Pencarian

Neraka Bumi 2

Pendekar Naga Putih 76 Neraka Bumi Bagian 2


sekali saja mereka lengah, bukan mustahil ujung cambuk itu akan singgah di tubuh
mereka. Hal itu sudah sering kali terjadi.
Sementara itu, sepasang mata milik seorang lelaki tegap yang berada di antara
rombongan menyorot tajam penuh kebencian. Kelihatannya ia sudah tidak sabar lagi
menyaksikan kekejaman yang berlangsung di depan matanya. Tapi, saat kakinya
hendak melangkah sebuah jari-jari tangan kokoh mencegahnya.
"Sabar, Ranggala. Biarlah untuk kali ini kita hanya menyaksikan. Kita belum tahu
jelas keadaan tempat ini,"
bisik pemuda tampan bertubuh sedang yang mengenakan jubah putih. Ia tidak lain
Panji. Ranggala terpaksa menarik napas panjang. Kemudian berpaling menatap dua orang
kawannya, Ki Wiguna dan Gowanta. Rupanya, keempat tokoh itu telah berhasil
menyelusup dalam rombongan pekerja yang didapat dari
desa-desa. Kini mereka telah berada di sebuah tempat yang dikelilingi pagar kayu
bulat setinggi dua tombak.
Tempat itu luas sekali.
Panji menghela napas lega melihat Ranggala mau menuruti anjurannya. Ia sendiri
sebenarnya tidak tahan melihat tindakan Jonggala. Tapi karena belum tahu
bagaimana keadaan di tempat itu, Panji tidak segera bertindak. Ia menahan
perasaan marahnya sekuat tenaga.
Semula Panji agak khawatir untuk memasuki tempat itu. Ia pernah menghajar
rombongan prajurit kerajaan saat membawa penduduk Desa Kendal. Pemuda itu akan
bertemu dengan prajurit yang pernah dipecundanginya.
Tapi, ternyata dugaannya meleset.
Legawa dan pasukannya tidak berada di tempat itu.
Rupanya, masing-masing pasukan mempunyai tugas yang berbeda. Dan, pasukan yang
dipimpin Legawa hanya bertugas untuk mencari pekerja-pekerja. Kemudian
mengirimkannya ke tempat yang telah disediakan. Dan pergi lagi untuk mencari
tenaga kerja lainnya. Yang mengantar para pekerja ke tempat itu adalah pasukan
yang berada di tempat penampungan terakhir. Mereka diantarkan ke tempat yang
bernama Cadas Hantu. Di tempat itulah para pekerja diperas tenaganya siang dan
malam. Hampir tidak pernah beristirahat. Karena waktu untuk beristirahat hanya
sempit sekali. Saat itu, Jonggala telah puas menyiksa pekerjanya. Ia pergi meninggalkannya dan
kembali menghampiri rombongan pekerja yang baru tiba.
"Kalian boleh pergi...," ujar Jonggala pada delapan orang prajurit yang
mengantarkan rombongan Panji. "Dan
kalian tanggalkan pakaian. Kerjalah yang baik dan jangan sampai cambukku
berbicara!" perintahnya kepada rombongan yang baru tiba.
Tanpa banyak membantah, anggota rombongan yang di antaranya Panji melepaskan
pakaiannya. Tak seorang pun yang membawa senjata. Karena di pintu gerbang
pertama senjata mereka telah dilucuti. Itu pun kalau ada. Kalau tidak, mereka
hanya diperiksa sebelum diantarkan ke tempat mereka bekerja.
Ranggala, Ki Wiguna, dan Gowanta memang telah mengetahui hal itu sebelumnya.
Mereka telah membuang senjatanya sebelum menyelusup ke dalam rombongan.
Mereka pun menyadari tempat itu sulit ditembus.
Penjaganya demikian ketat. Semua itu mereka lihat sepanjang jalan menuju tempat
mereka akan bekerja.
Mereka pun menjadi maklum mengapa tokoh-tokoh persilatan yang menyelusup masuk
tidak dapat keluar dengan nyawa masih melekat di badan. Untuk melarikan diri
dari tempat itu memang pekerjaan yang hampir mustahil!
Setelah melolos pakaiannya, Panji dan anggota rombongan langsung diberi tugas.
Mulailah mereka bekerja dengan alat yang telah disediakan. Melihat pekerjaan
yang harus dilakukannya, Panji maklum mengapa pekerjaan itu terasa sangat berat.
Bukit yang harus mereka ratakan merupakan batu cadas yang sangat keras, tak
ubahnya benda logam. Untuk memecahkan memang bukan pekerjaan yang ringan.
Pantaslah kalau banyak orang tak sanggup bertahan lama. Panji baru mengerti
mengapa mereka tidak pernah berhenti dalam
usaha mencari tenaga-tenaga baru. Untuk meratakan bukit itu diperlukan banyak
tenaga serta waktu yang lama.
"Hm... Gusti Prabu Pungga Dewa benar-benar keterlaluan! Menurutku, agak mustahil
kalau beliau hendak membangun istana peristirahatan di daerah Cadas Hantu ini.
Benar pemandangan di tempat ini memang sangat indah. Tapi, untuk meratakan bukit
ini akan memerlukan waktu tahunan. Celaka, kalau begini. Bisa habis rakyat
Tampak Serang...," gumam Panji yang mulai mengayunkan alat pemecah batu dengan
menggunakan tenaga dalam.
Crakkk! " Hasil pekerjaan Panji tentu saja tidak bisa disamakan dengan pekerja-pekerja
lainnya. Hanya dengan menambah sedikit tenaganya, batu padas yang hitam seperti
besi itu dapat dipecah dengan dua kali hantam. Sehingga, pekerjaannya lebih
cepat dari pekerja-pekerja lainnya.
Demikian pula dengan Ki Wiguna, Ranggala, Gowanta. Mereka adalah tokoh-tokoh
persilatan, sehingga dapat melakukan pekerjaan itu dengan lebih baik dari
pekerja-pekerja lainnya. Jonggala agak terkejut menyaksikan hasil pekerjaan
keempat pekerja baru itu.
"Hm.... Tampaknya mereka memiliki tenaga yang besar. Bukan tidak mungkin keempat
orang itu kaum rimba persilatan yang kebetulan tertangkap oleh pasukan...,"
gumam Jonggala yang kelihatan tidak menaruh curiga.
Sebelumnya memang telah ada tokoh-tokoh persilatan yang dibawa oleh pasukan
untuk dipekerjakan. Beberapa orang yang mencoba hendak memberontak telah dibunuh
tanpa ampun. Sehingga, Jonggala tidak merasa khawatir meski keempat pekerja baru
itu diduganya sebagai orang-orang persilatan. Penjagaan di tempat itu sangat
ketat. Tidak mungkin mereka berani memberontak, kecuali memang sengaja hendak mencari
mati. *** Malam telah menyelimuti persada. Kegelapan yang hanya diterangi sinar bulan
sabit tidak mengganggu kegiatan di Cadas Hantu. Obor-obor yang banyak dipasang
untuk penerangan membantu para pekerja agar dapat meneruskan pekerjaannya.
Sehingga, bagi para pekerja tidak ada bedanya antara siang dan malam.
Mereka tetap bekerja sampai jauh malam.
Udara di Cadas Hantu itu ternyata sangat dingin bila malam hari. Kalau pada
siang hari pancaran sinar matahari sangat panas menyengat kulit, malam harinya
mereka menggigil kedinginan. Pergantian udara yang sangat jauh berbeda itu
membuat para pekerja tidak sanggup bertahan. Terlebih mereka bekerja dengan
perut kosong. Para pekerja itu hanya mendapat makan satu kali, pada waktu fajar terbit. Dan
kalau tidak datang tepat pada waktunya, terpaksalah mereka berpuasa sepanjang
hari. Sebab, terlambat sedikit saja, mereka tidak mendapat makanan. Sampai demikian
keras dan kejamnya peraturan di tempat itu.
"Sudah tiga hari kita berada di neraka ini, Panji.
Rasanya aku sudah tidak tahan tinggal lebih lama lagi. Aku pun merasa kasihan
dengan rakyat yang terlihat demikian
sengsara. Kita harus segera bertindak, Panji...," Ranggala mengutarakan
perasaannya saat mereka beristirahat, setelah bekerja sampai jauh malam. Mereka
baru berhenti pada waktu tengah malam.
"Jangan tergesa-gesa dulu, Ranggala. Selama dua malam ini aku telah menyelidiki
seluruh tempat ini. Aku menemukan sesuatu yang cukup mengejutkan!" tukas Panji
menyabarkan Ranggala. Karena Panji masih belum menemukan cara untuk mengeluarkan
pekerja-pekerja itu.
"Apa yang kau temukan, Panji?" tanya Ki Wiguna menatap wajah tampan itu lekat-
lekat. "Tempat ini ternyata dijaga oleh sekitar tiga ratusan orang prajurit. Belum
ditambah dengan jagoan-jagoan istana, termasuk Jonggala di dalamnya. Kalau hanya
kita berempat yang lolos tentu tidak terlalu sulit. Tapi bagaimana dengan
pekerja-pekerja itu" Aku khawatir jika kita gagal nasib mereka akan semakin
buruk. Karena Jonggala tidak segan-segan melakukan siksaan...," ujar Panji
membuat ketiga lelaki gagah itu terperanjat. Di sekitar daerah itu mereka tidak
melihat tempat yang dapat menampung sekian banyak prajurit.
"Kau yakin...?" tanya Gowanta belum bisa percaya dengan keterangan Panji.
"Tentu saja, Gowanta. Aku telah melihat dengan mata kepalaku sendiri. Prajurit-
prajurit itu sengaja ditempatkan tersembunyi dan tak terlihat oleh kita. Tapi,
sewaktu-waktu mereka dapat muncul dan menggasak habis bagi siapa saja yang
mencoba lari dari tempat celaka ini...,"
jawab Panji bersungguh-sungguh, membuat dada ketiga
orang gagah ihi berdebar tegang.
