Pencarian

Dewi Baju Merah 3

Pendekar Naga Putih 18 Dewi Baju Merah Bagian 3


menuruti ajakan Kenanga.
"Apa yang ingin Ni sanak tanyakan" Apa tidak sebaiknya Ni sanak dan Kisanak
meninggalkan Desa Kemang ini"
Apalagi setelah terjadinya keributan tadi, tentu kawan-kawan mereka tadi akan
mencari kalian berdua. Dan itu sangat berbahaya," kata pelayan setengah baya ini
merendahkan suaranya hingga terdengar agak berbisik.
"Justru itulah yang menyebabkan kami kembali ke kedai ini, Paman. Sepertinya
Paman telah mengenal mereka"
Dapatkah kami minta keterangan tentang mereka?"
Tanpa basa-basi lagi, Kenanga
langsung saja menanyakan ke pokok ma-salahnya. Sedangkan Panji hanya mengangguk-
angguk, karena baru mengerti mengapa Kenanga mengajaknya ke kedai tempat mereka
pertama kali singgah ta-di.
"Tapi..., berbahaya sekali, Ni sanak. Aku... aku...."
"Ceritakan saja, Paman. Dan kami akan menjamin keselamatanmu," Panji buru-buru
memotong ucapan pelayan itu ketika melihat wajah lelaki setengah baya itu nampak
pucat dan ketakutan.
"Benar. Ceritakanlah, Paman.
Jangan takut Kami berjanji akan melindungi Paman sekeluarga," timpal Kenanga,
untuk meyakinkan orang tua itu.
"Baiklah. Aku akan menceritakannya," sahut laki-laki setengah baya itu seraya
menarik napas dalam-dalam sebelum memulai ceritanya. Sedangkan kedua orang muda
itu me nanti dengan sabar.
Setelah terlebih dahulu memper-
hatikan keadaan sekeliling kedai, maka pelayan itu pun mulai bercerita.
*** "Pada mulanya Desa Kemang ini merupakan desa yang aman dan tenteram," pelayan
setengah baya yang mengaku bernama Ki Dampit itu memulai ceritanya. "Tapi,
semenjak enam bulan yang lalu, keadaan berubah total. Para penduduk tidak lagi
dapat menikmati hasil panennya, karena hampir seluruh hasil panen dirampas
gerombolan penda-tang yang rata-rata berkepandaian silat dan bertampang bengis.
Kepala desa kami, Ki Dawur Soka, mencoba melakukan perlawanan. Sayang, orang-
orang yang dipimpin Ki Jampala itu terlampau kuat. Sehingga Ki Dawur Soka dan para
pembantunya tidak mampu untuk mengusir orang-orang jahat itu, sehingga mereka
tewas di tangan tiga orang kepercayaan Ki Jampala, yang belakangan kami ketahui
sebagai Tiga Setan Muara Gandul."
Sebentar Ki Dampit yang sebenar-
nya pemilik kedai makan itu, menghentikan ceritanya. Sedangkan Kenanga dan Panji
mendengarkan penuh perhatian.
Sesekali terdengar helaan napas mereka, seperti menahan kegeraman. Namun mereka
tidak mau memotong cerita laki-laki setengah baya itu.
"Setelah kepala desa kami tewas, Ki Jampala mengangkat dirinya sebagai Kepala
Desa Kemang ini. Sedangkan ketujuh orang yang berkelahi dengan kalian tadi,
adalah para pengikutnya yang bertugas memunguti pajak dari pa-ra penduduk desa.
Apalah daya kami yang hanya orang-orang lemah ini" Kami hanya bisa pasrah kepada
nasib," Ki Dampit mengakhiri ceritanya dengan helaan napas sedih.
Panji dan Kenanga saling bertu-
kar pandang sejenak. Kedua pendekar digdaya itu turut merasakan penderitaan yang
dialami Ki Dampit dan para penduduk lainnya. Dari pertukaran pandang yang hanya
sekejap itu, mereka seperti telah bersepakat untuk menyelamatkan penduduk Desa
Kemang dari penderitaan yang selama ini dialami mereka.
"Hm.... Berapa banyakkah kira-kira para pengikut Ki Jampala itu, Paman?" tanya
Panji yang sudah memu-tuskan untuk menumpas kejahatan di De-sa Kemang ini.
"Sebenarnya para pengikut Ki Jampala ini tidak terlalu banyak. Selain Ki Jampala
dan Tiga Setan Muara Gandul, masih ada lagi sekitar dua puluh orang anak
buahnya. Tapi, kudengar Ki Jampala masih mempunyai pimpinan lain yang kabarnya
memiliki kesaktian seperti iblis. Bahkan Gusti Adipati Kerta Lungga pun tidak
berani mengu-siknya. Sehingga hampir seluruh desa yang berada di bawah kekuasaan
adipati itu, jatuh ke tangan orang yang kalau tidak salah berjuluk Biang Iblis
Tangan Hitam. Jadi, kalau boleh aku nasi-hatkan, sebaiknya tinggalkanlah desa
ini. Sebab aku yakin sebentar lagi, orang-orang Ki Jampala akan datang untuk
mencari kalian berdua," pesan Ki Dampit mengakhiri jawabannya. Rupanya lelaki
setengah baya itu tidak tega kalau sampai kedua orang yang telah menimbulkan
rasa suka di hatinya akan mendapat celaka.
Panji dan Kenanga merasa terharu
atas perhatian orang tua itu. Dan hal itu justru membuat tekad mereka semakin
kuat untuk membela penduduk Desa
Kemang dengan taruhan nyawa. Sebab sebagai pendekar yang selalu menjunjung
tinggi kebenaran, mereka berkewajiban untuk menumpas segala bentuk kejahatan di
muka bumi ini. Setelah mendapat keterangan ten-
tang letak kediaman Ki Jampala, Panji dan Kenanga segera berpamitan kepada orang
tua itu. "Terima kasih atas nasihat yang Paman berikan kepada kami berdua. Tapi biar
bagaimanapun, kami akan mencoba untuk membebaskan penduduk Desa Kemang ini dari
tekanan Ki Jampala dan para begundalnya itu. Kami mohon pamit, Paman," pamit
Panji setelah terlebih dahulu membayar harga makanan.
Ki Dampit memandangi kepergian
kedua orang muda itu dengan pandangan haru. Hatinya benar-benar tersentuh
melihat keikhlasan Panji dan Kenanga yang rela berkorban demi kepentingan
penduduk Desa Kemang. Diam-diam orang tua itu berdoa agar kedua anak muda yang
digdaya itu dilindungi Yang Maha Kuasa.
Orang tua itu mengerjap-
ngerjapkan matanya yang mendadak basah. Keharuan dan kekhawatiran telah membuat
Ki Dampit menjadi cengeng. Di-hapusnya air mata itu dengan punggung tangan,
kemudian melangkah masuk setelah kedua anak muda itu lenyap dari pandangannya.
6 Ketika matahari sudah semakin
bergeser ke Barat, Panji dan Kenanga telah tiba di depan sebuah bangunan besar
dan cukup megah.
"Hm.... Belum pernah kutemukan seorang kepala desa yang memiliki kediaman
sebesar dan sebagus ini. Ki Jampala tak ubahnya seorang raja kecil yang
bergelimang kemewahan dari hasil memeras keringat rakyatnya," desah Panji yang
menjadi geram melihat keadaan Ki Jampala yang sangat bertolak belakang dengan
kehidupan penduduk De-sa Kemang.
"Ya! Orang-orang seperti Ki Jampala itu harus kita basmi, Kakang. Mudah-mudahan
penduduk Desa Kemang kembali dapat merasakan ketenteraman dan kehidupan yang
lebih layak," sahut Kenanga dengan nada yang bercampur tekanan amarah.
