telah was-
pada sejak tadi, ketika ia membiarkan si Tangan Iblis berlalu meninggalkan
tempat itu. Maka secepat kilat ia melolos selendang kuning yang telah
dikalungkan pada lehernya, untuk selanjutnya ditebaskan ke udara menyapu jarum-
jarum beracun milik Tangan Iblis:
Kejadian ini begitu cepatnya. Sebagian jarum tadi
terpental balik dan bersarang pada pundak si Tangan Iblis, sampai seketika mulut
pendekar ini berteriak kesakitan. "Aauucchh!"
"Huh, bocah ingusan mencoba berlaku curang"!"
desis si kakek Wiku Salaka seraya menggeram jengkel.
"Sekarang, rasakanlah senjatamu itu sendiri. Huh, aku tak perlu kuatir, sebab
toh engkau memiliki obat penawarnya!"
Si Tangan Iblis peringisan menahan sakit, lalu ber-
jalan dengan cepat dan sedikit sempoyongan men-
dekati I Jembrana dan Jimbaran yang lagi mengerang
kesakitan. Dengan tidak banyak berkata, si Tangan Iblis lalu mencabut keris yang
melekat pada lambung
Jimbaran dan membantingnya ke tanah.
"Mari kita pulang!" ujar Tangan Iblis kepada kedua
muridnya, dan sekali sambar, ia telah memanggul me-
reka di pundaknya untuk kemudian dibawanya kabur
ke arah selatan.
Beberapa orang sisa pengikut Jembrana, segera pu-
la lari terbirit-birit setelah mengetahui bahwa pe-
mimpin-pemimpin mereka kabur meninggalkan tempat
itu. Teman-temannya yang terluka sempat pula me-
reka bawa. Yang tertinggal kemudian adalah orang-
orang yang terluka parah dan mayat yang berkaparan
di tanah. Wiku Salaka, Sunutama, Made Maya dan sisa dari
penjaga-penjaga pengikut Wayan Arsana segera me-
rawat dan mengurus korban-korban pertempuran tadi.
Untuk pendekar Ngurah Jelantik, segera si kakek
Wiku Salaka dapat membebaskan kelumpuhan tubuh-
nya akibat tertotoknya jalan darah. Tapi untuk Wayan Arsana dan Ki Selakriya,
tidaklah bisa disembuhkan
seketika, karena keduanya terluka dalam sehingga
memerlukan beberapa hari untuk memulihkan tenaga
dan kesehatan tubuh mereka.
Di pendapa rumah Wayan Arsana tampaklah ke-
mudian kesibukan orang-orang yang merawat dan
mengobati orang-orang terluka. Suasana menjadi te-
nang, masing-masing terlibat dengan kesibukan ker-
janya, hanya sesekali terdengar erangan dan rintihan dari orang-orang yang
tengah dirawat luka-lukanya.
Wayan Arsana duduk dengan punggung tersandar,
demikian pula dengan Ki Selakriya. Di dekat mereka
duduk pula si Made Maya mendampingi ayahnya.
"Eeh, jadi Bapa Wiku Salakalah yang mengajarmu
bersilat dan menjadi gurumu?" berkata Wayan Arsana
kepada putrinya.
"Benar, Ayah," sahut Made Maya. "Kakek Wikulah
yang menjadi guruku."
Wayan Arsana kemudian manggut-manggut dengan
keterangan putrinya. Satu keheranan lagi baginya,
bahwa kakek Wiku Salaka atau yang selama ini dike-
nalnya sebagai ayah mertuanya, jadi ayah dari istrinya, mempunyai kepandaian
silat yang begitu hebat. Ingin rasanya Wayan Arsana banyak bertanya tentang hal
itu kepada Made Maya ataupun Wiku Salaka sendiri.
Tapi, melihat kesibukan dan suasana yang demikian
repot, maka mau tak mau Wayan Arsana terpaksa
mengurungkan niatnya.
"Biarlah lain kali akan kutanyakan kepada Bapa
Wiku Salaka," pikir Wayan Arsana seraya melempar
pandang ke halaman yang kini makin terang-ben-
derang oleh cahaya rembulan.
Beberapa orang penjaga tampak mondar-mandir
menjaga pintu gerbang. Sang malampun terus berjalan dengan tenangnya, seperti
tak pernah menggubris
bahwa pertempuran baru saja terjadi, dan kini ber-
akhir dengan kemenangan pihak Wayan Arsana, sete-
lah terusirnya si Tangan Iblis dan beberapa sisa anak buahnya.
*** 2 SINAR MATAHARI yang terik seolah-olah tak kuasa
menembuskan hawa panasnya yang menyengat kulit,
ke lereng-lereng kaki gunung yang diselimuti oleh kabut putih yang berarak-arak,
melayang dengan malas-
nya. Gunung ini, yang disebut orang dengan nama
Gunung Merbuk, berdiri menjulang tinggi merupakan
pagar di sebelah timur bagi kota Gilimanuk.
Di sebuah lerengnya di daerah selatan, hari itu
tampak adanya kesibukan kecil yang sebenarnya agak
mengherankan, sebab daerah itu biasanya tidak per-
nah dirambah oleh manusia.
Sedang hari itu beberapa gubuk darurat yang ber-
atap daun ilalang telah berdiri di lereng selatan dan beberapa orang bersenjata
tengah berjaga-jaga di antaranya.
"Rasanya seperti tak sabar untuk terus-menerus
menunggu pondok yang bobrok ini. Enakan yang ikut
dengan pemimpin, mereka dapat beraksi mengelua-
rkan ilmu-ilmu simpanan dan keberaniannya!" ujar
seorang penjaga yang dengan malas duduk bersandar
pada kaki batang pohon asam.
Seorang temannya yang duduk di samping, bering-
sut dan menoleh seraya berkata, "Ah, kau mau berla-
gak jagoan, Dregil?"
"Hmm, mengapa tidak" Bukankah itu pula yang ki-
ta inginkan"!" sahut teman penjaga yang bernama
Dregil. "Apakah Kakang Arje juga tidak kepingin begi-tu?"
"Heh, heh! Masih enak yang tinggal di sini," berkata si Arje. "Apakah kau kira,
bertempur itu tidak memper-taruhkan nyawa?"
"Benar. Itu benar! Namun toh kita bertempur di
samping pemimpin. Dan beliau adalah orang yang sak-
ti dan selalu menang dalam setiap pertempuran. Men-
dengar namanya saja, orang akan bergidik dan berlu-
tut untuk memenuhi segala permintaannya!" kembali
Dregil mengomong.
Arje rupanya sangat mengantuk, dan ia tidak lagi
menanggapi omongan Dregil dengan ulasannya, tapi
ditanggapinya dengan mulutnya yang menguap, me-
lenguh bagai sapi kekenyangan.
Dengan mendongkol, Dregil melihat mulut teman-
nya yang menguap lebar tadi, lalu kepalanya memba-
yangkan persamaan mulut temannya dengan mulut
seekor buaya. Lalu, tiba-tiba Dregil tersenyum sendiri seperti orang gendeng,
manakala dalam ingatannya
terlintas pikiran yang iseng, bagaimana seandainya ke dalam mulut tadi


Pendekar Naga Geni 19 Tragedi Di Tengah Kabut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dimasukkan seekor kadal hidup, seperti yang dilihat di samping kakinya sekarang
ini" Mendapat pikiran jahil tadi, tangan si Dregil tiba-
tiba menubruk si kadal yang tengah lenggat-lenggot di dekat kakinya. Tapi sang
kadal lebih dulu mencium
bahaya yang mengancamnya, hingga dengan sebat ia
lari ke bawah semak.