"Hm.... Kalau harus menghadapi tiga ratus orang prajurit dan masih ditambah
dengan jagoan-jagoan istana, jelas sulit sekali bagi kita untuk membebaskan
rakyat. Mendengar keteranganmu, aku jadi sangsi dengan keberhasilan rencana kita...,"
Ranggala terdengar meng-hembuskan napas berat. Wajahnya menyembunyikan
kecemasan. Apa yang mereka rencanakan ternyata sulit untuk dilaksanakan.
"Itu sebabnya kita harus bersabar, Ranggala. Aku tengah memikirkan jalan keluar
untuk dapat pergi dan membebaskan pekerja-pekerja itu, yang jumlahnya mencapai
ratusan orang," tukas Panji tetap tenang.
Kendati jiwanya tak lepas dari incaran maut.
"Kau punya rencana, Panji...?" Ki Wiguna yang juga mulai ragu mengajukan
pertanyaan. Ia melihat sikap pemuda itu tetap tenang tanpa kecemasan sedikit
pun. "Beri aku waktu satu malam lagi untuk berpikir, Ki Wiguna. Kalau belum juga
menemukan jalan keluarnya aku akan mendatangi Gusti Prabu Pungga Dewa. Kalau
perlu mengancamnya agar membatalkan rencana membuat istana peristirahatan di
tempat ini, yang jelas agak mustahil. Kalaupun berhasil harus banyak nyawa
rakyat dikorbankan sebagai tumbalnya. Kau tahu sendiri, bukan"
Bagaimana kuatnya batu cadas yang mesti kita pecahkan itu?" Panji mengutarakan
rencananya. "Baiklah. Kami tunggu keputusanmu...," ujar Ki Wiguna yang tentu saja tahu
bagaimana beratnya pekerjaan yang harus mereka lakukan.
Ranggala dan Gowanta hanya menganggukkan kepala.
Kemudian percakapan terhenti. Keempat orang itu mencoba beristirahat, meski
fajar tak lama lagi akan terbit. Pertanda mereka harus kembali menjalani siksaan
yang disebut sebagai pekerjaan itu.
*** 6 "Bangun kau pemalas...!" Jonggala, lelaki bertubuh tinggi kekar dengan wajah
dipenuhi cambang bauk memasuki barak pekerja dengan cambuk di tangan. Sesekali
terdengar ledakan ketika cambuk itu diayunkan ke udara.
Percikan bunga api berpendar menandakan kekuatan tenaga pemiliknya.
Ctarrr! Ctarrr!
Ledakan cambuk yang menulikan telinga terdengar mengejutkan. Para penghuni barak
yang tengah terbuai mimpi tersentak dari tidurnya. Mereka bergerak bangkit dan
berlarian keluar. Jelas terlihat betapa mereka sangat takut kepada Jonggala,
yang memang tidak segan-segan bertindak kejam pada siapa saja yang berani
membangkang. "Hei, kau! Ayo bangun...!"
Sepasang alis Jonggala yang tebal nyaris bertemu di tengah kening. Sorot matanya
yang bengis tertuju ke sosok tubuh yang masih saja terbaring. Jonggala segera
menghampiri dan menendang pembaringan.
Brakkk! Terdengar suara keras disusul robohnya pembaringan kayu. Tubuh di atasnya pun
terbanting jatuh. Terdengar suara rintih dari mulut lelaki kurus yang meringkuk
di tanah. Jonggala kelihatan tidak ambil pusing. Kendati ia tahu orang itu tengah
menderita sakit, tetap saja ia meng-
inginkan agar lelaki itu bekerja seperti biasa. Jonggala melangkah lebar dan
mengulurkan tangannya siap mengangkat bangkit sosok kurus yang tengah menggigil
itu. Pada saat jari-jari kokoh Jonggala siap mencengkeram leher baju lelaki itu
mendadak berkelebat sesosok bayangan. Dan tahu-tahu pergelangan Jonggala
tercekal ketat.
"Kisanak, harap jangan terlalu kejam...," terdengar suara halus menegur
perbuatan Jonggala.
Jonggala tentu saja menjadi gusar ketika pergelangan tangannya dicekal demikian
kuat. Tapi, lelaki tinggi kekar itu terlihat kaget. Karena meski telah
mengerahkan tenaga, cekalan itu tidak mampu dilepaskan. Kenyataan itu membuat
Jonggala memaksa diri melihat siapa yang berani berbuat demikian kepadanya.
"Kisanak. Orang ini jelas sedang sakit. Menurut penglihatanku ia tidak akan
mampu bekerja. Kuharap kau sedikit mengerti dan membiarkannya beristirahat untuk
satu dua hari...," ucap sosok yang mencekal pergelangan Jonggala.
Jengkel bukan main hati Jonggala. Selama ini belum pernah ada seorang pun yang
berani mengucapkan kata-kata demikian kepadanya. Jangankan menasihatinya,
menentang pandang matanya saja belum pernah ada yang berani. Tentu saja teguran
yang baru pertama kali itu membuatnya berang.
Tapi, sosok pemuda tampan berjubah putih itu kelihatan tetap tenang. Sepasang
matanya yang tajam berpengaruh menentang pandang mata Jonggala. Siapa
lagi pemuda tampan itu kalau bukan Panji. Rupanya, secara kebetulan Jonggala
bertugas membangunkan para pekerja di mana Panji ditempatkan. Perbuatan Jonggala
yang melewati batas membuat Panji terpaksa bertindak.
"Hm... Kau rupanya...!" geram Jonggala yang rupanya sempat memperhatikan saat
pemuda itu datang bersama rombongan. "Orang ini cuma berpura-pura sakit, ia
jelas tidak ingin bekerja!"
"Tidak, Kisanak. Coba kau lihat baik-baik benar-benar sakit dan membutuhkan
perawatan..." sanggah Panji bersikeras tanpa melepaskan pandang matanya. Diam-
diam Panji mengerahkan kekuatan tenaga batin untuk melumpuhkan Jonggala.
Kekuatan pandang mata Panji mulai mempelihatkan hasil. Jonggala tampak mengerjap
beberapa kali. Kemudian mengalihkan tatapannya ke arah lain. Ia tidak sanggup melawan perbawa
yang timbul dari sepasang mata pemuda itu.
Ki Wiguna, Ranggala, dan Gowanta yang semula tegang melihat kejadian itu
menghela napas lega. Mereka maklum apa yang dilakukan Panji sangatlah berbahaya.
Tapi, mereka juga tidak menyalahkan. Tindakan Jonggala memang sangat
keterlaluan. Sehingga, ketiga tokoh itu telah bersiap-siap kalau kejadian itu
akan berbuntut panjang. Tapi, ternyata tidak.
"Hm...," Jonggala hanya bergumam tak jelas.
Kelihatannya ia agak gentar juga. Terbukti ia kemudian melangkah keluar setelah
menoleh sekilas ke arah pekerja yang masih merintih dengan tubuh menggigil.
Gowanta dan Ranggala buru-buru mengangkat pekerja
itu ke pembaringan lainnya. Sedangkan Ki Wiguna menghampiri Panji yang masih
tegak di tempatnya.
"Untung tidak sampai berkepanjangan. Kalau tidak, kita pasti akan celaka...," ujar
Ki Wiguna seraya menepuk bahu Pendekar Naga Putih, yang juga sempat dilanda
ketegangan. Karena perbuatannya bisa membahayakan jiwa ratusan pekerja yang
berada di tempat penampungan itu.
"Kelihatannya algojo itu agak gentar kepadamu, Panji...," Gowanta ikut bergabung
dan memuji Panji.
Tampaknya, ia cukup puas dengan apa yang baru saja dilakukan pemuda tampan itu.
"Tapi sekarang kita harus lebih waspada. Aku khawatir Jonggala menaruh dendam
dan mulai mencurigai kita...,"
ujar Panji mengingatkan. Kemudian melangkah lebar meninggalkan barak, diikuti
tiga tokoh persilatan itu.
Mereka menuju tempat biasa bekerja.
*** Saat itu matahari belum lagi muncul. Namun di sekitar Bukit Cadas Hantu telah
terjadi kesibukan. Suara benda runcing yang dipergunakan untuk mengikis cadas
terdengar saling bersahutan. Mereka bekerja di bawah sinar obor.
Di bagian lain terlihat kesibukan puluhan pekerja yang mengangkut batu-batu
untuk dikumpulkan di satu tempat.
Tubuh mereka terbungkuk-bungkuk membawa beban berat di kepalanya. Mereka
melangkah tersaruk-saruk.
Meskipun perut mereka telah terisi, namun apa yang
mereka makan terlalu sedikit. Hingga wajar saja bila tenaga mereka semakin surut
dan cepat lelah. Selain kurang makan, mereka pun kurang beristirahat di waktu
malam. "Aaahhh...!"
Seorang pekerja yang tengah memikul keranjang dengan sebuah kayu pemikul tiba-
tiba terjerembab jatuh.
Sehingga, batu yang dipikulnya berserakan di tanah.
Kesalahan yang hanya sedikit itu telah membuat seorang pengawas melangkah lebar
mendatanginya dengan wajah bengis. Kemudian...


Pendekar Naga Putih 76 Neraka Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bodoh kau...!"
Seiring dengan suara bentakannya, melayanglah ujung cambuk di tangan pengawas
bertubuh tinggi tegap itu.
Sengatan ujung cambuk membuat tubuh di bawahnya mengeliat kesakitan. Bilur merah
bekas cambukan yang panas terlihat mengalirkan darah.
"Ampun..., Tuan...," lelaki tiga puluh tahunan itu merintih meminta belas
kasihan. Sepasang matanya tampak basah.
Rasa sakit akibat cambukan itu agaknya demikian menyiksa. Tubuh yang nyaris
tinggal kulit pembungkus tulang itu tentu sangat tersiksa. Tapi, lelaki tegap
itu sedikit pun tidak mempedulikan rintihan korbannya.
Cambuknya kembali meledak berkali-kali. Sehingga, pekerja yang malang itu
menjerit-jerit bergulingan di tanah berbatu.
Belum lagi selesai persoalan yang satu, persoalan lain datang menyusul. Lagi
seorang pekerja jatuh terjerembab ke tanah. Kawan-kawannya yang melihat berusaha
menolong. Tapi....
"Hei...!"
Malang.... Sebelum para pekerja itu sempat mengangkat bangkit, pengawas tinggi tegap itu
telah melihatnya. Dan, segera melompat disertai lecutan cambuknya yang merobek
udara. "Keparat..!"
