Utusan Siluman Tujuh Nyawa 3
Pendekar Mabuk 07 Utusan Siluman Tujuh Nyawa Bagian 3
Narsih. Anaknya sudah empat.
Suaminya nelayan."
"Sebaiknya biarkan dulu aku bicara pada dia! Kau tak perlu ikut campur.
Mengerti?"
"Baaa... baik!" Dewa Racun agak takut sedikit melihat Pendekar Mabuk tanpa
senyum. "Singo Bodong, jujur saja katakan padaku, apakah kau tidak mempunyai saudara
kembar?" "Saudara kembar..."! Kurasa aku lahir tunggal dari perut ibuku."
"Kau yakin tidak punya saudara lagi?"
"Tidak punya!" jawab Singo Bodong. "Ibuku hanya melahirkan dua kali. Pertama
aku, kedua Narsih. Jangan kau suruh ibuku melahirkan lagi. Dia sudah cukup tua!"
Pendekar Mabuk bergegas ke tepian hutan tak jauh
dari pantai, hanya berjarak sepuluh langkah lewat
sedikit. Dewa Racun dan Singo Bodong mengikutinya.
Suto memberi isyarat supaya orang tinggi besar itu duduk di dekatnya. Singo
Bodong menurut bagaikan
patuh pada segala perintah Suto. Ia duduk di bongkahan batu yang ada di depan
Pendekar Mabuk. Dewa Racun
mendampinginya, dan melompat ke atas sebatang pohon berdahan lengkung ke bawah,
hampir menyentuh tanah.
Di dahan itu Dewa Racun duduk mendengarkan
percakapan Suto dengan Singo Bodong.
Agaknya Pendekar Mabuk kali ini bersungguh-
sungguh ingin mengorek keterangan dari Singo Bodong.
Sore yang kian menua dibiarkan meredup menabur
petang. Sebentar lagi bumi akan gelap, tapi Pendekar Mabuk tak pernah peduli
dengan kegelapan bumi.
"Singo Bodong, ingat-ingatlah siapa dirimu
sebenarnya! Benar-benarkah namamu Singo Bodong?"
"Dari dulu aku memang dipanggil Singo Bodong!"
jawab orang berkumis yang tampangnya angker tapi
bodoh itu. "Siapa nama aslimu?"
"Sugali!"
"Mengapa kau disebut Singo Bodong?"
"Karena... hmmm... karena sewaktu kecil aku hampir mati dimakan seekor singa.
Tapi segera diselamatkan oleh orang-orang desa. Sejak itu aku dipanggil Bodong!"
sambil menunjukkan pusarnya yang memang melotot
keluar bagai mata orang sedang marah.
"Baiklah, aku percaya!"
"Sejak kita jumpa di kerumunan orang depan kedai itu, kau dan Dewa Racun selalu
curigai aku terus. Ada apa sebenarnya?"
"Ada orang mirip kamu dan mengaku bernama
Dadung Amuk!"
"Mirip aku"!" Singo Bodong memegang dadanya sendiri. "Dia mirip Singo Bodong"
Oh, tidak mungkin, Singo Bodong hanya satu! Singo Bodong tidak mau
disamakan dengan Dadung Amuk!"
"Kau benar-benar tidak mengenal Dadung Amuk?"
"Tidak. Singo Bodong tidak kenal dengan Dadung Amuk!" Singo Bodong tetap
menggeleng. "Kalau ada orang yang meniru-niru penampilan Singo Bodong,
ooh... Singo Bodong akan marah. Singo Bodong akan
adukan orang itu pada Ibu."
"Orang ini gede-gede bisul!" pikir Dewa Racun.
"Kelihatannya saja gede, tua, tapi jiwanya masih anak-anak! Masih suka manja
kepada ibunya. Pantaslah kalau dia tidak laku kawin walau usianya sudah cukup
dewasa." Suto juga mempunyai pemikiran yang sama dengan
Dewa Racun. Namun Suto tidak menghanyutkan diri
dalam pemikiran itu, ia segera ajukan pertanyaan yang membuat Singo Bodong
tertegun beberapa saat,
"Apakah ayahmu masih ada?"
Singo Bodong menarik napas panjang-panjang.
Matanya yang lebar berkesan galak itu menjadi redup.
Pendekar Mabuk jadi kerutkan dahi. Sesaat kemudian terdengarlah jawaban dari
mulut Singo Bodong yang
bernada lesu, "Aku tidak tahu, apakah ayahku masih ada atau tidak."
"Mengapa begitu?"
"Dulu, semasa masih mudanya ibuku adalah seorang sinden, ia berkeliling ke mana-
mana bersama rombongan tayub. Dulu, katanya Ibu pesinden tercantik. Banyak
lelaki suka padanya. Sampai satu saat, Ibu lahirkan aku dari lelaki yang tidak
mau menikahi Ibu. Lelaki itu sekarang entah ada di mana, masih hidup atau sudah
mati, Ibu sendiri tak tahu."
Wajah duka melapisi kulit coklat tua yang berkumis tebal itu. Suto melihat
kesungguhan dari cerita Singo Bodong. Lalu, Suto bertanya lagi.
"Adikmu yang perempuan itu apakah lahir dari lelaki yang sama?"
"Tidak. Adikku lahir dari Ibu!"
"Iya. Maksudku, apakah lahir akibat hubungan ibumu dengan laki-laki yang menjadi
bapakmu itu?"
"Kata Ibu, memang iya! Tapi sejak lahirnya Narsih, ibuku tidak mau lagi
berhubungan dengan orang itu."
"Kenapa?"
"Karena orang itu tidak pernah muncul lagi. Dan Ibu tidak tahu harus mencarinya
ke mana. Lalu, Ibu berhenti jadi sinden, padahal Ibu punya suara bagus. Sampai
sekarang Ibu masih suka alunkan tembang di tengah
malam. Kalau dia sudah alunkan tembang, waaah...."
"Ya ya ya...! Cukup! Aku sudah bisa bayangkan kehebatan ibumu," potong Suto yang
merasa tak perlu mendengar pujian seorang anak kepada ibunya.
Dewa Racun melompat dari dahan. Turun mendekati
Pendekar Mabuk dan berbisik,
"Aak... aakk... aku rasa dia bukan hasil dari sejenis Sa... Sab... Sabrang
Raga." "Ya. Lalu siapa Dadung Amuk itu sebenarnya"
Ayahnya dia?"
"Mungkin saja!"
Suto ajukan tanya lagi kepada Singo Bodong,
"Apakah kau pernah dengar ibumu sebutkan ciri-ciri lelaki yang menjadi bapakmu
itu?" "Hmmm...!" Singo Bodong kerutkan dahi sejenak, lalu menjawab, "Menurut cerita
Ibu, bapakku orang yang ganteng, tampan sepertiku kira-kira. Dia sering disebut
Ibu dengan sebutan sang Arjuna!"
Dewa Racun tertawa tertahan dan berbisik kepada
Pendekar Mabuk, "Kaaal... kalau hasil cetakannya seperti dia, lantas sang
Arjuna-nya seperti apa
menurutmu"'
"Rusak," jawab Suto sedikit tersenyum, lalu kembali bersikap tegas kepada Singo
Bodong. "Kau pemah dengar ibumu menyebutkan nama
bapakmu?" "Hmmm... hm... dulu pernah."
"Siapa nama bapakmu itu?"
"Aku lupa. Aku tidak pernah mengingatnya. Tapi Ibu lebih sering memanggilnya
Arjuna!" Dewa Racun berbisik lagi, "Jangan-jangan ibunya tidak bisa bedakan antara Arjuna
dengan Dasamuka"!"
Ia tertawa terkikik dengan mulut dibungkam sendiri.
Suto hanya tersenyum tipis dan tak mau tanggapi kelakar itu.
Tapi tiba-tiba Singo Bodong berseru, "Naah...!
Hampir seperti itu namanya! Hampir seperti... siapa tadi?"
"Dasamuka?" ulang Dewa Racun.
"Iya. Iya...! Hampir seperti Dasamuka nama
bapakku." "Dasamuka itu tokoh raksasa dalam pewayangan!"
"Iya. Aku tahu, karena aku sering nonton wayang.
Tapi, nama bapakku hampir sama dengan Dasamuka!"
Pendekar Mabuk menggumam dan berpikir beberapa
saat. "Siapa nama tokoh dunia persilatan yang bernama mirip Dasamuka?"
"Bbbe... belum tentu orang itu dari tokoh persilatan!"
Kemudian Suto ajukan tanya lagi pada Singo
Bodong, "Apakah ibumu pernah ceritakan kehebatan orang yang menjadi pujaan
hatinya itu?"
"Hhmm... ya. Pernah. Ibu pernah cerita kalau sang Arjuna itu pandai berkelahi.
Kalau berkelahi tidak pernah kalah!"
Suto memandang Dewa Racun dan berkata pelan,
"Jelas dia dari tokoh persilatan!"
"Hmmm.... Sssi... siapa" Siapa tokoh persilatan yang namanya mirip Dasamuka"
Aaap... apakah Durmala,
kurasa itu tak mungkin!"
Tiba-tiba Singo Bodong berseru, "Yaaaa...! Itu...!" Ia menuding Dewa Racun, yang
membuat Dewa Racun
sempat kaget dan cepat pasang kuda-kudanya.
"Itu nama bapakku! Durmala...! Tapi... Durmala siapa, ya?" pikir Singo Bodong.
Suto cepat menyahut.
"Durmala Sanca...?"
"Nah, tepat!" Singo Bodong pekikkan suara dengan semangat. "Betul! Nama bapakku
betul itu; Durmala Sanca!"
Tentu saja hal itu membuat Pendekar Mabuk dan
Dewa Racun sama-sama terperangah bengong. Mereka
saling pandang dengan mata menegang. Cukup lama
Suto dan Dewa Racun saling terkunci mulutnya sejak mendengar nama ayah dari
Singo Bodong adalah
Durmala Sanca. Ini sesuatu yang sulit dipercaya oleh Suto maupun Dewa Racun,
karena Durmala Sanca
adalah nama asli Siluman Tujuh Nyawa.
"Apakah kau percaya dengan kata-katanya?" Suto mencari tahu perasaan Dewa Racun.
Dan si kerdil yang gagap itu menjawab,
"Ag... ag... agak sangsi. Nama Dasamuka tid... tidak mirip nama Durmala Sanca.
Mungkin dia salah dengar atau salah ingat. Tak mungkin Dur... Durmala Sanca
punya anak seperti dia!"
Kemudian Pendekar Mabuk segera tanyakan pada
Singo Bodong, "Apakah kau tidak salah dengar tentang nama itu?"
"Tidak. Kurasa tidak. Malahan Ibu pernah bilang aku tak boleh menanyakan perihal
lelaki yang telah
dianggapnya siluman itu."
Kembali mata Suto beradu pandang dengan mata
Dewa Racun. Kejap berikutnya mereka sama-sama
terbungkam mulut, hanyut dalam kecamuk batinnya
masing-masing. Ketika petang tiba, Pendekar Mabuk mencarikan
tempat bermalam untuk Singo Bodong. Sebuah pohon
berdahan lebar dan pipih dijadikan tempat bermalam oleh mereka. Dalam kejap
berikutnya Singo Bodong
telah tidur mendengkur mirip babi kelelahan. Sesuatu yang aneh dirasakan oleh
Suto dan Dewa Racun.
Sesuatu yang aneh itu sama-sama dipendamnya dalam
hati. Tapi lama-lama keduanya tak tahan memendam
keanehan itu, lalu Suto yang mengawali bicara,
"Kau rasakan sesuatu yang aneh sedang terjadi"'
"Bbbe... betul. Aku merasakan. Taaap... tapi
menurutmu apa keanehan itu?"
"Suara dengkuran Singo Bodong."
"Ya. Beeet... beeet... betul!" bisik Dewa Racun sedikit tegang.
"Dengkuran Singo Bodong membuat pohon ini
bergetar."
"Ya. Bbbe... beeet... betul. Aku merasakan getarannya walau sangat pelan."
"Padahal pohon ini cukup besar, akarnya pun
merambah ke mana-mana dalam bentuk pipih. Pohon ini cukup kekar. Tapi kenapa
bergetar hanya karena suara; dengkuran Singo Bodong?"
"Jang... jang... jangan-jangan dia memang Siluman Tujuh Nyawa"! Dia mewarisi
darah kesaktian Siluman Tujuh Nyawa! Dia tid.... tidd... tidak menyadari hal
itu. Meen... menurut cerita Narsih, adiknya, Singo Bodong jarang tidur di rumah.
Ibunya tidak suka jika Singo Bodong tidur di rumah."
"Alasannya apa?"
"Kalau dia tidur, rumahnya seep... seep... seperti mau runtuh!"
"Begitukah dia?"
"Kupikir tadinya iit... itu hanya olok-olok Narsih saja.
Tapi... tapi melihat kenyataan ini, apa yang dddi...
dikatakan Narsih itu benar. Singo Bodong kalau tidur bikin rumah mau roboh,
kareeena... karena rumah itu pasti bergetar oleh suara dengkurannya!"
Suto menarik napas, lalu ia ucapkan kata lirih,
"Semakin membingungkan masalah ini! Jika benar Singo Bodong anak Durmala Sanca
atau Siluman Tujuh Nyawa, lantas Dadung Amuk itu siapa" Apakah juga
anaknya Durmala Sanca" Tapi Dadung Amuk menyebut
Durmala Sanca dengan kata sang ketua. Dia tidak
menyebutkan sang ayah."
"Jang... jaaang... jangan-jangan, Singo Bodong sendiri tidak menyadari bahwa
dirinya bisa memecah diri menjadi satu orang lagi. Sat.. satu... satu orang dari
hasil titisannya itulah yang menjadi Dadung Amuk!
Tap... tapi... tapi dia tidak sadari hal itu, sama halnya dia tidak sadari
kaaal... kalau dengkurannya bisa
menggetarkan batang pohon sebesar dan sekokoh iin...
inn... ini!"
"Kau semakin banyak mengajukan kemungkinan,
semakin bingung aku memikirkannya," kata Suto.
"Kalau Singo Bodong bisa memecah diri menjadi Dadung Amuk, berarti Singo Bodong
orang sakti?"
"Sebagai se... se... seorang Singo, mungkin dia tidak sakti. Tapi see... sebagai
seorang Dadung Amuk, dia cukup sakti. Paling tidak, berilmu ting... ting...
tinggi!" Suto menenggak tuaknya sesaat. Setelah itu
termenung beberapa lama. Suara dengkur Singo Bodong hampir mirip lolong
serigala. Setiap hembusan napas menghadirkan suara berubah-ubah. Suara itu
membuat dedaunan bergetar, ranting, dan dahan pohon ikut terasa gemetar.
"Barangkali dia akan menjadi orang hebat kalau dibekali ilmu tenaga dalam," kata
Suto kepada Dewa Racun yang duduk di samping kanannya.
"Apakah kau bermaksud membekali sebagian tenaga dalammu?"
"Aku sedang pertimbangkan untung-ruginya."
"Un... untungnya dia bisa jaga diri sendiri dan... dan...
dan tidak merepotkan kita kalau addd... ada apa-apa.
Tapi ruginya, kalau dddi... dia... dia berontak kepada kita, sama saja senjata
maak... makan... makan tuan!"
"Tentu saja menyalurkan tenaga dalam harus pakai
takaran, yang sewaktu-waktu kita bisa lumpuhkan
sendiri!" "Kkkal... kalau kau punya pikiran bbbeg... beeg...
begitu, ya sudah. Lakukanlah!"
Suto masih diam, kembali meneguk tuaknya beberapa
kali. Ia pikirkan masak-masak tentang rencana
menyalurkan tenaga dalam ke tubuh Singo Bodong. Tapi rasa penasaran ingin
mengetahui siapa dan sejauh mana kekuatan Singo Bodong, membuat Suto akhirnya
bergegas mendekati tidurnya Singo Bodong.