Hati kewanitaannya benar-benar
tersentuh melihat kehidupan penduduk Desa Kemang yang rata-rata miskin akibat
kekejaman orang yang bernama Ki Jampala itu.
"Hei"! Siapa kalian" Mau apa berdiri di situ?" tegur salah seorang penjaga.
Penjaga itu memang sejak tadi
curiga melihat kedua orang muda itu berdiri memandangi rumah kepala de-
sanya. Kemudian, dihampirinya Panji dan Kenanga.
Seorang penjaga lain tampak ikut
menyertai pula.
Belum lagi kedua orang penjaga
ini sempat mendekat, tiba-tiba terdengar bentakan yang disusul berlompatan-nya
belasan sosok tubuh berpakaian bi-ru gelap.
"Tangkap kedua orang pengacau itu!"
Baik Panji maupun Kenanga, men-
jadi terkejut mendengar bentakan yang mengandung tenaga dalam kuat itu. Keduanya
bergerak saling membelakangi dan mengedarkan pandangan ke arah para pengepung
yang dipimpin tiga orang berseragam hitam.
Salah seorang dari ketiga orang
berseragam hitam itu melangkah maju sambil menudingkan telunjuknya ke wajah
Panji. "Hm.... Rupanya kau benar-benar hendak mencari penyakit, Anak Muda!"
ujar orang itu dengan suara mengandung ancaman. Sepasang matanya menyiratkan
hawa membunuh. "Hm.... Kalian rupanya yang melemparkan paku-paku beracun tadi!" ka-ta Panji
begitu mengenali pakaian yang dikenakan orang itu
Saat itu juga, Pendekar Naga Pu-
tih langsung dapat menduga kalau mereka pasti Tiga Setan Muara Gandul, se-
perti yang diceritakan Ki Dampit.
"Benar! Aku dan kedua orang sau-daraku itulah yang telah memberi pe-ringatan
kepada kalian. Tapi, kalau kedatanganmu kemari hendak menyerahkan bidadari
jelita itu, mungkin kami akan mempertimbangkannya. Bahkan mungkin Ki Jampala
bisa mengampuni perbuatanmu tadi," kata salah seorang dari Tiga Setan Muara
Gandul itu sambil menatapi sekujur tubuh Kenanga.
Mendengar kata-kata yang dilon-
tarkan orang itu, seketika merah sele-bar wajah Kenanga. Kata-kata yang sudah
jelas mengandung niat kotor itu, membuat gadis jelita ini segera melo-los
pedangnya. Srettt! "Hei! Setan jelek! Sadarkah kalau ucapanmu itu telah cukup mengan-tarmu ke
akhirat!" bentak Kenanga berang.
Setelah berkata demikian, ter-
dengar suara mengaung dahsyat yang di-timbulkan putaran Pedang Sinar Rembulan di
tangan gadis jelita itu.
"Haiiit..!"
Disertai bentakan nyaring, tubuh
gadis jelita berpakaian hijau itu sudah melompat dan menerjang orang itu.
Wuuut! Orang tertua dari Tiga Setan Mu-
ara Gandul, melompat jauh menghindari sambaran pedang Kenanga. Dan tahu-tahu
saja, di tangannya telah tergenggam sebatang pedang yang pada kedua sisinya
bergerigi. Dari badan pedang yang nampak mengkilat itu, bisa dite-bak kalau
pedang itu mengandung racun jahat. Hal itu bukanlah sesuatu yang aneh. Sebab
Tiga Setan Muara Gandul dikenal sebagai tokoh sesat yang ahli menggunakan
berbagai jenis racun. Itu pula yang membuat ketiga orang itu sangat ditakuti
tokoh rimba persilatan.
Namun hal itu sama sekali tidak
membuat Kenanga gentar. Meskipun bukan seorang ahli dalam soal racun, namun
sedikit banyak ia sudah mengenai jenis-jenis racun. Memang hal itu tidak
mengherankan. Sebab Pendekar Naga Putih adalah seorang yang cukup pandai dalam
hal pengobatan. Apalagi sejak dibimbing Raja Obat. Tentu saja pemuda berjubah
putih itu semakin bertambah kemajuannya dalam soal pengobatan dan racun. Dalam
perantauannya, pemuda itu tak lupa memberi bimbingan kepada Kenanga, gadis yang
dicintainya itu. Hal itu pulalah yang menyebabkan Kenanga tidak merasa gentar
meskipun lawannya adalah seorang ahli racun.
"Kakang Badra, biar aku yang menghadapi gadis itu," pinta orang termuda dari
Tiga Setan Muara Gandul yang segera mencabut senjatanya. Bentuk senjatanya sama
dengan yang dipe-
gang orang yang dipanggil Badra itu.
"Hm.... Hati-hatilah, Adi Sugra.
Nampaknya gadis jelita itu memiliki kepandaian lumayan," ujar Badra mena-sihati
Sugra yang merupakan orang termuda di antara mereka bertiga.
"Jangan khawatir, Kakang, Aku pasti dapat menundukkan gadis jelita itu," sahut
Sugra sombong. Sambil melangkah maju, lelaki
muda berusia tiga puluh tahun itu me-nyeringai. Otaknya membayangkan kalau-kalau
akan dapat mengelus-elus kulit yang putih halus itu.
Sugra tidak menunggu lama. Saat
itu juga tubuhnya sudah melompat ke arah Kenanga dan langsung melancarkan
serangan Wuuut! Pedang yang pada kedua sisinya
terdapat gerigi itu berkelebat menyambar tubuh Kenanga. Sedangkan tangan kirinya
bergerak hendak mencengkeram buah dada gadis itu.
Kenanga marah bukan main melihat
serangan yang dilakukan Sugra. Selebar wajahnya memerah menahan malu dan geram.
Saat itu juga pedang di tangannya berkelebat, memapak serangan lawan.
Dalam kemarahannya, gadis jelita itu sudah mengeluarkan ilmu andalannya,
'Ilmu Pedang Bidadari Menabur Bunga'.
Wuuut! Wuuut! Sebentuk sinar putih keperakan
bergulung-gulung menimbulkan deru angin keras. Sinar pedang gadis jelita itu
bergerak menukik dengan kecepatan menggiriskan.
Trangngng! "Uhhh...!"
Dua batang pedang yang digerak-
kan tenaga dalam kuat saling berbenturan menimbulkan percikan bunga api di
udara. Akibatnya, Sugra terjajar mundur disertai pekikan kagetnya. Ternyata
benturan itu membuat lengannya terasa linu dan nyeri. Tokoh termuda Ti-ga Setan
Muara Gandul itu benar-benar dibuat terkejut oleh kekuatan tenaga dalam lawan
Saat itu Pedang Sinar Rembulan
yang sempat tertahan benturan pedang lawan, sudah bergerak berputar menyambar
leher Sugra. Tentu saja tokoh sesat berusia tiga puluh tahun itu semakin
terkejut. Cepat tubuhnya dilempar ke belakang, lalu bersalto di udara.
Wuuut! "Ahhh...!"
Sugra hampir tidak mempercayai
pandang matanya. Karena meskipun sudah melompat jauh ke belakang, ternyata sinar
putih keperakan itu masih saja mengejarnya. Terpaksa tubuhnya harus bergulingan
untuk menyelamatkan nyawanya dari kejaran pedang gadis itu.
Wuuut! Brettt! Tokoh sesat berusia tiga puluh
tahun itu berusaha mati-matian menyelamatkan dirinya dari incaran pedang
Kenanga. Namun akhirnya dia tak kuasa lagi menghindar. Meskipun masih bisa
menyelamatkan lehernya, namun tak urung bahu kanannya terserempet mata pedang
lawan. Diiringi jerit kesakitan, Sugra
melempar tubuhnya dan terus bergulingan. Untunglah saat itu, lima orang
berseragam biru gelap telah melompat dan menyelamatkan nyawanya dari kejaran
sinar putih keperakan.
