Pencarian

Altar Setan 1

Pendekar Naga Putih 77 Altar Setan Bagian 1


ALTAR SETAN Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A.Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Altar Setan 128 hal. ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Pemuda tampan bertubuh sedang melangkah rin-
gan melintasi jalan setapak. Jubah putihnya yang panjang tampak berkibar
perlahan dipermainkan angin.
Rambutnya yang panjang dan hitam, diikat sehelai
kain putih. Saat itu cahaya matahari belum merata di seluruh
permukaan bumi. Namun sinarnya terasa hangat me-
nyegarkan tubuh. Sementara kicau burung di pepoho-
nan menambah suasana nyaman di pagi yang bening
dan sejuk itu. Pemuda tampan berjubah putih itu tampak mema-
suki sebuah hutan. Namun, tiba-tiba langkahnya ter-
henti. Sepasang matanya yang tajam menyapu sekeli-
lingnya. Seakan-akan ada sesuatu yang tidak wajar.
Kendati hanya nalurinya yang berbicara. Hal itu me-
mang tak terlalu berlebihan, karena dilihat dari gerak-geriknya, dapat
diperkirakan kalau pemuda tampan
itu bukan orang sembarangan. Sosoknya jelas meng-
gambarkan seorang yang memiliki kemampuan tinggi.
Atau setidak-tidaknya seorang ahli silat yang terlatih baik.
Setelah beberapa saat memperhatikan dan tak me-
nemukan sesuatu yang mencurigakan, pemuda itu
pun kembali mengayun langkahnya. Namun kelihatan
jelas sekali kalau kewaspadaannya mulai ditingkatkan.
Rupanya kecurigaan itu tidak begitu saja lenyap, tetap bergayut di hatinya.
Namun baru saja kakinya melangkah sekitar dua
tombak dari tempat berhenti, mendadak....
Bresss...! "Haits! Hih...!"
Tanah yang dipijak tiba-tiba amblas. Namun, kare-
na sebelumnya telah meningkatkan kewaspadaan, pe-
muda itu langsung menghentak cepat. Seketika tu-
buhnya melompat ke atas dan bersalto beberapa kali di udara. Namun....
Srat! Srat...! "Heh"! Haits....!
Ketika tubuh pemuda itu tengah berputaran di uda-
ra, tiba-tiba dari lubang di bawahnya meluncur benda-benda panjang berujung
runcing. Dengan suara desi-
ngan-nya yang menyakitkan telinga, benda-benda itu melesat memburu tubuhnya.
Sing! Sing! "Hih...!"
Dengan sebuah dengusan jengkel, pemuda tampan
itu mengibaskan kedua lengannya. Segumpal angin
kencang seketika berhembus. Sehingga....
Trak, trak...! Delapan batang tombak yang memburu tubuhnya,
patah dan berpentalan ke tanah. Empat lainnya berhasil ditangkapnya. Sebuah
gerakan yang sulit diikuti penglihatan mata. Begitu berhasil mengatasi serangan
rahasia itu tubuh berpakaian putih itu meluncur turun.
"Hai..., keluarlah, sebelum aku bertindak...!" ancam pemuda itu sambil mengawasi
sekelilingnya. Hatinya
dapat mengetahui kalau ada orang yang tengah men-
gintai. Beberapa saat pemuda itu menunggu dengan berdi-
ri tegak dan sorot mata tajam menggetarkan. Namun
sejauh itu, sama sekali tak terdengar jawaban. Hingga hilanglah kesabaran
hatinya. "Rupanya kalian harus dipaksa...!" teriak pemuda
itu dengan suara lantang. "Baiklah, kalau itu yang ka-
lian inginkan...."
Whuuut! Whuuut...!
Sebuah gerakan yang sangat cepat dilakukan pe-
muda tampan berjubah putih itu. Keempat tombak di
tangannya seketika melesat begitu cepat, hingga me-
nimbulkan deru angin dan suara berdesing nyaring
mematahkan kesunyian. Daya luncurnya demikian ce-
pat. Bahkan melebihi kecepatan anak panah yang le-
pas dari busur. Dari sini dapat diperhitungkan betapa hebat kekuatan tenaga
dalam yang dimiliki pemuda
itu. Para pengintai yang bersembunyi di balik rimbun pepohonan, tampaknya tak
mau menanggung bahaya
yang datang mengancam itu.
"Haiiit...!"
"Yeaaa...!"
Seketika itu pula terdengar teriakan-teriakan keras yang disusul sosok-sosok
tubuh berlompatan keluar
dari semak-semak dan pepohonan. Gerakan mereka
yang demikian gesit dan cepat menandakan ketinggian ilmu meringankan tubuh
masing-masing. Tampaknya
mereka tak ingin menanggung ancaman bahaya yang
dilancarkan pemuda berjubah putih itu.
Tapi.... Ziiit! Ziiit...!
"Kurang ajar...!"
Pemuda tampan itu menggeram. Karena sosok- so-
sok bayangan merah yang berjumpalitan itu masih
sempat melepaskan senjata rahasia untuk menyerang-
nya. Sadar kalau sosok-sosok bayangan merah itu men-
ginginkan kematiannya, pemuda berjubah putih itu
tak tinggal diam. Sambil menggeram jengkel, dengan
cepat sepasang tangannya digerakkan, memasang ku-
da-kuda dengan merendahkan tubuh. Kemudian....
"Haaat...!"
Disertai sebuah lengkingan panjang yang mengge-
tarkan jantung, pemuda tampan itu melesat ke depan.
Bukan bergerak menghindar, melainkan dengan sen-
gaja menyambut datangnya serangan gelap lawan. Je-
las apa yang dilakukan pemuda tampan itu merupa-
kan perbuatan nekat.
Namun, apa yang dilakukan ternyata telah diperhi-
tungkan secara matang. Karena, saat melesatkan tu-
buh ke depan, sepasang tangannya dihentakkan keras
dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam.
Whusss...! Sebentuk kekuatan tenaga dalam yang tak tertang-
kap di mata terlontar. Seketika kilatan cahaya kemerahan yang mengancam pemuda
itu berbalik. Bahkan
luncuran senjata-senjata itu dua kali lebih cepat dari semula. Sehingga....
Slats! Slatas! Jrab! Jrab...! "Aaakh...!"
"Hukh...!"
Empat sosok bayangan merah yang masih melayang
seketika berpentalan dan terbanting ke semak-semak
diiringi jeritan kesakitan.
Srak! Bruk...! Rupanya senjata-senjata rahasia yang dilancarkan
justru menghunjam di tubuh mereka.
Melihat keempat penyerang gelap itu terjatuh, den-
gan cepat pemuda tampan berjubah putih itu bergerak mengejar. Hatinya merasa
penasaran dan marah mendapat serangan gelap tanpa alasan yang jelas. Apalagi
nyata-nyata mereka menghendaki nyawanya. Dan dia
ingin mendapatkan jawaban dari semua itu. Namun....
"Haaat...!"
"Yeaaa...!"
Saat pemuda tampan itu hampir mencapai tempat
keempat lawannya terjatuh, mendadak terdengar te-
riakan keras susul-menyusul. Sosok-sosok bayangan
merah lain berlompatan dari kiri dan kanannya dengan senjata terhunus. Deru
angin dari gerakan cepat pedang-pedang lawan terdengar, diiringi cahaya
berkelebatan. Tampaknya mereka hendak mencegah apa yang
akan dilakukan pemuda tampan itu.
Wut! Wut...! Dua mata pedang dari kiri dan kanannya datang
mengancam dengan kecepatan tinggi. Namun, dengan
cepat pula pemuda tampan berambut gondrong itu
bergerak mengelakkan serangan. Bahkan bersamaan
dengan gerakan menghindar kedua tangannya sempat
melancarkan serangan balasan. Kecepatan geraknya
sulit diikuti mata.
"Hiaaa...!
Dukkk! "Aaakh...!"
Kedua sosok berpakaian merah itu terpekik kesaki-
tan. Kecepatan gerak pemuda itu membuat mereka tak
sempat menghindar. Akibatnya, tubuh kedua penye-
rang itu terjungkal ke tanah. Pukulan telak yang berisi tenaga dalam kuat itu
mendarat telak di dada dan perut.
"Hukh...!"