Tetapi baru saja Pendekar Mabuk ingin memegang
kaki Singo Bodong, tahu-tahu tangannya tersentak ke belakang, hampir membuatnya
terjatuh dari atas pohon.
Wuuuut...! "Edan...!" sentak Suto dengan suara tertahan.
"Add... ada apa..."!" Dewa Racun kaget dan bergegas bangkit.
Pendekar Mabuk 07 Utusan Siluman Tujuh Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suto melangkah mundur dalam pijakan dahan yang
sama. Ia mendekati Dewa Racun dan berbisik,
"Tubuhnya tak bisa disentuh."
"Mak... maksudmu...?"
"Ada tenaga dalam yang bekerja dengan sendirinya, melapisi tubuhnya. Tanganku
seperti kesemutan. Linu rasa tulangku."
"Aaan... aneh sekali! Beeet... betul... betulkah begitu?"
Dewa Racun penasaran, ia segera mendekati Singo
Bodong, ia bermaksud menendang pelan kaki Singo
Bodong yang masih tetap mendengkur itu. Tetapi, tiba-
tiba kaki Dewa Racun bagai ada yang menyentakkan
kuat-kuat, yaitu suatu tenaga bergelombang
menghempaskan kaki itu.
Wuuut...! Sreet...! Braas...!
"Aauw...!" Dewa Racun terpekik, ia jatuh karena tubuh kecilnya terpental. Untung
tangannya cepat meraih salah satu akar yang mirip tambang itu, sehingga ia
bergelayutan sesaat di sana. Suto menertawakan sekejap, dan membiarkan Dewa
Racun naik kembali melalui
ayunan tangannya. Tubuh kecil itu bersalto dan hinggap di dahan samping Suto.
"Bagaimana" Benar apa yang kukatakan tadi, bahwa dia punya lapisan tenaga dalam
yang membuat dirinya tak bisa disentuh orang?"
"Beeen... ben... benar! Dan cukup kuat. An... aneh sekali. Dia orang bodoh,
lugu, tapi sebenarnya dia punya kekuatan yang cukup besar. Jang... jang...
jangan-jangan kekuatan itu adalah kekuatan yang dimiliki Dadung
Amuk"!"
"Dadung Amuk"!" gumam Suto dalam berpikir. "Ya.
Mungkin dalam keadaan tak sadar seperti ini, dia
menjadi Dadung Amuk"!"
* * * 8 SISA cahaya purnama masih ada, membuat keadaan
di pantai menjadi tampak benderang. Karena
benderangnya cahaya itu, Suto melihat sekelebat gerakan melesat dari arah hutan
ke pantai. Kelebat gerakan itu berlari dari ujung sana mendekati tempat Suto dan
dua teman barunya itu duduk sebelum bergegas naik ke
pohon besar itu.
Dalam kilasan gerak yang lain, Suto melihat
seseorang mengejar cepat orang pertama. Suto cepat colekkan tangannya ke lengan
Dewa Racun dan Dewa
Racun segera lemparkan pandang ke arah Pendekar
Mabuk. Tanpa mendapat jawaban, Dewa Racun sudah
mengerti apa yang dimaksud Suto, maka ia pun ikut
lemparkan pandang ke pantai.
Dewa Racun berbisik, "Aaak... aku seperti pernah melihat perempuan itu!"
"Tentu saja. Dia adalah Selendang Kubur, satu dari ketiga perempuan yang hadir
di pertarungan Bukit Jagal tempo hari."
"O, iiy... iya! Tapi ag.. agaknya dia sedang berusaha menghindari kejaran lawan.
Dan... dan apa yang ada di tangannya itu"!"
"Sebuah kitab!" Suto terperanjat. "Jangan-jangan itu adalah Kitab Pusaka Wedar
Kesuma"!"
"Kau... kaaau... yakin kalau itu Kitab Wedar
Kesuma?" "Kar... karena dia adalah murid Betari Ayu! Mungkin dia habis curi itu kitab
atau... atau.... Entahlah! Kau tetap di sini. Aku akan mengurusnya sebentar!"
Sebelum mendapat jawaban dari Dewa Racun, Suto
sudah cepat menghilang dengan satu jejakan lembut
kakinya ke dahan pohon. Wuuut...!
Selendang Kubur terjungkal dari larinya, karena
seseorang menyerang dengan pukulan jarak jauhnya dari belakang. Tubuh perempuan
itu tersungkur di pasir
pantai. Tapi cepat ia hentakkan siku dan melesat bangkit dengan satu tangan kiri
memeluk sebuah kitab.
Sementara itu, orang yang tadi mengejarnya
melompatkan tubuh dan bersalto di udara dua kali untuk lebih mendekat lagi.
Jleeg...! Orang itu mendaratkan kedua kakinya dengan tepat dan mantap, ia
berpakaian hitam berlilit benang emas di tepiannya, menyandang pedang perak
dengan sarung pedang dari perak berukir juga. Pakaian orang itu sebagian telah
robek bagaikan koyak, namun jelas bukan koyak oleh cakaran tangan Selendang
Kubur. Suto mengenali orang itu sebagai tokoh alot yang
berjuluk Datuk Marah Gadai. Tapi Suto tidak tahu
bahwa koyaknya pakaian Datuk Marah Gadai adalah
akibat hempasan badai yang menerbangkan dirinya, saat Pendekar Mabuk menggunakan
Tuak Setan-nya.
"Selendang Kubur!" geram Datuk Marah Gadai.
"Satu kesempatan lagi kuberikan padamu. Serahkan kitab pusaka itu atau
kutenggelamkan dirimu ke dasar bumi"!"
"Aku memilih, tenggelamkan dirimu sendiri ke dasar bumi!"
"Keparat betul kau!" Datuk Marah Gadai segera angkat tangan kanannya setinggi
telinga, telapak tangan itu sudah mengembang dan menghadap ke arah
Selendang Kubur, siap untuk dihentakkan.
Tapi Selendang Kubur tak kalah siap. Ia mengangkat satu kakinya hingga terlipat
ke belakang, dua tangannya terentang tinggi sambil salah satu tangan masih
menggenggam kitab itu. Selendang Kubur bagai seekor merpati yang siap murka di
hadapan Datuk Marah
Gadai. Sementara itu, Datuk Marah Gadai masih
mencoba menggertak Selendang Kubur dengan kata-
kata, "Satu jurus lagi kalau kau tak hancur, lebih baik aku bunuh diri!"
"Lakukanlah sekarang juga kalau kau mau bunuh diri! Apa pun yang terjadi, kau
tidak berhak memiliki kitab pusaka ini!"
"Kau pun tak berhak, tahu"! Kau telah mencuri kitab itu tanpa setahu gurumu!"
"Dan kau datang juga untuk mencurinya! Hmm...!
Kita sama-sama pencuri, Datuk! Rasaya tak keberatan aku beradu nyawa kepadamu
untuk mempertahankan
kitab ini! Majulah kalau kau ingin selesaikan riwayatmu malam ini juga!"
"Keparat kau! Hiih...!"
Datuk Marah Gadai sentakkan tangannya. Dari
sentakan tangan keluar cahaya biru yang melesat cepat ke arah Selendang Kubur.
Tapi perempuan itu segera kibaskan kedua tangannya bagai sayap merpati
mengamuk. Wuuut... wuuut... wuuut...!
Gelombang tenaga dalam cukup besar keluar dari
kibasan tangan tanpa wujud sedikit pun. Gelombang
hawa bertenaga dalam itu menahan datangnya sinar biru dari tangan Datuk Marah
Gadai. Blarrr...! Cahaya biru memecah terang dalam sekejap.
Suara benturan tenaga dalam itu menimbulkan sentakan kuat yang membuat tubuh
Selendang Kubur terpental
tiga langkah ke belakang dalam keadaan oleng, dan
akhirnya jatuh bagai merpati patah sayapnya.
Sedang sentakan yang ditimbulkan dari ledakan dua
tenaga dalam beradu itu hanya membuat tubuh Datuk
Marah Gadai guncang sedikit, tapi ia tetap tegak berdiri dan siap lancarkan
serangan lagi. Suto melihat suatu pertarungan yang tak seimbang.
Datuk Marah Gadai lebih tinggi ilmunya dari Selendang Kubur. Maka, dengan cepat
Pendekar Mabuk melompat
ke arah Selendang Kubur yang sudah berdiri siap
menghadapi serangan lagi. Pada waktu itu, Datuk Marah Gadai pun sentakkan
kakinya dan dari kaki itu keluar cahaya putih keperakan yang pernah hampir
menghancurkan tubuh Cadaspati. Wuuuut...!
Cahaya putih keperakan itu melesat cepat ke arah
Selendang Kubur. Namun dengan gerakan cepat pula,
Suto melompat dan menghadangkan bumbung tuaknya.
Dubbb! Cahaya putih keperakan membentur bumbung
tuak, dan cahaya itu membalik dengan sinar lebih terang dan lebih besar lagi.
Wooos...! Datuk Marah Gadai terbelalak melihat tendangan
mautnya dikembalikan dengan lebih besar lagi. Cepat-cepat ia sentakkan kaki dan
melesat naik ke udara pada saat cahaya perak itu hampir menghantam tubuhnya.
Wesss...! Clappp...!
Sebongkah batuan karang jauh di belakang Datuk
Marah Gadai tiba-tiba lenyap akibat terkena hantaman cahaya putih keperakan itu.
Bahkan debunya tak tersisa sedikit pun. Datuk Marah Gadai kian terperanjat
memandangnya. Biasanya benda yang terkena cahaya
tendangan jurus 'Tapak Dewa'-nya itu akan hancur
seketika dan menjadi serbuk. Tapi kali ini begitu besar cahaya putih keperakan
itu, hingga serbuk pun tak
tertinggal di tempat bekas batu itu berada. Datuk Marah Gadai belum pernah
melihat kekuatan jurus Tapak
Dewa'-nya sebesar itu.
"Bahaya juga ini si bocah sinting!" pikir Datuk Marah Gadai dengan menahan
serangan berikutnya. Matanya
yang sedikit sipit berkesan bengis itu menatap Pendekar Mabuk dengan tajam. Suto
hanya sunggingkan senyum
kalem. "Jangan ikut campur urusanku lagi, Pendekar
Mabuk!" kata Selendang Kubur dengan wajah merengut.
"Biarkan aku mengurus diriku sendiri dan kau mengurus dirimu sendiri!"
Selendang Kubur mendekati Pendekar Mabuk dengan
langkah tegasnya, ia berdiri di samping Pendekar Mabuk dengan pandangan benci,
namun sebenarnya memendam
cinta. Pendekar Mabuk tersenyum menatapnya,
Selendang Kubur mendengus menyambutnya, ia
mencoba untuk tidak tertarik dengan senyuman
Pendekar Mabuk yang tampan rupa itu.
"Kau tentunya sudah tahu kebusukanku saat di Bukit
Jagal! Aku tak butuh sikap baikmu lagi! Jadi, kau tak perlu bantu aku dalam
urusan ini!"
"Tenanglah...!" kata Pendekar Mabuk sambil menepuk pundak Selendang Kubur.
Tepukan pelan itu
membuat tubuh Selendang Kubur sedikit terguncang
tubuhnya, makin mendengus kesal hatinya.
Suto berkata kepada Datuk Marah Gadai, "Tak
sepantasnya kamu lawan dia, Datuk! Sebaiknya
selesaikan perkaramu tanpa kekerasan!"
"Bocah bawang! Tahu apa kau urusan orang tua"!
Kalau dia bisa berdamai denganku, tak akan mungkin aku menyerangnya dengan jurus
'Tapak Dewa'-ku!"
"Persoalannya sangat sepele, mengapa harus dengan menggunakan jurus berbahaya?"
"Buatmu sepele, Suto! Tapi buatku persoalan ini sangat penting!"
Suto tertawa kecil bersikap melecehkan. Bahkan ia
sempat teguk tuaknya sejenak, lalu ia pandangi
Selendang Kubur yang masih mendekap kitab berwarna hijau muda.
Tiba-tiba terdengar suara Datuk Marah Gadai
membentak, "Minggir kau, Suto! Atau ikut kuhancurkan tubuhmu bersama perempuan
itu!" "Jangan mudah menghancurkan orang, supaya dirimu tidak mudah dihancurkan orang
lain, Datuk!"
"Jahanaaam...!" geram Datuk Marah Gadai. "Anak kemarin sore mau gurui orang tua.
Hah..."! Seharusnya kau pulang ke rumah dan menetek pada ibumu, tidak
ikut campur urusan ini!"
"Kau sajalah yang pulang dan menyusui ibumu!" kata Suto mulai serius. Agaknya ia
cukup tersinggung dengan hinaan balik itu.
Serta-merta Datuk Marah Gadai sentakkan kedua
kakinya dan melesat terbang ke udara dengan kedua
tangan terangkat ke atas. Suto hentakkan kedua lututnya dan tubuhnya pun
melayang ke udara menyambut Datuk Marah Gadai.
"Hiaaat...!"
Plakkk... Plakkk...!
Kedua tangan beradu, keras sekali sentakan kedua
pasang tangan itu. Datuk Marah Gadai terhempas ke
belakang dan berguling satu kali di udara, sedangkan Suto tak sampai terhempas
ke belakang, namun segera turun dan mendaratkan kakinya ke tanah dengan sedikit
merendah. Jleggg...!
Suto dan Datuk Marah Gadai sama-sama berdiri
tegak dalam jarak tujuh langkah. Mata mereka saling adu pandang sama tajamnya.
Tapi bibir Pendekar Mabuk
sunggingkan senyum tipis yang membuat Datuk Marah
Gadai mencibir sambil berkata,
"Heh...! Anak kemarin sore sudah berani mau adu tenaga sama orang tua! Masih
untung kau bisa bernapas saat ini! Aku tahu kau kewalahan menahan tenaga
dalamku, Suto. Wajahmu mulai memerah. Kau cukup
banyak kerahkan kekuatan untuk menahan pukulanku!"
"Wajahku memerah" Oh, mungkin saja begitu. Tapi bagaimana dengan kedua telapak
tanganmu, Datuk?"
Serentak Datuk Marah Gadai memandang kedua
tangannya. Mata Datuk Marah Gadai terperanjat kaget melihat kedua telapak
tangannya memar biru kemerah-merahan. Bahkan bagian ujung-ujung jari jelas biru
legam. Rasa kaget Datuk Marah Gadai membuat tubuhnya
tersentak sedikit ke belakang, ia sama sekali tak
menduga bahwa telapak tangannya menjadi memar
akibat beradu tenaga di udara tadi. Belum pernah ia alami hal seperti itu,
sekalipun ia melawan tokoh tua.
"Kurang ajar anak itu! Ternyata dia punya tenaga dalam lebih besar dariku! Baru
sekarang kurasakan ngilu tulang-tulang lenganku. Baru sekarang kusadari telapak
tanganku sangat panas! Hmmm...! Anak ini tidak bisa diajak bercanda rupanya!
Cepat atau lambat harus
kulenyapkan, biar tidak menjadi penghalang bagiku
untuk mendapatkan kitab pusaka itu!"
Datuk Marah Gadai berceloteh di dalam hatinya. Suto hanya melirik sesekali penuh
waspada, tapi wajahnya menatap Selendang Kubur.
"Jangan lawan orang itu. Kau bisa mati, Selendang Kubur. Ilmunya cukup tinggi,
tak sebanding dengan
ilmumu!" "Persetan dengan omonganmu, Suto! Minggirlah dan jangan ikut campur lagi
urusanku! Aku muak padamu, Suto!"
"Kalau kau muak padaku, kenapa kau tak lari sejak tadi" Larilah sana, selama
kuhadapi Datuk Marah
Gadai!" "Hhmmmm...!" geram Selendang Kubur. "Kau telah
menotokku lewat tepukan pundak tadi! Kau telah buat aku terpaku di sini tak bisa
bergerak kecuali bicara!
