Pencarian

Altar Setan 2

Pendekar Naga Putih 77 Altar Setan Bagian 2


sorot mata tajam penuh kemarahan. Seakan-akan le-
laki bertubuh besar ini tak merasakan sakit akibat pukulan tenaga dalam lawan.
Buktinya pukulan Ki Pe-
gantar tak membuat luka dalam di tubuhnya. Bahkan
justru membuatnya semakin berbahaya.
"Hmh...!"
Disertai sebuah dengusan panjang, Beruang Cakar
Baja mempersiapkan jurus andalan. Sepasang tangan-
nya bergerak dengan jemari membentuk cakar. Ter-
dengar suara angin berkesiutan menandakan betapa
kuatnya tenaga yang kali ini dikerahkan lelaki bertubuh besar bagaikan raksasa
itu. Ki Pegantar menunda serangan lanjutan, ketika ta-
hu lawan telah siap dengan jurus andalannya. Lelaki gagah itu pun sadar akan
kehebatan jurus 'Cakar Beruang' yang dipergunakan lawannya. Dengan cepat se-
gera dipersiapkannya jurus andalan, disertai mengatur gerak langkahnya ke kanan.
Bersiap untuk menghadapi pertarungan selanjutnya.
"Yeaaat."
Dibarengi pekikan keras menggelegar, Beruang Ca-
kar Baja bergerak melakukan serangan. Suara telapak kakinya yang menginjak
tanah, membuat kedai makan
itu bergetar bagai diguncang gempa. Jari-jari tangannya yang membentuk cakar
beruang, bergerak susul-
menyusul dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa.
"Hih...!"
Whuuut! Whuuut...!
"Heaaa...!"
Ki Pegantar sama sekali tidak merasa gentar. Sepa-
sang tangannya berputaran di depan dada dengan ke-
cepatan tinggi. Dan diiringi teriakan yang nyaring, lelaki gagah itu bergerak
cepat menyambut serbuan la-
wan. Pertempuran kali ini terlihat jauh lebih hebat dan
seru dari sebelumnya. Kedua tokoh sakti itu sama-
sama mengeluarkan seluruh kepandaian yang dimiliki.
Sehingga, ruangan kedai yang semula tertata rapi berubah porak-poranda bagaikan
diamuk gajah liar. Meja dan kursi beterbangan terkena tendangan ataupun angin
pukulan yang nyasar. Sehingga, hampir semua
benda di dalam ruangan itu dibuat hancur beranta-
kan. Setelah lewat dua puluh jurus, terlihat Beruang Ca-
kar Baja mulai dapat menekan lawannya. Gerakannya
yang jauh lebih kuat membuat Ki Pegantar tampak
kewalahan. Tubuhnya terhuyung mundur setiap kali
lengan mereka berbenturan. Bahkan kedua lengan to-
koh Perguruan Tangan Kilat itu mulai terlihat memar dan bengkak di beberapa
bagian. Jelas dalam hal kekuatan tenaga dalam Ki Pegantar harus mengakui
keunggulan lawannya. Sampai akhirnya....
"Hiaaa!"
Breeet! Desss...!
"Aaakh...!"
Ki Pegantar terpekik kesakitan. Tubuhnya terlempar
ketika sambaran cakar dan tendangan lawan mendarat
telak di dada dan perutnya. Lelaki gagah itu tak mam-pu mempertahankan kuda-
kudanya. Sehingga terlem-
par menjebol dinding papan di belakangnya.
Brakkk...! Melihat tubuh lawannya terlempar menjebol dinding
kedai, Beruang Cakar Baja melesat mengejar. Wajah-
nya kian beringas menggambarkan nafsu membunuh.
Jelas dia hendak menghabisi nyawa Ki Pegantar.
"Bangsat...!" geram Gontara yang melihat kakak se-
perguruannya terancam maut. Tangannya langsung
melolos pedang di pinggang. Kemudian melesat dengan sebuah bentakan keras.
Pedang di tangannya meluncur cepat dengan tusukan maut mengancam perut Be-
ruang Cakar Baja yang saat itu tengah melesat mengejar Ki Pegantar di luar
kedai. *** 4 "Heaaat...!"
Whuuut! Ujung pedang Gontara berkelebat cepat disertai de-
ru angin keras. Sebuah serangan yang tak kepalang
tanggung. Tampaknya Gontara telah mengerahkan se-
luruh tenaga dalamnya.
Namun, Beruang Cakar Baja hanya mendengus pe-
nuh ejekan. Kemudian, menyampok pedang Gontara
dengan tangan kanannya yang telah terlindung tenaga dalam. Tampaknya lelaki
tinggi besar itu demikian yakin akan kekebalan tangannya. Terbukti tanpa ragu-
ragu disampoknya pedang itu hanya dengan tangan te-
lanjang! Dan....
Whuuut! Trakkk! Suara keras mirip benturan dua buah logam ter-
dengar, ketika tangan kanan Beruang Cakar Baja ber-
hasil menyampok pedang lawan. Melihat kejadian ini, jelas kalau julukan yang
disandangnya sebagai Beruang Cakar Baja bukan sekadar nama kosong. Ter-
bukti sekali sampok saja pedang Gontara langsung patah menjadi dua bagian.
Bahkan tubuh lelaki kurus
bermata sipit itu terhuyung mundur dengan wajah
menyeringai menahan sakit. Gontara merasakan per-
gelangan tangannya bagaikan remuk akibat kekuatan
tenaga di tangan lelaki tinggi besar itu.
"Mampuslah kau...! Hih!"
Dengan wajah beringas penuh amarah, Beruang
Cakar Baja melesat memburu tubuh Gontara yang ma-
sih terhuyung-huyung. Sehingga....
Breeet! Breeet...!
Gontara tak sempat melihat serangan jari-jari tan-
gan sekuat baja itu telah merobek tenggorokan dan
dadanya. Darah segar menyembur seiring robohnya
tubuh lelaki kurus bermata sipit itu. Sesaat tubuhnya berkelojotan, tapi
kemudian tak berkutik lagi.
Kematian Gontara tampaknya belum membuat Be-
ruang Cakar Baja puas. Setelah melihat tubuh lawan-
nya tewas terkapar berlumuran darah, lelaki tinggi besar itu melesat menghampiri
Ki Pegantar yang saat itu sudah bangkit dengan gerakan limbung. Pakaiannya
tampak telah basah berlumur darah yang mengalir da-
ri luka di dadanya akibat cakaran lawan.
Kendati keadaannya cukup parah, Ki Pegantar sem-
pat melihat tubuh adik seperguruannya yang terkapar tewas. Wajahnya memucat.
Dirasakan sekujur tubuhnya gemetaran sehingga terhuyung beberapa langkah
ke belakang. Kematian Gontara telah membuat jiwanya terguncang hebat. Itu
terlihat dari kerut-kerut di wajahnya.
"He he he...! Itulah akibatnya bagi orang yang bera-ni sesumbar di hadapan
Beruang Cakar Baja...!" ujar lelaki tinggi besar itu mengejek sambil tertawa
terke-keh-kekeh.
"Mengapa kau memusuhi kami, Beruang Cakar Ba-
ja" Bukankah di antara kita tak pernah ada persoalan"
Kau..., kau telah menanam bibit permusuhan dengan
Perguruan Tangan Kilat...," desis Ki Pegantar yang belum mengerti mengapa
Beruang Cakar Baja memusuhi
mereka berdua. Selama ini Ki Pegantar mendengar bahwa Beruang
Cakar Baja merupakan tokoh yang memiliki kegaga-
han. Bahkan dia tahu persis kalau Perguruan Beruang Merah merupakan sebuah
perkumpulan beraliran putih. Mengapa sekarang menyimpang jauh dari kebena-
ran" Bahkan membunuh rekan segolongan" Ki Pegan-
tar benar-benar merasa tak habis pikir.
"Benar, di antara kita tak ada persoalan secara pri-badi, Ki Pegantar. Tapi,
karena kalian melakukan tindakan bodoh, ingin menyelidiki korban Altar Setan,
maka beginilah akibatnya. Siapa pun yang hendak
mencoba menyelidikinya, akan menemui kematian!
Nah, sekarang bersiaplah untuk menghadap Malaikat
Maut..!" ujar Beruang Cakar Raja mempersiapkan se-
rangan mautnya untuk menghabisi Ki Pegantar.