Tampak salah seorang dari kedua sosok berpakaian
merah yang terjungkal itu muntah darah.
Melihat kawan mereka terjungkal roboh, dua sosok
berpakaian merah yang lain tak tinggal diam. Mereka tampak mengambil sesuatu
dari balik pakaian. Kemudian....
"Heaaah...!"
Darrr! Darrr...!
Dua buah ledakan keras seketika terdengar meme-
kakkan telinga.
"Heh...! Asap beracun..."!"
Pemuda tampan itu melompat mundur ketika meli-
hat gumpalan asap merah menghalangi pandang ma-
tanya. Ketika mengetahui asap beracun itu sangat berbahaya, pemuda tampan itu
bergegas menjauhi arena
pertempuran. Kemudian dengan cepat kedua tangan-
nya didorongkan dengan maksud untuk mengusir asap
kemerahan itu. Whuuusss...! Apa yang dilakukan pemuda itu memang berhasil
baik. Gumpalan asap kemerahan berhembus dan
buyar akibat pukulan jarak jauhnya. Sehingga tempat itu pun kembali bersih
seperti semula. Tapi....
"Heh...! Kurang ajar! Pergi ke mana keparat- keparat itu..."!" desisnya dengan
wajah geram. Ternyata sosok-sosok berpakaian merah yang menyerangnya telah le-
nyap dari tempat itu. Dengan cepat pemuda berpa-
kaian putih itu melesat menuju semak-semak tempat
keempat lawannya tadi terjatuh.
Namun di tempat itu pun tak ditemukan apa- apa,
kecuali bercak-bercak darah yang tercecer di rerumpu-tan.
"Hhh...! Siapa mereka" Tapi dilihat dari gerakannya, jelas mereka bukan orang
sembarangan. Kepandaian
mereka cukup tinggi dan berbahaya. Terutama sekali
kepandaian dalam hal racun. Sayang, aku tak berhasil menangkap salah seorang
dari mereka. Sehingga, aku
belum bisa mengetahui siapa mereka, dan mengapa
menghendaki nyawaku tanpa alasan?" gumam pemuda
tampan berjubah putih yang ternyata Panji atau yang
lebih dikenal dengan julukan Pendekar Naga Putih.
Pendekar Naga Putih masih berdiri termenung, ken-
dati lawan-lawannya telah kabur secara licik. Mereka menggunakan kesempatan
ketika dirinya sibuk mengusir asap beracun yang menggumpal pekat menyeli-
muti tempat itu.
Meskipun memiliki 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi',
Pendekar Naga Putih tak ingin bertindak ceroboh. Benar, asap beracun itu tak
akan membuatnya tewas.
Namun, jika telanjur merasuk ke tubuh, untuk me-
musnahkannya terlebih dahulu harus mengerahkan
tenaga mukjizat jelmaan Pedang Naga Langit. Dan itu cukup memakan waktu. Apalagi
dirinya belum bisa
mengetahui secara pasti seberapa hebat pengaruh ra-
cun dari asap merah itu.
"Hm..., mungkinkah mereka sengaja menghalangiku
agar tak meneruskan perjalanan ke Kadipaten Tuma-
pel...?" gumam Panji menduga-duga. "Kalau benar de-
mikian, berarti Kenanga tengah menghadapi lawan-
lawan tangguh dan berbahaya" Hhh..., aku harus ce-
pat sampai di kadipaten itu. Siapa tahu Kenanga sangat mengharapkan
kedatanganku...."
Panji segera melesat dengan menggunakan ilmu lari
cepatnya. Halangan yang baru saja dihadapi sama se-
kali tidak membuatnya gentar. Bahkan hatinya sema-
kin terdorong untuk segera sampai di Kadipaten Tu-
mapel. Pendekar Naga Putih sangat mengkhawatirkan
keselamatan Kenanga, kekasihnya.
*** Begitu tiba di Kota Kadipaten Tumapel, Pendekar
Naga Putih langsung saja menemui penjaga gerbang istana. Kemudian mengutarakan
keperluannya, untuk
menemui Senapati Jata Logaya, yang menjadi pangli-
ma tinggi di kadipaten itu.
"Sampaikan kepada beliau kalau yang ingin men-
jumpainya bernama Panji...," jelas Panji ketika penjaga gerbang istana kadipaten
itu kelihatan ragu-ragu.
Sementara penjaga gerbang istana itu melaporkan,
Panji berdiri menunggu. Dan itu tidak berlangsung la-ma. Sebuah panggilan
bernada penuh kegembiraan,
membuat pemuda berjubah putih itu menoleh dan ter-
senyum. Dilihatnya seorang dara jelita berpakaian serba hijau berlari
menghampiri. "Kakang...!"


Pendekar Naga Putih 77 Altar Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dara jelita yang tak lain Kenanga itu langsung men-
gembangkan lengannya. Wajahnya yang jelita tampak
demikian segar, kendati dari kedua matanya terlihat kelelahan yang sangat.
Pendekar muda itu segera
menduga kalau kekasihnya kurang tidur.
"Kenanga...!" desis Panji penuh kerinduan. Kalau
saja tak melihat adanya penjaga-penjaga gerbang yang menyaksikan pertemuan itu,
ingin rasanya Panji memeluk tubuh Kenanga. Akhirnya pemuda itu hanya
menggenggam jemari tangan Kenanga seraya menekan
kerinduan yang bergelora menyesakkan dada.
"Mengapa demikian lama, Kakang...?" tanya Kenan-
ga yang mengerti mengapa Panji tidak memeluknya.
Dara jelita itu pun berusaha menahan gejolak kerin-
duan yang telah cukup lama menyiksanya. Kalau saja
pertemuan itu tak disaksikan orang lain, pasti Kenan-ga akan memeluk tubuh
pemuda pujaannya. Namun,
keadaan tak memungkinkan. Dan keduanya tahu, ha-
rus menjaga batas.
"Panjang sekali ceritanya, Kenanga. Tapi, yang penting aku sekarang telah
berdiri di hadapanmu," ujar
Panji tersenyum seraya menatap wajah jelita yang di-rindukannya itu.
"Mari kita temui paman dan bibiku. Mereka pasti
sangat gembira melihat kedatanganmu...," ajak Kenan-ga yang langsung saja
membimbing tangan Panji me-
masuki pekarangan istana kadipaten yang luas itu.
"Kulihat kau seperti kurang istirahat, Kenanga" Apa ada sesuatu yang gawat
tengah terjadi di Kadipaten
Tumapel ini?" tanya Panji saat melangkah bersama kekasihnya.
"Kalau kuceritakan sekarang, tentu akan memakan
waktu cukup lama, Kakang. Sebaiknya istirahatlah du-lu! Setelah membersihkan
tubuh, nanti kita mengha-
dap paman dan bibiku...," sahut Kenanga sambil me-
noleh dan tersenyum manis. Nampak jelas bias keba-
hagiaan di mata dara jelita itu.
Pendekar Naga Putih tidak menyahut. Pemuda itu
hanya tersenyum menyadari besarnya perhatian dara
jelita itu terhadapnya. Padahal Kenanga sendiri jelas kurang istirahat. Panji
tahu itu. Tapi, Kenanga ternyata lebih mementingkan orang lain ketimbang dirinya
sendiri. Semua itu semakin mempertebal kasih sayang Panji terhadapnya.
"Di sinilah aku tinggal selama berada di kadipaten, Kakang. Sedangkan paman dan
bibiku tinggal di bangunan yang terletak di samping kanan bangunan kadi-
paten," ujar Kenanga menjelaskan, setelah mereka tiba di sebuah bangunan yang
cukup besar dan megah.
"Hm..., tempat yang cukup mewah dan menyenang-
kan...!" gumam Panji sembari menatap tempat tinggal kekasihnya. Dua orang
penjaga yang menyambut kedatangan mereka serta-merta membungkukkan kepala
dengan sikap hormat.
Tiba di dalam bangunan, Pendekar Naga Putih sege-
ra minta diri kepada Kenanga untuk membersihkan
tubuh. Dara jelita itu duduk menunggu di ruang ten-
gah, setelah menyiapkan salinan pakaian kekasihnya.
