Algojo Gunung Sutra 2
Pendekar Naga Putih 03 Algojo Gunung Sutra Bagian 2
kelihatan menegang.
"Tidak salah penglihatanmu. Akulah Surya Kencana yang berjuluk si Tangan Pedang
itu! Hm, Gandaruwo Hutan Jagal.
Kalau kau bukan seorang pengecut, pasti mau mengakui perbuatanmu yang telah
membantai lima belas orang pemuda secara kejam di hutan dekat Kaki Gunung Salaka
dua minggu lalu! Apakah kau akan
menyangkal?" tanya Ki Surya Kencana.
Sengaja nada suara pada kata-kata
'Pengecut' diberikan tekanan agar reaksi Gandaruwo Hutan Jagal terpancing. Namun
demikian, hatinya dibuat setenang mungkin.
Memang pada umumnya tokoh-tokoh
golongan hitam, paling tabu dengan kata-kata pengecut. Masalahnya, mereka rata
rata memiliki hati sombong dan paling suka menonjolkan kekejamannya.
"Hm, jadi kau sengaja turun gunung untuk mencariku, orang tua peot" He he he....
Memang sudah lama ingin kurasakan ketajaman tangan pedangmu! Nah! Kalau memang
aku yang melakukannya, apa yang akan kau perbuat?" tantang Gandaruwo Hutan Jagal
sambil bertolak pinggang.
Sikapnya angkuh sekali.
"Hm. Kalau memang demikian, harus ikut aku ke Gunung Salaka untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan biadabmu itu!" kata Ki Surya Kencana bernada
mengancam. "He he he...! Lakukanlah kalau mampu, orang tua peot!" tantang Gandaruwo Hutan
Jagal sambil memperdengarkan tawanya yang panjang.
"Hm. Bersiaplah kau, Gandaruwo Hutan Jagal! Hiaaattt..!" sambil berteriak
mengguntur, tubuh Ki Surya Kencana meluncur deras. Kedua tangan berputar mencari
sasaran yang mematikan.
Hebat sekali serangan yang
dilakukan tokoh sakti dari Perguruan Gunung Salaka itu. Angin keras
menderu-deru mengiringi putaran
tangannya seolah menjadi banyak Dan tahu-tahu tangan kanannya me-nyembul keluar,
menusuk ke arah tenggorokan Gandaruwo Hutan Jagal dengan kecepatan kilat.
Wuuusss...! Gandaruwo Hutan Jagal mengetahui kelihaian lawan. Dikerahkan tenaganya menyambut
serangan lawan. Dan
merendahkan kakinya agak miring serta tangan kirinya cepat mengnakis tusukan
tangan Ki Surya Kencana ke
tenggorokannya itu.
Dukkk! Terdengar benturan keras. Tubuh Ki Surya Kencana terpental. Namun dengan gerakan
indah, tubuh orang tua itu berputar di udara empat kali. Dan mendarat di atas
berumput. Hatinya terkejut, tangannya te-rasa bergetar
ketika beradu dengan tangan lawan.
Diam-diam dipujinya kekuatan tenaga sakti lawannya.
Demikian halnya Gandaruwo Hutan
Jagal. Tubuhnya yang tinggi besar itu, terpelanting ketika menangkis serangan
lawannya. Lengan kirinya yang digunakan untuk menangkis terasa linu dan nyeri.
Gandaruwo Hutan Jagal merasa terkejut.
Sama sekali tak disangka tenaga dalam lawannya sangat kuat. Bahkan mungkin lebih
kuat daripada tenaganya.
"Gila! Tak kusangka tenaga orang tua itu demikian kuat," umpat Gandaruwo Hutan
Jagal dalam hati.
Kedua kembali berhadapan sambil
meneliti posisi lawan. Rupanya dalam pertemuan tenaga tadi masing masing sudah
dapat mengukur kemampuan lawan.
Sehingga kali ini keduanya teriihat lebih berhati-hati dalam melakukan serangan
berikutnya. "Haaattt!"
Dengan sebuah teriakan yang sember, Gandaruwo Hutan Jagal ,mencoba membuka
serangan mendahului lawan. Kedua tangannya melakukan serangan secara bergantian,
diiringi pukulan yang mengandung tenaga dalam tinggi. Angin
tajam menderu-deru dan menyambar demikian kuat. Bumi di sekitar tempat
pertarungan terasa bergetar, ketika tubuh tinggi besar itu berlompatan lincah
dan cepat Melihat lawannya sudah membuka
serangan, maka Ki Surya Kencana tak tinggal diam. Kedua tangannya kembali
berputar hingga menimbulkan suara mengaung ribut. Daun-daun pohon di sekitar
pertarungan berguguran
terianggar angin pukulan bertenaga dalam yang amat kuat. Dan sekejap saja
keduanya segera terlibat sebuah pertarungan yang hebat dan sengit.
Jurus demi jurus berlalu cepat.
Hingga tanpa terasa pertarungan sudah mencapai jurus yang kedua puluh. Namun
keduanya masih teriihat seimbang, dan tanpa mampu mendesak lawannya
masing-masing. Sehingga, pertempuran semakin teriihat alot saja.
Ki Surya Kencana berusaha mendesak lawannya lewat serangan-serangan yang gencar
dan berbahaya. Setiap serangan di arahkan pada bagian-bagian yang
mematikan di tubuh lawannya. Namun sampai sedemikian jauh, dia merasa masih
belum perlu mengeluarkan ilmu
andalannya, ilmu 'Tangan Pedang'. Dengan ilmu itu namanya menjadi terangkat
dalam dunia persilatan pada dua puluh tahun lalu. Ilmu andalannya masih belum
dikerahkan, karena sampai sejauh ini serangan-serangan lawan masih dapat
diatasi. Sementara itu, Gandaruwo Hutan
Jagal semakin lama semakin merasa terkejut akan kelihaian lawannya yang sudah
tua itu. Dengan susah payah berusaha dibalas serangan-serangan Ki Surya Kencana.
Memang cukup ganas dan berbahaya. Kedua tangannya yang mengepal itu, menyambar-
nyambar ganas ke
bagian-bagian terlemah di tubuh
lawannya. Demikian pula dengan Gandaruwo
Hutan Jagal. Seperti halnya Ki Surya Kencana, dia pun sampai sejauh ini belum
mengeluarkan ilmu
andalannya. Menurutnya, rasa nya belum pernah mempergunakannya.
Tempo pertarungan semakin lama
semakin cepat. Sepuluh jurus kembali terlewat. Ketika menginjak jurus yang
ketiga puluh empat, Gandaruwo Hutan Jagal tak sempat lagi menghindar dari
tebasan sisi telapak tangan Ki Surya
Kencana yang meluncur bagai kilat menuju lambungnya. Maka tahu-tahu saja tangan
orang tua itu telah menghajar lambung sebelah kanannya.
Buuukkk! "Uhhhkkk...!" lenguh Gandaruwo Hutan Jagal.
Tubuh laki-laki tinggi besar itu terpelanting sejauh dua batang tombak lebih.
Belum lagi, Gandaruwo Hutan Jagal menyadari apa yang terjadi, kembali datang
serangan yang demikian cepat. Dan untuk menghindarinya lelaki seram itu langsung
bergulingan menjatuhkan diri.
Dan dengan gerakan gesit tubuhnya melenting berdiri, membentuk kuda-kuda kokoh.
Gandaruwo Hutan Jagal meringis
merasakan pedih pada kulit lambungnya, yang terkena hantaman tangan lawan tadi.
Biarpun pukulan itu cukup keras, namun sama sekali tidak mengakibatkan luka yang
parah pada tubuhnya.
Diiringi gerengan yang
menggetarkan, Gandaruwo Hutan Jagal segera mencabut keluar senjatanya berupa
gada yang teriihat berat. Dengan penuh kemurkaan, Gandaruwo Hutan Jagal memutar-
mutar senjatanya di atas kepala
hingga menimbulkan suara angin
menderu-deru. Daun-daun dan ranting berterbangan terlanda putaran angin yang
sangat kuat itu. Rupanya Gandaruwo Hutan Jagal telah mengeluarkan jurus andalan
'Putaran Angin Puyuh', yang terkenal kehebatannya.
Melihat lawannya sudah mulai
mengeluarkan ilmu andalan, Ki Surya Kencana pun tidak ingin berbuat ceroboh.
Kehebatan ilmu itu pernah didengarnya.
Maka segera digerakkan tangannya secara bersilangan, sehingga terdengar suara
berdesing keras. Padahal gerakan orang tua itu sepertinya tidak terialu cepat
Namun, desingan angin tajam yang ditimbulkan telah mampu membuat
permukaan kulit lawan terluka. Memang betapa ampuhnya ilmu yang bernama 'Tangan
Pedang' itu. Bahkan ketajamannya tidak kalah dengan sambaran pedang yang tajam.
"Yeeeaaahhh...!"
Disertai teriakan yang menggetarkan jantung, tubuh Gandaruwo Hutan Jagal meluruk
deras ke arah Ki Surya Kencana.
Serangannya begitu dahsyat! Angin keras berputar dan menderu-deru menyertai
luncuran gadanya yang besar dan berat itu.
Weeerrr...! Weeerrr...!
"Haiiit..!"
Tubuh Ki Surya Kencana bergerak
indah. Kakinya bergeser ke samping kanan sambil melepaskan sebuah tusukan yang
menimbulkan suara mencicit tajam ke arah lambung kiri lawannya. Tusukan tangan
kiri dengan jari-jari terbuka itu, demikian hebatnya. Apabila mengenai sasaran,
maka dapat dipastikan tubuh lawan akan tertembus tak ubahnya tertusuk pedang.
Memang, tusukan itu didorong oleh tenaga dalam yang tinggi.
Tentu saja Gandaruwo Hutan Jagal tidak membiarkan lambungnya ditembus jari-jari
tangan lawan. Dengan egosan yang tidak kalah hebatnya, segera diputar tubuhnya
sambil menghantam gada ke punggung Ki Surya Kencana.
Wuuuttt...! Suara angin pukulan gada itu
mengaung tajam. Kecepatannya hampir tidak teriihat mata biasa. Hebat sekali
pukulan yang diiancarkan Gandaruwo Hutan Jagal itu. Jangankan tubuh manusia.
Batu karang pun akan hancur berkeping-keping apabila terhantam!
Ki Surya Kencana cepat-cepat
merendahkan tu buhnya, sehingga serangan lawannya lewat di atas ke pala. Dan
sebelum Gandaruwo
Hutan Jagal memperbaiki posisi, tiba-tiba tubuh Ki Surya Kencana melesat tinggi melewati
kepala lawannya. Segera dilepaskan sebuah bacokan yang disertai tenaga dalam
penuh dalam upaya membelah kepala lawan.
Bukan main berbahayanya serangan laki-laki tua itu. Apalagi dilakukan secara
mendadak. Sehingga untuk sesaat, Gandaruwo Hutan Jagal menjadi gugup.
Buru-buru dilempar tubuhnya ke kiri.
Siiinnng! Crattt! "Aaakkk...!"
Terdengar jerit melengking
kesakitan yang keluar dari mulut Gandaruwo Hutan Jagal. Sambil memegangi kaki
kirinya yang tersayat tebasan tangan lawannya, laki-laki seram itu meringis
kesakitan. Rupanya walaupun dia mampu berkelit, namun tetap saja tebasan Ki
Surya Kencana mengenai kaki kirinya.
Darah pun langsung mengucur dari lukanya.
"Kurang ajar! Monyet tua! Rupanya kau benar-benar tidak bisa dikasih hati!
Awas! Kulumat tubuhmu dan akan kumakan jantungmu, setan!" umpat Gandaruwo Hutan
Jagal karena merasa kecolongan.
"He he he.... Jangan hanya bisa berteriak-teriak, gendut jelek! Ayo, buktikan
ucapanmu!" ejek Ki Surya Kencana sambil tertawa.
"Setannn.... Iblisss...! Kubunuh, kau! Heaaattt...!" umpat Gandaruwo Hutan
Jagal. Selesai berkata demikian tubuh
Gandaruwo Hutan Jagal melesat ke arah Ki Surya Kencana, melakukan
serangan-serangan cepat dan berbahaya.
Segera dia berputar beberapa kali di udara, disertai putaran gada yang
menimbulkan suara menderu-deru. Dalam kemarahannya itu rupanya Gandaruwo Hutan
Jagal telah mengeluarkan jurus-jurus terakhir dari ilmu 'Putaran Angin Puyuh'.
Ki Surya Kencana sempat terkejut melihat tubuh lawanya berputar di udara itu.
Bahkan kadang-kadang melepaskan pukulan gadanya tanpa terduga. Diam-diam diakui
kehebatan jurus lawannya. Namun, Ki Surya Kencana tidak dapat berpikir
lebih jauh lagi. Karena pukulan-pukulan lawan yang berbahaya itu tidak dapat
dibiarkan begitu saja.
Dengan cepat, Ki Surya Kencana
segera mengempos seluruh kekuatan tenaga sakrinya. Dan tiba-tiba saja tubuh
laki-laki tua itu bergerak sangat cepat.
Kedua kakinya secara bergantian
melakukan langkah-langkah yang sulit dan membingungkan. Sedangkan kedua
tangannya bergerak-gerak, sukar diduga arahnya. memang hebat sekali jurus ilmu
'Tangan Pedang' tingkat terakhir yang diperlihatkan Ki Surya Kencana itu.
Seolah-olah tubuhnya timbul tenggelam tertutup gerakan tangan yang luar biasa
cepatnya itu. Dalam sekejap saja keduanya kembali terlibat pertarungan yang lebih sengit dan
mendebarkan. Masing-masing
berkelebat sambil melepaskan
serangan-serangan yang tidak terduga.
Kadang-kadang tubuh mereka terpisah karena benturan-benturan tangan. Dan dalam
beberapa saat saja, pertempuran telah berjalan tiga puluh jurus.
Gandaruwo Hutan Jagal bernafsu
sekali untuk segera dapat menjatuhkan lawan. Serangannya semakin gencar dan
berbahaya. Pukulannya yang mengandung tenaga dalam penuh, menyambar-nyambar di
sekitar tubuh lawan. Hebat sekali serangan-serangan yang dilakukan tokoh hitam
itu. Kalau saja bukan Ki Surya Kencana yang dihadapi, mungkin lawannya sudah
tewas di tangan Gandaruwo Hutan Jagal yang lihai dan ganas itu.
Karena yang dihadapinya adalah
lawan yang telah mewarisi hampir seluruh ilmu tinggi Perguruan Gunung Salaka,
maka serangan-serangan Gandaruwo Hutan Jagal selalu kandas dan mengenai tempat
kosong. Meskipun demikian, Ki Surya Kencana pun tidak mudah untuk
menjatuhkan lawannya. Dia terus berusaha keras mendesak lawannya lewat
serangan-serangan yang tidak kalah berbahayanya. Namun sampai sejauh itu.
Lawan belum juga terdesak.
Sementara tanpa mereka ketahui
pertarungan telah bergeser cukup jauh dari semula. Pertarungan yang semula
berlangsung di daerah berumput, kini berpindah ke daerah berbatu-batu, di tepi sungai yang mengalir jernih.
Batu-batu yang bertonjolan di permukaan tanah, melesak terkena jejakan kaki-kaki
yang bertenaga dalam kuat.
"Heaaattt...!"
Memasuki jurus keempat puluh tujuh, Gandaruwo Hutan Jagal berteriak
melengking tinggi. Tubuhnya yang tinggi besar itu meluruk deras, sejajar dengan
permukaan tanah. Dia melakukan serangan dahsyat dam memarikan. Tangan kirinya
dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah dua mata lawan. Sementara tangan
kanannya yang memegang gada,
berputar-putar menimbulkan suara mengaung keras. Rasanya tubuh Ki Surya Kencana
siap dijadikan sasaran pukulan!
Hebat dan ganas sekali serangan yang dilakukan Gandaruwo Hutan Jagal kali ini.
Ki Surya Kencana yang mengetahui serangan berbahaya itu, cepat
menjatuhkan tubuhnya ke depan, dengan posisi terlentang. Dan dengan kecepatan
luar biasa, tiba-tiba kedua kakinya mencuat ke atas menghantam perut Gandaruwo
Hutan Jagal. Laki-laki tinggi besar itu menjadi terkejut setengah mati karena
tidak menduga bahwa lawannya akan melakukan serangan demikian. Karena tidak ada
waktu untuk menghindar, Gandaruwo Hutan Jagal segera mengerahkan
tenaga dalamnya untuk melindungi perut dari tendangan itu.
Deeesss! "Ouuugggh...!" lenguh Gandaruwo Hutan Jagal.
Ternyata hantaman kedua kaki Ki
Surya Kencana mendarat telak di perut laki-laki seram itu. Tubuh yang tinggi
besar itu melambung ke udara, lalu jatuh di tanah dengan kerasnya sehingga
menimbulkan suara berdebuk. Dari sela-sela bibirnya mengalir darah segar.