Kalau saja kau tidak menotokku dengan cara halusmu, sudah kuserang sendiri kau
dari belakang!"
Dewa Racun yang memperhatikan dari atas pohon
menggumam heran setelah menyadari hal itu. Ia berkata dalam hatinya, "Pantas
sejak tadi Selendang Kubur hanya menjadi penonton saja, rupanya dia telah
terkena totokan melalui tepukan pundak yang dilakukan Suto tadi. Hmm...! Sungguh
mengangumkan sebenarnya anak muda itu! Serasi sekali jika berjodohan dengan Nyai
Gusti Dyah Sariningrum!"
Datuk Marah Gadai segera pejamkan mata. Rupanya
ia salurkan hawa dingin ke telapak tangannya yang
panas. Telapak tangan itu tampak berasap tipis beberapa saat. Kejap berikutnya,
Datuk Marah Gadai buka
matanya dan serukan kata,
"Suto! Kalau kau tetap tak mau minggir dari
Pendekar Mabuk 07 Utusan Siluman Tujuh Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hadapanku, kau akan menerima ajal secepat kilat malam ini juga!"
"Kalau memang kau mampu, Datuk, lakukanlah
secepatnya!"
"Besar juga nyalimu, rupanya! Apakah kau ingin memiliki kitab pusaka itu juga"!"
"Kalau aku mau memiliki, tidak dengan jalan
mencurinya! Aku akan minta kepada pemiliknya, yaitu Betari Ayu! Jadi aku
sebenarnya hanya menyelamatkan kitab itu dari jamahan tangan-tangan pencuri,
seperti kalian berdua!"
"Tutup mulutmu, Suto!" sentak Selendang Kubur tiba-tiba. Ia masih tak bisa
bergerak, tapi ia mampu bicara lantang, "Aku murid dari Nyai Betari Ayu, dan
karenanya akulah yang berhak memegang kitab ini,
Suto!" "Memegang untuk menyelamatkan kitab pusaka, itu baik. Tapi memegang untuk
memilikinya, itu curang!
Aku tahu kau ingin mempelajari semua jurus yang ada di dalam kitab itu untuk
satu keperluan pribadimu,
Selendang Kubur. Karenanya, aku perlu mencegah niat burukmu itu!"
"Suto!" seru Datuk Marah Gadai di sebelah sana.
"Kesabaranku sudah habis! Waktumu untuk hidup pun sudah habis! Sekarang tiba
saatnya untuk mencabut
nyawamu, Suto! Hiaaat...."
Jari tangan Suto membara hijau, lalu menyentil ke
depan. Tass...! Pada waktu itu, Datuk Marah Gadai
merasakan adanya satu sentakan halus di pinggangnya, tapi ia tidak pedulikan hal
itu. Ia hentakkan kakinya dan melesat terbang dengan kedua tangan siap
menghantam bersamaan. Kedua tangan itu berada di samping telinga dengan jari
mengeras kaku dan memercik-mercikkan
bunga api biru.
Suto cepat sabetkan bumbung tuaknya ke depan
sebelum tubuh Datuk Marah Gadai tiba di depannya.
Wuuung...! Suara bumbung itu seperti gaung kematian.
Gelombang tenaga dalam yang besar terlepas dari
sabetan bumbung itu. Gelombang besar itu menghantam tubuh Datuk Marah Gadai,
membuat tubuh itu terguling
dan terhempas ke samping. Tubuh Datuk Marah Gadai
terguling-guling di udara, dan akhirnya membentur
batuan karang setinggi dua tombak. Bluukk...! Prass...l Ujung batuan karang itu
patah, sebagian hancur
terkena benturan tubuh Datuk Marah Gadai. Tubuh itu sendiri jatuh ke tanah
dengan kepala terbenam di pasir pantai. Kalau tubuh Datuk Marah Gadai tidak
dialiri tenaga dalamnya sendiri, maka batuan karang itu tak akan remuk bagian
ujung atasnya saat terkena benturan tubuhnya itu. Tapi karena aliran tenaga
dalam sedang memenuhi tubuh Datuk Marah Gadai yang siap
dipukulkan melalui kedua tangannya itu, maka batuan karang itu pun gompal pada
bagian atasnya.
Pinggang Datuk Marah Gadai bagaikan patah. Sakit
sekali untuk berdiri. Tapi dengan menahan napas
beberapa kejap, rasa sakit itu pun hilang, walau tidak hilang sama sekali. Datuk
Marah Gadai bisa berdiri dengan geram, suaranya penuh hasrat untuk membunuh
Suto. Dua tangannya masih memercikkan bunga api
warna biru. Ia berseru dari sana,
"Suto! Rasakan jurus 'Gledek Menjilat Bumi' ini, hiaaa...!"
Woosss...! Dari kedua tangan Datuk Marah Gadai
melesat cahaya kilat berkelok-kelok seperti ratusan cacing ganas, menggerombol
dan menuju ke arah
Pendekar Mabuk.
Pendekar Mabuk cepat kibaskan tangannya seperti
memercikkan air. Tapi pada saat itu, semua kuku Suto Sinting memancarkan cahaya
merah bara. Pada saat
tangan kanan Pendekar Mabuk memercikkan sesuatu di udara, maka bertebaranlah
bunga-bunga api warna
merah, melesat ke arah gerombolan sinar biru yang mirip cacing liar itu.
Prattt...! Trappp... trap...!
Sinar biru itu belum mau padam, tapi berhenti di
udara bagai tertahan percikan bunga api dari tangan Pendekar Mabuk. Maka, dengan
cepat tangan kiri
Pendekar Mabuk memercikkan sesuatu lagi ke udara.
Tangan itu juga berkuku menyala bara, dan bunga-bunga api terpercik dari jemari
Suto Sinting, melesat
menghantam gerombolan sinar biru seperti cacing liar itu.
Trrappp... cerattt...! Prattt cratt erat...!
Pritik pritik prritik glegarrrr...!
Jurus 'Gledek Menjilat Bumi' hancur oleh percikan
bunga api dari Pendekar Mabuk yang dinamakan jurus
'Lintang Kesumat'. Pecah dan hancurnya gerombolan
sinar biru mirip cacing liar itu menimbulkan ledakan yang menggema bagai
menelusuri seluruh pantai.
Ledakan itu juga menghadirkan hempasan gelombang
besar yang membuat tubuh Datuk Marah Gadai
terlempar ke laut dalam jarak dua puluh langkah dari pantai. Byurrr...!
Rambut Suto sendiri tersingkap ke belakang karena
angin gelombang yang cukup kuat. Pohon tempat
bersembunyi Dewa Racun berguncang lebih hebat lagi, daunnya sebagian gugur. Tapi
Singo Bodong tetap saja mendengkur.
Sedangkan tubuh Selendang Kubur yang tertotok itu
jatuh berdebam bagaikan patung kayu. Tapi ia
memekikkan suara ngeri, membuat Suto palingkan
wajah. Melihat Selendang Kubur jatuh dalam keadaan tetap kaku dan seperti
keadaan semula, yaitu mendekap kitab dengan satu tangannya lurus ke bawah
menggenggam, Pendekar Mabuk segera
menghampirinya dan mengangkat tubuh itu, lalu
diberdirikan lagi dengan kaki Selendang Kubur agak ditimbuni pasir supaya tak
jatuh lagi. "Jahanam kau, Suto! Jangan bikin aku seperti patung yang sewaktu-waktu rubuh kau
berdirikan lagi!
Lepaskan pengaruh totokanmu ini, Suto! Lepaskan!"
"Sabarlah, ada saatnya sendiri melepaskan
totokanmu!" kata Pendekar Mabuk sambil merapikan letak baju, rambut, dan ikat
pinggang Selendang Kubur.
Kain selendang putih yang selalu melilit di pinggang Selendang Kubur juga
dibetulkan letaknya, dirapikan, bagaikan patung yang dihias kembali letak
busananya. Selendang Kubur makin merasa dilecehkan. Geram
hatinya, dan menggeletuk giginya, ia berkata dengan gigi bergeletuk,
"Kubunuh kau setelah bebas totokanku, Suto...!" tapi mendadak ia berteriak,
"Awaaaas...!"
Suto berpaling ke belakang, rupanya Datuk Marah
Gadai telah mengirimkan pukulan jarak jauhnya lagi berupa bola api yang makin
dekat makin besar
bentuknya. Pendekar Mabuk pun segera siapkan
bumbung tuaknya, dan dihentakkkan dari bawah ke atas.
Ujung bawah bumbung tuak itu mengeluarkan cahaya
kuning sebesar lidi, menyentak naik ke atas, mendorong bola api yang bergerak
mendekat menjadi bergerak naik, naik, dan naik terus begitu tingginya, lalu
meledak di angkasa sana.
Blengngng...! Dentuman itu membahana sampai ke mana-mana,
bagai ledakan gunung berapi. Asapnya hitam mengepul membentuk gulungan awan
hitam, nyaris menutup
terangnya sisa purnama di malam itu.
"Bangsat!" geram Datuk Marah Gadai. "Pukulan 'Inti Sukma' bisa dibuang ke atas
olehnya! Setan cilik dari neraka mana bocah itu"!"
Pendekar Mabuk hanya tersenyum tipis memandang
gulungan asap yang menyerupai awan di angkasa.
Setelah makin pudar asap itu, Suto Sinting melirik Selendang Kubur dan berkata
lirih, "Terima kasih atas peringatanmu tadi. Kalau tidak, kita mati bersama dalam wujud
kepingan tulang dan
cuilan daging hangus!"
"Tak perlu berterima kasih padaku, Setan! Aku tidak menyelamatkan dirimu!"
"Mengapa kau tadi berteriak 'awas' jika tak
bermaksud menyelamatkan diriku?" goda Pendekar Mabuk sambil senyum-senyum.
"Karena aku tak ingin kau mati di tangan orang! Kau harus mati di tanganku
sendiri!" sentak Selendang Kubur dengan ketusnya.
Ia tak tahu, ada orang yang menertawakan dari atas
pohon sebelah sana. Dewa Racun terkikik dengan mulut dibekapnya sendiri.
Sementara itu Singo Bodong masih tetap tidur mendengkur. Sayang sekali dia
tidur, andai dia dalam keadaan bangun, dia sangat senang melihat pertarungan
dahsyat itu. Datuk Marah Gadai melompatkan tubuh dengan
kekuatan tenaga peringan tubuhnya yang cukup tinggi, ia tiba di tanah berpasir
dalam keadaan tubuh basah kuyup.
Wajahnya semakin bengis. Oh, rupanya ada darah yang keluar dari hidungnya saat
ia terlempar ke laut tadi.
"Suto!" ia melangkah dengan gusarnya. Berdiri tegak lagi setelah dalam jarak
lima langkah dari Pendekar Mabuk, ia ucapkan kata dalam nada geram, penuh
dengan nafsu membunuh yang berkobar-kobar di
dadanya. "Jangan anggap dirimu menang, Suto! Aku masih punya satu pusaka lagi yang akan
mengakhiri masa
hidupmu sekarang juga!"
"Kalau kau masih penasaran padaku, lakukanlah apa yang ingin kau lakukan," kata
Suto. "Kalau kau masih merasa belum kalah, bertindaklah secara ksatria. Tapi
kalau kau merasa sudah cukup lemah melawanku,
bersikaplah jantan. Pergilah dari sini tanpa pamit pun aku tetap menghormati
sikapmu, Datuk!"
"Mulut busuk! Hadapilah Pedang Lidah Iblis-ku ini, hiaaat...!"
Gagang pedang digenggam kuat, lalu dicabut dari
sarungnya. "Uuh...! Uuh...! Uuuh...!" Datuk Marah Gadai
kebingungan. Pedangnya tak bisa dicabut dari
sarungnya. Susah payah ia kerahkan tenaga untuk
mencabut pedang, tapi dirinya sendiri bahkan
terpelanting ke samping, hampir saja jatuh. Napasnya ditahan kuat-kuat,
tenaganya dipusatkan ke tangan, tapi pedang tak bisa dicabut. Akhirnya ia
mencaci sendiri dengan napas terengah-engah.
"Landak buduk! Setan belang! Sulit sekali pedang ini dicabutnya! Biadab...!
Kenapa jadi begini..."! Uuh, uuh, uuh...!"
Mata perempuan yang bagaikan patung itu
membelalak kagum melihat pedang tak bisa dicabut,
demikian pula mata di atas pohon milik Dewa Racun.
Sedangkan Pendekar Mabuk hanya tersenyum-senyum
saja waktu melihat susah payahnya Datuk Marah Gadai mencabut pedang.
"Mungkin pedangmu kau gembok dan gemboknya
berkarat, sehingga tak bisa dibuka, Datuk!"
"Congor kurapmu!" sentak Datuk Marah Gadai dengan hati makin panas. Cacian itu
justru membuat Suto Sinting tertawa geli.
Selendang Kubur membatin, "Pasti itu ulah Pendekar Mabuk. Tadi kulihat ia
sentilkan jarinya dan tubuh Datuk Marah Gadai terguncang sedikit. Saat itulah
sebenarnya Suto telah mengunci pedang itu hingga tak bisa dilepas dari
sarungnya. Padahal menurut cerita Peri Malam, Datuk Marah Gadai mempunyai pedang
amat hebat, bisa menerbangkan bebatuan pada saat dicabut dari sarungnya. Tapi
nyatanya menghadapi Suto pedang
itu mampu dibungkam kekuatannya! Hebat sekali si
tampan yang satu ini! Selain memikat hati, juga
mengagumkan dunia persilatan!"
Tentang kehebatan Pedang Lidah Iblis milik Datuk
Marah Gadai hanya Peri Malam-lah yang tahu persis, karena dia mengintai dari
balik semak sewaktu Datuk Marah Gadai mengalahkan Cadaspati memakai pedang
itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah Asmara Gila").
Tiba-tiba Suto membopong tubuh Selendang Kubur
bagai mengangkat dan memindahkan patung. Selendang Kubur hanya berteriak-teriak
dengan sebaris makian dan bentakan. Tapi Suto tak peduli. Patung hidup itu
dipindahkan jauh-jauh dari tempatnya semula.
Sementara itu, Datuk Marah Gadai bersusah payah
melepas pedangnya. Bahkan pengait pedang yang
mengikat di pinggang dilepasnya. Pedang berusaha
ditarik dengan kerahkan tenaga dalamnya kuat-kuat, di depan dadanya pedang itu
dibetot ke kanan, tapi tetap tak bisa terlepas dari sarungnya.
"Mengapa kau pindahkan aku di balik batu ini, hah"!"
bentak Selendang Kubur.
"Demi keselamatan jiwamu," jawab Suto.
"Cuih...! Aku tak butuh penyelamatanmu!"
"Setidaknya dari tempat ini kau bisa melihat kematian Datuk Marah Gadai, orang
yang selalu mengejar-ngejar pusaka itu!"
"Kau tak akan bisa mengalahkannya, Suto! Dia cukup kuat!"
"Siapa bilang?"
"Peri Malam pernah melihat kehebatan pedang Lidah Iblis-nya itu. Kalau pedang
itu tercabut, matilah kau di tangannya!"
"Kalau pedang itu tercabut, dia sudah lebih dulu mati!" Pendekar Mabuk
sunggingkan senyum.
"Sesumbarmu untuk anak kecil saja, Pendekar
Mabuk! Bukan untukku!"
"Karena kau masih anak kecil, maka aku sesumbar untukmu!"
"Buktikan! Buktikan sesumbarmu!" sentak Selendang Kubur dengan ungkapan rasa
benci karena memendam
kedongkolan hati.