Tidak berapa lama kemudian, Pendekar Naga Putih
muncul dengan wajah segar. Kenanga berdiri me-
nyambutnya. Senyum manisnya seperti tak pernah
meninggalkan wajah jelita dara itu.
"Sebaiknya kita langsung saja menghadap paman
dan bibimu, Kenanga!" usul Panji sembari memegang
kedua bahu dara jelita itu.
"Nanti saja, Kakang. Rinduku belum lagi terobati...,"
kilah Kenanga yang langsung saja merebahkan kepa-
lanya di dada bidang pemuda itu. Kali ini dara jelita itu tidak bisa menahan
kerinduan hatinya. Karena di dalam ruangan itu hanya ada mereka berdua.
"Masih banyak waktu untuk kita berdua, Kenan-
ga...." Kendati mulutnya berkata demikian, tak urung
Pendekar Naga Putih melingkarkan tangan merangkul
tubuh indah Kenanga. Didekapnya Kenanga erat-erat.
Seolah-olah ingin menyatukan tubuh dara itu ke da-
lam tubuhnya. Kenanga tak menyahut lagi. Kepalanya ditengadah-
kan dengan bibir setengah terbuka. Sadar apa yang di-inginkan kekasihnya,
Pendekar Naga Putih membung-
kuk dan mengecup lembut bibir merah merekah itu.
"Kau tak merasa rindu kepadaku, Kakang...?" tanya
Kenanga ketika merasakan pelukan kekasihnya me-
renggang. "Hanya orang bodoh yang tak merasa rindu kepada
wanita secantik kau, Kenanga. Aku hanya khawatir kalau paman dan bibimu sudah
menunggu kedatangan
kita. Dan aku tak ingin keburu ada utusan yang da-
tang memanggil kita...," tukas Panji tersenyum melihat sepasang mata dara itu
berbinar bagai bintang pagi.
"Baiklah...," sahut Kenanga sambil menghela napas.
Kemudian mengajak Pendekar Naga Putih untuk me-
nemui paman dan bibinya.
Apa yang diperkirakan Pendekar Naga Putih tidak
meleset. Dia dan Kenanga langsung disambut sepa-
sang suami istri, ketika memasuki bangunan tempat
tinggal Senapati Jata Logaya.
"Selamat datang di Kadipaten Tumapel, Pendekar
Naga Putih!" sambut lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun yang berdiri
di ambang pintu. Wajah lelaki tinggi tegap itu tampak cerah. Kelihatan sekali
kalau sambutannya tak dibuat-buat.
"Terima kasih, Paman, Bibi...," sambut Panji lalu
membungkuk hormat kepada suami istri, paman dan
bibi Kenanga. Pemuda tampan itu melangkah masuk
mengikuti sepasang suami istri yang tampaknya sudah menunggu sejak tadi.
"Maaf, kalau kedatanganku agak terlambat! Karena
sepanjang perjalanan banyak hambatan...."
Panji membuka percakapan saat mereka telah du-
duk di ruang tengah. Kemudian langsung mencerita-
kan kejadian yang dialami di sepanjang perjalanan.
Termasuk orang-orang berjubah merah yang hendak
membunuhnya di dalam sebuah hutan.
"Orang-orang berseragam merah...?" tanya Senapati
Jata Logaya dengan kening berkerut. Ada perasaan
keheranan di wajah lelaki gagah itu.
"Benar, Paman. Apa Paman tahu mereka dari per-
guruan mana?" tanya Panji yang melihat keheranan
Senapati Jata Logaya. Bahkan dia melihat ketidakper-cayaan dalam sinar mata
lelaki setengah baya itu.
"Justru karena aku kenal siapa mereka, Panji. Dan
kalau bukan kau yang menceritakannya, mungkin aku
tak akan percaya," tukas Senapati Jata Logaya yang
membuat Panji semakin heran. Lalu melemparkan
pandangan ke wajah Kenanga yang duduk di samping-
nya. "Sebentar paman akan menjelaskannya kepadamu,
Kakang," ujar Kenanga menyerahkan jawabannya ke-
pada Senapati Jata Logaya.
"Jika yang menghadangmu orang-orang dari Pergu-
ruan Beruang Merah, tak mungkin mereka mengguna-
kan racun. Karena sepanjang pengetahuanku, mereka
sama sekali tak pernah mempelajari ilmu tentang ra-
cun. Bahkan Perguruan Beruang Merah telah banyak
membantu kami. Mereka sebenarnya perkumpulan
orang-orang gagah yang pantang berbuat curang, Pan-
ji," jelas Senapati Jata Logaya.
"Maksud, Paman. Ada sekumpulan orang yang sen-
gaja menyamar sebagai orang-orang Perguruan Be-
ruang Merah...?" tanya Panji menegasi.
"Hm..., kurasa begitu. Karena aku percaya kalau
orang-orang Perguruan Beruang Merah merupakan
pendekar-pendekar yang berhati bersih. Jadi..., kurasa mereka orang-orang
Darmanggala yang hendak mengadu domba antara pihak kadipaten dengan Perguruan
Beruang Merah!" jelas Senapati Jata Logaya lagi yang membuat kening Pendekar
Naga Putih semakin berkerut. Karena dia belum mendapat penjelasan tentang
keadaan Kadipaten Tumapel saat itu.
Sadar bahwa Pendekar Naga Putih belum mengerti
duduk persoalannya, Senapati Jata Logaya segera
menjelaskan persoalan yang tengah melanda Kadipa-
ten Tumapel. Semua diceritakan dengan jelas, sehing-ga Panji mulai mengerti apa
yang tengah dihadapi paman Kenanga sebagai seorang yang menjabat senapati.
"Apa selama ini belum diperoleh keterangan tentang
letak persembunyian para pemberontak yang dipimpin
Darmanggala itu, Paman?" tanya Panji setelah menda-
patkan keterangan tentang tokoh yang bernama Dar-
manggala. "Orang itu sangat licik, Panji. Selain itu markas mereka selalu berpindah.
Sehingga, pihak kami selalu dapat dikecoh dan hanya menemui bekas-bekas jejak
mereka. Sehingga, aku menduga ada orang dalam yang
berpihak kepada pemberontak Darmanggala itu. Kare-
na setiap kali pasukanku bergerak, mereka telah lebih dulu menghindar. Rupanya
ada yang memberitahukan
kepada Darmanggala tentang penyergapan kami," tu-
tur Senapati Jata Logaya yang terdengar bernada ge-
ram. "Untuk itulah kami bermaksud meminta bantuan-
mu, Panji," kali ini yang berbicara istri Senapati Jata Logaya.
Pendekar Naga Putih mengalihkan perhatiannya ke-
pada sosok perempuan cantik berusia sekitar empat
puluh tahun. Ada sedikit persamaan antara perem-
puan itu dengan Kenanga. Hal itu tak mengherankan,
karena istri Senapati Jata Logaya itu merupakan adik dari ibu Kenanga.
'Tentu saja aku siap membantu dengan sekuat te-
naga, Bibi," sahut Panji melegakan hati perempuan
cantik itu. "Gembira sekali mendengar ucapanmu, Panji. Dan
karena kau baru saja tiba, sebaiknya persoalan ini kita tangguhkan dulu! Bibimu
sudah menyiapkan hidangan
untuk kita bersama. Kau tak perlu sungkan-sungkan.
Anggaplah tempat ini sebagai rumahmu sendiri!" ujar Senapati Jata Logaya yang
bergegas bangkit dari du-duknya. Kemudian mempersilakan Pendekar Naga Pu-
tih dan Kenanga untuk mengikutinya.
Tanpa basa-basi lagi, pendekar muda itu segera
bangkit menuju meja tempat hidangan disediakan. Ke-
nanga sendiri telah lebih dulu melangkah, dan mena-
rik kursi untuk kekasihnya. Sebentar kemudian, suasana berubah hening. Mereka
menikmati hidangan
tanpa berbicara sepatah pun.
*** 2 "Hiii...!"
Suara lengkingan panjang itu bergema membuat
bulu kuduk berdiri. Sosok-sosok berjubah hitam tam-
pak menari-nari dengan gerak berirama, mengelilingi sebuah batu besar berbentuk
pipih. Kelihatannya mereka tengah melakukan suatu upacara di tengah ma-
lam di bawah sinar bulan purnama itu.
