Pencarian

Utusan Siluman Tujuh Nyawa 2

Pendekar Mabuk 07 Utusan Siluman Tujuh Nyawa Bagian 2


"Ya. Boleh saja kau beranggapan begitu. Tapi lihat wajah pucatnya. Dia benar-
benar takut padamu!"
Dewa Racun perhatikan kepucatan wajah Singo
Bodong. Yang diperhatikan sedikit tundukkan kepala alihkan pandangan dengan
perasaan takut. Kemudian, terdengar Pendekar Mabuk berbisik lagi,
"Dewa Racun, kita cari tempat yang lebih baik untuk selesaikan perkara ini!"
"Baik!" jawab Dewa Racun dengan wajah bersungut-sungut memendam kejengkelan.
Pendekar Mabuk membawa mereka berdua di
perbatasan desa. Di sana ada pohon rindang yang
berbentuk seperti payung raksasa. Biasanya pohon itu dipakai meneduh anak-anak
penggembala kambing. Tapi kala itu suasana sepi, tak ada anak-anak penggembala
kambing. Mungkin mereka sedang bermain ke pantai
yang ada di sebelah utara desa itu. Sebab, sebagian dari penduduk desa itu ada
yang hidup sebagai nelayan, ada pula yang bercocok tanam. Yang rumahnya lebih ke
utara hidup dengan bernelayan, yang rumahnya lebih ke selatan hidup dengan
bercocok tanam atau berternak kambing.
Pendekar Mabuk berhenti melangkah setelah sampai
di bawah pohon besar yang rindang mirip payung
raksasa itu. Ia selalu memandang ke arah Dewa Racun, karena takut kalau-kalau
manusia kerdil itu tiba-tiba menyerang Singo Bodong.
"Suto," kata Singo Bodong. "Aku sangat senang sekali bisa bertemu denganmu. Aku
mencarimu ke mana-mana di sekitar pantai tapi kau tidak kutemukan.
Aku sangat berharap bisa bertemu dengan kamu.
Semula, aku berharap kau izinkan aku ikut kamu ke
mana pun kamu pergi. Aku sangat kagum pada kesaktian ilmumu. Aku ingin berguru
kepadamu supaya punya
simpanan seperti yang kau miliki. Tapi begitu aku
merasa dimusuhi oleh temanmu ini, aku jadi tak berani ikut kamu. Aku bisa mati
dihajar oleh temanmu, yang walaupun kecil orangnya tapi aku tahu ilmunya
tinggi." "Darimana kau tahu kalau dia berilmu tinggi?"
pancing Pendekar Mabuk.
"Dari caranya memandang diriku, dia tak punya rasa takut sedikit pun. Kalau
orang tidak punya ilmu tinggi, dia pasti akan takut memandang diriku yang
tinggi, besar dan kelihatannya angker ini!"
Sederhana sekali cara berpikirnya, pikir Pendekar
Mabuk tapi ia mempercayai pendapat Singo Bodong, ia pun segera berkata kepada
Dewa Racun, "Kurasa kau sudah mendengar sendiri kata-katanya tadi, Dewa Racun. Dia takut
padamu." "It... itu... itu hanya pura-pura saja! Ak... aku... aku masih ingin
menjajalnya. Dia akan kupaksa agar
menunjukkan ilmunya kepada kit... kit... kita!"
"Jangan. Itu berbahaya. Dia bisa mati karena
pukulanmu tadi!"
"Om... om... om...."
"Ompong"!"
"Omong kosong!" sentak Dewa Racun. "Dii... dia bisa menangkisnya sendiri. Kal...
kalau... kalau tidak percaya, hhiiah...!"
Tiba-tiba Dewa Racun sentakkan dua tangannya dari
atas ke depan sambil kedua kakinya menghentak bumi.
Gerakan itu begitu cepat dan mengagetkan Suto Sinting.
Tenaga dalam dihempaskan dari kedua tangan dan
dibarengi oleh hentakan kaki ke bumi.
Singo Bodong yang masih terbengong tiba-tiba
terlempar ke belakang tujuh langkah jauhnya. Tubuhnya bagaikan terbang dengan
membungkuk ke depan, dan
akhirnya jatuh terkapar sambil meraung keras-keras, ia terbatuk-batuk di sana
dan memuntahkan darah kental dari mulutnya. Darah itu tak banyak namun membuat
Suto cemas. Suto bergegas menghampirinya. Menarik tangan
Singo Bodong hingga terduduk di tempat. Mata orang
tinggi besar berkumis melintang itu terbeliak-beliak bagai sedang sekarat. Suto
cepat tempelkan tangan kanannya ke punggung orang itu. Hawa murni
disalurkan lewat punggung Singo Bodong. Kejap
berikutnya, Singo Bodong hempaskan napas panjang-
panjang, lalu terengah-engah. Padahal tadi ia tak bisa bernapas dan tersengal-
sengal. "Adduuh... apa salahku, Suto?" ratapnya dengan nada sangat menderita sekali.
"Kau bawa aku kemari hanya untuk kau siksa begini. Sebaiknya aku pulang saja,
Suto!" "Maafkan temanku itu. Dia salah duga. Kau disangka Dadung Amuk."
"Dadung Amuk, Dadung Amuk, mukanya kusut itu
yang seperti dadung sedang mengamuk!" gerutu Singo Bodong, (dadung = tali
tambang). Dewa Racun tertegun diam memandangi Pendekar
Mabuk melangkah bersama Singo Bodong ke arah
bawah pohon. Dewa Racun hanya membatin,
"Cukup berbahaya pukulanku tadi. Tak mungkin ia biarkan begitu saja. Mestinya ia
tangkis walau secara diam-diam. Tapi darah yang keluar dari mulutnya itu
menandakan pukulanku kena pada sasaran. Kalau tidak segera ditolong Suto, bisa
mati dia! Apakah dia memang bukan Dadung Amuk" Rasa-rasanya sulit aku
mempercayai dirinya bukan Dadung Amuk"!"
Suto Sinting berbisik kepada Dewa Racun, "Kurasa sudah cukup, jangan kau jajal
lagi ilmunya. Dia kosong.
Tidak punya ilmu apa-apa."
"Jang... jang... jangan mudah tertipu oleh permainan liciknya, Suto," balas Dewa
Racun berbisik.
"Waktu kusalurkan hawa murni di dalam tubuhnya, aku tidak merasakan getaran
membalik sedikit pun. Itu tandanya dia kosong, seperti gentong tanpa isi."
"Benarkah"!"
"Ya. Aku bukan ada di pihaknya! Aku hanya ingin mencegah agar jangan terjadi
kesalahpahaman yang
menimbulkan korban."
Dewa Racun tarik napas, mengangkat pundaknya
pertanda pasrah pada keputusan Suto Sinting. Kemudian ia dekati Singo Bodong
dengan maksud mau minta
maaf. Tapi Singo Bodong bergerak lari ke belakang
pohon dengan ketakutan. Gerakannya itu menimbulkan kaget bagi si kerdil Dewa
Racun, sehingga Dewa Racun pasang kuda-kuda dan siap menyerang dengan pukulan
jarak jauhnya. "Tahan...!" sentak Suto cepat-cepat.
"Suto, aku mau pulang saja!" kata Singo Bodong dengan wajah makin merasa ngeri
berada di depan Dewa Racun.
"Jangan bikin dia ketakutan dulu kalau kau mau tahu bagaimana keadaan
sebenarnya." kata Suto kepada Dewa Racun.
"Kkku... kupikir dia mau menyerangku," kata Dewa Racun dengan tersipu malu.
Melihat ada senyum malu di bibir Dewa Racun, Singo Bodong sedikit lega. Ketika
Suto memanggilnya, ia pun mendekat.
Dewa Racun segera berkata kepada Singo Bodong,
"Maafkan aku. Kau memang mirip sekali dengan bekas mus... mus... musuhku!"
"Aku merasa tidak bermusuhan denganmu."
"Kkau... kau berkata dde... dengan sungguh-
sungguh?" "Sumpah! Berani disambar janda terbang atau apa saja, aku bukan musuhmu. Mak...
mak... maksudku aku tidak pernah bermusuhan deng... denganmu!"
"Hai! Jang... jangan... jangan ikut-ikutan gagap kamu!" gertak Dewa Racun.
"Aku bukan ikut-ikutan gagap. Ak... aku... aku takut sama kamu!"
Pendekar Mabuk tertawa geli mendengarnya. Yang
satu memang gagap omongannya, yang satu gagap
karena gugup. Keringat dingin Singo Bodong sampai
keluar semua karena ia duduk berhadapan dengan Dewa Racun yang berdiri, ia
merasa ngeri kalau sewaktu-waktu wajahnya menjadi tempat tamparan atau
tendangan orang kerdil itu, sehingga ia gugup
menghadapi Dewa Racun.
