Pencarian

Utusan Siluman Tujuh Nyawa 1

Pendekar Mabuk 07 Utusan Siluman Tujuh Nyawa Bagian 1


Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah
lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1 SEBELUM berangkat ke Puri Gerbang Surgawi,
tempat kediaman Nyai Gusti Dyah Sariningrum yang
menjadi kekasih idaman Suto, Pendekar Mabuk murid si Gila Tuak itu menyempatkan
diri untuk singgah ke
Jurang Lindu. Kali ini ia terpaksa tidak bisa
meninggalkan Dewa Racun, orang kepercayaan Nyai
Gusti Dyah Sariningrum yang ditugaskan menjemput
dan mengawal Suto Sinting. Tetapi, Dewa Racun
agaknya tahu diri dalam hal ini.
"Tem... tem... temuilah gurumu, akkk... akkk... aku akan menunggu di luar gua.
Aaakk... aku tidak perlu ikut masuk!"
"Baiklah. Aku tak lama!"
Suto cepat tinggalkan orang kerdil berpakaian putih-putih dari jenis kulit
binatang berbulu itu. Curahan air
terjun yang deras ditembusnya masuk dengan satu
kelebatan secepat kilat. Jraasss...!
Mulut gua yang ada di balik curahan deras air terjun itu dipakai mendarat
sepasang kaki Pendekar Mabuk
yang kokoh. Jika bukan orang berilmu tinggi, tak
mungkin bisa menerabas tembus curahan air sebegitu besarnya dari jarak lompat
lebih delapan belas langkah.
Apalagi tanah di mulut gua itu licin oleh lumut, sudah pasti akan membuat orang
yang tidak mempunyai ilmu peringan tubuh akan tergelincir.
"Sudah kau selesaikan urusanmu, Suto"!"
Kehadiran Suto disambut oleh seorang berpakaian
serba hijau yang tidak mengenakan jubah. Jubah
kuningnya itu tampak digantungkan pada salah satu sisi dinding gua. Orang tua
berambut panjang beruban itu tak lain adalah si Gila Tuak, guru Suto Sinting.
"Maksud Guru, urusan yang mana?" Suto ganti bertanya sambil langkahkan kaki
mendekati gentong
tuak. "Pertarunganmu dengan Manusia Sontoloyo apa
sudah kau selesaikan?"
"Sudah, Guru!"
"Bagus. Sebab, menang atau kalah sebuah
pertarungan tak boleh ditolak oleh seorang pendekar.
Dengan cara licik atau ksatria, janji pertarungan tanding laga tetap harus
dilaksanakan!"
"Saya paham, Guru!"
Tak jauh dari gentong-gentong tuak itu, seorang
perempuan cantik yang anggun dan bijaksana duduk
memandangi Suto. Perempuan yang mengenakan
pakaian biru muda dengan jubah tipis sutera warna
kuning itu sunggingkan senyumnya saat Suto menuang tuak ke dalam bumbung sambil
melirik kepadanya.
"Apakah Dirgo Mukti, si Manusia Sontoloyo itu tewas di tanganmu, Suto?" tanya
perempuan itu yang tak lain adalah Betari Ayu.
"Tidak, ia dirobohkan oleh muridmu sendiri, Nyai Betari."
"Muridku"!" Betari Ayu berdiri dengan rasa kaget.
"Muridku yang mana" Selendang Kubur?"
"Ya. Dia bergabung dengan Peri Malam dan Perawan Sesat."
"Bergabung dengan Perawan Sesat"! Aneh sekali!"
"Mereka bertiga yang memprakarsai pertarungan di Bukit Jagal. Mereka bertiga
ingin membunuhku setelah terlebih dulu tenagaku dipancing agar terkuras dengan
melawan Manusia Sontoloyo. Mereka berjanji kepada
Manusia Sontoloyo akan sanggup menjadi istri si
Sontoloyo itu, apabila Sontoloyo bisa mengalahkan aku!
Seorang temanku mengetahui rencana itu, lalu kubuat kelicikan lain juga untuk
menjebak mereka bertiga.
Sontoloyo kubiarkan menang, tentu saja mereka bertiga jadi kelabakan dituntut
janjinya oleh Sontoloyo.
Akhirnya mereka bertiga yang bertarung melawan
Sontoloyo!" (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pertarungan di Bukit
Jagal"). Si Gila Tuak perdengarkan tawanya yang mirip orang menggumam. Kemudian ia ajukan
tanya, "Apakah
Sontoloyo menang?"
"Tidak, Kakek Guru!" jawab Suto sudah terbiasa memanggil gurunya dengan sebutan
kakek, karena Suto diambil murid sejak berusia delapan tahun. (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa Pusar").
Suto lanjutkan kata, "Dirgo Mukti atau si Manusia Sontoloyo itu terluka parah,
nyaris mati di tangan tiga perempuan itu. Tapi Mawar Hitam datang dan segera
mengambil tubuh Dirgo Mukti kemudian membawanya
pergi ke Pulau Hantu."
"Mawar Hitam..."!" gumam Nyai Betari Ayu. Ada kecemasan terbayang di wajahnya
yang cantik itu.
"Dia masih punya dendam padaku, juga kepada Bibi Guru," Suto palingkan wajah
kepada si Gila Tuak yang punya nama asli Ki Sabawana.
"Hati-hatilah jika ketemu dia," kata si Gila Tuak.
"Dia bukan saja berilmu tinggi, tapi punya banyak kelicikan."
"Saya mengerti, Guru."
"Kau tak perlu mengejarnya ke Pulau Hantu. Di sana banyak jebakan maut yang
mematikan! Kalau kau ingin menghadapi dia, pancing dia supaya keluar dari Pulau
Hantu dan lawanlah di tempat lain. Itu pun kalau
memang terasa perlu!"
"Baik, Guru!"
Betari Ayu bertanya, "Lalu, apa alasannya ketiga perempuan itu ingin
membunuhmu?"
"Aku kurang jelas, Nyai Betari. Tapi aku punya kemungkinan, barangkali saja
mereka sakit hati sebab
cintanya tak pernah kuhiraukan."
Si Gila Tuak terkekeh dalam tawa pelannya.
"Perempuan bisa lebih ganas dari seekor singa lapar jika sudah berurusan tentang
cinta." "Tapi bisa selembut sutera jika bisa mengendalikan cintanya," timpal Betari Ayu
kemudian. Si Gila Tuak makin terkekeh.
"Guru, saya datang menemui Guru hanya sekadar untuk pamit. Saya hampir menemukan
siapa perempuan yang bernama Dyah Sariningrum itu. Di mana
tinggalnya pun saya sudah tahu. Sekarang saya akan berangkat ke Pulau Serindu
untuk menemuinya."
Si Gila Tuak melayangkan pandang ke arah Betari
Ayu yang mulai berwajah sendu. Si Gila Tuak tahu, di dalam hati Betari Ayu
tersimpan duka kala Suto
sebutkan nama Dyah Sariningrum. Karena, si Gila Tuak pun tahu bahwa Betari Ayu
menyimpan rindu dan cinta untuk Suto Sinting. Tapi agaknya Betari Ayu lebih
berjiwa mengalah dan tak mau memperlihatkan rasa
kecewanya. "Guru, apa saran Guru untuk perjalananku ke Pulau Serindu" Menurut kabar dari
Peramal Pikun, Guru
sebenarnya banyak tahu tentang calon jodoh saya itu, tapi selama ini Guru tidak
pernah bilang apa-apa pada saya. Jika Guru berkenan, tolong ceritakan sedikit
tentang Dyah Sariningrum, Guru!"
Kepala berikat kain merah itu menggeleng. Gila Tuak ucapkan kata dengan pelan,
sangat berwibawa dan bijak sikapnya.
"Betari Ayu lebih banyak tahu tentang Dyah
Sariningrum daripada aku. Tanyakan saja padanya."
Cepat-cepat Pendekar Mabuk palingkan wajah dan
lemparkan pandangan tajam kepada Betari Ayu. Dahi
pun dikerutkan tanda heran dan terperanjat, sebab
selama ini Betari Ayu tak pernah mau bicarakan tentang Dyah Sariningrum. Jika
benar Betari Ayu tahu banyak tentang Dyah Sariningrum, mengapa selama ini ia
rahasiakan hal itu di depan Pendekar Mabuk"
Betari Ayu tak berani membalas tatapan Suto.
Pandangan mata Pendekar Mabuk bagaikan menyimpan
segunung cinta dan daya pikat yang luar biasa, sehingga Betari Ayu tak mau
terjerat perasaannya terlalu dalam. Ia palingkan wajah ke arah lain sewaktu Suto
ajukan tanya, "Benarkah kau banyak tahu tentang Dyah
Sariningrum?"