Di tengah-tengah batu besar pipih itu tampak ter-
baring sesosok tubuh wanita muda. Di bawah jilatan
cahaya api obor yang ditancapkan di sekeliling batu itu, terlihat jelas betapa
tubuh perempuan muda itu demikian polos tanpa sehelai benang pun yang menu-tupi
tubuhnya. Setelah untuk kesekian kalinya sosok-sosok berju-
bah hitam itu mengelilingi batu pipih, gerakan mereka terhenti dengan tiba-tiba.
Salah seorang dari mereka keluar dari lingkaran dan melangkah perlahan
menghampiri perempuan muda yang terbaring di atas batu.
"Hiii...!"
Tampak sesosok tubuh tinggi kurus mengangkat
kedua belah tangan, seiring dengan suara pekikan
nyaring dari mulutnya. Tangan kanannya menggeng-
gam sebatang tongkat berkepala tengkorak manusia.
Suara pekikannya disambut serentak sosok-sosok lain
yang mengeliling batu pipih itu.
Setelah beberapa saat terdiam seperti tengah meng-
heningkan cipta, sosok lelaki tinggi kurus berjubah hitam itu memberikan isyarat
dengan gerakan tangan kirinya.
Salah seorang berjubah hitam melangkah ke depan
menghampiri sosok tinggi kurus yang menjadi pemim-
pin upacara itu. Kemudian menyerahkan sebilah pisau pendek yang tampak
berkilatan tertimpa cahaya obor.
Sosok tinggi kurus yang memimpin upacara me-
mindahkan tongkat ke tangan kiri. Dan menyambut
pisau tajam itu dengan tangan kanannya. Kemudian
kakinya melangkah mendekati batu. Setelah menatapi
tubuh perempuan muda itu dari ujung kaki sampai ke
kepala, diangkatnya tinggi- tinggi pisau yang tergenggam di tangan kanan.
Perempuan muda yang terbujur di atas batu pipih
besar itu terbelalak lalu memejamkan matanya rapat-
rapat. Dan.... Wut! Jrabs! Tidak terdengar teriakan sedikit pun saat mata pi-
sau menancap perut berkulit halus itu. Darah segar
muncrat keluar, ketika sosok tinggi kurus itu mencabut pisaunya. Kemudian,
dengan rakus mulutnya
menghirup darah yang membanjir keluar dari luka di
perut perempuan muda itu.
Setelah puas menghirup darah perempuan muda
itu, sosok tinggi kurus melangkah mundur beberapa
tindak. Kemudian memberikan isyarat kepada anggo-
tanya untuk maju satu persatu. Mereka pun tampak
melakukan hal serupa dengan yang diperbuat pimpi-
nan mereka. Demikian rakus sosok- sosok berpakaian
hitam itu menghirup darah dari dalam tubuh perem-
puan malang itu, tak ubahnya binatang buas yang
haus darah. Upacara biadab itu kembali dilanjutkan setelah da-
rah dalam tubuh perempuan yang menjadi korban itu
telah kering. Pemimpin upacara maju ke depan. Se-
dangkan para anggotanya tampak duduk bersila men-
gelilingi tempat itu.
"Wahai Penguasa Alam Kegelapan...!" seru lelaki
tinggi kurus itu dengan suara menggeletar penuh per-bawa gaib. "Malam ini kami
kembali mempersembah-
kan seorang gadis suci. Semoga persembahan ini tidak mengecewakan. Dan kekuatan
kami semakin berlipat
ganda...!"
Selesai mengucapkan kata-kata demikian, pemim-
pin upacara persembahan itu kembali memekik, yang


Pendekar Naga Putih 77 Altar Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian disambut seluruh anggotanya. Lalu kakinya
melangkah tenang menghampiri tubuh gadis yang ter-
kapar di atas batu. Tongkat panjang yang di ujungnya terpancang tengkorak kepala
digetarkan menyapu bagian atas tubuh polos yang telah pucat itu. Kemudian tangan
kanannya mengusap luka di perut perempuan
itu. Dan..., luar biasa sekali apa yang terjadi kemudian! Luka akibat tikaman
pisau itu lenyap tanpa bekas. Benar-benar aneh dan tidak masuk di akal!
Sambil menatap bekas luka, lelaki tinggi kurus itu
tampak tersenyum puas. Kemudian melangkah meng-
hampiri para anak buahnya yang saat itu tengah ber-
lutut. "Untuk purnama ini, upacara selesai...!" ujar pe-
mimpin upacara itu yang disusul suara lengkingan
nyaring dari mulutnya. Sesaat kemudian sosok tubuh
kurus itu melangkah meninggalkan tempat upacara
setelah memerintahkan para anak buahnya agar men-
cabut obor-obor yang terpancang di sekeliling tempat
persembahan. Sebentar kemudian, suasana di tempat itu kembali
dicekam keheningan dan kebisuan. Sosok-sosok ber-
jubah hitam telah pergi meninggalkan mayat korban
yang mereka persembahkan kepada Penguasa Alam
Kegelapan. Dari kegiatan yang mereka lakukan, gerombolan
berjubah hitam itu merupakan penganut ilmu hitam.
Dengan mengorbankan seorang gadis muda yang ma-
sih suci, mereka mengharapkan dapat memperoleh ke-
kuatan. Dan menilik dari ucapan terakhir pimpinan
upacara aneh itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka melakukan persembahan
korban seperti itu setiap malam bulan purnama.
*** Pada malam yang sama saat upacara berlangsung,
di Kadipaten Tumapel terjadi kekacauan. Sebuah ban-
gunan yang terletak di dalam lingkungan kadipaten,
tahu-tahu terbakar tanpa sebab yang jelas. Untunglah Pendekar Naga Putih dan
Kenanga yang saat itu belum tidur sempat melihatnya. Sehingga, api segera dapat
dipadamkan sebelum menjalar ke bangunan yang lain.
"Kejadian ini jelas sangat mengherankan," ujar Panji ketika sudah berkumpul
bersama Senapati Jata Logaya. Ucapan itu diutarakan, karena dia tak melihat
adanya orang yang mencurigakan. Bahkan dari mana
api berasal pun tak ada yang tahu.
"Kau tak perlu merasa heran, Kakang! Semenjak
aku berada di sini, sudah dua kali terjadi hal seperti ini. Dan itu terjadi
setiap bulan purnama...," Kenanga menjelaskan, karena melihat pamannya hanya
menghela napas tanpa tanggapan.
"Dan pasti pada keesokan harinya akan ditemukan
seorang gadis muda terbujur kaku di atas Altar Se-
tan...," Senapati Jata Logaya menyambung ucapan Ke-
nanga. Seolah dia ingin melengkapi penjelasan keme-
nakannya itu. "Altar Setan...?" tanya Panji dengan suara bergu-
mam. Hatinya tersentak mendengar ucapan Senapati
Jata Logaya. "Hhh...! Aku memang belum menceritakan hal ini
kepadamu, Panji. Sebenarnya kejadian ini sudah ber-
langsung sejak empat purnama yang lalu. Dan, sampai saat ini semuanya masih
merupakan teka-teki bagi
kami," lanjut Senapati Jata Logaya setelah menghela napas panjang dan berat.
"Apa Paman belum mencoba mengadakan penyeli-
dikan terhadap kematian gadis-gadis muda itu?" tanya Panji yang tentu saja
merasa heran mendengar peristiwa itu sudah berlangsung cukup lama.
"Itulah yang membuatku penasaran, Panji. Karena
bersamaan dengan itu selalu saja timbul kekacauan di lingkungan kadipaten.
Sehingga, terpaksa para prajurit diharuskan berada di tempat untuk berjaga-jaga.
Tapi anehnya, selalu saja kecolongan.
Bahkan aku pernah mengirim sepasukan prajurit
untuk mencegah korban di Altar Setan itu. Hasilnya, pasukan yang kukirim tewas.
Sampai sekarang korban
terus saja berjatuhan tanpa bisa ku cegah...," jawab Senapati Jata Logaya dengan
suara rendah. Seakan
mengandung penyesalan yang dalam.
"Di mana letak Altar Setan itu, Paman...?" tanya
Panji yang ingin sekali membuktikan ucapan Senapati Jata Logaya. Karena dia
merasa berkewajiban untuk
menghentikan tindak keangkaramurkaan itu.