Sambil membungkuk merasakan sakit pada perut, Gandaruwo Hutan Jagal berusaha
bangkit dengan bertumpu pada gadanya.
Walaupun tubuhnya limbung, tapi
Gandaruwo Hutan Jagal berusaha berdiri tegak. Kembali dia bersiap menghadapi
lawannya. "Hm.... Manusia biadab, terimalah hukumanmu!" ancam Ki Surya Kencana.
Setelah berkata demikian, Ki Surya Kencana kembali melancarkan serangan ke arah
lawannya. Kedua tangannya bergerak cepat hingga menimbulkan suara mencicit
Pendekar Naga Putih 03 Algojo Gunung Sutra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tajam. Dan tiba-tiba saja tangan kirinya sudah meluncur ke ulu hati lawan.
Menyadari kalau tidak mungkin
menghindar, Gandaruwo Hutan Jagal hanya
berdiri tegak sambil menanti serangan lawan. Sedangkan tangan kanannya
menggenggam gadanya erat-erat agar sewaktu-waktu dapat dihantamkan ke kepala
lawannya. Licik sekali manusia iblis itu. Dalam keadaan terjepit, dia sengaja
ingin mengadu nyawa.
Ki Surya Kencana sempat merasa
terkejut melihat lawannya tidak
bergeming sedikit pun. Namun, untuk menarik pulang serangannya sudah tidak
mungkin dilakukan. Serangannya itu memang sudah dekat sekali ke tubuh lawan.
Dan..... Jreeebbb! Wuuuttt! Kraaakkk! "Arrrggghhh...!"
"Aaahhhkkk...!"
Masing-masing orang yang tengah
mengadu nyawa itu menjerit bareng dengan tubuh terhuyung-huyung. Rupanya pada
saat jari-jari tangan kanan Ki Surya Kencana menembus tubuhnya, Gandaruwo Hutan
Jagal membarengi dengan ayunan gada ke kepala lawan. Saat itu, Ki Surya Kencana
tidak mempunyai waktu lagi untuk menghidar. Terpaksa diangkat tangan kirinya
menyambut hantaman tersebut.
Akibatnya, kini tulang lengan kirinya remuk terhantam gada yang berat dan
mengandung tenaga kuat. Kedua orang itu sama-sama terpental balik ke belakang.
Ki Surya Kencana marah bukan main ketika mendapat kenyataan tulang lengan
kirinya remuk. Dengan kemarahan
meluap-luap, tubuh laki-laki itu meluncur deras ke arah Gandaruwo Hutan Jagal
yang masih terhuyung-huyung sambil menekap ulu hatinya yang terluka itu.
Maka seketika Ki Surya Kencana
membabatkan tangan kanan ke leher lawan menggunakan ilmu 'Tangan Pedang'. Itu
pun masih disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
Gandaruwo Hutan Jagal yang sudah terluka hanya dapat memandang dengan mata
membelalak ngeri. Rasanya sudah tidak mungkin lagi menghidar dari tebasan maut
itu. Siiinnng! Craaakkk! Terdengar suara bagaikan sebatang pedang menebas tulang. Tangan Ki Surya Kencana
tepat menebas putus leher Gandaruwo Hutan Jagal itu. Darah langsung menyembur
dari leher yang tanpa kepala itu. Tubuh tinggi besar tanpa
kepala masih berdiri limbung,
bergoyang-goyang ke kiri dan kanan. Ki Surya Kencana yang sudah diliputi amarah
yang memuncak, segera menggerakkan kakinya menendang tubuh Gandaruwo Hutan
Jagal. Desss! Tubuh tinggi besar tanpa kepala itu, terpental sejauh tiga tombak dan ambruk
tanpa dapat bangkit lagi. Tamat sudah riwayat Gandaruwo Hutan Jagal yang sangat
kejam dan buas di tangan Ki Surya Kencana. Tapi laki-laki tua itu harus
mengorbankan tangan kirinya yang tak mungkin berfungsi lagi.
Tokoh kedua Perguruan Gunung Salaka itu berdiri mematung, memandangi mayat
Gandaruwo Hutan Jagal yang tewas menyedihkan. Setelah menotok pangkal lengan
agar darah berhenti mengalir, laki-laki tua itu pun melangkah
meninggalkan bekas arena pertempuran.
Biarpun harus kehilangan kirinya, namun Ki Surya Kencana tersenyum puas karena
telah berhasil menunaikan tugasnya dengan baik.
Hembusan angin terasa lembut
silir-silir, mengiringi langkah Ki Surya Kencana yang akan kembali ke Gunung
Salaka. Memang, untuk sementara tugasnya telah selesai.
* * * 5 Beberapa saat sepeninggal si Tangan Pedang atau Ki Surya Kencana, beberapa sosok
tubuh berjalan ke arah bekas tempat pertempuran. Jumlahnya sekitar tiga belas
orang. Wajah mereka rata-rata memancarkan sifat kejam dan licik.
Masing-masing di pinggang tergantung sebatang pedang, yang menandakan bahwa
mereka dari rimba persilatan. Dan kalau melihat dari tingkah dan penampilan,
jelaslah bahwa ketiga belas orang itu dari golongan hitam.
Tiba-tiba orang yang berjalan
paling depan menghentikan langkahnya seraya memandang berkeliling dengan kening
berkerut. Rupanya hatinya merasa heran melihat keadaan di sekeliling yang
teriihat porak-poranda itu.
"Hm.... Di tempat ini seperti baru saja terjadi pertempuran hebat. Entah, tokoh-
tokoh mana yang telah bertarung di
tempat ini. Kalau dilihat dari
bekas-bekasnya, pastilah mereka bukan orang sembarangan?" ujar orang yang
berjalan paling depan. Sepertinya dia merupakan pimpinan dari kedua belas orang
lainnya. Mukanya kuning pucat, dan wataknya licik. Jadi, wajarlah kalau kaum
rimba persilatan menjulukinya, Ular Muka Kuning.
"Betul, Ketua! Dan sepertinya pertempuran itu belum lama terjadi!"
jelas orang yang berada di belakangnya, dengan wajah terheran-heran.
Si pemimpin yang berwajah kuning itu melangkah pelahan-lahan mengitari tempat
bekas pertempuran tadi. Dan kerutan pada keningnya teriihat semakin dalam,
ketika memperhatikan bekas-bekas pertempuran yang terus bergeser dari tempat
semula. "Hm, rupanya pertempuran itu semakin bergeser ke tepi sungai. Jelas pertempuran
itu pasti berlangsung lama dan sangat seru," ujar Ular Muka Kuning semakin
heran. "Ketua, lihat! Di sini ada kepala manusia!" teriak salah seorang anak buahnya.
Laki-laki berperawakan kekar
itu juga ikut memeriksa sekitar daerah tepian sungai.
Orang yang dipanggil ketua dan
berjuluk Ular Muka Kuning itu bergegas menghampiri salah seorang anak buahnya
yang berteriak tadi. Dan matanya
terbelalak seketika, karena dikenali betul kepala tanpa tubuh itu. Sejenak
diedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu. Sikapnya benar-benar waspada.
Namun ketika tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, laki-laki yang memiliki
wajah kuning itu kembali menatap kepala tanpa tubuh.
"Gila! Siapa yang telah membunuh Gandaruwo Hutan Jagal ini" Hm, kalau orang itu
telah mampu membunuh Gandaruwo Hutan Jagal, tentu kepandaiannya sangat hebat,"
gumam Ular Muka Kuning, pelan.
"Kalau melihat keadaan kepala tanpa tubuh ini, pastilah orang yang telah
membunuhnya belum pergi terlalu jauh.
Mari kita kejar!"
Setelah berkata demikian, Ular Muka Kuning segera melesat, diikuti dua belas
orang anak buahnya.
Ketiga belas orang itu terus berlari menuju arah Selatan. Sebentar-sebentar sang
ketua yang berjuluk Ulang Muka
Kuning menghentikan langkahnya seraya memandang berkeliling. Setelah
memastikan arah yang dituju, kembali dilanjutkan pengejaran. Mulutnya seketika
tersenyum saat dari kejauhan dilihatnya sosok berpakaian putih yang berlari
sambil memegangi tangan kirinya.
"Hei, tunggu!" teriak Ular Muka Kuning ketika jaraknya tinggal beberapa puluh
tombak lagi. Orang berbaju putih yang tak lain adalah Ki Surya Kencana tersentak kaget,
ketika mendengar teriakan tadi. Untuk beberapa saat lamanya orang tua itu
kelihatan ragu-ragu. Namun tetap dihentikan langkahnya dan menunggu kedatangan
serombongan orang itu. Hati Ki Surya Kencana menjadi heran, karena merasa tidak
pernah berurusan terhadap mereka.
"Hei, Orang Tua! Ke mana tujuanmu"
Mengapa begitu terburu-buru?" tanya Ular Muka Kuning setelah dekat. Pandang
matanya penuh selidik. Sedangkan hatinya menjadi curiga ketika melihat lengan
baju sebelah kiri orang tua itu ada tetesan darah yang sepertinya masih baru.
"Oh! Aku..., aku hendak pergi ke desa sebelah untuk menengok cucuku yang sakit
keras," jawab Kl Surya Kencana terpaksa berbohong. Dia tidak ingin mencari
keributan tanpa sebab. Jawabnya pun dibuat gugup, agar penyamarannya tidak
terbongkar. "Hm.... Lengan kirimu kenapa, Orang Tua! Nampaknya seperti luka yang masih baru.
Boleh kulihat?" tanya Ular Muka Kuning, semakin berani.
Dan sebelum Ki Surya Kencana
merijawab. Laki-laki bermuka kuning itu sudah mengulurkan tangannya ke arah
tangan kiri Ki Surya Kencana yang tergantung lumpuh itu.
Orang kedua di Perguruan Gunung Salaka itu segera menggeser kakinya kebelakang
sehingga tangkapan Ular Muka Kuning mengeriai tempat kosong. Dan tanpa disadari,
hawa murni Ki Surya Kencana segera menyebar melindungi tubuhnya.
"Hm. Sudah kuduga! Kau pasti mempunyai sedikit kepandaian, Orang Tua!
Kalau melihat luka di tanganmu, rasanya baru saja habis bertarung. Apakah
tanganmu yang telah membunuh Gandaruwo Hutan Jagal?" tanya Ular Muka Kuning.
Hatinya diliputi keraguan karena melihat penampilan orang tua itu yang
sederhana. "Benar! Akulah yang membunuhnya.
Siapa kalian dan apa maksudnya
menghadang perjalananku?" tegas Ki Surya Kencana seraya balik bertanya.
Sebagai seorang
pendekar, dia memang tidak pernah kecut hatinya. Maka, dengan beraninya diakui segera
perbuatannya terhadap Gandaruwo Hutan Jagal. Tapi, pengakuannya itu sama sekali
bukan karena terdorong oleh kesombongan. Itu memang sudah jadi sifatnya, untuk
tidak lari dari
tanggungjawab terhadap segala
perbuatannya. "Hhh! Jangan besar kepala dulu, Orang Tua! Aku adalah sahabat Gandaruwo Hutan
Jagal. Kau telah berhutang nyawa pada temanku. Maka aku harus menebusnya dengan
nyawamu! Bersiaplah!" bentak Ular Muka Kuning, sambil menggeram.
"Tunggu dulu! Siapa kau
sebenarnya?" tanya Ki Surya Kencana, heran.
"Hm. Kau pasti belum pernah mengenal orang yang berjuluk Ular Muka Kuning.
Itulah julukanku! Sekarang, sebutkan namamu, agar kau tidak mati sia-sia!"
bentak Ular Muka Kuning lagi. Hatinya memang diliputi kegeraman.
"Kalau kau belum kenal diriku, baiklah! Akulah Ki Surya Kencana! Nah!
Kini aku sudah siap, Ular Muka Kuning!"
tantang Ki Surya Kencana tidak kalah garangnya. Dia memang sudah bersiap-siap
menjaga segala kemungkinan.
"Eh, tunggu dulu! Rupanya kaulah yang berjuluk si Tangan Pedang dari Gunung
Salaka"! Ha ha ha...! Ternyata julukanmu lebih terkenal daripada namamu sendiri.
Bersiaplah untuk mampus, kakek peot!"
Setelah berkata demikian, Ular Muka Kuning segera menggerakkan tangannya.
Murid-muridnya yang mengerrj isyarat itu serempak maju mengeroyok Ki Surya
Kencana. Dengan teriakan-teriakan keras mereka segera membabatkan senjatanya ke
arah orang tua yang berjuluk si Tangan Pedang. Terdengar berdesingan ketika
senjata-senjata itu menyambar-nyambar ganas.
Ki Surya Kencana yang sudah menduga kalau tiga belas orang itu bukan orang baik-
baik, segera bersikap waspada. Maka ketika musuh-musuhnya mulai menyerang,
segera dikerahkan kelincahan kakinya
untuk menghindari serangan
lawan-lawannya. Namun sayang sekali gerakannya tidak selincah semula. Tentu
saja, ini karena tangan kirinya yang telah lumpuh yang sangat mengganggu
gerakannya. Sebentar-sebentar terlihat wajahnya menyeringai menahan rasa nyeri
pada lukanya. Melihat gerakan orang tua itu yang tersendat-sendat, Ular Muka Kuning segera
melesat dan ikut maju mengeroyok.
Akibatnya keadaan Ki Surya Kencana menjadi terdesak. Serangan Ular Muka Kuning
menderu-deru mencari
bagian-bagian yang mematikan. Ternyata dia memang cukup lihai.
Pada suatu kesempatan, salah
seorang pengikut Ular Muka Kuning menyabetkan pedangnya ke pinggang Ki Surya
Kencana. Namun dengan gerakan ringan, orang tua itu segera menggeser tubuhnya.
Maka, serangan itu hanya lewat tanpa mengenai sasaran. Dan sebelum orang itu
menyadari keadaannya,
tahu-tahu saja tangan Ki Surya Kencana cepat meluruk membelah dadanya.
"Aaakh!"
Terdengar teriakan menyayat ketika bacokan tangan Ki Surya Kencana mengenai
sasaran. Tubuh orang itu terjengkang dan tewas seketika dengan dada terbelah.
Cepat-cepat Ki Surya Kencana menyambar senjata orang itu. Dan dengan gerakan
indah, dia melompat. Tubuhnya berputar beberapa kali, kemudian mendarat ringan
sejauh enam tombak dari lawan-lawannya.
"Aaakh!" Terdengar teriakan menyayat ketika bacokan tangan Ki Surya Kencana
mengenai sasaran. Tubuh orang itu terjengkang dan tewas seketika dengan dada
terbelah! Ki Surya Kencana pun segera
menyambar senjata orang itu, untuk memotong lengan kirinya yang tergantung
lumpuh! Dan tiba-tiba orang tua itu
menggerakkan senjata rampasannya ke arah tangan kiri yang tergantung lumpuh itu.
Crakkk! Tangan kiri Ki Surya Kencana yang sudah lumpuh itu kini putus sebatas siku.
Sambil menggigit bibir, orang tua itu menotok pangkal lengannya untuk
menghentikan darah. Hal itu sengaja dilakukan, agar gerakannya tidak terganggu.
Pada saat itu Ular Muka Kuning sudah mencabut golok bergerigi, yang
tergantung di pinggang. Langsung dilancarkan serangan cepat dan kuat.
Angin tajam berdesing mengiringi serangannya.
Ki Surya Kencana mengegoskan
tubuhnya kesamping, menghindari
serangan lawan. Untunglah! Serangan Ular Muka Kuning hanya mengenai tempat
kosong. Tapi alangkah terkejutnya hati Ki Surya Kencana ketika golok besar
bergerigi itu meliuk-liuk bagaikan ular hidup dan kembali mengancam tubuhnya.
Cepat-cepat direndahkan tubuhnya sambil melepaskan sebuah tusukan yang cepat dan
kuat. Dan lagi-lagi Ki Surya Kencana terkejut, ketika melihat lawannya tidak
mengelak mundur. Bahkan malah
mencondongkan tubuhnya ke depan disertai liukan yang mengagumkan. Dengan
demikian tusukan tangan orang tua itu luput.
Sementara itu, para pengikut Ular Muka Kuning sudah kembali menyerbu. Dan memang
lama-kelamaan Ki Surya Kencana mulai terdesak, oleh serangan
lawan-lawannya yang semakin gencar.
Diam-diam orang tua itu mulai merasa cemas terhadap keadaan yang tidak
memungkinkan itu.
Sebenarnya, Ki Surya Kencana bisa terdesak bukan disebabkan kelihaian lawan.
Kalau saja keadaan tubuhnya tidak seburuk ini, rasanya tidaklah sulit untuk
menjatuhkan lawan-lawanya. Tapi, karena kelelahan akibat bertarung melawan
Gandaruwo Hutan Jagal, tenaganya sudah terkuras. Itu pun masih ditambah dengan
hilangnya tangan kiri. Jadi, wajarlah kalau keadaan Ki Surya Kencana benar-benar
di bawah bayangan maut.