Tinggal si Dregil yang gerenengan sendiri setelah kecepatan tangannya masih bisa
dikalahkan oleh seekor kadal. Kembali ia mengawasi si Arje yang kini telah
sesengguran mendengkur dengan nikmat di sebe-
lahnya. Akhirnya Dregilpun turut menguap setelah berkali-
kali ia menatapi Arje. Rasanya, kantuknya telah timbul, terpengaruh oleh
kepulasan sahabatnya, dan ke-
mudian dua orang itupun tertidur pulas.
Beberapa waktu kemudian, sebelum mereka terti-
dur sepemakan sirih lamanya, datanglah seorang pen-
jaga lain ke tempat itu dan ia lantas menggeleng-
gelengkan kepalanya, melihat kedua temannya terse-
but. "Hee, Arje, Dregil! Bangun, lekas!" seru si penjaga yang baru datang seraya
mengguncang-guncang kaki
Dregil dan Arje dengan keras.
Mendadak saja, Dregil terbangun, sekaligus mene-
bas pedang lebarnya ke depan dengan cepatnya.
"Ahh, edan orang ini!" seru si penjaga yang baru datang sambil meloncat ke atas
menghindari tebasan pedang si Dregil yang nyaris memenggal tangannya. "Tahan!
Kau sudah kesurupan setan rupanya!"
Dregil terlongoh mendengar seruan tadi dan buru-
buru ia menarik serangannya. "Maaf, sobat! Baru saja aku bermimpi melihat seekor
kadal yang hendak melahap kakiku. Maka aku secepat kilat membacoknya de-
ngan pedang ini. Tak tahunya, tangan Andalah yang
mengguncang-guncang kakiku. Harap Anda suka me-
maafkanku, sobat."
"Tak apalah," gumam si penjaga yang berwajah ga-
rang memperlihatkan rasa mengkalnya. "Sudah waktu-
nya kalian berdua menjaga! Mengapa masih tidur saja"
Lekaslah bertugas!"
"Ngngng... baiklah kami berjaga," ujar Dregil dan
Arje bersama, lalu bangkit dan menggeloyor ke arah selatan sambil menggerutu.
*** Sementara itu, seorang nenek yang berwajah buruk
berjalan menerobos semak-belukar menempuh hutan
yang menutupi kaki selatan Gunung Merbuk. Seben-
tar-sebentar ia mengerutkan keningnya dan bersu-
ngut-sungut sambil bibirnya komat kamit menggerun-
dal. "Bocah tolol! Lagi-lagi meninggalkan orang tua kelewat lama! Sudah
kuperingatkan jangan semaunya
pergi mengeluyur, tapi masih tetap bandel. Dasar bocah gendeng. Apakah ia mau
mengandalkan ilmunya
yang masih kurang seperempat tataran"! Heh, kadang-
kadang ia sampai jauh mengembara, mendatangi kota-
kota dan pulau-pulau. Yang sering diceriterakan, ia senang mengunjungi Bukit
Kepala Singa yang terletak di tengah-tengah Pulau Mondoliko. Heh, bocah gelan-
dangan!" Demikianlah nenek tua berwajah buruk tapi senan-
tiasa menggerundal di sepanjang perjalanan. Menilik ucapan dan kata-katanya,
dapatlah ditarik kesimpulan bahwa dia sangat menyayangi putranya dan kini dengan
susah payah mencarinya menerobos hutan, me-
nyeberangi jurang-jurang dan menempuh bahaya.
"Hmm, aku akan mencarinya ke Gilimanuk, seperti
yang pernah ia katakan kepadaku beberapa waktu
yang lalu," lagi si nenek mengomel. "Tapi aku juga heran kepadanya, mengapa ia
sangat tertarik kepada ko-ta sekecil Gilimanuk itu" Apakah ada sesuatu itu yang
menarik perhatian dan menahannya di sana?"
Langkah si nenek berwajah buruk ini sangat aneh.
Di tanah yang rata, ia tetap berjalan seperti biasa, selangkah demi selangkah
sambil tertatih-tatih menggunakan tongkatnya yang berwarna hitam mengkilat ber-
ukir-ukir amat indah. Akan tetapi, bila ia melewati teb-ing ataupun jurang,
dengan enaknya ia meloncatinya
semudah bila ia melangkah di tanah yang rata.
Sungguh menakjubkan gerakan si nenek ini. Ketika
ia meloncat tadi, tampaklah kakinya dengan sebat
mencapai sasaran yang dikehendaki, sementara mu-
lutnya berkikikan mengeluarkan suara tertawa seperti suara kuda betina yang
binal. Sama sekali ia tak men-cemaskan bahaya yang menghadangnya seperti ter-
pancar pada wajah dan sorot matanya yang tajam.
Bila di tengah jalan ia menghadapi binatang-bina-
tang liar, cukuplah dengan mengobat-abitkan tongkat hitamnya yang segera
mengeluarkan suara mendesis-desis, dan menyingkirlah kabur si binatang liar tadi
dengan ketakutan.
Semua tingkah laku si nenek bertongkat ini, tentu
akan menimbulkan ketakjuban yang luar bisa. Sebab
bagaimana mungkin orang setua dia mampu menyebe-
rangi jurang dengan sekali loncat saja"
Namun sayang, tentu saja orang tak akan dapat
melihat keanehan si nenek tadi, sebab dia tidak sembarangan memperlihatkannya di
depan orang lain.
Dengan demikian maka orang lain akan tetap meng-
anggapnya sebagai seorang tua yang lumrah tanpa
keanehan-keanehan apapun.
Ketika si nenek hampir mencapai kaki gunung sebe-
lah selatan, diam-diam dua pasang mata telah mengin-tainya. Kedua-duanya tengah
berbisik-bisik ketika si nenek berwajah buruk melewati sebuah pohon beringin
yang besar dan bercabang-cabang rimbun.
"Sstt, kau lihat itu, Dregil"!"
"Heh. Yah, aku melihatnya. Seorang nenek kudisan
yang bertongkat...," gumam yang seorang sambil me-
ringis. "Mengapa, Adi Dregil" Apakah itu nenekmu?"
"Huss! Ngomong seenaknya. Nenekku sudah mati
dua tahun yang lalu!" sahut Dregil.
"Heh, heh, sayang bahwa sebentar lagi mungkin si
nenek kudisan itu akan mati!" ujar si Arje seraya me-nyungir-nyungirkan
hidungnya karena seekor lalat
yang mengganggu.
"Weh, mati" Apa sebabnya?" si Dregil kaget.
"Kau lihat bukan, bahwa si nenek itu tidak mema-
kai caping"!" kata Arje kembali, membuat Dregil makin bingung.
"Huh, apa hubungannya dengan caping"! Masak,
orang tidak memakai caping lantas mati!" gerundal
Dregil uring-uringan.
Arje tidak menggubris kata-kata temannya, mala-
han ia memuntir telinga si Dregil sambil berbisik, "Kau cukup tolol, sobat!
Coba, kau dapat melihat pada sebuah cabang beringin yang tengah dilewati nenek
itu?" "Ooh, celaka!" desis Dregil, begitu ia menurut kata-kata Arje seraya melihat ke
cabang pohon beringin tersebut. "Seekor ular!"
"Naa, itulah sebabnya aku mengatakan bahwa si
nenek akan mati, karena kepalanya pasti disambar
oleh mulut si ular yang nampaknya rakus sekali."
"Mari kita menolongnya, Kakang Arje," ujar Dregil
sambil mengawasi ke depan.
"Menolongnya"!" desis Arje dengan nyungir. "Apa
pula perlunya menolong seorang nenek bangkotan
yang tak ada gunanya" Biarlah ia dicaplok dan mam-
pus. Kecuali kalau dia adalah seorang gadis yang cantik! Huh, pasti akan
kutolong dengan segera!"