"Karena gurumu sudah buka rahasia, terpaksa aku tak bisa berpura-pura lagi,"
jawab Betari Ayu.
Pendekar Mabuk langkahkan kaki dua tindak ke
depan Betari Ayu. Sengaja ia berdiri di depan wajah cantik itu supaya ia bisa
menatap lekat-lekat wajah perempuan yang selama ini menyimpan cinta dan kasih
sayang kepadanya itu.
"Nyai," ucap Suto dengan lembut, "Katakanlah apa yang kamu tahu tentang
kekasihku itu! Katakanlah apa adanya, Nyai."
Terdongak sedikit wajah Betari Ayu. Dipaksakan diri memandang wajah Suto sambil
ucapkan kata, "Dyah Sariningrum adalah adikku!"
"Hah..."!"
Terperangah mulut Pendekar Mabuk seketika.
Terbelalak mata pemuda tampan itu, dan mematunglah ia di depan Betari Ayu.
Debar-debar jantung Suto seakan ingin meledak menjebol dada demi mendengar
jawaban dari mulut berbibir manis milik Nyai Betari Ayu itu.
"Saat kau sebutkan nama adikku, saat kau mengigau dalam sakitmu memanggil-
manggil nama adikku, hatiku pedih sekali, Suto. Perih, tapi juga bangga. Aku
tahu kau sangat mencintai adikku walau belum pernah bertemu di alam nyata,
kecuali di alam mimpi dan di alam
semadimu. Tapi aku percaya, kau punya cinta yang tulus kepadanya. Itulah
sebabnya aku tak banyak menuntut dari cinta yang tumbuh di hatiku, Suto. Karena
aku tahu, hatimu itu ingin kau persembahkan kepada adikku
sendiri. Aku hanya bisa merawat cinta untuk diriku sendiri, dan membagikan kasih
sayang kepadamu yang jauh lebih dalam dari seluruh kasih sayang yang pernah
ada." "Mengapa kau tidak pernah mengatakannya padaku, Nyai?"
"Kau tidak mudah percaya. Kau akan tuduh aku
mempengaruhi jalan pikiranmu. Kau akan anggap aku
berdusta. Dan yang terakhir, kau bisa benci padaku karena salah duga. Aku tak
ingin kau benci, Suto. Aku juga tak ingin membencimu. Karenanya, semua
kupendam dan kujadikan rahasia pribadi buat diriku sendiri."
Saat ucapkan kalimat terakhir, Nyai Betari Ayu
tundukkan wajahnya, ia menggigit bibirnya sendiri, bak menahan luapan rasa yang
tak mampu terucap lewat
kata. "Nyai...," Suto ingin ucapkan sesuatu, namun ia tak mampu menyampaikannya.
Kerongkongannya bagai
tersekat gumpalan rasa yang tak tahu apa namanya.
Betari Ayu mengangkat wajahnya pelan-pelan.
Tangannya menggenggam pundak Suto sambil ucapkan
kata, "Pergilah. Berangkatlah ke Puri Gerbang Surgawi.
Temui dia dan sampaikan salamku kepadanya! Kabarkan keadaanku baik-baik saja!"
Suto makin tak tahu harus bilang apa melihat
kebijakan begitu agung dari Nyai Betari Ayu. Ia hanya pandang gurunya, dan si
Gila Tuak cepat menambahkan.
"Hati-hati, kau pasti akan berhadapan dengan
Siluman Tujuh Nyawa!"
Dahi Suto berkerut. "Siapa Siluman Tujuh Nyawa itu, Guru?"
Gila Tuak hanya memandang Betari Ayu, lalu
memberi isyarat dengan anggukkan kepala pelan sekali, hampir tak terlihat oleh
mata Suto. Setelah melihat isyarat itu, Betari Ayu pun tuturkan kata sebagai
jawaban pertanyaan Suto tadi.
"Nama aslinya Durmala Sanca, murid seorang
Pendeta Tibet, ia penguasa Laut Tenggara. Usianya
sudah seratus tahun, tapi masih kelihatan seperti berusia lima puluh tahun.
Durmala Sanca orang berilmu tinggi.
Jarang menginjakkan kakinya di tanah Jawa jika tidak
ada urusan penting. Salah satu ilmu kesaktiannya adalah, bisa berubah wujud
menjadi tujuh rupa yang berbeda-beda. Itulah sebabnya ia mendapat julukan di
kalangan rimba persilatan sebagai Siluman Tujuh Nyawa."
"Apakah Kakek Guru pernah bertemu dengannya?"
tanya Pendekar Mabuk kepada si Gila Tuak.
"Secara berhadapan belum pernah, ia selalu
menghindari pertemuan denganku. Antara aku dan dia tidak punya persoalan apa-
apa. Tapi dengan bibi
gurumu, Bidadari Jalang, dia pernah bentrok dan hampir saja tewas di tangan
Bidadari Jalang. Sejak itu ia tak pernah muncul lagi."
Suto Sinting angguk-anggukkan kepala. Lalu, ia
alihkan pandang kepada Betari Ayu, dan lontarkan
tanya, "Lantas, apa hubungannya dengan Dyah
Sariningrum?"
"Sejak masa mudanya, ia mengejar-ngejar adikku.
Dia ingin memperistri adikku, tapi adikku menolak dan mengadakan perlawanan.
Sampai akhirnya, Dyah
Sariningrum terkena satu pukulan darinya yang bernama pukulan 'Candra Badar'."
"Apakah pukulan itu berbahaya?"
"Sampai sekarang masih berbahaya dan tetap
bersarang di tubuh adikku. Pukulan 'Candra Badar' itu membuat adikku bagai
tahanan yang terkurung, tak bisa keluar ke mana-mana, kecuali di lingkungan
istananya."
"Mengapa bisa begitu?"
"Pukulan 'Candra Badar' membuat tubuh adikku
terbakar jika terkena sinar matahari, cahaya rembulan, atau cahaya bintang.
Jadi, baik siang maupun malam, Dyah Sariningrum tidak bisa keluar dari
istananya. Karena cahaya kunang-kunang pun bisa membuat
tubuhnya terbakar. Semua cahaya yang bersifat alam, akan membakar tubuhnya
sebelum pukulan 'Candra
Badar' itu dibuang atau ditawarkan dari tubuh adikku.
Itulah sebabnya ia tak pernah berkunjung kemari untuk menemuiku. Hanya sekali
tempo saja aku ke sana
menengok keadaannya."
Bukan hanya Pendekar Mabuk yang terkesiap
mendengar penjelasan itu, tapi si Gila Tuak pun jadi kerutkan dahi, matanya
tajam memandang Betari Ayu.
Lalu, sebelum Suto Sinting bicara, Gila Tuak mendului berkata kepada Betari Ayu,
"Mengapa kau tak pernah ceritakan padaku tentang
'Candra Badar' itu, Betari"! Aku malah baru
mendengarnya saat ini!"
"Urusan ini terlalu pribadi, sehingga tak enak jika harus kubeberkan pada orang
lain," jawab Nyai Betari Ayu.
Rupanya keadaan Dyah Sariningrum yang diceritakan
Betari Ayu membuat panas hati si Gila Tuak. Baik Nyai Betari Ayu maupun Dyah
Sariningrum adalah teman
baik semasa muda si Gila Tuak. Usia mereka sebenarnya seimbang, hanya bedanya
Betari Ayu dan Dyah
Sariningrum menguasai ilmu kecantikan abadi sehingga kelihatan tetap muda dan
cantik, seperti yang dialami oleh Bidadari Jalang, Nyai Lembah Asmara, dan


Pendekar Mabuk 07 Utusan Siluman Tujuh Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa tokoh tingkat tinggi lainnya.
Merasa teman baiknya dalam keadaan dilukai oleh
Durmala Sanca, si Gila Tuak pandangkan mata ke arah luar mulut gua. Pandangannya
kaku, dingin. Tangannya menggenggam kuat, giginya menggeletuk menahan
geram. Lalu, terdengar suaranya yang sangat berwibawa di telinga Pendekar Mabuk.
"Suto, cepat berangkat! Bebaskan kekasihmu itu dan hancurkan Siluman Tujuh
Nyawa:" "Baik, Guru!" jawab Pendekar Mabuk tegas dan bersikap patuh. "Saya pamit
sekarang, Guru!"
"Ya."
"Saya pamit, Nyai!"