"Jad... jadi... jadi kamu bukan Dadung Amuk"'
"Buk... buk... bukan! Summ... sumpah!"
"Ha ha ha ha...!" Pendekar Mabuk tertawa terbahak-bahak melihat kedua orang itu.
Yang satu kecil tapi berani, yang satu besar tapi penakut. Sungguh keadaan yang
menggelikan buat Suto.
Setelah tawa dan kegelian itu reda, Suto bertanya
pada Singo Bodong,
"Apakah kau belum pernah mendengar nama Dadung
Amuk?" "Belum, Suto."
"Apakah di sini ada yang bernama Dadung Amuk?"
"Seingatku, tidak ada yang bernama Dadung Amuk di desa ini."
"Kal... kalau... kalau orang yang mirip kamu, apa ada di desa ini, Sing...
Sing... Sing... Singo Bodong?"
"Tidak ada. Tidak ada orang yang mirip aku di sini!"
kemudian Singo Bodong berbisik kepada Suto,
"Aku capek kalau dia ngomong."
"Ssst...!" Suto mengingatkan, Singo Bodong segera diam.
"Tap... tapi... tapi tadi di sana kudengar kamu mencari-cari Suto sam... sampai
ke mana-mana. Apakah benar begitu?"
"Ya. Benar."
"Da... Dadung Amuk jug... juga mencari-cari Suto!"
"Apa perlunya dia mencari Suto" Kurasa berbeda dengan keperluanku mencari Suto,"
jawab Singo Bodong.
"Ap... apa... apa perlumu mencari Suto?"
"Mmmmau... mau berguru!" jawab Singo Bodong dengan masih menyimpan rasa waswas,
takut dipukul orang kerdil itu.
"Mmme... meng... mengapa kamu mau berguru
kepada Suto?"
"Sebab... sebab... sebab Suto sakti. Pendekar Mabuk punya ilmu tinggi. Aku
kepingin seperti Pendekar
Mabuk. Kalau perlu aku mau cari si Gila Tuak, dan
menjadi muridnya juga, seperti Suto. Ak... aku... aku malu jadi orang besar dan
berwajah angker begini, tapi tak bisa mainkan jurus sedikit pun. Ak... aku - aku
malu pada diriku sendiri."
Plakkk...! "Jangan ikut-ikutan gagap, nanti aku tersinggung!"
kata Dewa Racun sambil menampar pelan pipi Singo
Bodong. Yang ditampar kaget dan segera menggeser
duduknya agak menjauh, sambil mengusap-usap pipinya yang pedas karena tamparan
tangan kecil berbobot besar.
Pendekar Mabuk segera berkata kepada Dewa Racun,
"Dewa Racun, ada yang ingin kubicarakan sebentar denganmu." Setelah itu Suto
melangkah agak menjauhi Singo Bodong. Dewa Racun segera mendekati.
Suto segera jongkok biar bisik-bisiknya jelas di
telinga Dewa Racun,
"Aku punya gagasan untuk membawa serta Singo
Bodong ke mana pun kita pergi."
"Apa... apa mak... mak... maksudmu membawa dia?"
bisik Dewa Racun.
"Kalau dia bersama kita terus, segala gerak-geriknya bisa kita awasi, sehingga
kita tahu apakah dia berpura-pura bodoh atau memang bodoh. Selain itu, kita bisa
membatasi gerakan Dadung Amuk agar tidak melakukan pembantaian terhadap siapa
pun, kalau memang ternyata Singo Bodong adalah Dadung Amuk."
"Hmmm... ya, ak... ak... aku tahu maksudmu
sekarang. Jadi, kita tidak boleh kelihatan men... men...
mencurigai dia. Ada baiknya kalau nanti kita berpura-
pura lengah, sup... supaya dia terpancing dengan jati dirinya. Tap... tapi kalau
dia memang bukan Dadung Amu dan... dan memang Singo Bodong yang bodoh dan
penakut, apakah dia tidak akan menambah beb... beb...
beban kita?"
"Kit... kita bisa gunakan tenaga kasarnya," jawab Suto agak terbawa gagap.
Akhirnya ia tertawa sendiri karena kegagapannya itu benar-benar tidak disadari.
Kepada Singo Bodong, Suto berkata, "Singo Bodong, aku dan Dewa Racun mau pergi
menyeberang lautan.
Apakah kau mau ikut kami"!"
"Iyyy... iya! Mau! Mmmmau... mau sekali!" sambil berdiri penuh semangat. Tapi
Dewa Racun menggerutu,
"Dia ikut-ikutan gagap disengaja atau tidak
disengaja"!"
"Dia kegirangan. Wajar kalau gagap sedikit. Jangan tersinggung."
Pendekar Mabuk ganti bicara pada Singo Bodong,
"Kalau begitu, kita berangkat sekarang juga!"
"Hmmm... tapi... tapi bolehkah aku pulang sebentar, Suto" Aku harus pamit pada
ibuku dulu, supaya dia tahu ke mana aku pergi!"
"Jabang bayi! Sud... sudah tua begitu kalau pergi mass... masih harus pamit
ibunya segala!" kata Dewa Racun.
"Soalnya, ibuku hanya tinggal sendirian di rumah."
"Tak ada temannya?"
"Ada. Adik perempuanku. Yah, cuma adik
perempuanku yang menemani ibuku. Adik perempuanku
dan suaminya, dan keenam anaknya, dan dua adik
iparnya!" "Itu namanya tidak sendirian! Ibumu banyak teman!"
kata Pendekar Mabuk sedikit membentak dan menahan
rasa geli. "Ya, sudah... cepatlah pulang dan bawa makanan kalau memang ada."
"Singkong rebus! Ibuku punya singkong rebus yang tadi pagi tidak laku dijual.
Apa kalian mau?"
"Ambil saa... saa... saja!" jawab Dewa Racun berlagak acuh tak acuh tapi
kelihatan butuh.
Singo Bodong berlari seperti kerbau kebakaran ekor.
Tak ada tenaga peringan tubuh sedikit pun yang
digunakan dalam larinya. Pendekar Mabuk dan Dewa
Racun sengaja memperhatikan larinya untuk meneliti kebenaran jati diri Singo
Bodong. "Orang berilmu tinggi tidak mungkin berlari seperti itu," kata Suto bersuara
lirih. "Kalau dia pintar bersandiwara, jelas dia akan berlari seperti itu di depp...
deep... depan kita!"
Terdengar Suto berkata lagi tanpa memandang Dewa
Racun. "Bagaimana mengenai wajah pucatnya" Apakah
orang bersandiwara bisa memainkan wajah pucat dengan sendirinya" Apakah wajah
pucat bisa timbul pada diri orang yang berpura-pura takut?"
"Memm... memm... memang tidak bisa. Tap... tapi kalau dia pandai berpura-pura,
wajah pucat bis... bis...
bisa keluar dengan sen... sendirinya."
Suto Sinting duduk di sebuah batu yang licin, di
bawah pohon. Batu itu agaknya sudah sering digunakan duduk oleh para
penggembala, ia mengambil bumbung
dan menenggak tuak beberapa teguk.
Napas dihempas lepas, Suto berkata bebas, "Orang itu memang aneh dan
membingungkan. Kalau tidak ada
penjelasan darimu tentang Dadung Amuk, aku tidak
akan terheran-heran dan bingung sendiri seperti saat ini.
Separo hatiku percaya bahwa dia adalah Singo Bodong, tapi separo hatiku sangsi.
Hanya saja aku lebih
mengikuti separo hatiku yang percaya bahwa dia Singo Bodong."
"Sep... sep... separo hatiku juga sangsi, tapi separo hatiku percaya bahwa dia
Dadung Amuk, dan akk... ak cenderung mengikuti separo hatiku, bah... bah...
bahwa dia adalah Dadung Amuk. Bedanya hanya pada tali saja!
Kal... kalau dia menggantungkan tali di pundaknya ak...


Pendekar Mabuk 07 Utusan Siluman Tujuh Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku tak sangsi lagi kalau dia adalah Dadung Amuk.
Dan... dan... hei, aku jadi punya curiga lain, Suto!"
"Curiga akan hal apa" Wajahmu jadi tegang, Dewa Racun"!"
"Jaaa... jang... jangan-jangan, dia melarikan diri karena kita telah tahu
kedoknya, bahwa dia addda...
adalah Dadung Amuk"!"
"Melarikan diri?"
"lyyy... iyaa.... Dia melarikan diri dan mencari kelengahanmu untuk menyerangmu
dari belakang! Aku
menyusulnya ke sana!"
Dewa Racun cepat sentakkan kaki dan melesat pergi.
Suto terperanjat dan berseru,
"Mau ke mana kau?"