Datuk Marah Gadai kebingungan melepas
pedangnya. Wajahnya jadi memerah akibat kerahkan
tenaga. Tapi pada waktu itu, Pendekar Mabuk yang
berada dalam jarak lima belas langkah bersama
Selendang Kubur, segera lemparkan pandangannya ke arah Datuk Marah Gadai. Jari
tangan Suto mulai
menyala hijau lagi, khusus hanya jari telunjuknya. Lalu, Suto pun menyentilkan
jari itu ke depan. Tasss...!
Pada saat itu, Datuk Marah Gadai berhenti
mengerahkan tenaga sebentar, ia menggerutu tak jelas, lalu mulai mencabut
pedangnya lagi. Kali ini, pedang bisa dicabut dengan enteng. Seerrt...! Tapi
tiba-tiba dari sarung pedang keluar sinar merah terang bersama bunyi ledakan
yang cukup kuat dan keras.
Duarrr...! Lalu, ledakan itu menggema panjang,
glerrrrr...! Mata Selendang Kubur tak bisa berkedip, mulutnya
tak bisa terkatup. Di balik kerimbunan atas pohon, mata Dewa Racun juga
terbelalak tak bisa berkedip lagi, karena ia melihat jelas kepala Datuk Marah
Gadai pecah akibat ledakan itu. Tubuhnya tumbang tak bernyawa
lagi. Dewa Racun tak bisa ucapkan sepatah kata pun.
* * * 9 MALAM menjadi hening kembali setelah kematian
Datuk Marah Gadai. Selendang Kubur bisukan
mulutnya, karena jiwanya terpaku melihat kehebatan ilmu Pendekar Mabuk yang
jelas jauh di atas ilmunya.
Datuk Marah Gadai mati karena pusakanya sendiri. Tapi Selendang Kubur tahu,
Pendekar Mabuk-lah
penyebabnya. Tanpa ketinggian ilmu Suto, tak mungkin Datuk Marah Gadai dimakan
senjatanya sendiri.
Pendekar Mabuk menengadah, bumbung tuaknya
Pendekar Mabuk 07 Utusan Siluman Tujuh Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dituang. Glek glek glek...! Tiga teguk tuak membasahi kerongkongannya. Pendekar
Mabuk merasa lega. Ia
kembali menutup tabung itu, dan menyandangnya
kembali ke punggung, seperti menyandang sebilah
pedang. Tali bumbung menyilang di dadanya, dari
pundak kanan ke pinggang kiri.
"Sudah selesai sekarang," kata Suto seraya memandang mayat Datuk Marah Gadai
sebentar. Terdengar pula Selendang Kubur berkata, "Lepaskan
pengaruh totokanku ini!"
"Nanti dulu!"
"Tunggu apa lagi, Setan!" bentak Selendang Kubur dongkol sekali.
"Bagaimana dengan kitab itu?"
"Kau tak berhak memiliki! Kau bukan murid
Perguruan Merpati Wingit. Akulah murid Merpati
Wingit yang berhak mempelajari ilmu-ilmu di dalam kitab inil"
Pendekar Mabuk tersenyum, bahkan tertawa pelan
berkesan meremehkan kata-kata Selendang Kubur. Lalu, ia berkata pada perempuan
itu, "Kalau aku mau curang, kuambil kitab itu darimu, dan kubiarkan kau tetap dalam
pengaruh totokan.
Setelah itu aku akan lari jauh sekali, kau tak akan bisa mengejarnya!"
"Biadab kau! Sekalipun ilmumu tinggi, aku tak takut melawanmu, Suto! Aku berani
taruhkan nyawa untuk
kitab ini!"
"Bertaruh nyawa saja belum tentu bisa, apalagi kau mau melawanku. Mungkin aku
akan kalah padamu, tapi bukan berarti aku binasa, melainkan kasihan padamu!
Tapi kitab itu, tetap harus kumiliki!"
"Tak ada yang berhak memiliki kitab pusaka ini kecuali aku!"
"Siapa bilang"!" tiba-tiba sebuah suara terdengar dari kerumunan dedaunan di
belakang Selendang Kubur.
Pemilik suara itu segera melesat dengan satu lompatan ringan, dan jatuh dengan
tegak di depan Selendang
Kubur. Tersentak kaget Selendang Kubur melihat kehadiran
orang itu. Gemetar bibirnya saat menyebutkan sapa,
"Nyai Guru..."!"
Suto sendiri sebenarnya kaget mendengar sahutan
kata Betari Ayu tadi. Tapi ia bisa menutup kekagetannya dengan senyum yang
dipamerkan di depan Betari Ayu.
Di atas pohon, Dewa Racun terbelalak matanya. Tak
sadar ia mengucap lirih,
"Nyaaa... Nyaaai... Nyaii Guru" Oh, itu dia Nyai Guru Dyah Kemalawindu..."!
Celaka! Suto tak mau
segera ambil kitab itu, akibatnya pemilik kitab da...
daa... datang sebelum kitab jatuh di tangan Suto! Uh, bodoh amat Suto itu!"
Dewa Racun sengaja belum mau muncul, ia ingin
melihat peristiwa selanjutnya antara Suto dengan Betari Ayu. Ia ingin melihat
pertarungan yang sudah tentu lebih dahsyat dibanding pertarungan Suto melawan
Datuk Marah Gadai tadi.
"Rupanya kau yang mencuri kitab itu, Selendang Kubur!" kata Betari Ayu dengan
wajah dingin, kaku, menampakkan kemarahan yang terpendam. Matanya
memandang tajam namun berkesan sinis.
"Nyai... Nyai Guru, saya hanya sekadar
menyelamatkan pusaka ini dari tangan Datuk Marah
Gadai, yang... yang... yang sudah berhasil saya bunuh, Nyai!"
Pendekar Mabuk menahan tawa dan segera berpaling
wajah agar tak dilihat Betari Ayu. Selendang Kubur
sebentar-sebentar melirik Suto dengan cemas, dan
berharap Suto tidak ikut bicara dulu.
"Jadi, Datuk Marah Gadai mau mencuri kitab itu?"
"Ben... benar, Nyai."
"Dan kau telah merebut lalu membunuhnya?"
"Ben... ben... benar, Nyai. Lihatlah, mayatnya ad...
ad... ada di sana, Nyai!"
Dewa Racun membatin dari atas pohon, "Kurang
ajar! Perempuan itu ikut-ikutan gagap! Dari mana dia tahu kalau aku bicara
gagap, sehingga dia bisa
menghinaku dengan berpura-pura gagap"!"
Dewa Racun ingin turun untuk menghajar Selendang
Kubur. Tapi segera ia temukan kesimpulan lain, bahwa rasa takutnya Selendang
Kubur itu menghadirkan
kegagapan tersendiri yang tidak semata-mata menghina kegagapan Dewa Racun.
Karena itu, Dewa Racun tak
jadi melepaskan marahnya, ia tetap mengikuti dari atas pohon.
Terdengar suara Betari Ayu berkata kepada
Selendang Kubur,
"Kalau kau telah membunuh Datuk Marah Gadai,
mengapa kau tidak segera pergi tinggalkan tempat ini?"
"Suto menahan saya, Nyai!"
"Suto menahanmu" Ada perlu apa dia menahanmu?"
"Dia mau rebut kitab ini, Nyai. Tapi saya pertahankan terus!"
"Suto ingin merebut kitab itu" Untuk apa" Semua ilmu yang ada di dalam kitab ini
masih belum ada
sekuku hitamnya dengan ilmu-ilmu yang dimiliki Suto!"
"Tap... tapi... tapi...."
"Tapi kau ditotok olehnya sejak tadi sehingga kau tak bisa bergerak?"
Selendang Kubur tak bisa bicara lagi. Bibirnya
gemetar dan lidahnya bagaikan kaku. Nyai Betari Ayu kembali melanjutkan kata,
"Bagaimana kau bisa membunuh Datuk Marah Gadai jika sejak tadi kau tak bisa
bergerak, bahkan untuk pindah ke sini pun perlu digotong Suto mirip patung
dipindahkan" Menahan gelombang ledakan pun kau tak mampu, hingga tubuhmu tumbang
seperti batang pisang"! Bagaimana mungkin kau bisa membunuh
Datuk Marah Gadai?"
Mendengar ucapan Nyai Betari Ayu, baik Pendekar
Mabuk maupun Dewa Racun mengerti bahwa sejak tadi
ternyata perempuan berwibawa yang mempunyai
kecantikan yang anggun itu sudah memperhatikan
pertarungan Suto dengan Datuk Marah Gadai.
Karenanya, Pendekar Mabuk cepat bergerak. Kitab
itu diambil paksa dari Selendang Kubur. Breet...!
Selendang Kubur hanya bisa terperangah dan tak bisa bergerak sedikit pun.
Kemudian, Pendekar Mabuk
menyerahkan kitab itu kepada Betari Ayu.
"Ambillah, ini hakmu, Nyai!"
Betari Ayu memandang Suto dengan mata dingin.
Cukup lama mereka saling pandang. Akhirnya, tangan Betari Ayu menerima kitab itu
dengan mata tetap
menatap Suto Sinting.
Dewa Racun bergumam dalam hatinya, "Bodoh!
Mengapa diserahkan begitu saja! Apakah Pendekar
Mabuk tak berani melawan Nyai Betari Ayu?"
Terdengar Pendekar Mabuk berkata kepada Betari
Ayu sambil ia melangkah ke samping Selendang Kubur,
"Apa hukuman untuk pencuri kitab ini?"
Betari Ayu tidak menjawab. Kitab itu diselipkan di pinggangnya. Terdengar lagi
Pendekar Mabuk berkata,
"Apakah pencuri kitab ini harus dipenggal
kepalanya?"
Selendang Kubur melirik dengan benci. Penuh nafsu
untuk menyerang tapi tangannya tetap kaku, bagai masih mendekap kitab.
"Atau harus dihukum bakar?" tanya Suto lagi makin membuat Selendang Kubur cemas
dan memendam kemarahan. Saat berikutnya, Betari Ayu yang berdiri dengan kedua tangan di
belakang itu berkata,
"Tanyakan saja pada pencuri itu, hukuman apa yang ia sukai!"
Suto tertawa kecil semakin memuakkan Selendang
Kubur, lalu ia berkata kepada Selendang Kubur,
"Kau dengar sendiri apa kata gurumu itu" Kau bebas memilih hukuman. Silakan
pilih mana yang kau suka."
"Apa hakmu memilihkan hukuman untukku, Setan"!"
Pakkk...! Tiba-tiba Betari Ayu ayunkan tangannya
dengan gerakan yang tak bisa dilihat mata. Tangan itu menampar pipi Selendang
Kubur dengan keras. Pipi itu menjadi merah, membekas empat jari. Selendang Kubur
menggigit bibir menahan rasa sakit dengan napas
terengah-engah. Betari Ayu berkata pelan,
"Sekali lagi kau tidak sopan terhadap dia, kupatahkan kedua tangan dan kakimu!"
Pendekar Mabuk sendiri sempat kaget dan tak
menyangka kalau tangan Betari Ayu mau berkelebat
menampar Selendang Kubur, ia jadi tak enak hati
mendengar kata-kata Betari Ayu tadi, seakan dia sangat dibela harga dirinya di
depan sang murid.
"Ampunilah saya, Guru," ucap Selendang Kubur setelah hening sejurus dan suaranya
terdengar melemah.
Air matanya mulai menggenang di kedua kelopak mata.
Tapi Betari Ayu cepat menggeram bagai lampiaskan
kemarahannya, "Sekali lagi kuingatkan, aku benci melihat muridku menangis! Minggat saja kau,
jika harus menangis di depanku!"
Selendang Kubur segera tarik napas dalam-dalam, ia menelan ludahnya sendiri
beberapa kali, kemudian
berkata dengan tegas,
"Saya memang salah, Guru! Saya mohon ampun dan berjanji untuk tidak mencuri
kitab pusaka itu lagi!
Saya... saya butuh ketenangan jiwa untuk beberapa saat ini, Guru!"
Suto manggut-manggut sambil sesekali melirik
Selendang Kubur. Yang dilirik sudah mulai
mengendurkan permusuhannya. Sikapnya kembali
lunak. "Ke mana kau akan menenangkan diri?" tanya Nyai Betari Ayu.
"Barangkali saya perlu beristirahat di Puncak
Kundalini beberapa waktu lamanya."
"Aku sendiri mau mengasingkan diri ke sana!"
"Jika Guru izinkan, biarlah saya berada di
lerengnya!"
Betari Ayu tundukkan kepala sebentar untuk berpikir, lalu wajahnya ditengadahkan
dan berkata kepada
Pendekar Mabuk,
"Lepaskan totokannya, Suto!"
Suto tertawa pelan, kemudian menepuk punggung
Selendang Kubur sambil berkata, "Ingatlah janjimu, jangan sampai kau langgar!"
Pada saat itulah tubuh Selendang Kubur tersentak dan jatuh bagaikan lumpuh.
Beberapa saat kemudian ia
berusaha bangkit, dan dapat bergerak dengan bebas, ia segera menunduk, memberi
hormat pada gurunya yang
bijak. Sang guru segera berkata,
"Pergilah sekarang juga ke Gunung Kundalini, aku nanti menyusulmu!"
"Baik, Guru!"
Setelah itu, Selendang Kubur pun melesat cepat tanpa menoleh kepada Suto lagi.
Kini tinggal Suto berhadapan dengan Betari Ayu. Dewa Racun berdebar-debar
memperhatikan pertemuan kedua tokoh Ku.
"Benarkah kau membutuhkan Kitab Wedar Kesuma
ini, Suto?"
"Kalau kau izinkan, aku memintanya."
"Bagaimana kalau tak kuizinkan?"
"Bawalah pergi, dan biarlah aku tak jadi memberikan mas kawin untuk adikmu;
Gusti Mahkota Sejati."
"Rebutlah dariku!"
Suto menggeleng dengan mulut bungkam.
"Kalau kau tak merebut dan bertarung denganku, kitab ini tidak akan kuberikan
padamu!" "Pergilah dan jangan bikin darahku mendidih, Nyai!"
"Baik kalau itu keputusanmu. Aku pergi!"
Slaappp...! Betari Ayu pun melesat cepat tinggalkan tempat. Suto tertegun tak
bergerak dalam kegundahan hatinya antara mengejar, merebut, bertarung, atau
mengalah" Dan pada saat itu Dewa Racun datang
dengan kegeramannya.
"Bo... bod... bodoh! Rebut kitab itu! Kau harus tunjukkan pada Nyai Gusti-ku
bahwa kau bisa merebut dan mengalahkan kakaknya! Re... rebut! Lekas kejar di...
dia! Kejar...!"
Suto tetap diam. Bahkan ia tundukkan kepala dan
pejamkan mata. Dewa Racun menggerutu tak karuan.
Tapi tiba-tiba ia berkelebat pergi ke semak-semak, pada saat itu ia melihat ada
bayangan datang mendekati Suto.
Ternyata Betari Ayu kembali lagi.
Perempuan cantik dan anggun itu berdiri di depan
Suto, dan Suto memandangnya dengan lembut. Lalu,
Suto berkata, "Mengapa tak segera pergi! Jangan paksa aku
membunuhmu, Nyai!"
"Aku telah kalah padamu sebelum kau bertarung denganku," kata Betari Ayu.
"Terimalah kitab ini!
Berikan kepada adikku sebagai mas kawin darimu. Dan katakan, kau telah
menundukkan aku dengan kelembutan
dan kasih sayangmu!"
Suto menerima kitab itu. Lalu tiba-tiba Betari Ayu melesat pergi tanpa pamit
lagi. Suto menggeragap dan segera serukan kata,
"Nyaaaaii...!" dengan hati disiram keharuan yang dalam.
SELESAI Pendekar Mabuk Ikuti kisah Petualangan Suto Sinting Pendekar Mabuk dalam episode:
ISTANA BERDARAH
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Misteri Kapal Layar Pancawarna 13 Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo Iblis Sungai Telaga 13
Narsih. Anaknya sudah empat.
