Pencarian

Bukit Kepala Singa 2

Pendekar Naga Geni 18 Bukit Kepala Singa Bagian 2


Sesudah saling berkenalan dan sementara para pe-
numpang yang menderita luka-luka diobati, para tukang perahu lalu kembali ke
tempat tugasnya masing-masing.
Kemudian, perhatian Ngurah Jelantik, Wayan Arsa-
na dan Ki Selakriya beralih kepada seorang anggota perompak yang terluka parah
dan tertinggal di situ.
Orang tersebut telah dirawat pula, meski harapan untuk tetap hidup sangat tipis.
Pada dadanya terdapat bekas-bekas luka yang lebar dan cukup dalam. Keadaan sudah
sangat lelah dan bicarapun sudah terlalu sukar untuknya. Karenanya Ngurah
Jelantik menjadi cemas, sebab ia banyak membutuhkan keterangan da-ri orang
tersebut. "Lekas kau katakan, siapa nama pemimpinmu" Je-
laskanlah pada kami, supaya dosa-dosamu menjadi ringan!" desak Ngurah Jelantik
kepada orang yang luka parah tadi.
Si perompak ini rupanya menyadari akan segala do-
sa-dosanya, dan setitik harapan untuk meringankan dosanya telah timbul dengan
pertanyaan Ngurah Jelantik tadi.
"Aku... ses... sangsi. Apakah... kal... kalian akan mampu... meng... hadapi...
nya," ujar si perompak, sambil sebentar-sebentar menyeringai menahan sakit.
"Nam... namanya... ialah... si... si Tang... si Tangan...
Iblis...! Hhh... hh...."
"Telah berlalu!" gumam Ngurah Jelantik pelahan.
"Dan dia telah menyebutkan nama yang menakutkan...
si Tangan Iblis!"
"Memang menakutkan!" sahut Wayan Arsana mene-
gaskan kata-kata sahabatnya. "Nama si Tangan Iblis banyak membuat ciut hati
orang-orang di pesisir barat dan selatan Pulau Bali."
"Itu tidak keliru. Si Tangan Iblis kabarnya memiliki kesaktian yang luar biasa dan belum pernah ada lawan yang masih hidup bila bertarung
menghadapinya," ujar Ngurah Jelantik. "Oleh sebab itu para pembesar di Singaraja
telah menugaskanku untuk menyelidiki si Tangan Iblis tersebut. Akh, masih
panjang tugas ini untuk diselesaikan, dan agaknya Andika berduapun tertarik pula
oleh hal ini."
Wayan Arsana mengangguk. "Kami kagum begitu
melihat jurus-jurus gerakan dari tata kelahi Andika.
Berkeberatankah bila Anda mengajarkan beberapa di-antaranya kepada kami?"
"Oo, dengan senang hati saya bersedia mengajar-
kannya. Tapi di manakah Anda tinggal?" Ngurah Jelantik bertanya.
"Di sebelah timur Gilimanuk," jawab Wayan Arsana
pasti. "Tuan dapat singgah dan menginap beberapa ha-ri di sana sebelum kembali
ke Singaraja."
"Terima kasih untuk itu," Ngurah Jelantik berkata seraya mengeluarkan senyumnya.
Perahu penyeberang ini terus meluncur menuju ke
arah timur, setelah beberapa saat yang lewat mereka telah meluncurkan ke air dua
sosok tubuh tak bernya-wa dari anak buah perompak I Jembrana.
Sang matahari telah mencium cakrawala barat dan
menarik sinarnya untuk bersama-sama tenggelam di
kaki langit sana. Daratan Pulau Bali telah tampak dan mulai membayang di sebelah
timur. Beberapa perahu nelayan mulai tampak dan berpapasan dengan perahu
penyeberang yang ditumpangi Ngurah Jelantik, Wayan Arsana, Ki Selakriya dan
Sunutama. Kini mereka dapat menarik nafas lega setelah pe-
nyeberangan ini melalui suatu bahaya yang hampir-
hampir merenggut nyawa dan menghancurkan me-
reka. Pucuk-pucuk pohon nyiur yang semakin jelas tam-
pak berjejer di sepanjang pantai, seperti mengelu-elu-kan, melambai ke arah
perahu itu sebagai ucapan selamat datang. Lampu-lampu perahu yang berkelip-
kelip digoyangkan oleh angin tak ubahnya sekawanan kunang-kunang bertebaran di
atas riak air dan gemer-cik, menambah suasana keindahan yang tergambar
dari panorama senja di pantai Pulau Dewata.
Dari sana pula, terdengar sayup-sayup bunyi ga-
melan yang mengalun bersama angin senja, seperti
melambangkan pulau yang hidup dan selalu bergerak, seirama gerak ujung tangan
gadis-gadis yang menari dan putaran mata yang lincah selalu.
*** 4 GILIMANUK, sebuah kota bandar yang sangat ramai
di pantai barat Pulau Bali. Di setiap harinya tak kurang belasan perahu yang
menyeberang ke barat hilir mudik menghubungkan antara Gilimanuk dengan
Banyuwangi, sebuah kota di pantai timur Pulau Jawa.
Di sebelah timur Gilimanuk, sedikit di luar kota, terdapatlah sebuah rumah yang
megah dan berhala-man luas. Sebuah dinding halaman masih belum sele-
sai dikerjakan, demikian pula gapura, pintu gerbang masuk ke halaman belum ada
sama sekali, Pada pagi itu, beberapa orang tampak berjalan-jalan di halaman yang luas.
Seorang di antaranya memegang selembar kain putih bergambar dan ia membicarakan
sesuatu dengan tiga orang di sampingnya.
"Sungguh pantas dan tepat bila gapura itu diba-
ngun di sini," ujar seorang berwajah tampan, mengula-si terhadap gambar bentuk
gapura yang tertera pada lembaran kain tersebut. "Anda memang seorang pemahat
yang ulung, Ki Selakriya."
"Tuan Ngurah Jelantik, apakah pujian tadi patut
untuk diriku yang kecil ini?" Ki Selakriya berkata merendah diri.
"Heh, heh, heh. Aku berkata dengan setulus hatiku, Ki Selakriya. Anda tak usah
sungkan-sungkan," sambung Ngurah Jelantik.
"Jika demikian, aku mengucapkan terima kasih pa-
da Andika," kembali berkata Ki Selakriya.
"Pujian Tuan Ngurah Jelantik tadi memang sudah
sepatutnya, Ki Sela," ujar Wayan Arsana seraya menepuk bahu sahabatnya. "Anda
telah berhasil mengga-
bungkan gaya-gaya pahatan Jawa dengan gaya paha-
tan dari Pulau Dewata ini. Dan inilah yang sebenarnya saya maksud."
"Kapankah gapura ini dapat mulai kita kerjakan?"
bertanya Ki Selakriya mengalihkan persoalan.
"Eh, jika Anda telah siap, besokpun dapat kita mulai, Ki Sela," kata Wayan
Arsana dengan senangnya.
"Lebih cepat selesai, itu lebih baik. Apakah sudah An-da catat segala kebutuhan-
kebutuhan itu?"
"Semuanya telah tercatat dan sekarang anakku si
Sunutama tengah memesankannya."
"Itu bagus, Ki Sela," kata Wayan Arsana pula. "Namun Anda harus pula menyisihkan
waktu untuk se-
tiap sore. Anda belum lupa bukan, bahwa Ki Ngurah Jelantik akan mengajarkan
beberapa jurus silat kepada kita?"
"Akh, ya, ya. Seperti jurus gerakan Burung Layang-layang menirukan beberapa
gerakan yang pernah dilihatnya dari pendekar Ngurah Jelantik."
"Heh, heh, he, he. Anda mempunyai ingatan yang
tajam, Ki Sela," sahut Ngurah Jelantik dengan keheranan, begitu ia melihat bahwa
Ki Selakriya mampu menirukan gerakan-gerakan jurus silatnya dengan
baik. "Itu pertanda kalau Anda memiliki dasar-dasar yang cukup matang."
"Tuan Ngurah, apakah anakku si Sunutama diijin-
kan pula untuk ikut berlatih bersama kita?"
"Oo tentu, Ki Sela. Biarlah ia mengikutinya, sebab ini memang perlu bagi seorang
pemuda seperti dia.
Mempertahankan dan menjaga diri harus dilambari dengan bermacam ilmu dan
kepandaian."
Wajah Sunutama yang berdiri di situ menjadi cerah mendengar penuturan pendekar
Ngurah Jelantik tersebut.
"Heei, Sunutama. Jangan cengar-cengir melompong.
Lekas berikan hormatmu kepada pendekar Ngurah Je-
lantik yang akan menjadi gurumu!" ujar Ki Selakriya kepada anaknya.
Tanpa menunggu perintah lagi dari ayahnya, Sunu-
tama segera membungkuk hormat ke hadapan pen-
dekar Ngurah Jelantik sebagai penghormatan seorang calon murid kepada gurunya.
"Aah, sudah, sudah," ujar Ngurah Jelantik seraya
menepuk bahu Sunutama. "Jangan terlalu dalam eng-
kau membungkuk, Nak. Tegaklah kembali. Engkau te-
lah kuterima sebagai muridku."
Kesanggupan Ngurah Jelantik untuk melatih Wayan
Arsana, Ki Selakriya dan Sunutama tadi ternyata di-
kerjakannya dengan baik dan cermat.
Dan begitulah, pada setiap sore sesudah mengaso
dari pekerjaannya, keempat orang tadi berlatih dengan giatnya. Setahap demi
setahap, sehari demi sehari, Wayan Arsana bertiga telah diajari mulai dari
langkah-langkah dasar sampai ke tingkat yang harus dicapai.