"Mengapa..., mengapa kau bertindak demikian, Be-
ruang Cakar Baja...?" Ki Pegantar masih belum men-
gerti secara keseluruhan, dan meminta keterangan da-ri tokoh bertubuh tinggi
besar itu. "Kau tak perlu tahu. Karena aku memang ingin
membuatmu mati penasaran...!"
Setelah berkata demikian, Beruang Cakar Baja ter-
tawa terbahak-bahak. Kemudian tubuhnya melesat ce-
pat disertai ayunan cakar mautnya.
"Hiaaa...!"
Whuuut! Kendati keadaannya sudah cukup parah, Ki Pegan-
tar masih berusaha untuk menyelamatkan diri dari serangan lawan. Sebisa mungkin
lelaki gagah itu mengelak dan masih berusaha membalas serangan lawan.
Namun, jangankan dalam keadaan terluka seperti itu.
Dalam keadaan biasa pun Ki Pegantar bukan tandin-
gan Beruang Cakar Baja. Dan perlawanannya kali ini
tidak berarti bagi tokoh tinggi besar itu. Terbukti dalam tiga jurus saja tubuh
Ki Pegantar telah terkena cakar sekeras baja lawannya.
"Hiaaa...!"
Whuuut! Bret! Bret! "Aaakh...!"
Serangan cakar maut yang secepat kilat mendarat
di beberapa bagian tubuh Ki Pegantar. Seketika darah muncrat dari tenggorokan,
mulut, dan dadanya yang
tercabik cakar lawan. Setelah mengerang keras dan
berkelojotan, Ki Pegantar tewas terkapar di depan kedai.
"Ha ha ha...!"
Tawa keras menggelegar terdengar dari mulut Be-
ruang Cakar Baja yang merasa bangga atas kemenan-
gannya. Lelaki brewok bertubuh besar itu lalu melesat masuk ke kedai, memanggil
pemilik kedai dan para pelayan. Mereka tadi bersembunyi, ketika pertarungan
itu berlangsung.
"Bereskan mayat mereka...!"
*** Pendekar Naga Putih mengayunkan langkahnya
memasuki batas Desa Gending. Di sebelahnya berjalan seorang dara jelita
berpakaian serba hijau. Siapa lagi dara jelita itu kalau bukan Kenanga,
kekasihnya. Hari telah senja ketika langkah pasangan pendekar
muda itu memasuki mulut desa. Cuaca mulai terseli-
mut keremangan. Semburat merah di kaki langit sebe-
lah barat sebagai pertanda matahari telah merasuk ke peraduannya. Sebentar lagi
malam akan datang meng-gantikan tugas sang Mentari. Tampak pula bulan pu-
cat mulai menggantung di langit temaram.
"Hm..., malam sudah mulai jatuh. Sebaiknya kita
bergegas untuk mencari tempat bermalam...!" ujar
Panji seraya menoleh kepada Kenanga di sebelahnya.
Langkahnya dipercepat melintasi jalan utama Desa
Gending yang kering dan berdebu.
Kenanga hanya mengangguk perlahan seraya terus
mengikuti langkah Panji untuk mencari penginapan.
Keduanya bergerak memasuki sebuah kedai yang di
depannya mulai diterangi lampu minyak. Di dalam
ruangan kedai itu hanya ada beberapa orang yang se-
pertinya merupakan pendatang-pendatang seperti me-
reka berdua. Baik Pendekar Naga Putih maupun Ke-
nanga mengetahui hal itu dari wajah-wajah lelah yang tengah menikmati hidangan
di meja makan. Panji menganggukkan kepala ketika beberapa pa-
sang mata serentak menoleh saat mereka memasuki
kedai. Kemudian bergerak masuk menghampiri pemilik
kedai. "Paman, kami berdua pelancong. Karena kebetulan
sampai di desa ini kemalaman, kami ingin bermalam di Desa Ganding ini. Apa kedai
Paman juga menyediakan
kamar untuk menginap...?" tanya Panji dengan suara
rendah penuh keramahan.
"Wah, sayang sekali, Kisanak! Kamar yang kami se-
diakan sudah diisi orang. Harap Kisanak berdua men-
cari tempat lain. Kami benar-benar menyesal tidak bisa memenuhi permintaan
Kisanak berdua," jawab pemilik
kedai dengan wajah menyesal.
"Tidak adakah persediaan kamar lain, Paman" Ti-
dak perlu bagus, yang penting kami dapat beristirahat untuk malam ini saja,"
ujar Panji agak memaksa. Karena saat itu hari sudah mulai gelap. Dan untuk
mencari penginapan lain tentu agak sukar.
"Kami benar-benar mohon maaf, Kisanak. Kalau sa-
ja masih ada tempat, tentu kami akan suka sekali untuk menolong. Tapi, dengan
sangat menyesal sekali
kami tidak bisa menyediakannya. Harap Kisanak ber-
dua tidak merasa kecewa...," jawab pemilik kedai dengan memperlihatkan wajah
sungguh-sungguh menyes-
al karena tidak bisa menolong kedua orang tamunya.
"Tolonglah, Paman! Berapa pun harga yang Paman
minta akan kami bayar sekarang juga...," timpal Ke-
nanga. Seperti halnya Panji, dia pun tak ingin mencari tempat lain yang tentu
tidak mudah. Karena biasanya di sebuah desa hanya ada satu penginapan. Maka,
Kenanga mencoba dengan cara seperti itu untuk menda-
patkan tempat bermalam.
"Menyesal sekali, Nisanak...," jawab pemilik kedai
bertubuh kurus itu sambil membungkuk-bungkukkan
tubuhnya sebagai ungkapan menyesal tak dapat me-
menuhi permintaan Kenanga.
"Baiklah, Paman. Kalau memang tidak ada, kami
tak bisa memaksa. Terima kasih atas keramahan Pa-
man...," ujar Panji, yang mulai menyadari tidak baik memaksa. Kalau masih ada
kamar, tentu pemilik kedai tak mungkin menolaknya. Sebab, mana ada orang
yang tidak ingin mendapatkan keuntungan besar. Se-
dangkan tawaran Kenanga jelas sangat menggiurkan.
Pendekar Naga Putih meminta maaf telah meng-
ganggu pemilik kedai itu. Kemudian melangkah keluar diikuti Kenanga. Terpaksa
mereka harus menyusuri
keremangan malam yang diterangi sinar pelita yang
bergantungan di depan rumah penduduk. Keduanya
melangkah di jalan utama Desa Gending. Jalan dan
desa itu tampak sepi sekali, karena penduduk Desa
Gending kebanyakan telah masuk dan menutup pintu
rumahnya. Padahal malam belum lama jatuh.
"Mudah-mudahan kita mendapatkan penginapan
lain yang belum terisi penuh...," gumam Kenanga pe-
nuh harap. "Rupanya desa ini cukup banyak disingga-


Pendekar Naga Putih 77 Altar Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hi pendatang dari luar...."
"Hal itu tidak aneh, Kenanga. Kurasa, kabar tentang persembahan korban di Altar
Setan itu telah memanc-ing rasa penasaran dan marah di hati para tokoh persi-
latan. Bukankah selama perjalanan kita telah banyak mendengar tentang tokoh-
tokoh persilatan yang hendak menghentikan upacara biadab itu" Bahkan tak
sedikit perguruan-perguruan di sekitar wilayah Kadipaten Tumapel yang mengutus
muridnya untuk me-
nyelidiki secara lebih jelas. Itu sebabnya mengapa penginapan tadi telah terisi
penuh, tidak seperti biasanya,"
ujar Panji mengingatkan kekasihnya tentang apa yang membuat penginapan tadi
tidak dapat menampung
mereka. "Hm.... Kalau begitu, bagaimana jika kita menginap
di rumah penduduk" Kita beri mereka imbalan yang
pantas," usul Kenanga, karena khawatir kalau tak ada lagi penginapan lain di
Desa Gending itu.