Trangngng! Trangngng!
Dua prang pengeroyok yang pe-
dangnya tertangkis gadis jelita itu langsung terdorong dengan wajah pucat.
Gerakan Kenanga yang demikian kuat dan cepat itu, telah membuat dua orang
pengeroyok terbelalak. Ternyata senjata di tangan mereka telah patah menjadi dua
bagian. Sedangkan sambaran tiga batang
pedang lainnya, berhasil dihindari dengan merendahkan tubuhnya. Begitu sambaran
pedang ketiga orang pengeroyok itu lewat mendadak tubuh gadis jelita itu
melenting dan berputar melewati kepala tiga orang pengeroyoknya.
Terdengar teriakan-teriakan nge-
ri ketika sinar putih keperakan berkelebat menyambar punggung tiga orang
pengeroyok itu. Mereka langsung ambruk, dan tewas seketika.
"Gila!" teriak Sugra yang matanya semakin terbuka lebar.
Sama sekali tak disangka kalau
gadis jelita itu ternyata memiliki kepandaian tinggi. Diam-diam kegentaran mulai
menyelimuti hati orang termuda dari Tiga Setan Muara Gandul ini
"Hei"! Ayo, kepung gadis setan itu!" teriak Sugra kalap.
Mendengar teriakan pemimpinnya,
delapan orang berseragam biru gelap itu segera berlompatan mengurung Kenanga.
Dan tanpa menunggu perintah la-gi, langsung diterjangnya gadis jelita itu. Maka
Kenanga juga segera menyambut serangan lawan-lawannya.
Pertarungan pun berlangsung se-
makin seru. Kenanga yang dikeroyok sembilan orang lawan semakin mengamuk hebat
Pedang Sinar Rembulannya bergulung dan menyambar-nyambar menggiriskan. Sehingga
meskipun dikeroyok banyak lawan, namun gadis jelita itu malah dapat berada di
atas angin. Saat itu pertarungan di tempat
lain pun sudah berlangsung sengit Panji yang menghadapi keroyokan dua di antara


Pendekar Naga Putih 18 Dewi Baju Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiga Setan Muara Gandul, dan ditambah tujuh orang berseragam biru gelap,
bergerak bagaikan bayangan hantu. Tubuhnya berkelebatan cepat di antara
sambaran-sambaran senjata lawan.
Dan setiap kali tangan dan kakinya bergerak, selalu saja ada tubuh lawan yang
terpental tanpa mampu bangkit la-gi. Tentu saja hal itu membuat para
pengeroyoknya menjadi kaget dan sekaligus gentar.
Bukkk! Desss! Kembali dua orang pengeroyok
menjerit ngeri. Tubuh mereka jatuh berdebuk dan pingsan seketika itu ju-ga.
Untunglah pemuda itu tidak sembarangan menjatuhkan tangan kejam. Pukulan dan
tendangannya memang tidak sampai menewaskan lawan-lawannya.
"Heaaat..!"
Dua orang dari Tiga Setan Muara
Gandul menjadi kalap ketika melihat anak buahnya dijatuhkan pemuda itu dengan
mudah. Dibarengi teriakan nyaring, keduanya melompat sambil memba-cokkan pedang
ke leher dan perut Panji.
Wuuut! Wuuuk! Panji menggeser tubuh ke kanan
menghindari bacokan pada lehernya. Sedangkan bacokan pada perut ditepis oleh
telapak tangan terbuka hingga senjata itu menyeleweng dan hampir membentur
senjata Badra yang masih mengapung di udara. Tentu saja kedua orang itu menjadi
terkejut dan berusaha menarik pulang senjatanya.
Belum lagi hilang rasa terkejut
mereka, saat itu kaki Pendekar Naga
Putih mencelat naik menghantam rusuk salah seorang dari kedua Tiga Setan Muara
Gandul. Bugkh! "Hugkh...!"
Tubuh Longgata, orang kedua dari
Tiga Setan Muara Gandul, terpelanting keras hingga menabrak tubuh Badra yang
berada di sebelah kirinya. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua orang itu pun
tersuruk jatuh saling tindih.
Pemandangan yang dapat menggeli-
tik perut itu tidak sempat dinikmati Pendekar Naga Putih. Karena saat itu, empat
orang berseragam biru gelap telah mengayunkan senjata dari empat penjuru.
Melihat serangan itu Panji sama
sekali tidak bergerak menghindar. Kaki kanannya bergerak ke depan membentuk
kuda-kuda serong, dan sangat rendah.
Berbarengan dengan itu, sepasang tangannya yang terbuka bergerak ke kiri dan ke
kanan, langsung menghantam dada dua orang penyerangnya. Kedua orang itu langsung
terpelanting diiringi jerit kesakitan.
Gerakan yang dilakukan Pendekar
Naga Putih tidak berhenti di situ sa-ja. Tubuh pemuda itu meliuk mundur, dan
langsung memutar tangan menjepit dua bilah senjata yang menyambar dari kiri-
kanannya. Kedua orang itu tidak menyangka kalau lawannya akan menjepit
senjata mereka di ketiak. Dan selagi mereka tertegun, tahu-tahu saja sepasang
tangan Pendekar Naga Putih menyambar cepat ke arah wajah mereka.
Kedua orang itu langsung mengge-
lepar akibat hantaman kuat yang mengenai pelipis. Beberapa saat kemudian, tubuh
keduanya diam tak bergerak lagi.
Pingsan. Badra dan Longgata yang sudah
bangkit berdiri menjadi terkejut melihat pengikutnya telah tergeletak pingsan.
Cepat-cepat keduanya merogoh kan-tung kain yang tergantung di pinggang.
Werrr! Werrr...!
Terdengar suara berdesingan
nyaring ketika kedua orang itu menggerakkan tangan untuk menebarkan senjata-
senjata gelap yang mengandung racun ganas.
"Hmh...!"
Panji yang sudah membalikkan tu-
buhnya ketika mendengar suara berdesing, hanya menggeram lirih. Pendekar muda
itu menarik kedua tangannya ke sisi pinggang. Kemudian, didorongkan-nya dengan
telapak tangan terbuka.
Wusss! Serangkum angin dingin yang
menggigit tulang berhembus dari sepasang telapak tangan pemuda itu, dan langsung
memukul runtuh senjata-senjata beracun kedua orang lawannya.
Sebelum rasa terkejut kedua la-
wannya itu lenyap, tubuh Pendekar Naga Putih sudah melesat lurus bagaikan
sebatang bambu ke arah Badra dan Longgata. Sepasang tangan pemuda itu berputar
cepat bagai baling-baling. Malahan kedua orang lawannya itu tidak lagi dapat
melihat bentuk tangan Panji. Dan hal itu cukup membuat mereka hanya bi-sa
berdiri tertegun bagaikan terkena pengaruh sihir.
Pada saat yang gawat itu, tiba-
tiba sesosok bayangan hitam melesat memotong serangan Panji. Bayangan hitam itu
langsung mendorongkan sepasang telapak tangannya menyambut serangan pemuda itu.
Bresss! Terdengar ledakan keras yang
mengguncangkan udara di sekitar tempat itu. Pertemuan tenaga yang amat kuat tadi
membuat bayangan hitam terpental balik. Setelah berputar beberapa kali di udara,
barulah sepasang kakinya dapat didaratkan dengan selamat.
"Pendekar Naga Putih...!" seru sosok tubuh itu bergetar.
Tubuh orang itu nampak ber-
goyang-goyang dan agak limbung. Kedua tangannya menekan dada. Bahkan napasnya
terlihat agak memburu. Sosok tubuh itu sepertinya telah mengalami luka dalam.