Suaminya nelayan."
"Sebaiknya biarkan dulu aku bicara pada dia! Kau tak perlu ikut campur.
Mengerti?"
"Baaa... baik!" Dewa Racun agak takut sedikit melihat Pendekar Mabuk tanpa
senyum. "Singo Bodong, jujur saja katakan padaku, apakah kau tidak mempunyai saudara
kembar?" "Saudara kembar..."! Kurasa aku lahir tunggal dari perut ibuku."
"Kau yakin tidak punya saudara lagi?"
"Tidak punya!" jawab Singo Bodong. "Ibuku hanya melahirkan dua kali. Pertama
aku, kedua Narsih. Jangan kau suruh ibuku melahirkan lagi. Dia sudah cukup tua!"
Pendekar Mabuk bergegas ke tepian hutan tak jauh
dari pantai, hanya berjarak sepuluh langkah lewat
sedikit. Dewa Racun dan Singo Bodong mengikutinya.
Suto memberi isyarat supaya orang tinggi besar itu duduk di dekatnya. Singo
Bodong menurut bagaikan
patuh pada segala perintah Suto. Ia duduk di bongkahan batu yang ada di depan
Pendekar Mabuk. Dewa Racun
mendampinginya, dan melompat ke atas sebatang pohon berdahan lengkung ke bawah,
hampir menyentuh tanah.
Di dahan itu Dewa Racun duduk mendengarkan
percakapan Suto dengan Singo Bodong.
Agaknya Pendekar Mabuk kali ini bersungguh-
sungguh ingin mengorek keterangan dari Singo Bodong.
Sore yang kian menua dibiarkan meredup menabur
petang. Sebentar lagi bumi akan gelap, tapi Pendekar Mabuk tak pernah peduli
dengan kegelapan bumi.
"Singo Bodong, ingat-ingatlah siapa dirimu
sebenarnya! Benar-benarkah namamu Singo Bodong?"
"Dari dulu aku memang dipanggil Singo Bodong!"
jawab orang berkumis yang tampangnya angker tapi
bodoh itu. "Siapa nama aslimu?"
"Sugali!"
"Mengapa kau disebut Singo Bodong?"
"Karena... hmmm... karena sewaktu kecil aku hampir mati dimakan seekor singa.
Tapi segera diselamatkan oleh orang-orang desa. Sejak itu aku dipanggil Bodong!"
sambil menunjukkan pusarnya yang memang melotot
keluar bagai mata orang sedang marah.
"Baiklah, aku percaya!"
"Sejak kita jumpa di kerumunan orang depan kedai itu, kau dan Dewa Racun selalu
curigai aku terus. Ada apa sebenarnya?"
"Ada orang mirip kamu dan mengaku bernama
Dadung Amuk!"
"Mirip aku"!" Singo Bodong memegang dadanya sendiri. "Dia mirip Singo Bodong"
Oh, tidak mungkin, Singo Bodong hanya satu! Singo Bodong tidak mau
disamakan dengan Dadung Amuk!"
"Kau benar-benar tidak mengenal Dadung Amuk?"
"Tidak. Singo Bodong tidak kenal dengan Dadung Amuk!" Singo Bodong tetap
menggeleng. "Kalau ada orang yang meniru-niru penampilan Singo Bodong,
ooh... Singo Bodong akan marah. Singo Bodong akan
adukan orang itu pada Ibu."
"Orang ini gede-gede bisul!" pikir Dewa Racun.
"Kelihatannya saja gede, tua, tapi jiwanya masih anak-anak! Masih suka manja
kepada ibunya. Pantaslah kalau dia tidak laku kawin walau usianya sudah cukup
dewasa." Suto juga mempunyai pemikiran yang sama dengan
Dewa Racun. Namun Suto tidak menghanyutkan diri
dalam pemikiran itu, ia segera ajukan pertanyaan yang membuat Singo Bodong
tertegun beberapa saat,
"Apakah ayahmu masih ada?"
Singo Bodong menarik napas panjang-panjang.
Matanya yang lebar berkesan galak itu menjadi redup.
Pendekar Mabuk jadi kerutkan dahi. Sesaat kemudian terdengarlah jawaban dari
mulut Singo Bodong yang
bernada lesu, "Aku tidak tahu, apakah ayahku masih ada atau tidak."
"Mengapa begitu?"
"Dulu, semasa masih mudanya ibuku adalah seorang sinden, ia berkeliling ke mana-
mana bersama rombongan tayub. Dulu, katanya Ibu pesinden tercantik. Banyak
lelaki suka padanya. Sampai satu saat, Ibu lahirkan aku dari lelaki yang tidak
mau menikahi Ibu. Lelaki itu sekarang entah ada di mana, masih hidup atau sudah
mati, Ibu sendiri tak tahu."
Wajah duka melapisi kulit coklat tua yang berkumis tebal itu. Suto melihat
kesungguhan dari cerita Singo Bodong. Lalu, Suto bertanya lagi.
"Adikmu yang perempuan itu apakah lahir dari lelaki yang sama?"
"Tidak. Adikku lahir dari Ibu!"
"Iya. Maksudku, apakah lahir akibat hubungan ibumu dengan laki-laki yang menjadi
bapakmu itu?"
"Kata Ibu, memang iya! Tapi sejak lahirnya Narsih, ibuku tidak mau lagi
berhubungan dengan orang itu."
"Kenapa?"
"Karena orang itu tidak pernah muncul lagi. Dan Ibu tidak tahu harus mencarinya
ke mana. Lalu, Ibu berhenti jadi sinden, padahal Ibu punya suara bagus. Sampai
sekarang Ibu masih suka alunkan tembang di tengah
malam. Kalau dia sudah alunkan tembang, waaah...."
"Ya ya ya...! Cukup! Aku sudah bisa bayangkan kehebatan ibumu," potong Suto yang
merasa tak perlu mendengar pujian seorang anak kepada ibunya.
Dewa Racun melompat dari dahan. Turun mendekati
Pendekar Mabuk dan berbisik,
"Aak... aakk... aku rasa dia bukan hasil dari sejenis Sa... Sab... Sabrang
Raga." "Ya. Lalu siapa Dadung Amuk itu sebenarnya"
Ayahnya dia?"
"Mungkin saja!"
Suto ajukan tanya lagi kepada Singo Bodong,
"Apakah kau pernah dengar ibumu sebutkan ciri-ciri lelaki yang menjadi bapakmu
itu?" "Hmmm...!" Singo Bodong kerutkan dahi sejenak, lalu menjawab, "Menurut cerita
Ibu, bapakku orang yang ganteng, tampan sepertiku kira-kira. Dia sering disebut
Ibu dengan sebutan sang Arjuna!"
Dewa Racun tertawa tertahan dan berbisik kepada
Pendekar Mabuk, "Kaaal... kalau hasil cetakannya seperti dia, lantas sang
Arjuna-nya seperti apa
menurutmu"'
"Rusak," jawab Suto sedikit tersenyum, lalu kembali bersikap tegas kepada Singo
Bodong. "Kau pemah dengar ibumu menyebutkan nama
bapakmu?" "Hmmm... hm... dulu pernah."
"Siapa nama bapakmu itu?"
"Aku lupa. Aku tidak pernah mengingatnya. Tapi Ibu lebih sering memanggilnya
Arjuna!" Dewa Racun berbisik lagi, "Jangan-jangan ibunya tidak bisa bedakan antara Arjuna
dengan Dasamuka"!"
Ia tertawa terkikik dengan mulut dibungkam sendiri.
Suto hanya tersenyum tipis dan tak mau tanggapi kelakar itu.
Tapi tiba-tiba Singo Bodong berseru, "Naah...!
Hampir seperti itu namanya! Hampir seperti... siapa tadi?"
"Dasamuka?" ulang Dewa Racun.
"Iya. Iya...! Hampir seperti Dasamuka nama
bapakku." "Dasamuka itu tokoh raksasa dalam pewayangan!"
"Iya. Aku tahu, karena aku sering nonton wayang.
Tapi, nama bapakku hampir sama dengan Dasamuka!"
Pendekar Mabuk menggumam dan berpikir beberapa
saat. "Siapa nama tokoh dunia persilatan yang bernama mirip Dasamuka?"
"Bbbe... belum tentu orang itu dari tokoh persilatan!"
Kemudian Suto ajukan tanya lagi pada Singo
Bodong, "Apakah ibumu pernah ceritakan kehebatan orang yang menjadi pujaan
hatinya itu?"
"Hhmm... ya. Pernah. Ibu pernah cerita kalau sang Arjuna itu pandai berkelahi.
Kalau berkelahi tidak pernah kalah!"
Suto memandang Dewa Racun dan berkata pelan,
"Jelas dia dari tokoh persilatan!"
"Hmmm.... Sssi... siapa" Siapa tokoh persilatan yang namanya mirip Dasamuka"
Aaap... apakah Durmala,
kurasa itu tak mungkin!"
Tiba-tiba Singo Bodong berseru, "Yaaaa...! Itu...!" Ia menuding Dewa Racun, yang
membuat Dewa Racun
sempat kaget dan cepat pasang kuda-kudanya.
"Itu nama bapakku! Durmala...! Tapi... Durmala siapa, ya?" pikir Singo Bodong.
Suto cepat menyahut.
"Durmala Sanca...?"
"Nah, tepat!" Singo Bodong pekikkan suara dengan semangat. "Betul! Nama bapakku
betul itu; Durmala Sanca!"
Tentu saja hal itu membuat Pendekar Mabuk dan
Dewa Racun sama-sama terperangah bengong. Mereka
saling pandang dengan mata menegang. Cukup lama
Suto dan Dewa Racun saling terkunci mulutnya sejak mendengar nama ayah dari
Singo Bodong adalah
Durmala Sanca. Ini sesuatu yang sulit dipercaya oleh Suto maupun Dewa Racun,
karena Durmala Sanca
adalah nama asli Siluman Tujuh Nyawa.
"Apakah kau percaya dengan kata-katanya?" Suto mencari tahu perasaan Dewa Racun.
Dan si kerdil yang gagap itu menjawab,
"Ag... ag... agak sangsi. Nama Dasamuka tid... tidak mirip nama Durmala Sanca.
Mungkin dia salah dengar atau salah ingat. Tak mungkin Dur... Durmala Sanca
punya anak seperti dia!"
Kemudian Pendekar Mabuk segera tanyakan pada
Singo Bodong, "Apakah kau tidak salah dengar tentang nama itu?"
"Tidak. Kurasa tidak. Malahan Ibu pernah bilang aku tak boleh menanyakan perihal
lelaki yang telah
dianggapnya siluman itu."
Kembali mata Suto beradu pandang dengan mata
Dewa Racun. Kejap berikutnya mereka sama-sama
terbungkam mulut, hanyut dalam kecamuk batinnya
masing-masing. Ketika petang tiba, Pendekar Mabuk mencarikan
tempat bermalam untuk Singo Bodong. Sebuah pohon
berdahan lebar dan pipih dijadikan tempat bermalam oleh mereka. Dalam kejap
berikutnya Singo Bodong
telah tidur mendengkur mirip babi kelelahan. Sesuatu yang aneh dirasakan oleh
Suto dan Dewa Racun.
Sesuatu yang aneh itu sama-sama dipendamnya dalam
hati. Tapi lama-lama keduanya tak tahan memendam
keanehan itu, lalu Suto yang mengawali bicara,
"Kau rasakan sesuatu yang aneh sedang terjadi"'
"Bbbe... betul. Aku merasakan. Taaap... tapi
menurutmu apa keanehan itu?"
"Suara dengkuran Singo Bodong."
"Ya. Beeet... beeet... betul!" bisik Dewa Racun sedikit tegang.
"Dengkuran Singo Bodong membuat pohon ini
bergetar."
"Ya. Bbbe... beeet... betul. Aku merasakan getarannya walau sangat pelan."
"Padahal pohon ini cukup besar, akarnya pun
merambah ke mana-mana dalam bentuk pipih. Pohon ini cukup kekar. Tapi kenapa
bergetar hanya karena suara; dengkuran Singo Bodong?"
"Jang... jang... jangan-jangan dia memang Siluman Tujuh Nyawa"! Dia mewarisi
darah kesaktian Siluman Tujuh Nyawa! Dia tid.... tidd... tidak menyadari hal
itu. Meen... menurut cerita Narsih, adiknya, Singo Bodong jarang tidur di rumah.
Ibunya tidak suka jika Singo Bodong tidur di rumah."
"Alasannya apa?"
"Kalau dia tidur, rumahnya seep... seep... seperti mau runtuh!"
"Begitukah dia?"
"Kupikir tadinya iit... itu hanya olok-olok Narsih saja.
Tapi... tapi melihat kenyataan ini, apa yang dddi...
dikatakan Narsih itu benar. Singo Bodong kalau tidur bikin rumah mau roboh,
kareeena... karena rumah itu pasti bergetar oleh suara dengkurannya!"
Suto menarik napas, lalu ia ucapkan kata lirih,
"Semakin membingungkan masalah ini! Jika benar Singo Bodong anak Durmala Sanca
atau Siluman Tujuh Nyawa, lantas Dadung Amuk itu siapa" Apakah juga
anaknya Durmala Sanca" Tapi Dadung Amuk menyebut
Durmala Sanca dengan kata sang ketua. Dia tidak
menyebutkan sang ayah."
"Jang... jaaang... jangan-jangan, Singo Bodong sendiri tidak menyadari bahwa
dirinya bisa memecah diri menjadi satu orang lagi. Sat.. satu... satu orang dari
hasil titisannya itulah yang menjadi Dadung Amuk!
Tap... tapi... tapi dia tidak sadari hal itu, sama halnya dia tidak sadari
kaaal... kalau dengkurannya bisa
menggetarkan batang pohon sebesar dan sekokoh iin...
inn... ini!"
"Kau semakin banyak mengajukan kemungkinan,
semakin bingung aku memikirkannya," kata Suto.
"Kalau Singo Bodong bisa memecah diri menjadi Dadung Amuk, berarti Singo Bodong
orang sakti?"
"Sebagai se... se... seorang Singo, mungkin dia tidak sakti. Tapi see... sebagai
seorang Dadung Amuk, dia cukup sakti. Paling tidak, berilmu ting... ting...
tinggi!" Suto menenggak tuaknya sesaat. Setelah itu
termenung beberapa lama. Suara dengkur Singo Bodong hampir mirip lolong
serigala. Setiap hembusan napas menghadirkan suara berubah-ubah. Suara itu
membuat dedaunan bergetar, ranting, dan dahan pohon ikut terasa gemetar.
"Barangkali dia akan menjadi orang hebat kalau dibekali ilmu tenaga dalam," kata
Suto kepada Dewa Racun yang duduk di samping kanannya.
"Apakah kau bermaksud membekali sebagian tenaga dalammu?"
"Aku sedang pertimbangkan untung-ruginya."
"Un... untungnya dia bisa jaga diri sendiri dan... dan...
dan tidak merepotkan kita kalau addd... ada apa-apa.
Tapi ruginya, kalau dddi... dia... dia berontak kepada kita, sama saja senjata
maak... makan... makan tuan!"
"Tentu saja menyalurkan tenaga dalam harus pakai
takaran, yang sewaktu-waktu kita bisa lumpuhkan
sendiri!" "Kkkal... kalau kau punya pikiran bbbeg... beeg...
begitu, ya sudah. Lakukanlah!"
Suto masih diam, kembali meneguk tuaknya beberapa
kali. Ia pikirkan masak-masak tentang rencana
menyalurkan tenaga dalam ke tubuh Singo Bodong. Tapi rasa penasaran ingin
mengetahui siapa dan sejauh mana kekuatan Singo Bodong, membuat Suto akhirnya
bergegas mendekati tidurnya Singo Bodong.