"Kita lihat saja dulu! Desa ini cukup besar dan ba-
nyak disinggahi pedagang. Jadi ada kemungkinan ter-
dapat beberapa penginapan ataupun kedai makan. Ka-
lau memang tidak ada, nanti kita cari rumah pendu-
duk yang kira-kira mau menampung kita untuk ber-
malam," ujar Panji, mencoba menyabarkan hati Ke-
nanga. Pendekar Naga Putih sebenarnya merasa eng-
gan kalau harus mengganggu penduduk. Dilihatnya
sepanjang jalan yang dilalui, rumah-rumah tampak
sudah tertutup rapat.
Kenanga menyetujui ucapan kekasihnya. Keduanya
terus berjalan menyusuri keremangan malam. Namun,
tiba-tiba ada seorang lelaki bertubuh kurus dengan
wajah terhias kumis jarang, menghadang perjalanan
mereka. "Kisanak berdua membutuhkan tempat untuk men-
ginap?" tanya lelaki itu dengan sikap ragu-ragu dan penuh hormat. Pandangan
matanya terlihat agak sayu
menatap pasangan pendekar muda itu dengan penuhi
harap. Pendekar Naga Putih maupun Kenanga tak lang-
sung menjawab. Mereka saling bertukar pandang seje-
nak. Kemudian meneliti sosok lelaki kurus yang kelihatannya sangat miskin itu.
Karena pakaian yang di-
kenakannya kelihatan penuh tambalan. Dan wajahnya
tampak seperti orang kurang makan. Pendekar muda
itu menduga orang yang menghadangnya hendak me-
nawarkan jasa dengan mengharapkan sedikit imbalan.
"Hm.... Kisanak dapat menunjukkan tempat pengi-
napan untuk kami berdua?" tanya Panji yang sekaligus sebagai jawaban atas
pertanyaan lelaki kurus berkumis jarang itu.
"Di desa ini hanya ada satu penginapan yang letak-
nya di dekat mulut desa. Selain penginapan itu, tak ada penginapan yang lain,"
jawab lelaki kurus itu seraya menatap wajah pemuda berjubah putih di hada-
pannya. "Lalu, penginapan mana yang hendak kau tawarkan
kepada kami?" tanya Kenanga.
"Kalau kisanak berdua benar-benar memerlukan-
nya, aku bisa mencarikan. Tapi..., tempatnya tidak bagus dan besar. Lagi pula
hanya ada satu kamar...," jawab orang itu. Wajahnya kelihatan gelisah dan malu-
malu. "Besar atau kecil bukan soal bagi kami. Lagi pula
kami hanya membutuhkan untuk satu malam. Kalau
begitu, antarkan kami ke tempat yang kau sebutkan
itu...!" ajak Kenanga tak sabar.
"Baik... baik...," sahut lelaki kurus itu, lalu melangkah mendahului.
Pendekar Naga Putih dan Kenanga saling bertukar
pandang, ketika lelaki yang belum dikenal itu memba-wa mereka melewati jalan di
samping rumah penduduk
yang terletak di tepi jalan. Kemudian melintasi kebun
yang gelap. Setelah itu baru mereka tiba di depan sebuah rumah atau lebih tepat
kalau dikatakan sebuah
gubuk keluarga miskin. Letaknya pun agak terpencil
dan dikelilingi pepohonan liar.
"Hm..., apakah rumah ini tempat tinggalmu...?"
tanya Panji yang langsung dapat menduga karena lela-ki itu kelihatan malu-malu
dan takut. "Be... benar, Kisanak...," sahut lelaki kurus itu
mengangguk namun tak berani menatap wajah pemu-
da tampan berjubah putih di sampingnya.
"Kalau kau hanya memiliki satu kamar, lalu di ma-
na anak dan istrimu tidur jika kami menginap?" tanya Panji yang tentu saja hanya
menduga-duga kalau
orang itu punya keluarga.
"Kami bisa tidur di ruang depan. Dan aku akan me-
nyediakan dua tempat tidur. Karena di dalam kamar
hanya ada satu tempat tidur. Maklumlah kami orang
miskin...!" sahut lelaki kurus itu semakin dalam menyembunyikan wajahnya.
Iba juga hati Kenanga maupun Panji melihat kehi-
dupan lelaki kurus berkumis jarang itu. Kalau tadi keduanya berharap benar dapat
memperoleh sebuah
kamar penginapan, kini hatinya jatuh kasihan ingin
menolong lelaki itu. Terlebih melihat wajah lelaki itu tampak menggambarkan
harapan yang besar agar mereka berdua menerima tawarannya.
"Kami terima tawaranmu, Kisanak. Dan ini sekadar
imbalan untuk kami berdua menginap...."
Kenanga langsung memberikan beberapa keping
uang perak kepada lelaki kurus itu. Namun mata lelaki itu terbelalak kaget dan
seakan tidak percaya dengan penglihatannya.
"Ambillah...," ujar Panji tersenyum sambil men-
ganggukkan kepalanya.
"Tapi... tapi uang ini terlalu banyak...."
Kendati mulutnya berkata demikian, kepingan uang
perak itu diterimanya, lalu digenggamnya erat-erat. Kelihatan sekali betapa
lelaki kurus itu merasa bingung.
Matanya menatap Kenanga dan Panji berganti-ganti,
masih memperlihatkan perasaan tak percaya.
Panji hanya tersenyum. Kemudian memerintahkan
lelaki kurus itu untuk membawa mereka berdua ke da-
lam rumah. Sambil terbungkuk-bungkuk, lelaki kurus
itu mempersilakan kedua tamunya agar masuk. Ke-
mudian dia terburu-buru memasuki kamar yang
hanya sebuah itu, lalu segera membenahi barang-
barang di dalam dengan napas terengah-engah. Tam-
paknya lelaki kurus itu ingin memberikan pelayanan
kepada Panji dan Kenanga dengan sebaik-baiknya.
Sebenarnya Panji tak tega ketika melihat lelaki ku-
rus itu membangunkan istri dan anaknya yang masih
kecil, dan memindahkan mereka ke ruang tengah. Ke-
tika lelaki itu hendak membawa balai-balai yang ada di ruangan itu, Panji
mencegahnya. Dan dikatakannya,
bahwa satu pembaringan pun sudah cukup untuk me-
reka berdua menginap. Sehingga, lelaki kurus itu tak perlu menyuruh anak dan
istrinya tidur di atas sehelai tikar butut.
"Terima kasih... terima kasih...!"
Berkali-kali lelaki kurus itu mengucapkan terima
kasih sambil terbungkuk-bungkuk. Panji sendiri hanya tersenyum dan membawa
Kenanga masuk ke kamar
yang sempit itu.
'Tidak perlu bingung, Kisanak. Kami berdua cukup
merasa senang dapat bermalam di rumahmu. Dan kau
tak perlu ragu-ragu untuk menggunakan uang itu. Ka-
rena uang itu sebagai tanda terima kasih kami ber-
dua," ujar Panji ketika melihat lelaki kurus itu seperti
kebingungan. Takut kalau-kalau kedua tamunya
membatalkan untuk menginap.
Mata lelaki kurus itu berbinar-binar. Tubuhnya
kembali terbungkuk-bungkuk kepada Panji. Sedang-
kan Kenanga sendiri sudah memasuki kamar yang
sempit itu, bahkan merebahkan tubuhnya di atas ba-
lai-balai bambu yang sudah tua. Itulah yang dikatakan lelaki kurus itu sebagai
tempat tidur. Namun, Kenanga sama sekali tidak mencela.
Panji pun tidak berkata apa-apa, ketika melihat
keadaan kamar itu. Dan segera merebahkan tubuh di
samping Kenanga. Panji tak merasa khawatir akan tergoda, kendati mereka berdua
harus tidur satu pemba-
ringan. Tentu saja pemuda berjubah putih itu terlebih dahulu berpesan kepada
kekasihnya agar jangan berpikir yang bukan-bukan.
"Hi hi hi...! Kau takut tergoda ya, Kakang...?" tukas Kenanga seraya tersenyum
ketika mendengar ucapan
kekasihnya. Panji hanya tersenyum. Kemudian merebahkan tu-
buhnya menghadap langit-langit. Kedua matanya lang-
sung terpejam dan memusatkan pikirannya dengan
menekan segala bayangan yang menari-nari di benak-
nya. Kenanga pun tampaknya tak ingin menggodanya.
Dara jelita itu ikut memejamkan mata. Tak lama ke-
mudian, terdengarlah dengkur yang halus, pertanda
mereka telah terlelap.