Memasuki jurus kedua puluh, kembali terdengar jeritan dua orang pengikut Ular
Muka Kuning yang melengking. Tubuh mereka terpental, dengan luka menganga di
perut dan lehernya. Jelas itu akibat tebasan ilmu 'Tangan Pedang' yang dimiliki
Ki Surya Kencana. Maka, seketika kepungan lawan-lawannya agak mengendor. Rupanya
mereka agak gentar juga melihat kelihaian laki-laki tua itu. Secara serentak
mereka pun melompat mundur sambil mempersiapkan serangan berikut.
Untuk beberapa saat Ki Surya Kencana dapat bemapas lega. Namun tiba-tiba, tubuh
orang tua itu bergoyang-goyang.
Ternyata dari tangannya yang telah buntung itu, darah kembali mengalir deras.
Rupanya totokan pada pangkal lengannya sudah terbuka, akibat terlalu banyak
bergerak dan mengerahkan tenaga dalam secara berlebihan. Sehingga, keadaan orang
tua itu semakin melemah.
"He he he.... Rupanya malaikat maut sudah tidak sabar menunggumu, tua bangka!"
ejek Ular Muka Kuning. Rupanya dia telah membaca keadaan lawannya.
"Ayo, anak-anak! Kuras tenaga Orang Tua itu!"
Setelah berkata demikian Ular Muka Kuning kembali menerjang lawan, diikuti sisa
para pengikutnya. Maka pertarungan pun kembali berjalan sengit.
Kali ini Ki Surya Kencana
benar-benar dibuat tidak berdaya. Setiap kali dia membalas serangan salah
Pendekar Naga Putih 03 Algojo Gunung Sutra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang lawan, namun Ular Muka Kuning selalu membokongnya dengan serangan
dahsyat Hal ini membuat Ki Surya Kencana semakin marah dan penasaran.
Menginjak jurus keempat puluh tiga, gerakan Ki Surya Kencana sudah tidak lincah
lagi. Darah semakin banyak keluar dari lukanya. Akibatnya, gerakannya pun
kembali teriihat semakin lambat. Peluh telah membanjiri wajah dan tubuhnya.
Kelelahan yang sangat terpancar di wajah tua itu. Namun meskipun demikian, dia
masih berusaha untuk membunuh lawan sebanyak-banyaknya.
Suatu kesempatan, Ular Muka Kurang menusukkan goloknya yang cepat bagai kilat ke
arah lambung lawan. Angin sambaran goloknya berdesing tajam.
Jelas, betapa kuatnya tenaga yang terkandung dalam serangan itu.
Wuuuttt! Ki Surya Kencana bergegas menggeser kedua kakinya hingga serangan itu luput.
Dan ketika golok itu meliuk dengan gerakan lemas, Ki Surya Kencana
cepat-cepat memapak ke arah pergelangan lawan.
Namun hatinya jadi kaget. Ternyata tiba-tiba Ular Muka Kuning menarik pulang
tangannya sambil melepaskan tendangan kilat ke lambung Ki Surya Kencana. Orang
tua itu berusaha memutar tubuh dan meng-gerakkan tangan menangkis tendangan
lawan. Namun, sayang.
Gerakannya sudah terlambat. Maka....
Buuukkk! "Ouuuggghhh...!" lenguh Ki Surya Kencana.
Tubuh laki-laki tua itu terjengkang ketika tendangan lawan mendarat telak di
lambung kiri. Untuk sejenak dirasakan keadaan sekitarnya bergoyang-goyang. Ki
Surya Kencana mendesis pelahan sambil mendekap lambungnya yang terasa nyeri dan
ngilu. Untuk beberapa saat, hatinya merasa menyesal karena kehilangan tangan
kiri. Kalau saja tidak kehilangan sebelah tangan tentu hal seperti ini tidak
akan terjadi. Ular Muka Kuning segera berteriak kepada anak buahnya untuk menyerbu Ki Surya
Kencana yang telah terluka itu.
Beberapa batang
senjata langsung
meluncur, mengancam tubuhnya. Dengan tangan masih menekap lambung, orang tua itu
berusaha berkelit. Namun gerakannya yang lambat itu, sudah diduga Ular Muka
Kuning. Maka dia segera menyambutnya dengan tebasan ke leher. Gerakannya cepat
bukan main. Ki Surya Kencana melempar tubuhnya ke belakang untuk menghindari serangan lawan.
Tapi sungguh tidak diduga kalau empat orang pengikut Ular Muka Kuning sudah
menunggu dengan ujung ujung senjatanya. Laki-laki tua itu berusaha memutar tubuh
sambil menusukkan tangannya. Cappp! Brertt! Crakkk! "Aaahhhkkk...!"
"Uhhhkkk...!"
Terdengar teriakan kesakitan dari seorang lawan. Tubuhnya terpelanting dan tewas
dengan leher berlubang. Sedangkan tubuh Ki Surya Kencana melintir
tersambar tiga buah senjata lawan. Orang
tua itu jatuh terduduk, dan wajahnya langsung berubah pucat. Darah mengalir dari
luka di dada dan punggungnya akibat sambaran pedang lawan.
"Ohhh Rupanya ajalku sudah hampir tiba. Sayang, belum sempat kulaporkan
keberhasilan tugasku, kepada Kakang Sukma Kelana," desah Ki Surya Kencana dengan
wajah murung. Dengan susah payah, laki-laki tua itu berusaha bangkit berdiri. Pakaiannya yang
berwarna putih itu, sudah dibasahi darah yang bercampur peluh. Keadaannya saat
itu benar-benar menyedihkan. Namun, meskipun telah mendapat luka yang cukup
parah, orang tua itu tidak ingin mati sia-sia.
"Hm. Sebelum ajal tiba, aku harus dapat membunuh mereka
sebanyak-banyaknya!" tekad Ki Surya Kencana geram.
"He he he, peot! Sekarang, terimalah kematianmu!" ejek Ular Muka Kuning sambil
tertawa terkekeh berkepanjangan.
Setelah berkata demikian Ular Muka Kuning segera menggerakkan tangan memberi
isyarat kepada enam orang anak buahnya. Maka tanpa buang-buang waktu lagi mereka
serempak berlompatan sambil
membabatkan senjata ke tubuh lawan yang sudah hampir tidak berdaya itu. Enam
buah senjata itu berkelebat sehingga
menimbulkan suara berdesing.
Tubuh Ki Surya Kencana bergeser ke kanan, mencoba menghindari serangan enam buah
senjata lawan. Dan langsung
digerakkan tangannya ke punggung lawan terdekat. Tak ayal lagi orang itu
terhantam kibasan tangan laki-laki tua itu. Tubuhnya terjungkal dengan luka
memanjang di punggung.
"Bangsat! Rupanya setan tua ini masih berbahaya juga!" umpat Ular Muka Kuning
dengan wajah merah padam.
Dan dengan kemarahan yang
meluap-luap dia segera melesat,
menyerang dahsyat. Golok besarnya diputar sedemikian rupa hingga
menimbulkan suara mengaung. Bagai ribuan ekor lebah yang sedang marah saja
layaknya. Ki Surya Kencana yang menyadari
bahaya itu, berlompatan menghindari serangan dahsyat Ular Muka Kuning.
Gerakan kakinya terlihat goyah, ketika mela-kukan lompatan-lompatan. Dengan
pengerahan sisa-sisa tenaga, sesekali Ki Surya Kencana melepaskan serangan
disertai ilmu 'Tangan Pedang'. Hanya saja sekarang tidak lagi seampuh semula,
tapi cukup kuat untuk melukai kulit tubuh lawan.
Sayang sekali perlawanan Ki Surya Kencana tidak banyak membantu untuk menghadapi
serangan-serangan ganas Ular Muka Kuning. Sehingga dalam beberapa jurus saja, Ki
Surya Kencana sudah tidak dapat lagi memberi perlawanan berarti.
Secara lambat tapi meyakinkan, Ular Muka Kuning mulai mendesak lawan disertai
serangan yang mematikan.
Ki Surya Kencana kini hanya mampu menghindar
sambil bermain mundur.
Sehingga ketika Ular Muka
Kuning melakukan serangan ganda, Ki Surya Kencana tidak mampu berbuat apa-apa lagi.
Walaupun berusaha mengangkat tangannya untuk memapak, tapi gedoran telapak
tangan lawan tetap saja lolos dan menghantam dada sebelah kiri.
Dheeesss! Seketika Ki Surya Kencana
terpelanting keras! Segumpal darah segar kontan menyembur dari mulutnya.
Hantaman telapak tangan lawan memang benar-benar kuat. Laki-laki tua itu
berusaha melompat bangkit, sambil menekap dadanya
yang terasa panas dan sesak. Belum lagi tubuhnya sempat berdiri tegak, beberapa
sosok bayangan berkelebat disertai suara desingan senjata.
Crasss! Brettt! Crattt! "Aaarrrggghhh...!" jerit Ki Surya Kencana.
Tubuh orang tua itu telah tertembus beberapa batang senjata. Darah kontan
berhamburan dari luka-luka akibat tertembus senjata-senjata lawan. Tubuh Ki
Surya Kencana terdorong dan
terhuyung-huyung, seperti tak kuat lagi berdiri. Dan sebelum tubuhnya ambruk ke
tanah, sebuah bayangan berkelebat cepat sambil menggerakkan senjata secara
mendatar ke leher Ki Surya Kencana.
Siiinnng! Croookkk! Dengan ganas golok besar bergerigi itu menebas putus leher Ki Surya Kencana.
Darah segar kembali memancur dari luka di leher laki-laki tua yang telah
buntung. Dan golok besar itu kembali berkelebat menembus ulu hati tubuh yang sudah tak
berkepala itu. Seketika tubuh Ki Surya Kencana yang tanpa kepala itu ambruk ke
tanah berumput hijau yang langsung berubah memerah oleh darah. Laki-laki tua
tokoh sakti dari Perguruan Gunung Salaka kini tewas dalam keadaan sangat
menyedihkan! Tubuhnya sudah hampir tidak berbentuk lagi. Di sana-sini terdapat
bekas-bekas senjata tajam.
"Ha ha ha.... Orang-orang Gunung Salaka memang terlalu sombong! Kalian lihat
nanti. Kami akan datang dengan membawa bencana! Ha ha ha...!" Ular Muka Kuning
tertawa terbahak-bahak.
Hati orang berwajah kuning itu
gembira bukan main, karena telah berhasil membunuh salah seorang tokoh utama
perguruan yang sangat dibencinya itu. Memang,t itu sudah menjadi sifat tokoh
golongan hitam yang selalu menganggap golongan putih sebagai manusia sombong.
Bagi mereka, golongan putih adalah ancaman yang harus
dimusnahkan. Setelah puas dengan tawanya, Ular Muka Kuning dan delapan orang sisa anak
buahnya bergegas meninggalkan tempat itu sambil memperdengarkan suara lawa yang
berkumandang ke sekitarnya. Suasana ditempat itu kembali sepi, seperti tidak
pernah terjadi apa-apa.
Sinar mentari yang semula memancar garang, mendadak meredup. Seolah-olah turut
berkabung atas kematian Ki Surya Kencana di tangan orang-orang yang berjiwa
binatang. Tiupan angin lembut telah merontokkan sehelai daun pohon yang
menguning. Daun itu melayang-layang dan jatuh ke permuka bumi.
* * * 6 Hari baru menjelang sore. Dua orang laki-laki berjalan menyusuri jalan utama
Desa Cikunir. Mereka adalah Santiaji dan Ranjita, dua orang tokoh tjngkat empat
Perguruan Gunung Salaka. Keduanya memang tengah melakukan penyelidikan tentang
kematian murid-murid Gunung Salaka yang misterius.
Mereka baru saja meninggalkan rumah Kepala Desa Cikunir, untuk mencari
keterangan tentang si pelaku. Menurut keterangan yang didapat dari warga dan
kepala desa setempat, memang pernah terjadi bentrokan antara dua perguruan pada
dua minggu yang lalu. Tapi kedua perguruan itu hanya bertengkar mulut dan
tidak menjurus pada perkelahian. Apalagi sampai menimbulkan korban jiwa.
Seorang pemilik kedai yang
tempatnya dijadikan arena pertengkaran mulut mengatakan, bahwa mungkin saja
kedua belah pihak mengadakan perjanjian untuk bertemu di luar desa. Di sana
mereka kemudian bertempur tanpa
sepengetahuan penduduk desa. Dan dugaan itu bisa diterima Santiaji maupun
Ranjita, tapi bukan berarti harus mempercayainya. Mereka harus
menyelidiki kebenarannya terlebih dahulu, setelah ilu barulah berani memastikan.
Memang sebagaimana pesan guru, mereka harus berhati-hati dalam mengambil
tindakan agar tidak sampai menimbulkan persoalan baru lagi.
Kedua orang itu kini melangkah tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Pikiran
Santiaji maupun Ranjita masih dipenuhi pertanyaan yang sulit terjawab.
"Hhh...!" Ranjita menghela napas yang berat memecah kesunyian di antara mereka.
Wajahnya terlihat murung karena sampai sejauh ini belum juga mendapat tanda-
tanda yang berarti sebagai pegangan.
"Yahhh...! Persoalan ini memang masih gelap. Bagaimana kalau kita kembali, dan
melaporkan kepada Guru?"
usul Santiaji sambil menoleh kepada saudara seperguruannya. Tatapan matanya
seperti menunggu tanggapan.
"Tidak, Santiaji! Kita sudah bertekad untuk tidak kembali keperguruan sebelum
menemukan jawaban dari semua peristiwa yang menimpa perguruan kita.
Tapi kalau kau ingin kembali, silakan.
Biar aku sendiri
yang meneruskan
penyelidikan ini," tegas Ranjita tanpa menolehkan kepalanya kepada Santiaji.
Santiaji tidak langsung menanggapi penegasan
Ranjita tadi. Dialihkan
pandang matanya ke depan dengan helaan napas
berat. Murid tingkat empat
Perguruan Gunung Salaka itu berusaha memahami perasaan saudara
seperguruannya itu. Seperti halnya Ranjita, Santiaji pun sebenarnya mempunyai
pikiran sama. Rasanya memang malu kembali keperguruan tanpa hasil sedikit pun.
"Sebenarnya aku pun mempunyai pikiran yang sama denganmu, Ranjita! Aku juga
merasa malu untuk menghadap Guru dengan tangan hampa. Apa kata Guru
nanti?" ungkap Santiaji tanpa semangat.
Saat itu pikirannya benar buntu. Dia tidak tahu lagi, ke mana harus mencari
keterangan sesudah ke Desa Cikunir.
"Hmm. Bagaimana kalau kita
mendatangi Gunung Sutra, dan
menanyakannya langsung kepada Ki Ageng Pandira yang menjadi ketua perguruan
itu?" usul Ranjita tiba-tiba yang langsung membuyarkan lamunan Santiaji.
"Hei, jangan Ranjita! Tanpa persetujuan Guru, aku tidak berani untuk berkunjung
ke sana. Bisa-bisa kedatangan kita ke sana hanya akan memperuncing keadaan saja.
Masalahnya, sama sekali kita belum tahu, apakah dipihak mereka juga telah timbul
korban atau tidak" Nah!
Seandainya di sana juga terjadi korban, bukankah kedatangan kita hanya akan
membangkitkan kemarahan di hati mereka,"
tegas Santiaji.
Laki-laki setingkat dengan Ranjita ini memang memiliki pandangan lebih luas
daripada Ranjita. Demikian pula dalam menghadapi persoalan yang sangat rumit dan
peka ini. Dia lebih mengandalkan otak daripada amarah. Oleh karena itu, mengapa
Ki Sukma Kelana menugaskan Santiaji dalam menyelidiki persoalan
itu. Orang tua itu percaya akan
kebijaksanaan muridnya dalam menghadapi setiap persoalan.
"Lalu, Ke mana lagi kita harus mencari keterangan?" tanya Ranjita yang suaranya
mengandung rasa penasaran.
Benar-benar tidak dimengerti jalan pikiran Santiaji,
yang menurutnya
terlalu lemah dan terlalu banyak perhitungan. Bahkan dia sampai mempunyai
pikiran kalau Santiaji ini seorang pengecut. Dan sengaja menyembunyikan sifat
pengecutnya itu dengan berkedok kesabaran, dan kehati-hatian dalam bertindak.
"Entahlah. Tapi, kurasa tidak ada salahnya kalau mencari keterangan di desa-desa
sekitar Gunung Salaka. Siapa tahu di sana dapat menemukan petunjuk yang dapat
dipakai sebagai pegangan,"
ujar Santiaji penuh harap.
"Kalau memang sudah menjadi keputusanmuj tunggu apa lagi" Ayo, berangkat!" sahut
Ranjita Tidak banyak bicara lagi!