"Tunggu," cegah Nyai Betari Ayu, membuat Suto menghentikan langkahnya yang sudah
sampai di mulut gua, juga membuat si Gila Tuak kerutkan dahi dalam menatapkan
pandangannya. "Bawalah cincin ini. Kau yang berhak memakainya, Suto. Bukan aku!" Nyai Betari
Ayu melepaskan Cincin Pusaka Manik Intan yang mempunyai kekuatan sangat
dahsyat itu. Tempo hari Pendekar Mabuk mengenakan di jari Betari Ayu sebagai
sikap berjaga-jaga dari serangan mendadak, karena pada waktu itu Betari Ayu
dalam keadaan terluka. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pertarungan di
Bukit Jagal").
"Sebenarnya aku ingin menitipkan cincin ini padamu sebagai ganti diriku menjaga
keselamatanmu, Nyai!"
"Tidak, Suto. Aku tidak berhak memakai cincin pusaka ini! Kaulah yang berhak
memakainya, karena
cincin ini milik bibi gurumu, Bidadari Jalang."
Si Gila Tuak segera menyahut, "Simpan saja di dalam bumbung tuakmu. Tuak itu
akan semakin mempunyai
kekuatan dahsyat jika dipakai merendam cincin itu, Suto!"
"Baik, Guru!"
"Jika keadaan sangat memaksa, kau masih bisa
memakai dan menggunakannya!"
"Baik, Guru. Saya paham!"
"Suto," Betari Ayu meraih tangan pemuda tampan itu.
"Ingatlah, kita saling menyimpan kasih sayang, tapi berikan cintamu kepada
adikku setulus mungkin, dan kumohon jangan sakiti hatinya."
"Tidak akan aku melukai hatinya maupun kulitnya.
Bahkan bayangannya pun tak berani sembarangan
kuinjak!" Senyum manis mekar di bibir Nyai Betari Ayu.
Senyum manis itu berbaur dengan rasa iba, cinta,
sayang, dan kebahagiaan. Pendekar Mabuk melirik
gurunya sebentar. Tapi karena sang Guru tidak
palingkan pandang, walau sudah ditunggu sekian lama, maka Pendekar Mabuk nekat
mencium pipi Nyai Betari Ayu. Setelah itu, Pendekar Mabuk jadi malu melirik
gurunya sendiri dan berkata pelan, "Maaf, Guru...!"
"Teruskan!" hanya itu jawaban si Gila Tuak, lalu balikkan badan dan melangkah ke
gentong tuak. Pendekar Mabuk baru akan mengulangi kembali
kecupannya tadi, namun si Gila Tuak segera menoleh kaget. Dari sana ia membentak
keras, "Yang kumaksud, teruskan langkahmu!"
"Oh, hmm... iya... anu, maaf, Guru!" Suto kaget dan jadi gelagapan. Lalu, dengan
cepat ia melesat pergi tinggalkan mulut gua.
Si Gila Tuak memandangi kepergian muridnya
sambil geleng-gelengkan kepala dan menggumam.
"Dasar murid sinting...!"
* * * 2 SATU hal yang belum diketahui secara pasti oleh
Suto, yaitu dengan apa ia harus pergi ke Pulau Serindu, yang konon jauh letaknya
dari tanah Jawa.
"Kkkam... kam... kamu tidak usah khawatir, Suto.
Aku sudah siapkan pe... pppeee... per...."
"Perawan"!"
"Husy! Bukan! Akk... aku sudah siapkan perahu untuk perjalanan kita ke sana.
Perahu itu kugunakan waktu kemari dan kusimpan di tempat yang... yang
ammm... ammm..."
"Ampuh"!"
"Aman!" sentak Dewa Racun.
Setiap Suto mendengar omongan Dewa Racun, ia
selalu merasa capek sendiri melihat orang kerdil itu terengah-engah dalam
bicaranya. Kadang Suto tak ingin mengajak Dewa Racun untuk bicara, tapi orang
kerdil berkepala botak bagian tengahnya itu justru memancing
percakapan. Kadang Pendekar Mabuk merasa tak sabar jika bicara dengan Dewa Racun
yang gagap itu. Kadang juga merasa kasihan jika Dewa Racun harus banyak
bicara. Tapi si kerdil bersenjata panah pendek itu agaknya tersinggung jika
tidak diajak bicara.
"Ap... apa... apakah kita mau mampir dulu ke
pondoknya Renggono?" tanya Dewa Racun dalam
perjalanan menuju pantai,
"Siapa itu Renggono?"
"Nama aslinya Peee... pee.... Peramal Pikun!"
"Menurutmu sendiri bagaimana" Apakah kita perlu mampir ke sana dulu atau
langsung ke pantai tempat perahumu disembunyikan?"
"Per... perrr... perasaanku tak enak sejak tadi. Ada baiknya kalau kita mammm...
maamm... maamm...."
"Kamu itu lapar atau bagaimana" Kok maem, maem, terus?"
"Maksudku, mammm... mampir ke Peramal Pikun!"
Dewa Racun bersungut-sungut merasa dilecehkan.
Pendekar Mabuk tertawa sambil tepuk-tepuk pundak
Dewa Racun, menenangkan perasaan Dewa Racun agar
tidak tersingung.
"Baiklah, kalau memang kau punya perasaan tak enak, aku tak keberatan untuk
mampir ke pondoknya
Renggono sekalian aku mau pamitan sama dia."
Pondok persinggahan Peramal Pikun terletak di tepi sungai yang sunyi, rimbun
oleh pepohonan sekitarnya.
Tepatnya, pondok itu terletak di kaki sebuah bukit tanpa nama. Enak untuk
mengasingkan diri, juga enak untuk
berlatih ilmu. Peramal Pikun bukan orang dari golongan hitam.
Tapi ia mempunyai adik yang termasuk dalam golongan hitam, yaitu Cadaspati,
murid dari Malaikat Tanpa
Nyawa yang sudah dibunuh oleh si Gila Tuak, sebelum Suto menjadi muridnya.
Cadaspati sendiri dibunuh oleh Datuk Marah Gadai. (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Pusaka Tuak Setan").
Manusia kurus kering yang sudah tua renta itu
sebenarnya adalah teman baik Dewa Racun. Semasa
Peramal Pikun menjadi muridnya Nyai Gusti Dyah
Sariningrum, ia berteman akrab dengan Dewa Racun.
Sayang sekali, Renggono jatuh cinta pada gurunya
sendiri, yaitu Dyah Sariningrum dan pernah melawan untuk memperkosanya, sehingga
ia diusir dari Pulau Serindu dan dikutuk dengan ilmu yang bernama
'Rentang Kutuk'. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pertarungan di
Bukit Jagal"). Tetapi pengaruh kutukan itu bisa ditawarkan oleh Suto, sehingga
Peramal Pikun yang tidak pernah meramal dan bila meramal
tidak pernah tepat itu, lolos dari maut yang mengancam nyawanya.
Langkah Suto Sinting tiba-tiba terhenti, tangannya meraih lengan Dewa Racun.
Berhentinya langkah
Pendekar Mabuk bikin Dewa Racun kerutkan dahi
pertanda merasa heran.
"Add... adda... ada apa, Suto?"
"Aku melihat mayat di sebelah kanan sana!" kata Pendekar Mabuk berbisik. Matanya
yang memandang ke
arah kanan segera diikuti oleh pandangan mata Dewa Racun. Dengan satu lompatan
Suto mendekati pandangan matanya, Dewa Racun juga ikut-ikutan
lompat dalam kecepatan tinggi.
Wuuttt...! Sesosok tubuh terkulai di atas batang pohon yang
tumbang. Sesosok tubuh itu sudah tidak bernyawa lagi.
Mayat perempuan itu berpakaian coklat tua ketat tanpa lengan baju. Keadaannya
tertelungkup bagai jemuran basah disampirkan di batang pohon. Perempuan bernasib
malang itu mempunyai wajah cantik, rambutnya acak-acakkan. Suto Sinting tak
asing lagi dengan wajah itu, yang tak lain adalah wajah Perawan Sesat.
Karenanya, Pendekar Mabuk sangat terkejut melihat
Perawan Sesat telah menjadi mayat di situ. Dewa Racun sendiri terperanjat,
karena dia tahu Perawan Sesat adalah salah satu dari tiga kelompok perempuan
patah hati. Temannya yang dua adalah Selendang Kubur dan Peri
Malam. Perawan Sesat inilah yang membujuk Suto
setengah mendesak untuk tetap hadir dalam pertarungan di Bukit Jagal melawan
Dirgo Mukti. "Ada apa sebenarnya" Apa yang telah terjadi di sini"
Bukankah tempat ini sudah dekat dengan pondok
kediaman Peramal Pikun?" pikir Suto dalam renungan sejenaknya.