"Kalau Paman mengizinkan, biar aku menyertai Ka-
kang Panji ke tempat itu...," pinta Kenanga seraya me-
natap wajah pamannya.
"Hm..., pergilah. Mudah-mudahan kalian berdua
dapat menyingkap tabir gelap ini...!" ujar Senapati Jata Logaya. Dari ucapan dan
raut wajahnya tersirat suatu harapan kepada Pendekar Naga Putih, untuk dapat
menyingkap tabir gelap Altar Setan itu.
Tanpa membuang-buang waktu, malam itu juga
Kenanga segera mengajak kekasihnya melihat korban
Altar Setan. Keduanya bergerak dengan menggunakan
ilmu lari cepat. Sehingga, tidak terlalu lama kedua pendekar muda itu telah
berada di luar kota kadipaten.
"Hm..., rupanya tempat itu cukup jauh...," gumam
Panji tanpa menghentikan larinya.
"Altar Setan terletak di sebelah utara kota kadipa-
ten, Kakang. Tepatnya di tengah Hutan Rawandaka...,"
jelas Kenanga. Perjalanan yang sebenarnya cukup jauh itu tidak
memakan waktu terlalu lama bagi mereka.
Menjelang fajar, Pendekar Naga Putih dan Kenanga
telah tiba di mulut Hutan Rawandaka.
"Di sinilah pasukan yang dikirim Paman Jata Lo-
gaya menemui kematian. Menurut paman, mereka te-
was tanpa segores luka pun di tubuh. Aku sendiri
hanya mendengar ceritanya. Kejadian itu sudah dua
purnama yang lalu...," ujar Kenanga menunjukkan
tempat mayat-mayat pasukan yang dikirim pamannya
untuk mencegah korban Altar Setan.
"Hm..., apa kau pernah menyelidiki tempat itu...?"
tanya Panji seraya menoleh kepada kekasihnya.
Kenanga balas menoleh lalu mengangguk.
"Bahkan seluruh pelosok Hutan Rawandaka telah
kujelajahi. Tapi, tak kutemukan adanya tempat yang
kira-kira menjadi persembunyian penganut aliran se-
sat itu. Aku sendiri belum pernah melihat dengan mata kepala, korban di atas
Altar Setan. Karena belum ada satu purnama aku tinggal di Kadipaten Tumapel.
Padahal aku ingin sekali membuktikan kebenaran cerita pamanku itu," jelas
Kenanga yang membuat Panji
menganggukkan kepalanya, memaklumi. Karena me-
mang belum ada satu purnama kekasihnya tinggal di
kadipaten itu. Pembicaraan mereka terhenti saat memasuki kawa-
san Hutan Rawandaka. Keduanya pun segera memper-
lambat langkah. Kewaspadaan ditingkatkan. Sebab,
bukan tak mungkin kalau dalam keremangan itu me-
reka tengah diawasi lawan.
Namun, sampai di dekat batu pipih tempat persem-
bahan dilaksanakan, Pendekar Naga Putih tak mene-
mui halangan sedikit pun. Hal itu membuat keduanya
merasa agak lega, kendati tak melupakan kewaspa-
daan. "Itulah yang dinamakan Altar Setan, Kakang," bisik
Kenanga mengarahkan jari telunjuk ke sebuah batu
pipih, yang berjarak sekitar delapan tombak dari mereka.
"Hm..., kelihatannya memang ada sesosok tubuh
terbaring di atas Altar Setan itu. Ada baiknya kalau ki-ta berhati-hati. Siapa
tahu mereka masih berada di sekitar tempat ini dan tengah mengawasi kita...,"
ujar Panji seraya menghentikan larinya lalu mengawasi ba-tu pipih tempat
persembahan itu. Pendengarannya di-
kerahkan untuk menangkap suara-suara mencuriga-
kan. Namun, hanya desau angin malam dan gemerisik
dedaunan yang tertangkap pendengarannya.
"Kau mendengar sesuatu, Kakang...?" tanya Kenan-
ga. Dia merasa kalau daya pendengaran Pendekar Na-
ga Putih jauh lebih baik dari dirinya.
Pendekar Naga Putih hanya menggeleng perlahan.
Kemudian mengajak Kenanga untuk menghampiri Al-
tar Setan. Keduanya bergerak hati-hati sambil tetap memasang indera pendengaran.
"Sebaiknya kau jangan terlalu dekat, Kakang...."
Tiba-tiba saja Kenanga mencekal lengan kekasih-
nya. Karena dilihatnya sosok tubuh wanita dalam keadaan polos tanpa penutup,
berada di atas batu itu. Sebagai seorang wanita, tentu saja dia tak ingin
kekasihnya menyaksikan tubuh polos itu dari dekat.
Pendekar Naga Putih terpaksa berhenti. Kepalanya
menoleh dan menatap tajam wajah kekasihnya. Karena
baginya sangat penting untuk melihat bagaimana kea-
daan mayat korban persembahan itu. Dari situ dia ba-ru dapat mengambil
kesimpulan. Hal itulah yang
membuat pendekar muda itu harus menolak maksud
Kenanga. "Kurasa tak ada salahnya kalau aku melihat lebih
dekat, Kenanga. Hal itu sangat penting bagi penyelidikan kita. Karena untuk
dapat menyingkap keanehan
ini, kita harus tahu bagaimana cara korban itu te-
was...," jelas Panji mengemukakan alasannya.
"Tapi... tubuh perempuan di atas Altar Setan itu
tanpa pakaian, Kakang. itu sebabnya aku melarangmu
melihatnya dari dekat," sanggah Kenanga bersikeras.
Karena dia merasa risih jika kekasihnya melihat keadaan korban yang terbujur
tanpa pakaian itu.
"Kenanga, dalam hal ini kita harus bisa menjauh-
kan pikiran yang tidak-tidak. Selain itu, kalaupun aku ingin melihat tubuh
wanita muda tanpa pakaian, rasanya tak perlu susah-susah. Tubuhmu sendiri jauh
lebih sempurna ketimbang perempuan mana pun! Dan
aku percaya akan dapat menikmati sepuas-puasnya.
Bukankah kau sudah menyerahkan dirimu bulat-bulat
kepadaku...?" kilah Panji yang membuat wajah Kenan-
ga berubah kemerahan.
Terhadap bantahan itu, Kenanga tak memberi tang-
gapan. Dia merasa apa yang dikatakan Pendekar Naga
Putih tidak berlebihan. Gadis itu memang sudah siap menyerahkan dirinya untuk
kekasihnya. Mungkin,
seandainya pendekar muda itu menginginkan dirinya, Kenanga tak akan mampu
menolak. Mereka belum
resmi menjadi suami istri, tapi Kenanga telah men-
ganggap bahwa dirinya istri Panji. Dan setiap saat Kenanga siap untuk melayani
pemuda pujaan hatinya
itu. "Baiklah, Kakang...," akhirnya Kenanga mengalah.
'Tapi kau jangan terlalu lama melihatnya, ya...?"
"Akan ku usahakan secepat mungkin. Tapi, tentu
saja harus memeriksanya dengan teliti. Dan untuk itu rasanya memang perlu waktu
yang cukup...," tukas
Panji seraya tersenyum menggoda.
'Tuh, kan...," gerutu Kenanga. Wajahnya langsung
berubah cemberut dengan mata melotot menatap ke-
kasihnya. "Sudahlah! Hal itu tak perlu kita persoalkan. Kalau kau merasa cemburu, nanti
kau boleh tunjukkan tubuh indahmu di hadapanku, bagaimana" Kau setu-
ju...?" usul Panji dengan wajah sungguh-sungguh. Padahal tentu saja ucapan itu
hanya sekadar menggoda.
"Huh, enak di Kakang tak enak bagiku!" tukas Ke-
nanga seraya mencibir. Kemudian melangkah lebar
menghampiri Altar Setan.
Panji tertawa kecil. Kemudian mengikuti langkah
kekasihnya mendekati tempat mayat perempuan muda
itu terbaring kaku. Kenanga melangkah lebih cepat.
Sedangkan Panji perlahan saja tanpa terburu-buru.