"Mencari rumah Singo Bodong dan membuktikan
bahwa ddiii... dia tidak melarikan diiir... diiir... diri!
tetaplah di situ, aku segera daaa... datang bersamanya!"
Tak sempat Suto punya pertimbangan lain, Dewa
Racun sudah menghilang. Dalam kesendiriannya di
bawah pohon itu, Pendekar Mabuk merenungkan
kejadian eneh tersebut. Suto membatin,
"Ada benarnya dugaan Dewa Racun. Kalau memang Singo Bodong adalah Dadung Amuk,
bisa jadi dia melarikan diri dan tak mau menemuiku. Tapi dia akan menghantamku dari belakang,
tapi apa mungkin hal itu akan terjadi" Belum tentu Dadung Amuk bermusuhan
denganku. Siapa tahu dia mencariku untuk satu
keperluan. Hanya karena jawaban Peramal Pikun waktu itu menyinggung perasaannya,
maka dia jadi marah dan mengamuk seperti itu. Ah, semuanya serba tak jelas.
Apa perlunya Dadung Amuk mencariku, juga tak jelas.
Mengapa ia membunuh Perawan Sesat, juga belum pasti karena kesalahan bicara.
Mungkin punya alasan lain.
Mungkin malah bukan Dadung Amuk yang
membunuhnya. Sebaiknya aku tak perlu terlalu gampang mengambil kesimpulan. Aku
tak perlu gegabah dalam
bertindak. Tapi, bagaimanapun juga aku harus bisa
bertemu dengan Dadung Amuk yang sebenarnya, supaya persoalan ini menjadi
gamblang. Setelah itu, baru aku berangkat ke Pulau Serindu."
Pendekar Mabuk hempaskan napas panjang. Dewa
Racun belum muncul juga bersama Singo Bodong.
Apakah ada masalah di sana" Jangan-jangan Dewa
Racun yang sangat penasaran itu menjajal ilmunya
Singo Bodong hingga terjadi keributan" Itu yang
mencemaskan hati Suto. Maka, Suto pun bergegas untuk menyusul ke pertengahan
desa mencari Singo Bodong
atau Dewa Racun, ia harus mencegah rasa penasaran
Dewa Racun, cupaya tidak timbul korban salah paham.
Tetapi baru saja Suto Sinting berdiri sambil
membetulkan letak bumbung tuaknya di punggung, tiba-tiba ia melihat seorang
bertubuh besar melompat lari ke arah kaki bukit di depan Suto. Cepat-cepat Suto
menggumam dalam batinnya,
"O, rupanya Singo Bodong hanya ganti pakaian, yang semula hitam sekarang ganti
pakai baju merah. Tapi celananya masih hitam juga. Tapi... tapi mengapa dia
membawa tambang" Gulungan tambang itu
digantungkan di pundak seperti tas gantung saja. Mau apa dia membawa tambang"
Mau gali sumur atau mau
tebang pohon" Oh, dia menuju kemari. Rupanya dia
hampir lupa menghampiriku di sini. Eh, tapi di mana Dewa Racun" Mengapa dia
tidak bersama Dewa
Racun?" Pendekar Mabuk menjadi semakin curiga melihat
gerakan Singo Bodong berbaju merah. Gerakan itu cepat dan ringan, tidak seperti
kerbau kebakaran ekornya.
Kejap berikutnya, Singo Bodong berbaju merah tanpa dikancingkan itu sudah berada
di depan Suto. Matanya lebar, seperti biasanya. Alisnya tebal,
kumisnya juga tebal melintang. Tapi kali ini Singo
Bodong berbaju komprang merah itu menatap Suto
dengan sedikit menyipit curiga. Kain ikat kepalanya sedikit lebih rapi dari yang
tadi. Dan anehnya, Singo Bodong menyapa Suto dengan suaranya yang besar bulat
seperti biasanya,
"Apakah kau kenal dengan orang yang bernama Suto Sinting"!"
5 KECURIGAAN Pendekar Mabuk menjadi bertambah
setelah Singo Bodong berbaju merah itu menggertak
Pendekar Mabuk dengan sungguh-sungguh.
"Aku tanya kepadamu! Kenapa kamu melotot saja hah"!"
Di dalam hati Suto berkata, "Singo Bodong tidak akan berani membentakku begini!
Rasa-rasanya aku
berhadapan dengan jelmaan Singo Bodong saat ini!"
"Hei, kau tuli"!" sentak orang tinggi besar itu. "Aku tanya kepadamu, apakah
kamu kenal dengan orang yang bernama Suto Sinting"! Kalau kenal bilang saja
kenal, kalau tidak bilang saja tidak! Jangan bikin kemarahanku melabrak
kepalamu, tahu"!"
"Sepertinya... aku baru sekarang mendengar nama orang yang kau cari itu," jawab
Pendekar Mabuk dengan kalem. "Siapa namanya tadi?"
"Suto Sinting!" teriaknya keras dengan wajah dongkol.
"Aneh. Nama kok Suto Sinting?" gumam Suto berlagak bingung.
"Itu urusan dia! Urusanku hanya mencari dia dan membunuhnya!"
Terkesiap Pendekar Mabuk mendengar kalimat
terakhir. Geram mendengar dirinya dicari untuk
dibunuh. Tapi Suto cepat menahan nafsu amarahnya,
dan bersikap tetap tenang, ia hanya lontarkan tanya kepada orang itu,
"Apakah kau belum pernah bertemu dengan Suto
Sinting?" "Kalau sudah pernah bertemu, aku tak akan bertanya-tanya lagi! Cukup dengan
melihat orangnya, langsung kuhancurkan kepalanya!"
"Kau ini bagaimana" Belum pernah ketemu orangnya kok sudah mau main bunuh saja"
Jangan-jangan malah kau yang terbunuh!"
"Gggrr...!" orang itu menggeram seperti singa. "Baru sekarang ada orang berani
bicara seperti itu! Kurang ajar! Jangan berani sepelekan aku sekali lagi, kalau
kau masih ingin bisa bersiul esok hari!"
"Aku tidak sepelekan kamu. Tapi aku khawatirkan dirimu. Badan besar begitu kalau
tahu-tahu mati alangkah sayangnya"! Siapa yang mau menguburkan
dirimu segede gajah itu"!"
"Lancang mulutmu, Anak Muda! Jangan bikin
persoalan denganku kalau kau memang tak kenal Suto Sinting! Bisa-bisa nasibmu
seperti perempuan berambut jabrik dan lelaki kurus kering di dalam pondoknya!"
Suto cepat membatin, "Perempuan berambut jabrik"
O, pasti yang dimaksud adalah Perawan Sesat. Hmmm...
jadi rupanya dialah orang yang membunuh Perawan
Sesat dan melukai Peramal Pikun!"
Orang itu berkata dengan mata melebar ganas,
"Ingat! Jangan lagi bicara sembrono di depanku! Kau bisa kehilangan nyawamu
dalam satu helaan napas saja, tahu"!"
Suto tersenyum, bahkan tertawa pendek seperti orang terbatuk.
"Kau tak perlu berlagak galak di depanku, Singo Bodong! Aku...!"
"Namaku bukan Singo Bodong!" bentak orang itu.
"Namaku Dadung Amuk! Ingat, Dadung... Amuk...!"
Pendekar Mabuk makin lebarkan senyum dan
berkata, "Mau Dadung Amuk atau Dadung Keropos, di mataku kau tetap Singo Bodong!
Kau tak bisa bohongi aku!"
"Kurang ajar! Hihhh...!"
Dadung Amuk melayangkan tamparan bertenaga
dalam, arahnya ke pipi kiri Suto. Tapi dengan cepat jari telunjuk dan jari
tengah tangan kanan Pendekar Mabuk bergerak ke samping, menghadang gerakan
tangan itu. Tap...! Telapak tangan bagai tertotok dua jari Suto. Tubuh Dadung Amuk tersentak bagai
mau melonjak namun
ditahan, ia menggeram sambil kibas-kibas tangannya yang membentur dua jari Suto,
"Ooo..."! Rupanya kau punya isi juga, Bocah
Kencur"!" Dadung Amuk mulai tampak merah
mukanya. Suto masih tetap tenang, berdiri tegak
memandang wajah Dadung Amuk.
"Boleh aku tahu, mengapa kau ingin membunuh
Suto?" tanya Pendekar Mabuk sambil ia melipat tangan di dada.
"Perlu apa kau tahu urusanku, hah! Terima saja pelajaran keras dariku ini!
Huhh...!" Wuugh...! Dadung Amuk kepalkan tangannya. Tinju yang besar
itu dihantamkan ke wajah Pendekar Mabuk. Tapi tubuh Pendekar Mabuk hanya
berkelit ke samping dengan
sedikit miring. Wuuus...! Pukulan besar itu lolos, tidak mengenai sasaran.