Dewa Racun membalikkan tubuh mayat itu. Ia
terkesiap sejenak melihat permukaan dada Perawan
Sesat hangus bagai terbakar api yang amat dahsyat. Di sekitar lehernya ada
bilur-bilur luka, dan di kedua
lengannya juga ada luka terkoyak bagai sabetan senjata tajam beberapa kali.
Dewa Racun memandang mata Pendekar Mabuk.
Pendekar Mabuk masih tertegun menatapi keadaan
mayat Perawan Sesat. Lalu, Pendekar Mabuk
melayangkan pandang ke alam sekeliling. Banyak pohon tumbang atau rusak, ada
yang kering tapi masih berdiri dengan daun-daunnya yang masih tergantung
menempel. Ada bongkahan batu yang tampak pecah dalam beberapa waktu yang lalu. Juga
beberapa lubang tanah yang
terjadi bagai disemburkan dari kedalaman bumi.
"Tampaknya habis ada pertarungan hebat di sini,"
gumam Pendekar Mabuk seperti bicara pada dirinya
sendiri. Tapi Dewa Racun merasa diajak bicara,
sehingga ia pun menyahut.
"Ya. Ada pertarungan heb... heeb... hebat di sini.
Sepertinya belum laaam... laaam... lama. Bau asap dari benda terbak... bakar
masih kurasakan jelas di hiid...
hiiidung... hidungku!"
"Hmmm... siapa orang yang membunuh Perawan
Sesat ini" Setahuku Perawan Sesat punya ilmu cukup tinggi. Aku pernah
menolongnya, aku pernah
bersamanya beberapa saat, dan aku tahu sebatas apa tinggi ilmunya! Apalagi dia
punya pedang gading yang berkekuatan dahsyat! Hmmm... ke mana pedang
gadingnya" Tak kulihat ada di sekitar sini?"
Pendekar Mabuk masih terpukau melihat keadaan
mayat Perawan Sesat yang dianggap misterius itu. Tanpa pedang gading, tanpa
Selendang Kubur dan Perawan
Sesat, dadanya hangus sampai pakaiannya pun tampak habis terbakar, matanya masih
mendelik saat sebelum dikatupkan oleh Dewa Racun. Padahal Suto tahu, ilmu yang
dimiliki Perawan Sesat bukan ilmu rendahan.
Gerakannya cepat sekali, bahkan mempunyai gerak
siluman yang bisa melesat cepat pindah tempat di
kejauhan sana. Suto pernah adu kecepatan gerak pada waktu itu, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode:
"Perawan Sesat" dan "Murka Sang Nyai"). Melihat keadaan seperti ini, pastilah
lawan si Perawan Sesat mempunyai ilmu lebih tinggi lagi.
"Mungkinkah kedua pppeee... perempuan temannya itu yang membunuhnya?" tanya Dewa
Racun. "Maksudmu Selendang Kubur dan Peri Malam"
Hmmm... tidak! Menurutku bukan mereka. Sebab, aku
bisa mengukur ilmu mereka berdua dibandingkan
ilmunya Perawan Sesat masih belum seberapa. Masih
tinggi ilmunya Perawan Sesat."
"Tap... tap... tapi mengapa dia sekarang mati?"
"Pasti lawannya lebih sak... sak... sakti lagi!"
"Ah, jangan ikut-ikutan bi... bicara gagap!"
"Maaf, aku sedikit latah," kata Suto tanpa ada kesan bercanda, berarti dia tadi
memang benar-benar latah sebentar karena terbawa gaya bicara Dewa Racun.
"Dddi... dia terkena pukulan beracun. Racun itu sangat gaaa... ga... ganas,"
sambil Dewa Racun mengamat-amati mayat itu.
"Apakah bukan karena pukulan tenaga dalam yang amat tinggi?"
"Ya. Mmme... memang. Tapi ada campuran rraaa...
raa... racunnya! Lihat bagian bibirnya tampak biru."
"Itu karena dia mati. Semua mayat bibirnya tampak biru!"
"Tiddd... tidak semua. Kulit di sekitar bib... bib...
bibirnya ini kelihatan biru, dddan... dan daging di dalam kuku-kukunya itu juga
membiru. Berarti addda... ada racun yang ikut masuk ke dalam tubuhnya. Mungkin
bersamaan pukulan bertenaga tinggi, aaat... atau pukulan beracun dulu, baru
pukulan yang meng... meng...
meng...." "Mengerut"!"
"Bukan. Menghanguskan dadanya! Jeel... jelll..."
"Jelek?"
"Jelas! Jelas kematiannya disebabkan pula karena ada rrra... raa...."
"Raja?"
"Racun!" sentak Dewa Racun jengkel pada
kegagapannya sendiri.
Suto diam sejenak, memandangi mayat itu lebih dekat lagi dengan berjongkok kaki.
Lalu, ia berkata pada Dewa Racun.
"Luka di tangannya seperti luka cambuk. Juga di leher dan di bagian perutnya.
Lihat, pakaiannya sampai robek seperti habis kena cambuk keras!"
"Berrr... berr... beeer...," Dewa Racun megap-megap sambil matanya terpejam-
pejam. "Berr... berarti, ia bertarung dengan orang yang bersenjatakan cccam...
cccam... caambuk!"
"Ya. Tapi, siapa tokoh berilmu tinggi yang
bersenjatakan cambuk" Menurut cerita Peri Malam, ia pernah melihat Cadaspati
bertarung dengan Datuk
Marah Gadai dengan senjata cambuk. Cambuk itu milik Cadaspati. Tapi, Cadaspati
sudah lenyap. Mati di tangan Datuk Marah Gadai. Setelah itu... siapa lagi yang
punya senjata cambuk" Seingatku tak ada!"
"Bbberr... beeer...."
"Beranak?"
"Berarti! Berarti kita harus mencari orang yang bersenjata cambuk. Pasti dialah
pembunuh Perawan
Sesat." "Kenapa harus mencari orang itu" Aku tidak punya urusan apa-apa. Kematian
Perawan Sesat bukan
urusanku."
"Kal... kali... kalau begitu, sebaiknya kita ting...
ting...." "Tinggi?"
"Bukan. Kita ting... ting... ting...."
"Ah, kamu seperti lonceng penjual tuak saja, tang-ting, tang-ting tak jelas
artinya!" "Maksudku, ting... tinggalkan saja! Ya, tinggalkan saja mayat ini kalau memang
tak ada urusannya dengan diir... diiir... dirimu!"
Pendekar Mabuk diam sebentar. Ada sesuatu yang
dipikirkan, seperti mengganjal di hatinya. Dewa Racun pandangi wajah Suto yang


Pendekar Mabuk 07 Utusan Siluman Tujuh Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpikir. Lama sekali, baru Dewa Racun ajukan tanya.
"Add... ada... ada apa, Suto?"
"Hmm... tidak ada apa-apa! Mari kita ke pondoknya Peramal Pikun!" kata Pendekar
Mabuk, lalu melesat cepat, bagai menghilang dari depan Dewa Racun. Mata orang
kerdil itu jelalatan mengikutinya dengan
terbengong heran. Lalu, cepat ia susul Suto sambil membatin dalam hatinya.
"Mengapa gerakan Suto jadi cepat sekali" Ia seperti terburu-buru. Ada apa"
Apakah mau kasih laporan pada Renggono" Mungkin karena kata Suto, Renggono
pernah menolong Perawan Sesat, jadi ia merasa perlu memberi tahu Renggono
perihal kematian Perawan
Sesat?" Dewa Racun berhenti jarak sepuluh langkah dari
pondoknya Peramal Pikun. Mata si kerdil berambut
jarang itu terbuka lebar tak berkedip melihat dinding terbuat dari anyaman bambu
itu jebol dan berantakan.
Pondok itu juga jebol bagian atapnya, seperti habis dipakai keluar makhluk yang
bisa terbang, atau seperti habis kejatuhan seekor garuda raksasa.
Dewa Racun segera sentakkan kaki dan melesat pergi dari tempatnya menuju pondok
itu. Wajah tegangnya
memperhatikan Suto yang mencoba masuk ke dalam
pondok dengan susah, karena terhalang reruntuhan
sebagian atap. "Pikun...!" desis Suto dengan mata tak berkedip, jantungnya berdetak dengan
kuat. Di belakangnya segera menyusul masuk Dewa Racun yang juga berdesis
tegang. "Renggono...?"