Malam semakin larut. Tiupan angin di luar semakin
dingin. Suara binatang-binatang malam bagai tak pernah lelah menemani kegelapan
yang hanya diterangi
bulan pucat. *** 5 "Hhh...!"
Pendekar Naga Putih yang semula telah terlelap ti-ba-tiba menggeliat resah.
Dinginnya udara malam ba-
gaikan tak dirasa. Tubuhnya berpeluh. Kegelisahan
aneh yang mengganggu tidurnya, memaksanya terban-
gun. Hatinya merasa heran sekali, ketika merasakan
panas sekujur tubuhnya. Bahkan peluh terus saja
mengalir tanpa diketahui apa penyebabnya. Keheranan itu semakin meningkat ketika
dirasakannya ada sesuatu yang bergerak-gerak di dalam tubuhnya.
"Aneh" Mengapa 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' ti-
ba-tiba bangkit tanpa sebab...?" gumam Panji yang ba-ru menyadari apa penyebab
hawa panas yang dirasa-
kannya. Semua itu ternyata berasal dari kekuatan
mukjizat yang ada dalam tubuhnya. Namun, hal itu tetap saja sangat mengherankan
baginya. Karena kekua-
tan mukjizat itu tidak pernah bangkit, kecuali dipang-gilnya.
Dengan penuh keheranan Pendekar Naga Putih me-
natap sekujur tubuhnya. Dan hatinya semakin terkejut ketika mendapat sinar
kuning keemasan telah membungkus sekujur tubuh. Keadaan itu membuatnya
menarik suatu kesimpulan bahwa 'Tenaga Sakti Inti
Panas Bumi' tengah bekerja melindungi dirinya. Itu berarti ada sesuatu yang
mengancam dirinya. Namun
Panji tak tahu apa yang membuat tenaga mukjizat itu bangkit untuk melindunginya.
Setelah memutar otak tapi tidak juga mendapatkan
jawaban, Panji menoleh ke samping. Keningnya berke-
rut ketika melihat Kenanga sama sekali tak terganggu hawa panas yang keluar dari
tubuhnya. Padahal gadis
jelita itu berada di sebelahnya. Kenanga tetap terlelap.
Seolah hawa panas itu sama sekali tak mempengaru-
hinya. Anehnya, pakaian dara jelita itu tampak telah dibasahi peluh" Jelas hawa
panas yang keluar dari tubuh Pendekar Naga Putih juga dialami Kenanga. Na-
mun, Kenanga tetap saja tertidur lelap" Tentu saja
Panji semakin tak mengerti.
"Hm..., ini jelas ada yang tak beres...!" gumam Panji seraya melompat turun dari
pembaringan. Gejolak ha-wa mukjizat itu tiba-tiba membuat dirinya tanpa sadar
mulai menggerak-gerakkan kedua tangan. Keanehan
pun semakin terasa. Tenaga mukjizatnya langsung
mengalir deras seolah hendak menolakkan sesuatu.
Setelah beberapa saat hal itu dialaminya, tiba-tiba Kenanga menggeliat bangkit.
Dara jelita itu tentu saja merasa bingung melihat pakaiannya telah dibasahi
peluh. Dan lebih heran lagi ketika melihat Panji tengah melakukan gerakan-
gerakan tangannya secara perlahan. Namun kelihatan jelas betapa gerakan itu men-
gandung kekuatan tersembunyi yang sangat hebat.
"Kakang..., ada apa...?" tanya Kenanga keheranan
dengan keadaan yang dirasakannya. Terlebih melihat
kekasihnya yang seperti tengah bertempur dengan se-
suatu. Pendekar Naga Putih tak menjawab. Hanya wajah-
nya yang menoleh dan tersenyum kepada Kenanga.
Saat itu dia merasa ada sesuatu kekuatan aneh yang
menyerangnya. Panji menyadari mengapa tenaga muk-
jizatnya bergerak melindungi dirinya tanpa dipanggil.
"Ada orang yang menyerang kita dengan mengguna-
kan kekuatan gaib...," jelas Panji setelah merasakan serangan itu mengendor
untuk kemudian hilang sama
sekali. Dan itu suatu tanda kalau si penyerang kalah olehnya.
"Apa yang dikehendaki manusia usil itu, Kakang...?"
tanya Kenanga tak mengerti. Kendati barusan dirasa-
kannya ada suatu hawa ganjil yang membuat pelupuk
matanya terasa berat. Seolah dipaksa menutup.
"Mereka hendak membuat kita tertidur pulas," sa-
hut Panji yang segera dapat menebak, setelah memu-
tar otak mengingat segala apa yang barusan menimpa
mereka berdua. "Jelas ada orang yang bermaksud ti-
dak baik terhadap kita berdua...."
Sebelum Kenanga bertanya lagi, Panji sudah berge-
rak keluar dari dalam kamar. Ingatannya kepada pemilik rumah, membuat hatinya
cemas. Tentu saja dia
khawatir kalau-kalau tuan rumah pun mengalami hal
seperti yang mereka berdua rasakan.
Tapi.... "Hei, ke mana lelaki kurus tadi...?" desis Panji terkejut ketika melihat ruangan
depan sudah kosong. Padahal sebelumnya pemilik rumah itu tidur bersama ke-
luarganya di ruang depan. Kini ruangan itu ternyata telah kosong.
"Celaka! Jangan-jangan mereka dibawa pergi atau
dibunuh orang jahat yang menyerang kita secara gaib, Kakang!" sahut Kenanga yang
juga terkejut melihat
ruang depan yang telah kosong itu.
Kenyataan itu tentu saja membuat Pendekar Naga
Putih cemas. Hatinya khawatir kalau lelaki kurus pemilik rumah itu telah
tertimpa musibah gara-gara
memberi tempat menginap untuk mereka berdua. Dan
Panji merasa bertanggung jawab atas keselamatan ke-
luarga pemilik rumah yang miskin dan baik hati itu.
"Ayo kita cari...!" ujar Panji yang sudah bergerak
dan mengulurkan tangannya untuk membuka pintu.
Namun, tiba-tiba Panji menarik tangannya, tak jadi
menyentuh daun pintu. Bahkan bergegas melompat


Pendekar Naga Putih 77 Altar Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mundur, karena saat itu telinganya menangkap suara
desingan dari luar gubuk.
Kenanga semula merasa heran melihat sikap keka-
sihnya. Tapi, ketika dia membuka mulut hendak ber-
tanya.... Sing, sing, sing...!
Krakkk! Krakkk...!
Brakkk! Daun pintu yang semula tertutup rapat itu menda-
dak patah dan cerai-berai. Disusul kemudian dengan
meluncurnya benda-benda berkilat tertimpa cahaya
lampu minyak. "Kurang ajar...!"
Bukan main marahnya hati Kenanga melihat seran-
gan gelap itu. Dengan cepat pedangnya dicabut. Seketika tampak cahaya keperakan
dari pedang tipis itu.
Kemudian mengelebatkannya menyambut senjata-
senjata gelap itu.
Trang! Trang! Trang...!
Dalam beberapa kali putaran pedang Kenanga ber-
hasil memapak senjata-senjata rahasia yang mengan-
camnya. Seketika suara berdentangan terdengar me-
mecah keheningan malam, diikuti terpentalnya senja-
ta-senjata rahasia itu. Beberapa di antaranya membalik dan menancap tiang di
depan rumah. Hal serupa juga dilakukan Panji. Namun, tentu saja
hanya menggunakan tangan kosong. Sekali mengi-
baskan tangan kanannya, benda-benda berkilat itu
mencelat balik keluar pintu dengan kecepatan berlipat ganda.
Sing! Sing...! "Aaa...!"
Terdengar pekik kematian memecah keheningan
malam. Rupanya penyerang-penyerang gelap itu ter-
makan senjata yang berbalik menyerangnya.
"Kenanga, tinggalkan tempat ini...!" seru Panji keti-ka menyadari bahwa tempat
mereka berada sangat
mudah untuk dijadikan sasaran gelap ataupun jeba-
kan-jebakan lainnya. Dengan cepat tubuhnya melesat
menerobos kepingan pintu dan terus berlari ke luar.