"Baiklah. Mari," sambut Santiaji yang segera bangkit semangatnya.
Kedua orang tokoh Perguruan Gunung Salaka itupun segera bergegas menuju
perbatasan Desa Cikunir. Mereka
melangkah dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, sehingga dalam waktu
yang, tidak begitu lama telah
meninggalkan Desa Cikunir. Santiaji maupun Ranjita sepakat untuk mengambill arah
Selatan terlebih dahulu, sebagai langkah awalj penyelidikan.
Untuk mempersingkat waktu, keduanya sengaja menempuh jalan pintas yang jarang
dilalui orang. Sekarang mereka harus menerobos semak belukar dan hutan kecil
yang banyak terdapat di daerah itu.
Kini mereka telah tiba pada sebuah padang rumput yang cukup luas.
"Setelah melewati padang rumput ini, kita akan menemukan sebuah bukit.
Nah! Di balik bukit itu terdapat sebuah perkampungan yang akan menjadi
penyelidikan kita," jelas Santiaji.
"Berapa lama lagi kira-kira waktu yang diperlukan, untuk mencapai
perkampungan itu ?" tanya Ranjita.
"Kalau melakukan perjalanan biasa, bisa memakan waktu setengah harian. Dan
berarti akan tiba di sana setelah hari gelap. Maka untuk mempersingkat waktu
kita harus tetap mengerahkan ilmu
meringankan tubuh, agar tidak kemalaman di jalan."
Ranjita mendengarkan sambil
manggut-manggut. Tanpa berpikir dua kali, mereka segera melanjutkan
perjalanan. "Baik, Santiaji. Ayo, nanti kita malah kemalaman!" kata Ranjita dengan wajah
berseri-seri. *** Di tengah padang rumput yang cukup luas dan sunyi itu, melesat cepat bagaikan
kilat dua buah bayangan. Kedua bayangan itu sepertinya tengah berlomba
menggunakan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Santiaji
Pendekar Naga Putih 03 Algojo Gunung Sutra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maupun Ranjita sama-sama mengerahkan kemampuannya agar tiba lebih dahulu di bukit yang
dimaksud. Santiaji dan Ranjita terus berlari, sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh
yang sudah hampir mencapai taraf kesempurnaan. Keduanya seperti saling
mendahului, memang tingkat kepandaian mereka pada dasarnya seimbang. Maka tanpa
banyak mengalami kesulitan, keduanya tiba di bukit yang dituju secara bersama.
Plok plok plok!
Tiba-tiba terdengar tepukan riuh, yang
menyambut kedatangan mereka.
Keduanya tersentak kaget, dan segera menoleh ke arah asal suara tepukan itu.
Dan betapa terkejutnya mereka, ketika melihat seorang bertubuh jangkung dan
berkumis lebat telah berdiri tidak jauh dari situ. Orang itu memandang Santiaji
dan Ranjita disertai senyum mengejek.
"Ha ha ha...! Hebat.,, hebat! Suatu ilmu meringankan tubuh yang mengagumkan.
Tapi sayang masih mentah," ujar orang itu, seperti menghina.
"Hm, kata-katamu tepat sekali, Kisanak. Sungguh kami bukan bermaksud memamerkan
kepandaian yang tidak seberapa ini di hadapanmu. Siapakah, Kisanak ini?" tanya
Santiaji sambil membungkuk hormat. Wajahnya teriihat tenang, seolah-olah tidak
terpengaruh hinaan orang itu.
Orang bertubuh jangkung dan
berkumis lebat itu tertegun sejenak ketika mendengar jawaban Santiaji yang di
luar dugaannya. Sehingga untuk beberapa saat lamanya, hanya berdiri mematung
karena kehilangan kata-kata.
Tapi hal itu tidaklah berlangsung lama.
Tiba-tiba saja orang itu sudah mulai membuka mulut lagi.
"Ha ha ha...! Apakah kalian tidak akan lari terbirit-birit kalau
kuperkenalkan nama besarku?"
Seketika wajah Santiaji dan Ranjita memerah ketika mendengar perkataan yang
bernada penghina-an. Santiaji segera menyentuh tangan Ranjita yang sudah
melangkah maju, sambil mengepalkan tangan. Sejenak keduanya saling
bertatapan. Dan Ranjita segera
mengurungkan niatnya ketika Santiaji mengedipkan sebelah matanya sebagai isyarat
untuk bersabar.
"Maafkanlah kami yang tidak mengenai nama besarmu, Kisanak!
Maklumlah, kami hanya perantau yang memiliki sedikit bekal untuk menjaga diri.
Dan karena takut kemalaman di jalan, maka kami harus mempercepat perjalanan
untuk mencari tempat
menginap. Dapatkah Kisanak membantu untuk mendapatkan tempat bermalam yang
terdekat dari sini?" tanya Santiaji yang masih mencoba untuk menghindari
keributan. "Tentu saja dapat. Jaraknya dekat sekali!" jawab laki-laki kurus dan
berkumis lebat itu, penuh teka-teki.
Seringainya semakin melebar, sehingga wajahnya semakin tak sedap dipandang.
"Oh, benarkah?" Di manakah tempat itu, Kisanak tanya Santiaji berwajah cerah.
Meskipun sebenarnya merasa curiga, namun pertanyaan itu terlompat begitu saja
dari bibir Santiaji.
"Ha ha ha.... Tentu saja di sini.
Memangnya di mana lagi" Tempat ini sangat cocok utuk menginap kalian
selama-lamanya! Bahkan tidak akan dipungut uang sewa. Ha ha ha...!" setelah
berkata demikian, meledaklah tawa orang berkumis tebal itu.
"Kurang ajar! Monyet kurus, rupanya kau memang sengaja ingin mencari perkara
dengan kami. Baiklah, kalau memang itu yang diingini! Nah, sambutlah
seranganku! Hiaaattt...!"
Begitu ucapannya
habis, tubuh Ranjita segera melesat dibarengi teriakan menggeledek. Kedua tangan nya bergerak
cepat mencari kelemahan-kelemahan di tubuh lawan.
Rupanya dalam kemarahannya itu Ranjita telah mengeluarkan salah satu ilmu
andalannya, 'Menggetar Langit Mengacau Bumi.
Wuuuttt! Wuuusss!
Akibat yang ditimbulkan jurus yang dikeluarkan Ranjita memang begitu dahsyat.
Angin keras berputar,
seolah-olah di tempat itu tengah terjadi topan hebat. Sehingga untuk beberapa
saat lamanya, tempat itu menjadi gelap tertutup debu-debu yang mengepul keudara.
Sesaat orang bertubuh jangkung itu dibuat kagum oleh kehebatan ilmu lawannya,
namun sesaat kemudian senyum mengejek menghias wajahnya. Tiba-tiba dengan
gerakan gesit, orang bertubuh jangkung itu segera menyelinap di antara sambaran-
sambaran tangan Ranjita.
Gerakannya hebat sekali, seolah-olah yang terlihat hanya bayangan tubuhnya yang
berkelebat cepat mengurung Ranjita.
Sehingga ke mana pun Ranjita bergerak, tubuh jangkung itu selalu membayanginya.
Dan tentu saja hal ini membuat Ranjita menjadi terkejut. Dan diam-diam diakui
kehebatan lawannya itu.
Tiba-tiba saja Ranjita dikejutkan oleh sambaransambaran angin kuat yang
ditimbulkan pukulan lawan. Rupanya orang bertubuh jangkung itu sudah mulai
melepaskan serangan di antara kelebatan
tubuhnya. Dan secara
pelahan-lahan Ranjita mulai terdesak hebat. Hingga pada suatu saat, sebuah hantaman telapak
tangan lawan tidak dapat lagi dihindari lagi.
Deeesss! "Aaakh!" terdengar suara keluhan dari mulut Ranjita.
Pukulan yang mengandung tenaga
dalam yang tinggi itu telah mendarat di dada kirinya. Tanpa dapat dicegah lagi,
tubuh Ranjita terlempar dari arena pertempuran, dan jatuh tepat di hadapan
Santiaji. Ranjita berusaha bangkit, meski dadanya terasa bagai terbakar.
Dari sela-sela bibirnya tampak mengalir darah segar. Dadanya terasa sesak, dan
napasnya tersengal.
"Kau... kau tidak apa-apa,
Ranjita?" tanya Santiaji cemas, sambil berusaha membantu adik seperguruannya
bangkit "Uhuk..,, uhuk! Uh! Dia hebat sekali, Santiaji. Pukulannya mengandung hawa panas
yang amat kuat!
Berhati-hatilah menghadapinya," ujar Ranjita di antara batuknya.
Ranjita benar-benar tidak menyangka sama sekali bahwa kepandaian lawannya
ternyata demikian hebat. Rasanya untuk dapat mengatasi orang itu, dia harus
bergabung bersama Santiaji. Maka segera dikerahkan hawa murni untuk mengusir
hawa panas yang membakar dadanya.
Sementara itu, Santiaji sudah mulai bersiap untuk menghadapi orang bertubuh
jangkung yang sama sekali belum
dikenalnya. "Kisanak, apa maksudmu mencelakai kami"! Bukankah di antara kita tidak saling
mengenai dan tidak memiliki persoalan" Siapakah kau sebenarnya"!"
tanya Santiaji. Kemarahan di dadanya mulai memuncak, karena tanpa sebab apa pun
orang bertubuh jangkung itu ingin membunuh mereka.
"Ha ha ha...!
Dengarlah, manusia-manusia sombong dari Gunung Salaka! Aku adalah Algojo Gunung Sutra yang
akan menuntut balas atas kematian murid-muridku. Nah, bersiaplah menerima
hukuman!" bentak orang beriubah jangkung yang temyata berjuluk Algojo Gunung
Sutra. Suaranya begitu bengis dan berbau hawa maut.
Santiaji terkejut, sebab orang itu ternyata mengetahui asalnya. Tapi yang
membuatnya benar-benar terkejut adalah
ketika orang bertubuh jangkung itu memperkenalkan diri sebagai Algojo Gunung
Sutra. Untuk beberapa saat lamanya, Santiaji hanya dapat memandang dengan mulut
ternganga. Sebab, siapa yang tidak mengenai nama Algojo Gunung Sutra" Meskipun
dalam urutan perguruan hanya tergolong tokoh tingkat dua, namun menurut kabar
kepandaiannya cukup tinggi. Memang Santiaji yang sebelumnya tidak pernah bertemu
tokoh itu, tidak segera dapat mengenali. Baru setelah orang itu menyebutkan
julukannya, ia segera teringat akan ciri-ciri dari tokoh tersebut.
Setelah mengamati sesaat, barulah dapat dipastikan kalau orang itu benar-benar
Algojo Gunung Sutra, atau bernama asli Ki Ageng Sampang. Tapi hal itu justru
membuat lega hati Santiaji.
Sebab biar bagaimanapun juga, sebagai tokoh yang kepandaiannya tinggi, Ki Ageng
Sampang tentu lebih berpandangan luas dan tak akan turun tangan secara membabi
buta. "Ah! Maafkan aku, Ki. Benar-benar tidak kusangka kalau sekarang tengah
berhadapan dengan Ki Ageng Sampang yang sangat kuhormati. Sekali lagi aku mohon
maaf. Dan marilah kita membicarakan masalah yang sedang dihadapi ini, agar
semuanya menjadi terang dan jelas," ujar Santiaji, penuh hormat.
"Hm..., tidak perlu kau banyak tingkah lagi! Sekarang, kau bersiaplah untuk
segera kukirim keneraka!" teriak orang yang berjuluk Algojo Gunung Sutra itu,
dengan wajah berang.
"Tapi... tapi..., Ki...!"
Santiaji menjadi heran melihat
sikap yang ditunjukkan oleh tokoh utama dari Gunung Sutra itu. Dan sebelum dapat
berpikir lebih jauh lagi, Ki Ageng Sampang sudah menerjangnya dengan pukulan
ganas dan keji. Tentu saja Santiaji tak membiarkan tubuhnya dijadikan sasaran
pukulan itu. Dengan gerakan yang indah tubuhnya meliuk menghindari pukulan
lawan. Dan langsung dibalasnya dengan serangan-serangan cepat dan kuat. Sehingga
dalam waktu singkat, keduanya segera teriihat sebuah pertempuran sengit.
Tapi, memang pada dasarnya
kepandaian Santiaji masih jauh di bawah kepandaian Algojo Gunung Sutra. Maka
setelah lewat dua puluh jurus, tampak'
Santiaji mulai terdesak. Dapat
dipastikan, tidak lama lagi Santiaji pasti tidak dapat menahan gempuran lawan.
Algojo Gunung Sutra atau Ki Ageng Sampang nampak semakin bernafsu untuk segera
menjatuhkan lawannya. Pukulannya pun semakin cepat dan kuat sehingga Santiaji
semakin tak berdaya dibuatnya.
Melihat keadaan
saudara seperguruannya yang tengah diincar maut itu, Ranjita yang keadaannya sudah pulih
kembali segera melompat ke arena pertempuran membantu Santiaji. Tentu saja hal
ini, sangat menggembirakan hati Santiaji. Dengan masuknya Ranjita, dia dapat
terbebas dari desakkan lawannya.
Tanpa banyak bicara lagi, keduanya pun segera bekerja sama menghadapi Algojo
Gunung Sutra yang amat lihai itu.
Menghadapi gempuran dan kerja sama yang kompak saudara seperguruan itu, Algojo
Gunung Sutra pun semakin
memperhebat serangannya. Namun karena Santiaji dan Ranjita bertempur secara
saling mengisi dan melindungi, maka cukup sulit bagi lawan untuk segera
menguasai mereka.
Sudah tiga puluh jurus kedua belah pihak berusaha saling menjatuhkan. Tapi
sampai sejauh itu, belum ada tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Dan
hal ini membuat Algojo Gunung Sutra menjadi marah dan penasaran. Hingga pada
suatu kesempatan, dia melepaskan pukulan cepat Kedua telapak tangannya terbuka
mengarah dada dua lawannya sambil mengerahkan seluruh tenaga dalam.
Wuuusss! Wuuusss!
Bukan main hebatnya serangan Algojo Gunung Sutra itu. Jangankan terkena hantaman
telapak tangan. Terlanggar angin pukulan saja, lawan yang tidak mempunyai tenaga
dalam kuat akan tewas seketika dengan dada ringsek.
Santiaji dan Ranjita tentu saja
menyadari bahaya pukulan lawan. Keduanya segera mengempos semangat, dan langsung
menggabungkan tenaga dalam sambil berpegangan tangan. Dengan kuda-kuda rendah,
mereka segera menyambut pukulan lawan dengan telapak tangan kiri.
Blannng! "Aaahhh...!"
Terdengar ledakan dahsyat ketika tenaga dalam mereka beradu. Hebat sekali akibat
bentrokan tenaga dalam tingkat tinggi itu, sehingga ledakan itu menggetarkan
udara di sekitar arena
pertempuran. Santiaji dan Ranjita yang mengalami benturan itu, terlempar ke
udara diiringi jerit kesakitan. Keduanya jatuh terduduk sambil menekan dada yang
terasa berguncang. Terlihat dari sela-sela bibir mereka, cairan merah menetes.
Sedangkan lawannya yang juga
terpental akibat benturan tadi, mudah sekali mendaratkan kakinya di tanah.
Gerakannya ringan, tanpa luka sedikit pun. Hanya kedua lengannya saja yang
terasa bergetar. Dari sini saja sudah dapat diketahui kalau tenaga dalam Ki
Ageng Sampang jauh lebih tinggi daripada mereka berdua.
"Ha ha ha...! Bersiaplah! Sebentar lagi malaikat maut akan datang menjemput
kalian!" ejek Algojo Gunung Sutra itu, jumawa.
Setelah berkata demikian, tubuh
laki-laki tinggi berkumis itu segera melayang. Kedua lengannya ter-kembang,
mengarah pada batok kepala Santiaji dan Ranjita yang masih terduduk tak
bergerak. "Heaaattt...!"
Darrr! Darrr! Debu mengepul tinggi, ketika
pukulan kedua tangan Ki Ageng Sampang mengenai tanah yang terdiri dari batu-batu
cadas itu. Rupanya Santiaji dan Ranjita yang semula sengaja berdiam diri untuk
memulihkan tenaga, segera melesat menghindari serangan ketika pukulan lawan
hampir tiba. Serangan lawan hanya mengenai batu-batu cadas sehingga hancur
berkeping-keping. Dan kini mereka sudah bersiap-siap kembali menghadapi orang
tua lihai itu. Melihat lawannya dapat menghindari serangan, Algojo Gunung Sutra semakin meluap-
luap kemarahannya.
"Huh, sayang! Aku tidak mempunyai banyak waktu untuk menghadapi kalian!"
ujar Algojo Gunung Sutra geram.
Pedang Awan Merah 1 Kuda Kudaan Kumala Seri Oey Eng Burung Kenari Karya Siau Ping Tusuk Kondai Pusaka 8
kelihatan menegang.