Ctarrr! Ctarrr...!
Tentu saja mustahil pekerja-pekerja bertubuh kurus itu mampu mengelak. Tanpa
ampun lagi, tubuh mereka terlempar ke kiri-kanan. Tubuh yang terhias garis merah
memanjang, bekas lecutan cambuk itu, mengalirkan darah segar. Tapi, pengawas
tinggi tegap itu belum puas.
Cambuknya kembali meledak-ledak di udara.
"Haaattt..!"
Saat ujung cambuk meliuk-liuk siap menyengat korbannya, tiba-tiba terdengar
pekikan keras. Disusul melayangnya sesosok tubuh yang langsung mengulurkan
tangan memapaki ujung cambuk.
Prattt! "Heiii...!"
Pengawas bertubuh tinggi tegap terlihat kaget. Ujung cambuk itu berbalik dan
mengancam dirinya. Cepat lelaki itu menambah tenaganya dan memutar cambuknya
sedemikian rupa di atas kepala. Sehingga, ujung cambuk tidak sampai mengenai
dirinya. "Kurang ajar! Rupanya kalian mulai berani membangkang, hah!" bentak pengawas
tinggi tegap dengan sepasang mata memancarkan kemarahan.
"Hm...."
Lelaki tegap yang memapaki serangan cambuk itu bergumam tak kalah gusarnya. Ia
adalah Gowanta.
Rupanya, kekajaman pengawas itu telah membuatnya khilaf dan tidak lagi
mempedulikan bahaya yang bakal dihadapinya.
"Perbuatan kalian sudah melewati batas. Aku sudah tidak bisa menahan sabar lebih
lama lagi...!" geram Gowanta dengan mata menyorot tajam. Seolah ingin menelan
pengawas itu bulat-bulat.
Perbuatan Gowanta yang melawan petugas menarik perhatian pekerja lainnya.
Apalagi ketika Panji, Ki Wiguna dan Ranggala telah berada di belakang Gowanta.
Pengawas itu melangkah mundur. Ia melihat gelagat tak baik yang merugikan
dirinya. Tanpa banyak cakap, pengawas tinggi tegap segera bersuit nyaring. Agaknya, ia
hendak memberi tanda kepada kawan-kawannya. Sebentar kemudian terdengar langkah
berderap mendatangi tempat itu. Beberapa sosok tubuh sudah berlompatan dengan
gerakan yang ringan dan mantap. Salah satu di antaranya adalah Jonggala,
pengawas bertubuh tinggi kekar dengan wajah dipenuhi cambang bauk.
"Kita sudah terlanjur basah...!" bisik Panji kepada kawan-kawannya.
Panji bergegas memberi perintah pada para pekerja agar berkumpul di belakang.
Sementara Ki Wiguna, Ranggala, dan Gowanta berada di kiri-kanan Panji.
Mereka berempat siap mempertaruhkan nyawa demi keselamatan orang banyak.
"Keparat...!" Jonggala yang melihat biang keladi semua itu adalah pemuda yang
pernah menentangnya menjadi geram bukan main. Perintahnya pun segera
berkumandang. "Tangkap pemuda pemberontak itu. Dan masukkan semua pekerja ke dalam baraknya
masing-masing...!"
Suara perintah Jonggala yang dikerahkan dengan kekuatan tenaga dalam langsung
dipatuhi puluhan prajurit bersenjata yang berada di belakangnya. Serentak mereka
meluruk ke arah Panji dan kawan-kawannya.
"Heaaattt..!"
"Yeaaa...!"
Kilatan benda-benda tajam berkelebat mengancam Panji dan ketiga kawannya. Tapi
mereka sedikit pun tidak merasa gentar. Bukannya mundur, mereka malah bergerak
maju menyambut hujan serangan.
"Haaaiiit...!"
Sekali mengibaskan tangan Pendekar Naga Putih memukul roboh enam prajurit
terdepan. Mereka terlempar dan jatuh menggeletak pingsan.
Ki Wiguna, Ranggala, dan Gowanta juga tidak mau ketinggalan. Masing-masing
merobohkan seorang lawan dan langsung merebut senjatanya. Kemudian mengibaskan
senjata itu dengan mengerahkan tenaga dalam.
Breeet, breettt...!
"Aaa..!"
Jerit kematian berkumandang susul-menyusul.
sebentar saja senjata di tangan ketiga tokoh itu membuat enam orang prajurit
tersungkur mandi darah! Karuan saja amukan keempat pendekar itu mengejutkan
Jonggala dan pasukannya. Sedarlah mereka bahwa keempat pekerja itu tokoh-tokoh persilatan
yang menyelinap masuk.
"Kalian akan mendapat hukuman berat!" geram Jonggala segera memberi isyarat
kepada delapan orang pengawas untuk mengeroyok para pengacau.
"Haaattt...!"
Dengan teriakan parau Jonggala meluncur datang. Kali ini ia tidak hanya
menggunakan cambuk, tapi juga menggenggam sebatang pedang di tangan kanannya.
Kelihatannya Jonggala tidak puas hanya dengan satu senjata saja.
Belum lagi serangan Jonggala tiba, delapan pengawas lainnya telah menyusul
dengan pedang di tangan. Mereka bergerak menyebar membentuk setengah lingkaran
untuk menjepit Panji dan kawan-kawannya.
"Kalian bertiga cegah musuh yang datang dari belakang. Biar serangan dari depan
aku yang menghadapi...!" Panji berseru kepada Ki Wiguna dan kawan-kawannya.
Ki Wiguna terlihat agak ragu sejenak. Namun ketika teringat siapa pemuda tampan
berjubah putih itu, ia segera mengajak Ranggala dan Gowanta untuk mengikuti
saran Panji. Ketiganya langsung bergerak ke belakang.
Apa yang diperkirakan Panji memang benar-benar terjadi. Ki Wiguna, Ranggala, dan
Gowan menggeram gusar. Dari pihak pekerja telah jadi korban belasan orang.
Penyerang dari belakang yang terdiri dari perwira-perwira kerajaan bersama
seratus lebih prajurit, tentu tidak mungkin mampu ditahan oleh pekerja yang
terdiri dari penduduk desa. Untung di antara sekian banyak pekerja
terdapat tokoh-tokoh persilatan yang menyelinap dan menyamar. Mereka inilah yang
berusaha membendung serangan. Sehingga, korban tidak terlalu banyak yang jatuh.
"Yeaaattt...!"
Ki Wiguna yang melihat kejadian itu segera melayang dengan kecepatan tinggi.
Pedang rampasannya berputaran cepat bagai baling-baling. Lelaki itu mengamuk
dengan hebatnya.
Tindakan Ki Wiguna segera diikuti Ranggala dan Gowanta. Kedua orang itu langsung
menerjunkan diri ke dalam kancah pertempuran. Pedang mereka berkelebatan
disertai suara mengaung tajam, membuat para prajurit terkejut! Amukan mereka tak
ubahnya banteng luka.
Brettt! Brettt!
"Aaa...!"
Jeritan ngeri terdengar silih berganti. Tubuh beberapa orang prajurit yang
terkena amukan pedang Ranggala dan Gowanta terguling roboh mandi darah. Hingga,
pasukan kerajaan terpaksa bergerak mundur untuk beberapa saat
"Maju...!"
Salah seorang perwira berteriak memerintah.
Pedangnya teracung menuding Ki Wiguna dan para tokoh persilatan lainnya.
Sebentar kemudian, pertempuran pun kembali pecah!
*** "Haaattt...!"
Pendekar Naga Putih yang menghadapi Jonggala
bersama delapan orang pengawas, yang merupakan jagoan-jagoan kerajaan, tidak mau
bertindak kepalang tanggung. Sadar bahwa keselamatan pekerja berada di
tangannya, maka begitu serangan lawan datang Pendekar Naga Putih mengerahkan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'-
nya. Dengan 'Ilmu Silat Naga Sakti' Panji menerjang maju.
"Aaahhh..."!"
Jonggala dan kawan-kawannya terkejut bukan main.
Pancaran kabut bersinar putih keperakan dan serbuan hawa dingin menggigit
menyebar dari pukulan-pukulan Panji, membuat mereka sadar siapa pemuda tampan
itu sebenarnya. Dan, kenyataan itu benar-benar mengejutkan mereka.
"Pendekar Naga Putih..."!"
Jonggala dan kawan-kawannya berseru hampir bersamaan. Mereka benar-benar tidak
menyangka Pendekar Naga Putih telah menyelundup ke dalam tempat yang tenaga
ketat itu. Tentu saja kenyataan itu membuat mereka harus bersungguh-sungguh
dalam menyiapkan serangan. Sedapat mungkin mereka hendak meringkus pendekar muda
itu. Tapi, Panji yang sangat mengkhawatirkan nasib para pekerja sudah membagi-bagikan
pukulan dan tendangan.
Kecepatan geraknya yang sukar diikuti mata membuat Jonggala dan jagoan-jagoan
Kerajaan Tampak Serang kelabakan! Terutama tekanan hawa dingin yang menyelimuti
sekitar arena. Sehingga, mereka harus memecahkan pikiran. Membangun dan membalas
serangan, sekaligus mengerahkan tenaga dalam untuk menahan serbuan hawa dingin.
Jelas, hal itu sangat
merepotkan dan tidak mudah!
Panji mempergunakan kesempatan dengan sebaik-baiknya. Melihat lawan-lawannya
kesulitan mengatasi serbuan hawa dingin serangannya, maka tidak terlalu sulit
bagi Panji untuk memilih sasaran. Dan....
Bukkk! Desss! "Aaarghhh...!"
Dua orang pengeroyoknya terpelanting muntah darah.
Sambaran tangan Pendekar Naga Putih yang dialiri tenaga dahsyat telah menewaskan
mereka dengan kulit kebiruan.
Terpaksa Pendekar Naga Putih menewaskan lawan-lawannya. Kalau tidak, sulit
baginya untuk menyelamatkan nyawa pekerja yang berada di belakangnya.
"Yeaaattt..!"
Lagi Pendekar Naga Putih melepaskan pukulan dahsyat dengan pengerahan seluruh
kekuatan tenaga mukjizatnya.