Bagi Wayan Arsana ataupun Ki Selakriya, mereka
tak mengalami kesulitan apapun, sebab sebelum latihan itu, mereka telah
mempunyai dasar-dasar yang
cukup matang, sehingga bekal tadi seperti minyak licin yang mempermudah keduanya
menerima segala pelajaran dari pendekar Ngurah Jelantik. Sedang Sunuta-ma agak
lain keadaannya. Dasar yang ada pada dirinya tidak seberapa, maka seharusnya ia
akan banyak mengalami kesulitan dan bekerja keras.
Untunglah bahwa Ki Selakriya dan Wayan Arsana
banyak memberikan petunjuk dan bantuannya, se-
hingga bagi Sunutama yang mula-mula mengalami ke-
sulitan-kesulitan, akhirnya dapat mengatasinya.
Juga berkat kerajinan Sunutama sendiri yang ka-
dang-kadang suka menekuni berlama-lama antara ge-
rakan ayahnya sendiri, gerakan Wayan Arsana serta gerakan Ngurah Jelantik dan
kemudian menggabung-kannya sekali, menyebabkan dirinya memperoleh ilmu gerakan
dan jurus-jurus yang agak lain atau baru sa-ma sekali.
Tentu saja pendekar Ngurah Jelantik inipun dibuat tercengang oleh kemampuan
Sunutama dalam menerima pelajaran. Pada diri pemuda Sunutama ini, Ngurah
Jelantik seolah-olah dapat melihat dirinya sendiri pada masa-masa usia belasan
tahun. Bahkan sesaat ia terkenang semasa mudanya se-
waktu ia belajar pada gurunya. Hampir saja ia mendapat marah dari sang guru
karena ia mengolah sendiri gerakan dan jurus-jurus gurunya dengan mengga-
bungkannya dengan jurus-jurus dari luar perguruan.
Memang gurunya mempunyai peraturan yang keras.
Sebelum seseorang lulus, ia tidak diperkenankan men-ciptakan jurus-jurus
tersendiri. Dan sekarang ini, ia hampir melihat hal tersebut
pada diri Sunutama, namun itu tidak menjadi persoalan lagi baginya. Jaman telah
berganti dan peraturan-peraturan yang menghambat kemajuan tidak boleh di-
teruskan. Tanpa terasa, Ngurah Jelantik telah hampir sebulan tinggal di rumah saudagar
Wayan Arsana. Sedang Ki Selakriya pun hampir menyelesaikan separo lebih gapura
yang dipesan oleh Wayan Arsana.
Banyak orang yang mengagumi hasil pekerjaan Ki
Selakriya dan puteranya. Meski belum selesai seluruhnya, gapura tadi telah
memperlihatkan kemegahan dan keindahannya, hingga tak mengherankan bila ini
banyak menarik perhatian orang-orang di daerah itu.
Selama ini diam-diam Ki Selakriya menaruh rasa
heran pada putranya sendiri. Ia tidak menyangka bahwa Sunutama memiliki semangat
yang begitu hebat
dan tangguh. Pagi harus membantu ayahnya dalam
menyelesaikan gapura, dan sorenya berlatih tata kelahi serta membela diri,
bukankah pekerjaan ringan. Namun toh itu dapat dikerjakan oleh Sunutama dengan
baik. Kekaguman seorang tua kepada puteranya mem-
buat Ki Selakriya memperhatikan Sunutama lebih daripada biasanya. Dan akhirnya
orang tua itu mengetahui sebab-sebab dari kemajuan puteranya.
Pada suatu sore, sebelum latihan dimulai, Ki Selakriya berjalan-jalan untuk
menghirup udara segar. Di-tempuhnya jalan yang menuju ke utara, sebuah jalan
rintisan yang dinaungi oleh pohon-pohon sawo.
"Hmm, sejak pekerjaan berakhir, tak kulihat lagi
batang hidung Sunutama. Kemana anak nakal ini per-gi," begitu gerundal Ki
Selakriya sambil melangkahkan kakinya menempuh jalan rintisan tadi. "Kalau ia
sampai datang terlambat waktu latihan, ah, aku yang akan mendapat malu di
hadapan Tuan Ngurah."
Jalan yang lagi ditempuh oleh Ki Selakriya sering naik turun dan berbelok-belok.
Rumput yang menghi-jau, dedaunan yang bergoyangan terhembus angin banyak
menghiasi sepanjang jalan itu.
Tiba-tiba, Ki Selakriya dibuat kaget oleh sebuah
percakapan manusia yang lamat-lamat terdengar dari arah utara.
"Suara itu menuju kemari!" desis Ki Selakriya se-
raya meloncat ke tepi jalan, berlindung di balik sebatang pohon sawo dan semak-
semak di bawahnya.
Orang tua ini berdebar-debar pula hatinya selagi
bersembunyi. Sebenarnya ia merasa tak ada perlunya bertindak demikian tadi, tapi
entah mengapa bahwa nalurinya telah mengajak dia untuk meloncat dan bersembunyi
ke tepi jalan. Suara percakapan dan ketawa terdengar saling ber-
ganti, menggambarkan suasana gembira dan kecera-
han hati. Ketika dari arah utara Ki Selakriya melihat dua sosok tubuh yang berjalan
berdampingan, ia semakin
membenamkan kepalanya ke balik semak-semak di
depannya untuk lebih hati-hati menyembunyikan diri.
Mendadak saja mulut Ki Selakriya ternganga kaget, begitu juga kedua matanya
melotot seperti tak mau percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Ooh... bukankah itu Sunutama dan... Ni Made Ma-
ya"!" desis Ki Selakriya saking herannya. "Jadi mereka telah saling
bersahabat"!"
Ki Selakriya kini tahu dan segera dapat menebak
dengan sendirinya, bahwa gadis itulah yang memberi
dorongan semangat pada anaknya. Dan ini lebih meya-kinkannya ketika ia mendengar
percakapan kedua remaja tadi.
"Aku lebih senang jika Kakang sudi membawakan
bumbung tempat air ini setiap harinya," terdengar Made Maya berkata. Suaranya
empuk dan diseling liri-kan mesra membuat Sunutama kelabakan hatinya.
"Tentu aku merasa bahagia memenuhi permintaan-
mu ini. Tapi apakah ayahmu akan menyetujuinya pu-
la?" "Eeh, mengapa tidak?" sahut Made Maya seraya
mencubit lengan Sunutama. "Apakah aku kurang pan-
tas untuk dirimu?"
"Aduuh," desah Sunutama sambil menggenggam ja-
ri-jemari Made Maya yang mencubitnya. "Bukan itu
sebabnya. Tetapi ayahmu, paman Wayan Arsana, ada-
lah seorang saudagar kaya! Sedang aku?"
"Hah, itu lagi yang Kakang katakan. Bukankah Ka-
kang juga seorang pemahat yang berbakat" Dan ayah juga senang kepada Andika,"
ujar Made Maya sambil memberengut, tapi tak urung warna merah jambu
mengembang pada pipinya.
"Cobalah engkau terus memberengut begitu, Adik
Made Maya," berkata Sunutama menggoda. "Ternyata, makin marah engkau makin
bertambah cantik...!"
"Iih, Kakang selalu menggodaku... iih, ih...," dengan membanting-banting telapak
kakinya ke tanah, gadis itu menghentikan langkahnya dan berdiri merengut.
Dengan sedikit kebingungan, Sunutama berhenti
pula menanti Made Maya yang berhenti di tepi jalan.
Kalau semula ia bermaksud sedikit menggoda gadis
itu, kini dia sendirilah yang ketakutan.
Pelahan pemuda Sunutama menghampiri Made Ma-
ya, sementara tangan kanannya memetik sekuntum
bunga mawar merah dari semak batang pohon mawar
di tepi jalan itu. Dengan hati-hati, Sunutama menyi-sipkan kuntum mawar tadi ke


Pendekar Naga Geni 18 Bukit Kepala Singa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sanggul Made Maya dan gadis ini membiarkannya.
"Adi Maya masih marah?" ujar Sunutama pelahan.
"Maafkan aku, ya...."
Made Maya tidak lagi merengut, tapi juga tidak berkata kecuali membalas dengan
senyum atas kata-kata Sunutama tadi.
Melihat ini semua, Ki Selakriya berdebar-debar dadanya. Bagaimanakah Sunutama
sampai bisa intim
dan kenal dengan Made Maya, puteri dari Wayan Arsa-na itu"
Tapi kemudian dapat diingatnya, bahwa setiap kali Sunutama membantunya bekerja
membangun gapura
itu, pasti dilihatnya Made Maya berdiri mengawasinya dari kejauhan. Begitu pula
gadis ini selalu ikut meng-hidangkan makanan setiap hari di rumah Wayan Ar-
sana. Dan pada saat-saat demikian itulah rupanya kedua remaja tadi saling
berkenalan. Ki Selakriya masih saja berdiam diri mengawasi kedua remaja tadi dan mendadak
saja didengarnya Su-
nutama berteriak nyaring, "Heei, siapa bersembunyi di situ! Ayo, lekas keluar
menunjukkan muka!"
Sambil berteriak tadi, Sunutama mengacungkan
tangannya ke arah selatan, ke arah di mana Ki Selakriya bersembunyi.
Hal ini membuat Ki Selakriya kaget bukan main.
Hatinya bertanya-tanya sendiri oleh hal ini yang diang-gapnya sangat
keterlaluan. "Heh, tentu dia telah mengetahui bahwa aku ber-
sembunyi di sini dan ancamannya tadi pasti ditujukan kepada diriku!"