Tubuh Renggono atau Peramal Pikun yang kurus
kering itu terkapar di atas balai-balai bambu bertikar anyaman pandan. Tubuhnya
dalam keadaan berdarah di bagian mulut dan telinga serta hidungnya. Melihat
letak kaki sebelah masih terkulai di luar balai-balai, berarti Peramal Pikun
baru saja berniat baringkan badan di situ dengan keadaan susah payah.
Hal yang membuat mata Dewa Racun terkesiap
adalah bintik-bintik merah yang memenuhi tubuh
Peramal Pikun. Bintik-bintik itu seperti cacar berdarah, menggelembung kecil dan
akhirnya pecah memercikkan darah segar. Sedangkan wajah Peramal Pikun sudah
seputih kapas, napasnya sangat tipis, namun masih bisa membuka mata sedikit.
"Racun cobra...!" desis Dewa Racun setelah memandangi bintik-bintik merah di
sekujur tubuh Peramal Pikun, sampai pada bagian daun telinganya
juga. "Pikun, apa yang telah terjadi?" tanya Pendekar Mabuk sambil menahan kegeraman
di dalam hatinya
melihat nasib Peramal Pikun yang mengenaskan itu.
"Barrru... sajaaa... diiia... dia pergi," ucap Peramal Pikun dengan lirih sekali
dan susah payah melontarkan nya.
"Siapa" Siapa yang menyerangmu?" desak Suto.
Dewa Racun menyahut, "Renggono, kau pasti ter...
terkena pukulan... pukulan 'Racun Sengat Cobra'
Dddaan... ddaan... pemilik pukulan itu aad... ada... ada lah Siluman Tujuh
Nyawa! Bbbe... benarkah yang
datang menyerangmu aaad... ada... adalah Siluman
Tujuh Nyawa itu?"
Peramal Pikun makin berat helakan napas. Ada
sesuatu yang ingin dikatakannya, tapi sulit sekali keluar.
Napas dan suara bagai berdesak ingin lebih dulu keluar dari mulut.
Melihat keadaan sudah separah itu, Suto cepat-cepat ambil bumbung tuaknya yang
sejak tadi tersandar di punggung bagaikan pedang. Suto buka tutup bumbung, dan
ia tenggak tuak beberapa teguk, sebagian di
pakainya berkumur-kumur di mulut. Lalu, serta-merta tuak itu disemburkan ke
sekujur tubuh Peramal Piku Buuurs... bruus...!
"Ahhg... aahg...!" Peramal Pikun gelagapan.
Suto tuang tuak ke dalam mulutnya lagi, lalu
semburkan kembali ke tubuh Peramal Pikun. Bruuus...!
Bruuus...! Bweeerrs...!
"Ahhhhggg...!"tubuh Peramal Pikun mengejang kaku, kepalanya terdongak ke atas
dengan mata tuanya
terpejam rapat-rapat. Makin lama dari tiap lubang keluar asap kehijau-hijauan.
Peramal Pikun mengerang dengan suara tertahan bagaikan orang sekarat. Tubuh
kakunya menggeliat-geliat. Asap semakin banyak keluar dari tiap lubang pori-pori
tubuhnya. Asap kehijauan itu
mengabarkan bau aroma sangit, seperti rambut terbakar.
Melihat hal itu, Dewa Racun mundur tiga tindak.
Tegang dan merasa aneh melihat apa yang dilakukan
Pendekar Mabuk. Tetapi Pendekar Mabuk tetap tenang memandang walau ia pun mundur
satu tindak. Setelah asap kehijauan membungkus tubuh Peramal
Pikun, asap itu mulai mereda tipis, dan makin lama makin habis. Tapi tubuh
Peramal Pikun tidak sekejang tadi. Tubuh itu terkulai lemas dengan mata
terpejam. Lemas bagai tanpa tulang dan urat sedikit pun. Dewa Racun menyangka Peramal
Pikun mati. Tapi melihat
dari gerakan dadanya yang turun naik dengan pelan itu, Dewa Racun yakin bahwa
Renggono tidak mati.
Hal yang kemudian membuat Dewa Racun tak
berkedip menatap tubuh Peramal Pikun itu ialah keadaan yang bersih di tubuh itu.
Bintik-bintik merah seperti cacar berdarah itu sudah tidak ada. Lenyap sama
sekali. Bahkan sisa darah yang semula membekas di hidung,
bibir, dan telinga, juga lenyap tak berbekas. Peramal Pikun bagaikan orang
sedang tertidur dalam istirahat tenangnya.
Pendekar Mabuk sedikit sunggingkan senyum. Wajah
cemas hilang, berganti kelegaan yang menghadirkan
sorot pandangan mata teduh. Bahkan ia segera
melangkahkan kaki keluar untuk memandang sekeliling tempat itu, sambil melewati
Dewa Racun dan berkata,
"Biarkan ia tidur sejenak."
Dewa Racun tidak mengucapkan sepatah kata pun,
karena ia masih terpaku di tempat, terheran-heran
melihat cara penyembuhan yang dilakukan Pendekar
Mabuk. Kelihatannya sangat sederhana, tuak diminum, dikumur-kumur, lalu
disemburkan. Mudah sekali, tapi sebenarnya punya kekuatan ilmu tinggi.
Pengobatan seperti itu belum pernah dilihat Dewa Racun
sebelumnya. "Aneh sekali," Dewa Racun membatin, "Begitu sederhana tapi punya khasiat yang
amat tinggi. Luka itu lenyap tanpa menunggu waktu berlama-lama. Peramal
Pikun kelihatan kembali segar tubuhnya. Ilmu macam apa sebenarnya yang dimiliki
anak muda itu?"
Dewa Racun cepat berkelebat menyusul Suto di luar
pondok. Pendekar Mabuk duduk di atas sebuah batu
dengan mata memandang dedaunan.
"Saam... sampai kapan dddii... dia siuman?"
"Dia tidak pingsan. Dia hanya tertidur sebentar. Tak lama dia akan bangun.
Tapi...," Suto diam, berkerut dahi, dan melepaskan kerutannya, seakan pasrah
pada keadaan. Dewa Racun jadi penasaran, lalu ajukan pertanyaan
yang mendesak, "Tapi kena... kenapa?"
"Dia akan lupa padaku."
"Maks... maksud... maksudmu?"
"Ilmu 'Sembur Husada' adalah jenis pengobatan yang bersifat sangat gawat. Korban
bisa sembuh, tapi dia akan lupa ingatan tentang diriku. Dia tidak ingat kapan
bertemu dengan aku."
"Mengapa bisa begitu?"
"Semburan tuakku membuat ingatan masa lalunya tersapu habis. Terutama ingatan
masa lalu tentang
diriku. Tapi, penyakitnya pun tersapu habis tak
berbekas."
"Heeb... hebb... hebat sekali ilmumu."
"Ah, sekadar ilmu pengobatan biasa, untuk menolong sesama," Pendekar Mabuk
merendahkan diri. Dewa Racun geleng-geleng kepala, ia segera duduk di batu depan
Suto dan bertanya,
"App... apakah... ilmu 'Sembur Husada' bisa untuk...
untuk mengobati segala macam luka raac... raac...
racun?" Pendekar Mabuk sunggingkan senyum rikuh, namun
ia anggukkan kepala, "Ya. Bisa."
"Wah, ilmuku biiis... biisa... bisa kalah. Seemmua...
semua racunku biiis... bisa kau tawarkan dengan ilmu Sembur Hus... Huss...."
"Di sini tak ada ayam, tak perlu berhas-hus, has-hus!"
Suto terkikik geli. Dewa Racun bersungut-sungut.
Sebelum Dewa Racun bicara lagi, tiba-tiba dari
pondok reot itu muncul Peramal Pikun, seperti baru saja bangun tidur, ia menguap
di depan pintu, dan segera berseri setelah memandang Dewa Racun.
"Dewa Racun, oh... rupanya kau datang membawa teman baru" Hmm... siapa namanya"
Kulihat anak muda itu cukup gagah dan ganteng."
Dewa Racun kerutkan dahi, lalu ucapkan kata lirih
seperti bicara pada diri sendiri,
"Benar juga apa katamu, Sut... Sut... Suto! Dia tidak mengenalimu laaa...
laaa... lagi!"
"Tak apa. Kau bisa membimbing ingatannya dengan menceritakan tentang diriku."
Peramal Pikun mendekati Dewa Racun dan Suto, tapi
ia bersikap tak kenal Suto dan merasa baru kali itu
melihat Suto. Dewa Racun segera ajukan tanya,
"Kau sama sekali tak mengenal anak muda ini?"
