Pencarian

Asmara Di Ujung Pedang 1

Pendekar Naga Putih 19 Asmara Di Ujung Pedang Bagian 1


ASMARA DI UJUNG PEDANG
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode 19:
Asmara di Ujung Pedang
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Sebuah kereta kuda tampak tengah merangkak perlahan menyusuri jalan berliku.
Batu-batu berserakan di jalan, membuat laju kereta menjadi lambat. Tidak jarang
kusir kereta yang berusia sekitar lima puluh tahun itu harus turun dan menarik
keretanya karena terperosok lubang yang banyak terdapat di jalan itu.
Di kiri-kanan kereta kuda itu tampak empat orang lelaki gagah mengiringinya
sambil menunggang kuda.
Melihat dari sikap keempat orang penunggang kuda itu, jelas kalau mereka
bertugas melindungi kereta kuda itu.
Di dalam kereta kuda, duduk seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima
tahun. Di sampingnya, duduk seorang wanita cantik bersama seorang bocah
perempuan yang berada di tengah-tengah mereka berdua. Kelihatannya, mereka
inilah yang harus dilindungi. Sebentar kemudian, laki-laki itu membuka tirai
jendela kereta kuda. Kepalanya dijulurkan ke luar.
"Tidak adakah jalan yang lebih baik daripada jalan ini, Jantar?" tanya lelaki
yang berada dalam kereta kuda, kepada seseorang yang dipanggil Jantar. Dialah
yang menjadi kusir kereta kuda ini.
"Maaf, Tuan Besar. Memang hanya jalan inilah satu-satunya yang lebih dekat ke
kadipatan. Tapi, kesulitan ini tidak akan berlangsung lama. Karena, sebentar
lagi kita akan tiba pada jalan rata," jelas Ki Jantar sambil menyusut peluh yang
menganak sungai membasahi wajahnya.
Memang, saat itu matahari berada tepat di atas kepala.
Sinarnya begitu terik, memancar garang dan terasa menyengat kulit.
"Ranta! Coba lihat ke depan. Berapa jauh lagi kita harus berada di jalan neraka
ini?" perintah lelaki berkumis tipis yang dipanggil tuan besar itu, kepada
penunggang kuda yang berada di sebelah kin kereta.
"Baik, Tuan Besar," sahut lelaki tinggi tegap berwajah brewok yang dipanggil
Ranta, menyahuti. Kemudian kudanya digebah sehingga melesat mendahului kereta
kuda. Debu dan batu-batu kecil beterbangan ke udara ketika kuda Ranta meluncur ke
depan. Tidak berapa lama kemudian, binatang beserta penunggangnya itu lenyap di
balik sebuah tikungan yang terhalang pohon-pohon besar di tepi jalan.
Sementara itu kereta kuda terns merayap perlahan melintasi jalan yang rusak.
Namun, sampai mereka tiba di tikungan jalan, lelaki berwajah brewok tadi belum
juga terlihat kembali. Padahal untuk mencapai tikungan jalan itu, mereka telah
memakan waktu yang cukup lama.
"Mengapa Ranta begitu lama" Bukankah tadi kau katakan kalau tidak lama lagi
jalan rusak ini dapat kita lewati" Apa ucapanmu tadi hanya untuk menghiburku,
Jantar?" tegur lelaki yang berada di dalam kereta, kembali menjulurkan
kepalanya. Sambil berkata demikian, lelaki itu menatap Ki Jantar lekat-lekat.
Sinar matanya jelas memancarkan kekesalan hati.
"Betul, Tuan Besar. Aku sama sekali tidak berhohong.
Setelah melewati dua belokan lagi, maka jalanan rusak ini
akan berakhir. Aku sendiri merasa heran, mengapa Ranta begitu lama?" sahut Ki
Jantar. Ki Jantar tidak berani membalas tatapan tuan besarnya.
Karena dari nada suaranya, dia tahu kalau majikannya sedang kesal.
"Biar aku yang akan menyusulnya, Tuan Besar. Siapa tahu Adi Ranta mengalami
kesulitan," pinta pengawal yang berada di sebelah kanannya, agak keras.
"Hm.... Pergilah. Tapi jangan terlalu lama!" sahut laki-laki yang dipanggil tuan
besar itu, cepat Kemudian, kepalanya kembali ditarik dari jendela kereta. Lalu,
tubuhnya disandarkan, disertai hembusan napas berat
"Sudahlah, Kakang. Mengapa harus kesal" Bukankah Kakang sendiri yang meminta
kepada Ki Jantar supaya mengambil jalan pintas," hibur wanita cantik yang memang
istri tuan besar itu dengan lembut.
"Hhh...."
Lelaki itu hanya mendesah lirih sambil membelai kepala anaknya yang berusia
sekitar tujuh tahun, dan nampak tertidur lelap. Sepertinya, ia sama sekali tidak
merasa terganggu oleh guncangan-guncangan kereta kuda yang ditumpanginya.
Ketika kereta membelok lagi, lelaki yang kelihatannya adalah seorang saudagar
kaya itu kembali menjulurkan kepala, memandang keluar.
"Apakah kedua orang itu belum juga kembali, Jantar?"
tanya saudagar itu dengan kening berkerut.
Di wajahnya terbayang keheranan besar.
"Belum, Tuan Besar. Entah apa yang mereka lihat
sampai begitu lama belum juga kembali," sahut Ki Jantar yang juga merasa heran
dengan keanehan itu.
"Hm..., aneh!" gumam saudagar itu sambil mengusap-usap dagunya.
Sementara itu, tampak dua orang pengawal hendak bergerak menyusul kedua
rekannya. "Kalian tetap saja berjaga-jaga di belakang dan tidak perlu menyusul mereka.
Mungkin mereka sengaja menunggu kita di perbatasan jalanan buruk ini," cegah
saudagar itu kepada kedua orang pengawal tadi.
Kedua orang lelaki itu mengangguk hormat dari terpaksa membatalkan niatnya.
Keduanya kembali memutar kuda tunggangannya dan kembali mengiringi kereta dari
belakang. "Ah..., Tuan Besar. Lihat..., lihat itu...!" teriak Ki Jantar dengan wajah pucat
bagai mayat. "Ada apa, Jantar..." Ahhh...!" saudagar itu menahan seruannya. Sepasang matanya
terbelalak lebar melihat apa yang terbentang di depan mereka.
Dua orang pengawal yang mengiringi kereta dari belakang itu pun terkejut ketika
mendengar teriakan Ki Jantar. Keduanya cepat membedal kuda masing-masing,
sehingga segera melesat ke depan. Dan apa yang disaksikan, benar-benar membuat
hati mereka berdebar tegang.
"Ranta.... Langsat..!" Apa yang terjadi dengan mereka..."!" kata salah seorang
pengawal itu ketika melihat tubuh kedua orang kawannya tergeletak di tengah
jalan dalam keadaan tewas. Tubuh keduanya tampak digenangi darah yang membasahi
bumi. "Mereka..., mereka telah tewas, Kakang...," jelas
pengawal yang seorang lagi dengan suara bergetar penuh kemarahan. Hampir dia
tidak mempercayai kejadian itu.
Hatinya berharap bahwa hal itu hanya merupakan sebuah mimpi buruk yang
menakutkan. Belum lagi kedua orang pengawal itu bangkit, tiba-tiba terdengar teriakan-
teriakan parau dari sekeliling mereka.
Kemudian, disusul berloncatannya belasan sosok tubuh yang segera mengepung
mereka. Secepat kilat, kedua orang pengawal itu bergegas bangkit sambil melolos senjata
masing-masing. Mereka bergegas melompat menghindari sambaran senjata yang
mengancam. Dan tanpa banyak tanya lagi, kedua orang pengawal itu segera
menyambut serangan-serangan yang dilancarkan orang-orang tak dikenal. Maka
sebentar saja, pertarungan pun terjadi.
Kedua orang pengawal itu berusaha mati-matian untuk menghampiri kereta kuda.
Mereka mengamuk hebat, karena khawatir akan keselamatan majikan dan keluarganya.
Sehingga, tidak lagi dipedulikan selembar nyawa mereka masing-masing.
Tapi sayang, belasan orang kasar yang sudah jelas perampok itu rata-rata
memiliki kepandaian tinggi.
Sehingga lama kelamaan, kedua orang pengawal itu pun terdesak hebat.