"Heei, lekas keluar! Apakah maksudmu bersembu-
nyi mendekam di sana. Awas, jangan sampai menung-
gu aku bertindak!" terdengar lagi Sunutama berteriak
mengancam. Untuk kedua kalinya, telinga Ki Selakriya menjadi marah mendengar teriakan
anaknya itu, sebab bagai-manapun juga ia merasa bahwa ancaman tadi benar-
benar ditujukan kepada dirinya.
Karenanya pula Ki Selakriya akan segera keluar dari persembunyiannya agar
Sunutama mengetahui bahwa
yang bersembunyi di situ adalah dirinya.
Hampir saja Ki Selakriya akan meloncat ke luar jika dari arah sampingnya, kira-
kira empat lima tombak jauhnya, terdengar bunyi berkerosak berbareng melon-
catnya sesosok bayangan manusia.
Ki Selakriya terpaksa berdiam tetap pada tempatnya karena sesungguhnya iapun
kaget dengan munculnya
orang tadi. "Heh, jadi selain aku, ada pula orang lain yang
mengintai Sunutama"!" gumam Ki Selakriya. "Biarlah sementara aku tetap tinggal
di tempatku. Jika keadaan genting, baru aku keluar dari semak ini."
Orang yang tadi meloncat keluar segera datang di hadapan Sunutama sambil
bertolak pinggang. "Hah,
rupanya engkau bermulut besar, ya! Sudah lama ku-
nanti-nantikan saat itu!"
"Sebab itu, segera katakan. Apa maksudmu yang
sebenarnya, dan siapa pula namamu"!" berkata Sunutama.
"Baik. Ketahuilah, bahwa aku bernama Wasi Bera
yang seharusnya mengerjakan gapura rumah si Wayan Arsana itu. Tapi si kaya itu
tak mau membayar tinggi dan terlalu kikir! Sekarang malah kau bersama ayahmu
yang membuatnya!"
"Hmm, maaf, Kisanak. Itu bukan urusanku. Kami
tak tahu-menahu soal itu. Jika Kisanak gusar, bergu-sarlah kepada Tuan Wayan
Arsana." "Kau kuperingatkan! Jangan kau lanjutkan menye-
lesaikan gapura itu jika kalian masih menyayangi ji-wamu!"
"Ehh, Kisanak mengancamku" Sayang, bahwa kami
bukan orang-orang pengecut," ujar Sunutama dengan tegasnya.
"Haa, kau akan pamer keberanianmu di hadapan
anak si saudagar kikir ini, heeh"!" Seru Wasi Bera disertai mulutnya yang
menyeringai mencemooh dan ta-hu-tahu ia melesat mengirim satu tendangan ke arah
Sunutama. "Heeeaaatt!"
Made Maya berteriak kecil melihat serangan tadi
yang datangnya seperti kilat. Dalam saat yang bersamaan pula Sunutama berkelit
dan menebaskan ta-
ngannya menyambut serangan kaki Wasi Bera.
Wesst. Plaaak! Tangan Sunutama tergetar disertai tubuhnya ter-
huyung ke samping, sedang Wasi Bera sendiri terpelanting jatuh di atas tanah
dengan jeritan parau.
"Huaaaaduh! Kurang ajar! Kau membuat aku malu,
hah! Awas yang ini, hait!" Kembali Wasi Bera menerjang dengan pukulan tangan
yang deras. Sekali lagi Sunutama mengunjukkan diri dengan
satu loncatan ke atas, melambung bagai seekor belalang menyongsong serangan
lawan. Wasi Bera kaget bukan main melihat sepak terjang
Sunutama tadi. Ia melihat bahwa kedua belah tangan Sunutama menerkamkan jari-
jari ke arah dirinya. Ma-ka satu benturan dahsyat tak dapat terelakkan lagi.
Blaaarrr! Seperti dua buah durian runtuh, kedua orang tadi
rebah ke tanah Sunutama, lebih dulu menapakkan
kakinya, sementara Wasi Bera jatuh meloso akibat benturan yang cukup
menggoncangkan tubuhnya.
Ki Selakriya yang melihat pertarungan tadi dari
tempat persembunyiannya menjadi kagum bercampur
dada berdentang-dentang. Dilihatnya kembali bahwa Wasi Bera bangun dengan
sempoyongan serta memaki-maki.
"Kau bocah keparat!" sela Wasi Bera. "Tapi awas,
kuperingatkan kau sekali lagi, jika gapura itu kalian teruskan sampai selesai,
hari itu pula akan kuhancur-kan bersama kawan-kawanku!"
Habis berkata begitu, Wasi Bera meloncat ke timur meninggalkan tempat tersebut.
Made Maya buru-buru mendapatkan Sunutama seraya bertanya dengan suara terbata-
bata. "Kakang mendapat luka?"
"Tidak, Adi Maya. Aku baik-baik saja."
Ki Selakriya segera muncul pula, keluar dari tempat persembunyiannya, membuat
Sunutama bersiap-siap
kembali karena mengira bahwa musuhnya telah da-
tang lagi untuk bertarung.
"Ooh, Ayah!" seru Sunutama menjemput ayahnya
dengan perasaan kaget karena Ki Selakriya tidak datang lewat jalan biasa, tapi
meloncat dari semak belu-kar di tepi jalan.
"Aku telah melihat semuanya, Sunutama," berkata
Ki Selakriya dengan menoleh ke timur ke arah di mana Wasi Bera meloncat dan
hilang di antara semak-semak. "Orang tadi tampaknya bersungguh-sungguh dan
sangat berbahaya."
"Tapi bukankah ia telah melarikan diri, Ayah" Dan tampaknya pula ilmunya tidak
seberapa."
"Hmm, kau harus bisa membedakan antara kalah
dan mengalah! Apakah engkau yakin bahwa Wasi Bera tadi takut menghadapimu?"
"Ehh, jadi....?"
"Bisa juga dia baru memberi gertakan sebagai per-
mulaan. Dan mungkin juga ada teman-teman lain yang menunggunya. Marilah kita
periksa tempat di mana ia melarikan diri," ujar Ki Selakriya seraya mengajak
pula kepada Made Maya untuk ikut serta. "Ikutlah sebentar, Angger Made Maya."
Segera ketiga orang tersebut memeriksa tempat-
tempat yang dianggap mencurigakan, dan ternyata apa yang dikuatirkan oleh Ki
Selakriya itu patut mendapat perhatian, sebab mereka mendapatkan jejak-jejak
kaki manusia di balik semak-semak.
"Lebih dari satu orang!" desis Sunutama kepada
ayahnya. "Telapak-telapak kaki ini mempunyai ukuran yang
berbeda-beda. Jadi jelas bahwa semula ada beberapa orang yang tinggal di balik
semak-semak ini."
Sunutama mengangguk melihat kenyataan yang
ada di hadapannya. "Jika demikian, hal ini harus diketahui pula oleh Paman Wayan
Arsana." "Memang begitulah seharusnya," berkata Ki Selakri-ya. "Karena persoalan ini
sebenarnya adalah persoalan Tuan Wayan Arsana dan akhirnya menyangkut pula
kita semua."
"Marilah kita segera pulang, Paman," Made Maya
menyela. "Ayah dan juga Paman Ngurah Jelantik harus segera pula mengetahuinya."
Ketiganya segera bergegas pulang melalui jalan yang menuju ke arah selatan
dengan langkah yang agak tergesa kemudian membelok ke sebuah tikungan dan le-
nyap di balik kelebatan pohon-pohon sawo.
*** 5 APAPUN YANG TELAH diyakini akan kebenarannya,
tidak perlu dilepaskan hanya karena sebuah ancaman yang bermaksud menggagalkan
hal itu. Begitulah te-kad Ki Selakriya dengan ancaman dari Wasi Bera bebe-
rapa hari yang telah lalu. Tanpa berubah semangat dan daya ciptanya, Ki
Selakriya dan Sunutama terus menyelesaikan gapura gerbang dari rumah saudagar
Wayan Arsana. Apalagi setelah keduanya mendapat
banyak pelajaran dan gemblengan dari pendekar Ngurah Jelantik, mereka lebih
percaya akan kepercayaan dan kekuatan diri pribadinya.
Hari bertambah hari makin sempurnalah hasil pe-
kerjaan Ki Selakriya berdua. Kekaguman dan pujian banyak tertumpah kepada karya
yang begitu indah
dan megahnya. Maka tidak heran bahwa hasil karya tadi cepat
menjadi terkenal di daerah sekelilingnya dan ini pulalah agaknya mengapa Wesi
Bera benar-benar menjadi marah. Ia merasa disepelekan oleh Ki Selakriya. Ancaman
yang dahulu pernah diberikan kepada Sunutama
ternyata tidak memberikan hasil sama sekali. Dan kini ia mengetahui bahwa gapura
itu hampir selesai seluruhnya.
Pada suatu pagi, ketika Ki Selakriya dan beberapa orang pembantunya menghaluskan
ukir-ukiran pada
pintu gerbang itu, tiba-tiba terdengarlah bunyi mendesing dari arah timur,
menuju ke arah mereka.
"Tiarap semua!" seru Ki Selakriya kepada orang-
orang di dekatnya dan ia sendiripun bertiarap.
Siingngng. Tjlaapp!
Sebuah anak panah menancap di dinding batu tak
jauh dari kepala Ki Selakriya bertiarap.