Tiba di dekat altar, Pendekar Naga Putih segera
memeriksa dengan teliti sekujur tubuh telanjang yang tampak pucat itu. Hatinya
merasa heran ketika tak
menemukan luka sedikit pun di tubuh mayat itu. Bah-
kan tidak terdapat tanda-tanda bekas pukulan. Suatu kematian yang aneh dan sulit
untuk diketahui penyebabnya.
"Cukup, Kakang!" sentak Kenanga seraya menarik
lengan Panji menjauhi Altar Setan. Kemudian dimin-
tanya Panji agar melepaskan jubah luarnya untuk me-
nutupi tubuh mayat wanita muda itu.
"Sebaiknya langsung saja kita kuburkan di tempat
ini, Kenanga! Kita tak perlu memperlihatkan mayat ini kepada Paman Jata Logaya!
Beliau pasti sudah beberapa kali melihatnya...," usul Panji setelah Kenanga
membungkus mayat itu dengan jubah putih.
"Memang sebaiknya begitu, Kakang. Aku setuju
dengan usulmu," sahut Kenanga.
Tanpa banyak cakap lagi, Pendekar Naga Putih se-
gera mencari tempat yang kira-kira cukup baik untuk mengubur mayat itu.
Dibuatnya sebuah lubang yang
agak dalam. Kemudian dikuburkannya mayat itu.
"Aku masih belum percaya kalau di sekitar Hutan
Rawandaka ini tidak ada tempat yang menjadi markas
orang-orang sesat itu. Sebaiknya kita selidiki lagi secara lebih teliti...,"
usul Panji setelah selesai mengubur mayat perempuan muda yang malang itu.
"Aku pun masih penasaran, Kakang. Kendati telah
menyelidiki tiap jengkal wilayah hutan ini...," timpal Kenanga yang langsung
saja menyetujui usul kekasihnya.
Sebentar kemudian, pasangan pendekar muda itu
sudah melangkah menyelusuri seluruh pelosok Hutan
Rawandaka. Boleh dibilang hampir setiap jengkal ta-
nah mereka teliti dengan cermat. Namun, sampai pagi
menjelang, mereka tetap tak memperoleh hasil yang di-inginkan. Sampai akhirnya
mereka menghentikan pen-
carian itu. "Aku tak yakin kalau mereka tinggal jauh dari Hu-
tan Rawandaka ini...," gumam Panji yang tampak ma-
sih penasaran. Karena nalurinya mengatakan bahwa
markas penganut ilmu hitam itu berada di sekitar Hutan Rawandaka.
"Hm..., bagaimana kalau kita menyelidiki desa-desa
di sekitar Kadipaten Tumapel ini, Kakang. Kita cari keterangan desa mana yang
telah kehilangan warganya.
Mungkin dengan begitu kita bisa memperoleh gamba-
ran tentang para pelaku kebiadaban ini...," usul Kenanga yang tampak bersikeras
untuk mampu me-
nyingkap rahasia Altar Setan itu.
"Begitu pun bagus!" sahut Panji. "Tapi, untuk itu ki-ta harus berbicara dulu
kepada paman dan bibimu.
Aku tak ingin mereka menjadi khawatir, kalau kita


Pendekar Naga Putih 77 Altar Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertindak tanpa sepengetahuan mereka...."
"Memang sebaiknya begitu, Kakang. Dan kalau per-
lu hanya paman dan bibi saja yang tahu. Seperti apa yang pernah paman katakan,
beliau curiga kalau-kalau ada orang dalam yang berpihak kepada pembe-
rontak yang dipimpin Darmanggala. Dan kemungkinan
penyelidikan kita akan menemui kegagalan, kalau
sampai tersebar di lingkungan kadipaten...," ujar Kenanga. Gadis berpakaian
hijau itu memang sangat ha-
ti-hati dalam bertindak.
Pendekar Naga Putih tersenyum mendengar ucapan
kekasihnya. Diam-diam dia merasa bangga. Kenanga
sekarang tampak lebih matang dalam berpikir dan
berhati-hati dalam melakukan suatu tindakan.
"Hm..., gagasanmu itu memperlihatkan sikap kema-
tanganmu, Kenanga. Aku senang dengan orang yang
lebih banyak berpikir sebelum bertindak. Artinya tidak gegabah. Hhh..., rupanya
kau sudah belajar banyak
dari pengalamanmu selama ini...," ujar Panji seraya menatap kekasihnya tanpa
menyembunyikan rasa ke-kagumannya.
'Terima kasih atas pujianmu, Kakang."
Hanya itu yang diucapkan Kenanga. Meskipun se-
sungguhnya di wajah cantik jelita itu tampak rasa
bangga yang bergayut di hatinya. Gadis mana yang tak merasa bangga dipuji pemuda
pujiannya. Kenanga pun
tak terlepas dari perasaan itu.
*** 3 Adanya sekelompok orang yang mengorbankan ga-
dis-gadis muda pada setiap malam purnama di Altar
Setan, ternyata tak hanya menjadi perhatian pihak
penguasa Kadipaten Tumapel. Namun, telah mengusik
pula hati kaum rimba persilatan. Banyak tokoh yang
mengaku sebagai pendekar pembela keadilan, merasa
berkewajiban untuk menghentikan upacara persemba-
han biadab itu.
Tidak hanya tokoh-tokoh perorangan yang tertarik
untuk menghentikan kegiatan kelompok beraliran se-
sat itu. Beberapa perguruan yang mendengar berita itu pun mengutus murid-murid
andalannya. Jelas persembahan terkutuk di Altar Setan telah membuat
kaum persilatan merasa marah.
"Kegiatan biadab itu pasti didalangi seorang tokoh
sesat yang berjiwa iblis. Entah apa yang diharapkannya dari persembahan itu.
Yang pasti perbuatan mere-
ka harus kita hentikan!"
Seorang lelaki gagah berusia sekitar empat puluh
lima tahun, berkata kepada kawannya dengan nada
berapi-api. Sepasang matanya mencorong tajam saat
mengucapkan kata-kata itu. Dari tatapan mata itu dapat ditebak kalau lelaki
gagah ini merupakan tokoh
rimba persilatan. Tatapan matanya yang tajam itu
memperlihatkan bahwa tenaga dalam yang dimilikinya
telah mencapai tingkat tinggi.
Lelaki bertubuh tinggi dan kurus yang berdiri di
sampingnya tampak mengangguk-anggukkan kepala,
seakan-akan cocok dengan pikirannya. Saat itu kedu-
anya hampir tiba di perbatasan sebuah desa. Dari
langkahnya yang ringan dan mantap dapat diketahui
kalau lelaki tinggi kurus ini pun bukan orang sembarangan. Setidak-tidaknya
pasti menguasai ilmu silat yang tak dapat diremehkan.
"Sepak terjang kaum golongan sesat memang aneh-
aneh saja. Tampaknya mereka sengaja membuat keka-
cauan selagi perhatian pihak Kadipaten Tumapel ten-
gah terpusat kepada para pemberontak yang dipimpin
Darmanggala. Dengan begitu, mereka dapat terlepas
dari perhatian pihak Kadipaten Tumapel. Kekacauan
ini mereka pergunakan sebaik-baiknya untuk suatu
kepentingan yang merugikan orang banyak. Hhh...,
sangat licik sekali manusia-manusia keji itu! Bagi kita, jelas ini merupakan
suatu kewajiban yang harus dipi-kul. Kita harus menghentikan...!" sambut lelaki
tinggi kurus tak kalah semangat dengan kawannya.
"Hm...."
Lelaki gagah di sebelahnya bergumam perlahan.
Keningnya tampak berkerut setelah mendengar ucapan
kawannya. Kelihatannya dia tengah berpikir keras.
"Gontara...," ujarnya memanggil kawan di samping-
nya. Matanya yang tajam menatap lelaki bernama Gon-
tara yang berusia lebih muda sepuluh tahun darinya.
"Kau sepertinya hendak menyampaikan sesuatu,
Kakang Pegantar" Katakanlah!" sahut Gontara ketika
melihat kerutan pada kening kawannya.
"Menurutmu, mungkinkah kedua kelompok itu
mempunyai hubungan satu sama lain...?" tanya Ki Pe-
gantar sebelum mengutarakan apa yang ada dalam pi-
kirannya saat itu.