Dregil mengerdip-ngerdip mendengar tutur kata sa-
habatnya, lalu iapun berkata, "Eh, betul juga, ya. Biarlah ia dicaplok ular. Aku
kepingin melihat adegan itu!"
Begitulah bisik-bisik si Dregil dan Arje yang ber-
sembunyi di balik semak belukar sambil mengawasi
nenek tua yang terhuyung-huyung berjalan melewati
pohon beringin raksasa.
Keduanya makin berdebar-debar ketika dari atas
cabang pohon beringin itu, meluncur tubuh seekor
ular yang menyambar dengan cepatnya ke bawah.
Dregil dan Arje hampir dapat memastikan bahwa
mulut ular itu akan tepat mencaplok kepala si nenek bertongkat, namun tiba-tiba
kedua orang itu berbareng melongo, sewaktu dengan sebat, si nenek bertongkat
meloncat ke samping menghindari sambaran sang ular.
Dregil menggosok-gosokkan jarinya ke mata, sebab
ia tak mau percaya melihat kecekatan si nenek yang
dengan mudahnya menghindari sambaran maut. Le-
bih-lebih lagi dengan Arje yang semula telah memastikan kematian si nenek,
sekarang menjadi melompong.
Si ular sendiri bukan main marahnya. Ia mengelua-
rkan desisan hebat menggerakkan kepalanya kesana-
kemari, siap menyerang kembali. Sedang si nenek
tinggal berdiri dengan sambil mengobat-abitkan tongkat hitamnya.
Rupanya saja sang ular merasa dipermainkan oleh
mangsanya. Maka secepat kilat ia menyambar kembali
dengan gerakan kilat.
Tetapi tiba-tiba si nenekpun bergerak cepat dan lincah meloncat kesana-kemari
menerobos di antara
sambaran-sambaran maut si ular yang kelaparan.
Dregil dan Arje melompong, begitu mereka menyak-
sikan adegan yang menakjubkan ini. Dan sesaat ke-
mudian, keduanya melihat adegan yang lebih menarik
lagi, hampir sukar dipercaya. Tampak si nenek tua
menebas tongkat hitamnya beberapa kali dibarengi
bunyi benturan beberapa kali yang mirip ledakan mer-con, dan sesaat berikutnya
tubuh ular tersebut meng-gelantung runtuh ke tanah dengan kepala yang hancur dan
leher yang patah-patah.
Si nenek tua ini menatapi tubuh ular yang telah
mengelumpruk mati di tanah sambil mengusap-usap tongkat hitamnya.
"Cuhh!" Si nenek meludah ke bangkai ular dan
menggerundal. "Binatang edan! Orang sudah peyot
dengan kulit yang alot begini masih akan dimangsa.
Kini mampus kowe, huh!"
Kembali si nenek melangkahkan kaki, berjalan ke
arah barat dengan tenangnya, seolah-olah ia tidak pernah mengalami apa-apa.
*** Dalam pada itu Dregil dan Arje yang selalu menga-
wasi nenek tadi, lalu berbisik-bisik.
"Kakang Arje, kau lihat sendiri bukan" Nenek itu
luar biasa," Dregil berkata.
"Benar. Tapi karenanya pula, aku jadi curiga. Sia-
pakah dia sebenarnya?" ujar Arje dan tangannya telah meraba hulu pedangnya.
"Mari kita cegat dia, lalu kita tanya apa perlunya sampai keluyuran di tempat
ini?" "Ehh, tapi apa perlunya, Kakang Arje" Bukankah
kalau kita berdiam diri, malah nenek itu tidak akan mengetahui tempat kita ini?"
"Heei, apakah kau lupa, bahwa si Tangan Iblis telah memerintahkan kita, agar
setiap orang yang berani lewat di sini, dicegat dan kemudian tanyai apa
tujuannya" Jika membahayakan kita, bunuh saja!" Arje ber-
kata pasti. "Tapi apakah yakin bahwa kita mampu menghada-
pinya. Bukankah ular ganas itu telah dibunuhnya de-
ngan tongkat di tangannya?"
"Hah, tentang ular itu, mungkin secara kebetulan
saja dapat dibunuhnya. Siapa tahu ular tadi tengah
kelaparan dan tidak memiliki kekuatan. Dengan demi-
kian, kan mudah membunuhnya?"
Dregil mengerdip-ngerdip. "Baiklah, aku setuju
mencegatnya. Tapi kau harus berani menghadapinya,
Kakang Arje!"
"Jangan kuatir. Aku nanti yang akan pertama me-
negurnya!" sahut Arje. "Ayo, lekas kita menghalangi-
nya!" Bagaikan serigala mencium mangsa, keduanya ber-
loncatan dari semak-semak lebat dan berhentilah me-
reka di tengah jalan, tepat di depan si nenek bertongkat dengan sikap
menghadang. Sesaat itu pula si nenek terkejut, tapi saat berikutnya ia tertawa mengikik
terpingkal-pingkal seperti
anak kecil melihat sesuatu yang lucu.
"Hi, hi, hi. Kalian membikin aku terkejut, bocah-
bocah!" ujar si nenek manggut-manggut. "Apa maksud
kalian dengan malang-melintang di depanku ini, heei?"
Mendengar dirinya disebut bocah-bocah, Dregil dan
Arje menjadi naik darah seketika.
"Kau tak boleh ngomong seenakmu, nenek peyot!
Kau telah masuk daerahku ini, dan tanpa keperluan
yang harus kau katakan kepada kami, engkau harus
kembali!" seru Arje. Suaranya penuh nada ancaman.
"Hee"! Hih, hi, hi, hi. Sejak kapan daerah ini di bawah kekuasaanmu?" kata si
nenek acuh tak acuh.
"Kurang ajar! Banyak ngomong, kau nenek peyot!"
seru Dregil. "Lekas kau sebutkan, siapa namamu dan
apa tujuanmu di sini?"
Nenek tua itu mengangkat dahi mendengar perta-
nyaan yang kasar lalu sorot matanya berkilatan ma-
rah. Tapi aneh, sebentar pula sorot matanya jadi re-dup. Agaknya ia masih dapat
menahan diri. "Ha, ha, ha. Betul, nenek peyot. Katakan saja apa
perlumu sampai keluyuran di daerah ini"!" seru Arje tak mau ketinggalan.
"Bagus, bocah! Bagus! Aku bernama Nyi Durganti.
Nah, puas bukan" Itulah namaku yang kalian ingin-
kan!" "Durganti" Hmm, nama yang aneh," desis Arje ter-
cengang. "Lalu apa tujuanmu kemari?"
"Kau ingin tahu tujuanku" Hmm, aku tengah men-
cari anakku yang minggat dari rumah."
"Dan siapa nama anakmu itu" Laki-laki atau pe-
rempuan"!" bertanya pula si Dregil dengan gencar
sambil bertolak pinggang.
Nenek Durganti mengerinyitkan dahinya. Wajahnya
yang penuh kerut-merut serta beberapa bintik dengan warna kulit yang kuning
kehijauan seperti mayat, benar-benar menyeramkan. Begitu menghadapi Dregil
dan Arje yang memberondongkan pertanyaan-perta-
nyaan, ia lantas jengkel, katanya kemudian, "Keparat!
Kalian masih ingusan! Tidak tahu adat! Kalian mena-
nyaiku seperti memeriksa seorang pesakitan!"
"He, heh, he. Lucu! Lucu," seru Arje diiringi keta-
wanya. "Wajahmu makin peyot, Nek!"
"Heh, he. Betul! He, he, he. Betul!" ujar Dregil mem-betulkan pendapat si Arje.
"Kalau marah, wajahnya
makin peyot!"