Tentu saja kehebatannya sulit diukur.
Blaaarrr...! Ledakan keras menggema saat lontaran pukulan Pendekar Naga Putih menghantam batu
cadas sebesar kerbau. Batu itu hancur berkeping-keping. Untunglah Jonggala dan
kawan-kawannya cepat menghindar. Jika tidak, pastilah tubuh mereka yang menjadi
sasarannya. Serangan Pendekar Naga Putih tidak berhenti sampai di situ. Begitu pukulan
pertamanya gagal, ia segera menyusuli dengan pukulan-pukulan berikutnya. Maksud-
nya jelas hendak mendesak jagoan-jagoan kerajaan.
"Yeeeaaattt...!"
"Aaa...!"
Empat orang jagoan yang terlambat menghindari
menjerit ngeri. Tubuh mereka terpental deras sejauh dua tombak leoih. Mereka
langsung tewas seketika dengan tubuh bagian dalam hancur. Bahkan tulang-tulang
mereka berpatahan atau lepas dari sambungan. Sehingga, saat keempat sosok mayat
itu jatuh ke tanah tak ubahnya sehelai kain basah.
Saat tempat di sekitarnya masih diselimuti debu tebal, Panji melayang ke
belakang. Gerakannya demikian cepat laksana sambaran kilat. Orang-orang hanya
melihat sesosok bayangan samar melayang di atas kepalanya.
"Ki Wiguna! Kita harus membawa mereka keluar.
Mereka bisa terbantai habis di tempat ini...!" begitu kedua kakinya menginjak
tanah, Panji langsung berkata kepada Ki Wiguna yang saat itu tengah mengamuk
dengan pedangnya.
"Arah mana yang harus kita ambil, Panji...?" tanya Ki Wiguna masih sempat
menyahuti, sambil tetap melepaskan sambaran pedangnya.
"Tunggulah, aku akan menjebol pagar di bagian selatan...!" sahut Panji. Pukulan
mautnya meluncur ke arah serombongan pasukan yang banyak memadati tempat itu.
Whusss...! Duaaarrr...!
Hebat sekali akibat lontaran pukulan jarak jauh Panji.
Puluhan prajurit melayang bagai diterpa angin topan.
Teriakan-teriakan ngeri terdengar mengiringi terpental-nya puluhan sosok tubuh
prajurit-prajurit yang jatuh dalam keadaan tewas.
Panji tak mempedulikan bagaimana nasib korban pukulannya. Setelah melepaskan
pukulan, tubuhnya
langsung melayang menuju arah selatan. Hanya dengan beberapa kali loncatan, ia
telah tiba di depan pagar kayu bulat yang membentengi sekeliling tempat itu.
Kemudian.... "Heaaahhh...!"
Dibarengi sebuah bentakan keras, Panji melepaskan pukulan kanannya dengan
kekuatan penuh.
Blarrr...! Pagar kayu bulat setinggi dua tombak itu pecah berhamburan. Seketika itu juga,
terciptalah sebuah pintu keluar selebar dua tombak lebih.
Setelah menjebol dinding kayu, Panji kembali melesat ke arah pertempuran.
Kemudian melayang turun di tengah kancah pertarungan.
"Aku akan cegah mereka, Ki Wiguna! Kau bawalah para pekerja keluar dari tempat
ini...!" seru Panji di tengah deruan senjata dan jerit kematian.
"Bagaimana kalau mereka mengejar...?" Ki Wiguna masih memperhitungkan
kemungkinan itu.
"Jangan khawatir, semuanya telah kuperhitungkan...!"
sahut Panji seraya membagi-bagikan pukulan dan tendangan, yang tentu saja
mendapatkan korban yang tidak sedikit. Sehingga, banyak perwira dan prajurit
kerajaan menghindari pemuda itu.
Dengan jalan yang dibuka Panji, Ki Wiguna dan rombongan pekerja bergerak menuju
dinding yang telah dijebol. Ranggala, Gowanta, dan tokoh-tokoh persilatan
lainnya ikut membantu usaha pelarian itu dengan menghalau siapa saja yang
menghalangi mereka. Sampai akhirnya, para pekerja keluar dengan berdesakan.
7 Seperti apa yang diperhitungkan Panji, untuk melarikan diri dari tempat itu
memang bukanlah suatu pekerjaan mudah. Terbukti kini Panji harus menghadapi
ratusan prajurit di bawah pimpinan belasan orang perwira dengan ditambah jagoan-
jagoan istana. Untuk itu Panji harus menguras tenaganya. Dan terpaksa bertindak
kejam. Jika tidak, dirinyalah yang akan menjadi korban kekejaman lawan.
Kali ini Panji harus mempertaruhkan nyawanya.
Ratusan lawan harus dihadapinya seorang diri. Sedangkan tokoh-tokoh lain
bertugas membawa para pekerja meninggalkan tempat yang bagai neraka itu.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, memang tidak sulit bagi Panji untuk
menghindari sambaran pedang maupun tombak yang mengancam tubuhnya. Bahkan, masih
bisa membalas dengan pukulan dan tendangan mematikan. Itu yang membuatnya dapat
bertahan. Karena lawan-lawannya agak gentar untuk menyerang dalam jarak dekat.
Setiap lawan maju mendekat selalu terpental balik dalam keadaan tak bernyawa.
Kendati demikian, Panji harus tetap waspada. Lengah sedikit saja bisa
mengakibatkan dirinya celaka.
"Jangan takut. Maju...!"
Jonggala yang kelihatannya lebih berperan dan mempunyai pengaruh besar selalu
memberi semangat. Di bawah perintahnya, para prajurit itu tidak ada yang berani
membantah. Mereka kembali maju menggempur Pendekar Naga Putih dengan senjata di
tangan. "Serbuuu...!"
Seiring dengan teriakan menggegap, ratusan prajurit kembali meluruk ke arah
Pendekar Naga Putih. Meski sebenarnya mereka merasa gentar, namun perintah
Jonggala tidak berani mereka bantah.
Panji berdiri tegak menunggu lawan tiba dekat.
Sepasang matanya mencorong tajam menggetarkan jantung. Serbuan hawa dingin yang
keluar dari tubuhnya membuat penampilan pemuda itu sungguh menggiriskan.


Pendekar Naga Putih 76 Neraka Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terlebih pada tubuhnya telah banyak dinodai darah lawan.
Sehingga, sosok Pendekar Naga Putih terlihat seperti iblis peminum darah!
"Siapa yang masih ingin hidup segera tinggalkan tempat ini! Jika tidak, terpaksa
aku akan mengirim kalian ke neraka...!" seru Pendekar Naga Putih memperingatkan
dengan mengerahkan tenaga dalamnya. Suaranya menggema dan terdengar sampai
belasan tombak jauhnya.
"Jangan takut! Lama kelamaan tenaganya pasti habis!"
Jonggala yang tidak ingin pasukannya menjadi gentar kembali berteriak memberi
semangat Para prajurit yang semula merandek pun bergerak maju seraya berteriak-teriak.
Jelas, mereka lebih takut kepada Jonggala ketimbang terhadap Panji yang telah
siap menanti kedatangan mereka dengan pukulan-pukulan mautnya.
"Haaattt...!"
Melihat para prajurit itu tidak mempedulikan peringatannya, Panji berteriak
keras memekakkan telinga.
Telapak tangannya didorong bergantian melontarkan pukulan jarak jauh.
Whuuusss.... Duaaarrr...! Ledakan keras terdengar susul-menyusul. Tubuh-tubuh prajurit Kerajaan Tampak
Serang beterbangan bagai dilanda angin topan. Dan terbanting jatuh dalam keadaan
tak bernyawa. Jonggala dan beberapa orang jagoan yang masih selamat menjadi geram melihat
sepak-terjang Pendekar Naga Putih yang menggiriskan. Mereka sadar kalau
didiamkan terus para prajurit bisa terbantai habis oleh pemuda tampan itu. Maka,
mereka pun berlompatan maju menerjang Pendekar Naga Putih.
"Haaattt..!"
"Yeaaattt..!"
Dibarengi teriakan-teriakan melengking, tubuh jagoan-jagoan kerajaan melayang
melewati kepala para prajurit.
Dan langsung menerjang Pendekar Naga Putih dengan serangan-serangan maut.
Bweeettt! Whuuuttt...!
Panji yang sebelumnya memang telah siap siaga, segera menggeser tubuhnya
menghindari serangan lawan.
Kemudian membalas dengan pukulan-pukulan mautnya.
Namun, kali ini Jonggala dan kawan-kawannya bertindak lebih hati-hati. Mereka
tidak berani sembarangan menyambut atau menangkis serangan pemuda itu. Dan,
mereka bertempur dengan menggunakan siasat licik.
Menyerang kemudian berlompatan mundur saat Pendekar Naga Putih melepaskan
serangan balasan. Agaknya,
mereka hendak menguras tenaga Pendekar Naga Putih dan baru akan melumpuhkan bila
tenaga pendekar muda itu semakin lemah.
"Kurang ajar...!" Pendekar Naga Putih memaki dalam hati melihat tindakan licik
lawan-lawannya. Tahu akan siasat lawan, Panji mengurangi lontaran serangan
balasannya. Dan baru membalas jika benar-benar memiliki peluang yang sangat
baik. Saat Pendekar Naga Putih tengah berusaha melumpuhkan jagoan-jagoan kerajaan yang
mengeroyoknya, tiba-tiba....
"Aaa...!"
Jerit kematian terdengar dari arah belakang Panji.
Disusul dengan suara beradunya senjata tajam. Kenyataan itu membuat Panji
menjadi cemas. Suara itu datang dari tempat Ki Wiguna dan para pekerja melarikan
diri. "Celaka...!" seru Panji terkejut. Apa yang didengar itu jelas merupakan pertanda
tidak baik. Panji langsung dapat menduga Ki Wiguna dan kawan-kawannya mendapat
hambatan untuk meninggalkan tempat celaka itu.