Hal itu terlihat dari cairan merah yang merembes di sudut bibirnya.
Badra dan Longgata terkejut se-
telah mendengar nama Pendekar Naga Putih disebut-disebut oleh sosok tubuh itu.
Kini mata mereka baru terbuka lebar. Pantas saja pemuda itu demikian hebat
sehingga hampir membuat mereka tewas.
"Bunuh pendekar usilan itu!" perintah sosok tubuh yang tak lain dari Ki Jampala
itu. Siapa lagi orang yang berani me-
merintah Tiga Setan Muara Gandul kalau bukan Ki Jampala sendiri. Setelah berkata
demikian, lelaki berusia lima puluh tahun itu melompat ke arah Panji yang masih
berdiri tegak menatapi ketiga orang lawannya.
Namun, sebelum pertarungan itu
terjadi, terdengar jerit kematian yang merobek angkasa.
"Adi Sugra...! Keparat! Kubunuh kau...!" teriak Badra yang menjadi kalap ketika
melihat tubuh Sugra terlempar disertai semburan darah yang membasahi tubuhnya.
Orang tertua dari Tiga Setan Mu-
ara Gandul itu langsung menerjang Kenanga dengan ganas. Sedangkan Longgata
menubruk tubuh adik seperguruannya yang sudah tewas dengan luka menganga di
tubuhnya. Tanpa banyak cakap lagi, Kenanga
yang telah menamatkan nyawa lawan-lawannya segera menyambut serangan Badra
dengan pedangnya. Dalam waktu
singkat, keduanya sudah terlibat pertarungan sengit
Longgata pun sudah melompat me-
nerjang Kenanga. Dalam kemarahannya, tokoh sesat itu telah mengerahkan seluruh
tenaga untuk menyerang. Sehingga serangan-serangannya semakin ganas dan dahsyat.
Panji yang semula berniat mem-
bantu kekasihnya, segera membatalkan niatnya begitu melihat orang yang memapak
serangannya tadi hendak melarikan diri. Cepat pemuda itu melesat dan menghadang
orang itu. "Hm.... Hendak lari ke mana kau, Ki Jampala?" ujar Panji menduga-duga.
Sebab, menurutnya siapa lagi
orang itu kalau bukan Ki Jampala. Hal itu dapat dilihat dari sikap dua orang
dari Tiga Setan Muara Gandul yang terlihat sangat hormat terhadap orang itu.
"Keparat kau, Pendekar Naga Putih! Apa sebenarnya yang kau inginkan dari kami?"
tanya Ki Jampala yang tidak dapat menyembunyikan rasa gentar-nya.
Memang, dari pertemuan tenaga
tadi, ia dapat menilai kalau tenaga dalam pemuda itu pasti sangat hebat.
Dan itu telah dibuktikan ketika menangkis serangan pemuda itu yang ditujukan
kepada dua orang dari Tiga Setan Muara Gandul tadi.
"Hm.... Kau ingin tahu" Pergilah dan tinggalkan Desa Kemang ini. Hanya itulah
yang kuinginkan. Sederhana sekali, bukan?" sahut Panji seraya tersenyum tenang.
Diam-diam pendekar itu mengharapkan Ki Jampala mau menuruti permintaannya.
"Ooo, hanya itu. Nah, terimalah ini!" sahut Ki Jampala yang segera melontarkan
pukulan maut ke tenggorokan dan dada Panji.
Melihat serangan maut itu, tubuh
Panji bergeser ke kiri dan sekaligus melontarkan pukulan balasan yang tidak
kalah berbahayanya. Namun lawannya ternyata cukup gesit dan mampu menghindari
sambaran tangannya yang mengarah ke belakang leher Ki Jampala. Bahkan sambil
menghindar, orang tua itu masih sempat melepaskan sebuah tendangan kilat ke
perut Pendekar Naga Putih.
Zebbb! Tendangan kilat itu berhasil di-
hindari Panji dengan merendahkan kuda-kuda sambil meliukkan tubuh ke samping
lawan. Tangan kanannya langsung bergerak melepaskan tamparan ke dada Ki Jampala.
Laki-laki tua itu merasa terkejut melihat kecepatan gerak lawannya.
Bugkh! "Hegkh...!"
Tubuh lelaki tua itu terjengkang
akibat tamparan yang kuat di dada kirinya. Meskipun demikian, ia masih ju-ga
berhasil melompat dan bersalto hingga tubuhnya tidak sampai terjatuh ke tanah.
Namun sayang, sebelum Ki Jampala
berhasil mengatur kedudukannya, tahu-tahu saja telapak kaki Pendekar Naga Putih
telah hinggap di dadanya. Tubuh orang tua itu pun langsung terbanting ke tanah
hingga menimbulkan suara berdebuk nyaring.
Sebelum Ki Jampala sempat bang-
kit berdiri, telapak kaki Pendekar Na-ga Putih telah menekan dadanya.
"Kalau kau ingin selamat, cepat katakan! Siapa dan di mana pemimpinmu berada"
Kalau tidak, terpaksa aku akan membunuhmu," ancam Panji sambil menahan tekanan
kakinya hingga Ki Jampala terbatuk-batuk. Darah pun semakin banyak mengalir dari
mulutnya. "Apa... apa maksudmu" Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan itu?" bantah Ki
Jampala mencoba mengelabui pemuda itu.
"Baiklah! Aku tidak akan memak-samu," ujar Panji seraya tersenyum.
Setelah berkata demikian, tan-
gannya bergerak melakukan totokan yang dapat menimbulkan rasa sakit yang hebat.
Ki Jampala menjerit-jerit ketika
merasakan rasa nyeri di seluruh bagian
tubuhnya. Tubuhnya berguling-guling karena Panji telah melepaskan kakinya yang
semula menekan dada Ki Jampala.
Panji baru membebaskan Ki Jampa-
la dari penderitaan ketika orang tua itu berteriak-teriak. Dia akhirnya bersedia
memberitahukan, apa yang di-inginkan pemuda berjubah putih itu.
Setelah mendapatkan keterangan
dari Ki Jampala, pemuda itu pun segera meninggalkan orang tua itu setelah
terlebih dahulu menotok lumpuh Ki Jampala. Hal itu dimaksudkan agar tidak
membahayakan para penduduk apabila me-nahannya. Dan memang, rupanya para
penduduk telah berkumpul di situ karena Ki Dampit telah menceritakan kehadiran
dua orang pendekar kepada mereka. Jadi itu semua memang berkat pemilik kedai itu
yang berhasil menghimpun penduduk.
Namun, baru beberapa langkah
Panji meninggalkan tubuh lawannya, pa-ra penduduk yang merasa marah telah
mencincang tubuh Ki Jampala beramai-ramai. Pendekar Naga Putih hanya dapat
menarik napas melihat kemarahan para penduduk yang tengah melampiaskan den-
damnya kepada orang tua itu.
Pendekar Naga Putih meneruskan
langkahnya mendekati pertempuran lain yang tampaknya juga akan segera berak-hir.
Panji hanya berdiri memandangi kekasihnya yang tengah mendesak dua
orang lawannya.
"Haiiit..!"
Badra dan Longgata benar-benar
telah terjepit oleh lingkaran sinar pedang gadis jelita itu. Mereka hanya dapat
menangkis tanpa mempunyai kesempatan untuk membalas. Dan ketika Kenanga melompat
disertai teriakan dan ayunan pedang, kedua orang tokoh sesat itu tidak mampu
lagi menghindar.
Wuuut! Brettt! Brettt!
"Aaargh...!"
Kedua orang tokoh sesat itu men-
jerit ngeri ketika pedang di tangan Kenanga berkelebat dan membeset pangkal
lengan dan paha mereka.