Pendekar Naga Geni 19 Tragedi Di Tengah Kabut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hyaatt!" teriak nenek Durganti seraya menya-
betkan tongkat hitamnya ke depan, menyapu ke arah
dada Dregil dan Arje.
Dengan kekagetan yang luar biasa, Dregil dan Arje
buru-buru membuang diri ke samping, terus berguli-
ngan menjauh dari lawannya.
"Naa, ayolah teruskan mementang mulut, bocah i-
ngusan! Baru sekian saja sudah gelagepan!" ejek nenek Durganti disusul ludahnya
meloncat dari bibir.
Terang bahwa Dregil dan Arje tidak mengira bahwa
si nenek kempong-perot itu mampu melabrak dengan
gerakan tongkat yang tiba-tiba. Untung saja bahwa keduanya mempunyai ilmu yang
lumayan. Jika tidak,
mana bisa mereka lolos dengan mudahnya dari sera-
ngan tongkat hitam si nenek.
*** 3 TANPA MEMBUANG waktu, keduanya segera melo-
los pedangnya seraya bangkit dan bersiaga, sementara si nenek Durganti masih
berkikikan ketawa.
"Huh! Seranganmu sungguh mengagumkan, nenek
reyot! Tapi jangan kau kira bahwa kami tak sanggup
melawanmu"!" berkata Arje seraya melentur-lenturkan pedangnya.
"Bagus! Cobalah mulai. Aku ingin tahu sampai be-
rapa lama kalian mampu menghadapiku"!" kata nenek
Durganti. Tangannya telah menggenggam pertengahan
batang tongkat, siap diputarnya untuk menghadapi
kedua lawannya. "Ayo, bocah ingusan, jangan malu-
malu. Majulah berbareng kemari, supaya tidak kepa-
lang tanggung!"
Seperti akan meledak dada Dregil dan Arje mende-
ngar tantangan nenek Durganti tersebut. Maka secepat kilat keduanya menyerbu
bersama, menebaskan pedang yang berkilat-kilat di tangannya.
"Jeeaah!"
Kalau pedang Arje mengancam kepala si nenek
Durganti, pedang Dregil bergerak menyapu ke arah lutut. Ternyata memang serangan
mereka saling bergerak dengan jurus berpasangan dan tentu saja serangan
begini akan sukar untuk dihadapi. Dan celakanya lagi, Arje juga mengibaskan
tangan kirinya, disusul beberapa pisau kecil menyambar ke arah nenek Durganti.
"Tobat! Serangan beruntun!" desis nenek Durganti
saking kagetnya mendapat serangan yang begitu ganas dan penuh nafsu.
Tetapi sesaat kemudian, nenek Durganti dengan te-
nang menghadapi serangan lawan, sebab untuk meng-
hadapi gerakan yang buas diperlukan ketenangan.
Makin tenang, makin jelas ia dapat mengikuti gerakan lawan. Maka itulah sebabnya
nenek Durganti tiba-tiba melesat miring ke depan dengan menggerakkan kedua
tangannya berbareng, berserabutan kesana-kemari.
Tangan kiri menyapu ke depan tubuh, sedang tangan
kanannya menggenggam tongkat yang berputar seperti
baling-baling. Tap! Tap! Tap! Trang Traaangng!
Beberapa bunyi benturan terdengar beruntun su-
sul-menyusul dan sesaat kemudian Dregil serta Arje terhuyung ke belakang sambil
mulutnya peringisan
menahan rasa sakit dan pedih yang membakar jari-jari tangan kanannya
Mereka terpaksa kagum bahwa kedua senjata pe-
dangnya kena ditangkis oleh putaran tongkat hitam si nenek Durganti yang
bergerak ke atas dan ke bawah.
Malahan dengan melongo, keduanya menatap tangan
kiri nenek tua tadi. Pada tiap-tiap sela-sela jari-jema-rinya terseliplah pisau-
pisau kecil yang tadi dilempar oleh Arje.
Melihat kenyataan ini, secepat kilat Arje bersuit
nyaring memberi isyarat tanda bahaya kepada teman-
temannya yang masih tinggal di dalam gubuk-gubuk
darurat di sekitar tempat tersebut.
Sungguh mengagumkan bahwa nenek Durganti ma-
sih tetap tenang, bahkan ia tertawa cekikikan, ketika sesaat kemudian beberapa
teman Arje berloncatan keluar dari balik semak-semak, langsung mengepungnya.
"Hi, hi, hih. Mari, kalian semua! Kita bermain-main menghilangkaN kantuk. Hi,
hik. Coba kuhitung semuanya. Satu, dua, tiga, empat, lima, tambah satu lagi,
enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh! Wah, wah,
hampir dua regu pasukan lengkap dengan senjata. Ini sudah cukup banyak. Hayo,
sekarang marilah, silakan
membuka serangan!" berkata nenek Durganti menan-
tang, sementara Arje dan teman-temannya telah ber-
siaga. Siapakah yang tidak jengkel mendengarkan tanta-
ngan nenek reyot yang berlagak perkasa ini" Lebih-
lebih Dregil dan Arje, kelihatan mengkerot-kerotkan giginya menahan marah.
"Kawan-kawan! Keroyok nenek bangkotan ini! Ca-
cah-cacah tubuhnya sampai lumat! Lekas!" teriak Arje memberi aba-aba, yang
seketika disambut oleh teriakan kawan-kawannya.
Mereka bersepuluh serentak bergerak menyerang si
nenek Durganti dengan cara berpasangan, masing-
masing dua orang menyerang berturut-turut, susul-
menyusul sebagai ombak laut yang ganas.
Biar bagaimanapun, nenek tua ini menghadapi ke-
sepuluh lawannya dengan tenang. Meski seolah-olah
hujan serangan senjata mengurungnya, ia dengan se-
bat memutar tongkat hitam di tangannya menyambut
setiap serangan.
Ketika ternyata nenek itu masih tangguh mengha-
dapi serangan-serangan tersebut, Arje dan kawan-
kawannya merubah siasat. Mereka membentuk satu
lingkaran yang mengepung nenek Durganti dengan ke-
tatnya, tanpa ada tempat yang lowong untuk diterobos.
Kesepuluh lawan nenek Durganti tersebut kemudian
bergerak melingkar, seperti roda yang tengah berputar, membuat lawan yang belum
kenyang pengalaman
akan pusing. Dan justru inilah yang dikehendaki oleh mereka. Bila lawannya sudah
pusing, maka serangan
serentak akan mereka lancarkan seketika. Tapi, da-
patkah nenek Durganti tadi menjadi pusing" Ini tak
dapat dipastikan, kecuali ia sedikit kelihatan ter-
huyung. "Serang!" teriak Arje dan seketika kesepuluh pe-
ngepung tadi bergerak ke dalam, melancarkan sera-
ngan-serangan dahsyatnya.
Weeesssttt Trrraaangng!
Nenek Durganti menangkis dan tubuhnya melenting
ke udara lalu meloncat ke luar dari lingkaran kepu-
ngan kesepuluh lawannya.
Akan tetapi mereka tangguh pula. Lingkaran manu-
sia inipun bergerak cepat ke samping mencegat loncatan si nenek, sehingga
akhirnya, begitu nenek Durgan-ti tiba di tanah, ia telah mendapatkan dirinya
tetap dalam kepungan musuh.
Kini tahulah dia, bahwa kesepuluh lawannya akan
sangat sukar untuk dirobohkan satu persatu, jadi harus secara serentak pula.
Oleh sebab itu, nenek Durganti telah bersiaga sepenuhnya, lebih-lebih ketika
lawan-lawannya meluruk kembali melancarkan sera-
ngan. Kali ini nenek Durganti tidak menghindar tapi tetap tinggal di dalam
lingkaran pengepungan dengan memutar tongkat hitamnya.