"Tidak salah penglihatanmu. Akulah Surya Kencana yang berjuluk si Tangan Pedang
itu! Hm, Gandaruwo Hutan Jagal.
Kalau kau bukan seorang pengecut, pasti mau mengakui perbuatanmu yang telah
membantai lima belas orang pemuda secara kejam di hutan dekat Kaki Gunung Salaka
dua minggu lalu! Apakah kau akan
menyangkal?" tanya Ki Surya Kencana.
Sengaja nada suara pada kata-kata
'Pengecut' diberikan tekanan agar reaksi Gandaruwo Hutan Jagal terpancing. Namun
demikian, hatinya dibuat setenang mungkin.
Memang pada umumnya tokoh-tokoh
golongan hitam, paling tabu dengan kata-kata pengecut. Masalahnya, mereka rata
rata memiliki hati sombong dan paling suka menonjolkan kekejamannya.
"Hm, jadi kau sengaja turun gunung untuk mencariku, orang tua peot" He he he....
Memang sudah lama ingin kurasakan ketajaman tangan pedangmu! Nah! Kalau memang
aku yang melakukannya, apa yang akan kau perbuat?" tantang Gandaruwo Hutan Jagal
sambil bertolak pinggang.
Sikapnya angkuh sekali.
"Hm. Kalau memang demikian, harus ikut aku ke Gunung Salaka untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan biadabmu itu!" kata Ki Surya Kencana bernada
mengancam. "He he he...! Lakukanlah kalau mampu, orang tua peot!" tantang Gandaruwo Hutan
Jagal sambil memperdengarkan tawanya yang panjang.
"Hm. Bersiaplah kau, Gandaruwo Hutan Jagal! Hiaaattt..!" sambil berteriak
mengguntur, tubuh Ki Surya Kencana meluncur deras. Kedua tangan berputar mencari
sasaran yang mematikan.
Hebat sekali serangan yang
dilakukan tokoh sakti dari Perguruan Gunung Salaka itu. Angin keras
menderu-deru mengiringi putaran
tangannya seolah menjadi banyak Dan tahu-tahu tangan kanannya me-nyembul keluar,
menusuk ke arah tenggorokan Gandaruwo Hutan Jagal dengan kecepatan kilat.
Wuuusss...! Gandaruwo Hutan Jagal mengetahui kelihaian lawan. Dikerahkan tenaganya menyambut
serangan lawan. Dan
merendahkan kakinya agak miring serta tangan kirinya cepat mengnakis tusukan
tangan Ki Surya Kencana ke
tenggorokannya itu.
Dukkk! Terdengar benturan keras. Tubuh Ki Surya Kencana terpental. Namun dengan gerakan
indah, tubuh orang tua itu berputar di udara empat kali. Dan mendarat di atas
berumput. Hatinya terkejut, tangannya te-rasa bergetar
ketika beradu dengan tangan lawan.
Diam-diam dipujinya kekuatan tenaga sakti lawannya.
Demikian halnya Gandaruwo Hutan
Jagal. Tubuhnya yang tinggi besar itu, terpelanting ketika menangkis serangan
lawannya. Lengan kirinya yang digunakan untuk menangkis terasa linu dan nyeri.
Gandaruwo Hutan Jagal merasa terkejut.
Sama sekali tak disangka tenaga dalam lawannya sangat kuat. Bahkan mungkin lebih
kuat daripada tenaganya.
"Gila! Tak kusangka tenaga orang tua itu demikian kuat," umpat Gandaruwo Hutan
Jagal dalam hati.
Kedua kembali berhadapan sambil
meneliti posisi lawan. Rupanya dalam pertemuan tenaga tadi masing masing sudah
dapat mengukur kemampuan lawan.
Sehingga kali ini keduanya teriihat lebih berhati-hati dalam melakukan serangan
berikutnya. "Haaattt!"
Dengan sebuah teriakan yang sember, Gandaruwo Hutan Jagal ,mencoba membuka
serangan mendahului lawan. Kedua tangannya melakukan serangan secara bergantian,
diiringi pukulan yang mengandung tenaga dalam tinggi. Angin
tajam menderu-deru dan menyambar demikian kuat. Bumi di sekitar tempat
pertarungan terasa bergetar, ketika tubuh tinggi besar itu berlompatan lincah
dan cepat Melihat lawannya sudah membuka
serangan, maka Ki Surya Kencana tak tinggal diam. Kedua tangannya kembali
berputar hingga menimbulkan suara mengaung ribut. Daun-daun pohon di sekitar
pertarungan berguguran
terianggar angin pukulan bertenaga dalam yang amat kuat. Dan sekejap saja
keduanya segera terlibat sebuah pertarungan yang hebat dan sengit.
Jurus demi jurus berlalu cepat.
Hingga tanpa terasa pertarungan sudah mencapai jurus yang kedua puluh. Namun
keduanya masih teriihat seimbang, dan tanpa mampu mendesak lawannya
masing-masing. Sehingga, pertempuran semakin teriihat alot saja.
Ki Surya Kencana berusaha mendesak lawannya lewat serangan-serangan yang gencar
dan berbahaya. Setiap serangan di arahkan pada bagian-bagian yang
mematikan di tubuh lawannya. Namun sampai sedemikian jauh, dia merasa masih
belum perlu mengeluarkan ilmu
andalannya, ilmu 'Tangan Pedang'. Dengan ilmu itu namanya menjadi terangkat
dalam dunia persilatan pada dua puluh tahun lalu. Ilmu andalannya masih belum
dikerahkan, karena sampai sejauh ini serangan-serangan lawan masih dapat
diatasi. Sementara itu, Gandaruwo Hutan
Jagal semakin lama semakin merasa terkejut akan kelihaian lawannya yang sudah
tua itu. Dengan susah payah berusaha dibalas serangan-serangan Ki Surya Kencana.
Memang cukup ganas dan berbahaya. Kedua tangannya yang mengepal itu, menyambar-
nyambar ganas ke
bagian-bagian terlemah di tubuh
lawannya. Demikian pula dengan Gandaruwo
Hutan Jagal. Seperti halnya Ki Surya Kencana, dia pun sampai sejauh ini belum
mengeluarkan ilmu
andalannya. Menurutnya, rasa nya belum pernah mempergunakannya.
Tempo pertarungan semakin lama
semakin cepat. Sepuluh jurus kembali terlewat. Ketika menginjak jurus yang
ketiga puluh empat, Gandaruwo Hutan Jagal tak sempat lagi menghindar dari
tebasan sisi telapak tangan Ki Surya
Kencana yang meluncur bagai kilat menuju lambungnya. Maka tahu-tahu saja tangan
orang tua itu telah menghajar lambung sebelah kanannya.
Buuukkk! "Uhhhkkk...!" lenguh Gandaruwo Hutan Jagal.
Tubuh laki-laki tinggi besar itu terpelanting sejauh dua batang tombak lebih.
Belum lagi, Gandaruwo Hutan Jagal menyadari apa yang terjadi, kembali datang
serangan yang demikian cepat. Dan untuk menghindarinya lelaki seram itu langsung
bergulingan menjatuhkan diri.
Dan dengan gerakan gesit tubuhnya melenting berdiri, membentuk kuda-kuda kokoh.
Gandaruwo Hutan Jagal meringis
merasakan pedih pada kulit lambungnya, yang terkena hantaman tangan lawan tadi.
Biarpun pukulan itu cukup keras, namun sama sekali tidak mengakibatkan luka yang
parah pada tubuhnya.
Diiringi gerengan yang
menggetarkan, Gandaruwo Hutan Jagal segera mencabut keluar senjatanya berupa
gada yang teriihat berat. Dengan penuh kemurkaan, Gandaruwo Hutan Jagal memutar-
mutar senjatanya di atas kepala
hingga menimbulkan suara angin
menderu-deru. Daun-daun dan ranting berterbangan terlanda putaran angin yang
sangat kuat itu. Rupanya Gandaruwo Hutan Jagal telah mengeluarkan jurus andalan
'Putaran Angin Puyuh', yang terkenal kehebatannya.
Melihat lawannya sudah mulai
mengeluarkan ilmu andalan, Ki Surya Kencana pun tidak ingin berbuat ceroboh.
Kehebatan ilmu itu pernah didengarnya.
Maka segera digerakkan tangannya secara bersilangan, sehingga terdengar suara
berdesing keras. Padahal gerakan orang tua itu sepertinya tidak terialu cepat
Namun, desingan angin tajam yang ditimbulkan telah mampu membuat
permukaan kulit lawan terluka. Memang betapa ampuhnya ilmu yang bernama 'Tangan
Pedang' itu. Bahkan ketajamannya tidak kalah dengan sambaran pedang yang tajam.
"Yeeeaaahhh...!"
Disertai teriakan yang menggetarkan jantung, tubuh Gandaruwo Hutan Jagal meluruk
deras ke arah Ki Surya Kencana.
Serangannya begitu dahsyat! Angin keras berputar dan menderu-deru menyertai
luncuran gadanya yang besar dan berat itu.
Weeerrr...! Weeerrr...!
"Haiiit..!"
Tubuh Ki Surya Kencana bergerak
indah. Kakinya bergeser ke samping kanan sambil melepaskan sebuah tusukan yang
menimbulkan suara mencicit tajam ke arah lambung kiri lawannya. Tusukan tangan
kiri dengan jari-jari terbuka itu, demikian hebatnya. Apabila mengenai sasaran,
maka dapat dipastikan tubuh lawan akan tertembus tak ubahnya tertusuk pedang.
Memang, tusukan itu didorong oleh tenaga dalam yang tinggi.
Tentu saja Gandaruwo Hutan Jagal tidak membiarkan lambungnya ditembus jari-jari
tangan lawan. Dengan egosan yang tidak kalah hebatnya, segera diputar tubuhnya
sambil menghantam gada ke punggung Ki Surya Kencana.
Wuuuttt...! Suara angin pukulan gada itu
mengaung tajam. Kecepatannya hampir tidak teriihat mata biasa. Hebat sekali
pukulan yang diiancarkan Gandaruwo Hutan Jagal itu. Jangankan tubuh manusia.
Batu karang pun akan hancur berkeping-keping apabila terhantam!
Ki Surya Kencana cepat-cepat
merendahkan tu buhnya, sehingga serangan lawannya lewat di atas ke pala. Dan
sebelum Gandaruwo
Hutan Jagal memperbaiki posisi, tiba-tiba tubuh Ki Surya Kencana melesat tinggi melewati
kepala lawannya. Segera dilepaskan sebuah bacokan yang disertai tenaga dalam
penuh dalam upaya membelah kepala lawan.
Bukan main berbahayanya serangan laki-laki tua itu. Apalagi dilakukan secara
mendadak. Sehingga untuk sesaat, Gandaruwo Hutan Jagal menjadi gugup.
Buru-buru dilempar tubuhnya ke kiri.
Siiinnng! Crattt! "Aaakkk...!"
Terdengar jerit melengking
kesakitan yang keluar dari mulut Gandaruwo Hutan Jagal. Sambil memegangi kaki
kirinya yang tersayat tebasan tangan lawannya, laki-laki seram itu meringis
kesakitan. Rupanya walaupun dia mampu berkelit, namun tetap saja tebasan Ki
Surya Kencana mengenai kaki kirinya.
Darah pun langsung mengucur dari lukanya.
"Kurang ajar! Monyet tua! Rupanya kau benar-benar tidak bisa dikasih hati!
Awas! Kulumat tubuhmu dan akan kumakan jantungmu, setan!" umpat Gandaruwo Hutan
Jagal karena merasa kecolongan.
"He he he.... Jangan hanya bisa berteriak-teriak, gendut jelek! Ayo, buktikan
ucapanmu!" ejek Ki Surya Kencana sambil tertawa.
"Setannn.... Iblisss...! Kubunuh, kau! Heaaattt...!" umpat Gandaruwo Hutan
Jagal. Selesai berkata demikian tubuh
Gandaruwo Hutan Jagal melesat ke arah Ki Surya Kencana, melakukan
serangan-serangan cepat dan berbahaya.
Segera dia berputar beberapa kali di udara, disertai putaran gada yang
menimbulkan suara menderu-deru. Dalam kemarahannya itu rupanya Gandaruwo Hutan
Jagal telah mengeluarkan jurus-jurus terakhir dari ilmu 'Putaran Angin Puyuh'.
Ki Surya Kencana sempat terkejut melihat tubuh lawanya berputar di udara itu.
Bahkan kadang-kadang melepaskan pukulan gadanya tanpa terduga. Diam-diam diakui
kehebatan jurus lawannya. Namun, Ki Surya Kencana tidak dapat berpikir
lebih jauh lagi. Karena pukulan-pukulan lawan yang berbahaya itu tidak dapat
dibiarkan begitu saja.
Dengan cepat, Ki Surya Kencana
segera mengempos seluruh kekuatan tenaga sakrinya. Dan tiba-tiba saja tubuh
laki-laki tua itu bergerak sangat cepat.
Kedua kakinya secara bergantian
melakukan langkah-langkah yang sulit dan membingungkan. Sedangkan kedua
tangannya bergerak-gerak, sukar diduga arahnya. memang hebat sekali jurus ilmu
'Tangan Pedang' tingkat terakhir yang diperlihatkan Ki Surya Kencana itu.
Seolah-olah tubuhnya timbul tenggelam tertutup gerakan tangan yang luar biasa
cepatnya itu. Dalam sekejap saja keduanya kembali terlibat pertarungan yang lebih sengit dan
mendebarkan. Masing-masing
berkelebat sambil melepaskan
serangan-serangan yang tidak terduga.
Kadang-kadang tubuh mereka terpisah karena benturan-benturan tangan. Dan dalam
beberapa saat saja, pertempuran telah berjalan tiga puluh jurus.
Gandaruwo Hutan Jagal bernafsu
sekali untuk segera dapat menjatuhkan lawan. Serangannya semakin gencar dan
berbahaya. Pukulannya yang mengandung tenaga dalam penuh, menyambar-nyambar di
sekitar tubuh lawan. Hebat sekali serangan-serangan yang dilakukan tokoh hitam
itu. Kalau saja bukan Ki Surya Kencana yang dihadapi, mungkin lawannya sudah
tewas di tangan Gandaruwo Hutan Jagal yang lihai dan ganas itu.
Karena yang dihadapinya adalah
lawan yang telah mewarisi hampir seluruh ilmu tinggi Perguruan Gunung Salaka,
maka serangan-serangan Gandaruwo Hutan Jagal selalu kandas dan mengenai tempat
kosong. Meskipun demikian, Ki Surya Kencana pun tidak mudah untuk
menjatuhkan lawannya. Dia terus berusaha keras mendesak lawannya lewat
serangan-serangan yang tidak kalah berbahayanya. Namun sampai sejauh itu.
Lawan belum juga terdesak.
Sementara tanpa mereka ketahui
pertarungan telah bergeser cukup jauh dari semula. Pertarungan yang semula
berlangsung di daerah berumput, kini berpindah ke daerah berbatu-batu, di tepi sungai yang mengalir jernih.
Batu-batu yang bertonjolan di permukaan tanah, melesak terkena jejakan kaki-kaki
yang bertenaga dalam kuat.
"Heaaattt...!"
Memasuki jurus keempat puluh tujuh, Gandaruwo Hutan Jagal berteriak
melengking tinggi. Tubuhnya yang tinggi besar itu meluruk deras, sejajar dengan
permukaan tanah. Dia melakukan serangan dahsyat dam memarikan. Tangan kirinya
dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah dua mata lawan. Sementara tangan
kanannya yang memegang gada,
berputar-putar menimbulkan suara mengaung keras. Rasanya tubuh Ki Surya Kencana
siap dijadikan sasaran pukulan!
Hebat dan ganas sekali serangan yang dilakukan Gandaruwo Hutan Jagal kali ini.
Ki Surya Kencana yang mengetahui serangan berbahaya itu, cepat
menjatuhkan tubuhnya ke depan, dengan posisi terlentang. Dan dengan kecepatan
luar biasa, tiba-tiba kedua kakinya mencuat ke atas menghantam perut Gandaruwo
Hutan Jagal. Laki-laki tinggi besar itu menjadi terkejut setengah mati karena
tidak menduga bahwa lawannya akan melakukan serangan demikian. Karena tidak ada
waktu untuk menghindar, Gandaruwo Hutan Jagal segera mengerahkan
tenaga dalamnya untuk melindungi perut dari tendangan itu.
Deeesss! "Ouuugggh...!" lenguh Gandaruwo Hutan Jagal.
Ternyata hantaman kedua kaki Ki
Surya Kencana mendarat telak di perut laki-laki seram itu. Tubuh yang tinggi
besar itu melambung ke udara, lalu jatuh di tanah dengan kerasnya sehingga
menimbulkan suara berdebuk. Dari sela-sela bibirnya mengalir darah segar.