Brettt! Brettt!
"Aaakh...!"
Jerit kematian berkumandang ketika tubuh kedua orang pengawal itu terbanting ke
atas tanah, dan sudah berlumuran darah. Kedua pengawal setia itu tewas di ujung
pedang pengeroyoknya.
*** Bukan main terperanjatnya hati saudagar muda itu ketika mendengar jeritan tadi.
Sudah bisa diduga, itu jeritan kemauan kedua orang pengawalnya. Kejadian yang
sama sekali tidak diduga itu membuat otaknya tidak dapat berpikir untuk beberapa
saat lamanya. Ia baru tersadar ketika mendengar teriakan-teriakan para perampok
itu. "Serbu...!"
Seorang lelaki berperut buncit dan berkepala botak, meluruk maju setelah memberi
aba-aba kepada anak buahnya. Maka, tanpa diperintah dua kali, belasan orang
perampok itu langsung menghambur ke arah kereta yang ditumpangi saudagar muda
dan keluarganya.
"Jantar, lariii...!" teriak saudagar muda itu dengan wajah pucat bagai tak
dialiri darah. Setelah itu, kepalanya ditarik ke dalam kereta dan memeluk tubuh
anak istrinya yang menjerit-jerit ketakutan.
Ki Jantar yang sudah dapat meraba maksud belasan orang lelaki kasar itu,
bergegas melecutkan cambuknya kuat-kuat ke tubuh dua ekor kuda yang menghela
kereta itu. Siuuut... Tappp!
Ujung cambuk yang meluncur deras itu tiba-tiba saja tertahan di udara. Ki Jantar
semakin pucat wajahnya ketika melihat lelaki gendut berkepala botak lelah
menangkap ujung cambuk dengan jemari tangannya.
"Hih...!"
Sebelum Ki Jantar sempat berbuat sesuatu, tiba-tiba lelaki gendut itu membentak
sambil menyentak cambuk di
tangan lelaki setengah baya itu.
"Aaa...!"
Bukan main ngerinya hati Ki Jantar ketika tubuhnya terasa melambung akibat
sentakan kuat itu. Dan sebelum menyentuh permukaan tanah, sebuah pukulan keras
membuat tubuhnya terpental balik disertai jerit kematiannya.
Tubuh kusir malang itu ambruk ke tanah disertai semburan darah segar yang
mengalir deras dari mulut-nya. Setelah berkelojotan sesaat, dia pun diam tak
bergerak-gerak lagi. Ki Jantar tewas seketika.
"Jangan...! Lepaskan! Jangan ganggu kami! Kakang, tolooong...!" wanita cantik
istri saudagar yang berusia sekitar dua puluh tujuh tahun menjerit-jerit dalam
dekapan seorang anak buah perampok.
Namun meskipun meronta sekuat tenaga, tetap saja ia masih kalah kuat dengan
perampok yang seperti kerasukan setan itu.
"Biadab! Kalian boleh ambil semua barang-barang yang ada dalam kereta itu,
asalkan jangan ganggu anak istriku!"
saudagar muda itu berteriak-teriak marah sambil berlari menghambur ke arah
istrinya. Namun sebuah kelebatan senjata membuat langkahnya terhenti seketika.
Tubuhnya bergerak limbung sambil menekap perut yang berlumuran darah. Ternyata
sebuah bacokan membuat saudagar muda itu ambruk ke atas tanah.
"Ough.... Nyai..., Anggini...," rintih saudagar muda itu seraya menggapaikan
tangannya dengan wajah bersimbah darah.
"Kakaaang...!" wanita cantik itu menjerit memilukan ketika melihat kepala
suaminya terkulai lemah dan tak
bergerak lagi. "Ayaaah...!" bocah perempuan berusia tujuh tahun berteriak-teriak memanggil
ayahnya. Ia meronta-ronta dalam pondongan salah seorang perampok.
"Diam kau, Bocah...!" bentak perampok itu tanpa rasa iba sedikit pun melihat
bocah kecil itu menjerit-jerit sambil menangis.
Plakkk! Karena bocah perempuan itu masih juga menjerit-jerit, akhimya perampok bertubuh
kurus dan berwajah licik itu melayangkan tamparan yang cukup keras. Akibatnya,
tubuh kecil itu terpelanting dan pingsan seketika.
"Manusia jahat! Kau apakan anakku..."!"
Wanita cantik itu kembali meronta dari dekapan anggota perampok. Sadar kalau
masih kalah tenaga dari perampok yang mendekap tubuhnya, akhimya ia terpaksa
menggigit orang itu.
"Aaakh...!"
Anggota perampok itu menjerit kesakitan sambil melepaskan dekapannya pada tubuh
wanita itu. "Anggini...!"
Begitu teriepas dari pelukan lelaki kasar itu, ia pun langsung menghambur ke
arah tubuh anak perempuannya yang masih tergeletak dengan bibir berdarah.
Namun belum juga sampai, mendadak saja....
"Hait...! Ha ha ha.... Mau lari ke mana kau, Manis...?"
cegah lelaki botak berperut gendut, sambil merentangkan tangannya menghadang
lari wanita cantik itu.
Sepasang mata bulat indah itu melirik ke kiri-kanan bagaikan mata kelinci yang
ketakutan. "Oh..., kasihanilah kami, Tuan. Lepaskanlah kami.
Ambillah semua harta milik suamiku yang ada dalam kereta itu," rintih wanita
malang itu dengan wajah bersimbah air mata.
"He he he.... Tidak mungkin, Manis. Kau tidak akan kulepaskan begitu saja.
Ikutlah bersamaku, dan jadilah istriku. Pasti kau akan senang," bujuk lelaki
berkepala botak itu seraya meneguk air liurnya sendiri melihat kecantikan dan
keindahan tubuh wanita di hadapannya itu.
"Ha ha ha...! Tunggu apa lagi, Kakang Gandil" Tubruk saja kijang muda yang
menggiurkan itu. Kan, beres," ujar seorang anggota perampok, tak sabar melihat
sikap pemimpinnya.
"Betul, Kakang. Tidak usah membujuk-bujuk. Seret saja wanita cantik itu. Buat
apa membuang-buang waktu,"
timpal yang lain ikut memanasi.
Sedangkan para anggota perampok lainnya tengah sibuk menguras seluruh isi kereta
kuda itu. Setelah semua barang-barang berharga dikeluarkan, salah seorang
anggota perampok membawa kereta kuda itu ke tepi jurang. Kemudian, dia
menceburkan nya setelah terlebih dahulu memasukkan tubuh Ki Jantar dan keempat
mayat pengawal di dalamnya. Terdengar suara yang ramai ketika badan kereta
beserta dua ekor kuda penghelanya meluncur menghantam bebatuan yang bertonjolan
di dinding jurang.
Sementara, lelaki berkepala botak yang merupakan pimpinan perampok itu sudah
menerkam tubuh wanita cantik yang hanya mampu menjerit ketakutan.
"He he he...! Tidak ada gunanya meronta-ronta,
Manis. Lebih baik nikmati saja babak pertama ini," ujar lelaki berkepala botak
yang bemama Gandil itu.
Diciuminya seluruh wajah wanita itu penuh nafsu.
Belum lagi nafsu iblisnya terlampiaskan, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut
yang disusul jerit kesakitan!
Brukkk! "Bangsat, berani kau mengganggu kesenanganku!"
bentak Gandil. Langsung dikirimkannya tamparan keras ke arah sosok yang menerjang tubuhnya.
Sosok tubuh berpakaian kumal itu melintir akibat tamparan keras yang menghantam
pelipisnya. Namun orang itu sama sekali tidak melakukan perlawanan sedikit pun.
Dia langsung ambruk, tak bergerak lagi. Melihat hal ini, Gandil terkejut bukan
main. Bahkan orang itu sama sekali tidak menjerit ketika tamparannya tepat
mengenai pelipis.
Merasa curiga, Gandil bergegas menghampiri, lalu membalikkan tubuh orang yang
menelungkup itu. Bukan main terkejutnya lelaki bengis berkepala botak itu ketika
mengenali kalau orang itu ternyata anak buahnya sendiri.
"Bangsat! Siapa yang berani main-main dengan Macan Bukit Setan!" bentak lelaki
gundul itu. Gandil kemudian melompat keluar dari balik semak-semak. Kemarahan yang
menggumpal dadanya, membuatnya jadi lupa pada calon korbannya yang terisak
dengan pakaian tak karuan.