Traang! Trang! Triing!
Benturan-benturan senjata terjadi dan kesepuluh
pengepung tadi terhuyung ke belakang, begitu senjata-senjata mereka beradu lawan
tongkat si nenek Dur-
ganti. Detik berikutnya, dalam saat yang singkat, Durganti bergerak lebih cepat lagi,
sangat mengagumkan. Ia meloncat berkeliling, ke sana-ke mari sambil tangan
kirinya berserabutan menotok jalan darah kesepuluh lawannya seperti pada sisi
leher, pundak ataupun dada.
"Aaakh! Aduuuh! Tobat!" seru mereka hampir ber-
bareng dengan tubuh-tubuh kaku seperti arca yang
bernyawa, begitu tubuh mereka kena ditotok oleh jari-jari Durganti yang ampuh.
Si nenek itu kini berdiri tenang di tengah lawan-
lawannya yang telah kaku, kemudian berkata, "Naaa,
bocah-bocah ingusan! Sekarang bagaimana keinginan
kalian" Apakah masih ingin membandel dan sombong
di hadapanku, hah" Hi, hi, hi, hi. Jika mau, aku bisa meninggalkan kalian dalam
keadaan begini, supaya
tubuh-tubuh kalian dapat disantap oleh binatang-
binatang buas di hutan ini."
"Jangan pergi, nenek! Kami bertobat!" seru Arje dan kawan-kawannya serentak.
"Tolong bebaskan kami!
Kami mengaku kalah!"
"Hi, hi, hi, jadi kalian cukup puas dengan permai-
nan ini" Baiklah, aku akan membebaskan kalian. Tapi kalian harus sanggup
membantuku! Juga harus meminta maaf! Bagaimana" Sanggup?"
"Sanggup!" ujar kesepuluh lawan yang telah bertu-
buh kaku. "Kami meminta maaf kepada nenek Durgan-
ti." "Hi, hi, hi. Bagus," seru nenek Durganti sambil berloncatan keliling
membebaskan totokan jalan darah
kepada seseorang lawannya dan sebentar kemudian
Arje, Dregil dan kawan-kawannya telah sembuh dan
pulih seperti sediakala. Mereka merasa bagai terbebas dari kematian yang hampir
mengancamnya. *** Arje, Dregil dan kedelapan kawannya berdiri meng-
gerombol di hadapan nenek Durganti dengan kepala
tertunduk. Mereka yang semula menganggap ringan
dan sepele terhadap lawannya yang telah tua renta ini, kini merasa malu begitu
nenek Durganti telah menak-lukkan mereka kesemuanya.
Sebaliknya si nenek itu masih tersenyum-senyum
puas, kemudian ia menebarkan pandangan matanya
ke depan dan berkata, "Hih, hi, hi. Siapa kalian berdua yang pertama
mencegatku?" Nenek Durganti berkata
seraya menunjuk ke arah Dregil dan Arje dengan jari-
jarinya yang berkuku panjang.
"Saya Dregil dan ini si Arje," ujar Dregil.
"Sekarang jelaskan kepadaku, apakah keperluan
kalian sampai menggerombol dan membuka gubuk-
gubuk di sini?"
"Kami sedang menunggu pemimpin kami," berkata
Dregil. "Dan sekarang sudah seharusnya ia tiba di sini."
"Ke mana perginya?"
"Ke Gilimanuk."
"Haa, ke Gilimanuk, katamu?" seru nenek Durganti
dengan kaget. "Siapa nama pemimpinmu itu, bocah?"
"Dia bernama si Tangan Iblis!"
"Si Tangan Iblis"!" berseru lebih keras si nenek Durganti sampai kesepuluh orang
di depannya terguncang kaget, sebab dada mereka sesaat berdentang hebat
oleh seruan si nenek yang terisi tenaga dalam.
"Mengapa terkejut, Nenek" Apakah nama Tangan
Iblis cukup menggentarkan bagi Nenek?" ujar Dregil.
"Menggentarkan" Tentu saja!" sahut nenek Durgan-
ti. "Tapi bukan karena takut kepadanya!"
"Jadi maksud Nenek..."!" sela Dregil menegaskan.
"Aku sudah lama mencarinya!" nenek Durganti di-
barengi ketawa cekikikan bernada gembira sampai tu-
buhnya berguncang-guncang dan rambutnya yang te-
rurai lepas awut-awutan itu ikut tergerak berhambu-
ran melambai-lambai. "Sebab, kalian harus tahu sekarang, bahwa si Tangan Iblis
itu adalah puteraku! Kalian mengerti, hah"! Buka kupingmu lebar-lebar. Ta-
ngan Iblis yang menjadi pemimpin kalian itu adalah
anakku!" Mendengar perkataan tadi, Dregil dan kawan-ka-
wannya bagai disambar petir kagetnya. Mereka seren-
tak membungkuk hormat ke hadapan nenek Durganti
seraya berkata ketakutan, "Harap dimaafkan perla-
kuan kami yang kurang pantas tadi."
"Hi, hi, hi, sudah kuampuni, kalian," berseru nenek Durganti. "Tak kukira bahwa
Tangan Iblis bisa menjadi seorang pemimpin. Tapi jelaskan kepadaku, Dregil, apa
sebabnya ia pergi ke Gilimanuk?"
"Mereka sedang menyerbu rumah seorang saudagar
kaya," kata Dregil pula, membuat nenek Durganti terkejut.
"Wah, kelewat berani anak ini," gereneng Durganti.
"Mudah-mudahan ia tidak menemui kesulitan di sana.
Hai, Dregil. Kau tadi mengatakan bahwa seharusnya
mereka telah pulang"!"
"Benar, Nenek. Malah seharusnya mereka sudah ti-
ba tadi malam!"
"Ooo, jadi terlambat artinya," kata Nenek Durganti
dengan hati berdebar-debar. "Kalau ternyata demikian, marilah Dregil, siapkan
diri kalian untuk menyusul si Tangan Iblis!"
Sebentar kemudian terlihatlah kesibukan memper-
siapkan diri untuk perjalanan ke barat menuju ke Gilimanuk. Namun tiba-tiba saja
mereka dikejutkan oleh
munculnya sesosok tubuh manusia yang bermandi ke-
ringat dan beberapa luka berdarah tampak menghiasi
tubuhnya. Nenek Durganti dan orang-orang menolong-
nya. "Tolong! Aduh, Ki Tangan Iblis terluka," rintih orang yang terluka tadi dengan
terengah-engah, menandakan bahwa ia telah menempuh perjalanan yang jauh.
"Di mana teman-teman yang lain?" berkata Dregil.
"Dan Ki Tangan Iblis berada di mana?"
"Ki Tangan Iblis terluka bersama I Jembrana dan
Jimbaran, tertinggal di belakang sana. Tapi untunglah kita telah lolos dari
kejaran mereka!"
Nenek Durganti seperti tak sabar mendengar orang
menyelesaikan kata-katanya. Karena ia telah lama
mencari Tangan Iblis dan kini mendengar bahwa
anaknya telah mendapat luka, maka cepat-cepat ia
berkata, "Dregil! Arje! Bawalah separuh teman-teman mengikuti aku. Yang separuh
tinggal di sini, merawat orang yang luka-luka. Pasti akan datang lagi lainnya!"
Selesai berkata, Nenek Durganti telah meloncat ke
barat disusul oleh Dregil, Arje, dan tiga orang temannya. Sebentar saja
tampaklah bayangan-bayangan
manusia yang berlari, berloncatan menerobos semak
dan jalan-jalan kecil tak ubahnya kijang-kijang yang lagi berkejaran.