Dan selagi tubuh keduanya terja-
jar mundur dengan gerakan limbung, Kenanga sudah melompat. Kedua kakinya
langsung menghantam telak dada kedua orang lawannya.
Bukkk! Desss! Badra dan Longgata yang merupa-
kan dua di antara Tiga Setan Muara Gandul, jatuh berdebuk dan langsung pingsan
seketika itu juga. Darah segar tampak mengalir dari sela-sela bibir kedua tokoh
sesat itu. Kenanga menghampiri Panji yang
melemparkan senyum kepadanya. Wajah gadis jelita itu tampak kemerahan dengan
bintik-bintik keringat yang meng-hiasi wajahnya. Dalam keadaan seperti
itu, Kenanga terlihat semakin menonjol kecantikannya.
"Bagaimana, Kakang" Apakah kau sudah menemukan Ki Jampala?" tanya gadis jelita
itu seraya tersenyum manis.
"Sudah. Bahkan aku berhasil men-gorek keterangan tentang pimpinannya.
Tapi sayang, aku tidak berhasil mence-gah orang-orang desa yang menghukum orang
tua itu dengan cara mereka sendiri," sahut Panji agak sedikit kecewa.
"Hm.... Lalu, bagaimana dengan kedua orang tokoh sesat ini" Bukankah mereka
dapat membahayakan nyawa penduduk apabila tidak dibunuh?" tanya Kenanga yang
masih mengkhawatirkan nasib penduduk Desa Kemang apabila kedua tokoh sesat itu
dibiarkan begitu saja.
"Mereka telah terluka parah dan tidak mungkin sembuh dalam waktu singkat."
Setelah berkata demikian, Panji
mengulapkan tangannya memanggil salah seorang penduduk yang nampaknya cukup berpengaruh.
Setelah berpesan agar kedua to-
koh sesat itu dilepaskan setelah mereka tersadar dari pingsannya nanti, Panji
dan Kenanga segera meninggalkan Desa Kemang untuk mencari Biang Iblis Tangan
Hitam yang menjadi sumber keru-suhan di desa itu.
7 Siang itu, matahari memancar te-
rik. Tampak sesosok tubuh ramping berbaju merah tengah berlari cepat sambil
menekap bahu kirinya yang tergantung lemah. Dari sela-sela jari tangan kanannya,
nampak cairan merah merembes keluar. Jelas, gadis jelita berbaju merah itu
tengah menderita luka.
"Ha ha ha...! Percuma saja kau melarikan diri, Dewi Baju Merah! Biar sampai ke
ujung langit pun, akan tetap kukejar!" teriak seorang lelaki setengah baya
sambil berlari mengejar gadis jelita berbaju merah itu. Sedang di belakang
lelaki itu, terlihat beberapa sosok tubuh lain yang ikut pula mengejar.
"Ohhh...!"
Gadis jelita berbaju merah itu
mengeluh sambil memijat lukanya yang semakin terasa panas dan perih. Rasa sakit
yang semakin menyiksanya itu membuat gadis itu menggigit bibirnya kuat-kuat
Tak berapa lama kemudian, gadis
yang dipanggil Dewi Baju Merah itu mulai memasuki daerah perbukitan. Jalan yang
dipenuhi batu dan menanjak itu, membuat kedua kakinya terasa berat untuk
melangkah. Meskipun beberapa kali hampir terjatuh, ia terus saja berusaha untuk
melepaskan diri dari kejaran
orang-orang yang semakin dekat di belakangnya.
Karena kedua kakinya sudah tidak
kuat lagi berlari, akhirnya setelah melewati jalan menanjak dan berbatu, Dewi
Baju Merah terjatuh di atas tanah berumput kering yang merupakan tanah lapang
cukup luas. Di saat gadis jelita itu berusa-
ha bangkit, tahu-tahu saja para penge-jarnya telah tiba pula di tempat itu.


Pendekar Naga Putih 18 Dewi Baju Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha ha ha...! Sudah kubilang, kau pasti akan dapat kutangkap. Nah!
Lihatlah sendiri!" ujar laki-laki setengah baya yang memiliki kening lebar itu.
"Keparat kau, Setan Hitam! Kalau ingin membunuhku, bunuhlah! Aku tidak takut
menghadapi kematian!" bentak gadis jelita itu tanpa rasa gentar sedikit pun.
Sepasang matanya yang bulat menatap galak.
"Ha ha ha..,! Tidak semudah itu, Dewi Baju Merah! Kau kira aku tidak tahu, siapa
kau sebenarnya" Dengan adanya kau di tangan kami, Adipati Kerta Lungga akan
menuruti semua permintaan kami."
Setelah berkata demikian, mele-
daklah tawa lelaki berkepala separuh botak itu. Tawanya segera disambut kawan-
kawannya. "Jangan coba-coba menggertakku, Langgawe! Sebelum sempat memberitahu-
kan ayahku, tubuhku hanya akan menjadi mayat yang tak berarti!" teriak Dewi Baju
Merah Ternyata dia adalah seorang pu-
tri adipati. Setelah berkata demikian, gadis jelita itu mengayunkan belati yang
sudah dicabut ke dadanya sendiri.
Tring! Belum lagi belati itu sempat
terhunjam di dada Dewi Baju Merah, se-berkas sinar putih berkelebat dan tepat
mengenai belati yang siap dihun-jamkan. Gadis jelita itu memekik tertahan
melihat belatinya terpental akibat hantaman batu kerikil sebesar ibu jari kaki.
"Hm.... Gadis inikah yang telah berani mati menyelidiki tempat kita, Langgawe"
Benarkah dia putri Adipati Kerta Lungga?" tegur sebuah suara serak menggetarkan.
Wajah laki-laki yang keningnya
lebar hingga ke ubun-ubun, berubah pucat ketika mendengar suara berat itu.
Cepat tubuhnya berbalik, dan langsung berlutut begitu melihat seorang kakek
berusia sekitar delapan puluh tahun telah berdiri di situ.
"Ampun, Ketua. Gadis inilah yang telah menyatroni tempat kita," sahut Langgawe
sambil tetap bersujud dan menundukkan wajahnya dalam-dalam. Gerakan Langgawe itu
diikuti kawan- kawannya yang lain.
"Hm.... Biang Iblis Tangan Hitam! Perlu kau ketahui! Semua perbuatanku, sama
sekali tidak ada sangkut pautnya dengan ayahku! Kalau ingin menghukumku,
hukumlah! Aku, Serimpi, pantang takut menghadapi kematian!"
tantang Dewi Baju Merah yang ternyata bernama Serimpi.
Serentak gadis itu berdiri, lalu
menatap tajam ke arah kakek yang berjuluk Biang Iblis Tangan Hitam. Sama sekali
tidak diperlihatkan rasa takut maupun gentar.
"He he he.... Seperti yang Langgawe katakan tadi, dengan adanya kau, maka kami
akan memaksakan kehendak ka-mi kepada ayahmu," tegas kakek itu seraya terkekeh
serak. "Bangsat! Hiaaat...!"
Dewi Baju Merah yang sudah tidak
dapat menahan amarah langsung melompat dengan pukulan tangan kanan yang meluncur
deras ke dada kakek itu.
Biang Iblis Tangan Hitam sama
sekali tidak bergerak dari tempatnya.
Dengan sikap tenang, tangannya diulurkan menyambut pukulan gadis itu. Serangkum
hawa yang amat kuat membentur tubuh Dewi Baju Merah.
Bukkk! Gadis jelita itu mengeluh terta-
han ketika tubuhnya terbanting kembali ke atas tanah berumput kering.
"He he he...! Anak nakal, kau
harus diberi pelajaran terlebih dahulu!"
Setelah berkata demikian, kakek
itu melangkahkan kakinya, mendekati Dewi Baju Merah. Tangan kanannya teru-lur
hendak menjambret lengan gadis itu.