"Kalau kukenal namanya, sudah kusapa dia sejak tadi! O, ya... siapa namamu, Anak
Muda?" "Suto...!"
"Hmmm... Suto..." Ya, sepertinya aku pernah dengar, tapi di mana dan kapan. Aku
lupa. Maklum sudah tua, sudah waktunya pikun lagi!" Peramal Pikun nyengir
terkekeh. "Dia yang baru saja sembuhkan kamu, Renggono!"
"Sembuhkan aku" Hmm...?" Renggono kerutkan dahi mengingat-ingat. "Seingatku, aku
tadi dapat serangan dari orang tinggi besar menggendong tambang di
pundaknya...."
"Tinggi, bess... besar..." Gendong tambang di pun...
pundak?" "Ya. Orang itu serang aku, karena ia tersinggung dengan jawabanku. Dia tanyakan
di mana murid si Gila Tuak, dan aku bilang agar dia cari sendiri di setiap
gentong tuak, lalu dia marah. Dia serang aku habis-habisan dan...."
"Dia itulah yang... yang... yang bernama Dadung Amuk!" sela Dewa Racun.
"Siapa Dadung Amuk itu?"
"Oor... or... or... orang kepercayaan Siluman Tujuh Nyawa! Pantas kaal...
kaaall... kalau kau kena pukulan
'Racun Sengat Cobra'!"
"Dadung Amuk"!" gumam Pendekar Mabuk. "Dia cari aku" Untuk apa dan ke mana dia
sekarang?"
3 KEPERGIAN ke Pulau Serindu tertunda karena hati
Suto dibuat penasaran oleh dua kejadian aneh, yaitu kematian Perawan Sesat dan
penyerangan terhadap diri Peramal Pikun. Sesuatu yang amat membuat penasaran
hati Suto adalah ciri-ciri orang yang menyerang Peramal Pikun. Kepada Dewa
Racun, Peramal Pikun
mengatakan, bahwa orang yang menyerangnya dengan
sebuah pukulan 'Racun Sengat Cobra' itu adalah orang yang tinggi, besar, matanya
lebar, berkumis tebal
melintang, jari-jari tangannya besar, alis juga tebal.
Pakaiannya komprang, baju tak dikancingkan.
"Menurutku, orang itu bukan bernama Dadung
Amuk," kata Suto dalam perjalanan menuju pantai. "Aku pernah jumpai orang yang
berciri-ciri begitu."
"Dddi... di... di mana kamu pernah jumpa orang itu?"
"Di sebuah desa nelayan. Nanti desa itu akan kita lewati."
"App... appa... apakah dia penduduk asli desa itu?"
"Ya. Dia menetap di desa itu!" jawab Suto memastikan diri.
Dewa Racun diam memikirkah jawaban-jawaban
Suto. Saat berikutnya ia perdengarkan suara gagapnya lagi,
"Set... set... seet... setahuku, Dadung Amuk tidak pernah tinggal menetap di
sebuah desa. Ia selalu ikut ke mana pun Siluman Tujuh Nyawa pergi, karena ia
termasuk tangan kanannya Siluman Tujuh Nya... Nya...
Nyawa! Ilmunya cukup ting... ting... tinggi, karena ia termasuk murid dari
Siluman Tujuh Nyawa."
"Setahuku," kata Pendekar Mabuk setelah diam sesaat, "Orang yang punya ciri-ciri
seperti warok, bukan bernama Dadung Amuk, tapi bernama Singo Bodong!
Dan dia tidak punya ilmu sedikit pun! Ia orang lugu!"
Pendekar Mabuk ingat saat ia mengejar Peri Malam
dan masuk ke sebuah desa, di situ ia menemukan sebuah kedai. Suto mengisi
tuaknya di kedai tersebut. Tapi ia diganggu oleh penampilan seseorang yang
bertubuh tinggi besar, jarinya ibarat sebesar pisang, semuanya mirip dengan orang yang
diceritakan Peramal Pikun.
Pendekar Mabuk sempat menumbangkan orang itu, dan
orang itu bernama Singo Bodong. Bahkan waktu
bermalam di keluarga Kriyo Suntuk, Singo Bodong ikut hadir sebagai pendengar
saat Suto menuturkan kisah kependekaran para tokoh-tokoh dunia persilatan. Singo
Bodong ikut dalam kelompok orang-orang pengagum
Suto Sinting. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Darah Asmara Gila").
Jika benar orang yang ciri-cirinya diceritakan oleh Peramal Pikun adalah Singo
Bodong, yang mungkin
juga bergelar Dadung Amuk, maka Suto benar-benar
terkecoh kala itu. Ia menyangka Singo Bodong orang polos dan lugu dalam hal
keilmuannya, tapi ternyata justru berilmu tinggi dan berbahaya, ia bisa
melumpuhkan Peramal Pikun yang punya ilmu cukup
tinggi itu, juga bisa melumpuhkan Perawan Sesat.
Sebab menurut dugaan Dewa Racun, orang yang
membunuh Perawan Sesat itu juga orang yang sama
dengan yang telah menyerang Peramal Pikun. Luka
koyak pada beberapa tubuh Perawan Sesat diduga
merupakan luka akibat cambukan, dan Dewa Racun
tahu, bahwa Dadung Amuk banyak menggunakan
senjata cambuk dalam pertarungannya. Sedangkan
setahu Suto, Singo Bodong tidak pernah membawa-
bawa cambuk yang berupa tali di pundaknya. Inilah beda gambaran antara Dadung
Amuk dengan Singo Bodong.
"Ada apa dia mencariku, sehingga dia membunuh Perawan Sesat dan melukai Peramal
Pikun?" tanya Pendekar Mabuk seakan bicara pada dirinya sendiri.
Dewa Racun mendengar dan menanggapinya,
"Ku... ku... kurasa, kematian Perawan Sesat tid...
tidak ada hubungannya dengan pencarian dirimu. Ku...
kurasa nasib perempuan itu hampir sama dengan nasib Peramal Pikun."
"Maksudmu?"
"Per... peeer... perkelahian itu timbul karena Dadung Amuk tersinggung, atau
merasa jengkel dengan jaaa...
jaaa...." "Janda?"
"Bukan. Jengkel dengan jaaa... jawaban Perawan Sesat. Seb... seeeb... seeb...."
"Sebul?"
"Sebab! Sebab, Dadung Amuk orang yang mudah


Pendekar Mabuk 07 Utusan Siluman Tujuh Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersinggung dan cepat marah. Kaaal... kaaal... kalau sedang marah, tak segan-
segan membunuh orang
walaupun perkaranya kee... keee...."
"Kecil!"
"Bukan! Eh, iya... kecil! Perkara kecil bisa bikin Dadung Amuk bunuh ooor...
orrr... orrr..."
"Orok?"
"Orang!" sentak Dewa Racun.
"Kau tahu banyak tentang dia rupanya?"
"Kka... kare... karena dia peer... pernah mengamuk di Puri Gerbang Surgawi.
Ak... aku... aku pernah terdesak melawannya."
Semakin sangsi hati Suto. Jika benar Singo Bodong
itu adalah Dadung Amuk, tak mungkin Dewa Racun
terdesak melawan Singo Bodong. Tapi pengakuan Dewa Racun itu agaknya bukan
pengakuan yang dibuat-buat.
Dia bukan orang yang punya kebiasaan menipu.
Jika benar Dadung Amuk itu adalah Singo Bodong,
maka wajarlah jika ia mengetahui nama Pendekar
Mabuk. Tapi tidak wajar jika dia mencari Suto sampai membunuh Perawan Sesat atau
melukai Peramal Pikun.
Langkah Pendekar Mabuk pun terhenti kembali. Kali
ini Dewa Racun menabrak Suto dari belakang, karena dia tidak tahu bahwa Suto
akan menghentikan
langkahnya, ia sempat mengomel,
"Lain kali kalau mau berhenti kasih tan... tan... tanda!
Jadi aku tidak menabrakmu!"
"Kita sudah sampai di batas desa yang kuceritakan tadi."
"Hmmm... kkaal... kalau begitu, mari kita cari orang yang... yang kamu bilang
beer... berr... bernama Singo
Dobong!" "Singo Bodong!" Pendekar Mabuk membetulkan.
"O, iya. Singo Bodong!"
"Tak usah jauh-jauh mencarinya," kata Suto. "Kita bisa nongkrong di kedai yang
dulu pernah kusinggahi itu. Pasti cepat atau lambat kita bisa bertemu Singo
Bodong. Dia suka nongkrong di kedai itu, karena di sana ada jual arak. Singo
Bodong suka minum arak. Kita bisa sergap dia di sana!"