Dregil dan Arje serta kawan-kawannya terpaksa
mengerahkan tenaga untuk dapat mengikuti loncatan
dan lari si Nenek Durganti yang berada di sebelah depan. Tak urung mereka
mengumpat-umpat di dalam
hati, di samping rasa kagum terhadap Nenek Durganti yang sudah tua renta, tapi
malah mengalahkan mereka, terutama dalam ilmu tenaga dalam dan tata kelahi.
Nenek Durganti yang berlari paling depan selalu
memasang telinga dan menebarkan pandangan ma-
tanya meskipun ia tengah berlari begitu cepat. Ram-
butnya yang terurai lepas dan berkibar-kibar tertiup angin menimbulkan pandangan
yang menyeramkan di


Pendekar Naga Geni 19 Tragedi Di Tengah Kabut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

samping wajahnya yang berkeriput dan berwarna se-
perti mayat. Ketika mereka sampai pada sebuah mata air, tiba-
tiba nenek Durganti mengacungkan tangan kirinya ke
atas, dan seketika itu pula Dregil dan kawan-kawan-
nya segera berhenti.
Tak jauh dari tepian mata air, tiga sosok tubuh te-
ngah tergeletak dengan mengerang kesakitan. Seorang di antaranya berlepotan
darah pada mulut dan di sebelahnya, seorang lagi menebah lambungnya yang meng-
alirkan darah. Sedang di depan mereka nampak seo-
rang yang kelihatannya masih mampu mengatasi diri-
nya telah mencoba untuk duduk. Pada pundak kiri
orang ini kelihatan satu bengkak kebiruan yang meng-alirkan darah kental
kehitaman. "Anakku... Tangan Iblis!" berseru nenek Durganti
seraya berlari mendekati orang yang bengkak pada
pundaknya. "I Jembrana dan Jimbaran juga luka!" seru Dregil
dengan cemasnya. Ia tidak mengira bahwa ketiga orang sakti tadi dapat menderita
kekalahan dan luka-luka.
Maka dapatlah Dregil membayangkan bahwa lawan
dan musuh yang mereka hadapi memiliki kesaktian
yang hebat. "Kau terluka, Nak"!" sapa si nenek seraya meme-
riksa pundak Tangan Iblis yang bengkak. "Terkena apa ini"!"
"Senjata jarumku sendiri. Ia terpental balik kena
tangkisan senjata lawan," ujar Tangan Iblis disertai ceritera singkatnya tentang
pertempuran dahsyat di sebelah timur Gilimanuk. "Tapi Ibu tak usah cemas, sebab
aku telah minum obat penawarnya."
"Hmm, lawanmu bernama Wiku Salaka"! Aku be-
lum pernah mendengarnya," nenek Durganti berkata
pula, sementara tangannya mengurut-urut tempat-
tempat di sekitar pundak Tangan Iblis yang bengkak.
"Biarlah lain kali kau ceritakan lebih jelas tentang pertempuran itu. Sekarang
yang penting kau dan teman-
temanmu yang terluka harus segera mendapat perawa-
tan." Dregil, Arje, dan ketiga temannya cepat membantu
membuat usungan dari bambu untuk membawa I Jem-
brana dan Jimbaran yang terluka parah. Sedang Ta-
ngan Iblis sendiri mampu berjalan dengan dibantu oleh ibunya. Ni Durganti.
Akhirnya rombongan ini bergerak ke timur dengan
pelahan melewati jalan-jalan rintisan kecil yang menembus kerimbunan pohon-pohon
raksasa dalam hu-
tan di kaki selatan Gunung Merbuk.
Di sepanjang perjalanan, timbullah pertanyaan-per-
tanyaan di dalam diri si nenek Durganti tentang lawan yang baru saja mengalahkan
Tangan Iblis. Ia tidak
mengerti mengapa Tangan Iblis yang telah digemblengnya itu, masih dapat
dikalahkan oleh lawannya begitu saja. Bahkan terkena oleh senjata rahasianya
sendiri. Bukankah ini sangat memalukan bagi seorang jagoan
seperti Tangan Iblis"
Namun kemudian Nenek Durgantipun menjadi sa-
dar, bahwa gemblengan yang diberikan kepada putra-
nya belum selesai seluruhnya. Sehingga kekalahan si Tangan Iblis masih bisa
dimaklumi. Satu hal yang
menjadi jelas baginya ialah tentang lawan yang berna-ma Wiku Salaka. Setidak-
tidaknya ia berilmu setingkat dengan dirinya.
*** 4 SANG WAKTU TERUS BERJALAN. Pagi, siang, sore,
dan malam, dan seterusnya kembali lagi sang pagi
dengan sinar mataharinya yang segar dan hangat. Be-
gitulah irama waktu selalu berulang-ulang tanpa mem-bosankan. Meskipun sang pagi
hadir di setiap harinya, namun toh setiap kali ada suasana yang berlainan se-
jalan dengan irama kehidupan manusia dan alam seki-
tarnya. Berangsur-angsur kesehatan Wayan Arsana, si sau-
dagar kaya yang berumah di sebelah timur Gilimanuk, telah pulih dan sembuh
berkat rawatan ayah mertuanya, yakni Ki Wiku Salaka.
Dalam waktu yang sama, Ki Selakriya telah pula
memperoleh kesehatannya kembali, sesudah ia beristi-
rahat cukup lama. Pemahat ini masih tinggal bersama puteranya, Sunutama, dalam
rumah Wayan Arsana.
Dan Ki Selakriya kini mendapat satu kegembiraan
yang tak terhingga, ketika Wayan Arsana mengajaknya untuk merundingkan
peningkatan hubungan antara
Sunutama dan Made Maya.
"Apakah Anda tidak keberatan jika Sunutama men-
jadi suami Made Maya?" tanya Wayan Arsana kepada
sahabatnya yang waktu itu duduk-duduk bersama di
ruang pendapa. "Ooh, satu kehormatan bagi saya, Ki Wayan," ujar
Ki Selakriya berseri-seri gembira. "Tapi apakah kiranya patut jika keluarga
Andika yang kaya raya itu mengambil Sunutama sebagai menantu" Eh, maksud saya,
bukannya kami terlalu membedakan antara miskin
dan kaya. Tetapi bukankah di sini berlaku pembagian kasta-kasta di dalam
masyarakat?"
"Eh, janganlah Anda terlalu memusingkan soal itu,
Ki Sela. Seorang saudagar seperti saya ini, bisa tergo-long kasta Waisya. Dan
seorang pemahat yang baik seperti Anda, juga termasuk kasta Waisya. Jadi
setidak-tidaknya kita berada dalam kedudukan yang sejajar."
Ki Selakriya mengangguk-angguk dengan hati yang
puas dan ia berkata pula, "Terima kasih atas keterangan Andika tadi. Dengan
demikian aku tidak merasa
sungkan-sungkan lagi."
"Dan lagi," ujar Ki Wayan Arsana melanjutkan bica-
ranya, "yang penting bahwa kedua calon suami istri
tersebut saling cinta-mencintai, seperti halnya Ananda Sunutama dan Made Maya.
Nah, semoga Anda tak lagi
merisaukan hal itu."
"Sekali lagi terima kasih," kata Ki Selakriya. "Na-
mun harap Andika tidak keberatan untuk menerima
hadiah perkawinan dari saya, sebagai mas kawin un-
tuk Ananda Made Maya. Untuk itu kami telah me-
ngerjakan dua buah patung singa, merupakan sepa-
sang patung pengawal pintu gerbang yang bentuknya
kami ambil dari patung singa di Candi Borobudur."
"Hmm, akan kami terima dengan senang hati karya-
karya Anda itu. Terima kasih," berkata Wayan Arsana dengan mata yang berkaca-
kaca saking terharunya.