Orang tinggi besar itu hentikan gerak. Makin tajam ia perhatikan wajah Pendekar
Mabuk sambil melangkah
mengitarinya. "Lincah juga kau rupanya!" gumam Dadung Amuk.
Suto hanya mengikuti dengan lirikan mata sambil
berkata, "Kalau kau mau jelaskan persoalanmu, mungkin aku bisa ikut membantumu mencarikan
Suto." "Semula aku butuh bantuanmu!" kata Dadung Amuk yang kini ada di belakang Suto.
Pendekar Mabuk tetap tidak berpaling. Lalu, Dadung Amuk lanjutkan kata,
"Tapi setelah kutahu kau sepertinya menantang ilmu padaku, aku jadi ingin
mencoba isimu, setinggi apa kesombonganmu bicara dengan kenyataan yang ada.
Hiaaah...!"
Dadung Amuk sentakkan tangannya. Pukulan
bertenaga dalam melesat dari tepian tangan. Arahnya ke
punggung Suto. Suto tersentak bagai mendapat dorongan keras dari belakang, tapi
ketika ia terlompat ke depan, rupanya kedua kakinya menyepak ke belakang.
Prakkk...! Kedua kaki Suto menendang bagai kuda dan tepat
mengenai wajah angker badung Amuk. Orang itu
tersentak bagai menggeragap dan mundur empat
langkah, terhuyung-huyung jadinya.
Sementara itu, setelah kakinya mendarat di wajah
Dadung Amuk, tubuh Suto bergerak terguling di
rerumputan, tapi punggungnya tak sampai menyentuh
tanah. Tahu-tahu kakinya telah berpijak di tanah secara mantap dan bersama-sama.
Jlegg...! Dalam keadaan
jongkok, Pendekar Mabuk segera balik berdiri dan
balikkan kepala bagai ingin membuang rasa sakit.
"Monyet!" geram Dadung Amuk di dalam hatinya,
"Tendangan bocah itu melebihi tendangan dua ekor kuda! Kalau aku tidak segera
sigap, sudah berantakan gigiku!"
Dadung Amuk yang berpenampilan seperti seorang
warok itu segera maju tiga langkah dengan mata makin buas dan liar. Penuh nafsu
untuk membunuh. Sedangkan Suto bergerak ke samping dengan kalem, dan berdiri
dengan punggung disandarkan pada batang pohon besar.
"Bocah keparat! Sudah terlambat kau minta ampun padaku! Terima 'Racun Sengat
Kobra'-ku ini, hiaaah...!"
Dadung Amuk mengangkat kedua tangannya di
depan wajah membentuk tegak lurus ke atas. Lalu, dari kesepuluh kukunya
mengeluarkan cahaya merah seperti
benang-benang menyala. Cahaya merah itu menjadi satu di depan tangan dan melesat
membentuk bayangan
seekor kobra melesat, menghantam dada Suto.
Tetapi sebelum bayangan ular kobra itu
mendekatinya, Suto sudah lebih dulu memutar bumbung bambu tempat tuaknya dari
punggung ke depan, lalu
bayangan merah seekor ular kobra itu ditangkisnya
dengan bumbung tempat tuak. Trangngng...!
Terdengar seperti suara besi bolong yang dihantam
besi padat saat bayangan seekor kobra mematuk
bumbung tuak. Bayangan merah itu berbalik arah,
bahkan kini menjadi tiga bayangan ular kobra melesat menuju kepada pemiliknya.
Wesss... wess... wess...!
Dadung Amuk belalakkan matanya lebar-lebar. Kaget
melihat bayangan merah tiga ekor ular kobra menuju ke arahnya. Cepat-cepat ia
sentakkan kedua telapak
tangannya dari bawah ke atas dengan sedikit
merendahkan kedua kaki yang merenggang kokoh itu.
Wuurrsss...! Pukulan dari atas ke bawah itu membuat bayangan
tiga ekor ular kobra menjadi nyala api sekejap. Lalu, padam dan tinggal kepulan
asapnya saja. Kepulan asap itu cepat menghilang ditiup angin.
Mulut Dadung Amuk tak bisa bicara apa-apa. Ia
masih terkesima memandang tabung tuak yang dipegang satu tangan oleh Suto itu.
Ia masih merasa seperti sedang bermimpi melihat pukulan 'Racun Sengat Cobra'
bisa dikembalikan dengan kekuatan tiga kali lipat itu. Baru
kali ini ia mengalami kejadian yang sungguh
mengherankan dan menakjubkan.
"Siapa anak muda itu sebenarnya" Tak mungkin ia berilmu rendah. Pukulan maut itu
bisa ditangkis dan dikembalikan, ini benar-benar luar biasa ilmunya!
Siluman Tujuh Nyawa jelas tak akan percaya kalau
kuceritakan kejadian ini kepadanya. Hmmm... sebaiknya tak perlu cerita kepada
siapa-siapa, nanti malahan aku ditertawakan mereka. Tapi..., agaknya anak muda
ini tidak bisa dibuat main-main!"
Dengan lantang, untuk menutupi rasa kagetnya atas
kejadian tadi, Dadung Amuk serukan kata,
"Bocah kencur! Siapa dirimu sebenarnya, hah"!"
"Apa perlunya kau tahu siapa diriku?" Suto sengaja berlagak sinis untuk
memancing kemarahan Dadung
Amuk. "Sebaiknya kau mengaku saja, supaya aku bisa
mencatat namamu dalam daftar orang-orang yang telah kubunuh!"
"Akan kucatatkan sendiri setelah aku berhasil kau bunuh!"
Geram dari mulut Dadung Amuk semakin jelas.
Napasnya pun ngos-ngosan seperti seekor banteng mau mengamuk.
"Kuhitung tiga kali, kalau kau tak mau menyebutkan siapa dirimu, kuhabisi
nyawamu sekarang juga!"
"Hitung saja satu kali! Jangan tiga kali. Itu terlalu banyak!" kata Suto makin
memanaskan dada Dadung Amuk.
Orang yang tidak mau disebut Singo Bodong itu
segera mengangkat kedua tangannya pelan-pelan.
Tangan yang menyerupai terkaman seekor singa itu
bergetar dan bergerak terus sampai di atas kepala. Lalu, kedua telapak kakinya
pelan-pelan terangkat naik sedikit dari permukaan tanah. Mata itu semakin tajam
memandang. Dan tiba-tiba tubuhnya bergerak melesat cepat menuju ke arah Pendekar
Mabuk. Wuuut...! Wess...! Pendekar Mabuk pun bergerak sangat cepat,
menggunakan gerak siluman. Kejap berikut Pendekar
Mabuk sudah berada jauh di bawah pepohonan pisang.
Dan gerakan cepat tubuh Dadung Amuk menghantam
pohon besar yang menyerupai bentuk payung besar itu.
Brruess...! Wwwrrrr...! Daun-daun runtuh bagaikan pohon mendapat


Pendekar Mabuk 07 Utusan Siluman Tujuh Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

guncangan hebat. Tubuh Dadung Amuk yang
membentur pohon dengan keras itu terpental ke belakang dan terkapar telentang di
rerumputan. Hidungnya
berdarah, juga bibirnya ada yang robek sebagian.
Dadung Amuk sesak napas, ia mencoba berdiri dengan terengap-engap. Tubuhnya
terkena rontokan daun cukup banyak, hingga ia merasa semakin geram dengan daun-
daun yang mengotori kepalanya.
"Haaah...!" Ia menyentak jengkel, lalu segera bangkit.
Matanya memandang celingak-celinguk mencari Suto.
Sedangkan yang dipandang hanya senyum-senyum saja
di tempat berjarak dua puluh langkah dari pohon besar itu.
"Monyet borok!" geramnya memaki Suto. Darah yang mengalir dari hidung diusapnya
dengan lengan baju. "Anak setan!" geram Dadung Amuk. "Cepat sekali gerakannya. Jangan-jangan dia
punya ilmu sejajar
dengan Siluman Tujuh Nyawa. Bisa mampus aku di sini!
Sebaiknya kutinggalkan saja dia! Tak perlu kulayani, ketimbang aku gagal
menemukan Suto, bisa kena
pancung leherku oleh Siluman Tujuh Nyawa!"