Kenanga tentu saja maklum mengapa Panji menga-
jaknya keluar dari tempat itu. Maka, tanpa banyak
membantah lagi, tubuhnya langsung melesat mengiku-
ti kekasihnya. Pedang tetap tergenggam di tangan untuk menghalau serangan gelap
yang mungkin akan
menyerbu tubuhnya.
Namun, bukan main kagetnya hati dara jelita itu
ketika melihat sekelilingnya telah terkepung puluhan orang. Bahkan mungkin
mencapai seratus orang lebih.
Dan kelihatannya para pengepung itu merupakan
orang-orang terlatih.
Pendekar Naga Putih dan Kenanga terkurung dalam
lingkaran yang cukup luas. Puluhan pasang mata itu
menatap penuh kebencian terhadap mereka berdua.
Sekilas saja Kenanga langsung dapat menebak siapa
adanya orang-orang itu.
"Mereka merupakan kaum pemberontak di bawah
pimpinan Darmanggala yang hendak merebut Kadipa-
ten Tumapel dari tangan penguasa yang sah!" bisik
Kenanga di telinga kekasihnya. Sedangkan Pedang Si-
nar Bulan tetap melintang di depan dada. Siap meng-
hadapi serbuan para pengepung.
Pendekar Naga Putih tidak menjawab. Namun kepa-
lanya mengangguk sebagai isyarat bahwa bisikan dara jelita itu didengarnya.
Karena saat itu sepasang matanya tengah menyapu sosok-sosok pengepung. Ha-
tinya tersentak ketika dilihatnya orang-orang berpakaian merah di antara mereka.
Jumlahnya pun cukup
banyak. Hampir sepertiga dari para pengepung itu.
"Hm..., coba kau perhatikan baik-baik, Kenanga!
Bukankah di antara mereka banyak orang- orang ber-
pakaian serba merah" Apa mereka anggota Perguruan
Beruang Merah, atau sengaja hendak memfitnah per-
guruan itu...?" ujar Panji, memberitahukan Kenanga
yang juga tengah menatap orang-orang berseragam
serba merah itu.
"Hhh...! Mereka pasti hendak memfitnah orang-
orang Perguruan Beruang Merah. Karena pamanku
kenal baik dengan tokoh-tokohnya. Bahkan tak sedikit jago-jago dari perguruan
itu yang mengabdikan dirinya di kadipaten...!" ujar Kenanga, terdengar menahan
kegeraman hatinya. Karena dianggapnya para pemberon-
tak itu sengaja hendak mengadu domba pihak kadipa-
ten dengan Perguruan Beruang Merah.
"He he he...! Dengarlah, Pendekar Naga Putih! Ma-
lam ini kau dan kekasihmu akan menemui ke- matian
di sini...! Aku tahu, sebenarnya di antara kita tak pernah ada permusuhan, tapi
karena kau berpihak pada
Kadipaten Tumapel, maka kami dengan sangat terpak-
sa harus melenyapkan kalian berdua! Tapi, tentu saja kami tak menutup
kemungkinan untuk berdamai...!"
Seorang lelaki tua berusia sekitar lima puluh tahun tampil ke depan. Dan mencoba
berbicara dengan Panji yang telah mereka kenal sebagai Pendekar Naga Putih.
"Hm...! Apa maksudmu dengan jalan damai itu, Ki"
Coba kau jelaskan secara lebih rinci...?" ujar Panji me-nimpali ucapan lelaki
tua itu. Sambil berkata demi-
kian, matanya menatap tajam wajah lawan bicaranya.
Dia mencoba untuk mengenali siapa sebenarnya tokoh
tua itu. "He he he...! Sebuah pertanyaan yang bagus, Pen-
dekar Naga Putih," ujar orang tua itu seraya tertawa
perlahan. 'Tinggalkan Kadipaten Tumapel dan jangan
campuri urusan kami!"
"Hm..., bagaimana jika aku tak mau...?" tanya Panji dengan sikap yang tetap
tenang. Kendati tak mampu
mengenali lawan bicaranya, dia tahu kalau lelaki tua itu bukan orang
sembarangan. "Jika itu sudah menjadi keputusanmu, kematianlah
yang akan kau dapatkan!" tandas lelaki tua itu dengan sorot mata mengancam.
Bahkan jari-jari tangannya
mulai meraba gagang pedang yang tersampir di ping-
gang. Pendekar Naga Putih tidak menyahuti lagi. Dia tetap diam, walaupun lelaki tua
itu telah mengisyaratkan
pengikut-pengikutnya untuk maju. Pemuda berjubah
putih itu menyapu gerak langkah pengepungnya den-
gan pandang mata. Kenanga pun tetap berdiri tegak
kendati pihak lawan sudah semakin dekat.
"Serbuuu...!"
"Heaaa...!"
"Yeaaat...!"
Seiring dengan seruan keras lelaki tua itu, para
pengepung terdepan langsung merangsek maju. Mere-
ka berteriak-teriak dengan senjata teracung. Siap me-rencah tubuh kedua pendekar
muda itu. Ketika jarak di antara mereka tinggal satu setengah tombak, dengan cepat
Pendekar Naga Putih mempersiapkan tenaga saktinya. Kemudian, dengan kedua
tangan telanjang dihalaunya setiap senjata yang me-
luncur menyerang.
"Heaaa...!"
Wusss! "Aaakh...!"
Seketika hawa dingin yang menggigilkan tulang
berhembus kencang dari tangan Pendekar Naga Putih.
Dalam sekali kibas saja delapan orang penyerangnya terpental karena tak mampu
menahan hawa dingin
yang menjalar di tubuh mereka.
Kenanga pun tak tinggal diam. Pedang Sinar Bulan
di tangannya bergerak cepat menyambut senjata-
senjata lawan yang meluncur ke tubuhnya. Sekali di-
kibaskan, senjata-senjata lawan langsung terpapas putus. Sedangkan para
pemiliknya terlempar ke kiri dan kanan, tak sanggup menghadapi kekuatan sambaran
pedang dara jelita itu.
Para pengeroyok tersentak kaget melihat kecepatan
serangan dara jelita itu. Hanya dalam dua atau tiga gebrakan saja belasan
pengepung telah terjungkal dan pingsan. Mereka sama sekali tak menduga kemampuan
kedua pendekar muda itu. Namun tetap saja pa-
ra pengepung tak merasa gentar. Dengan teriakan-
teriakan keras mereka terus merangsek lawan. Sehing-ga, sebentar saja Panji dan
Kenanga telah menghadapi serbuan puluhan orang.
"Heaaa...!"
"Hiaaa...!"
"Kenanga, jangan
sembarangan membunuh
orang...!" teriak Panji memperingatkan kekasihnya, ketika gadis itu tampak
demikian marah dan mengamuk
bagaikan singa betina luka. Hati kecilnya tak setuju kalau Kenanga harus
melakukan pembantaian terhadap orang-orang yang hanya mengikuti perintah pim-
pinannya itu. "Baik, Kakang...!" Kenanga tak ingin membantah,
meskipun sebenarnya dia sangat ingin menghabisi la-
wan-lawannya. Karena mereka inilah yang menurutnya
telah membuat susah paman dan bibinya. Pikiran itu
yang membuat Kenanga demikian ganas dalam meng-
hadapi lawan-lawannya.
Setelah mendengar peringatan kekasihnya, gerakan
pedang Kenanga tidak seganas semula. Kalau tadi dia membabat habis setiap lawan
yang maju mendekat,
kini hanya melukainya. Namun, itu pun membuat la-
wan-lawannya tak berani lagi maju terlalu dekat. Bahkan setiap kali gagal dalam
melancarkan serangan
langsung melompat mundur. Mereka takut menghada-
pi serangan balasan pedang Kenanga yang kecepatan
sambarannya hampir-hampir tak tertangkap pengliha-
tan mereka. Meskipun demikian kepungan mereka te-
tap tidak kendor. Sehingga Kenanga tetap terkurung
puluhan orang lawan.