"Sungguh hebat!" desis Ki Selakriya. "Pasti dilambari oleh tenaga dalam yang
luar biasa! Jika tidak, mana mungkin anak panah ini bisa menembus dinding ba-
tu?" Sunutama yang bekerja di sebelah lain segera berla-ri-lari mendapatkan ayahnya,
sebab dengan mendekati penyelesaian pintu gerbang tersebut hati Sunutama
makin berdebar-debar mengingat ancaman dari Wasi
Bera. "Apa yang terjadi, Ayah?" seru Sunutama seraya
mencabut anak panah tadi dari dinding.
"Seseorang mencoba menembakku dengan anak
panah itu!" Ki Selakriya bangkit dari tiarapnya dan kemudian ikut mengamati anak
panah tersebut.
"Ada suratnya!" desis Ki Selakriya dengan menun-
juk sebuah gulungan kain kecil yang terikat pada per-tengahan batang anak panah.
Sunutama segera melepas gulungan secarik kain
tadi dan selembar surat segera didapatinya. "Ancaman terakhir dari Wesi Bera!"
"Apa katanya?"
"Dia akan menyerbu kemari dan menghancurkan
segalanya, termasuk pintu gerbang dan kita semua!"
"Oh, dia sungguh sesat! Kasihan orang yang seperti dia," ujar Ki Selakriya pula.
"Wah, dia menyebut-nyebut nama Jembrana yang
akan membelanya!"
"Naa, jadi peristiwa di dalam perahu beberapa wak-tu yang lalu, ternyata ada
hubungannya dengan si Wa-si Bera ini."
"Mudah-mudahan Tuan pendekar Ngurah Jelantik
berhasil menghimpun kekuatan orang-orang di sini,"
Sunutama berkata dengan nada setengah kuatir dan
penuh harapan. Kekuatiran kedua ayah beranak ini sudah tentu bi-
sa dimaklumi, sebab ancaman tersebut pasti akan
membawa korban yang tidak sedikit jumlahnya bila
pertarungan itu benar-benar terjadi.
Kadang-kadang Ki Selakriya mau menyesali dengan
menerima pekerjaan ini yang akhirnya membawa ma-
lapetaka. Namun Wayan Arsana sendiri telah menjer-nihkan perasaan Ki Selakriya,
bahwa sesungguhnya
dialah yang bertanggung jawab atas semua kejadian yang bakal terjadi.
Demikianlah pada akhirnya, tiga hari kemudian, se-lesailah pintu gerbang yang
megah menghubungkan
sebuah dinding setinggi satu tombak yang mengelilingi rumah saudagar Wayan
Arsana dengan kukuhnya.
Ketegangan segera muncul ketika matahari semakin
bergeser ke kaki langit di sebelah barat. Di sana-sini tampaklah orang berjaga-
jaga dengan senjata di tangan, menanti setiap kemungkinan yang bakal terjadi.
Di dekat pintu gerbang, berdirilah Wayan Arsana,
pendekar Ngurah Jelantik, Ki Selakriya, Sunutama dan beberapa orang lagi.
"Mereka telah berjaga-jaga," ujar Wayan Arsana kepada Ngurah Jelantik.
"Mudah-mudahan tidak akan mengecewakan," sa-
hut pendekar Ngurah Jelantik dengan mengawasi dan setengah menghitung terhadap
orang-orang yang berjaga di sekeliling. "Tadi telah aku terangkan lagi secara
singkat akan tugas-tugas mereka."
"Jika Wasi Bera benar-benar melaksanakan anca-
mannya, maka dialah sebab dan pangkal segala malapetaka ini! Untunglah Andika
berada di sini, jika tidak entahlah nanti."
"Menurut Ki Selakriya, si Wasi Bera juga menyebut-nyebut nama Jembrana dalam
ancamannya," berkata
Ngurah Jelantik. "Ini menandakan bahwa kedua orang tersebut telah bersekutu
untuk memusuhimu."
Tetapi percakapan mereka tiba-tiba terhenti karena seorang penjaga datang ke
hadapan mereka dengan
tergopoh-gopoh dan memberikan laporan.
"Tuan Wayan Arsana. dari arah selatan telah mun-
cul orang-orang berkuda menuju kemari."
"Sekarang juga siapkan teman-temanmu!" ujar Wa-
yan Arsana. "Pukullah kentongan tanda bahaya."
Maka sebentar kemudian berkumandanglah bunyi
kentongan tanda bahaya menggema di segenap pelosok halaman dan rumah Wayan
Arsana. Debu berkepul-kepul mulai tampak di sebelah sela-
tan dan bergerak mendekati arah pintu gerbang yang megah itu. Ketika makin
bertambah dekat, segeralah tampak orang-orang yang berkuda dengan kencang-nya.
Wajah mereka beringas seperti wajah para iblis yang kelaparan! Begitu nyata
kegarangan mereka,
mengerikan hati siapa saja yang melihatnya.
Di barisan depan tampaklah I Jembrana, disusul
oleh Jimbaran yang berdampingan dengan Wasi Bera.
Di belakangnya lagi terdapat tidak kurang dari dua puluh orang berkuda yang
berpacu seperti orang-orang gila.
Ketika jarak mereka mencapai kira-kira sepuluh
tombak lebih dari dinding gapura rumah Wayan Arsa-na, kuda I Jembrana tiba-tiba
terjungkal roboh terpe-rosok dalam lobang tanah. Disusul oleh kuda Jimbaran dan
Wasi Bera dan dua orang lagi di belakang.


Pendekar Naga Geni 18 Bukit Kepala Singa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun dengan tangkasnya pula mereka berlima me-
loncat turun sebelum tubuh-tubuh mereka tertindih oleh kuda-kuda tersebut.
"Tinggalkan kuda-kuda itu dan ikuti saya!" teriak I Jembrana seraya menyerbu ke
depan bersama segenap anak buahnya. "Hancurkan rumah itu!"
Tetapi pihak Wayan Arsanapun tidak tinggal diam.
Mereka berloncatan keluar dari pintu gerbang me-
nyambut para penyerbu yang ganas itu, dan seketika itu pula terjadilah
pertempuran hebat.
I Jembrana segera menerjang ke arah Ngurah Jelan-
tik, musuh lamanya yang sangat dinantinya, sedang Jimbaran meloncat ke depan
Wayan Arsana dan menyerangnya. Sementara itu Ki Selakriya telah mencegat Wasi
Bera berbareng Sunutama memimpin orang-
orang untuk menghadapi para pengikut Jembrana.
Tempat yang semula sepi dan segar oleh angin sore, kini penuhlah dengan teriakan
dan jerit pertempuran yang disertai oleh gemerincing senjata beradu.
Pedang Jembrana terus mengurung tubuh pendekar
Ngurah Jelantik tanpa sedikitpun memberi kesempa-
tan pada lawannya.
Pendekar Ngurah Jelantik terpaksa memeras keri-
ngatnya untuk menghadapi mata pedang Jembrana
yang selalu mengejar dan mematuknya.
Berkali-kali ia menghindar dan menangkis senjata
lawannya, sementara hatinya mengakui bahwa Jem-
brana kali ini jauh kelihatan lebih bebat daripada waktu ia menjumpainya yang
pertama kali. Jimbaran yang melawan Wayan Arsana kelihatan
bertempur dengan sangat bernapsu dan ganas. Tika-
man kerisnya yang mematikan selalu mengancam si
saudagar. Meskipun demikian, Wayan Arsana sangat cekatan
menjaga diri. Ia meloncat kesana-kemari dengan gerakan selincah burung sikatan,
membingungkan lawan-
nya. Keris panjangnya mampu menusuk kesana-ke-
mari memapaki setiap senjata lawan yang selalu memburunya.
Di sebelah lain, Ki Selakriya memutar senjata ka-
paknya menandingi pedang lebar di tangan Wasi Bera yang selalu menebas
mengeluarkan angin santer, dan suara berdesing.
Apa yang ditemui oleh Wasi Bera sekarang, benar-
benar membuatnya kecewa. Kalau pada beberapa hari yang lalu ia pura-pura
melitikan diri seketika melawan Sunutama, kini ia menghadapi lawan yang benar-
benar tangguh. Ia telah merasa menumpahkan segala jurus-jurus dan ilmunya, tapi
sampai begitu jauh toh belum berhasil mendesak Ki Selakriya yang menjadi
lawannya. Selain tiga lingkaran pertempuran tadi terlihat pula satu kancah pertempuran
yang bergerombol di dekat pintu gerbang. Itulah pertempuran antara Sunutama dan
para penjaga melawan para anak buah Jembrana, seolah-olah bagai dua gerombolan
semut yang bertarung berebut sarang.
Ternyata Sunutama sangat pandai mengatur dan
memimpin para penjaga tadi. Bagai pagar besi, mereka mendesak mundur penyerang-
penyerang tersebut dan
di antaranya beberapa orang penyerang telah roboh terluka parah.
Wasi Bera makin penasaran menghadapi lawannya.
Lebih-lebih ketika iapun sadar bahwa Ki Selakriya adalah orang yang membangun
gapura, yang seharusnya
dikerjakan dan menurut anggapannya orang itulah
yang menjadi saingannya.
Dengan begitu ia ingin membalaskan sakit hatinya
dengan merobohkan Ki Selakriya, sekaligus membu-
nuhnya. Begitulah akibat kesesatan yang dilambari oleh rasa iri telah membutakan
mata hati Wasi Bera dan mata hati siapapun yang tidak waspada dan mawas diri.
Wasi Bera bertempur seperti orang kemasukan se-
tan. Tandangnya sangat ganas dan mengerikan, kare-na didorong oleh kemarahan
yang meluap-luap dan ra-sa iri yang bercampur aduk menjadi satu.
Karenanya tidak mengherankan bila setapak demi
setapak Ki Selakriya terdesak oleh serangan-serangan Wasi Bera yang datangnya
bagai badai mengamuk.