"Akulah yang datang untuk menghentikan kebiadabanmu, Macan Ompong!" sahut
sesosok tubuh tinggi tegap yang berdiri gagah dalam jarak tujuh batang
tombak dari tempat Gandil berdiri.
Kemarahan di hati Gandil berubah menjadi rasa terkejut yang amat sangat. Puluhan
mayat anak buahnya yang bergeletakan saling tumpang tindih itu, membuat Macan


Pendekar Naga Putih 19 Asmara Di Ujung Pedang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bukit Setan termangu untuk beberapa saat lamanya.
"Bersiaplah menyusul mayat-mayat pengikutmu!"
ancam sosok berpakaian putih yang ternyata seorang pemuda berusia sekitar dua
puluh satu tahun itu Suaranya terdengar pelan, namun mengandung wibawa yang
kuat. Tersentak Gandil ketika mendengar ucapan itu.
Dengan kemarahan menggelegak, lelaki gundul itu melangkah maju menghampiri
pemuda itu. "Siapa kau, Anak Muda"! Sebutkan namamu sebelum tubuhmu kurobek-robek!" bentak
Macan Bukit Setan menggereng murka.
"Kau ingin tahu namaku" Ketahuilah. Aku adalah Malaikat Maut yang mendapat tugas
untuk mencabut nyawamu saat ini juga," sahut pemuda gagah itu bernada mengejek.
"Keparat..! Terimalah kematianmu, haaat...!"
Diiringi pekik kemarahannya, tubuh lelaki gendut itu melompat maju disertai
cakamya yang menimbul-kan angin berkesiutan.
"Hmh...!"
Pemuda berpakaian putih itu bergumam tak jelas. Dan begitu serangan lawannya
tiba, tubuhnya digeser dan langsung dikirimkan serangan yang tidak kalah
hebatnya. Wuuut! Gandil memiringkan kepalanya menghindari sebuah
pukulan yang menimbulkan angin menderu tajam. Begitu pukulan lawan lewat di
samping kepalanya, tubuh gendut yang ternyata dapat bergerak gesit itu meliuk
dengan kuda-kuda rendah.
"Hiaaah...!"
Sambil membentak keras, tubuh Macan Bukit Setan berputar melakukan serangan.
Maksudnya agar dapat membongkar kuda-kuda lawan.
Sapuan kaki Gandil ternyata hanya membabat tanah berumput, karena kaki lawan
yang menjadi sasarannya telah terangkat naik dan ditarik ke belakang. Tapi
serangan lelaki gundul itu ternyata tidak hanya berhenti sampai di situ saja.
Sapuannya yang tidak mengenai sasaran, kembali berputar cepat bagai baring-
baling hingga menimbulkan deru angin kuat
Wuuut! Wuuuk...!
Berkali-kali sapuan Gandil mengibas dengan kecepatan mengagumkan. Namun untuk
yang kesekian kalinya, ia harus menelan kekecewaan. Memang lawannya yang
meskipun berusia jauh lebih muda itu, ternyata sangat lincah. Sehingga setiap
kali Macan Bukit Setan berputar, selalu saja dapat dielakkannya tanpa kesulitan.
Kenyataan itu membuat Gandil semakin bertambah penasaran. Ketika untuk yang
kesekian kali serangannya mengenai tempat kosong, tiba-tiba saja tubuh lelaki
berkepala gundul itu melenting disertai sambaran cakar yang mengancam leher dan
lambung lawan. Plakkk! Plakkk!
Terdengar ledakan keras sebanyak dua kali ketika pemuda gagah itu menggerakkan
kedua tangannya
memapak serangan Gandil. Dan sebagai akibatnya, tubuh lelaki gendut itu
terdorong mundur dan hampir terjengkang. Untung saja dia segera menguasai
tubuhnya dengan cara melenting dan melakukan beberapa kali salto di udara.
"Bangsat! Pantas saja berani berlagak! Rupanya kau memiliki kepandaian lumayan!"
geram Macan Bukit Setan menyembunyikan rasa terkejutnya.
Memang, dari tangkisan lawannya tadi, ia dapat merasakan kalau tenaga pemuda itu
kuat sekali. Bahkan menurut penilaiannya, mungkin masih jauh lebih kuat daripada
tenaganya sendiri. Kenyataan itu benar-benar membuatnya tergetar.
"Hm.... Jangan hanya memaki saja, Macan Ompong!
Kalau memang memiliki kepandaian, majulah!" sahut pemuda gagah bertubuh tegap
itu, tenang. Jelas ia sama sekali tidak terpengaruh akibat pertemuan tenaga
tadi. Macan Bukit Setan tidak segera menanggapi ucapan lawannya. Rupanya, pertarungan
yang berlangsung hamprr tiga puluh jurus tadi telah membuat matanya terbuka.
Sadar kalau untuk memperoleh kemenangan terlalu tipis baginya, maka ia pun
segera melesat menuju semak-semak tempat wanita cantik istri saudagar muda yang
dirampoknya itu ditinggalkan.
"Hei! Mau lari ke mana kau, Macan Ompong..."!"
teriak pemuda gagah itu yang segera melesat melakukan pengejaran. Dugaannya,
lawannya itu berniat hendak melarikan diri.
*** 2 "Ha ha ha...! Majulah kalau ingin melihat tubuh wanita ini kurobek dengan
cakarku!" ancam Macan Bukit Setan.
Tahu-tahu saja, dia telah memeluk tubuh wanita cantik yang wajahnya dibasahi air
mata itu. Karena tidak menduga perbuatan licik lawannya, pemuda itu menjadi tertegun.
Untuk beberapa saat lamanya, ia hanya dapat menatap Macan Bukit Setan dengan
penuh kegeraman.
"Tuan, jangan pedulikan diriku! Aku rela mati asalkan kau sudi memenuhi
permintaanku," ujar wanita malang itu dengan suara bercampur isak. Sepasang mata
sayu itu menatap wajah penolongnya, penuh permohonan.
"Apa permintaanmu, Nyai" Kalau memang aku mampu, akan kulaksanakan dengan senang
hati," sahut pemuda gagah itu sambil memutar otak untuk dapat melepaskan wanita
itu dari cengkeraman Macan Bukit Setan.
"Selamatkanlah anakku. Peliharalah dia baik-baik. Aku percaya, anakku akan aman
berada dalam lindunganmu,"
pinta wanita malang itu. Air matanya kembali menetes mengingat kematJan
suaminya. "Aku akan memenuhi permintaanmu itu, Nyai. Bocah perempuan itu masih selamat dan
tidak kurang suatu apa.
Ia kusembunyikan di tempat aman. Tapi, kau pun harus kuselamatkan. Karena biar
bagaimanapun, anak itu lebih memerlukanmu ketimbang aku," sahut pemuda gagah itu
setelah terdiam sejenak ketika mendengar permintaan wanita dalam cengkeraman
Macan Bukit Setan.
"He he he.... Selangkah lagi maju, maka tubuh perempuan molek ini akan kucabik-
cabik!" ancam Gandil ketika melihat pemuda itu mendekatinya.
Pemuda itu terpaksa menghentikan langkah ketika melihat cakar lelaki gundul itu
bergetar, dan slap merencah tubuh molek dalam cengkeramannya.
"Hm.... Silakan kau cabik-cabik tubuh wanita itu, Macan Ompong. Bukankah kau
sudah dengar sendiri penegasannya tadi?" tantang pemuda berpakaian putih itu
tidak kalah gertak.
"Eh...!"
Macan Bukit Setan berseru heran mendengar jawaban pemuda itu. Akibatnya,
kewaspadaannya pun mengendur ketika melihat pemuda gagah itu kelihatan malah
membalikkan tubuh seolah-olah tak peduli.
Namun, keheranan Gandil berubah menjadi rasa terkejut yang amat sangat! Betapa
tidak" Sebab, pemuda yang semula membalikkan tubuhnya itu tiba-tiba bersalto
bagai kilat. Langsung dikirimkannya serangan maut ke kepalanya.
Gerakan yang demikian cepat dan tak terduga itu membuat Macan Bukit Setan
terperangah kelabakan.
Cepat-cepat tubuhnya ditarik sambil menyentakkan wanita cantik tawanannya.
Plakkk... Desss!