Sebuah kedai yang dulu pernah disinggahi Suto,
keadaannya masih sama. Bedanya, dulu kedai itu hanya ditunggui oleh pemiliknya
seorang perempuan tua kurus.
Sekarang perempuan tua itu bersama suaminya, yang
juga kurus badannya.
Kedai itu mempunyai bentuk meja yang berkeliling
dalam bentuk huruf 'U'. Meja itu panjang dan
mempunyai bangku yang panjang pula. Saat Suto dan
Dewa Racun tiba di kedai itu, di sana sudah ada empat pembeli, dua di meja yang
berhadapan dengan Pendekar Mabuk dan Dewa Racun, dua lagi ada di samping depan
Pendekar Mabuk. Seperti biasa, pertama kali yang
dilakukan Suto adalah pesan tuak untuk ditambahkan ke dalam bumbung tuaknya.
Dua pembeli yang duduk berseberangan meja dengan
Suto selalu cekikikan menertawakan bentuk tubuh kerdil Dewa Racun. Mereka
sebentar-sebentar melirik,
berbisik, cekikik-cekikik, sambil menikmati
makanannya berlalap pete. Dewa Racun menahan
kejengkelan hati, sebab ia tahu dirinya ditertawakan.
Bahkan yang berbaju hijau berseru kepada pemilik
kedai. "Mak, Mak... tolong ambilkan kerupuk gendar di depan bocah cilik itu, Mak!"
Sebelum pemilik kedai mengambil kerupuk gendar,
Dewa Racun sudah lebih dulu mengambilkannya, sambil berkata,
"Tak usah merepotkan si Mak, Kang.... Ini kuambil...
kuambilkan! Te... te... terimalah!"
Wuuuttt...! Dewa Racun melemparkan kerupuk gendar kepada si
baju hijau. Tangan si baju hijau berkelebat menangkap, claapp...! Ia tersenyum
menunjukkan ketangkasannya.
"Terima kasih, Nang! Kecil-kecil sudah ringan tangan besok gedenya pasti panjang
tangan, he he he...!" si baju hijau tertawa, temannya si baju hitam juga
tertawa. Temannya itu segera memotong kerupuk gendar
tersebut, lalu keduanya sama-sama mencaplok kerupuk gendar yang agaknya baru
saja digoreng sehingga
terdengar kriyuk-kriyuk. Orang berbaju putih yang ada di depan samping Pendekar
Mabuk itu jadi kepingin dan dia mengambil sendiri kerupuk itu lalu menyantapnya
dengan nikmat. Pendekar Mabuk diam-diam sudah menaruh curiga
pada tindakan Dewa Racun. Mata Pendekar Mabuk
memandangi wajah dua orang yang sebentar-sebentar
cekikikan menertawakan Dewa Racun itu. Makin lama
makin jelas ada perubahan di wajah kedua orang
tersebut. Dari pori-pori wajahnya keluar rambut kecil-
kecil. Rambut itu makin lama makin cepat
bertumbuhnya, sehingga wajah orang itu mulai
menghitam samar-samar.
Pemilik kedai dan dua orang di samping depan Suto
itu terperangah melihat perubahan di wajah dua orang itu. Bahkan yang berbaju
putih berseru, "Kang, Kang...! Kenapa wajah kalian itu" Banyak rambutnya!"
Orang berbaju hitam memandang temannya dan
berkata, "Iya. Wajahmu ada rambutnya itu, Min!"
Yang dipanggil Min juga berkata kepada si baju
hitam, "Wajahmu sendiri banyak rambutnya, Jo"!"
Lalu, kedua orang itu saling tegang. Mereka
mengusap-usap rambut di wajah, mengibas-
ngibaskannya, tapi rambut tetap tumbuh dengan cepat.
Makin lama makin banyak. Orang itu ketakutan dan
panik, ia berdiri dan melepas bajunya. Bajunya
digosokkan ke wajah. Tapi pertumbuhan rambut begitu cepat dan semakin lebat.
Bahkan bukan hanya di
wajahnya saja, melainkan di dada, pundak, lengan, serta sekujur tubuh menjadi
berambut lebat. Rambut
kepalanya sendiri menjadi meriap panjang.
"Kenapa kita ini, Jo..."! Ooh... gatal sekali! Uuh...!"
"Kita jadi seperti monyet, Min! Aduh, gatal sekali rambut-rambut ini"! Oooh...
bagaimana ini, Min"!"
Suasana menjadi gaduh. Kedua orang itu garuk-garuk dan berpola serba salah.
Rambut makin menutup sekujur tubuhnya. Mereka jejeritan sambil meraungkan tangis
ketakutan. Satu dari mereka lari ke bawah pohon dan
menggosok-gosokkan punggungnya dengan batang
pohon itu. Temannya pun menyusul, sehingga akhirnya mereka jadi bahan tontonan
orang banyak. "Mungkin dia keracunan kerupuk gendar yang
dimakannya tadi!" kata orang berbaju merah, yang duduk di samping orang berbaju
putih. Yang berbaju putih menyanggah.
"Ah, kurasa kerupuk itu tidak ada racunnya. Buktinya aku juga makan kerupuk itu
dan tidak tumbuh rambut seperti mereka!"
Dewa Racun tertawa dengan mulut dibekap pakai
tangannya sendiri. Pendekar Mabuk melirik dan
membatin, "Tak salah lagi dugaanku, pasti dia yang bikin ulah terhadap dua orang
itu. Tapi, biar sajalah. Biar dua orang itu belajar untuk tidak menertawakan
kecacatan seseorang. Biar kapok mereka! Cuma... diam-diam hebat juga Dewa Racun
ini. Pasti saat ia lemparkan kerupuk tadi, ia sudah salurkan racun di dalam
kerupuk yang membuat pertumbuhan bulu kedua orang itu
menjadi cepat dan lebat."
Ulah Dewa Racun mendatangkan banyak orang.
Mereka menonton kedua orang berbulu itu dengan
kasihan dan geli, karena gerakannya menjadi seperti monyet kegatalan. Tontonan
itu memancing seseorang untuk datang melihat, dan orang itulah yang ditunggu-
tunggu oleh Suto.
Dewa Racun terkesiap sejenak, lalu berbisik pada
Suto, "Lihat ooor... orr... orang yang baru ddaaa... daa...
datang itu. Dialah... dialah yyyaaah... yyyang namanya Dadung Amuk!"
Suto kerutkan dahi. Setahu Suto, orang tinggi besar yang baru datang itu bernama
Singo Bodong, bukan
Dadung Amuk. Dan, dipundaknya tidak ada tambang
seperti ciri-ciri Dadung Amuk. Maka Suto pun
membantah. "Dia bukan Dadung Amuk. Dia yang kukatakan tadi bernama Singo Bodong!"
"Buk... buk... bukan! Dia itu Dadung Amuk. Aaak...
aaak... aku pernah ketemu dengan dia. Dddi... dia pasti mengenaliku, Suto!
Kaaal... kalau... kalau tidak percaya, cobalah kau panggil dia!"
Orang berkumis tebal yang jari-jarinya besar dan
mengenakan gelang akar bahar itu tertawa keras melihat ulah kebingungan dua
manusia berbulu itu.
"Huaaa, ha ha ha ha...! Ini baru tontonan segar, hua, ha ha ha...!"
Dari tempat duduknya di kedai itu, Suto mengambil
sebutir jagung rebus, yang diambilnya dari kumpulan jagung rebus di atas meja.
Biji jagung rebus yang lunak itu disentilkan ke betis orang tinggi besar
tersebut. Tasss...! Biji jagung melesat cepat, mengenai betis yang
sebesar gedebong pisang. Plik...!
"Aaauh...!" orang tinggi besar itu tiba-tiba menjerit dan jatuh ke tanah dalam
keadaan terduduk, ia
mengerang sambil memegangi betisnya yang tiba-tiba sakit sekali bagai dipatok
ular berbisa, ia meraung
sambil memaki-maki kesakitan,
"Babi bunting! Siapa yang lempar kakiku pakai batu besar, hah"! Kucing kurap!
Kambing kudis! Auuooh..
sakitnya, Diamput!"
Pendekar Mabuk berbisik kepada Dewa Racun,
"Kalau dia orang berilmu tinggi, tak mungkin akan meraung kesakitan hanya
terkena sentilan jagung rebus!"
"Aneh"!" gumam Dewa Racun sambil memandangi orang besar itu dengan mata
terbengong. Lalu, ia segera bisikan kata pada Suto.