Dengan satu hentakan kaki, Dadung Amuk segera
melesat pergi, ia menjauh dan makin menjauh menuju lereng perbukitan. Suto hanya
memandanginya dengan senyum. Dan ketika Dadung Amuk tiba di perbatasan
bukit, Suto gunakan gerak silumannya lagi. Wuuut...
wuuut...! Tahu-tahu ia sudah menghilang dari tempat semula
dan membuat Dadung Amuk terkejut sekali. Karena
sewaktu ia hendak teruskan langkah setelah melewati perbatasan bukit, ternyata
Pendekar Mabuk sudah berdiri di depannya dalam jarak tujuh langkah. Maka Dadung
Amuk pun menahan gerak selanjutnya, ia berhenti dan menggumam dalam hati,
"Monyet juling! Itu bocah sudah ada di sana! Cepat sekali gerakannya"! Setahuku
dia masih tenang-tenang di bawah pohon pisang!"
Suto sunggingkan senyumnya, ramah tapi menantang.
Dadung Amuk gemetar dibakar kemarahannya.
Napasnya pun naik-turun dengan cepat bukan karena lari tapi karena memendam
nafsu amarahnya.
"Heii, Bocah Kencur...!" sapanya dengan lebih galak lagi, sambil ia langkahkan
kaki tiga tindak ke depan.
"Apa maksudmu menghadang langkahku, hah"! Mau benar-benar cari mati kau, hah"!"
"Aku hanya ingin tahu, apa alasanmu ingin
membunuh Suto"!"
"Itu tugasku! Tugas dari ketuaku!"
"Siapa ketuamu?"
"Siluman Tujuh Nyawa!"
"Ooo...," Pendekar Mabuk manggut-manggut.
"Kenapa hanya 'O' saja" Kau tak merasa takut mendengar nama angker itu" Siluman
Tujuh Nyawa! Bisa kau bayangkan betapa hebatnya ketuaku itu
mempunyai tujuh nyawa!"
"Kurang angker menurutku! Dan lagi, itu hanya sebutan saja! Toh nyawanya tetap
hanya satu"!"
"Tapi kau bisa dipancung dalam sekejap jika kau berhadapan dengannya! Dia orang
yang tak pernah kenal kata ampun dan menyerah!"
"Ooo...," Suto manggut-manggut lagi namun tetap tenang dan tersenyum-senyum
kalem. "Lantas, apa alasannya Siluman Tujuh Nyawa mau membunuh Suto
Sinting?" "Itu rahasia!"
"Apakah Pendekar Mabuk itu musuh lamanya
Siluman Tujuh Nyawa?"
"Musuh barunya!"
"Musuh baru"! Hmmm... sejak kapan Siluman Tujuh Nyawa bermusuhan dengan Pendekar
Mabuk?" "Sejak Siluman Tujuh Nyawa mendengar kekasihnya mengirim utusan kemari untuk
mencari orang yang
bernama Suto Sinting!"
"Siapa kekasihnya Siluman Tujuh Nyawa itu?"
"Gusti Mahkota Sejati!"
Pendekar Mabuk perdengarkan tawa kecil berkesan
meremehkan. Dadung Amuk tetap bermata nanar, penuh nafsu membunuh tapi tak
berani lakukan karena
pertimbangan ilmu Suto yang dianggapnya sangat tinggi itu,
"Mengapa kau tertawa" Apakah kau pernah
mendengar nama itu?"
"Pernah atau tidak, itu urusanku, Dadung Amuk. Tapi tolong sampaikan kepada
Durmala Sanca, bahwa I Gusti Mahkota Sejati tidak pantas menjadi kekasihnya,"
"Tunggu dulu!" sergah Dadung Amuk sambil maju dua tindak. "Kau menyebut nama
asli ketuaku Durmala Sanca. Apakah kau kenal dengan dia" Apakah kau tahu persis
tentang dia?"
"Tentu saja aku tahu, karena dulu aku gurunya Durmala Sanca. Dulu dia berguru
denganku di Tibet."
"Ooh... jad... jadi...?" Dadung Amuk mulai gentar karena dia tahu persis cerita
tentang Siluman Tujuh Nyawa itu.
Melihat lawannya mulai terpengaruh oleh kata-
katanya, Suto menambahkan bualannya, sekadar untuk menghindari pertumpahan
darah. Sebab menurutnya,
Dadung Amuk tak bisa diusir pergi jika tanpa dilawan dengan kekerasan atau
dengan kelicikan.
"Ketahuilah, Dadung Amuk, ketuamu itu mempunyai ilmu pukulan 'Candra Badar' juga
dari aku!"
"'Candra Badar'..."! Oh, kau tahu juga tentang pukulan 'Candra Badar' itu"!"
"Jelas tahu, karena memang itu sebenarnya ilmuku yang kuturunkan kepadanya.
Durmala Sanca bisa
menjelma menjadi tujuh wujud yang berbeda-beda, yang dinamakan ilmu 'Siluman
Tujuh Nyawa'. Itu juga ilmu yang kuturunkan padanya!"
"Oooh..."!" Dadung Amuk terperangah. Mulutnya yang berbibir tebal itu melongo
bagai liang tikus. Untuk lebih meyakinkan, Dadung Amuk ajukan tanya,
"Jika kau benar mengetahui tentang diri ketuaku, coba sebutkan berapa usianya?"
"Usianya sudah cukup banyak. Mungkin kau tidak percaya kalau kukatakan bahwa
usia Durmala Sanca
sudah mencapai seratus tahun."
"Oh, benar...!" ucap Dadung Amuk dengan desah keheranan.
"Tapi karena dia kuberi ilmu awet muda, maka ia seperti baru berumur antara lima
puluh tahunan."
"Benar lagi...," desahnya kagum.
"Sekarang, sebaiknya kembalilah kepada dia, dan katakan kau telah menemui
gurunya. Katakan pula, guru berpesan agar dia jangan mengganggu Gusti Mahkota
Sejati, dan jangan mencoba bermusuhan dengan anak
muda yang bernama Suto Sinting itu!"
"Hmmm... ah, eh... anu... tapi, apakah kau juga tahu siapa perempuan yang
bernama Gusti Mahkota Sejati
itu?" "Kenapa tidak" Aku selalu mengikuti gerakan
Durmala Sanca! Aku tahu, sejak muda dia mengejar-
ngejar perempuan yang bernama Dyah Sariningrum,
yang kemudian menjadi penguasa di negeri Puri
Gerbang Surgawi, yang ada di Pulau Serindu!"
"Ooh... benar lagi dia...," desah Dadung Amuk makin gemetar.
"Dan sekarang perempuan itu sedang terpenjara oleh ilmu 'Candra Badar', ia tak
bisa keluar ke mana-mana karena takut kena sinar matahari, sinar rembulan, sinar
bintang, bahkan sinar kunang-kunang pun bisa
membakar tubuh perempuan itu! Dan memang begitulah ilmu 'Candra Badar'
kuciptakan!"
"Dia tahu semuanya tentang ilmu itu" Oh, kalau begitu apa yang dikatakannya
memang benar. Dia
gurunya sang ketua!" pikir Dadung Amuk. "Tetapi, siapa nama orang ini" Bagaimana
aku harus menyebutkan
namanya jika ditanya oleh sang ketua nanti?"
Lalu, Suto pun berkata dengan gaya wibawanya,
"Dadung Amuk, kuperintahkan kau segera kembali kepada ketuamu dan tinggalkan
pulau ini! Mengerti"!"
"Hmmm... eh... tapi... tapi jika benar kau guru sang ketua, hmmm... lantas
bagaimana aku harus menjelaskan namamu" Sebab kamu kelihatannya jauh lebih muda
dari sang ketua!"
"Tentu saja. Kalau muridku bisa semuda itu, mengapa
aku tidak bisa jauh lebih muda lagi?"
"O, hmmm... iya. Benar."
"Dan katakan saja kepadanya, bahwa kau habis
bertemu dengan Pendeta Tibet! Tak perlu kau sebut namaku, dia sudah akan
menyebutnya sendiri! Dia pasti masih ingat namaku!"
"Pendeta Tibet...! Oh, benar. Sang ketua memang pernah bercerita bahwa gurunya
adalah Pendeta Tibet.
Jadi... oh, celaka! Jadi sejak tadi aku berhadapan dengan gurunya sang ketua"!
Pantas ilmuku tidak ada apa-apanya"!"
"Berangkatlah, Dadung Amuk! Pulanglah kepada
muridku si Durmala Sanca itu!"
"Tapi... tapi...."
"Atau kau ingin aku menghantamkan pukulan
'Candra Badar' ke tubuhmu, Dadung Amuk"!"
Orang itu kaget dan ketakutan. "Oh, hmmm... eh...
tidak... jangan! Sebaiknya memang aku pulang dan
melaporkan pada sang ketua...!"
* * * 6 SEPERGINYA Dadung Amuk, Pendekar Mabuk tak
dapat menahan tawa. Ia lepaskan tawa itu sambil
sesekali menenggak tuaknya. Dengan modal cerita dari Nyai Betari Ayu, ternyata
ia bisa mengusir Dadung
Amuk pergi meninggalkan tanah Jawa. Pikir punya
pikir, Dadung Amuk itu sebenarnya sama bodohnya
dengan Singo Bodong.