Tubuh Macan Bukit Setan terpental ke belakang jauh tiga batang tombak. Meskipun
berhasil menangkis pukulan tangan kiri lawannya, namun hantaman tangan
kanan lawan telak menghunjam dadanya.
"Huagkh...!"
Darah segar terlompat dari mulut lelaki gundul itu.
Macan Bukit Setan berusaha merangkak bangkit sambil menekap dada yang terasa
remuk. Baru saja tubuhnya berdiri tegak, sebuah tendangan kilat disertai
pengerahan tenaga yang amat kuat kembali menggedor dadanya.
Bugkh! "Hugkh...!"
Tak ayal lagi, tubuh Macan Bukit Setan terjengkang ke belakang dan menghantam
batu besar di belakangnya.
Akibatnya, kepala gundul itu berderak keras disertai percikan darah yang
bercampur cairan putih. Maka tamat-lah riwayat Macan Bukit Setan.
"Ohhh...!"
Pemuda berpakaian putih itu menoleh ke arah asal keluhan lirih yang tertangkap
telinganya. Cepat dihampirinya, ketika matanya melihat tubuh wanita cantik itu
tergeletak berlumuran darah.
"Nyai.... Kau..., kau kenapa...?" tanya pemuda itu sambil membungkuk memeriksa
tubuh wanita itu.
Terkejut hati pemuda itu ketika melihat kepala wanita di hadapannya retak akibat
terbentur batu. Darah segar mengalir deras dari luka di belakang kepalanya.
Rupanya, sentakan tangan Macan Bukit Setan yang dalam keadaan kalap tadi, secara
tak sadar telah membuat tubuh wanita malang itu terlempar menghantam batu cadas
di tepi jalan. "Tolong jaga, dan pelihara anakku Anggini..., Tu...an...."
Setelah berpesan demikian, wanita malang itu pun menghembuskan napasnya yang
terakhir di pangkuan tuan penolongnya. Sedangkan pemuda gagah itu hanya dapat
menghela napas disertai kekesalan. Setelah agak lama termenung, dia pun bergerak
bangkit sambil memondong mayat wanita itu. Kemudian dikuburkannya mayat itu pada
sebuah tempat yang cukup baik.
Dengan peluh yang masih berlelehan, pemuda gagah itu melangkah ke tempat bocah
perempuan yang masih pingsan, yang tadi disembunyikannya.
"Untung seluruh kejadian tadi tidak disaksikannya.
Kalau dia melihat, mungkin perkembangan jiwanya akan terganggu kelak," gumam
pemuda itu merasa bersyukur.
Diangkatnya tubuh mungil itu setelah terlebih dahulu diobati dan dibuatnya
tertidur. Kemudian, ditinggal-kannya tempat itu bersama tubuh mungil Anggini
dalam pondongannya.
Matahari semakin naik tinggi dengan pancaran sinarnya yang terik. Hembusan angin
tetap bersilir lembut, seolah-olah tak peduli terhadap peristiwa berdarah itu.
Jalan berbatu itu pun kembali lengang dan sunyi.
*** Di bawah siraman cahaya matahari yang memancar terik, tampak sesosok tubuh
bergerak mendaki lereng Gunung Tangger. Di bahu kanannya tampak seorang anak
kecil yang tengah terlelap. Gerakan sosok itu demikian gesit dan ringan. Seolah-
olah lereng gunung yang terjal dan licin itu sudah tidak asing lagi baginya.
Setelah melalui jalanan yang berkelok dan terjal, sosok tubuh itu berdiri tegak
memandang ke arah lembah di bawahnya. Agak lama juga dia berdiri di atas
sebongkah batu besar itu, seolah-olah timbul keraguan dalam hatinya.
Tak lama kemudian, sosok tubuh itu pun bergerak turun ke dalam lembah. Jalanan
yang menurun dan licin itu pun tidak menjadi halangan. Bagaikan seekor burung
besar menyambar mangsa, tubuhnya melayang ke bawah.
Begitu kedua kakinya menyentuh tanah, tubuhnya kembali melambung ke udara. Itu
dilakukannya berkali-kari.
Gerakannya sama sekali tidak membuat anak yang dipondongnya terbangua Dari sini
saja sudah dapat diketahui, betapa hebatnya ilmu meringankan tubuh orang itu.
Setelah menyeberangi sebuah aliran sungai, tak lama kemudian tibalah sosok itu
di depan sebuah pondok sederhana.
"Hm ... Siapa lagi yang kau bawa kali ini, Kembara?"
sebuah suara lembut bernada teguran menyapa sosok tubuh itu.
"Ampun, Guru...." sahut sosok tubuh yang ternyata bernama Kembara. Dia masih
muda dan berwajah gagah.
Kembara cepat meletakkan sosok mungil yang dipondongnya. Bergegas, dia
menjatuhkan diri berlutut di bawah tangga yang menghubungkan ke pintu pondok.
Dalam hati, Kembara mengagumi ilmu pembeda gerak dan suara yang dimiliki orang
yang dipanggil guru olehnya itu. Walaupun pintu pondok tertutup, dia bisa tahu
kalau Kembara datang tidak sendiri. Tapi, bersama seseorang dalam pondongannya.
Tidak berapa lama kemudian, seraut wajah seorang kakek tersembul dari balik
pintu yang terkuak. Kakek itu tersenyum lembut sambil mengelus jenggot putihnya
yang panjang. Sebelum kakek itu sempat menuruni anak tangga, sesosok tubuh
mungil berlari mendahuluinya.
"Horeee..., Paman sudah kembali....!" Sambil ber-sorak gembira, seorang anak
laki-laki berumur delapan tahun berlari menyongsong kedatangan lelaki muda itu.
Dia langsung menghambur ke dalam pelukan Kembara.
Tanpa merubah berlututnya, lelaki muda berusia sekitar dua puluh satu tahun itu
mengembangkan tangannya menyambut pelukan si bocah.
"Hm.... Kau sudah semakin besar, Samba. Apakah kau masih suka menyusahkan
eyang?" tanya Kembara sambil mengelus rambut kepala bocah lelaki itu penuh
kasih. "Tidak, Paman. Aku selalu menuruti perintah eyang.
Dan tidak menyusahkannya!" sahut bocah bemama Samba itu dengan suaranya yang
bening dan nyaring, seraya menoleh ke arah kakek itu.
"Sudahlah, Samba. Pamanmu jangan diganggu dulu.
Dia masih lelah. Sebaiknya, temani kakangmu yang tengah berlatih di tepi hutan
sana!" ujar kakek itu. Suaranya lembut, namun bernada tegas.
"Baik, Eyang," sahut bocah itu cepat.
Setelah pamitan pada pamannya, Samba pun berlari-lari kecil menuju hutan yang
terdapat di belakang pondok.
"Bawalah bocah itu naik, Kembara!" perintah kakek itu lagi, seraya membalikkan
tubuhnya masuk kembali ke dalam pondok.
Kembara segera bangkit dan menaiki tangga memasuki
pondok Diangkatnya tubuh mungil yang tadi diletakkan di sebelahnya.
*** "Maaf, Eyang. Aku terpaksa membawa bocah perempuan ini ke sini. Kedua orang
tuanya telah tiada lagi, karena dibunuh sekawanan perampok yang kerap mengganggu
desa," ujar Kembara, memberikan alasan mengapa bocah perempuan berusia sekitar
tujuh tahun itu dibawanya.
"Hm.... Lalu, apa rencanamu selanjutnya" Apakah kau masih ingin meneruskan
pengembaraanmu?" tanya sang Guru sambil mengelus jenggotnya perlahan.
Wajah kakek itu tampak menggambarkan perasaan iba ketika melihat wajah muridnya
yang selalu tersaput mendung tebal itu. Namun hal itu berusaha disembunyikan.
"Tidak, Eyang. Aku sudah mengambil keputusan untuk menetap di sini, dan merawat
ketiga bocah itu," jawab Kembara perlahan.
Jelas sekali kalau pemuda berwajah gagah itu berusaha menyembunyikan perasaan
hatinya. "Apakah keputusanmu sudah tetap" Aku tidak akan memaksamu kalau kau memang masih
menginginkan mengembara," kata kakek itu. Pandangan matanya tajam, seolah-olah
ingin menyelami perasaan muridnya.
"Terima kasih, Eyang. Tapi keputusanku sudah bulat untuk menetap di Lembah
Gunung Tangger ini," sahut si pemuda, tetap tidak merubah keputusannya.