*** Dalam menghadapi keroyokan puluhan orang, Pen-
dekar Naga Putih berusaha untuk tidak menewaskan
lawan-lawannya. Sementara itu tak satu pun senjata
lawan yang dapat menyentuh tubuhnya. Setiap kali
senjata lawan berkelebat memburunya, selalu saja terpental balik. Tentu saja hal
itu tidak aneh, karena tenaga dalam yang dimiliki Panji telah mencapai tingkat
yang sulit diukur. Itu sebabnya mengapa pedang lawan selalu terpental balik
sebelum menyentuh tubuh yang terlindung lapisan kabut tipis berwarna keperakan
itu. Bahkan dorongan kedua tangannya mampu membuat
tubuh lawannya terhumbalang bagaikan dilanda angin
topan salju. Itu sebabnya mengapa kepungan mereka
terpecah. Di samping itu, mereka tampak mulai mera-
sa gentar setelah melihat kehebatan pemuda tampan
berjubah putih itu.
"Hmh...!"
Melihat keadaan pengikutnya, lelaki tua pimpinan
pemberontak itu menggeram gusar. Sejauh ini dia
memang belum turun ke arena, masih menyaksikan
pertarungan dari luar. Kini perasaan marah menggelegak di hatinya, menyaksikan
keadaan yang tak men-
guntungkan pihaknya.
"Kalian berdua hadapi perempuan liar itu...," perintah lelaki tua itu kepada dua
orang lelaki botak yang semenjak tadi berdiri di kiri dan kanannya. "Aku sendiri
akan menghadapi Pendekar Naga Putih...."
Setelah kedua orang tangan kanannya itu melesat
memburu Kenanga, lelaki tua itu menjejak tanah. Se-
ketika tubuhnya melesat cepat memburu Pendekar
Naga Putih yang tengah sibuk menghadapi lawan-
lawannya. Secepat kilat lelaki tua itu melancarkan serangan. Kedahsyatan
serangannya dapat dilihat dari
angin keras yang ditimbulkan.
"Haaat...!"
Meskipun tengah sibuk menghadapi keroyokan dan
desingan-desingan senjata, Pendekar Naga Putih sem-
pat menangkap adanya suara sambaran angin yang
jauh lebih kuat berada di belakangnya. Dia segera tahu kalau penyerangnya kali
ini jelas memiliki tenaga dalam sangat tinggi. Dengan cepat wajahnya menoleh
sambil menggeser tubuhnya setelah melepaskan do-
rongan telapak tangan kanan yang mampu menghem-
paskan tubuh para pengeroyoknya.
"Heaaa...!"
Bweeet! Bweeet...!
Dua buah pukulan yang mengandung tenaga dalam
kuat datang mengancam kepala dan badan Pendekar
Naga Putih. Dengan cepat pemuda berjubah putih itu
menggeser kaki kanannya ke belakang sambil memu-
tar tubuh. Bersamaan dengan itu kedua tangannya di-
kibaskan cepat ke atas dan ke bawah.
"Hiaaa...!"
Plakkk! Plakkk!
"Hah..."!"
Lelaki tua pemimpin gerombolan itu tersentak ka-
get. Kedua matanya terbelalak lebar, menatap kedua
belah tangannya yang terasa bagaikan lumpuh setelah berbenturan dengan tangan
lawan. Hawa dingin yang
berasal dari tenaga mukjizat Pendekar Naga Putih
menjalar hingga sebatas sikunya.
"Hih...!"
Wuttt! Seakan-akan tak ingin memberi kesempatan pada
lawan, Pendekar Naga Putih langsung menghentakkan
kedua telapak tangan lurus ke dada lelaki tua itu.
"Celaka...!" pekik pemimpin gerombolan itu dalam
hati. Seketika wajahnya berubah pucat ketika melihat datangnya serangan lawan.
Hal itu karena disadari kalau kedudukannya sangat tidak memungkinkan untuk
mengelak. Sedangkan kedua telapak tangan lawan su-
dah semakin dekat dengan sasaran.
Sehingga.... "Hiaaa...!"
Deggg! "Hukkkh....!"
Tak ampun lagi! Pemimpin gerombolan itu terpekik
keras, ketika telapak tangan Panji mendarat telak di dadanya. Meskipun
sebelumnya telah dikerahkan tenaga dalam untuk menahan serangan itu, tak urung


Pendekar Naga Putih 77 Altar Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuhnya terpental deras ke belakang. Dari mulutnya tersembur darah kental,
sebelum tubuhnya terbanting keras di tanah.
Pukulan Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dilan-
carkan Pendekar Naga Putih ternyata lebih hebat dari kekuatan tenaga dalam
lawan. Tampaknya pemuda
berjubah putih itu tepat dalam perhitungannya. Den-
gan pengerahan setengah dari kemampuan tenaga da-
lamnya, lawan sudah tak mampu mengatasinya.
"Serbuuu...!"
"Hiaaa...!"
Meskipun lawannya terluka dalam, Pendekar Naga
Putih tidak mempunyai kesempatan untuk melum-
puhkannya. Karena tiba-tiba pengeroyoknya telah me-
nerjang maju. Maksud mereka jelas, hendak mencegah
apa yang hendak dilakukan pemuda tampan berjubah
putih itu. Dan mereka memang berhasil. Karena pen-
dekar muda itu memutar tubuh untuk menghalau se-
rangan para pengikut lelaki tua itu.
Melihat tindakan para pengeroyok itu, Pendekar Na-
ga Putih dilanda kejengkelan. Terbukti pemuda itu tak lagi mempedulikan tajamnya
ujung senjata lawan, kemudian dengan tamparan serta tendangannya, meng-
gebrak lawan yang datang mendekat. Seketika, belasan lawan terjungkal tanpa
ampun. Tubuh-tubuh berpakaian hitam dan merah itu terkapar pingsan akibat
amukannya. Kenyataan itu membuat lawan-lawannya
berlompatan mundur. Tampaknya mereka merasa ta-
kut untuk mendekati pemuda itu.
Ketika lawan-lawannya tampak bingung, digunakan
Pendekar Naga Putih untuk melesat mendekati Kenan-
ga. Tubuhnya melenting ke udara dengan tiga kali putaran. Kemudian melayang
turun ke tempat Kenanga
yang tengah sibuk menghadapi puluhan orang penge-
royoknya. Di antara mereka tampak dua orang lelaki botak
yang memiliki kepandaian cukup tinggi.
Meskipun tidak terdesak, kelihatan jelas betapa da-
ra jelita itu kewalahan dalam menghadapi serbuan lawan-lawannya. Hal itu karena
tenaga sabetan pedang-
nya harus dikurangi agar tak menewaskan lawan. Ka-
lau tidak, belum tentu Kenanga akan serepot itu.
Sementara itu Pendekar Naga Putih yang melenting
di udara langsung melancarkan serangan sebelum ke-
dua kakinya menginjak tanah. Sehingga, dua orang lelaki botak yang tengah
berusaha mendesak Kenanga
terkejut dengan adanya sambaran angin dingin yang
berkesiutan. Lebih kaget lagi ketika menoleh dan melihat sesosok bayangan putih
yang melancarkan seran-
gan terhadap mereka berdua.
"Heaaa....!"
Wuttt! Wuttt! "Aaah...!"
Sadar bahwa serangan angin berhawa dingin meng-
gigit itu sangat kuat, kedua lelaki botak itu tak berani bertindak ceroboh untuk
memapakinya. Mereka dengan cepat berlompatan mundur menghindari serangan
lawan. Tentu saja keadaan kedua orang itu membuat
Kenanga sedikit lega. Karena tekanan terhadap dirinya seketika berkurang.
Pendekar Naga Putih yang melihat kedua orang le-
laki botak itu berlompatan menghindar, segera mena-
han gerakannya, kemudian mencekal pergelangan Ke-
nanga. Sebelum Kenanga sadar, pemuda berjubah pu-
tih itu segera membawa Kenanga pergi meninggalkan
tempat itu. "Kita harus meninggalkan tempat ini...!" ujar Panji ketika sempat menangkap
gambaran keheranan di wajah kekasihnya. Sambil berkata demikian, tubuhnya
melesat cepat di atas kepala lawan-lawannya yang ter-kesima. Mereka hanya
merasakan sambaran angin
dingin dan sosok bayangan putih yang samar-samar
melintas di atas kepala mereka.
"Mengapa harus pergi, Kakang" Aku yakin kita
mampu melumpuhkan mereka...?" tanya Kenanga ka-
rena merasa penasaran.