Tanpa pikir panjang lagi, Panji segera menggabungkan dua kekuatan mukjizat dalam
tubuhnya. Seketika itu juga tubuhnya memancarkan dua sinar yang memiliki sifat
berlawanan. Panji telah menggunakan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' pada bagian
sebelah kiri tubuhnya, dan
'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' pada bagian kanan. Itu berarti Pendekar Naga
Putih telah merasa benar-benar sangat memerlukan. Kalau tidak, Panji tidak akan
menggunakan dua kekuatan mukjizat itu secara bersamaan. Dan kali ini ia
melakukannya. "Yeaaattt...!"
Blaaang...! Dua sinar merah dan putih memancar membawa hawa panas dan dingin secara
bersamaan. Terjadilah ledakan mengguntur saat pukulan Pendekar Naga Putih
menghantam kerumunan prajurit, kendati sebenarnya pukulan itu ditujukan untuk
Jonggala dan kawan-kawannya. Sehingga, bangkai-bangkai pun semakin banyak
berserakan. Darah membanjiri bumi. Tampaknya, Bukit Cadas Hantu benar-benar
menjadi sebuah neraka. Tempat pembantaian dan penyiksaan manusia.
"Gila..."!"
Jonggala yang merasakan betapa dahsyatnya pukulan yang dilepaskan Panji menjadi
pucat wajahnya. Untunglah ia sempat menghindar, meski merasakan juga hawa dingin
dan panas menyengat kulitnya. Jonggala ngeri membayangkan pukulan itu melanggar
tubuhnya. Ia percaya tubuhnya akan hancur berkeping-keping bila terkena pukulan
maut itu. Panji sendiri tidak mempedulikan akibat pukulan dahsyatnya. Karena begitu
melepas pukulan, tubuhnya melayang menerobos pagar kayu bulat yang telah
dirobohkannya. Hatinya berdebar tegang menyaksikan Ki Wiguna beserta para tokoh
persilatan dan para pekerja menghadapi serbuan pasukan berkuda yang berjumlah
tidak kurang dari seratus orang. Pasukan itu dilengkapi dengan senjata.
Sehingga, Ki Wiguna dan kawan-kawannya mengalami kesulitan untuk menerobosnya.
Panji meluncur turun di luar pagar yang telah jebol.
Kemudian, membalikkan tubuh dan berdiri tegak menatap
Jonggala dan pasukannya yang berlarian mengejar keluar.
Tanpa pikir panjang lagi Pendekar Naga Putih memusatkan tenaga gabungannya.
Dan... "Heaaattt...!"
Dibarengi pekikan mengguntur, Pendekar Naga Putih mendorongkan sepasang telapak
tangannya ke tanah tempat pagar-pagar kayu yang jebol itu berdiri.
Whusss...! Serangkum angin pukulan berhawa panas dan dingin berhembus kuat. Hingga...
Blaaang! Debu mengepul tinggi membawa bongkahan tanah besar dan kecil beterbangan ke
udara. Tanah di sekitar tempat itu bergetar kuat seperti diguncang gempa.
Kejadian itu membuat Jonggala dan pasukannya berlarian mundur. Dan ketika
kepulan debu semakin tipis, di depan Jonggala dan pasukannya telah tercipta
sebuah lubang besar yang sangat dalam dan lebar. Sehingga, mereka tidak mungkin
dapat menyeberanginya.
Yakin kalau Jonggala dan pasukannya tidak mungkin dapat mengejar melalui tempat
itu, Panji memutar tubuhnya dan melayang ke arah pertempuran yang masih
berlangsung. Kemudian terjun ke tengah-tengah pertempuran dan membagi-bagikan
pukulan serta tendangan. Sehingga, tidak sedikit tubuh-tubuh prajurit kerajaan
yang terpental ke udara kemudian jatuh dengan nyawa putus!
"Lari! Biar aku yang menghadang mereka...!" seru Panji kepada Ki Wiguna yang
berada tak jauh dari tempatnya bertempur. Sambil berteriak, Panji
meningkatkan kecepatan dan kekuatan serangannya.
Hingga dirinya menjadi pusat perhatian lawan.
"Yeaaattt...!"
Dengan pekikan mengguntur Pendekar Naga Putih melayang ke udara. Dari atas kedua
tangannya melepaskan pukulan susul-menyusul. Lalu, berjungkir balik beberapa
kali dan meluncur turun di tengah-tengah pasukan lawan.
Sebelum kakinya menginjak tanah, pukulan-pukulannya datang menderu membuat lawan
kalang-kabut! Kesempatan itu tentu saja dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ki Wiguna. Ia
berteriak mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya agar para tokoh persilatan dan
pekerja mengikuti perintahnya. Beberapa belas prajurit yang mencoba menghalangi
langsung dirobohkan dengan sambaran pedang.
Melihat Ki Wiguna dan yang lainnya mulai bergerak meninggalkan medan
pertempuran, Panji segera membantu dengan menewaskan lawan yang coba
menghalangi. Dan berusaha agar pasukan Kerajaan Tampak Serang lebih tertarik
kepadanya. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang telah mencapai titik kesempumaan, Panji
bergerak cepat.
Sehingga, pasukan kerajaan seperti tengah berhadapan dengan banyak orang.
Padahal, lawannya cuma Panji seorang. Yang berusaha menggiring prajurit-prajurit
itu agar berkumpul dalam satu arah.
Tentu saja Panji harus berkelebat ke sana kemari sambil membagi-bagikan pukulan
dan tendangan. Sehingga, lawan-lawannya terdesak mundur dan tidak lagi menyebar seperti semula.
Setelah pasukan prajurit di bawah pimpinan belasan perwira itu terpisah dari Ki
Wiguna dan kawan-kawannya, Pendekar Naga Putih melenting ke udara.
Dan, meluncur turun dalam jarak tiga tombak di depan tentara Kerajaan Tampak
Serang. "Hmmm...!"
Panji berdiri tegak menyatukan pikiran. Dua kekuatan mukjizat dalam tubuhnya
segera digabungkan.
Kemudian.... "Heaaattt...!"
Diiringi teriakan membahana, Panji melepaskan pukulan gabungan dua tenaga sakti
yang berkekuatan luar biasa. Hawa dingin dan panas menyebar saat sinar putih dan
merah meluncur menghantam tanah.
Blarrr...! Sebuah lubang besar yang dalam kembali tercipta menghalangi pasukan Kerajaan
Tampak Serang. Beberapa puluh prajurit di barisan terdepan terpental dan jatuh
ke dalam lubang. Tentu saja perbuatan pendekar muda itu sangat mengejutkan
lawan-lawannya. Kegentaran mulai merambati hati mereka. Sehingga, tak seorang
pun yang melakukan pengejaran.
Panji menunggu sampai Ki Wiguna dan yang lainnya lari jauh dari tempat itu.
Beberapa lubang masih dibuatnya dengan melontarkan pukulan-pukulan hasil
gabungan dua kekuatan mukjizat dalam tubuhnya. Sehingga, pasukan lawan benar-
benar merasa gentar terhadap pendekar muda yang digdaya itu.
Cukup lama Panji berdiri menunggu di tempat itu.
Baru kemudian bergerak pergi setelah yakin Ki Wiguna
dan yang lainnya telah pergi jauh dan tidak mungkin dapat dikejar lagi.
*** Dengan ilmu lari cepatnya yang tinggi Pendekar Naga Putih menyusul rombongan Ki
Wiguna. Ia menemukan mereka tengah beristirahat di sebuah sungai yang berair
jernih. Panji segera menghampiri Ki Wiguna dan tokoh-tokoh persilatan yang
tengah melepas lelah. Sementara para pekerja yang selamat membersihkan diri
sambil melepas dahaga sepuas-puasnya.
"Apa yang selanjutnya harus kita perbuat, Panji" Bukan mustahil prajurit
kerajaan akan kembali mendatangi desa-desa untuk membawa pekerja-pekerja baru.
Sedangkan kita tidak mungkin terus-menerus menghadapi mereka.
Lambat atau cepat kita pasti akan kalah. Karena pihak kerajaan memiliki banyak
prajurit terlatih," Ki Wiguna langsung mengutarakan apa yang ada dalam
pikirannya. Panji tidak segera menjawab. Ditatapnya lima belas tokoh persilatan yang berada
di sekelilingnya. Terdengar helaan napas beratnya yang berkepanjangan. Dari
kerutan pada keningnya, terlihat jelas betapa Panji tengah berpikir untuk
menjawab pertanyaan Ki Wiguna, yang juga menjadi pertanyaan bagi dirinya.
"Apakah di antara kalian ada yang mempunyai usul...?"
tanya Panji kepada tokoh-tokoh persilatan.
Ki Wiguna menggeleng. Kemudian merayapi wajah tokoh-tokoh lainnya satu persatu.
Tapi, semuanya menggelengkan kepala. Masalah itu memang sulit untuk
dipecahkan. "Jika demikian, terpaksa aku akan mendatangi kotaraja untuk menemui Gusti Prabu
Pungga Dewa. Hal ini tidak bisa didiamkan berlarut-larut. Kita harus mengakhiri
penderitaan rakyat! Kalau bisa, aku akan mengingatkan Gusti Prabu Pungga Dewa.
Dan meminta kebijaksanaan-nya untuk menghentikan perbuatan gila ini!" ujar Panji
kemudian. "Gila! Itu sama saja dengan bunuh diri, Panji. Untuk menemui Gusti Prabu Pungga
Dewa bukanlah pekerjaan yang mudah. Terlebih di sana banyak jagoan-jagoan istana
yang berkepandaian tinggi. Kau bisa ditangkap dan dihukum mati!" Ki Wiguna yang
terkejut mendengar ucapan Panji langsung menukas. Jelas ia tidak setuju dengan
tindakan yang sangat berbahaya itu. Apalagi, sekarang mereka merupakan buronan
pemerintah. Memasuki kotaraja sama saja dengan bunuh diri.
"Tidak ada jalan lain yang bisa kita lakukan. Biarlah aku mempertaruhkan nyawa
untuk kepentingan orang banyak.
Kuharap kalian ikut berdoa agar usahaku berhasil demi kebaikan dan ketenteraman
rakyat banyak," ujar Panji bersikeras dengan usulnya. Karena memang tidak ada
jalan lain kecuali menghadap Gusti Prabu Pungga Dewa.