"Hm...," kakek itu menggumam tak jelas.
Hati laki-laki tua berjenggot putih itu terenyuh mengingat penderitaan yang
pemah dialami muridnya.
Terbayang kembali di benaknya ketika setahun yang lalu muridnya kembali dari
pengembaraan, dengan membawa hati yang patah. Setelah be berapa bulan, akhirnya
dia tak tahan melihat keadaan murid satu-satunya itu selalu termenung dan
menyendiri. Dan kakek itu masih ingat ketika dengan terpatah-patah Kembara
menceritakan penderitaan batinnya, yang mengalami patah hati karena ditinggal
kekasihnya. Untuk menghibur hati muridnya, kakek itu pun menurunkan ilmu-ilmu
tingkat tinggi yang selama ini disimpannya.
Setelah menamatkan pelajaran, muridnya itu kembali diizinkan untuk turun gunung.
Padahal, sang Guru tahu kalau luka di hati Kembara belum sembuh. Bahkan rasanya
memang tidak mungkin disembuhkan.
Sekembalinya dari pengembaraan, Kembara membawa dua orang bocah laki-laki yang
kemudian dititipkan kepadanya. Dan yang terakhir, ia kembali ke lembah dengan
membawa seorang bocah perempuan.
"Eyang...," panggil Kembara yang membuat la-munan kakek itu terhenti.
"Hhh...."
Sang Guru yang dalam dunia persilatan dikenal sebagai Begawan Madapati itu
menghela napas panjang. Wajahnya kembali tenang tanpa menggambarkan perasaan apa
pun. "Ada apa, Eyang...?" tanya Kembara setelah mendengar helaan napas gurunya.
Sepertinya, laki-laki tua itu tengah memikirkan sesuatu.
"Tidak ada apa-apa, Kembara. Hanya menurut pikiranku, ada baiknya kalau kita
membuat sebuah pondok lagi untuk tempat bernaung ketiga bocah yang kau bawa itu.
Bagaimana menurutmu?" tanya Begawan Madapati.
"Balk sekali, Eyang. Aku akan segera membuatnya.
Biarlah untuk sementara bocah perempuan itu tidur di sini. Memang, ia
kelihatannya lelah sekali," sahut Kembara, mendukung sekali pernyataan kakek
itu. Begawan Madapati hanya mengangguk dan tersenyum lembut Laki-laki tua itu
mengangguk kembali ketika muridnya minta izin untuk segera membuat pondok yang


Pendekar Naga Putih 19 Asmara Di Ujung Pedang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dimaksudkan gurunya.
"Paman...!" terdengar sebuah seruan.
Salah seorang dari dua bocah lelaki segera menghambur ke dalam pelukan Kembara
yang baru saja menginjakkan kakinya pada anak tangga terakhir.
"Ah, Wirasaba. Kau sudah bertambah besar.
Bagaimana latihanmu?" tanya Kembara seraya membalas pelukan bocah lelaki berumur
sembilan tahun itu.
Dibelainya rambut kepala bocah bernama Wirasaba dengan perasaan kasih yang
mendalam. "Seperti pesan Paman, aku dan Samba tidak pernah mengeluh meskipun latihan-
latihan yang diberikan eyang terasa sangat berat. Bukankah Paman mengatakan
kalau kami harus rajin berlatih agar kelak menjadi seorang pendekar hebat dan
dapat mengusir orang-orang jahat?"
sahut Wirasaba dengan suara nyaring, dan menimbulkan kegembiraan di hati
Kembara. "Bagus, kalau kalian masih ingat perkataan Paman itu.
Nah! Sekarang, bersihkan tubuh kalian. Karena Paman
masih ada keperluan lain yang harus cepat-cepat diselesaikan!" ujar Kembara
sambil melepaskan pelukan Wirasaba.
"Apakah Paman akan meninggalkan kami lagi?" Samba yang sejak tadi hanya membisu,
tiba-tiba mengeluarkan pertanyaan itu dengan sepasang mata cemas.
"Hm.... Apakah kalian tidak senang tinggal bersama eyang?" tanya Kembara yang
ingin mengetahui perasaan kedua bocah itu selama ini. Diraihnya tubuh Samba ke
dalam pelukannya.
"Tentu saja kami senang, Paman. Tapi, kami akan lebih senang lagi kalau Paman
tinggal juga di sini untuk menemani kami berlatih," sahut Samba seraya menatap
wajah Kembara penuh harap.
"Baiklah. Paman akan tinggal, dan menemani kalian berlatih. Sekarang, kalian
harus membersihkan tubuh dulu. Paman hendak membuat sebuah pondok untuk tempat
tinggal kita," ujar Kembara.
Persetujuan Kembara itu ternyata membuat dua orang bocah itu semakin mengetatkan
pelukannya. Kemudian, sambil terrawa-tawa gembira mereka berkejaran menuju
aliran sungai yang hanya beberapa tombak dari pondok itu.
Kembara memandangi kedua orang bocah itu dengan sinar mata iba. Memang,
keadaannya dulu pun tidak berbeda jauh dengan ketiga orang bocah yang
ditolongnya itu. Dia dulu juga ditolong Begawan Madapati, lalu dibawa ke Lembah
Gunung Tangger. Sepuluh tahun kemudian, ia pun menjelma menjadi seorang pemuda
tangguh setelah digembleng kakek sakti itu.
"Hhh.... Kasihan sekali mereka," desah Kembara yang menjadi lupa akan keadaan
dirinya sendiri.
Sesaat kemudian, ia pun beranjak meninggalkan tempat itu untuk segera membuat
pondok baru. Dalam beberapa hari saja, sebuah pondok sederhana pun telah berdiri tidak jauh
dari pondok lama. Kembara memandangi hasil kerjanya diiringi senyum puas.
Meskipun saat itu masih tersisa kelelahan wajahnya, namun hal itu sama sekali
tidak dirasakan.
*** 3 Sang waktu terus bergulir. Minggu, bulan, dan tahun pun melintas cepat. Tanpa
terasa, sepuluh tahun sudah Kembara menetap di Lembah Gunung Tangger bersama
tiga anak asuhnya.
"Haiiit..!"
Teriakan nyaring namun merdu itu terasa menggetarkan lembah yang semula hening
dan sepi. Kemudian, disusul berkelebatnya sesosok tubuh ramping mengenakan
pakaian serba kuning. Rambutnya yang panjang dan berkepang dua itu bergoyang-
goyang mengikuti gerakan tubuhnya. Dilihat dari bentuk tubuh serta pakaiannya,
jelas dia adalah seorang gadis.
Bettt! Bettt! Dua buah pukulan yang menimbulkan sambaran angin kuat dilontarkan sosok
berpakaian kuning itu. Akibatnya, pemuda tegap yang menjadi lawannya cepat
menggeser tubuh ke samping. Berbarengan dengan gerakan itu, kaki kirinya
mencelat melakukan tendangan kilat ke arah lambung gadis berpakaian kuning itu.
Namun dengan gerakan yang tidak kalah gesitnya, tangan kanan gadis itu bergerak
turun menepiskan tendangan lawan.
Plak! "Uhhh...!"
Keduanya tersentak mundur beberapa langkah ke belakang. Memang, pertemuan tenaga
itu telah membuat keduanya bergetar sesaat.
"Cukup...!"
Terdengar bentakan yang menggetarkan isi dada kedua orang yang tengah bertarung
itu. Suara itu berasal dari seorang laki-laki gagah berusia sekitar tiga puluh
tahun lebih. "Wah! Kau hebat sekali, Adik Anggini! Ternyata aku tidak mampu menundukkanmu,"
puji pemuda tampan bertubuh tegap itu. Tubuhnya segera dibungkukkan sebagai
tanda hormat. Senyumnya merekah sehingga semakin membuatnya tampak menarik.
"Ah! Kau terlalu memuji, Kakang Wirasaba. Nyatanya, aku sendiri pun tidak mampu
mendesakmu. Nah!
Pujianmu tidak berlaku, bukan?" sahut si gadis bernama Anggini itu seraya
tersenyum menggoda.
Wajah gadis itu yang memang sudah cantik, tampak semakin menarik. Hal ini
membuat pemuda yang dipanggil Wirasaba itu terpaku menatapnya.