"Ha, ha, ha. Sekarang tahu rasa kau, pemahat yang sombong! Hari ini akan tamat
riwayatmu bersama am-bruknya pintu gerbang buatanmu itu!" seru Wasi Bera seraya
meloncat ke sana ke mari, mengejar gerakan Ki Selakriya yang berusaha
menghindar. "Persetan!" geram Ki Selakriya "Kalau aku menjadi dirimu, pasti akan malu karena
sebagai seorang dewasa kau masih ditempeli oleh perasaan kekanak-
kanakan!" Mendelik mata Wasi Bera mendengar perkataan
musuhnya, maka seketika itu menyemburlah mulut-
nya menumpahkan segala kemarahan. "Setan alas!
Kau bilang aku masih bersikap kanak-kanak"!"
"Habis" Memang begitu sih kenyataannya! Kalau
kau mengaku dewasa mengapa berlaku setolol anak
kecil?" ujar Ki Selakriya.
"Kau masih berani mengatakan aku sebagai anak
kecil! Kau lihat kumisku ini, hah"!"
"Heh, mengapa dengan kumismu"!"
"Ini sebagai tanda bahwa aku telah lebih dari dewa-sa, tolol!" bentak Wasi Bera
sambil memutar pe-
dangnya, sampai mengeluarkan bunyi meraung.
"Hih, hih, seekor anak kucing pun sudah memiliki
kumis. Maka janganlah kumis dijadikan patokan un-
tuk pernyataan dewasa!" ujar Ki Selakriya semau-mau-nya, sekedar menghibur
hatinya yang merasa tegang.
"Gila! Sudah hampir mampus, masih berani berla-
gak! Mampuslah segera! Hiah!"
Satu lompatan secepat belalang disertai tebasan pedang telah dilakukan oleh Wasi
Bera dengan tiba-tiba ke arah leher Ki Selakriya.
Weeesssttt! Cepat sekali gerakan ini, namun Ki Selakriya bu-
kanlah orang tolol yang mau kehilangan lehernya! Ia telah cukup mendapat
gemblengan dari pendekar Ngurah Jelantik dan di saat-saat yang berbahaya ini, ia
tidak pernah melupakannya! Maka begitu diserang seca-ra tiba-tiba, kedua kakinya
telah menjejak tanah dan tubuhnya melenting ke atas.
Dua gerakan tadi telah dilakukan berbareng susul-
menyusul dengan cepatnya, sehingga untuk panda-
ngan mata biasa akan sukar menangkapnya.
Sedang mereka sendiri tidaklah demikian. Malahan
sambil melenting tadi, kaki kanan Ki Selakriya meng-gampar lengan kanan Wasi
Bera yang menggenggam
pedang lebar. Seketika Wasi Bera memekik kaget dan pedangnya
lepas dari jari-jarinya. Tapi dengan gerakan mengagumkan, tahu-tahu tangan
kirinya telah menyambut
kembali pedang tadi, sekaligus ditangkiskan ke arah kapak Ki Selakriya yang
menyambar kepalanya dari
atas. Traaangng! Kedua senjata tersebut berbenturan keras dan ke-
dua orang ini terdorong surut beberapa langkah disertai rasa nyeri pada telapak
tangan mereka. Tapi hebat si Wasi Bera. Sesaat setelah terpental ia menerjang maju dengan
membabatkan pedang lebar-nya. Keruan saja Ki Selakriya seperti tercekat saking
kagetnya, dan ketika pedang lawan tadi menebas ke arahnya, buru-buru ia
menangkis dengan senjata kapaknya, meskipun ia belum siaga sepenuhnya.
Claaang! Pedang lebar Wasi Bera menerjang kapak Ki Selakri-ya dengan dahsyat,
menggoncangkan tangan si pema-
hat sehingga untuk kedua kalinya Ki Selakriya terdorong ke belakang.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Wasi Bera
maka secepat itu pula kaki kanannya mendupak pundak Ki Selakriya, sampai
lawannya terpekik dan tubuhnya terpental menggelinding di tanah diiringi oleh
gelak ketawa kemenangan Wasi Bera.
Ki Selakriya cepat-cepat berusaha bangun, namun
tiba-tiba terasalah bahwa pundaknya menjadi pegal dan nyeri seperti dirambati
oleh ratusan semut.
"Urat darahku terkena dupakan!" desis Ki Selakriya dengan bergeleyoran dan
akhirnya mendeprok duduk.
Sekali lagi ia mencoba bangun, namun tiba-tiba ia terkejut ketika sebuah tangan
halus berjari ramping telah menahan pundaknya dari belakang.
"Biarlah engkau istirahat dulu, Paman Selakriya.
Amukan Wasi Bera akan kulayani," terdengar pula suara halus dan merdu, membuat
Ki Selakriya seperti dalam mimpi dan hampir-hampir tak percaya akan
pendengarannya tadi.
"Ooh, Andika... Andika...," guguplah Ki Selakriya begitu ia melihat siapa yang
berdiri di belakangnya.
"Benarkah...?"
"Inilah aku, Paman Selakriya. Namaku Made Maya,
dan tentunya Andika tidak lupa, bukan?" ujar seorang gadis yang berdiri di
belakangnya dengan berpakaian ringkas dan rambut disanggul rapi. Sebilah keris
terselip di punggung dan pada tangan kirinya tergantung seuntai kalung rantai
yang panjang dengan sebilah logam runcing seperti mata tombak.
Ki Selakriya masih saja melongo seperti orang gendeng, karena ia tak habis
mengerti mengapa gadis se-manis Made Maya yang selama ini hanya diketahuinya
suka bersikap manis dan lemah gemulai, kini akan
maju bertempur.
"Jadi Angger akan bertempur?" ujar Ki Selakriya
meyakinkan. "Si Wasi Bera itu bukan orang sembarangan, Angger Made Maya."
"Karena itu saya akan mengukurnya dengan tena-
gaku, Paman. Sementara itu Paman bisa memulihkan
tenaga." "Baiklah, Angger Made Maya. Tapi hati-hatilah
menghadapinya," ujar Ki Selakriya sambil duduk bersila untuk mengatur napas.
Begitu Made Maya disetujui oleh Ki Selakriya, maka
terus kakinya menjejak tanah dan melesat ke depan mendapatkan Wasi Bera yang
masih tertawa-tawa dengan sombongnya.
Bahkan, begitu Wasi Bera melihat siapa yang da-
tang, ia terus saja membuka mulut, menggerendeng.
"Eeh, bocah ayu. Kau akan menyerahkan diri, De-
nok" Mari-mari, biar kugendong, kupondong pulang ke rumahku dan menjadi
istriku!" "Kurang ajar! Kau ngawur, ngomong seenakmu sa-
ja!" teriak Made Maya. "Sebaiknya, sebelum mulutmu mengomel lebih nyeleweng,
rasakanlah senjataku ini!
Hyaaat!" Wasi Bera seketika geragapan menerima serangan
Made Maya yang pertama, sebab ujung senjata rantai gadis ini tahu-tahu telah
mematuk wajahnya.
Untunglah Wasi Bera tidak kalah cepat gerakannya.
Sebagai murid Jembrana, ia tidak mudah digertak dengan serangan pertama. Maka
secepat kilat ia mem-
buang diri menggelundung di tanah, menjauhi lawannya.
Sementara itu hati Wasi Bera tak habis heran ten-
tang ketangkasan dan keberanian Made Maya yang berani turun ke gelanggang
pertempuran. Rupanya, Made Maya telah mempunyai perhitungan
tentang gerakan lawannya, sehingga ia tidak terkejut sewaktu Wasi Bera
menggelundungkan diri. Dalam gerakan sebat ia terus berloncatan membuntuti Wasi
Be-ra sambil menghajarkan senjata rantainya ke arah lawannya yang lagi
menggelinding. Clap! Clap! Clap!
Begitulah ujung senjata rantai Made Maya yang
runcing tadi bertubi-tubi mematuk di dekat leher Wasi Bera yang masih mujur bisa
menyelamatkan diri dengan berguling terus-menerus.
Akan tetapi, lama kelamaan Wasi Bera menjadi
jengkel sebagai sasaran senjata lawan yang masih terus mengejar. Maka dengan
tiba-tiba tangan kirinya berkelebat ke arah Made Maya dan seketika itu juga
melesatlah empat buah pisau kecil ke tubuh si gadis.
Melihat itu, Ki Selakriya berseru dari jauh memperingatkan Made Maya yang juga
telah waspada akan
gerakan lawannya, "Awas, Maya! Pisau-pisau terbang!"
"Heeiit!" sambil berseru Made Maya melenting ke
atas menghindari pisau-pisau terbang lawannya dan kemudian ia menyampokkan
senjata rantainya ke bawah.
Traaang! Pisau-pisau tersebut tersampok runtuh ke tanah
membuat pemiliknya berjingkrak kaget. Wasi Bera ter-heran-heran, bagaimana
mungkin senjata pisau ter-
bangnya ajaran I Jembrana bisa diruntuhkan oleh lawannya, seorang gadis pula"
"Ayo, Wasi Bera! Jangan termangu! Sambutlah kem-
bali seranganku ini!" terdengar teriakan Made Maya mengiringi senjata rantainya
yang menyambar ke arah Wasi Bera.
Sedikit geragapan Wasi Bera cepat bersiaga kemba-
li, sementara serangan Made Maya datang seperti kilat.
Pedang lebar Wasi Bera segera menyambutnya. Teta-
pi... rantai berujung mata tombak tersebut seperti bermata dan begitu ditangkis
oleh pedang lebar Wasi Bera, ia terus melentur ke atas lalu menyelonong
menyambar kepala lawan.