"Setahuku, Ddda... Dadung Amuk tidak bisa
kesakitan seperti itu. App... aap... apalagi hanya kena sebutir jagung, walau
kau isi tenaga dalam, terkena tendangan dadanya ser... ser... seribu kali juga
tidak akan mengaduh begitu."
"Itu tandanya dia bukan Dadung Amuk!"
"Tid... tidak... tidak mungkin. Dia pasti Dadung Amuk. Aku kenali suara tawanya
tadi!" Orang-orang yang menonton dua manusia berbulu itu
sebagian memandang dan mengerumuni orang besar
yang kesakitan dan duduk di tanah. Betis orang itu memar membiru sebesar
kelereng. Jelas itu karena
tenaga dalam Pendekar Mabuk yang disalurkan melalui sebutir jagung rebus tadi.
Jika tidak dialiri tenaga dalam, tak mungkin bisa membekas biru dan membuat
orang tinggi besar bagaikan lumpuh seketika. Tapi, tentu saja tenaga dalam itu tidak
berbahaya. Suto Sinting tidak ingin mencelaki orang tak bersalah.
"Ada apa ini"!" Suto tampil dengan lagak tidak tahu-
menahu. "Oh, kamu..."! Kebetulan, kakiku sakit sekali, ada yang melemparnya pakai batu
besar. Entah siapa
orangnya dan entah di mana batunya! Aduuuh... tolong sembuhkan kakiku ini,
sepertinya lumpuh dan tak bisa dipakai berdiri lagi!"
"Mungkin kena kencing kodok, Kang!" kata Suto dengan kalem. Kemudian betis itu
diperiksanya sebentar, dan tiba-tiba ditepuk dengan keras. Plakkk...!
"Wadooow...!" teriak orang itu dengan mulut lebar menganga. Teriakan itu justru
ditertawakan oleh
beberapa orang, karena wajah angker orang tinggi besar itu kelihatan lucu dalam
keadaan meraung kesakitan begitu.
"Kamu ini bagaimana" Kusuruh menyembuhkan
malah ditabok! Dasar murid sinting! Apa begitu perintah gurumu si Gila Tuak jika
harus menolong orang"!"
"Maaf, memang begitulah caraku mengobati penyakit seperti ini! Kalau kau tak
terima, kukembalikan lagi penyakitnya!" seraya Suto angkat tangannya untuk
menabok betis lagi,
"Eeeh, jangan, jangan! Sudah. Sudah cukup...!" orang itu menggerak-gerakkan
kakinya. "Hmmm... kok rasa sakitnya jadi hilang seketika" Tadinya urat kakiku
terasa kaku, sekarang jadi lemas," sambil ia sentak-sentakkan kakinya ke depan.
Plokkk...! Tiba-tiba ada orang yang terkena sentakkan kaki itu.
Orang itu hanya memekik kecil, lalu mundur. Tidak
mengalami luka apa pun. Orang besar itu justru
mengomel. "Lain kali kalau ada orang sedang goyang-goyangkan kaki jangan di depannya,
tahu"! Kalau kena begitu
bukan salah kakinya!"
Orang besar itu berdiri, mencoba berjalan mondar-
mandir. Bahkan melonjak-lonjak kecil, ia pun akhirnya nyengir kepada Pendekar
Mabuk. "Enteng sekali, Suto! Tak ada rasa sakit sedikit pun!
Terima kasih atas pertolonganmu, Pendekar Mabuk!"
Lalu, dia segera mendekat dan menepuk-nepuk
pundak Suto, "Kapan kau tiba di desa ini" Kapan datangnya, Suto?"
Pendekar Mabuk tidak langsung menjawab, tapi
melirik tangan orang itu yang menepuk-nepuk
pundaknya. Orang itu cepat-cepat hentikan gerakan
tangannya dan menarik tangan sambil cengar-cengir
malu. "Maaf, bukan maksudku berkurang ajar padamu. Aku gembira sekali kau datang dan
tentunya kau menceritakan kisah pertempuran tokoh-tokoh di dunia persilatan, seperti waktu di
rumahnya Kriyo Suntuk itu, bukan?"
"Apa benar kau yang bernama Singo Bodong?"
"O, ya jelas! Jelas!" Singo Bodong busungkan dada.
"Orang perkasa begini mana ada lainnya kecuali Singo Bodong! Semua penduduk desa
sini tahu kalau orang
gagah dan ganteng seperti ini adalah Singo Bodong! Ha ha ha ha...! Ayo kutraktir
minum kau! Mau minum Arak
Mujolangu atau Tuak Kebalen?"
Dewa Racun garuk-garuk kepala melihat keakraban
Pendekar Mabuk dengan orang yang disangkanya
Dadung Amuk itu. Di dalam hati Dewa Racun masih
membantah penglihatannya.
"Tak mungkin Dadung Amuk seperti ini. Tendangan kakinya yang tak sengaja
mengenai orang tadi, membuat orang itu tidak apa-apa. Padahal angin tendangan
Dadung Amuk sudah cukup membuat mulut orang
menjadi pecah. Baru anginnya saja begitu, apalagi
tendangan langsungnya. Hmmm... dia sepertinya
memang bukan Dadung Amuk, tapi mataku belum rabun
dan belum pikun, aku lihat jelas orang itu adalah Dadung Amuk. Anehnya dia
sangat akrab dengan Suto"! Apakah dia mengenaliku juga" Seharusnya dia
mengenaliku sebagai orang Puri Gerbang Surgawi, sebab aku pernah bertarung dengannya
beberapa waktu yang lalu."
Pendekar Mabuk mengajak Singo Bodong duduk di
dalam kedai, dan memperkenalkan Dewa Racun kepada


Pendekar Mabuk 07 Utusan Siluman Tujuh Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Singo Bodong. "Ini temanku, Dewa Racun julukannya. Dia orang sakti, berilmu tinggi. Jangan
coba-coba menghina
kekerdilannya, kau bisa dibuat berbulu seperti kedua orang tadi."
"Oh, eh... hmm... ya... aku percaya. Aku tak akan menghina.... Hmmm... kau mau
minum juga, Dewa
Racun?" Pertanyaan itu tak dijawab oleh Dewa Racun,
melainkan ia ganti bertanya kepada Singo Bodong,
"Bukkk... bukankah kamu yang ber... berr... bernama Dadung Amuk?"
"Bukan. Namaku Singo Bodong," jawab Singo Bodong dengan polos, tanpa ngotot
sedikit pun. "Setahuku kam... kamu Dadung Amuk, orangnya
Siluman Tujuh Nyawa!"
Singo Bodong tertawa geli, "Mana ada siluman kok punya tujuh nyawa" Orang mana
dia itu?" "Jja... jang... jangan berlagak bodoh, Dadung Amuk!"
sentak Dewa Racun dengan kegeramannya. Singo
Bodong ketakutan dan segera berlindung di belakang Suto.
"Kenapa dia galak padaku, Suto?"
* * * 4 KALAU tidak ditahan Suto, Dewa Racun sudah
melancarkan pukulan tenaga dalamnya ke arah Singo
Bodong. Pukulan itu menyentak begitu saja melalui
telapak tangan kiri Dewa Racun. Karena Suto berada di depan Singo Bodong, maka
pukulan itu dihadang dengan tangan kanan Suto. Deebb...!
Tubuh Dewa Racun terguncang sedikit, seperti mau
jatuh. Tubuh Pendekar Mabuk juga meliuk sedikit ke belakang. Itu pertanda
pukulan tenaga dalam yang
dilancarkan Dewa Racun cukup besar. Setidaknya dapat membuat dada Singo Bodong
memar membiru jika
terkena pukulan itu.
"Suto, mengapa temanmu memusuhiku" Aku tidak
menghinanya dan tidak pula meremehkan kesaktiannya.
Sumpah! Aku tidak menghinanya sedikit pun! Apa
salahku hingga dia memusuhi aku"!"
"Tenanglah. Temanku ini tidak suka dengar orang banyak omong!"
"O, ya ya ya...! Aku akan diam," kata Singo Bodong kelihatan sangat ketakutan.
Dari raut mukanya saja sudah dapat diketahui, Singo Bodong benar-benar
ketakutan hingga wajahnya jadi pucat.
"Dewa Racun, kurasa ada sedikit kesalahpahaman di antara kita. Sebaiknya kita
selesaikan dengan baik-baik."
"Aku masih tidak percaya kalau dia buk... buk...
bukan Dadung Amuk! Aku kenal betul lagak-lagaknya!"
Ilmu Ulat Sutera 5 Wanita Iblis Karya S D Liong Para Ksatria Penjaga Majapahit 15
^