"Sudahlah. Kalian beristirahat dulu," lelaki gagah yang tak lain dari Kembara
itu menengahi. "Ya. Sekarang giliranku yang akan berlatih bersama Paman Kembara. Ayo, kalian
menyingkir!" timpal seorang pemuda lain.
Perawakan pemuda itu sedang, dan berwajah tampan.
Bahkan terlalu halus hingga tak ubahnya wajah wanita.
Kalau wajahnya tidak dihiasi sebaris kumis tipis, pastilah orang akan menyangka
dirinya seorang wanita.
Wirasaba dan Anggini bergegas menepi untuk memberikan kesempatan kepada kedua
orang itu. "Kau sudah siap, Samba"!" tanya Kembara kepada pemuda tampan yang ternyata
Samba. "Siap, Paman!" sahut Samba cepat.
Setelah berkata demikian, pemuda itu menggerakkan tangannya disertai tarikan
napas yang teratur halus.
"Hiaaat..!"
*** Kembara dan Samba terus berlatih memainkan jurus-jurus dahsyat. Sedangkan
Anggini dan Wirasaba hanya jadi penonton saja. Tak ada yang tahu kalau di situ
telah hadir seorang laki-laki tua berjenggot putih. Siapa lagi kalau bukan
Begawan Madapati.
"He he he...! Kau tampak semakin matang, Kembara!"
tiba-tiba saja terdengar suara berat berwibawa. Kembara dan Samba langsung
menghentikan latihannya. Sementara Wirasaba dan Anggini menoleh ke arah asal
suara. "Eyang...!"
Serentak keempat orang itu menjatuhkan diri dan berlutut begitu mengetahui siapa
yang datang. Hanya Kembara yang kemudian bangkit, lalu melangkah menghampiri
gurunya. Begawan Madapati, yang menjadi guru mereka, hanya tersenyum lembut sambil
merayapi wajah murid-muridnya. Meskipun bukan guru langsung bagi Wirasaba,
Samba, dan Anggini, namun mereka tetap meng-hormatinya. Sebab ketiga orang itu
berlatih di bawah bimbingan Kembara. Sedangkan Kembara adalah murid Begawan
Madapati. "Bangkitlah. Aku merasa bangga sekali melihat kemajuan yang telah kalian capai
sekarang. Meskipun aku
tidak mendidik Samba, Wirasaba, dan Anggini secara langsung, namun ternyata
hasil yang diperoleh telah memuaskan hatiku. Dan rasanya, hasil didikanku pun
tidak akan lebih baik daripada guru kalian ini," ujar Begawan Madapati sambil
menepuk-nepuk bahu Kembara yang sudah berdiri di sebelahnya. Apa yang dikatakan
kakek itu bukanlah sebuah pujian kosong. Tapi memang suatu kebenaran yang tidak
bisa dibantah. Kembara hanya menunduk tersipu mendengar pujian gurunya. Diam-diam hatinya
merasa bersyukur, karena telah menunaikan tugas yang diberikan gurunya dengan
baik. Dan semua itu bisa terlihat dari seraut wajah tua yang tampak tersenyum
penuh kepuasan.
'Teruskanlah latihan kalian. Aku ada keperluan dengan pamanmu ini," lanjut
Begawan Madapati, sambil mengajak Kembara meninggalkan ketiga anak muda itu.
"Baik, Eyang...!" sahut ketiganya patuh.
Untuk beberapa saat lamanya ketiga anak muda itu hanya berdiri memandang
kepergian eyang guru dan pamannya itu.
*** Malam baru saja menguasai mayapada. Kepekatan yang menyelimuti permukaan bumi,
periahan-lahan disibakkan oleh sinar sang dewi malam. Sinarnya tampak temaram,
menemani sang malam. Bintang-bintang pun bermunculan, ikut meramaikan cakrawala
kdam. Dalam suasana malam indah itu, Kembara terbaring di atas balai-balai bambu di
pondoknya yang didiaminya
seorang diri. Karena semenjak ketiga anak asuhnya menanjak remaja, mereka pun
mendiami pondok masing-masing yang dibuat bersama-sama. Maka di Lembah Gunung
Tengger itu kini berdiri lima buah pondok sederhana.
"Hhh...."
Laki-laki yang sudah tidak muda lagi, namun masih nampak gagah itu menghela
napas panjang. Ingatannya menerawang sewaktu Begawan Madapati membawanya untuk
membicarakan sesuatu. Dan apa yang dibicarakan sang Guru itu benar-benar
membebani pikirannya.
Karena, Begawan Madapati tidak mengizinkan Kembara untuk menurunkan ilmu-ilmu
tingkat tinggi kepada tiga orang muridnya.
"Ilmu-ilmu yang kuturunkan kepadamu itu bukanlah ilmu sembarangan, Muridku.
Tanpa memiliki pengalaman cukup, maka orang itu tidak akan pernah sempurna dalam
menguasai ilmu-ilmu tingkat tinggi perguruan kita. Ini bukan berarti aku tidak
sayang kepada mereka. Tapi rasanya akan percuma kalau ilmu-ilmu itu diturunkan
sekarang. Mereka belum matang, Muridku. Mereka masih terlalu hijau dalam
menghadapi kehidupan dunia yang penuh permainan dan tipu daya. Kau mengerti
maksudku, Kembara?"
Demikian yang dipesankan Begawan Madapati kepada muridnya. Dan Kembara harus
mematuhi pesan sang Guru, meskipun hal itu menjadi ganjalan bagi hatinya.
Ketika teringat ketiga orang anak asuhannya, yang terbayang jelas hanyalah wajah
cantik manis Anggini. Dia memang telah menjelma menjadi seorang dara yang sangat
memikat. Mendung tebal yang selalu menutupi wajahnya yang gagah, langsung
lenyap, dan berganti senyum bahagia apabila teringat akan dara cantik itu.
"Hhh...."
Kembara menyentak tubuhnya, dan langsung bangkit dari tidurnya. Diusimya
bayangan dara manis yang melekat di benaknya itu. Ia duduk termenung di tepian
balai-balai bambu. Pandangannya kembali menerawang, menembus awang-awang
sehingga menciptakan bayang-bayang. Perasaan itu disadarinya betul, terutama
semenjak Anggini tumbuh dan semakin menampakkan kecantikan yang memikat setiap
hati pria. Kembara pun bukannya tidak tahu kalau kedua orang pemuda gagah dan tampan yang
diasuhnya diam-diam mencintai Anggini. Dan sebagai seorang laki-laki yang sehat
jasmani maupun rohani, ia pun terkadang merasa cemburu terhadap Samba dan
Wirasaba. Namun tentu saja hal itu berusaha ditekan dan disembunyikannya agar
tidak diketahui mereka dan juga gurunya.
"Yahhh.... Tidak ada seorang pun yang boleh mengetahui isi hatiku yang amat
memalukan ini!" desis hati Kembara sambil memejamkan mata menahan rasa nyeri
yang menusuk jantung.
Karena hatinya masih juga diliputi keresahan, maka Kembara melangkahkan kakinya
menuju ke luar pondok.
Langkahnya terayun periahan sambil menatapi langit yang nampak jemih karena
terhias ribuan bintang. Tanpa sadar, ia melangkah menuju ke aliran sungai yang
terpisah beberapa puluh tombak di belakang pondoknya.
Disertai helaan napas be rat, Kembara menghenyakkan
pantatnya pada sebongkah batu yang cukup besar di tepi sungai. Wajahnya
menengadah menatap langit biru jernih.
"Tuhan.... Mengapa perasaan ini kembali menyiksa hatiku" Dan mengapa justru
Anggini yang harus kucintai"
Mengapa bukan gadis lain saja" Ah...! Betapa akan malu-nya kalau sampai
perasaanku ini diketahui orang lain" Dan bagaimana kalau guru mengetahuinya"
Mengapa aku tidak bisa mencintai gadis lain di desa, di bawah gunung ini"
Betapapun perasaan hatiku ini berusaha disembunyikan, aku yakin pada akhirnya
akan diketahui yang lain!"
Berbagai pertanyaan dan keluhan bermunculan di benak Kembara. Meskipun demikian,
tetap saja ia tidak mampu mengusir pergi bayangan Anggini yang selalu
mengganggunya. "Hhh...."
Kembara kembali menghembuskan napas kuat-kuat.