"Singo Bodong..."!" gumam Suto sendirian. "O, ya...
aku hampir lupa dengan Singo Bodong! Seharusnya tadi kudesak Dadung Amuk agar
mengaku sebagai Singo
Bodong! Paling tidak dia bisa jelaskan apa alasannya memakai Dadung Amuk dan
memihak Siluman Tujuh
Nyawa! Sayang sekali aku lupa, orang itu pasti sudah pergi jauh ketika kuancam
dengan pukulan 'Candra
Badar'...!"
Suto juga ingat tentang Dewa Racun. Maka, segera ia kembali ke pohon besar yang
menyerupai payung
raksasa itu. Ternyata di sana ia sudah ditunggu
kedatangannya oleh dua orang, yaitu Dewa Racun dan satu lagi... Singo Bodong.
Mata Suto sedikit menyipit heran memperhatikan Singo Bodong berbaju hitam tanpa
dikancingkan. Sebelum Pendekar Mabuk bicara, Dewa Racun sudah
mendahului menyapanya,
"Ddda... dari... dari mana saja kamu" Sejak tadi aku menunggu di sini bersama si
orang besar ini, tapi baru sekarang kau muncul!"
Suto masih memandang heran pada wajah Singo
Bodong yang tampak tersenyum ceria. Tak ada rasa
takut dan tegang sedikit pun. Dalam hatinya Suto
berucap kata, "Secepat itukah Dadung Amuk ganti pakaian"
Secepat itukah dia lepaskan baju dan menyimpannya
dengan rapi bersama tambangnya?"
Dewa Racun ajukan tanya, "Suto... aad... ada apa tadi
sebenarnya dddi... di sini"! Ak... aku melihat ada bek...
bekas pertempuran. Lihat, pohon itu membekas hit...
hitam... hitam sekali! Memm... memm... membentuk
bayangan manusia! Tadi waktu kutinggalkan, pohon itu tidak membekas bayangan
apa-apa! Ddda... daun-daun juga rontok. Pa... pas... pasti ada pertarungan di
sini!" Suto tidak menjawab pertanyaan Dewa Racun, ia
bahkan bergegas menghampiri Singo Bodong yang
tampak kegirangan mau diajak pergi itu. Singo Bodong sendiri ajukan tanya,
"Aku sudah diizinkan pergi oleh Ibu. Kita mau berangkat kapan" Sekarang?"
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Pendekar
Mabuk. Tapi tangan Pendekar Mabuk segera tarik
lengan Singo Bodong mendekati pohon, lalu berkata,
"Coba kau peluk pohon itu pas di tempat yang
hangus!" "Apa-apaan ini, Suto?"
"Lakukan saja kalau kau ingin ikut pergi denganku!"
"Baik. Baik! Kau tak perlu bentak aku!"
Singo Bodong memeluk pohon tepat di bagian yang
hangus oleh benturan tubuh Dadung Amuk tadi. Dan
ternyata ukuran tubuh pas dengan bentuk bayangan
manusia yang hangus di pohon itu.
"Cocok! Tak salah lagi!" gumam Pendekar Mabuk membuat Dewa Racun dan Singo
Bodong menatapnya
penuh keheranan.
"Ap... appp... apa maksudmu, Suto"!" tanya Dewa Racun.
"Aku habis bertarung dengan dia!" sambil Pendekar Mabuk menuding Singo Bodong.
Yang dituding makin
kerutkan dahi. "Kau habis bertarung denganku" Oh mana mungkin!"
kata Singo Bodong menyanggah. "Aku tidak merasa bertarung denganmu!"
"Jangan pura-pura! Ukuran tubuhmu cocok dengan ukuran bayangan hangus di pohon
itu! Kau tadi yang menabrak pohon itu dengan kekuatan tenaga dalammu!"
Dewa Racun membantah, "Ttid... tidak mungkin. Aku ada di rumahnya, menunggui dia
mandi dan menimba air sumur! Aku disuguhkan singkong rebus dan diajak
bercerita banyak oleh adik perempuannya!"
"Saat kau ngobrol dengan adik perempuannya itulah dia lolos dan menemuiku di
sini, berlagak tidak
mengenaliku!"
"Tiiid... tidak... tidak mungkin! Aku bicara dengan adik perempuannya di dekat
sumur. Aku lihat dia men...
men... menimba air!"
"Tapi dia tadi kemari sebagai Dadung Amuk dan mengadu ilmu denganku. Lalu lari
ke sana dan aku
mengejarnya! Akhirnya dia kusuruh pulang kepada
ketuanya, dan dia menurut. Dia pergi menghilang dari pandanganku, lalu aku
kemari, dan dia sudah ada di sini!"
"Tidddak... tidak mungkin! Dia selalu bersamaku!"
debat Dewa Racun. Sekarang ganti Dewa Racun yang
membela Singo Bodong. Sedang yang dibela hanya
bengong-bengong tak mengerti maksudnya. Singo
Bodong tampak bingung memikirkan perdebatan itu.
Dewa Racun segera mengajak Pendekar Mabuk
menjauhi Singo Bodong dan berbicara secara kasak-
kusuk, "Apakah kau bertemu Dadung Amuk?"
"Ya!"
"Diiid... dia... dia tidak kau desak untuk mengaku sebagai Singo Bodong?"
"Dia tidak mau mengaku."
"Apakah tidak ada kemungkinan, bahwa dddia... dia memang Dadung Amuk dan buk..
buk... bukan Singo
Bodong?" "Mengapa kau bertanya begitu?"


Pendekar Mabuk 07 Utusan Siluman Tujuh Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Seb... seb... sebab aku berani bersumpah, dia sejak tadi bersamaku. Tidak ke
mana-mana."
"Jangan-jangan dia punya ilmu sejenis 'Seberang Raga'" Dirinya yang asli sebagai
Daduk Amuk, orang lain atau makhluk lain dijadikan Singo Bodong?"
"Se... se... seperti yang kau miliki itu?"
"Ya!"
Dewa Racun diam tanda tak bisa menjawab dengan
pasti. Menurutnya dugaan Pendekar Mabuk memang
bisa saja terjadi. Tapi ilmu sejenis itu jarang dimiliki oleh tokoh persilatan.
Hanya orang-orang tertentu yang memiliki ilmu sejenis 'Seberang Raga'. Apakah
Singo Bodong termasuk orang dalam jenis tertentu, entahlah!
Yang jelas, Dewa Racun kembali mengikuti langkah
Suto mendekati Singo Bodong.
"Singo Bodong," kata Pendekar Mabuk. "Kau tahu aku punya ilmu 'Candra Badar'
juga! Sekarang juga akan kupukulkan ke tubuhmu ilmu 'Candra Badar' itu!"
"Maksudnya sekarang juga kau akan turunkan ilmu
'Candra Badar' kepada diriku" O, boleh, boleh...!" Singo Bodong tampak
kegirangan. Dewa Racun merasa heran sekali dengan sikap Suto.
Bahkan ketika Suto menggerakkan tangannya merentang ke depan dan ke belakang
dengan kaki kanan lurus ke belakang dan kaki kiri merendah, kepala dan badan
ikut merendah, Dewa Racun cepat lompatkan diri dan hadang pukulan itu di depan
Singo Bodong. "Tahan!" serunya. "Aaap... apa... apa maksudmu, Suto"!"
Pendekar Mabuk kendurkan ketegangannya, lalu
hempaskan napas, ia memandang Dewa Racun dengan
dongkol. Lalu, cepat ia tarik tangan Dewa Racun dan bisikkan kata di tempat jauh
dari Singo Bodong.
"Aku hanya ingin mengujinya! Bodoh! Seharusnya kau biarkan aku berpura-pura mau
lancarkan pukulan
'Candra Badar'. Sebab tadi Dadung Amuk ketakutan
waktu kuancam dengan pukulan itu!"
"Ta... tap... tapi apakah kau benar-benar punya pukulan itu?"
"Tidak, Bodoh! Itu hanya pura-pura untuk
memancing dia!"
"Kulihat dddi... dia... dia tidak takut, malah salah duga dan kegirangan.
Disangkanya kau mau masukkan
ilmu 'Candra Badar' sebagai kekuatan diiir... dirinya!"
"Uuuf...! Pusing sekali aku memikirkan keanehan ini!"
"Sebentar lagi hari menn... menjadi sore. Sebaiknya kiit... kita mendekati
pantai. Kiit... kita tidur di sana, baru esok paginya berangkat ke Pulau
Serindu!" "Bagaimana dengan anak gajah itu" Tetap diajak?"
Suto menuding Singo Bodong.