"Akh," lenguh Wasi Bera seraya mengendap tanpa
mengira bahwa gerakannya kalah cepat dengan senjata rantai Made Maya. "Celaka!"
desis si Wasi Bera disusul oleh bunyi menjambret dan teriakan tertahan, ketika
ikat kepala Wasi Bera kesambar lepas dari kepala dan sebuah luka goresan telah
menghias dahinya. Darah segar menetes seketika.
Putus asa mulai melanda diri Wasi Bera setelah ia mendapat cedera pertama dari
lawannya. Kalau semula ia hampir merobohkan dan membinasakan Ki Sela-
kriya, sekarang malah sebaliknya, ia hampir binasa di tangan Made Maya si gadis
ayu penolong Ki Selakriya itu. Justru keputus-asaan ini menimbulkan rasa nekat,
seperti naluri manusia pada umumnya, bila hidupnya terancam maka timbullah
semangat untuk mempertahankan hidup dan keselamatannya. Begitu pula Wasi Bera,
setelah ia merasa bahwa musuhnya mempunyai
tataran ilmu yang lebih tinggi dari dirinya, mengamuk-lah ia dengan segenap
tenaga. Dengan melancarkan tebasan-tebasan pedang le-
barnya, ia mengamuk, menyambut Made Maya. Kini,
gerakan pedang lebar Wasi Bera berubah seperti gulungan badai sinar putih yang
mengerikan. Bagi lawan yang biasa saja, jangan diharap masih bisa bertahan diri.
Salah-salah, ia pasti akan tercacah seperti daging adonan perkedel.
Namun gadis ayu Made Maya ini tidak bisa diang-
gap ringan. Tubuhnya berjumpalitan, meloncat kesa-na-kemari menembus dan
menyelinap gulungan sinar
pedang Wasi Bera, tak ubahnya segumpal asap yang
mengambang di udara, selalu lolos dari bahaya.
Wasi Bera makin merasa bahwa serangan-serangan
ini lebih bersifat menjaga diri dari serangan senjata rantai Made Maya, sedang
gadis yang menjadi lawannya tadi sangat sukar dirobohkan. Entah, sampai berapa
lama ia mampu bertahan dengan cara begitu.
Di sebelah lain, terlihatlah pertempuran yang seimbang antara Wayan Arsana
melawan Jimbaran. Kedua
orang ini telah menghabiskan belasan jurus, tetapi sampai sekarang belum ada
tanda-tanda siapa yang
bakal terdesak dan kalah.
"Hee, mengapa engkau tak lekas-lekas menyerah,
saudagar kikir"!" seru Jimbaran mengejek. "Serahkan semua harta bendamu dan
rumahmu yang bagus ini,


Pendekar Naga Geni 18 Bukit Kepala Singa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

supaya kami bisa mengampuni kesalahanmu!"
"Eh, mengapa bukan engkau saja yang bertekuk lu-
tut di hadapanku"! Dosamu sudah cukup banyak,
pengkhianat Jimbaran!" jawab Arsana sementara ke-
risnya menangkis tikaman Jimbaran yang semakin
gencar datangnya. Sesaat terdengarlah gerundalnya,
"Rupanya Jimbaran telah membuka jurus-jurus in-
tinya!" pikir Wayan Arsana kemudian. "Biarlah ia me-muaskan diri, sebab akupun
belum mengeluarkan ju-
rus-jurus inti ajaran pendekar Ngurah Jelantik!"
Serangan keris Jimbaran ternyata memang gesit
dan tangkas. Berkali-kali Wayan Arsana menjadi terperanjat karena ujung keris
Jimbaran selalu tiba-tiba mengancam tubuhnya. Kadang-kadang tanpa tahu gerakan
tangan Jimbaran yang menyerang, tahu-tahu
keris lawannya itu telah menyelonong dengan mendesing.
Inilah yang hebat. Jelaslah bahwa serangan Jimba-
ran mengandalkan kecepatan gerak, dan karenanya
pula Wayan Arsana tidak mau memandangnya dengan
sebelah mata. Sesaat kemudian, Wayan Arsana melompat surut
dan memasang kuda-kudanya, berdiri dengan tegar
dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Ha, ha, ha. Keluarkanlah segenap kesaktianmu,
saudagar sombong!" seruan sombong Jimbaran terde-
ngar. "Hari ini kita akan membuat perhitungan habis-habisan!"
Wayan Arsana menahan diri akan ucapan lawannya
yang terdengar memerahkan telinga, lalu sesaat kemudian ia menginyarkan ujung
kerisnya ke dada Jimbaran, seolah-olah sedang memilih tempat, kemana keris
itu harus ditancapkan.
Keruan saja Jimbaran malah tertawa melihat sikap
Wayan Arsana tadi. Bukankah jarak antara mereka
berdua cukup jauh, sedang ia sendiri telah me-
nyiapkan puncak ilmu kerisnya yang menggentarkan
hati. Maka, apakah yang harus dikuatirkan dari
Wayan Arsana itu"
"Hiaaat!"
Sambil berteriak keras, Wayan Arsana meloncat ke
depan beberapa langkah. Kerisnya membuat gerakan
bersilang. Ini sangat mengagetkan Jimbaran. Dan belum lagi
ia sadar, terasalah seleret sinar menyentuh dadanya disusul rasa sakit seperti
kesambar petir.
Wreeettt! Jagoan dari Gunung Batur ini membelalak, sebab
baju yang menutup dadanya sobek dan sebuah luka
menyilang tergores di situ.
"Peringatan terakhir, sobat!" seru Wayan Arsana
sambil meloncat ke samping. Keris di tangannya masih basah oleh darah segar pada
ujungnya. "Sebelum keris ini benar-benar bersarang di dadamu, lebih baik me-
nyerahlah!"
Jimbaran tidak berani membuka mulut karena ia
belum habis kagetnya dengan dadanya yang terluka
tadi. Matanya nanar menatap lawannya, kemudian melihat lingkaran-lingkaran
pertempuran yang lain.
Di sebelah selatan, I Jembrana makin sibuk meng-
hadapi serangan Ngurah Jelantik yang gencar itu. Puluhan jurus mereka telah
bertempur dan Jembrana
masih melihat betapa Ngurah Jelantik masih bertubuh segar tanpa menunjukkan
tanda-tanda kelelahan seperti dirinya sendiri.
Pendekar dari Singaraja itu terus mencecar lawan-
nya, tanpa memberi kesempatan sedikitpun untuk
mengambil nafas ataupun beristirahat.
Dan tidak itu saja yang membingungkan Jembrana,
sebab selain tikaman-tikaman keris, tangan kiri dan kaki Ngurah Jelantik ikut
pula melancarkan serangan-serangan dahsyat, seolah-olah anggota-anggota badannya
itu masing-masing mempunyai mata, sehingga di mana kelihatan pertahanan Jembrana
lowong, ke situ pula tangan dan kaki Ngurah Jelantik menerjang.
Dua jurus berikutnya, tubuh Jembrana telah basah
oleh keringat dan rasa lelah telah mulai menyerangnya. Hal inilah yang benar-
benar ditakutkan olehnya sejak tadi.
"Aku harus melancarkan jurus terakhir dari ilmu
pedang ajaran Bapa Tangan Iblis! Jurus Karang Pecah dari Bukit Kepala Singa ini
harus kuhadapkan kepada Ngurah Jelantik. Aku ingin tahu, apakah ia mampu
menahan jurus ini!" demikian gerundal Jembrana diikuti tubuhnya meloncat ke
samping. Tangan kiri Jembrana menyilang di depan dada dan
tangan kanan mengangkat pedangnya tinggi-tinggi di atas kepala. Bibir Jembrana
kelihatan komat-kamit mengucapkan sesuatu.
Mendadak saja, pedang di atas kepala tadi berputar seperti pusaran air dan suara
mendesing terdengar menyerikan telinga.
Ngurah Jelantik terperanjat. Cepat-cepat ia menga-rahkan tenaga dalamnya,
bersamaan tubuh Jembrana
melesat ke arahnya, menebaskan pedangnya yang te-
lah bergerak dengan jurus sakti Karang Pecah.
Dalam detik yang menegangkan tadi, pendekar Ngu-
rah Jelantik menyilangkan kerisnya untuk menyong-
song tebasan ilmu pedang Karang Pecah lawannya tadi dan sesaat kemudian
terdengarlah bunyi benturan keras dan bunga api yang memercik.
Claaangng! Tangan Ngurah Jelantik seperti terbakar api ketika rasa panas dan getaran hebat
merambat akibat benturan senjatanya melawan pedang Jembrana. Dan aki-
batnya, keris di tangannya terpelanting lepas lalu ter-campak di tanah.
Melihat ini, bukan main gembiranya Jembrana. Ma-
ka mulutnya lantas tertawa terbahak-bahak seperti orang mabuk.
"Haha, ha, ha. Nyatanya tidak seberapa tenagamu,
pendekar raja. Sekarang kau harus mampus di ta-
nganku keparat!"
Jembrana memang tak mau melewatkan kesempa-
tan yang lowong ini. Selagi lawannya bertangan kosong, masakan dibiarkan begitu
saja. Apalagi setelah ia tahu, bahwa Ngurah Jelantik masih bertubuh limbung
akibat benturan dengan tenaga pukulan pedangnya.
Maka inilah kesempatan baik buat merobohkan la-
wannya. Namun sebenarnya, Ngurah Jelantikpun telah sadar
bahwa akibat dari benturan tadi tubuhnya terguncang limbung, sehingga cepat-
cepat ia mengerahkan tenaga dalamnya untuk menolak lebih jauh akibat-akibat lain
yang bisa timbul.