"Maksudmu...?" Gontara balik bertanya. Kendati
sudah mulai menduga, dia ingin ketegasan lebih dulu dari Ki Pegantar.
"Begini, Gontara," ujar Ki Pegantar kembali menga-
lihkan perhatiannya ke depan. "Setelah mendengar ke-teranganmu tadi, timbul
kecurigaan dalam hatiku. Sebab, antara pemberontak Darmanggala dan kelompok
sesat itu seakan-akan ada kesepakatan. Secara tak
langsung mereka telah sama-sama membuat kewala-
han Penguasa Kadipaten Tumapel. Jadi, bukan tak
mungkin kalau di antara kedua kelompok itu ada hu-
bungan satu sama lain. Dan kalau aku boleh mendu-
ga..., kelompok sesat itu merupakan orang-orang su-
ruhan Darmanggala. Tujuannya jelas untuk menga-
caukan perhatian penguasa kadipaten."
"Wah, kalau benar demikian, tugas kita jelas tak
ringan, Kang. Hhh...!" tukas Gontara yang kemudian
menghela napas berat. Tapi, ucapan itu tentu saja bukan karena dia merasa
gentar. Ki Pegantar tahu hal
itu. "Karena itu, kupikir kita mesti lebih berhati-hati dan selalu berwaspada.
Jangan gegabah dalam bertindak!" Ki Pegantar mengingatkan.
"Ya...," desah Gontara singkat. Kepalanya tampak
mengangguk-angguk pelan.
Pembicaraan kedua lelaki itu sementara terhenti.
Karena saat itu keduanya sudah memasuki perbatasan
Desa Gending. Khawatir kalau-kalau pihak lawan me-
miliki banyak mata-mata, mereka mulai bertindak ha-
ti-hati. Dan tidak sembarangan berbicara.
Saat itu matahari sudah tinggi. Perjalanan yang cu-
kup jauh, membuat perut mereka terasa perih. Se-
hingga, begitu memasuki Desa Gending, keduanya
langsung bersepakat untuk singgah di sebuah kedai
makan yang tak jauh dari mulut desa itu.
Ki Pegantar dan Gontara langsung mengambil tem-
pat kosong setelah memasuki kedai. Siang itu pengunjung tampak tak terlalu
ramai. Sehingga mereka bisa memilih tempat duduk yang agak terpisah dari
pengunjung lain. Ki Pegantar langsung memesan makanan
kepada pelayan yang menghampiri mereka: Kemudian
duduk menunggu sambil sesekali mengedarkan pan-
dangan ke sekeliling ruangan kedai.
"Ah, kiranya sahabat-sahabat dari Perguruan Tan-
gan Kilat telah tiba di desa ini...!"
Seruan lantang dan berat itu membuat Ki Pegantar
dan Gontara tersentak kaget. Keduanya langsung saja mencari pemilik suara yang
mengenali mereka berdua.
Kening keduanya yang semula berkerut, dan hati ber-
debar tegang, kembali tenang ketika melihat seorang lelaki tinggi besar
berpakaian serba merah melangkah menghampiri mereka.
"Orang Perguruan Beruang Merah...," desis Ki Pe-
gantar dan Gontara hampir bersamaan, seraya bangkit berdiri menyambut kedatangan
lelaki berpakaian serba merah yang menyapa mereka.
"Orang-orang Perguruan Beruang Merah memang
hebat sekali. Begitu melihat langsung dapat mengenali kami berdua. Benar-benar
mengagumkan...!" ujar Ki
Pegantar sembari membungkukkan tubuh kepada le-
laki tinggi besar itu.
Hal serupa dilakukan Gontara. Kendati tahu siapa
sebenarnya lelaki tinggi besar itu, Gontara merasa sedikit kurang senang, karena
ucapan lelaki berpakaian serba merah itu seolah-olah hendak memperkenalkan
mereka berdua kepada semua pengunjung kedai. Aki-
batnya mereka berdua jadi perhatian, meski hanya untuk beberapa saat.
"Kisanak terlalu memuji," tukas lelaki tinggi besar itu tanpa mengurangi tekanan
suaranya. "Siapa orang yang tak kenal dengan pendekar-pendekar dari Perguruan
Tangan Kilat" Sungguh merupakan suatu ke-
hormatan besar dapat bertemu dengan pendekar-
pendekar gagah seperti kalian berdua...."
Ki Pegantar yang lebih tua dari Gontara dan lebih
berpengalaman, dapat menyembunyikan perasaan tak
sukanya terhadap lelaki tinggi besar itu. Senyumnya tetap mengembang. Dan sinar
matanya tetap ramah
menyambut ucapan lelaki berpakaian serba merah itu.
"Kalau aku tak salah, bukankah Kisanak yang ber-
juluk Beruang Cakar Baja dan merupakan orang ke-
dua di Perguruan Beruang Merah" Sungguh suatu ke-
hormatan besar dapat berkenalan dengan tokoh besar
seperti Kisanak!" sambut Ki Pegantar yang segera dapat mengenali lelaki tinggi
besar itu. 'Tidak salah..., tidak salah! Tapi nama itu hanya sekadar julukan tak berarti.
Mana bisa disejajarkan dengan orang-orang Perguruan Tangan Kilat yang telah
terkenal kegagahannya?" tukas lelaki yang mengakui
julukannya sebagai Beruang Cakar Baja. Ucapannya
seakan-akan merendahkan diri. Namun, sikap dan
pandangannya sungguh bertolak belakang. Tekanan
suaranya pun terkesan menyombongkan diri.
Ki Pegantar sama sekali tidak peduli dengan sikap
sombong Beruang Cakar Baja. Bahkan dengan ramah
segera mempersilakan tokoh kedua dalam Perguruan
Beruang Merah itu untuk bergabung. Lain halnya den-
gan Gontara yang merasa panas hatinya. Lelaki tinggi kurus ini mendengus sambil
memalingkan wajahnya.
Takut kalau-kalau tidak mampu menahan diri melihat
sikap Beruang Cakar Baja yang terlalu sombong dan
meremehkan mereka berdua.
"Rasanya aku sudah bisa menebak apa maksud dan
tujuan kalian berdua berada di desa ini," Beruang Cakar Baja kembali berkata,
setelah menarik kursi dan duduk berhadapan dengan kedua tokoh Perguruan
Tangan Kilat itu. 'Tentu kalian berdua ingin menyelidiki tentang korban Altar
Setan, bukan?"
Mendengar ucapan itu, Ki Pegantar dan Gontara
tersentak kaget. Wajah keduanya berubah pucat, ke-
mudian berganti merah. Mereka merasa bahwa Be-
ruang Cakar Baja sepertinya sengaja mencari-cari per-kara. Kalau tidak, mana
mungkin dia akan mengum-
bar ucapan di depan orang banyak seperti itu. Dan
ucapan itu membuat Gontara menggereng. Karena si-
kap Beruang Cakar Baja dianggapnya sudah keterla-
luan. "Hm..., tak kusangka kalau tokoh Perguruan Be-
ruang Merah yang terkenal begitu sombong dan kasar!
Tidak sepantasnya sikap seperti itu dimiliki seorang tokoh besar yang kesohor!
Benar-benar membuat kecewa...!" desis Gontara kehilangan kesabaran. Sepa-
sang matanya menatap tajam wajah Beruang Cakar
Baja tanpa rasa gentar sedikit pun, kendati nama besar Beruang Cakar Baja telah
didengarnya. Ki Pegantar sendiri tak berusaha mencegah Gonta-
ra, karena dia pun sudah merasa jengkel melihat sikap
sombong dan keterlaluan lelaki tinggi besar itu. Ki Pegantar ingin melihat
bagaimana tanggapan Beruang
Cakar Baja terhadap ucapan Gontara yang jelas telah kehilangan kesabarannya.
"Ha ha ha...!"
Beruang Cakar Baja malah tertawa terbahak- bahak
demi mendengar sindiran Gontara. Membuat kedua
orang lelaki gagah itu saling bertukar pandang dengan wajah heran.