Seolah-olah dengan berbuat begitu, perasaan yang kian menyesak di dadanya
diharapkan dapat terusir. Disapunya wajah dengan kedua tangan, seakan-akan ingin
meng-hapuskan bayangan Anggini.
"Paman...!" tiba-tiba saja sebuah suara merdu dan lembut menyapanya perlahan.
Bukan main kagetnya hati Kembara. Tubuhnya mencelat sejauh tiga batang tombak.
Bahkan wajahnya pucat bagai melihat hantu di siang bolong. Sepasang kakinya
terasa lemas bagaikan tak bertulang ketika melihat gadis yang selalu mengganggu
pikirannya tahu-tahu saja telah berada di depannya.
"Ada apa, Paman...?" tanya gadis yang ternyata memang Anggini.
Gadis itu segera menjauhi batu yang tadi diduduki pamannya, karena melihat
Kembara begitu terkejut, sepasang matanya yang indah menatap tajam.
Pandangannya begitu curiga dan waspada ke arah batu itu.
Karena, dikira sang Paman terpatuk ular ataupun binatang berbisa lainnya.
"Ah! Tid..., tidak.... Tidak ada apa-apa. .!" sahut Kembara yang menjadi gugup
dalam menghadapi anak asuhnya, sambil menghapus butiran keringat yang membasahi
keningnya. "Paman mengejutkan aku saja! Atau aku yang membuat Paman terkejut tadi?" tanya
Anggini. Gadis itu segera melangkah menghampiri pamannya.
Dan tanpa canggung-canggung lagi, ditariknya tangan sang Paman untuk diajak
duduk kembali di atas batu.
Anggini yang memang sejak kecil diasuh Kembara, sama sekali tidak mengetahui
kemelut yang tengah dialami sang Paman. Gadis itu memang sudah menganggap
Kembara sebagai orang tuanya sendiri. Jadi, tentu saja dia tidak malu-malu untuk
memegang atau memeluk tubuh pamannya. Apalagi hal itu memang sudah merupakan
kebiasaannya sejak kecil. Hanya sang Paman itulah tempat ia mengadu dan
bermanja. Sedangkan bagi Kembara, rupanya jadi lain lag!
Semenjak gadis itu tumbuh semakin besar, perasaan hatinya mulai tak menentu. Ia
tidak lagi berani menatap wajah gadis itu secara langsung. Apalagi semenjak
setahun yang lalu, saat mulai memiliki perasaan lain terhadap gadis itu. Maka,
Kembara mengambil keputusan untuk jangan terlalu sering bertemu. Paling tidak
agar rahasia hati yang
memalukan itu tidak diketahui Anggini.
"Paman. Apakah Paman sakit?" tanya Anggini. Gadis itu benar-benar terkejut
melihat tubuh pamannya gemetar.
Anggini kemudian menghapus keringat yang membasahi kening pamannya dengan
saputangan miliknya.
Tentu saja hal itu membuat tubuh Kembara seperti terserang demam tinggi. Dan
gadis itu pun semakin cemas ketika merasakan deburan dalam dada pamannya
demikian keras.
"Aku..., aku memang agak kurang sehat," sahut Kembara memberi alasan yang
didapat dari pertanyaan dara itu.
"Kalau begitu, mari kita kembali saja ke dalam pondokmu, Paman. Kesehatan Paman
akan bertambah buruk kalau tetap berada di sini," ajak Anggini. Gadis itu telah
bersiap-siap membawanya ke pondok.
"Tidak, Anggini Aku tidak apa-apa. Penyakit ini tidak terlalu mengganggu," sahut
Kembara. Cepat-cepat laki-laki gagah itu menarik tangannya ynng dipegang telapak tangan
Anggini yang sudah mulai bangkit. Memang, ketika telapak tangan mereka ber-
sentuhan, Kembara merasakan aliran darahnya berdesir semakin cepat. Maka itulah
ia cepat-cepat inelepaskannya.
"Betul, Paman tidak apa-apa...?" tanya Anggini memastikan.


Pendekar Naga Putih 19 Asmara Di Ujung Pedang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar. Aku tidak apa -apa," jawab Kembara pasti.
Diam-diam, Kembara memaki perasaan hatinya itu.
Dan perasaan takut kehilangan, tiba-tiba muncul begitu saja di hatinya. Sehingga
tanpa sadar, ia telah menahan
agar gadis itu tidak pergi. Terus terang, Kembara lebih suka berada di tempat
ini bersama Anggini, daripada di dalam pondoknya yang dicekam kesepian. Hanya
saja, kali ini Kembara tidak mampu mencegah perasaan hatinya yang memalukan itu.
"Paman, mengapa belakangan ini hampir tidak nernah menemani kami berlatih"
Apakah Paman sudah merasa bosan melatih kami?" tanya Anggini sambil merapatkan
duduknya ke tubuh Kembara. Sepasang matanya yang bening dan jernih itu menatap
lekat-lekat, seolah-olah ingin menjenguk ke dalam dada sang Paman.
"Hhh.... Kalian sudah semakin bertambah besar, Anggini. Dan rasanya, sudah bisa
berlatih sendiri. Lagi pula, semua ilmu yang kumiliki sudah kuturunkan semua
kepada kalian. Jadi tidak perlu lagi aku menemani kalian setiap hari," jawab
Kembara, memberi alasan.
Anggini menatap wajah pamannya lekat-lekat. Hatinya menjadi semakin heran ketika
melihat pamannya tidak berani mengangkat wajahnya yang selalu tertutup mendung
itu ketika berbicara. Dan itu melahirkan berbagai pertanyaan di hati gadis
cantik ini. "Tapi, menurutku lain. Paman sepertinya berusaha menghindari kami. Apakah salah
seorang dari kami telah berbuat salah" Katakanlah, Paman" Agar hatiku, maupun
hati Kakang Wirasaba dan Samba menjadi tenang," desak gadis itu.
Mendengar pertanyaan itu, hati Kembara menjadi terkejut. Perlahan-lahan wajahnya
terangkat. Seketika kilatan sinar aneh terpancar dari sepasang mata lelaki gagah
itu. Meskipun hal itu hanya sekejap, namun telah
cukup membuat hati Anggini berdebar aneh.
"Hm.... Tidak betul itu, Anggini. Tidak seorang pun dari kalian yang telah
berbuat kesalahan. Jadi, hilang-kanlah perasaan bersalah dalam dirimu dan juga
kedua saudara seperguruanmu itu. Percayalah, aku tidak apa-apa," sahut Kembara
yang sudah dapat menguasai perasaannya. "Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan.
Maaf, aku harus kembali ke pondok."
Kemudian tanpa menunggu jawaban gadis itu lagi, Kembara pun segera meninggalkan
Anggini yang menjadi terpaku dibuatnya.
"Hm.... Aku yakin pasti ada sesuatu yang mengganggu perasaan Paman Kembara.
Tapi, entah apa yang telah mengganggu pikirannya?" desah hati Anggini masih
belum mengerti keanehan tingkah laku pamannya.
*** Pagi harinya, setelah selesai berlatih, Anggini segera berlari menuju pondok
pamannya. Sama sekali tidak dipedulikan tatapan heran kedua orang kakak
seperguruannya. Gadis cantik yang lincah itu terus saja berlari-lari kecil
meninggalkan tempat latihannya.
Wirasaba berdebar hatinya ketika mengetahui, kemana arah yang dituju gadis itu.
"Ah! Jangan-jangan ia hendak mengadukan perbuatanku semalam kepada paman! Bisa
celaka kalau sampai paman menjadi marah karena tahu aku meng-ungkapkan perasaan
cinta pada Anggini. Tapi, mudah-mudahan saja paman memaklumi perasaanku.
Bukankah paman pun seorang laki-laki" Dan sudah pasti dia juga pernah mengalami seperti
yang kurasakan saat ini," kata Wirasaba dalam hati.
Wirasaba yang semula cemas karena takut ditegur pamannya, menjadi tenang
kembali. Rupanya dia telah mendapat jawaban apabila sang Paman menanyakan
tentang perbuatannya.
Tidak lama kemudian, Wirasaba dan Samba bertambah heran melihat Anggini berlari
ke arahnya dengan wajah berduka.
"Kakang! Apakah kalian melihat Paman Kembara?"
tanya Anggini begitu tiba di dekat kedua kakak seperguruannya. Nada suara gadis
cantik itu jelas menggambarkan kejengkelan.