Tetapi baru saja Pendekar Mabuk ingin memegang
kaki Singo Bodong, tahu-tahu tangannya tersentak ke belakang, hampir membuatnya
terjatuh dari atas pohon.
Wuuuut...! "Edan...!" sentak Suto dengan suara tertahan.
"Add... ada apa..."!" Dewa Racun kaget dan bergegas bangkit.
Pendekar Mabuk 07 Utusan Siluman Tujuh Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suto melangkah mundur dalam pijakan dahan yang
sama. Ia mendekati Dewa Racun dan berbisik,
"Tubuhnya tak bisa disentuh."
"Mak... maksudmu...?"
"Ada tenaga dalam yang bekerja dengan sendirinya, melapisi tubuhnya. Tanganku
seperti kesemutan. Linu rasa tulangku."
"Aaan... aneh sekali! Beeet... betul... betulkah begitu?"
Dewa Racun penasaran, ia segera mendekati Singo
Bodong, ia bermaksud menendang pelan kaki Singo
Bodong yang masih tetap mendengkur itu. Tetapi, tiba-
tiba kaki Dewa Racun bagai ada yang menyentakkan
kuat-kuat, yaitu suatu tenaga bergelombang
menghempaskan kaki itu.
Wuuut...! Sreet...! Braas...!
"Aauw...!" Dewa Racun terpekik, ia jatuh karena tubuh kecilnya terpental. Untung
tangannya cepat meraih salah satu akar yang mirip tambang itu, sehingga ia
bergelayutan sesaat di sana. Suto menertawakan sekejap, dan membiarkan Dewa
Racun naik kembali melalui
ayunan tangannya. Tubuh kecil itu bersalto dan hinggap di dahan samping Suto.
"Bagaimana" Benar apa yang kukatakan tadi, bahwa dia punya lapisan tenaga dalam
yang membuat dirinya tak bisa disentuh orang?"
"Beeen... ben... benar! Dan cukup kuat. An... aneh sekali. Dia orang bodoh,
lugu, tapi sebenarnya dia punya kekuatan yang cukup besar. Jang... jang...
jangan-jangan kekuatan itu adalah kekuatan yang dimiliki Dadung
Amuk"!"
"Dadung Amuk"!" gumam Suto dalam berpikir. "Ya.
Mungkin dalam keadaan tak sadar seperti ini, dia
menjadi Dadung Amuk"!"
* * * 8 SISA cahaya purnama masih ada, membuat keadaan
di pantai menjadi tampak benderang. Karena
benderangnya cahaya itu, Suto melihat sekelebat gerakan melesat dari arah hutan
ke pantai. Kelebat gerakan itu berlari dari ujung sana mendekati tempat Suto dan
dua teman barunya itu duduk sebelum bergegas naik ke
pohon besar itu.
Dalam kilasan gerak yang lain, Suto melihat
seseorang mengejar cepat orang pertama. Suto cepat colekkan tangannya ke lengan
Dewa Racun dan Dewa
Racun segera lemparkan pandang ke arah Pendekar
Mabuk. Tanpa mendapat jawaban, Dewa Racun sudah
mengerti apa yang dimaksud Suto, maka ia pun ikut
lemparkan pandang ke pantai.
Dewa Racun berbisik, "Aaak... aku seperti pernah melihat perempuan itu!"
"Tentu saja. Dia adalah Selendang Kubur, satu dari ketiga perempuan yang hadir
di pertarungan Bukit Jagal tempo hari."
"O, iiy... iya! Tapi ag.. agaknya dia sedang berusaha menghindari kejaran lawan.
Dan... dan apa yang ada di tangannya itu"!"
"Sebuah kitab!" Suto terperanjat. "Jangan-jangan itu adalah Kitab Pusaka Wedar
Kesuma"!"
"Kau... kaaau... yakin kalau itu Kitab Wedar
Kesuma?" "Kar... karena dia adalah murid Betari Ayu! Mungkin dia habis curi itu kitab
atau... atau.... Entahlah! Kau tetap di sini. Aku akan mengurusnya sebentar!"
Sebelum mendapat jawaban dari Dewa Racun, Suto
sudah cepat menghilang dengan satu jejakan lembut
kakinya ke dahan pohon. Wuuut...!
Selendang Kubur terjungkal dari larinya, karena
seseorang menyerang dengan pukulan jarak jauhnya dari belakang. Tubuh perempuan
itu tersungkur di pasir
pantai. Tapi cepat ia hentakkan siku dan melesat bangkit dengan satu tangan kiri
memeluk sebuah kitab.
Sementara itu, orang yang tadi mengejarnya
melompatkan tubuh dan bersalto di udara dua kali untuk lebih mendekat lagi.
Jleeg...! Orang itu mendaratkan kedua kakinya dengan tepat dan mantap, ia
berpakaian hitam berlilit benang emas di tepiannya, menyandang pedang perak
dengan sarung pedang dari perak berukir juga. Pakaian orang itu sebagian telah
robek bagaikan koyak, namun jelas bukan koyak oleh cakaran tangan Selendang
Kubur. Suto mengenali orang itu sebagai tokoh alot yang
berjuluk Datuk Marah Gadai. Tapi Suto tidak tahu
bahwa koyaknya pakaian Datuk Marah Gadai adalah
akibat hempasan badai yang menerbangkan dirinya, saat Pendekar Mabuk menggunakan
Tuak Setan-nya.
"Selendang Kubur!" geram Datuk Marah Gadai.
"Satu kesempatan lagi kuberikan padamu. Serahkan kitab pusaka itu atau
kutenggelamkan dirimu ke dasar bumi"!"
"Aku memilih, tenggelamkan dirimu sendiri ke dasar bumi!"
"Keparat betul kau!" Datuk Marah Gadai segera angkat tangan kanannya setinggi
telinga, telapak tangan itu sudah mengembang dan menghadap ke arah
Selendang Kubur, siap untuk dihentakkan.
Tapi Selendang Kubur tak kalah siap. Ia mengangkat satu kakinya hingga terlipat
ke belakang, dua tangannya terentang tinggi sambil salah satu tangan masih
menggenggam kitab itu. Selendang Kubur bagai seekor merpati yang siap murka di
hadapan Datuk Marah
Gadai. Sementara itu, Datuk Marah Gadai masih
mencoba menggertak Selendang Kubur dengan kata-
kata, "Satu jurus lagi kalau kau tak hancur, lebih baik aku bunuh diri!"
"Lakukanlah sekarang juga kalau kau mau bunuh diri! Apa pun yang terjadi, kau
tidak berhak memiliki kitab pusaka ini!"
"Kau pun tak berhak, tahu"! Kau telah mencuri kitab itu tanpa setahu gurumu!"
"Dan kau datang juga untuk mencurinya! Hmm...!
Kita sama-sama pencuri, Datuk! Rasaya tak keberatan aku beradu nyawa kepadamu
untuk mempertahankan
kitab ini! Majulah kalau kau ingin selesaikan riwayatmu malam ini juga!"
"Keparat kau! Hiih...!"
Datuk Marah Gadai sentakkan tangannya. Dari
sentakan tangan keluar cahaya biru yang melesat cepat ke arah Selendang Kubur.
Tapi perempuan itu segera kibaskan kedua tangannya bagai sayap merpati
mengamuk. Wuuut... wuuut... wuuut...!
Gelombang tenaga dalam cukup besar keluar dari
kibasan tangan tanpa wujud sedikit pun. Gelombang
hawa bertenaga dalam itu menahan datangnya sinar biru dari tangan Datuk Marah
Gadai. Blarrr...! Cahaya biru memecah terang dalam sekejap.
Suara benturan tenaga dalam itu menimbulkan sentakan kuat yang membuat tubuh
Selendang Kubur terpental
tiga langkah ke belakang dalam keadaan oleng, dan
akhirnya jatuh bagai merpati patah sayapnya.
Sedang sentakan yang ditimbulkan dari ledakan dua
tenaga dalam beradu itu hanya membuat tubuh Datuk
Marah Gadai guncang sedikit, tapi ia tetap tegak berdiri dan siap lancarkan
serangan lagi. Suto melihat suatu pertarungan yang tak seimbang.
Datuk Marah Gadai lebih tinggi ilmunya dari Selendang Kubur. Maka, dengan cepat
Pendekar Mabuk melompat
ke arah Selendang Kubur yang sudah berdiri siap
menghadapi serangan lagi. Pada waktu itu, Datuk Marah Gadai pun sentakkan
kakinya dan dari kaki itu keluar cahaya putih keperakan yang pernah hampir
menghancurkan tubuh Cadaspati. Wuuuut...!
Cahaya putih keperakan itu melesat cepat ke arah
Selendang Kubur. Namun dengan gerakan cepat pula,
Suto melompat dan menghadangkan bumbung tuaknya.
Dubbb! Cahaya putih keperakan membentur bumbung
tuak, dan cahaya itu membalik dengan sinar lebih terang dan lebih besar lagi.
Wooos...! Datuk Marah Gadai terbelalak melihat tendangan
mautnya dikembalikan dengan lebih besar lagi. Cepat-cepat ia sentakkan kaki dan
melesat naik ke udara pada saat cahaya perak itu hampir menghantam tubuhnya.
Wesss...! Clappp...!
Sebongkah batuan karang jauh di belakang Datuk
Marah Gadai tiba-tiba lenyap akibat terkena hantaman cahaya putih keperakan itu.
Bahkan debunya tak tersisa sedikit pun. Datuk Marah Gadai kian terperanjat
memandangnya. Biasanya benda yang terkena cahaya
tendangan jurus 'Tapak Dewa'-nya itu akan hancur
seketika dan menjadi serbuk. Tapi kali ini begitu besar cahaya putih keperakan
itu, hingga serbuk pun tak
tertinggal di tempat bekas batu itu berada. Datuk Marah Gadai belum pernah
melihat kekuatan jurus Tapak
Dewa'-nya sebesar itu.
"Bahaya juga ini si bocah sinting!" pikir Datuk Marah Gadai dengan menahan
serangan berikutnya. Matanya
yang sedikit sipit berkesan bengis itu menatap Pendekar Mabuk dengan tajam. Suto
hanya sunggingkan senyum
kalem. "Jangan ikut campur urusanku lagi, Pendekar
Mabuk!" kata Selendang Kubur dengan wajah merengut.
"Biarkan aku mengurus diriku sendiri dan kau mengurus dirimu sendiri!"
Selendang Kubur mendekati Pendekar Mabuk dengan
langkah tegasnya, ia berdiri di samping Pendekar Mabuk dengan pandangan benci,
namun sebenarnya memendam
cinta. Pendekar Mabuk tersenyum menatapnya,
Selendang Kubur mendengus menyambutnya, ia
mencoba untuk tidak tertarik dengan senyuman
Pendekar Mabuk yang tampan rupa itu.
"Kau tentunya sudah tahu kebusukanku saat di Bukit
Jagal! Aku tak butuh sikap baikmu lagi! Jadi, kau tak perlu bantu aku dalam
urusan ini!"
"Tenanglah...!" kata Pendekar Mabuk sambil menepuk pundak Selendang Kubur.
Tepukan pelan itu
membuat tubuh Selendang Kubur sedikit terguncang
tubuhnya, makin mendengus kesal hatinya.
Suto berkata kepada Datuk Marah Gadai, "Tak
sepantasnya kamu lawan dia, Datuk! Sebaiknya
selesaikan perkaramu tanpa kekerasan!"
"Bocah bawang! Tahu apa kau urusan orang tua"!
Kalau dia bisa berdamai denganku, tak akan mungkin aku menyerangnya dengan jurus
'Tapak Dewa'-ku!"
"Persoalannya sangat sepele, mengapa harus dengan menggunakan jurus berbahaya?"
"Buatmu sepele, Suto! Tapi buatku persoalan ini sangat penting!"
Suto tertawa kecil bersikap melecehkan. Bahkan ia
sempat teguk tuaknya sejenak, lalu ia pandangi
Selendang Kubur yang masih mendekap kitab berwarna hijau muda.
Tiba-tiba terdengar suara Datuk Marah Gadai
membentak, "Minggir kau, Suto! Atau ikut kuhancurkan tubuhmu bersama perempuan
itu!" "Jangan mudah menghancurkan orang, supaya dirimu tidak mudah dihancurkan orang
lain, Datuk!"
"Jahanaaam...!" geram Datuk Marah Gadai. "Anak kemarin sore mau gurui orang tua.
Hah..."! Seharusnya kau pulang ke rumah dan menetek pada ibumu, tidak
ikut campur urusan ini!"
"Kau sajalah yang pulang dan menyusui ibumu!" kata Suto mulai serius. Agaknya ia
cukup tersinggung dengan hinaan balik itu.
Serta-merta Datuk Marah Gadai sentakkan kedua
kakinya dan melesat terbang ke udara dengan kedua
tangan terangkat ke atas. Suto hentakkan kedua lututnya dan tubuhnya pun
melayang ke udara menyambut Datuk Marah Gadai.
"Hiaaat...!"
Plakkk... Plakkk...!
Kedua tangan beradu, keras sekali sentakan kedua
pasang tangan itu. Datuk Marah Gadai terhempas ke
belakang dan berguling satu kali di udara, sedangkan Suto tak sampai terhempas
ke belakang, namun segera turun dan mendaratkan kakinya ke tanah dengan sedikit
merendah. Jleggg...!
Suto dan Datuk Marah Gadai sama-sama berdiri
tegak dalam jarak tujuh langkah. Mata mereka saling adu pandang sama tajamnya.
Tapi bibir Pendekar Mabuk
sunggingkan senyum tipis yang membuat Datuk Marah
Gadai mencibir sambil berkata,
"Heh...! Anak kemarin sore sudah berani mau adu tenaga sama orang tua! Masih
untung kau bisa bernapas saat ini! Aku tahu kau kewalahan menahan tenaga
dalamku, Suto. Wajahmu mulai memerah. Kau cukup
banyak kerahkan kekuatan untuk menahan pukulanku!"
"Wajahku memerah" Oh, mungkin saja begitu. Tapi bagaimana dengan kedua telapak
tanganmu, Datuk?"
Serentak Datuk Marah Gadai memandang kedua
tangannya. Mata Datuk Marah Gadai terperanjat kaget melihat kedua telapak
tangannya memar biru kemerah-merahan. Bahkan bagian ujung-ujung jari jelas biru
legam. Rasa kaget Datuk Marah Gadai membuat tubuhnya
tersentak sedikit ke belakang, ia sama sekali tak
menduga bahwa telapak tangannya menjadi memar
akibat beradu tenaga di udara tadi. Belum pernah ia alami hal seperti itu,
sekalipun ia melawan tokoh tua.
"Kurang ajar anak itu! Ternyata dia punya tenaga dalam lebih besar dariku! Baru
sekarang kurasakan ngilu tulang-tulang lenganku. Baru sekarang kusadari telapak
tanganku sangat panas! Hmmm...! Anak ini tidak bisa diajak bercanda rupanya!
Cepat atau lambat harus
kulenyapkan, biar tidak menjadi penghalang bagiku
untuk mendapatkan kitab pusaka itu!"
Datuk Marah Gadai berceloteh di dalam hatinya. Suto hanya melirik sesekali penuh
waspada, tapi wajahnya menatap Selendang Kubur.
"Jangan lawan orang itu. Kau bisa mati, Selendang Kubur. Ilmunya cukup tinggi,
tak sebanding dengan
ilmumu!" "Persetan dengan omonganmu, Suto! Minggirlah dan jangan ikut campur lagi
urusanku! Aku muak padamu, Suto!"
"Kalau kau muak padaku, kenapa kau tak lari sejak tadi" Larilah sana, selama
kuhadapi Datuk Marah
Gadai!" "Hhmmmm...!" geram Selendang Kubur. "Kau telah
menotokku lewat tepukan pundak tadi! Kau telah buat aku terpaku di sini tak bisa
bergerak kecuali bicara!