"Mati kowe sekarang! Hiaah!" teriak Jembrana se-
raya menebaskan pedangnya ke tubuh Ngurah Jelan-
tik dengan hati yang mantap membayangkan bahwa
sekejap kemudian pasti tubuh lawannya akan sempal, terbelah oleh pedangnya yang
masih dilandasi oleh jurus tebasan Karang Pecah.
Akan tetapi, mendadak saja Ngurah Jelantik mem-
buka mulut mengeluarkan jeritan keras sebagai luapan rasa amarahnya. Dan
ternyata jeritan tadi cukup mempengaruhi pemusatan tenaga Jembrana. Maka di
saat itu pulalah, secepat kilat tangan kiri Ngurah Jelantik menangkis lengan
kiri Jembrana dan tangan
kanannya mengirim jotosan keras ke dada Jembrana.
Bluukkk! "Hoooeek!"
Jembrana terhenyak ke belakang dan pedangnya
terlepas jatuh. Ia sempoyongan menjauh dari lawannya seperti ketakutan melihat
hantu. Dari mulut Jembrana mencerocos darah segar meng-
anak sungai mengalir ke luar meskipun kedua bibirnya mencaprut, mengerinyut
seperti hendak menahan darah tersebut. Ia masih terus berjalan beberapa langkah
senggoyoran untuk kemudian jatuh terduduk mendeprok dan mulutnya memuntahkan
darah segar ke ta-
nah. "Hooekk!"
Ngurah Jelantik segera memungut kerisnya kembali
dan membiarkan Jembrana duduk bersila mengatur
tenaganya yang telah punah, akibat luka dalam yang parah setelah terkena pukulan
Ngurah Jelantik tadi.
Sudah terang bahwa Jembrana menderita luka da-
lam dan untuk menyembuhkannya akan memakan
waktu yang lama. Di saat itulah ia akan mudah me-
nangkapnya dan menyerahkannya ke Singaraja.
Sementara itu, Jimbaran yang terluka oleh senjata Wayan Arsana sempat pula
melihat kakak seperguruannya mendeprok terluka dalam. Karenanya, sema-
ngatnya seperti terbang. Kalau kakak seperguruannya saja telah terluka, apalagi
sampai melontakkan darah segar, rasanya sangat tipis untuk bisa memenangkan
pertempuran ini.
Sedang dia sendiri masih tangguh menghadapi Wa-
yan Arsana, meski dadanyapun telah terluka. Jimbaran kemudian telah mengambil
keputusan nekat un-
tuk melancarkan serangan terakhir.
"Dia atau saya yang mati!" gumam Jimbaran. "Atau
lebih baik mati bersama!"
Sambil menggumam itu, Jimbaran mengambil an-
cang-ancang dan kakinya menjejak tanah. Tubuh Jimbaran melesat ke depan seperti
seekor garuda me-
nyambar dengan kecepatan luar biasa ke arah Wayan Arsana. Di tangannya, sebilah
keris telah siap menikam lawan.
Sudah barang tentu Wayan Arsana tak membiarkan
diri, secepat kilat iapun melesat ke udara menyongsong terkaman Jimbaran dengan
kerisnya pula. Maka sesaat itu tampaklah kedua orang itu saling
menyambar di udara, laksana dua ekor garuda yang
bertarung dengan senjata masing-masing siap di tangan.
Plaaakk! Bless!
"Aaargh!"
Yang terlihat sungguh hebat. Ketika tangan kiri
Wayan Arsana dapat menangkis keris Jimbaran, secepat itu pula tangan kiri
Jimbaran menggempur pundak Wayan Arsana. Namun di saat itu pulalah Wayan Arsana
menghunjamkan kerisnya ke lambung Jimbaran
sekuat tenaga. Keduanya kemudian jatuh di tanah seperti dua ekor garuda yang patah sayapnya.
Jimbaran jatuh terhem-pas pada punggungnya, sedang Wayan Arsana masih
kuasa mendaratkan kakinya lebih dulu dengan sela-
mat. Sambil menggerung merintih-rintih, Jimbaran me-
rangkak ke arah Jembrana yang masih duduk bersila mengatur tenaga. Pada
lambungnya masih tertancap
keris Wayan Arsana dengan darah yang menetes-netes di sepanjang jalan.
Wayan Arsana sendiri masih berusaha untuk tetap
tegak berdiri, tapi tiba-tiba ia sempoyongan lalu bersandar pada sebongkah batu.
Dada dan nafasnya kelihatan tersengal-sengal dan terlihatlah darah mengalir
dari mulutnya. Lingkaran pertempuran Made Maya cukup dekat
dengan tempat jatuhnya Wayan Arsana tadi. Betapa
sangat kagetnya ketika Made Maya mengetahui bahwa ayahnya terluka dalam, dan
kini bersandar pada sebongkah batu di dekatnya.
"Ayaah!" desis Made Maya dengan wajah yang mem-
bayangkan kecemasan. Betapapun tangguhnya hati
gadis ini dalam menghadapi lawan, tapi begitu melihat ayahnya kena terluka
hatinya serentak tergetar.
Tiba-tiba wajah Made Maya bersemu merah dan so-
rot matanya makin tajam ketika ia memaling ke arah Wasi Bera.
Terdengar Made Maya menggeram dan ini membuat
Wasi Bera terperanjat ketika ia melihat perubahan sikap gadis ini.
Wasi Bera menjadi bergidik dan meremang bulu
tengkuknya, sebab di balik kecantikan wajah Made
Maya, ia seolah-olah melihat kegalakan seekor harimau yang siap mencaplok
dirinya. Cepat Wasi Bera menyiapkan serangkaian perta-
hanan diri, ketika ia merasa bahwa sebentar lagi gadis itu akan menerkam.
"Hiaatt! Kau tebuslah dosa-dosamu, Wasi Bera. Te-
rimalah ini!" teriak Made Maya seraya mencelat ke depan menghajarkan senjata
rantainya ke arah Wasi Be-ra. Wesss! Clanng!
Wasi Bera sekali berhasil menangkis serangan
ujung rantai lawannya. Tapi ternyata untuk kedua
kali, ketiga dan selanjutnya ujung rantai yang runcing itu mematuk-matuk ke
dadanya dan ia tak sempat
menangkis. "Aaaaarrrggghhh," Wasi Bera terlonjak ke belakang.
Pada dadanya terlihatlah lobang-lobang seperti lobang-
lobang rumah lebah yang mengucurkan darah.
Sungguh mengerikan keadaan Wasi Bera yang da-
danya berlobang-lobang akibat terjangan ujung senjata rantai Made Maya. Biarpun
begitu, Wasi Bera masih menyimpan tenaga terakhir. Ia lantas saja mengamuk
sebisanya asal saja pedangnya menebas-nebas ke arah Made Maya, tanpa
mempedulikan darahnya yang cero-cosan keluar dari luka-lukanya.
Dalam saat yang bersamaan, Sunutama yang me-
mimpin para penjaga dalam mengusir dan melawan
perampok-perampok anak buah Jembrana, mengalami
kemajuan pula. Tiga orang lawan telah roboh tak ber-nyawa dan beberapa lagi
berkaparan terluka parah.
Tambahan lagi setelah mereka melihat bahwa pemim-
pin merekapun telah roboh dan terluka parah, sema-ngatnya menjadi kendor,
seperti kerupuk tersiram air.
Setapak demi setapak para penyerbu mengundurkan
diri. Hampir boleh dipastikan, bahwa pihak Wayan Ar-
sana akan segera memenangkan pertempuran dengan
kehancuran di pihak para penyerbu.
Wasi Bera yang sejak tadi mengobat-abitkan pe-
dangnya kini makin merasa lelah, apalagi darahnya telah banyak yang mengalir ke
luar. Pandangannya telah berkunang-kunang dan makin menggelap, untuk sesaat
kemudian iapun roboh terjungkal.
Cepat Made Maya berlari mendapatkan ayahnya
yang bersandar pada sebongkah batu, dan terluka dalam.
"Oh, Andika cedera, Ayah"!" seru Made Maya seraya memeriksa tubuh ayahnya yang
tersandar. Wayan Arsana terbatuk-batuk dan tersenyum, lalu
berkata pelahan, "Tenanglah, Made Maya, aku cuma
terluka ringan. Tak apa-apa. Tapi... ehh, ngomongomong engkaupun pandai bersilat
dan merobohkan si
Wasi Bera."
Made Maya menunduk ke bawah. "Ekh, tadi cuma
sekedarnya, Ayah."
"Heran. Heran," gumam Wayan Arsana. "Dari mana
kau mempelajari ilmu silat dan bertarung sedemikian hebat?"
"Dari... eh, dari...," gerendeng Made Maya tak dilan-jutkan.
"Dan juga engkau memiliki senjata yang aneh, Ma-
ya?" tegur Wayan Arsana kembali seraya menatap senjata rantai yang tergenggam
dalam tangan Made Maya.
Wayan Arsana lalu menebak-nebak, siapakah yang
mengajar dan membimbing anak gadisnya. Ia sendiri tidak pernah menyuruh atau
menyerahkan Made Maya


Pendekar Naga Geni 18 Bukit Kepala Singa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk dididik ilmu persilatan. Sehari-harinya ia hanya mengetahui Made Maya
membantu urusan rumah
tangga dan tindak-tanduknya gemulai penuh pesona.
Karenanya ia menjadi heran sewaktu ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri
bahwa Made Maya mampu
bertempur dengan gesit dan tangguhnya.