"Tidak. Memangnya ada apa, Adik Anggini?" tanya Wirasaba yang menjadi tenang
hatinya. Rupanya sikap gadis itu seperti sudah melupakan kejadian semalam.
"Hm.... Kalau begitu, aku harus menemui eyang.
Mungkin paman berada di sana," ujar Anggini seperti berkata pada dirinya
sendiri. Suaranya demikian lirih, dan hampir tidak terdengar.
Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu segera melesat menuju pondok
eyang gurunya yang terletak di dekat aliran sungai.
Wirasaba dan Samba saling berpandangan sejenak.
Mereka sama-sama mengangkat bahu, tanda tak mengerti.
Sesaat kemudian, kedua orang pemuda itu bergegas menyusul adik seperguruannya.
Anggini yang telah tiba di depan pondok Begawan Madapati, bergegas masuk setelah
mengetuk pintu teriebih dahulu. Tampak Begawan Madapati tengah duduk bersila di atas balai-
balai bambu. Sepertinya kakek itu memang sudah mengetahui, dan menunggu
kedatangan murid perempuan satu-satunya ini.
"Eyang...!" sapa Anggini yang langsung bersujud beberapa langkah di bawah balai-
balai tempat kakek itu duduk.
"Hm.... Bangkitlah, Cucuku," ujar Begawan Madapati tersenyum sambil mengelus
jenggotnya yang semakin panjang. Sepasang matanya menatap lembut dan penuh
kasih. "Eyang, aku...."
Begawan Madapati mengangkat tangannya mencegah gadis itu berbicara. Rupanya
kakek itu pun sudah mengetahui apa yang akan diutarakan muridnya. Dan pada saat
itu, tampak dua orang pemuda yang juga menjadi muridnya tengah melangkah masuk.
"Eyang...!" sapa kedua orang pemuda itu sambil menjatuhkan diri, berlutut di
dekat Anggini. "Hm.... Ada apa kalian datang menghadap kepadaku, Cucuku?" tanya Begawan
Madapati kepada kedua orang pemuda yang tak lain Wirasaba dan Samba.
"Tidak ada apa-apa, Eyang. Kami hanya merasa bingung melihat sikap Adik Anggini
yang seperti tengah menghadapi persoalan. Kami minta maaf karena telah berani
menghadap Eyang tanpa dipanggil," sahut Wirasaba mewakili Samba yang hanya
terdiam menatapnya.
"He he he...! Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Cucuku. Kalian berdua boleh
pergi untuk melanjutkan latihan kalian," kilah Begawan Madapati tersenyum
lembut. "Baiklah, Eyang. Kami berdua mohon pamit" Setelah melemparkan pandang ke arah
Anggini sejenak, kedua orang pemuda itu pun bergegas keluar.
Begawan Madapati hanya menganggukkan kepala sambil tangannya tak lepas dari
jenggot yang berwarna putih itu. Setelah Wirasaba dan Samba pergi, kakek itu
mengalihkan perhatiannya pada Anggini. Gadis itu memang tengah menatapnya
seperti mohon penjelasan.
"Kau mencari pamanmu, bukan?" tanya kakek itu seraya tersenyum lembut.
"Betul, Eyang. Karena paman telah berjanji akan menceritakan tentang
pengalamannya kepadaku. Tapi ketika aku menemuinya, ternyata sudah tidak ada di
pondoknya.. Aku mohon petunjuk Eyang. Di manakah Paman Kembara bisa kutemui?"
pinta Anggini. Suaranya agak menggeletar karena mulai merasa sesuatu yang
terjadi dengan pamannya itu.
'Hm.... Ia telah minta maaf kepadamu, Cucuku.
Pamanmu terpaksa belum bisa memenuhi janji, karena pagi-pagi sekali telah
kuperintahkan untuk melihat beberapa desa yang tengah dilanda musibah," Begawan
Madapati. "Di manakah itu, Eyang. Bolehkah aku menyusulnya?"
tanya Anggini disertai wajah sedih karena sang Paman ternyata sudah pergi
meninggalkan lembah.
"Sebaiknya jangan, Cucuku. Tempat itu sangat jauh.
Dan lagi, Eyang tidak tahu desa mana yang akan ditujunya lebih dulu. Lebih baik
tunggu saja kedatangannya. Di samping itu, kau harus tetap berlatih untuk
menyempurnakan semua yang diajarkan pamanmu. Tentu dia akan gembira apabila
sekembalinya nanti, kepandaian-mu telah jauh lebih sempurna. Tapi Eyang tidak
dapat memastikan, kapan pamanmu akan kembali," jawab Begawan Madapati.
Memang, ucapan Begawan Madapati adalah pesan Kembara kepada gadis itu. Meskipun
kakek itu sudah dapat menerka apa yang saat itu dirasakan; muridnya, namun ia
berpura-pura tidak tahu.
Anggini terdiam untuk beberapa saat lamanya. Hatinya merasa berduka sekali atas
kepergian paman sekaligus gurunya. Kini mulai disadari, betapa sunyi dan tidak
bergairah tanpa Paman Kembara. Dia telah pergi tanpa diketahui di mana pastinya
berada. Ingin rasanya Anggini menangis untuk menumpahkan segala perasaan yang
bercampur aduk di hatinya. Namun ia berusaha menahan jatuhnya air mata. Rasanya
memang tidak pantas menangis di hadapan eyang gurunya.
"Eyang, izinkanlah aku melihat-lihat keramaian di desa yang berada di bawah
lembah" Aku.... Aku ingin sekali, Eyang," pinta Anggini
Gadis itu sudah hampir tidak kuat lagi menahan kesedihannya. Maka, cepat-cepat
wajahnya ditundukkan untuk menyembunyikan sepasang matanya yang mulai tergenang
air. Begawan Madapati bukannya tidak mengetahui npa yang tengah dirasakan cucu
muridnya. Meskipun Kembara dan gadis itu tidak pernah menceritakan apa-apa
kepadanya, namun melihat sikap Anggini, kakek itu yakin kalau di antara mereka
telah terjalin suatu hubungan yang
belum diketahui seberapa jauhnya.
"Baiklah. Mintalah kepada kedua orang kakak seperguruanmu untuk menemani. Hal
itu akan lebih baik bagimu. Karena selain kau seorang gadis, kau juga belum
pernah terjun ke dunia ramai," ujar Begawan Madapati mengizinkan permintaan
gadis itu. Laki-laki tua itu bukan tidak mengetahui kalau Anggini hanya sekadar ingin
menghibur hati saja. Itulah ebabnya, mengapa ia memberi izin. Dan sebelum gadis
itu meninggalkan pondoknya, kakek itu memberi nasihat-nasihat yang sekiranya
perlu. Gadis itu juga diperintahkan untuk memanggil kedua orang kakak
seperguruannya.
Anggini segera pamitan untuk menjalankan perintah eyang gurunya. Sesampainya di
luar pondok, gadis cantik itu segera berlari ke tepi sungai. Di sana segala
kepedihan hatinya ditumpahkan. Hal itu dilakukannya di tempat tersembunyi,
karena tidak ingin ada seorang pun yang tahu. Termasuk, kedua orang kakak
seperguruannya.
Setelah puas menumpahkan segala kesedihannya, gadis itu pun merendam tubuhnya di
dalam air sungai yang sejuk dan jernih. Seluruh tubuhnya dibersihkan agar tidak
terlalu kentara kalau baru saja habis menangis. Begitu tubuhnya terasa agak
segar, Anggini kembali mengenakan pakaiannya. Bergegas dia memberitahukan dua
orang kakak seperguruannya tentang pesan Begawan Madapati.
Kini mereka bersama-sama menuju pondok Begawan Madapati Setelah memberi hormat
sebcntar, mereka kemudian duduk berdampingan.
Begawan Madapati lalu memberi nasihat-nasihat yang mungkin akan diperlukan dalam
perjalanan murid-
muridnya itu. Sesudah merasa yakin kalau ketiga orang muridnya telah benar-benar
memahami, maka kakek itu pun segera melepas ketiga ny.
"Kuberi waktu kalian selama satu bulan untuk melihat-lihat desa. Dan setelah
itu, walaupun apa yang terjadi, kalian harus kembali. Mengerti"!" pesan Begawan
Pedang Bintang 2 Pendekar Riang Karya Khu Lung Peristiwa Merah Salju 9
^