Kalau saja kau tidak menotokku dengan cara halusmu, sudah kuserang sendiri kau
dari belakang!"
Dewa Racun yang memperhatikan dari atas pohon
menggumam heran setelah menyadari hal itu. Ia berkata dalam hatinya, "Pantas
sejak tadi Selendang Kubur hanya menjadi penonton saja, rupanya dia telah
terkena totokan melalui tepukan pundak yang dilakukan Suto tadi. Hmm...! Sungguh
mengangumkan sebenarnya anak muda itu! Serasi sekali jika berjodohan dengan Nyai
Gusti Dyah Sariningrum!"
Datuk Marah Gadai segera pejamkan mata. Rupanya
ia salurkan hawa dingin ke telapak tangannya yang
panas. Telapak tangan itu tampak berasap tipis beberapa saat. Kejap berikutnya,
Datuk Marah Gadai buka
matanya dan serukan kata,
"Suto! Kalau kau tetap tak mau minggir dari
Pendekar Mabuk 07 Utusan Siluman Tujuh Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hadapanku, kau akan menerima ajal secepat kilat malam ini juga!"
"Kalau memang kau mampu, Datuk, lakukanlah
secepatnya!"
"Besar juga nyalimu, rupanya! Apakah kau ingin memiliki kitab pusaka itu juga"!"
"Kalau aku mau memiliki, tidak dengan jalan
mencurinya! Aku akan minta kepada pemiliknya, yaitu Betari Ayu! Jadi aku
sebenarnya hanya menyelamatkan kitab itu dari jamahan tangan-tangan pencuri,
seperti kalian berdua!"
"Tutup mulutmu, Suto!" sentak Selendang Kubur tiba-tiba. Ia masih tak bisa
bergerak, tapi ia mampu bicara lantang, "Aku murid dari Nyai Betari Ayu, dan
karenanya akulah yang berhak memegang kitab ini,
Suto!" "Memegang untuk menyelamatkan kitab pusaka, itu baik. Tapi memegang untuk
memilikinya, itu curang!
Aku tahu kau ingin mempelajari semua jurus yang ada di dalam kitab itu untuk
satu keperluan pribadimu,
Selendang Kubur. Karenanya, aku perlu mencegah niat burukmu itu!"
"Suto!" seru Datuk Marah Gadai di sebelah sana.
"Kesabaranku sudah habis! Waktumu untuk hidup pun sudah habis! Sekarang tiba
saatnya untuk mencabut
nyawamu, Suto! Hiaaat...."
Jari tangan Suto membara hijau, lalu menyentil ke
depan. Tass...! Pada waktu itu, Datuk Marah Gadai
merasakan adanya satu sentakan halus di pinggangnya, tapi ia tidak pedulikan hal
itu. Ia hentakkan kakinya dan melesat terbang dengan kedua tangan siap
menghantam bersamaan. Kedua tangan itu berada di samping telinga dengan jari
mengeras kaku dan memercik-mercikkan
bunga api biru.
Suto cepat sabetkan bumbung tuaknya ke depan
sebelum tubuh Datuk Marah Gadai tiba di depannya.
Wuuung...! Suara bumbung itu seperti gaung kematian.
Gelombang tenaga dalam yang besar terlepas dari
sabetan bumbung itu. Gelombang besar itu menghantam tubuh Datuk Marah Gadai,
membuat tubuh itu terguling
dan terhempas ke samping. Tubuh Datuk Marah Gadai
terguling-guling di udara, dan akhirnya membentur
batuan karang setinggi dua tombak. Bluukk...! Prass...l Ujung batuan karang itu
patah, sebagian hancur
terkena benturan tubuh Datuk Marah Gadai. Tubuh itu sendiri jatuh ke tanah
dengan kepala terbenam di pasir pantai. Kalau tubuh Datuk Marah Gadai tidak
dialiri tenaga dalamnya sendiri, maka batuan karang itu tak akan remuk bagian
ujung atasnya saat terkena benturan tubuhnya itu. Tapi karena aliran tenaga
dalam sedang memenuhi tubuh Datuk Marah Gadai yang siap
dipukulkan melalui kedua tangannya itu, maka batuan karang itu pun gompal pada
bagian atasnya.
Pinggang Datuk Marah Gadai bagaikan patah. Sakit
sekali untuk berdiri. Tapi dengan menahan napas
beberapa kejap, rasa sakit itu pun hilang, walau tidak hilang sama sekali. Datuk
Marah Gadai bisa berdiri dengan geram, suaranya penuh hasrat untuk membunuh
Suto. Dua tangannya masih memercikkan bunga api
warna biru. Ia berseru dari sana,
"Suto! Rasakan jurus 'Gledek Menjilat Bumi' ini, hiaaa...!"
Woosss...! Dari kedua tangan Datuk Marah Gadai
melesat cahaya kilat berkelok-kelok seperti ratusan cacing ganas, menggerombol
dan menuju ke arah
Pendekar Mabuk.
Pendekar Mabuk cepat kibaskan tangannya seperti
memercikkan air. Tapi pada saat itu, semua kuku Suto Sinting memancarkan cahaya
merah bara. Pada saat
tangan kanan Pendekar Mabuk memercikkan sesuatu di udara, maka bertebaranlah
bunga-bunga api warna
merah, melesat ke arah gerombolan sinar biru yang mirip cacing liar itu.
Prattt...! Trappp... trap...!
Sinar biru itu belum mau padam, tapi berhenti di
udara bagai tertahan percikan bunga api dari tangan Pendekar Mabuk. Maka, dengan
cepat tangan kiri
Pendekar Mabuk memercikkan sesuatu lagi ke udara.
Tangan itu juga berkuku menyala bara, dan bunga-bunga api terpercik dari jemari
Suto Sinting, melesat
menghantam gerombolan sinar biru seperti cacing liar itu.
Trrappp... cerattt...! Prattt cratt erat...!
Pritik pritik prritik glegarrrr...!
Jurus 'Gledek Menjilat Bumi' hancur oleh percikan
bunga api dari Pendekar Mabuk yang dinamakan jurus
'Lintang Kesumat'. Pecah dan hancurnya gerombolan
sinar biru mirip cacing liar itu menimbulkan ledakan yang menggema bagai
menelusuri seluruh pantai.
Ledakan itu juga menghadirkan hempasan gelombang
besar yang membuat tubuh Datuk Marah Gadai
terlempar ke laut dalam jarak dua puluh langkah dari pantai. Byurrr...!
Rambut Suto sendiri tersingkap ke belakang karena
angin gelombang yang cukup kuat. Pohon tempat
bersembunyi Dewa Racun berguncang lebih hebat lagi, daunnya sebagian gugur. Tapi
Singo Bodong tetap saja mendengkur.
Sedangkan tubuh Selendang Kubur yang tertotok itu
jatuh berdebam bagaikan patung kayu. Tapi ia
memekikkan suara ngeri, membuat Suto palingkan
wajah. Melihat Selendang Kubur jatuh dalam keadaan tetap kaku dan seperti
keadaan semula, yaitu mendekap kitab dengan satu tangannya lurus ke bawah
menggenggam, Pendekar Mabuk segera
menghampirinya dan mengangkat tubuh itu, lalu
diberdirikan lagi dengan kaki Selendang Kubur agak ditimbuni pasir supaya tak
jatuh lagi. "Jahanam kau, Suto! Jangan bikin aku seperti patung yang sewaktu-waktu rubuh kau
berdirikan lagi!
Lepaskan pengaruh totokanmu ini, Suto! Lepaskan!"
"Sabarlah, ada saatnya sendiri melepaskan
totokanmu!" kata Pendekar Mabuk sambil merapikan letak baju, rambut, dan ikat
pinggang Selendang Kubur.
Kain selendang putih yang selalu melilit di pinggang Selendang Kubur juga
dibetulkan letaknya, dirapikan, bagaikan patung yang dihias kembali letak
busananya. Selendang Kubur makin merasa dilecehkan. Geram
hatinya, dan menggeletuk giginya, ia berkata dengan gigi bergeletuk,
"Kubunuh kau setelah bebas totokanku, Suto...!" tapi mendadak ia berteriak,
"Awaaaas...!"
Suto berpaling ke belakang, rupanya Datuk Marah
Gadai telah mengirimkan pukulan jarak jauhnya lagi berupa bola api yang makin
dekat makin besar
bentuknya. Pendekar Mabuk pun segera siapkan
bumbung tuaknya, dan dihentakkkan dari bawah ke atas.
Ujung bawah bumbung tuak itu mengeluarkan cahaya
kuning sebesar lidi, menyentak naik ke atas, mendorong bola api yang bergerak
mendekat menjadi bergerak naik, naik, dan naik terus begitu tingginya, lalu
meledak di angkasa sana.
Blengngng...! Dentuman itu membahana sampai ke mana-mana,
bagai ledakan gunung berapi. Asapnya hitam mengepul membentuk gulungan awan
hitam, nyaris menutup
terangnya sisa purnama di malam itu.
"Bangsat!" geram Datuk Marah Gadai. "Pukulan 'Inti Sukma' bisa dibuang ke atas
olehnya! Setan cilik dari neraka mana bocah itu"!"
Pendekar Mabuk hanya tersenyum tipis memandang
gulungan asap yang menyerupai awan di angkasa.
Setelah makin pudar asap itu, Suto Sinting melirik Selendang Kubur dan berkata
lirih, "Terima kasih atas peringatanmu tadi. Kalau tidak, kita mati bersama dalam wujud
kepingan tulang dan
cuilan daging hangus!"
"Tak perlu berterima kasih padaku, Setan! Aku tidak menyelamatkan dirimu!"
"Mengapa kau tadi berteriak 'awas' jika tak
bermaksud menyelamatkan diriku?" goda Pendekar Mabuk sambil senyum-senyum.
"Karena aku tak ingin kau mati di tangan orang! Kau harus mati di tanganku
sendiri!" sentak Selendang Kubur dengan ketusnya.
Ia tak tahu, ada orang yang menertawakan dari atas
pohon sebelah sana. Dewa Racun terkikik dengan mulut dibekapnya sendiri.
Sementara itu Singo Bodong masih tetap tidur mendengkur. Sayang sekali dia
tidur, andai dia dalam keadaan bangun, dia sangat senang melihat pertarungan
dahsyat itu. Datuk Marah Gadai melompatkan tubuh dengan
kekuatan tenaga peringan tubuhnya yang cukup tinggi, ia tiba di tanah berpasir
dalam keadaan tubuh basah kuyup.
Wajahnya semakin bengis. Oh, rupanya ada darah yang keluar dari hidungnya saat
ia terlempar ke laut tadi.
"Suto!" ia melangkah dengan gusarnya. Berdiri tegak lagi setelah dalam jarak
lima langkah dari Pendekar Mabuk, ia ucapkan kata dalam nada geram, penuh
dengan nafsu membunuh yang berkobar-kobar di
dadanya. "Jangan anggap dirimu menang, Suto! Aku masih punya satu pusaka lagi yang akan
mengakhiri masa
hidupmu sekarang juga!"
"Kalau kau masih penasaran padaku, lakukanlah apa yang ingin kau lakukan," kata
Suto. "Kalau kau masih merasa belum kalah, bertindaklah secara ksatria. Tapi
kalau kau merasa sudah cukup lemah melawanku,
bersikaplah jantan. Pergilah dari sini tanpa pamit pun aku tetap menghormati
sikapmu, Datuk!"
"Mulut busuk! Hadapilah Pedang Lidah Iblis-ku ini, hiaaat...!"
Gagang pedang digenggam kuat, lalu dicabut dari
sarungnya. "Uuh...! Uuh...! Uuuh...!" Datuk Marah Gadai
kebingungan. Pedangnya tak bisa dicabut dari
sarungnya. Susah payah ia kerahkan tenaga untuk
mencabut pedang, tapi dirinya sendiri bahkan
terpelanting ke samping, hampir saja jatuh. Napasnya ditahan kuat-kuat,
tenaganya dipusatkan ke tangan, tapi pedang tak bisa dicabut. Akhirnya ia
mencaci sendiri dengan napas terengah-engah.
"Landak buduk! Setan belang! Sulit sekali pedang ini dicabutnya! Biadab...!
Kenapa jadi begini..."! Uuh, uuh, uuh...!"
Mata perempuan yang bagaikan patung itu
membelalak kagum melihat pedang tak bisa dicabut,
demikian pula mata di atas pohon milik Dewa Racun.
Sedangkan Pendekar Mabuk hanya tersenyum-senyum
saja waktu melihat susah payahnya Datuk Marah Gadai mencabut pedang.
"Mungkin pedangmu kau gembok dan gemboknya
berkarat, sehingga tak bisa dibuka, Datuk!"
"Congor kurapmu!" sentak Datuk Marah Gadai dengan hati makin panas. Cacian itu
justru membuat Suto Sinting tertawa geli.
Selendang Kubur membatin, "Pasti itu ulah Pendekar Mabuk. Tadi kulihat ia
sentilkan jarinya dan tubuh Datuk Marah Gadai terguncang sedikit. Saat itulah
sebenarnya Suto telah mengunci pedang itu hingga tak bisa dilepas dari
sarungnya. Padahal menurut cerita Peri Malam, Datuk Marah Gadai mempunyai pedang
amat hebat, bisa menerbangkan bebatuan pada saat dicabut dari sarungnya. Tapi
nyatanya menghadapi Suto pedang
itu mampu dibungkam kekuatannya! Hebat sekali si
tampan yang satu ini! Selain memikat hati, juga
mengagumkan dunia persilatan!"
Tentang kehebatan Pedang Lidah Iblis milik Datuk
Marah Gadai hanya Peri Malam-lah yang tahu persis, karena dia mengintai dari
balik semak sewaktu Datuk Marah Gadai mengalahkan Cadaspati memakai pedang
itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah Asmara Gila").
Tiba-tiba Suto membopong tubuh Selendang Kubur
bagai mengangkat dan memindahkan patung. Selendang Kubur hanya berteriak-teriak
dengan sebaris makian dan bentakan. Tapi Suto tak peduli. Patung hidup itu
dipindahkan jauh-jauh dari tempatnya semula.
Sementara itu, Datuk Marah Gadai bersusah payah
melepas pedangnya. Bahkan pengait pedang yang
mengikat di pinggang dilepasnya. Pedang berusaha
ditarik dengan kerahkan tenaga dalamnya kuat-kuat, di depan dadanya pedang itu
dibetot ke kanan, tapi tetap tak bisa terlepas dari sarungnya.
"Mengapa kau pindahkan aku di balik batu ini, hah"!"
bentak Selendang Kubur.
"Demi keselamatan jiwamu," jawab Suto.
"Cuih...! Aku tak butuh penyelamatanmu!"
"Setidaknya dari tempat ini kau bisa melihat kematian Datuk Marah Gadai, orang
yang selalu mengejar-ngejar pusaka itu!"
"Kau tak akan bisa mengalahkannya, Suto! Dia cukup kuat!"
"Siapa bilang?"
"Peri Malam pernah melihat kehebatan pedang Lidah Iblis-nya itu. Kalau pedang
itu tercabut, matilah kau di tangannya!"
"Kalau pedang itu tercabut, dia sudah lebih dulu mati!" Pendekar Mabuk
sunggingkan senyum.
"Sesumbarmu untuk anak kecil saja, Pendekar
Mabuk! Bukan untukku!"
"Karena kau masih anak kecil, maka aku sesumbar untukmu!"
"Buktikan! Buktikan sesumbarmu!" sentak Selendang Kubur dengan ungkapan rasa
benci karena memendam
kedongkolan hati.