Mendengar keputusan Panji yang kelihatannya tidak bisa dirubah lagi, Ki Wiguna
dan para tokoh persilatan tidak ada yang angkat bicara. Mereka terdiam. Terharu
akan pengorbanan pemuda tampan itu, yang rela mempertaruhkan nyawanya meski
harus memasuki sarang macan.
"Sebaiknya kalian mencari tempat persembunyian yang
baik. Penduduk tidak bisa kembali ke desanya masing-masing sebelum persoalan ini
selesai. Kelak aku akan datang untuk memberi kabar. Jika dalam tujuh hari aku
belum menemui kalian, itu berarti usahaku menemui jalan buntu. Kemungkinan aku
tewas atau tertawan pihak kerajaan," ujar Panji memberikan saran.
"Baiklah, Panji. Kami akan menuruti saranmu. Kau sendiri ajaklah beberapa orang
untuk menemanimu. Aku akan membawa penduduk ke Hutan Panawangan. Di sana kami
akan menunggu kedatanganmu," ucap Ki Wiguna yang akhirnya terpaksa menyetujui
usul Panji. Walau demikian, ia menawarkan agar Panji membawa beberapa orang
tokoh. "Maaf, kawan-kawan. Bukannya aku meremehkan kepandaian kalian. Tapi, menurut
hematku akan lebih baik jika aku datang sendiri. Selain tidak akan menarik
perhatian, juga bisa mudah menyelinap ke dalam istana.
Harap kalian tidak berkecil hati dan memaklumi ucapanku," Panji menukas dan
tidak bisa menerima usul Ki Wiguna.
Apa yang dikatakan Panji memang bukan mengada-ada. Ki Wiguna maupun tokoh-tokoh
persilatan lainnya maklum bahwa perkataan itu memang benar adanya.
Mereka tidak merasa tersinggung, apalagi diremehkan.
"Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, kami tidak bisa berkata apa-apa. Kami
harap kau berhati-hati. Bukan tidak mungkin prajurit-prajurit dan pembesar
kotaraja telah mendengar peristiwa ini, dan tengah membicarakan dirimu. Begitu
kau masuk ke dalam kotaraja, mungkin mereka akan menyergapmu," akhirnya Ki
Wiguna mengalah dan hanya berpesan kepada Panji.
"Terima kasih. Percayalah, aku tidak akan bertindak gegabah. Nah, aku pergi
dulu...," usai berkata demikian, Panji segera melesat menuju arah barat Karena
pusat pemerintahan Kerajaan Tampak Serang terletak di sebelah barat tempat itu.
Ki Wiguna dan tokoh persilatan lainnya hanya bisa memandang kepergian Pendekar
Naga Putih dengan wajah penuh harapan. Tentu saja mereka berharap usaha Panji
berhasil. Dengan demikian, rakyat akan kembali hidup tenang.
*** 8 "Mudah-mudahan Kenanga tidak kecewa karena aku terlalu lama menyusulnya. Dia
pasti mengerti dengan keadaan ini. Hambatan ini bukan semata-mata karena aku
sengaja tidak ingin segera menemuinya. Ia pasti maklum.
Apa yang kulakukan ini adalah tugasku sebagai penegak keadilan...," gumam Panji
seraya berlari dengan menggunakan ilmu lari cepatnya. Sebab, ia harus segera
tiba di Kotaraja Tampak Serang.
Sebagaimana diketahui, saat ini Panji tengah dalam perjalanan menuju Kadipaten
Tumapel. Di sana Kenanga berharap agar Panji segera menyusulnya. Tapi,
perjalanan Panji kembali terhambat. Ia menemukan sebuah persoalan yang tidak
bisa ditinggalkannya begitu saja. Sebagai seorang pendekar, ia berkewajiban
untuk menegakkan keadilan dan memberantas segala bentuk kejahatan. Dan ia harus
mengenyampingkan persoalan pribadi demi kepentingan orang banyak. (Untuk
mengetahui mengenai perpisahan Panji dengan Kenanga dapat dibaca dalam episode:
"Rase Perak").
Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, akhirnya Panji tiba di Kotaraja
Tampak Serang. Saat itu matahari tengah memancarkan sinarnya yang hangat ke bumi. Udara tidak
begitu panas. Apalagi, tiupan angin masih terasa segarmembelai wajah. Panji
melangkah lebar memasuki gerbang kotaraja.
Pemuda itu menekan ketegangan hatinya saat hendak


Pendekar Naga Putih 76 Neraka Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melewati pintu gerbang yang terjaga ketat. Dengan tenang dilangkahkan kakinya
perlahan melewati gerbang bersama beberapa orang pedagang. Hatinya baru merasa
lega ketika para penjaga pintu gerbang tidak menahannya.
Hingga, Panji berpendapat kabar tentang kekacauan di Bukit Cadas Hantu
kemungkinan besar belum sampai ke kotaraja. Itu berarti ia masih bisa bergerak
leluasa tanpa khawatir dicurigai.
Karena saat itu hari masih pagi, Panji memutuskan untuk langsung menuju istana.
Ia berharap dapat bertemu Prabu Pungga Dewa yang menjadi penguasa tertinggi di
Kerajaan Tampak Serang.
"Berhenti...!"
Dua orang prajurit penjaga pintu gerbang istana, segera menyilangkan tombaknya
menghadang pintu masuk. Padahal, saat itu Panji masih berada sekitar dua tombak
dari pintu gerbang. Hal itu menandakan bahwa penjaga-penjaga pintu gerbang
istana sangat sigap dan cekatan.
Panji menghentikan langkahnya dalam jarak satu tombak. Kemudian, mengangguk
sopan kepada dua penjaga yang menghadangnya. Panji tidak peduli walau penjaga-
penjaga itu sedikit pun tidak membalas anggukannya.
"Hamba hendak menghadap Gusti Prabu Pungga Dewa. Ada sesuatu kepentingan yang
sangat mendesak dan harus segera dilaporkan. Harap Tuan-tuan melaporkan tentang
kedatangan hamba..." ujar Panji dengan penuh sopan dan bibir tersenyum. Tentu
saja ia berharap mendapat izin untuk menghadap Prabu Pungga Dewa.
"Hm... Kau benar-benar lancang, Kisanak!" tukas salah satu dari kedua penjaga
itu sinis. "Untuk menghadap Gusti Prabu Pungga Dewa bukanlah suatu hal yang
mudah dan bisa dilakukan sembarang waktu. Kalau kau mempunyai kepentingan, harus
melaporkannya terlebih dulu kepada kepala jaga. Nanti kepala jaga yang
memutuskan apakah kau bisa menghadap atau tidak. Andaikata bisa pun masih harus
ditentukan waktunya. Juga belum tentu Gusti Prabu yang langsung menangani. Semua
ada peraturannya, Kisanak."
Mendengar penjelasan penjaga, Panji menjadi bingung.
Ia memang sedikit mengerti tentang peraturan yang berlaku di istana. Meski ia
tidak suka dengan segala peraturan yang bertele-tele, tetap saja semua itu harus
diturutinya. Dan ia pun menghargai peraturan itu.
"Kalau begitu, hadapkanlah aku pada kepala jaga kalian.
Mudah-mudahan beliau bisa mengerti betapa pentingnya urusanku ini," ujar Panji
masih dengan sopan.
Meskipun sinis, penjaga itu mau juga menghadapkan Panji kepada pimpinannya. Dan
Panji segera mengutarakan maksud kedatangannya kepada seorang perwira pendek
gemuk yang wajahnya berminyak. Kendati perwira itu terlihat angkuh, Panji tidak
ambil peduli. Dengan jujur ia menerangkan maksud kedatangannya.
"Jadi persoalan itu yang membawamu kemari?" tanya perwira gendut setelah
mendengar penjelasan Panji.
Sambil berkata demikian, sepasang matanya meneliti sosok Panji dengan seksama.
Ada kilatan aneh pada sepasang mata perwira itu. Bahkan, ia terlihat
menyembunyikan senyum licik. Dan Panji tahu semua itu.
"Sebelum menemui Gusti Prabu, kau terlebih dahulu harus bertemu dengan Senapati
Godamarta. Mari ikut aku...," ujar perwira gendut. Lalu, bangkit berdiri dan
melangkah menuju sebuah bangunan megah tempat kediaman Senapati Godamarta.
Tanpa membantah Panji mengikuti langkah kepala jaga. Kewaspadaannya tentu saja
tidak dilupakan. Sebab, sikap dan cara memandang perwira gendut itu menimbulkan
kesan tidak enak di hatinya.
Di sebuah ruangan yang cukup luas Panji diperintahkan untuk menunggu. Sedangkan
kepala jaga itu bergegas meninggalkannya. Ia harus segera kembali ke pos.
Tinggallah Panji seorang diri di dalam ruangan itu.
Tidak berapa lama setelah perwira gendut itu lenyap, tiba-tiba dari empat pintu
di kiri-kanan ruangan bermunculan delapan orang bersenjata. Sinar mata mereka
menunjukkan gelagat tidak baik. Cepat Panji bergerak bangkit.
"Tangkap pemuda itu! Kalau perlu bunuh...!"
terdengar suara parau yang mengejutkan.
Dari balik daun pintu depan Panji, agak ke kiri, muncul seorang lelaki tinggi
besar bercambang bauk.
Lelaki itulah yang bernama Godamarta dan menjabat sebagai senapati di Kerajaan
Tampak Serang. Anehnya, ia terlihat sangat membenci dan memusuhi Panji.
Melihat keadaan di sekelilingnya, sadarlah Panji kalau ia telah masuk perangkap.
Tapi Panji tidak menjadi gentar. Ia hanya merasa penasaran dengan tindakan tidak
adil Senapati Godamarta.
"Tuan Senapati. Kedatangan hamba adalah membawa
maksud baik. Hamba datang dengan membawa suara rakyat yang menderita. Harap Tuan
Senapati suka menghadapkan hamba kepada Gusti Prabu Pungga Dewa,"
ujar Panji hendak memastikan kalau-kalau Senapati Godamarta telah salah
menafsirkan maksud kedatangannya. "Karena itulah kau harus dilenyapkan, Pendekar
Naga Putih! Aku sudah tahu begitu melihatmu. Di tempat ini kau jangan menganggap
dirimu paling hebat sejagat. Kau telah membuat susah dengan ulahmu itu.