Kalau yang diberikan oleh sahabatnya itu berwujud
harta benda tentulah itu merupakan hal yang lumrah, apalagi bagi Ki Wayan Arsana
yang kaya raya dan ber-lebih-lebih dalam harta bendanya. Tapi yang diberikan Ki
Selakriya ternyata adalah patung pahatan hasil
daya cipta yang tentu nilainya akan lebih tinggi daripada harta benda yang dapat
diserahkan Ki Selakriya.
Rupanya tidak Wayan Arsana saja yang berkaca-
kaca matanya, Ki Selakriyapun demikian pula. Rasa
harunya tak terkira, bahwa pengharapan dan cita-ci-
tanya sebagai seorang tua, kini telah terlaksana. Akhirnya Sunutama telah
mendapat jodohnya, seorang ga-
dis yang baik budi pekertinya dan pandai dan berilmu tinggi pula. Itulah Made
Maya. *** Sementara itu, seorang yang berperawakan gagah
dan mengenakan caping lebar, tengah berpacu ke arah timur. Kudanya diderapkannya
dengan cepat meninggalkan debu-debu dan kerikil bertaburan. Sebentar ia menoleh
ke arah barat, menatap pintu gerbang rumah
Ki Wayan Arsana yang menjulang tinggi dengan me-
gahnya. "Hmm, terpaksa aku harus kembali dulu ke Singa-
raja, dan memberi laporan kepada pimpinan tamtama,"
demikian desah si penunggang kuda yang tidak lain
adalah pendekar Ngurah Jelantik. "Melihat luka Jim-
baran dan Jembrana yang cukup parah, pastilah me-
reka tidak akan hidup lebih lama dari satu minggu.
Namun aku akan tetap membuntuti mereka, sebelum
aku tahu dengan pasti tentang kematian mereka! Se-
dang munculnya tokoh jagoan seperti si Tangan Iblis itu, benar-benar di luar
dugaan! Dia berilmu tinggi dan mempunyai kekuatan yang tangguh. Untung saja
kakek Wiku Salaka turun tangan untuk ikut mengusir si Tangan Iblis. Jika tidak,
mungkin rumah Wayan Arsana seisinya telah dihancurkannya. Sayang aku belum
banyak mengetahui tentang si Tangan Iblis ini, dan
semoga saja pimpinan tamtama di Singaraja dapat ba-
nyak memberikan keterangan tentang dia."
Ngurah Jelantik terus memacu kudanya dan ketika
ia sekali lagi menoleh ke belakang, pintu gerbang dan rumah Wayan Arsana telah
lenyap dari pandangannya,
tertutup oleh pepohonan.
Kini pusat perhatian Ngurah Jelantik dipusatkan-
nya ke depan, ke arah jalan yang akan ditempuhnya.
Jalan-jalan ini masuk ke bawah pohon-pohon raksasa, menerobos hutan yang lebat,
bagaikan masuk ke dalam pelukan raksasa rimba yang menyeramkan. Jalan
tersebut sangat lengang dan sepi seolah-olah anginpun tiada bertiup di situ,
bisu dan mencengkam perasaan.
Sebenarnya, jaranglah orang yang berani lewat sen-
dirian di jalan yang menerobos lewat hutan ini. Kalau toh ada, tentulah mereka
menyeberang dengan cara
berombongan, lengkap dengan para pengawal yang
bersenjata, sebab seringlah perampok-perampok men-
cegat orang-orang yang lewat di situ, untuk merampas harta bendanya. Selain itu,
tidak jarang mereka di-bayangi oleh binatang-binatang buas, seperti harimau
ataupun ular yang besar kebanyakan hidup di tempat-tempat lembab dan suram.
Ternyata pendekar Ngurah Jelantik tidak dipenga-
ruhi oleh hal-hal itu, terbukti dengan enaknya ia
menggeprak kudanya menempuh hutan yang lembab
di depan. Apabila Ngurah Jelantik makin jauh masuk ke da-
lam perut hutan, segera ia merasakan hawa yang lem-
bab. Cahaya matahari cuma kuasa menembus berkas-
berkas sinarnya ke dasar hutan sehingga pemandan-
gan di situ tampak lebih seram, laksana alam impian yang penuh kengerian.
Ditambah pula dengan banyaknya sulur dan akar-akaran yang berjuntai dari
atas dahan-dahan pepohonan, sempurnalah kesera-
man yang menjelma di situ.
Tiba-tiba, Ngurah Jelantik terperanjat ketika kuda-
nya meringkik-ringkik kecil serta mengangguk-anggukkan kepala. Bersamaan
kemudian, telinga pendekar
Singaraja yang sangat peka itu telah mendengar suara-suara manusia dari ujung
jalan yang tengah ditem-
puhnya. "Kau telah mencium bahaya, Hitam?" kata Ngurah
Jelantik seraya menepuk-nepuk leher kudanya. "Te-
nang saja di sini, aku akan melihatnya!"
Ngurah Jelantik kemudian membelokkan kudanya
ke dalam semak di tepi jalan, lalu dengan sebatnya ia turun ke tanah.
Segera setelah ia menambatkan tali kekang kuda-
nya ke sebuah dahan pohon, lekas-lekas ia mengen-
dap-endap maju ke depan dengan hati-hati. Dahan-
dahan kering yang kelihatan berserakan di tanah, selalu dihindarinya agar tidak
menimbulkan suara, karena injakan kakinya yang melangkah setapak demi setapak
dalam gerakan yang sangat lambat.
"Heh, siapa kiranya yang berada di tempat ini selain aku?" gumam Ngurah
Jelantik. "Kedengarannya mereka bercakap-cakap dengan kerasnya. Pertengkaran
barangkali!"
Apa yang menjadi perkiraan Ngurah Jelantik dalam
dirinya tadi ternyata mendekati kebenaran. Begitu jari-
jarinya menguak dedaunan semak yang menghalang di
depan mata, terlihatlah beberapa orang berwajah be-
ngis menghadang di tengah jalan, sedang di depan mereka berdirilah seorang gadis
dan seorang laki-laki tua yang memanggul sapu lidi bertangkai serta bungkusan
barang yang terikat pada batang sapu tersebut.
"Kami bukan orang kaya, Tuan. Kami tak membawa
apa-apa yang bernilai. Maka kami mohon kepada
Tuan-tuan sekalian, agar kami boleh melanjutkan perjalanan," ujar laki-laki tua
dengan wajah ketakutan sementara tangan kirinya memegang lengan gadis yang
berdiri di sampingnya dalam sikap yang melindungi.
"Sejak tadi belum kau sebut namamu! Dan juga
nama gadis cantik di sebelah itu!" teriak seorang bersenjata pedang, berikat
kepala merah. "Apa perlunya kau tanyakan namanya, Kakang
Arje"! Yang perlu kan bungkusan yang dibawa mere-
ka"!" ujar seorang teman di dekatnya.
"Hus, diam dulu kau, Dregil!" berkata Arje. "Siapa
tahu mereka masih ada hubungan keluarga dengan
saya." "Lekas sebut namamu, Pak!" sambung Dregil pula.
"Siapa tahu bahwa nama gadis ini akan cocok untuk
nama calon istriku"!"
"Saya bernama Ki Sukerte, Tuan," laki-laki tua ber-
kata. "Dan anak gadisku ini adalah Putu Tantri."
"Ha, ha, ha. Bagaimana, Kakang Arje" Bukankah
cocok sekali bila Putu Tantri menjadi istri saya"!" ujar Dregil sambil
berjingkrakan senang. "Dan bungkusan
mereka, kita rampas pula!"
"Bagus!" puji Arje. "Kau berpikir cemerlang, Dregil.
Sebab itu lekas-lekas kita mintai bungkusan tersebut dari mereka!"