"Jangan sakiti gadis itu...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan ke-
ras yang disusul berkelebatnya sesosok tubuh tegap. Begitu tiba, sosok tubuh itu
langsung melepaskan pukulan ke pelipis Biang Iblis Tangan Hitam.
Wuuut! Plakkk! "Uhhh...!"
Sosok tubuh itu mengeluh terta-
han ketika tangan Biang Iblis Tangan Hitam yang semula hendak menjamah tubuh
Dewi Baju Merah digunakan untuk menangkis serangan. Dan akibatnya, sosok tubuh
itu terpental balik.
Namun orang itu ternyata sangat
gesit! Dengan beberapa kali salto, kedua kakinya mendarat kokoh di atas tanah
berumput. "Siapa kau"! Apa hubunganmu dengan Serimpi?" bentak Biang Iblis Tangan Hitam.
"Kau tidak perlu tahu hubunganku dengan Serimpi! Yang penting, bila kau ingin
menyakiti gadis itu, langkahi dulu mayatku!" tegas sosok tubuh itu lantang.
Dewi Baju Merah menahan seruan-
nya begitu mengenali sosok tubuh yang menolongnya itu. Sepasang matanya yang
bulat dan indah, nampak menyiratkan kekhawatiran yang dalam.
Lelaki muda yang datang itu ada-
lah Pandu. Pemuda tampan berkulit kecoklatan itu sempat mengerling dengan sudut
mata ke arah Dewi Baju Merah.
"Kau... kau pergilah. Mereka akan membunuhmu nanti," ujar Dewi Baju Merah yang
bernama asli Serimpi sambil memandang wajah Pandu dengan cemas.
"Tidak, Serimpi. Untuk menyela-matkanmu, aku rela mengorbankan selem-bar
nyawaku," sahut Pandu memanggil Dewi Baju Merah dengan nama yang baru
dikenalinya dari Biang Iblis Tangan Hitam tadi.
"Kami akan membantumu, Kisanak."
Tiba-tiba terdengar suara halus
yang menggetar karena dikerahkan lewat tenaga dalam yang amat kuat
Orang-orang yang berada di seki-
tar tempat itu serentak menolehkan kepala ke arah suara itu. Mereka terkejut
ketika melihat dua sosok tubuh berpakaian hijau dan putih tengah melangkah
mendatangi tempat itu. Diam-diam orang-orang itu menjadi heran.
Karena suara yang terdengar dekat ta-di, ternyata datang dari orang yang masih
terpisah beberapa belas batang tombak dari tempat itu.
Dua sosok tubuh yang tak lain
adalah Kenanga dan Panji itu memandang tajam orang-orang di sekitarnya. Wajah
yang bersih dan tampan itu, tampak terhias senyum cerah.
"Kaukah yang berjuluk Biang Iblis Tangan Hitam" Tadi aku mendengar ada orang
yang menyebutkan julukan itu. Itulah yang menyebabkan langkahku tiba di tempat
ini," ujar Panji sambil meneliti kakek yang berambut panjang itu.
"Hm.... Kau pasti Pendekar Naga Putih. Aku telah mengenalmu karena melihat
dandanan dan gagang Pedang Naga Langit yang tergantung di pundakmu,"
sahut kakek itu yang sama sekali tidak mempedulikan pertanyaan pemuda berjubah
putih tadi. Sepasang matanya menatap tajam, meneliti sekujur tubuh Panji.
"Biang Iblis! Kedatanganku kemari untuk menghentikan semua sepak ter-jangmu.
Bukankah sebaiknya kepandaian-mu itu dipergunakan untuk kebaikan?"
ujar Panji dengan sikap tetap tenang.
"He he he...! Untuk menghentikan perbuatanku, kau harus dapat mengalahkanku,
Pendekar Naga Putih. Sekarang bersiaplah menerima kematianmu," sahut Biang Iblis
Tangan Hitam. "Heaaat..!"
Tanpa menunggu lawannya bersiap
terlebih dahulu, Biang Iblis Tangan Hitam sudah melompat sambil mendorong-
kan sepasang telapak tangannya ke depan. Serangkum angin dahsyat bergulung
menerjang tubuh Pendekar Naga Putih.
Panji yang sadar kalau lawannya
bukanlah tokoh sembarangan, mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Kedua tangannya
langsung didorongkan menyambut sepasang lengan kakek itu.
Blarrr! Hebat sekali pertemuan dua ge-
lombang tenaga dalam dahsyat itu. Beberapa orang pengikut Biang Iblis Tangan
Hitam bahkan sampai terpelanting roboh dan pingsan seketika. Sedangkan yang
lainnya berlompatan mundur menjauhi pertarungan itu.
Baik Panji maupun Biang Iblis
Tangan Hitam, sama-sama terpental beberapa tombak ke belakang. Namun, keduanya
dapat mendaratkan kakinya di tanah tanpa menderita luka yang berarti. Hanya
saja, tubuh mereka masing-masing terlihat limbung.
"Kau hebat, Pendekar Naga Putih.
Selama puluhan tahun, baru kali inilah kutemukan lawan tangguh dan masih mu-da.
Tapi kau jangan berbangga dulu.
Kita lihat saja, apakah kau akan mampu menahan seranganku selanjutnya," kata
Biang Iblis Tangan Hitam.
Setelah berkata demikian, tubuh
kakek itu kembali melesat dan langsung melancarkan serangan maut.
Melihat serangan-serangan yang
dahsyat dan menimbulkan deruan angin keras itu, kedua kaki Panji bergeser secara
bergantian untuk mengelakkan serangan-serangan lawan. Sesekali Pendekar Naga
Putih menangkis dan membalas dengan pukulan dan tendangan yang tidak kalah
dahsyat Sehingga pertarungan pun semakin seru dan mendebarkan.
Sementara di tempat lain, Pandu
dan Kenanga telah pula terlibat dalam sebuah pertarungan sengit. Sedangkan Dewi
Baju Merah hanya dapat menonton pertarungan itu dengan hati tegang.
Rupanya, gadis jelita itu telah mengalami luka dalam yang cukup parah akibat
pukulan yang dilancarkan Biang Iblis Tangan Hitam tadi. Sehingga, ia hanya dapat
meremas-remas tangan dengan hati cemas.
Pertarungan Panji dan Biang Ib-
lis Tangan Hitam, berlangsung semakin mendebarkan! Kedua tokoh sakti itu telah
sama-sama mengeluarkan ilmu andalan masing-masing.
"Haiiit..!"
Pada jurus kelima puluh enam,
Biang Iblis Tangan Hitam menghantamkan telapak tangan kirinya ke dada Panji.
Wusss! Dari telapak tangan kiri kakek
itu, bergulung asap hitam yang menebarkan bau amis yang memualkan perut.
Panji bergegas melompat ke samping sambil melepaskan tamparan ke pelipis
lawan. Namun, telapak tangan kiri kakek itu tahu-tahu saja bergerak berputar,
dan langsung mendarat di perut Panji.
Bukkk! "Hugkh...!"
Pendekar Naga Putih mengeluh
pendek. Tubuhnya terlempar mundur hingga dua batang tombak jauhnya. Pendekar
muda itu mampu menguasai keseimbangan tubuhnya dengan baik, sehingga tidak
sampai terjatuh karena pukulan yang amat kuat itu. Dari sela-sela bibirnya,
terlihat cairan merah merembes keluar. Pukulan 'Asap Hitam' yang mengandung
racun itu ternyata telah melu-kai bagian dalam tubuhnya.