"Kita tak perlu melayani mereka. Yang harus kita
cari adalah pimpinannya. Mereka hanya menuruti pe-
rintah, Kenanga. Kalau pimpinannya sudah dilumpuh-
kan, tentu para pengikutnya tak bisa berbuat apa-apa lagi...!" jawab Panji tanpa
menghentikan larinya. Dan karena ilmu lari cepatnya sulit dicari tandingan,
sebentar saja tempat itu telah tertinggal jauh. Sehingga, gerombolan itu tidak
dapat menyusulnya. Apalagi mere-ka tak tahu ke arah mana pasangan pendekar muda
itu berlari. Keduanya begitu cepat menghilang ditelan kegelapan malam.
"Keparat! Pendekar Naga Putih ternyata jauh lebih
lihai dari perkiraanku! Kita harus melaporkan hal ini kepada Ki Darmanggala...!"
geram lelaki tua pimpinan pemberontak itu dengan penuh rasa penasaran. Sedangkan
dua lelaki botak yang mengapitnya tak me-
nanggapi dengan kata-kata. Keduanya terdiam. Namun
tampak kepala mereka mengangguk-angguk.
Setelah menyadari tak mungkin dapat menyusul
Pendekar Naga Putih dan Kenanga, lelaki tua itu sege-ra memerintahkan para anak
buahnya agar segera
meninggalkan tempat itu. Semuanya berpencar ke se-
gala arah dengan membawa tubuh kawan mereka yang
belum sadarkan diri. Sebentar saja tempat itu kembali sepi. Hanya desau angin
dan gemerisik dedaunan yang terdengar.
*** 6 Sambil tetap mencekal lengan kekasihnya Pendekar
Naga Putih terus berlari menembus kegelapan malam.
Ketika telah berada jauh dari perbatasan Desa Gend-
ing, baru tangan Kenanga dilepaskan. Kendati demi-
kian, mereka tetap mengerahkan ilmu lari cepat.
"Kita harus segera kembali ke kadipaten...," ujar
Panji sambil terus berlari.
"Mengapa, Kakang" Bukankah mereka tak mungkin
dapat mengejar kita?" tanya Kenanga agak heran men-
dengar ucapan kekasihnya. Karena untuk dapat men-
capai kota kadipaten mereka memerlukan waktu yang
cukup lama. Paling tidak saat pagi menjelang mereka baru bisa tiba di Kadipaten
Tumapel. Dan menurut
Kenanga hal itu tak perlu dilakukan.
"Kejadian tadi membuatku curiga. Apalagi aku me-
rasa yakin kalau lelaki tua pimpinan gerombolan tadi pasti bukan Ki Darmanggala.
Selain itu, pasukan tadi tak terlalu besar jumlahnya...," tukas Panji
menggantung ucapannya yang jelas memang belum selesai.
"Maksud Kakang...?" tanya Kenanga seraya menge-
rutkan kening dan menatap wajah kekasihnya. Kebe-
tulan saat itu Panji pun tengah menoleh. Sehingga,
mereka saling bertukar pandang untuk sesaat.
"Aku khawatir kalau-kalau Ki Darmanggala saat ini
tengah menggempur kota kadipaten bersama pasukan
yang lebih besar jumlahnya...," jawab Panji mengutarakan kecurigaannya.
Karuan saja Kenanga terkejut, karena tidak berpikir sampai sejauh itu. Sehingga
kekhawatirannya seketika mencuat dalam hati. Bahkan seketika wajahnya berubah
merah padam, tak mampu menyembunyikan ke-
cemasannya. "Kalau begitu, kita harus bergegas, Kakang...."
Tanpa menunggu jawaban Pendekar Naga Putih,
Kenanga langsung saja menambah kecepatan larinya.
Tubuhnya melesat mendahului Panji. Rasa cemas
akan nasib paman dan bibinya, membuat Kenanga in-
gin segera tiba di kota kadipaten.
Melihat Kenanga sudah melesat mendahului, Pen-
dekar Naga Putih segera menyusulnya dengan tak ka-
lah cepat. Bagaikan seekor burung raksasa, tubuh
pemuda berjubah putih itu melayang di udara menge-
jar kekasihnya. Dengan dua kali lesatan saja dia sudah menjajari langkah
Kenanga. Dan melihat betapa wajah dara jelita itu tampak membayangkan
kegelisahan, dia tidak berkata apa-apa.
Kedua pendekar muda itu terus melesat cepat, tak
mempedulikan suasana malam yang dingin mence-
kam. Menjelang pagi, mereka telah sampai di depan
gerbang selatan kota kadipaten.
Tanpa mempedulikan penjaga gerbang istana, ke-
duanya berkelebat cepat melewati gardu penjagaan.
Penjaga-penjaga itu sempat tertegun sesaat ketika merasakan sambaran angin
dingin yang cukup keras, dan seperti melihat ada bayangan yang melewati gerbang
istana. Namun, karena gerakan Kenanga dan Pendekar
Naga Putih terlalu cepat, sebentar saja bayangan keduanya lenyap. Para penjaga
itu hanya bisa mengge-
leng dan menganggap semua itu merupakan tipuan
mata saja. Ketika sampai di dalam lingkungan kadipaten, Pen-
dekar Naga Putih dan Kenanga sama-sama tersentak
kaget. Mereka menemukan bekas-bekas pertempuran
sengit. Bau amis yang semerbak menusuk hidung ser-
ta lumuran darah di beberapa tempat, menunjukkan
bahwa pertempuran itu belum lama berselang. Selain
itu di sekitar tempat itu tampak beberapa bangunan
yang sepertinya baru saja dirusak orang.
Meskipun melihat beberapa orang prajurit yang ten-
gah membereskan tempat yang tampak berserakan itu,
Pendekar Naga Putih dan Kenanga tak peduli. Kedua-
nya langsung menemui Senapati Jata Logaya.
"Paman...!"
Kenanga langsung berseru ketika melihat seorang
lelaki gagah berpakaian senapati tengah mengawasi
para prajurit yang membereskan semua bekas-bekas
pertempuran, termasuk mayat-mayat yang bergelim-
pangan di halaman kadipaten.
Lelaki setengah baya yang terlihat masih gagah dan
penuh wibawa itu langsung menoleh, ketika menden-
gar panggilan yang dikenalnya. Wajahnya terhias se-
nyum begitu melihat Panji dan Kenanga berlari meng-
hampirinya. "Apa yang telah terjadi, Paman...?" tanya Kenanga
sebelum Senapati Jata Logaya sempat membuka mulut
Senapati Jata Logaya tidak segera menjawab. Sete-
lah menghela napas panjang yang menggambarkan ra-
sa penasaran di hatinya, lelaki separo baya itu me-
langkah meninggalkan tempat itu. Pendekar Naga Pu-
tih dan Kenanga bergegas mengikuti dari belakang.
"Saat menjelang tengah malam tadi, keparat Dar-
manggala bersama pasukannya datang menyerbu. Me-
reka mendobrak gerbang di sebelah utara, setelah melumpuhkan semua penjaga yang
berada di tempat itu.
Kemudian menyerbu masuk. Maksudnya sudah pasti
hendak menguasai kadipaten. Untung saja para penja-
ga di dalam lingkungan kadipaten bertindak sigap dan memukul tanda bahaya.
Sehingga, meskipun harus
kehilangan banyak prajurit, mereka dapat kami usir
meninggalkan tempat ini. Padahal sebenarnya mereka
belum kelihatan terdesak. Sehingga, aku menduga ka-
lau mereka tengah bersiasat. Tapi, biar bagaimanapun, hal ini membuat aku merasa
lega dan bisa mempersiapkan pasukan, apabila mereka kembali datang me-
nyerbu...," jelas Senapati Jata Logaya sambil melang-
kah menuju bangunan tempat tinggalnya.
'Tapi..., seharusnya penjaga-penjaga di gerbang uta-ra sudah memberi tanda
sebelum Darmanggala beserta
pasukannya dapat menjebol pintu" Apakah tak ada
yang mendengar tanda dari mereka?" tanya Panji ka-
rena merasa ada kejanggalan dalam cerita yang dipa-
parkan Senapati Jata Logaya.
Mendengar pertanyaan itu, Senapati Jata Logaya
kelihatan berpikir keras. Seakan-akan dirinya baru
menyadari hal itu. Dan memang terasa agak aneh ka-
lau sampai tanda dari gerbang utara tak terdengar.