Sekarang, terimalah ganjarannya...!" tukas Senapati Godamarta kembali mengulang
perintahnya. Delapan orang bersenjata di kiri kanan Panji bergerak maju. Mereka sepertinya
cukup mengenal siapa yang harus dihadapi. Terbukti, sikap mereka demikian hati-
hati dan tidak berani memandang rendah.
Kendati belum mengerti mengapa Senapati Godamarta memusuhinya, Panji tidak mau
pasrah diperlakukan seperti itu. Melihat delapan orang jagoan andalan Senapati
Godamarta sudah bergerak maju, Panji menggeser langkahnya ke tengah ruangan. Ia
memang tidak perlu banyak bicara lagi. Sikap dan ucapan Senapati Godamarta telah
menjelaskan segalanya.
"Haaattt...!"
Empat jagoan di sebelah kanan Panji bergerak menerjang dengan senjata di tangan.
Serangan mereka yang kuat dan mematikan menyadarkan Panji bahwa nyawanya hendak
diambil. Tentu saja Panji tidak sudi!
"Haiiittt...!"
Begitu serangan lawan tiba, Panji melenting ke udara.
Dari atas ia melepaskan pukulan-pukulan cepat dan kuat ke arah empat orang
lawannya. Namun, mereka ternyata cukup gesit dan sanggup menghindar dari
serangan Panji yang agak tak terduga. Dan sebelum Panji melanjutkan serangannya,
empat orang di sebelah kirinya datang mengeroyok. Sehingga, Panji terpaksa
menunda serangannya. Dan dengan mengandalkan kegesitannya menghindari sambaran
pedang lawan yang berkesiutan di sekitar tubuhnya.
"Hahhh..."!"
Beeeddd! Gagal dengan serangan pedang, salah seorang pengeroyok melepaskan pukulan lurus
ke dada Panji. Namun dengan gerakan yang sukar diikuti mata, Panji dapat mengelak. Bahkan
langsung mengirim serangkaian serangan balasan.
Whuuukkk...! Cakar naga Panji meluncur siap menghantam tubuh penyerangnya. Pengeroyok lainnya
tidak tinggal diam.
Mereka serentak menerjang melindungi kawannya.
Plakkk! Plakkk!
Panji merasakan lengannya agak tergetar saat bertemu dengan lengan dua orang
lawan. Meski kedua lawannya sempat tergetar mundur. Namun, Panji segera maklum
mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Apalagi Senapati Godamarta telah
mengetahui siapa dirinya.
Tentunya delapan orang itu telah diperhitungkan kepandaiannya. Dan mereka memang
tangguh. Panji baru tahu setelah lengannya bergetar saat berbenturan tadi.
"Mampusss...!"
Whuuuettt..! Dua batang pedang datang menjepit Panji dari kiri-kanan. Desing tajam yang
menusuk telinga membuat Panji menekuk kedua lututnya dengan kuda-kuda silang.
Kemudian, menggeser kaki kanannya dari dalam keluar.
Tubuhnya meliuk menghindari dua mata pedang yang siap menghunjam sasaran.
Pedang-pedang itu hanya sejengkal lewat di atas punggungnya. Dan Panji
mengangkat kedua tangannya. Lalu, diputar begitu lengan lawan terlibat.
"Haaahhh!"
Dibarengi sebuah bentakan keras Panji menghajar kedua lawannya dengan gedoran
punggung tangan. Saat melakukan gerakan itu ia masih mengunci tangan mereka di
ketiak. Dan ...
Bukkk, bukkk! Kuat bukan main pukulan yang dikerahkan Panji.
Tubuh mereka terlempar ke belakang sejauh dua tombak.
Bahkan, sampai membentur dinding ruangan. Dan, jatuh menggeloso di lantai. Wajah
mereka pucat dengan kulit agak kebiruan. Untuk sesaat mereka menggigil. Kemudian
roboh tak sadarkan diri setelah memuntahkan darah kental.
"Keparat...!" Senapati Godamarta geram bukan main melihat jagoan andalannya
dapat dirobohkan. Ia sudah siap untuk terjun ke gelanggang pertempuran.
"Haaaiiittt...!"
Panji melenting ke udara seiring teriakannya. Empat batang pedang yang datang
mengancam mengenai angin kosong di bawahnya. Dari atas Pendekar Naga Putih
mengirimkan serangkaian pukulan yang amat kuat dan
menerbitkan hawa dingin menusuk tulang.
"Aaakkkh...!"
Dua orang lawan terpekik kaget. Tubuh mereka terjungkal ke lantai. Dan
menggeletak tewas dengan batok kepala retak terkena cengkeraman cakar naga
Pendekar Naga Putih.
Dua lainnya berhasil menangkis. Meski untuk itu mereka harus jatuh bergulingan.
Karena tenaga mereka kalah kuat. Selain harus mengusir hawa dingin yang merasuk
ke dalam tubuh. Sehingga, untuk beberapa saat mereka tidak mampu melanjutkan
pertarungan. Tapi, pada saat yang bersamaan, Senapati Godamarta bertindak curang. Tubuhnya
melayang dengan sebuah tendangan mengarah ke tubuh Pendekar Naga Putih.
Sedangkan saat itu Panji tengah melepaskan pukulannya dari udara. Sehingga....
Deeesss...! "Hukkkh...!"
Tendangan keras itu tidak sanggup dielakkan Pendekar Naga Putih. Tubuh pemuda
itu terlempar sampai menjebol dinding ruangan, dan terus bergulingan di ruangan
lain. Sadar bahwa dirinya berada dalam sarang harimau, Pendekar Naga Putih bergegas
melenting bangkit dengan dadanya terasa nyeri. Pemuda itu menjebol dinding
ruangan dengan pukulannya. Terus melesat pergi meninggalkan tempat itu.
"Kepung! Tangkap! Jangan biarkan penjahat itu lolos...!" Senapati Godamarta
berteriak-teriak memerintahkan para prajuritnya.
Panji sendiri sempat kaget melihat bagian luar bangunan. Ia telah dikurung oleh
prajurit-prajurit kerajaan. Tapi, ia tidak ambil peduli. Dengan mengerahkan
tenaga gabungan untuk melindungi tubuhnya dari hujan anak panah, Panji menerobos
barisan prajurit.
Syuuuttt, suuuttt...!
Trakkk! Trakk! Trakkk!
Belasan anak panah berpatahan runtuh ke tanah.
Pendekar Naga Putih terus melesat sambil tetap mengibaskan kedua tangannya untuk
merobohkan enam prajurit di depannya. Kemudian, melesat pergi tanpa mempedulikan
teriakan Senapati Godamarta yang sangat berang.
"Keparat!" Senapati Godamarta hanya bisa membanting kaki. Pendekar Naga Putih
berhasil lolos dari jebakannya.
*** Saat itu kegelapan telah menyelimuti persada. Suara binatang malam saling
bersahutan menyemaraki suasana.
Langit yang hanya diterangi sinar bulan sabit, tampak kelam. Gemintang pun tidak
begitu banyak bergantungan menemani malam.
Di sebuah bangunan tua yang terletak di luar kotaraja Panji tengah duduk
bersemadi. Luka dalam akibat tendangan Senapati Godamarta sudah hilang, dan
dadanya tidak lagi terasa nyeri. Kesehatannya telah pulih seperti sediakala.
Beberapa saat kemudian, Panji menyelesaikan semadinya. Pemuda itu bergerak
bangkit dan menatap
langit kelam sesaat. Terus melesat dengan kecepatan tinggi menuju kotaraja.
Sebentar kemudian, bayangannya telah lenyap ditelan kegelapan malam.
Dengan kepandaian yang dimiliki Panji memasuki kotaraja dengah sembunyi-
sembunyi. Ia berniat menemui Gusti Prabu Pungga Dewa di dalam istananya. Hatinya
masih belum puas kalau belum berhadapan langsung dengan penguasa negeri itu. Ia
ingin mendapat kepastian bagaimana sikap Prabu Pungga Dewa dalam masalah itu.
Karena selain penguasa tertinggi Kerajaan Tampak Serang, tidak ada lagi yang
dipercayainya. Pengalaman itu diperolehnya tadi pagi ketika menemui Senapati
Godamarta. Panji tidak ingin tertipu untuk kedua kali.
Bagai hantu keluar mencari mangsa, Panji berkelebat menyusup ke dalam bangunan
induk. Dari pengalaman-pengalamannya berpetualang Panji cukup tahu di mana ia
bisa menemui penguasa negeri. Tentu saja ia tidak bertindak ceroboh untuk
memasuki istana yang terjaga ketat itu.
Tidak sulit bagi Panji menyelinap masuk ke dalam istana, tanpa sepengetahuan
para penjaga. Setelah melewati beberapa buah kamar, Panji dapat memastikan di
mana tempat peraduan Prabu Pungga Dewa. Hanya dengan tekanan telapak tangan,
pintu kamar itu terbuka tanpa mengeluarkan suara yang berarti. Bergegas Panji
menyelinap masuk ke dalam kamar.
Dengan hati-hati disingkapnya penutup pembaringan yang berbau harum semerbak.
Perlahan Panji menyentuh sesosok tubuh yang memiliki raut wajah menyinarkan
keagungan. Tubuh itu tersentak dan membuka mata.
Prabu Pungga Dewa kaget melihat seorang pemuda tanpan berjubah putih berada di
dalam kamarnya. Tapi ketika ia hendak membentak marah, jemari tangan Panji
bergerak cepat melakukan totokan. Sehingga, Prabu Pungga Dewa seketika tidak
bisa berbicara.
"Maafkan kelancangan hamba, Gusti Prabu...," ujar Panji segera berlutut
menyembah lelaki berwajah agung itu. Sikapnya menunjukkan bahwa ia tidak
bermaksud jahat. Panji menengadahkan wajah untuk melihat tanggapan Prabu Pungga
Dewa. "Hamba hanya ingin menyampaikan suatu berita yang menyangkut kepentingan rakyat
banyak. Hamba sudah mencoba untuk menghadap secara baik-baik, namun malah
terancam bahaya. Terpaksa hamba melakukan kelancangan ini...," ujar Panji lagi.