"Dari mana, Nak, engkau mendapatkan semua itu?"
kembali Wayan Arsana bertanya kepada putrinya.
"Engkau katakan terus-terang, Nak. Aku tak akan marah, malah justru sebaliknya.
Ayah akan merasa bangga terhadapmu. Jika boleh aku ingin mengucapkan terima
kasih kepada gurumu."
"Guruku... adalah...," belum lagi Made Maya melanjutkan bicaranya, mendadak satu
bayangan manusia
berkelebat hinggap di atas tembok pagar pekarangan rumah Wayan Arsana.
"Hua, ha, ha ha! Bagus! Bagus! Teruskanlah ber-
tempur! Sebentar lagi tempat ini akan kubanjiri dengan darah!" demikian bayangan
manusia yang hing-
gap tadi mengumbar suara diseling dengan ketawa ber-kakakan yang menggoncangkan
dada. Dengan som-
bong dan bertolak pinggang ia berseru, "Hmm, Jimbaran dan Jembrana telah terluka
parah. Juga Wasi Bera telah menggeletak di sana. Heh, heh, heh. Cukup terlambat,
tapi tak apa-apa, sebab sebentar kemudian nyawa kalian, para pengikut Ngurah
Jelantik akan ku-cabut sebagai pengganti murid-muridku yang telah kalian
robohkan!"
Ancaman itu benar-benar memukau seperti sihir
jahat yang mempengaruhi semangat seseorang. Sambil kemudian menyapukan pandangan
matanya ke bawah
ia berkata kembali. Suaranya keras.
"Kalian belum mengenalku, heei"! Inilah si Tangan Iblis dari bukit kepala
Singa!" Kemudian, sambil menunjuk ke arah anak buah Jembrana, ia berseru, "Hee,
kalian lanjutkan pertempuran ini dan aku akan mem-belamu! Mana Ngurah Jelantik"
Mana Wayan Arsana
dan itu pemahat Selakriya yang berkurang-ajar terhadap anak muridku" Akan
kurobek-robek mulutnya,
akan kupatah-patah tulang belulangnya!" begitu teriakan Tangan Iblis
menggetarkan. Mendengar ancaman tadi, tiba-tiba dua orang pen-
jaga menjadi panas hati, lalu cepat-cepat melesat naik ke atas pagar tembok
membabatkan senjata parangnya ke arah Tangan Iblis yang masih bertolak pinggang.
Melihat dua orang lawan menghampiri dirinya, Ta-
ngan Iblis cuma mencibirkan bibir memandang ren-
dah. Sebegitu cepat kedua penjaga tadi menyerang, secepat itu juga kedua tangan
si tokoh yang menye-
butkan diri Tangan Iblis, telah berkelebat ke depan berbareng.
Plak! Plak! "Eaaargh!"
Kedua orang penjaga tadi terjengkang roboh berde-
buk di atas tanah dan masing-masing pada dadanya
tergambar sebuah telapak tangan yang kemerahan
hangus, sementara darah hitam kental meleleh dari sudut bibirnya. Mereka telah
mati! Hampir semua yang melihat kejadian ini terhenyak
kaget bercampur ngeri. Bagaimana mungkin, bahwa
dengan sekali tepak, kedua orang penjaga tadi telah mati! Tapi toh hal itu
benar-benar terjadi di depan ma-ta mereka sendiri.
Tiba-tiba Tangan Iblis telah melesat turun mener-
jang ke arah para penjaga lainnya.
Plaak! Plaakk! Kembali Tangan Iblis melancarkan hempasan tela-
pak tangannya dan menyusul dua orang penjaga lainnya terpelanting roboh dengan
menghamburkan darah kental dari mulutnya. Sedang dada mereka terluka dengan
bekas telapak tangan si Tangan Iblis.
Sungguh hebat gerakan ilmu si Tangan Iblis itu,
dan malahan ia tertawa sinis ketika seorang penjaga lainnya menyerangnya dari
belakang dengan sebilah tombak.
"Hyaat!"
Si Tangan Iblis cuma mengegoskan sedikit tubuh-
nya ke samping, sehingga tombak tadi menyelonong
menembus udara melompong.
Berbareng itu kedua tangannya beruntun.
Plaakk! Plak! Tangan kiri menebas tombak sampai patah dan ta-
ngan kanan menggaplok punggung si penjaga yang
menyerang, sampai terdengar gemeretak seperti tulang patah dan sebuah cap
telapak tangan tertera di atas punggung si penjaga yang malang.
"Hoooekk!" korban kelima terjungkal ke tanah de-
ngan melontakkan darah kental dan mati seketika,
tanpa sesambat.
Suasana jadi tegang dan mencengkam, seolah-olah
elmaut lagi menari-nari di situ mencari korban-korban
yang baru. Matahari yang telah rendah benar masih menyinar-
kan sinar kemerahan, menimbulkan suasana makin
seram. Semuanya terkena cahaya merah jingga seperti tenggelam dalam cahaya api
neraka. Melihat itu semua, menguatirkan akan jatuhnya le-
bih banyak korban pada pihaknya, Ngurah Jelantik
menggenjot kaki melesat ke arah si Tangan Iblis yang masih mengamuk.
Seorang korban lagi jatuh digaplok oleh tangan mautnya si Tangan Iblis tepat di
saat Ngurah Jelantik tiba di situ.
"He, he, he, berani benar kau menyambutku, heh!
Mau mengantar nyawa rupanya"!" seru Tangan Iblis
sambil mencibir. Wajahnya seram dengan hidung yang melengkung seperti paruh
burung dan kumisnya yang lebat membuat Tangan Iblis benar-benar memiliki wajah
iblis. "Akulah si Ngurah Jelantik!"
"Hooh" Jadi kaulah yang bernama Ngurah Jelantik
itu, pendekar sakti dari Singaraja. Pantas! Pantas! Kalau begitu kaupun harus
mampus!" Sambil mengakhiri bicaranya, Tangan Iblis menggerung keras dan sebelah
tangannya lantas mengirim satu jotosan maut mematikan.
Untung Ngurah Jelantik cukup waspada. Ia me-
ngelit ke samping dan ganti ia menghajarkan tebasan tangannya ke pundak Tangan
Iblis. Ternyata si Tangan Iblis ini sangat gesit, sebab merasa diserang, ia buru-buru
menarik diri memaling ke arah lawan dan bersiaga. Tangan kirinya mengibas,
menangkis pukulan Ngurah Jelantik hingga terjadilah benturan dahsyat yang tak
terelakkan. Ngurah Jelantik tergetar tangannya dan bergeser
dari tempatnya sejengkal sambil kemudian mundur
sempoyongan, tapi tak sampai roboh.
Melihat ini, si Tangan Iblis mau tak mau merasa heran akan ilmu kepandaian yang
dimiliki lawannya. Telah beberapa lawan yang berani membentur tenaga
pukulannya akan roboh kehilangan tenaga, tetapi Ngurah Jelantik ini ternyata
lebih kebal. Ketika lawannya sempoyongan, secepat kilat Tangan Iblis menebahkan telapak
tangannya ke kepala Ngurah Jelantik! Inilah saat yang paling berbahaya bagi
pendekar dari Singaraja tersebut.
Dengan sebat Ngurah Jelantik menjatuhkan diri di
tanah lalu menggulingkan ke kiri. Tangan Iblis terus mengejar dengan pukulan
mautnya, sehingga tanah di tempat Ngurah Jelantik berguling telah berlobang-
lobang setelah terhajar oleh tenaga pukulan tadi.
Tiba-tiba Ngurah Jelantik melesat bangun sesudah
tangannya menyambar sebilah pedang yang tergeletak di situ.
Sebentar saja, pedang tadi telah diputarnya dan
berkali-kali melancarkan tikaman serta tebasan maut ke arah Tangan Iblis.
"Heh, heh. Kau kira pedangmu bisa menggertak di-
riku" Sekarang lihatlah ini. Heup!" begitu berteriak, kedua tangan si pendekar
Tangan Iblis menyambut
bacokan pedang Ngurah Jelantik, kemudian menjepit batang pedang tadi dengan
kedua belah sisi telapak tangannya.
Bagai disambar geledek kagetnya Ngurah Jelantik
setelah kena ditangkap pedang tersebut oleh lawannya.
Maka ia menggeram marah dan kedua tangannya ber-
kutat untuk mencabut kembali pedangnya.
Meskipun telah mengerahkan segenap tenaga, pe-
dang tersebut tidak bergeming sedikitpun, seolah-olah terjepit oleh dinding
baja. Untuk melepaskan pedang tadi, terang Ngurah Je-
lantik tidak berani. Sebab dengan begitu dalam jarak yang pendek lawannya akan
bersenjata, sedang dia
cuma bertangan kosong. Dan bukankah ini sama de-
ngan menyerahkan nyawa ke hadapan si Tangan Iblis!
"Heh, heh, heh," ketawa si Tangan Iblis dengan puas.
"Sekarang kau dapat berbuat apa, hah"!"
*** Sampai di sinilah selesai seri Naga Geni "Bukit Ke-
pala Singa" untuk Anda. Segera akan menyusul kepa-da para pembaca, seri Naga
Geni "Tragedi di Tengah Kabut" yang tak kalah seru, romantis dan mencekam.
Akan Anda ketahui siapa sebenarnya si Tangan Iblis dan bagaimana dengan Ngurah
Jelantik yang sakti itu.
TAMAT Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
1 *** 2 *** *** 3 *** *** 4 *** 5 *** TAMAT Harimau Mendekam Naga Sembunyi 11 Dewa Linglung 28 Selubung Awan Hitam Pendekar Pemanah Rajawali 10
^