"Kkkkau... kau sendiri tadi yang usulkan begitu, sekarang kau sendiri yang...
yang jadi ragu. Apa maumu sebenarnya, Suto"!"
"Baiklah. Aku yang usulkan, aku pula yang harus tanggung jawab! Kita berangkat
sekarang!"
Singo Bodong tampak kegirangan ketika mengikuti
langkah Suto dan Dewa Racun. Mereka menyusuri
pantai, untuk mencapai tempat disembunyikannya
perahu Dewa Racun. Mereka tidak menggunakan
langkah cepat seperti kilat, mereka menggunakan
langkah biasa, hanya sedikit cepat. Itu saja sudah membuat Singo Bodong
ketinggalan beberapa tombak
jaraknya. "Dadung Amuk tadi mengaku utusan dari Siluman Tujuh Nyawa. Tugasnya mencari aku
dan membunuhnya. Tapi dia tidak tahu bahwa dia sudah
berhadapan dengan Suto. Dan aku tadi mengaku sebagai guru Siluman Tujuh Nyawa
yang punya nama asli
Durmala Sanca."
"Hei, kkau... kau tahu nama asli Siluman Tujuh Nyawa" Dari... dari mana kau tahu
nama itu?"
"O, ya! Rupanya aku belum cerita padamu. Betari
Ayu, orang yang pernah kuceritakan padamu tempo hari itu...."
"Hmmm... ya, ya... aakkk... aku... aku ingat. Orang itu yang menaruh kasih
sayang padamu! Lantas, ada apa
dengan dia?"
"Dddi... ddia... dia adalah...."
"Uts! Jangan ikut-ikutan latah!"
"O, ya. Maaf. Dia adalah kakak dari Dyah
Sariningrum!"
"Hahh..."!" Dewa Racun hentikan langkahnya, kaget dan terperangah dongakkan
kepala, memandang Suto.
"Kenapa kau terkejut" Aku tidak mendustaimu!
Betari Ayu itulah yang diceritakan tentang 'Candra Badar' di dalam tubuh Dyah
Sariningrum dan membuat nyai gustimu itu tidak bisa keluar ke mana-mana. Karena
takut terbakar oleh sinar matahari, rembulan, bintang bahkan cahaya sinar
kunang-kunang...."
"Jjja... jaaadi... jadi Betari Ayu itu adalah Nyai Guru Dyah Kumalawindu..."!"
"Siapa itu Dyah Kumalawindu"!"
"Kakak da... dari... Nyai Gusti Dyah Sariningrum!"
"Setahuku dia bernama Betari Ayu!"
"Itu nama julukannya! Kkka... kalau benar di... dia...
kakak dari Nyai Gusti, berarti dia menyimpan Kitab Pusaka Wedar Kesuma!"
"O, ya! Soal kitab pusaka itu aku pernah dengar.
Memang ada di tangannya! Tapi aku tidak tahu kalau dia punya nama sebenarnya
adalah Dyah Kumalawindu."
"Jabang bayi!" gumam Dewa Racun, ia tetap diam di
tempat sampai Singo Bodong mendekat. Dewa Racun
masih termenung, makin lama semakin tampak gelisah.
Singo Bodong berkata, "Langkah kalian boleh cepat dariku. Tapi napas kalian
masih kalah dengan napasku.
Ayo, jalan lagi! Tak perlu pakai istirahat segala! Bikin lama perjalanan saja!"
Singo Bodong meneruskan langkahnya, menunjukkan
bahwa dia belum merasa lelah. Dia tak tahu Suto dan Dewa Racun berhenti bukan
karena istirahat, tapi ada sesuatu yang perlu dipikirkan. Dan langkah Singo
Bodong itu dibiarkan oleh mereka berdua, sehingga
Singo Bodong ngeloyor sendiri bagai tak mempedulikan mereka lagi.
"Ada apa, Dewa Racun" Kelihatannya kau gelisah sekali setelah kita bicara
tentang Betari Ayu itu?"
"Nyai Guru Dyah Kumalawindu, adalah orang yang paling dihormati oleh nyai
gustiku. Sebab, kitab Pusaka Wedar Kesuma ada di tangan Nyai Guru Dyah
Kumalawindu."
"Apa arti kitab itu bagi Gusti Mahkota Sejati?"
"Oh, kau tahu... tahu... nama kkke... kehormatan nyai gustiku juga rupanya?"
"Betari Ayu yang menceritakannya. Jadi, apa artinya kitab itu bagi nyai gustimu
itu?" "Semua ilmu yang dimiliki nyai gustiku ada di dalam Kitab Wedar Kesuma. Jaa...
jadi... setinggi apa pun ilmu Nyai Gusti, dapat... diketahui dan diungguli oleh
Nyai Guru Betari Ayu itu. Sedangkan ilmu yang dimiliki Nyai Betari Ayu, tidak
banyak diketahui oleh Nyai Guss...
Gusti!" "Terus, apa hubungannya?"
"Begg... beg... begini, Suto," Dewa Racun melompat di salah satu batu supaya
tingginya mendekati tinggi tubuh Suto. Lalu ia bicara sungguh-sungguh,
"Seeb... sebenarnya, aaad... ada dua syarat yang ingin diajukan oleh Nyai Gusti
Dyah Sariningrum kepadamu.
Satu syarat aku sudah tahu, yaitu kkkau... kau harus bisa memegang Kitab Pusaka
Wedar Kesuma itu! Kkkau...
kau harus bisa memilikinya, sebab dengan begitu, semua kekuatan Nyai Gusti
dipasrahkan kepadamu. Itulah
tanda cinta Nyai kepadamu. Syarat yang kedua, aku
bell... beeel... belum tahu!"
"Jadi, aku harus merebut kitab pusaka dari tangan kakaknya?"
"Ssse... seolah-olah begitu. Kkau... kau harus mengalahkan kakaknya lebih dulu
dan mengambil alih kitab pusaka itu. Jika kau bisa memiliki dan
mengalahkan Nyai Betari Ayu, berarti hidup Nyai Gusti ada di tanganmu. Letak
kehormatan Nyai Gusti ada pada dirimu, Suto. Mmmmee... memang sekarang nyai
guruku hanya ingin bertemu denganmu. Tapi dalam
pertemuan nanti, dia akan bicarakan tentang dua syarat yang... bisa dianggap
sebagai mas kawin yang
dimintanya."
"Hmmm... begitu maunya"!"
"Jad... jadi... jadi saranku, sebaiknya kau datang ke sana dengan sudah
mmmemm... memm... membawa
Kitab Wedar Kesuma itu, agar jangan jatuh di tangan
orang lain."
"Apakah menurutmu ada orang lain yang mengincar kitab itu?"
"Seee... see... seingatku, satu purnama yang lalu, Nyai Gusti Mahkota Sejati,
kedatangan tamu yang paling
memuakkan baginya, yaitu Siluman Tujuh Nyawa.
Kedatangannya masih tetap sama, ingin melamar Nyai Gusti. Jikk... jik... jika
Nyai Gusti menerima
lamarannya, pukulan 'Candra Badar' akan dilepaskan dari tubuh Nyai Gusti. Tap...
tapi... Nyai Gusti
mengatakan bahwa beliau tidak punya pilihan lain
terhadap lelaki yang ingin dijadikan suaminya kecuali...
kecuali kamu: Suto Sinting. Ta... tapi... Siluman Tujuh Nyawa tetap mendesak,
dddan... dan mengancam akan
menghancurkan negeri Puri Gerbang Surgawi, juga akan menenggelamkan Pul...
Pul... Pulau Serindu. Hal itu membuat Nyai Gusti cemas, mengkhawatirkan nasib
orang-orangnya. Lalu, Nyai Gusti mempunyai cara
untuk mempersulit niat Siluman Tujuh Nyawa itu.
Beliau mau menerima lamaran Siluman Tujuh Nyawa
kkkaa... kaaalau... kalau Siluman Tujuh Nyawa bisa mendapatkan kiiit... kiit....
Kitab Wedar Kesuma.
Tentang di mana kitab itu berada, Nyai Guru tidak
memm... memm... memberitahukannya."
"Hmmm...," Suto manggut-manggut. "Jadi, tentunya sekarang ini Siluman Tujuh
Nyawa sedang kebingungan mencari Kitab Wedar Kesuma?"
"Aaak.. aku... rasa begitu, Pendekar Mabuk!"
"Dan pantas Siluman Tujuh Nyawa mengutus
Dadung Amuk untuk mencari Pendekar Mabuk dan
membunuhnya. Rupanya Siluman Tujuh Nyawa
cemburu kepadaku, Dewa Racun!"
"Seep... sepertinya begitu!"