Bergegas Panji mencabut Pedang
Naga Langit, dan menorehkan ujungnya pada luka di perutnya. Dalam sekejap saja,
racun di tubuh pemuda itu telah lenyap terhisap pedang pusaka itu. Dan kulit
perutnya yang semula kehitaman kembali berubah seperti sediakala
"He he he...! Pedang hebat itu tidak pantas menjadi milikmu, Pendekar Naga
Putih! Serahkan saja padaku!"
bentak Biang Iblis Tangan Hitam.
Laki-laki tua itu begitu terpu-
kau melihat perbawa dan kemukjizatan Pedang Naga Langit yang berada di tangan
Panji. Dan sebentar kemudian, tubuh kakek itu langsung melompat dengan
cengkeraman kedua tangannya. Cengkera-
man kiri mengarah ubun-ubun dan cengkeraman kanannya meluncur, hendak merebut
pedang di tangan kanan Pendekar Naga Putih.
Wuuut! Wuuut! Panji melangkah mundur menghin-
dari cengkeraman maut itu. Berbarengan dengan itu, tangan kanannya bergerak
menyabetkan pedang ke tangan kanan lawan yang mencengkeram ubun-ubun
Gulungan sinar kuning keemasan
itu membuat Biang Iblis Tangan Hitam tersentak kaget. Dicobanya untuk menarik
pulang tangan kirinya. Namun
sayang, kakek itu kalah cepat. Dia tidak sempat lagi menyelamatkan tangan
kirinya dari sambaran pedang.
Wuuut! Crakkk! "Aaargh...!"
Biang Iblis Tangan Hitam menje-
rit parau ketika mata pedang membabat buntung tangan kirinya hingga sebatas
pergelangan. Cepat tubuhnya dilempar ke belakang sejauh empat batang tombak
untuk menghindari sambaran pedang yang masih terus berkelanjutan.
Wuuut! Wuuut...!
Seluruh wajah Biang Iblis Tangan
Hitam pucat. Karena pada saat kedua kakinya baru menjejak tanah, tubuh Panji
sudah melesat menerjang. Dalam kemarahannya, pemuda perkasa itu telah
mengeluarkan jurus pamungkas 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi'.
Hebat bukan main jurus terakhir
'Silat Naga Sakti' itu. Sebentuk sinar kekuningan bagai bulatan itu berpendar
menyilaukan pandangan lawan. Dari bulatan sinar pedang itu, kadang-kadang
menyembul ujung pedang yang bagaikan puluhan banyaknya. Tentu saja hal itu
membuat Biang Iblis Tangan Hitam menjadi buram pandangannya, sehingga tidak
mengetahui ujung pedang yang merupakan aslinya. Maka...
Brettt! Brettt!
"Aaargh...!"
Biang Iblis Tangan Hitam meraung
dahsyat menggetarkan sekitarnya. Darah segar langsung memercik membasahi re-
rumputan kering ketika mata pedang Pendekar Naga Putih merobek tubuhnya beberapa
kali. Tanpa dapat dicegah la-gi, tubuh tua itu ambruk dan tewas bermandikan
darahnya sendiri.
"Kakang! Kau tidak apa-apa?"
tanya Kenanga khawatir.
Gadis jelita yang sudah menyele-
saikan pertarungannya bersama Pandu semenjak tadi, cepat memeriksa perut Panji.
Baju pada bagian perut pemuda itu terlihat hangus bagaikan terbakar api. Dan
luka akibat goresan Pedang Naga Langit tampak mengeluarkan darah, meskipun tidak
banyak. Tapi hal ini telah membuat hati dara jelita itu cemas karenanya.
"Aku tidak apa-apa, Kenanga,"
sahut Panji seraya tersenyum lembut.
Dibelainya rambut kepala gadis jelita itu penuh kasih.
"Syukurlah, Kakang," desah Kenanga seraya memeluk tubuh pemuda pu-jaannya itu.
"Kami berdua mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak. Ta-pi, urusan
ini belum selesai seluruhnya. Sebab menurut Serimpi, di tempat kediaman Biang
Iblis Tangan Hitam banyak terdapat tawanan yang harus dibe-baskan," jelas Pandu
sambil membungkuk hormat kepada Panji.
Sementara itu, Serimpi yang lu-
ka-lukanya sudah disembuhkan Kenanga, berdiri di belakang Pandu. Wajah gadis itu
tampak segar, pertanda telah benar-benar sembuh.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi" Ayolah kita ke sana," sahut Panji.
"Mari, ikuti aku!" ujar Serimpi yang menjadi penunjuk jalan.
Pandu, Kenanga, dan Panji segera melesat mengi-kuti gadis jelita berbaju merah
itu. *** 8 "Hm..., Rupanya di sinilah sa-rang Biang Iblis itu," gumam Panji begitu mereka
tiba di depan sebuah ban-
gunan besar di dalam Hutan Kemang.
Keempat orang pendekar muda itu bergegas memasuki halaman bangunan besar.itu.
Belasan orang anak buah Biang Iblis Tangan Hitam yang mencoba menghalangi, satu
persatu ambruk dihajar keempat biang itu.. Setelah semua penghalang tak berkuak,
mereka bergegas menuju tempat tawanan disimpan.
Panji, Kenanga, Pandu, dan Serimpi bergegas membuka pintu-pintu berjeruji yang
mengurung puluh-an orang wanita.
Mereka berumur sekitar enam betas sampai dua puluh tahun dan nampak pucat serta
basah oleh air mata. Mereka adalah gadis-gadis desa yang diculik oleh begundal-
begundal Biang Iblis Tangan Hitam sebagai pemuas nafsu pemimpin-pemimpin mereka.
Pandu yang ikut membebaskan ga-
dis-gadis itu terpaku ketika menatap seorang gadis berwajah bulat telur dan
sangat manis. Setitik tahi lalat, tampak menghias sudut bibir sebelah kirinya.


Pendekar Naga Putih 18 Dewi Baju Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau... kau. Siapakah namamu, dan di mana tinggalmu?" tanya Pandu agak gugup.
Sejenak dalam benak pemuda itu
terlintas wajah kedua orang tua dan adik perempuannya yang telah lama di-
carinya. Dan tentu saja wajah adiknya masih jelas tergambar dalam benak.
Gadis berwajah bulat telur yang manis
itu, menunduk malu karena sepasang ma-ta Pandu seperti menjelajahi seluruh
wajahnya. "Namaku Ratih, dan tempat tinggalku di Desa Surungan," sahut gadis itu tersipu.
"Hei" Untuk apa kau tanya-tanya nama orang" Kau suka, ya?" tegur Serimpi.
Gadis yang berjuluk Dewi Baju
Merah itu tahu-tahu saja sudah berada di samping Pandu. Nada suaranya terdengar
ketus dan galak. Sehingga Pandu sempat terkejut karenanya. Namun, pemuda itu
seperti tidak mempedulikan.
"Ratih.... Kau..., apakah ayahmu bernama Ki Sumareja dan ibumu bernama
Wilarsih?" tanya Pandu.
Tubuh pemuda itu menggigil karena tegang. Sehingga, ia tidak lagi mempedulikan
sepasang mata yang menatap galak ke arahnya. Siapa lagi kalau bukan ma-ta
Serimpi. "Bagaimana Kakang dapat mengeta-huinya?" tanya Ratih, bingung.
Gadis itu merasa heran mendengar
nama orang tuanya diketahui pemuda itu. Seketika wajahnya di angkat penuh
menyelidik. "Ah! Ratih, Adikku. Apakah...
apakah kau sudah tidak mengenali ka-kangmu?" sahut Pandu yang sudah tidak tahan
untuk memeluk tubuh adik perempuannya itu. Kedua tangan pemuda itu
tampak bergetar bagaikan menderita kejang.
Ratih semakin heran ketika men-
dengar pertanyaan pemuda tampan berkulit kecoklatan itu. Sepasang matanya yang
bening memandang wajah pemuda itu sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam.