Dilihatnya sinar kemarahan pada sepasang mata itu lenyap. Panji lalu bergegas
membebaskan pengaruh totokannya.
"Apa sebenarnya yang kau inginkan, Pemuda gagah?"
tanya Prabu Pungga Dewa setelah menarik napas beberapa kali. Ditatapnya wajah
tampan di depannya dengan sinar mata penuh keheranan.
Tanpa banyak cakap Panji menceritakan keperluannya.
Juga tentang perlakuan Senapati Godamarta yang telah menjebak dan hampir
mencelakakan dirinya. Semua itu diucapkan Panji dengan periahan dan jelas,
membuat kening Prabu Pungga Dewa berkerut. Kelihatan sekali penguasa negeri itu
tak percaya dengan keterangan Panji.
Tapi, melihat sikap dan tindakan Panji yang nekat menemuinya, Prabu Pungga Dewa
mulai percaya. "Hm...," Prabu Pungga Dewa mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar uraian
Panji. Terlihat kilatan marah pada sepasang matanya. Tapi, jelas bukan ditujukan
kepada Panji. "Kau siapa, Pemuda gagah" Mengapa berani mempertaruhkan nyawa demi kepentingan
orang banyak?"
tanya Prabu Pungga Dewa dengan lembut, mencerminkan sifat bijaksana dan penuh
kasih. "Hamba bernama Panji, Gusti Prabu. Hamba sedikit pun tidak mengharapkan apa-apa
dalam melakukan kebajikan. Menurut hamba, semua ini memang sudah menjadi
kewajiban bagi setiap manusia yang menginginkan keadilan dan ketenteraman,"
sahut Panji dengan heran.
Sikap Prabu Pungga Dewa sama sekali tidak menunjukkan ketamakan maupun
kebengisan. Bahkan, terkesan bijaksana dan penuh keadilan. Sikap itu membuat
Panji tidak habis mengerti.
"Kau pastilah termasuk kaum persilatan. Apakah kau mempunyai julukan?" tanya
Prabu Pungga Dewa yang kelihatan semakin tertarik dengan pemuda tampan yang
sopan dan manis budi bahasanya itu.
"Benar, hamba adalah orang persilatan yang kasar dan kurang memiliki kesopanan,
Gusti Prabu. Orang-orang menjuluki hamba Pendekar Naga Putih...."
"Aaahhh..."! Jadi kaulah rupanya yang dijuluki Pendekar Naga Putih. Sungguh
gembira aku dapat berjumpa denganmu, Pendekar Naga Putih. Namamu demikian harum
dipuja banyak orang," Prabu Pungga Dewa rupanya pernah mendengar julukan Panji.
Dan itu membuat Panji merasa lega, berarti ia akan lebih
dipercaya lagi.
"Terima kasih Gusti Prabu...," ucap Panji tetap merendah. Kendati Prabu Pungga
Dewa jelas-jelas telah memujinya.


Pendekar Naga Putih 76 Neraka Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengenai istana peristirahatan, sebenarnya sudah lama kubatalkan. Karena
setelah kutinjau, tempat itu terdiri dari batu-batu padas yang keras dan sulit
dihancurkan. Kalau sekarang ada orang yang mengumpulkan pekerja dan hendak
mengikis bukit itu dengan alasan untuk membangun istana peristirahatan, jelas
tidak benar. Rupanya, desas-desus yang kudengar di kalangan pembesar istana ada
benarnya," ujar Prabu Pungga Dewa mengejutkan Panji. Ternyata niat untuk
membangun istana peristirahatan di Bukit Cadas Hantu telah dibatalkan.
"Tapi orang-orang yang mempekerjakan penduduk secara paksa adalah orang-orang
kerajaan, Gusti Prabu.
Bahkan, kabarnya mereka memiliki surat resmi bercap kerajaan?" Panji kembali
menegasi penjelasannya. Karena Prabu Pungga Dewa membantah apa yang
diceritakannya tadi.
"Kurang ajar! Mereka jelas telah mencemarkan nama baik Kerajaan Tampak Serang.
Untuk perbuatan itu mereka harus mendapat hukuman berat!?"
Prabu Pungga Dewa kelihatan marah besar mendengar perkataan Panji.
"Apakah mereka pihak luar yang sengaja mencemarkan nama Kerajaan Tampak Serang,
Gusti?" tanya Panji belum bisa menebak apa sebenarnya yang terjadi di dalam
Kerajaan Tampak Serang.
"Seperti yang kukatakan tadi, ada selentingan kabar tentang pejabat yang hendak
memberontak. Kemungkinan besar di Bukit Cadas Hantu hendak didirikan benteng
bagi kelompok pemberontak itu. Karena, istana peristirahatan yang pernah hendak
kubuat sudah kubatalkan. Sekarang aku yakin siapa yang menjadi biang keladi
semua ini!"
tegas Prabu Pungga Dewa menyimpan kemurkaan.
"Maksud Tuanku Gusti yang berkhianat adalah Senapati Godamarta...?" terka Panji.
Karena Senapati itulah yang telah menjebak dan menghalanginya berjumpa dengan
Gusti Prabu Pungga Dewa.
"Tepat! Memang Senapati Godamartalah yang menjadi biang keladi semua ini. Aku
akan segera memerintahkan prajurit-prajuritku untuk meringkusnya. Untuk ke Bukit
Cadas Hantu sendiri akan kukirim pasukan guna meringkus para pemberontak itu.
Mereka harus ditumpas habis sampai ke akar-akarnya!" tegas Prabu Pungga Dewa.
"Jika demikian, berarti persoalan ini telah selesai.
Karena untuk menumpas para pemberontak itu tentunya Gusti Prabu tidak memerlukan
tenaga hamba. Sebab, di istana ini banyak terdapat orang pandai yang sanggup
melakukannya...," ujar Panji dengan perasaan lega. Tidak disangkanya kalau persoalan itu demikian sederhana. Ia
tidak periu bersusah-payah lagi.
"Kurang lebih begitulah, Panji. Dan untuk penderitaan serta kerugian rakyat akan
segera kukirimkan pengganti-nya. Kupercayakan kepadamu untuk menyerahkan
pengganti kerugian kepada mereka. Juga sampaikan permintaan maafku...," ujar
Prabu Pungga Dewa, membuat Panji semakin kagum dan tunduk kepada raja
yang ternyata adil dan bijaksana itu.
Malam itu juga Prabu Pungga Dewa memanggil Senapati Godamarta. Dan memerintahkan
dua orang senapati lainnya untuk membawa seribu prajurit-prajurit pilihan guna
menumpas para pemberontak di Bukit Cadas Hantu. Panji sendiri tetap berada di
samping Prabu Pungga Dewa. Itu atas permintaan Prabu Pungga Dewa.
Dengan tujuan agar Pendekar Naga Putih merasa puas.
Senapati Godamarta serta pengikut-pengikutnya dijebloskan ke dalam tahanan dan
menanti hukuman gantung. Pagi harinya, Panji yang terpaksa tidak beristirahat
semalaman suntuk ditugaskan Prabu Pungga Dewa untuk membawa pengganti kerugian
bagi rakyat. Gusti Prabu mengirimkan makanan serta ribuan keping uang. Sekaligus permintaan
maaf dari Gusti Prabu Kerajaan Tampak Serang.
"Setelah tugasmu selesai, kalau kau tidak mempunyai kepentingan lain singgahlah
ke istanaku, Pendekar Naga Putih. Tentu saja ini merupakan undangan resmi. Kapan
saja kau sempat, pintu istanaku selalu terbuka untuk-mu...," pesan Prabu Pungga
Dewa sesaat sebelum kereta kuda yang dibawa Panji bergerak meninggalkan halaman
istana. "Terima kasih, Gusti. Hamba akan ingat hal itu...,"
sahut Panji penuh hormat. Kemudian menghela empat ekor kuda yang menarik kereta.
Dan bergerak meninggalkan kotaraja. Diiringi pandang mata Prabu Pungga Dewa yang
terkesan dan kagum terhadap pendekar muda itu.
*** Kedatangan Panji di Hutan Panawangan disambut dengan suka-cita. Apalagi, kabar
yang dibawa pendekar muda itu benar-benar melegakan hati. Terutama para penduduk
yang mendapatkan makanan serta kepingan uang dari Prabu Pungga Dewa. Langsung
saja mereka yang semula mengutuk, berbalik memuji tak habis-habisnya.
Ki Wiguna dan tokoh-tokoh persilatan lainnya menyalami Panji dengan wajah
berseri. Mereka benar-benar kagum atas tindakan Panji yang demikian berani
mempertaruhkan nyawa. Mereka merasa mendapat contoh yang baik dari sosok
pendekar muda itu. Tindakan Pendekar Naga Putih telah menanamkan semangat serta
jiwa kependekaran yang semakin tebal dalam hati mereka.
"Sahabat-sahabat sekalian. Maaf, kalau aku tidak bisa menemani kalian lebih
lama. Ada sesuatu keperluan yang agak mendesak. Karena itu, aku mohon pamit...,"
ucap Panji kepada tokoh-tokoh persilatan yang mengelilinginya.
Ki Wiguna dan kawan-kawannya tentu saja maklum akan banyaknya tugas-tugas Panji.
Mereka tidak berusaha mencegah kepergian pemuda itu. Dan melepaskannya dengan
tatapan mata penuh kebanggaan dan juga haru.
Bangga bahwa dalam golongan mereka telah muncul seorang tokoh muda .yang dapat
diandalkan, baik dalam kepandaian maupun budi pekertinya. Dan terharu atas
perbuatan pemuda itu yang berani mempertaruhkan nyawa demi kepentingan orang
banyak. Panji sendiri telah melesat pergi dengan menggunakan ilmu lari cepatnya.
Tujuannya tentu saja hendak menyusul Kenanga ke Kadipaten Tumapel, di sana
kekasihnya sudah cukup lama menunggu.
SELESAI Created ebook by
Scan & Conyert to pdf (syauqy_arr) Edit Teks (fujidenkikagawa)
Weblog, http://hana-oki.blogspot.com Thread Kaskus:
http://www.kaskus.us/showthread.php"t=1397228
Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 8 Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok Pedang Golok Yang Menggetarkan 20
^