Datuk Marah Gadai kebingungan melepas
pedangnya. Wajahnya jadi memerah akibat kerahkan
tenaga. Tapi pada waktu itu, Pendekar Mabuk yang
berada dalam jarak lima belas langkah bersama
Selendang Kubur, segera lemparkan pandangannya ke arah Datuk Marah Gadai. Jari
tangan Suto mulai
menyala hijau lagi, khusus hanya jari telunjuknya. Lalu, Suto pun menyentilkan
jari itu ke depan. Tasss...!
Pada saat itu, Datuk Marah Gadai berhenti
mengerahkan tenaga sebentar, ia menggerutu tak jelas, lalu mulai mencabut
pedangnya lagi. Kali ini, pedang bisa dicabut dengan enteng. Seerrt...! Tapi
tiba-tiba dari sarung pedang keluar sinar merah terang bersama bunyi ledakan
yang cukup kuat dan keras.
Duarrr...! Lalu, ledakan itu menggema panjang,
glerrrrr...! Mata Selendang Kubur tak bisa berkedip, mulutnya
tak bisa terkatup. Di balik kerimbunan atas pohon, mata Dewa Racun juga
terbelalak tak bisa berkedip lagi, karena ia melihat jelas kepala Datuk Marah
Gadai pecah akibat ledakan itu. Tubuhnya tumbang tak bernyawa
lagi. Dewa Racun tak bisa ucapkan sepatah kata pun.
* * * 9 MALAM menjadi hening kembali setelah kematian
Datuk Marah Gadai. Selendang Kubur bisukan
mulutnya, karena jiwanya terpaku melihat kehebatan ilmu Pendekar Mabuk yang
jelas jauh di atas ilmunya.
Datuk Marah Gadai mati karena pusakanya sendiri. Tapi Selendang Kubur tahu,
Pendekar Mabuk-lah
penyebabnya. Tanpa ketinggian ilmu Suto, tak mungkin Datuk Marah Gadai dimakan
senjatanya sendiri.
Pendekar Mabuk menengadah, bumbung tuaknya
Pendekar Mabuk 07 Utusan Siluman Tujuh Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dituang. Glek glek glek...! Tiga teguk tuak membasahi kerongkongannya. Pendekar
Mabuk merasa lega. Ia
kembali menutup tabung itu, dan menyandangnya
kembali ke punggung, seperti menyandang sebilah
pedang. Tali bumbung menyilang di dadanya, dari
pundak kanan ke pinggang kiri.
"Sudah selesai sekarang," kata Suto seraya memandang mayat Datuk Marah Gadai
sebentar. Terdengar pula Selendang Kubur berkata, "Lepaskan
pengaruh totokanku ini!"
"Nanti dulu!"
"Tunggu apa lagi, Setan!" bentak Selendang Kubur dongkol sekali.
"Bagaimana dengan kitab itu?"
"Kau tak berhak memiliki! Kau bukan murid
Perguruan Merpati Wingit. Akulah murid Merpati
Wingit yang berhak mempelajari ilmu-ilmu di dalam kitab inil"
Pendekar Mabuk tersenyum, bahkan tertawa pelan
berkesan meremehkan kata-kata Selendang Kubur. Lalu, ia berkata pada perempuan
itu, "Kalau aku mau curang, kuambil kitab itu darimu, dan kubiarkan kau tetap dalam
pengaruh totokan.
Setelah itu aku akan lari jauh sekali, kau tak akan bisa mengejarnya!"
"Biadab kau! Sekalipun ilmumu tinggi, aku tak takut melawanmu, Suto! Aku berani
taruhkan nyawa untuk
kitab ini!"
"Bertaruh nyawa saja belum tentu bisa, apalagi kau mau melawanku. Mungkin aku
akan kalah padamu, tapi bukan berarti aku binasa, melainkan kasihan padamu!
Tapi kitab itu, tetap harus kumiliki!"
"Tak ada yang berhak memiliki kitab pusaka ini kecuali aku!"
"Siapa bilang"!" tiba-tiba sebuah suara terdengar dari kerumunan dedaunan di
belakang Selendang Kubur.
Pemilik suara itu segera melesat dengan satu lompatan ringan, dan jatuh dengan
tegak di depan Selendang
Kubur. Tersentak kaget Selendang Kubur melihat kehadiran
orang itu. Gemetar bibirnya saat menyebutkan sapa,
"Nyai Guru..."!"
Suto sendiri sebenarnya kaget mendengar sahutan
kata Betari Ayu tadi. Tapi ia bisa menutup kekagetannya dengan senyum yang
dipamerkan di depan Betari Ayu.
Di atas pohon, Dewa Racun terbelalak matanya. Tak
sadar ia mengucap lirih,
"Nyaaa... Nyaaai... Nyaii Guru" Oh, itu dia Nyai Guru Dyah Kemalawindu..."!
Celaka! Suto tak mau
segera ambil kitab itu, akibatnya pemilik kitab da...
daa... datang sebelum kitab jatuh di tangan Suto! Uh, bodoh amat Suto itu!"
Dewa Racun sengaja belum mau muncul, ia ingin
melihat peristiwa selanjutnya antara Suto dengan Betari Ayu. Ia ingin melihat
pertarungan yang sudah tentu lebih dahsyat dibanding pertarungan Suto melawan
Datuk Marah Gadai tadi.
"Rupanya kau yang mencuri kitab itu, Selendang Kubur!" kata Betari Ayu dengan
wajah dingin, kaku, menampakkan kemarahan yang terpendam. Matanya
memandang tajam namun berkesan sinis.
"Nyai... Nyai Guru, saya hanya sekadar
menyelamatkan pusaka ini dari tangan Datuk Marah
Gadai, yang... yang... yang sudah berhasil saya bunuh, Nyai!"
Pendekar Mabuk menahan tawa dan segera berpaling
wajah agar tak dilihat Betari Ayu. Selendang Kubur
sebentar-sebentar melirik Suto dengan cemas, dan
berharap Suto tidak ikut bicara dulu.
"Jadi, Datuk Marah Gadai mau mencuri kitab itu?"
"Ben... benar, Nyai."
"Dan kau telah merebut lalu membunuhnya?"
"Ben... ben... benar, Nyai. Lihatlah, mayatnya ad...
ad... ada di sana, Nyai!"
Dewa Racun membatin dari atas pohon, "Kurang
ajar! Perempuan itu ikut-ikutan gagap! Dari mana dia tahu kalau aku bicara
gagap, sehingga dia bisa
menghinaku dengan berpura-pura gagap"!"
Dewa Racun ingin turun untuk menghajar Selendang
Kubur. Tapi segera ia temukan kesimpulan lain, bahwa rasa takutnya Selendang
Kubur itu menghadirkan
kegagapan tersendiri yang tidak semata-mata menghina kegagapan Dewa Racun.
Karena itu, Dewa Racun tak
jadi melepaskan marahnya, ia tetap mengikuti dari atas pohon.
Terdengar suara Betari Ayu berkata kepada
Selendang Kubur,
"Kalau kau telah membunuh Datuk Marah Gadai,
mengapa kau tidak segera pergi tinggalkan tempat ini?"
"Suto menahan saya, Nyai!"
"Suto menahanmu" Ada perlu apa dia menahanmu?"
"Dia mau rebut kitab ini, Nyai. Tapi saya pertahankan terus!"
"Suto ingin merebut kitab itu" Untuk apa" Semua ilmu yang ada di dalam kitab ini
masih belum ada
sekuku hitamnya dengan ilmu-ilmu yang dimiliki Suto!"
"Tap... tapi... tapi...."
"Tapi kau ditotok olehnya sejak tadi sehingga kau tak bisa bergerak?"
Selendang Kubur tak bisa bicara lagi. Bibirnya
gemetar dan lidahnya bagaikan kaku. Nyai Betari Ayu kembali melanjutkan kata,
"Bagaimana kau bisa membunuh Datuk Marah Gadai jika sejak tadi kau tak bisa
bergerak, bahkan untuk pindah ke sini pun perlu digotong Suto mirip patung
dipindahkan" Menahan gelombang ledakan pun kau tak mampu, hingga tubuhmu tumbang
seperti batang pisang"! Bagaimana mungkin kau bisa membunuh
Datuk Marah Gadai?"
Mendengar ucapan Nyai Betari Ayu, baik Pendekar
Mabuk maupun Dewa Racun mengerti bahwa sejak tadi
ternyata perempuan berwibawa yang mempunyai
kecantikan yang anggun itu sudah memperhatikan
pertarungan Suto dengan Datuk Marah Gadai.
Karenanya, Pendekar Mabuk cepat bergerak. Kitab
itu diambil paksa dari Selendang Kubur. Breet...!
Selendang Kubur hanya bisa terperangah dan tak bisa bergerak sedikit pun.
Kemudian, Pendekar Mabuk
menyerahkan kitab itu kepada Betari Ayu.
"Ambillah, ini hakmu, Nyai!"
Betari Ayu memandang Suto dengan mata dingin.
Cukup lama mereka saling pandang. Akhirnya, tangan Betari Ayu menerima kitab itu
dengan mata tetap
menatap Suto Sinting.
Dewa Racun bergumam dalam hatinya, "Bodoh!
Mengapa diserahkan begitu saja! Apakah Pendekar
Mabuk tak berani melawan Nyai Betari Ayu?"
Terdengar Pendekar Mabuk berkata kepada Betari
Ayu sambil ia melangkah ke samping Selendang Kubur,
"Apa hukuman untuk pencuri kitab ini?"
Betari Ayu tidak menjawab. Kitab itu diselipkan di pinggangnya. Terdengar lagi
Pendekar Mabuk berkata,
"Apakah pencuri kitab ini harus dipenggal
kepalanya?"
Selendang Kubur melirik dengan benci. Penuh nafsu
untuk menyerang tapi tangannya tetap kaku, bagai masih mendekap kitab.
"Atau harus dihukum bakar?" tanya Suto lagi makin membuat Selendang Kubur cemas
dan memendam kemarahan. Saat berikutnya, Betari Ayu yang berdiri dengan kedua tangan di
belakang itu berkata,
"Tanyakan saja pada pencuri itu, hukuman apa yang ia sukai!"
Suto tertawa kecil semakin memuakkan Selendang
Kubur, lalu ia berkata kepada Selendang Kubur,
"Kau dengar sendiri apa kata gurumu itu" Kau bebas memilih hukuman. Silakan
pilih mana yang kau suka."
"Apa hakmu memilihkan hukuman untukku, Setan"!"
Pakkk...! Tiba-tiba Betari Ayu ayunkan tangannya
dengan gerakan yang tak bisa dilihat mata. Tangan itu menampar pipi Selendang
Kubur dengan keras. Pipi itu menjadi merah, membekas empat jari. Selendang Kubur
menggigit bibir menahan rasa sakit dengan napas
terengah-engah. Betari Ayu berkata pelan,
"Sekali lagi kau tidak sopan terhadap dia, kupatahkan kedua tangan dan kakimu!"
Pendekar Mabuk sendiri sempat kaget dan tak
menyangka kalau tangan Betari Ayu mau berkelebat
menampar Selendang Kubur, ia jadi tak enak hati
mendengar kata-kata Betari Ayu tadi, seakan dia sangat dibela harga dirinya di
depan sang murid.
"Ampunilah saya, Guru," ucap Selendang Kubur setelah hening sejurus dan suaranya
terdengar melemah.
Air matanya mulai menggenang di kedua kelopak mata.
Tapi Betari Ayu cepat menggeram bagai lampiaskan
kemarahannya, "Sekali lagi kuingatkan, aku benci melihat muridku menangis! Minggat saja kau,
jika harus menangis di depanku!"
Selendang Kubur segera tarik napas dalam-dalam, ia menelan ludahnya sendiri
beberapa kali, kemudian
berkata dengan tegas,
"Saya memang salah, Guru! Saya mohon ampun dan berjanji untuk tidak mencuri
kitab pusaka itu lagi!
Saya... saya butuh ketenangan jiwa untuk beberapa saat ini, Guru!"
Suto manggut-manggut sambil sesekali melirik
Selendang Kubur. Yang dilirik sudah mulai
mengendurkan permusuhannya. Sikapnya kembali
lunak. "Ke mana kau akan menenangkan diri?" tanya Nyai Betari Ayu.
"Barangkali saya perlu beristirahat di Puncak
Kundalini beberapa waktu lamanya."
"Aku sendiri mau mengasingkan diri ke sana!"
"Jika Guru izinkan, biarlah saya berada di
lerengnya!"
Betari Ayu tundukkan kepala sebentar untuk berpikir, lalu wajahnya ditengadahkan
dan berkata kepada
Pendekar Mabuk,
"Lepaskan totokannya, Suto!"
Suto tertawa pelan, kemudian menepuk punggung
Selendang Kubur sambil berkata, "Ingatlah janjimu, jangan sampai kau langgar!"
Pada saat itulah tubuh Selendang Kubur tersentak dan jatuh bagaikan lumpuh.
Beberapa saat kemudian ia
berusaha bangkit, dan dapat bergerak dengan bebas, ia segera menunduk, memberi
hormat pada gurunya yang
bijak. Sang guru segera berkata,
"Pergilah sekarang juga ke Gunung Kundalini, aku nanti menyusulmu!"
"Baik, Guru!"
Setelah itu, Selendang Kubur pun melesat cepat tanpa menoleh kepada Suto lagi.
Kini tinggal Suto berhadapan dengan Betari Ayu. Dewa Racun berdebar-debar
memperhatikan pertemuan kedua tokoh Ku.
"Benarkah kau membutuhkan Kitab Wedar Kesuma
ini, Suto?"
"Kalau kau izinkan, aku memintanya."
"Bagaimana kalau tak kuizinkan?"
"Bawalah pergi, dan biarlah aku tak jadi memberikan mas kawin untuk adikmu;
Gusti Mahkota Sejati."
"Rebutlah dariku!"
Suto menggeleng dengan mulut bungkam.
"Kalau kau tak merebut dan bertarung denganku, kitab ini tidak akan kuberikan
padamu!" "Pergilah dan jangan bikin darahku mendidih, Nyai!"
"Baik kalau itu keputusanmu. Aku pergi!"
Slaappp...! Betari Ayu pun melesat cepat tinggalkan tempat. Suto tertegun tak
bergerak dalam kegundahan hatinya antara mengejar, merebut, bertarung, atau
mengalah" Dan pada saat itu Dewa Racun datang
dengan kegeramannya.
"Bo... bod... bodoh! Rebut kitab itu! Kau harus tunjukkan pada Nyai Gusti-ku
bahwa kau bisa merebut dan mengalahkan kakaknya! Re... rebut! Lekas kejar di...
dia! Kejar...!"
Suto tetap diam. Bahkan ia tundukkan kepala dan
pejamkan mata. Dewa Racun menggerutu tak karuan.
Tapi tiba-tiba ia berkelebat pergi ke semak-semak, pada saat itu ia melihat ada
bayangan datang mendekati Suto.
Ternyata Betari Ayu kembali lagi.
Perempuan cantik dan anggun itu berdiri di depan
Suto, dan Suto memandangnya dengan lembut. Lalu,
Suto berkata, "Mengapa tak segera pergi! Jangan paksa aku
membunuhmu, Nyai!"
"Aku telah kalah padamu sebelum kau bertarung denganku," kata Betari Ayu.
"Terimalah kitab ini!
Berikan kepada adikku sebagai mas kawin darimu. Dan katakan, kau telah
menundukkan aku dengan kelembutan
dan kasih sayangmu!"
Suto menerima kitab itu. Lalu tiba-tiba Betari Ayu melesat pergi tanpa pamit
lagi. Suto menggeragap dan segera serukan kata,
"Nyaaaaii...!" dengan hati disiram keharuan yang dalam.
SELESAI Pendekar Mabuk Ikuti kisah Petualangan Suto Sinting Pendekar Mabuk dalam episode:
ISTANA BERDARAH
Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Misteri Kapal Layar Pancawarna 13 Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo Iblis Sungai Telaga 13