Sambil membungkuk merasakan sakit pada perut, Gandaruwo Hutan Jagal berusaha
bangkit dengan bertumpu pada gadanya.
Walaupun tubuhnya limbung, tapi
Gandaruwo Hutan Jagal berusaha berdiri tegak. Kembali dia bersiap menghadapi
lawannya. "Hm.... Manusia biadab, terimalah hukumanmu!" ancam Ki Surya Kencana.
Setelah berkata demikian, Ki Surya Kencana kembali melancarkan serangan ke arah
lawannya. Kedua tangannya bergerak cepat hingga menimbulkan suara mencicit
Pendekar Naga Putih 03 Algojo Gunung Sutra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tajam. Dan tiba-tiba saja tangan kirinya sudah meluncur ke ulu hati lawan.
Menyadari kalau tidak mungkin
menghindar, Gandaruwo Hutan Jagal hanya
berdiri tegak sambil menanti serangan lawan. Sedangkan tangan kanannya
menggenggam gadanya erat-erat agar sewaktu-waktu dapat dihantamkan ke kepala
lawannya. Licik sekali manusia iblis itu. Dalam keadaan terjepit, dia sengaja
ingin mengadu nyawa.
Ki Surya Kencana sempat merasa
terkejut melihat lawannya tidak
bergeming sedikit pun. Namun, untuk menarik pulang serangannya sudah tidak
mungkin dilakukan. Serangannya itu memang sudah dekat sekali ke tubuh lawan.
Dan..... Jreeebbb! Wuuuttt! Kraaakkk! "Arrrggghhh...!"
"Aaahhhkkk...!"
Masing-masing orang yang tengah
mengadu nyawa itu menjerit bareng dengan tubuh terhuyung-huyung. Rupanya pada
saat jari-jari tangan kanan Ki Surya Kencana menembus tubuhnya, Gandaruwo Hutan
Jagal membarengi dengan ayunan gada ke kepala lawan. Saat itu, Ki Surya Kencana
tidak mempunyai waktu lagi untuk menghidar. Terpaksa diangkat tangan kirinya
menyambut hantaman tersebut.
Akibatnya, kini tulang lengan kirinya remuk terhantam gada yang berat dan
mengandung tenaga kuat. Kedua orang itu sama-sama terpental balik ke belakang.
Ki Surya Kencana marah bukan main ketika mendapat kenyataan tulang lengan
kirinya remuk. Dengan kemarahan
meluap-luap, tubuh laki-laki itu meluncur deras ke arah Gandaruwo Hutan Jagal
yang masih terhuyung-huyung sambil menekap ulu hatinya yang terluka itu.
Maka seketika Ki Surya Kencana
membabatkan tangan kanan ke leher lawan menggunakan ilmu 'Tangan Pedang'. Itu
pun masih disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
Gandaruwo Hutan Jagal yang sudah terluka hanya dapat memandang dengan mata
membelalak ngeri. Rasanya sudah tidak mungkin lagi menghidar dari tebasan maut
itu. Siiinnng! Craaakkk! Terdengar suara bagaikan sebatang pedang menebas tulang. Tangan Ki Surya Kencana
tepat menebas putus leher Gandaruwo Hutan Jagal itu. Darah langsung menyembur
dari leher yang tanpa kepala itu. Tubuh tinggi besar tanpa
kepala masih berdiri limbung,
bergoyang-goyang ke kiri dan kanan. Ki Surya Kencana yang sudah diliputi amarah
yang memuncak, segera menggerakkan kakinya menendang tubuh Gandaruwo Hutan
Jagal. Desss! Tubuh tinggi besar tanpa kepala itu, terpental sejauh tiga tombak dan ambruk
tanpa dapat bangkit lagi. Tamat sudah riwayat Gandaruwo Hutan Jagal yang sangat
kejam dan buas di tangan Ki Surya Kencana. Tapi laki-laki tua itu harus
mengorbankan tangan kirinya yang tak mungkin berfungsi lagi.
Tokoh kedua Perguruan Gunung Salaka itu berdiri mematung, memandangi mayat
Gandaruwo Hutan Jagal yang tewas menyedihkan. Setelah menotok pangkal lengan
agar darah berhenti mengalir, laki-laki tua itu pun melangkah
meninggalkan bekas arena pertempuran.
Biarpun harus kehilangan kirinya, namun Ki Surya Kencana tersenyum puas karena
telah berhasil menunaikan tugasnya dengan baik.
Hembusan angin terasa lembut
silir-silir, mengiringi langkah Ki Surya Kencana yang akan kembali ke Gunung
Salaka. Memang, untuk sementara tugasnya telah selesai.
* * * 5 Beberapa saat sepeninggal si Tangan Pedang atau Ki Surya Kencana, beberapa sosok
tubuh berjalan ke arah bekas tempat pertempuran. Jumlahnya sekitar tiga belas
orang. Wajah mereka rata-rata memancarkan sifat kejam dan licik.
Masing-masing di pinggang tergantung sebatang pedang, yang menandakan bahwa
mereka dari rimba persilatan. Dan kalau melihat dari tingkah dan penampilan,
jelaslah bahwa ketiga belas orang itu dari golongan hitam.
Tiba-tiba orang yang berjalan
paling depan menghentikan langkahnya seraya memandang berkeliling dengan kening
berkerut. Rupanya hatinya merasa heran melihat keadaan di sekeliling yang
teriihat porak-poranda itu.
"Hm.... Di tempat ini seperti baru saja terjadi pertempuran hebat. Entah, tokoh-
tokoh mana yang telah bertarung di
tempat ini. Kalau dilihat dari
bekas-bekasnya, pastilah mereka bukan orang sembarangan?" ujar orang yang
berjalan paling depan. Sepertinya dia merupakan pimpinan dari kedua belas orang
lainnya. Mukanya kuning pucat, dan wataknya licik. Jadi, wajarlah kalau kaum
rimba persilatan menjulukinya, Ular Muka Kuning.
"Betul, Ketua! Dan sepertinya pertempuran itu belum lama terjadi!"
jelas orang yang berada di belakangnya, dengan wajah terheran-heran.
Si pemimpin yang berwajah kuning itu melangkah pelahan-lahan mengitari tempat
bekas pertempuran tadi. Dan kerutan pada keningnya teriihat semakin dalam,
ketika memperhatikan bekas-bekas pertempuran yang terus bergeser dari tempat
semula. "Hm, rupanya pertempuran itu semakin bergeser ke tepi sungai. Jelas pertempuran
itu pasti berlangsung lama dan sangat seru," ujar Ular Muka Kuning semakin
heran. "Ketua, lihat! Di sini ada kepala manusia!" teriak salah seorang anak buahnya.
Laki-laki berperawakan kekar
itu juga ikut memeriksa sekitar daerah tepian sungai.
Orang yang dipanggil ketua dan
berjuluk Ular Muka Kuning itu bergegas menghampiri salah seorang anak buahnya
yang berteriak tadi. Dan matanya
terbelalak seketika, karena dikenali betul kepala tanpa tubuh itu. Sejenak
diedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu. Sikapnya benar-benar waspada.
Namun ketika tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, laki-laki yang memiliki
wajah kuning itu kembali menatap kepala tanpa tubuh.
"Gila! Siapa yang telah membunuh Gandaruwo Hutan Jagal ini" Hm, kalau orang itu
telah mampu membunuh Gandaruwo Hutan Jagal, tentu kepandaiannya sangat hebat,"
gumam Ular Muka Kuning, pelan.
"Kalau melihat keadaan kepala tanpa tubuh ini, pastilah orang yang telah
membunuhnya belum pergi terlalu jauh.
Mari kita kejar!"
Setelah berkata demikian, Ular Muka Kuning segera melesat, diikuti dua belas
orang anak buahnya.
Ketiga belas orang itu terus berlari menuju arah Selatan. Sebentar-sebentar sang
ketua yang berjuluk Ulang Muka
Kuning menghentikan langkahnya seraya memandang berkeliling. Setelah
memastikan arah yang dituju, kembali dilanjutkan pengejaran. Mulutnya seketika
tersenyum saat dari kejauhan dilihatnya sosok berpakaian putih yang berlari
sambil memegangi tangan kirinya.
"Hei, tunggu!" teriak Ular Muka Kuning ketika jaraknya tinggal beberapa puluh
tombak lagi. Orang berbaju putih yang tak lain adalah Ki Surya Kencana tersentak kaget,
ketika mendengar teriakan tadi. Untuk beberapa saat lamanya orang tua itu
kelihatan ragu-ragu. Namun tetap dihentikan langkahnya dan menunggu kedatangan
serombongan orang itu. Hati Ki Surya Kencana menjadi heran, karena merasa tidak
pernah berurusan terhadap mereka.
"Hei, Orang Tua! Ke mana tujuanmu"
Mengapa begitu terburu-buru?" tanya Ular Muka Kuning setelah dekat. Pandang
matanya penuh selidik. Sedangkan hatinya menjadi curiga ketika melihat lengan
baju sebelah kiri orang tua itu ada tetesan darah yang sepertinya masih baru.
"Oh! Aku..., aku hendak pergi ke desa sebelah untuk menengok cucuku yang sakit
keras," jawab Kl Surya Kencana terpaksa berbohong. Dia tidak ingin mencari
keributan tanpa sebab. Jawabnya pun dibuat gugup, agar penyamarannya tidak
terbongkar. "Hm.... Lengan kirimu kenapa, Orang Tua! Nampaknya seperti luka yang masih baru.
Boleh kulihat?" tanya Ular Muka Kuning, semakin berani.
Dan sebelum Ki Surya Kencana
merijawab. Laki-laki bermuka kuning itu sudah mengulurkan tangannya ke arah
tangan kiri Ki Surya Kencana yang tergantung lumpuh itu.
Orang kedua di Perguruan Gunung Salaka itu segera menggeser kakinya kebelakang
sehingga tangkapan Ular Muka Kuning mengeriai tempat kosong. Dan tanpa disadari,
hawa murni Ki Surya Kencana segera menyebar melindungi tubuhnya.
"Hm. Sudah kuduga! Kau pasti mempunyai sedikit kepandaian, Orang Tua!
Kalau melihat luka di tanganmu, rasanya baru saja habis bertarung. Apakah
tanganmu yang telah membunuh Gandaruwo Hutan Jagal?" tanya Ular Muka Kuning.
Hatinya diliputi keraguan karena melihat penampilan orang tua itu yang
sederhana. "Benar! Akulah yang membunuhnya.
Siapa kalian dan apa maksudnya
menghadang perjalananku?" tegas Ki Surya Kencana seraya balik bertanya.
Sebagai seorang
pendekar, dia memang tidak pernah kecut hatinya. Maka, dengan beraninya diakui segera
perbuatannya terhadap Gandaruwo Hutan Jagal. Tapi, pengakuannya itu sama sekali
bukan karena terdorong oleh kesombongan. Itu memang sudah jadi sifatnya, untuk
tidak lari dari
tanggungjawab terhadap segala
perbuatannya. "Hhh! Jangan besar kepala dulu, Orang Tua! Aku adalah sahabat Gandaruwo Hutan
Jagal. Kau telah berhutang nyawa pada temanku. Maka aku harus menebusnya dengan
nyawamu! Bersiaplah!" bentak Ular Muka Kuning, sambil menggeram.
"Tunggu dulu! Siapa kau
sebenarnya?" tanya Ki Surya Kencana, heran.
"Hm. Kau pasti belum pernah mengenal orang yang berjuluk Ular Muka Kuning.
Itulah julukanku! Sekarang, sebutkan namamu, agar kau tidak mati sia-sia!"
bentak Ular Muka Kuning lagi. Hatinya memang diliputi kegeraman.
"Kalau kau belum kenal diriku, baiklah! Akulah Ki Surya Kencana! Nah!
Kini aku sudah siap, Ular Muka Kuning!"
tantang Ki Surya Kencana tidak kalah garangnya. Dia memang sudah bersiap-siap
menjaga segala kemungkinan.
"Eh, tunggu dulu! Rupanya kaulah yang berjuluk si Tangan Pedang dari Gunung
Salaka"! Ha ha ha...! Ternyata julukanmu lebih terkenal daripada namamu sendiri.
Bersiaplah untuk mampus, kakek peot!"
Setelah berkata demikian, Ular Muka Kuning segera menggerakkan tangannya.
Murid-muridnya yang mengerrj isyarat itu serempak maju mengeroyok Ki Surya
Kencana. Dengan teriakan-teriakan keras mereka segera membabatkan senjatanya ke
arah orang tua yang berjuluk si Tangan Pedang. Terdengar berdesingan ketika
senjata-senjata itu menyambar-nyambar ganas.
Ki Surya Kencana yang sudah menduga kalau tiga belas orang itu bukan orang baik-
baik, segera bersikap waspada. Maka ketika musuh-musuhnya mulai menyerang,
segera dikerahkan kelincahan kakinya
untuk menghindari serangan
lawan-lawannya. Namun sayang sekali gerakannya tidak selincah semula. Tentu
saja, ini karena tangan kirinya yang telah lumpuh yang sangat mengganggu
gerakannya. Sebentar-sebentar terlihat wajahnya menyeringai menahan rasa nyeri
pada lukanya. Melihat gerakan orang tua itu yang tersendat-sendat, Ular Muka Kuning segera
melesat dan ikut maju mengeroyok.
Akibatnya keadaan Ki Surya Kencana menjadi terdesak. Serangan Ular Muka Kuning
menderu-deru mencari
bagian-bagian yang mematikan. Ternyata dia memang cukup lihai.
Pada suatu kesempatan, salah
seorang pengikut Ular Muka Kuning menyabetkan pedangnya ke pinggang Ki Surya
Kencana. Namun dengan gerakan ringan, orang tua itu segera menggeser tubuhnya.
Maka, serangan itu hanya lewat tanpa mengenai sasaran. Dan sebelum orang itu
menyadari keadaannya,
tahu-tahu saja tangan Ki Surya Kencana cepat meluruk membelah dadanya.
"Aaakh!"
Terdengar teriakan menyayat ketika bacokan tangan Ki Surya Kencana mengenai
sasaran. Tubuh orang itu terjengkang dan tewas seketika dengan dada terbelah.
Cepat-cepat Ki Surya Kencana menyambar senjata orang itu. Dan dengan gerakan
indah, dia melompat. Tubuhnya berputar beberapa kali, kemudian mendarat ringan
sejauh enam tombak dari lawan-lawannya.
"Aaakh!" Terdengar teriakan menyayat ketika bacokan tangan Ki Surya Kencana
mengenai sasaran. Tubuh orang itu terjengkang dan tewas seketika dengan dada
terbelah! Ki Surya Kencana pun segera
menyambar senjata orang itu, untuk memotong lengan kirinya yang tergantung
lumpuh! Dan tiba-tiba orang tua itu
menggerakkan senjata rampasannya ke arah tangan kiri yang tergantung lumpuh itu.
Crakkk! Tangan kiri Ki Surya Kencana yang sudah lumpuh itu kini putus sebatas siku.
Sambil menggigit bibir, orang tua itu menotok pangkal lengannya untuk
menghentikan darah. Hal itu sengaja dilakukan, agar gerakannya tidak terganggu.
Pada saat itu Ular Muka Kuning sudah mencabut golok bergerigi, yang
tergantung di pinggang. Langsung dilancarkan serangan cepat dan kuat.
Angin tajam berdesing mengiringi serangannya.
Ki Surya Kencana mengegoskan
tubuhnya kesamping, menghindari
serangan lawan. Untunglah! Serangan Ular Muka Kuning hanya mengenai tempat
kosong. Tapi alangkah terkejutnya hati Ki Surya Kencana ketika golok besar
bergerigi itu meliuk-liuk bagaikan ular hidup dan kembali mengancam tubuhnya.
Cepat-cepat direndahkan tubuhnya sambil melepaskan sebuah tusukan yang cepat dan
kuat. Dan lagi-lagi Ki Surya Kencana terkejut, ketika melihat lawannya tidak
mengelak mundur. Bahkan malah
mencondongkan tubuhnya ke depan disertai liukan yang mengagumkan. Dengan
demikian tusukan tangan orang tua itu luput.
Sementara itu, para pengikut Ular Muka Kuning sudah kembali menyerbu. Dan memang
lama-kelamaan Ki Surya Kencana mulai terdesak, oleh serangan
lawan-lawannya yang semakin gencar.
Diam-diam orang tua itu mulai merasa cemas terhadap keadaan yang tidak
memungkinkan itu.
Sebenarnya, Ki Surya Kencana bisa terdesak bukan disebabkan kelihaian lawan.
Kalau saja keadaan tubuhnya tidak seburuk ini, rasanya tidaklah sulit untuk
menjatuhkan lawan-lawanya. Tapi, karena kelelahan akibat bertarung melawan
Gandaruwo Hutan Jagal, tenaganya sudah terkuras. Itu pun masih ditambah dengan
hilangnya tangan kiri. Jadi, wajarlah kalau keadaan Ki Surya Kencana benar-benar
di bawah bayangan maut.