"Jangan, Tuan. Bungkusan ini cuma berisi kain-
kain tua yang tidak berharga," keluh Ki Sukerte.
"Keparat! Apa kau ingin dipaksa untuk menye-
rahkan benda-benda itu, hei"!" seru Arje dengan meng-ancamkan pedangnya ke
depan, mengarah ke dada Ki
Sukerte. "Lekas! Jangan tunggu sampai hilang kesaba-ranku!"
"Ooh, kasihanilah kami, Tuan. Bungkusan ini ada-
lah satu-satunya bekal kami di perjalanan. Jangan
Tuan-tuan memintanya."
*** Sementara itu, Ngurah Jelantik yang bersembunyi
mengintai di balik dedaunan semak, ikut berdebar-
debar hatinya melihat peristiwa yang ada di hadapannya. Ia telah melihat bahaya
yang tengah mengintai.
Menuruti gerak hati dan darma ksatria, sudah sepan-
tasnyalah bila ia cepat-cepat tampil ke depan untuk turun tangan memberikan
bantuannya kepada Ki Sukerte dan anak gadisnya. Namun sebagai seorang pen-
dekar yang telah kaya akan pengalaman, ia lalu men-
jadi curiga dan menangguhkan niatnya tadi. Sebab ia tak habis mengerti mengapa
kedua orang ini berani
menempuh perjalanan melewati hutan yang kelewat


Pendekar Naga Geni 19 Tragedi Di Tengah Kabut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

angker dan penuh bahaya. Untuk mencari mati, ba-
rangkali" Itupun tidak mungkin! Mestinya mereka
memang sengaja lewat di hutan ini. Dengan begitu dapatlah disimpulkan bahwa
keduanya termasuk orang-
orang pemberani. Dan satu hal lagi yang meragukan
hati Ngurah Jelantik adalah sikap serta gerakan Ki
Sukerte. Meskipun ia nampak ketakutan, namun po-
sisi tubuhnya selalu menunjukkan kesiagaan dalam
menghadapi bahaya yang mengancamnya. Seperti ta-
ngan kanan yang menggenggam erat batang sapu, se-
mentara kaki kiri terbuka ke depan setengah langkah dan kaki kanan serong ke
belakang. "Lekas serahkan bungkusan barangmu itu! Cepat!
Kau dengar dengan telingamu, hee!" tiba-tiba terdengar teriakan Arje yang
membuat Ngurah Jelantik ikut terkejut. Nampaknya ia telah kehilangan sabar dan
men- gancam dengan pedangnya yang berkilat kepada Ki
Sukerte. "Jangan, Tuan! Jangan bermain-main dengan pe-
dang setajam itu. Tuan telah menakuti anak saya!"
ujar Ki Sukerte ketakutan.
"Nah, jika demikian, lekaslah kau serahkan barang-
barangmu itu! Ayo!" bentak Arje sambil bergerak maju mendekati Ki Sukerte
berdua. "Tidak! Maaf, Tuan. Kami tak mempunyai apa-apa
yang patut kami serahkan untuk Tuan-tuan sekalian!"
seru Putu Tantri. "Sebab tak ada barang-barang kami yang berharga untuk dijual."
"He, he, he. Kalau untuk kau, bocah manis, cukup
kau serahkan dirimu untuk menjadi istriku," ujar Dregil menyela. "Sedang untuk
ayahmu, cukup menye-
rahkan bungkusan barang itu!"
Ki Sukerte dan Putu Tantri tidak lekas-lekas men-
jawab, kecuali keduanya berusaha melarikan diri. Sayang bahwa teman-teman Dregil
dan Arje telah waspa-
da, sehingga ketika keduanya bergerak mencurigakan, para penghadang telah lebih
dulu mencegatnya.
"Ooo, jadi kalian berdua telah nekad, yaa"!" teriak Arje sangat marah. "Jika
demikian kami tidak mempunyai pilihan lain, selain memaksa kalian untuk me-
nyerahkan barang-barangmu!"
"Kawan-kawan! Cepat kita ringkus keduanya! Tapi
yang perempuan jangan dilukai, sebab ia menjadi ba-
gianku!" seru Dregil pula.
Sekejap itu pula, Arje, Dregil dan kawan-kawannya
telah menyerang Ki Sukerte dan mengincar bungkusan
yang dibawanya. Kenekadan Ki Sukerte ternyata telah menimbulkan kecurigaan di
pihak Arje dan Dregil. Pi-
kir mereka, kalau toh bungkusan itu cuma berisi kain-kain tua ataupun barang-
barang tak berharga, menga-
pa tidak lekas-lekas diserahkan saja kepada mereka"
Dengan agak terkejut, Ki Sukerte buru-buru me-
nangkiskan tangkai sapunya ketika sebuah tebasan
pedang Arje menyerang dari depan.
Clang! Benturan seru terdengar nyaring dan Arje secepat
kilat melompat ke samping, sedang tangannya tergetar hebat.
Dalam waktu yang sama dan singkat, Dregil telah
pula menyerang dari samping dengan sebuah tombak.
Karenanya, Ki Sukerte secepatnya memutar tangkai
sapunya ke samping menangkis tombak lawannya se-
belum mata tombak tersebut menembus lambungnya.
Sungguh berat gerakan Ki Sukerte. Sebab di sam-
ping menanggulangi serangan lawan, iapun masih ha-
rus melindungi Putu Tantri dari gerayangan tangan-
tangan pengeroyoknya.
"Hyaaatt!" jeritan mengagetkan dari mulut Arje me-
lengking, bersama pedangnya menebas dari sebelah ki-ri Ki Sukerte, yang saat itu
tengah menahan serangan tombak dari Dregil.
Waaak! Tiba-tiba tali pengikat bungkusan Ki Sukerte kena
terbabat putus, sehingga bungkusan tadi terbuka berserakan setelah jatuh
terhempas di tanah.
Ki Sukerte dan anak gadisnya terkejut ketika bung-
kusan tadi terjatuh, terlebih-lebih lagi bagi Arje dan kawan-kawannya. Mereka
sesaat seperti ternganga melihat isi bungkusan Ki Sukerte yang terserak di
tanah. Tampaklah kitab-kitab daun lontar, beberapa lembar
kain tua yang usang dengan beberapa corat-coret dan dua buah kipas yang
mengeluarkan cahaya putih gemerlapan, menyilaukan mata.
"Sepasang Kipas Perak!" desis Arje dan Dregil, begi-tu melihat kipas gemerlapan
tadi. "Pastilah! Itu barang berharga yang pernah kita jumpai!"
"Ha, ha, ha. Ternyata kau masih mempunyai barang
berharga, Pak!" Dregil berkata. "Kau telah mencoba
mengelabui kami. Akhirnya hukuman beratlah yang
akan kau terima!"
Ki Sukerte tidak lagi memperhatikan kata-kata an-
caman dari Dregil, melainkan ia segera berkata kepada anak gadisnya, "Putu
Tantri, tunggu apa lagi kau" Cepat bereskan barang-barang kita yang tumpah ini,
Nak! Dan peganglah sepasang Kipas Perak itu!"
Dengan gerakan hebat, Putu Tantri telah membung-
kus kembali barang-barang yang berserakan di dekat
kakinya, sementara Ki Sukerte berjaga-jaga melindu-
nginya dengan sapu lidi bertangkai.
Hampir semua mata terpaku melihat kecepatan Pu-
tu Tantri bergerak. Sesudah ia membungkus kembali
barang-barang tadi, lalu diselempangkan ke punggung, dan kedua ujung bungkusan
kain tadi ditalikan ke da-danya.
Kedua kipas perak telah tergenggam masing-masing
Pendekar Panji Sakti 11 Si Dungu Karya Chung Sin Kasih Diantara Remaja 3
^