"Kau..., kau. Benarkah kau Kakang Pandu?" tanya Ratih dengan bibir bergetar
menahan keharuan yang dalam.
Sepasang matanya tampak mulai digenan-gi air mata.
"Ratih, Adikku...!" sebut pemuda itu.
Pandu yang benar-benar sudah me-
rasa yakin kalau gadis itu adalah adiknya, langsung mengem-bangkan tangan lebar-
lebar. Direngkuhnya tubuh gadis itu dalam pelukannya. Sepasang matanya sudah
basah oleh air mata yang meluncur turun dengan derasnya.
"Kakang...," desah gadis itu serak di antara isak tangisnya yang me-milukan.
"Ahhh! Ratih, Adikku. Kau sudah besar dan can-tik," desah Pandu seraya
melepaskan pelukan dan menatapi wajah adiknya penuh kasih.
Serimpi, Kenanga, dan Panji me-
malingkan wajah-nya karena tak tahan menyaksikan pertemuan yang mengharukan itu.
"Sudahlah. Sebaiknya kita antar-
kan saja dulu gadis-gadis ini. Peluk cium kalian bisa dilanjutkan nanti!"
ujar Serimpi yang membuat Pandu dan Ratih tersadar kalau perbuatan mereka
dilihat banyak orang.
Dengan wajah tersipu, Pandu dan Ratih melepaskan pelukannya meskipun tetap
berpegangan tangan Kemudian, mereka bergegas mengikuti Serimpi dan para gadis-
gadis tawanan yang sudah berjalan lebih dahulu.
"Maaf, Pandu, Serimpi. Aku terpaksa tidak bisa menemani kalian. Aku dan Kenanga
harus melanjut-kan perjalanan. Nah, sampai jumpa," pamit Panji yang tanpa
menunggu jawaban sudah melesat meninggalkan tempat itu bersama Kenanga.
Pandu, Serimpi, Ratih dan yang
lainnya hanya dapat memandangi kepergian kedua orang pendekar itu dengan penuh
rasa terima kasih. Tak lama kemudian, mereka segera meninggalkan bangunan besar
itu untuk mengantarkan gadis-gadis tawanan ke kampung hala-mannya.
"Bagaimana kabar ayah, Adikku"
Apakah baik-baik saja?" tanya Pandu yang sudah tidak sabar ingin mengetahui
nasib orang tuanya.
"Ayah baik-baik saja, Kakang.
Namun, ibu telah tewas di tangan orang yang baru kuketahui sebagai pemberontak.
Berbulan-bulan kami mencarimu se-
menjak kita terpisah. Namun sayang ka-mi tidak berhasil menemukanmu. Hingga ayah
putus asa. Ahhh, ayah pasti akan sangat gembira melihat dirimu selamat, Kakang,"
sahut Ratih seraya tersenyum bahagia.
Pandu tidak terkejut lagi men-
dengar kematian ibunya. Kabar itu memang pernah didengar ketika dia mencari-cari
keluarganya. Pandu mengelus rambut kepala
adiknya penuh kasih sayang. Sekilas diliriknya Serimpi yang me-langkah tidak
jauh dari mereka berdua. Melihat wajah gadis berbaju merah itu agak cemberut,
pemuda itu pamit kepada adiknya sebentar dan memberanikan diri mendekati
Serimpi. "Serimpi, bolehkah aku bicara denganmu sebentar?" pinta Pandu dengan hati
berdebar tegang. Wajah pemuda itu tampak agak memucat karena terbawa
perasaannya. "Hm.... Apa yang ingin kau bicarakan, katakan-lah," sahut gadis jelita itu.
Suaranya masih tetap ketus.
"Apakah tidak sebaiknya kita bicara berdua saja?" tanya Pandu semakin bertambah
berani. Memang, pemuda itu merasa harus
mendapat keputusan dari gadis jelita itu sekarang juga. Sebab kesempatan seperti
itu mungkin tidak akan dite-muinya lagi.
"Hm...."
Meskipun Serimpi tidak menyahut,
gadis itu melangkah juga mengikuti Pandu yang berjalan ke tepi.
"Serimpi. Aku..., aku ingin ber-terus terang kepadamu. Semenjak pertemuan kita
pertama dulu, aku..., aku telah jatuh cinta kepadamu. Apakah, apakah aku
bertepuk sebelah tangan?"
tanya Pandu dengan wajah semakin pucat Bibir gadis jelita itu tampak
menyunggingkan senyum meskipun hanya sekejap. Dan wajah gadis itu berubah
kembali seperti semula, galak dan angkuh.
"Hm.... Datang saja ke Istana Kadipaten Bangkalan. Di sana kau bisa mengetahui
jawabannya," sahut gadis yang berjuluk Dewi Baju Merah itu singkat
"Hahhh! Kau... kau...."
"Benar! Kau takut?" potong Serimpi cepat. Gadis itu sudah menduga kalau Pandu
akan terkejut mendengar jawabannya tadi. Sengaja gaun dirinya dibuka untuk
menguji sampai di mana dalamnya perasaan cinta pemuda itu terhadapnya.
"Ah! Bukan begitu, aku...," Pandu semakin gugup mendengar pertanyaan yang
terdengar agak sinis itu.
"Apa sih' yang ingin kau kata-
kan?" Sejak tadi bisamu cuma aku.., aku saja!" bentak Serimpi tak sabar,
sehingga membuat beberapa orang gadis menoleh ke arah mereka dan tersenyum geli.
"Hmm... Serimpi, aku hanyalah seorang rakyat biasa, dan rasanya memang tidak
pantas mengharapkan balasan cintamu. Melihat kau tidak marah mendengar
pernyataanku tadi pun, sebenarnya sudah merupakan anugerah bagiku.
Maafkanlah kelancanganku. Aku tidak tahu kalau kau adalah Gusti Ayu Serimpi yang
seharusnya kuhormati," jelas Pandu.
Hati pemuda itu merasa rendah di-
ri begitu mengetahui kalau gadis jelita itu adalah seorang putri adipati.
Sebentar kemudian, pemuda itu melangkah lesu meninggalkan Serimpi yang menjadi
tertegun dibuatnya.
"Kalau memang tidak suka mempersunting ku, ya sudah! Sana pergi! Tan-gisi saja
nasibmu!" bentak Serimpi di antara isak tangisnya yang lirih.
Pandu menghentikan langkahnya,
seolah-olah tidak percaya dengan pendengarannya. Tapi ketika melihat Serimpi
membalikkan wajahnya, pemuda itu bergegas menjatuhkan tubuhnya. Langsung
diambil-nya tangan kanan gadis jelita itu, lalu tanpa ragu dike-cupnya dengan
mesra. "Gusti Ayu Serimpi. Apakah Gusti sudah menerima cinta dari rakyat
miskin seperti hamba?" tanya Pandu se-
raya menengadahkan kepalanya menatap wajah yang nampak basah oleh air mata itu.
Serimpi tidak menyahut. Tangan-
nya ditarik perlahan-lahan dari genggaman pemuda itu. Kemudian, dia melesat
meninggalkan tempat itu.
"Awas kau, Pemuda Bodoh! Kalau tidak datang ke kadipaten, maka aku akan
menyusulmu ke Desa Surungan!" ti-ba-tiba terdengar suara Serimpi dari kejauhan
Pandu tersenyum lebar mendengar
suara gadis jelita pujaan hatinya itu.
"Benar-benar seorang gadis aneh dan galak," gumam Pandu sambil melangkah
mendekati adiknya.
Angin senja berhembus lembut se-
makin menyegarkan perasaan Pandu yang tengah berbahagia itu.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Sejengkal Tanah Sepercik Darah 10 Dewi Sri Tanjung 1 Jasa Susu Harimau Naga Dari Selatan 5
^