Memasuki jurus kedua puluh, kembali terdengar jeritan dua orang pengikut Ular
Muka Kuning yang melengking. Tubuh mereka terpental, dengan luka menganga di
perut dan lehernya. Jelas itu akibat tebasan ilmu 'Tangan Pedang' yang dimiliki
Ki Surya Kencana. Maka, seketika kepungan lawan-lawannya agak mengendor. Rupanya
mereka agak gentar juga melihat kelihaian laki-laki tua itu. Secara serentak
mereka pun melompat mundur sambil mempersiapkan serangan berikut.
Untuk beberapa saat Ki Surya Kencana dapat bemapas lega. Namun tiba-tiba, tubuh
orang tua itu bergoyang-goyang.
Ternyata dari tangannya yang telah buntung itu, darah kembali mengalir deras.
Rupanya totokan pada pangkal lengannya sudah terbuka, akibat terlalu banyak
bergerak dan mengerahkan tenaga dalam secara berlebihan. Sehingga, keadaan orang
tua itu semakin melemah.
"He he he.... Rupanya malaikat maut sudah tidak sabar menunggumu, tua bangka!"
ejek Ular Muka Kuning. Rupanya dia telah membaca keadaan lawannya.
"Ayo, anak-anak! Kuras tenaga Orang Tua itu!"
Setelah berkata demikian Ular Muka Kuning kembali menerjang lawan, diikuti sisa
para pengikutnya. Maka pertarungan pun kembali berjalan sengit.
Kali ini Ki Surya Kencana
benar-benar dibuat tidak berdaya. Setiap kali dia membalas serangan salah
Pendekar Naga Putih 03 Algojo Gunung Sutra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang lawan, namun Ular Muka Kuning selalu membokongnya dengan serangan
dahsyat Hal ini membuat Ki Surya Kencana semakin marah dan penasaran.
Menginjak jurus keempat puluh tiga, gerakan Ki Surya Kencana sudah tidak lincah
lagi. Darah semakin banyak keluar dari lukanya. Akibatnya, gerakannya pun
kembali teriihat semakin lambat. Peluh telah membanjiri wajah dan tubuhnya.
Kelelahan yang sangat terpancar di wajah tua itu. Namun meskipun demikian, dia
masih berusaha untuk membunuh lawan sebanyak-banyaknya.
Suatu kesempatan, Ular Muka Kurang menusukkan goloknya yang cepat bagai kilat ke
arah lambung lawan. Angin sambaran goloknya berdesing tajam.
Jelas, betapa kuatnya tenaga yang terkandung dalam serangan itu.
Wuuuttt! Ki Surya Kencana bergegas menggeser kedua kakinya hingga serangan itu luput.
Dan ketika golok itu meliuk dengan gerakan lemas, Ki Surya Kencana
cepat-cepat memapak ke arah pergelangan lawan.
Namun hatinya jadi kaget. Ternyata tiba-tiba Ular Muka Kuning menarik pulang
tangannya sambil melepaskan tendangan kilat ke lambung Ki Surya Kencana. Orang
tua itu berusaha memutar tubuh dan meng-gerakkan tangan menangkis tendangan
lawan. Namun, sayang.
Gerakannya sudah terlambat. Maka....
Buuukkk! "Ouuuggghhh...!" lenguh Ki Surya Kencana.
Tubuh laki-laki tua itu terjengkang ketika tendangan lawan mendarat telak di
lambung kiri. Untuk sejenak dirasakan keadaan sekitarnya bergoyang-goyang. Ki
Surya Kencana mendesis pelahan sambil mendekap lambungnya yang terasa nyeri dan
ngilu. Untuk beberapa saat, hatinya merasa menyesal karena kehilangan tangan
kiri. Kalau saja tidak kehilangan sebelah tangan tentu hal seperti ini tidak
akan terjadi. Ular Muka Kuning segera berteriak kepada anak buahnya untuk menyerbu Ki Surya
Kencana yang telah terluka itu.
Beberapa batang
senjata langsung
meluncur, mengancam tubuhnya. Dengan tangan masih menekap lambung, orang tua itu
berusaha berkelit. Namun gerakannya yang lambat itu, sudah diduga Ular Muka
Kuning. Maka dia segera menyambutnya dengan tebasan ke leher. Gerakannya cepat
bukan main. Ki Surya Kencana melempar tubuhnya ke belakang untuk menghindari serangan lawan.
Tapi sungguh tidak diduga kalau empat orang pengikut Ular Muka Kuning sudah
menunggu dengan ujung ujung senjatanya. Laki-laki tua itu berusaha memutar tubuh
sambil menusukkan tangannya. Cappp! Brertt! Crakkk! "Aaahhhkkk...!"
"Uhhhkkk...!"
Terdengar teriakan kesakitan dari seorang lawan. Tubuhnya terpelanting dan tewas
dengan leher berlubang. Sedangkan tubuh Ki Surya Kencana melintir
tersambar tiga buah senjata lawan. Orang
tua itu jatuh terduduk, dan wajahnya langsung berubah pucat. Darah mengalir dari
luka di dada dan punggungnya akibat sambaran pedang lawan.
"Ohhh Rupanya ajalku sudah hampir tiba. Sayang, belum sempat kulaporkan
keberhasilan tugasku, kepada Kakang Sukma Kelana," desah Ki Surya Kencana dengan
wajah murung. Dengan susah payah, laki-laki tua itu berusaha bangkit berdiri. Pakaiannya yang
berwarna putih itu, sudah dibasahi darah yang bercampur peluh. Keadaannya saat
itu benar-benar menyedihkan. Namun, meskipun telah mendapat luka yang cukup
parah, orang tua itu tidak ingin mati sia-sia.
"Hm. Sebelum ajal tiba, aku harus dapat membunuh mereka
sebanyak-banyaknya!" tekad Ki Surya Kencana geram.
"He he he, peot! Sekarang, terimalah kematianmu!" ejek Ular Muka Kuning sambil
tertawa terkekeh berkepanjangan.
Setelah berkata demikian Ular Muka Kuning segera menggerakkan tangan memberi
isyarat kepada enam orang anak buahnya. Maka tanpa buang-buang waktu lagi mereka
serempak berlompatan sambil
membabatkan senjata ke tubuh lawan yang sudah hampir tidak berdaya itu. Enam
buah senjata itu berkelebat sehingga
menimbulkan suara berdesing.
Tubuh Ki Surya Kencana bergeser ke kanan, mencoba menghindari serangan enam buah
senjata lawan. Dan langsung
digerakkan tangannya ke punggung lawan terdekat. Tak ayal lagi orang itu
terhantam kibasan tangan laki-laki tua itu. Tubuhnya terjungkal dengan luka
memanjang di punggung.
"Bangsat! Rupanya setan tua ini masih berbahaya juga!" umpat Ular Muka Kuning
dengan wajah merah padam.
Dan dengan kemarahan yang
meluap-luap dia segera melesat,
menyerang dahsyat. Golok besarnya diputar sedemikian rupa hingga
menimbulkan suara mengaung. Bagai ribuan ekor lebah yang sedang marah saja
layaknya. Ki Surya Kencana yang menyadari
bahaya itu, berlompatan menghindari serangan dahsyat Ular Muka Kuning.
Gerakan kakinya terlihat goyah, ketika mela-kukan lompatan-lompatan. Dengan
pengerahan sisa-sisa tenaga, sesekali Ki Surya Kencana melepaskan serangan
disertai ilmu 'Tangan Pedang'. Hanya saja sekarang tidak lagi seampuh semula,
tapi cukup kuat untuk melukai kulit tubuh lawan.
Sayang sekali perlawanan Ki Surya Kencana tidak banyak membantu untuk menghadapi
serangan-serangan ganas Ular Muka Kuning. Sehingga dalam beberapa jurus saja, Ki
Surya Kencana sudah tidak dapat lagi memberi perlawanan berarti.
Secara lambat tapi meyakinkan, Ular Muka Kuning mulai mendesak lawan disertai
serangan yang mematikan.
Ki Surya Kencana kini hanya mampu menghindar
sambil bermain mundur.
Sehingga ketika Ular Muka
Kuning melakukan serangan ganda, Ki Surya Kencana tidak mampu berbuat apa-apa lagi.
Walaupun berusaha mengangkat tangannya untuk memapak, tapi gedoran telapak
tangan lawan tetap saja lolos dan menghantam dada sebelah kiri.
Dheeesss! Seketika Ki Surya Kencana
terpelanting keras! Segumpal darah segar kontan menyembur dari mulutnya.
Hantaman telapak tangan lawan memang benar-benar kuat. Laki-laki tua itu
berusaha melompat bangkit, sambil menekap dadanya
yang terasa panas dan sesak. Belum lagi tubuhnya sempat berdiri tegak, beberapa
sosok bayangan berkelebat disertai suara desingan senjata.
Crasss! Brettt! Crattt! "Aaarrrggghhh...!" jerit Ki Surya Kencana.
Tubuh orang tua itu telah tertembus beberapa batang senjata. Darah kontan
berhamburan dari luka-luka akibat tertembus senjata-senjata lawan. Tubuh Ki
Surya Kencana terdorong dan
terhuyung-huyung, seperti tak kuat lagi berdiri. Dan sebelum tubuhnya ambruk ke
tanah, sebuah bayangan berkelebat cepat sambil menggerakkan senjata secara
mendatar ke leher Ki Surya Kencana.
Siiinnng! Croookkk! Dengan ganas golok besar bergerigi itu menebas putus leher Ki Surya Kencana.
Darah segar kembali memancur dari luka di leher laki-laki tua yang telah
buntung. Dan golok besar itu kembali berkelebat menembus ulu hati tubuh yang sudah tak
berkepala itu. Seketika tubuh Ki Surya Kencana yang tanpa kepala itu ambruk ke
tanah berumput hijau yang langsung berubah memerah oleh darah. Laki-laki tua
tokoh sakti dari Perguruan Gunung Salaka kini tewas dalam keadaan sangat
menyedihkan! Tubuhnya sudah hampir tidak berbentuk lagi. Di sana-sini terdapat
bekas-bekas senjata tajam.
"Ha ha ha.... Orang-orang Gunung Salaka memang terlalu sombong! Kalian lihat
nanti. Kami akan datang dengan membawa bencana! Ha ha ha...!" Ular Muka Kuning
tertawa terbahak-bahak.
Hati orang berwajah kuning itu
gembira bukan main, karena telah berhasil membunuh salah seorang tokoh utama
perguruan yang sangat dibencinya itu. Memang,t itu sudah menjadi sifat tokoh
golongan hitam yang selalu menganggap golongan putih sebagai manusia sombong.
Bagi mereka, golongan putih adalah ancaman yang harus
dimusnahkan. Setelah puas dengan tawanya, Ular Muka Kuning dan delapan orang sisa anak
buahnya bergegas meninggalkan tempat itu sambil memperdengarkan suara lawa yang
berkumandang ke sekitarnya. Suasana ditempat itu kembali sepi, seperti tidak
pernah terjadi apa-apa.
Sinar mentari yang semula memancar garang, mendadak meredup. Seolah-olah turut
berkabung atas kematian Ki Surya Kencana di tangan orang-orang yang berjiwa
binatang. Tiupan angin lembut telah merontokkan sehelai daun pohon yang
menguning. Daun itu melayang-layang dan jatuh ke permuka bumi.
* * * 6 Hari baru menjelang sore. Dua orang laki-laki berjalan menyusuri jalan utama
Desa Cikunir. Mereka adalah Santiaji dan Ranjita, dua orang tokoh tjngkat empat
Perguruan Gunung Salaka. Keduanya memang tengah melakukan penyelidikan tentang
kematian murid-murid Gunung Salaka yang misterius.
Mereka baru saja meninggalkan rumah Kepala Desa Cikunir, untuk mencari
keterangan tentang si pelaku. Menurut keterangan yang didapat dari warga dan
kepala desa setempat, memang pernah terjadi bentrokan antara dua perguruan pada
dua minggu yang lalu. Tapi kedua perguruan itu hanya bertengkar mulut dan
tidak menjurus pada perkelahian. Apalagi sampai menimbulkan korban jiwa.
Seorang pemilik kedai yang
tempatnya dijadikan arena pertengkaran mulut mengatakan, bahwa mungkin saja
kedua belah pihak mengadakan perjanjian untuk bertemu di luar desa. Di sana
mereka kemudian bertempur tanpa
sepengetahuan penduduk desa. Dan dugaan itu bisa diterima Santiaji maupun
Ranjita, tapi bukan berarti harus mempercayainya. Mereka harus
menyelidiki kebenarannya terlebih dahulu, setelah ilu barulah berani memastikan.
Memang sebagaimana pesan guru, mereka harus berhati-hati dalam mengambil
tindakan agar tidak sampai menimbulkan persoalan baru lagi.
Kedua orang itu kini melangkah tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Pikiran
Santiaji maupun Ranjita masih dipenuhi pertanyaan yang sulit terjawab.
"Hhh...!" Ranjita menghela napas yang berat memecah kesunyian di antara mereka.
Wajahnya terlihat murung karena sampai sejauh ini belum juga mendapat tanda-
tanda yang berarti sebagai pegangan.
"Yahhh...! Persoalan ini memang masih gelap. Bagaimana kalau kita kembali, dan
melaporkan kepada Guru?"
usul Santiaji sambil menoleh kepada saudara seperguruannya. Tatapan matanya
seperti menunggu tanggapan.
"Tidak, Santiaji! Kita sudah bertekad untuk tidak kembali keperguruan sebelum
menemukan jawaban dari semua peristiwa yang menimpa perguruan kita.
Tapi kalau kau ingin kembali, silakan.
Biar aku sendiri
yang meneruskan
penyelidikan ini," tegas Ranjita tanpa menolehkan kepalanya kepada Santiaji.
Santiaji tidak langsung menanggapi penegasan
Ranjita tadi. Dialihkan
pandang matanya ke depan dengan helaan napas
berat. Murid tingkat empat
Perguruan Gunung Salaka itu berusaha memahami perasaan saudara
seperguruannya itu. Seperti halnya Ranjita, Santiaji pun sebenarnya mempunyai
pikiran sama. Rasanya memang malu kembali keperguruan tanpa hasil sedikit pun.
"Sebenarnya aku pun mempunyai pikiran yang sama denganmu, Ranjita! Aku juga
merasa malu untuk menghadap Guru dengan tangan hampa. Apa kata Guru
nanti?" ungkap Santiaji tanpa semangat.
Saat itu pikirannya benar buntu. Dia tidak tahu lagi, ke mana harus mencari
keterangan sesudah ke Desa Cikunir.
"Hmm. Bagaimana kalau kita
mendatangi Gunung Sutra, dan
menanyakannya langsung kepada Ki Ageng Pandira yang menjadi ketua perguruan
itu?" usul Ranjita tiba-tiba yang langsung membuyarkan lamunan Santiaji.
"Hei, jangan Ranjita! Tanpa persetujuan Guru, aku tidak berani untuk berkunjung
ke sana. Bisa-bisa kedatangan kita ke sana hanya akan memperuncing keadaan saja.
Masalahnya, sama sekali kita belum tahu, apakah dipihak mereka juga telah timbul
korban atau tidak" Nah!
Seandainya di sana juga terjadi korban, bukankah kedatangan kita hanya akan
membangkitkan kemarahan di hati mereka,"
tegas Santiaji.
Laki-laki setingkat dengan Ranjita ini memang memiliki pandangan lebih luas
daripada Ranjita. Demikian pula dalam menghadapi persoalan yang sangat rumit dan
peka ini. Dia lebih mengandalkan otak daripada amarah. Oleh karena itu, mengapa
Ki Sukma Kelana menugaskan Santiaji dalam menyelidiki persoalan
itu. Orang tua itu percaya akan
kebijaksanaan muridnya dalam menghadapi setiap persoalan.
"Lalu, Ke mana lagi kita harus mencari keterangan?" tanya Ranjita yang suaranya
mengandung rasa penasaran.
Benar-benar tidak dimengerti jalan pikiran Santiaji,
yang menurutnya
terlalu lemah dan terlalu banyak perhitungan. Bahkan dia sampai mempunyai
pikiran kalau Santiaji ini seorang pengecut. Dan sengaja menyembunyikan sifat
pengecutnya itu dengan berkedok kesabaran, dan kehati-hatian dalam bertindak.
"Entahlah. Tapi, kurasa tidak ada salahnya kalau mencari keterangan di desa-desa
sekitar Gunung Salaka. Siapa tahu di sana dapat menemukan petunjuk yang dapat
dipakai sebagai pegangan,"
ujar Santiaji penuh harap.
"Kalau memang sudah menjadi keputusanmuj tunggu apa lagi" Ayo, berangkat!" sahut
Ranjita Tidak banyak bicara lagi!