Padahal, seharusnya mereka sudah memberi tanda se-
belum pihak musuh memasuki kota.
"Suranggala...!"
Senapati Jata Logaya mengulapkan tangan seraya
memanggil seorang perwira bertubuh tinggi besar dan bercambang bauk. Perwira
itulah yang ditugaskan
menjadi komandan jaga semalam. Dan dia ingin ber-
tanya sehubungan dengan pertanyaan Panji.
"Hamba, Kanjeng Senapati...," ujar Suranggala se-
raya menghaturkan sembah kepada atasannya. Lelaki
gagah itu berdiri tegak menunggu perintah dari ata-
sannya. "Suranggala, saat pasukan pemberontak belum
menjebol gerbang utara, apakah kau tidak mendengar
bunyi tanda bahaya dari penjaga di tempat itu?" tanya Senapati Jata Logaya
seraya menatap tajam wajah
perwira gagah di depannya.
"Hamba tidak mendengarnya, Kanjeng Senapati.
Mungkin penjaga gerbang utara tak sempat membu-
nyikannya. Kalau mereka sempat, sudah pasti para
pemberontak itu tak akan bisa menjebol gerbang," jelas perwira gagah itu tanpa
pikir panjang lagi. Dan kelihatannya Suranggala begitu yakin dengan jawabannya.
"Kau yakin...?" tanya Senapati Jata Logaya menega-
si. 'Yakin sekali, Kanjeng Senapati!" sahut Suranggala tanpa keraguan sedikit
pun. Bahkan dia berani me-nentang tatapan mata Senapati Jata Logaya. Sehingga
senapati itu tidak meragukannya.
Setelah mendengar jawaban Suranggala, Senapati
Jata Logaya kembali memerintah perwira itu untuk
melanjutkan pekerjaannya. Kemudian melemparkan
pandang pada Pendekar Naga Putih. Kelihatannya se-
napati Kadipaten Tumapel itu ingin melihat tanggapan Panji setelah mendengar
jawaban yang tak diragukan
lagi kebenarannya itu.
Tanpa banyak membuang waktu, Pendekar Naga
Putih langsung saja menceritakan apa yang telah di-
alami ketika dirinya dan Kenanga menginap di Desa
Gending. Juga mengutarakan kecurigaannya terhadap
Perguruan Beruang Merah, yang muncul di antara
pengeroyoknya. "Hm...," Senapati Jata Logaya bergumam dan berpi-
kir keras setelah mendengar penjelasan Panji.
Tampaknya senapati Kadipaten Tumapel itu tak bi-
sa menerima kecurigaan Pendekar Naga Putih terha-
dap perguruan yang sudah dikenalnya itu. Namun, ha-
tinya pun berjanji akan mempertimbangkannya.
"Kalau perlu aku sendiri yang akan menemui Ki Ka-
la Herang dan menceritakan hal ini," ujar Senapati Ja-ta Logaya yang tak ingin


Pendekar Naga Putih 77 Altar Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengecilkan laporan Panji.
Karena diketahuinya kalau pemuda itu tak mungkin
berdusta. "Menurutku, sebaiknya Paman jangan melakukan
hal itu dulu. Awasi saja murid-murid Perguruan Be-
ruang Merah yang mengabdi di kadipaten ini. Penyer-
buan semalam membuatku curiga kalau di dalam ling-
kungan kadipaten ada pihak musuh. Untuk itu kita
harus lebih berhati-hati. Mengenai Perguruan Beruang Merah, biarlah aku dan
Kenanga yang mencari tahu,"
ujar Panji mengutarakan pendapatnya. Dan Senapati
Jata Logaya menerima usul itu dengan senang hati.
Karena batuan Pendekar Naga Putih tentu akan sangat banyak sekali gunanya.
Setelah menyetujui usul itu, Senapati Jata Logaya
berpamitan kepada pasangan pendekar muda itu. De-
mikian pula dengan Panji dan Kenanga yang mening-
galkan tempat itu menuju gedung yang menjadi tempat tinggal Kenanga selama
berada di Kadipaten Tumapel.
*** Malam bulan purnama. Sebelum menjelang tengah
malam, Pendekar Naga Putih sudah bergerak mening-
galkan kota kadipaten. Dia sengaja tidak mengambil
jalan melewati gerbang, melainkan melompati pagar
tembok setinggi satu setengah tombak. Kemudian me-
lesat dengan menggunakan ilmu lari cepat menuju se-
belah utara kota.
Tidak berapa lama kemudian, pendekar muda itu
telah tiba di mulut Hutan Rawandaka. Tanpa ragu-
ragu lagi dia langsung memasuki hutan itu. kebetulan bulan bersinar terang.
Maksud Pendekar Naga Putih
mendatangi tempat persembahan yang bernama Altar
Setan. Dia tahu pada malam purnama seperti itu per-
sembahan korban berlangsung. Hatinya telah bertekad akan menggagalkan
persembahan malam purnama ini.
Karena sudah pernah mendatangi tempat itu, tak
ada kesulitan lagi bagi Pendekar Naga Putih menemu-
kan Altar Setan. Dengan menyembunyikan diri dibalik semak belukar, matanya
mengawasi Altar Setan dalam
jarak sekitar lima belas tombak.
Malam semakin larut. Pendekar Naga Putih tetap
bersabar menunggu waktu tengah malam. Pendenga-
rannya yang tajam tiba-tiba menangkap ada gerakan di sekeliling tempat itu.
Semula Panji mengira kalau suara langkah itu pastilah berasal dari para pengikut
aliran sesat yang hendak melakukan upacara persemba-
han. Namun, kecurigaannya bangkit ketika menyadari
bahwa suara langkah itu seperti mengepung tempat-
nya berada. "Hm..., mungkinkah mereka sudah mengetahui ke-
hadiranku...?" gumam Panji dalam hati. Mendadak se-
kujur tubuhnya mengejang. Dan sepasang matanya
menyapu sekeliling tempat itu.
Mendadak.... Siiing! Siiing...!
Suara berdesingan nyaring terdengar. Pendekar Na-
ga Putih terkejut, karena suara berdesingan itu datang dari segala penjuru,
seakan-akan hendak menutup
semua jalan. "Kurang ajar...!" geram Panji.
Sadar kalau dirinya berada dalam incaran maut,
dengan cepat Pendekar Naga Putih mengerahkan tena-
ga mukjizatnya untuk melindungi seluruh tubuh. Se-
ketika itu juga kabut bersinar putih keperakan menye-limuti sekujur tubuhnya.
Sambil mengibaskan kedua
tangannya dengan gerak berputar, pemuda berjubah
putih itu melesat ke udara. Setelah bersalto beberapa kali putaran, tubuhnya
mendarat ringan di atas tanah.
Tampak tempat persembunyiannya tadi telah porak
poranda terhantam puluhan batang anak panah.
Siiing! Siiing...!
Baru saja Panji menjejakkan kedua kakinya di ta-
nah, telinganya kembali menangkap suara desingan
yang jauh lebih tajam. Kilatan sinar kemerahan tam-
pak meluncur ke tubuhnya dengan kecepatan tinggi.
Pendekar Naga Putih tampaknya tahu kalau dirinya
diserang secara curang dengan menggunakan pisau-
pisau terbang beracun. Karena hal seperti itu pernah dialami sebelumnya. Semua
itu semakin membuat hatinya geram.
"Heaaat...!"
Teriakan keras menggelegar yang diliputi kegeraman
seketika terdengar dari mulut Pendekar Naga Putih.
Dengan cepat diputarnya kedua belah tangan dengan
pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'.
Wusss! Sambaran angin dingin laksana topan salju, mem-
buat pisau-pisau terbang yang meluncur memburu tu-
buh Pendekar Naga Putih langsung terpental balik.
Dengan mengatur tenaganya, pemuda berjubah putih
itu mampu membalikkan serangan gelap itu kepada
pemiliknya. Dan....
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Sesaat kemudian, terdengar jerit kematian susul-
menyusul dari sekeliling tempat itu. Kalau didengar dari suara pekikannya,
Elang Terbang Di Dataran Luas 10 Kelana Buana You Jian Jiang Hu Karya Liang Ie Shen Tamu Dari Gurun Pasir 7
^