"Kisanak," ujar Beruang Cakar Baja, setelah meng-
hentikan tawanya. Matanya menatap tajam wajah Gon-
tara. "Apa yang kukatakan tadi sudah bukan rahasia
lagi. Sebelum kalian datang, sudah cukup banyak to-
koh persilatan singgah di desa ini. Dan mereka pun
punya tujuan sama dengan kalian berdua. Mengapa
kalian masih hendak berpura-pura" Apa merasa takut, kalau maksud kalian sampai
terdengar kelompok yang
hendak kalian basmi itu" Kalau takut, mengapa harus susah-susah datang ke tempat
ini?" Brakkk! "Beruang Cakar Baja! Rupanya kau tak memandang
sebelah mata pun terhadap kami berdua!" geram Gon-
tara dengan tubuh bergetar menahan marah. "Nama
besarmu itu telah membuat kau sombong dan me-
mandang rendah orang lain! Perlu kau ketahui kalau
aku, Gontara tak pernah merasa gentar mendengar ju-
lukan-julukan kosong sepertimu! Dan aku tidak bisa
terima hinaan ini!" tandas Gontara yang sudah bangkit sambil menggebrak meja.
Gelagat tidak baik itu membuat pengunjung kedai
merasa cemas. Satu persatu mereka bangkit dan ber-
gegas meninggalkan ruangan kedai. Takut kalau-kalau terjadi keributan yang dapat
mencelakakan mereka.
Apa yang ditakutkan pengunjung kedai itu ternyata
tidak berlebihan. Karena Beruang Cakar Baja sudah
bangkit dari kursinya ketika mendengar ucapan Gon-
tara. Wajah lelaki tinggi besar yang dipenuhi brewok itu tampak merah padam.
Sepasang matanya menatap
bengis wajah Gontara.
"Hm.... Lalu apa maumu, Cacing Kurus"!" tantang
Beruang Cakar Baja yang sepertinya sengaja meng-
hendaki keributan.
"Manusia sombong!" bentak Gontara tak dapat
mengendalikan dirinya lagi. "Sambut pukulanku....!
Hih!" Whuuut! "Hm...!"
Sambil mengucapkan makian itu Gontara langsung
melancarkan sebuah pukulan keras ke wajah lawan.
Namun serangan itu disambut dengusan dari mulut
Beruang Cakar Baja. Seakan-akan mengejek kemam-
puan lawan. Meskipun tak urung lelaki brewok itu
memiringkan kepala menghindarkan pukulan cepat
Gontara. Pukulan keras Gontara dapat dihindarkan. Bahkan


Pendekar Naga Putih 77 Altar Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan tak kalah cepat, Beruang Cakar Baja langsung mengirimkan serangan
balasan. "Heaaa...!"
Whuuut! Jari-jari tangan kokoh yang membentuk cakar be-
ruang itu meluncur deras hendak menyambar tenggo-
rokan Gontara. Dari angin sambaran yang menderu
keras dapat diperkirakan betapa hebatnya kekuatan
yang tersembunyi dalam cakar maut itu. Sehingga,
Gontara sendiri sempat tersentak kaget merasakannya.
Mengetahui kalau serangan itu mengancam nyawa
Gontara, tentu saja Ki Pegantar tak tinggal diam. Lelaki gagah itu dengan cepat
mengayunkan tangan guna
memapak serangan Beruang Cakar Baja.
"Hih!"
Plak! Dua kekuatan yang sama-sama tersalur lewat tan-
gan saling beradu. Untung Ki Pegantar mengetahui kehebatan serangan Beruang
Cakar Baja. Sehingga, lela-ki gagah itu mengerahkan hampir seluruh tenaga da-
lamnya untuk menangkis sambaran cakar maut itu.
Kendati tubuhnya terdorong mundur dua langkah, jiwa Gontara berhasil
diselamatkan. Beruang Cakar Baja kelihatan tidak terlalu kaget
ketika merasakan tangannya bergetar. Seakan dia cu-
kup maklum kemampuan yang dimiliki Ki Pegantar.
Kendati cengkeramannya gagal terpapak tangan lawan, Beruang Cakar Baja tak
kehabisan akal. Tangkisan tenaga lawan dipergunakan untuk menyusuli dengan se-
rangan berikutnya. Lengan yang besar dan kuat itu
berputar dengan kecepatan tinggi. Bahkan kali ini tangan kirinya ikut bergerak
disertai sambaran angin keras.
"Heaaa...!"
Wuttt! Wuttt! Serangan Beruang Cakar Baja datang dengan kece-
patan yang lebih hebat. Kali ini sasarannya Ki Pegantar. Dan ternyata lelaki
gagah itu sudah siap menyambutnya dengan jurus kebanggaan Perguruan Tangan
Kilat. "Heaaa...!"
Bwettt! Bwettt...!
"Haits...!"
Dengan gerakan kaki yang lincah dan mantap, Ki
Pegantar berhasil menghindari serangkaian cakaran
jemari lawan yang datang begitu cepat dan beruntun.
Dan langsung mengirimkan serangan balasan dengan
jurus 'Tangan Kilat Membelah Gunung'.
Tidak percuma Ki Pegantar menjadi orang keper-
cayaan Ketua Perguruan Tangan Kilat Serangan bala-
sannya demikian cepat dan kuat. Terlebih perubahan
gerak jemari tangannya yang sulit ditebak. Terkadang jari-jari tangan lelaki
gagah itu meluncur datang dengan bentuk kepalan. Di saat yang lain telah berubah
menusuk-nusuk dengan telapak terbuka. Bahkan, tak
jarang serangannya menyerupai cengkeraman-
cengkeraman kuat yang mendatangkan angin berkesi-
utan. Sehingga, dalam beberapa jurus saja pertarun-
gan itu telah berubah seru dan sangat menegangkan.
Beruang Cakar Baja agak kaget juga, ketika mera-
sakan kehebatan serangan balasan lawan. Beberapa
kali terdengar mulutnya mendengus gusar, ketika se-
pasang tangan Ki Pegantar mencecar dengan kecepa-
tan yang luar biasa. Walaupun sampai sejauh itu tu-
buhnya belum tersentuh pukulan lawan, Beruang Ca-
kar Baja tampak telah terdesak dengan jurus-jurus
awal. Hal itu, karena Ki Pegantar seolah-olah tak ingin memberi kesempatan
lawannya untuk menyerang. Di-desaknya terus kedudukan lawan dengan jurus-jurus
ampuh yang dimiliki.
"Heaaa...!"
Lewat sepuluh jurus kemudian, Beruang Cakar Ba-
ja terdengar membentak keras. Tubuhnya melompat ke
belakang dengan lesatan panjang. Maksudnya untuk
menjauhi lawan agar dapat mempersiapkan jurus-
jurus baru untuk mengimbangi kehebatan jurus Ki Pe-
gantar. Jurus 'Tangan Kilat Membelah Gunung' yang
merupakan salah satu jurus ampuh dari Perguruan
Tangan Kilat, dirasakan cukup hebat.
Tapi Ki Pegantar tampaknya tak mau memberi ke-
sempatan sedikit pun bagi lawannya untuk memper-
siapkan serangan balasan. Ketika tubuh Beruang Ca-
kar Baja melesat ke belakang, lelaki gagah itu mem-
bentak keras. Dan tubuhnya meluncur dengan kecepa-
tan tinggi mengejar lawannya seraya melancarkan hantaman telapak tangannya yang
mendatangkan samba-
ran angin menderu.
"Heaaat...!"
Wuttt...! Bukkk! "Hukh...!"
Suara keluhan tertahan terdengar dari mulut Be-
ruang Cakar Baja ketika serangan cepat Ki Pegantar
mendarat telak di dadanya. Tak ampun lagi tubuhnya
yang gagah dan besar terdorong ke belakang. Hanta-
man telapak tangan Ki Pegantar tampaknya dilancar-
kan dengan tenaga dalam yang kuat Tubuh Beruang
Cakar Baja akhirnya menerjang sebuah meja kedai
yang ada di belakangnya.
Brakkk! "Hukh! Huh..., Keparat!"
Beruang Cakar Baja ternyata memiliki kekuatan tu-
buh yang luar biasa. Kendati serangan itu demikian
keras menghantam dadanya, hingga terbanting dan
menabrak meja, dengan cepat tubuhnya langsung me-
lompat bangkit. Wajahnya tampak memerah dengan
Pedang Keadilan 26 Tamu Aneh Bingkisan Unik Karya Qing Hong Kisah Si Bangau Putih 9
^