"Baiklah. Mari," sambut Santiaji yang segera bangkit semangatnya.
Kedua orang tokoh Perguruan Gunung Salaka itupun segera bergegas menuju
perbatasan Desa Cikunir. Mereka
melangkah dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, sehingga dalam waktu
yang, tidak begitu lama telah
meninggalkan Desa Cikunir. Santiaji maupun Ranjita sepakat untuk mengambill arah
Selatan terlebih dahulu, sebagai langkah awalj penyelidikan.
Untuk mempersingkat waktu, keduanya sengaja menempuh jalan pintas yang jarang
dilalui orang. Sekarang mereka harus menerobos semak belukar dan hutan kecil
yang banyak terdapat di daerah itu.
Kini mereka telah tiba pada sebuah padang rumput yang cukup luas.
"Setelah melewati padang rumput ini, kita akan menemukan sebuah bukit.
Nah! Di balik bukit itu terdapat sebuah perkampungan yang akan menjadi
penyelidikan kita," jelas Santiaji.
"Berapa lama lagi kira-kira waktu yang diperlukan, untuk mencapai
perkampungan itu ?" tanya Ranjita.
"Kalau melakukan perjalanan biasa, bisa memakan waktu setengah harian. Dan
berarti akan tiba di sana setelah hari gelap. Maka untuk mempersingkat waktu
kita harus tetap mengerahkan ilmu
meringankan tubuh, agar tidak kemalaman di jalan."
Ranjita mendengarkan sambil
manggut-manggut. Tanpa berpikir dua kali, mereka segera melanjutkan
perjalanan. "Baik, Santiaji. Ayo, nanti kita malah kemalaman!" kata Ranjita dengan wajah
berseri-seri. *** Di tengah padang rumput yang cukup luas dan sunyi itu, melesat cepat bagaikan
kilat dua buah bayangan. Kedua bayangan itu sepertinya tengah berlomba
menggunakan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Santiaji
Pendekar Naga Putih 03 Algojo Gunung Sutra di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maupun Ranjita sama-sama mengerahkan kemampuannya agar tiba lebih dahulu di bukit yang
dimaksud. Santiaji dan Ranjita terus berlari, sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh
yang sudah hampir mencapai taraf kesempurnaan. Keduanya seperti saling
mendahului, memang tingkat kepandaian mereka pada dasarnya seimbang. Maka tanpa
banyak mengalami kesulitan, keduanya tiba di bukit yang dituju secara bersama.
Plok plok plok!
Tiba-tiba terdengar tepukan riuh, yang
menyambut kedatangan mereka.
Keduanya tersentak kaget, dan segera menoleh ke arah asal suara tepukan itu.
Dan betapa terkejutnya mereka, ketika melihat seorang bertubuh jangkung dan
berkumis lebat telah berdiri tidak jauh dari situ. Orang itu memandang Santiaji
dan Ranjita disertai senyum mengejek.
"Ha ha ha...! Hebat.,, hebat! Suatu ilmu meringankan tubuh yang mengagumkan.
Tapi sayang masih mentah," ujar orang itu, seperti menghina.
"Hm, kata-katamu tepat sekali, Kisanak. Sungguh kami bukan bermaksud memamerkan
kepandaian yang tidak seberapa ini di hadapanmu. Siapakah, Kisanak ini?" tanya
Santiaji sambil membungkuk hormat. Wajahnya teriihat tenang, seolah-olah tidak
terpengaruh hinaan orang itu.
Orang bertubuh jangkung dan
berkumis lebat itu tertegun sejenak ketika mendengar jawaban Santiaji yang di
luar dugaannya. Sehingga untuk beberapa saat lamanya, hanya berdiri mematung
karena kehilangan kata-kata.
Tapi hal itu tidaklah berlangsung lama.
Tiba-tiba saja orang itu sudah mulai membuka mulut lagi.
"Ha ha ha...! Apakah kalian tidak akan lari terbirit-birit kalau
kuperkenalkan nama besarku?"
Seketika wajah Santiaji dan Ranjita memerah ketika mendengar perkataan yang
bernada penghina-an. Santiaji segera menyentuh tangan Ranjita yang sudah
melangkah maju, sambil mengepalkan tangan. Sejenak keduanya saling
bertatapan. Dan Ranjita segera
mengurungkan niatnya ketika Santiaji mengedipkan sebelah matanya sebagai isyarat
untuk bersabar.
"Maafkanlah kami yang tidak mengenai nama besarmu, Kisanak!
Maklumlah, kami hanya perantau yang memiliki sedikit bekal untuk menjaga diri.
Dan karena takut kemalaman di jalan, maka kami harus mempercepat perjalanan
untuk mencari tempat
menginap. Dapatkah Kisanak membantu untuk mendapatkan tempat bermalam yang
terdekat dari sini?" tanya Santiaji yang masih mencoba untuk menghindari
keributan. "Tentu saja dapat. Jaraknya dekat sekali!" jawab laki-laki kurus dan
berkumis lebat itu, penuh teka-teki.
Seringainya semakin melebar, sehingga wajahnya semakin tak sedap dipandang.
"Oh, benarkah?" Di manakah tempat itu, Kisanak tanya Santiaji berwajah cerah.
Meskipun sebenarnya merasa curiga, namun pertanyaan itu terlompat begitu saja
dari bibir Santiaji.
"Ha ha ha.... Tentu saja di sini.
Memangnya di mana lagi" Tempat ini sangat cocok utuk menginap kalian
selama-lamanya! Bahkan tidak akan dipungut uang sewa. Ha ha ha...!" setelah
berkata demikian, meledaklah tawa orang berkumis tebal itu.
"Kurang ajar! Monyet kurus, rupanya kau memang sengaja ingin mencari perkara
dengan kami. Baiklah, kalau memang itu yang diingini! Nah, sambutlah
seranganku! Hiaaattt...!"
Begitu ucapannya
habis, tubuh Ranjita segera melesat dibarengi teriakan menggeledek. Kedua tangan nya bergerak
cepat mencari kelemahan-kelemahan di tubuh lawan.
Rupanya dalam kemarahannya itu Ranjita telah mengeluarkan salah satu ilmu
andalannya, 'Menggetar Langit Mengacau Bumi.
Wuuuttt! Wuuusss!
Akibat yang ditimbulkan jurus yang dikeluarkan Ranjita memang begitu dahsyat.
Angin keras berputar,
seolah-olah di tempat itu tengah terjadi topan hebat. Sehingga untuk beberapa
saat lamanya, tempat itu menjadi gelap tertutup debu-debu yang mengepul keudara.
Sesaat orang bertubuh jangkung itu dibuat kagum oleh kehebatan ilmu lawannya,
namun sesaat kemudian senyum mengejek menghias wajahnya. Tiba-tiba dengan
gerakan gesit, orang bertubuh jangkung itu segera menyelinap di antara sambaran-
sambaran tangan Ranjita.
Gerakannya hebat sekali, seolah-olah yang terlihat hanya bayangan tubuhnya yang
berkelebat cepat mengurung Ranjita.
Sehingga ke mana pun Ranjita bergerak, tubuh jangkung itu selalu membayanginya.
Dan tentu saja hal ini membuat Ranjita menjadi terkejut. Dan diam-diam diakui
kehebatan lawannya itu.
Tiba-tiba saja Ranjita dikejutkan oleh sambaransambaran angin kuat yang
ditimbulkan pukulan lawan. Rupanya orang bertubuh jangkung itu sudah mulai
melepaskan serangan di antara kelebatan
tubuhnya. Dan secara
pelahan-lahan Ranjita mulai terdesak hebat. Hingga pada suatu saat, sebuah hantaman telapak
tangan lawan tidak dapat lagi dihindari lagi.
Deeesss! "Aaakh!" terdengar suara keluhan dari mulut Ranjita.
Pukulan yang mengandung tenaga
dalam yang tinggi itu telah mendarat di dada kirinya. Tanpa dapat dicegah lagi,
tubuh Ranjita terlempar dari arena pertempuran, dan jatuh tepat di hadapan
Santiaji. Ranjita berusaha bangkit, meski dadanya terasa bagai terbakar.
Dari sela-sela bibirnya tampak mengalir darah segar. Dadanya terasa sesak, dan
napasnya tersengal.
"Kau... kau tidak apa-apa,
Ranjita?" tanya Santiaji cemas, sambil berusaha membantu adik seperguruannya
bangkit "Uhuk..,, uhuk! Uh! Dia hebat sekali, Santiaji. Pukulannya mengandung hawa panas
yang amat kuat!
Berhati-hatilah menghadapinya," ujar Ranjita di antara batuknya.
Ranjita benar-benar tidak menyangka sama sekali bahwa kepandaian lawannya
ternyata demikian hebat. Rasanya untuk dapat mengatasi orang itu, dia harus
bergabung bersama Santiaji. Maka segera dikerahkan hawa murni untuk mengusir
hawa panas yang membakar dadanya.
Sementara itu, Santiaji sudah mulai bersiap untuk menghadapi orang bertubuh
jangkung yang sama sekali belum
dikenalnya. "Kisanak, apa maksudmu mencelakai kami"! Bukankah di antara kita tidak saling
mengenai dan tidak memiliki persoalan" Siapakah kau sebenarnya"!"
tanya Santiaji. Kemarahan di dadanya mulai memuncak, karena tanpa sebab apa pun
orang bertubuh jangkung itu ingin membunuh mereka.
"Ha ha ha...!
Dengarlah, manusia-manusia sombong dari Gunung Salaka! Aku adalah Algojo Gunung Sutra yang
akan menuntut balas atas kematian murid-muridku. Nah, bersiaplah menerima
hukuman!" bentak orang beriubah jangkung yang temyata berjuluk Algojo Gunung
Sutra. Suaranya begitu bengis dan berbau hawa maut.
Santiaji terkejut, sebab orang itu ternyata mengetahui asalnya. Tapi yang
membuatnya benar-benar terkejut adalah
ketika orang bertubuh jangkung itu memperkenalkan diri sebagai Algojo Gunung
Sutra. Untuk beberapa saat lamanya, Santiaji hanya dapat memandang dengan mulut
ternganga. Sebab, siapa yang tidak mengenai nama Algojo Gunung Sutra" Meskipun
dalam urutan perguruan hanya tergolong tokoh tingkat dua, namun menurut kabar
kepandaiannya cukup tinggi. Memang Santiaji yang sebelumnya tidak pernah bertemu
tokoh itu, tidak segera dapat mengenali. Baru setelah orang itu menyebutkan
julukannya, ia segera teringat akan ciri-ciri dari tokoh tersebut.
Setelah mengamati sesaat, barulah dapat dipastikan kalau orang itu benar-benar
Algojo Gunung Sutra, atau bernama asli Ki Ageng Sampang. Tapi hal itu justru
membuat lega hati Santiaji.
Sebab biar bagaimanapun juga, sebagai tokoh yang kepandaiannya tinggi, Ki Ageng
Sampang tentu lebih berpandangan luas dan tak akan turun tangan secara membabi
buta. "Ah! Maafkan aku, Ki. Benar-benar tidak kusangka kalau sekarang tengah
berhadapan dengan Ki Ageng Sampang yang sangat kuhormati. Sekali lagi aku mohon
maaf. Dan marilah kita membicarakan masalah yang sedang dihadapi ini, agar
semuanya menjadi terang dan jelas," ujar Santiaji, penuh hormat.
"Hm..., tidak perlu kau banyak tingkah lagi! Sekarang, kau bersiaplah untuk
segera kukirim keneraka!" teriak orang yang berjuluk Algojo Gunung Sutra itu,
dengan wajah berang.
"Tapi... tapi..., Ki...!"
Santiaji menjadi heran melihat
sikap yang ditunjukkan oleh tokoh utama dari Gunung Sutra itu. Dan sebelum dapat
berpikir lebih jauh lagi, Ki Ageng Sampang sudah menerjangnya dengan pukulan
ganas dan keji. Tentu saja Santiaji tak membiarkan tubuhnya dijadikan sasaran
pukulan itu. Dengan gerakan yang indah tubuhnya meliuk menghindari pukulan
lawan. Dan langsung dibalasnya dengan serangan-serangan cepat dan kuat. Sehingga
dalam waktu singkat, keduanya segera teriihat sebuah pertempuran sengit.
Tapi, memang pada dasarnya
kepandaian Santiaji masih jauh di bawah kepandaian Algojo Gunung Sutra. Maka
setelah lewat dua puluh jurus, tampak'
Santiaji mulai terdesak. Dapat
dipastikan, tidak lama lagi Santiaji pasti tidak dapat menahan gempuran lawan.
Algojo Gunung Sutra atau Ki Ageng Sampang nampak semakin bernafsu untuk segera
menjatuhkan lawannya. Pukulannya pun semakin cepat dan kuat sehingga Santiaji
semakin tak berdaya dibuatnya.
Melihat keadaan
saudara seperguruannya yang tengah diincar maut itu, Ranjita yang keadaannya sudah pulih
kembali segera melompat ke arena pertempuran membantu Santiaji. Tentu saja hal
ini, sangat menggembirakan hati Santiaji. Dengan masuknya Ranjita, dia dapat
terbebas dari desakkan lawannya.
Tanpa banyak bicara lagi, keduanya pun segera bekerja sama menghadapi Algojo
Gunung Sutra yang amat lihai itu.
Menghadapi gempuran dan kerja sama yang kompak saudara seperguruan itu, Algojo
Gunung Sutra pun semakin
memperhebat serangannya. Namun karena Santiaji dan Ranjita bertempur secara
saling mengisi dan melindungi, maka cukup sulit bagi lawan untuk segera
menguasai mereka.
Sudah tiga puluh jurus kedua belah pihak berusaha saling menjatuhkan. Tapi
sampai sejauh itu, belum ada tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Dan
hal ini membuat Algojo Gunung Sutra menjadi marah dan penasaran. Hingga pada
suatu kesempatan, dia melepaskan pukulan cepat Kedua telapak tangannya terbuka
mengarah dada dua lawannya sambil mengerahkan seluruh tenaga dalam.
Wuuusss! Wuuusss!
Bukan main hebatnya serangan Algojo Gunung Sutra itu. Jangankan terkena hantaman
telapak tangan. Terlanggar angin pukulan saja, lawan yang tidak mempunyai tenaga
dalam kuat akan tewas seketika dengan dada ringsek.
Santiaji dan Ranjita tentu saja
menyadari bahaya pukulan lawan. Keduanya segera mengempos semangat, dan langsung
menggabungkan tenaga dalam sambil berpegangan tangan. Dengan kuda-kuda rendah,
mereka segera menyambut pukulan lawan dengan telapak tangan kiri.
Blannng! "Aaahhh...!"
Terdengar ledakan dahsyat ketika tenaga dalam mereka beradu. Hebat sekali akibat
bentrokan tenaga dalam tingkat tinggi itu, sehingga ledakan itu menggetarkan
udara di sekitar arena
pertempuran. Santiaji dan Ranjita yang mengalami benturan itu, terlempar ke
udara diiringi jerit kesakitan. Keduanya jatuh terduduk sambil menekan dada yang
terasa berguncang. Terlihat dari sela-sela bibir mereka, cairan merah menetes.
Sedangkan lawannya yang juga
terpental akibat benturan tadi, mudah sekali mendaratkan kakinya di tanah.
Gerakannya ringan, tanpa luka sedikit pun. Hanya kedua lengannya saja yang
terasa bergetar. Dari sini saja sudah dapat diketahui kalau tenaga dalam Ki
Ageng Sampang jauh lebih tinggi daripada mereka berdua.
"Ha ha ha...! Bersiaplah! Sebentar lagi malaikat maut akan datang menjemput
kalian!" ejek Algojo Gunung Sutra itu, jumawa.
Setelah berkata demikian, tubuh
laki-laki tinggi berkumis itu segera melayang. Kedua lengannya ter-kembang,
mengarah pada batok kepala Santiaji dan Ranjita yang masih terduduk tak
bergerak. "Heaaattt...!"
Darrr! Darrr! Debu mengepul tinggi, ketika
pukulan kedua tangan Ki Ageng Sampang mengenai tanah yang terdiri dari batu-batu
cadas itu. Rupanya Santiaji dan Ranjita yang semula sengaja berdiam diri untuk
memulihkan tenaga, segera melesat menghindari serangan ketika pukulan lawan
hampir tiba. Serangan lawan hanya mengenai batu-batu cadas sehingga hancur
berkeping-keping. Dan kini mereka sudah bersiap-siap kembali menghadapi orang
tua lihai itu. Melihat lawannya dapat menghindari serangan, Algojo Gunung Sutra semakin meluap-
luap kemarahannya.
"Huh, sayang! Aku tidak mempunyai banyak waktu untuk menghadapi kalian!"
ujar Algojo Gunung Sutra geram.
Pedang Awan Merah 1 Kuda Kudaan Kumala Seri Oey Eng Burung Kenari Karya Siau Ping Tusuk Kondai Pusaka 8