"Kitab Wedar Kesuma..."!" gumam Pendekar Mabuk sambil merenung lama, sampai
akhirnya Dewa Racun
berkata, "Keistimewaan kitab itu lagi, ssse... setiap ilmu yang ditemukan oleh Nyai
Gustiku atau Nyai Betari Ayu,
sudah langsung tertulis dengan sendirinya di dalam kitab itu!"
"Hebat sekali kitab itu"!" Suto kerutkan dahi.
"Kkaaalau... kalau tidak hebat, tidak akan menjadi mas kawin buat Nyai Gusti
Dyah Sariningrum. Paaal...
paling tidak, orang yang akan meminang Nyai Guru
Mahkota Sejati, harus mengalahkan kakaknya terlebih dulu dan merebut kitab
pusaka itu."
Suto manggut-manggut dalam renungannya, lalu
hatinya membatin,
"Tapi kenapa dulu kitab itu akan diserahkan kepada Selendang Kubur atau Dewi
Murka" Hmmm... mungkin
waktu itu Nyai Betari Ayu menganggap salah satu dari muridnya layak menjadi
penerusnya dan berhak
mempelajari isi Kitab Wedar Kesuma. Tapi, bisa saja sebenarnya kitab itu
diserahkan kembali kepada adiknya, dan Nyai Betari Ayu mengasingkan diri dari
dunia persilatan. Barangkali sudah ada kesepakatan antara kakak-beradik itu untuk
menjadikan kitab tersebut
sebagai mas kawin buat sang adik" Jadi, mungkin Betari
Ayu tidak ingin adiknya mempunyai sembarang suami
yang ilmunya di bawah ilmu sang kakak. Dengan kata lain, siapa ingin menjadi
suami Dyah Sariningrum harus diuji dulu tingkat ketinggian ilmunya. Hmmm...
apakah itu berarti aku harus bertarung dulu dengan Nyai Betari Ayu?"
Mereka teruskan melangkah sambil
mempertimbangkan arah. Singo Bodong bahkan sudah
tidak kelihatan, jalannya tanpa berhenti sehingga bikin cemas Dewa Racun
sendiri. Karena itu, Suto
memerintahkan Dewa Racun untuk mendahului
langkahnya menyusul Singo Bodong agar tidak tersesat arah.
Dalam kesendirian langkahnya itulah Suto
mempertimbangkan sikap yang harus diambil. Untuk
mengalahkan Betari Ayu adalah hal yang mudah. Tapi Suto tidak akan tega melawan
Betari Ayu. Jangankan melukai kulitnya, melukai hatinya pun tak sampai hati.
Haruskah kasih sayang yang terpendam itu dihancurkan oleh pertarungan untuk
memperebutkan Kitab Pusaka
Wedar Kesuma"
Langkah Suto kembali terhenti. Kali ini terhenti
secara mendadak. Karena di depannya tiba-tiba muncul Singo Bodong berbaju
komprang warna merah
membawa tambang di pundaknya.
"Oh, kau belum pergi dari pulau ini, Dadung Amuk?"
"Hmmm... belum, Eyang Guru," Dadung Amuk menghormat karena menyangka Pendekar
Mabuk gurunya Siluman Tujuh Nyawa.
"Kenapa kau belum pergi" Dan kenapa kau hadang langkahku?"
"Eyang Guru, saya mohon izin untuk tinggal
beberapa saat di pulau ini."
"Apa perlumu?" Suto menampakkan kesan
wibawanya. "Ada satu tugas dari sang ketua yang lupa saya bicarakan tadi."
"Tugas apa?"
"Mencari Kitab Wedar Kesuma untuk mas kawin
Gusti Mahkota Sejati!"
"Kitab itu tidak ada di sini!"
"O, begitukah, Eyang Guru"! Apakah tidak sebaiknya saya diizinkan untuk
mencarinya lebih dulu?"
"Dekatlah kemari!" Pendekar Mabuk memanggil dengan dada membusung dan jari
tangan menyuruh
Dadung Amuk mendekat. Lalu, orang tinggi besar itu membungkuk dan mendekatkan
telinganya, Suto pun
berbisik, "Kitab Wedar Kesuma..., tapi jangan bilang siapa-siapa, mengerti?"
"Baik. Baik, Eyang Guru.... Saya mengerti!"
"Kalau mau dapatkan Kitab Wedar kesuma, pergilah ke Pulau Hantu! Rebutlah dari
tangan seorang nenek peot yang berjuluk si Mawar Hitam! Jelas?"
"Jelas, jelas! Jelas sekali, Eyang Guru!"
"Tapi hati-hati melawan dia! Jangan mudah ditipu dan jangan cepat mempercayai
kata-katanya. Ingat,
Mawar Hitam hanya akan berikan Kitab Wedar Kesuma
pada saat menjelang ajal!"
"O, ya! Saya mengerti. Jadi, saya harus bikin dia sekarat dulu!"
"Terserah caramu! Pergilah sana, Eyang merestui!"
"Terima kasih, Eyang Guru!' dan orang bodoh itu pun pergi setelah memberi hormat
pada Pendekar Mabuk
yang dianggap eyang gurunya.
* * *

Pendekar Mabuk 07 Utusan Siluman Tujuh Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

7 SEPENINGGALAN Dadung Amuk, Pendekar
Mabuk kembali renungkan diri. Ia membatin dalam
hatinya, "Lagi-lagi dia muncul pada saat Singo Bodong tidak ada di tempat! Mungkinkah
Singo Bodong dapat
berubah secepat itu" Tapi dari mana dia sembunyikan tambang yang selalu digulung
menggantung di pundaknya! itu" Setahuku sejak dari desa dia berangkat tanpa membawa tambang.
Bajunya tetap hitam, bukan
merah. Dan lagi-lagi aku lupa mendesaknya untuk
mengaku siapa dirinya sebenarnya! Apakah kali ini
Dewa Racun tetap ada bersama Singo Bodong" Ataukah dia sedang kelimpungan
mencari Singo Bodong?"
Dari arah kejauhan, tampak dua sosok manusia
berlarian menuju ke arah Pendekar Mabuk. Cepat-cepat Suto menyongsong mereka,
karena mereka adalah Dewa Racun dan Singo Bodong.
"Hamm... ham... hampir saja dia jatuh dari tebing kalau tidak segera kutolong!"
kata Dewa Racun sambil menuding Singo Bodong yang terbengong-bengong.
"Kenapa dia berada di tebing?"
Singo Bodong menyahut, "Jalannya buntu. Harus memanjat tebing untuk mencapai
pantai berikutnya!
Jadi, aku naik ke tebing."
"Man... man... manusia ini bodoh sekali! Dia pilih teb... teb... tebing yang
licin untuk dipanjatnya. Padahal ada tebing yang kering dan bisa untuk lee...
leee... lewat!" Suto menarik tangan Dewa Racun, menjauh sedikit
dan berbisik, "Dalam beberapa saat tadi kau benar-benar
bersamanya?"
"Bbe... be... benar! Ada apa?"
"Dadung Amuk baru saja menemuiku."
Terkesiap mata Dewa Racun menatap Pendekar
Mabuk. Suto melanjutkan bisikannya sambil sedikit
melirik Singo Bodong,
"Dia juga diperintahkan untuk mencari Kitab Wedar Kesuma!"
"Oh..." App... apa... apakah dia sudah tahu di mana letaknya?"
"Belum. Kutunjukkan arah yang salah. Kusuruh dia mencarinya pada Mawar Hitam di
Pulau Hantu."
"He he he...!" Dewa Racun terkekeh geli. "Pin...
pintar juga kau rupanya. Kkaau... kau umpankan Dadung Amuk kepada Mawar Hitam.
Pas... pasti habislah
Dadung Amuk dihajar si Mawar Hitam itu!
"Ya, tapi itu kalau Dadung Amuk bukan Singo
Bodong goblok itu! Tapi kalau Dadung Amuk adalah
Singo Bodong, maka ia selamat dari ancaman Mawar
Hitam!" "Kkku... kurasa mereka memang berbeda. Dia sejak tadi bersamaku dan setiap
gerakannya kkku...
kuperhatikan!"
"Baiklah. Aku percaya padamu! Tapi aku perlu
tanyakan sesuatu kepadanya," lalu Pendekar Mabuk pun bergegas temui Singo Bodong
yang merasa tak suka
mereka kasak-kusuk terus sejak tadi.
"Singo Bodong, kau punya saudara berapa?"
"Satu," jawab Singo Bodong setelah diam sebentar merasa heran.
"Seorang adik atau seorang kakak?"
"Seorang adik."
"Lelaki atau perempuan?"
"Perempuan. Dewa Racun sudah ngobrol sama
adikku!" Dewa Racun menyahut, "Ya. Ddiiia... dia punya adik perempuan yang bernama
Tangan Berbisa 18 Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong 1
^